ASASIMANUSIA
AnjaniMeisyahPuteriArief,DifaAyatullah,ShimaAdilPramesti,ShofwanHidayat, YudhistiraAryaPramaditya
FakultasSeniRupadanDesainITB
MakalahiniDisusunUntukMemenuhiTugas MataKuliahMKUPancasiladanKewarganegaraan
1.1. LatarBelakangMasalah
Pendidikan merupakan salah satu alat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan individu agar mampu berkontribusi dalam pembangunan di masa depan dan dapat menghadapi perkembangan zaman. Memperoleh pendidikan sejatinya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Artinya, pendidikan seharusnya diperoleh semua individu, sebagaimana yang tercatat pada pasal 28C ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, senidanbudaya,demimeningkatkankualitashidupnyadandemi kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian, penyediaan sarana pendidikankepadawarga negaramerupakankewajibanbagipemerintah.
Pendidikan merupakan hak asasi manusia, ketika akses pendidikan telah dibuka seluas-luasnya, maka seluruh putra putri bangsa harus dapat memanfaatkan akses tersebut dengan sebaik-baiknya. Namun dalam beberapa keadaan khusus akses pendidikan, tidak selamanya dapat tersedia di setiap daerah. Akses yang terbatas tersebut dapat disebabkan karena keterbatasan sarana, atau karena keadaan khusus yang menyebabkan akses tersebut menjadi sangat terbatas.Keadaankhusustersebutdapatpuladisebabkanolehkeadaanberupa kondisi geografi, pertumbuhan ekonomi, bencana alam atau kondisi sosial budaya dan latar belakang sejarah khusus yang dialami oleh sekelompok masyarkat. Hal seperti ini terjadi padamasyarakatyangberadadidaerah-daerahterpencil. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia faktanya belum dapat memenuhi kriteria pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilaiHAM.Masalahinisecara eksplisit dapat ditinjau pada kondisi pendidikan di daerah 3T, terutama daerah Papua. Fakta menunjukan bahwa daerah Papua mengalami ketertinggalan terutama dalam hal pendidikan. Kondisi infra struktur pendidikan yang serba terbatas di pedalaman Papua menyebabkan pendidikan semakin tidak merata dan semakin hari melahirkan kebodohan dan kemiskinan yang menyebabkan anak-anak orang asli Papua tersingkirdarikancahpersainganduniayang berkembang pesat. Masalah yang paling umum ditemukan di Papua meliputi angka buta huruf yang tinggi. Data sensus menunjukan tingkat buta huruf di Papua mencapai 21,9% yang merupakan angka tertinggi di Indonesia. Disamping itu, Papua juga memiliki tingkat
literasi yang rendah serta kurangnya fasilitas penunjang pendidikan seperti guru atau media pembelajaran.
Isu ini tidak hanya melanggar HAM dari segi pendidikan saja, namun dapat menjadi pemicu jenis pelanggaran HAM lainnya sebagai dampak dalam jangka waktu yang panjang. Salah satu contoh adalah kualitas sumber daya manusia di Papua yang rendah dan kurang kompeten sehingga tidak mampu menghadapi perkembangan zaman, atau lebih buruk lagi, sumberdayaalamPapuayangmudahdijajaholehwargaasing. Melihat dampak bom waktu yang dapat ditimbulkandaripermasalahanpendidikandi Papua, sayangnya tidak membuat isu ini menjadi salah satu prioritas di Indonesia. Masalah ini kurang terekspos secara luas di Indonesia atau malah cenderung diabaikan. Melalui makalah ini, tim penulis bermaksud untuk menyampaikan kriteria atau konsep pendidikan yang ideal sesuai dengan konteks hak asasi manusia. Penulis juga bertujuan untuk menganalisis kondisi pendidikan di Papua dari kacamata hak asasi manusia sekaligus mengangkat isu ini agar masyarakat Indonesia mengetahui adanya pelanggaran HAM yang perluditegakkan.
1.2. RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dari penelitian ini dapat dibentuk,yaitu:
1. Bagaimanapendidikandalamsudutpandanghakasasimanusia?
2. BagaimanakondisifaktualpendidikandidaerahPapua?
3. BagaimanakeadaanpendidikandiPapuadalamkontekshakasasimanusia?
1.3. TujuanPenulisan
1. Mengetahuipendidikandalamsudutpandanghakasasimanusia
2. MengetahuikondisiaktualpendidikandiPapua
3. MengetahuikeadaanpendidikandiPapuadalamkontekshakasasimanusia
1.4.
ManfaatPenulisan
1. Sebagai salah satu referensi dalam mengkaji permasalahan pendidikan di Papua.
2. Sebagai salahsatutulisanyangmenjelaskanisupelanggaranHAMpendidikan diIndonesia,terutamaPapua.
3. Sebagai salah satu referensi untuk mempelajari konsep pendidikan di IndonesiasertakaitannyadenganHakAsasiManusia
2.1. PendidikandiIndonesia
Kehidupan sebagai warga negara memiliki kaitan yang erat dengan pendidikan. SebagaiwarganegaraIndonesia,kitamemilikikewajibanuntukmembela negara,dansalahsatubentukpembelaannegaraialahdenganmenempuhpendidikan. Berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkansuasanabelajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan,pengendaliandiri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsadannegara.
Bangsa Indonesia pada saatinisedangdihadapkanpadaragampersoalanyang ditimbulkan oleh berbagai macam perubahan pada berbagai aspek, salah satunya perubahan yang terjadi pada saat pandemi Covid-19 ini melanda, yaitu perubahan pada sosial, budaya, serta gaya hidup masyarakat Indonesia yang mempengaruhi sistem serta kemajuan pendidikan di Indonesia. Kemajuan pendidikan merupakan salah satu faktor keberhasilan dari suatu bangsa. Pada saat ini, bangsa Indonesia sendiri yang posisinya dikatakan sebagai Negara berkembang masih berupaya agar dapat mengubah posisi tersebut ke posisi Negara maju, terutama di bidang pendidikan. Berdasarkan data UNESCO (2019), Indonesia sendiri memiliki kualitas pendidikan yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut dibuktikan oleh peringkat Indeks Pembangunan Manusia, yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukan, bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada pada peringkat ke-111 dari 189 Negara di dunia. Kualitas tersebut dapat dilihat dari 2 masalah utama, yaitu pertama, masalah mendasar, mengenai efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan di Indonesia dan kedua, masalah masalah yang berkaitan dengan aspek praktis atau teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti tingginya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya kesejahteraan pengajar, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, kurikulum yang digunakan hanya berdasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat,rendahnyarelevansipendidikandengankebutuhan,danlainlain.
Sistem pendidikan di Indonesia mengacu pada Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan sistem pendidikan yang akan membawa kemajuan dan perkembangan bangsa, sekaligus menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Gambaran sistem pendidikan di Indonesia yang menganut Sistem Pendidikan Nasionaldapatdilihatdalambeberapaaspekantaralainsebagaiberikut:
1. Pengelolaan
Sistem Pendidikan dikelola secara sentralistik, berlaku diseluruh tanah air. Tujuan pendidikan, materi ajar, metode pembelajaran, buku ajar, tenaga kependidikan, baik siswa, guru maupun karyawan, mengenai persyaratan penerimaannya, jenjang kenaikan pangkatnya bahkan sampai penilaiannya diatur oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk semuua sekolah di seluruh pelosok tanah air. Di samping itu sistem pendidikan diselenggarakan secara
diskriminatif seperti masih terdapat sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang dikelola oleh masyarakat. Sekolah Swasta dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu terdaftar, diakui, dan disamakan dengan sekolah Negeri. Perguruan negeri dibiayai oleh pemerintah, sedangkan perguruan swasta dibiayai oleh masyarakat. Hanya sebagian kecil anak bangsa yang diterimadi perguruan tinggi negeri, sebagian besar mereka di perguruan tinggi swasta. Dalam posisi demikian perguruan swasta dapat ditemukan di banyak tempat. Keberadaannya besar jumlahnya, tetapi rendah dalam mutubiladibandingkan dengan perguruan negeri, yang lebih sedikit dalam jumlah tetapi lebih tinggi dalam mutu. Karena mayoritas dana, sarana, dan perhatian pemerintah dipusatkan di perguruan negeri. Seiring dengan gambaran perlakuan di atas memberi kesan psikologis bahwa pendidikan adalah milik pemerintah, dan bukan milik masyarakat. Semangat jiwa pendidikan telah lepas dari jiwa masyarakat. Sekolah baik negeri maupun swasta terasa sudah tercabut dari lingkungan di dalam masyarakat. Banyak lembaga pendidikan formal dari dasar sampai dengan perguruan tinggi yang telah menjadi komunitas atau kelompok tersendiri yang lepas dari masyarakatnya. Sistem pendidikan berorientasi pada kepentingan dan bukan untuk kepentingan anak didik,pasar dan pengguna jasa pendidikan atau masyarakat dengan dalih bahwa strategi pendidikan nasional adalah untuk membekali generasi muda agar mampu membawa bangsa dan negeri ini cepat sejajar dengan bangsa dan Negara lain yang lebih maju. Namun dalam implikasi perkembangannya tidak diperoleh sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Keahlian dan penguasaan IPTEKyang diperoleh sesuai menamatkan studinya berada dalam posisi dimiliki secara individual dan bukan menjadikan diri sebagai ilmuwan yang dipeduli dengan nilai-nilai kemanusiaan, bangsa, dan Negara. Seiring dengan semangat demi Negara dalam menyelenggarakan sistem pendidikan seperti tersebut diatas, makakerjapendidikandilaksanakandibawahotoritakekuasaan,padahalkerja pendidikan adalah kerja akademik dalam pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dikenal dengan adanya eselonisasi jabatan atau kepegawaian. Pada saat ini terjadi salah urus dalam penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan. Jika di dalam penyelenggaraan kantor-kantor birokrasi, ada hierarcy yang disusun berdasarkan senioritas menurut umur, masa jabatan, dan kekuasaan. Itu sebabnya, dalam kerja akademik yang ada adalah reputasi keilmuwan yang menentukan tinggi rendahnya posisidanpentingnyaseseorang.Sebagaiakibat dari model pengelolaan sistem pendidikan tersebut, maka tidak terhindarkan bahwa pendidikan terkesan ekslusif dan elite, padahal seharus inklusif atau membaur, dan akrab dengan semua lapisan masyarakat. Ironisnya, tinggi rendahnya pendidikan yang telah dicapai tidak relevan dengan tinggi rendahnya moral. Disamping itu, mata pelajaran yangharusdiikutiolehsiswa selain dirasakan terlalu padat juga tidak berkesinambungan, tidak konsisten, juga tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan anak didik dan bahkan tidak cocok dengan kebutuhan pasar. Sulitnya mencari pekerjaan seringkali
disebabkan bukan karena tidak ada pekerjaan atau sempitnya kesempatan berusaha, tetapi disebabkan karena tidak adanya kecocokan antara kemampuan yang diperoleh melaluisekolahdengantuntutanatausyaratkerja. Seiring dengan uraian-uraian di atas, pelaksanaan pendidikan dilakukan dengan mentalitas proyek. Proyek pendidikan secara hukum atau peraturan perundangundangan telah dilaksanakan secara benar, namun tidak ada jiwa pendidikandidalamnya.
2. PeranPemerintahdanMasyarakat
Pemerintah adalah pihak yang mengendalikan dan mengelola sistem pendidikan secara nasional. Meskipun dalam UU SISDIKNAS dikatakan bahwa masyarakat adalah mitra pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dan memiliki kesempatan yang seluas untuk berperan serta dalam menyelenggarakan atau mengelola unit pendidikan,dengantetappadaciri-ciri identitasnya. Namun dalampraktiknya,semuanyaditentukanolehpemerintah, lengkap dengan rambu-rambu dan ukuran-ukuran dalam penilaiannya. Pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat dalam rangka pembinaan dan perkembangan satuan pendidikan yang bersangkutan. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam penyelenggaraan sekolah, keluarga, dan unit-unit pendidikan non-formal lainnya, juga terasa kosong, formalis, tidak berjiwa, terpisah-pisah, dan lepas dari sentuhan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai agama, budaya, dan nilai-nilai keadaban lainnya. Seperti disebutkan di muka, sekolah adalah milik masyarakat, bukan milik pemerintah, individu dan kelompok.
3. SumberDayaManusia
Sumber daya manusia dilaksanakan di bawah otorita kekuasaan dan kekuatan administarsi birokrasi. Guru memerlukan sebagai pegawai dan tidak sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Perlakuan sebagai pegawai mengutamakan kesetiaan, kejujuran, kedisiplinan, dan produksi kerja. Sedangkan perlakuan sebagai pendidik atau pengajar, selain mementingkan kejujuran (moral, kedisiplinan dan pengabdian), juga sangat mementingkan kreativitas, novasi dan dedikasi. Guru diharapkan mampu mengembangkan budaya belajar yang baik pada siswanya. Dewasa ini dirasakan bahwa guru, baik secara kuantitas maupun kualitas, kurang memadai. Dirasakan adanya kekurangan dalam keragaman dan kompetensi pedagogik. Banyak guru, terutama untuk sekolah di daerah terpencil yang salah kamar, yaitu tidak sesuai antara ilmu yang dipelajari dengan mata pelajaran yang diajarkan. Banyak tenaga ataupegawai kantor, pegawai instansi non pendoididkan yang terpaksa direkrut menjadi guru, sehingga dewasa ini banyak guru yang tidak ahli atau rendah dalam mutu. Ada dua faktor pokok mengapa sumberdayamanusiapendidikandapat bermutu rendah. Pertama, kemiskinan karena penghasilan berada di bawah
standar. Kedua; sistem pengelolaan sebagai akibat penanganan sekolah di bawahotoritakantorbirokrasidanbukansebagailembagaakademik.
4. Dana
Dana merupakan salah satu syarat yang ikut menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan bermutu. Selama ini mutu pendidikan nasional rendah dikeluhkan karena dana yang tidak memadai. Penyelenggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana. Tanpa adanya dana yang cukup berimplikasi pada rendahnya pengelolaan pendidikan. Namun dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan. Hasil akan tergantung pada tiga faktor kunci lainnya, yaitu: sistem, keahlian, dan moral penyelenggara. Masalah yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam memperoleh dan menggunakan anggaran pendidikan nasional ialah banyak instansi atau departemen pemerintah yang terlibat, lengkap dengan kewenangan dan otoritasnya masing-masing. Instansi itu adalah Kementerian PendidikandanKebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Departemen lainnya yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan, yang sesungguhnya bagian dari kegiatan pendidikan nasional. Dalam mengajukan anggaran penyelenggaraan pendidikan ke Bappenas dan anggaran rutin pendidikan ke Kementerian Keuangan tidak ada koordinasi atau kerjasama dengan departemen-departementersebut.
Pada nyatanya, dari beberapa aspek Sistem Pendidikan Nasional diatas, terdapat kesenjangan antara yang seharusnya dengan realita yang terjadi pada sistem pendidikan di Indonesia. Pada dewasa kini, masih terdapat kualitas pendidikan yang diperuntukkan untuk pelajar di Indonesia, kurang memadai sehingga keadaan pendidikandiIndonesiamasihterbilangmemprihatinkan.
2.2. KonsepHakAsasiManusia
Hak, menurut KBBI didefinisikan sebagai “derajat atau martabat”,sertasebagai “kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu”. Adapun asasi, juga menurut KBBI, didefinisikan sebagai“bersifat dasar, pokok”.Jikakeduadefinisi di atas disatukan, hak asasi dapat didefinisikan sebagai “derajat, martabat, dan/atau kekuasaan untuk menuntut sesuatu yang bersifat mendasar”. Makadariitu,hakasasi manusia merupakan seperangkat hak-hak dasar yang dimilikiolehseluruhmanusiadi dunia ini, sebagaimana dinyatakan dalam Pernyataan Umum tentang Hak Asasi ManusiayangdiadopsiolehPBB.
Adapun definisi hak asasi manusia menurut beberapa ahli di antaranya yaitu sebagai: “hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat” (Franz Magnis-Suseno); “hak yang telah dimiliki setiap manusia dengan
berdasarkan kodratnya yang tidak dapat bisa dipisahkan” (Prof. Koentjoro Poerbopranoto); “hak yang sudah melekat pada martabat setiap manusia dan hak tersebut sudah dibawa pada saat sejak lahir ke dunia dan pada hakikatnya hak tersebut memiliki sifat kodrati” (Mahfud MD); dan seterusnya. Selain sebagai hak, HAM juga merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang harus dijaga dan dihormati semua orang. Seperti yang disebutkan dalamPasal28JUUD1945ayat(1), setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalamtertibkehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hak asasi manusia memiliki beberapa ciri atausifattersendiri.Sifat-sifattersebutakandijelaskanlebihlanjut.
1. Bersifathakiki
Menurut Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia, setiap orang “…dilahirkan bebas dan sama dalam hal martabat serta hak-haknya”. Ini berarti, bahwa HAM bersifat hakiki sebab merupakan atribut yang melekat pada diri seseorang semenjak orang tersebut terlahir ke dunia. Sebagian kalangan ahli berpendapat bahwa HAK merupakan pemberian, yang asalnya bisa berupa pemberian Tuhan, alam semesta, maupun akal/nalar serta hati nuranimanusiasecarakolektif(Dembour,2010)
2. Bersifatuniversal
Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana hak asasi manusia merupakan hak-hak yang sejatinya dimiliki oleh seluruh umatmanusiasejaksaatmanusia tersebut dilahirkan, gagasan tersebut dapat juga dijadikan sebagai landasan dari sifat HAM yang universal ini. Bahwa karena HAM merupakan hak-hak pemberian Tuhan yang melekat pada diri manusia, maka berbeda dari kebanyakan hak melekat pada seseorang melalui pemberianhukumdandalam konteks ruang danwaktuyangterbatas,HAMmelekatpadaseseorangdimana pun,kapanpun,selamamanusiaituada.
Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa sifat universal dari HAM juga berarti bahwa HAM melekat pada diri seseorang tanpa pengecualian dalam bentuk apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, kepercayaan, kebangsaan, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa status politik, yurisdiksi, maupun internasional suatu kawasantidakbolehmenjadipembedadalampemenuhanHAMseseorang.
3. Tidakdapatdicabut
Masih berangkat dari konsep awal mengenai HAM, pernyataan bahwa HAM merupakan pemberian untuk setiap manusia serta bahwa HAM bersifat universal terlepas dari keadaan seorang manusia, ciri/sifat HAM selanjutnya adalah bahwa HAMtidakdapatdicabutdaridiriseorangmanusiauntukalasan apapun.
Akan tetapi, hal ini kerap diperdebatkan di kalangan para ahli. Misalnya, Rathore dan Cistelecan (2011) dalam bukunya membahas kondisi-kondisi di mana seseorang dapat dikatakan sebagai “bukan manusia”, yang berimplikasi padapencabutanHAMdariindividutersebut.
4. Tidakdapatdibagi
Kemudian, ciri/sifat HAM yang terakhir adalah bahwa HAM tidak dapat dibagi/dipisahkan satu sama lain, sebab serangkaian hak-hak tersebut merupakan sebuah kesatuan yang runtut dan diperlukan untuk mewujudkan kehidupanmanusiayangsebaik-baiknya.
Perlu diingat bahwa ciri-ciri/sifat-sifatdariHAMdiatasmerupakanciri-ciriyang dijelaskan menurut Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR). Sejatinya, pembahasan mengenai ciri/sifat HAM merupakan pembahasan yang melibatkan setidaknya 4 paham yang masing-masing memiliki interpretasinya sendiri terhadap ciri/sifat dari HAM. Menurut Dembour (2010), keempat paham tersebutadalahpahamnaturalis,pahamdeliberatif,pahamprotes,dan pahamdiskursus.
Paham naturalis berpendapat bahwa HAM merupakan suatu pemberian (sebagaimana tertera dalam ciri/sifat hakiki dari HAM), dan oleh karenanya bersifat universal. Mereka juga berpendapat bahwa HAM tidak perlu dimanifestasikan dalam bentuk hukum dan peraturan, sebab HAM tersebut sudah melekat pada diri setiap manusia. Meski demikian, hukum dan peraturan dianggap sebagai kelanjutan dari HAMitusendiri,danberperandalampenegakanHAMdalamkehidupan.
Paham deliberatif berpendapat bahwa HAM merupakan suatu konsensus yang idealnya melibatkan seluruh umat manusia. Menurut paham ini, HAM perlu dimanifestasikan dalam bentuk hukum dan peraturan sebagai dasar legal dan politik untuk memerintah dan mengatur masyarakat dengan seadil-adilnya. Permasalahan utama dari paham ini, ialah bahwa sifat universal dari HAM hanya dapat dicapai apabila hal tersebut disepakati oleh seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia. Kenyataannya, perbedaan latar budaya dan historis menjadi penghalang besar dalam perumusanHAMyangdisetujuiolehsemuapihak.
Adapun untuk kedua pahamlainnya,yaitupahamprotesdandiskursus,tidakakan banyak memengaruhi pendefinisian konsep HAM yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini karena pendefinisian di atas mengambil banyak dari paham naturalis dan paham deliberatif. Untuk paham protes sendiri, mereka berpendapat bahwa HAM merupakan suatu yang berasal dari tradisi perjuangan sosial dan merupakan sesuatu yang diperjuangkan. Paham protes tidak memercayai hukum dan peraturan yang ditetapkan, sebab menurut pandangan mereka, hukum dan peraturan cenderung menguntungkan bagi sebagian kecil orang, sehingga melenceng dari hakikat HAM yang sesungguhnya. Paham diskursus, di sisi lain memandang HAM sebagai sesuatu
yang ada hanya karena HAM diutarakan oleh manusia, tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah saranayangberpotensidigunakanuntukmenyampaikanklaim-klaim politikatasnamakemanusiaandanmoralitas,yangkebenarannyatentudisangsikan.
Terlepas dari paham-paham tersebut, dalam konteks Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa negara ini menganut pemahaman yang cenderung pada paham naturalis. Adapun HAM di Indonesia sendiri memiliki dasar kerangka hukum yaitu Pasal 28A-28J UUD 1945. Hak-hak yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut meliputi: (1) hak untuk hidup sertamempertahankanhidupdankehidupannya;(2)hak membentuk keluarga; (3) hak atas kelangsungan hidup;(4)hakmengembangkandiri; (5) hakuntukmemajukandiri;(6)tentanghakpengakuan,perlindungandankepastian hukum; (7) hak untuk bekerja; (8) hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; (9) hak atas status kewarganegaraan; (10) hak untuk memeluk agama; (11) hak meyakini kepercayaan dan menyatakan pikiran; (12) hak kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat; (13) hak berkomunikasi dan memperoleh informasi; (14) hak perlindungan diri, keluarga, martabat, dan harga benda; (15) hak untuk bebas daripenyiksaan,danmemperolehsuakapolitik;(16)hak untukhidupsejahtera;(17)hakuntukmendapatkankemudahan;(18)hakatasjaminan sosial; (19) hak untuk memiliki hak milik pribadi; (20) hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dst.; (21) hak atas kebebasan dari perlakuan diskriminatif;dan(22)hak atas identitas budaya dan masyarakat tradisional. Selanjutnya, sebagai tindak lanjut dariupayapenegakandanperlindunganHAMsebagaimanaditekankanpadaPasal28I ayat(5),dibuatlahUUNomor39Tahun1999tentangHakAsasiManusia.
3.1. AnalisisPendidikandiPapuadalamKonteksHakAsasiManusia Pendidikan merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia. Dalampasal26 Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia,dijelaskanbahwasetiaporangberhak atas pendidikan dan bahwa “...pendidikan haruslah ditujukan untuk perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar”. Melalui pernyataan tersebut, terdapat perbedaan mendasar berkenaanpendidikandalamsudutpandangHAM.Poin yang pertama adalah bahwa pendidikan itu sendiri merupakan hak yang harus dipenuhi, dan poin yang kedua adalah bahwa pendidikan yang dilaksanakan sepatutnya ditujukan untuk pengembangan pribadi dan penghargaan terhadap HAM itusendiri.
Jika merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2003 yang sudah disebutkan sebelumnya, penyediaan pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia.Jaminanpenyediaanpendidikaninitidaklaindantidakbukanadalahuntuk mewujudkan pengembangan potensi diri yangdiperlukandirinyasendiri,masyarakat, bangsa dan negara. Di samping itu, pendidikan merupakan sarana penting dalam menyadarkan manusia akan hak-hak yang dimilikinya. Pendidikan juga dipandang sebagaihakpemberdayaan,yangsepatutnyamampumembuatmasyarakat(khususnya
kelompok-kelompok marjinal) untuk turut berpartisipasi secara penuh dalam kehidupanbermasyarakat(Emmert,2010).
Pemenuhan hak atas pendidikan dapat ditinjau melalui “4-A-Scheme”, yang meliputi (1) availability, menekankan ketersediaan jumlah sekolah beserta tenaga pendidik yang mencukupi; (2) accessibility, menekankan pada keterjangkauan pendidikan; (3) acceptability, menekankan pada aspekkegiatanpengajaranitusendiri yang diharapkan mampu membantu peserta didik dalam proses pengembangan diri; dan (4) adaptability, menekankan pada kemampuan penyesuaian pendidikan dalam konteksmasyarakatyangsenantiasaberubah-ubah.

Gambar 1. Diagram 4-A Scheme, Tomasevski
Poinyangkeduamengenaipendidikandalamkontekspengembangandiridan penghargaanHAMmerujukpadabagaimanapendidikandapatmembantumanusia dalammenyadaridanmemahamikonsepHAMitusendiri,denganharapanbahwa denganbertambahnyakesadaran,makaisu-isuyangberkaitandenganHAMdapat lebihmudahdimengertidansetiaporangakanmampumempertahankanhaknya masing-masing.
Meskipun pendidikan dalam sudut pandang HAM memiliki dua poin penekanan yang berbeda sebagaimana telah dijelaskan di atas, keduanya saling terkaitsatusama lain dan idealnya berjalan beriringan. Akan tetapi, masalah-masalah yang dihadapi dalam pemenuhan hak pendidikan seringkali jatuh pada poin pertama, yakni tentang pemenuhan/penyediaan hak pendidikan itu sendiri. Misalnya, ketimpangan mutu pendidikan antara institusi negeri dan swasta, atau bahkan ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang layak. Birokrasi khususnya dalam lingkup pemerintahan juga bisa berpotensi menjadi tantangan dalam pemenuhanhakpendidikan.Karenapendidikanumumnyadiaturdan diawasi oleh negara, maka masyarakat pada praktiknya menggantungkan masa depannya pada bagaimana negara mengatur sistem pendidikan yang berlaku. Maka dari itu, penyusunan kerangka sistem pendidikan yang baik, serta komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan bagi seluruh warga negaranya menjadi langkahterpentingdalamupayapemenuhanhakpendidikan.
Dalam dunia pendidikan, Papua ataupun Papua Barat masih berada di posisi daerah dengan kualitas pendidikan terendah di Indonesia. Data BPS menyebutkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2010-2015 dari Papua (57,25) dan PapuaBarat (61,73) memiliki nilai terendah dibandingkan provinsi di Indonesia. Indeks ini mengukur pencapaian rata-rata warga dalam hal pembangunan manusia seperti tingkat kesehatan, harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup. Kondisi nyata pendidikan di Papua yang memprihatinkan masih menjadi masalah utama yang disorot dalam usaha pembangunan daerah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh change.org dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 2017 mengenai permasalahan di Papua, didapatkan bahwa responden menyatakanrendahnyakualitas pendidikanmenempatiposisitertinggidiantarapermasalahanlain. Rendahnya kualitas pendidikan di Papua salah satunya dapat tercermin dari belum adanya satupun perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terakreditasi A oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Selain itu, data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka. Bahkan di pedalaman sekitar 50% siswa SD dan 73% siswa SMP memilih untuk putus sekolah. Sedangkan angka buta huruf (tunaaksara) menempati peringkat tertinggi di provinsi di Indonesia yaitu sebesar 28,61%.
Hambatan yang dihadapi dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan di Papua secara garis besar dapat dituliskan yaitu terbatasnya akses pendidikan. Berdasarkan hasil Kajian Cepat ILO-EAST, sebanyak 70% anak-anak Papua harus menempuh jarak jauh ke sekolah sementara 8% menyatakan tidak ada sekolah yang dapat diakses oleh mereka dimanapun. Jumlah sekolah yang masih sangat minim disertai dengan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang tidak memadai menjadi faktor utama banyaknya angka putus sekolah di Papua. Setiap harinya anak-anak harus pergi dengan berjalan kaki ataupun menempuh jarakyangmemakan waktuhingga2jamuntuktibadisekolah.
Selain itu, ketersediaan sarana-prasarana dan infrastruktur yang layak masih sangat kurang untuk menunjang pembelajaran di sekolah. Fasilitas gedung sekolah masih sangat sedikit dan belum mampu disediakan oleh setiap sekolah terutama di daerah terpencil. Kondisi bangunan seadanya dengan plafon yang rusak, lantai kelas yang hanya ditimbun, serta kursi dan meja dari kayu bekas masih banyak dijumpai salah satunya di daerah Kabupaten Mimika. Hampir 80 persen kondisi gedung SDdi kabupaten tersebut dalam kondisi yang memprihatinkan. Buruknya fasilitas pendidikan di Papua juga dapat diperlihatkan dari data 7.628 ruang kelas yang rusak pada tingkat SD, 2.246 di tingkat SMP, dan 1.158 di tingkat SMA. Hal ini tentu menjadi kondisi yang perlu diperhatikan untuk memastikan kelayakan fasilitas sekolah sebagai lembaga pendidikan formal untuk melangsungkan proses pembelajaran.
Rendahnyakemampuanuntukmemenuhibiaya-biayasekolahyangdiperlukan untuk mengakses pendidikan menjadi hambatan lain yangdihadapiolehanak-anakdi Papua. Meskipun skema Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapatmenutupihingga 70 persen biaya siswa untuk pendidikan dasar(SDdanSMP),masihbanyakkeluarga
miskin yang belum mampu mencukupi biaya sekolah sepenuhnya. Hal ini menjadi salah satu faktor utama banyaknya jumlah anak putus sekolah dan jumlah pekerja anak. Anak-anak asli Papua dari daerah terpencil yang pindah ke kota besar untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih baik memutuskan menjadi pekerja anak agar dapat membiayai sekolah mereka. Biaya sekolah yang masih sulit dijangkau ini menyebabkan kecenderungan keluarga di Papua untuk memilih mengalokasikan waktuanak-anakmerekapadapekerjaandibandingkanpendidikan. Kondisi tenaga pengajar menjadi faktor lain yang memegang peran cukup penting dalam pembangunan pendidikan di Papua. Guru dengan kompetensi yang baik serta pengetahuan yang cakap diperlukan dan merupakan salah satu indikator kualitas pendidikan yang baik. Sayangnya ketersediaan guru di Papua yang masih kurang dan tidak seimbang menjadi masalah yangserius.MisalnyasajadiKabupaten Jayapura, menurut Badan Pusat StatistikKabupatenJayapuramendatajumlahgurudi sekolah dasar hanya sebanyak 831 orang sementara jumlah siswa mencapai 19.418 orang. Kurangnya jumlah guru ini menjadi kesulitan tertentu karena untuk merekrut guru honorer perlu biaya tambahan sehingga menjadi hambatan baru dengan pertimbangandanasekolahyangada.
Dari segi kualitas, kompetensi dan kualitas tenaga pengajar di Papua juga dinilai masih rendah. Hal ini tergambar dari banyaknya guru yang malas bertugas di daerah pedalaman dengan berbagai alasan. Tingkat ketidakhadiran guru dalam kelas di provinsi Papua mencapai 82persen.Sementaraitu,kompetensigurudiPapuayang masih kurang diantaranya adalah masih menggunakan paradigma pendidikan lama, lemahnya penguasaan bahan ajaran, ketidaksesuaian bidang studi yang dipelajari dan yang diajarkan, lemahnya motivasi dan dedikasi sebagai pendidik, serta kurangnya kematangan mutu emosional. Selain itu, Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik)DinasPendidikandanKebudayaan2014,diprovinsiPapuaterdapat14.629 guru yang tidak layak karena masih berijazah Sekolah Pendidikan Guru (yang sudah ditutup pada era 1990-an) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) serta sederajat. Jika dipresentasikan,ada60-68persenguruyangbutuhpendidikantambahan. Program Otonomi Khusus (Otsus) Papua mengalokasikan anggaran tertinggi di bidang pendidikan sebagai bentuk pembangunan daerah melalui peningkatan kualitas pendidikan. Namun, besarnya aliran dana Otsus ke papua belum diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan, infrastruktur, ekonomi, dan kesehatan. Di dalampelaksanaannya,Otsusdianggapmasihbutuhbanyakperbaikandanpeninjauan ulang. Menurut M Sanusi, DPD Dapil Papua Barat, diperlukan evaluasi terhadap Otsuskarenatarget20persendanaOtsusuntukpendidikanmasihbelumtercapai. Pembahasan sebelumnya telah menjelaskan tentang pendidikan dalam sudut pandang hak asasi manusia serta keadaan pendidikan di Papua. Kedua pembahasan tersebut menunjukkan kondisi ideal dan eksisting. Pendidikan dalam sudut pandang hak asasi manusia sebagai kondisi ideal dan keadaan pendidikan di Papua sebagai kondisi eksisting. Selanjutnya, kedua penjelasan tersebut akan dianalisis sehingga ditemukan gap permasalahan antara yang seharusnya terjadi (kondisi ideal) dan sebenarnyaterjadi(eksisting).
Konsep “4-A-Scheme” : availability, access, acceptability, dan adaptability yang telah dijelaskan sebelumnya,dapatdijadikanindikatoruntukmelakukananalisis gap. Indikator pertama, Availability, mensyaratkan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang mencukupi. Sarana dan prasarana ini termasuk sekolah, tenaga pendidikan, dan kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan ketersediaan kebutuhan penunjang pendidikan. KondisidiPapuaterkaitdengan availability antaralain,belum adanya perguruan tinggi negeri maupun swasta yang terakreditasi A oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), jumlah sekolah masih sangat minim, 7.628 ruang kelas rusak, ketersediaan guru yang masih kurang, serta tingkat ketidakhadirangurudalamkelasyangmencapai82persen.Inimenunjukkanindikator tersebutbelumterpenuhisecaramaksimal. Indikator kedua, accessibility, berkaitan dengan keterjangkauan terhadap pendidikan. Keterjangkauan ini tidak hanya mempertimbangkan aspek fisik (jarak, transportasi, dll), tapi juga aspek non-fisik (biaya, dll). Kondisi pendidikan di Papua berdasarkan indikator accessibility, antara lain sebanyak 70% anak-anak Papuaharus menempuh jarak jauh ke sekolah dan 8% menyatakan tidak ada sekolah yang dapat diakses oleh mereka dimanapun, masih banyak keluarga miskin yang belum mampu mencukupi biaya sekolah sepenuhnya, serta ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang tidak memadai. Kondisi ini menyebabkan banyak anak-anak di Papuayangputussekolah.
Indikator ketiga, acceptability, berkaitan dengan kualitas pendidikan itu sendiri.Indikatorinijugamencerminkankualitasguruitusendiri.Kualitaspendidikan yang baik mengakibatkan tingkat acceptability atau keberterimaan peserta didik juga tinggi. Kondisi pendidikan di Papua berdasarkan indikator acceptability, antara lain kompetensi dan kualitas tenaga pengajar dinilai masih rendah, masih menggunakan paradigma pendidikan lama, lemah dalam penguasaan bahan ajaran, terdapat ketidaksesuaian bidang studi yang dipelajari dan yang diajarkan, lemahnya motivasi dan dedikasi sebagai pendidik, serta kurangnya kematangan mutu emosional. Tentunya temuan ini tidak mengindikasikan semua pendidik memiliki kualitas tersebut, namun temuan ini hanyamenunjukkanmasihrendahnyakualitaspendidikan diPapua. Indikator keempat, adaptability, berkaitan dengan kesesuaian antara sistem pendidikan dan kearifanlokaldiPapua.Yangdimaksudkesesuaiansistempendidikan termasuk kurikulum, pengajar, dan lainnya. Papua merupakan daerah yang memiliki kearifan lokal yang tinggi. Nilai-nilai ini harus dipertahankan dan dijaga tidak hanya melalui mekanisme informal seperti keluarga dan lingkungan, tetapi juga formal seperti sekolah. Saat ini, stakeholder dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah menunjukkan kepedulian yang sama. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, telah berkomitmen untuk memajukan kebudayaan karena kemajemukan adat dan budaya merupakan kekayaanterbesardiIndonesia.Salahsatu implementasinya adalah dengan pelajaran bahasa adat di satuan pendidikan.Anggota komisi bidang pendidikan, kesehatan, seni dan budaya DPR Papua, Ignasius W Mimin juga mengatakan, kearifan lokal perlu diakomodir dalam kurikulum
pendidikan di kabupaten (kota), sebagai salah satu upaya melestarikan seni (budaya) sukuyangadadiPapua.
4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, kesimpulan makalah ini akan menjawab rumusan masalah, antaralain:
1. Pendidikan dalam sudut pandang hak asasi manusia dijelaskan pada Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia pasal 26, UU Nomor 20 Tahun 2003,dankonsep 4-A-Scheme
2. Pendidikan di Papua masih tergolong tertinggal. Hal ini dijelaskan dari berbagai kekurangan dalam hal sarana prasarana, pendidikan,danaspekpenunjangpendidikan lainnya.
3. Berdasarkan konsep 4-A-Scheme, pada indikator availability, access, dan acceptability belum terpenuhi. Sementara pada indikator adaptability telah terbentuk komitmendankesadaranolehpemerintah.
4.2. Saran
Dari pembahasan sebelumnya, saran kami terhadap pendidikan di Papua adalah sebagaiberikut:
1. Pemerintah melakukan optimalisasi ketersediaan fasilitas pendidikan di Papua (availability).
2. Pemerintah meningkatkan akses pendidikan di Papua pada aspek fisik maupun non-fisik(access)
3. Pemerintah membuat program untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Papua (acceptability)
4. Pemerintah mengimplementasikan komitmennya terhadap penyesuaian sistem pendidikanPapuadankearifanlokal(adaptability)
KOMPASIANA.2021. Pendidikan untuk HAM.[online]Available at: <https://wwwkompasianacom/>[Accessed9February2021]
Indriyani,D.,2017.HakAsasiManusiadalamMemperolehPendidikan. Jurnal Pendidikan Politik, Hukum Dan Kewarganegaraan, [online] 7(1), p12 Available at: <https://jurnalunsuracid/jpphk/article/view/392/295>[Accessed9February2021]
Media,K.,2020. Kurang Guru dan Buku, Ini Saran untuk Tingkatkan Pendidikan di Papua Halaman all - Kompas com [online] KOMPAScom Available at: <https://edukasikompascom/read/2020/01/29/14110511/kurang-guru-dan-buku-ini-saran-unt uk-tingkatkan-pendidikan-di-papua?page=all>[Accessed9February2021].
Batamnews.co.id.2020. 6 Provinsi Tertinggi Angka Buta Aksara di RI, Papua Urutan Pertama. [online] Available at: <https://www.batamnews.co.id/berita-66912-6-provinsi-tertinggi-angka-buta-aksara-d i-ri-papua-urutan-pertama>[Accessed9February2021].
Al-jawi,O.M.S.(2012).PENDIDIKANDIINDONESIA:MASALAHDAN SOLUSINYA,(May2006).
Munirah.(2015).SISTEMPENDIDIKANDIINDONESIA:antarakeinginandanrealita. SistemPendidikanDiIndonesia,02(36),233–245
Undang-undangRepublikIndonesiaNo.20Tahun2003 Sistem Pendidikan Nasional. 8Juli 2003.LembaranNegaraRepublikIndonesiaTahun2003Nomor4301.Jakarta. KantorKomisarisTinggiPBBuntukHakAsasiManusia.TanpaTahun. Universal Declaration of Human Rights. [online]Availableat: <https://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/UDHR_Translations/eng.pdf>
KantorKomisarisTinggiPBBuntukHakAsasiManusia.TanpaTahun. What are human rights?.[online]Availableat: <https://www.ohchr.org/en/issues/pages/whatarehumanrights.aspx>
Dembour,Marie-Benedicte.2010. What are Human Rights? Four Schools of Thought. HumanRightsQuarterly,32(1),1-20
Rathore,AakashSinghdanCistelecan,Alex(Ed.).2011. Wronging Rights? Philosophical
Challenges for Human Rights. NewDelhi,India:Routledge
Emmert,Simone.2010. Education in Terms of Human Rights. InternationalConferenceon EducationandEducationalPsychology(ICEEPSY2010)
PemerintahIndonesia.2006. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen ke-4). Lembaran Negara RI Tahun 2006, No. 14. Sekretariat Negara. Jakarta.
Bona,MariaFatima.2015. Penyebab Angka Ketidakhadiran Guru di Papua Capai 82% [online] Available at: <https://www.beritasatu.com/archive/296925/penyebab-angka-ketidakhadiran-guru-di -papua-capai-82>
KabarPapua.co.2019. Kabupaten Jayapura Masih Kekurangan Tenaga Guru.[online] Availableat: <https://kabarpapua.co/kabupaten-jayapura-masih-kekurangan-tenaga-guru/>
Putra,MuhammadAndika.2017. SUrvei LIPI: Kualitas Pendidikan Masalah Utama Papua. [online] Available at: <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171214205030-20-262499/survei-lipi-ku alitas-pendidikan-masalah-utama-papua>