Dari lubang kembali kelubang

Page 1

(kumpulan kolom)

i


ii


Dari Lubang kembali ke Lubang

i


Sanksi pelanggaran pasal 44 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyebarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelaggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipi dana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

ii


Muchid Albintani Dari Lubang kembali ke Lubang (kumpulan kolom)

iii


DARI LUBANG KEMBALI KE ‘LUBANG’ (KUMPULAN KOLOM) Penulis: MUCHID ALBINTANI @ Penerbit : Yayasan Sagang Komplek Riau Pos Group Jalan HR. Soebrantas, KM 10,5, kode pos 28294 Pekanbaru, Riau

Pelaksana Penerbitan & Desain Sampul: Armawi KH Layout: Rudi Yulisman

Diterbitkan Pertama Kali oleh Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2014 ISBN:

iv


Pengantar Penerbit

B

uku yang berjudul “Dari Lubang Kembali Ke Lubang,” karya Saudara Muchid Albintani ini diterbitkan atas kerja sama antara Yayasan Sagang dan penulisnya. Sebagai institusi yang masih di bawah naungan Riau Pos Group, menerbitkan buku merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehadiran yayasan ini. Apabila dilihat dari latar belakang bahan-bahan buku yang diterbitkan yang merupakan kumpulan tulisan di Majalah Batam Pos versi online pada rubrik ‘Segantang Minda’ dan kumpulan kolom pada rubrik ‘Sudut Pandang’ harian Pekanbaru Pos, yang kesemuanya adalah penerbitan bagian dari Riau Pos Group. Yayasan Sagang sebagai sebuah yayasan dalam grup Riau Pos yang menaruh kepedulian atas pelestarian dan pengembangan budaya Melayu khususnya di bidang penerbitan ini adalah bagian dari salah satu komitmen yayasan Sagang terhadap negeri Riau. Ini disebabkan jika negeri ini menjadi salah satu teras tumbuh-kembangnya budaya Melayu serta karya-karya kreatif lainnya. Riau adalah suatu daerah yang dalam perjalanan sejarahnya telah menyumbangkan sebongkah emas budaya yang bernama bahasa Melayu, yang menjadi pemersatu bahasa di Indonesia. Bahasa Melayu merupakan cikal-bakal dari bahasa Indonesia yang digunakan saat ini. Sebuah kontribusi dan sumbangan yang tak ternilai harganya. Beraltar argumentasi ini, penerbitan buku ini merupakan upaya membantu menyebarluaskan hasil-hasil kreatif anak negeri di pelbagai bidang termasuk para akademisi perguruan tinggi di Provinsi Riau. Dukungan ini diberikan sebagai upaya merespon positif kebijakan pemerintah Provinsi Riau yang v


menempatkan pembangunan sumberdaya manusia sebagai penyanggah (Sagang) utama memberantas kebodohan. Oleh karena itu penerbitan buku ini adalah langkah nyata akan keberadaan Yayasan Sagang membantu dan mendukung kebijakan tersebut. Adalah langkah nyata ini yang menurut kami, bagian dari mengekspresikan karya-karya kreatif para akademisi perguruan tinggi di Provinsi Riau salah satunya. Mengakhiri pengantar ini, Yayasan Sagang mengucapkan terima kasih kepada Saudara Muchid Albintani. Semoga buku ini menjadi bagian dalam upaya menambah khazanah keintelektualan di Provinsi Riau. Syabas. Pekanbaru, September 2014 Ketua Yayasan Sagang Kazzaini Ks

vi


Pengantar Penulis Dari Lubang Kembali Ke ‘Lubang’

P

ERTAMA, mengawali pengantar perlu saya jelaskan bahwa buku yang bertajuk “Dari Lubang Kembali Ke Lubang” ini diterbitkan karena bantuan rerekan di Yayasan Sagang yang masih berafiliasi pada Riau Pos Group. Bahan-bahan yang diterbitkan merupakan kumpulan tulisan di Majalah Batam Pos versi online pada rubrik ‘Segantang Minda’ selama satu tahun 2013, ketika saya diberikan amanah untuk menjadi Dekan (diperbantukan) di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH). Selain itu, bahan tulisan ini juga diambil dari kumpulan kolom pada rubrik ‘Sudut Pandang’ Harian Pekanbaru Pos yang terbit pada tahun 2012. Berlatar belakang pada kumpulan tulisan yang dirangkum menjadi satu ini, maka penulisan buku ini menurut hemat saya adalah bagian mendesiminasikan (menyebarluaskan) hasil proses kreatif kepada khalayak yang pada esensinya merupakan pelaksanaan dari salah satu kegiatan tridharma sebagai seorang ‘guru’ yang mengajar di perguruan tinggi. KEDUA, menjelang penerbitan ketika sedang dalam proses editing (menunggu naik cetak), beberapa orang kawan banyak yang mempertanyakan tajuk buku ini: Mengapa harus ‘lubang’? Mengapa juga, harus kembali ke ‘lubang’? Jujur saja, ketika mendengar kedua pertanyaan tersebut, membuat saya tersenyum simpul. Ini disebabkan ketika mempertanyakannya, beberapa orang kawan terkesan yang menurut saya ‘iseng’. Mereka mungkin benar, perkataan atau konsep ‘lubang’ yang menjadikan mereka iseng. Kata lubang, mengesankan konsepsi yang ‘miang’ atau menggatal. Ini tentu saja jika kita mendekatinya berdasarkan perspektif kelakian vii


(pria). Hemat saya maknanya akan menjadi berbeda jika didekati melalui persepsi dari perempuan yang juga seorang Ibu. Jujur saja dalam pengantar ini, saya tak hendak menjawab dan menjelaskan perdebatan sudut pandang ini. Saya membebaskan pembaca untuk mendebat, berdebat dan mendiskusikannya sesuai perspektif yang diinginkan. Silakan! Bagi saya, dalam konteks pengantar buku ini, sesungguhnya konsep ‘lubang’ adalah bagian dari salah satu judul kumpulan tulisan yang mengungkap terkait seputar isu lebaran (idul fitri). Dalam rubrik ‘Segantang Minda’, teristimewa menjelang Lebaran 1443 H yang lalu, saya berupaya mengangkat dan menjadikan makna Lebaran dan Mudik ke dalam satu konsepsi interaktif kontinuitas dan integratif dengan sebutan ‘pulang’. Sehingga perkataan pulang dimaknai secara sosiologistransendental (sebuah ritual yang memasyarakat dalam kerangka menuju-Nya). Memaknai ‘pulang’ dalam konsepsi transendensi ini mempunyai sudut pandang (perspektif) esensi-filosofisnya. Kata ‘pulang’ dan ‘fitri’ misalnya, memiliki esensi-filosofis yang konkruen (sama dan sebangun). Istilah konkruen terhadap kata ‘pulang’, fitri ini terkait dengan hubungan transendensi antara manusia (makhluq) dan penciptanya (khaliq). Hubungan transendensi tersebut ialah hakikat dari sebuah proses pulang (ingin kembali) kepada apa adanya atau fitri. Realitas apa adanya atau kefitrian ini menunjukkan bahwa datang (lahir) dan kembali (pulang) yang lazim diucapakan ketika kita mendengar berita ada yang meninggal dunia (berpulang ke rahmatullah) itu ialah hakikat proses ’pulang’. Inalillahi wainalillahiroji’un. Oleh karenanya, kepulangan itu merepresentasikan sebuah proses awal dan akhir yang selalu menarik sebagai media kontemplasi. Begitu pula persamaan kata ‘pulang’ yang dalam bahasa lebih ‘ekstrim’ disamakan dengan konsep ‘lubang’. Kata viii


atau konsep ini bukan bermaksud hendak mengedepankan unsur porno-biologisnya, tetapi berusaha meneroka perspektif filosofisnya, bukankah kita yang berasal dari Lubang (ketika dilahirkan) juga akan pulang ke lubang (kubur)? ‘Lubang’ sesungguhnya mendeskripsikan tempat asal di mana [jasad] kita ke luar, dan lubang (kubur) pula sebuah tempat di mana [jasad] kita kembali (pulang) untuk dikebumikan (pulang ke bumi). Proses ini merekonstruksikan kedinamikaan kontinuitas eksistensi manusia yang dimulai dari bayi, dewasa, dan kembali tua. Dalam konteks pemanusiaan (berpikir), pulang sesungguhnya sebuah konstruksi kontinuitas cara berpikir yang dimulai dari tidak tahu (kanak), menjadi tahu (dewasa/baligh) dan renta (pikun/kembali ke kanak). Begitulah kita ‘pulang’ dalam konstruksi pikir. Selanjutnya esensi pulang mengalami proses kulminasi pada setiap akhir Ramadan menyambut awal Syawal (Lebaran). Pulang menjadi identik dengan fitri (kembali ke fitrah). Lebaran sesungguhnya ialah penemuan identitas kemanusiaan dari yang fitri (suci) kembali (pulang) menjadi suci. Lebaran bukanlah sebuah proses dialektika, melainkan proses kontinuitas awal akhir (datang dan pulang). Ketika kita pulang (orang menyebutnya mudik) untuk merayakan Lebaran, ada kekuatan besar yang menseduksi (memaksa tanpa sadar). Itulah kekuatan sunatullah (kehendak Allah). Sesungguhnya ’Pulang Kampung’ ialah personifikasi transendensi dalam mengungkap identitas manusia secara Sunatullah. Oleh karena Pulang Kampung adalah sebuah personifikasi, maka sesungguhnya ketika kita ’berpulang ke rahmatullah’, adalah sebuah realitas ’kefanaan’ menuju ’keabadian’. Karena abadi, maka kembali (pulang) nya makhluq menuju Khaliq pun harus kepada fitrahnya yang suci. Inilah hakikat kefitrian ini setelah satu bulan berpuasa. Itulah sebuah deskripsi dari konsep ‘Pulang’ yang dimaknai esensinya sebagai ‘Lubang’ untuk kemudian mendasari tajuk ix


dalam buku kumpulan kolom ini. KETIGA, ucapan terima kasih merupakan ekspresi dari pengakhiran kegiatan menulis dan menerbitkan buku ini sebagai sebuah produk kreatif intelektual. Sewajarnya ucapan terim kasih kepada pelbagai pihak atas penerbitan buku ini diperuntukkan. Ucapan terima kasih yang pertama kepada Bapak Rida K Limasi atau Bang Rida saya selalu memanggilnya sebagai Pimpinan di Riau Pos Group. Kemudian, ucapan terima kasih kepada rekan-rakan di Yayasan Sagang, Bang Kazzaini Ks, Raja Isyam Azwar dan Bang Kyai Haji (KH) Armawi. Rekan-rakan di Batam Pos, Hasan Haspahani dan Muhammad Iqbal. Tak lupa rekan-rakan di kampus tercinta, Bang Jumali, Ismandianto, Adlin Auradian Marta dan Ahmad Jamaan. Secara khusus dan teristimewa, ucapan terima kasih sebesar-besarnya ditujukan kepada sahabat ‘DTS’ yang telah ‘berbaik hati’ menjadi sumber inspirasi dan semangat, serta memberikan nasihat berharga agar tetap tegar, tidak berputus asa dalam mencari, walaupun ketegarannya merupakan sebuah penantian yang tiada akhir. Ucapan khusus kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini, namun nama mereka belum tercantum dalam pengantar. Atas dukungan mereka semua adalah esensi arti penting dari akhir penyelesaian penerbitan buku ini. Saya meyakini, tanpa jasa baik mereka buku ini tidak akan dapat diterbitkan. Akhirnya saya menyadari jika penerbitan buku ini tidak terlepas dari kekurangan di sana sini. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif amat diharapkan dari pembaca untuk perbaikan penerbitannya pada edisi mendatang. Semoga budi baik beserta amal bakti mereka semua mendapat imbalan yang sepadan di kharibaan Allah SWT. Amin. Pekanbaru, Agustus 2014 Muchid Albintani x


Daftar Isi

Pengantar Penerbit .................................................................... v Pengantar Penulis ....................................................................vii BAGIAN Pertama SOSIAL DEMOGRAFI ARTI DARI KEHIDUPAN 1. Rumah Kita, Bukan Rumah Kami ...................................... 3 2. Bandara Internasional, Bukan Hang Nadim ..................... 7 3. Pilih Indian, Aborigin atau Suku Laut.............................. 11 4. Asap Asep dan Singapura ..................................................15 5. Antara Gelper, Golfer Bukan Golfur .................................19 6. Presiden dan ‘Belakang’.................................................... 23 7. Lembaga Istimewa Batam ................................................ 27 8. Antara Hang Nadim dan Changi ......................................31 9. Blok R Besar ...................................................................... 35 10. Koalisi Atau Kartel ............................................................ 39 11. Misteri 2012 ....................................................................... 43 12. Gempa ............................................................................... 47 13. Vampir ’Vegetarian’............................................................51 14. ‘Teori UU’ .......................................................................... 55 BAGIAN Kedua URGENSI POLITIK EKONOMI INTELIJEN 1. Ironis Tatkala 8+6 Bukan Delapan Enam.........................61 2. Di Antara Perempuan Ada Politik Quota dan Madu ...... 65 3. Partai Yang Mewakili Rakyat Namanya Dewan ..............69 xi


4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Perokok, Demokrasi dan Absolutisme ............................ 73 BBM, Pejabat dan Plat Merah .......................................... 77 Kesombongan Konstitusional ...........................................81 Bunda, Rente dan Pemburu ............................................. 85 Hipno Neuro-Politik .........................................................89 Badan Intelijen Outsourcing ............................................ 93 Operasi Senyap Century ...................................................97 Dewan Perwakilan Partai ................................................ 101 Demokrasi Similikiti........................................................103 Koorporatokrasi ...............................................................107 Perang Surya dan Mati Sahid ........................................... 111

BAGIAN Ketiga MEMAKNAI REALITAS SOSIAL KEMASYARAKATAN 1. Listrik Memang Bukan Ilmiah .........................................117 2. Bukan Madu, Tapi Diracun ..............................................121 3. Rumah Sakit, Penyakit dan Pesakitan ............................ 125 4. Ramadan dan Demokrasi ................................................129 5. Idul Yang Berlebihan ....................................................... 133 6. Tes Keperjakaan ............................................................... 137 7. Kedai Kopi Tanpa Rokok ................................................. 141 8. Pengemis ..........................................................................145 9. Hukum Negatif Demokrasi .............................................149 10. Tangan Tuhan................................................................... 153 11. Menahan........................................................................... 157 12. Infrastruktur..................................................................... 161 13. Plaza, Kemewahan dan Ketaknyamanan .......................165 14. Berapa Buat Saya, Bukan Foto Teh atau Foto Susu ....... 169 BAGIAN Keempat MEMBINCANG IDEOLOGI YANG FILOSOFIS 1. Ke Belakang Bukan Terbelakang..................................... 175 2. Penjaga Sumpah Bukan Sumpahtor ...............................179 xii


3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Bermimpi Hadirnya Universitas Kreatif di Perbatasan .183 Empat Teorema Tentang Iblis .........................................187 Fenomena Lebaran Yang Menyesatkan .......................... 191 ‘Pulang’ ke Rumah Fitri ..................................................195 Kecerdasan Identitas ...................................................... 199 Manifesto Menolak Empat Pilar .................................... 203 Atas Nama Negara .......................................................... 207 Asap dan Neolibral ...........................................................211 Nasakom dan Riauisme ................................................... 215 Noordenisme....................................................................219 Sumpah............................................................................ 223 ‘Abraham’ dan Idul Kurban ............................................ 227

BIODATA Penulis ***

xiii


xiv


BAGIAN Pertama

SOSIAL DEMOGRAFI ARTI DARI KEHIDUPAN 1


2


(1) RUMAH KITA, BUKAN RUMAH ‘KAMI’

D

ALAM pidatonya, berulangkali mantan PM Malaysia, Mahathir Mohammad selalu mengingatkan orang ‘Melayu’ dengan membandingkan Orang India dan China di Malaysia. Apabila ada persoalan besar yang dihadapi Malaysia, Orang China dapat pulang ke Tanah Leluhur (Tanah Induk), begitu pula Orang India. Berbeda dengan orang ‘Melayu’, nak pulang ke mana? “Inilah tanah Kami”. 3


Sekilas tanpa pencermatan yang arif, seolah-olah peringatan PM Mahathir kepada Orang ‘Melayu’ sebagai yang rasis, tendensius, provokasi atau hal negatif lainnya. Padahal bila hendak dicermati dengan arif dan bijak, ucapan PM Mahathir merupakan pesan penting bagi Bangsa Malaysia yang memang berbilang kaum dalam menjaga keutuhan dan integritas di Malaysia. Memaknai ucapan Mahathir sebagai iktibar (pelajaran) dalam hubungannya dengan menjaga keutuhan Kepulauan Riau (‘Rumah Kita’) teramat sangat perlu untuk direnungi. Sebab keberagaman (pluralisme) adalah bagian dari kehendak Allah (sunatullah) yang tak dapat dimungkiri. Menjadi orang China, India atau Melayu di Malaysia, bukanlah kehendak manusia. Jikalau diperkenan, Saya ingin terlahir menjadi anak Sultan Hasanah Bolqiah, Raja Kaya Raya dari Brunei Darussalam. Namun, keinginan tersebut sebuah hal yang tidak mungkin (mustahil). Oleh karena itu daripada selalu mempersoal dan memperdebatkan yang tidak mungkin (impossible) yang sangat menguras tenaga, mengapa tidak alihkan saja perdebatan itu kepada hal yang lebih konstruktif (membangun). Bagi Saya membincangkan perihal ‘Rumah Kita’ adalah sesuatu yang lebih penting, prospektif dan masa depan. Ini disebabkan ‘Rumah Kita’ adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan lingkungan Kita. Sudah merupakan kewajiban kita untuk mencemaskan perihal keberadaan lingkungan (Rumah) kita yang sedang porak-poranda, tersadai berkecai-mecai dan rusak parah. Tak pernahkah kita memahami kerusakan lingkungan di seputaran kita yang sedang miris? Tak pernahkan kita merenungi sumber daya alam yang seharusnya bermanfaat dan menjadi anugerah berbelok jadi bencana di Rumah 4


(lingkungan) kita? Bukankah ini semua mempertontonkan rasa tidak bersyukur? Boleh jadi kita lupa bahwa banjir, debu bouksit, jalan rusak, limbah minyak, kekurangan air adalah bagian kecil dari kelalaian dan kebodohan para pemimpin membuat kebijkan? Para pengusaha yang ingin cepat kaya sendiri? Para cerdik pandai yang tak lagi peduli? Tokoh masyarakat dan adat yang banyak intervensi? Para generasi muda yang sibuk berdemontrasi eh.. maaf, berdemokrasi? Dan para wakil yang meninggalkan rakyatnya?

“Raja muafakat dengan Menteri, seperti kebun berpagarkan duri.� Maka maknailah pesan Sang Pujangga Agung itu dalam konteks kekinian. Kalau boleh saran, sudah sepatutnya pelbagai pertanyaan tersebut menjadi pendorong bagi semua pihak untuk menyadari sejatinya bahwa Kepulauan Riau adalah Rumah Kita, bukan rumah Kami. Sehingga semua pertanyaan tadi menjadi bertolak belakang dan tidak benar! Rumah Kita, bukan Rumah Kami, menjadi pondasi keluhuran yang memedomani teks Proklamasi Indonesia yang menggunakan perkataan kami, bukan Kita. Perkataan Kami tersurat untuk menunjukkan eksistensi bangsa Indonesia kepada bangsa lain. Lalu, untuk menunjukan kecintaan semua orang yang menjadi warga Kepulauan Riau (hidup mati di 5


tanah ini), istilah Kita menjadi penting, dan bukan lagi Kami. Artinya, warga Kepulauan Riau tak lagi penting ingin memperlihatkan keakuan siapa Kami. Sebab sejarah menunjukkan bahwa Kepulauan Riau dibangun dan berdiri di atas pluralisme (keberagaman) yang bertanggungjawab untuk menjadi kesinambungan dan keberadaan Rumah (kampung) Kita, bukan Rumah Kami. Oleh karenanya, maka janganlah ada dusta lagi di antara Kita. Fasal Keduabelas Gurindam Sang Pujangga Agung, Raja Ali Haji, mengingatkan, “Raja muafakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri.� Maka maknailah pesan Sang Pujangga Agung itu dalam konteks kekinian. ***

6


(2) BANDARA ‘INTERNASIONAL’, BUKAN HANG NADIM

B

eberapa hari lalu, Saya termasuk Anda dikejutkan oleh ‘gugatan’ yang tak mungkin terjadi sebelumnya. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Pulau Batam melakukan uji materi (gugatan) ke Mahkamah Konstitusi terhadap keberadaan UU No.44 Tahun 2007 tentang, “Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.” Keberadaan undang-undang ini sebagai landasan yuridis bagi lahirnya Peraturan Pemerintah tentang, “Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan dan Karimun (BBK) serta Badan Pengusahaan Batam.” 7


Berbicara kawasan Perdagangan Bebas khusus bagi Pulau Batam, bagi Saya kesannya unik menuju rada-rada tak jelas atau konsepnya abu-abu. Pulau Batam yang dkembangkan sejak awal untuk ‘menyaingi’ Singapura ini merupakan pulau khusus dan istimewa. Akibat dari kekhususan dan keistimewaan itu pula, maka logis jika Pemerintah Pusat mengambil alihnya secara langsung. Menurut banyak pengamat, kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki Pulau Batam sebanding dengan Kuala Lumpur, Putrajaya, Labuan yang merupakan Wilayah Federal (Persekutuan) di Malaysia, Canberra di Australia dan Washington DC di Amerika Serikat. Sementara untuk konteks Indonesia secara sistem pemerintahan, Pulau Batam bukan merupakan ‘kawasan khusus’ atau ‘kawasan istimewa’ sesuai perundang-undangan yang telah ada. Pulau Batam hanyalah kawasan otorita yang ‘unik sekali lagi abu-abu alias mohon maaf ‘tak jelas’. Dibandingkan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai pusat pemerintahan, meski di bawah langsung kontrol Pemerintin Pusat, Pulau Batam memiliki kekhususan dan keistimewaan yang lebih besar dan mutlak. Di Indonesia pasca Orde Baru (Reformasi), ada tiga kawasan menurut undangundang yang memiliki kekhususan dan keistimewaan yakni Aceh, Papua dan Jokjakarta. Masalahnya adalah mengapa Pulau Batam begitu ‘khusus’ dan ‘istimewa’ bagi Pemerintah Pusat (Indonesia)? Jawabnya mudah, karena dikembangkan untuk menyaingi Singapura. Perdebatan kata menyaingi dalam konteks dengan Segantang Minda membuat membacanya menjadi hangat, menarik dan sekaligus membingungkan. Mengapa menarik sekaligus bingung? Beginilah kisahnya. Menurut pendapat seorang teman, kekhususan dan keistimewaan Pulau Batam 8


terkonsentrasi hanya dalam hubungannya dengan pelbagai fasilitas mewah yang semuanya serba berlebih terhadap ketersediaan infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Pusat. Dari pelbagai infrstruktur yang menjadi landasan pendapat seorang teman tadi adalah keberadaan sebuah bandar udara yang berstatus ‘internasional’. Atau antarabangsa, kata orang seberang (Malaysia dan Singapura). Berkait-klindan dengan kata ‘internasional’ inilah mengemukanya sebuah pertanyaan klasik. “Apa buktinya jika Hang Nadim, dikatakan sebagai bandar udara ‘internasional’?” Jika ini merupakan sebuah pertanyaan, jujur saja, Saya pun tak dapat menjawabnya. Sebab, bandara internasioal cirinya (indikatornya) sederhana saja. Apa itu: ada penerbangan internasional? Apakah Hang Nadim ada penerbangan internasionalnya? Biarlah Anda yang menjawabnya! Bagi saya, Bandara Hang Nadim Batam, bukanlah sebuah bandara internasional. Kata internasional pada bandara tersebut, hanyalah sekadar kata yang melekat menjadi sebuah nama. Seperti Hotel Bintang Tujuh di kota Rengat, Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Bintang Tujuh, bukanlah kondisi empirik klasifikasi hotel tersebut yang memenuhi prasyaratannya. Dengan kata lain, internasional hanyalah sebuah makna kiasan atau hanya nama, bukan sesungguhnya. Meski begitu, memahami realitas infrastrukturnya, Saya selalu percaya jika bandara yang memiliki landasan terpanjang di Asia Tenggara serta pelbagai macam kelebihannya itu adalah bandara ‘internasional’. Sebab, filosofis dibangunnya bandara ini ingin ‘menghandle’ (ambil-alih) kalau tak 10 persen, lima persen saja penerbangan Singapura beralih ke Pulau Batam, sudah bersyukur. Dengan begitu, Saya termasuk Anda berharap jika dampaknya dapat menghidupkan dan menambah pundi9


pundi penghasilan negeri yang dulunya dijuluki sebagai Bandar Madani ini. Namun apa nak dinyana! Negeri kecil nak cerdik ini tidak bodoh. Hang Nadim hanyalah representatif sebahagian kecil kebodohan kita. Yang lain, tentu masih banyak lagi, sebut saja projek pipa Natuna-Singapura ratusan kilometer: bukankah kita hanya gigit jari, misalnya. Belajar dari Hang Nadim sudah banyak kita ‘dikerjain’ Singapura. Daripada kita berbohong terus menyebut Bandara ‘Internasional Hang Nadim, lebih baik jujur bahwa ‘Hang Nadim, Bukanlah Bandara ‘Internasional’. Biar semakin jelas bahwa kita memang ‘bodoh’. Suai! ***

10


(3) PILIH INDIAN,ABORIGIN ATAU SUKU LAUT

”Kalau Gubernur harus Orang Betawi, Presiden juga dong. Istananya kan ada di Jakarta,”. (Basuki Tjahaja Purnama).

11


P

ernyataan Wakil Gubenur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tersebut sejenak ‘wajib’ untuk direnungi. Menjadi amat penting untuk direnungi oleh karana berhubungan dengan sesuatu yang sangat asasi: perihal keberadaan atau eksistensi sebagai manusia. Terdapat hal amat penting yang selalu dilupakan tentang hakikat kemanusiaan. Hakikat tentang identitas atau kedirian. Sebab saat ini kita manusia dilalaikan untuk saling mengenal dan menghargai antar sesama manusia. Yang dikedepankan hanyalah perbedaan. Yang berbeda dari identitas atau kedirian seperti ideologi (agama), geneologi (asal darah dan kelahiran), budaya (etnik atau kesukuan) dan sumber daya (ekonomi, politik, keadilan dan yang lainnya). Faktor-faktor inilah yang selalu menjadi pengabsahan untuk manusia saling membunuh dan salah menyalahkan. Segantang Minda berupaya mengangkat hakikat kemanusian ini oleh karena, Ahok berusaha mengingatkan Anda, Saya dan kita semua. Ceritanya begini, menjelang perayaan hari ulang tahun Jakarta, 22 Juni 2013 lalu, ada tuntutan dari masyarakat Betawi, agar ‘Putra Daerah’ yang harus menjadi pemimpin (Gubernur) di Jakarta terus bergaung. Selama ini mereka merasa termarjinalkan atau terpinggirkan di tanahnya sendiri. Keinginan itulah yang ditanggapi oleh Ahok sebagai Wakil Gubernur ibu negeri itu. Menurut yang sudah banyak diberitakan oleh media massa, Ahok menanggapinya sambil tersenyum lalu menjawab, “Kalau begitu, Presiden juga harus orang Betawi dong. Istananya kan ada di Jakarta.” Yang menarik, Ahok tidak mempermasalahkan keinginan masyarakat Betawi ini. Ia mempersilakan semua masyarakat memberikan argumentasi dan apresiasinya. Bahkan ia juga mempersilakan untuk menyampaikan keinginannya (orang 12


Betawi) kepada Presiden. Kemudian, ia melanjutkan, “Kenapa nggak protes ke SBY (maksudnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono). Gubernur saja nggak boleh. Kalau mau lebih dalam suruh pindah saja, jangan di sini. Pindahin saja istana dari Jakarta,” kata Ahok tertawa. Pernyataan Ahok tersebut sesungguhnya menanggapi tokoh Betawi sekaligus Pemimpin Majelis Taklim Raudhotul Jannah, Syahrudin yang meminta kepada Gubernur DKI Jakarta untuk memberikan kepercayaan kepada tokoh Betawi memegang jabatan strategis. Rupanya itu ‘toh’ yang melatarbelakanginya. Menurut hemat Saya apa yang substansi yang disampaikan Ahok ialah, pertama performa menanggapinya dengan tersenyum dikulum, dan agak tertawa meskipun sedikit. Kedua, mengandung esensi perihal identitas kedirian manusia. Yang kedua inilah yang menjadi persoalan kompleks, pelik dan misterius. Ini disebabkan persoalan identitas yang sungguh ‘sunatullah’ atau ‘takdir kedirian’ yang tidak dapat diubah untuk konteks geneologi sekaligus demografi. Misalnya saja, Saya menginginkan lahir dari seorang tua yang menjadi Raja atau milyader sekelas Bill Gates. Kemudian, Saya ingin dilahirkan di Amerika, tidak diujung wilayah yang penuh konflik. Namun masalahnya, Saya tidak dapat memilih. Apa mungkin dalam kandungan ketika itu Saya dapat menentukan pilihan. Mustahil. Itulah realitanya. Sementara tuntutan untuk memberikan kesempatan pada Putera Daerah memimpin atau berkuasa di daerahnya bagian dari kedinamikaan faktor sumberdaya politik atau kekuasaan. Maka cara memperolehnya, bukanlah ‘takdir kedirian’ atau harga mati, melainkan sebuah proses yang harus diperjuangkan dengan mengedepankan harkat kemanusian 13


juga. Ini disebabkan di manapun di dunia ini, tuntutannya pasti sama. Di Papua, realitasnya Gubernurnya Orang Papua, di Jawa, Orang Jawa, di Korea Orang Korea dan sebagainya. Belajar dari Ahok memang ada yang menarik direnungi. Sesungguhnya kalau mau adil atau agar lebih fair sedikit saja, seharusnya di Australia yang menjadi Perdana Menterinya, bukan pendatang dari Eropa, tetapi Orang Aborigin. Atau di Amerika, bukan migran yang asal Eropa, tetapi Orang Indian. Yang kalau di Riau, tentunya Orang Sakai. Dan yang terakhir di Kepulauan Riau, mengapa tidak diberi kesempatan Orang Suku Laut untuk menjadi Gubernur. Suai! ***

14


(4) ASAP, ASEP DAN SINGAPURA

B

eberapa hari ini, bukan saja dua negeri tetangga Singapura dan Malaysia yang ‘diserang’. Warga di negeri Segantang Lada Kepulauan Riau ini juga terkena ‘serangan’ yang sama: Asap. Orang di Malaysia menyebutnya Jerebu. 15


Bagi kawan saya seorang pengusaha yang alur berpikirnya kapitalistik (cara bertindak atas dasar modal atau materi), berpendapat, Asap merupakan potensi ‘kekuatan ekonomi baru’ non Migas (minyak dan gas) Indonesia. Asap dapat digunakan sebagai bahan baku memproduksi senjata pamungkas, bom Asap. Tampaknya teman ini tidak main-main. Berdasarkan hasil analisisnya (yang pengusaha tentunya), senjata dari bahan Asap produksinya berbiaya sangat murah meriah. Hanya korek api tambah kipas angin. Ia pun menyuruh saya, membayangkan bagaimana dengan, ‘Modal sekecil-kecilnya, mendapatkan untung sebesar-besarnya,’. Begitu para kapitalis (kakek pengusaha) mengajarkan, katanya. Ini merupakan hukum kapatalis yang tak terbantahkan. Betapa tidak, Singapura sebagai negara dengan kekuatan ekonomi dunia yang tangguh, angkat tangan. Begitu dasyatnya Asap. Hanya, ia pun sempat tertanya-tanya dalam hati : Mengapa dengan kekuatan Asap Indonesia, tak juga mampu mendorong Singapura untuk meratifikasi perjanjian ekstradisi. Paling hasilnya nanti, tidak hanya para koruptor yang lari ke Singapura, para pembakar hutan (penghasil Asap) asal negeri Singa ini pun dapat di hukum di Indonesia. Saya tahu, kalau argumentasi yang ini, ia hanya seloroh (bergurau) dari seorang kawan yang kapitalistik, pengusaha maksudnya. Bagi saya mencermati persoalan Asap, Segantang Minda turut urun pendapat untuk disampaikan. Sejauh ini ada yang terlewatkan untuk diamati. Menurut saya, terkait isu sentral perAsapan ini, mari kita coba mendekatinya dari sisi komunikasi massa di media. Ini agak menarik disebabkan begitu buruk dan kontradiktifnya (penuh silang-sengketa) pemerintahan kita cara mengatasi ‘balak’ per-Asapan ini. Belajar dari media, setidaknya terdapat tiga hal yang kontradiksi. 16


Pertama, salah seorang pejabat di pemerintahan menyebutkan, ada delapan perusahaan yang diduga menyebabkan kebakaran hutan di Riau dan Jambi Tengah. Dari hasil penyelidikan di lapangan yang dilakukan oleh tim investigasinya, ternyata delapan perusahaan tersebut merupakan perusahaan asing milik investor dari negara yang mengeluhkan Asap. Kedua, selang berapa hari, Kepala pemerintahannya menyampaikan permohonan maaf kepada Singapura dan Malaysia, lantaran kebakaran lahan telah menyebabkan kabut asap di dua negara itu. Kepala Pemerintahan meminta pengertian, agar saudara-saudara kami di Singapura dan di Malaysia mau memaa$an. Tak ada niat dari Indonesia untuk menyebabkan kabut asap di Singapura dan Malaysia. Dan kami bertanggung jawab untuk terus mengatasi apa yang sedang terjadi sekarang ini, begitulah ucapan (padato) sang Kepala Pemerintahan. Ketiga, salah seorang anggota DPR RI (parlemen) yang mewakili rakyat pun komplain. Seharusnya, Kepala Pemeritahan tidak perlu minta meminta maaf kepada negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Menurut anggota yang ‘vokal’ ini, perusahaan yang menyebabkan kebakaran disinyalir bukan perusahaan lokal, melainkan perusahaan asing. Perusahaan dari Singapura dan Malaysia. Seharusnya, Kepala Pemerintahan memohon maaf kepada warga di Riau, bukan Singapura dan Malaysia. Ini sama saja mengkerdilkan bangsa sendiri, begitu kata anggota DPR yang juga salah seorang Ketua Fraksi ini. Menurut saya, kontradiksi ini semakin menunjukkan kebenaran apa yang dijelaskan oleh seorang kawan yang pengusaha tadi. Kekuatan kapitalisasi (modal besar) perusahaan yang disebut investor berhasil memproduksi dua 17


hal. Pertama, membuat seorang Kepala Pemerintahan takluk dan langsung meminta maaf. Kedua, berhasil merubah alam Riau menjadi satu-satunya di Indonesia yang sebelumnya hanya memiliki dua musim: panas dan penghujan. Kini di tambah dua menjadi musim lagi: Asap dan Banjir. Sesungguhnya belajar dari fenomena ini, kawan saya pun berseloroh, bahwa ada hubungan antara Asap, Asep dan Singapura. Menurutnya, ASEP itu kependekan dari: ‘Aku Sayang Engkau Perusahaan’. Walau pun Engkau penghasil ASAP. Suai! ***

18


(5) ANTARA GELPER, GOLFER BUKAN GOLFOR

D

alam sebuah diskusi kecil yang biasa kami lakukan, seorang kawan kemungkinan sambil bercanda atau iseng, melontarkan pertanyaan: Apa perbedaan antara Penjabat dan Penjahat? Beberapa di antara kawan tampaknya ada yang serius menanggapi pertanyaan itu melalui pelbagai argumentasi bahkan berdasarkan pendekatan atau teori-teori keilmuan yang mumpuni. Hanya saja, si kawan pembuat pertanyaan tersenyum, sambil menolak semua argumentasi yang konon ilmiah dan akademis jawabannya, minimal bagi kawan yang berargumen. 19


Dengan mudahnya si kawan itu menjawab jika perbedaan antara Penjabat dan Penjahat adalah BH. Sembari simpul tersenyum dikulum, kami pun terbahak-bahak mendengarnya. Tentu dilatarbelakangi perkataan atau BH, selalu mengasosiasikan menuju pikiran semua orang kepada sesuatu yang seksi dan bahkan ‘porno’. Ini disebabkan BH merupakan instrumen dari bagian pakaian maaf, ‘dalam’ perempuan. Dan setelah kami pikir ulang, memang benar jawabannya BH, bukan ‘brah’ melainkan hurup B dan H. Masih dalam forum yang sama pertanyaan berikutnya pun mengemuka dari kawan yang lain: Apa perbedaan antara GELPER dan GOLFER. Dengan cakap dan tangkas, seorang kawan di sebelah saya mengangkat tangan merespon yang langsung menjawab, bahwa GEPLER itu adalah akronim (kependekan) dari Gelanggang Permainan yang akhir-akhir ini agak meramaikan pemberitaan media massa di negeri Segantang Lada. Ini disebabkan gelanggang yang selalu disalahgunakan, dimanipulasi dan didesaian menjadi ajang ‘gelanggang’ (wahana) perjudian. Melalui respon jawaban itu, saya pun teringat sebuah media di online yang mengkhabarkan bahwa Gelanggang Permainan berkedok perjudian ditutup secara paksa oleh Kepolisian Daerah (POLDA) Kepulauan Riau (KEPRI). Direktorat Reserse Kriminal Umum (DITRESKRIMUM) POLDA KEPRI, Rabu (28/8/2013) sekitar pukul 19.00 WIB menutup paksa arena Gelanggang Permainan (GELPER) tanpa nama yang ada di Centre Point, meskipun keesokan harinya dibuka lagi, demikian pesan yang ada dalam berita tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan GOLFER, menurut jawaban kawan tersebut, bukanlah singkatan. Golfer hanyalah sebuah istilah yang digunakannya untuk memaksudkan bagi mereka seseorang atau siapa saja yang mahir (profesional) 20


talentanya bermain golf. Seperti Tiger Wood lah. Mendengar jawaban ini, saya juga teringat pemberitaan pelbagai media nasional yang menceritakan sebuah kisah tertangkapnya mantan Ketua SKK MIGAS, Rudi Rubiandini yang berdasarkan pengakuannya bermula dari lapangan golf. Kalau tidak bermain golf, saya tidak akan seperti ini. Maksudnya adalah tidak akan ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mencermti kisah Rudi ini, saya teringat cerita seorang kawan lama yang menurutnya, ketika zaman Orde Baru ada seorang menteri yang berpendapat jika lapangan golf menjadi indikator (ukuran) terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Artinya, semakin banyak lapangan golf, maka membuktikan semakin sejahtera masyarakat Indonesia. Bagi saya, apabila pendapat atau logika ini dirujuk pada kasus mantan ketua SKK MIGAS tentu saja tidak salah, jika muncul kesimpulan seperti ini, ‘semakin banyak lapangan golf dan pejabat negara yang menggadrungnginya (menjadi hobi), maka semakin banyak pejabat yang berpotensi untuk korupsi. Jujur, Saya tidak memaksa Anda untuk sepakat, tetapi saya meyakini Anda akan langsung menganggukkan kepala menunjukkan setuju terhadap ‘tesis’ atau pernyataan atau ‘kesimpulan’ tersebut. Hemat Saya, tidak keliru (bukan tidak salah) seorang pejabat yang main golf dan tidak akan korupsi. Itupun kalau mau mengikuti saran atau tips dari mantan Anggota Satuan Tugas (SATGAS) Pemberantasan Mafia Hukum, Yunus Husein yang juga mantan Ketua PPATK. Menurutnya, Penjahat eh bukan, maksudnya pejabat boleh-boleh saja bermain golf dengan mematuhi lima syarat yang harus dihindari. Pertama, jangan satu flight dengan hopeng atau pengusaha yang ada kepentingan dengan pejabat (conflict of interest). Kedua, 21


jangan dibayarin pengusaha, misalnya untuk greenfee, caddy fee, konsumsi dan lain-lain. Bayar sendiri. Ketiga, jangan pakai taruhan, karena itu judi yang dilarang agama. Keempat, caddy sebaiknya laki-laki saja untuk mencegah hal-hal yang negatif. Kelima, tak perlu pakai lucky draw yang membuka peluang gratifikasi terselubung. Mercermati dengan seksama sebagai orang yang ‘pernah’ berlatih dan memiliki tongkat golf, Saya seratus persen yakin akan pesan atau nasehat dari Yunus Hesein ini. Berlatar belakang inilah pula yang menyebabkan mengurung niat Saya dan teman-teman dekat yang lain, untuk ‘bermain’ golf. Ini disebabkan, selain menuruti nasihat tersebut yang menurut mantan Ketua PPATK ini, katanya ia sering dengar cerita mereka yang bermain golf, untuk taruhan ada yang pakai USD, taruhan untuk membuat semangat, padahal judi. Saya meyakini begitupun Anda boleh sepakat, itulah sebabnya saya membantah (kurang sependapat) walaupun dalam hati dengan pendapat teman tadi. Hemat saya (dalam hati), orang yang mahir bermian golf itu, bukan disebut dengan Golfer, melanikan Golfor. Alasannya mudah saja bila disandingkan istilah bagi orang yang melakukan korupsi disebut dengan koruptor. Menambah keyakinan Anda, bukankah diawal Saya dan Anda atau kita (pasti?) sepakat jika memang antara Penjabat dan Penjahat badanya tipis, BH. Samahalnya antara GELPER dan GOLFER (bukan GOLFOR), yang sebutannya mirip. Suai! ***

22


(6) PRESIDEN DAN ‘BELAKANG’

W

ALAUPUN tahun 2014 belum datang, namun konvensi menentukan kandidat calon Kepala Negara (Presiden) yang sedang dilaksanakan oleh salah satu partai ‘terbesar’, memberikan makna penting bahwa proses politik itu sama (identik) dengan ‘wajah’ Indonesia di masa depan. Berdasarkan pada harapan besar itu pula maka Segantang Minda sejak awal meyakini bahwa memilih pemimpin (Presiden) sama (identik) dengan melihat ke ‘Belakang’. Maksudnya secara sangat sederhana kita dapat bereksprimen jika seorang pemimpin identik dengan konsep (kata) ‘Belakang’. 23


Sebagaimana lazimnya dalam dunia akademis ketika kita ingin melakukan sebuah eksprimen (uji-coba) perlu mencari korelasi terhadap pemimpin dan keberhasilan dengan konsep ‘Belakang’. Lalu pertanyaannya: Mengapa harus Belakang? Saya harus meyakini apabila ada yang kurang pas selama ini secara sosiologis ketika kita mengamati, menyaksikan dan mengalami langsung bahwa tentang parodi Belakang. Cara berpikir kita seolah-olah harus terpaksa mengakui arti sebuah kebenaran jika konsep (kata) belakang selalu diasosiakan dengan ‘ke belakang’. Ini berasal dari jawaban pertanyaan: hendak atau pun mahu ke mana? Ke belakang, sangat pasti begitu jawabannya. Perkataan ‘ke Belakang’ yang terdiri dari ‘ke’ sebagai kata depan, dan ‘Belakang’ mengadung arti sebuah tempat tersebut merupakan kelaziman kita untuk ‘menyembunyikan’ atau ‘menghaluskan’ yang mendeskripsikan sebuah tempat. Oleh karena itu wajar apabila kata Belakang selalunya identik sebuah tempat yang kotor, menjijikkan, seperti toilet atau kamar kecil: tempat pembuangan. Berlatar belakang ingin menyembunyikan atau sebagai penghalus (eufemisme), tempat pembuangan limbah manusia tersebut diubah menjadi perkataan ‘Belakang’. Sebagai contoh, sangat ironis apabila negara (Pemerintah Pusat) memberikan penghargaan di bidang kebersihan dan ketertiban jalan, sementara sampai saat ini boleh dikatakan (diklaim menurut Saya) belum ada satupun kebersihan dan ketertiban di Jakarta sebagai Ibu Negeri yang merupakan wajah Indonesia untuk diteladani? Boleh lah ‘sementara’ dengan kepemimpinan Gubernur Jokowi, ada ‘secercah harapan’ karena orang nomor satu di DKI ini ‘berupaya’ membenahinya. Itulah sebabnya Presiden yang berkedudukan di Ibu Negeri menjadi indikator keberhasilan sekaligus wajah Indonesia. 24


Untuk kemudian dari Ibu Negeri ini pula cara pandang memilih pemimpin mempunyai hubungan signifikankausalitas (penting dan saling terkait) dengan kata Belakang. Coba kita (Saya dan Anda) cermati sekilas. Bukankah teramat susah mencari jawaban hubungan antara kata ‘ke belakang’ dengan tempat pembuangan limbah manusia atau toilet tersebut? Padahal yang dimaksud dengan ‘ke Bekalang’ adalah membuang ‘limbah’ atau kotoran itu sendiri. Yang musykil justru, mengapa ketika hendak membuang kotoran, kita harus terlebih dahulu permisi hendak ke ‘Balakang’? Mengapa, kita tidak langsung saja permisi mau beol, pipis, buang air kecil atau besar atau yang lainnya? Apakah kata ‘Belakang’, merupakan simbol dari sesuatu yang kotor dan menjijikkan, sehinga harus diperhalus untuk disembunykan menjadi ‘ke Belakang’? Sesungguhnya dalam konteks ini Segantang Minda ingin menegaskan bahwa ‘Belakang’ adalah representasi depan. Dalam hubungan ini depan merupakan ukuran dari kebersihan, kejujuran, keikhlasan dan transparansi (keterbukaan) atau secara geografis kawasan perbatasan kita yang sesungguhnya letaknya di depan (berhadap-hadapan) dengan negara lain justru diposisikan menjadi marjinal (pinggiran) atau Belakang. Oleh karena itu teristimewa khusus bagi calon Pemimpin mari diubah Minda (cara berpikir) kita bahwa Belakang yang selalu diasosiasikan sebagai tempat menjijikkan dan kotor itu, sebenarnya (belakang) adalah representasi dari (simbol) kebersihan, kejujuran dan kawasan negeri-negeri di perbatasan. Dalam hubungan mengubah Minda ini, kesehariannya Belakang yang merupakan wujud nyata dari toilet atau kamar kecil adalah indikator yang menjadi garansi bersihnya lingkungan umum, rumah pribadi atau representasi kebersihan wilayah kota dan negeri di Indonesia umumnya dan teristimewa negeri Segantang Lada ini. 25


Sangat gampang bagaimana mengamati minda ’Belakang’ itu adalah kondisi realita pelabuhan (terminal), jalan berbauksit, pantai berminyak, ’limbah angkutan’ truk yang berceceran yang selalu didera oleh Negeri Segantang Lada yang bertetangga dengan Negeri Singa nan elok itu. Alangkah indahnya jika infrastruktur dasar, seperti jalan dan terminal pelabuhan dilihat berdasarkan filosofi ’Belakang’. Maknanya, bagaimana wajah terminal dan jalan di ibu negeri Indonesia ini menjadi tolak ukur di daerah yang menjadi bagian sebagai ‘anak’ atau ‘cucunya negeri’. Kebersihan Ibu Kota adalah cerminan kebersihan ‘Anak’ atau ‘Cucu’ Kota. Mengapa kita tak hendak mencoba dengan menggunakan filosofi ’ke belakang’ menjadi cerminan keberhasilan yang tidak rekayasa, alami. Misalnya, tanpa pelbagai penghargaan terkait kebersihan pun, jalan atau kebersihan ibu negeri ini sudah amat sangat dihargai oleh warganya sendiri. Penghargaan warga hanya ingin menghilangkan kesan rekayasa kebijakan yang penuh pamrih yang ujung-ujungnya kebersihan adalah proyek, bukan kesadaran. Oleh karena itu, mari para calon Presiden dan calon Pemimpin lainnya (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat dan seterusnya) untuk bereksprimen (uji-coba) mengubah cara pandang untuk melihat keberhasilan dari arah yang berbeda: bukan depan, melainkan ‘Belakang’. Suai! ***

26


(7) ‘LEMBAGA ISTIMEWA’ BATAM

S

ebagaimana diberitakan oleh pelbagai media massa di negeri Segantang Lada ini bahwa Mantan Presiden Republik Indonesia, B.J Habibie (saat menjadi pembicara dalam silaturahmi dengan kalangan pengusaha anggota KADIN Batam), Sabtu (28/9), melontarkan wacana pembentukan Provinsi Istimewa Batam. Wacana ini penting sebagai upaya mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 25 persen, seperti pada tahun 1978 yang sekaligus menjadi pesaing kuat negara tetangga, Singapura. Ia mengusulkan Pulau Batam digabung kan dengan pulau-pulau yang dihubungkan oleh jembatan Batam-Rempang- Galang (Barelang) menjadi daerah ‘istimewa’ yang dipimpin oleh seorang gubernur. 27


Menanggapi wacana yang dilontakan mantan ketua Otorita Batam itu, baik gubernur maupun wakil gubenur Provinsi Kepri, mengatakan pembentukan Provinsi Istimewa Batam tidak mudah. Perlu dilakukan kajian, termasuk mengkaji apakah pembentukan provinsi tersebut sudah layak atau belum atau sesuai dengan peraturan yang berlaku. Segantang Minda sengaja mengangkat wacana provinsi istimewa ini pada konteks aktualitasnya terkait keberadaan sebuah istitusi yang berada di Pulau Batam yang terkenal dengan sebutan Otorita Batam (sekarang disebut Badan Pengusahaan Batam atau BP Batam). Menurut hemat Saya, walaupun banyak orang boleh jadi tidak sependapat, wacana provinsi istimewa ini mengedepan oleh karena adanya ‘keistimewaan’ lembaga warisan Orde Baru ini. Mengapa istimewa? Untuk konteks keistimewaannya itulah yang perlu diperjalas. Sebagaimana diketahui bahwa reformasi di Indonesia khususnya reformasi hukum (undang-undang) tentang pemerintahan daerah seharusnya membawa dampak negatif terhadap keberadaan institusi birokrasi yang disebut dengan Otorita Batam. Reformasi pemerintahan daerah dapat menyebabkan dibubarkannya Otorita Batam di Pulau Batam. Tetapi yang terjadi sebaliknya jika Reformasi sistem pemerintahan daerah justru seolah-olah menambah kekuasaan Otorita Batam. Untuk konteks Pulau Batam, Reformasi Hukum di Indonesia berakibat berlangsungya empat perubahan penting yang berhubungan dengan keberadaan Otorita Batam. Pertama, Reformasi Hukum menyebabkan perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah yang menghendaki berubahnya pola kekuasaan antara Pemerintah Pusat, Kota Batam dan Otorita Batam. Kedua, menyebabkan perubahan Kota Batam dari Kota 28


Administratif (tanpa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) menjadi Kota Batam (memiliki otonomi kekuasaan sendiri berdasarkan undang-undang Pemekaran Kota Batam), sebagai konsekwensinya Kota Batam memiliki DPRD. Keadaan ini menyebabkan di Pulau Batam terdapat tiga institusi yang memiliki kekuasaan ikut menentukan jalannya pemerintahan yakni Otorita Batam, Pemerintah Kota Batam dan DPRD Kota Batam. Ketiga, di dalam UUD 1945 belum ada pasal yang mengatur dengan jelas dan tegas pemberlakuan asas Desentralisasi Fungsional (otonomi yang mengurus kawasan ekonomi khusus, seperti Kawasan Berikat di Pulau Batam yang selama ini dikelola Otorita Batam). Begitu pun undang-undang yang mengatur hubungan Pemerintah Pusat (Otorita Batam) dengan Pemerintah Kota Batam yang sampai saat ini tidak pernah ada (termasuk PP yang diamanahkan dalam UU No.53 Tahun 1999 tentang Pemekaran Kota Batam). Keempat, Reformasi Hukum meletakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dibagi atas daerahdaerah provinsi, daerah-daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undangundang. Namun di Pulau Batam berbeda. Ini disebabkan terdapat kawasan khusus (Kawasan Berikat, yang sekarang disebut dengan ‘kawasan perdagangan bebas’ yang konsepnya juga belum jelas) yang dikelola oleh lembaga yang bernama Otorita Batam selain Pemerintah Kota Batam. Berdasarkan dampak Reformasi Hukum tersebut menimbulkan beberapa fonomena ekonomi politik hukum yang dapat dijelaskan secara singkat. Pertama, dasar hukum pendirian Otorita Batam berlawanan dengan undang-undang Pemerintahan Daerah. 29


Kedua, terjadinya dualisme kekuasaan antara Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam. Ketiga, era Desentralisasi asas hukum Otorita Batam yang hanya berupa Keputusan Presiden (sebelum diubah menjadi BP Batam) kedudukannya seolah-olah lebih kuat berbanding Pemerintah Kota Batam yang berlandaskan undang-undang. Ini dikarenakan tetap diterbitkannya Keputusan Presiden tentang Otorita Batam, meski dinilai bertentangan dengan undang-undang. Keempat, konflik kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menunjukkan jika kekuasaan Pusat lebih kuat dibandingkan Pemerintah Kota (otonomi daerah). Kelima, keberadaan Otorita Batam pada era Reformasi merefleksikan sistem politik otoritarian. Keenam, keberadaan Otorita Batam pada era Reformasi Hukum mewakili tampil kembalinya Orde Baru yang disebut dengan Neo-Soehartois. Berpijak kepada pelbagai argumentasi inilah sesungguhnya yang menurut hemat Saya menjadi muasal, mengapa wacana keistimewaan ini mengemuka. Jadi benar yang istimewa sesungguhnya bukan Pulau Batamnya, melainkan lembaga Otorita Batam-nya. Itulah sebabnya nama yang pas bukan Provinsi Istimewa Pulau Batam, tetapi ‘Lembaga Istimewa’ Batam. ***

30


(8) ANTARA HANG NADIM DAN CHANGI

S

ecara jujur harus diakui bahwa kesalahan besar apabila tetap berupaya membandingkan antara bandara internasional Hang Nadim, Pulau Batam dengan bandara internasional Changi, Pulau Singapura. Walaupun salah, biarlah Saya yang menanggung ‘kesalahan’ itu karena tetap berupaya membandingkannya. 31


Lalu pertanyaannya: Mengapa harus dibandingkan? Menurut hemat Saya, paling tidak walaupun berbeda jauh, Changi melebihi segalanya, tetap saja terdapat kesamaan pada kedua bandara terkait dengan perkataan internasionalnya. Apalagi panjang landasannya pun, Changi lebih pendek berbanding Hang Nadim, Pulau Batam. Segantang Minda sengaja memperbandingkan kedua bandara ini dalam konteks hakikat ďŹ losoďŹ snya yang sama-sama internasional. Ditambah obsesi dari pembangunan bandara internasional Hang Nadim untuk menyaingi bandara Changi. Ya, namanya juga obsesi kan boleh-boleh saja, walaupun hasilnya belum tercapai sampai saat ini atau satu dua, tiga atau sepuluh dasawarsa ke depan. Paling tidak sudah berupaya. Oleh karena itulah menurut hemat Saya, persiapan untuk menyaingi negeri elok nan cerdik ini, sangat bergantung pada kesiapan mental pemimpinnya. Persiapan sesungguhnya sudah dimulai (sebagaimana banyak diberitakan oleh media massa belakangan ini) di saat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan secara tegas mengatakan bahwa Indonesia belum berdaulat di udara. Ini disebabkan sampai saat ini sebagian wilayah udara Indonesia masih akan dikendalikan pengatur lalu lintas udara milik Singapura. Berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 7 Tahun 1996 tentang, ‘RatiďŹ kasi Perjanjian Flight Information Region (FIR) dengan Singapura telah diatur sistem navigasi Timur di Indonesia yang dikuasai Singapura selama 15 tahun. Adapun sistem pengamanan udara di wilayah timur Indonesia seperti di Pulau Batam (Kepulauan Riau), Palembang, Medan, Pekanbaru, Pontianak, Bangka Belitung dikontrol dari Singapura. Berdasarkan pada realitas inilah perlunya inisiatif membuat sistem jasa layanan penerbangan agar Indonesia lebih berdaulat penuh di udara miliknya. 32


Berdasarkan kebijakan (PP No.77 Tahun 2012), pemerintah membentuk sebuah perusahaan yang fokus pada navigasi penerbangan di Indonesia. Perusahaan ini disebut Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI). Dengan adanya lembaga ini, maka hanya akan ada satu lembaga navigasi yang menggabungkan navigasi penerbangan. Sampai sejauh ini, Saya meyakini sesuai ulasan terdahulu (tulisan dalam Segantang Minda) bahwa Hang Nadim sebagai bandara internasional hanyalah namanya, bukan realitasnya. Berdasarkan pelbagai infrstruktur berkait-klindan dengan kata ‘internasional’ inilah mengemukanya sebuah pertanyaan klasik. “Apa buktinya jika Hang Nadim dikatakan sebagai bandar udara ‘internasional’?” Apabila ini merupakan sebuah pertanyaan, jujur saja Saya pun tak dapat menjawabnya. Sebab bandara internasioal cirinya sangat sederhana. Apa itu: ada penerbangan internasional? Apakah Hang Nadim ada penerbangan internasionalnya? Untuk saat ini tak mungkin menjawabnya. Ini disebabkan kita menyadari bagaimana penerbangan internasional berada di Pulau Batam jika Singapura yang mengendalikannya. Jadi benar pembangunan bandara Hang Nadim hanyalah sebuah obsesi dari para petinggi yang sesungguhnya ‘menyadari’ bahwa Singapura tak mungkin rela untuk disaingi. Oleh sebab itu perkataan internasional pada bendara Hang Nadim dan keinginan kuat Menteri BUMN untuk mengambil alih kendali dari Singapura, sama susahnya ketika kita ingin menyepakati perjanjian ekstradisi dengan negeri Singa yang sampai saat ini ‘mustahil’ berhasil. Sejatinya para petinggi negeri ini menyadari bahwa Singapura akan terus berupaya mencari helah, agar mereka tetap dapat terus-menerus mengendalikan (kontrol) ‘sebagian kecil’ wilayah udara kita 33


yang dianggap sangat strategis. Belajar serta berupaya membandingkan bandara Hang Nadim di Pulau Batam dan Changi di Pulau Singapura, tidak ada cara kecuali mengubah mental para pentinggi negeri ini bahwa kita negara besar yang ‘tak berdaya’. Sementara Singapura negeri kuat yang ‘adidaya’. Sesungguhnya kesadaran inilah menjadi pintu masuk jika pengambilalihan kendali hanya dapat dilakukan kalau para pemimpin kita siap bermental baja. Maksudnya bermental untuk tidak mau menerima semua iming-iming yang berbau materi atau sogok (rasuah). Selagi mental mau disogok masih bersebati dengan diri seorang pemimpin, tak perlulah banyak berharap. Maka bersabarlah sehingga arang dicuci menjadi putih, atau para tukang berhasil mengecat bongkahan batu es di kutup utara. ***

34


(9) BLOK ‘R’ BESAR

B

elum usai perhitungan pemilu legislatif lalu plus kritikan petinggi partai yang kalah terhadap daftar pemilih tetap (DPT), para petinggi itu menyibukkan diri membangun blok (koalisi), atau dukung-mendukung menggalang kekuasaan. Kita pun maklum. Sebab, 9 Juli mendatang ‘arena perburuan kuasa’ telah menunggu. 35


Begitulah ritme di arena kekuasaan kita menjelang Pilpres (pemilihan presiden) mendatang. Semua aktivitas ditumpukan pada satu fokus: koalisi mencapai 25 persen ambang batas minimal suara jika ingin menjadi Capres (calon presiden). Oleh karena itu wajar apabila tiada hari, jam, menit dan detik pemberitaan di media massa, tanpa informasi membangun blok (koalisi). Seolah-olah sistem kekuasaan dalam demokrasi kita, tak akan hidup tanpa blok. Semua pada blok-blokan. Ada blok S, blok J dan blok M (bukan mall blok M, ya). Para petinggi lupa bahwa blok hanyalah media sementara untuk mencapai kekuasaan. Ada yang lebih penting sebagai pemilik kedaulatan dan penentu ’kemenangan’ bagi para kandidat untuk duduk di singgasana kekuasaan itu. Para petinggi partai hanya berasyik ria dengan bloknya saja. Mereka lupa, ada blok besar yang dikesampingkan, diabaikan bahkan dianggap tidak ada. Di antara sederetan blok yang sedang dibangun oleh para petinggi partai itu, ada blok ’R’ besar yang dilupakan. Saya menyebutnya dengan blok rakyat (R=rakyat). Hanya ingin mengingatkan para petinggi partai, agar jangan menyalahkan yang ’menang’ apabila tidak dipilih rakyat nantinya. Sebagai para pemain lama yang berpengalaman, seharusnya mereka mau belajar bahwa rakyat kita sudah pintar. Dalam pandangan rekan-rekan di caleg (yang kecawa karena kalah), sebagian rakyat pintar kita disebut dengan bukan politisi atau legislatif busuk, melainkan masyarakat (rakyat) busuk. Yang dimaksud ’rakyat busuk’ adalah mereka yang telah diberikan bantuan, tetapi memilih caleg lain. Mereka pembohong, ingkar janji, serakah dan busuk, begitu si caleg yang kalah bergumam. Jujur, buat Saya prilaku itu bukanlah sebuah kebusukan, tetapi ’kecerdasan’ dalam berprilaku politik. Mohon maaf teman-teman caleg bahwa kebusukan rakyat adalah sikap, 36


respon atau reeksi terhadap aksi para Caleg yang pamrih dan berorientasi kursi. Jadi ada aksi, ada reaksi, begitulah hukum dalam ilmu eksak (ďŹ sika) mengajarkan kita.

... khusus buat para petinggi partai yang sedang membangun blok, hendaklah bercermin! Bahwa blok dapat dibangun sebesarnya-besarnya, sekuat-kuatnya dengan garansi dan kompensasi uang, kedudukan dan kuasa. Belajar dari realitas hukum itu, khusus buat para petinggi partai yang sedang membangun blok, hendaklah bercermin! Bahwa blok dapat dibangun sebesarnya-besarnya, sekuatkuatnya dengan garansi dan kompensasi uang, kedudukan dan kuasa. Para petinggi partai jangan Ge-er dulu atas kemenangan beserta blok yang dibangunnya atau jangan menyalahkan yang menang atas kekalahan yang diperolehinya. Bagi yang menang, blok itu hanyalah bagian terkecil dari blok R besar. Sementara bagi yang ’merasa’ dicurangi dan kalah, bangunlah kesadaran jika di depan Anda ada blok R besar yang sedang menunggu. 37


Sebagaimana orang bijak mengatakan, ’di atas langit ada langit’. Ya. Benar, di atas blok S, J dan M memang masih ada blok. Blok Rakyat! ***

38


(10) KOALISI ATAU KARTEL

U

ngkapan yang mengatakan bahwa ‘tiada musuh atau teman yang abadi’ itu selalu diasosiasikan dengan kekuasaan atau politik. Untuk saat ini ungkapan tersebut mendiskripsikan bagaimana koalisi besar partai yang sedang digalang oleh para petinggi partai politik pada level nasional. 39


Persoalannya, perkataan besar dimaknai jika yang lain di luar mereka (partai yang tak ikut koalisi) adalah kecil. Perlu difahami oleh kita bahwa pengertian ‘besar’ yang ingin dibangun, tak lain adalah kartel kekuasaan. Sebagai sebuah kartel kekuasaan koalisi keberadaannya menjadi ‘hamba’ yang mengabdi kepada kepentingan dan tujuan yang sama. Kepentingan dan tujuan itulah kekuasaan. Tak dapat disanggah, fakta menunjukkan jika di dalam kartel kekuasaan itu selalu terkandung dua karakter: pragmatis dan oportunis.

“… Lancing Kuning berlayar malam kalau Nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham alamatlah kapal, alamatlah akan tenggelam ….” Pragmatis adalah prilaku untuk menggapai kepentingan sesaat individu, meski merugikan yang lain (kelompok sendiri dan atau orang lain). Sementara, oportunis merupakan sikap pribadi yang mendukung kecenderungan ke arah (mana) kemenangan akan diperoleh (berubah-ubah sikap dan atau menusuk dari belakang), meski merugikan orang banyak. Ikhwal koalisi yang sesungguhnya kartel itu, akan menjadi masalah apabila derivasinya (turunan) dari pusat (nasional) sampai ke daerah. Kartel kekuasaan atas nama koalisi besar yang sedang menuju daerah ini dapat membawa implikasi 40


tersendiri (khusus) bagi daya tahan kepemimpinan lokal (daerah). Pecah kongsi koalisi SBY-JK yang adalah cikal bakal perlu dibangunnya koalisi besar itu, dapat dipastikan membawa implikasi signifikan bagi peta politik di Riau. Keadaan ini ditambah kondisi riil legislatif di daerah di mana kekuasaan partai politik pemenang legislatif adalah representasi pecahan partai koalisi nasional (SBY-JK) yang posisinya ke depan menjadi vis a vis (saling berseberangan). Karakter pragmatis dan oportunis koalisi ditambah dampak pecahnya koalisi dipastikan membawa perubahan peta kekuasaan di Riau. Berdasarkan amatan sementara, paling tidak terdapat empat peristiwa politik yang akan berlaku. - Pertama, akan terjadi skenario penggembosan dari dalam partai pemenang pemilu legislatif nasional oleh kekuatan kekuasaan lokal. - Kedua, maraknya aksi-aksi populis dari pelbagai sisi yang akan ‘mendongkel’ dan merong-rong kewibawaan daya tahan kepemimpinan lokal terkait isu hukum. - Ketiga, mengemuka dan memanasnya kembali tensi konflik antar elite tempatan pasca pemilu legislatif. - Keempat, hilangnya ‘figur’ kepemimpinan lokal (lost of leadership). Keempat peristiwa politik tersebut adalah implikasi konkrit akibat dibangunnya kartel kekuasaan atas nama koalisi besar yang sedang digulirkan. Sebab, koalisi yang berada dalam basis kepentingan pragmatis dan oportunis itu, saharusnya dapat diantisipasi oleh para petinggi partai yang berada di daerah (tempatan). Hanya sekadar mengingatkan, apabila kartel politik 41


(kekuasaan) yang datang ke daerah tanpa dapat diantisipasi, maka ada baiknya kita rujuk syair lagu berikut: “…Lancing Kuning berlayar malam kalau nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham alamatlah kapal, alamatlah akan tenggelam ….” ***

42


(11) ‘MISTERI’ 2012

J

udul tulisan ini diambil berdasarkan buku, ‘The Mystery of 2012” yang ditulis Gregg Braden dkk. Buku ini adalah edisi bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Ufuk Publishing House 2009. Tidak ada pretensi untuk menjadi peramal atau menggurui, melainkan mengangkat tema karya besar Bangsa Maya yang hidup 3113 SM sampai 2012 M di sekitar Amerika Tengah dan Mexico adalah disebabkan ia (karya itu) memiliki ‘misteri’ menarik yang perlu menjadi pelajaran. 43


Menurut hemat Saya, minimal terdapat tiga pesan penting dari buku tersebut. - Pertama, menjelaskan berakhirnya waktu (akhir zaman) pada 2012 berdasarkan ramalan kalendar dan kosmologi bangsa Maya. - Kedua, menjelaskan terjadinya perubahan bumi, akhir waktu yang ditandai dengan hilangnya ‘medan magnit’ atau ‘sinkronisasi galaktika’, yaitu ketika planet bumi akan melalui perubahan astronomis yang membawanya ke dalam pensejajaran dengan kekuatan perubahan yang sangat hebat). Pada kondisi ini diperkirakan menyebabkan terjadinya pembalikan posisi kutup utara dan selatan. - Ketiga, perubahan dari zaman lama ke baru (lahirnya manusia baru) menuju ketunggalan Sang Pencipta (Khaliq). Dalam konteks ini diperkirakan akan terjadi perubahan karakter (prilaku) manusia ke arah yang lebih baik (menuju kearifan). Mencoba menemukan sinkronisasi pada fokus arti penting ketiga, menjadi bermakna manakala Kota Pekanbaru yang berjuluk ‘bertuah’, terimplementasi positif (bukan negatif). Mengapresiasi substansi makna ‘tuah’, seharusnya identik dengan keberuntungan, kesejahteraan, kenyamanan, aman, tertib dan tenteram (gemahrifah loh jenawi begitu zaman Orde Baru orang menyebutnya). Sementara pada realitasnya, makna ‘tuah’ akan menjadi persoalan manakala yang terjadi adalah pembalikannya. Tuah dimaknai, menjadi tidak beruntung, tidak sejahtera, tidak nyaman, tidak aman, tidak tertib dan tidak tenteram. 44


Menurut amatan saya, 2012 yang diawali pergantian kepemimpinan adalah waktu yang strategis bagi Pekanbaru dalam menemukan tuahnya. Pekanbaru sebuah kota yang telah kehilangan tuah, memerlukan energi dasyat sebagai sandaran spirit untuk bangkit guna menemukan tuahnya kembali. Visi Riau 2020 delapan tahun setelah 2012, sesungguhnya merefleksikan rujukan visioner dan kontinuitas dalam proses pencarian ‘tuah’ yang hilang. Bertuah yang dalam implementasinya selalu ironis, dari mulai jalan yang berbeda karakter ketika membandingkannya dengan kabupaten, kota atau provinsi tetangga (Sumbar misalnya). Pelayanan jasa kelistrikan yang mencemaskan. Argumentasi kekanak-kanakan terkait pelayanan jasa kelistrikan yang selalu di ekspos media massa, jujur saja mengundang tawa dan senyum sinis. Betapa tidak, di mana revolusi teknologi informasi yang menjadikan tahun 2020 adalah proses transisi pergantian dari otak manusia oleh mesin komputer, sangat ironis alasan air tak memadahi (tergantung dengan musim hujan seperti tanaman padi) yang terus meluncur dari bibir pengelola jasa kelistrikan di negeri ini. Belajar dari argumentasi yang kekanak-kanakan itu menandakan tidak (belum) sikronnya filosofis yang mendasari mengapa Visi Riau menggapai puncaknya pada tahun 2020. Belum lagi sebuah kenyataan perubahan iklim yang menjadi empat musim, tidak konkruen dengan musim di Barat (alias menyimpang atau anomali). Musim penghujan menjadi derivasi musim banjir, musim kemarau menjadi derivasi musim asap. Mencoba dengan sederhana mengamati apa yang diramalkan bangsa Maya menjadi bermakna bagi mempersiapkan dan menunggu ‘berakhirnya’ waktu. Mempersiapkan bukan berarti mempercayai menjadi yang esensi, melainkan penantian momen dipergunakan sebagai spiritnya. 45


Begitulah merespon kebijakan visioner menuju kota yang benar-benar ‘bertuah’. Dalam pengertian filosofisnya, ‘misteri’ kata ‘bertuah’ yang harus digali untuk diimplementasikan! Semoga. ***

46


(12) ‘GEMPA’

M

EMPERSOALKAN ikhwal fenomena gempa (musibah atau bencana?) hingga saat ini, di negeri ini masih menyisakan sebuah misteri. Ketidakberdayaan ilmu pengetahuan mengungkap misteri itu menyebabkan terdapat dua tafsir yang saling kontradiksi dan ironis. 47


Pertama, secara ilmu pengetahuan (epistemologi) pakar Geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawijaya, mengingatkan bahwa salah kaprah kalau menyalahkan alam dan ”takdir Tuhan” terkait dengan peristiwa gempa. Kedua, secara religius (transendensi) seniman, penyair dan penyanyi legendaris Ebiet G. Ade melalui lirik lagunya (Berita Kepada Kawan) mengingatkan dengan pertanyaan, “Mengapa di tanahku terjadi bencana, Mungkin Tuhan mulai bosan, Melihat tingkah kita, Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, Coba kita bertanya pada Rumput yang bergoyang.” Dalam kesehariannya menanggapi peristiwa gempa, pendapat yang mengemuka lebih banyak mendukung penyanyi legendaris tersebut. Meski, tidak jarang ditemukan pendapat yang sejalan dengan pakar gempa Danny Hilman. Hemat Saya, walaupun lebih banyak orang memahami dan memaknai peristiwa gempa berdasarkan sudut pandang (perspektif) relegius adalah menjadi pelajaran berharga untuk direnungi jika gempa lebih arif dimaknai sebagai fenomena alam yang lumrah. Gempa, bukanlah bencana dan bukan pula ‘hukuman’ Tuhan yang mulai bosan melihat tingkah kita. Menjadi penting untuk dicermati, dianalisis, dievaluasi untuk dikritisi, apabila benar Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, tentu saja kawasan pertama dilanda gempa adalah negerinegeri yang paling banyak maksiatnya, dan yang paling banyak berlumuran dosa membunuh sesama manusia, tetapi faktanya negeri-negeri itu masih ‘aman’ tanpa gempa. Terkait gempa persoalannya hanyalah ilmu pengetahuan manusia yang belum sampai bagaimana cara menganalisis dengan tingkat akurasi yang valid, kapan dan di mana gempa pasti terjadi. Ilmu pengetahuan baru sampai pada 48


tataran bagaimana mengidentifikasi kawasan rawan gempa, memetakan kawasan yang berpotensi gempa berdasarkan sabuk api, membuat alat pendeteksi kekuatan gempa, dan memprediksi kawasan yang berpotensi gempa berdasarkan siklus tahunannya. Ketidakberdayaan ilmu pengetahuan akan menjadi masalah manakala sandaran religius (spiritual) yang terlalu sering dikumandangan oleh para dai, pemuka agama dan yang lainnya, untuk kemudian mengaitkan gempa adalah sebagai ‘hukuman’ (lihat syair lagu Ebiet) Tuhan. Sesungguhnya fenomena gempa mendiskripsikan sebuah misteri besar dalam mencari sinkronisasi antara pengetahuan manusia (aqal) dengan keyakinan manusia (agama) pada titik koherensi yang seimbang: aqal dan agama. Ketika ilmu pengetahuan untuk ‘sementara’ gagal mengungkap misteri gempa, maka sudah selayaknya keyakinan memaknainya sebagai sebuah upaya maksimum untuk menghindarnya. Dan ketika upaya ‘menghindarnya sudah pada titik tersebut (bukan kelalaian), maka itulah puncak dari usaha: pasrah (tawaqal)? Pelbagai pakar gempa menjelaskan bahwa jatuhnya korban karena gempa bumi sesungguhnya lebih karena sikap dan ulah manusia daripada alam. Getaran gempa tidak ‘membunuh’. Yang membunuh adalah bangunan yang runtuh akibat tidak tahan gempa atau fondasinya jelek. Yang membunuh adalah kebakaran akibat short-circuit aliran listrik. Yang membunuh adalah kelalaian dan keserakahan yang tidak belajar dari pengalaman. Bukankah pakar gempa berulang kali mengingatkan jika keruntuhan dapat dihindari apabila tata ruang dan kode bangunannya mengikuti kaidah mitigasi ‘bencana’ gempa? Belajar dari gempa Sumatera, bagi Riau negeri elok nan ‘Bertuah’ ini, perlukah dikaji dampak negatif eksploitasi minyak besar-besaran sepanjang hari terhadap konstruksi 49


tanah? Perlukah dikaji dampak negatif investasi besar-besaran perkebunan sawit terhadap kesuburan tanah dan banjir? Sekadar mengingatkan, agar kita jangan selalu menyalahkan Tuhan sebagai ‘takdir’ di atas kelalaian dan keserakahan. Bukankah pepatah kita mengatakan, “Sedia payung sebelum hujan.” Saya meyakini Anda semua lebih tahu. Maka waspadalah!!!??? ***

50


(13) VAMPIR ’VEGETARIAN’

S

aya tetap tidak percaya, sekalipun dipaksa untuk percaya. Kalaupun Saya percaya, bukan karena keimanan, melainkan ’menghormati’ perdebatan dan nilai filosofi yang terkandung di dalamnya. Saya percaya, meski percaya kepada yang ghaib adalah esensi dari rukun iman, tetapi mempercayainya kan, tidak termasuk mengimani ’sang vampir’ sebagai ’hantu’ penghisap darah. 51


Jujur Saya mempercayainya, paling tidak cerita (film) vampir karena ingin konsisten pada argumentasi tersebut bahwa mewacanakan vampir dalam perspektif (sudut pandang) yang lain, memanglah sudah semestinya. Apalagi terkait langsung terhadap harkat kemanusian yang saling membantu, solider dan yang terpenting tidak saling ’menghisap’ (maksudnya darah). Di dalam twilight new moon, film kegemaran para remaja yang salah satunya mengangkat kehidupan keluarga vampir tersebut, sepatutnya diangkat sebagai metafor (perumpamaan) bagi mencermati kehidupan kemunusiaan di tengah kohesi (perekat) sosial yang semakin mengaga teramat dalam. Gagasan menempatkan vampir yang tidak mengisap darah lagi adalah isu utama dalam film itu yang perlu untuk dicermati dan digarisbawahi. Walapun isunya bertolak belakang dengan kondisi riil dalam cerita rakyat, fenomena vampir tetap menjadi titik sentral bahan diskusinya. Di tambah saat ini kita berada di tengah-tengah persoalan kohesi sosial umat manusia secara umum dan manusia Indonesia khususnya yang begitu mengkhawatirkan. Wajar dan logis di tengah kondisi itu yang mengemuka adalah perang metafor (ungkapan) antara cicak dan buaya, jeruk makan jeruk yang kemudian berujung pada hisap-menghisap ’darah’. Ibarat rentenir atau tengkulak yang ’memakan ’riba. Konsep vampir vegetarian (tak menghisap darah lagi) di mana sang vampir, tidak alias pengsiun ’menghisap darah’ dan digantikan menjadi pemakan sayur (vegetarian) menunjukkan kecenderungan kemanusiaan umat saat ini. Istilah zaman baru (new age), cara pengobatan herbal, meditasi adalah bagian penting bahwa umat manusia sudah sampai kepada kadar ’kehidupan’ yang tidak punya pedoman (goyah). Manusia menjadi pencari alternatif yang pada konteks ini sampai52


sampai ada pengobatan alternatif. Seandainya pun benar-benar terjadi, ketika para vampir tak lagi menghisap darah, tentu saja Saya dan Anda juga berharap para nyamuk, tidak lagi menghisap darah utamanya termasuk lintah. Yang kemudian, berkonsekuensi tidak ada lagi ungkapan ’lintah darat’ sebagai penghisap darah antara sesama umat (manusia?).

...vegetarian hanya sebagai simbol, tampaknya agar negeri ini terhindar dari bencana kehancuran, maksudn maksudnya kehancuran dari karakter sang vampir, alangkah indahnya apabila vegetarian adalah metafor dari kehalalan Belajar dari pepatah kita untuk ungkapan para rentenir yang selalu dikonotasikan sebagai penghisap ’vampir’ darah, sering disebut dengan cekik darah. Oleh karenanya, ďŹ losoďŹ cekik daerah mengandung arti bahwa di negeri ini hisapmenghisap darah adalah bagian dari karakter bangsa. Dari ini, sudah sepatutnya upaya bagaimana mendekonstruksi (menghancurkan) karakter bangsa ini yang saling menghisap, jalan damai (tengah) yang dapat ditempuh adalah dengan semangat ’vegetarian’. Untuk selanjutnya, persoalannya bukan mungkin atau tidak, melainkan vegetarian itu harus dimaknai dengan apa? 53


Saya meyakini, meski vegetarian hanya sebagai simbol, tampaknya agar negeri ini terhindar dari bencana kehancuran, maksudnya kehancuran dari karakter sang vampir, alangkah indahnya apabila vegetarian adalah metafor dari kehalalan. Sebagaimana para ustaz selalu mengumandangkan khususnya terkait dengan bagaimana mempertahankan hidup: ’Jangankan yang haram, yang halal saja susah.’ Maksudnya, caranya atau tingkat kesulitan mendapatkannya? Jawabnya, Anda pasti lebih faham?????!!!! ***

54


(14) ’TEORI UU’

D

i era awal 90-an budayawan dan sastrawan Riau, UU Hamidi, jauh-jauh hari memperingatkan akan bahaya apabila Bumi Lancang Kuning ini menjadi ’ladang perburuan’. Berusaha mencoba mendengar dan mencermati pendapat UU Hamidi terhadap istilah Riau sebagai ’Ladang Perburuan’ dalam konteks sudut pandang (perspektif) ekonomi politik, konsep Ladang Perburuan lebih reflektif dan aplikatif menjadi ’Ladang Perburuan Rente’. Dalam sudut pandang ekonomi politik, perburuan rente secara sederhana dapat dijelaskan sebagai ajang kolaborasi antara struktur politik (jabatan kekuasaan), birokrat (si empunya jabatan), pengusaha dan para makelar. 55


Hasil kolaborasi tersebut mendatangkan keuntungan yang disebut dengan rente. Sementara, para makelar, pemegang (pemilik) jabatan dan pengusaha disebut dengan pemburu. Oleh karenanya, maka rente dapat diterjemahkan menjadi hasil keuntungan yang diperoleh baik oleh makelar, pemilik jabatan (pejabat) dan pengusaha dalam berkolaborasi. Dalam konteks ini, sesungguhnya pendapat UU Hamidi dapat menjadi referensi berharga bagi memperjelas dan sekaligus memotret bagaimana keberadaan provinsi yang kaya sumber daya alam ini menjadi lebih ilmiah dan akademis. Pertanyannya adalah mengapa atau apa urgensinya mengangkat pendapat UU Hamidi ini kejenjang perdebatan akademis dan ilmiah? Paling tidak, urgensinya mengandung dua arti penting. Pertama, pendapat UU Hamidi dapat menjelaskan pelbagai persoalan yang mendera negeri nan kaya ini. Kedua, pendapat UU Hamidi dapat menjelaskan kontradiksi yang terjadi sekaligus memprediksi lima atau sepuluh tahun ke depan terhadap apa yang terjadi terhadap provinsi ini? Berusaha menjelaskan urgensi pertama, memang benar semua orang tahu bahwa yang menjadi persoalan di negeri ini justeru kekayaan sumber daya alam Riau yang melimpah. Betapa tidak, sumberdaya alam hutan, membawa bencana banjir dan asap. Sumberdaya alam minyak, berdampak pada deďŹ sit daya energi listirk dan rendahnya kualitas premium. GeograďŹ s strategis hanya berpotensi sebagai arena penyelundupan dan bisnis perjudian. Kedua, bahwa apa yang menjadi persoalan pertama sesungguhnya sebuah kontradiksi. Posisi kekayaan sumber daya alam yang melimpah, secara bersamaan Riau dirundung pelbagai persoalan yang bertolak belakang dengan kekayaan yang harus dinikmati sebagai anugerah. Sehingga berdasarkan 56


realitas ini dapat diprediksi bahwa lima atau sepuluh tahun ke depan, Riau adalah wilayah yang dipenuhi dengan pelbagai bencana. Yang kontradiktif adalah apabila bencana yang datang tersebut merupakan hasil kreasi dari ’kelalaian’ pengelolaan sumberdaya daya alam itu sendiri. Artinya, bencana adalah produk dari kebodohan dan keserakahan akibat kolaborasi sebagaimana yang dimaksudkan terdahulu. Sejatinya merujuk pendapat UU Hamidi jelas bahwa kedua urgensi itu jawabnya bersumber akibat dari Riau sebagai ’Ladang Perburuan’. Oleh karenanya secara ilmiah dan akademis jika kedua persyaratan ini, hemat Saya adalah argumentatif apabila pendapat UU Hamidi dapat digunakan sebagai teori. Saya menyebutnya dengan ’Teori UU’. Bersandar pada Teori UU itu pula, tampaknya tak lah susah-susah amat bagaimana memperkirakan keberadaan Riau di masa depan. Perkiraannya sesuai dari syair lagu Tudung Priok berikut ini: ... ”Tudung periok pandai menyanyi, menyanyi lagu putra mahkota kain yang buruk berikan kami, untuk menghapus si air mata” ....

57


58


BAGIAN Kedua

URGENSI POLITIK EKONOMI INTELIJEN 59


60


(1) IRONIS, TATKALA 8+6, BUKAN DELAPAN ENAM

K

etua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, sebagaimana yang banyak dikutip media massa, mengemukakan sebuah pendapat terkait pelaku korupsi yang sangat ironis sekaligus miris. Keironisan dan kemirisan ini terkait langsung pengalamannya tatkala berkunjung ke daerah yang kaya dengan lahan tambang. 61


Berdasarkan pengalamannya, kawasan yang kaya tambang, semakin ke pedalaman masyarakatnya sangat miskin. Namun, di saat ia berkunjung ke rumah sang bupati, di halamannya terdapat mobil-mobil mewah. Bercermin pada realitas itulah yang melatarbelakanginya sebagai Ketua KPK memiliki azam apabila, ‘Pemerintah dan penguasa daerah yang memimpin di daerah kaya sumber daya alam saat ini, akan menjadi fokus KPK.’ Menjadi penting bagi Saya apabila kemirisan Pak Abraham adalah juga kemirisan Anda dan Kita semua. Oleh karena itu Segantang Minda ini berupaya mendialogkan tentang kemirisan dalam sebuah sketsa ironisasi yang juga azam Pak Abraham berada di dalamnya. Ini disebabkan keironisan yang disampaikan Ketua Lembaga Anti Rasuah ini adalah sejumput dari potret besar yang buram terhadap sebuah ironisasi Indonesia. Benar negeri ini memang identik dengan ironi. Bagaimana mungkin sebuah bandara internasional, tak memiliki (sama dengan tak disinggahi) penerbangan internasional. Yang diseputaran keberadaannya sepanjang pendiriannya, para ‘stakeholder’ dan pengelolanya bak ‘kura-kura makan tahu’. Begitu pun, bagaimana mungkin sebuah negeri maritim (kawasan yang sebagian besar kepulauan dan perairan), tidak mimiliki kebanggaan untuk menjadi seorang ‘nelayan’ (pelaut). Padahal sang seniman pencipta lagu telah mendeklamasikan bahwa ‘nenek moyang kita adalah seorang pelaut’. Keironisan ini yang secara simultan berimplikasi pada kekuataan potensi angkatan bersenjata (pertahanan nasional) yang sejak zama Orde Baru dan Reformasi tak menjadi prioritas penting bagi pengembangan dan pembangunan armada laut misalnya. 62


Menurut hemat Saya yang merespon potret buram keironisan ini hanyalah orang-orang pintar atau bijak untuk dibuatkan sebuah perumpamaan (ungkapan), ‘anak ayam mati kelaparan di lumbung padi’. Kematian si ayam sesungguhnya personifikasi dari ketiadaan perbedaan antara zaman Orde Baru dan Reformasi. Kedua zaman ini mempertontonkan bukan saja sebuah ambigu dari episode melodrama yang menyesakkan dada, melainkan sketsa dari sebuah keterbalikan realita. Yang pada posisi ini sekaligus merefleksikan sebuah teaterikal ironis dan miris ketika yang salah atau benar pun tak lagi dapat dibedakan. Bukan apa-apa, jika si tersangka (terdakwa) tak lagi dapat membela diri. Begitupun ketika lembaga anti rasuah yang dicintai masyarakat ini terkadang melakoni fungsi eksekutor yang malampaui kewenangannya. Si terdakwa pastilah bersalah yang secara simultan para penentu keadilan (hakim) tak lagi berdaya untuk berkata, ‘tidak’. Pada proporsi inilah sesungguhnya mengapa kemirisan Sang Ketua Lembaga menjadi penting untuk didialogkan. Pertanyaan retoriknya sebagai sumbang saran kepada Sang Ketua perlu dikemukakan. Mungkinkah semua ‘terdakwa’ pasti bersalah? Atau semua yang bersalah adalah ‘terdakwa? Meski retorik (pertanyaan yang tak memerlukan jawaban), ianya menjadi penting bagi Sang Pembela (pengacara) oleh karena sebuah sketsa dalam hidup selalu mengilusterasikan istilah-istilah penyelesaian dalam dunia keadilan dengan konsep kuantitatif (perhitungan dengan angka-angka dan logika) dan kualitatif (perhitungan dengan menggunakan kata-kata atau tulisan). Ini sama artinya tatkala 8+6, bukan lagi delapan enam, melainkan menjadi enam delapan. Mengapa boleh? Itulah sesungguhnya angka (kuantitatif) yang tak 63


terbaca oleh kata (kualitatif). Lalu pertanyaannya: Mengapa sebuah perkara selalu diasosiasikan dengan istilah 86? Anda pasti punya jawabannya. ***

64


(2) DI ANTARA PEREMPUAN ADA POLITIK, QUOTA DAN MADU

J

UJUR saja agak susah mencoba mencari hubungan kausalitas (saling terkait) antara konsep (perkataaan) Perempuan, Politik, Quota dan Madu. Bagaimana cara mencari keselarasan di antara keempat konsep tersebut, kata demokrasi yang dianggap pas untuk dijadikan sebagai mediasinya. Hal ini disebabkan demokrasi menjadi basis argumentasi untuk menjadikan para perempuan di negeri ini sebagai sang politikus. Dengan jastiďŹ kasi negara demokrasi terbesar sepanjang sejarah demokrasi dunia suka atau tidak, para perempuan adalah sumber inspirasinya. 65


Dengan begitu empat kata tersebut juga memiliki hubungan linier (langsung) terhadap keiinginan para reformis guna menghantar kaum peremuan pada proporsi kedudukannya yang seimbang dalam dunia politik dengan si patner kaum lelaki. Sehingga dapat dimengerti ada kekhususan bagi yang terlahir sebagai perempuan di tengah reformasi Indonesia. Ini misalnya dari hari Ibu, tidak ada hari bapak, cuti malahirkan yang tentunya khusus bagi perempuan, undang-undang KDRT yang esensinya melindungi perempuan, kecuali partai perempuan yang kehadirannya masih dinantikan. Bukan itu saja bahkan yang bombastis dan prestisius istilah Tukul Arwana dalam, ‘Bukan Empat Mata’ ialah quota keanggotaan partai bagi perempuan Indonesia yang 30 persen. Hampir dapat dipastikan partai politik yang lolos pemilu legislatif tanpa kecuali, harus mencukupi aturan 30 persen calon perempuan kalau tidak akan didiskualiďŹ kasi oleh Komisi Pemilihan Umum. Begitulah hebatnya para srikandi mendapat penghormatan di negeri ini. Sebagai negara pelaksana demokrasi terbesar (rangking pertama) sepanjang sejarah (bukan terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Bayangkan, dari kepala negara, anggota DPR sampai kepala daerah pun dipilih seara langsung yang tidak ada di Amerika dan India). Apalagi bukan kepalang tanggung, meski utang mencapai 2000 trilyun rupiah tak masalah, yang penting demokrasi dan perempuan harus dihargai. Terus terang Segantang Minda mengingat, menimbang begitu pentingnya terkait perempuan, sehngga memutuskan dan menetapkan mengangkat kata ‘Perempuan’ menjadi upaya strategis bagi ketiga kata lainnya, Politik, Quota dan Madu. Bukan apa-apa, mengangkat tema ini ialah bagian dari kemirisan penulis terhadap realitas politik kekinian khusus terkait dengan nasib perempuan. Sebab di tengah gemerlap 66


mengangkat harkat tentang keperempuanan, sesungguhnya terselip rasa kemirisan sekaligus prihatin. Sesungguhnya penetapan atau pengquotaan adalah juga pemaksaan yang pada sisi lainnya tidak demokratis. Mangapa harus dipatok, diquota atau dijatah (penjatahan)? Dalam sistem politik yang korup ini (sebagaimana keluhan mantan Puteri Indonesia yang juga mantan politikus Angelina Sondak) bukankah penjatahan itu adalah bagian dari upaya menjerumuskan para perempuan ke dalam perangkap korupsi? Bagi saya merupakan sebuah kesalahan sistemik ketika para perempuan yang juga ibu dipaksakan untuk menjadi politisi (politikus). Samahalnya ketika para kaum hawa ini selalu diasosisikan dengan istilah ‘dimadu’ yang pada hakekat sesungguhnya diracun (diduakan). Kata madu menjadi jastifikasi kenyamanan dan kenikmatan bagi lelaki petualang, sementara menyisakan penyiksaan batin bagi perempuan (maksudnya bukan Ahmad Fathonah atau para isteri Eyang Subur). Hiasan berita terkait pernyataan mantan Politikus Angelina Sondakh yang ingin memperbaiki sistem politik yang porak-poranda akibat korupsi ini, seharusnya memberikan pelajaran berharga bagi kaum perempuan. Saya menyarankan bagaimana kalau para perempuan melakukan Uji Materi saja terhadap aturan penetapan tersebut? Bukankah pengquotaan ini sudah melanggar HAM? Bukankah tersirat pengquotaan memaksa perempuan untuk menjadi koruptor? Sebelumnya, Lord Acton, Guru Besar sejarah politik modern dari universitas Cambridge, Inggris mengingatkan dengan tesisnya yang terkenal bahwa, “kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.” Belajar dari realitas dunia politik saat ini, janganlah menjerumuskan perempuan. Bahwa quoto bukanlah madu, 67


melainkan cara untuk membawa kehancuran bagi perempuan. Boleh jadi itulah sebabnya para orang-orang alim mengingatkan bahwa sesungguhnya, ‘kaum perempuan (orang umum selalu menyebutkanya wanita) adalah tiangnya negara’. Maka awas, jangan sampai negeri ini tanpa tiang. Oleh karena itu, jangan dipaksakan (diquotakan) tiang-tiang itu menjadi tumbang! ***

68


(3) PARTAI YANG MEWAKILI RAKYAT, NAMANYA DEWAN

P

esta politik rakyat melalui pemilu legislatif baru akan digelar. Partai yang dinyatakan lulus oleh Komisi Pemilihan Umum pun siap menyerahkan DCS-nya. 69


Hajatan besar rakyat yang si empunya mandat tengah dipersiapkan. Pesta rakyat yang akan digelar kali ini menunggu kejutan. Pada pemilu sebelumnya, ada partai yang berdasarkan ’hitungan cepat’ mendapat mandat rakyat tiga ratus persen dari sebelumnya. Luar biasa, khusus bagi partai yang menjadi pilihan rakyat itu. Sementara bagi yang tidak terpilih, tentu saja bukan wakilnya rakyat. Jangan pesimis, sebentar lagi dicoba lagi, bila masih diberi kesempatan!

... Tak pernah ada yang tahu, siapa yang memilih si A dengan partai A-nya atau si B dengan partai B-nya. Yang ada hanyalah sebuah klaim, bila si A dengan partai A-nya... Meski luar biasa hasilnya, perjuangan belum usai. Pemilu legislatif hanyalah pintu masuk ke perjuangan selanjutnya. Masih ada pemilu presiden (eksekutif). Jika pemilu legislatif adalah pilihan rakyat, sudah awam dipahami bahwa si cater (caleg terpilih), mereka menamakan dirinya sebagai wakilnya rakyat. Nama lembaganya pun DPR (dewan perwakilan rakyat). Begitulah secara awam penjelasannya. Pada ulasan Segantang Minda ini, ikhwal Saya, Anda dan kita semua mau diwakili atau merasa terwakilkan oleh mereka, itulah masalahnya. Demokrasi yang selalu diagungkan sebagai sistem politik yang paling populer di dunia, sesungguhnya 70


menyimpan komplikasi dan kontradiksi yang justru tidak mendukung transparansi (keterbukaan). Lumayan aneh, memang. Bagaimana partai pilihan rakyat hendak ’mengklaim’ dirinya wakilnya rakyat jika sistem pemilihan menjadikan kerahasiaan sebagai prasyarat asas legalitasnya. Di atas asas kerahasiaan itulah sesungguhnya demokrasi dibangun. Tak pernah ada yang tahu, siapa yang memilih si A dengan partai A-nya atau si B dengan partai B-nya. Yang ada hanyalah sebuah klaim, bila si A dengan partai A-nya adalah pemenang dan pemegang mandat rakyat di DPR RI, DPRD provinsi, kabupaten atau kota. Ikhwal pendukung pemenang partai itu, sampai kapan pun tidak akan pernah ada yang tahu. Pengakuan boleh saja datang dari kita (termasuk Saya dan Anda) bahwa telah memilih si A dengan partai A-nya, tetapi buktinya, tiada siapa yang tahu. Apabila terbukti, bukankah tidak rahasia namanya? Jadi benar, demokrasi yang dibangun di atas kerahasiaan faktanya selalu bertolak belakang dengan sikap transparansi (keterbukaan). Belajar dari sifat kerahasiaan demokrasi itu, mengajarkan kita (pemilih) yang si empunya mandat bahwa lembaga rakyat yang mengatasnamakan rakyat (DPR), bukanlah wakilnya rakyat. Mau bukti? Mari kita telusuri, cermati, kritisi dan analisis, sudah berapa banyak produk kebijakan (UU atau Perda) yang dihasilkan DPR (D) yang benar-benar bersumber berdasarkan aspirasi rakyat? Mungkinkah atau dapatkah pada masa mendatang, lembaga dewan yang terhormat itu, keberadaannya tanpa ’institusi’ yang disebuat dengan fraksi? Jika tidak mungkin atau dapat, layakah lembaga yang terhormat itu masih menamakan dirinya sebagai lembaga yang mewakili rakyat? 71


Mengapa lembaga yang menaungi keberadaan mereka (anggota dewan), tidak menamakan dirinya menjadi dewan perwakilan partai (DPP) saja, bukan rakyat? Jadi jika mau jujur langsung saja kita mengatakan: �Partai Yang Mewakili Rakyat, Namanya Dewan�, dan bukan Perwakilan. Suai?!!! ***

72


(4) PEROKOK, DEMOKRASI DAN ABSOLUTISME

S

ECARA terus-menerus (kontinum) tak dapat disangkal jika perkataan merokok tetap saja akan dianggap sebuah aktivitas yang pro dan kontra. Bagi yang pro (si Perokok) tentu saja ini merupakan bagian dari hak beraktivitas (merokok). Sementara bagi yang kontra (si terkena dampak rokok) ialah bagian perbuatan yang merugikan. 73


Berlatar klaim atau perdebatan terkait dengan merugikan atau tidak, semua orang (Saya, Anda, Kita dan Pembaca) pasti sepakat apabila merokok merupakan salah satu hak berkegiatan oleh warga negara yang dilindungi negara. Selanjutnya, hak ini akan semakin runyam untuk dicarikan jalan penyelesainnya bila si Perokok dan si terkena dampak Rokok saling mengaitkannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sesungguhnya di sinilah mulai persoalan tersebut menyeruak. Segantang Minda berusaha mencoba mendiskusikan tema ini bukan karena bagian dari menyambut Hari Bebas Tembakau yang dirayakan sekitar dua minggu lalu (31 Mei 2013), melainkan aktivitas Merokok dapat mereeksikan sistem politik pemerintahan yang berujung pada penciptaan karekter masyarakatnya. Meskipun para pakar Sosiologis Politik masih memperdebatkan, Saya tetap meyakini seratus persen jika para Perokok yang hidup dalam sistem pemerintahan demokrasi akan berprilaku absolut. Dan dari sini, akan semakin tampak apabila aktivitas Merokok adalah representasi dari Demokrasi yang Absolut (mutlak). Biar agak lebih mudah dalam hal ini, Saya contohkan dengan istilah Demokrasi Terpimpin versi Orde Lama. Aqal sehat akan bertanya-tanya, “Apa ada Demokrasi yang Terpimpin? Sama, “Apa ada Demokrasi yang Absolut? Jawabnya, ada, era Orde Lama. Jawaban yang sama, ada, bagi si Perokok. Apabila ada yang tidak setuju dengan argumen Saya, silakan. Menurut hemat Saya Merokok bukanlah bagian dari HAM. Sudah umum dipahami suatu hak yang disebut asasi apabila tanpa hak berkenaan derajat dan martabat manusia berkurang. Maka jika sifatnya hanya tambahan, itu bukanlah HAM. Oleh karena itu Merokok dapat diketegorikan hak, tapi cuma pelengkap saja (hak yang tentatif, bukan asasi). Maka jelas, Merokok bukan bagian dari HAM. Ini dilandasi 74


argumentasi apabila Anda tidak Merokok, tidak akan mengurangi martabat sebagai manusia. Hanya saja, beloh jadi soal gengsi. Tak dipungkiri di tengah masyarakat hedonis (yang mengangungkan kemewahan) muncul anggapan jika seseorang belum disebut pria sejati, kalau tidak Merokok. Jangan takut, katakan pada yang membuat pendapat itu, bagaimana dengan si ‘Bencong’ yang Merokok? Apakah dia juga pria sejati? Maaf hanya canda. Hanya saja ketika masuk ke dalam wilayah politik (kekuasaan), Merokok menjadi sakral dengan Demokrasi sebagai argumentasinya. Reformasi yang tak pernah selesai di negeri ini menjadikan Merokok bagian dari hak yang harus dilindungi. Cara pandang ‘Demokrasi Perokok’ yang menyebabkan amburadulnya tatanan kenegaraan sekaligus pemerintahan yang berujung pada ketidakpastian (termasuk hukum). Dapat dibayangkan apabila Anda berbicara regulasi atau aturannya kan sudah jelas. Berdasarkan UU No.36 tahun 2009 tentang, ‘Kesehatan’ di dalam pasal 115 ayat 1, menjelaskan bahwa Pemerintah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) antara lain, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat kerja dan tempat umum serta tempat lain yang ditetapkan. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Pertanyaan Saya yang ‘kebetulan’ tidak Merokok, tetapi selalu diracuni dampak si Perokok, mana tempat-tempat yang dimaksud oleh undangundang Kesehatan tersebut? Pandang di sekeliling Anda, tatap di restoran, tempat makan atau kedai-kedai yang memberikan ‘perlindungan’ kepada mereka yang tak Merokok? Silakan Anda menjawabnya. Oleh karena itu berdasarkan realitas yang kini lebih dari 75


43 juta anak Indonesia hidup serumah dengan para Perokok dan terpapar asap rokok atau sebagai perokok pasif, bagaimana nasibnya ke depan? Sekali lagi Anda punya jawabannya. Maka dari itu poin penting dalam konteks ini ialah memperjelas bahwa para Perokok (Rokoker) menurut hemat Saya telah melakukan yang yang diistilahkan dengan Absolutisme. Yakni sebuah karakter yang tidak memperdulikan dan bahkan menganggap orang lain (yang tidak Merokok), bukan bagian dari yang disakiti. Ini disebabkan telah terbenam dalam Minda si Perokok bahwa Merokok adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi. Dan karakter inilah yang mereeksikan prilaku para penguasa di negeri ini teristimewa era Reformasi. Berdasarkan pelbagai penjelasan tersebut sesungguhnya yang perlu dipelajari dari Sang Perokok ialah bahwa karakter antara Sang Demokrat (pembela Demokrasi) dan Sang Absolut (merasa diri yang paling benar) ada pada si Perokok. Percaya atau tidak, terserah. Silakan Anda membuktikan. Suai! ***

76


(5) BBM, PEJABAT DAN PLAT MERAH

B

EBERAPA hari ini kita disibukkan dengan hiruk pikuk aksi sang demonstran yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kemudian pro kontra di lembaga legisliatif terkait kenaikan (BBM tersebut, terlepas akibat persaingan partai mencari simpati konstituen (bagi yang menolaknya) menjelang pemilu legislatif (PILEG) 2014 mendatang. 77


Menurut hemat Saya ada yang menarik perlu dicermati terkait dengan ‘kenaikan’ harga BBM kali ini. Setuju atau tidak yang paling menderita kenaikan BBM sebenarnya, bukan hanya masyarakat bawah atau orang-orang yang dinilai pemerintah miskin. Masyarakat miskin ini ada upaya pemerintah untuk menalangi dengan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang menurut istilah Gubernur Jokowi disebut dengan BALSEM. Sesungguhnya yang termasuk para penderita dari efek kenaikan BBM ialah sang pejabat pengguna kendaraan Plat Merah (PM). Di tengah harga premium yang masih subsidi Rp4500, pengguna Plat Merah diwajibkan mengisi pertamax dengan harga dikisaran Rp11000 hingga Rp12000 per liter. Dari sinilah pencermatan itu bermula. Seorang kawan mengatakan bahwa kita (pembaca dan Saya) dimohon untuk memperhatikan utamanya ketika mengisi BBM di SPBU. Menurut dia, banyak mobil dinas pejabat yang telah berubah platnya dari merah menjadi hitam. Apa motivasi dibalik pengubahan warna tersebut, tak perlulah dijawab. Serahkan saja pada Ebiet G Ade, dan ia akan menanyakan kembali pada rumput yang bergoyang. Begitulah pertanyaan retorik sebagai sebuah ekspresi terkait motivasi. Sebagai sebuah ekspresi, mengubah warna plat mengandung esensi upaya pembelaan terhadap ketertindasan bagi si penerima atau pengguna Plat Merah. Selama ini yang selalu menjadi perhtian hanyalah masyarakat kelas bawah yang diklasifikasi oleh pemerintah sebagai miskin. Kebijakan memberikan bantuan, bukanlah serta merta dapat menanggulangi kemiskinan sebagai dampak kenaikan harga. Bagaimana jika bantuan yang diberikan digunakan untuk kegiatan yang ‘menindas’ diri sendiri, misalnya digunakan untuk membeli rokok, pulsa, plesiran atau kegiatan konsumeris lainnya? Realitas inilah bagian dari analogi bagi 78


pejabat penggunan Plat Merah utamanya bagi mereka yang masih mengedepankan kejujuran. Tidak semua pengguna Plat Marah mampu mengatasi masalah. Ini, misalnya saja terkait dengan keterlambatan jatah kupon minyak atau defisit minyak dengan tiba-tiba di jalan, sementara Plat Merah harus mengisi Pertamax. Dan ketika kondisi keuangan yang minim, tidak ada cara lain kecuali mengisi atau memberli Premium di pinggir jalan. Atau mengubah warna plat agar dapat mengisi di SPBU. Bagi pejabat jujur (yang menggantungkan hidup hanya pada gaji dan tunjangan), bukan mustahil kebijakan Plat Merah menggunakan pertamax memberikan efek negatif. Paling tidak upaya mengubah Plat Merah menjadi Hitam dari kendaraan dinas, hanyalah bagian dari ekspresi akibat ketakberdayaan melawan sistem yang amburadul. Apalagi yang mengubahnya, tidak saja pengguna Plat Merah (pejabat) yang berasal dari daerah, melainkan juga sang pejabat pusat yang di daerah? Segantang Minda mencermatinya, bukan hendak melakukan pembelaan kepada mereka yang memang sudah mendapatkan banyak fasilitas dari negara, melainkan berupaya mencari sisi keadilan bahwa kebijakan kenaikan BBM juga berimbas pada sang pejabat. Upaya mengubah warna plat kendaraan ialah bukti otentik telah terjadi pemaksaan sekaligus penindasan baginya. Perasaan ‘pemaksaan’ dan ‘kenaikan’ ialah dua sisi mata uang menyatu, tetapi tetap berbeda. Pemaksaan merupakan personifikasi ketakberdayaan sebagai dampak generalisasi (cara pandang umum) kalau pejabat adalah mampu dan ‘kaya’. Sementara, kenaikan ialah personifikasi hukum anggaran yang harus didukung oleh si pejabat sebagai bagian dari aparat ‘negara’. Tampaknya benar, kenaikan harga BBM tidak saja membuat orang berdemonstrasi radikal (merusak), melainkan 79


juga si pejabat menjadi buta warna. Tak ada warna ‘merah’ bagi si Pejabat, kecuali hitam. Yang hitam adalah indah. Meski, yang ‘biru’ membuat petaka kenaikan dan si ‘merah’ menolaknya demi mencari simpati. Silakan Anda memilih, pejabat, si Biru atau Merah! ***

80


(6) ‘KESOMBONGAN’ KONSTITUSIONAL

S

ejak awal perlu ditegaskan jika Segantang Minda tak hendak turut emosi untuk menyalahkan peristiwa tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Merespon peristiwa terbesar sepanjang era Reformasi ini dipastikan lembaga benteng terakhir pelindung hukum ini tak luput menjadi ‘pergunjingan’ utama. Hampir semua orang di mana pun di negeri ini sampai ke manca negara tak luput turut ‘menggunjingkan’ peristiwa langka dan luar biasa ini. 81


Sama dengan semua orang, peristiwa ini juga mengemuka dalam perdebatan diskusi rutin kami. Isu utama yang mengemuka pun tidak jauh berbeda dengan kejahatan lainnya. Hanya saja terkait klasiďŹ kasi kejahatan yang agak berbeda. Kalau dalam ranah pidana, pembunuhan berencana merupakan kejahatan tertinggi terhadap hukuman yang dijatuhkan, maksimal seumur hidup. Yang mendapat hukumannya pun intelektual dadernya (pencetus idenya), bukan eksekutornya (pelaksananya di lapangan). Begitulah riak realitas dalam hukum pidana. Berbeda dengan pidana, penangkapan tangan ini bagi kami juga bagian dari kejahatan luar biasa yang disebut ‘kejahatan konstitusional’. Kejahatan ini terkait langsung dengan pengkhianatan terhadap konstitusi, landasan hukum tertinggi negara. Realitas ini menunjukkan bahwa sejarah panjang kehidupan kenegaraan di negeri ini membuktikan kekuasaan yang tak terbatas itu dipastikan korup (menyimpang). Realitas ini sudah menjadi ‘tesis orang awam’. Tak dapat lagi diklaim sebagai pendapat kalangan tertentu. Bagi Saya dan boleh jadi Anda, yang menarik perlu diperbincangkan teristimewa pada Segantang Minda ialah sebutan untuk mereka (yang beramai-ramai) melakukan upaya kejahatan terhadap konstitusi. Sama halnya, sebagaimana sebutan dalam hasil keputusan oleh hakim konstitusi dengan istilah: masif, sistemik dan terstruktur, begitu. Apabila yang melakukan atas nama individual (oknum), tentu saja sebutannya penjahat konstitusional. Sementara jika dilakukanya secara kolektif dan kolegial, apa namanya? Kejahatan Konstitusioal, kira-kira begitulah sebutannya. Sesungguhnya istilah Kejahatan Konstitusional inilah yang marak diperbincangakan saat ini. Kejahatan ini menjadi populer karena dilakukan oleh seorang hakim konstitusi. Jujur saja, Saya 82


dan boleh jadi Anda bukan hendak menuduh, karena kasusnya masih ditangani (disidik) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hanya saja, persoalannya teramat sangat penting ialah ketika lembaga yang menjadi benteng pertahanan terakhir pelindung negara ini ditumbangkan (dihancur-leburkan) oleh penghuninya sendiri. Lalu kepada siapa, kita ingin memohon pertolongan? Sebagai negara demokrasi terbesar sepanjang sejarah modern dengan pelbagai lika-likunya, Saya merasa heran kita masih tetap terjerembab pada lobang yang sama. Korupsi ialah biang malapetakanya. Pemikiran boleh pintar dan cerdas dengan gelar akademik disandang. Sikap dan prilaku boleh meyakinkan orang akan berlaku jujur, tidak korup dan konsisten. Namun disayangkan mental tak dapat dilepaskan dari kesombongan. Sikap inilah yang Saya dan kawan-kawan menyebutkannya dengan istilah ‘Kesombongan Konstitusional’. Orang sombong (arogan) yang bersembunyi dibalik konstitusi. Berpijak pada istilah tersebut kesimpulan ‘sementara’ jika kunci persoalannya disebabkan negeri ini tidak memiliki seorang negarawan, walaupun mereka terkadang mengklaim seorang ‘negarawan’. Kepada mereka wajib diingatkan bahwa kesombongan dapat melupakan yang terkadang memposisikan diri berperan sebagai (menjadi) ‘malaikat’. Mereka lupa bahwa kita adalah masih bagian dari manusia, bukan Rasul apatah lagi malaikat. Lalu pertanyaannya, mengapa tak hendak diawasi? Bermuara dari sikap yang tidak mau diawasi inilah kita memposiskan diri sebagai malaikat, bukan manusia. Sikap khawatir adanya intervensi lembaga lain yang berlebihan dimaknai dapat (akan) mengganggu indenpensi hakim sebagai individu dan mahkamah sebagai institusi hanya sebuah ‘pembelaan’ dari karakter yang merepresentasikan sebuah kesombongan. Padahal sesungguhnya bukan itu masalahnya, 83


melainkan watak kesombongan yang melekat pada mereka sebagai manusia biasa, bukan malaikat. Hemat saya, sejarah Orde Lama ialah tempat bangsa ini berguru jika keruntuhannya akibat kejahatan konstitusional oleh seorang presiden yang mengangkat dirinya seumur hidup. Sementara Orde Baru mengajarkan kepiawaian menempatkan kesakralan ‘konstitusi’, sehingga tetap dipilih menjadi presiden hampir seumur hidup. Sedangkan Orde Reformasi mengajarkan sebuah ‘kesombongan’ konstitusional dari mereka yang duduk di sebuah lembaga konstitusi yang enggan diawasi. Realita antara kejahatan, kepiawaian dan kesombongan terkait konstitusi inilah sesungguhnya kita berada. Sekarang terserah Anda, pilih yang mana? ***

84


(7) BUNDA, RENTE DAN PEMBURU

S

ehabis bangun tidur tanpa sadar, HP Saya berbunyi menandakan sms masuk. Ketika dibuka pesannya begini, “Sekarang ada dua presiden yang saling berhadap-hadapan, saling berbantah-bantahan dan saling merespon yakni, Presiden Soesilo Bambang Yudoyono dan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Lutfi Hasan Ishaq (LHI). Keduanya saling melemparkan dan menolak keberadaan Bunda Putri. Justru Gubernur Kepulauan Riau, Muhammad Sani menjadikan Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu.” 85


Dalam Segantang Minda ini sengaja secara utuh Saya tampilkan isi sms yang berasal dari seorang kawan tersebut. Penyebabnya walaupun terkesan bergurau, tetapi mempunyai pesan yang sangat esensial terkait keberadaan Bunda tersebut. Beberapa hari ini, kata Bunda menjadi pemberitaan hangat hampir diseluruh media di negeri ini. Hubungan imbal-balik antara sosok seorang presiden dan mantan presiden partai berinteraksi dengan seorang pengusaha yang sekaligus makelar yang disebut ‘Bunda Putri’. Lebih lanjut sosok sang Bunda Putri ini, Saya mengistilahkan atau menyebutnya dengan pemburu. Yang menjadikan interaksinya menjadi penting dan menarik, oleh karena sang Bunda berada pada pusaran utama kekuasaan (istana) dalam sebuah negara yang perjalanan reformasinya terlunta-lunta tak berujung dan berpangkal. Realitas inilah menurut hemat Saya yang mengabsahkan (membenarkan) jika perkataan atau konsep Bunda, panggilan untuk seorang ibu, berubah menjadi panggilan ‘mesra’ dari seorang lelaki (suami) kepada isterinya. Sementara pada konteks lainnya, penihilan (peniadaan) keberadaan seorang Bunda yang menjadkan isu ini dinilai strategis atau justru menjadi genit (seksi) untuk diperbincangkan. Ini disebabkan sosok Bunda telah berubah menjadi realitas konsep yang dapat didekati dari pelbagai sudut atau dimensinya yang berbeda-beda. Bagi Saya, secara spesiďŹ k paling minim isu menarik terkait fenomena Bunda ini dalam konteks perburuan rente di lingkaran kekuasaan (kenegaraan) dapat didekati dari beberapa sudut pandang berikut ini. Pertama, seorang Bunda merepresentasikan katakberdayaan lembaga yang disebut Badan Intelijen Negara (BIN). Minim atau ketiadaan pasokan informasi yang lengkap tentang Bunda kepada kepala negara (seorang presiden), jujur 86


sungguh sangat memalukan. Sehingga memunculkan praduga atau pertanyaan yang menggelisahkan: apakah agen-agen yang tidak dilibatkan (mendekat), atau justru mereka menjauh, karena terkait langsung pusat kekuasaan? Ini merupakan pertanyaan retorik (yang tak perlu jawaban) khusus bagi Saya. Sementara, bagi Anda silakan mencari jawabannya. Kedua, seorang Bunda mempertontonkan begitu besarnya proteksi yang diberikan oleh lingkaran kekuasaan bagi para pemburu rente. Upaya perlindungan (proteksi) bagi para pemburu rente bukan kali ini saja terjadi. Pelbagai kisah para pemburu rente yang menyentuh atau melibatkan pusat kekuasaan (istana), pada ghalibnya selalu hilang, entah ke mana rimbanya! Saya meyakini jika Anda dapat membuat kalkulasi secara akurat terkait proteksi ini. Ketiga, seorang Bunda mencerminkan bahwa negara ini dikuasai oleh para mafia. Sosok Bunda ialah refleksi empirik cara berpikir yang meyakini jika semua aktivitas perburuan kekuasaan memerlukan pembiayaan yang besar. Seolah-olah tanpa kos yang besar, kekuasaan tidak dapat diraih. Pada logika ini, karena mencari modal yang halal sangat tidak memungkinkan, maka memunculkan pentingnya peran seseorang untuk dijadikan alat sebagai pemburu materi yang umumnya berada pada proyek-proyek besar terkait anggaran negara. Bagaimana proses ini berlangsung, selain pelbagai sumber telah menjelaskannya, Saya meyakini Anda sudah mengetahui jawabannya. Keempat, seorang Bunda kehadirannya menunjukkan ketiadaan karakter ketauladanan. Bunda yang diasosiasikan sebagai sosok ‘pemburu rente’, sungguh menunjukkan bahwa di negeri ini sepanjang perjalanan sejarah kenegaraan dipastikan belum memiliki seorang pun ‘negarawan’ teristimewa dalam konteks kepemimpinan formal (kepala negara). Saya meyakini 87


Anda pasti setuju. Namun kalau pun tidak, silakan Anda membantah dengan mencari perbandingan jawabannya. Kelima, seorang Bunda keberadaannya membuktikan bahwa kerusakan ‘mental’ pemimpin bangsa ini pada level yang sangat mengkhawatirkan. Sudut pendang kelima ini ingin menegaskan bahwa para pemimpin di negeri ini tampak tidak meyakini (‘mengimani’) lagi jika sebuah kejujuran menjadi kontraproduktif terhadap perolehan kekuasaan. Logika yang mengedepan ialah dengan cara-cara yang jujur ‘tidak mungkin’ seseorang dapat menduduki puncak pimpinan (kekuasaan). Sehingga cara berpikir ini menelurkan tesis, “tidak ada makan siang yang gratis.” Berdasarkan kelima argumentasi terkait sosok sang Bunda ini, menjadi benar jika reformasi hanya menghasilkan para pemburu rente ‘kekuasaan’. Realitas dari hasil ini membenarkan apa yang telah dikhawatirkan oleh sang peramal, “bahwa umur negeri ini yang tak akan sampai seratus tahun.” Setuju atau pun tidak, terserah Anda! ***

88


(8) HIPNO-NEURO POLITIK

M

enjelang pemilihan umum legislatif tahun 2014 mendatang, kita sering dihebohkan dengan fenomena klenik. Fenomena klenik ini mempertontonkan hubungan kausalitas (imbal-balik) antara politik (kekuasaan) dengan dunia lain (ghaib). Beberapa waktu lalu setidaknya pelbagai televisi nasional telah mengulas fenomena kahadiran paranormal (sang dukun), para pemburu kekuasaan (sang calon anggota), dan kekuasaan (kursi keanggotaan). 89


Pencampuradukan antara dunia klenik (paranormal), perburuan kekuasaan dan kursi keanggotaan seolah-olah menjadi fenomena biasa dan tidak berdampak pada cara berpikir dan prilaku seorang anggota dewan. Padahal cara pandang memperoleh kekuasaan dengan kepercayaan atas bantuan paranormal (dukun) dapat diklasifikasi menjadi ‘penyimpangan’ rasional aqal pikiran (logika) yang diganti dengan intuitif (perasaan emosi). Realitas penyimpangan ini sesungguhnya menurut hemat Saya, menjadi titik tolak (entry point) terhadap ‘penyimpangan’ prilaku. Oleh karenanya dengan mudah setiap produk kebijakan yang dihasilkan bekecenderungan motivasi emosional materialistik (segala berbayar atau ‘berbau rasuah’). Segantang Minda berupaya mengungkap-paparkan fenomena keterbuhungan antara dunia ghaib dengan perburuan kekuasaan melalui pendekatan hipnosis dan ilmu syaraf (neurologi). Wilayah hipnotis yang menjngkau dan bekerja di alam bawah sadar manusia menjadi penting untuk digunakan dan dipahami dalam menelaah fenomena tersebut. Upaya ‘ketidaknormalan’ para calon wakil rakyat untuk berburu kemenangan adalah bagian penting dari ketidaksadarannya. Dalam konteks ini, kesadaran (normal) adalah menang (mendapatkan kursi), bukan bagaimana cara (proses) mendapatkannya. Sehingga orientasinya yang terbangun sejak awal adalah menang. Oleh karena itu alam bawah sadar si calonpun berkecenderungan menang, menang dan menang. Sehingga, kalah atau belum rezeki mendapatkan kursi dianggap tidak rasional. Proses pembalikan cara berpikir inilah sesungguhnya berada di alam bawah sadarnya. Sementara itu, neurologi (ilmu syaraf) berupaya mengungkap ketakberdayaan aqal berpikir rasional dalam 90


memahami fenomena perburuan kekuasaan. Perumpamaan yang gampang untuk menjelaskan ialah sebagai orang yang beragama. Di dalam ajaran agama (Islam) diketahui bahwa percaya pada yang berbau klenik, apalagi masuk ke wilayah syirik (menduakan tuhan) sangat dilarang (bahasa normatifnya dosa besar). Pada umumnya media yang digunakan oleh paranormal (dukun) untuk memenangkan (kononnya) si calon, selalu menggunakan ‘tangan-tangan’ makhluq ghaib yang diidentifikasi seperti kuburan (tempat-tempat keramat), rohroh leluhur, benda-benda magis dan instrumen lainnya yang berhubungan dengan makhluk ghaib. Dalam konteks ini hukum rasional (aqal sehat) yang telah didorong oleh alam bawah sadar dengan kekuatan emosional untuk menang, menang, menang, dan tidak akan kalah ialah proses induksi ‘alamiah’ pada si calon yang terus-menerus menjelang hari H pemilihan. Sehingga realitas hasil berupa kekalahan, bukanlah alternatif dari sebuah ‘pertandingan’ (kompetisi), kalau tidak menang (duduk dan dapat kursi), ya kalah (tidak dapat kursi) menjadi tidak rasional. Sebab yang rasionalnya hanya satu, menang (dapat kursi). Sesungguhnya dalam konteks fenomena perburuan kekuasaan dan dunia klenik berdasarkan pada realitas itulah menjadikan pendekatan memahaminya disebut dengan Hipno-Neuro Politik. Lebih spesifik pendekatan ini berupaya memahami dan mengurai benang kusut dari ketakberdayaan aqal sehat dalam perburuan kekuasaan (tidak hanya pada lingkup pemilu legislatif). Pendekatan ini berupaya mengajarkan untuk sadar bahwa ruang syaraf kita dalam berpikir melalui aktivitas hipnoterapi (pengobatan dengan cara hipnotis atau relaksasi) dapat menolak emosi radikal ‘kekuasaan’ (politik). Ini disebabkan 91


fenomena ‘kekuasaan’ adalah fenomena dominan karakter asasi manusia yang sangat destruktif (menghancurkan). Itulah sebabnya mengapa pakar politik mengatakan bahwa kekuasaan cnderung korup (menyimpang dan merusak). Oleh karenanya jika Anda masih mau tetap terus berburu kekuasaan dan tak ingin menyimpang, maka belajarlah HipnoNeuro Politik. Suai! ***

92


(9) BADAN INTELIJEN ‘OUTSOURCING’

B

eberapa hari ini kehidupan bertetangga antara dua negeri, Indonesia dan Australia sedang panas dingin. Upaya penyadapan telepon milik beberapa pentinggi Indonesia, termasuk Presiden dan Ibu Negara yang bocor oleh intelijen Australia adalah penyebabnya. Bocornya penyadapan sesungguhnya merupakan rangkaian dari informasi mantan anggota badan keamanan (NSA) Amerika, Edward Snowden yang diberikan kepada media. Esensi dari kebocoroan adalah pengkhianatan, begitulah yang banyak diberitakan oleh media belakangan ini. 93


Tanpa dinyana upaya penyadapan menyebabkan Presiden Indonesia amat sangat tersinggung untuk tidak mengatakan murka. Tidak hanya Presiden Indonesia, kepala negara yang lain juga merasakan hal yang sama. Pelbagai komentar terhadap perlunya tindakan tegas oleh pemerintah pun bermunculan. Yang menarik hemat saya, Australia yang merupakan negeri sekutu konspirasi AS sesungguhnya pada sisi lain adalah korban pengkhianatan. Berlatar saling klaim sebagai korban inilah Segantang Minda perlu mengangkat isu penyadapan yang merupakan bagian kerja intelijen atau rangkaian tindakan yang berlatar kecerdasan. Yang sekaligus memperjelas bahwa dalam dunia intelijen semua orang (pemerintahan atau negara beserta aktor petingginya) sangat mudah untuk yang oleh pribahasa disebut, ‘lempar batu sembunyi tangan’. Bahasa sederhananya, mengakui kesalahan adalah identik dengan ‘kebodohan’. Jadi apapun konsekwensinya pembocoran yang identik dengan pengkhianatan, bukanlah bagian dari ‘kebodohan’. Oleh karennya jangan berharap, kata atau permohonan maaf dari si pelaku. Ini disebabkan oleh karena secara jujur dan sangat rasional diakui jika dunia intelijen yang merupakan bagian dari tatalaku berlatar ‘kecerdasan’, akan sangat naif jika akibat pengkhianatan mengakui perbuatan tersebut. Realitas pengakuan akan sangat bertolak belakang dengan upaya kecerdasan (intelijen). Mengaku, membenarkan atau memohon maaf sama dengan mengakui bahwa kita sesungguhnya bodoh, atau tidak cerdas. Berlatar argumentasi inilah menunjukkan bahwa upaya intelijen selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan teknologi. Dahulu era perang dingin kegiatan intelijen dilakukan melalui penyamaran dan penyusupan, tanpa dukungan teknologi canggih. Kini zaman telah berubah, upaya 94


intelijen umumnya diprioritaskan melalui penggunaan alat (teknologi). Oleh karenanya, siapa yang menguasai teknologi, maka akan unggul dalam dunia intelijen (kecerdasan). Walaupun begitu, terdapat kelemahan yang sangat substansi dan sangat jarang disadari oleh pelaku intelijen. Sebab kemajuan teknologi tidak menjadikan orang atau pelaku intelijen enggan ‘berkhianat’. Faktor khianat inilah yang menjadi pemantik terbongkarnya pelbagai laku tindakan tidak terpuji AS dan kawan konspirasinya yang menyadap atau memata-matai negeri tetangganya. Kasus penyadapan Presiden dan Ibu Negara adalah bagian dari tindak laku tak terpuji tersebut. Oleh sebab itu wajar jika sampaikan kapan pun, pihak Australia tidak akan pernah mau ‘seolah-olah peduli, apalagi memohon maaf. Ini adalah bagian dari strategi ‘diplomatik’ yang di semua negeri pun akan melakukannya. Pelajaran paling berharga adalah ketika Presiden AS, Obama ‘memahami dan seolah-olah meminta maaf’ atas kemarahan Kanselir Jerman karena telepon genggamnya pun disadap. Yang harus disadari bahwa upaya permohonan maafnya terlebih dahulu ditandai dengan ‘ketidaktahuannya’ atas tindakan penyadapan yang dilakukan oleh NSA. Sehingga, upaya penyadapan ini dinilai secara resmi ilegal, walaupun datanya legal. Oleh karena itu, hemat Saya untuk menghndari istilah (klaim) pengkhianatan, apakah tidak lebih baik pekerjaan intelijen khususnya sadap-menyadap dilakukan badan intelijen swasta saja. Pekerjaan mata-mata atau penyadapan di alih dayakan saja alias orang Inggris menyebutnya dengan istilah outsourcing atau contracting out. Pengalihan kerja inipun sesungguhnya telah dilakukan oleh AS di Irak melalui perusahaan (kontraktor) keamaman dan ‘penyiksaan’ yang melakukan introgasi. Adapun upaya 95


alih daya ini lebih elegan berbanding harus menjaga gensi dan berbohong dengan negara (sahabat) negara lainnya. Singapura adalah negeri yang paling faham bagaimana meggunakan pihak kegita (outsourcing) untuk melakukan pelbagai ‘kegiatan’ yang jiakalau ketahuan merugikan negeri tetangganya dan menafikannya. Bidang pekerjaan alih daya ini memang dengan prasyarat menafikan semua kesepakatan atau oder pekerjaan. Inikan sama saja yang dilakukan oleh ‘agen lepas’ CIA, Jason Bourne. Siapa yang pernah menyaksikan film trilogi Bourne yang dimulai dari The Bourne Identity, The Bourne Supremacy, dan The Bourne Ultimatum, akan lebih mudah memahami terkait fenomena yang menyebabkan hubungan Australia dan Indonesia mengalami ‘hangat dingin’. Bukan, hangat-hangat tahi ayam! ***

96


!10" OPERASI ‘SENYAP’ CENTURY

B

elakangan ini skandal besar bank Century bergemuruh lagi. Pelbagai media baik cetak dan elektronik tak henti seolah-olah menjadi berita terheboh mengakhiri tahun 2013 ini. Selanjutnya menuju tahun politik jelang 2014 mendatang. Ini disebabkan oleh karena yang terbidik adalah orang nomor dua di negeri ini, Wakil Presiden Boediono. 97


Segantang Minda berupaya mengangkat tema diskusi ini disebabkan dua hal. Pertama telah memasuki wilayah inti pusaran kekuasaan. Kedua pernyataan mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang diwawancarai dari Inggris menengarai skandal Bank Century bagian dari operasi senyap. Selanjutnya yang dalam istilah Segantang Minda menggunakan Operasi Senyap Century (OSC). Berbeda dari Orde Lama dan Orde Baru, Orde Reformasi menjadikan demokrasi sebagai asasnya adalah penyebab terintegrasinya antara uang (modal) dan kekuasaan. Sehingga uang menjadi kekuatan utama yang bersebati (menyatu) dengan kekuasaan. Oleh sebab itu maka wajar jika wilayah inti pusaran kekuasaan dapat menjalankan yang disebut dengan operasi senyap. Dalam konteks inilah maka menjadi wajar untuk memenangkan pertarungan kekuasaan pada era Reformasi demokrasi yang menjadi sakral dan esensi adalah uang. Oleh karena itu jargon yang mengemuka adalah ‘jangan berpolitik kalau tidak ada uang’. Dengan latar belakang ini menjadi logis jika kalangan politisi banyak yang berasal pengusaha yang tentunya pemilik modal. Yang menjadi persoalan ketika para penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya tidak memiliki modal banyak. Maka dari sinilah sangat wajar jika ‘pembobolan bank’ merupakan upaya yang sangat realistis dalam kerangka akumulasi (pengumpulan) kapital (modal). Dibalik realitas sengkaruk perburuan kekuasaan sesungguhnya punca gunung es yang mendasari mengapa lazimnya perbankan selalu dijadikan sasaran atau objek empuk perampokan. Inilah karakter kapitalisasi pada era Reformasi. Sehingga demokrasi menjadi barang instan serta prosedural dari hegemoni segelintir orang yang berkuasa dan bermodal 98


besar (beruang). Penguasaan demokrasi oleh segelintir (para pemilik uang) orang inilah yang disebut dengan oligarki. Menjadi lumrah fase oligarki ini yang pada akhirnya perampokan uang buat modal perburuan kekuasaan (mempertahankan staus quo) dilakukan dengan ‘operasi senyap’. Sudah menjadi lazim jika modus operasi senyap memerlukan tiga syarat utama. Pertama, didukung oleh penguasa. Kedua, menggunakan institusi kekuasaan. Ketiga, melibatkan aparat ‘pemerintahan negara’. Berpijak dari persyaratan ini menjadikan sangat sulit mencari untuk kemudian mengendus para pelakunya. Ini disebabkan para pelaku selalu berselindung atas nama kepentingan rakyat. Untuk kemudian istilah sistemik, menyelamatkan negara, tugas mulia dan konsep berbau ‘eufemisme’ lainnya menjadi menarik sebagai logika argumentasinya. Lalu kemudian cara mengakhirinya juga dipastikan melalui hal serupa, operasi senyap. Ini yang mencirikan bahwa konstruksi hukum merupakan bagian dari skenario mengamankan pelaku utamanya. Untuk sementara dipastikan skenario ini dijalankan atas nama menghindari terjadinya chaos (kekacauan kenegaraan). Menurut hemat Saya, pilihan-pilihan sulit akan terus terjadi khususnya bagi aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai lembaga penegak hukum yang mandiri, otonom dan independen, dipastikan KPK selalu menghadapi pilihan simalakama (tegas mati bapak, menunggu waktu mati ibu). Di dalam pilihan-pilihan ini, maka menjadi jelas prinsip kehati-hatian adalah strategi utamanya. Hemat Saya, untuk konteks ini semua pihak termasuk KPK perlu belajar dari kasus Munir dan Antasari Azhar. Atas nama kepentingan negara hendaknya semua pihak harus memproteksi (melindungi) dan mendukung para petinggi 99


KPK untuk menuntaskan masalah ini. Jangan sampai mereka menjadi korban ‘operasi senyap’ berikutnya. Oleh karena itu belajar dari dua operasi senyap sebelumnya (Munir dan Antasari dengan versi berbeda), ada satu perinsip dan asas nasionalisme yang perlu dijaga teristimewa bagi aparat negara. Apa itu: Jangan ikut atau turut terlibat atau masuk ke dalam perangkap tim yang menjalankan ‘operasi senyap’. Seperti pepatah mengatakan, ‘membunuh nyamuk jangan sampai kelambu dibakar’. Artinya, hanya untuk melindungi satu atau dua orang, rakyat dan negara ini menjadi korban. Maksudnya, jangan ada lagi ‘Operasi Senyap Century’. Suai. ***

100


(11) DEWAN PERWAKILAN PARTAI?

P

esta politik rakyat melalui pemilu legislatif baru saja usai. Hajatan besar rakyat yang si empunya mandat sudah tersalurkan. Pesta rakyat kali ini membuat kejuatan. Ada partai yang berdasarkan ’hitungan cepat’ mendapat mandat rakyat tiga ratus persen dari sebelumnya. Luar biasa, khusus bagi partai yang menjadi pilihan rakyat itu. Sementara bagi yang tidak terpilih, tentu saja bukan wakilnya rakyat. Jangan pesimis, lima tahun ke depan coba lagi bila masih diberi kesempatan! Walaupun luar biasa hasilnya, perjuangan belum usai. Pemilu legislatif hanyalah pintu masuk ke perjuangan selanjutnya. Masih ada pemilu presiden (eksekutif). Jika pemilu legislatif adalah pilihan rakyat, sudah awam dipahami bahwa si cater (caleg terpilih), mereka menamakan dirinya sebagai wakilnya rakyat. Nama lembaganya pun DPR (dewan perwakilan rakyat). Begitulah secara awam penjelasannya. Selanjutnya, ikhwal Saya, Anda dan kita semua mau diwakili atau merasa terwakilkan oleh mereka itulah masalahnya. Demokrasi yang selalu diagungkan sebagai sistem politik yang paling populer di dunia sesungguhnya menyimpan komplikasi dan kontradiksi yang justru tidak mendukung transparansi (keterbukaan). Lumayan aneh, memang. 101


Bagaimana partai pilihan rakyat hendak ’mengklaim’ dirinya wakilnya rakyat jika sistem pemilihan menjadikan kerahasiaan sebagai prasyarat asas legalitasnya. Di atas asas kerahasiaan itulah sesungguhnya demokrasi dibangun. Tak pernah ada yang tahu, siapa yang memilih si A dengan partai A-nya atau si B dengan partai B-nya. Yang ada hanyalah sebuah klaim, bila si A dengan partai A-nya adalah pemenang dan pemegang mandat rakyat di DPR RI, DPRD provinsi, kabupaten atau kota. Ikhwal pendukung pemenang partai itu, sampai kapan pun tidak akan pernah ada yang tahu. Pengakuan boleh saja datang dari kita (termasuk Saya dan Anda) bahwa telah memilih si A dengan partai A-nya, tetapi buktinya tiada siapa yang tahu. Apabila terbukti, bukankah tidak rahasia namanya? Jadi benar, demokrasi yang dibangun di atas kerahasiaan faktanya selalu bertolak belakang dengan sikap transparansi. Belajar dari sifat kerahasiaan demokrasi itu mengajarkan kita (pemilih) yang si empunya mandat jika lembaga rakyat yang mengatasnamakan rakyat (DPR), bukanlah wakilnya rakyat. Mau bukti? Mari kita telusuri, cermati, kritisi dan analisis, sudah berapa banyak produk kebijakan (UU atau peraturan daerah) yang dihasilkan DPR (D) yang benar-benar bersumber berdasarkan aspirasi rakyat? Mungkinkah pada masa mendatang lembaga dewan yang terhormat itu, keberadaannya tanpa ’institusi’ yang disebuat fraksi? Jika tidak mungkin, layakah lembaga yang terhormat itu masih menamakan dirinya sebagai lembaga yang mewakili rakyat? Mengapa lembaga yang menaungi keberadaan mereka (anggota dewan), tidak menamakan dirinya menjadi dewan perwakilan partai (DPP) saja, bukan rakyat? Silakan Anda menjawabnya?!!!*** 102


(12) DEMOKRASI SIMILIKITI

A

DA yang belum membudaya, dan kita sepertinya tak hendak membudayakannya. Dalam berdemokrasi, ketika pilihan hanya ada dua: menang atau kalah dan tidak ada yang draw (seri). Faktanya, ada pihak yang tak siap kalah! Siap kalah, bukanlah budaya kita. Persoalannya, di negeri ini kalah dalam konteks demokrasi sudah terasosiasi negatif yang 103


bagaimanapun harus dihindari. Para politisi kita tak hendak lagi mengikuti pendapat orang bijak bahwa, ‘kekalahan adalah kemenangan yang tertunda.’ Jujur saja, meskipun pendapat tersebut terkesan menghibur, tetapi di dalam kekalahan yang penuh dengan kegundahan itulah, si politisi yang kalah perlu mendapat hiburan. Hanya sekedar mengingatkan bahwa praktik demokrasi (pemilu legislatif) hanyalah wadah untuk mencapai kemenangan. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana jika partai penguasa incumbent kalah dalam pertarungan itu? Apakah agresivitas gerakan ’penolakan’ hasil pemilu legislatif juga akan seperti saat ini? Jika jawabannya ya, maka begitulah demokrasi.

...yang tak berpartisipasi didenda Rp 300 ribu per orang. Khusus untuk yang ikut memilih, diberikan kompensasi Rp150 ribu. Jadi yang penting, bukan partisipasinya, melainkan similikitinya. Oleh karenanya benar bahwa eksistensi sistem politik demokrasi itu berada di atas klaim kepentingan dan klaim perwakilan yang semuanya dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Tak ada satupun para politisi ketika kampanye tujuannya menjadi anggota legislatif, tidak untuk kesejahteraan rakyat. Kalau boleh Saya klaim, seratus persen si caleg tujuannya pasti 104


untuk mensejahterakan rakyat. Apa yang diungkapkan si caleg ketika kampanye yang katanya untuk kesejahteraan rakyat, praktinya berbeda. Ketika kampanye, si caleg memberikan pelbagai bantuan utamanya ďŹ sik yang mengalir bak air bah. Namanya untuk kesejahteraan rakyat, apa pun yang diminta rakyat, pasti si caleg memberikan. Tetapi, ketika hasil kampanye si caleg tak sesuai prolehan suara yang diharapkan, hatinya pun kecewa. Betapa tidak! Si caleg merasa dibohongi, dan dikhianati. Batuan sudah diberikan, tetapi pemilih tidak konsisten. Mereka (konstituen) berpindah hati ke caleg yang lain. Jadi wajar, jika bantuan yang sudah diberikan si caleg, harus diambil kembali. Itulah talenta demokrasi kita. Demokrasi yang seharusnya dibangun di atas kejujuran dan saling percaya antara yang mewakili (caleg) dengan yang diwakili (konstituen) menjadi sirna. Mereka (si peminta dan pemberi suara) saling berkhianat! Pemilu legislatif yang baru beberapa hari usai, mengajarkan kita agar tidak saling mempercayai. Demokrasi berjalan pada rambu-rambu kebohongan, saling berkhianat dan penuh dramatisir. Belajar dari praktik demokrasi kita sebagaimana dipertontonkan oleh para aktornya (caleg dan konstituen) pada arena pemilu legislatif lalu, semua bermuara pada praktik demokrasi similikiti. Istilah atau konsep similikiti selalu muncul akibat segala tindakan motivasinya dilatarbelakangi oleh uang. Kata teman saya yang caleg tak jadi, partisipasi ’omong kosong’. Menurut teman lain yang menjadi, tanpa ’similikiti’ eh, uang, tak ada partisipasi. Kalau begitu, bolehlah saya usul. Untuk meminimalisir golput dan meningkatkan partisapsi pada pemilu presiden mendatang, perlu ada kebijakan yang mengaturnya. Bagi yang tak berpartisipasi didenda Rp 300 ribu per orang. Khusus untuk 105


yang ikut memilih, diberikan kompensasi Rp150 ribu. Jadi yang penting, bukan partisipasinya, melainkan similikitinya. Namanya juga demokrasi similikiti. Betul apa benar!!!????? ***

106


(13) KORPORATOKRASI

T

okoh reformasi Indonesia, Muhammad Amin Rais (2008) dalam bukunya, Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!, pada bab lima mengulas kritis perihal Korporatokrasi. Dalam sudut pandang ilmu sosial menurut Amin, istilah Korporatokrasi belum meluas digunakan, dan relatif baru. 107


John Perkins (2004) dalam bukunya, Confessions of an Economic Hitman yang menggunakan istilah itu untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai korporasi besar, bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan ďŹ nansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia (termasuk di Riau) mengikuti kehendak mereka.

Antara kemiskinan dan kebodohan pastilah mempunyai hubungan penting dan menentukan. Sesungguhnya menurut Amin, istilah Korporatokrasi dapat digunakan untuk menunjukkan betapa korporasi (perusahaan besar) memang dalam kenyataannya, dapat mendikte bahkan terkadang ’membeli’ pemerintahan untuk meloloskan keinginan mereka. Kalau pemerintahan yang dikuasai oleh kaum aristokrat (bangsawan) disebut aristokrasi, oleh plutokrat (orang kaya) disebut uktokrasi, oleh kleptokrat (maling, preman) disebut kleptokrasi, maka sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh korporatokrasi (pemilik korporasi besar), boleh juga dinamakan sebagai korporatokrasi. Ikhwal Korporatokrasi ini, merujuk Amin memberikan referensi berharga untuk dipertanyakan keberadaannya di Riau. Dalam hubungan ini berbagai perusahaan besar itu keberadaannya menjadi penting untuk dikritisi (dipertanyakan). Bukan apa-apa, tak lah salah sekadar mempertanyakan, misalnya hubungan korporasi besar itu terhadap derivasi positifnya (kontribusinya), minimal bagi kesejahteraan penduduk lokal dan pelestarian lingkungan. 108


Sebenarnya kebijakan pemerintah provinsi yang menjadikan K2I (kependekan kemiskinan, kebodohan dan infrastruktur) sebagai isu strategis dari program pembangunan itu perlu dipertanyakan, apakah masuk atau bukan bagian dari skenario Korporatokrasi? Kebijakan yang memprioritaskan kemiskinan, kebodohan dan infrastruktur perlu dipertanyakan hubungan antara ketiga konsepnya (kemiskinan--kebodohan-infrastruktur). Antara kemiskinan dan kebodohan pastilah mempunyai hubungan penting dan menentukan. Orang bodoh karena miskin, sudah menjadi idiom populer yang religius karena (kemiskinan dan kebodohan), akan mendekatkan pada kekufuran. Lalu pertanyaannya, apakah terdapat keterkaitan antara kemiskinan (kebodohan) dengan infrastruktur? Sebenarnya mencari keterkaitan tersebut, tak lah terlalu sulit. Indikatornya sangat sederhana. Apa itu? Misalnya, selama ini terkait dengan pembangunan infrastruktur itu, sering dikaitkan dan disokong melalui anggaran yang disebut multiyears. Pertanyaanya, apakah kemiskinan (kebodohan) juga akan menggunakan anggaran multiyears? Paling tidak, harapan kita tergantung pada calon anggota legislatif yang akan duduk di kursi empuk untuk mencari jawabannya kelak. Sementara ikhwal pembangunan infrastruktur yang berbasiskan ďŹ sik (bangunan megah) dengan dukungan anggaran multiyears ’berbau’ aroma korporatokrasinya. Sebab, pembangunan infrastruktur yang berbasiskan kapital (modal) besar itu, tak lagi berorientasi pada kemiskinan (kebodohan), tetapi lebih pro korporasi (pemilik modal besar). Sukar dibantah jika Korporasi di Riau sudah menjauhkan diri dari kemiskinan dan kebodohan. Marilah kita coba bersama-sama mencari tahu sekaligus menemukan jawabannya, apakah ada hubungan antara 109


Korporatokrasi dikatakan:

dengan

kekuasaan

di

Riau?

Dapatkah

- pertama bahwa berubahnya nama sebuah perusahaan besar untuk menghilangkan jejak langkah masa lalu; - kedua dihentikannya masalah illegal loging (illog) adalah bagian dari skenario (konspirasi) Korporatokrasi di Riau? Wallahu a’lam bissawab. ***

110


(14) PERANG SURIAH DAN MATI SAHID

M

enurut pendapat seorang teman kalau mau berperang, berjihad dan masuk ke dalam ‘surga’ sekarang lah waktunya. Pergi saja ke Suriah, berperang melawan Amerika. Ini sama ketika berperang di Afganistan melawan Uni Soviet dulu. Walaupun Amerika yang memediasi umat Muslim seluruh dunia melawan Soviet yang komunis dulu di Afganistan. Sayangnya pasca perang, para Mujahidin ini, berbalik menjadi melawan Amerika. Alqaidah adalah contoh nyata yang diklaim Amerika sebagai organisasi teroris produk perang Afganistan yang konon ‘buatan’ Amerika. 111


Sementara seorang kawan yang lain, berpendapat jika umat Islam seluruh dunia (termasuk di Indonesia) tidak perlu berperang ke Suriah. Berperang untuk membantu siapa? Menurut hasil telaahannya, sesungguhnya perang di Suriah adalah konflik internal rakyat Suriah sendiri melawan pemimpinnya yang dianggap zalim (menindas). Bahkan berdasarkan informasi yang diperolehinya, lebih spesifik jika perang (konflik) di Suriah antar kelompok Suni yang mayoritas dan Syiah yang minoritas, tetapi menjadi penguasa. Sebuah konflik ideologis internal yang runyam dan mempunyai akar sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan simakan pendapat kedua orang teman terkait isu berperang, berjihad dan masuk surga ini, menurut hemat Saya perlu dicermati secara saksama, arif dan bijak. Sebab berperang di Suriah selain menjadi isu aktual dunia yang diprediksikan dapat memicu perang dunia ketiga (baca: perang nuklir), juga konflik internal ideologis di kalangan umat Muslim yang akut. Ini didukung dari ketidakjelasan sumber atau referensi tentang kapan sesungguhnya kelompok atau istikah Suni ini kehadirannya. Sejauh ini yang sudah menjadi pendapat umum berkisar pada keberadaan Suni diawali atau pun (respon) otomatis atas kehadiran Syiah. Yang menurut kawan saya, tidak akan wujud istilah Suni (kalau boleh disebut istilah atau kelompok) jika tidak ada istilah Syiah. Sebagai orang yang awam tentang isu yang mengemuka di Suriah ini, tampak memang bagi saya pendapat teman tersebut lebih rasional (diterima aqal sehat). Sehingga Saya memberanikan diri jika Suni atau Syiah, hanyalah istilah. Realitas ini didukung oleh eksistensi ke-sosiologis-an (realitas perkembangan masyarakat) Saya beserta kawan-kawan untuk menjadi seorang Muslim yang independen (bukan Suni atau Syiah, melainkan Muslim saja), tetap saja mengalami kesulitan. 112


Sebagai seorang Muslim yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, Saya dengan tegas menentukan sikap independen (bukan Suni atau Syiah). Namun, masalahnya ketika Saya berada di suatu tempat, di Iran misalnya, kalangan umum (warga Syiah) di Iran tetap akan menganggap Saya bagian dari Suni, asal Indonesia. Begitupun sebaliknya, sebagian warga Iran yang datang ke Indonesia, pasti dianggap Syiah. Berdasarkan konteks independen dan isu berperang inilah, secara aklamasi sepakat jika Amerika jadi menyerang Suriah, dan meletus perang dunia ketiga (perang Nuklir), maka kami sesungguhnya siap. Bahkan semakin cepat Amerika menyerang Suriah, semakin baik. Artinya, genderang perang Nuklir segera dimulai. Boleh jadi menurut pembaca, pendapat kami musykil dan mengada-ada. Bagi Saya pribadi tidak. Sebab pendapat ini menurut Saya logis dan sangat menguntungkan bagi kami yang berada di Indonesia. Mengapa? Walaupun secara kelompok, Saya beserta teman-teman tetap tidak dapat mengklaim independen, perang Nuklir bukanlah seburuk yang dibayangkan. Umumnya akibat perang Nuklir selama ini dipahami secara pragmatis dan kulitnya, bukan pada subtansi. Dampak perang Nuklir esensi sesungguhnya adalah mati, meninggal atau berpulang ke Rahmatullah. Tanpa perangpun, semua makluk (termasuk manusia) pasti akan mati begitulah Sunatullahnya. Jadi masalahnya, hanya cara meninggalnya saja yang berbeda. Padahal tanpa perang Nuklir, bukankah kita susah untuk mati Sahid? Bahkan rela menjadi ‘pengatin’ (martir) melalui bom bunuh diri merupakan episode menuju Sahid, meskpiun membunuh orang yang tidak berdosa. Sementara jika terjadi perang Nuklir, Saya, Anda dan kita hanya dengan modal ‘pasrah’, Sahid sudah berada di depan mata. Jadi benar kata kawan saya, daripada memaksakan 113


mati bunuh diri yang ‘haram’, lebih baik kejatuhan Nuklir yang Sahid. Bukankah kalau matinya Sahid imbalannya pasti Surga! Setuju atau tidak, terserah Anda. ***

114


BAGIAN Ke#ga

MEMAKNAI REALITAS SOSIAL KEMASYARAKATAN 115


116


(1) LISTRIK, MEMANG BUKAN ‘ILMIAH’

S

yahdan Thomas Alva Edison (1847-1931) si penemu lampu pijar bingung dan bimbang ketika mencoba mengilmiahkan energi listrik (EL). Ia bingung, karena energi listrik tidak tampak (ghaib), terasa tapi tidak kelihatan. Sementara, ia bimbang oleh karena energi listrik hanya dapat diidentiďŹ kasi berdasarkan latarbelakang yang dimediasikan oleh kekuatan lain. 117


Ini disebabkan penemuan lampu pijar (listrik) hanyalah perubahan dari energi listrik menjadi energi cahaya. Warna kuning cahaya sebenarnya adalah personiďŹ kasi dari energi listrik. Begitu selanjutnya, EL dalam perkembangngannya dapat berubah menjadi panas, dingin dan yang lainnya. Kemudian, pada sisi lain terdengar cerita bahwa hasil temuan atau kreasi si jenius Thomas tersebut, konon didapatkan secara tidak sengaja, konon ceritanya melalui mimpi.

Ilmu pengetahuan hanya sebatas dapat mendesain dan menciptakan varian untuk pengembangannya saja. ModiďŹ kasi tenaga dari air, uap, nuklir, matahari dan yang lainnya hanya mampu membuat EL berubah menjadi energi panas panas, dingin, pener penerang (lampu) dan yang lainnya. Belajar dari pengalaman Thomas apabila penemuan besar saja diperoleh atas dasar kebingungan dan kebimbangan, taklah jauh berbeda dengan apa yang dialami masyarakat di kepulauan ini sebagai pengguna listrik. Meski si jenius Thomas yang bimbang dan bingung atas fenomena EL, tetapi ia berhasil mengembangkan bola lampu pijar dan sistem pembagian tenaga listrik untuk kepentingan di rumah secara 118


praktis 130 tahun (1879) yang lalu atau lebih sedikit lah. Masalahnya, meski masih sama-sama terpaut EL, bingung dan bimbang apa yang dialami Thomas dengan seorang teman, jauh berbeda. Ia (teman saya), bingung ketika ingin membayar iuran listrik bulanan, pas kebetulan tempat pembayaran rekening, listriknya padam. Bagaimana mungkin, tempat bayar listrik, listriknya padam. Wajar, apabila ia juga bimbang. Bagaimana tidak bimbang, bila tak bayar atau telambat bayar, dikenai denda atau bahayanya lagi, aliran listrik di rumahnya pasti diputus. Sudah jatuh, tertimpah tangga. Begitulah nasibnya orang kecil. Kasihan! Thomas benar, EL dalam praktiknya ternyata membingungkan dan membuat masyarakat yang awam bimbang. Ternyata ilmu pengetahuan yang selalu disanjung dan mendapat garansi sebagai sesuatu aktivitas yang berlandaskan rasionalitas, objektif dan ilmiah, terkait listrik menjadi kontraprodukitf. Ilmu pengetahuan tidak dapat mengilmiahkan EL. Ilmu pengetahuan hanya sebatas dapat mendesain dan menciptakan varian untuk pengembangannya saja. ModiďŹ kasi tenaga dari air, uap, nuklir, matahari dan yang lainnya hanya mampu membuat EL berubah menjadi energi panas, dingin, penerang (lampu) dan yang lainnya. Lebih jauh dalam sudut pandang kemasyarakatan (awam), EL hanya mampu menciptakan ketergantungan hidup. Amat susah rasanya bila kehidupan kita tanpa ditunjang dengan listrik. Pernahkah kita membayangkan apabila negeri Segantang Lada ini, jangankan sebulan, satu minggu saja hidup tanpa energi listrik: apa jadinya? Kemudian, bagaimana pula para ilmuwan dapat mengungkap sumber misteri yang terkandung dari ’keghaiban’ tenaga atau energi listrik tersebut? Jangankan ingin mengungkap keghaiban energi listrik, bagaimana menjelaskan fenomena bertambahnya tagihan 119


para konsumen per bulan yang selalu dikeluhkan saja kita tidak mampu (harga listrik yang terus naik). Maksudnya, bagaimana mungkin, listrik yang selalu padam konon 2 atau 3 per hari, tiba-tiba tagihan menjadi berlipat ganda? Inikah yang dikatakan misteri bahwa listrik ‘yang memang bukan ilmiah’, atau tidak dapat diilmiahkan? Jawabannya ada di tangan Anda! ***

120


(2) BUKAN ‘MADU’, TAPI DIRACUN

S

eorang rekan yang aktivis perempuan berusaha mengkritisi bahkan menurut saya, menggugat persoalan kata atau konsep soal ‘madu’ yang menurutnya amat sangat bias gender (merugikan perempuan). Menanggapi sikap kritisnya soal ‘madu’ tadi, bagi Saya sangat luar biasa. Memang ada yang kurang pas dalam penggunaan istilah atau konsep madu dalam jalinan dan tatanan kehidupan kita. 121


Saya teringat era awal 1990-an, ketika Arie Wibowo mempopulerkan lagu, ‘Madu dan Racun’. Syair lagu Madu di tangan kanan, racun di tangan kiri, mana yang harus dipilih mendistorsi (mengaburkan) seolah-olah racun adalah negatif dan Madu adalah positif. Hanya orang ‘bodoh’ dalam konsteks syair tersebut yang memilih ’racun’. Sementara dalam kehidupan, kata Madu selalu diasosiasikan (diumpakan) dengan yang indah-indah, manis, penuh kenangan, termasuk istilah bulan madu (honeymoon). Persoalannya menjadi penting untuk disadari bahwa filosofis (hal yang mendasar) antara Madu dan Racun sesungguhnya adalah seirama bahkan konkruen (sama dan sebangun). Bukankah sesungguhnya, ’dimadu’ itu sama dengan ’diracun’? Yang dipersoalkan oleh rekan Saya adalah kesalahan tafsir selama ini pada konsep dimadu. Ia berargumen, proporsionalnya (cara pandang adil) adalah menempatkan konsep ’dimadu’ pada yang lebih berimbang antara kepentingan patriakat (kebapakan atau kelaki-lakian-cara pandang lelaki) dan matriakat (ke-ibuan cara pandang peremupuan atau kewanitaan). Selama ini kata ’dimadu’ yang terkesan indah (manis seperti madu), sesungguhnya adalah bias gender dan terlalu patriakat (pro lelaki). Sehingga kata ’dimadu’ yang terbangun sebagai prasangka buruk (streotipe) terhadap agama tertentu. Sebab, para lelaki pemburu ’madu’ selalu menggunakan agama sebagai basis legitimasinya. Kata madu dalam perspektif (sudut pandang) kelakian identik dalam hal ’kenafsuan’ (yang berbau nafsu atau seksi). Yang sangat disayangkan, kata ’dimadu’ yang sesungguhnya (padahal) ’diracun’ menjadi salah tafsir karena melibatkan agama sebagai pembenarnya. Realitas inilah yang menurut rekan saya harus ’diluruskan’ (tak elok dibelokbelokan). Ia menggagas, mengapa tidak dicoba mendekatkan kata 122


madu dalam konteks ’ke-ibuan’, tapi bukan femenisme (sikap yang terlalu membela perempuan). Sebab kata madu dapat memberikan makna sakral berkaitan dengan kata lebah yang menjadi nama surat dalam kitab suci. Serangga (lebah) ini menempati posisi penting dibanding serangga lainnya. Surat ke-16 (An Nahl) yang berarti Lebah memberikan referensi positif terhadap azas kemanfaatannya, khususnya bagi manusia karena memproduksi madu. Di dalam kitab suci dijelaskan bahwa, ”.. Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda (kebesaran-Nya) bagi orang-orang yang memikirkan...”. Sebagai koreksi total sekaligus gugatan terhadap konsep ‘dimadu’ tersebut, rekan tadi menegaskan kepada kaum hawa, jangan lagi menerima penggunaan kata ‘dimadu’. Ganti saja dengan kata ‘diracun’. Merespon gugatan tersebut, Saya meyakini (termasuk Anda barangkali) jika Segantang Minda ini memberikan jalan bahwa perspektif ‘dimadu’ bertendensi bias gender (merugikan perempuan) dan pro lelaki itu berafiliasi (menuju) pada tiga pertanyaan yang memang agak muskil (unik lah begitu). - Pertama, mengapa tidak ada nabi (rasul) yang seorang perempuan? Kedua, mengapa para fuqaha (ahli hukum atau fiqih) atau imam mazhab, belum ada yang perempuan? Ketiga, mengapa syirik (menduakan) Allah adalah dosa ‘besar’ yang tak terampuni? - Bagi Saya, pertanyaan kedua ada banyak argumentasi untuk menjawabnya. Di antara yang paling populer adalah khusus bagi para ‘ulama’, kyai, tokoh agama atau apalah namanya yang selalu menggunakan ayat suci 123


untuk mendukung tindakan berpoligami (persoalan ‘madu’). Seandainya ada fuqaha perempuan, tentu akan melarangnya! Yang menjadi persoalan adalah pertanyaan pertama, mungkin saja para pemburu ‘madu’, tahu jawabannya: Mengapa? - Sedangkan pertanyaan ketiga, menjadi penting sebagai pedoman jika sunatullah nya perempuan itu tidak akan pernah mau ‘dimadu’ (diduakan), eh… ‘Diracun’! ***

124


(3) RUMAH SAKIT, PENYAKIT DAN ‘PESAKITAN’

B

OLEH jadi apa yang diungkap oleh Segantang Minda kali ini sebuah pengalaman yang klise, lama dan umum terjadi. Mengapa klise, oleh karena hampir 10 tahun yang lalu, Eko Prasetyo penulis buku, ‘Orang Miskin Dilarang Sakit’ teleh mengungkapkannya. Bahkan kalau boleh saya menegaskan, orang miskin ‘haram’ hukumnya sakit. 125


Apabila buku tersebut ditulis dengan sandaran rasa geram dalam mengungkap pengalaman penulisnya sebagai orang yang sakit. Kemudian, membuat ia berpikir bahwa penyakit muncul bukan semata-mata karena perilaku, melainkan pelbagai faktor di luar kendali si sakit. Industri masakan dengan cita rasanya, makan tidak teratur, obat-obatan yang berefek negatif, konsumerisme hidup, pencemaran udara, lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat dan sebagainya. Sebagaimana Eko, Saya juga mengalami hal serupa dalam hubunganya dengan Rumah Sakit, Penyakit dan Orang Sakit. Agak berbeda dengan Eko sebagai si sakit, Saya hanyalah si pengantar orang yang sedang merasa sakit (si sakit). Apa yang Saya alami ini mempertontonkan dengan tegas, jelas dan logis bahwa telah terjadi perkembangan pesat dalam industri rumah sakit dan hubungannya dengan industri perobatan. Dalam dunia merketing dengan cara pandang kapitalistik (semua diukur berdasarkan penguasaan materi atau modal) yang telah merubah tata nilai (paradigma) manusia yang berada diseputarannya (industri rumah sakit dan perobatan) seperti, dokter (pengobat), perawat (pembantu pengobat), apoteker (pakar obat) pengusaha (pemilik rumah sakit dan industri perobatan), si sakit dan si pengantar (orang sakit) mengalami distorsi orientasi terhadap makna sakit. Dalam hubungan tersebut Segantnag Minda mencoba mengurai sedikit terhadap makna sakit dalam pengalaman sebagai orang yang mengantar si sakit tentu ke rumah sakit. Yang menarik dan menjadi esensial untuk dicermati makna sakit ialah si pengantar orang sakit menjadi ‘Pesakitan’. Realitas perubahan pengantar menjadi Pesakitan menurut hemat saya disebabkan oleh dua hal. Pertama, cara pnadang mereka (manusia) yang terlibat dalam industri bisnis terkait penyakit tersebut yang terlalu 126


kapitalistik. Cara pandang ini sebagaimana maklum, umum dan lazim terjadi yang menempatkan si sakit sebagai ‘mangsa’ atau objek perburuan keuntungan. Sementara dalam konteks pengalaman saya, menghantar orang yang sedang sakit menyebabkan status si pengantar menjadi mangsa perburuan keuntungan tersebut, bukan lagi si sakit. Bayangkan sebagai pengantar hanya dalam hitungan waktu yang tak sampai 1 jam, sudah terkuras kocek saya hampir Rp900 ribu. Padahal logikanya, orang yang mengatar tak mungkin, tak harus apalagi wajib membayar. Sebab tagihannya, kelak di akhir akan dibebankan kepada si sakit. Tetapi pengalaman ini meunjukkan kondisi yang berbeda. Jangan terkejut begitu Anda menghantar saudara, teman atau siapa saja menuju unit gawat darurat (UGD), resep dengan bertubi-tubi akan diberikan kepada Anda tanpa mengklarifikasi untuk apa. Anda akan ‘dipaksa’ untuk membayar obat. Dalam kondisi ini, mustahil Saya menolak yang sekaligus kita seolah-olah terjebak dalam klaim resep yang ditulis oleh si pengobat. Dari resep periksa darah sampai dengan kepentingan pengobatan lainnya, kamar di atas standar, misalnya hanya dalam tempoh satu malam (hitungan malam mulai masuk istirahat jam 23.00 WIB di kamar dan pukul 12.30 WIB siang pulang) lebih kurang Rp 2 juta terkuras di kocek. Inilah yang menyebabkan si pengantar menjadi ‘Pesakitan’, karena beban pembayaran yang mahal. Sebab tak mungkin ditagih kepada si sakit (saudara atau teman) yang dalam kondisi sakit. Dengan persediaan dana yang tidak memadahi bahkan tidak ada sama sekali, bukankah si sakit (saudara atau teman) akan bertambah sakit? Anda lebih tahu jawabannya. Kedua, ‘konspirasi’ pengobat (dokter) dengan industri perobatan (pengusaha obat). Relitas ‘konspirasi’ (persekongkolan) ini adalah cara pandang kapitalistik atau 127


distilahkan lebih populer dengan rente (keuntungan dari jual jasa keahlian), Pengobat melalui resepnya yang terkadang tidak diketahui urgensi mujarabnya, terpaksa harus ditebus ke apotik. Betapa tidak, resep tiba-tiba disodorkan, tolong ambil obat ini. Obat pun terpaksa diambil oleh si pengantar apabila si sakit (yang di antar) ingin sembuh. Logikanya orang sakit ke rumah sakit, pasti ingin sembuh. Akal sehat dalam logika kapitalistik saat ini yang umum, ‘obat adalah penyembuh penyakit’. Dialektika ini telah menseduksi (percaya tanpa berpikir logis) siapa saja yang berhubungan dengan perkataan ‘sakit’. Dialektika inilah yang dikuasai oleh mereka para pemburu rente bagi si sakit yang dianggap ‘mangsa’. Sebab dengan kekuatan konspirasi ini diperoleh keuntungan besar yang menghidupi industri perobatan. Orang sakit bukan lagi yang harus atau wajib diobati, melainkan mangsa yang harus dijadikan atau ketergantungan tetap menjadi ‘sakit’. Sehingga si Pengantar pun menjadi ‘Pesakitan’. Berdasarkan pada realitas itu pula ada benarnya pendapat orang alim (ustaz) bahwa, ‘mengurus orang mati hukumnya fardu kifayah’. Hukum ini yang memberikan hak (kewajiban) untuk memilih (pilihan) bagi yang ingin, tanpa paksaan. Sementara mengurus (mengantar) orang sakit ke rumah sakit, meski pun hukumnya menurut ustaz ‘wajib’, Saya menggaransi jika si pengantar tahu jumlah ongkos yang harus dibayarnya kelak, ia pasti akan menjadi ‘Pesakitan’. Dan si pengantar dijamin pasti membatalkan niat baiknya. Bagaimana dengan Anda? Sependapat dengan saya? Pilihan ada pada Anda! ***

128


(4) RAMADAN DAN DEMOKRASI

B

ulan Ramadan baru saja dimulai. Sebagaimana biasanya dalam perbincangan rutin yang kami lakukan, kali ini menjadikan Ramadan dan Demokrasi sebagai isu utama. Lazim dalam sebuah perbincangan jika perdebatan terus berlangsung. Berdasarkan hasil diskusi dengan isu utama ini, menurut kami ternyata kedua konsep, Ramadan dan Demokrasi adalah kontroversial. 129


Penyandingan Ramadan dengan Demokrasi berlatarbelakang dari realitas sosial keorganisasian. Ramadan sebabagai konsep agama (keyakinan), sementara Demokrasi sebagai konsep politik menjadi dualisme (dikesankan bertentangan) dan ambigu (dikesankan berwajah dua, walaupun sesungguhnya terdapat kesamaan). Bagaimana tidak menjadi dualisme dan ambigu jika sebuah organisasi massa dalam fungsi sosial-kemasyarakatannya telah berubah menjadi ‘agama’ yang merepresentasikan menjadi dua umat yang seolah-olah berbeda. Ini menjadi penting diangkat oleh Segantang Minda sebagai upaya mencermati dan menggali betapa pentingnya meneroka substansi dari perbedaan yang sesungguhnya, bukan ‘perbedaan’. Sebab, substansi persoalan bukan pada kenapa dapat berbeda atau terjadi perbedaan pada konteks realitas memahami fenomena alam (istilah anak atau bapak bulan). Perbedaan justru harus dicermati berdasarkan fonomena aktor (person) yang berada pada struktur keorganisasian yang sebelumnya memang jarang terjadi. Belajar dari pengalaman sistem politik dan realitas kepemimpinan, Orde Baru yang otoritarian (sistem politik otoriter) terbukti mampu ‘menundukkan’ ego para aktor yang menempati struktur organisasi massa. Namun, Reformasi dalam sistem politik demokrasi (bebas menentukan pilihan), justru ‘diselewengkan’ oleh para aktor untuk mendahulukan kepentingan personal. Dalam konteks ini menurut hemat Saya yang berbahaya adalah ketika ‘iman’ menjadi kamuflase sebagai biang dari persoalan atas landasan ‘perbedaan’. Padahal, kalau soal keimanan apanya yang berebeda? Apakah kita (Saya dan Anda) bukan orang yang beriman? Kita percaya kepata Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, Malaikat, Kitab, Rasul, percaya ada hari 130


Kiamat, dan pada Takdir Baik dan Buruk. Apalagi, walaupun bukan termasuk Rukun Iman yang universal, kita tinggal dalam negeri yang sama, Indonesia. Jadi apa yang berbeda? Saya meyakini, walaupun sangat ‘minim’ dalam pemahaman keagamaan, namun tetap percaya bahwa dualisme dan ambigunya ‘perbedaan’, bukan terletak pada persoalan ‘keimanan’, melainkan di antara kita (bukan bermaksud berburuk sangka), melupakan karakter ‘hikmah dan rahmatanlil’alamin’ atas kehadiran Ramadan. Walaupun agak berlebihan (anggap saja seloroh) menurut seorang teman, jika benar saat ini kita (bangsa Indonesia) sedang mengamalkan sistem politik yang demokratis, mengapa penentuan awal Ramadan tidak melalui pemungutan suara saja. Sebab ia (teman tadi) meyakini hidup dalam wilayah yang sama, kita tidak akan mengalami perbedaan lagi. Ini dengan syarat, yang minim (minoritas) suaranya harus mengikuti yang mayoritas. Begitulah hukum demokrasi mengajarkan. Jujur saja, Saya tidak seratus persen mendukung pendapatnya. Namun bagi saya, tidak juga salah seratus persen. Pendapat ini lebih arif, hikmah, mauizzah dan hasan berbanding menjadikan perbedaan ‘keimanan’ sebagai penyebabnya. Hemat saya, kecerdasan ummat (pendidikan agama dan kebangsaan) menjadi prioritas yang paling utama untuk dibenahi. Dengan harapan, tidak lagi menjadi sasaran ‘kesombongan’ para aktor (elite organisasi) yang justru sebagai biang dari ‘perpecahan’ ummat. Sebab, Saya dan Anda (kita) sangat meyakini jika Ramadan mengajarkan kesederhanaan pada esensi Demokrasi yang sesungguhnya. Universalitas Ramadan ialah identik dengan Demokrasi. Apa itu? Sebagai perumpamaan, ‘bahwa tidak merokok pada bulan Ramadan bukan karena kita berpuasa atau kesuciannya, 131


melainkan menyadari bahwa asap (bawaan negatif) yang dihasilkan dari merokok akan merusak orang lain. Jadi bukan puasanya, tetapi penyadarannya. Dan sesungguhnya, itulah Demokrasi! ***

132


(5) IDUL YANG ‘BERLEBIHAN’

H

ari Raya Idul Fitri atau Lebaran baru beberapa hari ini usai dilaksanakan. Sampai pada hari ini pelaksanaannya orang awam menyebutnya H + 3 (plus tiga) atau tiga hari Lebaran usai dirayakan. 133


Mencermati secara etimologis, makna Idul yang asalnya dari kata ’Ied’ ini diartikan menjadi hari raya. Sementara makna Idul dalam bahasa Iinggris dimaknai dengan Eid yang artinya Lebaran. Sedangkan Hari Raya dalam bahasa Arab dimaknai menjadi Walimah. Bersandarkan pada makna etimologisnya maka pengertian Idul yang dalam bahasa Indonesia agak susah dicari akar kata aslinya dalam bahasa Arab. Meskipun susah taklah menjadi masalah. Ini dikarenakan pemaknaan tersebut awam yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi Idul. Sementara untuk teman akrab katanya yang mengiringi ialah Fitri. Adapun Fitri selalu dimaknai berbuka puasa atau Lebaran. Ini disebabkan oleh kebiasaan berbuka secara massal setelah sebulan kaum muslimin menjalani ibadah sakral berpuasa. Maka relevan apabila perasaan bahagia saat berbuka di waktu Maghrib selama sebulan yang diakumulasi (digabungkan) pada 1 Syawal di Hari Raya Lebaran (Idul Fitri). Berulang kali (lebih dari 2 kali) sepanjang Ramadan Segantang Minda mengngkat tema Lebaran. Pasca Ramadan dalam proses pelaksanaan Idul Fitri yang kebetulan H plus tiga, tema ini diulang kembali sebagai upaya evaluasi, intropeksi, belajar dan yang terpenting menggarisbawahi melalui sebuah pertanyaan: Mengapa Idul (Fitri) identik atau sama dengan semua yang ‘berlebihan’ (lebay). Umat Muslim di negeri ini merayakan Idul Fitri tidak lagi dengan serba kesederhanaan. Padahal sesungguhnya yang berlebihan atau bermegah-megahan menjadi mudarat (tidak baik) hasilnya. Inilah realitas sosiologis bangsa ini memaknai Idul Fitri dari sisi kemudaratannya (kejelekannya). Sisi kejelekannya dimulai dari kegembiraan yang berlebihan. Pengalaman beberapa tahun ini (semenjak Reformasi), kesan merayakan dengan berlebihan (eforia) tidak dapat diingkari. Eforia selalu diawali dengan perbedaan 134


penetapan awal Ramadan yang didahului ‘keegoaan’ atas nama organisasi. Pernyataan para elite organisasi di media massa semakin memperjelasnya. Dari tahun, bulan, hari, jam dan detik, perayaan Idul Fitri menjadi kehilangan kesakralannya. Yang mencolok (terdepan) justru semuanya mengarah pada sesuatu yang berlebihan. Terkait yang berlebihan ini dipastikan akan menghasilkan sebuah kemudaratan. Dari sini mempertontonkan yang sesungguhnya bertolak belakang dengan syariat yang diajarkan. Anehnya, berlebihan itulah yang terjadi secara kontinuitas sampai saat ini. Gerakan masif pulang kampung (mudik) mengesankan yang berlebihan sehingga menghasilkan sebuah kemudratan. Apalagi tanpa didukung dengan infrastruktur yang memadahi dapat dipastikan bahwa peristiwa mudik yang masif semakin mempertegas kemudaratannya (macet, tabrakan dan yang lainnya). Tradisi pemberian hadiah (parcel) yang sekarang dilarang KPK (bagi pejabat negara) secara diam-diam dipastikan tetap masih berlangsung. Pembagian zakat (sedekah) oleh para orang kaya yang berlebihan justru mempertontonkan kemiskinan umat yang mencolok. Hasilnya pun menunjukkan kesemerawutan yang dalam sisi si penerima berubah menjadi karakter ‘keserakahan’ , hanya khawatir tidak kebagian. Ini belum lagi tragedi pembuatan petasan yang lebih banyak negatif dari positifnya yang dianggap sebagai bagian dari ‘kultur’ yang sesungguhnya, tidak pernah diperintahkan atau sesuai syariat dalam merayakan Idul Fitri. Yang musykil secara kenegaraan, kebijakan libur panjang (bersama) menjadi dasar semakin berlebih-lebihnya perayaan pada hari Idul yang tidak Fitri lagi ini. Libur panjang menjadi ‘dalih’, agar tidak ada lagi (khusus pegawai pemerintah atau 135


PNS) terlambat masuk kerja. Inilah realitas umat di negeri ini dalam merayakan Idul yang bukan Fitri lagi. Untuk mengingatkan kita semua sebagai umat, Segantang Minda mengutip Surah Al Rum (30) yang artinya, “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama Allah, fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Oleh karena itu bagi mereka (golongan) yang tidak mengetahui, maka benarlah jika yang dirayakan, bukan lagi Hari Raya atau ‘Idul Fitri’, melainkan ‘Idul Yang Berlebihan’ atau ‘Idul Yang Lebay’. Suai! ***

136


(6) TES ‘KEPERJAKAAN’

B

eberapa hari terakhir ini pelbagai tanggapan pro kontra mendominasi liputan media masa perihal isu keperawanan. Tema keperawanan menjadi gunjingan sensitif dan seksi di masyarakat utamanya para ibu yang memiliki anak gadis. Isu tes keperawanan bermula dari keinginan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Prabumulih, Palambang dalam rangka pengajuan Anggaran Belanja Daerah (APBD) tahun 2014. Esensinya sebagai antisipasi pergaulan bebas di lingkungan remaja sebelum masuk Sekolah Menengah Atas (SMA), maka perlu di tes keperawanannya (perawan atau tidak). Oleh karena itu dirasa perlu dukungan anggaran pada tahun 2014 untuk melaksanakan tes tersebut. Begitulah bermula kisahnya. 137


Oleh karena dianggapa isu yang sensitsif dan seksi (berbau dan mengarah kepada masalah seks atau kelamin), maka sudah menjadi kewajaran di kalangan masyarakat Indonesia yang demokratis jika isu semacam ini bakal menjadi wahana politik. Selain anggota DPR yang juga seorang perempuan mengecam rencana ini, nyatanya isunya pun terus menggelinding bak bola salju terus bergulir tak terkendali. Apalagi dibumbu-bumbui dengan ikhwal dari mulai persoalan diskrimiasi, pelanggaran HAM, bias gender dan isu pemojokan perempuan lainnya, tentu saja isu ini menjadi menarik untuk dicermati. Meski dianggap menarik, Segantang Minda berupaya mendikusikan tidak lagi berkenaan langsung dengan tema ‘keperawanan’, melainkan sebaliknya, ‘Keperjakaan’. Hemat saya guna mencapai keadilan dan tingkat keseimbangan dalam hukum kemanusiaan yang seharusnya di tes adalah justru ‘Keperjakaan’, meskipun pada pelaksanaannya dikhawatirkan terjadi kendala morfologis secara signifikan dalam mengidentifikasinya. Ini disebabkan jika tes keparawanan dengan kamjuan di bidang kedokteran ‘bedah pelastik’ menjadi tidak lagi penting. Sebab perawan atau tidak, ilmu kedokteran tetap dapat menjadikan orang (gadis) yang tak ‘perawan’ menjadi perawan. Jadi bukan lagi terkait yang seksi, melainkan keperawanan sudah berubap pada lingkup ke-medis-an (yang berbau pengobatan). Dalam konteks ini gadis yang tidak perawan dapat dianggap sebagai seorang pasien yang ‘sakit’ dan perlu diobati. Sementara dalam hukum sosial di masyarakat Indonesia, berbicara keperawanan, uniknya tidak sekalipun (boleh diklaim sebagai jarang) mempersoalkan status ‘Keperjakaan’. Padahal sudah jamak dan lumrah jika keperawanan selalu disandingkan dengan keperjakaan. Keperawanan telah terdistorsi kepada yang berorientasi primordial geografis dan 138


agama. Yang dimaksud geografis terkait cara memandang keperawanan bagi orang Barat dan Timur walaupun tetap sama jika seseorang gadis yang kebetulan berada di Barat (Amerika atau Eropa), tetapi ia (gadis itu) dari Timur, misalnya Pakistan dan Indonesia yang berasal dari keluarga ‘Muslim’ (primordial agama). Oleh karenanya seolah-olah menjadi logis (masuk aqal) jika keperawanan ialah basis argumentasi untuk menjadikan para perempuan di negeri ini sebagai ‘bias gender’ dan primordialpatriakat (cenderung pemihakan atau mengutamakan kelakian). Dengan begitu Keperjakaan tidak lagi menjadi isu sensitif bagi seorang lelaki berbanding masalah keperawanan untuk seorang perempuan. Realitas masayarakat yang tanpa sadar yang dalam hukum sosial keberpihakan lelaki inilah yang menjadikan isu keperawanan selalu mengemuka dan sakral bagi lelaki. Secara logis dapat dipastikan bagi masyarakat sosial Indonesia boleh dikatakan ‘tidak ada’ seorang lelaki yang ingin mendapat seorang istri yang tidak ‘perawan’. Pun begitu tidak pernah dipersoalkan oleh kaum perempuan jika seorang suami yang dinikahinya ‘bukan lagi perjaka’ (maksdunya bukan seorang duda). Walaupun hidup dan berada dalam masyarakat yang pro patriakhi (dominasi kelakian) dapat dimengerti ada kekhususan bagi yang terlahir sebagai perempuan di negeri ini, misalnya ada hari Ibu, tidak ada hari Bapak. Ada cuti malahirkan yang tentunya khusus bagi perempuan. Dalam politik pun perempuan diberi ‘keistimewaan’ quota 30 persen yang tentunya belum ada di negeri mana pun di dunia ini. Apalagi ditambah kehadiran undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT-meskipun terkadang, tanpa yang ‘keras’ seorang perempuan akan mengeluh). Belajar dari pelbagai kelebihan itulah sesungguhnya 139


menurut hemat Saya dalam sistem yang pro patriakat (kelakian) sejujurnya yang benar ialah tes Keperjakaan, bukan lagi keperawanan. Bagi saya cara berpikir dalam sistem patriakatlah yang menyebababkan tes Keperawannan menjadi mengedepan yang konon merupakan bagian dari upaya melindungi peremuan (perawan) itu sendiri yang sesungguhnya menurut versi lelaki. Inilah sesungguhnya sebuah kesalahan sistemik yang ‘menistakan’ para perempuan yang juga seorang ibu. Terkucuali bagi ibu-ibu yang sudah melahirkan namun hakikatnya tetap ‘perawan’. Kesulitan morpologis bagi kaum lelaki untuk mengetes terkait ‘Keperjakaan’ sesunggungguhnya bukan lagi menjadi kendala oleh teknologi kedokteran forensik. Ini samahalnya bagi seorang Ibu rumah tangga yang sudah berulang kali melahirkan, tetapi dengan sabar dan setia juga berulang-kali melakukan operasi pelastik keperawanan. Ini bukan karena tuntutan suami, melainkan bagian dari ‘pelayanan’ seorang istri yang ingin terus menerus memberikan ‘keperawanannya’ kepada suami tercinta. Suka atau tidak, Anda dan kita semua boleh tidak setuju, namun inilah realitas! ***

140


(7) KEDAI KOPI TANPA ROKOK

S

ejak awal pada tulisan ini perlu dipertegas melalui sebuah pertanyaan: Mengapa mengopi (minum kopi) dan merokok merupakan dua aktivitas yang seolah-olah tidak dapat dipisahkan? Bermula dari pertanyaan inilah menjadi penting untuk dicermati sesungguhnya bahwa ngopi dan merokok bukanlah satu, melainkan berbeda! Kita saharusnya berupaya sekuat tenaga untuk tidak seolah-olah menjadi aksioma (sesuatu yang tak dapat disangkal) jika penyuka kopi (untuk tidak mengatakan bagi seseorang pecandu kopi) selalu identik dengan perokok (orang yang kecanduan merokok). Bahkan yang selalu mengemuka sebuah aksiomtis yang sosiologis (memasyarakat) bahwa ‘pengopi berat identik dengan perokok berat’. ‘Tidak ada kopi, tanpa rokok’. Begitupun, ‘tidak ada rokok, tanpa kopi’. 141


Segantang Minda berupaya mengungkapkan dua kata yang juga sekaligus konsep antara kopi dan rokok yang sesungguhnya tidak lagi dianggap sebagai yang ‘sepasang’ (dwitunggal). Perokok tidak wajib pengopi. Apalagi ‘perokok berat, bukanlah otomatis pengopi berarti. Dalam konteks berupaya membangun opini (cara berpikir) yang berbeda inilah jawaban sesungguhnya antitesa (perlawanan) terhadap jawaban pada awal pertanyaan: mengapa seolah-olah dua aktivitas yang berbeda: ngopi dan merokok tidak dapat dipisahkan? Bagi Saya dan Anda, atau siapapun secara jujur diakui jika berbicara kopi dan rokok mengingatkan kita pada karakteristik masyarakat di Kepulauan Riau. Ini disebabkan terdapat fenomena sebuah tempat atau wadah (konsep) yang dapat memediasi antara rokok dan kopi. Apa itu? Jawabannya yang oleh kalangan awam di negeri Segantang Lada ini dinamakan dengan kedai kopi. Fenomena keberadaan kedai kopi di Kepulauan Riau pada umumnya ialah representasi dua kegiatan yang dwitunggal: ngopi dan merokok. Aktivitas ngopi dan merokok yang seolah-olah terintegrasi, menyatu atau bersebati inilah yang menjadi menarik mengindikasikan ketradisionalannya (merepresentasikan masyarakat yang tradisional). Oleh sebab dengan ketradisionalannya (kebiasaannya) mencirikan cara berpikir yang tradisional pula bahwa ngopi identik dengan merokok. Sehingga rokok dan ngopi, atau sebaliknya dua hal sama dan sebangun. Apalagi didukung dengan sebuah realitas di Kepulauan Riau sampai saat ini tidak ada satupun kedai kopi yang ‘melarang’ orang untuk merokok atau terdapat tulisan ‘dilarang merokok’. Bagi Saya (Anda juga pasti sependapat) bahwa cara berpikir demikian tidaklah tepat juga atau salah-salah amat. Mengapa? Apa benar keteradisionalan penyebab cara berpikir 142


bahwa ngopi dan merokok dua tindakan yang menyatu? Dalam konteks cara berpikir modern dengan asumsi berdasarkan keberadaan kedai atau tempat yang modern pun semacam Coee Bean, Excelso atau Starbuck bukanlah penjaminnya. Tempat mengopi yang berada di kawasan modern atau mal, plaza atamnya bukanlah penjaminya. Ini dibuktikan bahwa di tempat-tempai modern dan beradanya orang-orang yang dianggap modern itupun tidak dapat dipisahkan antara ngopi dan rokok. Walapun begitu, Starbucks, kedai kopi asal AS ini terdapat kemajuan berarti. Pengelola Starbucks sudah menerapkan ketentuan di mana si perokok hanya boleh mendekati kafe Starbucks dalam jarak delapan meter. Sejumlah media memberitakan bahwa kawasan delapan meter dari Starbucks menjadi kawasan bebas rokok. Jaringan kedai (kafe) kopi yang bermarkas di Seattle, Amerika Serikat ini mulai melarang para perokok berada dalam jarak delapan meter dari kafe pada Sabtu (1/6/2013) yang lalu. Belajar dari kebijakan yang diterapkan oleh Starbuck jika boleh jujur, menurut hemat Saya sesungguhnya cara berpikir tradisional atau modern tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk memisahkan antara kebiasaan ngopi dan rokok. Dampak ‘negatif rokok di kedai kopi (kafe) seperti asap yang mengganggu orang yang tak merokok, abu yang berserakan dan kebiasaan membuang puntung di merata tempat, bukanlah tindakan tradisional atau modern, melainkan komitmen bereksprimen saja. Berlatar eksprimen tersebut maka klaim atau perdebatan terkait dengan merugikan atau tidak, semua orang (Saya, Anda, Kita dan Pembaca) pasti sepakat apabila merokok merupakan salah satu hak berkegiatan oleh warga negara yang dilindungi negara. Selanjutnya, hak ini akan semakin runyam untuk dicarikan jalan penyelesainnya bila si Perokok dan si terkena 143


dampak Rokok saling mengaitkannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sesungguhnya di sinilah mulai persoalan tersebut menyeruak. Apabila ada yang tidak setuju dengan argumen Saya, silakan. Menurut hemat Saya Merokok bukanlah bagian dari HAM. Sudah umum difahami suatu hak yang disebut asasi apabila tanpa hak berkenaan derajat dan martabat manusia berkurang. Maka jika sifatnya hanya tambahan, itu bukanlah HAM. Oleh karena itu Merokok dapat diketegorikan hak, tapi cuma pelengkap saja (hak yang tentatif, bukan asasi). Maka jelas, Merokok bukan bagian dari HAM. Berdasarkan UU No.36 tahun 2009 tentang, ‘Kesehatan’ di dalam pasal 115 ayat 1, menjelaskan bahwa Pemerintah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) antara lain, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat kerja dan tempat umum (termasuk kedai kopi) serta tempat lain yang ditetapkan. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan bahwa Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Pertanyaan Saya yang ‘kebetulan’ tidak Merokok, tetapi selalu diracuni dampak si Perokok, sesungguhnya di mana tempat-tempat yang dimaksud oleh undang-undang Kesehatan tersebut? Adakah kedai-kedai kopi yang memberikan ‘perlindungan’ kepada mereka yang tak Merokok? Silakan Anda menjawabnya. Hemat saya berdasarkan pelbagai penjelasan ini, pertanyaannya: Mengapa kita tak hendak bereksperimen untuk membuka (membangun) kedai kopi yang tanpa asap rokok? Mari buktikan, tanpa asap rokok (si perokok) pun orang pasti akan ramai mendatangi kedai kopi Anda! Dan namakan dengan, ‘Kedai Kopi Tanpa Rokok’! *** 144


(8) ’PENGEMIS’

P

ada bulan Ramadan ini prihal ’pengemis’, hemat saya menjadi fenomena yang asyik untuk didiskusikan. Sebab, terasa ada kesan unik yang selalu menyertai pada kata ’pengemis’ itu sendiri. Saya meyakini tak banyak yang mengetahui jika terkandung kerancuan menggunakan istilah ’pengemis’ yang selalu diasosiasikan sebagai peminta-minta (orang yang pekerjaannya meminta-minta). 145


Syahdan penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang Raja bernama Paku Buwono X, semangat kedermawanan yang gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum papa menjelang hari Jum’at khususnya pada hari Kamis sore adalah muasal kata pengemis tersebut.

Sebagai negara pengutang, bolehkah negara ini diklasiďŹ kasi negara sebagai pengemis? Jika boleh apakah hukumnya haram? Pada hari Kamis, Raja Paku Buwono ke luar istana untuk memantau keadaan rakyatnya. Dari istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki melalui alunalun lor (alun-alun utara), sambil berjalan kaki diiringi para pengawalnya, di sepanjang jalan sudah dielu-elukan rakyatnya sambil berjejer rapi di kanan-kiri jalan, sembari menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan pada sang pemimpin. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Sang Raja bersedekah yang langsung diberikan kepada rakyatnya berupa uang, tanpa ada satupun yang terlewatkan (kebiasaan berbagi-bagi itu mungkin sebuah warisan penguasa sebelumnya). Kebiasaan ini berlangsung setiap hari Kamis (Kamis orang Jawa menyebutnya Kemis). Dari peristiwa membagi-bagi sedekah, kemudian ada orang yang mengharap pembagian itu yang berlangsung di hari Kamis, maka munculah istilah NGEMIS (kata ganti untuk sebutan pengguna/pengharap berkah dihari Kemis). 146


Kemudian, pelaku-pelakunya pun biasa disebut Pengemis: pengharap berkah pada hari Kemis. Sengaja kisah muasal istilah ’pengemis’ itu diungkapkan sebagai pembanding guna menyikapi keluarnya fatwa haram bagi pengemis oleh MUI Kabupaten Sumenep, Madura. Ada yang menarik terkait fatwa tersebut pada sejauh mana dicoba untuk diukur tingkat keharamannya. Dalam bahasa fiqih orang awam, bahwa yang dimaksud haram adalah perbuatan yang melanggar hukum Allah dengan sangsi berdosa (bila dikerjakan perbuatan itu hukumnya berdosa dan bila ditinggalkan berpahala). Berkaca pada kisah muasal ’pengemis’ beserta sejarah yang melingkupinya, hemat Saya yang dimaksud dengan ’pengemis’ dalam konteks sejarah itu tidaklah masuk kategori berdosa (haram). Oleh karenanya, ’pengemis’ dapat ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Boleh jadi yang dimaksud ’pengemis’ (mengemis sebagai sebuah pekerjaaan atau tindakan) haram adalah sebagaimana yang terjadi di Pekanbaru atau fenomena kota lainnya di negeri ini. Fenomena mengemis (’pengemis’) di Pekanbaru mendiskripsikan sebuah yang struktural (tersusun dan tertata berdasarkan struktur keorganisasian). Dalam konteks ini saya mengistilahkan dengan ’Pengemis Struktural. Pengemis menjadi organisasi bisnis dengan jaringan beserta pelbagai aturan mainnya. Mengapa ’haram’, Pengemis Struktural menyimpan agenda negatif (haram) di dalam sistem kerjanya seperti, unsur manipulasi, pembohongan, persekongkolan, sandiwara, rekayasa, penindasan, pemerasan dan unsur negatif lainnya. Yang susah jika tafsir pengemis tidak pada konteksnya adalah ketika negara ini diperlakukan bak seorang pengemis. Di sana sini utang dengan cara mengemis walaupun diistilahkan 147


dengan pinjaman lunak. Sebagai negara pengutang, bolehkah negara ini diklasiďŹ kasi sebagai pengemis? Jika boleh apakah hukumnya haram? Silakan Anda menilainya! ***

148


(9) HUKUM ‘NEGATIF’ DEMOKRASI

M

enjelang berlangsung pemilu legislatif beberapa hari mendatang (3 hari dari sekarang), sejumlah media masa memberitakan perihal bahayanya ‘kampanye hitam’ atau black campaign bagi demokrasi di negeri ini. Tidak hanya tingkat lokal, kampanye hitam menggejala secara nasional. Ketatnya persaingan antar calon, baik di luar dan internal partai politik, tanpa sadar atau pun tidak, tampaknya ’mengharuskan’ para calon menempatkan ’kampanye hitam’ menjadi salah satu strategi jitu. 149


Sejujurnya, Indonesia yang diklasiďŹ kasi sebagai negeri tiga besar penyelenggara (penganut) demokrasi di dunia setelah AS dan India, kampanye hitam merupakan penyakit kronis yang menggrogotinya. Adapun sasaran empuk dan efektif kampanye hitam tak terelakan adalah para ibu rumah tangga, dan para nenek yang ingin mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan DPD (dewan perwakilan daerah).

mengurus negar negara, anak, suami dan cucu di rumah saja ditelantarkan. Atau, apakah tidak sebaiknya, mereka duduk di rumah saja, mengurus anak, cucu dan suami?� ... Para calon dari partai penguasa saat ini (incumbent) juga adalah sasaran empuk kampanye hitam. Rupanya, tak sampai di sini, para petinggi militer yang pernah berkuasa, dan menjadi pentinggi partai baru yang juga berhasrat mencalonkan jadi presiden mendatang, tak luput dari hantaman kampanye hitam. Bagi ibu rumah tangga dan para nenek, sindiran menyakitkan sekaligus merusak demokrasi mewujud dalam format slogan, “bagaimana mau mengurus negara, anak, suami dan cucu di rumah saja ditelantarkan. Atau, apakah tidak sebaiknya, mereka duduk di rumah saja, mengurus anak, cucu 150


dan suami?� Untuk partai yang menjadi ‘penguasa’, memang agak repot menghindar dan menghadapi encaman kampanye hitam. Kelemahan kebijakan selalu menjadi sasaran kritikan yang terkadang tidak representatif dan terlalu tendensius. Sebab, bukan berarti si pengkrtik yang adalah juga seorang calon, akan lebih baik kepemimpinannya, bila kelak menjadi penguasa. Begitu pula bagi para petinggi militer, kampanye hitam yang bersembunyi dibalik sebuah penerbitan, kesannya efektif, dan menjadi kebiasaan jelang pesta demokrasi di negeri ini. Balas membalas menggunakan mediasi sebuah penerbitan adalah memang benar bagian dari praktik demokrasi. Yang kurang arif adalah adanya niat menempatkan momen pesta demokrasi melalui mediasi penerbitan untuk melakukan kampanye hitam. Hemat saya, belajar dari realitas black campaign yang menjadi santapan media masa jelang pemilu itu, memperlihatkan bahwa yang selalu mengedepan, tidak lagi nilai luhur demokrasi, melainkan hukum negatif demokrasi. Jika nilai luhur demokrasi mengajarkan kita untuk saling menghargai dan menghormati, maka hukum negatif demokrasi cenderung mendukung yang banyak, bukan yang baik atau benar. Hukum negatif demokrasi itu, tidak mengenal kebaikan dan kebenaran, tetapi yang banyak, meski menyimpang, maka itulah yang baik atau benar. Kampanye hitam mengajarkan kita untuk mendukung yang banyak. Tanpa pendidikan politik yang memadahi, penguasaan informasi yang minim dan keterbatasan sarana sosialisasi pemilu, dinilai mustahil bagi kita untuk dapat menghindar dari ’hukum negatif’ demokrasi tersebut. Oleh karenanya, ketika pemilu disamakan dengan demokrasi dan demokrasi adalah merupakan bagian dari sarana merebut 151


kekuasaan, maka benar ada ungkapan yang mengatakan, �Jangankan dengan manusia, dengan cermin pun kekuasaan tak mau berbagi.� Betul apa iya...???!!! ***

152


(10) ‘TANGAN TUHAN’

I

stilah ‘Tangan Tuhan’ dipopulerkan pertama kali oleh Adam Smith, ahli ekonomi politik Skotlandia (1723-1790). Menurut Smith, ‘Tangan Tuhan’ adalah intervensi tangan yang tak tampak (invisible hand) dalam mengatur keseimbangan sistem ekonomi. Kedua, istilah ‘Tangan Tuhan’ mengemuka lagi yang dipopulerkan sang fenomenal maestro sepak bola asal Argentina, Maradona dengan ‘Gol Tangan Tuhan’ (gol yang tercipta dari ‘sentuhan’ tangannya ketika melawan tim Inggris yang kebetulan, tak tampak oleh wasit). Sehingga, berkat gol sang maestro tersebut, Argentina melaju ke semifinal Word Cup 1986. 153


Belajar dari Adam Smith dan Maradona perihal ‘Tangan Tuhan’ dalam perspektif (sudut pandang) kekinian, banyak hal yang harus diteladani. Meski, apa yang dimaksud dengan tangan tuhan, baik oleh Smith dan Maradona dalam konteks yang berbeda, tetapi substansi bekerjanya tangan tuhan mengajarkan kepada hal yang sama: kesadaran transendental. Secara sederhana, kesadaran transdental dapat didefinisikan sebagai pengetahuan bahwa Tuhan akan membalas perbuatan zalim atau menindas siapapun ia, dari atau oleh seseorang kepada orang lain, tanpa kecuali.

...Allah selalu

mendengar, memperioritaskan dan mengabulk mengabulkan doadoa mereka yang tertindas. Bukankah Tuhan tidak tidur!!?

Wallahu ‘alam!

Sebagai seorang filosof, Smith meyakini apabila Tuhan selalu ‘turut campur’ mengendalikan dan menjaga keseimbangan dalam mekainisme pasar yang adil, tanpa keserakahan dan penindassan, meski realitasnya tidak selalu seperti itu. Munculnya isu negatif terhadap neoliberal di musim kampanye akhir-akhir ini adaah akibat melunturnya keyakinan orang terhadap ajaran Smith. Berbeda dengan Maradona, pengakuannya memasukkan bola ke gawang lawan dengan menggunakan tangannya, tanpa sepengetahuan wasit, dalam 154


sudut pandang kesadaran transendental, seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab di manapun di dunia ini olahraga pasti mengedepakan sikap sportif. Yang menjadi persoalan adalah jika ia (sang maestro), justru mempopulerkan ‘prestasinya’ itu dengan istilah ‘Gol Tangan Tuhan’. Pertanyaannya: Mungkinkan Tuhan memberkati gol Maradona? Tulisan ini, tak hendak menjawab pertanyan tersebut. Dengan belajar dari Smith dan Maradona, tulisan ini hendak menyampaikan pesan bersandarkan sudut pandang kesadaran transendental dalam melihat fenomena ‘turut campur atau ada peran Tangan Tuhan’ menegakkan hukum dan keadilan di negeri ini. Yang terbaru dan banyak menarik perhatian adalah terkait keberadaan institusi penegak hukum yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Institusi yang keberadaannya dianggap memiliki kekuatan superbodi itu kini dirundung masalah. Dengan sangat sederhana dalam sudut pandang kesadaran transenden, implisit tampak peran ‘Tangan Tuhan’ ke atas doa-doa khusus bagi mereka yang tertindas akibat dampak superbodi institusi pemberantasan korupsi tersebut. Bukan mustahil, kesan superbodi yang melembagakan keyakinan bahwa siapa saja yang terjerat ke dalamnya ‘wajib bersalah’. Sehingga, ada kesan siapa yang menjadi terdakwa, wajib dinyatakan seratur persen besalah, meski cara penyelidikan, penyidikan dan penuntutan boleh jadi ada kekeliruan. Cara pandang ‘wajib bersalah’ memunculkan kesan arogansi dan penindasan khusus bagi mereka yang berurusan. Bukan mustahil berasal dari doa-doa mereka yang tertindas dan terzalimi akibat cara pandang ‘wajib bersalah’ itulah yang ‘mengharuskan’ Tuhan untuk melibatkan diri secara langsung. Tanpa hendak berburuk sangka, boleh jadi terkuaknya skandal besar oknum petinggi KPK sebagai institusi seperbodi menjadi 155


low body adalah pertanda bahwa ‘Tangan Tuhan’ sedang bekerja. Wajar yang selalu disampaikan oleh para ustaz, dai, dan penceramah bahwa Allah selalu mendengar, memperioritaskan dan mengabulkan doa-doa mereka yang tertindas. Bukankah Tuhan tidak tidur!!? Wallahu ‘alam! ***

156


(11) ’MENAHAN’

M

encermati makna perbuatan ’menahan’ dalam lingkup kehidupan kesehariannya, diyakini memiliki perspektif (sudut pandang) yang berbeda-beda. Dalam konteks ibadah Ramadan, misalnya, makna puasa selalu diidentikkan dengan ’menahan’. Boleh jadi banyak orang yang belum (bukan tidak, artinya menunggu proses) faham apabila kata menahan identik juga dengan sebuah kekuatan (power). 157


Meski makna kata ’menahan’ memiliki banyak definisi dan pengertian, tetapi dalam konteks ibadah, makna menahan lebih dekat dengan kekuatan. Berklid-klindan makna ’menahan’ dan kekuatan, secara etimologi, puasa yang secara umum berarti ’menahan’, baik menahan makan, minum, bicara dan perbuatan itu, sesungguhnya berhubungan erat dengan kekuatan. Oleh karena puasa selalu diidentikkan dengan sumber kekuatan, berpuasa sudah dimulai dari zaman manusia menyembah kekuatan-kekuatan alam hingga roh-roh gaib, sampai mereka mengenal tuhan-tuhan ‘baru’ yang diajarkan oleh para orang suci (Nabi, Biksu dan yang lainnya). Orangorang Mesir kuno pun, sebelum mereka mengenal agama samawi, juga telah mengenal puasa. Konon berasal dari merekalah, praktik puasa beralih ke orang-orang Yunani dan Romawi. Sejarah juga mencatat bahwa tokoh-tokoh filsafat Yunani menganjurkan para pengikutnya untuk puasa. Sebelum berperang, konon bangsa Romawi mempuasakan pasukannya terlebih dahulu demi mendapatkan kemenangan. Suku Indian di Amerika melakukan puasa demi mendapatkan ilham dan mempertajam penglihatan gaib mereka. Hari Raya Nyepi di Bali misalnya, dijalani dengan ’menahan’ diri atas berbagai kegiatan. Biksu-biksu Budha sering melakukan puasa dalam rangka introspeksi diri. Tak hanya manusia, untuk mendapatkan kekuatan tersebut hewan-hewan pun misalnya menjalani ‘puasa’ mereka masingmasing. Ayam menjalani puasanya selama mengerami telur. Ular berpuasa demi menjaga kesehatan kulitnya. Ulat berpuasa selama menjadi kepompong hingga berubah menjadi kupukupu. Beruang, menjalani puasanya selama musim dingin dengan membuat liang di dalam tanah. Puasa mereka adalah 158


penghormatan kepada bulan, bintang Mars yang diyakini sebagai bintang nasib, dan kepada matahari yang kesemunya mengarah sebagai sumber kekuatan.

...para pecandu rokok itu berhenti karena bulannya puasa, atau karena puasanya itu sendiri? Jika kar karena bulannya, artinya, setelah Ramadan mereka kembali merokok. Tetapi, jika karena ena aktivitas puasanya, maka setelah Ramadan berlalu, mereka tidak akan kembali (’menahan’) untuk merokok. Pelbagai kisah sebagaimana dijelaskan menunjukkan begitu signifikannya hubungan antara puasa dan kekuatan. Dalam konteks menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan ini, seharusnya sudah dapat dibuktikan secara empirik bahwa puasa dapat menghasilkan energi dasyat sebagai kekuatan. Sesungguhnya, tidak amat terlalu sulit membuktikan hubungan puasa yang dapat berfungsi menjadi energi super dasyat (kekuatan). Bila saya boleh jujur, eksprimentasi (upaya uji coba) secara empirik dapat dilakukan bagi kita yang kebetulan ’kecanduan’ (mohon maaf) merokok. Bukankah 159


puasa dapat mendorong para ’pecandu’ rokok untuk berhenti? Pertanyaannya, para pecandu rokok itu berhenti karena bulannya puasa, atau karena puasanya itu sendiri? Jika karena bulannya, artinya, setelah Ramadan mereka kembali merokok. Tetapi, jika karena aktivitas puasanya, maka setelah Ramadan berlalu, mereka tidak akan kembali (’menahan’) untuk merokok. Mari kita sama-sama bereksprimen! Semoga. ***

160


(12) ‘INFRASTRUKTUR’

S

EBAGAI warga Riau helat akbar Munas Partai Golkar setidaknya menyisakan dua pertanyaan penting. Pertama, apa hubungan Partai Golkar dan listrik padam? Pertanyaan ini, bagi kalangan awam, utamanya Saya (boleh jadi Anda), amat sukar untuk dijawab. Oleh karena sukarnya mencari relevansi antara partai dan listrik padam. Kedua, sangat berbeda, apabila pertanyaan yang mengemuka adalah, apa hubungan penguasa negara dengan aliran listrik tidak padam? 161


Menjawab pertanyaan kedua, hemat Saya lebih mudah. Oleh karena, ianya terkait faktor jabatan wakil presiden (penguasa negara yang juga ketua umum partai Golkar saat itu). Dan kita pasti sependapat, tidakpun ada atau tanpa Munas, apabila wakil presiden berkunjung ke Riau, tentu saja kondisi infrastruktur (utamanya jalan dan listrik yang tidak padam) menjadi prioritas untuk dibenahi. Dalam konteks ini, terdapat spirite kekuasaan yang memotivasi dengan ‘terpaksa’ untuk melakukan perbaikan infrastruktur primer. Sesungguhnya, belajar dari sini, Riau dengan semangat penguasa lokalnya sudah menjadikan infrastruktur sebagai salah satu program unggulan bersama kebodohan dan kemiskinan.

...Alangkah naifnya (mubajir) apabila instansi tertentu mengalokasikan anggaran (melalui APBD) promosi ke luar negeri, sementara hal substansi (jalan, listrik, air dan keamanan) ini tidak mendapat perhatian super serius.. Sementara itu, persoalan listrik menandakan fenomena infrastruktur yang unik dalam hubungan dengan kebijakan pembangunan yang sedang berlangsung selama dan saat ini. Normalnya, kebijakan pembangunan infrastruktur mengimplementasikan pada lingkup yang terfokus, terkoordinir dan terkawal (aspek pengawasan). Landasan ďŹ losoďŹ s dan cetak 162


biru (blue print) yang belum sinkron atau memang tidak atau belum ada, menunjukkan bahwa persoalan infrastruktur primer termasuk listrik masih ada persoalan. Sehingga infrastruktur mendasar (primer) yang melingkupi, seperti jalan beserta perawatan rutinnya, air beserta pengelolaan dan listrik dengan audit kinerja serta formulasi prediksi kebutuhannya, belum memperlihatkan sesuatu yang terintegrasi (masih berjalan sendiri-sendiri). Memahami realitas itu, sangat ironis apabila pada konteks yang lain, gagasan perlunya investasi asing di negeri ini terus dijalankan. Semua kita pasti sepakat apabila keamanan adalah bagian integral dari faktor non fisik kebutuhan yang juga prasyarat (primer) bagi masuknya investasi (investor) asing. Alangkah naifnya (mubajir) apabila instansi tertentu mengalokasikan anggaran (melalui APBD) promosi ke luar negeri, sementara hal substansi (jalan, listrik, air dan keamanan) ini tidak mendapat perhatian super serius. Ditambah lagi, alasan mencari investor melalui studi banding ke pelbagai negara (Amerika, Eropa dan lainnya) yang apabila boleh jujur, lebih berbau plesiran, piknik atau makan angin. Menurut hemat penulis, terkait ‘studi banding’ ini, negeri kecil nan cerdik Singapura dapat memberikan inspirasi berharga bagaimana membangun infrastruktur yang baik. Membangun infrastruktur fisik yang baik, teratur dan ’tanpa korupsi’ itu, mengapa tidak mencontoh Singapura (bukan membandingkan) saja? Melayu yang menjadi jatidiri bagi anak negeri enggan digunakan sebagai tolak ukur pembangunan mental. Padahal Melayu yang selalu diidentikkan dengan Islam, secara filosofi memberikan rujukan yang jelas. Sebagaimana hadis menyebutkan, ’tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China.’ Hadis ini seharusnya menjadi inovasi dan kreasi yang dalam bahasa agama disebut dengan 163


’ijtihad’, dapat menghemat perjalanan kita untuk belajar, tidak perlu lagi sampai jauh ke negeri China. Riau sebagai provinsi yang letaknya berdekatan, selalu disebut sebagai kawasan strategis adalah karena garansi Singapura. Oleh karena itu, Singapura yang penduduknya mayoritas berasal dari China, bukankah dapat dikatakan apabila Singapura adalah ’identiďŹ kasi negeri China? Mengapa kita (para pejabat) tak hendak belajar saja ke negeri yang letaknya di depan mata ini? Anda pasti punya jawabannya!!!??? ***

164


(13) PLAZA, KEMEWAHAN DAN KETAKNYAMANAN

A

pa benar terdapat ketidaksejalanan (kontradiktif) kehadiran pusat perbelanjaan mewah (mall atau plaza atau kemewahan) dengan kenyamanan? Terkait keberadaan mall atau plaza (pusat perbelanjaan mewah) di Jakarta, apa yang dikeluhkan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, berdampak ketaknyamanan. Bahkan (sebagaimana banyak diekspose media), pemimpin yang low proďŹ l ini tidak (akan menghentikan) pemberian izin terhadap pembangunan mall 165


atau plaza. Menurut hemat Saya, idealnya kehadiran plaza dengan ketersediaan pelbagai kemewahan. logikanya atau lazimnya: sebuah kemewahan yang dikonstruksi secara inheren dengan kenyamaman, tidak harus berlawanan (kontradiksi). Begitu pula dalam pelbagai produk mulai dari entertaimen sampai ke bidang jasa, kemewahan selalu indentik atau sejalan dengan kenyamanan. Anda dan kita pasti sepakat: setuju! Beberapa waktu lalu, Saya dan seorang kawan berkunjung ke Plaza Indonesia (PI). Secara tak sengaja, kami melihat pameran (promosi) mobil baru, merek BMW News Seri dengan desain baru yang ruang tempat duduknya dapat dikatup (buka tutup). Hanya saja, Saya lupa jenis dan nomor serinya. Mengamati sambil menikmati pameran tersebut, tibatiba seorang kawan nyeletuk, ”Apa enaknya mobil mewah dan mahal? Mau digunakan di mana? Coba kita lihat di luar plaza dan sekitarnya? Lingkungan kumuh, parit berbau, jalan berlubang, belum lagi carut-marut kemacetan yang menjadi hiasan sepanjang jalan? Lalu, mau di pakai di mana mobil itu di Jakarta ini?” Menanggapi komentar (maksudnya celetukan atau gumamlah begitu) dari kawan tersebut, Saya sebenarnya tak enak hati. Walaupun bukan orang Jakarta, setidaknya Jakarta kan representasinya (wajahnya) Indonesia. Jakarta kan, barometernya Indonesia. Tambahan lagi yang tak dapat dipungkiri, Jakarta itukan ibu kota Republik Indonesia yang kita cintai! Jujur saja, sebenarnya keberatan Saya atas komenter kawan tersebut, sempat Saya kemukakan. Tetapi, dengan lantang ia mengatakan: ”Jakarta sebagai ibu kota saja, tidak ’becus’ diurus pemerintah dan pemdanya (mungkin dulunya, sekarang kan tidak: sudah mulai berbenahlah dalam hati Saya). ”Mengurus 166


Jakarta saja pemerintah tak selesai. Lalu, bagaimana pemerintah mau mengurus daerah?â€? Soal yang ini, saya tak banyak komen. Ya, begitulah realitasnya. Apa yang menjadi bahan diskusi atau lebih keren, boleh juga disebut omelan dari keluhan oleh kawan tersebut, menempatkan Segantang Minda berupaya ikut urun serta dan memberikan ruang diskusi yang dapat berfungsi sebagai rujukan, minimal. Ini disebabkan ketika mencari benang merah hubungan antara kemewahan dan kenyamanan pada substansinya. Ikhwal kemewahan dalam konteks sosiologis (kemasyarakatan) yang selama ini selalu disejalankan dengan kenyamanan tersebut, sesungguhnya di sanalah esensi persoalannya. Belajar dari kemewahan dan kenyamanan yang ditawarkan, seharusnya menjadi pegangan juga bagi daerah ini (Negeri Segantang Lada). Sebab jujur saja kita tidak boleh menutup mata. Ini, apabila kita disuruh memilih yang cukup signiďŹ kan. Misalnya, hubungan antara ketersediaan infrastruktur dengan kualitas pelayanan yang dihasilkan. Di daerah ini, apabila kita disuguhkan pilihan: antara insfrastruktur yang memberikan kemewahan minus pelayanan yang cepat, atau ketersediaan kesederhanan infrastruktur dengan plus pelayanan cepat, mana yang harus dipilih? Bagi Saya tidak sulit. Idealnya atau maunya sih, infrastruktur mewah dan pelayanan juga baik (cepat). Tetapi apakah yang ideal itu dapat terwujud atau diwujudkan? Soal yang ini, di sanalah letak masalahnya. Memang jarang (boleh jadi tak mungkin) kedua-duanya terpenuhi. Jika jujur boleh memilih, bagi Saya terkait pelayanan, biarlah infrastrukturnya (tempat atau kantornya) sederhana, tetapi pelayanannya bagus. Berbanding, kantornya ’megah nan menjulang’, tetapi pelayanannya di bawah kualitas. 167


Memaknai bahwa kemewahan tidak selalu berjalan seiring dengan kenyamanan dalam instrumen infrastruktur (plaza atau mall sebagai perumpamaannya), kita seharusnya menjadi sadar bahwa sederhana adalah ikon. Bukankah sejak dahulu kala, para tetua kita selalu mengingatkan, ’serakah’ itu adalah ’besar pasak daripada tiang.’ Itu saja. Suai????!!!! ***

168


(14) Berapa Buat Saya, Bukan Foto Teh atau Foto Susu

B

ila boleh jujur sejujur-jujurnya, Saya, Anda atau kita semua dipastikan akan terus merasakan bingung, bimbang dan was-was. Apabila kita tidak merasakannya, dipastikan bukan orang Indonesia asli (maksudnya, bukan penduduk Indonesia). Kalau begitu apakah perasaan bingung, bimbang dan was-was yang kita alami memperlihatkan jika Saya atau Anda sebagai 169


penduduk Indonesia? Segantang Minda sesungguhnya tak hendak menjawab pertanyaan tersebut sebagai orang Indonesia, melainkan sebagai penduduk Indonesia. Perbedaan antara orang dengan penduduk dalam konteks ini menjadi begitu signiďŹ kan. Ini disebabkan jika menjadi orang Indonesia, tetapi tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), bukanlah masalahnya. Yang menjadi masalahnya adalah apabila seseorang yang tinggal di Indonesia sekaligus pemilik KTP Indonesia. Ini baru masalahnya. Apa yang melatarbelakanginya? Yang menjadi altarnya adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (No 471.13/1826/ SJ) tentang larangan memfotokopi e-KTP (maksudnya Kartu Tanda Penduduk Elektronik) berulang kali. Saya terkejut! Dalam surat edaran ini, larangan memfotokopi berulang-ulang dapat merusak chip yang berada di e-KTP. Sebab jika boleh dihitung sudah puluhan kali saya memfotokopinya. Jujur saya tidak tahu. Mengapa baru sekarang diberitahu? Begitu dalam hati saya bergumam. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material (TIEM), e-KTP dapat difotokopi, tanpa merusak chip yang ada di dalamnya. Salah seorang pakar dari lembaga pemerintah nondepartemen ini menjelaskan secara teknis tak masalah e-KTP difotokopi. Tapi kalau secara hukum, biar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjelaskan, karena itu bukan ranah teknologi. Lalu bagaimana sikap Saya, Anda atau kita dengan dua pandangan yang seolah-olah berbeda dan ambigu terse but? Jelas dong bingung! Seolah-olah kesannya antara hukum (regulasi) dan teknologi berseberangan. Padahal esensinya, semestinya kan bukan itu. Yang esensi dalam konteks ini 170


hemat Saya terfokus pada ketidakjelasan, ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian yang bermuara pada sikap ketidakpastian dari lembaga pemerintah yang berwenang. Tidak lain opini publik akan mengarah pada satu titik: kan ini proyek! Di negeri ini lazim terdengar kalau semua yang berkenaan dengan proyek (fisik dan non fisik) yang mengedepan adalah cara berpikir: ‘berapa buat saya’. Memfoto Kopi, memfoto Susu atau memfoto Teh hanyalah bagian kecil dari kedinamikaan yang semuanya bermuara dari niat baik. Betapa tidak, persoalan terkait menajemen kependudukan belajar dari Malaysia dan Singapura, Indonesia tentu saja tertinggal jauh. Jangan dikatakan tak elok membandingkan antara Malaysia dan Singapura dengan Indonesia. Kedua nagara Asean ini penduduknya sedikit dan gampang diatur. Pendapat buruk sangka inilah yang harus dihindari. Pernahkah ditanya (untuk selanjutnya dilakukan penelitian) dalam hati para pemangku kepentingan di Singapura, Malaysia dan Indonesia terkait niat baik mereka? Opini terkait masalah jumlah penduduk dan besarnya wilayah sehingga sulit mengatur hanyalah pepesan kosong (kalau kosong pasti tak ada isi). Apalagi membenturkan antara regulasi dan teknologi menjadi tidak substansi. Kalau boleh jujur sesungguhnya cara berpikir, “Berapa Buat Saya” yang sudah mendarah daging dan berkarat (membudaya) yang menjadikan bangsa di negeri ini (teristimewa para pemangku kepentingan) tidak lagi meyakini berbuat baik dan benar (hidup jujur), tidak dapat bertahan hidup. Terus terang (bukan terus gelap), Saya lebih suka memfoto Susu atau Teh saja. Mengapa Susu atau Teh? Kan, bukan Kopi? Asal bukan, ‘Berapa Buat Saya’! *** 171


172


BAGIAN Keempat

MEMBINCANG IDEOLOGI YANG FILOSOFIS 173


174


(1) ‘KE BELAKANG’, BUKAN TERBELAKANG

AYA harus percaya, sementara kita diseduksi (terpaksa mengakui arti sebuah kebenaran) apabila perkataan ‘ke belakang’ itu, berasal dari sebuah jawaban pertanyaan: hendak atau pun mahu ke mana? Ke belakang, pastilah begitu selalu jawabannya.

S

175


Perkataan ‘ke belakang’ yang terdiri dari ‘ke’ sebagai kata depan, dan ‘belakang’ mengadung arti tempat itu merupakan ‘kebiasaan’ kita untuk ‘menyembunyikan’ atau ‘menghaluskan’ yang menggambarkan sebuah tempat. Kata belakang selalunya diasosiasikan sebuah tempat yang kotor, menjijikkan, seperti toilet atau kamar kecil: tempat pembuangan. Oleh karena itu, untuk menyembunyikan atau sebagai penghalus (eufimesme), tempat pembuangan limbah manusia tersebut diubah menjadi perkataan ‘belakang’. Coba dicermati sekilas, sungguh teramat susah mencari jawaban hubungan antara kata ‘ke belakang’ dengan tempat pembuangan limbah manusia tersebut. Padahal yang dimaksud dengan ‘ke bekalang’ adalah membuang limbah itu sendiri. Pertanyaannya: mengapa ketika hendak membuang ‘limbah’, kita harus terlebih dahulu permisi hendak ‘ke balakang’? Mengapa, kita tidak langsung saja permisi mau beol, pipis, buang air kecil atau besar atau …? Apakah kata ‘ke belakang’ merupakan simbol dari sesuatu yang kotor dan menjijikkan, sehinga harus diperhalus atau disembunykan menjadi ‘ke belakang’? Esensi tulisan ini ingin menegaskan minda kita (Anda dan Saya) bahwa sesungguhnya ‘belakang’ adalah representasi depan yang merupakan bagian dari kebersihan, kejujuran, keikhlasan dan transparansi (keterbukaan). Mari ubah minda (cara berpikir) kita bahwa belakang yang selalu diasosiasikan sebagai tempat menjijikkan dan kotor itu, sebenarnya (belakang) adalah representasi dari (simbol) kebersihan dan atau ‘kejujuran’. Dalam hubungannya mengubah minda itu, kesehariannya belakang yang merupakan wujud nyata dari toilet atau kamar kecil adalah indikator yang menjadi garansi bersihnya lingkungan umum, rumah pribadi atau representasi kebersihan 176


wilayah kota dan negeri Segantang Lada ini. Kemudan untuk selanjutnya, Singapura negeri kecil nan elok itu adalah yang patut menjadi referensinya (tempat merujuk). Di Singapura, mungkin kita jarang mendengar para khatib atau ustaz mengumandangkan sarahan bahwa, ‘kebersihan adalah bagian dari iman’. Ajaibnya, tanpa sarahan pun di serata tempat termasuk terminal laut dan udara kondisi belakang negara Singa itu, kontras dengan ’belakang’ yang kita miliki. Sangat gampang bagaimana mengamati minda ’ke belakang’ itu adalah kondisi realita pelabuhan (terminal), jalan berbauksit, pantai berminyak, ’limbah angkutan’ truk yang berceceran yang selalu didera oleh Negeri Segantang Lada yang bertetangga dengan Negeri Singa nan elok tersebut. Alangkah indahnya jika infrastruktur dasar, seperti jalan dan terminal pelabuhan dilihat berdasarkan filosofi ’ke belakang’. Maknanya, bagaimana wajah terminal dan jalan di ibu negeri Segantang Lada ini ini menjadi tolak ukur di daerah yang menjadi bagian sebagai ‘anak’ atau ‘cucu negeri’. Kebersihan Ibu Kota adalah cerminan kebersihan ‘Anak’ atau ‘Cucu’ Kota. Mengapa kita tak hendak mencoba dengan menggunakan filosofi ’ke belakang’ menjadi cerminan keberhasilan yang tidak rekayasa, alami. Misalnya, tanpa pelbagai penghargaan terkait kebersihan pun, jalan atau kebersihan ibu negeri ini sudah amat sangat dihargai oleh warganya sendiri. Penghargaan warga hanya ingin menghilangkan kesan rekayasa kebijakan yang penuh pamrih yang ujung-ujungnya kebersihan adalah proyek, bukan kesadaran. Sangat ironis jika pemerintah (pusat?) memberikan penghargaan bidang kebersihan dan ketertiban jalan, sementara tak ada satupun kebersihan dan ketertiban di Jakarta sebagi ibu kota yang perlu diteladani? Gubernur Jokowi 177


dan Wakilnya Ahok, boleh saja bangga karena mereka telah memulainya. Lalu kita? Saya sebagai warga malu dengan Singapura. Sebab kita maju hanya dalam berwisata sambil berbelanja, namun tak hendak belajar dan berguru kepada Singapura. Ternayata kita masih terbelakang! Suai! ***

178


(2) PENJAGA SUMPAH, BUKAN SUMPAHTOR

enomena sumpah-menyumpah, sumpah-seranah untuk ungkapan, menyumpah atau disumpah, belakangan ini menjadi trend tersendiri. Konon pengacara terkenal, Farhad Abas mempopulerkannya dengan istilah Sumpah Pocong. Segantang Minda ini tek hendak menelusuri hakikat atau pun ďŹ losoďŹ s terkait Sumpah Pocong tersebut. Melainkan berusaha memahami kelaziman setiap pejabat di negeri ini yang usai dilantik wajib di sumpah. Bukan apa-apa, ini disebabkan perhelatan terkait sumpah-menyumpah ini merupakan bagian dari amanah konstitusi negara.

F

179


Sebagaimana lazimnya sang pejabat, setelah dilantik sendiri atau secara simultan pasti disumpah. Menanggapi pelantikan dengan sumpat tersebut, seorang kawan mengajukan tiga pertanyaan kepada saya. Pertama, mengapa setiap pelantikan para pejabat harus disumpah? Kedua, apa konsekuensi bila sang pejabat melanggar sumpah? Ketiga, apakah dapat dikatakan para pejabat yang menerima ‘fee’ atau ‘uang lobi’ proyek itu adalah bagian dari melanggar atau ‘memakan’ sumpah? Pertanyaan pertama dan kedua bagi saya memberikan arti esensi bahwa sumpah adalah proses suci (sakralisasi) dari janji bagi setiap umat manusia menuju fitrahnya yang hanif (lurus), tidak bengkok atau menyimpang. Sementara, pertanyaan ketiga, memberikan inspirasi bahwa meminta, menerima atau mengambil sesuatu berdasarkan jabatan yang dipeganggnya dari sebuah proyek adalah termasuk kategori pengkhianatan yang diistilahkan dengan ‘makan sumpah’. Menengok sejarah singkat terkait dengan sumpah bagi seorang pejabat, tampaknya belum ada referensi yang dapat ditauladani. Sejatinya, sejarah (Islam) belum memberikan referensi berharga apabila sumpah jabatan ditambah dengan menggunakan (mushaf atau kitab suci?) Alquran (untuk seorang muslim) adalah sesuatu yang wajib, sunah atau mubah untuk dilaksanakan. Sebab, sejalan dengan itu juga belum ditemukan anjuran atau pensyariatannya berdasarkan dalildalil yang muktamad. Dalam hubungan itu secara sederhana dapat dilihat bagaimana ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya diangkat menjadi Khalifah, belum ditemukan adanya sumpah dengan menggunakan Mushaf. Begitu pula dua tahun kemudian, ketika Umar bin Al-Khattab seterusnya disusul Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, belum ditemukan hal serupa. 180


Sejauh yang ditemukan sejarah dalam konteks ini, pelantikan kepemimpinan (Khalifah) hanya mengenal istilah bai’at. Para sahabat bersalaman dengan Khalifah yang terpilih untuk dibai’at bersama menjadi pimpinan mereka. Esensi bai’at, boleh jadi tidak sama dengan esensi sumpah jabatan seperti sekarang ini. Bai’at ini, lebih pada proses pengtahkiman dari bawahan agar ‘setia’, khususnya pada atasan atau organisasi (institusi). Jadi sifatnya lebih pada sumpah setia dari bawahan (bottom up) kepada atasan (top down) atau dari anggota baru pada institusi atau kelompoknya. Belajar dari adanya bai’at itu secara diam-diam, ada juga kawan yang menyarankan dalam hal menjaga konsistensi kejujuran para pejabat dari berkhianat: bagaimana jika sumpah digantikan saja dengan bai’at? Ini dimaksudkan sebagai upaya membuktikan bahwa sakralisasi lebih menonjol berbanding sumpah yang seremonial yang terlalu sering untuk dilanggar (dikhianati). Bagi Saya, menanggapi usul tersebut, persoalaannya lebih pada hal yang birokratis. Paling tidak, syarat pertama perlu mengubah konstitusi tertinggi untuk ‘diamandemen’ pasal sumpah presiden diganti dengan bai’at presiden. Konsekuensi lainnya, boleh jadi akan menuai kritik bagi yang menolaknya. Apalagi, usulan ini terkesan ekstrim. Bai’at identik organisasi teroris. Oleh karena itu terlepas diterima atau tidak terkait sumpah menyumpah pejabat ini, Profesor Muhammad Saleh melalui pendekatan neuro-psiko-imunologi (ilmu syaraf, ilmu psikologi dan ilmu kekebalan) berhasil membuktikan apabila salat Tahajud dapat mengobati pelbagai macam penyakit, termasuk penyakit ‘berkhianat’ kepada sumpah! Saya semakin meyakini jika para ‘sumpahtor’ (orang yang melanggar sumpah) mempunyai jawabannya? Oleh karenanya, 181


kita pasti sepakat jika sumpah tidak dapat menjamin (garansi) jika para pejabat tidak korup (bengkok). Tanpa sumpah dan bai’at pun, malaikat Rakib dan Atid pencatat perbuatan baik dan buruk, tetap harus bekerja. Tampaknya tidak perlu lagi ada yang namanya ‘malaikat penjaga sumpah!?? ***

182


(3) BERMIMPI HADIRNYA UNIVERSITAS KREATIF DI PERBATASAN

elakangan ini ada berita yang tak sedap didengar tentang keberadaan sebuah universitas yang dianggap kapabel di negeri Segantang Lada ini. Taklah perlu Segantang Minda ini menyebutkan nama universitas tersebut. Biasa berita klise tak lepas dari permasalahan seputar transparansi dan kepemimpinan. Meski begitu, bagi saya yang lebih penting adalah memahami makna keberadaan universitasnya, teristimewa di kawasan perbatasan yang konon katanya strategis.

B

183


Meskipun keberadaannya bagai sebuah mimpi, biarlah. Yang penting Saya masih dapat bermimpi. Oleh karena itu, Segandang Minda ini dilandasi oleh sebuah mimpi indah akan kehadiran sebuah universitas kreatif di kawasan perbatasan, yang konon katanya strategis ini. Kehadiran sebuah universitas di perbatasan ditambah kawasan strategis, tentu tidak sama dengan yang tidak di perbatasan dan strategis. Kata kawasan strategis menjadi penting terkait dengan isu ‘persaingan’. Apalagi berbatasan dengan negeri tetangga yang bernama Singapura: negeri kecil nan cerdik. Agak ambigu memang harapan saya dan kenyataan yang ada terkait sering berita miring yang menghiasi media massa tentang keberadaan lembaga pendidikan ini daripada ‘tegaknnya”. Oleh karenanya maka tidak salah (berarti benar), apabila saya dan kita yang berada di perbatasan ini memerlukan kehadiran sebuah universitas kreatif. Sebab universitas ini adalah sebuah institusi yang dipimpin atau diselenggarakan oleh orang-orang atau ‘mereka’ yang kreatif. Sebagai universitas kreatif harus dibangun dari berbagai dimensi yang mengandung unsur kekreatifan. Tentu saja, misalnya, mengembangkan potensi-potensi ekonomi yang berbasis kreativitas di universitas. Meski begitu, saya tersenyum sejenak sambil merenungi, bagaimana jadinya dengan dimensi akademik universitas yang berbasis kreatif itu? Sebab banyak pilhan-pilihan atau pun alternatif yang perlu dikembangakan dalam universitas di perbatasan ini menjadi univeriats berbasis kreativitas. Misalnya saja dari sisi akademik, meskipun susah mencari istilah atau konsep yang sesuai, tetap harapan (niat baik) menjadi satu-satunya landasan kehadirannya. 184


Sebagai sebuah lembaga kreatif nanti misalnya, fakultas ekonomi jurusan manajemen mengembangkan ekonomi kreatif. Sementara fakultas keguruan dan ilmu kependidikan (FKIP), mengembangkan cara mengajar yang kreatif. Fakultas perikanan dan kelautan (FPK) mengembangkan perikanan dan teknologi menangkap ikan yang kreatif. Sedangkan fakultas teknik dapat melahirkan para insinyur yang kreatif (kreatif, misalnya, membangun jembatan Batam dan Bintan). Lalu bagaimana dengan fakultas ilmu sosial dan politik (FISP)? Jujur agak susah karena terkesan sensitif bila FISP ikut menggunakan istilah kreatif. Apalagi, misalnya ilmu politik kreatif. Khawatir terlalu kreatif yang selalu menyamakan lobi dengan uang (money politics) atau justru berbau ideologi kiri yang provokatif (komunisme, misalnya), bahaya! Sebagai sebuah universitas yang letaknya di perbatasan dengan mensinergikan beragam disiplin ilmu, dari teknik, FISP, perikanan dan ekonomi menimbulkan dinamika dengan variannya sendiri. Banyak istilah atau konsep baru dipastikan mengemuka. Dari semua dinamika dengan variannya itulah terdapat hal substansi. Perihal keterkaitan substansi itu mengacu pendeďŹ nisian kata kreatif yang umum. Kata kreatif mengandung dua pengertian. Pertama, kreatif diartikan memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk mencipta. Kedua, kreatif diartikan bersifat (mengandung) daya cipta atau pekerjaan yang menghendaki kecerdasan dan imajinasi. Pengeritan ini mewajibkan minimal tiga prasyarat yang harus terpenuhi untuk menuju universitas kreatif. Pertama, mengkreati$an transparansi anggaran. Artinya perlu mengkreati$an penggunaan anggaran di universitas dan fakultas. Berdasarkan realitas besarnya beban fakultas yang 185


merupakan representasi dari jurusan (prodi) terkait dengan tanggungjawab akreditasi, mestinya kebijaksanaan keuangan tidak terpusat (tersentralisasi). Kurang kreatifnya universitas memahami persoalan jurusan (prodi) melalui fakultas dipastikan mengalir sekaligus menghambat pelaksanaan menuju univesritas kreatif. Kedua, mengkreati$an soliditas (perekatan) hubungan antar penyelenggara lembaga. Ini dimaknai, pimpinan dengan ‘kekuasaan’ yang dimilikinya dapat mengendalikan, menekan, sekaligus membangun soliditas para pembantunya menuju universitas kreatif. Gaya kepemimpinan yang kreatif tentunya mengedepankan ketegasan sikap akan sangat membantu keutuhan penyelenggara yang dibangun berdasarkan kepemimpinan kolektif (tim) yang tidak hanya pada satu orang (seperti komando atau kerajaan). Ketiga, kreatif meminimalisir perburuan rente. Maksudnya memang agak klise alasannya apabila sejak dini perguruan tinggi harus dijauhkan dari berbagai terpaan isu perburuan rente atau ‘fee proyek’ dari mulai pengadaan hingga pembangunan fisik (pengadaan infrastruktur). Kalau pun tidak mampu, harus dikreati$an sistemnya yang membedakan dengan institusi lainnya (bukan perguruan tinggi). Misalnya saja di institusi lain yang selalu terdengar isu rentenya 30 atau 40 persen, dikreati$an menjadi (meski mustahil atau tak mungkin), 97-3 (rentenya 3 persen saja)! Saya meyakini apabila sudah terbiasa, melembaga dan menjadi budaya, tentu saja para pemburu rente (rentseker) pasti memakluminya.‘Harap maklum. Hai para rentseker (si pemburu rente), ini lembaga pendidikan. Begitulah penegasannya! ***

186


(4) EMPAT TEOREMA TENTANG ‘IBLIS’

erupakan sebuah aksiomatis (sesuatu yang tak perlu lagi diperdebatkan) berdasarkan cara pandang awam jika Iblis kehadirannya menjadi antipati pada bulan Ramadan. Keantipatian inilah sesungguhnya yang melatarbelakangi betapa signifikannya keberadaan Iblis pada bulan Ramadan untuk diperbincangkan lebih terbuka, logis dan objektif.

M

187


Terkait dengan keberadaan Makhluk Allah SWT yang bernama Iblis ini, Segantang Minda bermaksud berkontribusi mendesiminasikan sebuah Teorema Sosial (pengetahuan umum yang berkembang di masyarakat) tentang keberadaannya. Ini dimaksudkan pada konteks tertentu (hubungan Ramadan dan Iblis), tidak menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan. Sehingga keantipatian (hal yang berlawanan atau bertolak belakang) menjadi sesuatu realitas sosial baru dalam perbincangan dari yang eksklusif (tertutup) menjadi inkslusif (terbuka). Yang pada akhirnya, mendiskusikan tentang Iblis tidak lagi menjadi sesuatu yang negatif saja melainkan juga sesuatu yang positif. Sebenarnya istilah Teorema, populer digunakan dalam lingkup ilmu eksakta, tepatnya dalam hukum-hukum pelajaran matematika. Tidak ketinggalan, untuk membantu cara berpikir logis (atas dasar hukum matematika), konsep ini juga menjadi populer dalam ilmu sosial. Untuk mempermudah pemahamannya, Teorema secara sederhana dapat dideďŹ nisikan sebagai sebuah pernyataan yang sering digunakan dalam bahasa formal dapat dibuktikan atas dasar realitas keseharian. Ataupun sebuah realitas sosial yang keberadaannya tidak dapat dibantah (menjadi sebuah kebenaran logis) atau sesuatu yang aksiomatis. Dalam logika kita, sebuah Teorema adalah pernyataan dalam bahasa formal yang dapat diturunkan dengan mengaplikasikan aksioma dari sebuah sistem deduktif (cara berpikir yang umum menjadi khusus). Berdasarkan pada penjelasan singkat yang sederhana ini, maka dalam hubungan dengan Iblis, menurut kelaziman awam menurut hemat Saya, terdapat empat Teorema yang perlu diperbincangkan. Pertama, Iblis dengan Kiamat. Keberadaan Iblis selalu diasosiakan dengan Kiamat (hari akhir) yang memperlihatkan sebuah yang kontoversial. Penyebab 188


atau salah satu tanda-tanda akan datangnya kiamat umum dipahami awam berlangsungnya tindakan yang penuh dosa atau kejahatan yang selalu disebabkan oleh godaan iblis. Cara pandang awam ini yang menyebabkan sangat logis kalau yang paling khawatir datangnya Kiamat adalah Iblis itu sendiri. Cara berpikir yang kontradiktif, tetapi menjadi bagian dari dari Teorema tentang Iblis. Kedua, Iblis dengan Ramadan. Yang populer di masyarakat jika pada bulan Ramadan keberadaan Iblis dibelenggu (diikat). Pertanyaan yang muncul ialah, apakah tanpa Iblis sumber penyebab kejahatan secara otomatis pada Ramadan akan hilang (nihil)? Realitas kehidupan menujukkan hal yang berbeda. Kejahatan tidak pernah berhenti, sehingga pertanyaan laiannya yang sekaligus menjadi sebuah Teorema, tanpa Iblis pun kejahatan tetap saja berlangsung, tak terkecuali bulan Ramadan. Ketiga, Iblis dengan Ustaz. Umumnya ketika mengakhiri ceramahanya, seorang ustaz menyatakan begini: “Terimakasih. Semoga apa yang telah saya sampaikan yang baik datang Allah SWT dan yang jahat (tidak baik), datangnya dari Iblis. Menurut hemat saya, pernyataan ini terlalu ‘menyudutkan’ Iblis dan tidak logis. Ini disebabkan Allah SWT sebagai Yang Maha Pencipta disandingkan dengan Iblis. Padahal, bukankah Iblis adalah juga makhluk Allah SWT. Mengapa, Iblis tidak disandingkan dengan Rasulullah saja sehingga pernyataannya menjadi begini: “ Yang baik semua merupakan berkah dan petunjuk dari Rasulullah dan yang tidak baik, datangnya dari Iblis.” Keempat, Iblis dengan Neraka. Perkataan Neraka dan Iblis menjadi kausalitas (imbal balik). Umum dipahami jika bahan baku neraka yang selalu diperbincangkan adalah Iblis. Sehingga makhluk yang diciptakan dari api ini menjadi identik 189


dengan Neraka. Keidentikkan Iblis dan Nereka inilah yang menjadi Teorema keempat. Berdasarkan penjelasan ini, Bulan Ramadan sebagai bulan yang disucikan, mulia, berkah menjadi penting terhadap keempat Teorima tentang Iblis. Oleh karena itu pula penting diperhatikan, apakah makhluk ini kehadirannya sebagai bagian dari pengisi kehidupan atau merupakan ‘objek’ pelampiasan kesalahan bagi semua tindak-tanduk kejahatan yang dilakukan manusia? Ini tentu saja jika lazim dipahami bahwa Iblis pada Ramadan ‘diikat atau dibelenggu’, tentu saja di dunia ini tidak akan ada kejahatan yang terjadi. Pertanyaan retoriknya (yang tak perlu dijawab), apakah selama Ramadan memang tidak ada kejahatan? Sebagai bagian dari Teorema Sosial, tentang keberadaan Iblis, saya meyakini Anda sudah punya jawabannya! Suai! ***

190


(5) FENOMENA LEBARAN YANG ‘MENYESATKAN’

emasuki separuh bulan Ramadan dan menjelang yang selalu disenandungkan oleh para biduan dengan syairnya, ‘lebaran sebentar lagi, menjelang lembaran atau pun pulang di hari lebaran dan lainnya. Pelbagai judul dan syair lagu terkait dengan Lebaran tersebut berupaya merepresentasikan bahwa bulan Ramadan identik dengan sebuah perayaan atau Hari Raya yang tidak lagi kembali pada ‘fitrahnya’. Lebaran menjadi sesuatu yang kontraproduktif, bertolak belakang dari fitrah manusia yang ‘suci’.

M

191


Segantang Minda dalam bulan Ramadan ini, bukan hendak mendikusikan Lebaran dalam konteks perayaannya, melainkan fenomena negatif yang mengiringinya. Sehingga kefitrian (kembali kepada firah manusia) yang ada pada Lebaran setelah satu bulan berpuasa menjadi sebuah fenomena (gejala) yang menyesatkan. Untuk konteks Indonesia, ‘penyesatan’ inilah yang berlangsung secara terus-menerus dan diekspos oleh media. Berdasarkan pada realitas sosial yang menurut hemat saya ‘menyesatkan’ tentang Lebaran ini menjadi amat penting dicermati untuk kemudian didiskusikan dalam hubungan yang lebih empirik (sebuah eksprimen). Adapun empat peristiwa sosial yang ‘menyesatkan’ dan selalu diekspose media masa secara berulang-ulang yang dapat menghapus kefitrian Lebaran dapat dijelaskan berikut ini. Pertama, hubungan Lebaran dengan Inflasi. Menjelang Lebaran terdapat fenomena negatif yang disebut dengan Inflasi. Secara umum difahami bahwa Inflasi adalah suatu keadaan (peristiwa sosial ekonomi) di mana harga barang-barang secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung dalam waktu yang lama terus-menerus. Harga barang yang ada mengalami kenaikan dikarenakan ‘Lebaran’. Peristiwa Inflasi ini dapat menyebabkan gangguan pada stabilitas ekonomi di mana para pelaku ekonomi enggan untuk melakukan spekulasi dalam perekonomian. Inflasi juga dapat memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat akibat menurunnya daya beli masyarakat secara umum yang disebabkan harga-harga yang naik. Yang kemudian dampak bergandanya ialah distribusi pendapatan semakin buruk. Kedua, hubungan Lebaran dengan Konsumerisme . Secara umum sudah dimengerti jika Konsumerisme merupakan paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang 192


(mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan bahkan keberhasilan. Prilaku ini menunjukkan gaya hidup yang tidak hemat (boros dan mubazir) yang bertolak belakang dengan syiar agama. Ketiga, hubungan Lebaran dengan Calo. Sudah bukan rahasia umum lagi jika menjelang Lebaran selalu diasosiasikan dengan Mudik. Peristiwa sosiologis Mudik (pulang) di hari Lebaran ini menghasilkan prudok negatif yang disebut Calo. Fenomena kehadiran Calo menunjukkan ke khas-an (ciriciri khusus) yang hanya terjadi di Indonesia dan bertendensi negatif, manipulatif dan koruptif yang juga melanggar syiar. Untuk mengantisipasi keberadaan Calo ini pelbagai kebijakan pun dikeluarkan pemerintah dengan tidak menjual tiket di loket-loket pada minus tujuh atau plus dua Lebaran. Keempat, hubungan Lebaran dengan Kemiskinan. Menjelang Lebaran kecenderungan meningkatnya kemiskinan (orang miskin) di negeri ini menjadikan femonena yang membingungkan, dan jujur saja memalukan. Artinya, Lebaran selalu diidentikan dengan kemiskinan yang sesungguhnya amat melanggar syiar. Bahkan untuk mengantisipasinya pelbagai daerah telah mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA) sanksi bagi si pemberi dan penerima. Berdasarkan keempat gejala sosial yang terjadi di negeri yang mayoritas (hampir 90-an persen muslim), bahkan penganut Muslim terbesar di dunia memperlihatkan yang dalam hukum syariat, maaf menjadi ‘haram’. Betapa tidak jika amalan (perayaan) yang merupakan sebuah ibadah menjadi banyak mudharatnya (negatifnya) berbanding manfaatnya (positifnya), bukankah menjadi ‘haram’? Lebaran yang seharusnya mengembalikan kita kepada fitrah yang suci satu bulan beribadah puasa, menjadi ironis dan hilang kesederhaaannya. 193


Tanggungjawab umat Islam lah untuk mengubah cara pandang (gejala sosial) mengubah ‘penyesatan’ tadi menjadi pencerahan untuk mengembalikan Ramadan pada makna ‘hakikatnya’. Bagaimana cara membuktikannya? Secara eksprimen orang Islam yang mayoritas di Indonesia yang membuktikannya, bukan orang lain. Suai! ***

194


(6) ‘PULANG’ KE ‘RUMAH FITRI’

ebaran dan Mudik adalah dua konsep (kata) yang saling melengkapi, serasi, seimbang dan kontinuitas. Tanpa Mudik atau Pulang Kampung, maka tak afdal kata Lebaran. Begitu pula sebaliknya, tanpa kata Lebaran menjadikan Mudik kehilangan kesimbangan tematiknya.

L

195


Segantang Minda teristimewa menjelang Lebaran 1443 H ini, berupaya mengangkat dan menjadikan makna Lebaran dan Mudik ke dalam satu konsepsi interaktif kontinuitas, dan integratif dengan sebutan ‘Pulang’. Sehingga perkataan pulang dimaknai sebagai yang Sosiologis-Transendensi (sebuah ritual yang memasyarakat dalam kerangka menuju-Nya).

bukanlah sebuah proses dialektika, melainkan proses kontinuitas awal akhir (datang dan pulang)... Memaknai ‘Pulang’ dalam konsepsi transendensi ini mempunyai sudut pandang (perspektif) esensi-filosofisnya. Kata ‘Pulang’ dan ‘Fitri’ misalnya, memiliki esensi-filosofis yang konkruen (sama dan sebangun). Istilah konkruen terhadap kata Pulang, Fitri ini terkait dengan hubungan transendensi antara manusia (makhluq) dan penciptanya (khaliq). Hubungan transendensi tersebut ialah hakikat dari sebuah proses pulang (ingin kembali) kepada apa adanya atau Fitri. Realitas apa adanya atau kefitrian ini menunjukkan bahwa datang (lahir) dan kembali (pulang) yang lazim diucapakan ketika kita mendengar berita ada yang meninggal dunia

196


(berpulang ke rahmatullah) itu ialah hakikat proses ’pulang’. Oleh karenanya, kepulangan itu merepresentasikan sebuah proses awal dan akhir yang selalu menarik sebagai media kontemplasi. Begitu pula persamaan kata pulang yang dalam bahasa lebih ‘ekstrim’ disamakan dengan konsep ‘Lubang’. Kata atau konsep ini bukan bermaksud hendak mengedepankan unsur porno-biologisnya, tetapi berusaha meneroka perspektif filosofisnya, bukankah kita yang berasal dari Lubang (ketika dilahirkan) juga akan pulang ke Lubang (kubur)? Lubang sesungguhnya mendeskripsikan tempat asal di mana kita ke luar, dan lubang (kubur) pula sebuah tempat di mana kita kembali (pulang). Proses ini merekonstruksikan kedinamikaan kontinuitas eksistensi manusia yang dimulai dari bayi, dewasa dan kembali tua. Dalam konteks pemanusiaan (berpikir), pulang sesungguhnya sebuah konstruksi kontinuitas cara berpikir yang dimulai dari tidak tahu (kanak), menjadi tahu (dewasa/ baligh) dan renta (pikun/kembali ke kanak). Begitulah kita ‘Pulang’ dalam konstruksi pikir. Selanjutnya esensi pulang mengalami proses kulminasi pada setiap akhir Ramadan menyambut awal Syawal (Lebaran). Pulang menjadi identik dengan fitri (kembali ke fitrah). Lebaran sesungguhnya ialah penemuan identitas kemanusiaan dari yang Fitri (suci) kembali (Pulang) menjadi suci. Lebaran bukanlah sebuah proses dialektika, melainkan proses kontinuitas awal akhir (datang dan pulang). Ketika kita pulang (orang menyebutnya mudik) untuk merayakan Lebaran, ada kekuatan besar yang menseduksi (memaksa tanpa sadar). Itulah kekuatan sunatullah (kehendak Allah). Sesungguhnya ’Pulang Kampung’ ialah personifikasi transendensi dalam mengungkap identitas manusia secara Sunatullah. Oleh karena Pulang Kampung adalah sebuah 197


personifikasi, maka sesungguhnya ketika kita ’berpulang ke rahmatullah’, adalah sebuah realitas ’kefanaan’ menuju ’keabadian’. Karena abadi, maka kembali (Pulang) nya makhluq menuju Khaliq pun harus kepada fitrahnya yang suci. Inilah hakikat kefitrian ini setelah satu bulan berpuasa. Sehingga apapun yang terjadi dengan pelbagai fenomena negatif yang mengiringinya, Lebaran ialah tetap ‘simbolisasi’ kefitrian manusia. Mari kita ‘Pulang’ ke ‘rumah Fitri’. Minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin. ***

198


(7) KECERDASAN ‘IDENTITAS’

enjelang H minus tiga Lebaran, negeri ini dikejutkan dengan peristiwa pengeboman di Vihara Ekayana, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Ahad 4 Agustus 2013. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, dampak pengeboman tersebut dapat membawa malapetaka besar. Pengeboman rumah ibadah memberikan makna negatif bagi keberlangsungan kehidupan kemanusiaan secara universal.

M

199


Belajar dari peristiwa pengeboman (bom Bali I dan II), semestinya menggugah rasa kesadaran bagi si pelaku bahwa tindakan ini merupakan sebuah kebodohan kemanusiaan. Dari sinilah sesungguhnya mengapa Sagantang Minda perlu mengangkat isu kecerdasan sebagai kata kunci merespon tindakan bodoh tersebut. Oleh karena tindakan pengeboman atau kekerasan antara manusia ini selalu dilakukan dengan menggunakan atas nama agama sebagai pembenarnya (jastifikasi). Pelbagai penemuan penting terhadap hakikat kedirian manusia dari mulai yang disebut sebagai Kecerdasan Intelektual (intelectual quotient atau IQ) yang bersifat individual. Dilanjutkan dengan Kecerdasan Emosional (emotional quotient atau EQ) yang bersifat interaktif (habluminannas). Kemudian Kecerdasan Spritual (spritual quotient atau SQ) yang bersifat transendental (habluminallah), tidak menjadi obat penolak yang mujarab, melainkan memberikan secercah harapan teristimewa bagi ‘penghalalan’ pembunuhan atas manusia. Kecerdasan tersebut dari yang intelektual, emosional sehingga spritual, ternyata belum mampu dan teruji dalam memperkenalkan kedirian (identitas) akan kemanusiaan manusia sebagai yang dicipta (makhluq bukan khaliq). Sehingga pembunuhan atas manusia yang dilakukan oleh manusia menistakan kemanusiaan mereka. Ini disebabkan pembunuhan yang dilakukan mengatasnamakan tuhan oleh mereka (kelompok) justru yang menganggap dekat dengan Tuhan. Yang dalam bahasa kecerdasan, sesungguhnya kelompok ini sangat cerdas secara spritual. Sehingga perbuatan pembunuhan (pengeboman rumah ibadah) yang dilakukan seolah-olah ‘membela’ Tuhan pada saat yang sama juga mereka telah menjadi Tuhan-Nya. Berlatar belakang realitas atas nama kebodohan itulah 200


Segantang Minda berupaya memperkenalkan apa yang disebut dengan Kecerdasan Identitas (intelligence identity atau II). Kecerdasan ini bukankah hal baru, melainkkan simultansi (akumulatif) dari ketiga kecerdesan sebelumnya yang tidak dapat dipisahkan (terintegrasi). Ini disebabkan tidaklah memungkinkan (tidak masuk aqal) jika seseorang yang ibadahnya melebih dari orang rata-rata dengan ciri khas tertentu (misalnya ada tanda hitam dikening) menginginkan menjadi ‘pengantin’ bom bunuh diri untuk membunah orang lain. Sementara prilaku atau tindakan yang dilakukannnya disebut dengan jihad. Mereka ini dengan menggunakan cara pandang kecerdasan identitas ialah orang-orang atau kelompok yang bodoh secara intelektual, emosi dan spritual. Dalam hubungan ini menjadi fenomena menarik justru ketika sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama membolehkan ‘bunuh diri’ sebagai bagian dari tindakan perjuangan yang dianjurkan agama. Fenomena ini yang menghiasi media masa tiada henti ketika mendeskripsikan konflik Palestina dan Israel yang saat ini berimbas ke Suriah. Sehingga dampaknya sampai ke negeri ini. Sebenarnya terkait dengan upaya memahami Kecerdasan Identitas ini, pujangga agung dan bapak bahasa Indonesia asal Kepulauan Riau, Raja Ali Haji telah memulainya. Dalam Gurindam Pasal I disebutkan bahawa, “Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.”. Konsep mengenal diri sesungguhnya adalah pengidentifikasi (pengenalan) jati diri hakiki sesorang manusia yang menyadari bawa ia (siapapun) adalah manusia. Maka ketika kesadaran tentang kediriannya (indentitasnya) sebagai manusia, secara bersamaan, ia (orang tersebut) akan mengenal Tuhan sebagai Sang khaliq (pencipta). Dalam konteks ini, sesungguhnya ‘wajah’ Tuhan adalah 201


reeksi diri sebagai media determinan (cermin) jika ia adalah manusia atau makhluq, bukan khaliq atau yang mewakilinya. Dari sini baru muncul kesadarannya melalui tahapan kecerdasan intelektual (logika), emosional dan spritual bahwa ia adalah seorang manusia. Dan oleh karenanya, membunuh (mengebom) sesama manusia adalah kejahatan terbesar yang merupakan sebuah pengkhianatan terhadap penciptanya (khaliq). Oleh karena itu, secara sederhana dapat diambil konklusi bahwa, “barang siapa yang membenarkan pembunuhan antar menusia dengan menggunakan jastiďŹ kasi agama (apalagi atas nama sesuai kitab suci), sesungguhnya mereka adalah orangorang yang bodoh.â€? Orang-orang yang bodoh secara identitas! ***

202


(8) MANIFESTO MENOLAK ‘EMPAT PILAR’

alaupun setiap 1 Oktober diperingati sebagai hari ‘Kesaktian Pancasila’, kami (Saya dan beberapa orang teman) sampai saat ini selalu mengkritisi dengan mencoba mendefinisikan secara lebih aktual dan implementatif terkait apa yang dimaksud dengan Kesaktian Pancasila? Atau, apa benar Pancasila itu sakti?

W

203


Segantang Minda berupaya berkontribusi mendiskusikan perihal kesaktian ini, bukan hendak menggugat Pancasila sebagai falsafah (fundamen) negara, melainkan berupaya menempatkan eksistensi Pancasila sebagai Dasar Negara, bukan pilar. Dalam konteks ini terus terang diakui terlalu sukar memahami jika Pancasila dikatakan sakti apabila kita mendekatinya melalui makna denotatif (makna sesungguhnya, konkritnya atau aplikatifnya). Berbeda jika mendekatinya secara konotatif (kiasasan, bukan sesungguhnya atau riilnya). Berlaterbelakang pada realitas itulah sesungguhnya menjadi amat penting jika peringatan yang disebut hari ‘Kesaktian Pancasila’ ini dijadikan momentum bagi menolak secara tegas terkait dengan istilah empat (Pancsila, UUD1945, NKRI dan Bhineka Tinggal Ika) pilar yang disandang Pancasila sebagai dasar negara. Berlatar dari sini pula hasil dari diskusi rutin berpendapat perlunya sebuah manifesto politik guna menolak istilah empat pilar ini. Oleh karenanya pertanyaan khusus bagi Saya terkait perlunya manifesto dilahirkan minimal terdapat empat alasan penting. Pertama, istilah empat pilar telah mendegradasi Pancasila sebagai falsafah (dasar) negara Indonesia. Kedua, empat pilar menurut hemat Saya telah berdampak negatif terhadap keberadaan falsafah negara Pancasila. Ketiga, sejauh pengamatan yang dilakukan selama ini, ‘empat pilar’ telah menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi dari dasar negara yang kesaktiannya adalah kononatif (sebagai ideologi yang menjadi alat pemersatu bangsa untuk terus disosialisasikan oleh seluruh bangsa) menjadi alat kampanye politik oleh penyelenggaranya (pemangku kepentingan) untuk menaikkan elektabilitas dan meningkatkan citranya saja. Keempat, istilah pilar yang disandingkan dengan dasar, telah ‘menodai’

204


Pancasila sebagai falsafah negara. Bahkan dalam diskusi ini seorang kawan menegaskan jika terdapat kesepakatan (konvensi semantara di kalangan anak bangsa) Pancasila sudah direduksi menjadi pilar, maka sesungguhnya telah terjadi degradasi nilai. Ini mengandung makna, kita sama dengan mengatakan, Pancasila itu tidak penting lagi (bukan sebagai falsafah negara). Mengapa? Ini disebabkan kelasnya atau tingkatannya (levelnya) telah kita turunkan dari pondasi menjadi pilar. Belajar dari sikap kita tersebut, pengalaman Orde Baru memperlihatkan bahwa istilah empat pilar (4P) seperti hanya sekadar membalikkan saja dari P4 (pedoman penghayatan dan pengalaman Pancasila). Dari ini tampak semakin jelas memperlihatkan apabila penyebutan Pancasila sebagai pilar itu sudah sangat menyimpang (terdegradasi). Inilah yang menurut seorang kawan, ‘Ibarat membangun rumah, Pancasila itu sebagai pondasi. Pilar-pilar rumah boleh saja berubah, tapi pondasi tidak boleh dirubah sama sekali. Bagi Saya, sangat beralasan apabila sejumlah kalangan di negeri Segantang Lada (Pulau Batam khususnya) menolak keberadaan empat pilar dengan sebuah manifesto politik. Sebab apabila istilah empat pilar dengan alasan untuk mempermudah melakukan sosialisasi, sementara pada kenyataanya telah terjadi ‘degradasi’ (penyimpangan), bukan mustahil semakin lama, Pancasila akan kehilangan kesaktiannya. Perlu dipertegas, kehilangannya tidak saja secara denotatif melainkan juga konotatif. Oleh karena itu, Pancasila yang dianggap sebagai ideologi (falsafah) yang merupakan instrumen tertinggi (paling utama) dari sebuah identitas (kedirian manusia), ketika kehilangan kesaktiannya (sebagai sebuah analogi menjadi alat pemersatu

205


bangsa), maka yang tinggal hanyalah kehancuran. Kalau ini yang kita pilih dalam hidup berbangsa dan bernegara, maka tunggulah waktunya. Pasti ‘waktu yang ditunggu akan tiba. ***

206


(9) ATAS NAMA NEGARA

EJAUH yang saya ketahui belum ada jawaban yang menggembirakan berhubungan pertanyaan, “ Mengapa di dalam konstitusi tertinggi negara, tidak, belum atau ditemukan definisi konkret tentang negara?” Definisi negara tersurat atau pun tersirat, tidak mendapat penjelasan yang utuh. Oleh karena itu, negara dapat ditafsirkan sesuai kehendak warganya (termasuk para penguasa dan pejabat negara) berdasarkan pelbagai sudut pandang kepentingannya.

S

207


Berlatarbelakang itu, sesungguhnya kita memang tak hendak mencari dan menemukan ke mana hilangnya definisi negara itu di dalam konstitusi? Anehnya, kita (khususnya pejabat negara) tak pernah malu, ragu dan terlalu yakin ‘mengatasnamakan negara’. Ikhwal atas nama itulah, 64 tahun yang lalu ketika memproklamirkan kemerdekaan, Soekarno dan Hatta melakukannya atas nama negara (bangsa). Artinya, Soekarno dan Hatta dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, negara inipun berdiri dan ‘merdeka.’

Pak Harto penguasa Orba itu terkenal sebagai Bapak Pembangunan? Bahkan, atas nama kepentingan negara itulah, bagi warga yang tidak mau memberikan tanahnya untuk pembangunan (mungkin termasuk pembangunan lapangan golf kali ya) dapat dikategorikan sebagai pengkhianat negara atau bangsa. Masih berhubungan dengan kehidupan bernegara, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu, ketika didirikan juga hanya berdasarkan atas nama segelintir elite bangsa. Bukankah selama ini rakyat tak pernah diajak ‘berunding’ atau diberi pilihan melalui pemilu atau referéndum, misalnya tentang NKRI? Yang ada, sejak Saya (boleh jadi termasuk Anda) lahir di bumi pertiwi ini, NKRI sudah terlebih 208


dahulu ada. Namun begitu, bilamana kita (saya dan Anda) sepakat mau bereksprimen untuk memilih format negara yang lain, jelas tidak boleh. Eksprimen Anda, melanggar konstitusi! Yang ini, ada asas legalitasnya. Sebab, tersurat konstitusi menegaskan bilamana Anda mau mengubah NKRI, terlebih dahulu syaratnya harus mengubah konstitusi. Keadaan sangat berbeda ketika masa Orde Baru (Orba) yang mana penguasa dapat melakukan apa saja atas nama negara untuk pembangunan. Boleh jadi dari sana asal-muasal, mengapa Pak Harto penguasa Orba itu terkenal sebagai Bapak Pembangunan? Bahkan, atas nama kepentingan negara itulah, bagi warga yang tidak mau memberikan tanahnya untuk pembangunan (mungkin termasuk pembangunan lapangan golf kali ya) dapat dikategorikan sebagai pengkhianat negara atau bangsa. Ihkhwal atas nama kepentingan negara, tidak hanya Orba yang punya kisah sedih dan memilukan bagi warga negeri ini. Era reformasi, pembunuhan aktivis HAM Munir konon atasnama dapat membahayakan keamanan negara, maka nyawanya perlu dihilangkan. Terbaru yang sedang hangat menjadi headline pemberitaan pembunuhan Nasrudin, tak lepas juga dari doktrin untuk kepentingan negara, meski doktrin ini dibantah oleh penyidik. Belajar dari demi kepentingan, keamanan dan keberlangsungan negara, orang di negeri ini memang aneh. Boleh jadi keanehan disebabkan oleh karena konstitusi tidak memberikan kepastian yang jelas tentang deďŹ nisi negara. Wajar bilamana kepentingan individu (aktor penguasa dan pejabat negara) selalu berada dibalik kepentingan negara. Anehnya, fakir miskin dan anak yatim yang oleh konstitusi di pelihara negara, tak ada satupun para pentinggi, pejabat atau penguasa yang mau mengklaim menjadi bagian dari negara yang harus mereka lindungi. 209


Dengan begitu saya berharap tak ada lagi ‘orang miskin’ (bila kemiskinan tak lagi menjadi jargon) dan pengemis (bila mengemis tak lagi menjadi profesi) di negeri ini. Sebab hemat Saya, tanpa orang miskin dan pengemis, maka kita tak susah mencari perbedaan antara penguasa, pejabat atau penjahat yang mengatasnamakan negara!! ***

210


(10) ASAP DAN NEOLIBERAL

emikiran, paham atau ideologi neoliberal akhir-akhir ini menjadi perdebatan ‘liar’ yang tak fokus ke mana arahnya. Mulai dari debat capres hingga kolomnis dan pengamat ekonomi di Riau, turut serta berbeda sudut pandang dalam melihat apa itu neoliberal.

P

211


Tulisan ini memang tidak dapat dipisahkan dari perbedaan sudut pandang tersebut, tetapi saya tak hendak turut serta ’membela diri’ bahwa pendapat saya tentang neoliberal yang ‘paling benar’. Tulisan ini, hanya ingin mengungkap sebuah sudut pandang yang mencoba mencari relevansi empirik antara pemikiran, faham atau ideologi neoliberal dengan kabut asap di Riau. Pengalaman (empirik) menunjukkan bahwa penyelenggaraan kegiatan ‘Jalan Sehat’ Pekanbaru Pos menjadi agak kontradiktif akibat dicederai kabut asap. Kata sehat dengan deraan ’asap’ tentu saja bertolak belakang (kontradiktif). Oleh karenya alangkah nyaman dan sehatnya, apabila jalan sehat, tanpa ’kabut asap’. Seperti swalayan, restoran bandara atau tempat umum yang bersih, tanpa ’asap rokok’, misalnya. Persoalan asap (baca: kabut asap) di Riau apabila dilihat sebagai sebuah tragedi atau bencana, maka ia (asap tersebut) dapat dikategorikan sebagai simbol dari liberalisme (faham liberal). Bersandar pada pemikiran, faham atau ideologi ’neoliberal’, tentu saja dengan pengertian ada liberal yang lama (old). Sebab, neoliberal adalah liberal baru (berarti sebelumnya ada oldliberal). Dalam hubungan ini, apabila liberal yang lama (oldliberal) menyandarkan pemikiran, faham membentuk ideologi yang ’mentuhankan’ kebebasan individu dan kapital (modal), maka liberal yang baru (neoliberal) memposisikan kukuatan ’kolaborasi’ antara institusi keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF dengan kebebasan individu, pengusaha dan pasar. Bersandar pada sudut pandang tersebut, tidak salah apabila kabut asap sesungguhnya adalah bencana akibat industrialisasi yang ’mentuhankan’ kebebasan individu pengusaha (kapital) dan pasar, tanpa boleh turut campur negara. Boleh jadi benar ada anggapan selama ini jika ideologi liberal dibangun di atas 212


landasan filosofis keserakahan, ketamakan atau kamaruk. Maka di atas landasan itu pula, ideologi liberal dikenal dengan motto usahanya, ’bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya, tetapi meraup untung sebanyak-banyaknya’.

Semula di Riau yang hanya ada dua musim: panas dan penghujan, menjadi empat musim: panas, panas

penghujan, asap dan banjir.

Berdasarkan ideologi, landasan filosofis dan motto usaha, banyak kalangan berpendapat jika neoliberal adalah sangat berbahaya. Sebab, upaya melemahkan peran negara (pemerintah), menjadikan tolak ukur keberhasilan pembangunan dengan pertumbuhan dan ’sogok’ adalah bagian dari dinamika proses pembuatan kebijakan, dapat dibayangkan bagaimana kondisi hutan di Riau pada masa depan? Ketika kekuatan pengusaha yang tidak boleh diganggu gugat dan peran nagera menjadi lemah, maka setiap aturan main dalam proses pembuatan kebijakan yang diproduksi, akan mengarah dan pro kepada pengusaha hutan. Oleh sebab itulah, maka seolah-olah lumrah dan wajar apabila kebijakan investasi kehutanan di Riau kesemunya pro pengusaha. Kemudian akibat eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan, maka dari sini, asap akan menjadi industri yang tidak dapat dikontrol oleh 213


siapapun, termasuk negara. Oleh karenanya wajar dalam konteks kekuasaan ada pendapat yang mengatakan bahwa neoliberal itu dapat menghalangi seseorang untuk menjadi presiden. Rupanya, bukan hanya itu, neoliberal bahkan dapat mengubah keberadaan musim di negeri ini khususnya Riau. Semula di Riau yang hanya ada dua musim: panas dan penghujan, menjadi empat musim: panas, penghujan, asap dan banjir. ***

214


(11) ’NASAKOM’ DAN ’RIAU-ISME’

agi saya peristiwa bom bunuh diri (teror) di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada Jumat, 17 Juli 2009 lalu itu masih menyisakan pertanyaan. Sesungguhnya teror itu lebih memprioritaskan yang mana, antara target kuantitas (jumlah korban) atau kualitas (pengaruh bagi dunia)?.

B

215


Jika secara kuantitas, saya jadi penasaran, mengapa ikhwal waktu ledakan bom itu, tidak sabar menunggu para pemain MU yang akan menginap? Sementara secara kualitas, sampai saat ini belum ada pernyataan kelompok mana yang bertanggungjawab?

...mengapa semangat ke-Riau-an tidak dijadikan sebagai kekuatan ideologi yang menghasilkan isme politik atau ’Riau-isme’? Padahal sejatinya, Riau-isme atau rasa keriauan (memiliki Riau) adalah sebuah upaya menjadikan Riau ’milik’ semua orang. Atau dapat saja, si ’pelaku’ tidak melihat dari sisi kuantitas atau kualitas hasil produk kerja mereka! Jika benar tesis saya ini, lalu pertanyaannya, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi hasrat ingin ’mati’ bersama bom tersebut? Bukankah bom bunuh diri ini hanyalah episode lanjutan (kontinuitas) yang bermula dari peristiwa sebelumnya (Bom Bali I, II dan Bom Marriot I) ? Lalu apa target dan motivasinya? Boleh jadi Bung Karno benar. Ideologi nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang dibangunnya dengan konsisten dipertahankan. Ideologi capuran (mix) yang memang mengakar dan berkembang dari budaya masyarakatbangsanya itu, meski ditentang (karena tidak realistis), Bung 216


Karno tetap mempertahankan sampai akhir hayatnya. Bagi Sang Proklamator, Nasakom adalah sebuah hasil pemikiran keIndonesia-an. Sikap konsisten inilah, meski hasil pemikiran itu yang menyebabkan kejatuhannya dari singgasana kekusaan, tetapi justru di sanalah keunggulan beliau sebagai seorang ideolog (pencipta, pembangun dan peramu pemikiran). Begitulah jawabannya. Para ideolog selalu meyakini bahwa hasil pemikiran mereka dapat memotivasi dan mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan tertentu, terlepas benar atau salah tindakan itu. Target kuantitas atau kualitas hanyalah bagian dari proses kerja para ’pengikut’ ’Sang Pemikir’. Dari hasil pemikiran ’Sang Pemikir’ yang kemudian menjadi ideologi untuk diwariskan sebagai sebuah ’isme politik’. Sehingga, produk pemikiran itu dapat meyakinkan khalayak (para pengikut) bahwa tidak atau belum terakomodirnya sebuah kepentingan yang mewakili ’ideologi’ atau ’isme’ tertentu, teror bom atau ’tumbal diri’ adalah jawabannya. Berlajar dari pengalaman bom dan gagasan besar Nasakom yang dibangun Sang Proklamator memberikan arti filosofis. Ini khusus bagaimana membangun semangat ke-Riau-an. Persoalannya, mengapa semangat ke-Riau-an tidak dijadikan sebagai kekuatan ideologi yang menghasilkan isme politik atau ’Riau-isme’? Padahal sejatinya, Riau-isme atau rasa keriauan (memiliki Riau) adalah sebuah upaya menjadikan Riau ’milik’ semua orang. Perjuangan yang dimulai dari gerakan ’Riau Merdeka’, Federal dan Otonomi Khusus adalah perjalanan panjang menuju ke-Riau-an tersebut. Meski dibangun dari laterbalakang akar primordial yang berbeda, tetapi perjuangan itu dalam konteks tujuan yang sama: hidup aman dan damai. Artinya, paling tidak aman dalam perjalanan dengan kondisi jalan yang bagus, aman dalam menghirup udara yang sehat (tanpa asap), aman dalam 217


menikmati listrik (tidak lagi pagi hidup, siang mati, sore mati, malam hidup dan seterusnya), aman dari ketertindasan dan intimidasi kehadiran perusahaan multinasional (MNC), aman dari dampak keragaman (pluralisme) dan yang lainnya. Oleh karena itu asas menuju ke-Riau-an selalu berpijak pada ungkapan, ’di mana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung.’ Semoga. ***

218


(12) ’NOORDIN-ISME’

i tengah banyaknya apresiasi berupa penghargaan yang harus diberikan pada polisi atas keberhasilan mengungkap jaringan teroris pada Sabtu, (8/8) lalu, tersisa karaguan terhadap tertangkap (tertembaknya) gembong teroris yang paling dicari, Noordin M Top. Pengamat intelijen seperti Rohan Gunaratna Singapura, Sidney Jon Amerika, Hendro Priyono mantan Ketua BIN, meragukan bahwa yang tertembak hasil penggerbekan (bukan penyergapan) itu adalah Noordin M Top.

D

219


Secara tersirat melalui laporan media dengan pelbagai sumber menyimpulkan ’sementara’ bahwa kecil kemungkinan Noordin M Top yang tertembak.

membawa peluang besar bagi Nurdin untuk meneruskan faham (isme) yang mengajarkan bagaimana tatacara melalawan ’kejahatan’ Barat (AS dan sekutu baratnya) terhadap umat Muslim yang ’terzalimi’ khususnya di Palestina dan Afghanistan. Keraguan pengamat dan kesimpulan laporan media memberikan makna bahwa aparat keamanan, pertahanan, intelijen dan warga masyarakat masih memiliki PR yang berat bagaimana memberangus terorisme di negeri ini. Disebalik keraguan dan PR itu, sesungguhnya menurut hemat saya khusus dalam sudut pandang (perspektif) pemikiran politik, yang sangat berbahaya bukanlah Noordin M Top (per individu). Dalam sudut pandang pemikiran politik yang dikhawatirkan adalah pertama, hasil (produk) pemikiran Noordin M Top, dan kedua, setting sosio-politik (media atau wadah dari hasil pemikiran). Pertama, produk 220


(hasil) pemikiran menjadi keniscayaan yang sesungguhnya sangat membahayakan. Produk pemikiran Nurdin yang telah menjadi ajaran akan diwariskan oleh para pengikutnya yang fanatik dan begitu selanjutnya. Misalnya, doktrin ’mati sahid’ melalui bom bunuh diri dengan sasaran warga asing (’kafir’) adalah justifikasi pembenaran sebagai hasil dari pemikirannya. Melalui setting sosio-politik (media pemikiran) yang kondusif mengakomodir ajaran Nurdin dalam masyarakat yang terdera pelbagai krisis (ekonomi) adalah lahan subur tumbuh dan berkembangnya ajaran Noordin (saya menyebutnya dengan Noordinisme). Berkait-klindan dengan Nurdisme inilah, dilihat dari latarbelakang pemikirannya, bukanlah produk asli dari Nurdin. Hemat saya, sesungguhnya Nurdin hanyalah ’korban’ salah tafsir dari sebuah pemikiran yang merespon sistem politik otoriter Orde Baru ketika itu (era sistem politik otoritarian). Nurdin warga Johor, Malaysia, yang pernah belajar di salah satu pondok pesantren (di Johor) itu, sesungguhnya hanyalah produk (hasil) dari ajaran seseorang yang menjadi gurunya. Reformasi Indonesia membawa peluang besar bagi Nurdin untuk meneruskan faham (isme) yang mengajarkan bagaimana tatacara melalawan ’kejahatan’ Barat (AS dan sekutu baratnya) terhadap umat Muslim yang ’terzalimi’ khususnya di Palestina dan Afghanistan. Oleh sebab itu apa yang menjadi pertanyaan banyak kalangan: mengapa Nurdin yang orang Malaysia itu, melakukan aktivitas ’terornya’ di Indonesia? Menjawab pertanyaan ini, jika kita mau merefleksi ke belakang sejenak, sebenarnya hanyalah bagian dari kebodohan atau kelalaian kita saja. Sebab ajaran melawan kekerasan yang dipraktikkan Noordin adalah produk kita akibat tidak kondusifnya politik ketika itu yang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas berpolitik. 221


Tetapi persoalannya, mengapa setelah reformasi di mana azas berpolitik tidak lagi satu-satunya Pancasila, terorisme justru berkembang? Inilah sesungguhnya menurut hemat Saya pertanyaan yang harus dijawab oleh banyak kalangan, utamanya tokoh agama. Hemat Saya antisipasi sementara berkembangnya Noordinisme adalah jika semua tokoh agama dalam syiarnya berupaya tidak saling mengedepankan dan memperbesar perbedaan, melainkan persamaannya: bahwa agama adalah untuk kedamaian umat manusia. Semoga. ***

222


(13) ‘SUMPAH’

eberapa hari lalu pimpinan wakil rakyat (DPRD Provinsi) kita usai dilantik. Seperti biasa lazimnya pejabat, setelah dilantik secara simultan disumpah. Menanggapi pelantikan dengan sumpat tersebut, seorang kawan mengajukan tiga pertanyaan kepada saya. Pertama, mengapa setiap pelantikan para pejabat harus disumpah? Kedua, apa konsekuensi bila sang pejabat melanggar sumpah? Ketiga, apakah dapat dikatakan para pejabat yang menerima ‘fee’ atau ‘uang lobi’ proyek itu adalah bagian dari melanggar atau ‘memakan’ sumpah?

B

223


Pertanyaan pertama dan kedua bagi saya memberikan arti esensi bahwa sumpah adalah proses suci (sakralisasi) dari janji bagi setiap umat manusia menuju ďŹ trahnya yang hanif (lurus), tidak bengkok atau menyimpang. Sementara, pertanyaan ketiga, memberikan inspirasi bahwa meminta, menerima atau mengambil sesuatu berdasarkan jabatan yang dipeganggnya dari sebuah proyek adalah termasuk kategori pengkhianatan yang diistilahkan dengan ‘makan sumpah’.

...jika sumpah tidak dapat menjamin (garansi) jika para pejabat tidak korup (bengkok). kok). Tanpa sumpah dan bai’at pun, malaikat Rakib dan Atid pencatat perbuatan baik dan buruk, tetap harus bekerja. Menengok sejarah singkat terkait dengan sumpah bagi seorang pejabat, tampaknya belum ada referensi yang dapat ditauladani. Sejatinya, sejarah (Islam) belum memberikan referensi berharga apabila sumpah jabatan ditambah dengan menggunakan (mushaf?) Alquran adalah sesuatu yang wajib, sunah atau mubah untuk dilaksanakan. Sebab, sejalan dengan itu juga belum ditemukan anjuran atau pensyariatannya berdasarkan dalil-dalil yang muktamad. Dalam hubungan itu secara sederhana dapat dilihat 224


bagaimana ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat menjadi khalifah, belum ditemukan adanya sumpah dengan menggunakan mushaf. Begitu pula dua tahun kemudian, ketika Umar bin Al-Khattab seterusnya disusul Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, belum ditemukan hal serupa. Sejauh yang ditemukan sejarah dalam konteks ini, pelantikan kepemimpinan (khalifah) hanya mengenal istilah bai’at. Para sahabat bersalaman dengan khalifah yang terpilih untuk dibai’at bersama menjadi pimpinan mereka. Esensi bai’at, boleh jadi tidak sama dengan esensi sumpah jabatan seperti sekarang ini. Bai’at ini, lebih pada proses pengtahkiman dari bawahan agar ‘setia’, khususnya pada atasan atau organisasi (institusi). Jadi sifatnya lebih pada sumpah setia dari bawahan (bottom up) kepada atasan (top down) atau dari anggota baru pada institusi atau kelompoknya. Belajar dari adanya bai’at itu secara diam-diam, ada juga kawan yang menyarankan dalam hal menjaga konsistensi kejujuran para pejabat dari berkhianat, bagaimana jika sumpah digantikan saja dengan bai’at? Ini dimaksudkan sebagai upaya membuktikan bahwa sakralisasi lebih menonjol berbanding sumpah yang seremonial, terlalu sering untuk dilanggar (dikhianati). Bagi saya, menanggapi usul tersebut, persoalaannya lebih pada hal yang birokratis. Paling tidak, syarat pertama perlu mengubah konstitusi tertinggi untuk ‘diamandemen’ pasal sumpah presiden diganti dengan bai’at presiden. Konsekuensi lainnya, boleh jadi akan menuai krtik bagi yang menolaknya. Apalagi, usalan ini terkesan ekstrim. Bai’at identik organisasi teroris. Bagi saya, terlepas diterima atau tidak terkait sumpa menyumpah pejabat ini, Profesor Muhammad Saleh melalui pendekatan neuro-psiko-imunologi (ilmu syaraf, ilmu 225


psikologi dan ilmu kekebalan) berhasil membuktikan apabila salat Tahajud dapat mengobati pelbagai macam penyakit, termasuk penyakit ‘berkhianat’ kepada sumpah! Saya semakin meyakini jika para ‘sumpahtor’ (orang yang melanggar sumpah) mempunyai jawabannya? Oleh karenanya, kita pasti sepakat jika sumpah tidak dapat menjamin (garansi) jika para pejabat tidak korup (bengkok). Tanpa sumpah dan bai’at pun, malaikat Rakib dan Atid pencatat perbuatan baik dan buruk, tetap harus bekerja. Tampaknya tidak perlu lagi ada yang namanya ‘malaikat penjaga sumpah.!!?? ***

226


(14) ’ABRAHAM’ DAN IDUL KURBAN

ELANG memperingati Hari Raya Haji, Hari Raya Kurban atau Idul Adha, Saya bersama rekan-rekan melakukan diskusi. Isu diskusi terkait dengan Hari Raya Kurban. Dalam diskusi ada banyak pertanyaan yang mengemuka yang sempat mengusik semangat intelektual Saya dan rekan lainnya. Di antara pertanyaan itu sungguh sukar untuk dijawab. Sukar dikarenakan, apabila salah menjawabanya, dapat membawa padah (bencana). Atau boleh juga pertanyaannya diklasifikasi sebagai pertanyaan ’retorik’ saja, sehingga memang tidak memerlukan jawaban.

J

227


Salah seorang teman bertanya begini, ’Apakah benar Abraham itu adalah Ibrahim? Jika benar, apakah Abraham itu adalah seorang yang membangun Kabah atau Baitullah (rumah Allah)? Dan jika benar, lalu teman saya itu melanjutkan dengan pertanyaan, Apakah Kabah itu milik ’umat manusia’ atau milik umat ’Islam’? Saya tak hendak menjawab pertanyaan tersebut. Selain bukan ahlinya, cukup berbahaya apabila salah menjawabnya. Meski begitu, hemat saya tak salah apabila menyambut Hari Raya Kurban ini, kita (Saya dan Anda) berusaha menjawab pertanyaan, sesungguhnya hikmah apa yang dapat dipetik dalam memperingati Hari Raya Kurban tahun ini? Terlepas dari perdebatan berdasarkan sudut pandang sumber di kitab suci, siapa sebenarnya antara Ishak atau Ismail yang dijadikan ’kurban’ (disembelih), sesungguhnya ada banyak hikmah yang perlu dipelajari. Bagi saya (boleh jadi Anda), memperingati Hari Raya Haji hikmah yang terkandung di dalamnya adalah semangat besar (grand spirit) dan semangat menengah (middle spirit) yang melingkupinya. Semangat menengah dimaknai sebagai tingkah dan sikap kepada Sang Pencipta dalam posisi kita sebagai manusia. Sikap itu dalam perspektif universal (seluruh alam) yang dikenal dengan ikhlas, ikhsan dan iman. Sementara, semangat besarnya (grand spirit) dimaknai dengan taat (tunduk, patuh dan tanpa argumen). Ini dapat dicontohkan, misalnya mengapa umat manusia diharamkan (dilarang) memakan daging babi. Tidak makan daging (dilarang), bukan karena implikasi negatifnya (karena ada cacing vita), melainkan karena taatnya. Jadi, spirit besarnya adalah taat (patuh dan tunduk), bukan yang lainnya. Berdasarkan argumentasi tersebut sesungguhnya dapat kita uji bahwa semangat itu berasaskan hukum universal: rahmatanlil ’alamin (anugerah bagi sekalian alam). Secara 228


implementatif sangat logis dijelaskan apabila semangat berkurban dilandasi atas keuniversalan. Misalnya, kita tidak meminum alkohol atau tidak merokok, bukan karena perdebatan hukum (syariah) antara haram, makruh atau halalnya, melainkan ingin berkurban untuk kepentingan yang lebih besar. Artinya, dengan tidak merokok berarti kita membantu mengurangi polusi dan menghargai orang lain untuk tidak menghirup asap yang akan diproduksi dari aktivitas merokok kita. Lebih jauh semangat berkorban dalam grand spirit maupun midle spirit memberikan makna guna mengimplementasi ikhlas (berbuat tanpa pamrih), ikhsan (yang baik harus dikerjakan yang jahat wajib ditinggalkan di mana pun, karena kita beranggapan Tuhan selalu mengetahui/melihat), iman (percaya berlandaskan ilmu) menuju taat (patuh, tunduk dan pasrah). Dalam proporsi seperti inilah misalnya ketika orang menyaksikan (menonton) ďŹ lm 2012, tidak lagi dianggap bahkan ’dituduh’ syirik. Sebab, grand spirit dan midle spirit Hari Raya Kurban adalah hakikat dari menambah dan sekaligus mengaplikasikan rukun iman kelima bahwa hari Kiamat itu pasti datang. Kapan? Ketaatan berdasarkan ikhlas, ikhsan dan iman itulah kita serahkan kepada yang Maha Kuasa. Terserah Kapan!!!!???? ***

229


230


BIODATA PENULIS M'<>@Z A\^@_`{_@, lahir di Kijang, Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia menggeluti bidang jurnalistik sejak mahasiswa yang aktif di Surat Kabar Kampus (SKK) Bahana Mahasiswa Universitas Riau. Sementara pengalaman profesional bekerja di bidang jurnalistik dimulai di Harian Pagi Riau Pos, Redaktur Padang Ekspres, Redaktur Pelaksana Majalah Budaya Sagang, Redaktur Minggu Riau Pos, Redaktur Opini Riau Pos dalam Riau Pos Group. Pengalaman jurnalistik di luar Riau Pos Group adalah, koresponden Harian Ekonomi Bisnis Indonesia dan koresponden Majalah Mingguan Berita Tempo di Malaysia. Hasil tulisan Muchid Albintani sudah tersebar di pelbagai media massa lokal (Riau Pos, Batam Pos, Pekanbaru Pos, Padang Ekspres, Semarak, Genta, Sempadan, dll). Media nasional di antaranya, Harian Kompas, Bisnis Indonesia, Tempo, Media Indonesia dan Jawa Pos. Dalam penerbitan buku, selain penulis juga sebagai editor. Buku yang dieditorinya antara lain: “DPRD Riau Digugat: Kilas Balik Pemilihan Gubernur Riau (1993-1998)”, “Riau Menatap Masa Depan: Kepemimpinan Era Reformasi”. “Teluk Meranti Tertatih Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2009”. Kemudian bersama Abdul Kadir Ibrahim (Akib), ia menulis buku biografi, “Abdul Manan Saiman: Cakap Rampai Orang Patut-patut”. Menulis buku the best seller versi Gramedia Pekanbaru yang berjudul, “Dari Riau Merdeka Sampai Otonomi Nol” dan “Berburu Rente di Perbatasan: Menolak Pembangunanisme di Riau Kepulauan”. 231


Saat ini, ia bekerja sebagai ASN dan pendidik di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau. Alumni Jurusan Ilmu Pemerintahan Unri ini, memperoleh gelar S2 Master of Philosophy (M.Phil) di Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 2004. Sedangkan gelar S3 Philosophy of Doctor (PhD) diperolehnya pada universitas yang sama tahun 2013. Ia juga anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta, dan pemegang SertiďŹ kat Hypnotherapy (CHt) serta SertiďŹ kat Instruktur (CI) dari IBH. ***

232


233


234


235


PILIH INDIAN, ABORIGIN ATAU SUKU LAUT Belajar dari Ahok memang ada yang menarik direnungi. Sesungguhnya kalau mau adil atau agar lebih fair sedikit saja, seharusnya di Australia yang menjadi Perdana Menterinya, bukan pendatang dari Eropa, tetapi Orang Aborigin. Atau di Amerika, bukan migran yang asal Eropa, tetapi Orang Indian. Yang kalau di Riau, tentunya Orang Sakai. Dan yang terakhir di Kepulauan Riau, mengapa #dak diberi kesempatan Orang Suku Laut untuk menjadi Gubernur. ‘KESOMBONGAN’ KONSTITUSIONAL Hemat saya, sejarah Orde Lama ialah tempat bangsa ini berguru jika keruntuhannya akibat kejahatan kons#tusional oleh seorang presiden yang mengangkat dirinya seumur hidup. Sementara Orde Baru mengajarkan kepiawaian menempatkan kesakralan ‘kons#tusi’, sehingga tetap dipilih menjadi presiden hampir seumur hidup. Sedangkan Orde Reformasi mengajarkan sebuah ‘kesombongan’ kons#tusional dari mereka yang duduk di sebuah lembaga kons#tusi yang enggan diawasi. KEDAI KOPI TANPA ROKOK Apabila ada yang #dak setuju dengan argumen Saya, silakan. Menurut hemat Saya, merokok bukanlah bagian dari HAM. Sudah umum difahami suatu hak yang disebut asasi apabila tanpa hak berkenaan derajat dan martabat manusia berkurang. Maka jika sifatnya hanya tambahan, itu bukanlah HAM. Oleh karena itu merokok dapat diketegorikan hak, tetapi hanya pelengkap saja (hak yang tenta#f, bukan asasi). Jadi merokok bukan bagian dari HAM. Hemat Saya, berdasarkan pelbagai penjelasan ini, pertanyaannya: Mengapa kita tak hendak bereksperimen untuk membuka (membangun) kedai kopi yang tanpa asap rokok? Mari buk#kan, tanpa asap rokok (si perokok) pun, konsumen pas# akan ramai mendatangi kedai kopi Anda! Dan namakan dengan, ‘Kedai Kopi Tanpa Rokok’! ‘KE BELAKANG’, BUKAN TERBELAKANG Sangat ironis jika pemerintah (pusat?) memberikan penghargaan bidang kebersihan dan keter#ban jalan, sementara tak ada satupun kebersihan dan keter#ban di Jakarta sebagai ibu kota yang perlu diteladani? Gubernur Jokowi dan Wakilnya Ahok, boleh saja bangga karena mereka telah memulainya. Lalu kita? Saya sebagai warga malu dengan Singapura. Sebab kita maju hanya dalam berwisata sambil berbelanja, namun tak hendak belajar dan berguru kepada Singapura tentang menata parit misalnya. Ternyata kita masih terbelakang!

Muchid Albintani saat ini bekerja sebagai ASN dan pendidik di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poli#k (FISIP) Universitas Riau. Alumni Jurusan Ilmu Pemerintahan Unri ini, memperoleh gelar S2 Master of Philosophy (M.Phil) di Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 2004. Sedangkan gelar S3 Philosophy of Doctor (PhD) diperolehnya pada universitas yang sama tahun 2013. Ia juga anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta dan pemegang ser#fikat Hypnotherapy (CHt) serta Ser#fikat Instruktur (CI) dari IBH.

236


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.