Negeri asap

Page 1



Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

NEGERI ASAP Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Negeri Asap (Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014) Editor: MUHAMMAD AMIN FEDLI AZIS Perancang Sampul: DESRIMAN ZAHMI Perancang Isi: SUPRI ISMADI DITERBITKAN PERTAMA KALI OLEH: Yayasan Sagang Pekanbaru Gedung Riau Pos, Jl. Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru, Riau Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan tanpa izin dari penulis. KEPUSTAKAAN NASIONAL: Katalog dalam Terbitan (KTD) Negeri Asap, Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Pekanbaru, Yayasan Sagang, 2014 ISBN : 978-602-1366-34-9 Cetakan Pertama, Oktober 2014


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

KATA PENGANTAR CERITA pendek (cerpen), novel atau jenis fiksi lainnya biasanya tak bisa lepas dari kehidupan nyata para penulisnya. Sedikit atau banyak, pengetahuan dan pengalaman para penulis akan menuntunnya untuk menulis dan melahirkan karya dengan latar belakang kehidupan nyata itu. Kendati imajinasi penulis selalu bisa melampaui kenyataan yang ada, dengan misalnya melebih-lebihkan tulisannya, menggunakan diksi menarik, metafora, personifikasi, dan lainnya, awal dari penulisan itu tetap dari sesuatu yang nyata, sesuatu yang hidup. Kadang pengalaman nyata itu berasal dari diri sendiri, tapi bisa juga dari orang lain, atau sekadar bacaan-bacaan. Cerpen-cerpen yang hadir di Riau Pos selama setahun ini, sejak Januari hingga Oktober 2014 ini, tentunya juga tak lepas dari berbagai konteks nyata itu. Sebagian cerpen-cerpen itu begitu “hidup� dan menjadi bagian dari kehidupan yang dipoles menjadi sebuah cerita yang menarik dan unik. Ada 17 cerpen pilihan yang kami kumpulkan dalam buku ini. Sebagiannya, bisa dikatakan merupakan modifikasi imajinasi dari para penulisnya, yang akhirnya berbuah cerita pendek. Kali ini kami mengambil judul Negeri Asap untuk buku kumpulan cerpen Riau Pos 2014 ini. Judul ini terinspirasi dari salah satu cerpen dalam buku kumpulan cerpen ini yang

i


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 berjudul “Kampung Asap� karya Zulhelmi Amran. Cerpen “Kampung Asap� ini bercerita tentang aktivitas klenik di sebuah kampung antah berantah. Tuk Bomo, sang dukun, adalah orang sakti yang diyakini penduduk kampung dapat menyembuhkan semua penyakit. Kampung itu tak perlu dokter atau mantri, karena semua penyakit, baik lahir maupun batin, gangguan setan dan jembalang, dapat diatasi Tuk Bomo. Asap dupa dan kemenyan adalah andalan Tuk Bomo. Dari rumahnya selalu keluar asap yang bergumpalgumpal, berbau tajam yang menyebar ke pelosok kampung. Tandanya ia sedang merapal mantra, entah pagi, siang, petang, atau malam. Sepanjang waktu. Lelaki ini memiliki anak yang bernama Ipah, dan kemudian disunting lelaki yang pernah disebut sebagai ustad, bernama Midan. Kendati pernah menjadi ustad, Midan bukannya bisa mendakwahi Tuk Bomo. Malah dia yang ikut-ikutan menjadi asisten Tuk Bomo. Suatu ketika Ipah melahirkan bayi perempuan. Bayi yang cantik. Tapi kesehatan sang bayi tiba-tiba menurun karena sesak napas. Midan, yang pernah mendengar dari mantri dari kampung lain tentang asap yang bisa menyesakkan napas langsung berpikir bahwa asap dari dupa dan kemenyan Tuk Bomo adalah penyebab sesak napas putrinya. Dia pun membuang semua dupa dan kemenyan Tuk Bomo. Tapi sesak napas sang putri tak juga hilang. Bahkan ia pun menghembuskan napas terakhir. Mengetahui cucunya wafat dan semua perkakas kerjanya sudah dibuang, Tuk Bomo murka. Dia menuding, kematian itu akibat asap yang terputus. Warga pun meyakini apa yang diucapkan Tuk Bomo dan beramai-ramai menyalahkan Midan. Kisah dalam cerpen ini merupakan percikan dari bagian kehidupan masyarakat kita, yang kendati sudah modern, ternyata masih meyakini klenik. Hampir semua sisi kehidupan kita saat ini dihiasi fenomena klenik. Fenomena

ii


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 terbaru adalah soal batu cincin, yang dewasa ini begitu booming. Dalam kenyataannya, batu cincin tak hanya dipakai untuk asesori biasa. Tak jarang ia diyakini memiliki “kekuatan” dan khasiat. Bukan sekadar khasiat kecil yang ditawarkan penjual batu cincin, misalnya sebagai pemikat atau daya tarik. Calon kepala daerah pun bisa terkena “hipnotis” khasiat batu cincin, dan mampu merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah untuk satu batu. Cerpen “Kampung Asap” juga menjadi inspirasi untuk judul buku ini karena fenomena asap sepanjang tahun 2014 ini termasuk yang paling berat. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono sampai turun ke Riau untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di awal tahun ini, selama kurang lebih sebulan. Bandara sempat tutup, penerbangan dibatalkan, sekolah-sekolah diliburkan, pintu dan jendela rumah serta kantor ditutup rapat akibat asap. Maka dalam beberapa waktu, Riau adalah negeri asap. Inilah yang kemudian dijadikan judul untuk buku ini, Negeri Asap. “Kampung Asap” merupakan cerpen yang cukup menarik. Tapi cerpen ini tentunya bukan merupakan cerpen terbaik dari yang ditampilkan dalam buku kumpulan cerpen ini. Masih ada sederet cerpen lain yang sangat menarik, yang ditulis para sastrawan berpengalaman, seperti “Rumah di Ujung Kampung” karya Hang Kafrawi, “Kematian Udin Sitol, dan Sahak Harahap” karya Syafruddin Saleh Sai Gergaji atau “Suara 10” karya Taufik Ikram Jamil. Selain itu, nama lama yang bisa dikatakan rutin mengisi rubrik Kembayat di kompartemen Ranggi Riau Pos Ahad juga kembali muncul, misalnya Isbedy Stiawan ZS dari Lampung. Selain itu, ada Cikie Wahab, Riki Utomi, M Badri, Dessy Wahyuni, Nasrulloh Habibi, Novri Kumbara, Jumadi Zanu Rois, Rian Harahap, Azwar R Syafrudin, Dafriansyah Putra, Adi Zamzam, dan Relly A Vinata.

iii


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Diterbitkannya buku kumpulan cerpen Riau Pos 2014 merupakan bentuk komitmen Riau Pos dalam kebudayaan. Bagaimanapun, kebudayaan, sastra dan seni adalah bentuk kreasi yang tak bisa hanya dalam gagasan. Ia memerlukan wadah, dan Riau Pos menyediakan wadah berkreasi dan mencipta karya itu dengan ruang yang sangat luas. Setelah terbit di koran di dalam halaman Kembayat di kompartemen Ranggi, kini saatnya sebagian cerita-cerita itu dibukukan agar karya-karya itu bisa lebih “langgeng.�***

iv


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

DAFTAR ISI Kata Pengantar ......................................................... _i Daftar Isi ................................................................. _v - Kampung Asap ...................................................... _1 Zulhelmi Amran - Rumah di Ujung Kampung .................................. _9 Hang Kafrawi - Ke Pawahang Kita Bermalam .............................._15 Isbedy Stiawan ZS - Musim Bidadari Musim Pelangi (1) .................................... _29 Cikie Wahab - Senjata Rahasia .................................................. _35 Riki Utomi - Hantu Penunggu Pohon ..................................... _49 M Badri - Gadis Penunggu Hujan ....................................... _57 Dessy Wahyuni - Lelaki Terakhir ................................................... _65 Nasrulloh Habibi - Kematian Udin Sitol, dan Sahak Harahap ......... _73 Syafruddin Saleh Sai gergaji - Suara 10 .............................................................. _87 Taufik Ikram Jamil

v


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 - Keluh Kesah ........................................................ _95 Novri Kumbara - Pulau Anjing ..................................................... _103 Jumadi Zanu Rois - Opung ................................................................. _111 Rian Harahap - Kematian Kedua ................................................ _117 Azwar R. Syafrudin - Batu Sebesar Bumi ........................................... _125 Dafriansyah Putra - Sujaran .............................................................. _135 Adi Zamzam - Senja Bersama Siti Nurbaya ............................. _143 Relly A Vinata

vi


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

NEGERI ASAP Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Kampung Asap CERPEN ZULHELMI AMRAN

AKU ceritakan pada suatu jeda, dan aku alirkan pada suatu ketika. Bayangkan ketika rahmat terbuat laknat, dan laknat tidaklah nikmat. Kampung ini tidaklah ternama, bahkan peta tidak sekali pun kenal dengannya. Jangankan itu, penduduknya saja sering ragu menyebut nama kampung ini. Jangan heran, karena petuah kampung selalu menyatu dengan kemenyan. Midan tahun dulu adalah seorang ustad. Walaupun cuma tamat setara Sekolah Rakyat, tetap saja mimbar Jumat adalah tempat baktinya untuk umat dan Tuhan pada setiap hari Jumat. Mengalirkan ayat-ayat dari kitab tebal bukan menjadi penghambat karena dulu sempat tamat belajar Alquran. Khutbahnya selalu disambut rapi oleh orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu mahir menjadi pendengar. Tidak pula terang hati menerima setiap ucapan baik agar kelak di akhirat laksana petani memanen padi, tentu padi terbaik adalah dari perawatan terbaik pula. Ipah adalah istri Midan. Dia adalah anak gadis Tuk Bomo yang terkenal dari tengah kampung. Tidak ada yang ragu, memang bapaknya paling dikenal di kampung ini, bahkan

1


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 dari seorang pimpinan kampung sekalipun. Dari jarak ratusan meter rumahnya, dia juga paling dikenal, bahkan paling sering dipandang oleh orang kampung yang berlalulalang. Asap-asap menjadi pembeda di antara rumah-rumah penduduk yang lain, mengepul bak pabrik karet di semenanjung kampung. Ipah dipersunting Midan setahun silam. Bagi Midan, tidak mudah untuk mengucapkan ijab kabul. Bukan karena tidak hafal ataupun gugup, melainkan karena aturan. Midan harus terlebih dahulu melalui ritual hembus sana hembus sini, kibas dan kipas, komat dan kamit jampi sejagat dengan melumat sirih dan kapur. Harus begitu. Jika tidak, siap-siap sakit menahun menimpa salah satu mempelai. Setan dan jembalang akan menjadi ancaman pernikahan. Bercerai dan kematian tidak lain itulah akibatnya. Itulah menurut Tuk Bomo yang handal ini. Ipah kini tengah hamil bulan kesembilan. Artinya tinggal menunggu hitung-hitungan dengan badan dan Tuhan. Ini adalah anak pertama mereka. Tentu tidak sama perlakuannya jika saja Ipah melahirkan anak yang kedua nantinya. Anak yang pertama adalah raja jika laki-laki, sedangkan perempuan dianggap ratu. Jika anak pertama meninggal, maka itu akan menjadi sial kepada anak-anak berikutnya. Jika selamat, maka selamat pula dari kesialan. Tuk Bomo sudah menyediakan segala benda yang dianggap bermanfaat untuk mengamankan cucunya itu dari roh jahat, orang jahat hingga binatang jahat. Midan tidak lagi seperti dulu. Dia mulai pandai menata kemenyan, asap-asap tebal mengepul seperti yang diharapkan. Sekali-kali mulutnya latah mengucap mantra. Tuk Bomo sekaligus mertuanya mengatakan dengan jelas, “Dalam diri kau ada energi gaib yang besar. Bapak yakin ini adalah tanda turun-temurun dari almarhum Bapak kau.

2


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Kau tinggal mengasahkan apa yang kau miliki ini sedikit saja, tidak banyak. Bapak akan bantu, siap-siap jadi orang hebat, dan anak kau akan selamat sampai besar,� tuturnya rapi dan meyakinkan sambil meratap air bening bercampur limau dalam mangkuk, lalu gerak mulutnya seperti ada ucapan yang keluar deras, namun berbisik. *** Dari mulut ke mulut, orang kampung heboh dengan wafatnya Penghulu kampung yang tanpa sebab. Sebelumnya tidak pernah ada kabar Penghulu sedang sakit atau pun bermandi limau di sumur keramat, sebagai ritual membuang penyakit. Mendengar ini siapapun akan merinding, karena beberapa hari yang lalu juga ada yang meninggal karena batuk darah, dan seminggu sebelumnya lagi seorang nelayan diterkam buaya sungai. Entah giliran siapa dalam waktu dekat ini! Hiruk pikuk penduduk secepat kilat ditanggap Tuk Bomo. Dengan ilmu batin yang sakti, dia memberitahu bahwa jin jahat sedang mengacau kampung ini. Dia juga mengimbau setiap orang membawa peralatan untuk membuat kapal ancak, besok pada hitungan hari ke lima belas dalam bulan ini. Dalam sehari kapal ancak siap dibuat, sekaligus dengan sesajen-sesajen yang dialamatkan kepada jin pengacau, untuk mereka makan kenyang supaya tidak datang lagi ke kampung ini. Makanan yang pantang untuk dijamah manusia itu diletakkan di dalam kapal ancak bersama dengan aroma asap kemenyan yang semerbak. Pelepah-pelepah dan bunga kelapa disusun di depan haluan sebagai penanda kapal ancak siap untuk dijampi. Malam itu Tuk Bomo turun dari rumah bak kesurupan, silat dan belalak matanya menancap kapal pelepah rumbia itu dengan tajam. Bunga kelapa dikunyah dan dihempas-

3


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 hempas ke tanah, air seribu bunga diminum dan sebagiannya dihembus-hembus pada setiap sisi kapal. Sergah lantang Tuk Bomo sangat jelas, menghalau setan dan mengharamkannya datang kembali. Orang-orang yang melihat seperti ikut kesurupan. Mereka juga lantang bersuara menghalau setan jahat pengganggu kampung. Kampung ini berubah seperti arena adu mulut, pekik sambut-menyambut. Namun, Tidak bagi anak-anak, hiruk-pikuk yang sedang berlangsung ini merupakan ancaman, tangisan adalah suara mereka. Asap-asap semakin mengepul ditabur kemenyan. Giliran Midan si bomo pendatang baru yang seakan paham betul dengan apa yang harus dilakukan. Dia bertelanjang dada dan merangkak di bawah kapal. Tujuannya supaya sial melekat dan hanyut bersama kapal ancak. Kemudian dia mengatur kaki untuk memperagakan beberapa gerak yang menawan, silat silang yang ia pelajari dari kampung seberang yang menunjukkan betapa jantannya dia. Penduduk yang menyaksikan mulai menghentakkan kaki ke bumi, seperti orang kesurupan massal. Dengan sekejap orang-orang ramai mengikutinya tanpa harus tahu dengan maksud tujuan itu, kini semuanya ramai dengan silat alakadarnya. Pekik belum boleh berhenti hingga berjumpa dengan pekik ayam di waktu subuh. Paginya kapal ancak diarak keliling kampung guna mengusir setan pengacau, membuang segala jenis sial dan mencabut penyakit-penyakit. Hampir seluruh penduduk kampung ikut dalam salah satu bagian dari ritual ini. Midan sepertinya sedang naik daun. Ilmu kebatinannya sedang diasah oleh Tuk Bomo. Dengan kepala berikat kain kuning, badannya dilapis pakaian serba hitam, di pinggangnya tergantung bermacam-macam benda seperti jimat, Midan tampil memimpin perjalanan kapal keliling kampung. Mantra meluncur deras dari mulut Tuk Bomo yang kini di baris paling belakang. Seringkali dia seperti penguasa ulung.

4


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Mencaci dan menghardik setan tampak sudah mencandu pada mulutnya. Setelah berjalan sekian lama mengelilingi kampung, akhirnya rombongan kapal ancak ini tiba di pengujung jalan, yakni sungai yang berarus surut deras. Tuk Bomo segera mengambil kendali ritual dari Midan. Asap-asap dibuat mengepul. Tiga wadah yang ditabur kemenyan cukup membuat udara berkabut di sekitar jembatan singgah nelayan kampung. Orang-orang di sekitar kini terpaku diam tanpa kata. Ritual ini bagian yang paling sakral. Mereka hikmat menonton aksi panggung Tuk Bomo. Setelah ritual terakhir dilakukan, kapal pun segera dihanyut. Kapal bersama air yang deras meninggalkan jembatan dengan lincah. Orang-orang serentak menunduk sejenak menghadap kapal ancak yang dilepas. Menurut Tuk Bomo, tidak ada penghormatan terbaik selain pelepasan kapal ancak ini. Begitulah mereka menyakralkan ritual ini. Tidak lama berselang, satu persatu mereka pulang melangkah meninggalkan pelabuhan dengan lega, tidak satu pun dari mereka yang ragu dengan ritual Tuk Bomo. *** Dini hari itu hujan dan berpetir, serta ada badai kecilkecilan yang menyingkap atap daun rumah. Walaupun kecil, bagi Midan ini adalah tsunami terdahsyat yang pernah ada. Siapapun akan panik dalam kondisi seperti ini. Dia sudah berkali-kali naik turun tangga rumah menyelesaikan apapun titah yang dikabari kepadanya, walau itu hanya sekadar membeli garam dapur. Sakit perut Ipah semakin menjadijadi. Jeritnya sejadi dengan dentuman badai yang merambat rapat. Tuk Bomo sudah dari tadi bertuam dengan ritual, jampi-jampi dan hembus sembur terlihat sekali-kali, asapasap mengepul dalam rumah. Dia sedang memagari rumah

5


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 agar setan jahat tidak mendekat. Setelah lama menahan segala rupa sakit badan akhirnya dengan bantuan Wo Jenah –seorang bidan kampung—, seorang putri mungil lahir dengan selamat. Di mata Midan putrinya cantik sekali, walau remang pelita minyak tanah tidak menerang sempurna pada raut wajah putrinya itu. Memang tidak ada yang terindah selain putrinya untuk saat ini, ditambah lagi dengan gelar ratu yang sudah melekat dari zaman ke zaman, membuat kebahagiaannya semakin sempurna. Wo Jenah mengecup dahi putri mungil ini dengan bangga, bagi Wo Jenah yang telah menyambut ratusan bayi sebelumnya, inilah bayi yang paling ia hormati, paling disanjung. Bayi ini adalah keturunan dari pembesar kampung sekaligus yang dianggap sangat mulia, ia sangat mengagumi dan menyegani sosok Tuk Bomo. Seringkali dia berharap anaknya si Aban dapat mengikuti jejak sang penjaga kampung ini, membulatkan tekad demi keselamatan masyarakat. Hari ke hari terus berlalu, silih berganti dengan bentuk hari yang tidak selalu sama, ada pembeda di antaranya sehingga cerita semakin beragam. Dua pekan sudah usia seorang bayi yang teramat mereka sayangi ini. Bagi mereka tidak ada cerita paling indah selain menatap putri mereka untuk bermain mata manja, melihat senyum yang merona, dan gerak-gerak kecil yang kikuk. Namun, tidak banyak tentang itu, putri mereka lebih lihai untuk mengumbar tangis dan mengatup rapat-rapat mata yang menjadi pujaan. Di sana juga sudah banyak air yang mengalir di celah katupan, tidak sedikitpun manis menghias gelagatnya. Tuk Bomo sudah banyak hari tidak tidur. Tugas yang satu ini harus dia sendiri yang turun tangan untuk mengamankan rumah mereka dari segala gangguan setan. Asapasap mengepul dari segala penjuru rumah papan itu. Limau

6


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 seringkali dibelah dan dilempar. Sepanjang hari Tuk Bomo banyak menghabiskan waktu di ruang paling depan rumahnya dengan aroma kemenyan yang tidak mungkin terelak. Tidak akan ada satupun setan jahat yang tahan dengan asap ini, menurutnya. Putri mereka menangis seakan tanpa henti, malam dan siang sama saja. Tuk Bomo tidak tahu lagi harus bagaimana. Dia hanya mampu bertuam dengan asap, begitu pula Midan dan Ipah. Asap seperti menjadi Tuhan pemberi harapan. Kondisi Putri mereka semakin hari semakin mengkhawatirkan. Puncaknya, pada suatu ketika napas si putri tidak lagi teratur, batuk dan gangguan pernafasan berpanjangan. Midan dan Ipah panik melihat kenyataan. Tidak mereka sangka akan seperti ini. Asap benar-benar tidak bisa dipedoman. Midan mulai tidak nyaman. Dulu dia pernah paham dari kawannya, seorang mantri dari kampung sebelah, mungkin memang betul asap-asap sangat tidak sehat untuk napas. Dia menyesal tidak terlalu kuat meniadakan asap di rumah itu. Tuk Bomo dan asap kemenyannya seperti sudah menyatu di umur tuanya. Di ambang putrinya yang kritis, emosi Midan tidak bisa tertahan lagi. Matanya merah menatap asap. Dengan sekejap semua sumber asap hilang dari hadapan. Rumah itu bersih dari bau kemenyan.Tidak satupun pula perkakas Tuk Bomo terlihat. Alangkah terkejutnya Tuk Bomo ketika pulang ke rumah sehabis mencari petuah di hutan belakang rumah. Tuk Bomo bukan main marah dengan Midan. Saking marahnya, tangan Tuk Bomo sempat menampar Midan. Namun Midan tidak melawan. Dia tahu, melawan bukan yang terpenting. Pikirannya hanya terfokus pada putrinya yang sedang bertarik ulur dengan nyawa. Tidak lama kemudian, ketika Tuk Bomo sibuk mengumpulkan perkakasnya lagi. Midan dan Ipah pun

7


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 berlinang air mata menatap putrinya yang tidak lagi bernapas. Ipah kemudian pingsan, tidak sanggup melepas putri pertamanya pergi, sedangkan Midan masih menatap putrinya agak lama. Dia berharap ada keajaiban, namun Tuhan berkehendak lain. Putrinya memang pergi untuk selama-lamanya. Seantero kampung berkicau heboh. Bulu- bulu tengkuk mereka tegak ketika kabar cucu orang nomor satu di kampung ini wafat. Bagi mereka, ini petaka untuk seluruh orang kampung. Banyak juga yang beranggapan, kejadian ini tidak mungkin terjadi, mengingat ilmu batin Tuk Bomo tidak ada tandingannya. “Ini akibat dari Midan membuang perkakas Tuk Bomo, asap jadi terputus, kemudian sial akan menimpa semua orang kampung� tuduh mereka dari warung ke warung. Aku ceritakan pada suatu jeda yang aku alirkan pada suatu ketika. Mereka hingga sekarang masih bertuhan dengan kemenyan, mungkin saja sampai kiamat.*** Pekanbaru, 171013 Zulhelmi Amran, bernama asli Zulhelmi, lahir di Lukun, 14 September 1990. Saat ini, penulis sedang menyelesaikan program S1, Jurusan Sistem Informasi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Suska Riau.

8


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Rumah di Ujung Kampung CERPEN HANG KAFRAWI

SEORANG lelaki berusia 70 tahun, duduk di tangga depan rumah panggungnya yang terbuat dari papan. Cahaya pelita dari dalam rumah, membentuk cahaya garis-garis ke tanah melalui dindingnya yang jarang. Lelaki tua itu menatap tajam ke depan, memandangi gelap yang menyelimuti hutan di hadapannya. Berkali-kali tangannya bergerak ke mulut, meletakkan rokok kretek ke bibir, lalu rokok tersebut dihisap, asap pun mengepul keluar dari hidungnya. Berkali-kali ia melakukan hal itu dengan menatap tajam ke depan. Suara binatang malam terus saja meningkah perjalanan waktu. Angin yang tidak begitu kencang, menciptakan tarian daun-daun. Suara desiran yang terlahir dari sentuhan angin ke daun-daun menciptakan dingin, namun lelaki tua itu tidak merasakan kesejukan. Ia masih tetap duduk di tangga depan rumahnya. Tiada rasa ketakutan sedikit pun dari wajahnya, padahal gelap semakin tebal menyelimuti seluruh kampung. Bagi lelaki tua itu, gelap dan sunyi adalah teman. Teman yang tak pernah jemu berkunjung saban waktu ketika malam menjelma. Lelaki tua itu selalu berpikir bahwa kehendak alam adalah kehendak dirinya. Ia tidak akan pernah

9


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 mengkhianati alam, walaupun nyawa hilang dari badan. Tersebab setia kepada kehendak alamlah, lelaki tua itu rela hidup sendiri di rumah yang berada di ujung kampung ini. Dulu, sebelum perusahaan pembabat hutan datang, di kawasan rumah lelaki tua itu, ada ratusan rumah. Mereka harus rela mengungsi disebabkan himpitan ekonomi. Tanah beserta isinya, terpaksa dan dipaksa dijual ke pihak perusahaan. Pihak perusahaan dengan mengantongi izin dari pemerintah memberi ganti rugi yang tidak sepadan kepada masyarakat yang mendiami kawasan itu. Pihak perusahaan memiliki kekuatan dengan izin yang dikeluarkan pemerintah, sementara masyarakat tidak memiliki surat atas tanah itu. Padahal tanah itu sudah jadi milik mereka dari nenek moyang secara turun-temurun. Cuma lelaki tua itu yang bertahan. Lelaki tua yang tidak memiliki istri dan anak itu, berkeyakinan bahwa tanahnya adalah kuburannya. Siapapun tidak akan pernah dapat mengusirnya, kecuali kehendak alam yang diutus olah Sang Maha Kuasa. “Sudahlah, Wak, kite pindah saje dari sini,” suara Daham membujuk lelaki tua itu beberapa tahun yang lalu. Dan suara itu masih mengiang di telinga lelaki tua tersebut. “Ye, Wak. Kite tak mungkin dapat melawan perusahaan itu. Perusahaan memiliki izin, sementara kite tidak. Kite akan habis melawan perusahaan itu, Wak,” kata Karim pula. “Tidak! Sejengkal pun aku tak akan pernah pindah dari tanah milik aku ini!” bantah lelaki tua itu. “Wak menunggu ape lagi di sini? Semue orang dah pindah, tinggal Wak sendiri saje yang belum pindah,” Daham membujuk lelaki tua itu. “Betul tu, Wak. Walaupun tanah di tempat kita yang baru itu tidak seluas tanah kita di sini, tapi hidup kite aman. Tak ade lagi ancaman dan teror. Kite hidup tenang di kawasan

10


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 baru itu, Wak,” tambah Karim. “Ini tanah aku! Tanah inilah marwah aku satu-satunye!” ujar lelaki tua itu sambil bercengkak pingang. “Kalau mike nak pindah, pindahlah! Aku tidak!” kata lelaki tua itu lagi. Lelaki tua itu masih menghisap rokok kretek yang ada di tangannya. Ia menarik nafas panjang-panjang. Raut mukanya memancarkan kelelahan yang tidak berujung. Namun ia tidak mau beranjak dari tangga rumahnya, walau hujan rintik-rintik telah pula bersatu dengan malam yang semakin gelap. Mata lelaki tua itu menyapu ke arah depan. Dengan sigap ia memperhatikan semak-semak di depan yang bergerak secara tiba-tiba. Setahun belakangan ini lelaki tua itu memang harus waspada. Setelah tetangganya semua pindah, teror selalu saja datang berkunjung ke dirinya. Lelaki tua itu tidak mau menuduh, namun di hatinya, ia yakin bahwa teror itu datang dari pihak perusahaan. Pernah tiga bulan yang lalu, rumahnya dibakar. Untung saja pada waktu itu ia cepat pulang dari hutan, kalau tidak tentulah rumah yang atapnya terbuat dari rumbia dan dinding terbuat dari papan sudah menjadi arang dan rata dengan tanah. Waktu itu api baru membakar dapur rumahnya, dengan sigap, orang tua itu memadamkan api yang belum besar itu. “Percuma kalian membakar rumahku, aku tetap akan bertahan,” ucap lelaki tua itu dengan wajah memerah menahan geram. Semak di depan orang tua itu semakin kuat bergoyang. Lelaki tua itu pun berdiri. Parang yang disembunyikan di balik dinding dekat pintu dikeluarkan dan ia pun menggenggam kuat-kuat hulu parang itu. Suara binatang malam semakin melengking meningkah waktu. Angin berhembus agak kencang, dan rintik-rintik hujan semakin laju jatuh ke tanah. Lelaki tua dengan parang di tangannya, semakin tegap berdiri. Tiada kecemasan sedikitpun menghiasi mukanya.

11


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Bertahun-tahun hidup di kampung hutan ini, telah melatih dirinya tidak gentar berhadapan dengan apapun juga. Matanya semakin tajam mengarah ke semak-semak yang bergoyang di depannya itu. “Siapapun kalian, keluarlah! Aku tak akan gentar sedikit pun!” ucap lelaki tua itu dengan suara yang tegas. Seketika semak di hadapannya berhenti bergoyang. Mungkin saja keberanian orang tua itu menciutkan makhluk yang menggoyangkan semak tersebut. Namun beberapa saat kemudian semak itu semakin kuat bergoyang. Lelaki tua dengan parang di tangannya bersiap-siap menunggu kejadian berikutnya. Lelaki tua itu seakan tidak mengedipkan matanya. Ia khawatir, lengah sedikit saja, yang menggoyangkan semak itu akan menyerangnya. Malam semakin menghujam gelap. Angin membawa dingin menikam alam. Suasana semakin mencengkam. Hujan terus saja membasahi tanah, dan suara binatang malam semakin sayup terdengar. Tiba-taba dari arah semak yang bergoyang itu muncul Daham dan Karim sambil mengarahkan senapan ke arah orang tua itu. Orang tua itu pun terkejut bukan kepalang. “Daham, Karim...”, “Sudahlah, Wak. Wak pindah sajelah dari sini! Kami sudah muak dengan sikap Wak ini!” kata Daham masih mengarahkan senapan ke arah orang tua itu. “Betul, Wak. Wak pindah sajelah, sebelum kami khilaf mate,” Karim sedikit berharap, namun senapan yang ia pegang tetap mengarah ke orang tua itu. Belum sempat orang tua itu bicara, Daham kembali mengeluarkan suaranya. “Kami sudah membujuk Wak baik-baik, tapi Wak degil. Wak tetap tinggal di sini dengan alasan marwah! Sekarang waktu kami dah habis, Wak! Pihak perusahaan tidak akan

12


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 membayo kami, kalau Wak tak mau pindah!” “Wak, kami tak same dengan Wak. Wak hidup seorang diri, kami punye anak bini yang berhak hidup senang!” ucap Karim dengan suara yang mula meninggi. Orang tua itu menarik nafas panjang. Ia betul-betul tidak menyangka Daham dan Karim akan menodongkan senapan ke arah dirinya. Seandainya orang lain yang melakukan, orang tua itu tidak akan segan menebas kepala orang tersebut dengan parang yang ada di tangannya. Ini Daham dan Karim, anak kawannya yang sama-sama membuka hutan ini dulu dan menjadikannya kampung. “Wak, kami tidak ade pilihan lain. Wak pindah malam ini juge, atau Wak di tangan kami,” suara Karim bergetar. Orang tua itu kembali menarik nafas panjang, kali ini matanya ikut terpejam. Udara dingin masuk ke hidungnya dan bergerak ke dada orang tua tersebut. Binatang malam tetap meningkah gerak waktu, walaupun suaranya sayupsayup terdengar. Desiran daun-daun yang ditiup angin telah berkurang bunyinya. Begitu juga hujan yang menetes dari langit tidak selebat tadi. Namun rasa kesunyian semakin menusuk tubuh orang tua itu. Ia menggigil kesal. “Tidak Karim, Daham. Aku tidak akan pindah dari tanah aku ini. Inilah tanah aku, tanah ini juga kubur aku,” ujar orang tua itu dengan suara datar. “Jangan Wak kire, kami tak berani menembak!” ucap Karim. “Hidup paling sunyi yang pernah aku rasakan, ketika kasih sayangku pernah singgah pada orang yang menganggap aku musuhnya. Dan hidup paling sunyi itu adalah malam ini. Karim, Daham, aku bukanlah orang yang suka mengiba. Aku tak ingin mengenang masa lalu dan menjadikannya bentengku untuk bertahan hidup. Bagi aku, hari ini, ya hari ini dan aku akan tetap berdiri tegap untuk hari ini. Kalaupun

13


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 aku mati di tangan orang-orang yang pernah kasih sayangku singgah dulu, tidak akan pernah aku sesali,” ucap orang tua itu sambil melangkah menuju Karim dan Daham. Karim dan Daham saling berpandangan. Mereka berdua tidak ingin orang tua itu melangkah lagi. Keraguan memang sedang bermain di hati Karim dan Daham. Namun apabila orang tua itu semakin mendekat, tidak mustahil senapan yang mereka pegang akan melepaskan peluru ke orang tua tersebut. “Berhenti, Wak!” ucap Karim. “Ya, Wak, kami tak segan menembak, Wak,” Daham pula meminta orang tua itu berhenti. “Jangan takut Karim, Daham. Setiap orang ingin mati di dekat orang yang paling dicintai. Aku tidak memiliki siapasiapa di dunia ini, tapi kawan aku dulu punya tempat mencurahkan segala rasa kasih sayang, dan aku ingin menumpangnya. Kematian yang paling menakutkan adalah mati tiada yang menangisi,” ujar oang tua itu semakin mendekat Karim dan Daham. Kini orang tua itu sudah berdiri di depan moncong senapan Daham dan Karim. Jari tengah Karim dan Daham sudah pula berada di pelatuk senapan, dan jari tengah itu sudah menarik pelatuk senapan ke belakang. Karim dan Daham sudah tidak memiliki pilihan lagi, mereka terpaksa menghabisi nyawa orang tua itu malam ini. “Dooooorrrrrr...” suara senapan memecah kesunyian. Orang tua itu mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, sementara tangan kirinya mencekik leher Karim kuat-kuat, dan parang di tangan kanannya mendarat ke leher Daham. “Ini tanah aku! Siapa pun tidak bisa mengusirku!” ucap orang tua itu dengan pasti.*** Hang Kafrawi adalah Ketua Jurusan Sastra Indonesia FIB Unilak, Ketua Teater Matan, dan mengajar juga di STSR

14


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Ke Pawahang Kita Bermalam CERPEN ISBEDY STIAWAN ZS

SEPULUH tahun silam aku pernah berjanji, jika suatu waktu kau berkunjung lagi ke kotaku akan kubawa menyeberangi teluk ke Pulau Pahawang. Kita akan memancing ikan dan bermalam di sana. Aku ceritakan, tentu dengan bumbu promosi ihwal pulau yang ada di Kabupaten Pesawaran dan konon pula dari ceritacerita nenek moyang merupakan milik sah pribumi setelah direstui Kesultananan Banten, Sultan Hasanuddin. “Janji serius?� tanyamu sambil tersenyum. Aku mengangguk cepat, kau kembali tersungging. Lalu aku menjelaskan tentang Pulau Pahawang. Menurut cerita, Pahawang yang luasnya sekitar 9 kilometer persegi itu menghimpun 6 dusun 12 RT, dan milik masyarakat Lampung Cikoneng berdasarkan surat penyerahan dari Sultan Banten Maulana Hasanuddin1. Saat ini penduduk Pulau Pahawang, mayoritas bersuku Sunda Menes dan Jawa Serang, sedangkan pribumi Lampung hanya menempati Dusun Pahawang2. Meski beradat saibatin, masyarakat Lampung asli di sini tak memunyai tetua (tokoh) adat, sehingga begawi pun boleh dibilang tak ada.

15


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Tetapi usah khawatir kau tak puas. Lautnya yang bening sehingga dasar pasir pun bisa kau lihat dari atas perahu mesin, adalah godaan yang tak mampu kauelak. Kau mesti ingin sekali terjun ke laut dan berenang. Bila malam rebah, bulan penuh di atas lagit Pahawang bakal menambah cantiknya pulau ini. Kau akan tergiur meninggalkan rumah lalu menuju dermaga kecil dekat kantor desa. Kerlip lampu dari rumah-rumah apung penangkar ikan atau mutiara, ah sangat rugi diabaikan. “Benarkah begitu?” sergahmu. “Aku sudah banyak ke pantai, barangkali pantai Pahaang lebih asyik kan?” “Tentu!” jawabku segera. Bukan maksudku hendak memprosikan Pulau Pahawang, tapi memang pulau ini sangat eksotis meski tak ada lumba-lumba3 sebab lingkungannya masih asri. Di pesisir pantai tumbuh pohon bakau sebagai pagar agar tidak terjadi abrasi. Kemudian di sana-sini masih terbuka belantara dan perkebunan yang hijau. Sebuah bukit memanjang dari ujung pulau ke bagian ujung lainnya. Pepohonan di atas bukit benar-benar hijau. Menurut salah seorang penduduk, di puncak bukit itu ada makam keramat bernama Sindang Pahawang. “Saya pernah dengar cerita dari seorang warga, Saman, nama Pahawang ini diambil dari bahasa Lampung yakni pahawan yang berarti tempat kehidupan. Namun warga Bone yang pertama singgah ke pulau ini menyebut pahawang. Sedangkan dua versi lainnya, sebab orang pertama yang mencari penghidupan di sini adalah Pak Hawang. Versi terakhir sebab adanya makam keramat Sindang Pahawang di puncak bukit itu. Soal kebenarannya, yang sejarahlah yang membuktikan,” kataku kemudian. “Aku tak penting soal sejarah nama Pahawang. Aku sudah tergoda dengan keindahan pantainya, juga laut di saat

16


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 kita menyeberang. O ya, dari mana kita menyeberang ke Pahawang?” “Dermaga Ketapang,4 banyak perahu motor yang sandar untuk mengantar ke Pahawang,” kataku. Kau pun semakin bergelora, ingin segera sampai di Pahawang. Sayang waktu cutimu tak lama, kau mesti kembali ke kota kelahiranmu. Lalu kau kau berjanji musim cuti yang akan datang, kau akan kembali. “Duh, sayang tak bisa sekarang…” kau mengeluh. “Tapi aku janji akan datang lagi, dan kita ke Pahawang untuk bermalam…” Kini aku yang menggangguk. Kau menarik lenganku untuk mencium punggung telapakku. Tinggal beberapa menit kau akan menaiki pesawat udara menuju kotamu. Dua hari kita bersama, seperti bertahun-tahun bisa kuhapus kenangannya. Ah, rasanya hingga dunia ini tutup pun tak bisa kuhilangkan kenangan bersamamu. Sejak itu aku menunggumu datang lagi ke kotaku. Sepenuh harapan sebab kita akan bermalam di Pahawang, sebuah pulau yang terus bergetar. Pulau Pahawang yang dihuni oleh masyarakat asal Banten dan sedikit pribumi Lampung ini, di bagian timur sudah dikavling oleh warga berkebangsaan Prancis. Sebuah villa berdinding dan berlantai kayu itu amat eksotis. Sebuah kapal motor besar dikandangkan. Juga sebuah dermaga terbuat dari kayu begitu anggun menunggu si pemilik datang untuk berlibur. Setelah itu villa-nya ditinggal, dan para pekerja yang digaji akan mengurus. Para pekerja di villa orang asing itu adalah penduduk Pahawang. Mereka mendapatkan bedeng, bahan makanan untuk sehari-hari, dan tentu saja upah perbulan. “Lupakan villa itu, kita tak akan bermalam di sana….” “Lalu di mana? Ada motel, cottage, atau…”

17


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Kita menginap di rumah warga. Kita baur dengan penduduk. Cukup memberi uang beberapa ratus ribu, mereka akan riang menyediakan kita makan dan kamar tidurnya…” “Oww…” Itu terakhir kita saling kontak melalui telepon selular. Setelahnya, tak ada kabar darimu. Nomor kontakmu yang kuhubungi selalu jawaban dari operator selular. Aku menduga kau sudah mengganti nomor kontak. Telepon lain tak kumiliki. Beberapa teman yang mengenalmu saat kutanya ihwal keberadaanmu, juga tak ada yang tahu. Mereka seperti sepakat menjawab: “Sudah lama aku tak berhubungan dengan Fitri.” Aku mulai ingin melupakan pengembaraan ke Pahawang bersamamu. Aku pun hendak menghapus niatku mengajakmu bermalam di pulau itu. Aku makin mengerti, aku hanya pejantan yang cuma memiliki impian. Sementara kau adalah betina yang bisa saja mendapatkan lebih dariku. Sebuah puisi yang pernah kutulis di Pulau Pahawang lalu kuserahkan padamu, sehingga kau makin kepayang untuk berkunjung ke pulau itu kini mesti kucabik-cabik. Meski sebelumnya kubaca lagi puisiku itu: malam turun di pahawang kelam berenang dalam gelombang tak ada bulan di sini, tak ada bintang makin berselimut pekat tapi dari rumah-rumah warga binar lampu tenaga surya membias ke halaman, jalan setapak “di sini kau akan cecap asin laut,

18


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 wangi coklat dan cengkih...” kata mahasdika, warga pahawang matanya menerawang…5 *** AKU merasa tak butuh lagi pada puisi itu. Aku semula menghimpun kata-kata untuk mengisahkan Pahawang, karena aku yakin kau akan suka Pahawang. Kenyatannya? Sudah lima tahun, enam tahun, dan seterusnya tak ada kabar darimu. Dugaanku kau sudah berkeluarga. Kemudian dibawa suamimu pindah ke kota lain, atau mungkin ke luar negeri sebab suamimu bekerja di sana. Boleh jadi kau jadi tenaga kerja wanita di luar negeri? Ah, bermacam dugaan berseliweran; datang dan pergi. Walaupun kabarmu tak juga datang, malah semakin pergi jauh… *** PETANG tandang. Telepon genggamku bergetar. Satu pesan pendek mampir, aku buka dan ingin tahu dari mana datangnya. Ternyata short masage service darimu. Aku malas menjawab. Sepertinya aku ingin membalas kelakuanmu, tatkala aku meneleponmu tak diangkat dan sewaktu kukirim pesan pendek tak pula kau menjawab. Beberapa menit lagi pesan pendekmu kembali masuk. Hampir sama dengan isi kirimanmu sebelumnya. “Maaf kalau mengganggu, mungkin kau sudah berkeluarga sekarang, boleh aku kenal dan berteman dengan istrimu? Besok siang aku akan main ke kotamu, bisa jemput aku?”

19


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Jari-jari tanganku hendak memencet tombol handphone, mau membalas pesan pendekmu. Dan urung, Jamal datang memberi tahu. “Aku baru menerima SMS dari Fitri. Dia minta kau buka handphone, dia baru kirim kabar,” kata Jamal semringah. Kulihat teman sekantorku itu. Sekelebat saja, lalu aku asyik mengedit berita yang bakal menayang esok siang. “Hei kau dengar aku gak? Baru saja Fitri meng-SMSku, dia minta kau baca SMSnya lalu balas…” “Ya ya…” kataku pendek. “Kau tak lihat aku sedang sibuk begini? Aku harus menyelesaikan dua episode, karena mau liburan Natal. Mana lebih penting menjawab pesan pendeknya daripada kerjaanku?” “Dua-duanya sama penting,” jawab Jamal, temanku si tubuh pendek itu. Akhirnya, aku menjawab singkat: “tak mengganggu, boleh…” Aku sudah berdusta padamu. Sampai kini aku masih lajang, tak bergairah berkenalan dengan perempuan setelah cintaku tak jelas perginya bersamaan hilangnya kabar dari orang yang amat kucintai. Ialah kau… “Terima kasih. Bisa jemputku besok jam 10 siang di Bandara Radin Inten?” katamu lagi dalam pesan pendek yang masuk ke handphoneku. “InsyaAllah…” “Yang pasti dong, biar aku tak menunggu-nunggu…” “Itu pasti, jika diizinkan Tuhan…” “Jawab ya atau tidak…” “Oc,” tulisku pendek. “Janji serius?” “Y.” Hanya satu huruf kukirim, seperti khawatir pulsaku tersedot jika lebih dari sehuruf.

20


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Trims.” Sebelum pukul 10.00 aku sudah di Bandara Radin Inten di Branti,6 supaya tak tergopoh-gopoh di perjalanan. Makum beberapa tahun terakhir ini, arus kendaraan dari pusat kota Bandarlampung sampai bandara sangat padat. Sepertinya pemerintah perlu membatasi penjualan kendaraan, khususnya roda empat. Tetapi kebijakan ini, siapa pun pemimpinnya, sulit menerapkan. Kenderaan roda empat terus dipasarkan. Sementara motor dengan mudah diperoleh melalui kredit dengan uang muka relatif murah. Akibatnya di beberapa ruas jalan pada jam-jam tertentu macet total. Apalagi kebijakan walikota yang menutup beberapa pembatas jalan, kendaraan makin merayap. Aku coba mengontakmu, tak ada suara apa-apa. Pastilah kau masih melayang di udara, pikirku. Sudah dua batang rokok filter kutumpaskan di bawah sepatuku. Saat hendak menghidupkan rokok ketiga, telepon genggamku meraung-raung. “Ya…” “Sebentar ya, mau ambil barang di bagasi…” “Oke,” jawabku, lalu telepon dimatikan. Kau keluar dari ruangan bagasi, menarik tas koper hitam. Tidak begitu besar, sehingga kalaupun dibawa ke pesawat tak ada masalah. “Aku ribet aja kalau dibawa ke pesawat, jadi kutitip di bagasi. Gratis ini…” katamu tersenyum, seperti tahu apa yang berada di dalam benakku. “Ya. Apalagi Cengkareng sangat ketat,” jawabku sekenanya. “Bener.” Lalu diam. Kau memegang lenganku, ketika aku melangkah menuju mobilku di area parkir. Lumayan jauh, tapi akan mudah jika aku hendak keluar dari bandara ini.

21


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Sudah makan?” Kau menggeleng. “Kita makan di rumah makan itu ya?” kataku sambil menunjuk sebuah rumah makan dekat Bandara Radin Inten II, sekitar 3 ratus meter saja. Bersisian kita menyantap makanan yang terhidang. Kulihat kau sangat semangat memasukkan setiap sendok makanan. “Aku selalu digoda Pahawang. Sudah sangat lama, namun baru sekarang….” “Kenapa? Kenapa selama ini tak ada….” “Sebab…” “Karena apa? Kau sudah berkeluarga?” tanyaku ragu. Kau menggeleng. “Maksudmu?” “Aku sengaja tak mengontakmu. Aku juga sengaja mengganti nomor kontakku. Tetapi nomor kontakmu tetap kusimpan…” “Kenapa?” “Ah, sudahlah tak perlu kuceritakan sekarang. Masih ada waktu lain kan? Mungkin di Pahawang nanti. Kau mau mengajakku ke pulau itu kan, seperti janjimu dulu?” “Janjiku sepuluh tahun silam, tidak lagi dulu…” “Ya. Sudahlah jangan dibahas lagi. Kau mau kan mengajakku ke Pehawang? Maksudku, mau kan kita ke Pehawang dan bermalam di sana?” Aku mengangguk pelan. “Jangan ragu dong…” potongmu. “Kamu masih seperti sepuluh tahun lalu, selalu tak pernah tegas dalam setiap keputusan. Itulah yang menyebabkan aku meragukan dirimu…” “Ooo…” Segera kaututup kedua bibirku, sehingga kata-kataku

22


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 yang hendak meluncur tercekat. *** PUKUL 15.00 kami sudah di Dermaga Ketapang7 dan satu perahu motor sedang menunggu penumpang yang hendak menyeberang. Kuhitung penumpang yang sudah di dalam perahu: lima orang. Berarti menjadi 7 orang dengan kami. Biasanya perahu akan bergerak jika penumpang berjumlah 10 orang, namun kali ini pemilik perahu mulai menghidupkan mesin. Aku pamit duduk di sebelah nakhoda. Sementara kau memilih duduk di dekat anjungan. “Mau berlibur di Pahawang ya, mas?” tanya pemilik perahu. Aku mengangguk. “Enak ya belum punya anak, berlibur ke mana pun hanya berdua,” lanjut dia. Aku hanya tersenyum. “Bermalam di rumah siapa, mas? Kan di sana belum ada penginapan…” “Di rumah Pak Mahasdika, salah seorang warga di sana…” “Ya, saya kenal Pak Mahasdika. Dia biasa menerima dan menjamu para relawan lingkungan hidup. Rumahnya selalu ramai…” dia menerangkan. Aku tahu. “Sudah pernah ke Pahawang?” “Baru sekali, tapi bersama rombongan konservasi mangrove di sana. Saya menginap di rumah Pak Mahasdika…” “O ya, kalau tak salah pulangnya dengan perahu saya. Ada yang minta diturunkan di Ketapang dan sebagiannya di Duta Wisata 8 karena sekalian menjemput rombongan kedua.”

23


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Aku ingat. Ya perahu ini yang membawaku pulang selepas dzuhur usai penanaman pohon bakau di bagian selatan Pulau Pahawang sepuluh tahun silam. Kini aku kembali menaiki perahu motor ini. Tidak bersama rombongan, namun denganmu. Perempuan yang telah kukenal puluhan tahun lalu. Ah, rinduku berdebar-debar. Menjelang magrib, perahu motor yang kutumpangi bersandar di Dermaga Pengentahan9 dan aku turun sambil memegang erat tanganmu. Bagaikan sepasang itik yang mau terjun ke laut, demikianlah kami. Langit di barat semburat kekuningan. Itulah sunset, batinku. Kau seperti ingin bergegas menuju bibir dermaga. Secepatnya mengeluarkan kamera dari tas. Sekejap kemudian, kamera sudah mengarah ke matahari. “Wow! Beautiful!” katamu, tak henti-henti kau memuji kecantikan langit di sebelah barat yang kami tatap dari Pahawang. “Esok pagi, aku mau mengabadikan sunrest. Jangan sampai kita kesiangan, oke?!” ujarmu kembali. Aku mengangguk. Tersenyum. Memandang wajahmu lama sekali. “Kamu juga masih seperti kulihat 10 tahun lalu…” “Maksudmu?” “Masih cantik dan manis…” pujiku. “Kau sudah berubah rupanya…” “Kenapa?” “Aku suka itu. Menyukaimu karena tidak lagi seperti dulu.” “Kau sudah berani memujiku…” “Ooo…” hanya itu yang keluar dari bibirku hingga membentuk bundaran. Lalu malam luruh. Bagai permadani hitam. Demikian pekat. Kami memilih dermaga untuk menatap laut lepas.

24


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Saling berdekapan. “Seandainya…” lirihmu. Lama terdiam. Di langit hanya sedikit bintang, bulan sesabit. Ombak berulang-ulang menghantam pantai, lalu kembali ke lautan. Kau merapatkan sal yang melilit lehermu. Sekilas kulihat kulit putihmu. Lehermu jenjang, aku bergumam. “Ah, kita hanya berteman. Seperti katamu, dan itu…” sambungmu kemudian memecahkan kesunyian, menyadarkan pikiranku yang telah jauh. “Tetapi aku tak bisa lama seperti ini.” “Aku juga. Amat tersiksa…” “Lantas?” “Entahlah,” katamu selanjutnya. Aku mendesis. “Kenapa?” “Kau ragu…” jawabku. “Apakah kau masih meragukan…” “Ah, baiknya kita tinggalkan percakapan soal itu. Mari nikmati malam indah ini…” kau ingin mengalihkan perbincangan. Aku setuju. Walaupun kita belum diikat oleh kesepakatan, debar-debar di hati kita masing-masing sudah berkenan menjawab. “Kita perlu waktu untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang kita miliki,” bisikmu. “Apalagi keluarga besarku tak pernah dekat pada pribadi seniman. Kami hanya membeli lukisan dari perantara, dan tak pernah berhubungan dengan si penciptanya. Begitu pula dengan seorang penyair, semakin asing dan aneh…” Aku maklum. Kau dilahirkan dari keluarga berada. Hidup serba-ada. Karya-karya lukisan, yang katamu, bertebaran di hampir seluruh ruangan di rumahmu ayahmu yang membeli melalui perantara. “Semua lukisan dari perlukis ternama ada di rumahku.

25


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Hanya Monalisa yang tak kami miliki…” ceritamu suatu kesempatan sambil tertawa. “Tapi aku tak bisa lama seperti ini,” ulangku, setelah beberapa lama kami terdiam. Meski tubuhmu kian merapat di dadaku. Helai-helai rambutmu karena digerakkan angin membelai pipi dan hidungku. Aromanya wangi. Tanganku menyentuh pipimu. Kau diam. Kutarik pelanpelan agar menghadap wajahku. Kudekatkan bibirku, kau tetap diam. Sebuah kecupan di bibirmu tanpa kau tolak. Malam terus beranjak. Angin semakin kencang. Pahawang kian kelam.*** Pahawang 21-22 Desember—Bandarlampung 26 Desember 2012 Notes 1 Hal ini dikatakan M. Har irama Kedatun Keagunan, pengurus pusat Lampung Sai. 2 Berdasarkan percakapan dengan Saman, warga Dusun Pahawang, asli Lampung bermarga Punduh, Kabupaten Pesawaran.

3 Lumba-lumba dapat dilihat di perairan laut dekat Pulau Kiluan, masih wilayah Kabupaten Pesawaran. 4 Dermaga penyeberangan ini berada di Desa Ketapang, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. 5 Puisi ini pertama kali kulempar ke dunia maya (facebook) lalu masuk dalam narasi EnsikLampung, salah satu program unggulan Lampung TV untuk episode “Pahawang 2”, menayang Rabu, 26 Desember 2012 pukul 15.30-16.00. 6 Nama pelabunan udara di Provinsi Lampung diambil dari nama Pahlawan Nasional asal Lampung yakni Radin Inten II. Radin Inten adalah pahlawan di zaman kolinial Belanda dari Kalianda Lampung Selatan. Meski Bandara Radin Inten ini berada di daerah Branti, Natar, Lampung Selatan, para awak maskapai penerbangan menyebut Bandara Radin Inten Bandarlampung. Jelas ini disebabkan kesalahpahaman menentukan

26


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 lokasi/geografis. 7 Untuk menuju Pulau Pahawang, agar lebih cepat dan aman sebaiknya melalui dermaga yang ada di Desa Ketapang, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan. Dari Bandarlampung arahkan kendaraan menuju Lempasing, lalu ikuti saja jalan yang kadang di bagian kiri terlihat pantai, hingga Padang Cermin. 8 Duta Wisata adalah taman hiburan pantai yang ada di Lempasing, Bandarlampung. Kalau perjalanan dari sini ke Pahawang membutuhkan waktu sekitar 2 jam. 9 Pengentahan (Penggentahan) adalah nama dusun di Pulau Pahawang. Pulau ini terbagi 6 dusun dan 12 RT. Salah satunya Dusun Pengentahan yang berarti tempat penitipan barang sebelum diangkat ke Ketapang atau sebelum dibawa ke dusun masing-masing. Dusun lainnya ialah Pahawang; di daerah ini mayoritas penduduk pribumi Lampung. Isbedy Stiawan ZS adalah sastrawan asal Lampung yang karyanya terbit di media lokal maupun nasional. Penulis bermukim dan berkarya di Lampung.

27


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

28


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Musim Bidadari Musim Pelangi (1) CERPEN CIKIE WAHAB

SAYA mengamati langit pagi dari lantai dua. Tak ada yang memeluk saya seperti biasa, sejak beberapa minggu lalu dan hingga kini saya berada di luar kota. Saya datang sejak kemarin malam dan saya tahu kalau suasana pagi di Kota Pelita ini lebih menentramkan daripada yang saya temui di lain penginapan. Mak Jinji, pemilik penginapan ini saya kenal betul dengan baik. Saya senang menginap jika suatu saat saya merindukan tempat yang paling hangat. Mak Jinji tentu saja bahagia saya datang. Tetapi ia juga akan bertanya sampai saya menjawab ada apa dengan saya dan bagaimana kondisi kekasih saya. Saya terkekeh. Mak Jinji pasti tahu dari sorot mata saya. Bahwa tak ada pelangi itu lagi dan saya tentu saja harus mendatangi kota ini untuk melihat pelangi yang biasanya akan hadir tiap hari. Saya mencopot earphone dari telinga dan memandang ke ujung halaman yang luas. Di antara kolam-kolam itu ada gundukan rumput kering. Saya melihat dua orang pekerja wanita tengah memilah dan memasukkan rumput itu ke dalam beberapa kandang sapi di dalam bangunan belakang.

29


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Mak Jinji punya belasan sapi. Dan dua orang wanita itu barangkali pekerja baru Mak Jinji sebab sebulan lalu saya belum melihat mereka selain para laki-laki. Perhatian sayapun terpecah. Saya lihat pelangi muncul membentangi langit pagi yang cerah. Tidak ada hujan. Saya yakin itu. Semalaman saya tidak tidur. Dan tentu saja saya tidak melihat dan mendengar hujan hingga pagi ini. Saya mendapati pekerja wanita itu melihat ke arah saya. Ia melambaikan tangan untuk bersikap ramah. Saya tersenyum dan menunjuk pelangi. Mereka berdua mengangguk. Sayapun mencoba memotret pelangi pagi itu. “Saya harap menemukan bidadari yang turun saat pelangi datang, Mak.� Saya menemui Mak Jinji yang tengah menghirup teh hijaunya di ruang belakang lantai satu. Mak Jinji tersenyum. Ia menatap keluar dari pintu yang terbuka lebar. Saya tidak yakin ia setuju dengan kata-kata saya tadi. Ia memanggil dua orang pekerja wanita dan mengenalkan mereka pada saya. Saya terkejut dan merasa Mak Jinji tengah bercanda. Saya kikuk dan segera mengomel pada Mak Jinji ketika dua pekerja wanita tadi kembali mengurus sapi. Saya akui mereka berdua memang cantik seperti bidadari dalam ceritacerita dan dalam pikiran manusia. Mak Jinji pun berkata seperti ini pada saya ; “Tidak ada yang tahu masa depan, Pian. Aku melihat kesuraman di matamu. Kalau kau menutupnutupinya kau akan kehilangan pelangi.� Kemudian ia memberikan sebuah arit pada saya. Maka saya paham, ia menyuruh saya untuk segera membantu dua wanita tadi. Sialnya saya sebagai penghuni penginapan malah ikut-ikutan mengurusi kandang. *** Kota Pelita di waktu siang juga begitu bergairah, pikir saya.

30


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Dua wanita tadi juga sudah bertukar pakaian. Mereka menginap di salah satu ruangan di lantai satu. Mak Jinji mengadakan jamuan makan siang dan tentu saja dua wanita tadi yang akan membantunya. Saya pikir ini jamuan untuk kedatangan saya, tetapi tidak rupanya. Ini musim pelangi, dan akan ada festival bidadari. Saya tidak yakin dengan ucapannya. Saya rasa Mak Jinji bergurau dan membuat saya kelimpungan bertanya kebenarannya. Sebagai orang yang dihormati Mak Jinji tentu tahu perihal anak-anak perawan di kota ini. Saya membayangkan bidadari yang akan datang dan saya cengengesan menatap perempuan itu mulai berdatangan. Maka saya mengingat kekasih saya dan tempat ini sebagai pelarian. Saya lalu membayangkan ia datang dan memeluk saya. Sebab entah sudah berapa lama saya tidak melihat wajahnya. Saya tahu ia sudah menemukan rumah yang lain. Yang membuat ia menjadi bidadari seutuhnya. Saya malu. Malu pada Mak Jinji yang bisa membaca pikiran saya. Karena itulah saya akan kembali ke sini jika ada masalah. Saya menunggu pelangi dan menurunkan bidadari yang tidak akan meninggalkan saya lagi. Kemudian jamuan itu pun berlangsung beberapa jam. Perkataan Mak Jinji tentang festival bidadari ada benarnya juga. Beberapa perempuan berselendang duduk mengitari jamuan. Saya berterima kasih pada Tuhan karena masih melihat musim seperti ini. Saya potret mereka dan beberapa orang penginapan yang datang dari kota lain. Saya ingat perkataan kekasih saya beberapa waktu lalu. Katanya seperti ini; “Saya sudah mengenal kamu, kamu baik dan selalu sayang pada saya. Saya tidak menemukan tempat pelukan yang hangat selain bersamamu. Apa kamu tahu saya menjalaninya dengan luka di dada. Saya akan pergi sebentar. Dan saya akan kembali setelah saya menyelesaikan pekerjaan saya dengan laki-laki itu.�

31


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Lalu ia pergi. Lalu ia tak pernah menghubungi saya lagi Saya tahu menunggunya adalah pekerjaan bodoh. Saya lakilaki dan tidak pantas diperlakukan semena-mena oleh perempuan. Tetapi saya tidak bisa membalasnya dan tidak mau menghardiknya. Entah sebab cinta atau sudah tidak peduli lagi, saya benar-benar tidak tahu. Saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengembalikannya. Biarlah ia melangkah sejauh ia suka. Saya yakin saya tidak akan kenapa-kenapa. Akhirnya para perempuan di jamuan itu pulang termasuk laki-laki tua dan muda. Beberapa orang yang menginap juga sudah kembali ke lantai atas. Saya dekati Mak Jinji dan mengatakan hal sebenarnya. Mak Jinji tersenyum dan berkata “Semua perempuan berselendang tadi masih perawan. Kau tidak suka satu orang saja? Ini jamuan rutin setiap bulan. Mereka punya hak atas sapi-sapi ini.� Saya mendelik dan tersungging. Saya menggeleng. Bukan itu maksud saya. Mak Jinji terkekeh dan meninggalkan saya sendirian dengan pikiran melayang. Saya menjadi benar-benar kosong. Jelas semua perempuan itu cantik. Ah, bagaimana bisa, ada perempuan cantik yang bisa hadir bersama di acara jamuan Mak Jinji. Sepanjang melewati jalan masuk Kota Pelita saya tak menemukan batang hidung mereka, aroma parfum ataupun kembangkembang yang menandakan perempuan cantik tinggal di kota ini. Saya berusaha mengabaikan mereka dan bergegas menemui dua wanita pekerja tadi. Kedua wanita itu menjelaskan bahwa mereka memang baru bekerja pada Mak Jinji. Mereka berasal dari kampung sebelah dan juga baru menyadari ada pelangi yang tiap hari muncul di langit barat. Mereka bicara pada saya dengan malu-malu. Saya pikir pelangi yang hadir adalah proses alam akibat pembiasan cahaya. Saya tidak paham soal alam begini.

32


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Dan saya tidak terlalu peduli sebab orang-orang juga tampaknya tidak memusingkan hal ini. Saya kembali ke kamar dan mendapati telepon dari kekasih saya. Saya dibuat terkejut dan bertanya-tanya. Apa lagi yang hendak dikatakannya pada saya. Bidadari itu tidak ada bagi saya, meski Mak Jinji bicara ini adalah musimnya mereka kemari. Saya mengangkat teleponnya dan mendengarkan ia berkata. “Saya tahu kamu di mana. Saya mencarimu ke rumah dan mereka bilang kamu pergi. Kenapa? Apa ada masalah? Saya tidak suka kamu begitu dekat dengan Mak Jinji. Saya tidak pernah suka. Saya ingin bertemu kamu dan membicarakan tentang kita. Saya tersesat dan saya pikir saya harus mematuhi apa yang kamu katakan sejak dulu. Bisakah kita bertemu.� Saya diam saja dan berdehem. Saya merasa suara kekasih saya seperti bunyi lenguhan sapi Mak Jinji. Saya tertawa dan saya dapati ia mulai berteriak di telepon. Peduli apa saya? Saya harus segera mengambil keputusan. Sebab musim ini tak mungkin datang berkali-kali. Saya biarkan telepon itu dan menaruhnya di atas tempat tidur. Saya pun turun ke lantai satu dan membawa kamera saya. Benar kata Mak Jinji. Saya kehilangan pelangi, tetapi saya bisa mencarinya lagi di musim bidadari seperti ini. Saya menyapa dua wanita pekerja yang tengah duduk di tepi kolam dan menanyakan apa ada yang berminat menemani saya makan malam.*** Note 1. Judul puisi Hasan Aspahani Pekanbaru. 15 Februari 2014 Cikie Wahab, bergiat di komunitas paragraf

33


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

34


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Senjata Rahasia CERPEN RIKI UTOMI

BUKAN itu saja yang diceritakan oleh Adul kepadaku. Masih banyak tentang sosok lelaki itu. Adolf, lelaki dengan jambang yang bergulung dari pipi sampai ke dagu, kumisnya juga seperti para pemain reog, juga matanya tajam menyoroti mata kita. Kekar badannya yang hampir dapat kukira tak mampu kalau orang ingin menendangnya. Adolf masih memiliki sesuatu yang tak dapat orang lain tahu di mana keberadaan benda itu. Seperti kuketahui juga dari Adul, bahwa Adolf tidak mempan senjata. Orang-orang pasti bingung kalau sudah berhadapan dengannya. Dia memang tidak tersinggung saat orang lain mengolok-oloknya, tapi tidak bisa tidak untuk hal yang berujung pada masalah harga diri. Dia pasti melayani dengan penuh gerilya. Bahkan, dulu, pernah seorang yang mengamuk kepadanya malah terpental sendiri ke kaca pertokoan. Kaca itu pecah berkecai, berantakan. “Orang lain jual, aku beli!� begitu katanya, jelas Adul kepadaku. Aku mengangguk saja dengan sedikit kagum. Adul kenal dengan Adolf, lelaki yang berusia hampir lima puluhan. Tapi

35


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Adul tidak terlalu kenal dekat, hanya sekadar tahu untuk bisa dikatakan saling bertegur sapa saja. Untuk itu Adul menawariku agar lelaki itu mau menerima kami sebagai muridnya. Hal itu disampaikannya dengan penuh harapan dan penuh keyakinan. Baginya itu peluang emas untuk mendapatkan sebuah kesaktian. Adul sangat antusias. “Tapi apakah tidak kita telusuri lebih jauh tentang Adolf?” tanyaku terlebih dahulu. Kulihat Adul diam, tapi seperti menyiratkan raut kecewa. “Apakah kau masih ragu?” “Aku hanya ingin memastikan saja. Sebab aku sebelumnya tidak tahu-menahu tentang kesaktiannya itu, bukan? Jadi aku—setidaknya kita—perlu mengetahui lebih jauh,” jelasku padanya. “Kau jangan khawatir. Aku kenal dengannya. Dia juga baik. Hanya orang saja tidak mengetahui dirinya. Orang telanjur menganggap dia preman karena tampangnya. Setahuku dia memang pemeras, tapi kau harus tahu,” bisiknya spontan pelan-pelan. Lalu Adul menoleh kanan-kiri seperti khawatir ada orang yang mendengar. “Kau harus tahu, bahwa hasil uang yang didapatinya itu—dari perasnya pada orang yang kaya tapi pelit—sebagian dia bagikan kepada kaum dhuafa yang meminta-minta di pinggir jalan, para pengamen, para gelandangan, tukang parkir, tukang becak, sampai para pelacur,” jelas Adul dengan raut sangat serius. Aku terkejut. Dadaku berdegup. Darahku tiba-tiba berdesir. Adakah seorang preman besar mau berbuat seperti itu? Apakah lelaki itu ingin berbuat seperti Robin Hood? *** Aku memang belum merespon ajakan Adul untuk berguru silat pada Adolf. Aku masih berpikir panjang. Setidaknya aku masih merasa sulit untuk mengatur waktu karena di rumah, aku harus—mau tidak mau—menggantikan

36


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 ibu menjaga warung pada waktu malam. Otomatis aku jarang memiliki waktu keluyuran. Setahuku Adolf sering main di pasar. Pekerjaannya sebagai buruh pelabuhan peti kemas. Dulu dia penarik becak, tapi karena tidak memiliki sepeda motor, dia kehilangan pelanggan, karena beca dayung yang masih ditarik oleh sepeda kini hampir tidak beroperasi lagi dan banyak ditinggalkan penumpang di Selatpanjang ini. Sebab itu orang banyak menggantikan dengan sepeda motor di sisi becaknya. Adolf—seperti yang diceritakan Adul—seorang pekerja ulet. Wajahnya campuran jawa dan cina. Untuk itu mungkin dia dikenal rajin. Tapi kini orang banyak yang tidak suka padanya, konon karena suatu hal yang pernah dibuatnya dulu. Dulu ketika aku masih kecil-kecil tapi aku tak tahu pasti apa. Orang-orang menganggapnya preman pasar yang harus dihindari. Ada sebab lain yang juga melatarbelakanginya, sebagai bagian darinya, konon dia bekas seorang tentara yang membelot dari instruksi komandan untuk menumpas suatu pergerakan rahasia di Timor-Timur, hanya karena dia tidak ingin melukai seorang perempuan yang telah janda dengan seorang anaknya. Alasannya tidak diterima oleh sang komandan karena hal itu sebuah hal yang bodoh. Tapi dia dengan pendiriannya tidak ingin melukai orang-orang yang tidak bersalah akan imbas serangan rahasia kepada pihak sipil yang banyak menjadi mata-mata bagi pihak militer Indonesia yang saat itu sedang genting. Hal itulah yang, menurut cerita, sampai dia dikeluarkan dari anggota satuan militer. Dia kini masih dengan jiwa disiplin mulai meninggalkan kebanggaannya sebagai seorang tentara yang tidak ingin dikomandoi dan dia sempat diburu oleh orang Indonesia sendiri karena telah dianggap pengkhianat bangsa sendiri, karena sempat dulu dia membantu para gerilyawan negara yang ingin merdeka itu dengan bantuan peralatan senjata.

37


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Akhirnya dia sempat buron bertahun-tahun. Sampai orangorang akhirnya melupakannya sendiri dan menganggapnya telah mati. Itu cerita-cerita orang lain yang kudengar dari Adul. Seperti yang juga kulihat memang Adolf tampak sebagai lelaki yang memliki postur tubuh kekar, tegap tangkas, keras, tapi tampak dari hatinya juga lembut, tapi aku masih belum mengerti mengapa orang-orang lain semakin menghindarinya. Orang-orang sengaja menghidari untuk tidak ingin mencari masalah, karena menurut kabar, Adolf sangat mudah untuk menusukkan pisaunya ke perut orang lain (barangkali hal itu karena sesuatu permasalahan masa lalu) dan dia ternyata cukup puas berada di dalam sel tahanan. Dan sampai membuat pihak berwajib bosan dan muak melihat mukanya. Adul masih mengharapku untuk menghadap lelaki itu. Bagiku ini sangat berat. Belajar silat dengan residivis dan seorang preman besar, apakah tidak berbahaya? Setidaknya aku khawatir pemikiran dari sang guru bertipe seperti itu akan sedikit banyak berpengaruh pada pemikiran kami sebagai muridnya kelak. Untuk itu aku harus hati-hati dan perlu mengutarakan dengan baik pada Adul. Aku juga tak ingin Adul terlalu gegabah dalam mengambil keputusan untuk belajar silat pada lelaki itu. Memang yang menjadi landasan kuat Adul untuk berguru pada lelaki preman besar itu karena untuk menjaga diri. Tapi aku yakin tidak sakadar itu, masih ada hal yang tersembunyi dalam benaknya. Adul dari raut wajahnya yang dapat kutangkap, sangat antusias mengajakku dengan berbagai dalih. Baginya keutamaan kemauan adalah niat baik. Berguru bukan berarti sekadar membentengi diri tetapi lebih jauh menjadi bagian dari apa yang telah diajarkan dengan mengarungi semuanya; kalau dapat tanpa sisa. Itu yang pernah kutangkap ungkapan Adul kepadaku. Secara

38


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 jauh aku menangkap ada sesuatu yang begitu optimis dalam dirinya untuk berguru silat. Apakah Adul ingin kelak menjadi pengganti Adolf? Sejauh mana dia mengerti tentang pribadi lelaki preman besar itu? Aku sampai kini belum ada merespon. Bahkan kalau dia datang ke warung saat aku jaga malam, aku usahakan dengan topik obrolan yang lain; tentang klub-klub sepak bola kesayangan kami, tentang kapan akan bermain footsall kembali, tentang kondisi ayahnya yang baru selesai operasi, tentang teman sekelas kami Dewi yang cantiknya aduhai‌ sampai tentang rencana kami merokok pada jam istirahat di semak-semak belakang sekolah. Tapi celaka, dia masih saja tiba-tiba merocos tentang Adolf, untuk berguru silat kepada lelaki preman itu. *** Akhirnya aku mengucapkan, “Iya,â€? sambil mengangguk meski dalam hati tetap mengatakan “Tidakâ€?. Hati kecilku berontak. Tapi anehnya aku menurut saja oleh ajakan Adul itu. Setelah beberapa minggu ini, dia tampak tidak seperti biasanya: raut wajahnya kusut, rambut acak-acakan dan kering (barangkali mungkin dia mulai jarang mandi sekaligus pakai minyak rambut), pakaiannya kelihatan kusam dan kumal, juga terlihat kumuh, bicaranya yang tak kumengerti, sedikit tampak awut-awutan, kasar, keras, dan terkesan memaksa (apakah dia saat ini sudah terbiasa mabuk?) dan terakhir giginya kuning berkarat kecokelatan karena sudah sering merokok. Aku tak tahu mengapa Adul berubah. Kali ini di hari kedua, sepertinya ajakannya itu tak dapat ditoleransi lagi. Bahkan mungkin dia bukan saja menceramahiku tetapi akan sanggup juga untuk membentakku. Demi persahabatan aku menurut tetapi aku bertekad untuk tidak terlalu serius. Aku segera berganti pakaian. Lalu kami tancap gas dengan Satria

39


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 FU. Langsung ke tempat dimana biasanya Adolf nongkorng di sore hari. Ketika kami tiba, Adolf tampak santai menikmati sore yang gerah sambil menyeruput secangkir kopi dan sebatang rokok. Tatapannya jauh ke arah laut dan di ujung sana, Pulau Rangsang—barangkali kampungnya—setidaknya dia mengingat kembali kenangannya, entahlah. Adul turun gelagapan lalu menyenggolku dengan bahunya, “Apa dia patut untuk diganggu?” Tanya Adul kepadaku sambil mengernyitkan dahinya. Aku juga memandangnya dengan raut tak pasti. “Coba kau dekati saja,” balasku meyakinkan. Aku lihat Adul seperti tidak yakin. Aku mulai tertawa dalam hati. Mengapa dia jadi ciut begitu. Tapi aku masih terus memompanya untuk menyakinkan bahwa kedatangan ini jangan disia-siakan. Lalu dengan berharap tidak terjadi apaapa Adul mulai melangkah mendekati lelaki sangar itu. Aku membuntutinya dari belakang. Hampir dekat, tapi kami telah dikejutkan oleh wajah Adolf yang kaku. Matanya merah. Mulutnya masih menancap batang rokok yang tinggal seinci, dia mengisapnya dalamdalam sambil mengernyitkan dahi, “Kalian… mau belajar silat?” ujarnya dingin. Kami langsung terpaku. Dari mana dia tahu? Kulihat Adul terdiam kaku. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi kekakuan turut menyelimutiku. Aku tak tahu mengapa. Demi mencairkan situasi, kulihat lelaki sangar itu tertawa—lebih tepat menertawai kami. Adul menjadi cengengesan seperti tidak tahu apa yang harus dikatakan di saat ini. Lalu Adolf menyilahkan kami duduk di dekatnya. Sembari menawarkan sisa panganan gorengan yang masih ada. Aku yakin Adul enggan menjamah makanan itu. “Kedatangan kalian setidaknya sebagai obat bagiku,”

40


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 katanya sambil tertawa. Kami mendengarnya seperti tertawa lain, yang dibuatbuat. Aku mulai merasa sesuatu yang lain. Kulihat wajah Adul pucat. Setidaknya, perasaannya akan berkecamuk, atau dia telah menyesal untuk mengajakku ke tempat ini? “Kami tidak bermaksud demikian, Abang. Tapi …” “Sudahlah! Kalian jangan kaku begitu. Tidak baik telah datang jauh-jauh dan menyinggung perasaanku, bukan?” Kami spontan saling pandang. Apa maksud Adolf? Demi Tuhan aku merasa menyesal menerima ajakan Adul menjumpai lelaki sangar ini. Sejak tadi aku seperti menangkap gelagat yang lain pada diri lelaki itu. Dari jauh, setidaknya dari jauh, aku bisa membayangkan sesuatu yang “angker” tergambar dari, hampir, pada seluruh tubuhnya: wajahnya yang kaku berminyak, mata merah—bisa kurang tidur atau sering meneguk minuman keras?—menyala, rambut kusut masai; tampak uban berserak juga ketombe, lengannya tampak kekar juga penuh tato lebih dominan tato bergambar perempuan telanjang, atau tanda panah menembus hati seperti tergambar pada buku-buku tulis remaja; lengan kekar itu tampak legam oleh sengatan matahari, dan bajunya, kau tahu, sangat kumal tentu juga bau dan penuh debu, oh ya, celanya jeans-nya koyak-moyak dan berdebu. Tak salah kalau kami memang mendatangi salah orang. Ah! Aku menyesal menerima ajakan Adul. Tapi kami masih belum berani beranjak dari lelaki sangar ini. “Kami ingin belajar silat pada Abang …” kata Adul dengan gelagapan. Adolf tertawa. Lalu bertepuk tangan seperti mempermainkan kami. “Boleh saja. Itu bagus, bukan?” balasnya. “Tapi kalian harus tahu. Setidaknya belajar silat bukan hanya belajar tetapi juga memasang prinsip untuk sesuatu…”

41


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Rasanya Aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat terkutuk ini. Tapi kulihat Adul berubah pikiran, padahal sudah kusenggol dia dengan bahu. “Maksud Abang?” lanjut Adul seperti ingin meneruskan pembicaraan. “Ya. Kau tidak perlu heran. Maksudku—begini—aku tidak bermaksud sombong. Apakah kalian yakin benar akan kegunaan ilmu silat yang kalian dapatkan nanti?” balas Adolf menyoroti mata kami dengan tatapan tajam. Apa maksudnya? Kali ini aku mendengar sesuatu yang lain. Tidak seperti tadi yang seperti mengerikan. Apakah ada sesuatu yang dipikirkan Adolf? “Aku ingin jadilah kalian orang yang benar-benar memegang prinsip! Apalagi lelaki. Kita harus melihat kenyataan. Orang besar dan kaya belum tentu memiliki sifat kearifan sebagai manusia, tetapi orang kecil—dia tertawa sambil mengatakan dirinya—bisa jadi lebih peka dan mampu berbuat untuk berbagi bersama juga memiliki peran untuk bersikap menolong pada sesama.” Kami saling pandang lagi. Hatiku seketika berubah dari takut kini menjadi biasa, gugup jantungku juga mereda. Aku memabayangkan Adolf tidaklah segarang apa yang aku bayangkan. Tampak Adul semakin berani mengajukan keinginannya. Tapi aku tetap was-was oleh pemikiran Adolf. *** Sepenuhnya aku belum mengerti apa yang dimaksud Adolf. Lelaki paruh baya berwajah beringas itu—dengan suaranya yang menggelegar, berkata seperti berfilosofi. Aku seperti menangkap sesuatu kesan: mirip—mungkin—ajaranajarannya yang kelak akan ditularkan kepada muridnya. Setidaknya keinginan seperti itu akan tercapai. Tapi apa? Aku setakat ini hanya menduga. Sebab ada raut muka Adolf

42


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 seperti mengisyaratkan kebencian. Garangnya, ya garangnya itu‌ bukan seperti ditujukan kepada kami. Namun sial! Aku setidaknya harus merelakan waktu sedikit untuk terpaksa menemuinya sekali seminggu di minggu pagi pukul tujuh. Di sebuah pekarangan yang tak terlalu luas itu, Adolf melatih aku dan Adul pencak silat. Sebelumnya aku memang manaruh minat besar terhadap bela diri. Kesukaanku menonton pertandingan di stadion memotivasiku untuk memiliki ilmu bela diri nusantara ini. Tapi kini, perasaanku diselimuti kekhawatiran lain. Wajah Adolf seperti membayangi pikiranku tentang sesuatu yang lain. Meski dalam kelembutan, keselarasan, keutuhan, kekuatan dalam latihan pencak silat itu, unsur lain sedikit-sedikit mulai merasuki kami, aku tidak tahu Adul, tapi aku merasakan sebuah keganjilan pada diriku. *** Bangunan rumah megah dan mewah itu tampak semrawut. Kaca-kaca jendela tampak retak dan pecah. Sebuah parabola miring membentuk sudut yang tak karuan. Sebuah mobil di luar, tampak pecah kaca-kacanya juga remuk. Rumah itu, padahal, dikawal oleh dua orang satuan pengamanan. Tapi malang tidak bisa dielak oleh seusatu yang mendadak. Terdengar jerit histeris perempuan dari dalam rumah. Tangisan anak-anak terdengar ramai, juga dari dalam. Para polisi memasang garis batas berwarna kuning mengelilingi rumah. Seorang lelaki berpakaian jas dan dasi tengah berhadapan dengan tiga orang polisi perpangkat tinggi. Beberapa wartawan sibuk menjepret keadaan. Sejumlah tetangga tampak antusias melihat kejadian yang berlangsung. Semua larut demi mengetahui kejadian itu. Aku turut memandang semua itu dengan cemas.

43


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Seperti kata orang lebih kejam ibu kota daripada ibu tiri. Setidaknya hal itu benar. Ungkapan yang dapat mencengangkan kita sekaligus membuat bulu kuduk kita berdiri. Aku jadi teringat Adolf. Lelaki bengis itu selalu berkata orang kecil belum tentu menderita tetapi orang besar, bisa jadi lebih menderita secara tiba-tiba. Secara tak terduga semua harta mereka habis lenyap tak tersisa tanpa tahu untuk berkata apa. Orang kecil hanya menderita karena tak memiliki daya kemampuan untuk kaya. Tetapi orang kaya menderita karena kekayaan itu sendiri yang malah meneror mereka—itu kalau mereka menyalahkan harta itu sendiri. Aku teringat Adolf berkata demikian pada asat istirahat latihan pencak silat. Entah mengapa aku kembali teringat kepadanya… “Harus kalian ketahui Aku bukan seorang perusuh, pembuat ulah, atau pemberontak. Aku memang penentang segala ketidakadilan. Aku berbuat karena memang harus ada yang kuperbuat. Aku penentang karena memang ada yang akan ditentang. Aku pemberontak karena memang ada untuk aku berontak. Semua hal itu memang tidak dapat diterima tetapi yakinlah akan dapat diterima karena logika kita ada. Semua itu bisa dikatakan tidak mungkin dilakukan, tetapi yakinlah semua itu dapat dilakukan meski tidak benar karena ada yang menyimpan dan simpang siur, hal itulah yang membuat tidak benar akan berubah menjadi benar meski di mata mereka semua orang mengatakan itu salah…. Lalu? Apa menurut abang semua itu benar dan dapat dilakukan? Meski di mata umum hal itu salah? Mengapa kalian tolol sekali?! Bukankah hal itu salah? Bukankah semua yang mereka—orrang-orang besar itu— lakukan salah? Lihatlah… tidak ada yang menyalahkan mereka meskipun mereka telah berbuat salah. Kalian harus tahu bahwa di negara besar ini hukum hanya sebagai mainan,

44


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 hukum ibarat mainan anak-anak yang sangat murah. Hukum seperti barang ekonomis yang mudah untuk diperjualbelikan oleh pelaku hukum sendiri. Begitu mudah semua dilakukan tanpa merasa berdosa.” …. Adul dan Aku mengangguk lalu saling berpandangan. Adul tersenyum melihat Adolf seperti merasa kagum. Aku masih berpikir keras. Tapi aku mulai menangkap kata-kata terakhir berikut yang diucapkannya dingin tapi antusias. “Jangan takut menghadapi itu semua! Mereka semua bajingan yang tidak pantas hidup di negeri ini. Ini negeri besar. Negeri ini milik kita bukan milik mereka. Harta mereka adalah milik kita, sebab mereka memeras dari keringat kita. Lalu apa yang kita dapat saat ini? Hanya penderitaan berkepanjangan yang kita miliki. Sedang mereka setiap hari menindas kita atas nama rakyat! Sebab itu kita pantas melibas mereka,” kemudian Adolf mendengus seperti dengus sapi. Dia meraih segenggam batu bata merah—sungguh membuat kami takjub saat itu—batu itu, ya batu itu mampu diremaskannya hingga bagai tepung. Rautnya tegang, matanya semakin menyala merah bagai api, bibirnya bergetar seperti menahan demam, kepalan tangannya gemetar. “Aku akan menghabisi kalian semua!” lanjutnya. Kami tiba-tiba merinding. Aku gemetar namun Adul terdiam terfana. *** Aku tersadar dari keramaian dan hiruk pikuk itu ketika seorang mencuit pinggangku. Adul tampak tegang melihatku. Raut mukanya tegas tetapi mencerminkan sebuah kepuasan sebab ada secuil senyum tergambar dalam wajahnya. Tapi tetap kutangkap sebuah kecemasan melekat di wajahya. Tanpa kata, Adul meraih tanganku mengajakku menjauh dari tempat itu.

45


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 *** “Aku tidak menyalahkanmu untuk tidak lagi belajar silat pada Adolf,” kata Adul dengan tenang. Aku mengangguk. “Tapi aku merasa puas…” lanjut Adul terhenti. Aku menatapnya penuh tanda Tanya. Wajahnya tiba-tiba begitu semringah. “Kepuasan apa itu?” “Apa yang diajarkan Adolf kepadaku benar apa adanya. Untuk itulah aku ingin seperti dia. Ingin menjadi bagian dari dirinya. Kau tahu kejadian tadi di rumah salah seorang pejabat pemerintah bajingan itu?” kata Adul yang membuatku heran. “Akulah pelakunya!” Aku hampir pingsan. Tapi cepat aku pulihkan diri. Meskipun jantungku hampir lepas, aku mencoba untuk mengetahui sambil mengucap istighfar berkali-kali. “Kau harus tahu… bahwa kita harus memiliki kepekaan terhadap hidup! Orang-orang seperti itu (ucap Adul sambil meludah menunjukkan ekspresi kebencian) harus dibasmi dari kehidupan ini. Mereka adalah virus bagi kita kaum miskin yang termarginalkan. Kita orang tertindas oleh sikap mereka.” Aku mengggeleng, “Aku tak mengerti…” “Kau tidak mengamalkan apa yang telah Adolf ajarkan kepadamu!” “Aku bukan muridnya. Aku tidak siapa-siapa bagi dirinya,” balasku tegas. “Tapi kau harus sadar bahwa orang-orang laknat itu (sambil menyumpah) harus kita tumpas. Uang kita ada sepenuhnya pada mereka. Soal janji mereka akan menyejahterakan kita! Itu hanya dongeng pangantar tidur. Bahkan aku ingin sekali memotong lidah mereka atau menyembelih leher mereka seperti kambing kurban,” adul tertawa.

46


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Aku mulai meneteskan air mata. “Kau bukan temanku kalau begitu,” jawabku. Adul tertawa lantang. “Aku sangat takut berteman seorang buronan.” “Aku bukan buronan. Malah aku adalah pahlawan. Aku membela rakyat yang sebenarnya. Aku berbuat untuk mereka, kau yang tertindas oleh perbuatan kaum laknat itu. Kau harus tahu semua yang kuperbuat hasilnya telah kubagikan kepada mereka yang membutuhkan.” Aku membuang muka sambil menyapu air mata. “Dan kau tahu? Adolf… telah juga aku habisi. Aku berhasil mengambil senjata rahasianya. Aku kini akan berkuasa.” Aku beralih memandang Adul dengan tajam. *** Selatpanjang, 21 Februari 2014 Riki Utomi lahir Pekanbaru 19 Mei 1984. Menamatkan studi di Prodi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Riau. Menulis sejumlah genre sastra dan dimuat dalam media Suara Merdeka, Lampung Post, Banjarmasin Post, Kendari Pos, Serambi Indonesia, Padang Ekspres, Majalah Sabili, Majalah Sagang, Haluan Kepri, Batam Pos, Riau Pos, Haluan Riau, Metro Riau, Koran Riau, Majalah Sagang, dan terangkum dalam antologi bersama. Buku cerpennya Mata Empat (2013). Bergiat di Rumahsunyi. Tinggal di Selatpanjang, Riau.

47


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

48


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Hantu Penunggu Pohon CERPEN M BADRI

MAK Inah lari terbirit-birit. Perempuan setengah abad itu seketika bisa berlari kencang. Melesat, melebihi laju kendaraan yang biasa melintasi jalan berlubang itu. Menembus pekat malam. Dia terus berlari, menjauhi pertigaan pinggir desa. Tidak berani menoleh ke belakang. Ke pohon randu yang menjadi penanda desa. Dalam pandangan samarnya, pohon itu berubah menjadi rumah raksasa. Dengan puluhan wajah tersenyum hambar kepadanya. “Han... Han... Hantuuu............� Dia berteriak parau. Tapi tak ada orang yang mendengar. Orang-orang kampung sudah meringkuk dalam selimut. Menikmati udara dingin. Dibawa hujan yang turun bertubitubi. Setelah kemarau berkepanjangan. Akhirnya Mak Inah sampai juga di rumah. Jarak beberapa ratus meter serasa berkilo-kilo meter jauhnya. Mungkin inilah lari paling panjang dalam sejarah hidupnya. Meskipun dulu pernah dikejar babi hutan di ladang, tapi tak separah ini. Ketakutannya menjelma keringat dingin. Dia pingsan tepat di depan pintu rumahnya. Brukkkk......

49


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Mak... Mak.... Kenapa Mak?” Sabir, anak bungsunya, panik bukan kepalang. Ia sebenarnya akan pergi meronda. Setelah melempar sarung dan senter ke lantai, Sabir mengangkat tubuh Emaknya yang sudah lunglai itu ke dalam rumah. Direbahkannya di dipan kayu. Ia mengambil minyak angin. Lalu mendekatkan mulut botol yang sudah dibuka ke hidung Emaknya. Beberapa menit kemudian Mak Inah sadar. Tapi nafasnya masih terengahengah. Ia segera minum air putih hangat. Mengatar nafas perlahan-lahan. Seperti yang diajarkan instruktur senam lansia, setiap Minggu pagi di balai desa. Sabir menyeka wajah Mak Inah yang terus berkeringat dingin. Kepalanya dipenuhi tanda tanya. Tidak biasanya Emaknya seperti itu. Tapi Mak Inah belum sanggup bercerita. Hanya pesan ketakutan luar biasa tersirat di wajahnya. “Han... Hantu itu benar-benar ada. Bukan cuma cerita...” “Hantu apa Mak?” “Hantu pohon randu, di ujung desa...” “Tidak mungkin, Mak...” Sabir terus menenangkan Mak Inah. Memijit-mijit kakinya yang pincang, karena keletihan dan tersungkur beberapa kali sebelum sampai rumah. Wanita tua itu terus berdebat tentang hantu penunggu pohon. Tapi Sabir tetap tidak percaya. *** Cerita hantu penunggu pohon akhir-akhir ini santer terdengar. Tepatnya beberapa pekan setelah pemilihan umum. Hantu yang kabarnya menunggu pohon randu tua penanda desa. Pohon randu itu sangat rindang. Lingkar batangnya tidak cukup dipeluk lima depa orang dewasa. Mungkin umurnya sudah puluhan atau bahkan ratusan

50


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 tahun. Letaknya di pertigaan ujung desa. Persimpangan jalan yang menghubungkan desa itu dengan desa-desa tetangga. Pohon randu itu saat musim hujan, daunnya sangat rimbun. Tetapi pada musim kemarau meranggas. Tapi karena dahan dan rantingnya banyak, pohon itu tetap meneduhkan. Apalagi kalau kapuknya beterbangan ditiup angin ke segala penjuru. Sekitarnya seperti dilanda hujan salju. Suasananya terkesan romantis. Karena itu pada musim kemarau, tempat itu sering dijadikan lokasi pemotretan pre-wedding. Di bawahnya ada gubuk kayu pangkalan ojek. Di sebelahnya ada beberapa kedai kaki lima penjual makanan dan minuman. Kalau malam gubuk itu berubah menjadi pos ronda. Karena itulah, kalau siang cukup ramai yang dudukduduk di sana. Selain mereka yang berangkat atau pulang berladang, juga anak-anak sekolah. Bahkan kegiatankegiatan desa sering dilaksanakan di sana. Di lapangan sepak bola tidak jauh dari pohon randu itu. Pohon randu itu seperti magnet. Sejak pagi hingga petang selalu ramai oleh kumpulan orang-orang kampung. Sekadar ngopi di warung atau main domino. Apalagi kalau musim politik, entah pemilihan kepala desa, kepala daerah, legislatif, bahkan presiden. Bangku-bangku di bawah pohon randu itu menjadi saksi konsolidasi dan transaksi politik. Maka tidak heran kalau gambar-gambar wajah orang dengan senyum dipaksanakan banyak tertempel di sana. Bidang batang randu yang luas itu, kemudian menjadi semacam galeri politik. Menampilkan wajah dan senyum palsu yang tercetak di baliho, spanduk dan pamflet-pamflet mini. Wajah-wajah yang dipermak sedemikian rupa di perangkat komputer, hingga terlihat muda dan menawan. Bahkan banyak jauh berbeda dengan aslinya. Kemudian senyum itu, ahh! Terlihat sekali kalau direkayasa. Bahkan tidak lebih baik dari senyum pramuniaga yang menyapa

51


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 pelanggan dengan terpaksa. Pada musim pemilu, pohon randu itu semakin ramai dengan tempelan wajah-wajah caleg yang dipaku ke batangnya. Saling berlomba memasang gambar dan jargon di bidang paling terlihat. Bahkan tinggi-tinggian, sambil berharap gambar yang letaknya paling tinggi bakal mendapat peruntungan suara tertinggi pula. Dahan dan rantingnya pun tak luput dari gambar-gambar caleg. Entah siapa yang memulai, semakin mendekati musim kampanye, cabang dan ranting pohon randu itu tiba-tiba penuh dengan gantungan gambar caleg. Pohon randu itu kemudian berubah menjadi pohon aneka wajah. Tidak ada dahan dan ranting yang luput dari gantungan gambar-gambar berbagai ukuran. Bahkan hingga sampai ke pucuk paling atas, yang tingginya beberapa puluh meter. Buah randu yang biasanya menerbangkan kapuk pada musim kemarau pun tidak terlihat lagi. Tertutup oleh wajah-wajah yang selalu tersenyum. Melambai-lambai ketika ditiup angin. Konon, tren menggantung gambar di pohon itu berdasarkan saran paranormal desa tetangga. Menurut paranormal itu, pohon randu tua itu memiliki tuah tinggi. Dihuni berbagai jenis dan bentuk mahluk halus. Siapa bisa meletakkan gambar di lokasi paling tinggi, maka dia yang kemungkinan bakal menang. Begitulah kata paranormal, dalam kondisi seperti kesurupan. Pohon randu itu pun kemudian dipenuhi dengan aneka sesaji. Pelengkap hasrat menjadi wakil rakyat. *** “Tolong...” “Ada mayat...” “Bunuh diri...” Keheningan kampung itu pecah oleh teriakan warga. Padahal azan subuh baru saja berlalu. Warga desa segera berbondong-bondong ke arah suara teriakan. Berasal dari

52


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 sekitar pohon randu. Tempat itu seketika menjadi ramai. Salah seorang warga melihat seseorang gantung diri di dahan pohon randu. “Siapa?” Seorang warga berbisik-bisik kepada temannya yang lebih dulu tiba. “Madesu...” Jawabnya juga lirih. “Yang dulu ribut di sini ya?” Temannya mengangguk. Ia teringat lelaki umur empat puluhan itu. Madesu, caleg nomor urut satu dari salah satu partai peserta pemilu. Dia dan tim suksesnya pernah ribut dengan caleg lain. Gara-gara rebutan tempat untuk menggantung gambarnya. Madesu, caleg pendatang baru dari desa tetangga. Konon, dia menghabiskan duit ratusan juta untuk mendapat nomor urut satu. Menggadaikan kebun dan rumah. Dia yakin, kalau terpilih, dalam beberapa bulan duitnya akan kembali. Bahkan akan berlipat ganda. Wah! Desa itu mendadak gempar. Baru kali ini ada orang gantung diri di pohon randu. Maka kabar itu segera tersiar ke manamana. Diberitakan surat kabar dan radio. Bahkan televisi nasional juga meliputnya. Betapa tidak, lelaki itu menggantung di dahan yang tinggi. Lidahnya menjulur. Matanya melotot tajam. Tidak ada senyum di bibirnya. Seperti pada beberapa gambar wajahnya yang masih tergantung di pohon itu. Orang-orang menduga, dia stres karena tidak terpilih menjadi legislator. Beberapa hari sebelumnya dia sempat depresi. Posisi terhormat wakil rakyat gagal dia dapatkan. Padahal rumah dan ladang sudah tergadai. Sebelumnya dia sempat mengamuk. Kadang keliling desa teriak-teriak, seperti orang kampanye. Padahal pemilu sudah selesai. Belum sempat dibawa ke rumah sakit jiwa, Madesu keburu mati bunuh diri. Tapi tragedi pohon randu tidak berhenti pada Madesu. Beberapa hari berikutnya ada lagi orang gantung diri di tempat

53


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 sama. Warga menghitung, tidak sampai sebulan ada lima caleg gagal gantung diri di tempat itu. Mereka pun semakin takut. Rapat warga dengan tokoh masyarakat desa sebenarnya memutuskan untuk menebang pohon randu tua itu. Tapi tidak jadi karena keberadaan pohon randu itu dianggap penting sebagai penanda desa. Kalau pohon itu ditebang, nama Desa Randu Kramat tentunya juga harus diganti. Warga tidak mau repot mengubah KTP dan alamat surat. Pohon randu itu pun akhirnya dipagari kawat berduri cukup tinggi. Supaya caleg-caleg gagal lainnya, yang stres dan hendak bunuh diri tidak bisa memanjat pohon randu. Warga pun semakin rajin ronda di kawasan itu. Melawan rasa takut pada pohon tua, yang terlihat semakin mencekam. Tidak ada lagi orang-orang main domino hingga tengah malam. Tapi dahan pohon itu tetap semarak. Gambar-gambar caleg masih banyak yang bergantungan. Tidak ada warga yang berani memanjat untuk membersihkannya. Desa itu semakin mencekam sejak ada isu hantu penunggu pohon yang kerap mengganggu. Desas-desus itu terus menyebar luas. Ada yang mengaku pernah mendengar suara orang berpidato. Ada juga yang bercerita, temannya bertemu orang membagi-bagikan uang, tapi tiba-tiba menghilang. Berbagai cerita seputar hantu penunggu pohon randu meramaikan desa itu. *** “Emak melihat Madesu...� “Orang mati tidak mungkin hidup lagi Mak...� Sabir terus mendebat Mak Inah, yang mulai bisa bernafas dengan teratur. Mak Inah bercerita, sepulang menjenguk teman pengajiannya yang sakit di desa sebelah, dia lewat pertigaan pohon randu. Membawa senter menyala redup. Samar-samar dia melihat wajah Madesu, caleg yang

54


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 bunuh diri beberapa pekan sebelumnya. “Dia tersenyum sama Emak...” “Dia ngomong apa, Mak?” “Diam saja. Tapi terus tersenyum. Emak lihat dan perhatikan, banyak sekali Madesu di situ. Semuanya tersenyum sama Emak. Emak sapa, dia tetap tersenyum. Emak lempar pakai kerikil dia tetap tersenyum. Emak lari, dia masih tersenyum...” Sabir tertawa lirih. Dalam hati, ia membatin, mungkin Mak Inah melihat gambar-gambar caleg yang jatuh dari pohon randu selepas hujan disertai angin kencang sore tadi. Tali pengikat gambar-gambar itu lapuk, setelah berhari-hari terkena hujan dan panas. Lama-kelamaan gambar-gambar itu berguguran. Seperti daun randu di musim kemarau. Seperti kapuk yang beterbangan ke segala penjuru.*** Bogor, 9 April 2014 M Badri. Menulis cerpen dan puisi di sejumlah media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpen tunggalnya Malam Api (2007). Sedangkan buku puisinya Grafiti Bukit Puisi (2012) mendapatkan penghargaan Buku Pilihan Sagang 2012.

55


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

56


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Gadis Penunggu Hujan CERPEN DESSY WAHYUNI

Aroma hujan mengingatkanku pada masa itu.... Pada rindu yang tak berkesudahan... R INTIK itu mengingatkanku padamu. Rintik yang mengantarkanmu padaku, dan sekaligus membawamu pergi dariku. Ke negeri entah. Gadis Penunggu Hujan. Begitulah aku kerap disapa. Sejak kecil aku memang menyukai hujan. Aku tak pernah melewatkan setitik pun air yang turun dari balik kaca jendela tiap kali hujan menyapa. Itu menjadi kebiasaan yang tidak ada seorang pun bisa melarangku. Berawal dari sebuah mimpi. Ketika aku berusia 5 tahun, seorang lelaki muncul begitu saja dalam mimpiku. Ia muncul bersama hujan. Dengan kuyupnya, ia datang menghampiriku. Tapi tidak menyapaku. Hanya melihatku dengan tatapan mata yang syahdu, tatapan yang mengundangku untuk lari ke pelukannya. Aku terhanyut. Keesokan harinya, lelaki hujan itu menjadi nyata. Sosoknya seketika hadir di hadapanku. Hujan tercurah ke bumi dengan derasnya, dan lelaki itu muncul dengan tiba-

57


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 tiba. Mengagetkan. Seperti siluet di antara bebutiran air yang menghantam bumi. Aku ternganga. *** Kata ibu, ayah pergi. Ayah pergi karena marah. Ayah dan ibu, memang kerap bertengkar. Ayah selalu mempersoalkan apa saja. Sekecil apa pun itu. Kata ibu, saat aku berusia 3 tahun, ayah sangat marah karena ibu tidak menyiapkan makan malam. Malam itu ayah pulang dengan mata merah. Katanya sibuk kerja seharian. Ia langsung menuju meja makan dan membuka tudung saji. Namun, yang didapatinya hanya sepiring kecil sambal terasi. Gubraaaakkkk!!! Terdengar bantingan tudung saji di meja makan. Ibu tergopoh-gopoh keluar kamar. “Istri macam apa ini!” Ayah menghardik ibu. “Maaf, Bang. Tadi aku tak sempat...” “Ah, sudahlah. Memang istri tak berguna!” Ayah pergi. Dan tidak kembali. Ibu hanya bisa bergumam, “Tadi aku tak sempat masak, Riani demam tinggi.” Tapi ayah telah menghilang. *** Ayah kini telah kembali. Aku merasakan bahagia yang tiada tara. Kehidupan yang rumpang tidak kurasakan lagi. Hidupku begitu sempurna. Ada ibu yang selalu sabar memenuhi segala inginku, dan ayah yang mewarnai setiap hariku. Ternyata itu semua sementara. Hanya empat tahun lamanya. Entah kenapa, ayah hilang tanpa berita. Aku terpana. Bunga-bunga liar bermekaran. Ilalang dan semak menyelingi. Pepohonan memberi keteduhan di sana-sini.

58


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Gemericik air tak henti mengalir. Sungai-sungai kecil berlengkungan, seperti sabit para petani yang bersiap menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak membentuk anak tangga menghiasi perbukitan. Semilir angin selalu datang dan pergi, tak pernah bosan menemani pepucuk dedaunan. Sungguh sebuah keindahan yang ditawarkan alam pada masa kanak-kanakku. Meski sudah berlalu jauh di belakang waktu, masa itu telah banyak menyimpan cerita. Hingga usiaku enam belas tahun kini, cerita silih berganti menghampiri. Jalanan usiaku membentuk gambar-gambar dalam benak, kadang riang, dan tak jarang membuat air mataku mengalir tak terbendung. Titiktitik hujan selalu setia menemani setiap liku cerita itu. Aku menyukai air, dan sejak itu pula aku jatuh cinta pada hujan. Beribu kenangan yang telah kami ukir bersama. Aku dan ceritaku, serta hujan dan rerintiknya. Kami saling mengerti dan memahami. Pada hujan kuceritakan bahwa ayah telah pergi. Entah ke mana. Kata ibu, ayah pergi ke kota, membelikan aku sepeda, sebab aku kerap minta sepeda agar bisa mengitari pematang. Bersama ayah tentunya. Namun, sudah tujuh tahun aku menanti. Ayah tak kunjung kembali. Dengan ayah, aku memiliki banyak permainan. Meski aku perempuan, ayah membuatkanku mobil-mobilan dari jeruk bali. Terkadang ayah memperlakukanku seperti seorang putri dengan membuatkan aku seuntai kalung dari tangkai daun singkong. Tak jarang pula kami hanya bermain petak umpet. Ayah sembunyi dan aku mencari. Begitu pula sebaliknya. Ayah pernah kelabakan mencariku. Setengah menjerit ayah memanggil, “Riani... Riani... Riani Arifin....� Ayah panik, sehingga memanggil nama panjangku. Aku tak menyahut, sebab aku tertidur di ceruk pohon randu yang lubangnya

59


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 cukup dalam. Dan kemudian itu menjadi tempat favoritku. Sering pula aku dan ayah berlarian dalam hujan. Kami kuyup bersama. Aku riang, ayah senang. Ibu hanya memandang dengan senyuman yang terkembang. “Ibu, ayo ikut bermain hujan,� seruku suatu waktu. Ibu hanya menggeleng, tapi aku setengah memaksa dan menarik tangan ibu. Ibu hampir pasrah dengan ajakanku. Namun, ayah segera mencegah. “Jangan, Ibu tidak boleh bermain hujan, nanti asma Ibu kambuh.� Aku merengek, sebab tak lengkap rasanya tanpa ibu. Apa boleh buat, ayah ibu mengalah. Namun, tiba-tiba kami terkejut. Nafas ibu sesak. Ayah segera menggendong ibu ke dalam rumah. Aku sangat menyesal. Ayah memeluk ibu, sangat lama dan terasa mendalam. Kulihat ayah mengusap matanya yang tiba-tiba membasah. Aku hanya mampu memandang dari balik kelambu. Ternyata itu pelukan terakhir ayah. Keesokan pagi aku tidak menemukan ayah di semua tempat. Aku juga sudah memeriksa ceruk pohon randuku. Ayah raib. Kutanya ibu, ia hanya tersenyum dengan wajah sembab. Kini tak ada lagi teman bermain sehangat ayah. Aku juga tak menemukan teman untuk memetik asoka, yang kerap dilakukannya bersama ayah. Biasanya kami memetik bungabunga merah itu bersama, mengambil tangkai sarinya, dan mencecap madu di pangkalnya. Kemudian ayah akan merangkainya menjadi sebuah mahkota yang menghias kepalaku. Terasa begitu indah. Namun, semua sirna. Aku hanya bisa meringkuk di ceruk randu dalam tahun-tahunku. Ditemani bebutiran air yang jatuh dari langit. Makin lama ceruk itu semakin sesak, tetapi aku masih betah. ***

60


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Ada segumpal asa yang kau hanyutkan bersama derai rintikmu. Sesungguhnya terasa pilu. Namun tak boleh ada sesal, sebab aku gadis penunggu hujan. Aku Gadis Penunggu Hujan. Kebiasaan lamaku kembali muncul, sebab aku mengusung harapan. Dalam impianku, lelaki itu muncul bersama hujan, persis ketika aku berusia lima tahun. Aku menanti berbilang hari. Aku menanti berbilang bulan. Aku menanti berbilang tahun, tetapi lelaki itu tak jua menampakkan diri. Ke manakah? Hanya hujan yang setia menemani. Bahkan ibu pun sudah bosan tiap kali aku merengek minta ditemani. Hanya hujan. Ya, hanya hujan kini yang menjadi teman sejati. Juga ceruk yang kian sesak. Tiap hujan datang, aku bersembunyi dalam ceruk. Kucurahkan berbagai rasa yang kupunya. Kuceritakan pada hujan, dan berharap ia akan mengantar pesan itu pada lelaki yang kunanti. Aku menyukai air, dan aku jatuh cinta pada hujan. Sebab tersimpan harapan akan sebuah kedatangan. Lelaki hujan pujaan, di manakah gerangan? Hujan, datanglah. Bawa serta rinaimu untuk menyejukkan kalbuku. Dekap aku selalu dalam rintikmu. Penantian, hanya itu yang bisa kulakukan. Tak peduli seberapa panjang. Sebab ada sesak di dada yang harus segera diuraikan. Akan aku ceritakan segala kisahku kepadamu. Bukan untuk membebanimu. Namun, agar aku bisa berbagi, membuat seluruhku menjadi terasa ringan. Hanya kepadamu. Dalam gontai penantian, aku yakin kau akan selalu menemani. Rintikmu senantiasa ada untukku. Hujan, memang selalu kunanti. Aku kerap menikmati tiap derai yang tercurah. Meski harus kuyup, tak ada penyesalan (semestinya). Harus setia mencari makna dari tiap gigil yang dihasilkan. Menunggu dengan setia setiap kaki rerintik air menapak di atas tanah basah dan rerumput

61


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 pasrah.... Tak ada sedikit pun keraguan dalam penantian. Meski harus meniti genangan sembari tertatih, mengharap hujan kembali datang. Hai, rerintik hujan, meskipun aku seolah berteduh di bawah pohon rindang, atau berlindung di balik atap, kuharap tidak ada keraguan padamu untuk selalu mengguyurku, sebab aku selalu bisa rasakan hadirmu menyentuh kulit keringku. *** Gelap. Sepi mulai menelusup. Sendiri menyusuri sunyi. Ke mana harus pergi? Kelam semakin pekat. Sunyi menyelimuti. Sendiri. Haruskah kususuri terusan ke negeri awan? Sebab, konon katanya terdapat banyak titik hujan di sana. Menunggu... Selalu... Dengan setia. Menunggu membuatku mengerti makna pergeseran waktu. Takut. Aku takut. Takut terpejam, sebab aku tak mau melewatkan rinaimu sedikitpun. Mimpi itu datang lagi. Persis seperti yang pernah kualami saat aku berusia lima tahun. Seorang lelaki muncul begitu saja. Ia datang bersama hujan. Dengan kuyupnya, ia menghampiriku. Tapi tidak menyapa. Hanya melihatku dengan tatapan mata yang syahdu, tatapan yang mengundangku untuk lari ke pelukannya. Aku terhanyut. Bertahun-tahun sudah aku menanti. Tak ingin kusiasiakan begitu saja. Segera aku berlari menghampiri, dan tak mau menunggu pagi. Lelaki itu merentangkan tangan, bersiap menyambutku dalam dekapan. Dadaku sesak,

62


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 seluruh rasa membuncah. Rindu yang meluap memberi dorongan yang sangat dahsyat. Lengannya yang perkasa menggapaiku. Aku merengkuhnya. Dan aku tersentak, hanya angin. Ya, hanya angin yang aku rengkuh. Di mana ia? Haruskah aku kehilangan lagi? Tiba-tiba aku terbangun. Ibu menggugahku dengan agak tergesa. Ia menarikku dan mengeraskan volume televisi. “Hujan deras sejak siang hari menyebabkan dua kenagarian di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dilanda banjir bandang. Banjir ini menenggelamkan 150 rumah dan sekitar 100 hektar sawah, Senin 24 Maret 2013. Bambang Warsito, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Agam, mengatakan banjir terjadi sekitar pukul 16.00 WIB setelah hujan deras mengguyur daerah pinggiran Danau Maninjau ini. Dari hasil pantauan BPBD Agam, malam tadi banjir sudah mulai menyusut. Warga sudah mulai membersihkan rumahnya dari sisa-sisa materil yang dibawa arus banjir. Meski rumahnya terendam banjir, tidak ada masyarakat yang mengungsi. Untuk membantu masyarakat, Pemkab memberi nasi bungkus untuk makan malam. Selain di Tanjung Raya, banjir bandang juga terjadi di Nagari Salareh Aie, Kecamatan Palembayan. Di lokasi ini, tidak ada rumah yang terendam. Tapi, satu jembatan telah putus. Ditemukan seorang lelaki berusia 50-an hanyut terbawa arus. Dari KTP yang ada dalam dompet di saku celana korban, terlihat nama M. Arifin....” Kulihat ibu semakin pasi. Keringatnya menetes di dahi. Ia lalu bergumam, “Ayahmu berasal dari Nagari Salareh Aie...” Belum usai ibu menuntaskan kalimatnya, air mataku mengalir. Bergulir deras. Pupus sudah harapku. Haruskah kususul ke negeri entah?

63


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Aku menyukai air, dan aku jatuh cinta pada hujan. Ia sahabat (sejati) yang ternyata mampu melukai. Haruskah aku benci padamu, hujan? Mestikah aku merasa dendam? Dan kini, aku masih setia menanti. Akulah Gadis Penunggu Hujan. Meskipun kau telah mengangakan lukaku, dan perih itu terasa seperti diasami, ngilu, aku tetap setia menantimu. Tak usah kau ragu ataupun malu untuk hadir di hadapku, sebab aku tak akan dendam padamu. Akulah Gadis Penunggu Hujan, meminta kebesaran hatimu. Usaplah asap jerebu yang kini merajaiku, mengusik kenyamanan cerukku. Hibur aku yang selalu merindu akan rerintikmu yang perkasa. Aku menyukai air, sebab Aku Gadis Penunggu Hujan.*** Untukmu, Papa. Rinduku kian membuncah. Dessy Wahyuni adalah cerpenis dan esais. Saat ini merupakan pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

64


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Lelaki Terakhir CERPEN NASRULLOH HABIBI

LELAKI itu masih tertunduk di tepi ranjang. Wajahnya ditutup ke dua telapak tangan yang basah terkena air mata dan rembesan keringat yang mengalir dari kening dan pelipisnya. Sesekali ia tengadah dan menjambaki rambut sambil mengeleng-gelengkan kepala seperti seseorang yang mengutuki dirinya sendiri. Masih terdengar lirih suaranya yang tak begitu jelas. Apakah rintihan, ceracau, atau umpatan. Tanpa sengaja aku mendengarkan dengan seksama apa yang dikeluarkan dari bibir yang meringis itu. Aku mengenal apa yang dikatakannya meski hampir lupa. Ia mengatakan istigfar yang terpatah karena tekanan dari tangisannya sendiri. Napasnya masih terengah kembang kempis tak beraturan. Dadanya naik-turun memompa udara yang cukup banyak untuk di masukkan ke paru-paru. Ia pasti membutuhkan banyak oksigen untuk menenangkan diri. Entah apa yang dirasakannya. Ini juga baru yang pertama kali untukku. Dialah lelaki yang memutuskan tak melanjutkan keinginannya di awal percintaan. Kami gagal bercinta sepenuhnya. Ia memulai hanya dengan sedikit kecup ringan yang malu-malu. Tak lebih dari tiga kali. Itu pun hanya

65


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 di kening dan di bibir sekali. Tak lebih. Di saat aku mulai menikmatinya, tiba-tiba ia tersentak dan memberhentikan diri sebelum buai hasrat ke puncak. Seolah ia teringat sesuatu, atau diingatkan sesuatu dalam dirinya yang terdalam. Lalu kami hanya saling menatap tajam tanpa suara. Seolah kami tidak berbicara dengan kata tapi dengan tatapan masingmasing. Aku melihat matanya, ada sebuah kisah yang ingin ia bagi. Tapi tertutup oleh dingin matanya yang berkaca dan memantulkan wajahku di sana. Sedikit kucoba menyelam di kedalam matanya tapi aku tak bisa menerjemahkan apa itu. Tiada bahasa lain yang bisa kupakai untuk mengatakan. Terlalu sulit membahasakan sebuah perasaan. Seperti seseorang yang sedang dirasuki cinta tanpa ia sadari. Pada jarak tak lebih dari satu langkah. Getar-getar tubuhnya terbaca cukup jelas. Gestur seperti ini termasuk dalam jenis pemula atau awam, itu menurut pengalamanku selama ini. Ia tak bisa memainkan suasana dengan baik. Hanya hening dan hambar yang tercipta di sudut kamar kecil ini. “Kau kenapa?” Saat kutanya demikian, mulanya ia diam. Tiga gelengan kepala menjadi jawaban atas pertanyaanku. Kini ia menangis lirih dan pelan. Pelan sekali. Tapi terasa ada tekanan yang kuat pada tangisan itu. Hingga isaknya memberi tawaran bunyi lain selain keheningan. “Minumlah” Kuberikan segelas air putih yang tersedia di atas meja sebelah ranjang. Bukan Bir, wine atau tequilla, bukan pula vodka. Ia bergeming sebentar, lalu memalingkan wajahnya ke arahku seolah menggantungkan sebuah tanya keraguan. Disambutnya gelas yang terisi air dariku dengan pelan. “Apa ini?” “Tenanglah, hanya air putih”

66


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Mas Hadi, anak buah tante memang sebelumnya sudah bilang bahwa lelaki ini tidak minum minuman beralkohol. Jadi yang kusediakan hanya air mineral. “Ini sudah setengah jam, kau tidak ingin…” “Tidak, aku ingin pulang” “Pulang?!!” Ia berdiri dari tepi ranjang dengan malas. Lalu mengusap-usap lagi mukanya yang kusut. Dan menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan cepat. Nampak ia ingin bergegas. “Tunggu!!” Ia sedikit kaget dengan suaraku yang agak meninggi. Ke dua matanya nampak berkerut menyimpan tanya. “Kenapa harus buru-buru” “Aku tak ingin berubah pikiran, kecantikanmu bisa menyihirku” “Bukankah kau datang tanpa sihirku?” “Benar, tapi aku tak ingin tersihir lagi” “Setidaknya kutemani kau malam ini” “Tidak, sebaiknya kau temani keluargamu” “Aku tak punya” Suaraku menyiratkan sedikit penekanan. Dingin. Ia nampak kebingungan sedang aku jadi tersengat. Ia mengucapkan kata “keluarga”. Sekujur tubuh tiba-tiba mulai panas-dingin. Kata yang meluncur dari bibir lelaki ini membuat kenangan dalam ingatan terbongkar. Padahal sudah lama hal itu terkubur dan tertutup rapat-rapat. Aku telah melupakan bahwa aku mempunyai keluarga. Sejak aku melakukan pekerjaan ini. Sebuah alasan atau mungkin kisah klise jika kuceritakan kepadamu mengapa aku sampai bisa seperti ini. Menjadi kupu-kupu malam yang cantik. Terbang di tiap bibir malam yang mulai beranjak. Hinggap dari ranting satu ke ranting

67


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 lelaki lain. Semua itu karena sebuah jawaban yang tak jauh beda dengan lainnya. Jawaban karena terlilit utang, kena tipu karena diiming-iming jadi TKI dengan gaji selangit, merantau ke kota dan tetap tertipu orang tak dikenal hingga terdampar di lokalisasi, dijual suami ke mucikari, kebutuhan perut yang semakin mengkerut, dan bahkan patah hati. Kau mungkin sepakat, tidak ada wanita yang berkeinginan seperti ini. Itu semua karena nasib yang membawa mereka. Seperti nasibku. Tahukah alasan klise mana yang menjadikanku sampai bertemu lelaki ini? Pasti kau bisa menduga simpulannya. Uang. Ya, uang. Karena uang, aku sampai terdampar di sini. Alasan yang basi, bukan? Hanya untuk mendapat uang aku merantau ke kota ini. Kota yang manusianya memburu uang. Mengukur semua dengan uang. Menolong karena uang. Memberi karena uang, bahkan ada yang beribadah karena uang. Begitu juga denganku. Aku menjual diri untuk mendapatkan uang. Uang itu untuk makan bapak dan emakku di kampung yang sekali lagi kukatakan mereka jauh dari apa pun. Uang untuk sekolah adik-adikku. Uang untuk menyambung nyawa sekeluarga. Sehinga aku berpamitan dengan mereka lima tahun yang lalu untuk ikut merantau ke kota dengan Kang Makruf, pacarku. Dialah yang tega menukarku dengan uang kepada tante Rei, bosku. Waktu itu aku menangis dan tidak mau makan berhari-hari. Pacarku tadi yang membuatku tak ingin mempercayai kata lelaki berikutnya dalam hidupku kecuali uangnya. Ya, uangnya. Aku hanya percaya dengan uang yang diberikan kepadaku. Sudah. Cukup. Aku tak ingin bermelo-melo dengan cerita yang basi itu. Yang jelas aku tak ingin mengingat keluargaku. Cukup kukirim uang dua bulan sekali tanpa balasan surat apa pun. Biarlah kubungkam rinduku kepada mereka. Yang perlu mereka tahu putrinya ini sudah bisa

68


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 menghasilkan uang yang cukup sehingga bisa mengirimi uang. Titik. *** Lelaki itu kini mendekat. Menatap dengan tenang. Matanya lamat-lamat menyinarkan keteduhan seperti pohon beringin pada suatu siang yang sangat panas. Aku tidak menemukan nilai uang di sana. Garis senyum tipis di bibirnya mulai merekah. Entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja ia ingin melanjutkan hasrat yang tertunda. Atau…entahlah. Baru kali ini aku menemui lelaki seperti ini. Meski tak tampak salah tingkah hatiku mengisyaratkan lain. Ada sesuatu yang menelusup pelan. Seperti ada kehangatan yang menjalar di dalam dada. Tumbuh merekah bak kuncup yang ingin berbunga. Ia lingkarkan telapak tangannya di tengkukku. Rasanya sama seperti tadi. Hangat. Dilekatkannya keningnya di keningku. Lama ia menatap. Pandangan kami bertemu. Saling menciptakan bahasa dari tatapan. Saling menciptakan energi yang tumbuh. Saling melekatkan kehangatan. Pelukan. Kecupan. “Nama?” Aku diam dan tetap menatapnya. Matanya mengarah ke leher. Disana ada tato bergaya huruf Edwardian yang mengguratkan namaku. “Ning?” Aku mengiyakan jawabannya dengan tatapan mataku lagi dan setelah memahami ia hanya sedikit manggutmanggut. “Semoga kita bertemu lain kali, jaga diri baik-baik” Kalimatnya meluncur pelan merambati gendang telingaku yang memerah karena kecupannya yang mendarat di keningku. Bukan bibirku. Padahal aku berharap lebih dari

69


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 itu. Berharap kecupannya mendarat di leher yang mengguratkan namaku tadi. Namun, hanya itu yang kudapat dari lelaki ini. Lainnya. Hanya perasaan kehilangan yang ia titipkan, juga sebutir benih rindu. Pesannya menancap di memori ingatan. Ya, aku akan menjaganya. Menjaga diri dengan sebaik-baiknya untuk menantimu. Diam-diam hatiku bergumam demikian. Gumaman yang hampir mirip dengan sebuah doa. Doa tulus yang pernah kupanjatkan seumur hidup. *** Ini adalah hari minggu. Hari yang selalu ku nanti. Terlebih minggu pagi. Dengan secangkir kopi hitam yang masih menguapkan harum asapnya. Dan sepiring roti goreng sebagai teman koran pagi. Aku masih tak percaya membaca cerpen di koran itu. Kisahnya sungguh nyata. Hampir menitikkan air mata tiap kali aku membacanya, terutama saat-saat menuliskannya. Kadang juga senyum menyertai proses penciptaannya. Ah, begitu banyak detail cerita yang belum aku tulis. Gumamku dalam hati saat membaca. Itulah kelemahanku sebagai cerpenis. Tidak bisa menuliskan ribuan deskripsi atau detail cerita secara representatif namun tetap estetik. Terutama cerita tentang bagaimana aku jatuh cinta pada istriku hingga berani memutuskan melamarnya dan melepaskan statusnya menjadi wanita yang sah kumiliki. Aku masih membaca cerpen koran pagi sambil senyum-senyum sendiri. Tanpa tersadari ternyata istriku juga senyum-senyum sendiri melihat dari belakang. Ia lingkarkan tangannya ke perutku dari belakang dan menempelkan pipinya melekat di pipiku. “Kenapa kau tak pernah bilang jika cerita kita akan kau kirim ke media?” “Kau keberatan?” “Tidak, Cuma…”

70


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Aku mengecup pipinya. Arti senyumnya tertangkap olehku. Nampaknya ia kurang berkenan jika cerita kami dibaca banyak orang. Mungkin ia masih sedikit malu. Namun, inilah pekerjaanku. Menjadi penulis lepas. Dengan begitu aku ingin melepaskan beban dalam cerita-ceritaku. Beban bahwa aku telah menikah dengan mantan kupu-kupu malam. Wanita yang membuatku jatuh cinta kepalang.*** Pendowo, 21 November 2013. Nasrulloh Habibi dilahirkan dan tinggal di Mojokerto, 22 Mei 1988. Aktif bergiat di Komunitas Arek Japan dan menjadi anggota redaksi buletin Jurnal Lembah Biru. Saat ini menjadi tenaga pendidik di Mts Excellent Amanatul umah, Pacet-Mojokerto. Karyanya juga pernah dimuat di beberapa media.

71


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

72


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Kematian Udin Sitol, dan Sahak Harahap CERPEN SYAFRUDDIN SALEH SAI GERGAJI

“TAR ‌!â€? Tiba-tiba saja menyelusup suara letusan meletup, meledak menyeruak malam. Meski belum begitu larut, Paritsentosa, dusun Sungaidurian telah disergap gelap gulita. Kebanyakan rumah, cuma diterangi temaram cahaya pelita. Hanya beberapa rumah saja yang benderang oleh cahaya listrik yang dinyalakan dengan tenaga genset. Listrik dari PLN padam, karena digilir lat hari. Menyalanya pun sejak pukul lima petang hingga tujuh pagi, tidak sepanjang hari sebagaimana di kota-kota. Entah apa yang meledak, belum ada yang dapat menebak. Meski cuma sekali, sejenak dentum letusan pada Jumat malam, 29 Muharom l428, itu sungguh mengejutkan. Juga mengecutkan hati menjadi ciut. Utih Bodeng yang berjalan pulang, usai mengajar mengaji di masjid, terkelenjat seketika. Arah letusan itu tepat dari halaman rumah di samping kanan jalan yang dilaluinya. Refleks dia meletik, melompat ke balik batang embacang yang tumbuh rimbun di susur-rajab pekarangan. Seolah ada

73


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 yang menyuruh, dia duduk mencangkung menyuruk di situ – sembunyi bagai menghindari incaran dan kejaran musuh. Hatinya bergemuruh rusuh. Orang-orang yang asyik bermain batulacak, dan yang berbual-bual, serta yang menon-ton siaran televisi di kedai yang terletak di sisi lebuh raya, serempak menganingkan telinga mendengar letusan itu. Mereka seolah menanti ada atau tidak lagi, letusan susulan. Itam Nuar yang punya kedai, menggelompar keluar. Terkejut. Tapi langkahnya terhenti di depan pintu kedai, karena tak ada lagi bunyi letusan. Anjang Bidin dan Yusuf Comel yang tak ikut bermain, mengelihkan pandangan ke alur jalan poros. Mereka yang belacak tetap bermain, tak peduli. “Suara apa itu …? Apa yang meletus berdentam, tu...?! seseorang bertanya sekadarnya entah kepada siapa. “Ha.... senyap. Sekali letus cuma,” ucapnya pula. “Ah, mungkin ban honda pecah,” jawab Pak Andak Syam sekenanya. Matanya ke batu-lacak yang masih bersisa tiga, yang bersusun di hadapannya. “Mungkinlah. Tadi memang ada tiga honda yang beriringan lewat. Mereka menduas, bergegas tanpa mengelih memandang,” kata Mok Ludin yang juga tak ikut bermain. Mereka, lazim menyebut semua sepeda motor, honda, apa pun mereknya. “Tampaknya terburu-buru, seperti ada sesuatu,” tambah Yusuf Comel. “Biar sajalah. Kalau ban hondanya yang meletus, tentu ke sini kelegi menggantinya,” kata Ngah Wahab mandan main Pak Andak Syam. “Mudah jugalah rezeki engkau, Suf. Bertambah rezeki, cepat pula engkau menikah,” kata Pak Alang Keta yang main bermandan dengan Pak Kuneng Seman, bercanda menyindir.

74


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 1 Yusuf Comel memang membuka bengkel, di samping kedai sampah milik Itam Nuar itu. Kedai di tepi jalan raya yang melintasi dusun itu, lebih besar dan lebih lengkap barang dagangannya jika dibandingkan dengan kedai lainnya. Selasarnya lapang, selesa untuk duduk-duduk berbual atau sekedar menonton televisi. Meja bermain lacaknya pun ada dua - bahkan jika ramai ditambah pula meja di depan bengekl Yusuf comel. Malam hari, memang selalu ramai dikunjungi tua dan muda. Kadang-kadang, meski bengkel dah tutup, ada saja yang datang menambalkan ban atau yang mengganti businya yang mati api. Jalan raya itupun, satu-satunya penghubung kecamatan ke antar kabupaten dan antar propinsi. Lebih kurang sepuluh tahun terakhir ini jalur transportasi darat terbuka. Sebelum-nya melalui jalur sungai Batanggangsal. Sayang, jalannya diaspal dan dibangun asal jadi, padahal di daerah rawa bergambut. Akibatnya, telah banyak bagian jalan yang rusak melesak dan berubang. Jika hujan mengguyur, di beberapa bagian bagai kubangan kerbau. Suasana Paritsentosa dan daerah sekitarnya relatif aman, karena dihuni orang yang ada hubungan kekerabatan dekat dan jauh. Pendatang dapat dihitung dengan jari, dan telah diang-gap pula seperti famili. Jarang terjadi peristiwa menghebohkan seperti pencurian, perampok-an, atau pembunuhan. Bunyi letusan tadi tidaklah menjadi perhatian nian. Tidak pula dicuri-gai sebagai sumber petaka. Mereka tak hendak menduga-duga apa gerangan yang terjadi. *** “Tak ada honda yang datang, Suf,� kata Kuneng Seman sambil mengocok batulacak. “Alamat bakal lambat juga kau berbini� guraunya. Yusuf Comel yang belum juga menikah, meski umurnya

75


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 telah lebih tiga puluh itu, memang kerap jadi bahan canda dan olok-olokan. Tapi Yusuf cuma tersenyum-senyum saja menanggapi. Dia tak marah, walau terasa sedikit jengah. “Tiga honda yang lewat tadi…?” tanya Ngah Wahab . “Ya, Ngah. Tiga .., dan tergesa-gesa,” jawab Yusuf Comel. “Siapa mereka …?” tanya Pak Kuneng Seman pula ingin tahu. “Entahlah. Tapi pensen polisi,” Mok Ludin pula yang menjawab. “Polisi …?!” Tanya Pak Andak Syam agak penasaran ingin memastikan. “Ya. Mereka berlima. Dua honda berboncengan. Satu lagi sensorang,” ujar Yusuf pula. “Nak kemana mereka malam-malam begini …? Pak Andak Syam bertanya tak bertanya. “Bergegas, dan berlima …,” ucapnya bergumam. “Mungkin ke Pulaukijang, Pak Andak. Tapi entahlah … Mereka tak melapor kepada saya,” ujar Mok Ludin sedikit bercanda. “Ah, Pulaukijang! Pulaukijang …!” Pak Andak Syam bergumam seperti geram. Teringat kembali oleh orangtua itu yang dialami Udin Sitol tiga belas bulan yang lalu. Gara-gara dirampok, terpaksalah anak sepupunya itu kembali ke kampung. Padahal, usaha di Pulaukijang telah mengangkat hidupnya yang melarat menjadi lebih dari sekedar berkecukupan. Dah dapat bersaing hidup dengan orang. Beberapa hektar kebun limau di Sungaidungun dan di kampungnya, ratusan jalur kebun kelapa selain di Paritsentosa - juga di Sungaidurian, dan di Sungaibulan (Paritiman) dah dapat dibeli. Kini terpaksa pula kebun-kebun yang dulu diupahkan atau dipekarunpeduakan diurus sendiri. Usaha di Pulaukijang terhenti. Rumah dan harta bendanya di situ terpaksa dijual

76


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 semuanya. Harga jualnya tentulah sedikit “miring”. Udin trauma nian dengan kejadian yang dialaminya. Menjejak Pulaukijangpun kini, dia tak sudi lagi. *** “Tar …!” suara letusan kedua menggelegar hingar. Tunggal. Berdentam membelah malam. Semua yang berada di kedai Itam Nuar, sejenak diam terperangah. “Ha, letusan lagi …!” seru Busu Limin, yang bermain lacak di meja di depan bengkel. “Bunyinya lain …,” kata Bujang Jongang mandan mainnya. “Tak seperti bunyi ban meletus ….” ujarnya pula. “Ya...! Apa agaknya yang meledak…?” Endek Fadil, mandan main Unggal Jalal yang semeja Busu Limin, tertanya heran. “Serupa bunyi tembakan senapang,” kata Bujang Jongang pula menduga. “Ya. Tak salah lagi. Itu pastilah bunyi senapang atau pistol,” ucapnya pula yakin. “Jangan-jangan polisi-polisi yang lewat tadi…!” ucap Ngah Wahab sangsi menduga. Pak Garang Pian, yang tegak di samping Pak Andak Syam di meja di selasar kedai, menyela pula menduga-duga. “Mungkinlah, agaknya.” “Ha, gawat, kalau iya,” ucap Nusi Kacak lawan mainnya yang bermandan dengan Pak Alang Keta, agak cemas dengan suara keras. “Apa yang gawat, Si …?” tanya Pak Andak Syam yang mendengar selintas teriak kecemasan Nusi itu. “Mana tahu sememang polisi itu yang menembakkan senjatanya...” jawab Nusi Kacak juga mengagak-agak. “Ah, pung mike, jangan nak menduga yang macammacamlah. Jangan nak merapik...!” seru Pak Andak Syam sambil menghempaskan batu lacak giliran turunnya ke meja.

77


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Bersamaan dengan hempasan batulacak Pak Andak Syam itu, terdegar pula dua letusan berdentum beruntun. Pak Alang Keta yang hendak menurunkan batu, tertahan tangannya. Pak Kuneng Seman ternganga melongo. “Tar …! Tar …!” Membahana suara letusannya ke angkasa. Tanpa sadar. tiba-tiba batulacak yang ada di meja dikuiskan Pak Alang Keta bersama satu batu yang ada di tangannya, hingga tercampak berserakan ke bawah. “Tak iya, ni …, “ ucapnya sembari tegak berdiri. “Ini bukan lagi bunyi ban honda meletus. Ada yang menembakkan senjata, Andak Syam …” serunya kepada orang yang dituakan di dusun itu. Permainan terhenti. Pak Andak Syam melangkah ke jalan. Seperti dikomando, semua orang yang ada di kedai serempak bergerak tegak. Mereka segera berhamburan ke lebuhraya mengikutkan Pak Andak Syam. Itam Nuar pun turut pula keluar sambil terereh menggulung kemban kain pelekatnya. Bininya Antin Nuriyah keluar pula terburu-buru sambil mengepak anaknya yang menyusu – Tak disadarinya payudaranya tampak terjelir keluar. Mereka beterepih menganingkan telinga, dan mengarahkan mata hendak mengetahui dari mana asal letusan itu. Masing-masing bertanya di dalam hati, bahkan ada yang mengerenyitkan kening karena saking ingin taunya. Tiba-tiba... “Taaar … rrrr … rrr …!” satu letusan lagi mendesing nyaring membelah hening. Suaranya bersiponggang lantang. Orang-orang yang berterepihan di lebuh raya di depan kedai Itam Nuar itu saling pandang. Semua terkesima. Tercagak tegak terperangah. Hati mereka getir, saling berpandangan tertanya-tanya khawatir. Telah lima kali letusan terdengar menggelegar. Mereka tak

78


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 sak lagi, bahwa letusan yang menyeruak itu tembakan senjata api. Jika semula semua mereka tak was-was, kini mereka semua cemas. Tak ada yang berani bersuara. Semua diam, menanti kalau-kalau ada bunyi letusan lagi. Sunyi. Bunyi letusan lenyap disekap kelam malam. Tak ada letusan susulan. Tapi kesenyapan itu justru kian memerangkap hati mereka kian tersergap. ‘Apakah gerangan yang sedang terjadi di dusun mereka kini?’ Lama, tak juga ada letusan. “Dimana agaknya letusan itu …?” tanya Pak Andak Syam entah kepada siapa mengorak kesunyian. Tapi tak ada yang berani menjawab. Tak ada yang berani menduga-duga. “Dari mana, ha …?! Tanyanya pula dengan suara lebih lantang agak geram. “Agak-agaknya dari arah rumah Udin,” Ude Musa mencoba menjawab. “Udin mana … ?” Long Satar pula yang bertanya. “Ya, Udin mana? Udin Kederi? Udin Asip? Atau Udin Sitol. Jangan diagak-agak saja. Telinga tuaku ini tak mampu mengetahui darimana arahnya,” ucap Pak Andak Syam merutuk. “Dari arah mana menurut penganingan telinga Ude …?” Tanya Kulup Meghin menimpali. “Jangan aku yang engkau desak. Agak-agak telinga engkau dari mana?” kata Ude Musa runsing sedikit tersinggung. “Jangan mengagak-agak, kataku,..!” sergah Pak Andak Syam menahan gundah. “Kalau saya tak salah dengar, letusan itu dari arah rumah Udin Sitol,” kata Ude Musa bersuara, menjawab. “Kalau tak salah.. Kalau tak salah, betullah,” kata Pak Andak Syam belum puas.

79


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Rasa-rasa saya, juga dari arah sana.” Rasip Ansip mencoba menguatkan. “Bukan dengan rasa, Sip. Tapi dengan telinga,” ujar Alang Keta berkelakar, mencoba mencairkan suasana getir. “Benar, dari arah rumah Udin Sitol.” Ucap Yusuf Comel mantap. “Bagaimana, Engku Guru … ? Kita kesana sekarang …?” Tanya Pak Andak Syam kepada Imun Baharman, orang Cerenti – Kuantansingingi, yang bertugas sebagai guru honor daerah SD Swasta di Parit Sukajadi - dusun tetangga Sungaidurian, yang telah ada pula bersama mereka di situ. Kebetulan dia bermalam di rumah Pak Bedu Amang, mertuanya. (SD Negeri cuma ada di Sungai-gergaji. Alangkah jauhnya anak-anak mereka bersekolah). “Sebaiknya begitu. Kita ke sana sekarang, supaya tahu pasti apa yang terjadi,” jawab Engku Guru Imun bijaksana menyarankan. “Moh, kita semua kesana!” perintah Pak Andak Syam. Sebenarnya sejak tadi dia telah ingin ke sana. Dia hendak memastikan dengan kebersamaan. Cemas nian dia jika benar letusan itu berasal dari arah rumah Udin Sitol. Bagai berbaris, orang-orang pun bergerak serempak, berkekasmais. Pak Andak Syam, Pak Alang Keta,Pak Kuneng Seman, Engku Guru Imun, dan Rasip Ansip berjalan di depan. Itam Nuar pun turut serta, setelah menegah istrinya jangan ikut, dan segera menutup kedai. Tak ada yang bersuara bicara. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Menjelang tiba di depan pekarangan rumah Udin Sitol, rombongan Pak Andak Syam berjompak dengan rombongan polisi. Wajah mereka masam ruam, bagai memendam geram, Menduas mereka lewat di hadapan mereka tanpa menyapa-nyapa. Mengelih pun tidak. Malah tiba-tiba seorang di antara polisi yang berjalan di depan, merentakkan pistol

80


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 dari sarungnya yang terselip di pinggang. Diacungkannya “paha ayam” itu ke arah rombongan Pak Andak Syam yang telah tegak menepi. Kemudian, “Taarrr …!” membahana suara tembakan senjata yang di arahkannya ke udara. Orang-orang yang telah pucat lesi ketakutan, membiarkan saja mereka berlalu. Dua polisi mengiringi di kiri dan kanan dua temannya yang memapah kawannya yang tampak terluka parah. Polisi yang terluka itu tampak menyeringai serupa orang menahan sakit yang sangat sambil memegang perutnya. Kain – mungkin saputangan - pembebat lengan kiri dan paha kirinya yang juga terluka, telah basah oleh darah. Lelam. Ada sekitar seratusan meter menjelang tiba ke tempat sepeda motor mereka diparkir. berkebetul- an ada mobil tambang yang lewat, datang dari arah Pulaukijang. Setelah menstopnya, tanpa meminta izin polisi yang terluka dinaikkan. Supir cuma menyengir, tak telap menampik menolak. Dikawal dua polisi mereka berlalu. Tiga orang lagi bersepeda motor. Mereka mendebu ke arah Sungaigergaji. Sekejap polisi-polisi itu berlalu, rombongan Pak Andak Syam segera berlarian menuju rumah Udin Sitol. Sepi. Bias cahaya pelita menerangi temaram ke arah pintu yang terjebang. Mungkin, genset miliknya dah dipadamkan Udin tadi, karena telah hendak tidur. Pekarangan gelap. Tangga naik ke rumah panggung itu pun tampak tersergap samar. Beberapa senter diarahkan orang yang datang, menyorotkan sinarnya ke sekitar. Pak Andak Syam berteriak-teriak parau memanggil, disertai yang lain. “Udin …! Din …!” “Mok …! Mok Udin …!” Tak ada jawaban, meski dah berkali-kali dipanggil. Ke mana Udin Sitol beserta anak-anak dan bininya? Mengapa

81


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 pintu rumah dibiarkan saja terbuka? Para tetangga yang sejak tadi gelisah dan waswas cemas di rumah, mendengar riuh teriakan rombongan Pak Andak Syam, berduyun keluar. Utih Bodeng yang bersembunyi ketakutan, mengge-lompar pula keluar dari persembunyiannya. “Udin …! Udin …! Udin Sitol …” pekik Utih Bodeng berlarian sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. Kemudian, lelaki paruh baya itu terjerembab ke tanah, pingsan. Menjelang pukul 22.00 “Andaiku Tahu” Pasha Ungu nada panggil telefon bimbitku berbunyi. Di, adik sepupuku dari pihak Abah yang menelefon. Kami anak beranak baru saja tiba di rumah. Pulang dari bersilaturrahim ke rumah Emak di Simpangkualu. Abah kami sedang terbaring gering telah hampir sepekan ini. Jika malam Ahad kami malah bermalam di sana. Cemas, kuterima telefon itu. Petang tadi dia telah mengabariku bahasa Zaiman telah tiba. Anaknya yang bersekolah di AKPER Muhamadiyah, berdiam di rumah kami. Pulang berlibur sekalian melepas rindu, dapat pula menolong-nolong abahnya menyolak atau mengeringkan kelapa. Emaknya Sarinah yang biasa dipanggili Debeng, selap pula mengharapkan Zaiman balik karena hariraya puasa dia tak pulang. Di- sampaikannya pula emaknya Utih Jenab - kakak Abah kami, nenek Zaiman sakit, bangkit semputnya. ‘Kabar apa pula yang hendak diberitakan Di?’ batinku. ‘Jangan-jangan …. Ah !’ Setelah kujawab salamnya, langsung kutanyakan keadaan emaknya. “Emak, alhamdulillah, taka pa-apa. Tapi ada polisi menyerang ke rumah Udin anak Mok Sitol. Polisi mencari anaknya yang dituduh mencuri honda. Baru saja saya di-SMS Yusuf Comel.” Kata Di menyampaikan.

82


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Cepatlah lihat. Apa yang terjadi. Jangan berlerek-lerek pula.” “Ya, Buya. Nanti saya kabari lagi. Assalamu’alaikum ….” Rumah Di, Rusydi Ahmad nama lengkapnya, memang agak jauh, arah ke pinggir Batanggansal. Wajar kalau dia tak mengetahui kegaduhan yang terjadi di kampung mereka. Dia Kepala Dusun Sungaidurian yang mencakup pula Paritsentosa. Dia memang patut diberitahu kejadian itu. Lebihlebih lagi Mok Sitol, yang nama aslinya Rusli Lebai Karim, saudarara seayah emaknya dan abah kami. Segera saja setelah Di menelefon, kuhubungi Pak Cik Haji Wan Muhammad Sayuti, adik emak kami seayah, yang berdiam di Pulaukijang. Beliau pemuka masyarakat yang disegani, yang dibasakan dengan panggilan Tuan Guru. Hamdanyani Yunus - Kades Kotabarure-teh, Tam Imeh Sekdes – adik sepupu kami, Ardan Polisi – kerabat kami yang bertugas di Kempasjaya, Nuar Tentara – Koramil Kotabaruseberida, Busu Siram – mantan Kades, Ngah Ya Patung, Ndung Zul, dan Sahak Harahap – Kapolsek Keritang kutelefon pula. Mereka kuhubungi sebagai kepedulian dari jauh, karena khawatir masyarakat dan polisi beramuk. Meski berkali-kali kuulangi, Sahak tak mengangkat ponselnya. Aku kenal baik dengan dia, karena mertuanya, Tulang Roga Siregar, tetangga kami di Labuhbaru. Dakota abang iparnya, dan Anggi Butet istrinya, remaja masjid bimbinganku. Bahkan ketika dia menikah, aku yang memberikan tau- siyah. Dia pun memberitahuku pula sebelum bertugas di kampung kami itu. Heran, mengapa tak dijawabnya juga telefonku. Tak seperti biasanya. Sedang menelefon sana-sini, Cantik Husin Khalidi tiba. Dia singgah mengajakku pulang ke kampung berkaitan kegaduhan yang terjadi itu. Dia diberitahu Long Jai, anak Ngah Unan - adik Mok Sitol. Bukan sekedar sebagai

83


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 wartawan meliput peristiwa layak berita, Udin kerabatnya pula. Wan Zaini Kasim Pemred SKH Riau Pos – anak tigapupu emak, bukan sekedar mengizinkan, bahkan menyuruhnya pula pulang. Sayang, aku dan Usu Qomar – adik bungsu kami – yang juga diajaknya tak dapat serta karena keadaan Abah. *** Peristiwa Jum’at Malam 28 Muharom 1428 itu tersebar menggemparkan. Tidak hanya menjadi buah bibir cerita getir di dusun tempat kejadian, tapi meluas hingga keluar batas Parit Sentosa. Surat- kabar MX yang terbit di Pekanbaru, memberitakannya di halaman pertama dengan judul yang ditulis dengan huruf kapital hitam tebal berukuran besar: ‘Komandan Polisi Tewas Ditebas Parang’. Husin Khalidi, wartawan SKH Riau Pos memberitakannya pula: ‘Bapak Tersangka Curanmor Tewas Menge-naskan’. Membaca berita kejadian itu yang diwartakan MX hingga lima kali, dan laporan kejadian dua kali bersambung di Riau Pos, membuih sedihku. Udin Sitol terbunuh garagara anaknya dituduh melakukan pencurian sepeda motor. Sahak Harahap, komandan polisi yang to’at dan ramah, tewas mengenaskan ketika memimpin anak buahnya melakukan penggerebekan. Siapa yang dapat menduga, begitu peristiwa tak dinyana itu terjadi. Saudara sepupuku mati justru digrebek polisi yang komandannya menantu dan ipar dari orang-orang yang kukenal baik. Siapa pula yang dapat menyangka, komandan polisi yang jujur, yang ketika menikahnya aku yang menyampaikan nasihat perkawinannya, akhirnya terbujur mati akibat insiden dengan sepupuku. Sedih nian hatiku. Burhan yang buron, setelah tertangkap, ditahan polisi pula untuk diproses. Dia tak sempat hadir menyelengarakan

84


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 jenazah bapak kandungnya. Hukuman vonis penjara bertahun-tahun bakal menje-ratnya pula jika memang terbukti melakukan tindakan kriminal, mencuri. Begitulah ketentuan getir takdir dari perbuatan yang ditentukan Allaah Tabaroka wa Ta’ala. Aku terinsipirasi menulis dua cerita pendek, renjisan ilham dari tragedi tragis itu. Judulnya “Kematian Udin Sitol dan Sahak Harahap”, dan “Penembakan pada Malam Penggerebekan”. *** Rumah kediaman, Pekanbaru, Awal Shafar 1428 ditulis-karang kembali 27 Maret 2014 Syafruddin Saleh Sai Gergaji adalah seorang da’i yang juga sastrawan.

85


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

86


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Suara 10 CERPEN TAUFIK IKRAM JAMIL

HARI itu, buat pertama kali dia berpikir bahwa barangkali ibu bukanlah ibunya. Dengan demikian, begitu saja ia merasakan, tidak perlu lagi menahan rasa sakit saat bersuara untuk mengucapkan panggilan, “Ibu…” Sebuah pikiran yang muncul bersamaan dengan petir dan guruh yang memenuhi angkasa raya, dalam bentangan tirai abu-abu— melingkupi segala benda. Akan ia buktikan semuanya itu kelak, saat perempuan tersebut pulang, bersama mereka di rumah dalam suatu suasana yang lama sebelum kantuk menyerang dari semua sudut. Tidak untuk sesiapa. Tidak untuk perempuan yang selama ini dipanggilnya ibu. Tak untuk Dimas, tak untuk Rido, tak untuk Suman, pun bukan untuk Dito, bukan untuk Nini, Atik, Meidi, Gima, Supi, Arsa, dan Wela, yang kesemuanya adalah adik-beradik atau adik-kakaknya. Tidak, tidak untuk mereka, tetapi untuk dirinya sendiri. Untuk dirinya saja. “Ya, untuk aku sendiri,” katanya pelan sambil menutup gorden dengan cepat, merahap cermin-cermin dengan kain, lalu seperti terbang ia berlari ke dapur. Menghidupkan

87


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 kompor, menjerang air. Demikian ia selalu diingatkan, kalau petir sembar-menyembar. Bukan sekedar mitos memang, tetapi setidak-tidaknya dapat membentengi orang-orang di rumah terutama anak-anak dari pemandangan peristiwa alam yang seperti tak bersahabat tersebut. Berpikir untuk diri sendiri, berarti ia harus bersiap-siap, untuk tidak meluahkan apa pun bentuk perasaannya sehubungan dengan pikiran tentang ibu yang bukan ibunya. Di mulut, sebutan “Ibu” itulah yang keluar, sedangkan hatinya menolak makna yang berada di balik belakang kata panggilan tersebut. Dalam hatinya, harus ia tanamkan bahwa orang yang dipanggilnya ibu itu, bukanlah ibunya. Entah siapa, ia tak peduli. Tak ada seorang pun yang boleh tahu soal ini. Cuma saja jelas bahwa orang yang dipanggilnya ibu itu adalah seorang perempuan. Apakah perempuan itu yang melahirkannya, apakah ia memang keluar dari rahim perempuan tersebut, sama sekali ia tak tahu. Kepada siapakah ia dapat meminta kesaksian sehubungan dengan lahirmelahirkan itu? Mau cari ke mana orang yang dapat memberikan kesaksian peristiwa yang seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi setiap individu. Konon, daerah mereka yang asal bukan di sini, tetapi jauh di sana yang tak sekalipun pernah mereka kunjungi. Mereka merantau di sini. Mereka membuat keluarga baru di sini. Perempuan yang dipanggil ibu itu sedikit pun tidak pernah menceritakan daerah asal mereka entah sebab apa. Mereka tak punya kampung halaman, menemui hakikat pepatah, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Dengan latar-latar semacam itu, masuk akal pula bila ia kemudian merasakan bahwa hanya tiba-tiba saja ia harus memanggil perempuan tersebut dengan sebutan “Ibu”. Memang diingatnya masa-masa kecil dengan perempuan itu,

88


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 sampai besar panjang seperti sekarang. Perempuan itu menyuapnya, menemaninya bermain, menidurkannya, mengantarnya ke sekolah, dan segala hal yang begitu panjang untuk dibeberkan satu per satu. Lesutan tangannya, cubitan dari jari-jemarinyanya, bahkan belaian lembutnya, bercampur aduk dalam ingatan. *** SAMA sekali tidak diingatnya, sejak kapan pula ia menahan rasa sakit saat bersuara untuk mengucapkan panggilan, “Ibu…” Mungkin lama, mungkin baru. Tapi jelas di sini dan kini. Begitu saja ia menyadari bahwa sakit di tenggorokan saat ia mengeluarkan suara untuk menyebut, “Ibu”. Tak ada rasa sakit sedikit pun, saat ia mengucapkan sesuatu yang lain dari kata panggilan tersebut—termasuk dengan kata yang berdekatan dengan sebutan ibu seperti itu, iku, dan entah apa lagi. Pun, tidak dirasakan sakit saat ia mengeluarkan suara untuk menyebut “Ibu” kalau subyek ibu yang dikenalnya selama ini, tidak berada di depannya. Dalam keadaan sendiri misalnya, ketika kata panggilan tersebut diucapkannya, rasa sakit tersebut tidak ada. Berarti, demikian ia menyimpulkan, rasa sakit saat mengeluarkan suara ibu, baru dirasakan, ketika perempuan tersebut berada di depannya dan ia pula yang menjadi maksud ketertujuan panggilan ibu yang diucapkannya. Telah dicobanya menggantikan kata ibu dengan kata lain yang maknanya menjurus pada pengertian ibu sebagaimana dipahaminya selama ini. Bukankah ada kata lain seperti emak, omak, bunda, mbok, mande, ambuk, bahkan mam, mama, dan mami. Tetapi tenggorokannya tetap merasa sakit saat mengeluarkan suara untuk mengucapkan kata-kata pengganti tersebut. Ketika semua kata pengganti itu tidak

89


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 diucapkannya melalui mulut, hanya dalam hati saja, tenggorokannya terasa menggaruk-garuk perih. Jadi, persoalannya bukan terletak pada kata “ibu”, tetapi maksud ketertujuan panggilann itu sendiri. Bagaimana lagi, justeru maksud ketertujuan itu pulalah yang harus dinafikannya, bukan kata panggilan tersebut. Kata “Ibu”, bukanlah perempuan yang selama ini dipanggilnya, “Ibu”. Perempuan itu boleh apa saja asalkan bukan orang yang dikatakan melahirkan dan membesarkannya itu—suatu peran yang telah meliputi segala perasaan dan pikirannya selama ini. Tidak, ia merasa tidak menjadi anak durhaka dengan pikiran sekaligus akan melakukan tindakan berkaitan dengan perempuan yang dipanggil ibu, tetapi bukanlah ibunya. Sebab tujuannya bukanlah pada penafian tersebut, tetapi adalah untuk menguji bahwa ia merasa tidak kesakitan ketika mengeluarkan suara untuk memanggil, “Ibu…” Kata “Ibu” tetap akan dilafazkannya, tetapi dengan anggapan bahwa yang dipanggilnya bukanlah ibunya. Itu pun hanya untuk dirinya sendiri, diketahui orang lain pun tidak, bahkan oleh perempuan tersebut. Ia bukan Dedap, bukan Malinkundang, bukan Sampuraga, bukan Sangkuriang, dan bukan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Sebab mereka jadi terkutuk karena memang menolak ibu dalam pengertian lahiriah dan batiniah oleh sesuatu yang datang dari luar. Saudagar kaya merasa malu mengaku ibunya sendiri ketika berhadapan dengan isterinya yang cantik-molek. Lagi pula, perempuan yang mereka tolak sebagai ibu, benar-benar perempuan yang melahirkan dan membesarkan mereka. Kalau dia? Dia kan tidak tahu apakah memang benar perempuan itu ibunya atau tidak, pun tetap menggunakan kata ibu untuk memanggil perempuan tersebut walaupun di dalam hati menolak pengertian yang terkandung di balik kata

90


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 ibu. Peristiwa menolak pengertian kata ibu sebagaimana lazimnya, hanya terjadi dalam dirinya saja. Pergumalan batin yang tak dapat ditebak oleh orang lain. Ia hanya ingin tidak sakit ketika mengeluarkan suara dan kebetulan sekali hal itu berlaku hanya untuk kata “ibu”, bukan dengan rasa malu dan sakit hati. *** Cuma saja, tak ada kekuatan baginya sedikit pun untuk bertindak sebagaimana yang direncanakannya. Di depan perempuan tersebut, nyatanya ia masih seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Langkahnya terus mendekati perempuan itu, siap sedia mendengar perintah dan permintaannya. Seperti ada magnet besar dalam tubuh perempuan tersebut dan ia sendiri laksana hanya sepotong besi kecil. “Pertiwi namaku, ibumu. Ingat itu…,” begitu selalu didengarnya dari perempuan tersebut. Segera diambilnya air putih swam alias hangat-hangat kuku begitu perempuan itu muncul di rumah. Diulurkannya juga handuk agar perempuan itu dapat menghelap beberapa bagian tubuhnya yang terkena hujan. Duduk pula ia di depannya, berjarak hanya semeter lebih. Dengan suatu pandangan, ia tahu bagaimana perempuan tersebut menyimpan maksud yang besar. Ia tepis hasrat menerka maksud tersebut dengan cara mengalihkan pandangan. Ditubrukkannya penglihatan keluar rumah, kepada hujan yang ternyata mulai mereda. “Ibu…,” dia coba membuka mulut tanpa memasukkannya dalam hati, sehingga ia berpikir telah menganggap kata panggilan itu tidak memenuhi maksudnya yang lazim. Tapi tak bisa, makna yang dibawa oleh kata “ibu” tersebut sebagaimana terjadi di dalam dirinya selama ini, tidak terusir dengan serta-merta. Tetap sakit dirasakannya di kerongkongan

91


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 ketika mengeluarkan suara untuk meyebut kata tersebut. Diulanginya lagi, diulanginya lagi, sehingga berulangulanglah rasa sakit menyerang kerongkongannya. “Apa lagi? Sudahlah. Sebagai anak, terima saja apa yang ibu katakan. Usah bicara keadilan, kepastian hukum, dan semua penghasilan kalian ibu kumpulkan dalam satu tempat. Kalau ibu memiliki lebih, wajar kan, karena ibulah yang telah memelihara dan membesarkan kalian. Ibu memang perlu lebih bersolek misalnya, karena ibu sudah tua, sedangkan kalian masih muda—tak perlu banyak berhias.â€? Seperti yang sudah ditebaknya, perempuan tersebut kemudian mengatakan agar ia jangan memikirkan diri sendiri sebagai pihak yang memiliki penghasilan paling banyak. Lihat juga adik-kakak adik-abang yang lain. Lagi pula, keperluannya pun tak banyak, tidak seperti adikadiknya yang baru tumbuh. Ia pun disebutnya harus menahan diri untuk menikah walau umur sudah berkepala sekian, sebab dengan menikah, ia akan meninggalkan rumah ini dengan membawa berbagai kebendaan. Cuma, ia berkata dalam hati, orang itu tidak menyebutkan bagaimana ia telah berfoya-foya dengan semua yang ada. Hampir setiap hari arisan, malah di luar batas gonta-ganti pacar. Mementingkan kelompok sendiri dengan menyingkirkan kelompok lain. Menggunakan segala cara untuk merebut keberpihakan. Fitnah adalah alat yang pelurunya adalah uang. Telah ditanamkan berbagai ketergantungan. Perempuan ini tak pernah memikirkan orang-orang yang memanggilnya ibu, kecuali untuk dirinya sendiri agar tetap berkuasa di atas segalaya. “Bukan itu maksudku, bukan itu‌â€? Perempuan tersebut tak peduli, bergegas keluar rumah dan menguncinya dari luar sebagaimana acap kali dilakukannya. Sementara ia melongo sambil bertanya dalam hati,

92


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Bukankah aku hanya berpikir bahwa barangkali ibu bukanlah ibuku, sehingga tenggorokanku tidak merasa sakit ketika mengeluarkan suara untuk menyebut kata panggilan tersebut?� Pertanyaan di dalam hatinya itu seperti dijawab oleh suara petir yang berdentum amat kuat. Tiba-tiba saja ia merasa perempuan tersebut disembar meriam alam itu, tetapi tidak sampai menjadi batu seperti dongeng yang pernah didengarnya. Sebab, ia masih ingin belajar untuk menyebutkan kata “ibu� tanpa makna yang lazimnya menyertai kata panggilan tersebut ketika berhadapan dengan perempuan itu. Ia masih ingin belajar.*** Taufik Ikram Jamil adalah sastrawan Riau yang aktif menghasilkan karya-karya sastra berupa sajak, cerpen, esai dan novel. Saat ini, ia mengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning. Tinggal di Kota Bertuah Pekanbaru.

93


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

94


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Keluh Kesah CERPEN NOVRI KUMBARA

kepada daun: maafkan aku untuk sebulan terakhir, aku tak bisa menemuimu, mengurungmu dalam jeruji kerinduan, memberimu harapan pada penantian yang tak tahu akan berhenti kapan. —Matahari SUNGGUH, aku sangat merindukanmu. Dari atas langit, sudah buta mataku menatap parasmu dan telah tuli pula telingaku mendengar suara darimu. Ketika aku selesai menyinari bumi pada belahan yang lain, tibalah aku memancarkan cahayaku ke tempatmu. Kau bilang ketika kita pertama kali bertemu bahwa akar ibumu tertancap pada tanah yang disebut dengan Riau. Sebetulnya, aku tak suka dengan Riau. Kau tahu kenapa? Atmosfer di tempatmu sangat tipis, terlalu banyak polusi yang merusak lapisan ozon, membuatmu gerah hampir mati. Kau juga pernah bilang kalau manusia yang tinggal di Riau selalu mengeluh betapa panasnya tempat tinggal mereka, namun di sisi lain, mereka tidak mau menanggulanginya dengan

95


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 menanam pohon (para sanak saudaramu), melainkan dengan pendingin ruangan yang justru membuat lapisan ozon semakin sakit. Aku berusaha untuk mengurangi kadar panas yang teradiasi kepadamu, namun aku tak berdaya untuk melakukannya. Tak bisa daun. Aku harus adil. Seperti ini aku menyinari di bagian belahan bumi yang lain, begitu pulalah yang kulakukan untukmu. Maafkan aku telah menyakitimu. Sungguh, aku tak bermaksud begitu. Kisah yang selalu kau ceritakan padaku hampir di setiap harinya, terkadang terdengar sendu. Kau berkata— entah kapan itu terjadi dan selalu terjadi—tubuh ayahmu akan ditancap oleh benda tajam yang menyakitkan demi menempel gambar-gambar pemimpin manusia. Kau sering menyebut manusia yang ada pada gambar itu adalah penghuni neraka. Mereka berwajah dua, itu yang selalu kau katakan, berkata manis, mengumbar janji, namun semua itu hanya topeng untuk menutupi kebusukan mereka. Bilang saja padaku siapa namanya, daun, akan kubakar nanti di panasnya neraka. Sempat aku meneteskan air mata tatkala kau menirukan bagaimana ayahmu memekik ketika paku-paku itu menancap, semakin dalam, memancang hingga melesak ke floem dan xilem. Kau beserta ibu dan saudara-saudarimu menangis mendengar lolongan pilu yang menyayat. Kemudian aku menangis isak. Itulah airmataku yang kau sebut dengan hujan. Seandainya kau mendengar perkataanku, daun. Kumohon, berbicaralah kembali padaku. *** kepada kabut: sampaikan salamku untuknya, napasku sudah sesak dan aku sebentar lagi akan mati

96


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 ketika keadaan kembali seperti semula ku tak mau ia linglung saat menyadari aku sudah tak lagi ada —Daun Apa pun kamu, aku mohon, percepat aku mati. Kudengar, kamu bisa menyampaikan salam orang mati. Benarkah? Lalu bagaimana denganku? Apakah kamu bisa mengantarkan pesan dari daun yang mulai sekarat? Sedang berada di ambang maut? Bisakah? Sejak kamu datang, aku tak bisa menyalahkan dirimu. Aku tahu kamu menginginkan untuk tak pernah ada di dunia. Kehadiran dirimu selalu membuat susah. Kamu sering dicaci maki bagai anjing kurap. Selalu menangis setiap aku bertemu dengan dirimu. Aku coba menghibur kamu agar dirimu tak sedih. Lalu kamu ingin pergi begitu saja dari diriku. Padahal, aku tahu kalau kamu lagi butuh teman. Dan aku dengar, hanya diriku yang mau berteman dengan dirimu. Daun yang ada di sana berteriak pada diriku kalau kamu pergi karena telah melukai keluargaku atau para handai taulanku. Sekali lagi, aku tak bisa menyalahkan dirimu. Ayahku sudah tua, batangnya penuh lubang menganga. Ibuku telah rentan, akarnya sudah tak sanggup menahan saudara-saudariku yang semakin hari bertambah lebat saja. Lalu daun yang di seberang sana melolong kalau dirimu telah membunuhku, perlahan, tanpa kusadari. Sebenarnya aku sangat sadar kalau kehadiranmu akan membuat diriku gugur, terjatuh, terhempas hingga menyatu dengan tanah. Dimulai dari keluargaku yang sulit bernapas dan sinar matahari tak bisa lagi untuk menyampaikan kasih sayangnya dengan sempurna. Selanjutnya diriku akan mengikuti gravitasi karena kering merambat diri. Kau tahu, matahari tak bisa menangis lagi. Itu sebabnya aku menguning dan

97


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 rapuh. Kurasa, kau telah membuat matanya berhenti memproduksi bulir-bulir kesedihan. Dan jangan pernah menyalahkan dirimu, kabut. Semua mahkluk hidup akan mati. Bagaimana caranya nanti, mereka akan tetap menjemput maut. Entah itu rela atau mencoba lari dari realita. Bukankah mati adalah tujuan kita setelah menjalani hidup di dunia? Lalu kenapa aku takut kalau harus mati? *** kepada angin: Ibu, kau telah menciptakan monster pembunuh Ibu, kenapa kau melahirkanku? Ibu, aku tak mau hadir di dunia —Kabut Lihat, Ibu! Apa yang telah kuperbuat pada mereka? Kau menyambutku dengan sukacita ketika kau berhasil membawaku melalang buana melintasi dunia. Lalu kau memberiku tugas pertama saat aku sudah cukup usia: mengantarkan pesan orang mati. Senang pada awalnya, Ibu, mengantarkan keluh kesah orang-orang yang ada di dalam kubur kepada kerabat mereka yang masih hidup lewat alam mimpi. Namun, saat anakmu yang lainnya mulai lahir dan bergerombol, itu sebuah bencana. Semua ini salah ayahmu, begitu yang kau bilang. Ayahku kau sebut gila bercinta—entah apa artinya itu—hingga lahir kabut-kabut yang lainnya dari rahim istri yang berbeda. Mereka tak terurus hingga menghalangi oksigen untuk dihirup oleh makhluk hidup. Sesak napas mereka, Ibu. Sakit mata mereka memandang. Kuputuskan untuk kabur, memisahkan diri. Sudah letih aku dimaki, Ibu. Telah capek aku dihina. Tugasku mulia, menyampaikan derita mereka yang ada di dalam makam agar

98


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 yang hidup tidak berakhlak buruk seperti mereka. Tapi tugastugas itu telah musnah. Hatiku telah terluka. Perih menyayat kalbu. Lalu aku bertemu dengan daun yang baik hati. Ia mau jadi temanku, Ibu. Di saat yang lain mengusirku karena telah menyakiti mereka, ia justru merengkuhku untuk masuk ke dalam dekapannya. Seandainya matahari tahu ia telah berbuat begitu padaku, kuyakin pasti ia akan cemburu. Selalu dihiburnya aku agar tak sedih. Dibesarkannya hatiku yang sempat mengecil. Kemudian kudengar keluarganya berteriak, mengusirku untuk segera pergi dari rumahnya. Aku sedih, Ibu. Padahal aku tak ada bermaksud melukainya dan anggota keluarganya. Lalu ia bilang tak apa padaku, toh ia akan mati juga, begitu penjelasannya. Tentu saja aku sedih. Siapa yang akan berteman lagi denganku, Ibu? Siapa? Dengan berat hati kutinggalkan ia. Meskipun ia menjerit kehilangan, aku tak peduli. Satu pesan yang bisa kutangkap darinya, Ibu. Ia ingin matahari tahu kalau ia telah pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Seandainya aku sanggup, akan kusampaikan pesannya, Ibu. Tapi aku tak bisa, yang kuantarkan adalah pesan orang mati, bukan daun yang sekarat. Maukah kau menyampaikan pesannya, Ibu? Katakan kepada matahari untuk mencari daun-daun yang lain sebagai penggantinya. *** kepada api: berhentilah bercinta! kau membuat kabut terluka —Angin Telah kusampaikan salam daun untuk matahari dan ia sangat sedih, namun tak sanggup air matanya mengucur. Semua ini memang salah ayahmu, kabut. Ia bercinta sesuka kelaminnya kepada angin-angin yang lain. Hingga mereka semua mengandung bersama-sama dan melahirkan

99


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 secara bersamaan pula. Tak mau mereka mengurus kabut yang lahir dari rahim mereka dan aku tak bisa mengurusnya. Ibu macam apa mereka yang tak mau mengatur anak hasil buah cintanya? Oh, mungkin saja itu bukan buah dari cinta, melainkan nafsu. Ayahmu memang keterlaluan. Sejak ia selingkuh, aku telah meninggalkannya di hutan rimba sana. Kujalani hari-hariku seperti semula: menceritakan kabar dari penjuru dunia. Itulah kenapa hanya aku yang bisa menyampaikan pesan daun pada matahari yang jauh di atas sana. Sayang seribu sayang, telah kering airmatanya untuk terjun. Matahari itu. Seandainya bisa, musnahlah kabutkabut nakal penyebab kekacauan di Riau ini. Dan engkau, anakku, akan ikut berevaporasi bersama mereka. Tak apa, anakku. Mati itu indah. Bukankah kau telah mendengarnya sendiri? Meski begitu, akan berat bagiku untuk merelakan. Itu susah, kabut. Suatu hari nanti, kuharap, kau merasakan tentang apa itu makna dari meninggalkan dan ditinggalkan. *** kepada umat manusia: jangan pernah menjadi serakah hidupmu di dunia hanya sementara tak ada gunanya kau menjarah harta dalam akhirat hanya amal yang akan kau bawa ibadah yang mampu menyelamatkan nyawa —Api Kau lihatkan? Semua jadi salahku. Istriku bahkan menyebutku penggila bercinta. Manusia itu adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan Tuhan di dunia, bahkan Ia menyuruh malaikat untuk bersujud ketika ruh ditiupkan. Sebagai satusatunya mahkluk yang diutus mengelola bumi dengan sebaik

100


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 dan sebenar-benarnya, kenapa mereka justru merusak? Bahkan dengan sadarnya mereka tahu kalau telah menyakiti makhluk Tuhan yang lainnya. Kalau sedikit, aku hadiah. Namun kalau berlebihan, aku bencana. Apalagi setelah bercinta. Aku setia. Itu memang sudah kepribadianku. Ketika pertama kalinya bertemu dengan angin, kami memutuskan untuk menikah, bercinta, hingga lahirlah kabut dari hubungan kami. Ilalang dan rimbunnya semak belukar menjadi saksinya. Tugasku sebagai penerang, tak ada maksud melukai. Saat sedang bercumbu, aku bisa menjadi tak terkendali. Namun kalau tak dicercoki perangsang, aku tak akan menyakiti. Siapa lagi kalau bukan manusia-manusia keparat itu! Mereka telah menyiramkan bensin dan solar serta menyulutkan korek, membuatku semakin bergairah untuk bercinta. Datanglah angin-angin liar dan jalang merayu hingga nafsuku mendesak untuk melakukannya. Bergilir mereka datang, bergantian kulayani. Bensin disiram lagi, nafsuku menjilat-jilat. Angin semakin datang, bertambah puaslah aku. Hingga mereka mengandung bersama-sama dan melahirkan kabut yang banyaknya sama. Kenyang bercinta, lelah setelah melahirkan, angin-angin itu lemas. Tak berdaya, hingga membiarkan anak mereka tak terurus. Meraung meminta disusui tapi mereka justru mengusirnya pergi. Saat itulah istriku yang baru pulang mengajari anakku melaksanakan tugasnya, memergokiku. Aku merasa bersalah. Telah kujelaskan kalau manusiamanusia serakah yang telah membakar rimba ini yang telah membuatku tak sanggup membendung birahi. Apalagi dirinya tak ada di sisiku di kala aku ingin itu. Istriku murka, aku memakluminya. Ia pun pergi, aku sangat menyesal. Kuusir angin-angin yang telah bercinta

101


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 denganku untuk tak pernah menampakkan diri di depanku lagi. Anak-anak mereka, juga kuhalau ke kota sana. Biar mampus mereka merasakan akibat ulah mereka sendiri. Aku marah pada manusia. Tubuhku membesar, melar bagai karet. Kalau aku sedang murka, akan lebih ganas dibandingkan dengan bercinta. Bagai ribuan tentakel, api-api mungilku menggeliat, menjangkau setiap hal yang mampu disentuh. Kubakar habis apa pun yang ada di hadapanku: kebun sawit, rumah penduduk. Semuanya kubabat sampai tak tersisa suatu apa pun yang dimiliki oleh makhluk-makhluk tamak tersebut. Dengan tangan jinggaku, menjadi abulah mereka. Panas tubuhku memberontak. Menghajar segalanya. Rasakan, manusia! Rasakan segala kerakusanmu, ketamakan, dan kebodohanmu mengejar dunia! Inilah keserakahanmu pada alam! Yang di Atas murka! Aku murka!*** Novri Kumbara, lahir di Tanjung Leidong, Sumatera Utara, 29 November 1993. Senang menulis dan membaca. Pernah meraih sepuluh terbaik dalam lomba Sayembara Cerpen Remaja Balai Bahasa Provinsi Riau 2011. Beberapa karyanya tergabung dalam antologi Curhatku untuk Semesta, Don Juan Katrok, dan Journey to the Light. Follow twitternya di @novrikumbara

102


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Pulau Anjing CERPEN JUMADI ZANU ROIS

BAGAIMANA Atah Bahar mau percaya dengan apa yang dikatakan Abu anaknya. Sesuatu hal yang tak mungkin masuk di akal. Sudah berkepala tiga dia tinggal di Pulau ini, tapi tak pernah sekali pun dia melihat seekor anjing. Apakah itu anjing liar maupun yang dipelihara. Penduduk di pulaunya semua beragama Islam. Dan ajaran agama Islam melarang untuk memelihara anjing. Itulah alasan kuat sehingga tak ada satu orang pun penduduk di pulau ini memelihara anjing. Memang pernah satu kali Atah Bahar berniat ingin memelihara anjing, tapi keinginan ini dilarang keras istrinya. “Abang jangan buat masalah. Tak ada orang Pulau ni yang memelihara anjing, Bang. Nanti dibenci orang kita”. Begitu Nyah Selah melarang Atah Bahar untuk memelihara anjing. “Niat abang memelihara anjing, bukan untuk senangsenang. Tapi untuk menjaga kebun kita. Hampir setiap hari kebun kite di gasak kera dan babi. Kalau kita pelihara anjing, bisalah anjing tu menghalau kera-kera dan babi-babi di kebun,” bela Atah Bahar. “Pokoknya, Selah tak izinkan abang pelihara anjing.

103


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Titik. Biarlah kita berjaga siang malam di kebun tu. Selah rela kalau kita harus pindah di pondok dekat kebun. Dari pada kita harus pelihara anjing!” Nyah Selah pergi meninggalkan Atah Bahar sendiri dengan segelas kopi. Atah Bahar hanya bisa terdiam. Sebenarnya, Atah Bahar juga setuju dengan apa yang dikatakan istrinya. Memelihara anjing sama dengan mengundang masalah di pulau ini. Lagi pun, di mana mau dicari anjing. Bukankah di pulau mereka tak pernah ada anjing. Tapi tidak malam ini. Sepulang mengaji. Abu menceritakan kalau dia berjumpa beberapa ekor anjing di jalan. Jelas Atah Bahar tak percaya. Meski anaknya sendiri yang menceritakan itu semua. “Ye, Bah. Abu lihat sendiri. Kami jumpa beberapa ekor anjing tadi. Kalau Bah tak percaya, Bah boleh tanya dengan Mala anak Pak Usu Seman. Kami sempat takut Bah. Mana tahu, anjing-anjing itu garang macam di film-film tu. Tapi setelah kami renung dan kami dekat, jangankan menggigit atau mengejar, menggonggong pun anjing itu tidak. Anjing tu, baikbaik, Bah,” cerita Abu dengan panjang lebar kepada ayahnya. “Ye, Bah percaya. Tapi, dari mana pulak datang anjinganjing tu datang? Tak pernah ada anjing di pulau kita ni. Kalau pun datang dari pulau seberang, siapa pulak yang mengantonya? Dan tak mungkin anjing-anjing itu berenang.” Kening Atah Bahar mengkerut memikirkan hal yang diceritakan Abu. “Kalau memang betul apa yang dikatekan Abu, Bang. Abang harus secepatnye laporkan ini kepada RT kita. Kalau dibiarkan, bisa bahaya kita nanti bang,” suara Nyah Selah dari balik kelambu. “Apa pulak bahayenya, Lah. Dikau ni, yang bukanbukan. Menakut-nakutkan budak Abu saja. Lagi pulak, anjing-anjing itu belum tentu mengganggu,” bantah Atah

104


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Bahar sambil menggulung tembakau. “Untuk sekarang mungkin belum garang, bang. Tapi kalau dah banyak-banyak nanti, mana kita tahu”. “Hah, dikau ni. Terlalu takut”. Malam itu, Nyah Selah tak bisa tidur. Berita tentang kedatangan anjing yang diceritakan Abu, menganggu pikirannya. Semakin banyak anjing di kampungnya, semakin banyak pula mudarat yang akan datang. Itu yang terlintas dipikiran Nyah Selah. Bukankah anjing selalu dikaitkan dengan makhluk ghaib seperti Iblis dan hantu-hantu? *** Berita kedatangan anjing di pulau ini, tak hanya Nyah Selah dan keluarganya saja yang merasa cemas dan risau. Keluarga Pak Usu Seman pun punya rasa yang sama. Bagaimana tidak, Pak Usu Seman orang yang paling anti dengan anjing. Bila dia mendengar kata anjing, maka seluruh badannya akan menggigil. Geram mendalam terlihat di wajahnya. Bagi Pak Usu Seman, anjing bukan saja memberikan duka tapi juga penghinaan bagi keluarganya. Peristiwa puluhan tahun yang lalu melayang-layang dipikirannya. Pak Usu Seman punya peristiwa duka yang sampai sekarang tak bisa dilupakan. Dan semua itu sebab anjing. Ayah Pak Usu Seman meninggalkan dunia karena digigit anjing. Anjing jantan yang dipelihara ayahnya selama tiga tahun itu telah mencabik-cabik perut ayah Pak Usu Seman. Itu terjadi di depan matanya. Saat Ayahnya sedang mencangkul di kebun. Tiba-tiba saja anjing peliharaannya itu menyerang dan menggigit setiap tubuh ayahnya. Memang di luar dugaan, anjing yang semula sangat patuh dan penurut itu, seketika jadi garang dan menghabiskan nyawa ayahnya. Bukan hanya mencabik-cabik perut dan segala isinya. Anjing itu juga telah membawa lari kepala ayahnya. Saat itu

105


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Pak Usu Seman masih anak-anak. Hanya jerit dan air mata ketakutanlah yang bisa dilakukannya. Betapa duka yang dialami Pak Usu Seman dan keluarga. Jelas tidak akan menjadi luka yang paling dalam jika ayahnya hanya meninggal tanpa harus kehilangan kepala. Bukankah mati tanpa kepala merupakan kematian yang tidak terhormat di kampungnya?. Setelah peristiwa itu, keluarga Pak Usu Seman bersumpah tidak akan memelihara anjing. Rasa trauma dan malu dengan orang dikampungnya, membuat mereka harus pindah dari kampung halaman dan mencari pulau yang mereka tak pernah bertemu Anjing. Dengan kehidupan yang berpindah-pindah itu, memaksa Pak Usu Seman dan keluarga harus bekerja lebih keras untuk bisa hidup dan beradaptasi dengan masyarakatmasyarakat baru. Banyak hal yang harus di korbankan. Hingga Pak Usu Seman dan adik-adiknya tak pernah mendapat pendidikan sekolah secara formal. “Kalau anjing celaka itu tidak menggigit almarhum Atuk Mike, tentu Bah dulu bisa bersekolah. Dan tidak hidup merempat seperti ini,� kenang Pak Usu Seman di hadapan anak-anaknya. *** Hari ini akan diadakan rapat tentang permasalahan anjing yang diceritakan Mala dan Abu. Tepat pukul satu siang, rumah Malik sebagai RT di pulau ini, sudah penuh dengan penduduk. Sengaja siang itu mereka tak ke kebun. Bagi mereka, permasalahan anjing-anjing ini, jauh lebih penting dari pada pergi ke kebun. “Permasalahan anjing ini, adalah permasalahan keselamatan masyarakat pulau ini. Dan ini, harus kita selesaikan dengan cepat!�.

106


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Sabarlah, Pak Usu. Kite di sini memang ingin membahas masalah itu. Kalau Pak Usu emosi seperti ini, nanti masalah malah bisa menjadi beso. Kite juga tak mau ada anjing di pulau kita ni,” Mansyur mencoba menenangkan Pak Usu Seman. Sedang RT Malik masih saja berdiam diri. “Kita beri kesempatan Pak RT untuk bercakap,” sambung Mansyur. “Begini. Sebagai RT, saya sudah memikirkan hal ini. Keselamatan dan kenyaman hidup yang warga harapkan, tetap menjadi prioritas utama. Tiada alasan untuk saya membiarkan sesuatu hal yang akan mengusik keselamatan dan kenyamanan hidup kita. Yang menjadi pertanyaan saya sekarang ini, apa mungkin anjing-anjing itu mengganggu dan mengancam keselamatan warga di pulau ini?” “Mengganggu atau tidaknya, kehadiran anjing-anjing itu telah menghilangkan marwah dan nama baik pulau kita!” Kini urat-urat di leher Pak Usu Seman terlihat sebesar ibu jari. RT Malik terdiam. Kalau tidak mengenang Pak Usu Seman orang yang paling tua di pulau ini, jelas buku tumbuknya hinggap di wajah Pak Usu Seman. “Begini maksud saya Pak Usu. Segala tindakan haruslah jelas permasalahannya. Untuk menghalau anjing-anjing itu suatu hal yang mudah. Tapi akan menjadi hal sia-sia seandainya segala duga kita salah. Saya hanya ingin bersikap bijaksana. Tak ada sedikit pun niat saya untuk menolak keinginan Pak Usu dan juga warga yang lain. Akan menjadi suatu hal yang merugi bila kita harus menghabiskan waktu demi sebuah pekerjaan yang belum jelas letak duduknya. Waktu yang harus kite gunakan untuk mengolah kebun dan tanah kita akan habis untuk mengurus anjing-anjing itu”. Kini giliran Pak Usu Seman dan yang lain terdiam. Katakata dengan gaya wibawa yang dibuat-buat itu telah membius

107


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 seluruh warga yang hadir. Atau memang begini cara para pemimpin untuk mendapat simpati dari orang yang akan dipimpinnya. Entahlah. Tak dapat Pak Usu Seman menjawab. Pak Usu Seman bukankah orang yang pernah mendapat pendidikan di bangku sekolah. Pandai membaca Al-Quran berkat ajaran Wak Samat saat ia masih berumur di bawah tujuh belas tahun. Tak ada satu orang pun yang berani untuk mengeluarkan suara. Apa lagi menyanggah apa yang disampaikan RT Malik. Seketika mereka membeku macam batu. Walaupun mereka tahu pendapat RT Malik merupakan keputusan sepihak dan sangat merugikan mereka. Tapi apa hendak dikata. Bila kuasa telah mengembangkan sayapnya. Atau mereka akan dianggap pembangkang. Kesempatan sunyi itu betul-betul dimanfaatkan RT Malik untuk menutup pertemuan sore itu. Seluruh yang hadir meninggalkan ruangan. Namun di wajah Pak Usu Seman dan Atah Bahar begitu nampak menyimpan rasa tidak puas. Sebuah keputusan yang sangat tidak diharapkan Pak Usu Seman dan Atah Bahar. “Aku akan memilih untuk meninggalkan Pulau ini sepertinya Har,” keluh Pak Usu Seman saat kedua berjalan menuju rumah mereka. “Tak sebaiknya dikau pikirkan dulu. Terlalu berat keputusan yang dikau buat tu,” Atah Bahar mencoba membujuk. “Rasanya tak perlulah aku jelaskan alasannya. Engkau juga tahu alasan apa yang membuat aku beserta Emak aku dulu pindah di kampung ni. Dan alasan itu juga yang membuat aku membuat keputusan ini”. “Tapi bagaimana dengan Istri dan anak-anak engkau. Apa mereka mau menurut keputusan yang engkau buat ni?. Keluarga istri engkau penduduk asli pulau ini. Aku rasa,

108


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 bukan hal yang mudah untuk istri engkau menerima ajakan engkau”. “Aku yakin istri aku akan paham”. Pak Usu Seman belok kiri ke arah rumahnya. Langkahnya nampak begitu malas. Ada begitu banyak kecewa melekat dari setiap langkahnya. Tak layak di usia senja dia harus melakukan hal yang tak mungkin lagi dikerjakan. Kini demi sebuah keselamatan dan kekecewaan harus mengantarnya untuk melakukan hal itu. Baginya, itulah keputusan yang tepat. Menjauh dari bahaya yang mengangkang di depan mata. Pak Usu Seman kini telah sah meninggalkan pulau itu. Kabar tentang anjing-anjing di pulau itu semakin membuat hatinya miris. Kenapa tidak, bukan hanya anjing yang semakin banyak, orang-orang di pulau itu bahkan telah merubah kehidupan mereka dengan gaya dan pola hidup seperti binatang tersebut.*** “Sekarang anjing-anjing itu tak lagi menggigit manusia, tapi telah berani pula merusak ladang dan berkuasa penuh atas hutan dan segala isinya dengan menggadaikannya kepada anjing-anjing yang lain.”*** Ruang Sempit, Jan-Feb 2014 Jumadi Zanu Rois adalah alumnus Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Jurusan Seni Teater. Memainkan dan menyutradarai beberapa pertunjukan teater. Hobi membaca karya sastra hingga mengantar semangatnya untuk menulis. Beberapa sajaknya telah tergabung dalam Kumpulan puisi Ayat-ayat Selat Sakat (Sagang 2013). Penulis berasal Pulau Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti. Kini tinggal di Pekanbaru.

109


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

110


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Opung CERPEN RIAN HARAHAP

SEDARI kemarin hujan masih menetes di kaki gunung. Riuh-riuh pinus membelah kesunyian hutan tanpa memikirkan waktu. Adakalanya pula mereka bergurau dengan deras dan menganak sungai pulalah hingga ke langit. Barangkali ini sudah kodratnya sehingga tak perlu lagi dipertanyakan. Semua masih seperti biasa dibalut dengan kelaziman hujan. Aku teringat akan masa lalu. Dengan suarasuara dari radio tua di rumah. Persis seperti ini. Sangat persis, mulai dari hujan yang datang dengan bahana lalu semarak sayup suara-suara bahasa batak yang diproduksi radio tua. Belum lagi dengan kehangatan yang hadir di pondok itu. Ditemani secangkir teh untuk diserup pas lewat obrolan seorang tua kepada muda. Tarutung masih saja seperti yang lalu. Dingin, ramah dan hijau. Inilah surga yang terpendam belum lagi jika terus lagi dan berjumpa dengan Laguboti, entahlah surga apalagi yang bisa disebutkan untuknya. Bau kacang Sihobuk menebas selera makan yang menimpa seharian setelah bekerja. Sebagai anak laki-laki yang memang asli berdarah keturunan batak; sudah semestinya aku bekerja keras. Tanpa

111


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 pernah berpikir kapan aku harus sekolah dan memakai seragam. Sebab aku pun tak pernah melihat orang-orang berseragam di kampungku. Aku hanya pernah dapat ceria kalau saja sekolah itu memakai seragam. Lagipula bagi kami seragam pun sudah ada melekat tepat pukul delapan pagi. Seusai sarapan indahan bocah-bocah kecil itu berlarian ke dapur. Tepat di ujung dapur terselip cangkul yang sengaja disembunyikan. Belum lagi matanya mencari tempat di mana parang yang akan disarungkan ke pinggang. Mereka selalu ricuh dengan langkah yang sama pula beralun dengan hentakan-hentakan kaki di lantai tanah. Beberapa kali mereka kehilangan perkakasnya. Tempat dimana kemaren ia menyembunyikan dengan sangat sembunyi. Agar tak ada tetangga yang meminjam. Sebab belakangan banyak sekali parang atau cangkul yang hilang dari rumah tetangga. Modusnya sangatlah sopan dengan meminjam perkakas tersebut karena kepunyaannya sedang rusak atau terlalu sembunyi hingga tak nampak di rumah. Tentu saja sebagai orang sekampung dan memiliki latar belakang yang sangat dekat; peminjaman itu sah-sah saja. Dengan catatan yang harus digaris bawahi bahwa perkakas itu dikembalikan. Tak penting tepat waktunya yang penting dikembalikan pada yang punya. Entahlah mungkin karena kebaikan yang disia-siakan dulu tak berguna kini aku sedikit lebih pelit. Opung yang mengajari ia tak pernah ingin pelit sedari dulu. Dan ketika persoalan itu membumi maka dengan seketika Opung sigap dengan balasannya. Opung seorang tua yang baik. Tiada lagi mungkin engkau mendapati seorang tua yang rela menjadi muda untuk menunggui besar cucunya. Ia tak malu jika kerentaan itu masih mampu membawa cucunya mendaftar di sekolah. Perlu waktu dua jam untuk pergi ke seberang. Dompetnya pun mungkin sudah tak terisi lagi saat itu. Tapi itulah Opung

112


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 ia selalu membawaku ke sekolah dengan harapan aku akan menjadi dokter. Cita-cita klise yang diidamkan oleh seorang bocah. Aku tak pernah menginginkan profesi itu namun saja Opung yang lebih berminat. Aku tak ingin mengecewakan Opung. Perjalanan keuangannya yang menanggungku semakin membabi buta setelah Ayah dan Inang pergi ke surga. Mereka dipanggil dengan kegesaan oleh Tuhan dalam sebuah kebakaran. Tak ada yang bersisa dari peristiwa naas itu. Hanya pasir-pasir serta arang dan bau hangus tubuh manusia. Semenjak itu aku kehilangan jiwa-jiwa yang bertahta di istana. Harapan hidup semakin memburuk. Hidup bukanlah seperti angan-angan yang diciptakan dengan kegembiraan. Tawa orang tua dengan dekapan hangat lalu mencium anaknya dengan keseriusan kasih sayang. Senjakala berwarna jingga. Hutan menggerutu dengan tanah. Sebab hara tak lagi ingin bercinta dengan violet. Aku memang ragu dengan hidupku masa itu. Bertahan pada saat seperti itu hanya menambah urat-urat di kepala dan mati perlahan di pembaringan. Aku sangat tidak bernyawa. Bisa dibayangkan kecintaan yang biasa diuntai dalam aroma kesturi menyingsing fajar di selasar rumah. Lalu inang seperti biasa memanggil dan memandikan bocah satu-satunya yang dimilikinya. Bocah berumur delapan tahun; memiliki mata yang cokelat, kulit yang melangsat dan rambut ikal seperti kaum mongol di ujung sana. Sepertinya kebahagiaan itu menjadi imaji kala nadi ingin berhenti. Tatkala itu pula aku mengendus sebuah cahaya yang datang dari langit ketujuh. Ia memberi pencerahan dari selip-selip pelangi kegelapan yang lalu. Biasnya tak memedihkan mata tapi memakukan selera kornea. Opung, lelaki tua. Urat mata sudah mulai tak lagi berbaris dengan sempurna. Menumbuh pula uban-uban yang berseliweran dengan hebatnya. Kehebatannya bukan dari

113


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 nama yang sangar dalam bahasa batak. Jika ditilik dalamdalam melihat rupawan yang tua. Maaf ia bukan lagi tua namun sudah renta. Aku menitikkan air mata. Jantungku berdegap melihatnya kala mengantarku ke kampung sebelah untuk sekolah. Tubuhnya yang semakin layu masih mampu memegangiku; kurang kuat apalagi dia sebagai orang tua. Kehadirannya menjadi sebuah dahaga dalam sahara. Ketika ayah dan inang sudah membekam di pusara, Opung datang pula dari surga. Aku dipelihara. Setiap pagi dimandikan dengan tangannya yang mulai bersisik, suaranya yang parau, mata yang merabun. Ia kadang lupa. “Angkat tangan kanannya biar disabun, coba-coba Tondi!” “Ia Opung” “Bukan yang kiri, kanan, kanan” Aku sangat jelas menaikkan tangan kananku, bukan kiri. Apa guru yang mengajariku di kampung sebelah salah dalam mengajarkan muridnya. Guru seperti apa dia hingga salah mengajarkan muridnya untuk membedakan mana kanan dan kiri. Opung tak mungkin salah dalam hal ini. Opung bukanlah manusia yang dimakan kepikunan. Sebagai seorang veteran perang ia selalu bangga dengan buku-buku yang tertata di lemari usangnya. Hampir tiga ratusan judul buku yang ia punya. Judulnya pun bermacam-macam diawali dari buku kesehatan sampai kepada masalah dapur. Itulah alasan yang membuat aku yakin sekali kalau Opung tak akan pikun. *** Selang waktu mendengus di pelipis telinga. Matahari punya rencana menukar waktu dengan masa depan. Inilah saatnya aku membuat Opung bangga. Kedewasaan mulai menapaki tubuh ini. Gugup aku bertemu Opung. Ingin kulahap semua senyumannya dan merangkum dalam-dalam

114


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 untuk disimpan di hati. Opung sudah semakin tua. Kiranya doaku dikabulkan Tuhan. Ia panjang umur tanpa pernah sakit parah sedikitpun, paling hanya masuk angin karena terlambat makan. Cangkul sudah berkarat. Parang tergantung namun tumpul, warnanya pun tak jelas. Aku menjelma menjadi seorang pintar di kampung ini. Sekolahku sudah lebih baik dari orang sekampung. Bukan aku mengejek, namun Cuma aku lah satu-satunya anak yang memiliki pendidikan agak tinggi. Cuma aku yang bisa menamatkan sekolah menengah atas di kampung ini. Pemuda lain masih bisa hanya bisa menamatkan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama dan itu pun kembali seperti semula kampung ini didirikan. Kampung yang berbunyi ketika cangkul dan parang sudah membentak bumi. Sawah yang ditanami padi. Kebun-kebun yang penuh dengan cabe, tomat dan jeruk. Barangkali ini pula yang digariskan indah padaku. Kehilangan orang tua di saat kecil membuatku lebih memikirkan apa yang harus kuperbuat di masa depan. Lelaki tua itu adalah malaikat penolongku. Bukan pula aku mengagungkannya lebih dan lebih seperti di salah satu buku dongeng yang ia bacakan sebelum aku tidur dulu. Nafasnya terengah-engah. Ia tak pernah lagi bertanya aku sudah kelas berapa. Kelulusan ini pun tak diketahuinya. Ia hanya bisa tersenyum lalu membisikkan impiannya agar aku menjadi dokter dan menikahi boru tulang. Dahulu tak ada impian ini. Kata ‘dokter’ yang pernah kudengar namun tak pernah ada kata boru tulang. Mimpi aku dalam beberapa menit. Aku mencubit satu persatu tangan ini. Ia tak bergeming biasa, sakit terasa cubitan ini. Bisikan itu ada dan nyata. Opung ingin aku menebus kebahagiaan di hari tuanya dengan mempersunting boru tulang. Rumahnya tak jauh dari gubuk kami. Tapi bagaimana dengan Maria yang sudah kujanjikan untuk dinikahi ketika aku sudah mendapatkan pekerjaan di

115


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 kota. Aku mengamuk. Darahku tersirap, jangan mentangmentang Opung membiayaiku sekolah dan hidup jadi bisa berbuat apa saja dan semaunya. Aku juga punya hati yang harus kubagi untuk orang lain. Opung memaksaku. Kini dengan sedikit bentakan. “Boru tulang i tu ho, pahatop leh� Aku marah. Emosiku meluap. Namun aku tak mengucap apa-apa. Kususun baju-baju dalam tas. Aku pun pergi meninggalkan gubuk tua itu. Kujemput Maria lalu hijrah ke kota. Menyusun rencana bulan madu yang akan dipadu oleh cinta. Kami menikah. Semenjak itu tawa masih terdengar riuh di kepala. Gelagat ingin kembali pulang secepat cahaya menyerang dadaku. Aku menatap Opung dalam nikmatnya pusara. Entahlah, antara cita-cita, cinta dan durhaka.*** Rian Harahap adalah Guru Sastra Indonesia SMA Darmayudha. Tulisannya kerap dimuat di media lokal maupun nasional.

116


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Kematian Kedua CERPEN AZWAR R. SYAFRUDIN

/1/ RISYAF bangun dan terlihat kebingungan saat melihat orang-orang di sekitarnya berlari ketakutan. Begitu tak keruan. Menabrak apa saja di hadapan seperti kuda jantan yang kesurupan, dan membuat vas-vas indah di rumahnya hancur berantakan. Mereka seperti lebah-lebah yang terbang berhamburan–ketika ada sekelompok anak kecil jahil yang melempari sarang mereka dengan bebatuan. Suasana rumahnya menjadi angker. Anak-anak kecil menangis, meraung-raung memanggili ibu bapaknya. Tubuh-tubuh bergetar, saling memberi pelukan. Orang-orang di rumahnya serentak merapalkan berbagai macam mantra atau sekadar doa-doa penenang jiwa. Mulut mereka komat-kamit. Risyaf ketakutan melihat puluhan mata yang begitu ngeri ketika menatapnya. Bahkan kengerian itu juga terlihat jelas dari tatapan kedua orang tuanya, juga Manda, kekasihnya. Di luar hujan badai. Suara petir menyambar-nyambar seperti amuk Tuhan yang sedang memarahi para malaikatNya. Angin malam berontak. Gorden-dorden berterbangan dan bayangannya nampak seperti hantu gentayangan. Sekali

117


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 saja tiupan angin malam–yang masuk lewat celah-celah jendela dan mengelus lembut tengkuk Risyaf—sudah cukup mampu membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Risyaf meremang. Risyaf menggigil kedinginan. Giginya bergemeretak. Dengan kedua tangannya ia coba memeluk dan menghangatkan tubuhnya sendiri. Tapi bukan kehangatan yang didapatkan. Risyaf malah terlihat semakin kebingungan. Kini disadarinya bahwa ternyata sedari tadi ia tidak mengenakan pakaian. Hanya selembar kain putih besar yang menutupi sebagian tubuhnya, selain itu, ia benar-benar telanjang– seperti seorang bayi yang baru saja dilahirkan di dunia. /2/ Pak Hartono, ketua RT setempat–dengan mulut bergetar dan tarikan nafas yang penuh keragu-raguan, mencoba menenangkan warganya. Mati suri! Ia bilang Risyaf hanya mati suri dan hal seperti ini memang bisa terjadi. Meski sudah dijelaskan sedemikian rupa, dengan penjelasan yang begitu rumit dan hanya berputar-putar saja, Risyaf masih tetap saja kebingungan. Ia benar-benar tidak tahu keadaan macam apa yang kini sedang dihadapinya. Risyaf juga lupa kejadian seperti apa yang kemarin melandanya sehingga ia bisa dikatakan mati suri. Seingatnya ia tadi hanya tertidur. Tidur dengan mimpi buruk yang begitu panjang dan mengerikan. Mimpi buruk yang berhasil menghadirkan segalam macam yang ditakutinya. Ruangan gelap dan sempit, tokek raksasa, balon meletus, bayangan kedua orang tuanya yang bercerai, lalu Manda yang tiba-tiba memutuskannya, silih berganti hadir dan saling bekerjasama untuk semakin memperburuk mimpinya. Di luar petir masih mengamuk. Suara gemuruh hujan semakin menambah murung suasana batin Risyaf. Tak ada kehangatan yang bisa ia dapatkan. Risyaf memperhatikan

118


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 sekitar. Jam membeku pada dinding yang pucat, sepasang kursi di pojok rumah yang paling sepi, lalu pecahan-pecahan vas yang berceceran, semuanya menyalakan keputusasaan. Masih saja ia lihat ketakutan tergambar begitu jelas di setiap mata orang-orang yang menatapnya, tak terkecuali Manda dan kedua orang tuanya. Seperti melilitkan handuk ke sebagian tubuhnya setelah selesai mandi, Risyaf mencoba menggunakan kain putih besar untuk menutupi kemaluannya yang mengkerut kedinginan. Risyaf ingin berlari dan memeluk kedua orang tuanya, juga Manda, dan menjelaskan bahwa ia baik-baik saja. Risyaf ingin mereka semua percaya bahwa ia belum mati. Namun baru saja ketika Risyaf hendak turun dari keranda jenazah dan menapakkan kakinya pada ubin yang basah, seorang anak kecil menagis dan berteriak, “Huuuuuaaaaaaa! Ada hantu Kak Risyaaaaffffff!� /3/ Setelah kejadian malam itu Risyaf terus mengurung diri dalam kamarnya. Mengunci pintu kamar rapat-rapat dan tak menghiraukan bujukan kedua orang tuanya untuk keluar dan mencoba sedikit makan. Selama seharian penuh Risyaf tidak makan. Bayangan akan tatapan mata yang penuh kengerian, tubuh-tubuh bergetar, mulut berkomat-kamit, dan teriakanteriakan penuh ketakutan terus menjajahi akal sehatnya. Kini ia terlanjur percaya bahwa ia telah mati dan tidak membutuhkan makan lagi. Ia tak lagi percaya pada jantungnya yang masih terus berdetak. Juga tak lagi yakin akan udara yang masih lalu lalang keluar masuk lubang hidungnya. Ia terus menolak dan mengingkari tanda-tanda kehidupan yang masih melekat erat pada tiap jengkal tubuhnya. Dalam hati ia terus berkata, “Aku tidak lagi hidup. Aku telah mati. Ibu, ayah, dan juga Manda pasti tidak akan mau menerimaku kembali. Jika sekarang mereka berbaik-baik kepadaku, itu

119


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 pasti hanya karena mereka merasa kasihan. Kasihan melihat mayat hidup yang kesepian sepertiku. Sekarang aku hanyalah hantu bagi mereka. Sebaiknya aku terus mengurung diri dan tak lagi mengganggu kehidupan mereka.� Di dalam kamar ia hanya berbaring di kasur, mencoba mengingat-ingat kembali sebab-sebab kematiannya–rasa perih di dada yang begitu tiba-tiba, nafasnya yang begitu berat dan tersekat, lalu pandangan matanya yang perlahanlahan memudar seiring dengan sakit di kepala yang semakin terasa hebat. Yang ia ingat saat itu Manda sedang duduk di sampingnya. Lalu perlahan-lahan ingatan-ingatan lain mulai muncul dan berlalu lalang lagi di sepanjang jalan pikirannya. Dimulai dari rambut ekor kuda Manda, senyumnya yang mengembang lebar bak kelopak bunga mawar, mata yang menatapnya sayu, tahi lalat kecil di bawah hidung sebelah kiri, sampai akhirnya samar-samar terdengar jeritan Manda yang meminta pertolongan. Kemudian semuanya terlihat gelap, seolah-olah film sudah hendak diputar dan lampulampu dalam gedung bioskop mulai dimatikan. Ia tak lagi ingat bahwa setelah itu beberapa orang berduyun-duyun menggotong tubuhnya. Lalu terdamparlah ia di dunia kematiannya yang gelap dan sempit–namun begitu singkat. Dan setelah terbangun, kini ia harus menjalani nasib sebagai mayat hidup yang kesepian. /4/ Sudah dua hari penuh Risyaf terus meyakini dirinya sebagai mayat hidup. Tak terhitung berapa kali ketukanketukan pintu dan bujuk-bujuk rayu yang ia hiraukan. Hampir tiga hari–setelah dikabarkan positif meninggal dunia—Risyaf tidak makan. Ratusan pesan singkat dan telepon-telepon dari Manda juga ia abaikan. Risyaf terus mengurung diri dalam kamarnya. Menyiksa tubuh yang

120


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 mulai lemas dan merasa lapar dengan kesedihan-kesedihan akan kematiannya yang terus ia pelihara. “Aku hanya belum terbiasa menjadi mayat,” dalam hati ia berkata, “Aku harus terus berusaha menahan lapar. Ini hanya proses adaptasi dan aku pasti bisa melaluinya. Aku harus terus berjuang agar bisa menjadi mayat hidup yang sejati!” Begitulah cara Risyaf terus memupuk keyakinan anehnya sebagai mayat. Namun keteguhannya sebagai sesosok mayat hidup kini perlahan-lahan mulai runtuh. Hal itu dikarenakan sebuah pesan singkat dari Manda yang iseng-iseng–sebenarnya karena tak kuat lagi menahan rindu—dibacanya. Beginilah kira-kira isi pesan singkatnya: ‘Sayang, kamu sedang apa? Sudah makan belum? Aku di sini sangat merindukanmu. Malam-malamku menjadi gelisah karena terus memikirkanmu. Datanglah kemari, Sayang. Peluk aku. Buktikan pada papa mamaku bahwa kau memang masih benar-benar hidup. Mereka tak percaya pada ceritaku bahwa kau ternyata belum mati. Mereka bahkan kini mulai menganggapku gila. Apakah kau tega melihatku seperti ini, Sayang? Datanglah kemari. Aku begitu merindukanmu.’ Setelah menyadari pipinya basah oleh air mata, juga kerinduan dan rasa cinta kepada Manda yang semakin menggelora di dalam dada–juga rasa lapar yang semakin tidak bisa dibendungnya, Risyaf semakin menyadari bahwa dirinya memanglah masih seorang manusia. Aneh, begitu tidak konsistennya ia. Kini ia percaya pada kata-kata Pak Hartono, kedua orang tuanya, juga Manda bahwa ia hanya mati suri. “Ah, konyolnya. Tidak mungkin mayat hidup bisa merasa lapar, bahkan menangis karena tak kuat lagi menahan rindu sepertiku.” Risyaf tersenyum geli mengingat kebodohannya. Maka malam ini akan menjadi malam yang begitu bersejarah bagi kedua orang tuanya, juga warga kampung Gedongkuning yang untuk pertama kali–sejak dua hari hidup kembali—

121


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 melihat Risyaf berani menampakkan diri. Setelah menciumi kedua orang tuanya, makan tiga piring nasi lauk telur mata sapi, lalu mandi dan berdandan rapi, tanpa memberi kabar Manda terlebih dahulu–dengan semangat dan rasa rindu yang berkobar ala anak muda yang sedang dilanda jatuh cinta— Risyaf bergegas pergi ke rumahnya. /5/ Risyaf merasa malam itu begitu indah. Bulan seperti tersenyum kepadanya. Ribuan bintang seakan-akan genit mengedip-ngedipkan mata. Sambil tersenyum sendiri Risyaf berpikir kalau Tuhan memang sengaja merancang malam itu–menjadi sedemikian indah—hanya untuknya. Risyaf terus memacu laju sepeda motornya. Hanya kurang dari sepuluh menit lagi ia akan sampai di rumah pujaan hatinya. Ia semakin tak sabar membayangkan Manda dengan wajahnya yang penuh dengan kebahagiaan, berlari menjemputnya dan memberikan pelukan serta kecupan-kecupan hangat di bibirnya. “Ah, malam ini akan begitu indahnya,” pikir Risyaf. Setelah memarkirkan sepeda motornya secara sembarangan di bawah pohon mangga–depan gerbang rumah Manda, dengan suara terlembut dan termerdu yang mungkin pernah ia keluarkan, dari mulut Risyaf muncul sebuah nama, “Manda… Manda…” Begitulah Risyaf memanggilinya dengan nada seperti yang biasa anak-anak kecil kumandangkan saat mengajak teman-temannya pergi bermain. Namun, sudah lima belas menit ia menunggu dan belum juga ada jawaban. Padahal saat itu baru pukul tujuh malam. Lampu di dalam rumah Manda pun menyala–menandakan ada orang di dalam sana, tapi kenapa tidak ada yang mau menyambut kedatangannya? Risyaf mulai resah. Tiba-tiba handphonenya bergetar. Satu pesan singkat masuk. Risyaf membukanya dan ternyata dari Manda. Isinya: ‘Sayang, maafkan aku yang

122


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 tak bisa membukakanmu pintu. Papa mama melarangku. Mereka kira kamu adalah hantu. Aku sudah berusaha menjelaskannya tapi mereka tetap saja tidak peduli. Maafkan aku, Sayang. Besok, bila suasana mulai tenang aku akan berusaha menjelaskannya lagi. Terimakasih sudah datang malam ini. Aku mencintaimu, Sayang.’ Risyaf merasa jengkel. Ia merasa kehidupan mulai tak adil lagi kepadanya. Malam yang dibayangkannya akan menjadi malam terindah kini malah jelas-jelas mengecewakannya, menipunya dengan segala macam sihir keindahan yang masih saja dipertunjukkan. Dengan emosi yang bersungut-sungut di kepala, Risyaf membalas pesan singkat Manda: ‘Tak perlu repot-repot menjelaskannya lagi. Besok pagi akan kubuktikan sendiri kepada orang tuamu kalau aku memang belum mati. Aku juga mencintaimu, Sayang.’ Setelah mengirim pesan singkat itu Risyaf mematikan Handphonenya. Beberapa saat ia pandangi keadaan sekitar–tersenyum sinis memandangi kemesraan bulan dan bintang. Lalu dengan kecepatan seorang pembalap kesetanan ia memacu sepeda motornya pulang. Ia sudah tak sabar menyiapkan alat-alat untuk hari pembuktiannya esok pagi. /6/ Esok harinya warga daerah kampung Demangan dan sekitarnya geger. Seorang kakek tua yang hendak pergi memulung menemukan sesosok mayat murung yang tergantung di pohon mangga depan rumah Pak Roso–ayah Manda. Mayat itu menggenggam sepucuk surat yang isinya: “Mandaku sayang, lewat kematian keduaku ini orang tuamu pasti akan percaya bahwa malam kemarin aku memang belum mati. Aku mencintamu, Sayang. Cintaku kepadamu takkan mati meski kini Tuhan telah dua kali mencabut nyawaku. Aku tunggu kau di dunia yang takkan

123


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 pernah lagi mempersoalkan hidup dan mati.�*** Yogyakarta, 4 Juni 2013 Azwar R. Syafrudin, lahir di Yogyakarta, 21 Maret 1992. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY. Sedang bergiat di Komunitas Sastra Rabu Sore (KRS). Tinggal di Jalan Semangu 18A Gedongkuning Yogyakarta. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di beberapa media massa seperti; Minggu Pagi, Riau Pos, Suara Merdeka, Joglo Semar, Jurnal Nasional, Padang Ekspres, dan Inilah Koran.

124


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Batu Sebesar Bumi CERPEN DAFRIANSYAH PUTRA

MENYIRNAKAN kesucian, bagai menjunjung batu sebesar bumi di puncak kepala. Hendak mengelak, mustahil, sebab beban mesti ditopang. Akan dihempas, tak mungkin, beginilah tanggung jawab mesti dijunjung. Lantas, apa hendak dibuat, apa pula hendak dikata. Semakin ditopang, batu besar itu semakin membikin tapak kaki lambat laun tenggelam ke dalam tanah. Semakin lama kian mendalam hingga terbenamlah seluruh tubuh—bersama jiwa—terkubur tanpa daya… Tepian sungai, riak-riak menderu seirama kaki-kaki kecil para bocah bermain sipaktekong. “Kejar aku!” si gempal berlari semampunya. Lipatan perutnya melonjak-lonjak. Tiga kawannya bersikejar tanpa baju dan sandal. Ia menghambur ke dalam sungai, air memercik hebat diikuti lompatan kawan-kawannya. Perempuan di tepian sungai, perempuan di antara ilalang yang merimbun itu hanya mencipta sesungging senyum. Semisal waktu mampu dijemput ke puluhan tahun lampau, lebih kurang seusia dengan bocah-bocah itu, ia ingin menggandeng tangan ayahnya kembali, dengan erat, bahkan lebih erat.

125


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Ia ingin menggandeng tangan ayahnya kembali seperti saat berdua mereka berjalan menyisi aliran Batang Selo itu. Terbayang olehnya, di tiap langkahan tapak kecilnya dulu, ia seolah tak kenal pada rasa jemu. Terlebih saat sepasang mata bulat itu membelalak takjub pada kawanan kupu-kupu yang bagai menggoreskan kuas di tubuh langit; liukan indah dari kepakan sayap-sayap halus beragam rona. “Ayah, akulah kupu-kupu. Aku kupu-kupu yang melintasi langit lalu hinggap di kopiah Ayah.� Ia rentangkan kedua belah tangannya habis-habis. Lelaki tua itu hanya akan tersenyum menatap laku tunggal belengnya. Begitulah, ketika usianya belum terhitung belasan. Rantak akan melambung kegirangan jika ayah membawanya ke tepian sungai, sekedar merintang-rintang petang lalu pulang jika dirasa azan Magrib hampir berkumandang. Rantak amat mafhum, keberadaan Batang Selo seakanakan tiada akan henti dari suara arus. Sesekali suara itu akan terdengar lebih riuh manakala deburnya mengganas menarung bebatuan; saat air sungai berwarna kecokelatan dan arusnya bergulung-gulung bagai ombak; tatkala gabak menaungi langit hulu, seakan menyampaikan alamat bahwa hujan telah lebih tumpah ruah di daerah perkampungan. Kecuali di waktu hujan, hampir saban senja Rantak kecil bersama ayahnya akan bertamu kepada aliran Batang Selo. Hingga Rantak menganggap sungai yang melingkungi bukit Batu Patah itu sebagai tempat terindah yang selalu ia rindukan setiap saat, terlebih pikirannya tak hendak lepas dari kupu-kupu yang kerap ia temukan di sepanjang jalan. Tetapi kemudian semua perasaan itu sirna manakala perubahan tak lazim mulai terasa. Lelaki tua yang gemar bertelungkupkan kopiah beludu itu mulai bergelagat ganjil kepada putrinya. ***

126


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Si gempal gelagapan. Teman-temannya menggerubunginya, menggelitik lipatan ketiaknya. “Akan lari ke mana lagi kamu?� Perempuan itu menahan geli melihat tingkah anak-anak itu. Selepas kemudian ia tertegun dalam tekur. Masih jelas terbayang, saat ayahnya dulu berlagak pinggang dengan mata membelalak. Serta merta meninggi nada suara yang biasa selalu terdengar berat rendah itu kala memaksanya untuk menyeberangi sungai tanpa memedulikan arus—sekalipun ketika itu alirannya tengah membuas. Dan lalu, ia dipaksa menyeberang, namun pantang melalui titian sederhana dari beberapa bentang kebatan betung yang lazim dijadikan sarana penyeberangan oleh masyarakat. Ayahnya bersikeras agar Rantak mengarungi sungai dengan berpijak pada batu-batuan yang membatu di sebentang aliran sungai. Rasa ketakutannya lebih-lebih dari mendengar derasnya arus dalam hujan selebat apa pun. Dalam pikiran Rantak, bagaimana mungkin akan mampu ia menuntaskan titah sang ayah sedang untuk berjalan saja ia mesti bertopang penuh pada sepotong tongkat yang senantiasa menjadi pengganti tugas bagi kaki kirinya yang buntung sejak hadir di bumi ini. Tak ada yang tak mungkin jika keterpaksaan menjadi pemicu. Dan dengan terpincang-pincang pun Rantak mesti mencoba melompati ke satu batu menuju batu lain yang cukup berjarak dan tentu tidak rata sebagai tempat penyeimbang tubuh. Bahkan kerap tubuh kecil itu terjatuh pada lompatan-lompatan awal. Rantak benar-benar tak mengerti. Ia mencoba berkira: apa ayah perlahan mencoba membunuhnya? Atau janganjangan ini sikap ayah lantaran tak lagi sanggup menanggung penghidupan yang belakangan selalu dirundung malang? Harta benda dan bertumpak-tumpak sawah telah tergadai

127


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 untuk pengobatan ibunda, dan beberapa hari setelah nyawa sang ibu lesap dari raga, rumah mereka pun dilahap si jago merah. Perasaannya selalu bertanya-tanya, terlebih jika ia lihat ayahnya yang biasa bagai malaikat yang senantiasa menghangatkan hari-harinya, seketika menjelma bunian paling seram yang seolah hanya kenal kata-kata: “Meski perempuan kau harus tangguh. Meski ragamu tak sempurna, pantang untukmu beriba-iba. Maka, lekas menyeberanglah, Nak!� Ayahnya semena-mena akan menghardiknya tanpa sekalipun menolong saat ia terjerembap dalam gelombang sungai. Bahkan pada suatu ketika, ia sempat terseret arus sebelum kemudian tertambat pada batu. Lagi-lagi ayahnya tampak acuh dan kembali melayangkan titah. Lama ia membiakkan tanda tanya. Dengan ringannya sang ayah kerap memberi ancaman akan mematahkan tongkatnya jika ia enggan menyeberang. Bukan sekadar ucapan, lelaki itu benar-benar membuktikan di hadapan Rantak ketika suatu kali ia bersikukuh menolak untuk menyeberang lantaran merasa tetap tak punya daya meski telah berusaha sekuat apapun. Akibatnya, Rantak terpaksa mengisut menuju kaki ayahnya. Dengan layaknya menyembah, ia meraung-raung minta dicarikan kayu penopang agar ia dapat tegak. Entah tak tega melihat sebelah kaki anaknya yang telah penuh oleh gores dan luka akibat bergesek dengan ujung kerikil ketika mengisut, atau merasa telah memberi pelajaran yang berarti kepada anaknya, maka lelaki itu pun lekas mengeluarkan parang dari balik punggungnya, lantas melayangkannya pada kayu yang berada di sekitar. Dengan beberapa kali sayat, kayu penopang pun tercipta. Dan sembari memangkas itu ia rajin mengulang-ulang perkataan, “Seberat-beratnya kayu,

128


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 terapung juga di air, Nak.� Sejak saat itulah kesenangan yang Rantak rasakan setiap kali diajak ke sungai seketika sirna macam abu diembus. Rantak merasa berat hati. Akan tetapi tak kuasa baginya mengelak, bersebab ancaman demi ancaman senantiasa lahir dari mulut ayahnya dan itu amat menakutkan saat ia coba bayangkan. Rantak merasa sungai telah menjelma belanga di atas kobaran sepilin kayu api. Deburan yang senantiasa hadir di telinga tak ubah gemericik air rebusan yang terus memanggilmanggil tubuhnya dalam gelimangan panas. Sungai neraka! Di sepanjang jalan, Rantak tak lagi memedulikan kawanan kupu-kupu yang berterbangan dengan wewarna menggiurkan pada sayap-sayap halusnya. Yang berkuasa penuh pada pedalaman benaknya tak lain hanyalah sang ayah. Ayah dengan air muka bengis. Lelaki tua dengan sepasang mata api, Rantak menamainya. *** Sipaktekong mulai tersara membosankan. Anak-anak itu menghabiskan hari dengan berenang. Hilir-mudik kaki-kaki kecil itu lincah mengapung. Sekali waktu ada yang bersuara, “Ayo pacu-pacu. Berani?� Serempak berujar, “berani!� Perempuan itu sesekali memainkan air sungai yang menepi sembari matanya tak lepas dari anak-anak itu. Rantak dahulu kerap sangsi dan seakan bertanya-tanya: mengapa duri-duri tajam yang sekian lama tertanam di jari-jemari kehidupannya perlahan terangkat tanpa merasakan kepedihan? Barangkali keterpaksaan yang telah mengubah segalanya? Ataukah adakalanya kepedihan hanya bagi luka yang sesaat? Ah! Melebihi usia dua puluhan, Rantak sudah tak cangung lagi menaklukkan arus sebesar apapun saat menyeberangi

129


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 sungai. Seperti katak Rantak melambung tanpa memakan banyak waktu. Satu persatu batu-batuan ia langkahi dengan ringan dan pasti. Ia melihat tapak kaki dan pangkal tongkatnya tak lagi gemetar menahan setiap langkah. Terkadang ia masih tak percaya bila ia mengingat kesukaran di masa lalu. Ayahnya pun telah lebih banyak menghabiskan hari dengan menghambakan diri kepada sujud. Lelaki yang beranjak senja itu tak lagi memiliki sepasang mata api. Api pada matanya takluk sudah oleh picingan kesejukan—atau bahkan ketentraman—tatkala bulatan tasbih hijau mudanya ganti-berganti merasakan kecupan dari ibu jari dan telunjuknya, seolah menjadi pengimpas atas tiap hembus nafas serta denyut jantung yang dipinjam dari sang Ilahi. Begitulah keseharian yang dilalui lelaki tua itu. Bahkan berjalan-jalan sore dengan anak perempuannya seperti dahulu rasanya sudah tak elok dipandangi orang. Lagi pula, lelaki itu merasa tugasnya untuk menanam telah usai, tinggal bagaimana buah itu matang di pohon seiring putaran gasing waktu. *** Jelas, permainan pacu-pacu menyisakan kekalahan bagi si gempal. Tak sanggup ia berenang mendahului temantemannya. Ia disoraki ketika tubuhnya masih berusaha mencapai batas kemenangan. “Ayo, terus!� perempuan itu pun turut berteriak menyemangati. Di keteduhan batang kuini muka rumah, Rantak yang kala itu telah memiliki sepasang dada ranum terlihat amat tekun meneliti lubang kain yang akan dimasukkan sehelai demi sehelai benang wol beragam rona. Pada kain itu sekilas tergambar seorang anak gadis bergaun hijau daun tengah tegak di tentang jendela terbuka. Gadis dalam rajutan itu tampak sedang memandang seorang lelaki muda berkuda

130


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 yang melintas di halaman. Sekilas Rantak tersenyum memerhatikan kerajinan tangan yang ia buat tinggal beberapa bagian lagi bakal rampung. Jika selesai, Rantak berniat akan membingkainya, lalu akan ia pajang di salah satu sisi dinding ruang depan. Tatkala Rantak coba merentangkan kain itu lebar-lebar lalu memandanginya berkali-kali, mengapa tiba-tiba ada seperti sentakkan kecil pada ulu hatinya. Jantungnya berdegup lebih kencang. Pipinya terasa hangat dan ketika menoleh pada cermin di dalam kamarnya, ia mendapati tembam pipinya bersemu merah. Ah, inikah rasa bagi buah yang matang? Sungguh, suasana dalam rajutan itu telah menyeret ingatkannya pada sesosok pemuda yang tak sengaja mendalamkan pandangan dengannya di lepau Mak Puak tiga hari lampau, kala Rantak membeli setengah kilo kopi Nilam kesukaaan ayahnya. Tiada lain keteduhan tatapan lelaki itu seketika bertamu di ruang pikirnya. Duh, bukan saja teringat, bahkan paras pemuda itu seolah membentang nyata di hadapannya. Rantak salah tingkah. Tatapan pemuda itu begitu lekat, Rantak muskil menampik hal itu—lantaran untuk kedua kalinya mereka kembali dipersuakan. Tentu tak dapat dielakkan, untuk mencukupi keperluan sehari-hari hanya ada satu kedai yang dekat dari tempat tinggalnya, mustahil bagi Rantak untuk tidak bertemu pemuda yang rupanya adik bungsu Mak Puak. Entah siapa yang memulai percakapan terlebih dahulu, hingga Rantak akhirnya mengetahui ternyata pemuda itu baru kembali dari rantau bersebab pekerjaannya sebagai sopir salah seorang pejabat negara berhenti lantaran bosnya terseret kasus suap. Dan, konon kasus tersebut sempat santer dibicarakan di negeri ini. Sementara mengisi waktu sekaligus upaya untuk lolos dari status saksi, pemuda itu memilih

131


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 menuruti saran kakaknya untuk berada di kampung. Dan pada suatu waktu, dalam pertemuan yang telah kerap terjadi, lagi-lagi entah menyangkut pembicaraan apa, mereka telah membikin kesepakan waktu dan tempat untuk bertemu. Rantak merasakan kesesuaian berbincang dengan pemuda itu. Padahal selama ini Rantak bagai kucing terkena balur. Terhadap siapapun ia tak banyak bicara selain daripada menyapa lantas kembali menekur. Kenyataan akan kondisi badaniahnya-lah yang membuat kepalanya seolah dibebani saat mendongak. Padahal, ayahnya selalu mengatakan bahwa Rantak mesti menegakkan kepala. Salah satu penguat dari ayahnya: tak semua orang mampu menyeberangi sungai dengan berpijak pada bebatuan. Dan Rantak, buntung, tapi mampu sampai ke seberang. Agaknya pelajaran ayahnya memang tak bersua untuk semua orang. Tapi mungkin saja cerita akan lain pada seseorang yang dari rantau ini. Kesenangannya sewaktu kecil tatkala dibawa ayah berjalan-jalan mengitari Batang Selo seolah kembali ia rasakan. Bahkan ia merasa perjalanannya untuk bertemu pemuda itu entah mengapa terasa menjadi lebih indah— meski pemandangan yang dilalui tiada berubah sesudut pun. Di tengah perjalanan, Rantak tak hanya mendapati pertunjukkan sirkus alam oleh kawanan kupu-kupu yang bermanuver dengan sayap-sayap halusnya. Akan tetapi, ia mencoba iseng mengejar dan melompat guna meraih salah satu kupu-kupu yang ia lihat amat indah. Tak terasa sukarnya ia melambung dengan kaki yang hanya satu, sebab kebahagiaan tengah menaungi dirinya. Setelah cukup lama berjalan, ia lihat lelaki yang seperjanjian sudah duduk menanti di atas salah satu batu besar yang menjorok di bibir sungai. Ia agak menyesal lantaran kehadirannya sedikit lebih lama dari yang telah

132


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 disepakati. Lantas kepada pemuda itu ia mengaku kalau tadi menanti ayah pergi ke surau terlebih dahulu, sehingga ia tak akan dintanyai akan pergi ke mana. Dan jika ayah sudah ke surau pasti lama kembali. “Sampai kelapa bertumbuh durian pun ayah belum tentu akan kembali,� Rantak memberi penekanan sekaligus berniat memecah suasana. Ahai, perempuan itu cukup lihai menyeberangi satu bebatuan! Setelah tongkat diletakkan, ia duduk di sisi lelaki itu. Beberapa saat sepasang manusia itu bagai beku, seolah berusaha mendengarkan detak jantung satu sama lain. Sembari membasahi ujung-ujung kaki ke permukaan sungai mereka berusaha mencuri-curi pandang. Tak lama berlalu, yang satu mencoba melempar tanya, yang lain menjawab, lalu ganti-berganti bercerita, berkisah apa saja, tanpa sadar saling memuji, merayu, terkikik-kikik. Semakin lama kikik seiring dengan cubit. Semakin lama cubit sejalan dengan gelitik. Semakin lama gelitik beriring dengan rabaan. Semakin lama Rantak semakin hebat mengangkat batu besar yang tengah mereka duduki. Semakin terangkatlah batu itu. Semakin besar wujudnya. Semakin terlihatlah lumut yang melekat di paling bawah batu itu setelah sekian masa berdiam di kedalaman tanah. Semakin terkikis pancaran kesucian perempuan itu. Dengan terpincang-pincang Rantak menjunjung batu sebesar bumi itu ke sekeliling kampung. Lalu menuju surau, untuk dibagi kepada ayahnya yang tengah asyik masyuk menyulam bebayang nirwana. *** “Sudah puas bermain dengan teman-teman? Lekas kenakan pakaianmu.� Perempuan itu merangkul si gempal

133


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 dengan penuh kasih sayang. Kembali ke rumah dengan pemandangan perjalanan yang tak ubah sekian masa. Menyirnakan kesucian, bagai menjunjung batu sebesar bumi di puncak kepala. Sekalipun tubuh—bersama jiwa— terkubur kala menopangnya, batu besar itu tak akan lantas turut terbenam. Ia akan tertahan di permukaan. Selamanya akan abadi, sekalipun air mata tiada henti menggerusnya...*** Padang, 2013-2014 Dafriansyah Putra, lahir di Batusangkar, Sumatera Barat, 7 Juli 1992. Berkuliah di Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas, Padang. Bergiat di Unit Kegiatan Seni Universitas Andalas (UKS-UA).

134


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Sujaran CERPEN ADI ZAMZAM

SIANG terik berdebu. Tapi tubuh Sutopo seperti habis diguyur hujan. Saat sekilas tadi ia melihat bayang wajah di kaca spion sebuah mobil, riasan wajahnya sudah harus diperbaiki. Luntur, sehingga membuat wajahnya terlihat lucu. Menepi dari jalan raya. Membuka buntalan kain yang ia ikat di pinggang. Ada kaca kecil, lipstik, bedak, dan sepotong kecil pelepah pisang penampung arang berbungkus plastik. Ini masih setengah hari. Ia masih harus memperbaiki riasan wajah lagi. Setelah cahaya berada tepat di atas ubun-ubun, barulah ia akan memakai topeng. Begitulah hampir setiap hari. Menjelang Asar Sutopo baru pulang. Riasan wajahnya sudah bersih. Setelah menyerahkan penghasilan ke istri, ia tak langsung istirahat. Kadang ada banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan uang tambahan. Lalu, setiap jelang tidur, Sutopo harus memikirkan ke mana esok hari harus membawa jaran kepangnya. Hampir semua jalan Kabupaten sudah pernah disambangi. Mungkin orang-orang juga sudah hafal wajahnya. Karena itu ia harus mengatur siasat, hampir setiap malam. Setiap penghasilan menurun, ia akan selalu merubah penampilan.

135


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Dulu, keadaannya tak seperti ini. Sewaktu partai politik masih tiga saja, ia memiliki sebuah grup jatilan. Setiap musim hajatan tiba, grupnya sering kewalahan memenuhi panggilan. Pernah mereka hanya sempat mengisi selama satu setengah jam, namun bayarannya cukup untuk makan hampir sebulan. Semenjak partai politik pecah berkeping, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Bencana itu berakar ketika Taripin, salah seorang anggota grup, masuk menjadi salah seorang kader parpol. Grup jatilan itu kemudian memang kerap manggung2 setiap kali parpol itu berkampanye. Namun setelah pemilu usai, orang-orang yang tak suka partai Taripin pun jadi antipati. Mereka lebih memilih hiburan lain yang tak ada sangkutpaut dengan partai politik. Meski kemudian Taripin memutuskan keluar dari grup. Lambat laun para anggota grup sesak napas karena sepi panggilan. Disusul kematian Pak Supar, sang pemimpin grup. Tak lama kemudian grup itu bubar. Bagi para anggota lain, mudah saja mereka pindah profesi. Tapi tak untuk Sutopo. Dengan tarian itulah dulu ia memiliki kebanggaan dan merasa hidupnya lebih berarti. Sudah banyak cara digunakannya. Dari mulai kerincingan yang ia tempel di jaran kepang, kostum dan rias wajah mencolok, sampai nekat mondar-mandir menyeberangi keramaian lalu lintas demi mencari perhatian (ini dilakukannya saat tak ada polisi). Ia juga sering membayangkan mempunyai tempat pentas sendiri. Pernah ia mengajak serta seniman-seniman yang senasib, mencari lokasi yang bisa dijadikan tempat pentas tetap. Tapi tak ada yang betah karena susah memanggil penonton. Ia tak peduli dengan omongan miring orang-orang, yang menganggapnya sampah jalanan, pemalas, atau bahkan kurang waras. Mereka mana tahu? Bahkan si Taripin, yang

136


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 sudah pernah merasai empuknya kursi anggota dewan yang terhormat! Sutopo pernah bertemu sekali dengannya di sebuah perempatan jalan. Di dalam mobilnya, dia melengos sambil senyum tipis. Hidupnya hidupnya, hidupku hidupku. Toh Tuhan akan tetap memberi cobaan hidup kepada siapapun. Kemarin Sutopo mendengar cerita itu langsung dari Mulyadi, sahabat karib semasa di grup, yang kini jadi kepala desa. Sutopo sendiri pernah diminta anak buah Taripin untuk manggung di acara kampanyenya sebagai calon bupati. Untung ia menolak. Mungkin ia takkan tega dan ikut gelisah memikirkan apa yang akan dilakukan Taripin setelah kekalahannya. Konon kini ia tertimbun utang. Beberapa hari lalu dia ke rumahnya Mulyadi, mencari pinjaman. Tanpa hasil. Sutopo merasa hidup itu seperti mengendarai kuda jatilan. Kadang gerakannya begitu halus melenakan, kadang juga begitu kasar dan liar membuat semangat hidup ikut terguncang-guncang. *** Sumiati, pemilik warung kelontong dekat rumah Sutopo, merasa aneh dengan kelakuan lelaki itu. Sumiati tahu benar kebiasaan Sutopo. Biasanya, setelah istrinya berangkat ke pasar, dua anak tertuanya berangkat mengajar, dan kelima anaknya yang lain berangkat sekolah, lelaki itu baru keluar dengan jaran kepang yang tergantung rapi di sepeda dan sebuah kardus (yang berisi segala kostum) di boncengan belakang. Tentu saja Sumiati tahu ke mana tujuan tetangganya itu. Sudah hampir sepuluh tahunan ia melihat kebiasaan lelaki itu. Ia juga tahu bahwa kadang (jika tak membawa serta sepeda) lelaki itu berangkat keluar kota entah ke mana. “Beli lampu balon sebanyak ini buat apa, Kang?� Sumiati heran. “Apa dirimu dapat pesanan? Kerja di mana sekarang?�

137


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Kerja apa sih, Sum? Masih ngalor-ngidul seperti biasanya,� jawab Sutopo. Setelah dekat pusat kota, Sutopo segera mencari musala untuk ganti kostum. Rencananya hari ini ia akan mempertontonkan hal baru lagi, setelah sepekan kemarin penghasilannya menurun. Mengeluarkan sebuah cermin kecil demi mematut wajah. Dengan jelaga bikinan sendiri, beberapa menit kemudian wajahnya sudah berubah. Kumis tebal melintang, alis mata tebal mencuat, ekor mata tajam memanjang, ditambah dengan kaca mata hitam besar. Jelaga itu terbuat dari nyala ublik, pelita kecil yang bersumber dari minyak dalam kaleng. Asap ublik kemudian ditampungnya di pelepah batang pisang. Setelah dicampur minyak rambut, jadilah bahan rias murah meriah. Warisan ini ia peroleh dari Pak Supar, pemimpin grup yang dulu kebagian tugas sebagai pawang hujan dan merangkap sebagai penthol. Sutopo pernah juga minta diajari menjadi pawang hujan. Belum sempat semua lelakon3 ia ketahui dengan sempurna, hidup Pak Supar sudah keburu berakhir. Hujan masih menjadi musuh nomor satu Sutopo hingga kini. Siang terik. Meski tak beralas kaki, Sutopo sama sekali tak merasakan panas aspal. Kedua kakinya laksana sudah menjelma kaki kuda berladam yang kebal panas jalanan. Ia memulai aksinya ketika telah sampai di alun-alun. Suara gemerincing yang mengiringi tariannya langsung memanggil semua mata. Dulu, ketika pertamakali memakai trik ini, alangkah mujarabnya. Anak-anak sekolah langsung mendekat. Orang-orang dewasa merasa perlu untuk melihat atraksi Sutopo. Namun setiap trik baru selalu hanya bertahan kurang lebih dua minggu. Setelah bosan, mereka enggan mampir. Ia pun selalu pindah tempat maksimal dua minggu sekali. Dari ini Sutopo belajar mengerti, pasti itu sebabnya mengapa setiap produk dagangan sering berubah kemasan

138


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 padahal isinya masih sama. Mata begitu mudah sekali ditipu kemasan. Gerakan Sutopo mulai mantap ketika beberapa mata mulai tertambat. Riuh kerincingan dan suara ketepok kedua kaki membuatnya terhipnotis sendiri. Gerakannya semakin menjadi. Sutopo merasa telah benar-benar menjadi seekor kuda. Istrinya tiba-tiba muncul bertengger di atas bahu, melecut-lecut punggung, mengajak serta anak-anaknya, dan kemudian berteriak bersama-sama untuk menyemangati Sutopo, “Hiya… hiya… hiya…!” Ketika seorang bule menghampiri dan melontarkan pertanyaan yang tak dimengerti, sambil senyum Sutopo masih bisa jawab, “Panggil aku Sujaran.” Sebelum kesadarannya hilang, Sutopo masih bisa mengingat bahwa di kota pesisir itu memang kerap dikunjungi para bule yang sekadar ingin berjemur dan melihat keindahan suasana pantai. Beberapa menit kemudian, ketika lecutan istrinya semakin terasa dan teriakan anak-anaknya semakin nyaring di liang telinga, saat itulah Sujaran merasa amat butuh rumput. Sujaran bergerak liar namun jelas menuju ke arah kardus yang berisi bekalnya. Di sana, ia telah menyiapkan banyak rumput. Beberapa orang menjerit histeris justru ketika Sujaran memamah rumput. Ada yang menutup wajah, ada yang memalingkan badan (namun tak beranjak dari tempatnya), ada pula yang memberanikan diri bahkan merekam adegan itu dengan telepon genggam yang ia bawa. Beberapa bule yang menonton malah bertepuk tangan sambil riuh, “Great… great… gila… gila…!” Sujaran tak menyadari bahwa banyak orang telah mengerumuni, receh demi receh dan lembar demi lembar uang mulai berjatuhan di wadah plastik yang telah ia persiapkan, bahkan jalanan menjadi macet tersebab keberadaannya.

139


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 Inilah yang sebenarnya dirasakan Sujaran. Ia menjelma menjadi seekor kuda. Kuda itu begitu liarnya, membuat tubuh Sujaran terguncang-guncang sampai hampir jatuh, membuatnya teringat dengan segala pahit yang pernah ia alami. Bapaknya yang tak pernah menyukai pilihan hidupnya, pengkhianatan Taripin, penolakan gadis-gadis yang disukainya, bubarnya grup jatilan, tatapan sinis Taripin, sekolah anak-anak yang butuh biaya, rumah yang masih warisan orangtua, Temi yang harus ikut banting tulang demi ikut menjaga tegaknya tiang rumah tangga, nasibnya yang tak kunjung berubah, ‌ Sujaran merasa harus menaklukkan yang liar itu. Sekuat tenaga. Meski kadang ia merasa hampir tak kuat, ikut menggila, dan marah-marah memaki mereka yang pernah membuat hidupnya terasa pahit. Karena itulah ia butuh banyak tenaga. Ia butuh banyak makan rumput. Sujaran merasa yang dimakannya itu adalah rumput. Meski banyak orang histeris saat melihatnya. Ketika yang liar itu berhasil ia jinakkan, betapa leganya perasaan. Meski kemudian tubuhnya lemas sempoyongan. Dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Beberapa polisi yang datang segera mengamankan lokasi. Ada yang mengatur jalannya lalu lintas yang macet, ada yang menahan orang-orang yang ingin melihat kondisi Sutopo, ada yang bertugas membersihkan pecahan kaca lampu balon yang berserakan di sana-sini, dan ada yang segera mengevakuasi tubuh Sutopo ke tepian jalan raya. *** Di atas pembaringan tubuh Sutopo terasa lemas sekali. Seperti habis dihajar orang beramai-ramai . Wajah Temi terlihat sembab saat menyuguhkan segelas kopi manis. “Apa yang kau tangisi?â€? Sutopo tak suka dengan peman-

140


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 dangan itu. “Seharusnya Kang Topo enggak usah melakukan itu. Kang Mulyadi saja sudah enggak berani lagi melakukannya.” Tentu saja Temi tahu, Mulyadi dan suaminya dulu adalah sepasang kuda lumping yang di masa mudanya telah dikenal banyak orang. “Sekolah anak-anak butuh banyak biaya, Mi. Dapat berapa tadi?” Temi tak jawab. Ia sibuk menghapus air mata yang leleh tanpa kendali. Meski selama berkeluarga dengan lelaki itu ia tak pernah berkubang harta, tapi ia tak mau kehilangan pengayom sebelum tiba masanya anak-anak bisa mandiri. Nyeri itu mula-mula terasa ketika Sutopo mencoba bangkit. Suhu badannya masih belum turun. Seperti biasanya, selalu tak ada dokter untuk hal itu. Sutopo tak ingat apa-apa yang sudah dilakukannya tadi pagi. “Mana, aku ingin tahu dapat berapa. Enggak usah menangis,” menegaskan nada bicaranya. “Dapat duabelas kali dari biasanya, Kang,” karena tak ingin suaminya banyak bergerak. “Bagus. Kalau begitu besok-besok aku akan melakukannya lagi di tempat lain,” ujarnya mantap. Temi tak tahu, kalau di sudut bibir suaminya ada kerut kecil akibat menahan sakit yang teramat sangat. Sakit yang berpusat di sekitar pusar.*** Adi Zamzam, cerpennya tersebar di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Tribun Jabar, Lampung Post, Radar Surabaya, Bali Post, Riau Pos, Inilah Koran, Surabaya Post, Solo Pos, Joglosemar, Koran Merapi, Banjarmasin Post, Bangka Pos, Sumut Pos, Jurnal Medan, majalah Femina, Ummi, NooR, Paras, Kartini, Story, Annida, Potret, Sabili, Cahaya Nabawiy, Mimbar Pembangunan Agama (Depag Jatim), Annida-online, majalah

141


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 budaya Sagang, Tabloid Nova, Cempaka, Minggu Pagi, Serambi Ummah‌ Cerbungnya pernah dimuat di Annida-Online. Cerpen Anak pernah dimuat di Kompas Anak, Junior (lembar anak Suara Merdeka), Lampung Post, dan Majalah Aku Anak Saleh. Juga menulis Resensi Buku di Jawa Pos, Koran Jakarta, Majalah Luar Biasa, Koran Sindo, Jateng Pos, Harian Nasional, Harian Bhirawa, Koran Muria, Malang Post, Rimanews.com, Wisatabuku.com, Dakwatuna.com, Wasathon.com, Wawasanews.com, Berita99.com. Opini, esai, dan artikel lainnya tersebar di Suara Merdeka Riau Pos, Kompas Anak, Radar Surabaya, Sabili.

142


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014

Senja Bersama Siti Nurbaya CERPEN RELLY A VINATA

SENJA ini, bayangkan saya sedang berdialog dengan Siti Nurbaya. Ya, Siti Nurbaya. Tokoh penting peradaban yang berasal dari Sumatera Barat itu. Yang namanya tak asing, bahkan sukses memengaruhi pola perubahan sikap seantero bumi pertiwi. Bayangkan kami berdua duduk tenang di serambi rumah, dengan meja kaca bundar diapit dua kursi kecil berlengan yang kami duduki. Lalu ganggang cangkir berisi teh hangat yang meluapkan asap tipis sedang bergelayut di tangan kami masing-masing. Kami, saya dan Siti Nurbaya, sedang memandangi serbuk kemilau jingga ufuk barat. Menikmati momentum transisi hari ini. Omong-omong, ini memang terdengar sedikit ganjil. Saya dan wanita itu memang terlahir dalam orde yang jauh berbeda. Dalam sengat harum nuansa alam yang sama sekali berbeda. Namun, ternyata kami merindukan senja yang sama. Hingga senja hari ini terpilih menjadi waktu yang tepat untuk perjumpaan kami. Wajahnya tidak seperti yang saya bayangkan selama ini. Jika saya beranggapan bahwa wanita bernama Siti Nurbaya

143


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 itu adalah sosok berahang tegas, dengan sebentuk kecil gelungan di rambutnya seumpama foto Kartini yang terpajang di museum-museum. Maka saya keliru, ia hanyalah wanita berpipi bundar dengan raut sedih yang menyayat hati. Matanya sayu bak lama menempuh terik perjalanan di gurun pasir. Setidaknya begitu yang saya temukan dari upaya memperhatikan wanita di samping saya itu. Sedang sedari tadi ia hanya berusaha tak ingin luput menatap matahari yang perlahan menenggelamkan setengah paruhnya. Kornea pada mata kecil wanita itu berkaca-kaca. “Senja-mu pasti selalu indah.” katanya, tanpa sedikit pun menggerakkan anggota tubuh-yang tampak begitu letih. “Senja tidak pernah berubah, bukan?” Siti Nurbaya menarik sedetik sudut bibirnya, membentuk simpul senyum sebelum menerawang ke arah yang lebih tinggi. “Senja memang tidak pernah berubah sejak kapan pun, namun tidak semua orang sempat berpikir untuk menikmatinya lebih mendalam, kan?” Saya mengangguk setuju. “Dan anda juga pasti pernah merasakan senja seperti ini. Maksud saya, senja yang anda bilang dinikmati secara lebih mendalam.” Siti Nurbaya terkekeh, “Tidak, tentu saja tidak. Kau pasti sering mendengar atau menyaksikan riwayatku di buku otobiografi, atau bahkan di film-film kolosal.” Wanita itu meletakkan gelas di genggamannya, membaurkan denting kecil pada meja kaca. Sesaat matanya mengikuti gerakan tangannya, sebelum kembali menerawang. “Menurutmu, saat usiaku seusiamu sekarang, aku dapat leluasa menikmati senja?” Saya mendengus, membayangkan bagaimana dalam sebuah karya, kisah-kisah dieksploitasi sedemikian rupa, demi profit insan-insan yang mengaku peduli sejarah. “Saya rasa suguhan film kolosal terlalu berlebihan.” “Benar.” Dagunya manggut-manggut. “Tapi setidaknya,

144


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 itu cukup memberi representasi bahwa senjaku tidak sama dengan senjamu.” Baiklah, saya akan mencoba merangkai mozaik peristiwa yang menjadikan kesimpulan ‘senjaku tidak sama dengan senjamu’, seperti yang diucapkan wanita itu. Sejauh ini dalam bentuk karya apa pun, Siti Nurbaya selalu digambarkan sebagai korban perjodohan orang tuanya pada seorang konglomerat tua bernama Datuk Maringgi. Ia melakukan pemberontakan dengan pilihan orang tuanya itu. Disamping ia tidak terima sebagai anak yang dijadikan alat untuk membayar hutang orang tuanya, hatinya juga telah tertambat pada seorang lelaki bernama Samsul Bahri. Saat itu usia Siti Nurbaya persis seperti usia saya saat ini, 17 tahun. Dan sekilas kemudian saya mengerti dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan wanita itu beberapa saat lalu. Saat ia seusia saya, tidak mungkin ia menyempatkan diri untuk sekadar menikmati senja. Pikirannya jelas berkecamuk oleh masalah perjodohan itu. Kelam menemani senjanya. “Kalau begitu, anda dapat menikmati senja sesuka anda, di sini.” Usul saya basa-basi. Untuk kedua kalinya Siti Nurbaya memaksa bibirnya tertawa kecil. “Kedatanganku bukan untuk itu, Anak muda.” Tentu saja, bukan, saya tahu itu. Sejak pertama kali saya melihatnya datang dan menyalami tangan saya, lalu duduk, terdapat sirat penyesalan di wajah wanita itu. Seolah ada sudut gelap yang ingin ia sampaikan pada saya. Luka mendalam yang seumpama telah dipendamnya bertahuntahun. Apa itu? Perkiraan saya, mengenai kisah hidupnya yang, mungkin, diceritakan secara keliru. Melalui saya, ia ingin meluruskan kisahnya. ***

145


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Apa anda akan menceritakan kebenaran jalan hidup anda pada saya?” tanya saya tidak sabar lagi. “Mungkin jauh lebih penting daripada itu.” Saya memilih untuk mengangkat cangkir, dan menyesap hangat cairan yang perlahan membasahi lidah. Pahitnya teh yang diluar nalar, tak lebih mengherankan daripada rangkaian kalimat yang diucapkan wanita itu. Tanpa ingin terlihat bingung, saya menghela napas hati-hati. Seseorang yang kisah hidupnya menjadi teladan, bahkan tidak hanya untuk dirinya sendiri, mengatakan ada hal yang lebih penting daripada itu? “Kau tampak bingung.” Saya menoleh, dan saat itu Siti Nurbaya benar-benar menatap lekat mata saya. “Siapa yang tidak bingung,” aku saya jujur, nyatanya ekspresi wajah saya sulit diajak kompromi. “Semua orang pasti mengira perjodohan itu menjadi hal paling penting bagi Anda. Tapi, sekarang Anda sendiri yang mengatakan ada hal lain yang bahkan lebih penting dari itu.” “Begini,” Siti Nurbaya berdeham. Saya meletakkan cangkir ke atas meja, dan bersiap mendengar cerita panjang sekaligus maksud dari pertemuan ini. “Sampai akhir hayatku, aku masih menganggap momentum perjodohan adalah hal paling menakutkan yang kualami. Hingga ternyata itu saja belum cukup, siapa sangka aku akan menanggung dosa-dosa kalian.” Saya mengernyit, wanita itu tak peduli, buktinya ia tetap melanjutkan pengakuannya. “Kalau boleh jujur, aku benci cerita hidupku menjadi familiar di telinga semua orang. Aku tidak menyangka akan meluas sedemikian hebat. Aku muak dengan cara kalian memahami kisahku.” Baik, sampai disini saya tidak tahu bagaimana otak saya bekerja, yang pasti wanita di samping saya itu semakin membingungkan.

146


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Manusia terlalu sering belajar dari pengecualian-pengecualian. Tanpa mau tahu mana yang paling dominan dan tepat diterapkan dalam kehidupan.” Siti Nurbaya kembali menatap saya, mungkin untuk memastikan bahwa saya masih khusyuk menyimak. “Menurutmu, seberapa banyak orangtua yang benar-benar membenci anaknya sendiri?” Saya tercekat. “Uh...eerr...maaf, saya sungguh tidak mengerti apa yang Anda bicarakan. Namun, untuk pertanyaan itu, saya kira tidak ada orang tua yang benarbenar membenci anak sendiri.” “Sebenarnya aku berharap kau mengatakan ada beberapa orangtua yang membenci anaknya, seperti ayah dan ibuku, misalnya. Tapi kau tidak mengatakannya, sehingga aku tidak memiliki tandingan pendapat. Dan, ya, aku sepakat denganmu... Tidak ada orangtua yang benar-benar benci pada anaknya. Bahkan orangtuaku. Mereka manyayangiku, kau tahu?” “Saya tahu, terkadang kondisi selalu memaksa kita berbuat sesuatu, bukan?” “Tepat sekali.” wanita itu tersenyum puas, satu maksudnya telah terlaksana. “Anda tadi berkata, bahwa anda menanggung dosa kami?” Siti Nurbaya menarik lengan gelas kaca ke pangkuannya. Sejenak tertegun, sebelum meneguk perlahan isi di dalam gelas itu. Sementara ia menikmati sentuhan jeda, saya dibebat rasa tak sabar. “Lihatlah dirimu itu,” ia memiringkan kepalanya. “Kalian memang selalu tergesa-gesa.” Saya tertunduk malu sembari pura-pura menggamit cangkir dan meminumnya. Kata ‘kalian’ yang keluar dari mulut wanita itu membuat saya sedikit tidak nyaman. Terlepas kami yang memang terlahir dari zaman berbeda,

147


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 wanita itu menjadikan kata “kalian” seolah kami bukan samasama manusia. “Dan memang karena ketergesa-gesaan kalian, itulah.” raut Siti Nurbaya kembali merah padam. “Perempuanperempuan di zaman kalian, ini, menjadikan namaku sebagai tameng ampuh untuk menentang orangtuanya sendiri.” “Dan lihatlah sinetron-sinetron itu,” lanjutnya. “Kian sukses melahirkan anak-anak yang durhaka pada orangtuanya. Dimana, kondisi perjodohan selalu diposisikan pada hal yang buruk.” Kalimat itu menghujam perasaan saya. Kalimat itu mengingatkan saya pada kejadian tiga hari lalu. *** Saya adalah anak bungsu dari dua kakak-beradik. Kakak saya adalah perempuan berusia duapuluh enam tahun dengan predikat dan karier gemilang yang bekerja sebagai manajer penasaran dibidang properti yang produknya sudah malang melintang di media massa. Untuk kecerdasan otak, mungkin dialah yang paling unggul di keluarga kami. Lulusan Strata-2 Hubungan Internasional dengan indeks prestasi 3,73. Tak ayal kami membutuhkan saran darinya mengenai problematika yang sering melanda keluarga kami. Termasuk saat saya dilema menentukan universitas yang paling tepat, kakak saya merekomendasikan ke universitas ternama kota ini. Atas dirinyalah saya diterima. Hingga malam itu merubah segalanya. Kakak membawa seorang lelaki yang saat bicara pada ayah dan ibu menyemburkan bau alkohol. Ayah dan ibu tidak menginginkan kakak dengan lelaki itu, dan mereka menyarankan agar kakak lebih hati-hati memilih pendamping. Dan yang membuat saya tercengang, kakak berteriak sebelum meninggalkan kami.

148


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014 “Ayah dan ibu pikir ini zaman Siti Nurbaya!” Benarlah kata Siti Nurbaya. *** “Andai saat itu aku dapat melihat keadaan sekarang. Aku akan lebih memilih perjodohan itu.” Bulir bening luntur dari pelupuk Siti Nurbaya. Penyesalan mendalam sedang berkecamuk di pikirannya. “Karena faktanya, kejahatan seksual pada waktu itu tidak semengenaskan sekarang. Andai tiap perempuan mengikuti nasihat orangtuanya.” “Anda tidak bisa mengubah sejarah yang telah lalu.” “Aku tahu. Itu kenapa aku datang.” Saya terhenyak ketika wanita itu menggenggam tangan saya, lalu membisikkan sesuatu di telinga saya. “Jangan biarkan aku menanggung dosa-dosa kalian.” Bisikan itu begitu lembut hingga membuat saya terpejam. Setelah itu saya sama sekali tidak ingin membuka mata. Saya tidak siap untuk melihat apa yang ada di hadapan saya sebenarnya. Lagipula ini terlalu nyata...*** Relly Vinata adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Umri, peresap gelap, penjelajah sepi, penggembala imajinasi.

149


Kumpulan Cerpen Riau Pos 2014




Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.