BRAINSHOCKING Membongkar Kembali Metode dan Ruang Eksperimentasi Proses Kreatif

Page 1

BRAINSHOCKING Membongkar Kembali Metode dan Ruang Eksperimentasi Proses Kreatif

Rusnoto Susanto


Hadiah sederhana untuk seni rupa kontemporer Indonesia


Pengantar Penulis

Semula saya memperoleh insight dari pernyataan James Mapes bahwa ‘berlian diperoleh dari mengaduk-aduk ratusan ton batu yang tak berguna’. Untuk menemukan sesuatu yang bernilai bukanlah suatu hal mudah, murah dan cepat diperoleh namun membutuhkan visi yang tegas, kemauan bekerja keras, etos kerja yang luar biasa, dedikasi terbaik, dan kesabaran yang luar biasa dalam melakukan penghayatan sekaligus tempaan proses perolehannya. Nilai estetik juga digali pada konteks analogi yang sama, bahwa nilai estetik tidak begitu saja lahir ketika kita bermimpi dan begitu tersentak dari mimpi lantas sesuatu yang kita impikan sudah didepan mata. Impian sesungguhnya perjuangan dengan sejumlah argumentasi neurologis dan nyali psikis sebagai bagian dari manifestasi hasrat yang menuntut serangkaian tindakan beserta penghayatan untuk merealisasikannya. Realisasi impian dilakukan untuk menemukan titik temu yang jelas antara dunia gagasan dan proses nyata mewujudkan sebuah nilai tertentu yang diidealkan. Insight yang luar biasa dari Mapes tersebut menjadi bagian penting dari spirit saya menulis dan menyusun atau mengkonstruksi pemikiran-pemikiran sederhana dalam keseluruhan pembahasan buku ini. Point utamanya adalah keinginan membongkar kembali, melacak detaildetail dari proses penciptaan seni yang menurut saya tidak sederhana. Mulai dari hasrat untuk menelisik beberapa pokok masalah baik persoalan gagasan konseptual, teknis, prosedur, pendekatan, metode, riset, maupun menggeledah prinsip-prinsip eksperimentasi yang melatarbelakangi sebuah karya itu muncul dan bagaimana nilai-nilai yang dimunculkan kemudian menjadi penting. Penulisan ini adalah proses menyaring inti berlian dengan membongkar bongkahan bukit berbatu, menyaring tanah dan lumpur, kemudian mengaduk kembali dengan berbagai proses eksperimentasi yang tidak sederhana dan rentang waktu yang panjang. Wacana Brainshocking terinspirasi metode brainstorming, yakni metode kuno yang terusmenerus diperbaharui esensi dan interpretasinya. Disesuaikan dengan konteks persoalan yang berkembang dan konteks waktu yang menempa metode ini. Brainshocking merupakan proses mental ‘guncangan otak’ atau semacam upaya melakukan kejutan secara neurologis dalam menemukan gagasan imajinatif, proses penciptaan seni, dan perluasannya yang memberi efek kejut selanjutnya pada orang-orang di sekitarnya. Brainshocking memberi pengaruh proses produkivitas gagasan kreatif selanjutnya pada diri dan orang di sekitarnya. Wacana ini masih mengikat hampir keseluruhan metode brainshocking namun menekankan pada visi dan efek bagaimana sebuah gucangan otak dimulai dari kesadaran kita untuk memperoleh gagasangagasan imajinatif yang menekankan dan memiliki efek psikologis. Pada proses penggalian gagasan kreatif dimulai dengan menumbuhkan kesadaran melakukan lompatan quantum dan lompatan-lompatan batasan, melakukan berbagai hal baru yang sama sekali belum dilakukan bahkan belum terpikirkan. Begitu banyak seniman dengan pemikiran-pemikirannya yang brilian tak dapat terurai dengan teks-teks yang benderang, begitu banyak variabel-variabel untuk melakukan pendekatan terhadap proses kreatif seniman yang tidak mampu membuka keseluruhan misteri emosi dan


kedalaman pemikiran-pemikirannya. Berbagai hal yang menyebabkan situasi tersebut mengedepan, diantaranya: seniman tidak cukup terbuka untuk menyampaikan pemikiranpemikirannya, cukup banyak seniman kurang terampil mentransformasi gagasan ke dalam bentuk teks maupun artikulasi verbal, dan lemahnya kesadaran mendokumentasi sejumlah gagasan penting ke dalam dokumentasi teks maupun dokumentasi visual berkaitan proses kreatifnya. Hal ini butuh komitmen dan keputusan-keputusan besar maupun tingginya kesadaran untuk merespons. Sebuah keputusan-keputusan besar dan karya-karya monumental sesungguhnya dipicu oleh adrenalin proses brainshocking. Sesederhana apapun proses tersebut dilakukan untuk menemukan sesuatu yang benar-benar diluar kebiasaan secara neurologis maupun secara psikologis merupakan buah dari peristiwa berlangsungnya kejutan sistem kerja otak. Pra wacana brainshocking dilakukan ketika kita hendak menyatakan tesis-tesis penting dalam wilayah pemikiran dan tindakaan kreatif yang berhubungan dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan apa saja yang menjadi orientasi kreatif. Sebentuk manifestasi kreatif yang mampu mengejutkan pemikiran, kesadaran diri dan orang lain dalam mengubah sudut pandang tertentu ke dalam cara pandang baru yang lebih segar, kontestual, imajinatif dan revolusioner. Tinjauan neurologis pada penulisan ini bahwa pada proses kreatif, seorang seniman mengeksplorasi kekuatan otak secara leluasa dengan memberikan treatment kejut melalui berbagai cara: baik memikirkan, membayangkan, dan melakukan berbagai hal baru yang sama sekali tak pernah ia lakukan kendati sudah diekplorasi banyak orang. Efek kejut maupun guncangan pada saraf otak memiliki dampak fisik maupun psikologis yang positif dalam meremajakan, menguatkan, dan menajamkan kembali kepekaan otak dalam mengolah kecerdasan sehingga menghasilkan output yang mencengangkan. Seni berada pada ruang bebas dan cair untuk membuka berbagai kemungkinan melalui tindakan-tindakan eksperimentatif baik mencampur, memisah, menipiskan, menebalkan, mengeraskan, melunakan, mengiris, memotong, menyambung, mengurang, menambah, menekan, mengangkat bahkan membuangnya sama sekali, dan merevitalisasi menjadi sesuatu yang baru. Kesadaran atas kebaruan-kebaruan ini menjadi picu kinerja otak dengan segenap jalinan pusat-pusat kecerdasan yang mengarah pada titik orientasi kreatif untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang lebih kontekstual dan fresh. Saya membayangkan ketika seni visual mengambil peran ini sebagai titik pijak brainshocking dalam kegiatan mental training, niscaya terjadi proses identifikasi dan pengayaan nilai estetik. Dan, menegaskan kembali bahwa seni dan gagasan-gagasan gilanya muncul dari hasil kinerja otak kanan. Maka dalam pembahasan buku ini seringkali ditekankan terus-menerus tinjauan ini ditegaskan. Buku ini memberi gambaran ringkas sebuah relasi dari berbagai pandangan dan disiplin ilmu untuk menemukan pokok-pokok seputar aktivitas kreatif bagaimana gagasan imajinatif dipicu dari kekuatan imajinasi, ketajaman intuisi, pengembaraan atau berbagai eksplorasi, dan kesadaran mengoptimalisasikan kinerja otak kanan yang langsung berkaitan dengan kajian neurosains. Begitu banyak konsep pemikiran para ahli yang diserap sebagai suplemen dalam menguatkan pandangan-pandangan mengenai brainshocking. Tentu saja materinya tak sepenuhnya mengejutkan, namun bisa dilacak tiap detail pemikiran yang dipaparkan pada bagianbagian buku ini.


Bagian Pertama, Pra Wacana Brainshocking dan Quanta Energi Kreatif. Brainshocking memicu berbagai sikap dan tindakan dengan apa yang biasa disebut lompatan quantum. Sebuah langkah baru yang radikal menjadi ciri khusus sebuah lompatan quantum dieksplorasi pada batas maksimal, meski tak ada batasan dan kepastian sebuah lompatan quantum yang terus-menerus bergerak menemukan titik-titik pencapaian tertingginya. Eksplorasi imajinatif membuka ruang kreativitas baru dan kemahaluasan realitas yang serba niscaya. Sebuah keniscayaan terbuka luas ketika ekplorasi-eksplorasi imajinasi dan pemikiran digerakkan secara berkesinambungan dengan treatment-treatment neurosains dengan orientasi kreatif akan membuka segala kemungkinan baru. Kemungkinan-kemungkinan muncul dari sesuatu yang sebelumnya temaram bahkan gegap gulita sekalipun menjadi benderang. Tindakan kreatif, intuitif, dan eksperimentatif selalu membuka ruang-ruang bagi lahirnya gagasan dan kemungkinan baru yang ebih eksploratif. Kreativitas mengeksplorasi imajinasi dan pemikiran kritis secara langsung mengkondisikan kinerja otak secara aktif untuk mencari dan mengembangkan gagasan-gagasan baru secara terus menerus. Eksplorasi kreatif senantiasa berusaha mencari pola-pola dan pendekatan-pendekatan dengan berbagai cara yang berbeda untuk melakukan sesuatu dengan menjelajahi kekuatan pikiran dengan mengeksplorasi hal-hal yang baru. Wacana brainstorming menarik benang merah sejumlah disiplin ilmu pengetahuan untuk mengonstruksi termasuk di dalamnya berbagai perspektif neurologi, psikologi, antropososial, antrovisual, perspektif lompatan quantum dan estetika. Sudah barang tentu wacana semcam ini dianggap asing karena (masih dini dan belum banyak dibicarakan) perlu waktu untuk membuktikan berbagai tesis yang dikembangkan dan tinjauan kasus-kasus yang spesifik. Namun saya berupaya memaparkan berbagai analogi yang berkaitan dengan brainshocking sebagai pendekatan kreatif melaui tinjauan kemunculan ilmu pengetahuan, kasus-kasus proses kreatif dan karya seni monumental. Kasus-kasus monumental tersebut yang memberi pengaruh signifikan pada perkembangan ilmu pengetahuan –seni dan estetika- sebagai mental training membuka ruang kebaruan-kebaruan. Semua proses ini otaklah yang mengambil peran penting. Confort zone seringkali memenjarakan kita pada iklim kerja yang konstan dan pencapaian yang serba biasa-biasa saja, bahkan menghancurkan inisiatif kreatif yang memerangkap pada keadaan stagnasi. Situasi serba mekanis dan statis dimana semua sistem bergerak dalam treknya tanpa benturan, tanpa percikan visi baru dan ketiadaan visi melakukan lompatan quantum. Melompat dari orbit lama ke orbit yang baru tanpa berorientasi untuk kembali ke orbit semula. Dengan menghancurkan kebiasaan yang sudah ada, maka memantik tindakan-tindakan baru yang lebih segar, progresif, dan revolusioner. Bagian Kedua, Brainshocking: Mental Training dan Shock Culture. Melalui bahasa visual, brainshocking dalam proses kreatif merupakan proses mental seperti ketika bahasa verbal telah mempermudah kita mengolah, mendeskripsikan, dan menyampaikan proses mental. Sebuah gagasan yang mendorong spirit revolusi kreatif dan menerobos batas ketakniscayaan menjadi sebuah teks keniscayaan-keniscayaan baru. Jika dunia sebagai landscape terindah dari semua planet dalam sistem tata surya kita, maka ruang imajinasi, fantasi, intuisi, dan eksplorasieksplorasi estetik masih memiliki keluasan ruang untuk digali lebih jauh. Pengetahuan menjadi perincian-perincian metodik untuk mengelola medan kreatif melalui pengembaraan imajinasi dengan gagasan-gagasan baru dalam melakukan konstruksi kebaruan-kebaruan estetika. Visi baru bagi seorang seniman dibangun dengan landasan konsistensi menjaga spirit kreatif dengan


intensitas kreatif pada titik didih tertinggi. Shock visual menjadi sebuah tanda penting kebolehjadian ‘keniscayaan’ yang tak dapat ditolak. Semua lahir dan tumbuh bersama spirit pembaharu sebagai jiwa jaman. Bagian Ketiga, Realitas Quantum Era Cybercultures dan Eksplorasi Futuris Elektromagnetik. Mengurai relasi antara realitas cybernetics melalui hujan digitalisasi pada produk-produk cybercultures dengan energi elektomagnetik dalam melakukan eksplorasi budaya masyarakat kontemporer. Visi urban kemudian melekat pada perubahan dan pembentukan sistem budaya sebagai bagian terintegrasi dengan perkembangan masyarakat kontemporer. Kecenderungan hidup semacam ini berada dalam pengaruh cyberspace dan idealisasi virtual space yang mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini nampaknya mampu mengubah karakteristik masyarakat. Pada konteks masyarakat posmodern dibangun ledakan budaya urban ke dalam sistem mekanika teknologi simulasi dan digitalisasi, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke pusat kota digital ‘cyberspace’. Ketika manusia sampai pada titik tersebut maka manusia sejatinya berada pada kondisi krisis eksistensial. Gagasan imajinatif mampu mengubah keseimbangan energi di sekitar kita dengan membawa perubahan terhadap lingkungan dan masa depan. Masa depan dapat kita wujudkan melalui kekuatan pikiran. Sesungguhnya yang kita butuhkan adalah vibrasi elektromagnetiknya untuk memicu adrenalin kekuatan pikiran kita bukan membayangkan risiko-risikonya yang belum tentu mengkhawatirkan. Yang kita tunggu adalah keberanian kita menjumpai realitas quantum yang melekat pada diri kita sehari-hari, semua realitas quantum membuka ruang probabilitas yang luas dan memadai untuk dijadikan media eksploratif. Di sanalah kita sesungguhnya dapat menjumput nilai-nilai estetika futuristik yang lebih menarik, antusias, segar, penuh kejutan, sensasional dari kecemasan yang mengguncang otak, shock terapi otak, dan insight dapat terbarukan terus-menerus. Ruang estetika futuristik yang sangat personal dan temuan-temuan yang partikular. Melalui pola-pola mengubah pikiran dan mengubah gambaran mental berarti kita mendeskripsikan dengan terperinci bagaimana mengubah realita dan mengubah dunia imajinasi menjadi dunia-dunia realitas baru. Semua impian yang berkelebat dalam kesadaran kita begitu sangat realistis dengan mengubah kesadaran ke dalam kesadaran yang sebenarnya yakni kekuatan visualisasi yang hanya kita jumpai pada dunia realitas. Kekuatan visualisasi merupakan sebuah kekuatan besar. Untuk menjadi pribadi dengan kekuatan pikiran imajinatif yang sempurna harus menjadi pribadi yang terbuka dan peka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terbuka. Pribadi yang terbuka adalah pribadi yang berani untuk berpikir revolusioner, berbeda, khas, dan penuh upaya pencerahan. Begitu banyak fenomena sekitar kita yang mengajarkan mengenai berbagai hal dan perspektif elektromagnetis, karena sesungguhnya manusia dengan kwalitas pikiran, dan citra yang melekat adalah daya tarik untuk orang di sekitarnya. Sensasi estetis alam dengan fenomena-fenomenanya adalah hamparan yang memiliki kekuatan elektromagnetis bagi makhluk hidup yang berada di dalamnya bahkan untuk dirinya sendiri. Dan, karya seni yang dibangun atas gagasan imajinatif dan memiliki daya ganggu sekaligus daya pukau yang luar biasa sudah barang


tentu ia memiliki kekuatan magnetis. Konsep visual yang bersifat magnetis yakni sebuah konsep yang memiliki nilai kontekstual, nilai filosofis, nilai humanistik, nilai yang menggugah, nilai penyadaran, nilai yang mengguncang otak, nilai eksplorasi, dan nilai estetis dengan kebaruankebaruannya. Gagasan yang melekat bersama dengan nilai-nilai estetis merupakan gelombang yang akan menarik berbagai partikel yang terkoneksi pada muatan di dalamnya seperti yang dipaparkan lebih jauh pada konsep teori quantum. Bagian Keempat, Transformasi Lompatan Quantum, Eksplorasi Media, dan Estetika Futuristik. Pada bagian ini mencermati eksplorasi dan transformasi teknologi media-media baru yang berhubungan begitu signifikan terhadap transformasi lompatan quantum sebagai strategi menemukan nilai-nilai baru dalam wacana estetika futuristik. Dalam novel cyberpunk, ekspansi arsitektur virtual ini terkait dengan penurunan, kerusakan kota, dan distorsi-dekonstruksi arsitektur. Sementara arsitek cyber resort formalisme sebagai fashion arsitektur virtual dalam bungkus realitas, realitas aktual di sekitar ditandai kian terkikisnya eksistensi tubuh kita melalui kontak dengan media elektronik yang diabaikan dalam arsitektur virtual dengan mengejar citra formalistik. Di akhir abad ke-18, struktur megalomaniak yang diilustrasikan oleh Etienne-Louis Boulee sebagai raksasa untuk direalisasikan. Kemudian pada tahun 1920-an, para arsitek avant-garde Rusia membayangkan bangunan mengambang di udara. Pada saat ini masih hanya mimpi, tetapi ketika kita sampai kubah geodesik Buckminster Fuller yang membainshocking publik dimana kita dapat menemukan sesuatu yang khusus karena mereka memiliki daya tarik Boulee dengan para raksasa. Tentu saja sebuah bangunan mengambang tersebut tidak lagi sebagai sebuah fantasi belaka yang hidup dalam ruang imajiner. Fuller kemudian membranding dirinya dengan membuat sejumlah gambar rancangannya dari kubah geodesic raksasa mengambang di langit. Awalnya sangat tidak rasional dan mustakhil namun kini menjadi realitas perancangan arsitektur yang mencengangkan dan menjadi tonggak avant garde. Bagian Kelima, Visi Baru : Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik. Bagian ini mengurai bagaimana kekuatan-kekuatan imajinasi mampu mempresentasikan kebaruankebaruan estetik. Saya sangat terinspirasi pernyataan DR. Daoed Joesoef dalam Visi Baru Kehidupan (2002: 115-116) bahwa seni dan ilmu pengetahuan sebenarnya lahir dari satu induk yang sama: budaya imajinatif-kreatif, sebuah penyatuan ‘a complete culture, a unity out of variety’ sebagai sesuatu uiversalitas yang sepantasnya dihayati. Bukankah ‘great moments’ dari penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan pembaruan-pembaruan seni adalah saat di mana ilmuwan dan seniman melihat suatu kaitan baru antara aspek-aspek realitas yang berbeda dan tampak tak ada kaitannya selama ini. Dengan menciptakan pola-pola baru, seorang ilmuwan dan seniman mengadakan perubahan-perubahan inovatif. Sesungguhnya yang mereka ubah adalah ‘the division of live’ yang sekaligus secara implisit memupuk ‘the culture of living change’. Dua bagian saling terkait dengan aktivitas dan visi dalam melakukan sesuatu dengan memikirkan dan merasakannya. Karena apa yang diimajinasikan adalah visi yang akhirnya direalisasikan sebagai tindakan nyata. Medan kreatifnya adalah aktivitas penggalian nilai-nilai kreatif-inovatif dan kekuatan imajinasi sebagai picu utamanya. Tanpa visi baru yang lahir dalam manifestasi imajinasi-imajinasi dan kreasi-kreasi maka medan kreatif tak menghasilkan temuan apapun kecuali akan menjadi monster


menakutkan yang tidak mampu membesarkan nyali untuk mendekatinya apalagi bermain di wilayah itu. Visi ‘kreatif’ kehidupan memiliki ruang eksplorasi tak terbatas dan ruang yang bagi siapa saja memiliki potensi yang sama untuk meraihnya. Jim Taylor dan Watts Wacker, Visionary’s Handbook (2008: 262) membagi lima teori tahapan yakni keberanian, keberuntungan, kompleksitas, kontaminasi, dan faktor-faktor yang tak terkendali. Metode ini berkonsentrasi pada produktivitas ide, pengelolaan ide kreatif dan teknologi yang membingkai visi pembetukan masa depan. Budaya imajinatif, kreatif, dan penggalian inovasi tumbuh dari kesadaran manusia yang dibentuk menurut konsep ini sebagai realitas. Di balik penampilan dunia yang kasat mata terdapat arus dari suatu realitas yang lebih memiliki kebenaran yang kedalaman dan keluasannya tak dapat diduga secara pasti. Justru realitas inilah yang kemudian menjadi objek ilmu pengetahuan dan seni yang lahir sebagai instrumen yang menguak misteri realitas yang memiliki kebenaran. Ilmu pegetahuan dan seni yang berkaitan dengan aktivitas kreatif maka imajinasi guna saling menyempurnakan dan memperkuat peran atau fungsinya untuk membangun nilainilai tertentu. Situasi semacam ini merupakan representasi kecil dari visi kreatif mampu memberi vibrasi organis bagi penjelajah imajinasi untuk mengguncang pikiran dan mengeksplorasi realitas sesederhana apapun akan mampu menginspirasi imajinasi kreatif selanjutnya. Bagian Keenam, Membongkar Kembali Metode dan Ruang Eksperimentasi. Bagian ini membahas secara terperinci proses kerja kreatif dan temuan-temuan metode penciptaan dan pengembangan berbagai metodologi penciptaan seni masing-masing seniman yang memiliki kecenderungan hybrid. Membahas lebih detail mengenai pandangan, sikap kritis dan berbagai pendekatan proses penciptaan seni AT. Sitompul, Dedy Sufriadi, Farhan Siki, Rocka Radipa, Theresia Agustine Sitompul dan Yon Indra. Seniman dan karya seni serta proses kreasinya merupakan subjek bergerak yang terus tumbuh dinamis, berubah dan berkembang. Berbagai pendekatan kritis dilakukan untuk menggali konsep dasar penciptaan dengan memprovokasi kesadaran kreatifnya dan mengenali pendekatan kreatifnya untuk membongkar kembali metode sekaligus ruang eksperimentasinya. Informasi ini dipaparkan secara komprehensif sebagai representasi segenap konsep dasar penciptaan seni yang tengah dimatangkan sampai saat ini. Pertautan antara neurosains dan dunia kreativitas yang melekat pada ruh kehidupan sehari-hari seniman (dari kecenderungan memilih buku, menggilai musik tertentu dan kecanduan film-film tertentu) sesungguhnya memberi gambaran singkat mengenai relasi psikis dengan pencitraan khusus pada karya seni yang dihasilkan. Penggalian aspek-aspek inspirasi dan orientasi estetik, konsep perubahan dan konsep proses kreatif dalam perspektif neurologis, lompatan ide dan pendekatan proses pencitaan seni, eksplorasi estetik pada sublimasi konseptual, eksplanasi visual sebagai pencitraan gagasan dan nilai estetis, aspek pengelolaan persepsi dan proses rekonstruksi estetik yang dilakukan secara personal setiap seniman dalam mewujudkan konsep-konsep seni berikut ideologi estetika yang diperjuangkan. Proses-proses penggalian ini menemukan begitu banyak dikembangkan perspektif sebagai sesuatu yang mengalir menjadi rutinitas semata, namun melalui diskusi-diskusi mendalam dengan senimanseniman tersebut menemukan berbagai kesadaran intelektual, emosional dan kesadaran spiritual yang langsung berimplikasi pada konstruksi karya estetiknya.


Sebagai penutup pengantar ini adalah ungkapan rasa syukur kehadirat Alloh Swt atas limpahan karuniaNya, terima kasih sahabat-sahabat saya: AT. Sitompul, Dedy Sufriadi, Farhan Siki, Rocka Radipa, Theresia Agustine Sitompul dan Yon Indra sebagai subjek penelitian yang menyediakan ruang studio sebagai laboratorium kreatif serta Devie Triasari (d’ art) dengan tim managementnya dan Aliena MA (editor) yang telah bekerja luar biasa selama satu tahun lebih untuk mewujudkan impian pameran dan penerbitan buku ini. Terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Drs. M. Dwi Marianto, MFA, PhD dan Prof. Drs. SP Gustami, SU (ISI Yogyakarta) yang banyak memprovokasi saya dengan pandangan-pandangan Quanta Seni dan konstruktivismenya, Prof. Dr. PM Laksono (Pusat Studi Asia Pasifik UGM Yogyakarta), (Alm.) Prof. Dr. Koentjaraningrat (Antropolog Universitas Indonesia), (Alm.) Prof. Dr. Fuad Hasan (Psikologi Universitas Indonesia), Prof. Dr. Martani Husaeni (Universitas Indonesia), Prof. Dr. Slamet Ph, MA, MEd MA, MLHR, PhD (UST Yogyakarta), Sulebar M Soekarman - Nunung WS (Yayasan Seni Visual indonesia & Pelukis), Gotot Prakosa (Institut Kesenian Jakarta-Presiden Animasi Asia Tenggara), Hajar Pamadhi (Universitas Negeri Yogyakarta), Dr. Dicky Tjhandra, MSn (Universitas Negeri Makasar), Dr. Edi Sunaryo, MSn (ISI Yogyakarta), Dr. ST Sunardi (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), Prof. Dr. Djuli Djatiprambudi (Universitas Negeri Surabaya), Merwan Yusuf (Universitas Paramadina Jakarta), dr. Oei Hong Djien (Kolektor Magelang), dr. Melani Setiawan, SpOG (RS. Sumber Waras Jakarta), dr. Andi Hudono, SpOG (RS. Mitra Kemayoran Jakarta), Prof. Dr. Mudji Sutrisno (Filsof STF Driyarkara Jakarta), Prof. Sardono W Kusuma (ISI Surakarta), Dr. Yoga Suprapto (Badak LNG), Entang Wiharso, Anton Larenz (Antropolog Jerman), Prof. Dr. Johan, MSi (Direktur Program Pascasarjana ISI Yogyakarta), sahabat-sahabat di Program Doktor Pascasarjana ISI Yogyakarta dan sahabat-sahabat staf pengajar Prodi Seni Rupa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan staf pengajar Prodi Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta yang sangat inspiratif dalam diskusi-diskusi formal maupun informal. Terima kasih kepada Bapak Ridwan Muljosudarmo dan Syang Art Space Magelang sebagai pihak sponsorship yang mendukung sepenuhnya penerbitan buku dan penyelenggaraan pameran brainshocking. Terima kasih yang luar biasa untuk istriku Rita Sutan Boengsoe dan kedua anakku Shafa’ Selimanorita – Rakka Nathan Azzuranota yang tak henti-henti memberikan dukungan spiritual selama penulisan buku ini. Dukungan yang luar biasa adalah sejumlah nama yang saya sebut dalam bibliografi dan beberapa situs internet yang telah berkontribusi sebagai sumber referensi untuk memperkokoh kajian-kajian materi pembahasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan mengalirkan inspirasi baik dalam konteks dunia kajian maupun dunia penciptaan seni. Yogyakarta, 20 Juli 2012 M. Rusnoto Susanto


GLOSARIUM

Avant-garde : Kecenderungan seni dan sastra yang pertama kali berkembang di Prancis, yang prinsip utamanya adalah seni sebagai sebuah bentuk penentangan terhadap segala bentuk tradisi dan institusi seni. Arsitektur : seni mendesain bentuk visual dengan berbagai struktur-struktur sebuah konstruksi bangunan atau properti Arsitektural : citra karya seni penunjang arsitektur yang meiliki nilai sepadan dengan seni bangunan itu sendiri Banalitas (Banality) : Keadaan dari sesuatu yang sangat biasa, kurang bernilai, atau remeh-temeh. Budaya massa (Mass culture) : Sebuah kategorikebudayaan yang diciptakan untuk massa yang luas, sehingga dilihat sebagai kebudayaan yang menghasilkan selera massal atau rendah. Brushstroke : Goresan kuas yang kuat,tegas dan berani Chaos : suatu fenomena atau keadaan tertentu yang tidak mungkin dapat diprediksi arah perkembangannya, disebabkan berfluktuasinya indikator-indikator yang digunakan untuk menjelaskan perkembangan tersebut.


Citra (image) : sesuatu yang dapat ditangkap secara perseptual, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial. Citra juga dipahami sebagai kesan batin atau mental maupun bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah objek sehingga terefleksi sebagai gambaran ujud dalarn benak, imaji. Cutter : Pisau pemotong yang tipis, taJam dan dapat dibuang bagiannya yang tumpul. Cyberspace : ruang maya, yang di dalamnya tubuh nyata tidak lagi dianggap penting, karena pelbagai keterbatasannya. ( Piliang, 2008: 360). Cyberspace juga dapat dipandang sebagai sebuah ruang halusinatif yang dibentuk melalui media digital berupa bit-bit informasi dalam database komputer yang menghasilkan pengalaman-pengalaman halusinasi. Cybernetics : sebuah keilmuan khusus yang mengkaji relasi timbal balik antara informasidan kendali (kontrol), yang memungkinkan pesan dari manusia ke mesin, dari mesin ke manusia, atau dari mesin ke mesin dapat mencapai tingkat efektivitas tertentu. Dikutip Norbert Wiener dalam Yasraf Amir Piliang. (2008: 404). Dimensi : Matra, aspek dalam ruang pada seni dan kria Diskursus (discourse) : cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang m enyertainya, bentuk sub jektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial terseb but, serta kesalingb erkaitan di antara semua aspek ini. Estetika (Aesthetic) : filosofi mengenai sifat dan persepsi mengenai keindahan dalam seni, sering disebut sebagai ilmu filsafat keindahan. Istilah ini adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas mengenai seni dan keindahan beserta tanggapan manusia terhadap seni dan keindahan tersebut. Estetika memiliki pendekatan langsung terhadap objek dan pendekatan situasi yang bersifat kontemplatif yang dialami subjek dalam melahirkan pengalaman estetik. Eksplorasi : Penjelajahan terhadap sesuatu, untuk menemukan hal-hal yang baru dari apa vang dijelajahi itu. Ekspresi : Ungkapan pikiran, maksud, gagasan, dan perasaan yang direfleksikan melalui keseluruhan kemampuan pencapaian teknis ke media –representasi- ekspresi. Eksakta : Ilmu pasti: matematik, kimiaf, fisika dan sebagainya. Etsa (etching) : teknik cetak seni grafis menggunakan media pokok cetakan tembaga, kuningan, maupun stainless steel melalui proses pengasaman setelah lembaran logam tersebut dilapisi pelindung tahan asam (resin, aspal atau wax, maupun cutting sticker) tanpa merusak logam. Prinsip kerjanya hanya menciptakan ruang negatif sesuai dengan perancangan karya yang dikehendaki, selajutnya dilakukan proses cetak menggunakan media tinta pada kertas dengan mesin press. Fiberglass : serat kaca yang dihaluskan yang dapat dilelehkan dan dibentuk dengan teknik cor sesuai cetakan yang dipersiapkan pada proses kerja seni patung yang disenyawakan dengan larutan pengeras yakni catalist. Figur : objek yang terbentuk dengan memiliki similaritas dengan suatu tanda tertentu yang mengacu pada objek tertentu yang sudah ada sebelumnya. Fiksi : Khayalan, rekaan imajinatif dan tidak terjadi sebelumnya secara nyata. Geometris : Mengenai ilmu, ukur; bentuk geometris adalah bentuk yang ada dalarn ilmu ukur dengan strukturnya yang teratur. Globalisasi (globalization) : proses terintegrasinya beagai elemen dunia kehidupan ke dalam sebuah sistem tunggal berskala dunia.


Hasrat (desire) : sebuah mekanisme psikis berupa gejolak rangsangan terhadap objek atau pengalaman yang menjanjikan kepuasan dan berbeda ‘khusus’. Hybrid : perkawinan silang di antara dua entitas atau lebih yang dapat menghasilkan kategori entitas baru yang memiliki perbedaan khusus dengan entitas sebelumnya atau lainnya. Identitas (identity) : karakter pribadi seseorang dalam relasinya terhadap individu lainnya secara sosial. Ilusi : pandangan semu yang berlangsung karena faktor pandangan atau tangkapan inderawi maupun pengaruh faktor psikologis dalam mempersepsikan sebuah benda (objek) yang seakan ada tetapi nyatanya tidak ada. Imajinasi : sebuah daya pikir untuk membayangkan, mengangan-angan, dan merekontruksi peristiwa melalui kekuatan intuisi yang terkait dari pengalaman langsung maupun tidak langsung sebagai representasi kwalitas mental seseorang dalam menemukan langkah kreatif dan inovatif. Improvisasi : ungkapan spontan yang tidak disadari lahir dari dalam diri seseorang karena kwalitas kepekaan, kedalaman ekspresi maupun kekuatan aspek spiritualitas yang terbentuk dari pengetahuan dan pengalaman empirisnya dalam rentang waktu yang cukup lama. Intertekstualitas (intertextuality) : sebuah kesalingbersambungan suatu teks dengan teks-teks sebelumnya, dalam persilangan berbagai kutipan dan ungkapan satu sama lain yang saling mengisi dan membangun makna atas teks-teks baru yang dimunculkan. Kinesthetic : suatu sensor pengalaman dari gerakan tubuh yang lahir karena kesadaran fisik tubuh dalam suatu situasi dan ruang tertentu Komunikasi : Hubungan dengan kata, rupa,gerakan dsb. Konsumerisme (consumerism) : manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran atau propaganda perang branding. Organis : Bentuk menyerupai mahluk hidup, struktur tidak teratur Perspektif : Cara pandang atau prinsip menggambarkan suasana tiga dimensi. Dalam dunia ilmu pengetahuan, perspektif lebih bermakna sebagai suatu cara seseorang mengambil sudut pandang untuk mencermati suatu masalah atau subjek penelitian. Representasi (representation) : suatu tindakan menghadirkan kembali atau mempresentasikan sesuatu melalui sesuatu yang lain di luar dirinya berupa tanda maupun simbol. Sketsa : Gambar hanya dengan garis atau goresan yang mengandung unsur bentuk. Spiritualitas (spirituality) : sesuatu yang memiliki kekuatan otonom dan mampu menghidupi atau menggerakan sesuatu yang lain di luar dirinya, baik yang bersifat kebutuhan maupun yang bukan suatu yang dibutuhkan. Stainless Steel : (Ing) besi yang dirancang tahan terhadap korosi dengan pelapisan krom dan unsur metal penunjang lainnya. Stancil : (Ing) cetakan manual yang dibuat dengan keterampilan tangan, teknik stensil memiliki kekhususan dengan membuang bagian plat/kertas dengan memotong untuk meciptakan ruang negatif sebagai cara membentuk imaji tertentu pada hasil cetakan.


Tanda (sign) : unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi, segala sesuatu yang mengandung makna, memiliki dua unsur, yaitu penanda (bentuk) dan petanda(makna). Teks (text) : kombinasi tanda-tanda baik verbal maupun visual. Transparan : sebuah benda tertentu yang memiliki karakteristik tembus pandang tetapi istilah tersebut ketika dalam konteks teknik transparan pada proses melukis dengan media cat air, goach maupun tempera bisa dipandang sebagai sebuah teknik penggunaan media aquarel yang brustrukenya tipistipis. Penggunaan teknik transparan membutuhkan kepekaan dan kepiawaian khusus dari seorang seniman. Trimatra : citra yang memiliki tiga dimensi atau matra dengan memiliki ukuran panjang, lebar, dan tinggi.

DAFTAR ISI

Pengantar

i

Pengantar Penulis

ii

Daftar Isi

iii

Daftar Gambar

iv

Glosarium

xiv

Bagian I Brainshocking: Menggugah dan Membongkar Ide Kreatif A. Lompatan Quantum: dari Braistorming ke Wacana Brainshocking B. Brainshocking: Mental Training Sebagai Refreshing Otak 1.

Otak Rasional

2. Otak Emosional 3. Otak Spiritual


C. Misteri Otak Kanan dan Optimalisasi Kekuatan Imajinasi D. Revolusi: Shock Visual dan Penggelontoran Gagasan Imajinatif

Bagian II Visi Baru: Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-kebaruan Estetik A. Medan Kreatif Sebagai Visi Baru Kehidupan B. Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik C. Persoalan Estetis dan Estetika yang Tak Terumuskan

Bagian III Realitas Quantum dan Estetika Futuristik A. Percikan Realitas Quantum di Era Cybercultures B. Eksplorasi Futuris Elektromagnetik 1. Vibrasi Elektromagnetik dan Gravitasi Semesta 2. Energi Elektromagnetik dan Fenomena Quantum Gravity 3. Elektromagnetik: Realitas Kekuatan Pikiran Imajinatif dan Misteri Semesta 4. Vibrasi Elektromagnetik dan Kekuatan Pikiran Kreatif

Bagian IV Transformasi Lompatan Quantum, Eksplorasi Media, dan Estetika Futuristik A. Transformasi Lompatan Quantum dan Eksplorasi Media B. Eksplorasi Digital dan Guncangan Estetika Futuristik

Bagian V Visi Baru : Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik A. Medan Kreatif Sebagai Visi Baru Kehidupan B. Kekuatan Imajinasi: Ide Kreatif dan Kebaruan-Kebaruan Estetik 1. Eksplorasi kekuatan Imajinasi 2. Diferensiasi Ide Kreatif dan Kebaruan-Kebaruan Estetik C. Persoalan Estetis dan Estetika yang Tak Terumuskan

Bagian VI Membongkar Metode dan Ruang Eksperimentasi A. AT. Sitompul 1.

Inspirasi dan Orientasi Estetik AT. Sitompul

2. Konsep Perubahan dan Konsep Proses Kreatif dalam Perspektif Neurologis 3. Eksplanasi Visual Pencitraan Font Baru dan Nilai Estetika yang Dipresentasikan AT. Sitompul B. Dedy Sufriadi 1. Membeli Langit: Obsesi dan Orientasi Visi Kreatif Dedy Sufriadi 2. Konsep Perubahan dan Pemahama Eksplorasi Neurologis 3. Brainshocking: Mengelola Persepsi dan Proses Rekonstruksi Estetik


4. Eksplorasi konseptual: Hyperext, Eksistensialisme, dan Eksperimentasi Dedy Sufriadi C. Farhan Siki 1. Visi dan Orientasi Estetika Farhan Siki 2. Brainstorming: Paradigma Perubahan dan Eksplorasi Neurologis 3. Lompatan Ide dan Pendekatan Proses Pencitaan Seni D. Rocka Radipa 1.

Inspirasi dan Storage idea Rocka Radipa

2. 3. 4.

Brainshocking: Eksplorasi Neurologis dan Konstrusi Estetik Seputar Gagasan dan Eksekusi Proses Kreatif Esensi Energy: Konsep Tumbuh, Wacana Kebenaran dan Perspektif Estetik Rocka Radipa

E. Yon Indra 1.

Ide Kreatif Yon Indra: Inspirasi dan Orientasi Estetika 2. Konsep Perubahan 3. Eksplorasi Konsep Penciptaan Seni 4. Eksplorasi Estetik pada Subkimasi konseptual Yon Indra F. Theresia Agustine Sitompul 1. Eksplorasi Gagasan 2.

Bibliografi Biografi Penulis

Visi Kreatif dan Eksekusi Gagasan


Bagian I Pra Wacana Brainshocking dan Quanta Energi Kreatif ‘We are what we think. All that we are arises with our thoughts. With our thoughts we make our world...’ (The Buddha)

A.

Pra Wacana Brainshocking: Energi Imajinasi dan Eksplorasi Dunia Gagasan

‘Kita sesungguhnya apa yang kita pikirkan. Semua hal yang kita munculkan melalui pikiran kita. Melalui pikiran kita menciptakan dunia kita...’ pernyataan provokatif ini sangat esensial oleh Sang Buddha yang menggerakkan proses tumbuh suburnya dunia filsafat dan psikologi dalam melakukan perluasan pandangan-pandangannya mengenai ikhwal eksistensial. Teks ini merupakan teks hidup dan terus terpelihara pada ruang-ruang inspiratif dalam memandang berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Pada ruang inilah kita memperoleh insight yang mendasari gagasan-gagasan imajinatif dan revolusioner dengan berbagai kekuatan pemikiran-pemikiran filosofis. Insight kemudian menjadi kekuatan besar untuk melacak berbagai hal yang sebelumnya tak terbayangkan dalam pikiran kita kemudian menjelma menjadi sesuatu yang spesifik dan memberikan inspirasiinspirasi selanjutnya, ini sebuah proses pencerahan yang berkelanjutan. Kesadaran untuk mengelola ruang imajinatif menjadi spirit yang mampu melakukan dorongan luar biasa bagi aktivitas neurologis sebagian besar penduduk bumi untuk melakukan konstruksikonstruksi tertentu yang melibatkan kekuatan imajinasi dan ketajaman pikiran. Berbagai temuan dilahirkan secara intens berkesesuaian dengan laju perkembangan jiwa jaman. Otak sebagai pusat kendali kehidupan. Keseluruhan vibrasi energi imajinasi yang dihasilkan oleh otak yang menentukan pencapaian obsesi kita dalam memosisikan derajat kemanusiaan dalam pada dimensi kebudayaan pengertian seluas-luasnya. Peran otak dengan sejumlah jaringan saraf yang secara mekanis mengubah asupan gizi dari


tubuh kita menjadi energi dalam pandangan neurosains sebagai sebuah potensi alamiah yang dapat diberdayakan. Kinerja sistem saraf dan proses peremajaan sel-sel saraf otak juga sangat dipengaruhi oleh berbagai gelombang energi otak yang diberdayakan secara optimal. Semakin optimal pemberdayaan kerja otak kita, maka semakin kuat sistem saraf kita bekerja dalam produksi sel saraf otak yang baru. Gelombang energi otak (beta, alpha, theta, dan delta) yang berperan menggerakan dan menerjemahkan sejumlah impian dan kehendak kita. Keadaan beta merupakan keadaan gelombang otak yang sedang aktif bertindak atau sadar. Biasanya pada kondisi ini kita berpikir logis, rasional, analitis, dan penuh perhitungan. Keadaan alpha merupakan keadaan saat otak kita rileks dan tenang. Keadaan alpha ini sesungguhnya sangat penting peranannya untuk membuka jalan menuju kekuatan pikiran bawah sadar. Keadaan theta merupakan suatu keadaan ketika pikiran yang membangun situasi otak pada status kreatif dan inspiratif. Keadaan ini juga terjadi pada saat kita tertidur dan bermimpi. Keadaan delta adalah keadaan gelombang otak pada saat kita tertidur lelap (deep dreamlessstate). Pada keadaaan ini terjadi penyembuhan alami dan peremajaan sel-sel tubuh. Dan, kunci kekuatan pikiran terletak pada kondisi gelombang otak di bawah 13 putaran per detik, keadaan ini merupakan batas antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Dengan mengenali keadaan gelombang energi otak kita secara baik, maka kita memperoleh ruang potensial untuk mengembangkan diri dengan menggali berbagai potensi terbaik yang dapat dilakukan sebagai proses aktualisasi diri dalam pola pikir dan kreativitas untuk memproduksi gagasan-gagasan imajinatif. Selanjutnya kita mampu mengembangkan gagasan imajinatif yang mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan-keputusan besar. Dan, untuk mengambil keputusan-keputusan besar seseorang sesungguhnya secara tidak sadar sedang dipicu adrenalinnya dengan melakukan proses brainshocking. Sebuah upaya kreatif sesederhana apapun untuk melalukan sesuatu yang benar-benar diluar kebiasaan sebelumnya secara neurologis maupun secara psikologis terjadi kejutan sistem kerja otak ialah sebuah proses brainstorming. Pra wacana brainshocking dapat dilakukan ketika kita hendak menyatakan tesis-tesis penting dalam wilayah pemikiran dan tindakaan kreatif yang berhubungan dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan apa saja yang menjadi orientasi. Manifestasi kreatif yang mampu mengejutkan pemikiran, kesadaran dan mengubah pandangan tertentu ke dalam cara pandang baru yang lebih kontekstual, imajinatif, segar dan revolusioner. Sebagai langkah sederhana untuk melakukan lompatan quantum bagi seseorang yang mewarisi spirit sebagai pelompat batasan dapat mengeksplorasi beberapa aspek yang memicu proses kerja otak kita ke dalam konteks yang saat ini saya wacanakan, yakni brainshocking. 1. Eksplorasi Imajinasi dan Pemikiran Kritis Brainshocking memicu berbagai sikap dan tindakan dengan apa yang biasa disebut lompatan quantum. Sebuah langkah baru yang radikal menjadi ciri khusus sebuah lompatan quantum dieksplorasi pada batas maksimal, meski tak ada batasan dan kepastian sebuah lompatan quantum yang terus-menerus bergerak menemukan titik-


titik pencapaian tertingginya. Eksplorasi imajinatif membuka ruang kreativitas baru dan kemahaluasan realitas yang serba niscaya. Sebuah keniscayaan terbuka luas ketika ekplorasi-eksplorasi imajinasi dan pemikiran digerakkan secara berkesinambungan dengan treatment-treatment neurosains dengan orientasi kreatif akan membuka segala kemungkinan baru. Kemungkinan-kemungkinan muncul dari sesuatu yang sebelumnya temaram bahkan gegap gulita sekalipun menjadi benderang. Tindakan kreatif, intuitif, dan eksperimentatif selalu membuka ruang-ruang bagi lahirnya gagasan dan kemungkinan baru yang ebih eksploratif. Kreativitas mengeksplorasi imajinasi dan pemikiran kritis secara langsung mengkondisikan kinerja otak secara aktif untuk mencari dan mengembangkan gagasan-gagasan baru secara terus menerus. Eksplorasi kreatif senantiasa berusaha mencari pola-pola dan pendekatan-pendekatan dengan berbagai cara yang berbeda untuk melakukan sesuatu dengan menjelajahi kekuatan pikiran dengan mengeksplorasi hal-hal yang belum pernah dipikirkan atau dilakukan orang lain sebelumnya. Atau sesuatu yang sudah dilakukan orang lain namun dengan pendekatan yang berbeda untuk membangun pola baru yang pada akhirnya dapat mengonstruksi perspektif baru sebagai jalan baru menggali aspek pemikiran kritis. Eksplorasi imajinasi yang terus-menerus dilakukan akan memicu perolehan hasil pemikiran kritis, hal ini diwariskan langsung oleh dorongannya untuk melakukan pengamatan mendalam, menemukan distingsi, dan menjumput sejumlah insight yang muncul dalam mendekati subjek secara detail. Disanalah seseorang akan memperoleh temuan-temuan pemikiran kritis dan imajinatif. 2. Menggali Berbagai Pertanyaan Kritis Karya-karya monumental menyejarah bersama dengan gagasan besar dan gagasan-gagasan besar selalu dipicu dengan proses penggalian pertanyaan-pertanyaan kritis. Ini semacam picu kreativitas untuk senantiasa melakukan continuing quest. Dengan menggali berbagai pertanyaan kritis untuk membuka peluang menemukan gagasan-gagasan imajinatif yang luar biasa jumlah dan potensi kwalitasnya. Penggalian berbagai pertanyaan kritis yang membuka berbagai ruang alternatif, pemecahan masalah, dan perluasan cara pandang terhadap berbagai hal yang muncul di sekitar kehidupan kita. Aspek kritis yang mencuat juga mampu merangsang dan menginspirasi gagasan imajinatif dan kepekaan-kepekaan yang lainnya yang mampu memberi jalan keluar sekaligus bagi berbagai pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut. 3. Produksi Gagasan Imajinatif dalam Jumlah Tak Terbatas Seorang pemenang hadiah Nobel di bidang Kimia, Linus Pauling menyatakan: “View best way to get good ideas is to get a lot of ideas.� Cara terbaik untuk memperoleh gagasan-gagasan yang bagus adalah dengan menggali dan mengumpulkan sebanyak mungkin gagasan. Dengan begitu akan muncul begitu banyak ruang alternatif pemecahan masalah ketika gagasan tersebut diwujudkan dan kita dicerahkan oleh begitu luasnya perspektif mengenai gagasan yang kita munculkan. Gagasan imajinatif kemunculannya tak mampu kita duga, dengan memproduksi begitu banyak gagasan maka terbuka ruang untuk memperoleh gagasan-gagasan imajinatif. Gagasan imajinatif dalam jumlah tak terbatas yang kita produksi tersebut membangun adrenalin dan


memberikan kesempurnaan kita untuk melakukan lompatan quantum yang lebih radikal. 4. Konfrontasi dengan Aturan, Kaidah dan Hancurkan Kebiasaan Sebelumnya Menjadi seorang yang kreatif sering kali membuka peluang seseorang untuk melakukan konfrontasi bahkan melanggar kaidah, aturan atau pola-pola lama, dan menghancurkan kebiasaan-kebiasaan sebelumnya yang melekat sebagai habitus untuk mengembangkan cara-cara baru dalam berpikir maupun melakukan sesuatu. Seseorang harus berani keluar dari habitusnya. Keluar dari habitus lama untuk melakukan perjumpaan yang mengesankan pada habitus-habitus baru dan mengeluarkan diri dari comfort zone dengan melakukan sesuatu yang memiliki daya hidup yang mencerahkan dirinya sekaligus orang lain. Misalnya, term tragis dan dramatis merupakan sesuatu yang universal. Dengan jarak berabad-abad yang lampau kita tetap meratapi Oedipus dan Orestes yang nelangsa bahkan tanpa berbagi ideologi Homais kita dibuat bersusah hati oleh tragedi Emma Bovary. Di satu sisi, komik tersebut tampak seolah-olah terikat dengan zamannya, masyarakatnya, dan antropologi budaya.(Eco, 1987: 342). Kita juga memahami drama Rashomon yang protagonis, tapi kita tak pernah paham kapan dan mengapa orang-orang Jepang tertawa. Ini merupakan suatu usaha untuk menemukan komik Aristophanes, dan dibutuhkan budaya yang lebih tinggi sekadar untuk menertawakan Rabelais dibandingkan yang dibutuhkan untuk mendorong cucuran air mata atas kematian sang ksatria paladin Orlando. Di sejumlah komik dan drama spektakuler dunia yang penuh pertentangan dan tragedi, intinya tak hanya terletak di dalam pelanggaran aturan tersebut maupun inferioritas karakter komik dan tokoh-tokohnya. Namun, trik yang menarik perhatian justru disisi kebalikannya yakni bagaimana kesadaran kita atas aturan yang dilanggar tersebut. Ada semacam konfirmasi mengenai usulan teoretis ini akan menghalagi dalam upaya menunjukkan bahwa hasil karya komik menerima aturan sebagai sesuatu yang take for granted, dan tidak merasakan keberatan untuk mengatakannya kembali. Hipotesisnya dapat diformulasikan dengan menerjemahkannya ke dalam termin-termin semiotika tekstual. Lebih lanjut Eco mengajak kita menelisik tuturan di dalam H.P. Grice yag merupakan aforisme, maxim. Percakapan tersebut merupakan kata-kata tanpa isi, yang di dalam interaksi kita sehari-hari tak ayal merupakan hal yang kerap kita langgar secara konstan. Kita mengadakan pengamatan atasnya, atau dapat pula menerimanya untuk membubuhi cita rasa yang berlawanan dengan latar belakang keberadaan mereka yang tidak diperhatikan baik dalam percakapan implicature, figur retorikal, dan lisensi artistik. Justru karena berbagai aturan diiyakan secara sadar maupun tak sadar maka pelanggaran yang tanpa motif ini menjelma menjadi komik. Seperti yang digambarkan sebagai (1) Maxim of Quantity, (2) Maxim of Quality, (3) Maxim of Relation, dan (4) Maxim of Manner. (Eco, 1987: 347 dan 349). Sebuah penggambaran sederhana kemunculan sebuah sikap melanggar aturan dengan berbagai motif dan apapun argumentasinya. Jika memang argumentasinya mampu mengayakan pandangan maupun tumbuhnya gagasan kreatif tentu saja dapat didorong lebih jauh. Gagasan imajiner sebagai pemantik interteks-interteks baru.


Karena titik inilah yang memiiki peran untuk mendidihkan api kreativitas. Berbagai pola etik dan pola-pola yang hidup di masyarakat kita kadang perlu diberikan efek kejut untuk meningkatkan kesadaran mereka mengenai suatu hal. Seperti kelakukan dan kenakalan Marcel Duchamp menghadirkan kloset di ruang pameran yang prestisius. Tentu Duchamp tak hanya menabrak kesana-kemari namun ia memiliki motivatasi perlawanan tertentu selain dari proyeksinya pada shock visual yang kemudian memicu lahirnya konsep-konsep seni Dadaisme dan konsep-konsep seni sejenisnya. Duchamp sesungguhnya sedang berupaya mati-matian mengeluarkan kerangka pikiran-pikiran kritis dari dalam otaknya dan pandangan-pandangan umum yang ketat perihal etik lainnya yang presentasinya diwakilkan secara sepihak atas gagasan gilanya tersebut. Ia tengah mengeluarkan dan menghancurkan seluruh kebiasaan-kebiasaannya dari confort zone ke dalam new zone yang lebih bernyali dan menikmati perjupaannya dengan nilai estetika futuristik yang baru ketika itu. Confort zone seringkali memenjarakan kita pada iklim kerja dan pencapaian yang serba biasa-biasa saja, bahkan menghancurkan inisiatif kreatif yang memerangkap pada keadaan stagnasi. Situasi serba mekanis dan statis dimana semua sistem bergerak dalam treknya tanpa benturan, tanpa percikan visi baru dan ketiadaan visi melakukan lompatan quantum. Melompat dari orbit lama ke orbit yang baru tanpa berorientasi untuk kembali ke orbit semula. Dengan menghancurkan kebiasaan yang sudah ada, maka memantik tindakan-tindakan baru yang lebih segar, progresif, dan revolusioner. Picu adrenalin ini mengubah situasi menjadi serba baru dan menggairahkan untuk melakukan mobilisasi kreativitas besar-besaran dengan kekuatan imajinasi sebagai lokomotifnya. 5. Mobilisasi Kreativitas dengan Kekuatan Imajinasi Imajinasi, intuisi, dan kekuatan dunia gagasan diproduksi dalam sistem neurologis melalui kinerja belahan otak kanan yang memiliki kemampuan melintasi realitas-realitas dan menerobos batas-batas ketakniscayaan. Sel-sel saraf otak ketika menerima guncangan baik secara fisik maupun psikis, dengan otomatis menerjemahkan seluruh aktivitas organ tubuh dan merefleksikan kembali pada seluruh sistem saraf tubuh kita untuk menangkap signal yang dialihbahasakan oleh pemikiran dan tindakan kita dalam bentuk-bentuk tertentu. Transformasi imajinasi dapat dilakukan dalam serangkaian sistem yang dimobilisasi otak dengan seluruh organ tubuh kita. Untuk memobolisasi unsur kreativitas yang bertumpu pada kekuatan imajinasi untuk memproduksi gagasan-gagasan imajinatif yang distinctive, genius, memiliki nilai kebaruan, dan mencerahkan. 6. Inventarisasi dan Revitalisasi Sumber Inspirasi Inventarisasi dan revitalisasi sumber inspirasi berarti kemampuan merasakan, menangkap, mendokumentasi, dan mengembangkan diri untuk mengolah kepekaan estetik terhadap semua fenomena sebagai sebuah momen-momen estetik. Dalam proses menginventarisasikan dan merevitalisasikan sumber-sumber inspirasi ke dalam bentuk gugusan ide-ide kreatif dalam ruang kontemplasi atau melakukan proses inkubasi. Ini sebuah tempuhan yang dilakukan untuk menemukan kembali jalan


kesuksesan (breakthrough) selepas berjarak. John Kehoe dalam Mind Power mengatakan bahwa “when you are idle your conscious mind, your subconscious mind (creative mind) advances full steam a head.” 7. Quanta Energi Kreatif Keterkejutan, keterpesonaan, keterpukauan dan sejumlah daya ganggu yang secara psikologis (atas situasi –fenomena- tertentu baik secara visual, verbal, audio maupun audio visual direspon otak) sebagai situasi kejutan atau guncangan otak ‘brainshocking’ yang memberikan pengaruh signifikan terhadap hasil kenerja otak. Selanjutnya efek brainshocking ketika dimanifestasikan dalam realitas, ia juga akan menjadi subjek yang merangsang kembali orang lain menerima efek brainshocking dan mencerapnya sebagai situasi brainshocking. Saling mempengaruhi, memprovokasi, menyebarkan virus, memantik, menginspirasi orang lain dan begitu seterusnya. Kinerja otak kanan ketika melakukan mobilisasi aspek-aspek kreativitas dengan kekuatan penuh imajinasi (full speed) memiliki kemampuan menerjemahkan obsesiobsesi imajinatif terhalus yang kadang tak disadari bahwa ini bagian dari konstruksi gagasan imajinatif. Kekuatan imajinasi kreatif berpotensi mengeksplorasi pilihan-pilihan dan melihat banyak nilai probabilitas, dalam optimalisasi pencapaian nilai-nilai tertentu. Brainshocking merangsang kita dalam mengeksplorasi quanta energi kreatif untuk melakukan reorientasi kesadaran dalam memobilisasi kreativitas dengan kekutan imajinasi radikal yang memprovokasi otak melahirkan ide-ide imajinatif, segar, dan gagasan gila yang memiliki kekuatan melakukan loncatan terjauhnya. Quanta energi kreatif mampu membangun kembali sistem nilai yang kadang kita abaikan, dianggap biasa dan tidak cukup penting. Sesuatu yang kemudian direvitalisasi dalam representasi gagasan kreatif dapat membangun idealisasi-idealisasi yang tidak umum dan mendorong seseorang merevitalisasi energi sumber inspirasi sebagai sumber nilai serta menjdikan gagasan imajinatif sebagai induk dari penetrasi sistem gagasan ke dalam sistem nilai. B. Lompatan Quantum: dari Brainstorming ke Wacana Brainshocking Sebagai ilustrasi, kisah fiksi dalam kisah bersambung dari Amerika Serikat, mengenai kehebatan manusia menembus waktu masa depan dan masa lalu dalam film serial Quantum Leap, menggambarkan kemampuan ilmu pengetahuan manusia –dalam sekejap– bertemu dengan manusia ratusan tahun yang lampau dengan segala peradabannya, sekaligus juga menembus dimensi waktu ratusan tahun di masa depan. Kemudian secara teknikal muncul fiksi-fiksi ilmiah dalam dunia sinema yang erat hubungannya dengan fisika quantum. Tinjauan teknologis digambarkan dalam film-film Star Wars, maupun film popular Matrix. Sebuah film fiksi yang mempresentasikan peradaban manusia yang imajinal, kreatif, jenius, dan futuristik. Gambaran-gambaran pencapaian masa depan peradaban, bahkan sebuah evolusi pengetahuan yang begitu gemilang dengan berbagai presentasi secara sangat transparan dipaparkan begitu dramatik oleh para seniman besar termasuk seorang animator fiksi Hollywood yang andal abad ini, Stephan Martiniere.


Stephan Martiniere sebagai seorang Fiksi Sains yang diakui secara internasional dan dikenal sebagai seorang kreator dengan fantasinya yang luar biasa. Dalam 25 tahun terakhir dia telah menjadi dikenal karena bakatnya, fleksibilitas dan imajinatif dalam mengeksplorasi ruang dunia hiburan termasuk film, animasi, video game, editorial, desain komersial dan sampul buku. Dengan bernaung dengan klien-klien kelas dunia: ILM, Disney, Universal, Paramount, Warner Brothers, 20th Century Fox dan Dreamworks maka ia bisa dengan sangat eksploratif menggali kekuatan imajinasinya untuk melakukan lompatanlompatan quantum secara radikal. Stephan Martiniere yang telah bekerja pada film seperti Star Wars: Episode 2-3, Tron Legacy, Star Trek, Knowing, Robot, The Fifth Element, Virus, Planet Merah, The Astronaut’s Wife, Sphere, Titan AE, dan The Time Machine. Stephan juga direktur desain visual bertanggung jawab atas The games URU: Ages beyond Myst, URU: The Path of the Shell, dan Myst 5. Dia bekerja beberapa tahun sebagai Direktur Desain Visual untuk cengkraman permainan untuk Midway Games di Chicago dan kemudian sebagai Direktur Kreatif Visual departemen konsep untuk beberapa game Midway lainnya termasuk Area 51, Blitz, Ballers, MK vs DC, Wheelman, dan beberapa judul yang belum publish. Stephan sepuluh tahun terakhir telah menghasilkan lebih dari seratus buku dan buku komik mencakup untuk klien seperti The National Geographic, Tor Books, Pyr, Penguin dan Random House. Stephan Martiniere saat ini sebagai art director untuk Rage di ID Software dan anggota dewan penasehat di The CG Society. Sumber: Quantum Dream, The Art of Stephan Martieniere (2004: 16-18). Saya ingin memetik ungkapan Erbe Sentanu (2007: 2) bahwa ‘semua yang tampak berasal dari sesuatu yang tidak tampak. Semua yang bisa dilihat berawal dari sesuatu yang tidak bisa dilihat’ untuk mengawali pembicaraan mengenai lompatan quantum yang terkait dengan pembahasan mengenai wacana brainshocking sebagai tema penting pembahasan buku ini. Wacana yang mampu mengeluarkan kita dari confort zone dan memasuki quantum zone yang akan merevolusi cara pandang kita untuk meraih impian dengan membongkar ‘mengeksplorasi’ ruang-ruang gulita dan menemukan kebaruan-kebaruan nilai yang lebih terang-benderang. Ilustrasi diawal tentu sebuah elaborasi sederhana bagaimana quantum leap titik pijaknya adalah kesadaran mengenai potensi imajinal yang sesungguhnya sebuah misteri bagi semua pemiliki kekuatan itu sendiri. Sesuatu yang imajinal ‘virtual’ yang mampu mendorong dan melompat keluar sebagai gagasan kreatif terpresentasi secara visual. Stephan Martiniere secara revolusioner menggeledah semua referensi di file otaknya dan memformulasikan dengan berbagai konstruksi-konstruksi berpikirnya sehingga mencengangkan dan mengejutkan otak yang meletakkannya pada derajat keterpukauan masyarakat dalam menyeret cara pandangnya ke wilayah temuan-temuan nilai estetika baru. Sebuah ruang estetika yang tak disadari secara terperinci oleh kebanyakan orang. Kebaruan-kebaruan nilai estetikanya mencuat sebagai format lompatan quantum dengan kinerja otak kanan yang memperoleh guncangan sebagai aktualisasi dunia gagasan yang disadarinya. Dalam perspektif quantum, Mapes dalam Dwi Marianto (2004: 37) bahwa sebuah


perubahan mendadak dan revolusioner itu bisa disebut sebagai lompatan quantum (quantum leap). Sebuah lompatan quantum, betapapun kecilnya selalu memberikan perbedaan besar dari masa lalu. Ia adalah lompatan yang terputus dari sebuah elektron dari satu orbit menuju orbit lain, dan partikelnya sama sekali tidak meninggalkan jejak. Ia adalah runtuhan seketika atas sebuah gelombang probabilitas ke dalam suatu peristiwa nyata. Ia menyeruakan penjelasan atas hubungan antara dua tempat, peristiwa, atau gagasan yang sama sekali terpisah satu sama lainnya yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan dan selanjutnya, sebuah teori radikal baru telah lahir (Science Digest). Lompatan quantum inilah yang kemudian memunculkan istilah berfikir lompat quantum, sebuah rangkaian gagasan, konsep, distingsi, dan keahlian yang apabila disenyawakan seperti bahan-bahan kimia aktif akan meledak dan melemparkan kita ke tingkat yang lebih tinggi dengan pilihan–pilihan yang lebih besar. Dengan cara berpikir semacam ini kita akan mengalami ledakan-ledakan kreatif. Bukan hal mustahil seseorang akan memperoleh derajat pencapaian wacana tertinggi dalam pengembangan dunia gagasan yang bersifat diskursif. Lompatan quantum dipicu dan terlahir tentunya dari proses brainstorming. Brainstorming lazim dikenal sebagai sebuah aktivitas curah gagasan atau curah pendapat. Sesi-sesi curah gagasan yang efektif bersifat acak atau tidak teratur sehingga gagasan deras kemunculannya tanpa ada hambatan dan rasa takut salah atau malu menyampaikan gagasan yang menurut kita kurang keren dan sebagainya. Nyali penting untuk proses brainstorming. Namun yang dibutuhkan adalah pernyataan, lesatan ide gila dan lompatan-lompatan yang tidak umum. Untuk melakukan sesi curah gagasan Tom Kelley dalam buku The Ten Faces of Inovation memaparkan item-item yang menuntun proses ini dengan aturan main sebagai berikut: 1) Kejar kuantitas, gagasan-gagasan yang bagus, baik dan cemerlang muncul dari banyak gagasan yang dikemukakan. Menyusun tujuan yang dinilai numeris dengan jumlah maksimal. 2) Dorong munculnya gagasan yang liar dan ekstrem. Ekstremitas sesungguhnya sebuah nilai yang baik. 3)

Ciptakan gambar-gambar, dengan gambar-gambar akan merangsang kreativitas dan merangsang kembali kemunculan gagasan-gagasan baru yang lebih segar.

4) Tunda penilaian, dengan menunda penilaian maka proses curah gagasan berjalan wajar dan tanpa intervensi otak kiri kita yang selalu melakukan penalaran pada gagasan-gagasan yag muncul. Tak ada gagasan buruk maka buang orang-orang dengan pikiran skeptis. Mulailah berpikir secara kreatif dan kritis. 5)

Satu percakapan dalam satu waktu, dengarkan dan berlaku sopan serta jadikan pendapat-pendapat orang lain sebagai fondasi.


Paparan di atas kemudian diurai kembali Tom Kelley dalam buku The Art of Inovation (2001: 73-80) memperinci metode brainstorming sebagai berikut: 1)

Pertajam Fokus, sesi curah ‘gagasan’ pendapat harus dimulai dengan perumusan masalah yang jelas, bentuknya bisa saja sesederhana pertanyaan namun spesifik.

2) Mulai dengan ide-ide apa saja, jangan mulai dengan mengkritik atau mendebat ide-ide. Biarkan ide-ide terlontar dengan bebas dan perasaan leluasa, bahkan ide-ide gila sekalipun bisa dilontarkan. 3) Menentukan jumlah ide yang hendak dicurahkan misalnya seratus ide dalam satu sesi curah gagasan selama satu jam seperti yang sering dilakukan IDEO. 4) Membangun dan Melompat, pertahankan energi ketika energi mulai melemah dan berupaya terus mengembangkan ide-ide kreatif. 5) Tulis aliran-aliran ide pada media yang dapat dilihat oleh peserta curah gagasan sehingga perkembangan ide terlihat alurnya. 6) Regangkan otot-otot mental untuk melontarkan ide-ide liar dan kreatif. 7) Lakukan secara visual, dengan membuat sketsa, memetakan pikiran, meggambar diagram dan menempel gambar. Wacana semacam ini mampu mengeluarkan kita dari confort zone dan memasuki quantum zone yang akan merevolusi cara pandang kita untuk meraih impian dengan membongkar ‘eksplorasi’ ruang-ruang gulita dan menemukan kebaruan-kebaruan nilai. Sebagai teknik modern, brainstorming telah dikenal sejak 1938. Namun James Mapes dalam Dwi Marianto (2004: 40) menyatakan bahwa metode ini telah lama dilakukan oleh orang-orang Hindu, dan dalam metode inilah diperoleh kesempatan untuk melakukan lompatan quantum. Dengan teknik yang sangat sederhana, dengan mengutarakan ideide secara bebas tanpa kritik dan debat. Semakin liar dan gila ide-idenya muncul kemudian pada fase analisis melakukan pembahasan untuk mengategorikan gagasan dan melakukan seleksi untuk dibahas lebih mendalam. James Mapes pada Quantum Leap Thinking memberi penegasan kembali pentingnya brainstorming untuk melakukan lompatan quantum, dalam arti untuk memperoleh ide-ide cemerlang yang menerobos dan produktif, sebagai berikut: 1)

Tuangkan ide sebanyak-banyaknya, fase ini bertujuan untuk membentuk gagasan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang ditetapkan.

2)

Jangan mengkritik, ketika kita memberikan penilaian maka berarti memojokkan semangat kreatif.

3) Bergerak bebas, meskipun aneh sebuah gagasan. 4) Membonceng, kita bisa terinspirasi ‘membonceng’ ide orang lain.


5) Bergembiralah, menciptakan suasana menyenangkan dan humor untuk meningkatkan proses kreatif, menstimulasi gagasan, mempercepat pemecahan masalah, meningkatkan proses pembelajaran, dan secara umum membuat hidup lebih menarik. 6)

Istirahat, menyempatkan istirahat pada sesi pembentukan gagasan dan sebelum beralih ke sesi evaluasi kritis. Karena dengan istirahat memberian masa inkubasi bagi gagasan.

Wacana Brainshocking sesungguhnya terinspirasi dari metode brainstorming sebagai metode kuno yang terus menerus diperbaharui esensi dan interpretasinya disesuaikan dengan konteks persoalan yang berkembang dan konteks waktu yang menempa metode ini. Brainshocking merupakan proses mental ‘guncangan otak’ atau semacam upaya melakukan kejutan secara neurologis dalam menemukan gagasan imajinatif, proses penciptaan seni, dan perluasannya yang memberi efek kejut selanjutnya pada orang-orang di sekitarnya. Dengan begitu, brainstorming memberi pengaruh pada proses produkivitas gagasan kreatif selanjutnya pada diri dan orang di sekitarnya. Wacana ini masih mengikat hampir keseluruhan metode brainshocking namun menekankan pada visi dan efek bagaimana sebuah gucangan otak dimulai dari kesadaran kita untuk memperoleh gagasan-gagasan imajinatif yang berorientasi pada efek psikologis. Pada proses penggalian gagasan kreatif dimulai dengan menumbuhkan kesadaran melakukan lompatan-lompatan batasan yang sama sekali belum terpikirkan bahkan berbagai hal yang belum pernahdieksekusi diri kita sendiri juga orang lain. Wacana brainshocking menarik benang merah sejumlah disiplin ilmu pengetahuan untuk mengonstruksinya dengan berbagai perspektif neurologi, psikologi, antropososial, antrovisual, perspektif lompatan quantum dan estetika. Sudah barang tentu wacana semcam ini dianggap asing karena (masih dini dan belum banyak dibicarakan) perlu waktu untuk membuktikan berbagai tesis yang dikembangkan dari tinjauan kasus-kasus yang spesifik. Namun saya berkeras memaparkan berbagai analogi yang berkaitan dengan brainshocking sebagai pendekatan kreatif melaui tinjauan awal kemunculan ilmu pengetahuan, kasus-kasus proses kreatif dan karya seni monumental. Kasus-kasus monumental tersebut memberi pengaruh signifikan pada perkembangan ilmu pengetahuan –seni dan estetika- sebagai mental training membuka ruang kebaruankebaruan. Semua proses mental training ini otaklah yang mengambil peran penting. Seorang penulis terkenal Brian Tracy pernah menyatakan bahwa ‘kekayaan tunggal yang terbesar yang kita miliki terletak di antara dua telinga, yaitu otak dan kekuatan berpikirnya, bukan otot dan kekuatannya’. Kita harus mampu membangunkan dan memfokuskan diri kita kepada ‘si raksasa yang sedang tidur yakni ‘otak’ kita ini. Karena otak merupakan sumber imajinatif, kreatif, intuitif, inovatif dan sumber penciptaan yang memiliki kemampuan berpikir jernih (clear thingking) serta kemampuan belajar cepat (accelerated learning). Organ tubuh kita yang paling canggih yang berfungsi sebagai pusat pengendali seluruh organ tubuh dan perilaku serta sebagai pusat studi (berpikir). Seperti diketahui pada disiplin neurology bahwa belahan otak kiri berpikir


sistematis, struktural, superior dalam analisa dan menguasai artikulasi verbal. Belahan otak kanan berpikir holistik, mengenali pola-pola, mengonstruksi pola-pola, imajinatif, intuitif, dan presentasi ekspresi-ekspresi visual. Dalam kehidupan sehari-hari peran otak kiri begitu dominan dan menekan tindakan eksperimentatif yang sesungguhnya mampu mengubah dunia. Seorang seniman tentu memiliki pola kerja kreatif yang demikian menggilai kerja–kerja eksperimentatifnya yang membangun pola-pola kerja spesifik serta memerlukan ritme kerja otak kanan sehingga melahirkan ide-ide gila dan eksekusi visualnya mengguncang persepsi dan imajinasi orang lain. Lingkup kerja seni selalu saja bisa didekati sebagai laboratorium brainshocking. Pada sejumlah kasus; gerakkan dadaisme, ekspresionisme, surealisme, op art, dan pop art serta gerakan postmodernisme. Bagaimana karya-karya periode tersebut mengguncang otak masyarakat dunia pada saat itu, bukankah mereka bertumpu pada pola brainshocking? Malevich yang kita kenal sebagai pelukis sekaligus seorang arsitek pernah menggagas sebuah bangunan yang dipresentasikan menggambang di atas laut. Citra floating dibangun di atas konstruksi struktur imajiner dan mekanika dengan perspektif yang sangat spesifik. Ia memainkan persepsi orang lain atas gagasan tersebut yang mengguncang otak bagi yang tak mampu menemukan interkoneksi imajinasinya yang menggila. Saat itu ditolak dan dianggap tidak masuk akal namun dalam perkembangan arsitektur kontemporer kita sering kali menjumpai landscape kota-kota dengan citra arsitektur yang demikian. Bahkan memicu kemunculan wacana dan praktik cyber-architecture belakangan ini. Malevich juga seniman yang bekerja atas dasar Brainshoking. Plato dibingungkan oleh semacam intensitas psikologis seperti kehidupan Van Gogh yang dramatis dan menarik. Plato meyakini bahwa seniman selalu mendekati karyanya dengan semacam kegilaan. Sigmund Frued dan ahli psikologi lainnya telah memikirkan bahwa apa yang membuat suatu kegiatan artistik yang menjadi khas adalah kepribadian senimannya. Seniman mengubah fantasi dan keinginan-keinginan bawah sadarnya yang tertekan menjadi objek-objek yang dikenal, yang sebagian dari kita menikmatinya karena kita mempunyai fantasi dan keinginan-keinginan yang sama, tetapi tidak mempunyai keterampilan dan kepribadian yang memungkinkan kita mengekspresikannya secara terbuka. Pendekatan teori Freud, baik secara filosofis maupun psikologis sangat penting karena mengimplikasikan sesuatu tentang watak seni sebagai rujukan watak psikologis khas seniman. Karakteristik semacam ini melekat dari waktu ke waktu di belahan bumi ini.

Bagian II.


Brainshocking: Mental Training dan Shock Culture Stimulasi listrik kemungkinan besar tidak akan mengubah anda menjadi Albert Einstein, namun kekuatan ‘kebaruan’ imajinasi yang akan mengguncang persepsi orang lain terhadap potensi diri kita. [Cohen Kados]. Kita sesungguhnya sedang memetik pelajaran dari Renaissance Eropa, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diletakkan sebagai bagian dari kemajuan kebudayaan. Renaisans Eropa adalah kelahiran kembali masa keemasan budaya klasik Yunani dan Romawi kuna. Masa itu ditandai oleh kehidupan cemerlang di bidang sains, filsafat, seni dan sastra yang mencerahkan Eropa dari masa kegelapan intelektual. Inspirasinya justru datang dari tokoh-tokoh seniman, seperti Leonardo da Vinci dengan lukisannya, “Monalisa”, dan Michelangelo dengan karya patungnya, “Pieta”. Abad Pasifik, menandai pergeseran pusat gravitasi dunia dari Atlantik ke Pasifik. Sejarawan Toynbee dan Spengler memprediksi, “Peradaban Barat dan Timur timbul dan tenggelam secara bergantian dalam siklus 800 tahunan. Putaran Eropa yang dimulai abad ke-13, kini cenderung menurun, dan abad ke-21 ini akan menjadi saksi berkembangnya peradaban Asia-Pasifik”. Di abad ini, pusatnya bergeser ke Jepang dan negara-negara Asia Timur. Dalam setiap kasus, akselerasi ekonomi sangat mempengaruhi sejarah politik dan budaya. Banyak ahli sejarah menyatakan, Sriwijaya adalah bentuk Nusantara-Pertama, Majapahit-Nusantara Kedua, dan NKRI adalah Nusantara-Ketiga, yang seharusnya bangsa ini terpanggil oleh sejarah untuk mengulangi kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Apa-apa yang mengemuka sejak awal sejarah hingga kini adalah bentuk konkret dari simulasi kekuatan imajinasi yang bergulat pada wilayah keniscayaan bagi semua orang yang memiliki mimpi. Kejutan bisa diciptakan sebagai refleksi nyata menjawab begitu banyak persoalan kehidupan yang kompleks. Kita membangun kebudayaan dengan konstruksi-konstruksi imajinasi dan substitusi mental training untuk menggali simulasi gagasan ke dalam wilayah shock culture.

A. Brainshocking: Mental Training Sebagai Refreshing Otak Penelitian-penelitian neurologis seringkali mampu menunjukkan adanya jarak waktu antara peristiwa elektris yang terjadi di dalam otak dan peristiwa mental yang terjadi di dalam kesadaran, namun hal tersebut tak berarti keduanya terpisah. Seperti yang diilustrasikan Calne (1999: 378) bahwa ketika petir berkilat sebelum gelombang tekanan udara jadi guruh yang memekakkan telinga, tapi kilatan petir itu aslinya merupakan gelombang tekanan udara. Secara rasional mustahil ini sebagai hasil kegiatan yang terjadi di otak karena otak kita begitu sangat sibuk mengendalikan seluruh organ tubuh kita tanpa kita sadari. Namun, berdasarkan berbagai temuan bahwa


kegiatan elektris sel-sel saraf tetap berlangsung selama seseorang dalam keadaan koma bahkan. Ia menggambarkan adanya shock visual yang memberi efek kejut secara psikologis dengan sejumlah referensi yang muncul seketika petir menyambar dan disusul gemuruhnya guruh. Secara spontan semua saraf otak kita merespon atau mengasosiasikan berbagai referensi sejenis sebagai efek yang muncul seputar perubahan cuaca seketika itu juga dan memproduksi konstruksi-konstruksi suasana tertentu kemudian. Saya membayangkan ketika seni visual mengambil peran ini sebagai titik pijak brainshocking dalam kegiatan mental training, hal tersebut niscaya terjadi proses identifikasi dan pengayaan nilai estetik. Melalui bahasa visual, brainshocking dalam proses kreatif adalah sebuah proses mental seperti ketika bahasa verbal telah mempermudah kita mengolah, mendeskripsikan, dan menyampaikan proses mental. Sebuah pengamatan neurologis yang menunjukkan bahwa rasionalitas dan bahasa sebagai hasil kinerja otak tak dapat dipisahkan. Frans de Waal dalam Calne (1999: 387) menegaskan dalam konteks kontemporer menyatakan bahwa a steady continuum dan tak ada tahapan yang bisa menunjukkan di mana akal budi muncul; dalam garis evolusi yang landai, semakin jauh evolusinya maka semakin meningkat ukuran dan kerumitan otak. Lebih lanjut Colin McGinn secara argumentatif menyatakan bahwa gejala-gejala mental dibagi dalam dua golongan besar yakni: ‘sensation’ (serba rasa) dan ‘attitudes� (serba sikap). Konsep sensation mencakup bagaimana menyadari bahwa dunia luar, merasakan emosi, dan mengalami fungsi-fungsi jasmaniah. Konsep attitudes mencakup bagaimana memikirkan proporsi. Konsepnya McGinn sebagian psikolog dan filsuf berpendapat bahwa istilah sensation seharusnya terbatas pada pengalaman langsung, baku (crude), sedangkan perception seharusnya dipergunakan untuk bentukan-bentukan mental yang lebih halus dan ditafsirkan sebagai citra-citra mengenai dunia luar. Maka tak berlebihan jika kita memahami struktur dan kinerja otak kita secara detail. Otak menempati suatu ruang dalam tempurung kepala yang terhubung dengan sistem saraf tulang belakang manusia yang memiliki bobot sekitar 1400 gram (2% hingga kurang dari 10%) berat tubuh seseorang namun ia membutuhkan 40% energi tubuh berupa asupan gizi dan mineral setiap hari untuk optimalisasi kerja otak dalam berpikir. Keseluruhan bagian otak memenuhi seluruh rongga kepala yang terlindung lapisanlapisan jaringan kuat yang ditopang dengan cairan otak yang menahan guncangan dan benturan pada tulang tengkorak. Anatomi belahan otak terdiri otak besar (cerebrum) berkait dengan daya serap pengetahuan dan proses pembelajaran. Otak kecil (cerebellum) berperan dalam proses koordinasi dan keseimbangan, dan batang otak (brain stem) yang berfungsi mengatur denyut jantung serta proses pernafasan. Bentuknya akan menyesuaikan dengan pola pikir dan hidup seseorang yang menggerakkan mekanisme kerja otak tergantung kapasitas dan karakteristik kecerdasan yang dimilikinya. Semakin dewasa dan semakin berlekuk-lekuk dengan kedalaman lekukannya maka menandakan seseorang semakin banyak menyimpan informasi yang berarti semakin tinggi tingkat kecerdasannya.


Gb. 1. Anatomi Otak Manusia (sumber: perpustakaanhijau.wordpress.com)

Otak besar kita memiliki dua serambi; belahan kiri dan kanan yang terpisah oleh lekukan-lekukan memanjang (Fissura Longitudinalis) yang terdiri dari sebuah jaringan corpus callosum. Snell dalam Kushartanti (2005: 27) menggambarkan ketika otak dibelah secara vertikal pada bagian luar (cortex cerebri) berwarna abu-abu dan bagian dalam berwarna putih. Cortex cerebri berfungsi sebagai sensorik untuk menerima masukan, asosiasi yang bertugas mengolah masukan dan motorik berfungsi mereaksi masukan dengan gerakan tubuh. Otak memiliki kemampuan menyimpan seluruh informasi dengan menggunakan kekuatan asosiasi, semakin banyak informasi yang tersimpan maka produksi jaringan sel-sel otak berkembang membentuk relasi-relasi baru. Semakin meningkat jumlah jalinan saraf terbentuk dengan sendirinya semakin kuat informasi tersimpan dan tahan lama. Hubungan antar sel saraf yang berlangsung mengubah energi listrik menjadi energi kimiawi mengeluarkan neurotransmitter kemudian diubah kembali menjadi energi listrik pada jaringan sel-sel selanjutnya. Otak menangkap sejumlah stimulus untuk dipersepsi melalui kerja sel-sel saraf, sirkuit saraf, dan neurotransmitter.


Gb. 2. Brain Structure (sumber: islamabangan.wordpress.com)

Ketika kita menghadirkannya kembali maka otak akan menanggapi dengan cara yang sama berdasarkan referensi stimulus sejenis. Stimulus yang kontinu mempercepat peredaran energi listrik ke saraf-saraf otak yang mampu merefresh otak kita menjadi rileks dan fokus untuk melakukan sejumlah pekerjaan-pekerjaan besar berkaitan dengan penjelajahan kreativitas, menjelajah ide kreatif dan temuan-temuan inovasi. Mengutip pernyataan Taufik dalam Kushartanti (2005:27) bahwa fakta inilah yang membedakan otak manusia dengan unit komputer. Sekalipun komputer dirancang berdasarkan prinsip kerja otak, namun mekanika komputer semakin sering digunakan maka semakin aus yang akhirnya rusak. Namun otak manusia semakin digunakan akan semakin canggih karena ia mengikuti hukum ‘use it pr lose it’ (gunakan atau hilang) seperti hanya otot dan tulang kita. Saat ini kita masih mendapati hampir semua guru besar yang menyandang gelar Profesor di usia senja sekalipun masih memiliki ketajaman ingatan, kemampuan berpikir analitis yang jernih, kecemerlangan gagasan dan kecanggihan berpikir dalam mengembangkan konsep-konsep ilmu yang digali melalui serangkaian studi ‘penelitian’ yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan karena kinerja otaknya selalu dipacu untuk mencerap berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang selalu diberdayakan untuk melahirkan temuan-temuan baru hasil pemikirannya. Dengan demikian sistem kerja otak semakin kuat dan tahan lama dalam menyimpan informasi. Lebih lanjut Snell menyatakan munculnya eksplorasi era otak atau Brain Era (pada kurun 1990-2000) berhasil menunjukkan fakta bahwa otak menyediakan komponen anatomis untuk aspek rasional (IQ: Intelligence Quotient), aspek emosional (EQ: Emotional Quotient) dan aspek spiritual (SQ: Spiritual Quotient). Otak kita memiliki tiga cara berpikir yang kemudian dikenal berpikir rasional, emosional dan spiritual. Pada perkembangannya penelitian neurosains sedikitnya ada tujuh jenis kecerdasan yang diungkap Gardner (1999) yakni linguistik, matematika, spasial, kinestetik, musik,


antarpribadi, dan interpribadi. Kemudian ia menambahkan adanya kecerdasan naturalistik, eksistensia dan spiritual. Begitu banyak misteri yang belum mampu terungkap namun secara sederhana Dryden, 2001) merumuskan ‘10 hukum dasar otak’ yakni: 1) Pertama, otak menyimpan semua informasi dalam sel-sel saraf. 2) Kedua, otak memiliki komponen untuk menciptakan kebiasaan dalam berpikir dan berperilaku. 3) Ketiga, otak menyimpan dalam bentuk kata, visual dan warna. 4) Keempat, otak tak mampu membedakan fakta dan ingatan yang bisa dicermati pada bentuk reaksi yang sama pada keduanya. 5) Kelima, imajinasi dapat memperkuat otak dan mencapai sesuatu yang dikehendaki. 6) Keenam, otak menyusun konsep dan informasi dalam bentuk pola-pola. 7) Ketujuh, indera dan reseptor saraf menghubungkan otak dengan aktivitas dunia luar maka latihan indera dan latihan fisik memperkuat otak. 8) Kedelapan, otak tak pernah istirahat, ketika rasional kelelahan dan tak dapat menuntaskan pekerjaan maka otak kanan secara intuitif mengambil alih peran untuk melanjutkan dengan pengembaraan imajinasi dengan kepekaankepekaan intuisinya. 9) Kesembilan, otak dan hati senantiasa berusaha dekat. Otak yang diasah kepekaannya secara kontinu akan menjadikan seseorang semakin arif, bijak dan tenang kepribadiannya. 10)Kesepuluh, kekuatan otak ditentukan oleh asupan gizi sehari-hari.

Tiga cara berpikir otak yang dikenalkan Snell dengan konsep Brain Era, bisa dijabarkan sebagai berikut: 1. Otak Rasional Pusat otak rasional di cortex cerebri atau pada bagian luar otak besar yang berwarna abu-abu dengan volume yang memungkinkan manusia berpikir rasional dan berakal. Seseorang semakin tinggi budayanya maka ia mampu menggeser tabiat dan perilakunya lebih memusat dengan berpikir rasional. Cortex cerebri terdiri dua bagian dimana pada belahan otak kiri berfungsi untuk berpikir rasional, linier dan sekuensial sedang pada belahan otak kanan berkaitan dengan pemberdayaan aspek imajinasi, visual, intuitif, dan kreativitas. Keduanya kemudian bekerjasama dan berinteraksi untuk saling memahami serta mengeksplorasi yang membuka kemungkinan berbagai


pemecahan masalah secara holistik. Pemberdayaan pendekatan otak secara keseluruhan (Whole Brain Approach) mengacu pada potensi kinerja kognisi dan emosi yang tak terpisahkan. Kedua aspek yang saling menunjang, melengkapi dan sebagai controling. Ada berbagai informasi yang dikemas dalam bentuk verbal, gambar, visual, dan warna serta wewangian maka kedua belahan otak akan bekerja bersamaan secara otomatis untuk menyimpan informasi dan referensi pengalaman atau pengetahuan tersebut pada tamplate-tamplate penyimpanan baik pada data visual maupun yang non visual. Dengan begitu dinyatakan Dryden bahwa segenap informasi yang disajikan dalam keterpaduan verbal dan visual akan lebih cepat terserap atau tersimpan. Kita bisa membayangkan keduanya terkoneksi melalui corpus callosum seperti sistem saklar yang maha rumit dengan jaringan 300 juta sel saraf aktif tak pernah berhenti bekerja. Inilah yang secara konstan menyeimbangkan semua pesan otak kiri-kanan dengan mengabstraksikan semua informasi konkret, logis, dan holistik. 2. Otak Emosional Otak yang terpusat pada sistem limbik secara evolutif jauh lebih senior dari cortex cerebri yang menunjukkan bahwa perkembangan otak manusia diawali dengan impulse emosional sebelum mendayagunakan pikiran rasionalnya dalam merespon lingkungan sekitar. Kemudian Goleman (1997) merumuskan bahwa kecerdasan emosional sebagai sebuah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi rasa frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur mood, dan menjaga agar stress tak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Karakteristik di atas sesungguhnya sangat berdekatan dengan kinerja otak spiritual dalam arti seluas-luasnya. Secara genetik serangkaian muatan emosi tertentu menentukan temperamen kita namun dengan mental training treatment dapat membentuk sirkuit emosi dan meningkatkan kecerdasan emosional yang mencakup; mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Kecerdasan emosional tersebut dapat ditreatment dan dikembangkan untuk pengendalian emosi yang mampu menentukan kualitas hidup, karena kualitas hidup dicapai dengan keleluasaan berpikir, bertindak, dan aktualisasi diri dengan pencapaian tingkat kenyamanan psikologis yang memadai. 3. Otak Spiritual Otak spiritual berpusat di noktah Tuhan yang ditemukan Ramachandran di lobus temporal. Titik inilah, sebuah kesadaran tinggi manusia yaitu eksistensi diri tereksplorasi secara maksimal. Sebuah kesadaran tersebut dibangun oleh sel-sel kelabu dalam otak manusia secara alamiah melahirkan pikiran-pikiran rasional sebagai pijakan menuju kesadaran tingkat tinggi manusia. Sedikitnya ada empat bukti penelitian yang memperkuat hipotesa potensi spiritual yang berkembang secara neurologis membangun kesadaran sejati tanpa pengaruh panca indera, Taufik (2003) merinci sebagai berikut: pertama, Osilasi 40 Hz temuan Denis Pare dan Rudolpho. Melalui instrumen MEG


(Magneto Encephalograph) ditemukan bahwa gerakan-gerakan sarat akan berlangsung secara terpadu pada tingkatan frekuensi 40 Hz. Kedua, Alam bawah sadar kognitif ditemukan oleh Joseph de Loux. Ketiga, God Spot pada area temporal yang ditemukan oleh Ramachandran. Keempat, Somatic Marker yang diketemukan olah Antonio Damasio. Keterpaduan ini mampu membentuk seseorang berpikir jernih yang mengacu pada kerangka nilai sistematisasi dari fungsi spiritual otak melalui koneksitas vertikal dengan penciptanya mewujudkan nilai budi, kecakapan emosional, dan ketenangankenyamanan hidup. Kenyamanan hidup denga sejumlah variabelnya sesungguhnya membangun kualitas hidup yang ideal. Hal ini lebih disebabkan karena otak spiritual merupakan ruang kontak vertikal yang hanya akan mengambil peranan penting ketika otak rasional dan panca indera yang telah difungsikan optimal. Kaitannya dengan aktivitas seni, dimana seni lahir karena eksplorasi kerja otak melahirkan gagasan-gagasan kreatif dan tindakan estetik dengan mengoptimalisasikan kecerdasan otak pada belahan kanan. Cermati sejenak pengakuan Albert Einstein bahwa ‘Imagination is important than knowledge’. Sikapnya meyakinkan kita semua bahwa bagaimana pentingnya peran imajinasi dalam melakukan perjumpaan-perjumpaan sucinya dengan pengetahuan yang hidup dan aktivitas seni yang berpengaruh signifikan pada transformasi gelombang otak terhadap munculnya aktivitas-aktivitas kreatif yang dipicu oleh sebuah lompatan imajinasi. Imajinasi membuka semua ruang tertutup yang potensial menjadi pilar-pilar bernilai. Kekuatan imajinasilah yang mengeluarkan manusia dari sistem kebudayaan purba, gulita, jahiliah dan menggapai puncak-puncak langit yang sesungguhnya mustahil dijangkau. Pencapaian-pencapaian besar sejarah kemanusiaan dengan sistem-sistem peradabannya yang dipresentasikan secara terperinci dan benderang oleh kekuatan imajinasi mulai dari gagasan lahirnya artikulasi bahasa, tanda visual, simbol, konvensi-konvensi, hukum, tata sosial, hingga pencanggihan sistem telekomunikasi dengan pemberdayaan gelombang dan partikel pada sistem fisika quantum dan lain sebagainya. Dalam perspektif teori quantum biasa disebut sebagai lompatan quantum (Quantum leap) yang berkaitan dengan sejumlah tindakan lompat batasan, melakukan hal baru seperti neutron meninggalkan orbitnya. Gelombang otak beta, alpha, theta, dan delta yang bersemayam pada otak kita dan yang senantiasa berada pada posisi siaga menerima stimulus. Keadaan betha (13-28 cps) ialah suatu keadaan gelombang otak yang sedang aktif bertindak (sadar). Keadaan alpha (7-13 cps) ialah keadaan sedang bertindak (sadar), gelombang yang penting untuk membuka jalan menuju kekuatan pikiran bawah sadar. Keadaan theta (3,5-7 pcs) ialah keadaan pikiran seseorang yang mengolah wilayah kreatif dan inspiratif. Tetha juga bisa berlangsung ketika dalam keadaan tertidur dan bermimpi sehingga kekuatan mimpi juga bisa jadi sangat inspiratif dalam praktik hidup sehari-hari. Keadaan delta (0,5-3,5 pcs) ialah keadaan gelombang otak pada saat kita tertidur pulas tanpa gangguan aktivitas lain juga tanpa gangguan mimpi sisa obsesi yang terpotong pada realita kehidupannya. Nah, pada saat seperti inilah sesungguhnya kondisi dimana terjadi proses penyembuhan dan proses peremajaan kembali sel-sel otak. Jika, peremajaan berlangsung secara optimal maka seseorang dapat memperoleh kembali keseimbangan kinerja otak kanan dan kiri,


khususnya dalam memberi respon visual dari seluruh gerak tubuhnya (baik cara berpikir, mengolah informasi, mengendalikan emosional dan memproduksi gagasan visual) secara imajinatif. Keadaan ini juga membuka ruang-ruang bebas kepekaan intuitif bekerja maksimal. C. Misteri Otak Kanan dan Optimalisasi Kekuatan Imajinasi Otak kita sungguh luar biasa jika diberdayakan, otak memiliki 100 milyar sel yang masing-masing sel terkoneksi dan berkomunikasi hingga 10.000 kolega-koleganya. Bisa dibayangkan jika secara bersamaan mereka membentuk jaringan yang luas lebih dari satu quadrillion (1.000.000.000.000.000) hubungan yang menuntun bagaimana kita berbicara, makan, bernafas, dan bergerak. Floyd E. Bloom, dkk dalam Daniel H. Pink (2006:26) menyatakan bahwa James Watson, pemenang Hadiah Nobel karena membantu menemukan DNA. Ia menggambarkan otak manusia sebagai ‘hal paling kompleks yang belum kita temukan dalam dunia kita’. Karakteristiknya yang kompleks justru sederhana dan simetris topografinya. Ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa garis pembatas neurologis Mason–Dixon membagi otak ke dalam dua wilayah; otak pada sisi kiri adalah belahan yang sangat penting karena belahan otak inilah yang membuat kita menjadi manusia. Otak kiri kita bersifat rasional, analitis dan logis. Dan, pada belahan otak kanan bersifat diam, tidak linier, dan naluriah (sebuah organ tubuh dirancang oleh alam untuk sebuah rencana dan tujuan yang telah dikembangkan oleh manusia). Pada 1860-an neurologis Prancis, Paul Broca menemukan bahwa bagian belahan otak kiri mengontrol kemampuan untuk mengucapkan bahasa. Satu dekade berikutnya, neurologis Jerman, Carl Wernicke dengan penemuan yang sama mengenai kemampuan memahami bahasa. Penemuan yang menghasilkan silogisme yang sesuai dan meyakinkan karena bahasa adalah apa-apa yang memisahkan dan membedakan manusia dengan binatang buas. Bahasa kemudian menempati wilayah kerja otak kiri dalam mengaktalisasikan manusia sebagai manusia. Kemudian pandangan ini bertahan selama abad berikutnya hingga Profesor Caltech yang bernada lembut W. Sperry membentuk pemahaman kita tentang otak dan diri kita. Pada tahun 1950-an, Sperry meneliti pasien penderita epilepsi yang mengharuskan menghilangkan corpus callosum, ikatan yang tebal dari 300 juta urat otak yang menghubungkan dua belahan otaknya. Sperry memaparkan bahwa otak kiri berpikir secara berurutan, superior dalam analisis, dan menangani atau menguasai bahasa verbal sedangkan otak kanan berpikir holistik, pengenali pola-pola serta menafsirkan emosi-emosi, dan ekspresi-ekspresi non verbal. Seorang instruktur seni Universitas Negeri California, Bety Edwards pada tahun 1979 dibantu Prof. Spery memindahkan laboratorium ke ruang keluarga. Kemudian ia menerbitkan buku spektakuler ‘Drawing on The Right Side of The Brain’. Ia menolak gagasan bahwa sebagian orang tidak mempunyai kemampuan artistik.(Edwards, 1999: 4). Dengan begitu sesungguhnya potensi otak kanan sangat terbuka untuk dikembangkan bukan mengandalkan potensi given (maupun bakat bawaan). Menurut Robert Ornstein dalam ‘The Right Mind’ (1997: 2) bahwa sebagian penulis popular menyatakan bahwa belahan otak kanan merupakan kunci untuk memperluas pemikiran


manusia, menghidupkan trauma, menyembuhkan autis dan seterusnya. Ia merupakan kursi kreativitas, jiwa, bahkan gagasan-gagasan besar. Semua ruang pemikiran dan kebaruan-kebaruannya masuk ke berbagai ranah untuk memberi ruang perluasan ilmu pengetahuan secara umum bahkan fungsi terapi. Arjatmo Tjokronegoro dalam makalah ‘Prinsip dan Fenomena Biologis dalam Kehidupan’ (2002: 235-239) memaparkan secara detail perihal misteri kinerja otak kiri dan kinerja otak kanan. Bahwa dalam otak kita memiliki sistem komunikasi yang amat rumit, penyimpanan informasi-ingatan, berbagai perangkat afektif (alam perasaan) –bertindak aktif atau bertujuan yang halus-, kemampuan untuk memecahkan problem dan kemampuan untuk melakukan penyelidikan. Neokorteks ini sangat berhubungan dengan panca indera dan kecerdasan yang tinggi: berbicara, membaca, berpikir dan mencipta serta melakukan apresiasi. Neokorteks otak terdiri dari empat lobus yaitu frontalis, temporalis, parietalis dan oksipitalis yang berfungsi untuk berbicara, mendengar, melihat dan meraba. Fungsi utama korteks frontalis adalah aktivitas motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian dan aspek produksi bahasa. Fungsi utama korteks tempoalis adalah bahasa, ingatan dan emosi. Fungsi utama parietalis adalah input visual, taktil dan auditorik. Lobus parietalis kiri memiliki peran dalam proses verbal dan lobus parietalis kanan berperan besar untuk proses visual-spasial. Dan, lobus oksipitalis merupakan korteks sensoris utama untuk input visual.

Gb. 3. Neokorteks (sumber: www.BrainHealthamdPuzzles.com)


Pada tahun 1981, Dr. Roger Sperry dari Universitas California Amerika dikukuhkan dengan memperoleh hadiah Nobel dalam ilmu kedokteran untuk pekerjaan dan penelitian split cortext brain menjadi hemisfer kiri (otak kiri) dan hemisfer kanan (otak kanan) yang dipisahkan oleh fisura serebral longitudinal. Kedua belahan otak tersebut tak terpisah melainkan dihubungkan oleh jutaan jaringan neuron yang sangat kompleks, yakni antar kedua belahan otak ini secara terus-menerus terjadi pengiriman informasi secara bolak-balik. Digambarkan bahwa hemisfer kiri yang biasa disebut ‘otak akademik’ sebagai bagian otak yang rasional, realistis, logis namun memiliki kemampuan analitik, matematika, abstrak, simbolik, dan logistik. Otak kiri proses berpikirnya bersifat linier, runut, sekuensial dan sangat teratur untuk memproduksi kemampuan ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Sedangkan hemisfer kanan terlibat pada aktivitas kortikal perseptual, visualspasial, artistik, musik, sintetik dan terlibat dengan persepsi dan ekspresi isi afektif. Bagian ini memiliki cara berpikir bersifat acak, tidak teratur, dan intuitif (bekerja dengan bayangan dan hubungan serta mengembangkan data yang masuk). Cara berpikirnya berkesusaian dengan cara-cara utuk mengetahui berbagai hal yang bersifat non-verbal seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan bagaimana merasakan suatu kehadiran, kesadaran spasial, pengenalan bentuk, pola, musik, irama, gerak, kepekaan warna, kreativitas, kepekaan intuisi, dan visualisasi. Disamping memiliki kemampuan mengorganisasikan pola dan perilaku juga memiliki kemampuan berkaitan dengan pemikiran konseptual, gagasan abstrak, cinta, keindahan, dan kesetiaan.

Gb. 4. Tabel perbandingan antara hemisfer kiri dan hemisfer kanan (dikutip dari buku Visi Baru Kehidupan, 2002: 237)


Kedua belahan otak kita sangatlah penting artinya dan harusnya kita dapat memanfaatkannya secara seimbang dengan begitu proses belajar menjadi terasa mudah, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sosial menjadi sempurna. Ketika menikmati musik, otak kiri menangkap syair lagu, mencerap dan menyelami kata demi kata syairnya, sedang otak kanan merespon dan memproses melodinya secara emosional. Terjadilah accelarated learning. Begitu pula ketika kita menikmati gambar, lukisan, patung, adegan performing art maupun film maka kedua peran otak kita bekerja sedapat mungkin seimbang. Kita hampir tak menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, peranan otak kanan lebih tinggi (80%) ketimbang peranan otak kiri yang hanya sekitar (20%) saja. Jika kita memiliki habitus penggunaan kategori otak kiri dan tak melakukan upaya tertentu untuk merangsang aktivitas otak kanan maka terjadi ketidakseimbangan yang berakibat stres dan gangguan kesehatan mental sekaligus fisik buruk. Kehidupan seniman sungguh akan berbeda, karena pemberdayaan kinerja otak kanan selalu dipicu oleh serangkaian aktivitas yang bersifat refreshing meskipun dalam wilayah kerja serius. Semua itu memproduksi efek positif yang akan mendorong kekuatan otak untuk meraih kesuksesan dan kehormatan yang tinggi karena siklus aktif dan positif beredar di dalam atmosfer yang terus tumbuh, hidup, dan bergerak. Pada proses kreatif, seorang seniman seleluasa mungkin mengeksplorasi kekuatan otak dengan memberikan treatment kejut dengan memikirkan, membayangkan, dan melakukan berbagai hal baru yang sama sekali tak pernah ia lakukan kendati sudah diekplorasi banyak orang. Efek kejut maupun guncangan pada saraf otak memiliki dampak fisik maupun psikologis yang positif dalam meremajakan, menguatkan, dan menajamkan kepekaan otak dalam mengolah kecerdasan sehingga menghasilkan output yang mencengangkan. Karena potensi otak kita dalam merespon sesuatu yang berkelebat (nyata maupun imajiner) pastilah berbeda cara pandang dan penggunaan metodenya yang sangat bergantung pada referensi berkaitan dengan pengalaman empiris, literatural, kemampuan menyerap informasi, interpretasi visual atas pengalaman orang lain, dan fenomena kehidupan sehari-hari dengan latar sosio kultural atau ground individual. Seni berada pada ruang bebas dan cair untuk membuka berbagai kemungkinan terbuka dengan berbagai tindakan eksperimentatif baik mencampur, memisah, menipiskan, menebalkan, mengeraskan, melunakkan, mengiris, memotong, menyambung, mengurang, menambah, menekan, mengangkat bahkan membuangnya sama sekali dan merevitalisasi menjadi sesuatu yang baru. Kesadaran atas kebaruan-kebaruan ini menjadi picu kinerja otak dengan segenap jalinan pusat-pusat kecerdasan yang mengarah pada titik orientasi kreatif untuk memunculkan gagasangagasan baru yang lebih kontekstual dan fresh.

D. Revolusi: Shock Visual dan Penggelontoran Gagasan Imajinatif


Imajinasi dipetakan William C. Chittick (2001: 124) menjadi tiga tingkatan dasar: kosmos itu sendiri, alam makrokosmis antara dan mikrokosmis antara. Ciri yang paling menonjol adalah ambiguitas sifat dasarnya. Bayangan mimpi misalnya, penting untuk dijelaskan baik menurut pengalaman subjektif maupun muatan objektifnya bahwa bayangan mimpi tersebut bisa benar juga bisa tidak, karena bisa jadi menurut seseorang kejadian tertentu itu tampak sementara menurut orang lain tidak seperti yang pernah di nyatakan Ibnu ‘Arabi yang menyebut alam semesta dengan ‘imajinasi’. Ia memandang adanya status ambigu dari semua yang ada kecuali Tuhan dan fakta bahwa kosmos menampilkanNya seperti halnya bayangan dalam cermin yang mempresentasikan sebuah realitas tentang diri orang yang melihat pada cermin. Imajinasi alam makrokosmis antara adalah alam antara yang ada di tengahtengah dua makhluk yang fundamental, yakni alam spiritual dan alam badaniah. ‘Dunia atau Alam Imajinasi’ mikrokosmis digambarkan dengan ‘tidak/tidak juga’ atau ‘baik (keduanya)/maupun’. (Chittick, 2001: 124). Ambiguitas intrinsik dari alam imajinasi tampak membawa entitas-entitas ruhaniah ke dalam hubungan dengan entitas jasmaniah yakni dengan meberikan realitas psikis dengan atribut-atribut yang bersifat fisikal. Rumusan-rumusan imajinasi di atas sudah barang tentu cukup berbeda dari konteks imajinasi yang kita bayangkan berkaitan dengan aktivitas seni apalagi pada konteks pendekatan proses penciptaan seni. Namun, di sini picu utama Ibnu ‘Arabi mengenai alam semesta sebagai imajinasi memberi kesadaran mental kita bahwa bagaimana sebuah persepsi dibangun begitu filosofis sementara aspek yang ditafsir dan diidentifikasi adalah sesuatu yang sebenar-benarnya realistis. Akarnya justru di sini, sebuah hentakan yang perlu perumusan-perumusan ulang mengenai imajinasi atas realitas yang terhampar begitu luas di semesta yang semula sesungguhnya representasi dari imajinasi Tuhan tentang semesta. Kita diberikan keluasan untuk melakukan eksplorasi dan interpretasi-interpretasi bebagai gejala yang mengemuka di alam semesta. Ketika semesta di dekati dengan kata imajinasi maka sesungguhnya teks ini menggiring interpretasi kita bahwa alam sebagai sumber inspirasi, sumber imajinasi, sumber nilai dan sumber aktivitas kreatif serta kebaruan-kebaruannya. Bukankah hampir semua ilmu pengetahuan yang juga dipicu oleh kekuatan imajinasi manusia bersumber dari berbagai gejala dan fenomena yang alam semesta sajikan ke hadapan manusia? Kekuatan imajinasi mengilhami Newton membangun teori gravitasi karena apel yang jatuh di kebunnya, yang menggugah pikirannya bahwa buah apel tersebut telah ditarik ke bumi oleh gravitasi karena konsep ini sudah lama ada sebelum dia menyempurnakannya. Nah, yang menggugahnya saat itu adalah imajinasi bahwa daya gravitasi yang telah mencapai puncak pohon apel ini sebenarnya terus mencuat ke luar bumi hingga mencapai bulan dan gravitasi ini pula yang telah menahan bulan itu dalam orbitnya. Dalam menindaklanjuti temuan imajinasinya Newton menangkap similaritas fenomena keduanya, mirip tapi tak serupa. Bukankah gerakan apel ke bumi dan gerakan bulan di angkasa luar memang tidak mirip sama sekali kendati di dalam gerakan-gerakan tersebut dia melihat dua ekspresi dari dua konsep tunggal yaitu gravitasi. Konsep penyatuan ini dapat dikualifikasikan oleh Newton sebagai sebuah kreasi bebas, orisinal,


dan sesuatu yang tak lazim saat itu. Sama ketika Keppler, berusaha menguak misteri alam semesta 100 tahun sebelum Newton, merumuskan hukum-hukum gerakan planet melalui pandanganpandangan imajinatif-kreatif bahwa ia tak memikirkan hal tersebut sebagai suatu keseimbangan dari neraca bank kosmis namun sebagai sebuah ungkapan dari adanya kesatuan dalam semua kenaturalan ‘unity in all nature’. Fakta ini hendak menyampaikan bagaimana proses penggelontoran gagasan imajinatif dilakukan secara spektakuler sebagai tonggak sejarah dan ilmu pengetahuan. Tanpa keberanian mengajukan hipotesis dan melakukan serangkaian kajian atau penelitian maka ilmu pengetahuan tak pernah lahir dan berkembang. Dalam konteks sejarah kebudayaan, landscape semesta juga menjadi picu utama kreativitas dan pengembaraan imajinasi. Karya-karya legendaris lahir melalui proses kreatif yang panjang dan perjuangan ideologi estetika yang melelahkan. Begitu banyak hal yang dikorbankan mulai dari aspek waktu, orientasi studi, kekuatan pikiran, materi, dan mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan yang ditunda untuk memprioritaskan proses kreatifnya. Proses kreatif kemudian dapat dianggap melekat dengan proses hidup itu sendiri. Kepahaman dan pemahfuman ini diyakini sejak jamam klasik hingga era kontemporer. Dan, tetap menjadi bagian yang menarik untuk dibanggakan sebagai suatu identitas dan prestige. Legendaris dunia Leonardo da Vinci, Rembrant van Rijn, Theodore Gericoul, Gustave Courbet dan J. Louis David adalah sedikit dari banyak seniman dunia yang memiliki ketangkasan dan muli talenta sebagai manusia yang dianugerahi menguasai banyak hal mulai dari pengetahuan filsafat hingga kepiawaian teknik. Saat itu mereka ditempa dengan realitas yang memungkinkan untuk menggali dan menguasai berbagai pengetahuan teknik (bahan, material dan proses) termasuk teknik sederhana pembuatan warna yang diolahnya sendiri. Mereka sesungguhnya berada dan langsung berhadapan dengan tuntutan untuk menguasai ilmu kimia dan pengetahuan dasar teknologi. Kemudian bergeser ke periodesasi seni modern dan posmodern dimana semua bahan dan teknologi dapat disediakan pasca-industri hingga saat ini seniman dibebaskan memilih dan menentukan penggunaan media apa saja untuk mewujudkan gagasan kreatifnya. Dari hal-hal yang bersifat materi yang melekat pada kata seni hingga pencanggihan aplikasi teknologi dalam mengeksekusi konsep seni yang diusung. Fakta sebagai akibat logis dari zaman Renaisance munculnya revolusi intelektual, demokrasi, dan teknologi. (Djatiprambudi, 2009: 86). Revolusi intelektual berdampak pada mencuatnya perkembangan ilmu pengetahuan, revolusi demokrasi mengakibatkan atmosfer kebebasan berpikir dan bertindak masyarakat dunia melonjak, dan kemunculan revolusi teknologi membuka ruang baru pada masyarakat dunia di era globalisasi hingga saat ini. Hal tersebut secara signifikan mempegaruhi pergulatan kreatif seniman sehingga banyak memunculkan faham seni lukis yang pada saat itu berkembang pesat, mulai dari kelahiran Neoklasikisme sampai Abstrak kemudian mencuatnya era postmodernisme atau seni kontemporer: Pop Art, Op Art, Super Realism, Happening Art dan Conceptual Art. Sebuah revolusi besar-besaran memberi pengaruh luar biasa pada


kebebasan mempresentasikan konsepsi, pengayaan gagasan imajinatif, dukungan pencapaian ide secara teknologi, keliaran kreativitas ‘visual shock’, dan tanda penting perkembangan peta seni rupa dunia. Pada era post-modernisme, peranan teknologi merambah kemana-mana termasuk melecutkan berbagai pergeseran konsep visual, pencapaian teknis, persilangan media yang sangat eksploratif dan melahirkan berbagai pandangan filsafat sehingga berdampak pada pergeseran perspektif estetika. Masing-masing seniman mengusung paradigma sendiri-sendiri sebagai langkah besarnya untuk strategi identifikasi yang mampu mencuri perhatian para filsof untuk mendekati cara berpikir dan kreativitasnya, misalnya kaum modernis yang mempersoalkan struktur dan konstruksi seperti Piet Mondrian, Adolf Loos, dan Brancusi. Ada pula yang menggali esensi bentuk sebut saja Picasso, Delaunay dan Branque, kemudian beberapa yang menawarkan persoalan bentuk biomorfik seperti W. Kandinsky, Joan Miro dan Paul Klee. Bisa kita amati juga pada konsep estetika Monet yang menawarkan pemikiran relasi cahaya dengan warna dan konsep Le Courbusier yang memanifestasikan elemen-elemen organik pada perencanaan konsep arsitektur. Pada era kontemporer, konsep estetika secara ekstrim dilontarkan para perupa kontemporer dengan jargon anti estetika keselarasan yang mengedepankan untuk memperoleh seni dengan kehidupan. Picu ini berakibat positif dengan gairah luar biasa pada praktik-praktik seni eksperimental pasca–industri yang dituntaskan secara gilagilaan oleh Christo, Joseph Beuys, Robert Morris, dan sederet avant garde dunia. Konsep-konsep avant garde setengah abad kemudian membius kelompok Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yakni sebuah gerakan kesenian yang tak lagi berusaha menyuguhkan ‘isme’ tertentu namun menonjolkan dimensi seni esperimental dan kebaruan gagasan dengan the ultimate purity. Konsep estetika bergeser dan runtuh satu persatu dengan bantahan-bantahan dengan kemunculan berbagai teori seni baru yang menjungkirbalikkan konsep dan fakta estetik dengan the end of art theory. Imam Buchori dalam Djuli Djatiprambudi (2009: 88) mencatat beberapa paradigma penting yang menggejala; (1) penolakan faham unity dan harmoni karena dianggap mengisolasikan objek seni dengan kehidupan, (2) penolakan konsep ideal (seperti keindahan) sebagai unsur akhir seni, (3) penolakan sikap kontemplatif berseni, (4) penolakan pada disinterestedness. Tak ada batas antara objek seni dan kehidupan dengan menolak ‘mengagung-agungkan’ keunikan seni. Seni bukan ekspresi belaka namun aspirasi yang memiliki dua dimensi sekaligus yakni dimensi spiritual dan fungsional. Pandangan ini kemudian memicu kelahiran karya-karya happenning art dan conceptual art.

E. Shock Culture dan Eksotika Visual Begitu banyak contoh yang bisa menjabarkan secara gamblang mengenai shock culture dengan eksotika visual, sebut saja Borobudur dan sederet arsitektur candi HinduBudha yang melekat menjadi bagian dari kebudayaan kita sebagai kekayaan budaya


dunia. Tak sekadar eksotika visual yang mengedepan pada aspek arsitekturalnya namun kandungan nilai filosofis dan nilai spiritual yang menjadi ruhnya. Ruh inilah yang menghubungkan masa kini dengan sejarah masa lampau, bagaiana sebuah kebudayaan bergerak dari masa pra sejarah ke masa sejarah dan bergerak dengan derajat perubahan sistem kebudayaan masyarakat modern hingga posmodern. Rangkaian kisah masa lalu dijalin dalam tubuh sejarah yang disana-sini bertebaran simpul penanda penting kebudayaan sebagai shock culture bagi munculnya perubahan dan perkembangannya. Namun saat ini, saya ingin memetik bagian kecil fenomena penting berkaitan dengan aktivitas kesenian yang terjadi pada kurun posmodern. Seorang tokoh yang cukup penting dibicarakan berkaitan dengan eksotika visual dan shock visual, fenomena tersebut dapat dijadikan inspirasi yang layak untuk kita cermati karena berhubungan langsung dengan wacana brainshocking yang sedang saya telusuri. Ini semacam insight yang membukakan pandangan kita mengenai aspek-aspek kreatif. Sebut saja Made Wianta dan Nyoman Nuarta, kedua tokoh seniman Bali ini menjadi penting dibahas mengacu pada konteks pembahasan ini.

1. Made Wianta dan Laboratorium Neurologi Prof. Dr. Tsutomu Oohashi, Brain Scientist. Belum lama ini seniman Indonesia, Made Wianta didatangkan oleh Prof. Dr. Tsutomu Oohashi seorang brain scientist di Tokyo Jepang untuk dilakukan penelitian pada sistem kerja otaknya yang dinilai spiritual, auratik, dan genius. Seniman multi talenta Made Wianta, pada Rabu, 5 November 2010 bertolak ke Guam USA, dalam rangka pameran amal di Outrigger Guam Resort. Bermula dari berbagai pengamatan para peneliti seni yang mencermati kecenderungan karyanya diperlakukan secara istimewa oleh para kolektor di Jepang dan Eropa. Mereka memiliki kecenderungan mendisplay karya Made Wianta pada ruang-ruang spiritual, ruang meditasi, klinik, ruang perawatan medis, ruang ibadat privat, ruang perpustakaan perguruaan tinggi, ruang perpustakaan lembaga kebudayaan, ruang perpustakaan pribadi guru besar, ruang kerja khusus seperti sebuah laboratorium, dan ruang-ruang perstisius museum yang auratik. Karya-karya Wianta dapat dicermati memiliki pencitraan visual yang auratik disamping ia dengan luar biasa mempresentasikan eksotika visual yang unik. Kecenderungan yang paling berbeda adalah ruang perawatan medis dan laboratorium, dimana ruang praktik medik tersebut dirasakan adanya energi positif yang mencerahkan ruang tersebut yang kemudian dirasakan para pasien ketika menikmati lukisan-lukisan tersebut memiliki daya hidup luar biasa. Ketika menikmati karya-karyanya, otak terasa dipengaruhi untuk mencermati detail-detail visualnya yang memiliki vibrasi spiritual yang mampu menyugesti seseorang kemudian merngsang proses peremajaan sistem saraf dan mempercepat proses pemulihan ataupun proses penyembuhan yang signifikan. Pada kesempatan pengamatan yang berbeda misalnya, ketika Made Wianta menggelar happening art yang melibatkan kurang dari 500 orang Bali yang diarak dengan konsep performance art yang dirancang oleh Wianta dari Tabanan ke pesisir pantai Kuta.


Mereka di setting dengan koreografi spontanitas dengan detail gerakan khas Bali dengan padu padan kostum dan iringan musik spiritual. Ia mampu menggerakan ratusan orang Bali layaknya seorang Begawan memimpin umatnya untuk melakukan ritual upacara sakral. Detail-detail dari peristiwa semacam ini menjadi kajian khusus para peneliti bidang kedokteran (neurosains) untuk lebih mendalami penemuanpenemuannya yang lebih saintifik. Sehingga mereka berminat mengundang Made Wianta untuk memperoleh sampel cairan otak dan mengamati sistem kerjanya. Bagi para peneliti dan ahli neurologis tentu kasus ini menjadi semacam representasi proses brainshocking. Pada Juli 2010 saya bersama 6 seniman Soulscape dari Yogyakarta yang saat itu sedamg menggelar pameran Soulsape di Tony Raka Gallery Ubud, Made Wianta sebagai pembuka pameran tersebut. Kami berkesempatan dijamu dan menginap selama seminggu di salah satu rumah yang dulunya studio Wianta di Tabanan, kemudian secara intens berdiskusi di studio dan rumanya di jalan pandu Denpasar mengenai perihal seni rupa hingga perihal pemenuhan undangan Foundation for Advancement of International Science Oohashi Laboratory dan National Institute of Neuroscience, National Center of Neurology and Psychiatry, Tokyo. Sesungguhnya pameran tersebut telah dirancang lama seusai pameran pertamanya di Guam, Februari 2008. Acara fundrising ini menghimpun dana bagi SKAL Club Guam untuk beasiswa anak-anak pintar dari keluarga kurang mampu. Hingga pada akhirnya ia diundang dan diminta kesediaannya untuk diteliti secara neurologis. Di studio Wianta saat itu sempat diputarkan slide projector karya video art (performance art) mutahir yang dibuat bersama Afrizal Malna sebagai penulis dan sutradaranya, di sana juga diputarkan video proses riset otaknya di dua tempat yakni Foundation for Advancement of International Science Oohashi Laboratory dan National Institute of Neuroscience, National Center of Neurology and Psychiatry, Tokyo. Melalui video tersebut tampak Wianta menjalani serangkaian pemeriksaan dengan peralatan canggih pemindai otak dengan 300 scan yang merekam aktivitas otak pada saat diam maupun beraktivitas melukis serta menabuh kendang. Prof. Dr. Tsutomu Oohashi, brain scientist yang juga seorang seniman bersama tim meneliti aktivitas otak Wianta melalui irisan-irisan dengan teknologi pencitraan tingkat tinggi. Oohashi dikenal dengan nama Shoji Yamashiro memperoleh hasil pencitraan otak Wianta saat melukis yang sangat berbeda dengan orang-orang lain pada umumnya. Aktivitas otak Wianta menunjukkan pola-pola yang amat jarang ditemui, sangat spesifik, dan mirip aktivitas otak seorang pendeta tingkat tinggi yang sedang khusyuk melakukan meditasi. Hasil riset itu menyimpulkan bahwa Wianta memiliki aktivitas otak yang spesial dan sangat distinctive memunculkan gelombang alpha. Penemuan ini sangat menarik karena data-data ini diharapkan memberikan kontribusi untuk penelitian lebih jauh tentang mekanisme aktivitas otak berkaitan seni kreativitas dan proses penciptaan seni. Pantas saja jika sejumlah karya Wianta digunakan sebagai salah satu media penyembuhan dan relaksasi di salah satu rumah sakit jiwa di Jepang. Mengutip


pernyataan Wianta bahwa, 'Saya sendiri tidak menyangka kalau hasil karya saya dari periode titik-titik dan yang lainnya, bisa digunakan untuk penyembuhan’. Begitu banyak psikatris yang melontarkan pernyataan-pernyataan serupa meski cukup lama Wianta ingin mendapatkan jawaban tentang pandangan psikiatris terhadap hasil karyanya. Pada 1977 setelah bermukim empat tahun di Belgia, Wianta pernah memeriksakan karya dan berkonsultasi dengan Dr. Denny Thong, yang ketika itu menjadi pimpinan RSJ Bangli. Ini dilakukan karena karya-karya Wianta yang abstrak dinilai nyeleneh oleh banyak orang. Wianta pun disarankan ke paviliun Dr Denny Thong dekat RSJ Bangli. Di sana dia bertemu dengan pendeta dari Australia yang menyarankan agar Wianta terus berkarya dengan gayanya sendiri. Kemudian Wianta mencoba berkonsultasi lagi dengan Prof. Dr. Moerdowo yang juga pelukis. Suatu kebetulan pada 1990-an psikiater Prof. Dr. Luh Ketut Suryani mendatangi studio Wianta untuk melakukan sebuah penelitian melalui wawancara panjang. Guru besar Universitas Udayana itu berpendapat bahwa beberapa karya Wianta mengandung unsur-unsur transenden. (sumber: www.indoforum.org) Pada 1996, Wianta bertemu dengan Oohashi dari Jepang. Oohashi jatuh hati dengan karya dan perjalanan kreativitas Wianta yang kemudian membuat film dokumenter tentang Wianta dan film itu diputar di sejumlah tempat. Oohashi terakhir membuat film ‘Echoscape Wianta Galaxy’ yang diputar dalam ajang Tokyo International Movie Festival, Oktober 2008. Oohashi juga memprakarsai penelitian otak Wianta dengan melibatkan sejumlah pakar di berbagai bidang. Di antaranya Dr. Norie Kawai dan Reiko Yagi. Oohashi sudah mencoba riset terhadap karya ratusan seniman secara visual, tetapi hanya karya Wianta yang memenuhi kriteria untuk bahan penelitiannya. Riset ini pertama kali dilakukan Oohashi untuk mengetahui korelasi antara karya seni visual dan otak senimannya. Hasil penelitian ini dipublikasi dalam jurnal ilmiah internasional serta dikembangkan menjadi kajian ilmu pengetahuan dan seni yang mengaitkan aktivitas seniman, karya seni, juga berbagai implikasinya terhadap penikmat hasil karya tersebut. Setidaknya otak anak pemangku dari Apuan ini bisa dijadikan studi kasus berkaitan kreativitas manusia Bali dan seni. 'Semoga penelitian ini bermanfaat bagi art and science. Para ahli bukan hanya membedah hasil karya, tetapi juga otak kreatornya yang berperan dalam penciptaan karya seni,' ujar Wianta. (sumber: www.indoforum.org)

2. Nyoman Nuarta: Eksotika Garuda Wisnu Kancana, Shock Visual dan Shock Culture Coba kita cermati sebuah monumen Garuda Wisnu Kancana berlokasi di Bukit Unggasan-Jimbaran Bali yakni, karya seni patung spektakuler I Nyoman Nuarta. Garuda Wisnu Kencana Cultural Park atau dikenal GWK, adalah sebuah taman wisata di bagian selatan pulau Bali. Taman wisata ini terletak di tanjung Nusa Dua, Kabupaten Badung, kirakira 40 kilometer di sebelah selatan Denpasar, ibu kota provinsi Bali. Satu catatan penting dalam sejarah monumen di Indonesia yang mengeksplorasi konsep monumen yang berkaitan dengan aspek mitologi, antropologis, sosiologis, arsitektural, sistem tata kota, taman wisata nasional, identitas kultural lokal, ikonik lokal Bali yang mengglobal, gerbang utama bagi dunia untuk mengenali Bali, dan eksplorasi konsep patung


monumental. Eksplorasi-eksplorasi yang saling terkait tersebut menjadikan Monumen Garuda Wisnu Kancana memiliki eksotika visual dan shock visual yang khusus dihadapan kebudayaan dunia. Monumen ini dikembangkan sebagai Taman Budaya Garuda Wisnu Kancana dan menjadi ikon bagi pariwisata Bali dan Indonesia. Patung tersebut berwujud Dewa Wisnu yang dalam mitologi Hindu adalah Dewa Pemelihara (Sthiti), mengendarai burung Garuda yang dikisahkan dalam teks ceritera Garuda dan Kerajaannya yang berkisah mengenai rasa bakti dan pengorbanan burung Garuda dalam menyelamatkan ibunya dari perbudakan kemudian dilindungi Dewa Wisnu. Area Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana berada di ketinggian 146 meter di atas permukaan tanah atau 263 meter di atas permukaan laut. Patung yang diproyeksikan untuk mengikat harmonisasi tata ruang dengan jarak pandang hingga 20 km dan dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot. Patung Garuda Wisnu Kencana ini merupakan simbol dari misi penyelamatan lingkungan hidup dan simbol penyelamatan dunia. Patung yang terbuat dari campuran tembaga dan baja seberat 4.000 ton, tinggi 75 meter dan lebar 60 meter. Jika projek pembangunannya bisa berlangsung tuntas maka patung tersebut akan menjadi patung terbesar di dunia dan mengalahkan Patung Liberty. Di kawasan ini terdapat juga Patung Garuda yang tepat di bagian belakang Plaza Wisnu adalah Garuda Plaza di mana patung setinggi 18 meter yang ditempatkan sementara. Pada saat ini, Garuda Plaza menjadi titik fokus dari sebuah lorong besar berupa pilar-pilar batu kapur berukir yang keseluruhan luasnya lebih dari 4000 meter persegi berupa ruang terbuka yaitu Lotus Pond. Pilar-pilar batu kapur kolosal dan monumental patung Lotus Pond Garuda membuat ruang yang sangat eksotis. Dengan kapasitas ruangan yang mampu menampung hingga 7000 orang, Lotus Pond telah mendapatkan reputasi yang baik sebagai tempat sempurna untuk mengadakan acara besar dan internasional. Disalah satu bagian terdapat patung tangan Wisnu yang b erada diantara taman terbuka merupakan bagian dari patung Dewa Wisnu. Karya ini ditempatkan sementara di daerah Tirta Agung. GWK mempunyai beberapa tempat rekreasi di antaranya: a) Wisnu Plaza, Wisnu Plaza adalah tanah tertinggi di daerah GWK yang merupakan bagian paling penting dari landmark patung Garuda Wisnu Kencana. Pada waktu tertentu, ada beberapa kegiatan ritual upacara tradisional Bali yang megah dan patung Wisnu sebagai latar belakang ritual tersebut. Patung Wisnu sebagai titik pusat yang dikelilingi oleh air mancur dan air sumur suci yang tidak pernah kering bahkan pada musim kemarau. Parahyangan Somaka Giri ditempatkan di sebelah patung Wisnu yang secara historis telah dipercaya oleh rakyat setempat sebagai berkat yang memiliki kekuatan magis untuk menyembuhkan penyakit dan meminta para dewa hujan selama musim kemarau. Mengingat lokasinya di atas bukit, maka fenomena alam ini dianggap kaum suci dan penduduk lokal diyakini itu menjadi air suci. b) Street Theater, Street Theater adalah titik awal dan akhir kunjungan ke Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana. Di sini kita dapat menemukan banyak toko dan restoran di


satu tempat yang memfasilitasi berbagai perayaan adat dan ritual keagamaan dilangsungkan. Kita bahkan dapat menemukan spa Bali dan produk aromaterapi di beberapa toko yang terdapat di dalam area ini. c) Lotus Pond, Lotus Pond adalah area outdoor terbesar di Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan Taman Budaya di Bali. Dengan demikian, Lotus Pond adalah tempat yang tepat dan hanya untuk mengadakan acara outdoor skala besar. Selama bertahun-tahun, GWK telah dipercaya untuk menyelenggarakan upacaara-upacara penting baik adat maupun keagamaan berskala besar baik nasional maupun internasional. Lotus Pond adalah tempat yang unik dengan pilar batu kapur di sisi-sisinya dan patung megah Garuda sebagai latar belakang. Lotus Pond representasi teratai. Teratai adalah simbol utama keindahan, kemakmuran, dan kesuburan. Wisnu juga selalu membawa bunga teratai di tangannya dan hampir semua dewa dari dewa Hindu yang duduk di teratai atau membawa bunga teratai. Beberapa fakta menarik lainnya adalah bahwa teratai tumbuh di air, memiliki akar dalam ilus atau lumpur, dan menyebarkan bunga di udara di atas yang melambangkan kehidupan manusia dalam relasinya dengan kosmologi jagad raya. Akar teratai tenggelam dalam lumpur sebagai representasi kehidupan material. Tangkainya melalui air melambangkan eksistensi di dunia astral. Bunga mengambang ke permukaan air dan membuka ke langit adalah emblematical spiritual sedang. d) Indraloka Garden, Taman ini diberi nama Indraloka representasi surga Dewa Indra karena panorama yang indah. Indraloka Garden adalah salah satu tempat paling favorit di Garuda Wisnu Kencana untuk mengadakan pesta dan upacara pernikahan. Kita bisa melihat pemandangan Bali dari atas Indraloka Garden. e) Amphitheatre, Amphitheatre adalah tempat di luar ruangan untuk pertunjukan khusus dengan akustik ideal. Setiap sore sekitar pukul 18.30 s/d 19.30 WITA kita bisa mendapati pertunjukan tari Kecak secara gratis. Bahkan Tari Kecak ini dapat dikolaborasikan dengan tarian daerah lainnya. f) Tirta Agung, Tirta Agung adalah ruang luar yang sempurna untuk acara menengah yang dapat dengan leluasa mengunjungi patung Tangan Wisnu, bagian dari patung Garuda Wisnu Kencana yang terletak di dekatnya. Poin paparan di atas hanya bermaksud menjelaskan fakta bahwa sebuah shock visual sebagai bagian penting aspek psikologis dari sebuah gagasan imajinatif. Sebuah gagasan yang mendorong spirit revolusi kreatif dan menerobos batas ketakniscayaan menjadi sebuah teks keniscayaan-keniscayaan baru. Jika dunia sebagai landscape terindah dari semua planet dalam sistem tata surya kita, maka ruang imajinasi, intuisi dan eksplorasi-eksplorasi estetik masih memiliki keluasan ruang untuk digali lebih jauh. Pengetahuan menjadi perincian-perincian metodik untuk mengelola medan kreatif melalui pengembaraan imajinasi dengan gagasan-gagasan baru dalam melakukan konstruksi kebaruan-kebaruan estetika. Visi baru bagi seorang seniman adalah tetap menjaga spirit kreatif dengan intensitas kreatif pada titik didih tertinggi. Shock visual menjadi sebuah tanda penting kebolehjadian ‘keniscayaan’ yang tak dapat ditolak. Semua lahir dan tumbuh bersama spirit pembaharu sebagai jiwa jaman. Semacam nilai-


nilai yang diperjuangkan untuk terus menemukan rumusan-rumusan terbaru. Bukankah sebuah ‘revolusi’ estetika lahir dari spirit kreatif seorang seniman untuk menemukan idelogi estetika yang diidealkan?

Bagian III.


Realitas Quantum Elektromagnetik

Era

Cybercultures

dan

Eksplorasi

Futuris

No one knows who will live in this cage in the future, or whether at the end of this tremendous development entirely new prophets will arise, or there will be a great rebirth of old ideas, or, if neither, mechanized petrification, embellished with a sort of convulsive self-importance. (Max Weber)

A. Percikan Realitas Quantum di Era Cybercultures Sejak kanak-kanak pada pertengah tahun 1970an saya dibesarkan dalam lingkungan masyarakat agraris yang berada pada tradisi budaya pesisiran di daerah kabupaten Tegal. Sebuah lingkungan sosial transisi antara kota Madya sebagai representasi tata sosial masyarakat urban yang tumbuh pada sektor industrialisasinya dan kota Kabupaten masyarakat menghabiskan waktunya sebagai petani dan nelayan yang tetap mempertahankan spirit tradisi dan nilai-nilai budaya lokal. Keduanya tumbuh berdampingan secara harmonis. Masa remaja tetap tumbuh di lingkungan dengan tata nilai kultural yang saling berhadapan. Secara alamiah saya mewarisi spirit masyarakat petani yang gila kerja dan memiliki potensi survival yang berbeda dengan masyarakat urban di kota tersebut. Sebagian besar masyarakat menikmati dengan jenak pertunjukan wayang kulit, golek, sintren, kuda lumping, kuntulan, kethoprak, dan menyimak sandiwara radio Saur Sepuh. Sementara pada sisi berbeda kita juga asyik menyedapi pertunjukan orkes melayu dangdut, orkes gambus, video dan film layar tancap pada tiap perhelatan orang-orang kaya kota. Kemudian berbagai mitos dan perjumpaan pernik budaya kejawen yang tumbuh dengan fenomena metafisik khas pesisiran pun menjadi bagian pengalaman estetika yang khusus. Jawa memiliki kemelekatan pada aspek cyber dalam pengertian khusus, karena Jawa memiliki sejarah luar biasa mengenai kecanggihan telepati, hipnotis, peralihan sugesti, pelet, santet, teluh, dan praktik-praktik pesugihan kemudian bahkan bisa dianggap secara spekulatif melecutkan cikal daya hidup serba quantum. Pada masa remaja ketika berada di dalam ruang pertunjukan, saat menikmati mocopat, dandang gula, sastra gendhing, pangkur dan wayang yang mampu membawa saya tengah berada pada layar datar dari fibre optic layar datar unit komputer raksasa. Suatu unit khusus untuk memasuki dimensi imajiner dan simulasi digital yang berlapis-lapis membawa eksistensi ilutif saya seolah sedang melakukan surfing ke negeri Alengka, kawah Chandra Dimuka, perang Mahabharata yang memungkinkan kita merefleksikan penjiwaan karakter Krishna. Pengalaman yang serupa seringkali saya nikmati dengan empati sepenuhnya pada pertunjukan-pertunjukan wayang secara langsung dalam perhelatan khitanan, pernikahan, ruwatan maupun syukuran kampung. Ini fakta aktual bahwa fenomena cybernetic membangun ruang kesadaran imajinatif saya merasakan larut ’katarsis’ masuk ke dalam cerita wayang. Penjelajahan perasaan yang sama juga pada kesempatan menikmati sandiwara


radio frekuensi cybernetic di sudut-sudut ruang belajar, ketika tengah memperoleh penghayatan ’imajinatif’ dari virtual audio seolah dipresentasikan secara visual. Presentasi ilutifnya semacam ini begitu terasa ketika menyelami adegan-adegan dalam cerita sandiwara radio tersebut. Penghayatan atas pengalaman ini berada pada penghayatan yang serupa ketika saya berada dihadapan ruang cybernetic yang lebih canggih teknologinya ‘internet’ sebagai ruang eksplorasi imajinatif yang populer hari ini sebagai sebuah produk cybercultures. Bukankah pencapaian aktivitas budaya tradisi dengan presentasi yang sederhana semacam ini mampu melampaui gagasan besar cybercultures, sehingga Jawa dalam konteks kebudayaan memiliki korelasi kontekstual yang diadaptasi secara baru melalui pencanggihan teknologi simulasi digital. Kemudian masyarakat begitu antusias untuk mengadaptasi hampir semua sistem yang memiliki ketergantungan terhadap kebudayaan cyber yang marak hari ini. Berdasarkan survei dan data yang saya temui bahwa masyarakat masa kini baik di pusat maupun pelosok daerah hampir seluruhnya menjadi user yang hanya menikmati produk cyberculture yakni: tv, hp, telepon, internet, email, twitter, friendster, skype, dan facebook bahkan mayoritas pengguna sistem aktif. Dan, sebagian besar menjadikannya sebagai candu teknologi sekaligus format representasi baru yang menjelma pada bagian-bagian detail life style. Perkembangannya sangat pesat dalam kurun 5-10 tahun terakhir khususnya dalam membangun dan mengembangkan jejaring internet yang dengan cepat kemudian menjadi tren masyarakat masa kini kendati memiliki efek simulasi tinggi, bersifat manipulatif. Setiap saat ruang imajiner begitu ugal-ugalan dieksplorasi sebagai area surfing menjelajahi hasrat dalam ruang tanpa batas. Mulai informasi politik, pendidikan, bisnis, perniagaan, networking, jejaring sosial sampai eksplorasi identitas-identitas baru yang serba palsu. Kesadaran palsu pun mampu menyugesti kesadaran-kesadaran lainnya yang bersifat provokatif dan diskualifikatif. Banyak peristiwa penting dunia, bahkan kudeta politik dan peruntuhan kekuasaan status Quo bisa dimobilisasi melalui jejaring sosial. Hal tersebut berbanding lurus pada peran cybernetic dengan berbagai aspek yang muncul sebagai sebuah konsekuensi perubahan sistem sosio-kultural. Ketika dunia virtual mendominasi dunia realitas sehingga dapat dikatakan menjadi semacam ‘alam atau dunia kedua’ masyarakat kontemporer, jalur-jalur informasi bebas menyergap pada ruang aktivitas kapan saja dan di mana saja untuk menikmati fenomena global dengan pemanfaatan ruang elektronis melalui serabut optik (fibre optic) berkecepatan cahaya yang begitu luar biasa interaksinya meski kian abai pada eksistensi fisik. Visi urban kemudian melekat pada budaya sebagai bagian yang terintegrasi dengan perkembangan masyarakat kontemporer. Kecenderungan hidup semacam ini berada dalam pengaruh cyberspace dan idealisasi virtual space yang mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini. Di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta telah menunjukkan perubahan sistem yang signifikan (sistem sosial, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem politik dan sistem budaya) dalam konteks penggunaan instrumen cybernetic secara sporadik. Aplikasi berbagai sistem jejaring mekanis cybernetic membawa perubahan besar sangat signifikan terhadap perubahan sosial dan perubahan sistem ekonomi. Sebagai indikasi nyata ialah kemunculan gejala perubahan gaya hidup (gaya berkomunikasi, gaya


berbelanja, gaya transaksi bisnis, gaya belajar dengan fasilitas cyberspace dan perubahan gaya seks). Fasilitas ruang maya nampaknya mampu mengubah karakteristik masyarakat urban dengan budaya kontemporer dalam sistem digitalisasi. Pada konteks masyarakat posmodern, urbanisasi tak lagi berarti perpindahan manusia ke kota di dalam ruang nyata, namun berkembang ke arah urbanisasi virtual yaitu perpindahan manusia secara besar-besaran ke pusat kota digital ‘cyberspace’. Ketika manusia sampai pada titik tersebut maka manusia sejatinya berada pada kondisi krisis eksistensial. Yasraf Amir Piliang, (2006: 57-58) menyatakan bahwa keberadaan dunia virtual, tidak hanya dimaknai sebagai bentuk manifestasi sistem komunikasi antar manusia, akan tetapi manifestasi hampir setiap aspek kehidupan manusia (tindakan, aksi, reaksi, dan komunikasi). Masyarakat kosmopolitan kini dapat melakukan berbagai aktivitas (sosial, politik, ekonomi, seksual) dalam jarak jauh (telepresence) tanpa harus melakukan proses perpindahan di dalam ruang-waktu dari stasiun ke stasiun lainnya, sebab yang disebut stasiun itu kini telah terkoneksi secara virtual lewat jaringan internet dan cyberspace tanpa penjelajajahan ruang-waktu secara fisik yang hanya bisa dicapai melalui ruangwaktu virtual. Teknologi virtual reality ketika meningkatkan potensinya menterjemahkan mimpi menjadi keniscayaan elektronis maka proses pelenyapan dunia riil secara otomatis terkonstruksi sistemik dan menjadi tandingan dari realitas aktual. Realitas virtual sebuah teknologi mampu mensimulasi dan menciptakan pelbagai realitas dengan teknik simulasi digital telah melahirkan apa yang kemudian kita kenal sebagai teknologi realitas virtual, dimana pelbagi ilusi tiga dimensi mampu mencitrakan imaji realistik. Dengan demikian masyarakat dunia dapat mengakses file berbagai informasi terkini dengan jejaring ruang maya, file tersebut seolah-olah tersimpan dalam satu unit komputer induk meski merupakan multi jejaring. Max Weber dalam Steven & Kellner (1997: 38) menyatakan dalam sebuah analogi yang mampu merepresentasikan keadaan saat ini bahwa, No one knows who will live in this cage in the future, or whether at the end of this tremendous development entirely new prophets will arise, or there will be a great rebirth of old ideas, or, if neither, mechanized petrification, embellished with a sort of convulsive self-importance. Bahwa tidak ada yang tahu siapa yang akan tinggal di

kandang ini di masa depan, atau apakah pada akhirnya terjadi pembangunan yang luar biasa seperti kemunculan nabi baru, atau akan ada kelahiran kembali besar-besaran ide-ide lama, atau jika tidak maka berfungsi membatu secara mekanis, atau malah dihiasi semacam pentingnya shock individu semata. Jejaring yang luar biasa tersebut dalam HTML kemudian memungkinkan setiap orang menciptakan isi yang kemudian menempatkannya dalam website (World Wide Web). Hasilnya adalah semacam ledakan data. Kieron O’Hara (2002: 31) pada seri Posmodern Plato dan Internet mengungkapakan bahwa, dalam Web terdapat sekitar 2,5 miliar data pasti, jumlah yang luar biasa besar (sebesar 7,5 miliar gigabyte) dan hal ini menjadikan internet sebagai mesin bagi pengalihan kapabilitas manusia secara besar-besaran. Gejala tersebut mencuat ketika terjadi peningkatan populasi masyarakat urban pada suatu daerah. Dalam konteks kajian ini saya fokus pada Jawa dengan berbagai kecenderungan; Jawa memiliki karakteristik masyarakat yang adaptif terhadap berbagai kebudayaan dan sistem yang tumbuh di sekitarnya, Jawa memiliki populasi penduduk yang tinggi dan didominasi pertumbuhan masyarakat urban beserta pertumbuhan


kebudayaannya. Jawa sebagai representasi budaya Timur yang terus tumbuh, diacu dan dipertahankan. Jawa secara geografis berpotensi menjadi hot spot pertumbuhan masyarakat urban yang mengusung habitus dan latar belakang budaya lokalnya masingmasing. Komunitas masyarakat Jawa khususnya merupakan entitas masyarakat yang setia mengacu nilai-nilai tradisi leluhurnya kemudian memiliki kecenderungan mewariskan secara turun-temurun dengan perubahan, perkembangan dan pengayaan pada setiap aspeknya. Hal serupa ditegaskan Prof. PM Laksono (2009: 5) bahwa tradisi akan dilihat sebagai pilihan yang dimiliki orang Jawa secara turun-temurun dalam rangka menghadapi persoalan dasar mengenai keberadaannya. Dalam konteks tradisi dalam kerangka suatu struktur masyarakat sebagai bagian yang dinamis dengan menyepakati Levi-Strauss yang menyatakakan bahwa struktur masyarakat tidak berkenaan dengan realita empiris tetapi dengan mdel-model yang disusun di belakangnya. Levi-Strauss (1963: 274) menyatakan bahwa struktur masyarakat sama sekali tak dapat direduksi ke dalam suatu rangkaian hubungan-hubungan sosial yang dideskripsikan dalam suatu masyarakat tertentu, meskipun bahan mentah untuk menyusun struktur masyarakat terkandung dalam hubungan-hubungan sosial itu. Sedangkan model-model yang mempunyai nilai struktur harus memenuhi empat ciri-ciri sistem, yakni: (a) harus menunjukkan ciri-ciri sistem, jika satu unsur berubah maka seluruh unsur lainnya pun berubah; (b) harus bisa dialihubahkan ke dalam model-model lain yang ssejenis; (c) ciri a dan b memungkinkan suatu prediksi bagaimana model akan bereaksi kalau ada unsurnya yang berubah; (d) harus menjelaskan semua fakta yang terobservasi. Pengertian struktur yang berasal dari Levi-Strauss kemudian diterangkan secara rinci oleh J. Pouwer (1974: 241-242) dalam PM Laksono (2009: 7) bahwa Pouwer melihat struktur yang digambarkan oleh Levi-Strauss sebagai elaborasi suatu proses mental dalam konteks komunikasi dan berhubugan dengan ciri dasar sistem semiotik. Kemudian ia menujukkan beberapa prinsip menghubungkan posisi-posisi dari setiap unsur untuk membua suatu sistem hubungan yag disebut struktur dan yang memberi isi kepada wadah struktur. Prinsip-prinsip kemudian disebut menstruktur, adapun beberapa prinsip menghubungkan posisi-posisi itu dapat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu: (1) prinsip menstruktur daar, (2) prinsip menstruktur umum turunan, dan (3) prinsip menstruktur khusus turunan. Nah, ketika arus urbanisasi deras pada beberapa kelompok masyarakat (sesama profesi) yang meninggalkan daerah-daerah ke pusat berikut arus kebudayaannya beralih saling-silang, merajut, membangun gugus kebudayaan baru yang mengadaptasi muatan lokal dan mengadopsi aspek budaya global termasuk budaya cyber. Proses ini dimulai dengan intensitas sistemik masyarakat yang kemudian memiliki habitus di mana aktivitas dunia cybernetic berperan penting dalam membangun kebudayaan dengan pencitraan posmodernitas, maka di sana terjadi sebuah proses percampuran, persilangan, displacement, dan replacement atau semacam disposisi tumbuh bergerak memasuki ruang terbentuknya budaya baru. Sebuah tren baru yang tak terelakkan. Antusiasme masyarakat Jawa dengan berbagai strata sosial dan ekomomi bergeser perspektif hidupnya untuk menyerap sistem telekomunikasi, informasi, simulasi digital, aktivitas bisnis, pencitraan diri melalui dunia maya hingga pada tahap penikmatan sistem kenyamanan transaksional. Rusnoto Susanto dalam proceeding makalah seminar internasional Javanology


mempresentasikn The Disposition and Reposition of The Javanese Cultural Existence in Cybercultures, (2010: 86) ‘in that context, the sporadic change-transfer process has to exchange the culture (cultural share), crosses, and mixed culture is always interesting to be seen related with the shift of individual modes and socety at large that appear in the big cities of Javaas a results of modernity-postmodernity projection through the touch of culture (cultural encounters). The communication tended to construct intensity of cultural contact is so significant. If the basic assumption is the communication as a basic material of culture process, the products of cybercultures make possibilitiesto extend the process of culture itself universally and have power to mobilize the cultures of Java on a single disposition chance or consciousness to repositioning’. Bahwa masyarakat hingar-bingar tampil dengan representasi baru berada dalam kota-kota besar yang tetap beridentitas Jawa sebagai hasil dari proyeksi posmodernitas melalui sentuhan budaya (cultural encounters) yang heterogen. Sistem komunikasi yang mendorong intensitas terkonstruksinya kontak-kontak budaya mewujud begitu signifikan. Jika asumsi dasarnya adalah komunikasi merupakan materi pokok proses budaya maka produkproduk cybercultures membuka ruang bebas untuk melesatkan proses kebudayaan itu sendiri. Sebuah proses kebudayaan yang secara universal memiliki daya untuk menggerakan praktik budaya pada ruang disposisi atau kesadaran mereposisinya. Relasi budaya Jawa dan praktik cybercultures berujung pada sebuah proses penggantian maya (virtual replacement) sebagai bentuk representasi-representasi eksistensi manusia pada praktik digitalisasi. Terpaan sporadis arus globalisasi telah mampu mengubah cara pandang masyarakat kita dalam melakukan kebudayaan. Perlahan tapi pasti, budaya lokal mulai tergerus oleh hegemoni budaya popular. Hegemoni budaya popular tidak saja mengubah tata sosial namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat. Perubahan ini sebagai ekses perkembangan teknologi digital, televisi, koran, majalah, radio, internet, dan lainnya. Kecenderungan masyarakat mengadaptasi ‘bahkan mengadopsi’ salah satunya budaya konsumerisme sebagai hegemoni budaya dan sosial yang terus-menerus berkembang dan mengikis nilai-nilai budaya lokal bahkan terancam punah. Sebagai contoh televisi, televisi merupakan produk budaya pop yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat. Melalui televisi, masyarakat mulai meniru berbagai hal: gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan pola pikir. Dampaknya, terjadi perubahan sosial dan esensi nilai-nilai budaya lokal lenyap. Kapitalisme sebagai penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik modal dan diproduksi semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, secara tidak sadar, budaya konsumerisme, dan hegemoni kapitalistik tumbuh subur di Indonesia. Dasawarsa 1920an dan 1930-an merupakan titik balik penting yang diingatkan Dominic Strinati (2003: 4) bahwa dalam kajian dan evaluasi budaya popular dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme, dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara barat. Semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa. Budaya massa atau budaya pop dengan bentuknya yang lebih canggih, lebih halus, dan lebih nikmat, berhasil menjerat pasar potensialnya yang begitu kuat mencengkeram media massa kita khususnya media televisi adalah kontes pencarian bakat dibidang musik atau film. Model acara seperti ini di Indonesia adalah AFI,


Indonesian Idol, KDI, Kondang In, Ajang Boyband dan Penghuni Terakhir. Diantara kontes-kontes ini yang paling menyedot perhatian khalayak adalah Indonesian Idol se bagai ajang audisi-audisi talent show reality instan sebagai trending topic spektakuler di dunia maya. Trending topic yang dikendalikan kekuatan histeria publik secara elektronis berhadapan saling mempengaruhi sebagai bagian pergerakan sistem budaya popular. Melalui layar elektronik (ada yang menampakkan diri dalam dimensi perbedaan dan multiplisitasnya) yang eksistensinya sangat menggugah rasa ingin tahu, membangkitkan berbagai hasrat, menghidupkan angan-angan, tetapi sekaligus menimbulkan kesadaran kebahagiaan semu atau bahkan terperosok pada kesadaran ketidakbahagiaan. Yasraf Amir Piliang (2008: 225) menyatakan bahwa pada tampilan permukaan, layar fibre optic tampil dalam rangkaian perbedaan-perbedaan; akan tetapi pada kandungan isinya ia sering dilihat sebagai repetisi dari aneka kebanalan dunia harian. Berkaitan dengan kesadaran, layar dapat dipandang sebagai ruang yang di dalamnya kesadaran digiring ke dalam sirkuit pacuan informasi tanpa jeda, tetapi juga sebagai sebentuk pelarian dari kesadaran tak bahagia dan hidup yang tanpa harapan. Layar elektronik adalah dunia penuh ambiguitas bahkan kontradiksi-kontradiksi, yang keber-adaannya meninggalkan aneka enigma. B. Eksplorasi Futuris Elektromagnetik ‘Manusia adalah magnet dan setiap detail peristiwa yang dialaminya atas daya tarik (undangan) nya sendiri’ (Elizabeth Towne, 1906)

Kenapa kita berada pada suatu media jejaring sosial yang sama meski berbeda eksistensi fisiknya ketika kita berada pada ruang eksplorasi dunia maya, pada chanel televisi yang sama ketika dunia entertainment menyajikan isu remeh-temeh seputar kehidupan artis, dan pada frekuensi yang sama ketika menyimak berita politik dengan tuning 99.5 FM di sebuah stasiun radio? Hal ini menjelaskan bahwa semua orang yang berkumpul pada ruang-ruang virtual tersebut memiliki kesamaan visi, orientasi, kebutuhan informasi, dan hobby yang sejenis. Mereka saling tarik-menarik dalam medan magnet yang merangsangnya mendekati satu sama lain, ada vibrasi gelombang elektromagnetik yang tak bisa ditawar-tawar untuk menunda berada pada koneksikoneksinya. Eksplorasi elektromagnetik dipresentasikan dengan kekhasannya sendirisendiri untuk mengolah imajinasi dan melambungkan impian-impian. Sama halnya ketika di suatu pesta malam tahun baru, sebuah kembang api melukai beberapa orang di sebuah pemukiman padat penduduk di daerah Galur Tanah Tinggi karena gaya tarik-menarik dan berbagai aspek yang melatar belakanginya. Budaya pesta tahun baru dan pesta kembang api menarik sejumlah anak-anak dan remaja mengekspresikan kegairahannya menyambut awal tahun dengan menciptakan suasana yang mengesankan, kegairahan sejumlah penduduk penyedia kembang api berperan dalam bisnis tersebut. Masyarakat sekitar dengan antusias menikmati suasana dengan kembang api yang terlempar ke atas sesekali menyambar atap-atap rumah, tiang listrik, kabel listrik, kabel telepon, papan reklame, ranting pohon, dan beberapa buah kembang api yang tidak sempurna meluncur kemudian jatuh lebih cepat sebelum api padam ke kerumunan warga yang sejak sore hari hilir-mudik di seputar hunian


menunggu sirine tepat puncak tahun dan awal tahun baru. Beberapa warga tunggang langgang karena percikan-percikan besar kembang api di sekujur punggung dan tangannya terbakar. Semua terjadi sejak awal insiden ini adalah hukum tarik-menarik dan peran gravitasi bumi yang menundukkan levitasi terbatas dari kembang api sehingga meluncur ke bawah ketika kehilangan daya levitasi membelah langit malam dengan cahayanya. Ilustrasi di atas menuntun kita untuk memahami bagaimana serangkaian koneksi terjadi karena ada gaya tarik-menarik antara manusia dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat, padagang kembang api memperoleh rangsangan vibrasi elektromagnetik dari antusiasme masyarakat jelang tahun baru, dan semua benda yang meluncur ke atas (memiliki gaya levitasi berkekuatan penuh sekalipun) ia akan jatuh meluncur ke bawah karena hukum alam yang kita sebut hukum gravitasi. Seperti kita melepaskan cawan red wine, niscaya cawan akan pecah karena gravitasi bumi menariknya ke bawah dan terhempas ke lantai marmer. 5. Vibrasi Elektromagnetik dan Gravitasi Semesta Berbagai hal yang terjadi tak terlepas dari hukum-hukum causa prima yang dihamparkan di permukaan bumi, termasuk vibrasi elektromagnetik dan gravitasi alam semesta. Teks elektromagnetika selalu dapat dikaitkan dengan kinerja mekanika elektrik baik alam maupun buatan, elektromagnetika merupakan penggabungan listrik dan magnet. Energi gelombang elektromagnetika banyak dimanfaatkan dalam perancangan teknologi mesin motor, kaset tape recorder, kaset video, aplikasi sistem perangkat lunak video, speaker, dan aplikasi gelombang elektromagnetik pada kerja gelombang radio dan gelombang televisi sebagai alat komunikasi. Bahkan dieksplorasi utuk temuan energi alternatif pesawat seperti yang sedang dikembangkan teknologinya oleh NASA. Memperbincangkan vibrasi elektromagnetik tak lepas dari tinjauan fenomen melalui quantum gravitasi, dan sebaliknya untuk mendekati fenomena quantum gravitasi dengan pembahasan sistem kerja beserta cakupannya gelombang elektromagnetik. Dalam pemahaman teoretik gelombang elektromagnetik merupakan gelombang yang dapat merambat meskipun tanpa medium. Energi-energi elektromagnetik merambat melalui gelombang dengan berbagai kapasitas, karakteristik, dan ukuran, yakni: panjang gelombang atau wavelength, frekuensi, amplitude-amplitude, dan kecepatan. Frekuensi dalam gelombang elektromagnetik ialah sejumlah gelombang yang melalui suatu titik dalam satu satuan waktu tergantung kecepatan merambatnya gelombang, hal tersebut disebabkan kecepatan energi elektromagnetik konstan. Semakin panjang suatu gelombang, semakin rendah frekuensinya, dan sebaliknya. Semakin tinggi level energi elektromagnetik dilepaskan semua masa di alam semesta dalam suatu sumber energi maka semakin rendah panjang gelombang dari energi yang dihasilkan dan semakin tinggi frekuensinya. Gelombang elektromagnetik mengalami peristiwa pemantulan, pembiasan, interferensi, dan difraksi serta mengalami peristiwa polarisasi (gelombang transversal). Cepat rambat gelombang elektromagnetik sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat listrik dan magnetik medium yang ditempuhnya. Pancaran cahaya pesta kembang api yang memesonakan mata bukan semata jenis yang memungkinkan radiasi elektromagnetik. James Clerk Maxwell menunjukkan bahwa gelombang elektromagnetik lain yang berbeda dengan cahaya yang tampak oleh mata


berdasarkan panjang gelombang dan frekuensi. Kemudian Heinrich Hertz dalam eksperimentasi-eksperimentasi gelombang elektromagnetiknya sanggup menghasilkan temuan kedua gelombang yang tampak oleh mata yang diprediksi Maxwell. Beberapa tahun kemudian Guglielmo Marconi memperagakan bahwa gelombang yang tak terlihat mata itu dapat digunakan buat komunikasi tanpa kawat sehingga teknologi radio dengan sistem kerja gelombang elektromagnetik. Kini, teknologi gelombang elektromagnetik juga diaplikasi dalam teknologi simulasi cybernetic, televisi, sinar X, sinar gamma, sinar infra merah, sinar ultraviolet adalah contoh-contoh dari radiasi elektromagnetik. Semuanya bisa dipelajari lewat hasil pemikiran Maxwell. (sumber: www.pustakasekolah.com/pengertian-gelombang-elektromagnetik.html). 6. Energi Elektromagnetik dan Fenomena Quantum Gravity Pembahasaan teori gravitasi quantum (quantum gravity) sesungguhya belum mewujud menjadi sebuah teori karena baru sebatas mewacanakan suatu upaya mengawinkan teori kuantum dengan teori relativitas (yaitu teori tentang ruang-waktu dan gravitasi) dalam satu framework: one unified theory, atau theory of everything. Karena kedua teori ini merupakan pilar penting utama fisika modern yang berhasil dan teruji dengan berbagi eksperimen: fisika quantum berhasil dalam menjelaskan atom, partikel elementer, gelombang, dan fenomena mikrokopik. Sedangkan relativitas berhasil menjelaskan fenomena gravitasi, kosmologi, dan berbagai fenomena makro berikut perluasannya. Keduanya mengontruksi perspektif revolusioner mengenai realita bahwa teori relativitas merubah pandangan mengenai ruang dan waktu, sedangkan teori quantum mengubah berbagai pandangan mengenai pengamat dan sesuatu yang diamati. Dalam fisika klasik, kita menganggap posisi ruang dan waktu sebagai latar yang tetap (fixed background), yaitu seperti panggung atau arena, di mana partikel-partikel mengambil peran dalam berbagai adegan dengan menari-nari di atasnya. Layaknya landscape semesta dengan presentasi seluruh mahluk hidup di permukaannya. Sudut pandang tersebut mengonstruksi model geometri yang tetap untuk ruang dan waktu selanjutnya kita bisa merumuskan persamaan untuk membuat pengambaran dinamika partikel-partikel, dan ruang-waktu bersifat absolut, tidak terpengaruh oleh gerakan partikel-partikel tersebut. Jika semua materi dihilangkan dari alam semesta maka tetap akan tertingal sebuah ruang-waktu yang absolut. Illustrasi semacam ini sekilas bisa diterima berdasarkan kepekaan intuisi dan pengalaman sehari-hari. Dan, sebaliknya bahwa teori relativitas membuktikan bahwa perspektif ini salah, dan teori relativitas telah diuji melalui eksperimen. Teori relativitas dengan eksperientasi yang cukup panjang dan meyakinkan bahwa ruang-waktu adalah dinamis. Presentasi geometri ruang-waktu tidak statis namun sangat bergantung pada distribusi materi dan energi. Jadi perspektif teori relativitas adalah bahwa ruang-waktu adalah relasional, bukan absolut. Jika semua materi dimusnahkan maka tidak ada ruang-waktu tertinggal karena kedudukan ruang-waktu tidak eksis dengan sendirinya namun ruang-waktu merupakan sistem kerja antara hubungan dan perubahan. Jadi teori relativitas adalah bahwa teori fisika haruslah bebas latar (background independent), yaitu bahwa teori fisika tidak didefinisikan dalam latar ruang-waktu yang statis seperti dalam fisika klasik. (sumber: http://www.forumsains.com/fisika/quantumgravity/) Perspektif fisika klasik, deskripsi sebuah partikel atau sebuah sistem dapat


diberikan dengan pasti dan pengukuran besaran yang diamati (observable) dilakukan secara pasti yang pada prinsipnya keadaan sistem tidak terpengaruh oleh proses pengukuran. Namun dalam fisika kuantum, deskripsi partikel, dan prinsip keadaan sistem dan pengamatan tidak terpastikan disebabkan adannya dua prinsip utama dalam fisika kuantum yang terasa asing bila ditinjau dari kacamata fisika klasik. Dalam pandangan mengenai sistem kerja fisika klasik yang selalu mampu mengambarkan keadaan sistem dalam keadaan pasti, dan melakukan pengukuran juga dalam besaran yang pasti. Namun pada fisika quantum, tidak diperoleh penggambaran yang pasti dengan sistem kerja yang pasti jadi apa-apa yang diamati berbeda dengan apa yang sebenarnya. Realita quantum seperti inilah yang agak sulit untuk dicerna, sehingga sampai sekarang pun belum ada satu interpretasi quantum yang bisa diterima oleh semua orang. Mungkin sebuah contoh yang paling populer adalah sebuah eksperimen pikiran: paradoks kucing Schrodinger. (http://en.wikipedia.org/wiki/Schrodingers_cat). Dengan demikian sumbangan terbesar teori relativitas dalam memberikan sudut pandang baru mengenai eksistensi ruang-waktu demikian halnya teori quantum memberikan sudut pandang baru mengenai pengamat dan yang diamati. Ada dua jalan utama dalam riset untuk mewujudkan teori quantum gravitasi yakni, pertama, berakar dari teori relativitas, yaitu loop quantum gravity atau canonical quantum gravity. Yang kedua, berakar dari teori quantum (atau teori medan quantum), yaitu string theory (atau M-theory). Kedua-duanya memiliki pendekatannya memang berbeda, walaupun keduanya setuju bahwa dalam skala terkecil yaitu sekitar 10-33cm ruang-waktu tidak lagi mulus seperti yang kita amati pada skala besar. Dalam perkembanagan ilmu pengetahuan dan keluasan teori-teori ilmu pasti hingga humaniora sampai saat ini belum ada eksperimen yang bisa membenarkan atau menyalahkan teoriteori gravitasi quantum. Walaupun ada beberapa tesis yang kelihatannya cukup mungkin untuk dilaksanakan. Namun sesungguhnya wacana ini tetap diperbincangkan dan dikembangkan sebagai sebuah pengayaan sains dan teknologi. 7. Elektromagnetik: Realitas Kekuatan Pikiran Imajinatif dan Misteri Semesta Kerja elektromagnetik sangat luar biasa yang dapat kita cermati dalam praktik mekanika yang dipresentasikan semesta untuk kita sehingga para ilmuwan NASA (National Aeronautics and Space Admistration) mulai berpikir memanfaatkannya sebagai tenaga untuk ‘melemparkan’ pesawat luar angkasa ke luar atmosfer bumi. Bukan lagi mengandalkan mesin roket yang biasanya digunakan untuk mengirim pesawat-pesawat ke luar bumi, tetapi NASA ingin melakukan terobosan dengan pemanfaatan energi yang dihasilkan kerja elektromagnetik. Seluruh mesin roket NASA baik yang sudah pernah digunakan maupun roket berteknologi canggih yang sedang terus dikembangkan hingga saat ini tetap membutuhkan temuan-temuan bahan khusus sebagai pendorong pokok. Temuan bahan khusus yang dipergunakan roket biasanya diperoleh dari bahan-bahan propellant, bisa juga berupa hasil reaksi fusi nuklir dengan pengembangan berbagai teknologi inovatif seperti light propulsion dan antimater propulsion sejak awal abad 21. Penggunaan propellant sangat membatasi kecepatan dan tempuhan jarak maksimum yang dapat dicapai pesawat roket dengan begitu munculah ide untuk mengirimkan pesawat luar angkasa dengan menggunakan teknologi baru dengan sistem yang mampu ‘melemparkan’ pesawat dengan dimensi dan berat yang luar biasa ke luar angkasa tanpa


menggunakan bahan-bahan propellant. Elektromagnetika diharapkan menjadi temuan energi alternatif yang mampu memberikan solusi terbaik ke depan. NASA mengeksplorasi dan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi kedahsyatan energi elektromagnetik untuk pengembangan teknologi roket pada proyek luar angkasa. David Goodwin dari Office of High Energy and Nuclear Physics di Amerika adalah orang yang pertama kali mengusulkan ide electromagnetic propulsion ini. Hipotesanya bahwa saat sebuah elektromagnetik didinginkan sampai suhu sangat rendah terjadi sesuatu yang ‘tidak biasa’. Jika kita mengalirkan listrik pada magnet yang super dingin tersebut kita bisa mengamati terjadinya getaran (vibration) sebagai fenomena elektromagnetik yang spesifik selama beberapa nanodetik (1 nanodetik = 10-9 detik) sebelum magnet itu menjadi superkonduktor. (http://www.yohanessurya.com) Menurut Goodwin, meskipun getarannya terjadi hanya selama beberapa nanodetik saja, namun kita tetap dapat memanfaatkan keadaan unsteady state (belum tercapainya keadaan tunak) ini untuk sesuatu yang penting dalam sejarah teknologi pesawat luar angkasa. Jika getaran-getaran yang tercipta kemudian diarahkan ke satu titik orientasi yang sama maka kekuatannya cukup mampu untuk ‘melempar’ sebuah pesawat ruang angkasa dengan dimensi dan bobot mati yang tergolong tinggi. Kekuatan ini tidak hanya sekedar mampu ‘melempar’ pesawat ruang angkasa, tetapi justru pesawat ruang angkasa bisa mencapai jarak maksimum yang lebih jauh dengan kecepatan yang lebih tinggi dari segala macam pesawat yang menggunakan propellant. Untuk menerangkan idenya, Goodwin menggunakan kumparan kawat (solenoid) yang disusun dari kawat magnet superkonduktor yang dililitkan pada batang logam berbentuk silinder. Kawat magnetik yang digunakan adalah logam paduan niobium dan timah. Elektromagnet ini sebagai bahan superkonduktor setelah didinginkan menggunakan helium cair sampai temperatur 4 K (-269oC). Pelat logam di bawah solenoida berfungsi untuk memperkuat getaran. Supaya terjadi getaran dengan frekuensi 400.000 Hz, perlu diciptakan kondisi asimetri pada medan magnet. Pelat logam (bisa terbuat dari bahan logam aluminium atau tembaga) yang sudah diberi tegangan ini diletakkan secara terpisah (isolated) dari sistem solenoida supaya tercipta kondisi asimetri. Selama beberapa mikrodetik sebelum magnet mulai berosilasi ke arah yang berlawanan, listrik yang ada di pelat logam harus dihilangkan. Tantangan utama yang harus diatasi adalah bagaimana optimalisasi teknik untuk mengarahkan getarangetaran yang terbentuk pada kondisi unsteady ini supaya semua vibrasi dan energinya bergerak pada satu arah yang sama. Untuk mengeksekusinya membutuhkan alat semacam saklar (solid-state switch) atau tombol on-off yang bisa menyalakan dan mematikan listrik 400.000 kali per detik sesuai dengan frekuensi getaran yang terbentuk. Solid-state switch berfungsi untuk mengambil energi dari keadaan lunak dan mengubahnya menjadi pulsa listrik berkecepatan tinggi dan mengandung energi tinggi sampai 400.000 kali per detiknya. Energi yang digunakan untuk sistem elektromagnetik ini berasal dari reaktor nuklir (300 kW) milik NASA. Reaktor ini menghasilkan sebuah energi panas yang dihasilkan melalui reaksi fisi nuklir. Reaksi fisi nuklir yang melibatkan proses pembelahan atom dengan disertai radiasi sinar gamma dan sebuaah pelepasan kalor (energi panas) dalam jumlah sangat besar. Reaktor nuklir yang menggunakan ¾ kg uranium (U-235) menghasilkan kalor yang setara jumlahnya dengan kalor yang dihasilkan oleh pembakaran 1 juta galon bensin (3,8 juta liter).


Bisa dibayangkan bagaimana teknologi ini menekan biaya dan efisensi bahan sumber energi yang seungguhnya telah disediakan alam. Energi panas yang dihasilkan reaktor nuklir ini kemudian dikonversikan menjadi energi listrik yang dipergunakan untuk sistem electromagnetic propulsion ini. Ketika teknologi ini digunakan dalam pesawat luar angkasa, 他 kg uranium sama sekali tidak memakan tempat karena hanya membutuhkan ruangan sebesar bola baseball. Dengan massa dan kebutuhan ruang yang jauh lebih kecil dibandingkan mesin roket sebelumnya untuk mengirim pesawat ke luar angkasa. Dengan tingginya efisiensi pada pesawat yang menggunakan sistem elektromagnetik ini sehingga mampu mencapai kecepatan maksimal yang jauh lebih tinggi sehingga bisa mencapai lokasi yang lebih jauh pula. Dengan kekuatan pikiran melahirkan gagasan besar manusia dalam meringkas waktu dan melipat jarak tempuh dalam merealisasikan impian-impian imajinatif. Menurut Goodwin, kita bisa bayangkan jika pesawat luar angkasa dengan teknologi elektromagnetik ini dapat mencapai titik heliopause, tempat pertemuan angin yang berasal dari matahari (solar wind) dengan angin yang berasal dari bintang di luar sistem tata surya kita (interstellar solar wind). Heliopause terletak pada jarak sekitar 200 AU (Astronomical Unit) dari matahari, 1 AU merupakan jarak rata-rata bumi dari matahari yaitu sekitar 1,5.108 km. Bahkan planet terjauh dalam sistem tata surya kita saja hanya berjarak 39,53 AU dari matahari. Semua pesawat luar angkasa yang menggunakan propellant tidak mampu mencapai jarak tempuh sejauh itu. Temuan ini sangat mutahir sebagai fakta konkret pencanggihan teknologi energi elektromagnetika terbukti dahsyat dan ideal. Meskipun demikian pencapaian kecepatan tersebut masih sangat kecil dibandingkan kecepatan cahaya (300.000 km per detik). Kecepatan maksimum yang bisa dicapai sistem ini masih di bawah 1% kecepatan cahaya. Padahal bintang yang terdekat dengan sistem tata surya kita berada pada jarak lebih dari 4 tahun cahaya (1 tahun cahaya = 300.000 km/detik x 60 detik/menit x 60 menit/jam x 24 jam/hari x 365 hari/tahun = 9,4.608.1012 km). Bentangan ruang dan waktu yang dihampar alam semesta masih sangat luas kemungkinannya untuk dieksplorasi lagi melalui berbagai temuan eksperimental yang mengandalkan kekuatan imajinasi dan daya pikir luar biasa dalam pandangan lompatan quantum yang masih tergopoh-gopoh menggapai tiap orbit yang akan ditargetkan.

Bayangkan, satelit yang meluncur paling jauh dari bumi yakni Voyager 1, saat ini telah menempuh perjalanan yang begitu panjang dan setelah 33 tahun melayang di luar angkasa, dilaporkan Voyager 1 telah mendekati tepian dari sistem tata surya kita. Badan penerbangan dan antariksa USA, NASA mengumumkan setelah menempuh sekitar lebih dari 11 miliar mil (sekitar 17,4 miliar km) dari matahari, kini Voyager 1 hampir melampaui jarak antar bintang. Kini satelit yang diluncurkan sejak 5 September 1977 telah mencapai suatu tempat dalam sistem tata surya kita, di mana tidak ada angin surya (partikel bermuatan yang mengalir dari matahari). Sebuah eksplorasi imajinatif sejak itu dibuktikan secara sains. Seorang peneliti projek Voyager, Edward Stone menyatakan bahwa voyager dengan sistem teknologi saat diluncurkan ketika era antariksa baru berumur 20 tahun, jadi ketika itu masih belum diketahui secara pasti bahwa


pesawat luar angkasa tersebut bisa bertahan begitu lama. Saat itu manusia sama sekali tidak mengetahui atau memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk keluar dari sistem tata surya kita. Namun, laju perkembangan teknologi antariksa sekarang para ilmuwan mampu memperkirakan dengan perhitungan pasti bahwa Voyager 1 akan melampaui tata surya sekitar lima tahun lagi. Misi utama dari Voyager adalah untuk meneliti keadaan, karakteristik maupun sistem rotasi planet-planet luar seperti Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus untuk kepentingan ilmu pengetahuan sekaligus mengeksplorasi perkembangan sains dn teknologi sebagai temuan-temuan ilmiah yang paling prestisius. Misi tersebut telah dituntaskan oleh Voyager pada 1989 kemudian NASA mengutus Voyager 1 untuk terus mengarungi angkasa luar menuju pusat galaksi Bima Sakti semacam melakukan sistem monitoring yang diakses para peneliti NASA di Amerika. Dengan perbekalan paket tenaga radioaktif yang memadai dan pasokan instrumen aktif milik Voyager akan terus berfungsi dengan baik untuk mengirimkan data-data temuan di luar angkasa ke bumi. Akses teknologi komunikasi berjarak miliaran kilometer diperoleh melalui pesan radio dari instrumen Voyager bahwa informasi dari sistem satelit voyager hanya membutuhkan waktu sekitar 16 jam dalam mengirim informasi hingga ke bumi. Stone meyakinkan argumentasinya bahwa instrumen Voyager yang memonitor angin surya di lokasi tersebut menangkap fenomena yang berbeda dari fenomena-fenomena yang ditemuinya yakni terdapat wilayah heliosfer di mana angin surya memancar dengan kecepatan supersonik. Namun, setelah angin surya melampaui daerah bernama termination shock, kecepatannya akan melambat secara dramatis. Seketika itu Voyager telah mencapai kondisi di mana kecepatan angin surya melambat hingga hampir nol kemudian Voyager masih terus mengarah ke daerah yang bernama heliopause, dimana secara 'resmi' merupakan daerah perbatasan antara tata surya kita dengan sistem tata surya yang lain. Saat Voyager melewatinya maka ia akan berada di dalam ruang antar bintang, di ruang ini adrenalin dan kekuatan imajinasi serta keandalan intuisi melakukan peran penting karena semua situasi yang ada adalah sebuah situasi misteri semesta yang sama sekali belum diketahui secara ilmu pengetahuan. Kemudian Voyager memutuskan terus bergerak ke arah heliopause dengan kecepatan 17 km per detik. ‘Sebuah gambaran singkat pesawat luar angkasa yang telah bekerja selama 33 tahun, ia tetap masih menunjukkan kepada kita mengenai hal lain yang benar-benar baru’ paparan singkat salah dari seorang ahli Rob Decker, bekerja pada Voyager Low-Energy Charged Particle Instrument coinvestigator yang dikutip pada situs (http://frozen-nation.blogspot.com/2010/12/satelitvoyager-mendekati-heliopause.html). Ketika titik sistem tata surya berakhir kemudian ruang antar bintang mulai tak terdefisikan dengan pasti. Batasanbatasan luar terbentuk daari dua gaya tekan yang terpisah antara angin matahari dan gravitasi matahari. Pengaruh dari batasan terjauh angin matahari berjarak


sekitar empat kali jarak Pluto dan matahari. Heliopause sebagai titik awal medium antar bintang, namun Bola Roche Matahari memiliki jarak efektif pengaruh gravitasi matahari yang diperkirakan seribu kali lebih jauh. Heliopause diklasifikasi menjadi dua bagian yakni, awan angin yang bergerak pada kecepatan 400 km/detik sampai menabrak plasa dari medium ruang antar bintang. Tabrakan semacam ini terjadi pada benturan terminasi yang kira-kira terletak di 80-100 SA dari matahari pada daerah lawan angin dan sekitar 200 SA dari matahari pada daerah searah jurusan angin. Kemudian melambat dramatis, memampat, dan berubah menjadi kencang membentuk struktur oval yang kemudian dikenal sebagai heliosheath yang memiliki karakteristik mirip ekor komet. Ekor komet tersebut keluar sejauh 40 SA di bagian arah lawan angin dan berkali-kali lipat lebih jauh pada bagian lainnya. Voyager 1 dan Voyager 2 dilaporkan telah menembus benturan terminasi tersebut dan memasuki heliosheath pada jarak 94 dan 84 SA dari matahari. Memasuki sebuah ruang batasan luar heliosfer dan heliopause yang merupakan titik tempat angin matahari berenti dan ruang antar bintang. Sejauh ini belum ada pesawat luar angkasa yang melewati heliopause sehingga tidak dapat mengetahui situasi ruang antar bintang lokal dengan pasti. NASA berharap Voyager akan menebus heliopause pada akhir dekade yang akan datang kemudian mengirin data tingginya tingkat radiasi dan angin matahari. Kemudian NASA membiayai tim untuk mengembangkan konsep ‘vision mission’ dengan mengirim satelit khusus sebagai upaya eksplorasi ruang heliosfer. Hipotesa para ahli, di luar angkasa terdapat Awan Oort. Awan Oort ialah sebuah massa berukuran raksasa yang terdiri dari bertrilyun-trilyun objek es, awan ini dipercaya merupakan sumber komet yang memiliki periodesasi panjang. Dalam situs: blog.unsri.ac.id menegaskan bahwa awan tersebut menyelubungi matahari pada jarak sekitar 50.000 SA (sekitar satu tahun cahaya) sampai sejauh 100.000 SA (1,87 tahun cahaya). Wilayah ini diyakini mengandung komet yang terlempar dari bagian dalam tata surya karena adanya interaksi dengan berbagai planet bagian luar. Awan tersebut bergerak sangat lambat dan dapat diguncangkan oleh berbagai situasi tertentu yang langka misalnya tabrakan antar planet, effek gravitasi haluan bintang, dan gaya pasang galaksi maupun gaya dorong Bima Sakti. Kemudian Sedna, sebuah benda langit yang berwarna kemerahan menyerupai planet Pluto yang memiliki orbit raksasa dan berbentuk sangat elips. Sedna memiliki posisi sekitar 76 SA pada perihelion dan 928 SA pada aperihelion dan berjangka orbit 12.050 tahun. Mike Brown seorang penemu objek tersebut pada tahun 2003 menegaskan bahwa Sedna bukan merupakan bagian dari piringan terbesar ataupun Sabuk Kuiper sebab perihelionnya terlalu jauh kemunculannya dari pengaruh migrasi Neptunus. Brown dan para ahli astronomi berpendapat bahwa Sedna meruakan objek pertama dari sebuah kelompok yang


terbilang baru. Sebuah benda yang bertitik perihelion pada 45 SA, aperihelion pada 415 SA, dan berjangka orbit 3.420 tahun yang kemudian Brown menamakan ‘awan Oort bagian dalam’ (blog.unsri.ac.id). Hal tersebut dikarenakan terbentuk melalui proses yang mirip Pluto meskipun juh lebih dekat jaraknya dengan matahari yang kemungkinan ia juga disebut planet kerdil. Begitu luar biasa temuan-temuan data antariksa dan begitu banyak hal yang belum secara keseluruhan diketahui manusia, namun setidaknya temuan ini memberi gambaran yang akurat mengenai fenomena dalam lingkup sistem tata surya yang dieksplorasi oleh Voyager 1 dan Voyager 2 yang dibekali teknologi elektromagnetik. Medan gravitasi matahari dapat diperkirakan secara pasti mendominasi gaya gravitasi bintang-bintang sekelilingnyaa sejauh dua tahun cahaya (125.000 SA). Perkiraan limit terendah radius Awan Oort tidak lebih besar dari 50.000 SA, meskipun ditemukan daerah antara Sabuk Kuiper dan Awan Oort merupakan sebuah daerah yang memiliki radius puluhan ribu SA yang belum bisa dipetakan. Kendati studi mengenai ini sedang dilangsungkan untuk mempelajari daerah antara Merkurius dan Matahari karena besar kemungkinan akan diketemukan objek-objek serupa di daerah yang belum dipetakan tersebut. Sebuah upaya luar biasa untuk mengeksplorasi gagasan imajinatif mengenai berbagai hal yang bergerak di luar angkasa dengan melakukan petualanganpetualangan spektakuler dan dramatis. Kendati tidak semua eksplorasinya dilakukan oleh manusia karena berbagai pertimbangan kapasitas manusia terhadap berbagai kemungkinan mendekati daerah yang tidak aman. Eksplorasinya dipresentasikan oleh kerja teknologi satelit yang mengeksplorasi data dan fenomena yang ditemui selama puluhan tahun sebagai representasi perjalanan ektrem yang terjauh dilakukan manusia. Faktanya, perjalanan terjauh manusia yang pernah ditempuh hingga saat ini adalah 400.000 km yaitu ketika manusia berhasil menempuh perjalanan ke bulan. Jika kita ingin mengirim pesawat menggunakan teknologi elektromagnetik tanpa awak pun kita masih membutuhkan ratusan tahun sebelum pesawat tersebut bisa mencapai bintang terdekat. Dengan pesawat yang menggunakan propellant bahan kimia kita baru bisa mencapai bintang terdekat dalam waktu puluhan ribu tahun. Namun jika ingin mencapai bintang terdekat dalam waktu lebih cepat layaknya adegan-adegan film Star Trek maka kita membutuhkan pencanggihan teknologi yang bisa melampaui kecepatan cahaya. Dalam film tersebut seolah sedang memprovokasi para ilmuwan antariksa untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan imajinatifnya yang bisa mengantarkan manusia melintas setara dengan kecepatan cahaya bahkan melampauinya untuk mampu mengelaborasi ikhwal misteri alam semesta dengan kedigdayaannya yang tak terduga.

Paling tidak eksplorasi ruang angkasa hingga saat ini membuktikan bahwa perjalanan manusia dalam mengeksplorasi imajinasi mengenai semua aktivitas kehidupan yang nyaris tak terjangkau dan awalnya tak terpikirkan mulai memenui titik terang sebagai referensi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berperan memompa adrenalin manusia bereksplorasi dan melakukan


petualangan terjauhnya, meskipun melalui kepanjangan tangan dari pencanggihan teknologi telekomunikasi satelit hasil ciptaannya. Hal tersebut bisa merepresentasikan perjalanan terjauh manusia secara non eksistensial. Fenomena-fenomena yang dituturkan semesta pada kita sesungguhnya sebuah fenomena brainshocking yang luar biasa untuk melahirkan gagasan luar biasa yang memukau sekaligus mengguncang otak dan menginspirasi gagasan imajinatif selanjutnya. 8. Vibrasi Elektromagnetik dan Kekuatan Pikiran Kreatif Segala sesuatu yang hari ini menjadi realitas berawal dari sesuatu yang bersifat imajiner, dimana ruang virtual dieksplorasi dan dikelola dengan berbagai pendekatan untuk menemukan sebuah pola baru ilmu pengetahuan yang dapat dilacak pada realita kehidupan sehari-hari. Ilmu pengetahuan dan agama-agama kuno telah membuktikan dengan fakta-fakta otentik bahwa segala sesuatu selalu lahir atau bermula dari pikiran bahkan alam semesta tempat kita saat ini berada. Saat ini ada karena proses identifikasiidentifikasi pikiran atas berbagai hal yang dibentangkan dalam hirarki pengetahuan. Realitas hari ini sesungguhnya manifestasi pikiran kita dan orang-orang sebelum kita mengenai eksistensi dan proses berkehidupan kita. Kita bisa seperti sekarang ini merupakan visualisasi dari serangkaian impian dan imajinasi pikiran kita yang lepas selain dari blue print takdir kita dengan alam dan sang Khaliq. Tidak sulit untuk memaparkan analogi-analogi sederhana bagaiamana kita peroleh harta benda, kesehatan, kebahagiaan, kesuksesan, kepercayaan, networking, status sosial, dan martabat kita dengan sebuah nyali untuk memikirkannya. Hal yang sederhana ini tak membuat kita menyadari bahwa sesuatu bisa kita peroleh dengan kekuatan pikiran. Ini semacam fenomena sederhana dari sebuah vibrasi elektromagnetik yang mampu memberi pengaruh pada semua aspek yang terkait dan mengubahnya menjadi energi spiritual untuk mengonstruksi apa-apa yang tertlintas dan diyakininya. Seperti apa yang dijabarkan pada ilmu fisika quantum menuju satu muara yakni energi, energi quanta pikiran kita mencuat dari apa-apa yang kita bayangkan dan apa-apa yang ingin digapai. Sebuah ruang eksplorasi energi yang mentransformasi bahasa imajinasi ke dalam bahasa visual yang bergerak, organik, dan hibrid. Energi bergerak pada tiap simpul saraf dimana kita bisa memikirkannya dan bergerak pada fokus melakukan inkubasi untuk melahirkan gagasan imajiner ke dalam wujud realitas sebagai manifestasi yang secara terus-menerus menginspirasi produktivitas pemikiran selanjutnya. Manifestasi sebagai bentuk pikiran yang bisa mewujud. Dan, Dr Wayne Dyer menyatakan bahwa kelimpahan adalah sesuatu yang membawa kita lebih fokus (pada apa yang kita pikirkan) ke dalamnya. Alam semesta sebagai medan kemungkinan selalu merespon pikiran kita, baik itu baik atau buruk. (http://forum.kompas.com/sains/28067kekuatan-pikiran-realitas-anda.html). Sebuah rahasia kecil untuk mendapatkan apa yang kita inginkan adalah membiarkannya (pikiran imajinatif) datang dan masuk ke dalam hidup kita, maka biarkan ia mengalir dengan bebas menemukan koneksi-koneksinya. Bayangkan jika sebuah sistem pemrograman besar-besaran dilakukan sedemikian rupa sehingga kita merasa takut bahwa sebagian besar waktu kita terkuras dalam projek tersebut. Ketakutanlah mengarahkan kita ke dalam keadaan pemblokiran dan penolakan sebelum gagasan besar tersebut terkoneksi dengan sejumlah probabilitasnya. Esensi quatum yang tak terpastikan namun membuka ruang kebaruan-kebaruan.


Kekuatan pikiran adalah energi virtual yang sarat energi emosional dan spiritual yang terkonsentrasi menjadi sangat luar biasa kemampuannya. Pikiran mampu mengubah keseimbangan energi di sekitar kita dengan membawa perubahan terhadap lingkungan dan masa depan. Masa depan dapat kita wujudkan melalui kekuatan pikiran. Sesungguhnya yang kita butuhkan adalah vibrasi elektromagnetiknya untuk memicu adrenalin kekuatan pikiran kita bukan membayangkan risiko-risikonya yang belum tentu mengkhawatirkan. Yang kita tunggu adalah keberanian kita menjumpai realitas quantum yang melekat pada diri kita sehari-hari, semua realitas quantum membuka ruang probabilitas yang luas dan memadai untuk dijadikan media eksploratif. Di sanalah kita sesungguhnya dapat menjumput nilai-nilai estetika futuristik yang lebih menarik, antusias, segar, penuh kejutan, sensasional dari kecemasan yang mengguncang otak, shock terapi otak, dan insight dapat terbarukan terus-menerus. Ruang estetika futuristik yang sangat personal dan temuan-temuan yang partikular. Filsafat India ‘Advaita Vedanta’, yang disebut ‘non-dualitas’ dalam perspektif Barat. Dunia tidak nyata, tapi hanya sebuah ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita. Karena kebanyakan orang berpikir mengenainya dan mengulangi pemikiran yang sama atau mirip, memusatkan pikiran mereka pada lingkungan saat ini, mengolah, dan menciptakan jenis peristiwa atau keadaan yang sama secara kontinu. (http://michaelriorohan.blogspot.com/2011/06/bagaimana-cara-kerjanya-danmengapa.html). Proses ini sebagai upaya mempertahankan ‘dunia’ yang sama melalui status quo. Hal ini seperti membaca novel yang sama berulang kali kemudian kita dapat mengubah novel dengan mengubah perspektif pikiran kita dan memvisualisasikan ke dalam alur cerita yang berbeda, artikulatif, aksentuasi, proyeksi atas kehidupan yang juga berbeda, dan dengan cara demikian kita sedang menciptakan sebuah realitas baru yang benar-benar berbeda. Itu sebuah cara mengelola kenyataan meskipun sebenarnya hal tersebut hanya mimpi yang kita kembangkan dan kita sebut sebagai realitas. Melalui pola-pola mengubah pikiran dan mengubah gambaran mental berarti kita mendeskripsikan dengan terperinci bagaimana mengubah realita dan mengubah dunia imajinasi menjadi dunia-dunia realitas baru. Semua impian yang berkelebat dalam kesadaran kita begitu sangat realistis dengan mengubah kesadaran ke dalam kesadaran yang sebenarnya yakni kekuatan visualisasi yang hanya kita jumpai pada dunia realitas. Kekuatan visualisasi merupakan sebuah kekuatan besar. Kita sering membatasi diri kita dengan seolah-olah melampaui batas kemampuan pikiran kita dan melemahnya keyakinan untuk mempresentasikannya secara sempurna. Untuk menjadi pribadi dengan kekuatan pikiran imajinatif yang sempurna harus menjadi pribadi yang terbuka dan peka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terbuka. Pribadi yang terbuka adalah pribadi yang berani untuk berpikir revolusioner, berbeda, khas, dan penuh upaya pencerahan. Begitu banyak fenomena sekitar kita yang mengajarkan mengenai berbagai hal dan perspektif elektromagnetis, karena sesungguhnya manusia dengan kwalitas pikiran, dan citra yang melekat adalah daya tarik untuk orang di sekitarnya. Sensasi estetis alam dengan fenomena-fenomenanya adalah hamparan yang memiliki kekuatan elektromagnetis bagi makhluk hidup yang berad di dalamnya bahkan untuk dirinya sendiri. Dan, karya seni yang dibangun atas gagasan imajinatif dan memiliki daya ganggu sekaligus daya pukau yang luar biasa sudah barang tentu ia memiliki kekuatan magnetis.


Gagasan yang melekat bersama dengan nilai-nilai estetis merupakan gelombang yang akan menarik berbagai partikel yang terkoneksi pada muatan di dalamnya seperti yang dipaparkan lebih jauh pada konsep teori quantum. Visualisasinya menarik berbagai sudut pandang atau pengamatan penikmat seni untuk mengeksplorasi tanda visual yang melekat sebagai kesatuan kekuatan magnetis, sehingga karya seni ini dapat dibicarakan dan digali lebih dalam nilai-nilai estetikanya. Konsep visual yang bersifat magnetis yakni sebuah konsep yang memiliki nilai kontekstual, nilai filosofis, nilai humanistik, nilai yang menggugah, nilai penyadaran, nilai yang mengguncang otak, nilai eksplorasi, dan nilai estetis dengan kebaruankebaruannya. Hal ini penting diperhatikan agar karya seni yang presentasikan ke publik tidak out of tune dan menjadi materi yang baik untuk dipresentasikan secara menyeluruh dengan content yang dikandungnya. Sebuah nilai-nilai estetika futuristik yang menjadi jiwa jaman.

Bagian IV


Transformasi Lompatan Quantum, Eksplorasi Media, dan Estetika Futuristik Kita belum memaksimalkan dan melakukan transformasi kinerja otak kita. Kemampuan otak dapat mengguncang dunia dan mendorong proses perubahan. [Dr. Yhosse Alberto]

A. Transformasi Lompatan Quantum dan Eksplorasi Media Mencermati

pertumbuhan,

perkembangan

teknologi

komunikasi,

dan

pencanggihan teknologi simulasi cybernetic sangat pesat dalam kurun 5-10 tahun terakhir khususnya dalam membangun dan mengembangkan jejaring internet yang dengan cepat menjadi tren masyarakat masa kini kendati memiliki efek simulasi tinggi dan bersifat manipulatif.

Setiap saat ruang imajiner begitu ugal-ugalan dieksplorasi

sebagai area surfing menjelajah hasrat dalam ruang tanpa batas, mulai informasi politik, hiburan, pendidikan, bisnis, perniagaan, networking, jejaring sosial sampai eksplorasi identitas-identitas baru yang serba palsu.

Banyak peristiwa penting dunia yang

digerakkan oleh sistem jejaring sosial dalam ruang praktik cyberspace bahkan sebuah kudeta politik dan peruntuhan kekuasaan status Quo di beberapa negara diktator bisa dimobilisasi melalui sistem jejaring sosial. Hal tersebut berbanding lurus pada peran cybernetic dengan berbagai aspek yang muncul sebagai sebuah konsekuensi perubahan sistem sosio-kultural. Ketika dunia virtual mendominasi dunia realitas sehingga dapat dikatakan menjadi semacam ‘alam atau dunia kedua’ masyarakat kontemporer. Jalur-jalur informasi bebas menyergap pada ruang aktivitas kapan saja dan di mana saja untuk menikmati fenomena global dengan pemanfaatan ruang elektronis pada serabut optik (fibre optic) berkecepatan cahaya begitu luar biasa yang interaksinya kian abai pada eksistensi fisik. Visi urban kemudian melekat pada budaya sebagai bagian yang terintegrasi dengan perkembangan masyarakat kontemporer. Kecenderungan hidup semacam ini berada dalam pengaruh cyberspace dan idealisasi virtual space yang mengkristal secara laten pada masyarakat dunia akhir-akhir ini. Pada era globalisasi dan era digitalisasi dimana teknologi komunikasi simulasi


menjadi candu masyarakat dunia merupakan sebuah konsekuensi logis. Sebuah era yang menerobos semua aspek kehidupan yang menggerakkan kekuatan imajinasi penduduk dunia dengan sistem networking dan penyedia layanan jaringan yang luar biasa termasuk kemampuannya menggerakan arah kebudayaan dunia yang paling kontemporer sekalipun.

Fenomena ini sesungguhnya sebuah transformasi mekanis yang hidup,

tumbuh, dan bergerak sebagai manifestasi masyarakat dunia yang hibrid untuk melakukan lompatan quantum.

Perubahan besar-besaran hanya ditransformasikan

melalui signal yang memuat miliaran data base seluruh dunia berada dalam media jejaring yang sangat populer yakni internet. Internet hanya salah satu kasus penting dunia sebagai produk cybercultures dalam mengubah perilaku, gaya hidup dan cara pandang. Sehingga memunculkan jargon konsumerisme, internet menjadikan dunia dalam genggaman. Era baru yang menuntut pemberdayaan potensi (diri) kreatif manusia yang lebih dari sekedar memadai. Kita memerlukan sejumlah metode-metode penggalian diri yang lebih bersifat progresif revolusioner untuk mampu menghadapi tantangan dan bergerak berkesesuaian dengan spirit jiwa jaman. Spirit keberanian mengakses berbagai potensi dan menyediakan ruang probabilitas untuk mengakomodir self development dan peluang lompatan quantum. Kemampuan menangkap gejala yang berkembang di dunia dalam mentransformasi lompatan quantum sebagai bagian penting referensi kita untuk melakukan lompatan batasan yang imajinatif. Saya teringat diskusi seru saya dengan seorang penggila cybernetic dan Master of Arts pengkaji American Studies, Sakdiyah Maruf mengenai materi novel 1984 karya emas George Orwell, yang sesungguhnya sudah diduga Gramsci mengenai hegemoni dan represi sebagai dasar teori kritis sosio-kultural. Pada novel tersebut memaparkan cerita yang mirip-mirip yang dialami dunia sekarang ini ‘the totalitarian nightmare’ yang bukan berasal dari pemerintahan yang otoriter tapi dari hal-hal yang sering dibicarakan banyak orang selama ini. Di dalam buku (novel) tersebut ada kamus Bahasa Inggris baru terbitan pemerintah yang namanya Newspeak. Isinya kata-kata istilah bahasa Ingris standar yang disingkat-singkat tidak keruan.

Nah di awal, pemerintah otoriter itu

menghanguskan semua buku dan sumber ilmu yang membahayakan partai tapi setelah masyarakat terbiasa dengan newspeak. Novel itu bisa saja beredar kembali toh orang-orang sudah tidak bisa memahami karena mereka sudah menggunakan bahasa yang beda dan pada akhirnya tidak akan ada lagi pemberontakan. Sama halnya dengan anak-anak juga masyarakat sekarang dengan


kemunculan new media technology yang kemudian memunculkan ‘bahasa baru’ dengan segala model kata singkatan dan istilah-istilah gaul baru muncul. Pada suatu hari, kalau arus ini tidak di counter, satu generasi akan kehilangan kemampuan bicara dan menulis kemudian memberontak maka tunduklah mereka pada kekuatan-kekuatan represif (apapun itu bentuknya). Yang lebih mengerikan lagi bentuk represi yang paling dahsyat jika ada consent of the oppressed yang diduga Gramsci, jika sudah begini tidak ada yang merasa tertindas lagi. Perubahan ini sebagai ekses perkembangan teknologi digital, televisi, koran, majalah, radio, internet, dan lainnya.

Kecenderungan masyarakat

mengadaptasi ‘bahkan mengadopsi’, salah satunya budaya konsumerisme sebagai hegemoni budaya, dan sosial yang terus-menerus berkembang dan mengikis nilai-nilai budaya lokal bahkan terancam punah. Televisi merupakan produk budaya pop yang pengaruhnya sangat besar di masyarakat. Melalui televisi, masyarakat mulai meniru berbagai hal: gaya berbahasa, gaya berbusana, gaya hidup, dan pola pikir. Dampaknya, terjadi perubahan sosial dan esensi nilai-nilai budaya lokal lenyap. Kapitalisme sebagai penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik modal, dan diproduksi semaksimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, secara tidak sadar, budaya konsumerisme dan hegemoni kapitalistik tumbuh subur di Indonesia. Dasawarsa 1920-an dan 1930-an merupakan titik balik penting yang diingatkan Dominic Strinati (2003: 4) bawa dalam kajian dan evaluasi budaya popular dimulai dari munculnya sinema dan radio produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara barat, semuanya memainkan peran dan memunculkan perdebatan atas budaya massa. Grafik pengguna produk cybernetic (tv, hp, PDA, IPhone, monitor capsule IPad, Android, Blackberry, email, tweeter, friendster, face book, badoo dan lainnya) berada pada peringkat dominasi tertinggi di Indonesia. Fakta bahwa negeri ini sebagai bagian dari masyarrakat dunia yang konsumtif. Pengguna jejaring sosial yang mewabah akhirakhir ini memiliki motif sebagai media komunikasi ‘silaturahmi’ semata dengan teman lama untuk romantisme atau menggilainya dengan motif-motif tertentu hingga berselancar membangun jaringan bisnis. Pola ini bergerak dengan pasti menunjukkan disposisi budaya Jawa dalam konteks kesadaran eksistensi dan kesadaran humanistik antar-pengguna.

Hilangnya tradisi anggah-ungguh, tepo seliro, sowan, sungkeman

dengan orang tua saat Idhul Fitri yang tergantikan serta merta secara mekanis dengan fasilitas cybernetic. Situasi ini lazim dipraktikan pada berbagai perayaan keagamaan hingga momen ulang tahun.


Pada wacana neurofisiologis, model cybernetic telah dipergunakan untuk mengurai dan menjelaskan secara rinci berbagai aspek dari kerja otak. Model cybernetic telah digunakan dalam embriologi sejak awal 1950-an. Lima model cakupan kerja otak pada model cybernetic yang khusus yakni; 1) model untuk jaringan saraf disederhanakan, terutama yang mewakili proses perseptual; 2) model statistik untuk osilasi kompleks dan peraturan aktivitas saraf nyata; 3) algoritma model yang berkaitan atau rencana untuk proses pengkondisian; 4) model untuk mekanisme yang bertanggung jawab untuk menjaga dan mengarahkan perhatian; 5) dan model untuk perubahan secara terperinci apa-apa yang terjadi di persimpangan sinapsis antara neuron. Di luar kerja otak, prinsip cybernetic banyak digunakan untuk menjelaskan kontrol fungsi tubuh dalam proses otonom (hormon yang dimediasi sistem pengaturan, pengendalian otot, dan sebagainya) dalam jumlah yang sangat mengejutkan mengingat besar biologi molekuler dan bio-kimia bersandar pada model yang menggambarkan organisasi dari berbagai sistem enzim dan kontrol hirarki sintesis enzim. Dibutuhkan tipe penjelasan yang menjanjikan untuk memiliki utilitas lebih lanjut yang berhubungan dengan instruksi kode genetik untuk mengidentifiaksi aspek ekonomi selular. Cybernetic dalam konteks psikologi menjelaskan beberapa klasifikasi perilaku dan aspek kognisi dalam hirarki sistem kontrol yang sebelumnya menyatakan sebuah perencanaan dan sistem belajar dalam bidang terkait. Pada tingkat makroskopik, ide cybernetic diaplikasikan untuk sistem interaksi interpersonal seperti percakapan, perilaku komunikatif kelompok kecil, komunikasi pada jejaring sosial yang tak terbatas, dan proses homeostatis yang mempertahankan status quo dalam sistem sosial. Cybernetics memiliki aksiomatik dan aspek filosofis. Paradigma aksiomatis dipahami sebagai upaya mengasumsikan postulat tertentu tentang sebuah sistem dan untuk menyimpulkan sifat sistem (seperti reproduksi, pembelajaran diferensiasi) yang merupakan konsekuensi dari asumsi ini. Kemudian aspek filosofis sering berkaitan dengan teori-teori, misalnya, teori penyederhanaan (bagaimana sifat kompleks dari sistem nyata dapat dikurangi menjadi proporsi yang dikelola tanpa kehilangan informasi penting) dan teori perintah. Tapi itu juga khawatir dengan isu relevansi serta dengan identifikasi yang tepat antara berbagai jenis model cybernetic sistem informasi yang dikendalikan mekanika mesin dan sistem


informasi realitas. Pada pengembangan teknologi cybernetics dan pengembangan teoriteori tertentu secara berkelanjutan, diantaranya adalah melibatkan teori permainan atau simulasi, teori komunikasi, teori linguistik, grafis, teori informasi, baik dalam arti informasi statistik selektif, atau dalam arti lebih luas yang melibatkan informasi semantik dan pragmatis.

Pencanggihan teknologi komunikasi mencapai puncak pencapaian

dengan kecenderungan masyarakat yang begitu luar biasa mencandui simulasi virtual di jejaaring maya. Sebuah presentasi yang menggairahkan sekaligus mengkhawatirkan dirasakan karena teknologi simulasi ini kemudian menjadi bagian integral dari pembentukan sistem sosial dan perubahan perilaku masyarakat kontemporer. Fakta sosial yang mencengangkan justru pengguna fasilitas ini merambah ke semua lapisan masyarakat dan menerabas ke semua usia serta strata sosial dari pusat hingga pelosok desa sampai jangkauan terjauh satelit dari providernya. Internet kini berada dalam genggaman. Aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja akselarasi tinggi menjadi perangkap dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan spiritual. Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya tingkat efisiensi, efektivitas dan kenyamanan, di sisi lain adalah picu dalam mempersempit tingkat pencapaian spiritualitas humanistik untuk berbagi ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa serta berinteraksi sosial.

Konsep

kehadiran riil bergeser ke ruang maya, di mana konsep kehadiran imajiner menjadi dominan sebagai ekses penurunan kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi humanistiknya. Bergesernya berbagai paradigma ruang eksistensi dan pola-pola hubungan sosial, aktivitas ekonomi, religi, dan sebagainya menguatkan pandangan bahwa sebuah perubahan atau pergeseran terjadi begitu luar biasa selaras dengan konsep budaya yang diskursif dan dapat berubah menzaman.

Sehingga terjadinya pergeseran nilai dan

substansinya yang dipicu oleh perkembangan teknologi cyberspace. Perubahan budaya dan karakteristik dapat dipahami sebagai kelaziman dan keniscayaan. Pertumbuhan dan perkembangannya yang kian melampaui populasi penduduk bumi yang hampir seluruh aspek telah diambil alih, meski tidak sepenuhnya daya pikat teknologi simulasi ke dalam semua aspek sistem informasi yang mengarah pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi multikultur dalam paket cybercultures. B. Eksplorasi Digital dan Guncangan Estetika Futuristik Dalam Film David Cronenberg Videodrome, seorang pria tertelan ke televisi. Artis Stelarc menempel pada setiap bagian dari sensor tubuh dan stimulator yang terhubung


ke internet secara harfiah dari perpaduan teknologi dan tubuh. Dengan cara yang sama, komputer dan media elektronik lainnya memiliki dimensi tertentu dimana kita bisa merasakan mereka datang ke dalam kontak dengan kulit tubuh kita. Realitas kehidupan kita sehari-hari sudah terstruktur sebagai dunia maya, dengan tubuh kita mendapatkan sensasi sentuhan mereka dari dunia maya sesungguhnya bukan ruang arsitektur aktual maupun lansekap kota. Pada titik tertentu kita seolah tengah dikelilingi oleh arsitektur virtual dan tertutup dalam interior imajiner dalam sebuah raksasa besar inkubator (cyberspace). Dalam novel cyberpunk, ekspansi arsitektur virtual ini terkait dengan penurunan, kerusakan kota, dan distorsi-dekonstruksi arsitektur.

Sementara arsitek

cyber resort formalisme sebagai fashion arsitektur virtual dalam bungkus realitas, realitas aktual di sekitar ditandai kian terkikisnya eksistensi tubuh kita melalui kontak dengan media elektronik yang diabaikan dalam arsitektur virtual dengan mengejar formalistik citra. Di akhir abad ke-18, struktur megalomaniak yang diilustrasikan oleh Etienne-Louis Boulee sebagai raksasa untuk direalisasikan. Kemudian pada tahun 1920-an, para arsitek avant-garde Rusia membayangkan bangunan mengambang di udara. Pada saat ini masih hanya mimpi, tetapi ketika kita sampai kubah geodesik Buckminster Fuller yang membainshocking publik dimana kita dapat menemukan sesuatu yang khusus karena mereka memiliki daya tarik Boulee dengan para raksasa. Tentu saja sebuah bangunan mengambang tersebut tidak lagi sebagai sebuah fantasi belaka yang hidup dalam ruang imajiner. Fuller kemudian membranding dirinya dengan membuat sejumlah gambar rancangannya dari kubah geodesic raksasa mengambang di langit. Awalnya sangat tidak rasional dan mustakhil namun kini menjadi realitas perancangan arsitektur yang mencengangkan dan menjadi tonggak avant garde. Rusnoto Susanto pada proceeding makalah seminar nasional Arsitektur di Universitas Atma Jaya Yogyakarta ‘Cyber-Architecture Paradigm and The Contruction of Cyberculture Lifestyle in Contemporary Society’ (2011: 629-630) memaparkan bahwa kegilaan perancangannya menabrak kebuntuan patron arsitektur dan justru karena gravitasi didefinisikan batas penting untuk arsitektur yang Heidegger paparkan dari kuil Yunani yang bangkit dalam hubungan ketegangan dengan bumi (ketika awal seni muncul). Pada sisi lain, arsitek telah mati-matian berusaha untuk dibebaskan dari keterbatasan ini. Telah berulang kali bermimpi bagaimana sebuah bangunan seolah terbang layaknya seorang astronot melayangkan tubuhnya pada ruang hampa udara. Saat ini, seorang arsitek yang mengaku sebagai desainer dari cyber-architecture


menyatakan kebebasan mereka untuk merancang dalam ruang digital yang bebas dari batasan gravitasi. Situasi ini menjadikannya dunia maya hadir atau dihadirkan untuk menggantikan ruang yang sebenarnya sebagai target untuk penanaman modal dan lain sebagainya. Tampak

bahwa

pengertian

terminologi

arsitektur

memperluas

dirinya untuk

memasukkan konfigurasi ruang virtual dalam tampilan komputer beserta simulasisimulasi visualnya.

Ini fakta yang terus hidup di akhir abad ke-20 melalui pertemuan

fisik, sensual, dan erotis dengan komputer sebagai sebuah eksplorasi arsitektural yang dapat menjadi ruang baru dan memiliki kekuatan untuk mengubah paradigma seni arsitektur kontemporer. Rentang

waktu

tahun

1960

sampai

1970-an,

posmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur.

perbincangan

tentang

Diruntuhkannya bangunan

perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur posmodernisme.

Arsitektur posmodern membawa tiga prinsip

dasar yakni: kontekstualisme, allusionisme, dan ornamental.

Robert Venturi, arsitek

sekaligus teoretisi awal konsep arsitektur posmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966) menyatakan bahwa, arsitektur posmodern lebih mengutamakan elemen gaya hybrid (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal). Sementara itu Charles Jencks dalam The Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa atribut konsep arsitektur posmodern yakni; metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik, perbedaan gaya, dan pluralistik. Arsitektur posmodern juga memiliki sifat-sifat hybrid, kompleks, terbuka, kolase, ornamental, simbolis, dan humoris. Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur posmodern ditandai oleh suatu ciri double coding sebagai prinsip arsitektur posmodern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan. Arsitektur posmodern hingga kini menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran ekletis dari konsep medium dan nilai estetikanya. Keberadaan kota pada era posmodern tentu dipengaruhi berbagai aspek yang dibentuk oleh warna-warni pandangan, kecenderungan, keyakinan, gagasan, citra, tanda, dan makna. Citra hunian masa kini cenderung mengaplikasi konsep electricity yang ekletis, minimalis, kadang menekankan pada bentuk-bentuk disain arsitektur yang


kompleks, detail-rumit, dan kontradiktif. Karakteristik inilah yang tumbuh dan hidup dalam siklus serta ritme masyarakat kontemporer. Terkonstruksinya citra semacam ini sesungguhnya merupakan manifestasi life style masyarakat kontemporer.

Semakin

tingginya kecenderungan pada konsumerisme dan kapitalistik maka dapat dipastikan berpengaruh pada meningkatnya cita rasa terhadap berbagai perspektif dalam upaya pemenuhan kebutuhan. Baik dari kebutuhan sehari-hari hingga hal yang berhubungan dengan pencitraan dan kemewahan. Cita rasa yang dipengaruhi oleh gaya hidup yang dibentuk cybercultures secara signifikan pula mempengaruhi berbagai gaya dan pencitraan arsitektur posmodern dengan citra cyber-architecture. Pengembang hunian dan apartemen kini cenderung menekankan pencitraan pada konsumen sesuai gaya hidup, memiliki nilai investasi progressif, prestisius, dan strategis maka memunculkan konsep-konsep super block mewah pada perancangan arsitektural yang energik, ekletis, benderang, glamour, gemerlap warna-cahaya, prestisius, elegan, stylist, dan futuristic.

Kecenderungan menentukan desain citra

arsitektur posmodern dengan sentuhan etnik khusus menciptakan ruang bersifat bebas, anekaragam, dan pluralisme.

Bangunan yang kreatif dan imajinatif menjadi khas

masyarakat yang bebas berekspresi.

Relasi khusus dengan arsitektur cyber ini

dipengaruhi hal-hali diatas dianggap dapat menawarkan jawaban atas obsesinya. Pencitraan arsitektur ruang publik di Indonesia khususnya mengacu pada perkembangan arsitektur futuristik di Eropa dan Amerika.

Karya arsitekturnya

cenderung mengacu pada konsep landmark kota. Cermati saja pada citra arsitektur pusat belanja, perkantoran, niaga, pusat laboratorium pendidikan, pusat kebudayaan, pusat-pusat hiburan, dan tempat peribadatan di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya, Malang, Makasar, Bogor, Bumi Serpong Damai, Cikarang, Medan, dan Bandung). Tak hanya pada arsitektur fungsional, projek pencitraan futuristik mewabah di area jembatan jalan tol, peristirahatan sementara dan gerbang-gerbang beberapa kawasan hunian yang difungsikan sebagai pencitraan public space. Kawasan Kelapa Gading Jakarta mampu membenamkan miliaran rupiah untuk sebuah projek pencitraan kawasan dengan membangun monumen karya pematung Rita Widagdo sebagai landmark Summarecon. Kota wisata, BSD, Agung Podomoro Group, Ocean Park, The Jungle, Menara BNI 46, FedEx, Surabaya Town Square, Green Bay Pluit, City Cat Walk dan lainnya secara sadar membranding dirinya dengan citra kawasan futuristik. Ada juga super block yang tampil mencolok seperti Seaview Condominium di Green Bay Pluit yang berada tepat di atas Mall sebagai paket kawasan hunian elit yang dilengkapi ruang publik berupa Botanical Garden


seluas 12 hektar. Kawasan dengan view eksotik khas bahari terintegrasi dengan sarana pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi, resto, sport, resort, pusat kebugaran, wisata Ancol, Pantai Indah Kapuk dan sarana pusat kesehatan. Mengingatkan kita pasa Vivo City Singapore dan Yokohama Land. Citra futuristik pada bangunan berarti citra yang mengesankan bahwa ekspresi arsitekturnya berorientasi masa depan (futuristik) atau mengikuti perkembangan jaman. Fleksibilitas dan kapabilitasnya mampu melayani dan mengikuti perkembangan kebutuhan fungsi sekaligus pencitraan. Kriteria tersebut menampung tuntutan aktivitas yang senantiasa berkembang melayani perubahan ruang dan perwajahan. Futuristik sebagai core values layaknya Ferary maupun Lamborgini bercitra dinamis, estetis, dan inovatif terutama dari segi teknologi yang dipakai (dinamis, canggih dan ramah lingkungan) dengan mengadopsi bentuk-bentuk bebas yang impresif, ekspresif, dan futuristik. Futuristik merupakan lambang perubahan, dinamis dan menembus ruang imajinatif sebagai movement, ekstrim, berlebihan dan tidak natural. Nampak senada dengan paradigma perkembangan arsitektur yang bebas dan sarat dekonstruksi. Pranata teknologi simulasi cybernetic, jauh dari asal-usul dunia maya dapat ditelusuri pada seni abstrak modernis Malevich. Malevich mengakui kekuatan magnet, gravitasi, gelombang radio, kekuatan virtual lainnya, dan potensi melawan gravitasi yang dimemiliki tiap objek lukisan. Sepanjang garis yang sama, dia membayangkan sebuah bangunan mengambang dengan pondasi bangunan keluar, citra floating dibangun di atas sebuah struktur imajiner-virtual melalui afterimages, dan mekanisme lain dari perspektif tertentu. Gejala perancangan dengan pelibatan kecanggihan teknologi digital merepresentasikan segenap obsesi dan keliaran imajinatif seorang arsitek dalam menerjemahkan desain virtual ke dalam perwujudan tiga dimensi pada ruang fisik. Untuk membuat modifikasi artbitrer terhadap fleksibilitas ruang untuk mengejar objek yang tidak pernah bisa diungkapkan dalam kenyataan. Penampilan sesaat dari ruang maya dengan cara menggerakan objek, afterimages, dan efek stereoskopik. Ini menunjukkan betapa gigih ia mengejar ambiguitas ruang antara dua dan tiga dimensi sub- zona, interval, stasiun transfer yang disebut ‘materi imaterial’. Imaterial, lahir dari cahaya dan gerak benda, memiliki unsur-unsur yang sama dengan ruang media elektronik. Arsitektur sangat cair pada ruang cyber dan ini jelas arsitektur imaterial. Tipikal arsitektur yang tidak lagi puas dengan bentuk, cahaya, dan aspek lain dari dunia nyata. Perkembangan arsitekturnya masa kini mengutamakan komposisi mixed, bentuk


distorsif, ambigu, inkonsisten, dan kebebasan ekspresi visual. posmodern

menjelaskan

dan

menguraikan

kontemporer yang kian beragam dan rumit.

dinamika

Citra arsitektur

kehidupan

masyarakat

Era posmodern juga diwarnai prilaku

masyarakat yang ekspresif, bebas, dan pluralistik. Perubahan teknologi yang kian pesat menimbulkan sebuah ledakan budaya visual melalui berbagai fantasi dan visualisasi yang merupakan unsur dominan di dalam realitas mekanis sistem cybernetic. Hal ini juga memberi pengaruh yang luar biasa baik pada penggunaan fasilitas cyberspace untuk mengeksplorasi gagasan dengan mengakses –mengupdate- perkembangan wacana desain arsitektur dunia maupun dalam praktik perancangan arsitektur masa kini yang memaksimalkan konsep eksplorasi desain-desain inovasinya melalui berbagai fasilitas cyber. Kita dapat cermati maraknya program-program talk show dan life style seputar materi arsitektur di cyberspace baik di televisi maupun di situs-situs internet, sebut saja Metro TV dan AnTV hampir rutin setiap Sabtu-Minggu menayangkan paket program arsitektur dan life style dengan durasi satu jam untuk mengentertainment (Green Bay Pluit, Agung Podomoro, Rasuna Apartemet, dan Kawasan Ancol) produk-produk arsitektur inovatif berbagai pengembang properti kelas wahid dengan presentasi desain serba glamour, kontemporer, posmo, dan imajinatif.

Dari mulai hunian terbatas

peruntukannya hingga hunian yang terintegrasi dengan lingkungan public space. Televisi lain menyajikan paket program arsitektur dari provider dalam paket reality show (Bedah Rumah, Penghuni Terakhir, maupun Rumah Idaman). Apartemen yang dilaunching ugal-ugalan mengindikasikan bahwa citra arsitektur kita tengah menjadi bagian dari simulasi cyberspace menjadi penanda sederhana sebuah kecenderungan masyarakat memiliki daya serap potensial yang ditunjukkan maraknya bisnis property. Investasi properti menjadi bagian gaya hidup yang dibangun secara laten oleh cyberculture. Semakin tingginya kecenderungan pada konsumerisme dan kapitalistik maka dapat dipastikan berpengaruh pada meningkatnya cita rasa terhadap berbagai perspektif dalam upaya pemenuhan kebutuhan. Baik dari kebutuhan seharihari hingga hal yang berhubungan dengan pencitraan dan kemewahan. Cita rasa yang dipengaruhi oleh gaya hidup yang dibentuk cybercultures secara signifikan pula mempengaruhi berbagai gaya dan pencitraan arsitektur posmodern dengan citra cyberarchitecture. Argumentasi di atas diurai untuk menemukan relasinya antara realitas dan keberadaan teknologi simulasi ruang maya pokok persoalan sebuah transformasi lompatan quantum yang terjadi setiap detik di layar fiber optic.

Inilah titik picu


bagaimana sesungguhnya positioning kebudayaan bergeser dan terjadi penggantian maya (sebagai fenomena Virtual Replacement) pada berbagai perspektif dan perubahannya di tengah arus postmoderisme. Kemudian konsep Virtual Replacement menjadi sebuah kritik terhadap praktik cybercultures dalam disertasi saya di Program Doktoral ISI Yogyakarta, bahwa virtual replacement memicu kesadaran saya bahwa ketika para pengguna produk cybercultures mendudukkannya sebagai budaya baru akan terjadi disposisi.

Kendati demikian hendaknya tetap memiliki kesadaran berusaha

melakukan reposisi manusia ‘budaya’ Jawa berada pada konteks representasi eksistensi fenomena cybercultures. Bagaimana pun sebuah perubahan dan perkembangan budaya mutlak berlangsung pada hampir seluruh kebudayaan di belahan bumi ini. Persoalannya adalah bagaimana upaya memetakan kembali aspek lokal ‘local genius’ dalam perspektif global yang mampu memberi kontrol terhadap derasnya arus perubahan budaya global yang saat ini melekat menjadi bagian integral pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Grafik pengguna produk cybernetic (tv, hp, PDA, IPhone, monitor capsule IPad, Android, Blackberry, email, tweeter, freindster, face book, badoo dan lainnya) berada pada peringkat tertinggi di Indonesia.

Fakta bahwa negeri ini sebagai bagian dari

masyarakat dunia yang konsumtif. Pengguna jejaring sosial yang mewabah akhir-akhir ini memiliki motif sebagai media komunikasi ‘silaturahmi’ semata dengan teman lama untuk romantisme atau menggilainya dengan motif-motif tertentu hingga berselancar membangun jaringan bisnis. Pola ini bergerak dengan pasti menunjukkan disposisi budaya Jawa dalam konteks kesadaran eksistensi dan kesadaran humanistik antarpengguna. Hilangnya tradisi anggah-ungguh, tepo seliro, sowan, sungkeman dengan orang tua saat Idhul Fitri tergantikan serta merta secara mekanis dengan fasilitas cybernetic. Situasi ini lazim dipraktikan dalam berbagai perayaan sakral keagamaan hingga momen ulang tahun. Fakta sosial yang mencengangkan justru pengguna fasilitas ini merambah ke semua lapisan masyarakat dan menerabas ke semua usia serta strata sosial dari pusat hingga pelosok desa sampai jangkauan terjauh satelit dari providernya. Internet kini berada dalam genggaman. Aktivitas kehidupan dihabiskan untuk sebuah siklus kerja akselarasi tinggi menjadi perangkap dalam ritme percepatan sekaligus mempersempit ruang dan waktu bagi perjalanan kehidupan spiritual. Pencapaian puncak percepatan di satu sisi meningkatnya tingkat efisiensi, efektivitas dan kenyamanan, di sisi lain adalah picu dalam mempersempit tingkat pencapaian spiritualitas humanistik untuk berbagi


ruang dan waktu untuk berbasa-basi, tegur-sapa serta berinteraksi sosial.

Konsep

kehadiran riil bergeser ke ruang di mana konsep kehadiran imajiner menjadi dominan sebagai ekses penurunan kualitas interaksi sosial dan kehilangan lapis-lapis toleransi humanisnya. Bergesernya berbagai paradigma ruang eksistensi dan pola-pola hubungan sosial, aktivitas ekonomi, religi, dan sebagainya menguatkan pandangan bahwa sebuah perubahan atau pergeseran terjadi begitu luar biasa sehingga terjadinya pergeseran nilai dan substansinya yang dipicu oleh perkembangan teknologi cyberspace. Perubahan budaya dan karakteristik dapat dipahami sebagai kelaziman dan keniscayaan. Pertumbuhan dan perkembangannya yang kian melampaui populasi penduduk bumi yang hampir seluruh aspek telah diambil alih meski tidak sepenuhnya oleh daya pikat teknologi simulasi ini secara langsung mampu mendiskualifikasikan semua aspek sistem informasi yang mengarah pada pembentukan budaya baru yakni akumulasi multikultur dalam paket cybercultures.

Pencermatan inilah kemudian dijadikan mediasi untuk

melihat kembali pemicu aspek-aspek ledakan maya yang signifikan membangun karakteristik budaya masyarakat hari ini hingga masa yang akan datang. Serangkaian eksplorasi media yang begitu radikal mewarnai kehidupan masyarakat dunia akhir-akhir ini. Ini semacam fenomena spektakuler akhir-akhir ini dimaa sebuah paket kebudayaan yang berbasis teknologi simulasi cybernetic dengan produk-produk cybercultures mampu memberi pengaruh sangat signifikan ke semua aspek yang terkait dan mengubahnya menjadi energi spiritual gaya baru masyarakat kontemporer. Sebuah penerjemahan kekuatan pikiran melalui energi virtual, energi emosional, spiritual yang terkonsentrasi, dan memiliki kemampuan mengubah berbagai paradigma komunikasi ke dalam wilayah perluasannya yang lebih pragmatis. Sebuah ruang eksplorasi energi yang mentransformasi semua gejala virtual yang sangat imajinatif ke dalam bahasa visual maupun simulasi audio visual yang bergerak, kontinu, konstan, organik, berkecepatan tinggi, dan hibrid. Energi media sebagai spiritualitas baru bergerak pada tiap simpul saraf dalam melakukan inkubasi untuk melahirkan gagasan imajiner ke dalam wujud seolah-olah nyata sebagai manifestasi komunal masyarakat kontemporer. Esensi dari eksplorasi media mengarah pada konsep quatum yang tak terpastikan namun membuka pandangan sebagai ruang bebas untuk menemukan kebaruan-kebaruan melalui transformasi quantum pada realitas quantum yang melekat pada diri kita sehari-hari. Karena semua realitas quantum membuka ruang probabilitas


yang luas dan memadai untuk dijadikan media eksploratif kebudayaan. Sesungguhnya kita dapat menjumput sejumlah nilai-nilai estetika futuristik yang lebih menarik, antusias, segar, penuh kejutan, sensasional, shock terapi otak, dan terbarukan terus-menerus. Ruang estetika futuristik yang kemudian dibangun begitusangat personal dan temuantemuan yang partikular. Nilai-nilai estetika futuristik yang menjadi jiwa jaman, menjadi bagian penting dari perubahan, spirit kemajuan teknologi, dan ruh bagi perkembangan kebudayaan dunia.

Bagian V.


Visi Baru : Kekuatan Imajinasi dan Kebaruan-Kebaruan Estetik ‘All children are born geniuses’ (Daniel Goleman)

Tesis ‘All children are born geniuses’ dari Daniel Goleman cukup melegakan bagi semua orang tua yang melahirkan anak karena meyakini bahwa semua anak dilahirkan sebagai jenius. (Tjokronegoro, 2002: 241). Jenius secara logis, emosional maupun jenius secara spiritual bergantung pada potensi ia menjadikannya seorang Einstein, menjadikannya seorang Newton maupun menjadikannya seorang da Vinci.

Setiap bayi memiliki potensi untuk menjadi Imago Dei (citra

Tuhan) di muka bumi. Imago Dei sebagai given yang tak terbeli, hanya dengan membayar mahal dengan curahan daya untuk menjaga dan merawat hingga nilainya tetap meninggi bukan malah sebaliknya. Bagaimana potensi ini hidup, tumbuh, bergerak, dan berkembang dengan memiliki kecenderungan kecerdasan masing-masing dan visi hidupnya yang mematangkannya. Jika dunia sebagai landscape terindah dengan pesona-pesonanya maka ruang imajinasi, intuisi, dan eksplorasi-eksplorasi estetik masih memiliki keluasan ruang untuk digali lebih jauh. Pengetahuan menjadi perincian-perincian metodik untuk mengelola medan kreatif melalui pengembaraan imajinasi dengan gagasan-gagasan baru dalam melakukan konstruksi kebaruankebaruan estetika. Visi baru bagi seorang seniman adalah tetap menjaga daya kreatif dan intensitas kreatif pada titik didih tertinggi sebab tidaklah sederhana menjadi jenius meskipun secara alamiah dibekali potensi itu. Jenius selalu saja melalui serangkaian proses kerja eksperimentasi dan sebuah tempaan dari semua sistem terkait yang berperan melakukan konstruksi tersebut.

A. Medan Kreatif Sebagai Visi Baru Kehidupan Membicarakan medan kreatif sesungguhnya menyeret kita pada diskusi panjang mengenai inspirasi, gagasan, imajinasi, intuisi, visi kreatif, ideologi estetika, dan wacana visi baru kehidupan yang melatarbelakangi itu semua. Bagaimana sebuah picu kreatif dimunculkan sebagai pembentang atau keterperincian visi baru kehidupan yang sesungguhnya sebuah potensi yang melekat pada manusia kreatif, intuitif, eksploratif, dan imajinatif. Jika kita punya cukup waktu mugkin saja kita bisa membentangkan keluasan pokok ini jauh sebelum manusia menemukan semua yang tumbuh, bergerak, dan berkembang di luar dirinya sebagai sebuah kebudayaan yang ia lahirkan dari interaksi dengan alam sekitarnya. Pokok yang begitu luas sekedar kita runut jejaring-jejaring yang memiliki simpul penting untuk mengelaborasinya secara singkat dan permukaan. Visi realitas baru didasarkan atas sebuah kesadaran kesalingterhubungan dan saling ketergantungan esensial seluruh fenomena fisik, biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Fritjof


Capra pada The Turning Point (2007: 317) menyatakan bahwa visi ini melampaui bataas-batas konseptual dan disiplin yang ada dewasa ini dan akan dicari di setiap lembaga baru. Saat ini tak ada kerangka baku yang mapan baik secara konseptual maupun institusional yang membantu perumusan paradigma baru. Namun garis besar kerangka semacam ini telah dibentuk oleh banyak pribadi, komunitas, dan jaringan yang mengembangkan cara-cara baru untuk memikirkan dan melakukan pengorganisasian diri sesuai atau beradaptasi dengan prinsip-prinsip baru. Sebagai suatu pendekatan sistem budaya kontemporer sebagai upaya merumuskan jaringan konsep yang terkait dalam pengembangan organisasi sosial yang lebih fundamental dalam sistem yang secara intrinsik bersifat dinamis. Melalui sejarah, telah kita ketahui bahwa pikiran manusia sanggup menampung dua macam pengetahuan dan dua modus kesadaran sekaligus yang sering dibatasi oleh rasionalitas dan intuisi; masing-masing secara tradisional diasosiasikan dengan sains dan agama. Wilayah pengetahuan rasional, tentu saja merupakan wilayah sains yang hanya bisa menggukkur, mengkuantifikasi dan menganalisisnya. Keterbatasan pengetahuan yang dicapai lewat metode-metode ini menampakkan realitasnya secara telanjang di lapangan sains modern. (Eko Wijayanto, 2002: 7) Sebagian besar kita mengalami begitu sulitnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan dan tentang relativitas pengetahuan konseptual. Ini lebih disebabkan karena representasi kita tentang realitas sangat mudah dimengerti dibanding dengan realitas itu sendiri.

Kita cenderung

mengacaukan keduanya dan menggunakan konsep-konsep maupun simbol-simbol untuk realitas. Kecenderungan proses riset ilmiah disusun dari pengetahuan dan aktivitas-aktivitas rasional kendati tak seluruhnya benar semua tersusun secara rasional. Pada wilayah rasional dari riset seenarnya tak berguna bila tak dilengkapi oleh kekuatan dan kedalaman intuisi. Kekuatan dan kedalaman intisi yang memberikan para ilmuwan mengenai pemahaman-pemahaman intuitif dan karakteristik personal tertentu. Begitu juga sebaliknya. Pengalaman empirik berada di wilayah kekuatan pikiran dan dicapai dengan kapasitas memahami ketimbang kualitas memikirkan dalam menjalami serangkaian riset atas subjek maupun fenomena. Metode eksperimentatif dan induktif tampaknya paling representatif dilakukan oleh ilmuwan kebudayaan dan seniman yang mengorganisasikan kekuatan imajinasi dan intuisi sebagai motor penggerak proses kreatifnya. Sepertinya kita juga sedang diingatkan Capra (2000:22) bahwa pengetahuan rasional dan berbagai aktivitas rasional lain pastinya merupakan bagian terbesar riset ilmiah, namun bukan itu saja yang ada di sini. Aspek rasional dari riset bahkan tak berguna jika tidak dilengkapi dengan kekuatan intuisi yang memberi para ilmuwan berbagai wawasan baru dan menjadikan mereka kreatif. Inilah yang setidaknya menjadi variabel-variabel penting yang mampu menjadi perekat antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan seni. Seni dan ilmu pengetahuan memiliki kesamaan mempresentasikan temuan-temuan berdasarkan fakta-fakta dan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan.

Dengan begitu


sesugguhnya kajian-kajian seni, cultures studies, dan ilmu-ilmu humaniora memiliki dasar penalaran yang serumpun untuk menemukan tiap detail imajinasi yang mengemuka. Ilmu pengetahuan bukan melulu menghamparkan pikiran dan penalaran begitu pula seni bukan landscape ilmu yang sematamata mengawang pada presentasi perasaan, hati, dan kekuatan imajinasi. Karena keduanya justru lahir dan dikembangkan berabad-abad dengan peran fakta dan kekuatan imajinasi, bukankah keduanya sesungguhnya sama-sama lahir, dan hadir dari satu budaya. Budaya imajinatif-kreatif. Perumusan dan eksplanasinya merupakan buah dari eksplorasi-eksplorasi imajiner dan dari sesuatu yang awalnya tak tampak. Persoalan hakiki bagi ilmuwan adalah mempresentasikan kebenaran dan sanksi dari fakta yang dialami, the sanction of experienced fact sebagai figur dan perwajahan dari kebenaran itu sendiri atas hipotesis-hipotesis yang mendasarinya. Sedangkan persoalan hakiki seniman bukan mencari kebenaran namun mengetengahkan perspektif baru yang berbeda.

Perspektif yang

membuahkan dimensi kebaruan-kebaruan dan sesuatu yang distinctive atas sesuatu yang umum pahami selama ini. Ilmuwan mengkonstruksi visinya acceptable secara lebih sitematik dari visi seniman meskipun banyak seniman yang dijadikan subjek kajian yang memiliki ‘a strong sense of belonging’. Saya sangat terinspirasi pernyataan DR. Daoed Joesoef dalam Visi Baru Kehidupan (2002: 115-116) bahwa seni dan ilmu pengetahuan sebenarnya lahir dari satu induk yang sama: budaya imajinatif-kreatif, sebuah penyatuan ‘a complete culture, a unity out of variety’ sebagai sesuatu uiversalitas yang sepantasnya dihayati. Bukankah ‘great moments’ dari penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan pembaruan-pembaruan seni adalah saat di mana ilmuwan dan seniman melihat suatu kaitan baru antara aspek-aspek realitas yang berbeda dan tampak tak ada kaitannya selama ini. Dengan menciptakan pola-pola baru, seorang ilmuwan dan seniman mengadakan perubahanperubahan inovatif. Sesungguhnya yang mereka ubah adalah ‘the division of live’ yang sekaligus secara implisit memupuk ‘the culture of living change’. Dua bagian saling terkait dengan aktivitas dan visi dalam melakukan sesuatu dengan memikirkan dan merasakannya.

Karena apa yang

diimajinasikan adalah visi yang akhirnya direalisasikan sebagai tindakan nyata. Medan kreatifnya adalah aktivitas penggalian nilai-nilai kreatif-inovatif dan kekuatan imajinasi sebagai picu utamanya. Tanpa visi baru yang lahir dalam manifestasi imajinasi-imajinasi dan kreasi-kreasi maka medan kreatif tak menghasilkan temuan apapun kecuali akan menjadi monster menakutkan yang tidak mampu membesarkan nyali untuk mendekatinya apalagi bermain di wilayah itu. Visi ‘kreatif’ kehidupan memiliki ruang eksplorasi tak terbatas dan ruang yang bagi siapa saja memiliki potensi yang sama untuk meraihnya. Jim Taylor dan Watts Wacker, Visionary’s Handbook (2008: 262) membagi lima teori tahapan yakni keberanian, keberuntungan, kompleksitas, kontaminasi, dan faktor-faktor yang tak terkendali. Metode ini berkonsentrasi pada produktivitas ide, pengelolaan ide kreatif dan teknologi yang membingkai visi pembetukan masa depan. Budaya


imajinatif, kreatif, dan penggalian inovasi tumbuh dari kesadaran manusia yang dibentuk menurut konsep ini sebagai realitas. Di balik penampilan dunia yang kasat mata terdapat arus dari suatu realitas yang lebih memiliki kebenaran yang kedalaman dan keluasannya tak dapat diduga secara pasti. Justru realitas inilah yang kemudian menjadi objek ilmu pengetahuan dan seni yang lahir sebagai instrumen yang menguak misteri realitas yang memiliki kebenaran. Ilmu pegetahuan dan seni yang berkaitan dengan aktivitas kreatif maka imajinasi guna saling menyempurnakan dan memperkuat peran atau fungsinya untuk membangun nilai-nilai tertentu. Situasi semacam ini merupakan representasi kecil dari sebuah visi kreatif yang mampu memberi vibrasi organis bagi penjelajah imajinasi untuk mengguncang pikiran dan mengeksplorasi realitas sesederhana apapun yang mampu menginspirasi imajinasi kreatif selanjutnya. Jika seseorang menelaah secara sungguh-sungguh kehidupan semesta dan aktif di dalam pengembangan konsep mengenai pengalaman bahwa hubungan kehidupan dengan pengalaman bukanlah hubungan universal dan partikular. Georg Simmel dalam Gadamer (2004: 77) setiap pengalaman mempunyai sesuatu tentang proses petualangannya. Jadi, petualangan (eksplorasi) mampu memberikan kehidupan yang dirasakan sebagai keseluruhan di dalam nafas dan kekuatannya.

Petualangan memiliki pesona dengan menghilangkan syarat dan kewajiban

keseharian masuk kemudian berada dalam ketidakpastian. Petualangan menghamparkan sebuah ‘ujian’ sebagai proses pengayaan dan pematangan sekaligus karena kehidupan juga sesungguhnya dapat dipandang sebagai objek pengalaman estetik. Objek pengalaman ini yang biasa disebut Erlebniskunst (seni mengalami) sebagai bentuk seni sejati. Gagasan dalam sebuah karya seni merupakan transformasi inspirasi genius pengalaman untuk menciptakan karya seni. Brainshocking sesungguhnya medan kreatif untuk individu-individu bernyali. Brainshocking bukan sekedar mengolah hal-hal yang bersifat fenomena semata namun menggali, megelola, mengolah secara liar berbagai hal yang noumena sekalipun. Sesuatu yang tak nampak menjadi ikhwal kemunculan ribuan bahkan jutaan presentasi imajiner yang segera mengemuka dari kesadaran dan visi baru kehidupan untuk menjelajahi segala kemungkinan. Menggapai ceruk-ceruk yang paling mendasar dari kekuatan imajinasi dan menggapai langit-langit intuisi yang tak terbatas.

B. Kekuatan Imajinasi: Ide Kreatif dan Kebaruan-Kebaruan Estetik 1. Eksplorasi Kekuatan Imajinasi Imajinasi dipandang sebagai cara yang tidak biasa untuk menciptakan sesuatu yang benarbenar baru dan distingsi. Seperti Beckwith (2007: 58) ketika menggilai petikan gitar George Harrison dan mencermati Roger McGuin pemusik rock yang mempelajari musik klasik.

Ia

menyatakan bahwa tidak semua inovator menciptakan hal yang benar-benar baru seperti McGuin


tinggal menggabungkan elemen-elemen yang sudah ada dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain. Meski sederhana kedengarannya namun tak setiap langkah ini akan berhasil dan imajinatif. Dalam analisis mendalam, imajinasi bukanlah anugerah yang diberikan begitu saja pada orang yang sedang beruntung.

Kita memiliki imajinasi khususnya bagi yang meluangkan cukup

waktu dan menyediakan keluasan ruang berikut kehalusan perasaannya untuk mengamati fenomena sekeliling sesederhana apapun dengan empati yang terpelihara. seseorang

melakukan

mengamatan

dan

pencermatan

serta

sedikit

Semakin intens

keberanian

untuk

membayangkan sesuatu yang tak tampak sebagai permukaan maka saya yakin kita semakin imajinatif. Karena dengan kekuatan imajinasi, visi inovatif dan kehendak mewujudkannya maka dengan mudah kita memperoleh temuan kebaruan-kebaruan estetik yang orisinal. Dan, untuk menciptakan lompatan-lompatan batasan yang lebih jauh hanya dengan mempelajari sesuatu yang baru. Hal baru berpotensi memicu imajinasi dan kreativitas baru. Saya teringat di hampir setiap kesempatan kuliah di kelas program Doktor Penciptaan Seni bersama Prof. Drs. M. Dwi Marianto, MFA, PhD selalu saja mengingatkan kita mengenai analogi bagaimana seorang Michaelangelo Buonarroti yang lebih dikenal sebagai Michaelangelo ketika membongkar bongkahan marmer untuk dibawa ke studionya kemudian dengan sebuah kesdaran saat melihat bongkahan batu marmer besar, yang ia bayangkan bahwa sesungguhnya bukan Michaelangelo hendak memahat marmer membentuk citra manusia tertentu namun ia hendak membebaskan tubuh manusia dari dalam batu marmer tersebut. Artinya bahwa, dalam proses penciptaan tidak selalu sekedar berurusan dengan aspek teknik mencipta karya seni namun bagaimana seorang seniman memiliki perspektif lain secara filosofis diolah sebagai kekuatan imajinasinya menerobos apa-apa yang belum terlintas. Apalagi hal-hal yang seringkali berkelebat dihadapan kita sebagai sesuatu yang umum. Kekuatan imajinasi tak hanya terkait dengan sejumlah rasa melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan namun ia harus berurusan dengan konstruksi berpikir dan penalaran ketika imajinasi hendak diwujudkan. Kekuatan imajinasi mengambil peran penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan baik dari ilmu-ilmu pasti sampai pada detail ilmu humaniora, imajinasi yang menuntut segenap persepsi, nalar, dan cara pandang untuk mengembangkan keluasan jangkauan ilmu pengetahuan itu sendiri. Seorang ilmuwan sejati berusaha menyusupi alam (alam dalam pengertian sebenarnya atau alam dalam dunia imajinasi) untuk memahami dengan visi imajinasi kreatifnya. Hal ini nyata ketika kita mencermati konteks revolusi ilmiah petama terdahulu diawal penemuan keilmuan. DR. Daoed Joesoef dalam Visi Baru Kehidupan (2002: 106) menyatakan bahwa revolusi tersebut terjadi tahun 1543 ketika Copernicus menerima kopi cetakan pertama dari buku yang telah disiapkannya belasan tahun. Tesisnya adalah bahwa bumi yang bergerak megelilingi matahari –


suatu pandangan heliosentris tentang alam semesta- yang saat itu menentang pandangan geosentris yang berlaku. Langkah awal yang dilakukan Copernicus mengarah ke perumusan tesis ini dengan membuat lompatan imajinasi: melepasan diri dari bumi, membubung ke angkasa, lalu hinggap di matahari. ‘Menangkap bumi dari matahari’, demikian tulisannya dan ‘Mataharilah yang mengatur gugusan bintang-bintang’. Teks-teks ini lahir karena keliaran imajinasi dalam belantarabelantara petualangan virtual membangun interteks-interteks baru yang lebih imajinatif. Sebuah pandangan-pandangan revolusioner selalu melahirkan cara pandang baru dan cara pandang-cara pandang baru inilah yang memberikan insight-insight baru yang bisa memproduksi ide-ide kreatif dalam ruang diferensiasi. Kekuatan imajinasi mengilhami Newton membangun teori gravitasi karena apel yang jatuh di kebunnya, yang menggugah pikirannya bahwa buah apel tersebut telah ditarik ke bumi oleh gravitasi karena konsep ini sudah lama ada sebelum dia menyempurnakannya.

Nah, yang

menggugahnya saat itu adalah imajinasi bahwa daya gravitasi yang telah mencapai puncak pohon apel ini sebenarnya terus mencuat ke luar bumi dan angkasanya begitu rupa hingga mencapai bulan dan gravitasi ini pula yang telah menahan bulan itu dalam orbitnya. Dalam menindaklanjuti temuan imajinasinya Newton menangkap similaritas fenomena keduanya, mirip tapi tak serupa. Bukankah gerakan apel ke bumi dan gerakan bulan di angkasa luar memang tidak mirip sama sekali kendati di dalam gerakan-gerakan tersebut dia melihat dua ekspresi dari dua konsep tunggal yaitu gravitasi. Konsep penyatuan ini dapat dikualifikasikan oleh Newton sebagai sebuah kreasi bebas, orisinal, dan sesuatu yang tak lazim saat itu. Sama ketika Keppler, ketika berusaha menguak misteri alam semesta 100 tahun sebelum Newton, merumuskan hukum-hukum gerakan planet melalui pandangan-pandangan imajinatif-kreatif bahwa ia tak memikirkan hal tersebut sebagai suatu keseimbangan dari neraca bank kosmis namun sebagai sebuah ungkapan dari adanya kesatuan dalam semua kenaturalan ‘unity in all nature’. Pada abad ke 17 René Descartes memperkenalkan konsep mekanistik yang dirancang dan dikembangkan sebagai perwujudan jiwa atau roh dari ilmu pengetahuan modern untuk dijadikan pilar peradaban yang dipercaya bisa mencerahkan dan membebaskan manusia dari belenggu nilainilai pengetahuan dan kekuasaan jaman sebelumnya.

Konsep pencerahan melalui berbgai

pandangan ilmuwan dan budayawan dalam prosesnya kemudian melahirkan pemahaman materialisme dalam setiap aspek kehidupan ilmiah. Kemudian bergerak pemahaman terhadap materialisme yang mendorong manusia semakin percaya bahwa mereka sesungguhnya makhluk dominan yang semkin menjauhkan manusia itu sendiri dari alam yang menjadi bagian dari dirinya. Kemudian manusia membangun habitusnya yang superior tersebut. Manusia melakukan sesuatu seyogyanya harus dimulai dengan gagasan yang bisa berkembang menjadi konsep sebelum melakukan suatu tindakan bukan sebaliknya layaknya kerja otomatis mekanika mesin. Yos Suprapto (2009: 24-25) menggambarkan bahwa Leonardo da Vinci sosok pemikir


sistemik yang paham betul tentang kesatuan hidup alam yang saling mendukung dan memiliki hubungan tak terpisahkan di dalam kaitannya dengan energi. Dengan memelajari seluruh kumpulan buku catatannya yang dilengkapi dengan gambar-gambar sketsa original tangannya kita bisa menyimpulkan bahwa sumbangan Leonardo merupakan feomena hidup dari sebuah keyakinannya terhadap kekuatan alam yang ia hormati. Observasinya yang rinci bagaimana alam dan pikiran manusia menjadi sumber gerak eksploratifnya yang tentu saja sangat inspiratif dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang memiliki nuansa kreatif dan perluasan nilai estetika yang dikedepankan sebagai bentuk ilmu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai spiritual untuk lebih menghargai potensi alam dan kekuatan imajinasi manusia.

2. Diferensiasi Ide Kreatif dan Kebaruan-Kebaruan Estetik Sebuah pernyataan RenĂŠ Descartes yang mampu hidup beberapa abad, ‘Cogito Ergo Sum’ ‘Aku berpikir, maka aku ada’.

Pernyataan ini mematahkan keragu-raguan filsuf rasionalis (1596-

1650) dan itulah yang diyakini banyak orang telah membuka ruang berpikir manusia untuk melahirkan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan baru. Bukankah ilmu pengetahuan dirintis dari sesuatu yang imajinatif dengan muatan-muatan virtual sebagai virtual idea yang sering disandingkan dengan term multiplisitas. Multiplisitas dalam pandangan Deleuze, ialah sebuah fase atau jalur horizon virtual yang diaktulisasikan dan dibentuk oleh rangkaian hiterogen yang masingmasing rangkaiannya ditentukan oleh diferensiasi diantara konsep-konsep pembentuknya. Konsep multiplisitas yang dikembangkan Deleuze tidak dapat dipisahkan dari konsep ide.

Multiplisitas

merupakan ruang kemungkinan perbedaan dan ide adalah struktur yang membangun ruang perbedaan, yang di dalamnya terdapat pelbagai singularitas atau atraktor-atraktor tak terwujud dan bersifat virtual, tetapi berperan dalam membentuk objek-objek tersebut mewujud.

Idea

sebagai struktur dinamis, sifat lipat ganda, hubungan-hubungan di dalam relasi-relasi nyata danungkapan-ungkapan aktual. (Piliang, 2008:152-153) Idea dan muatan virtualnya selalu diaktualisasikan di dalam dunia nyata dan hanya dapat hidup di dalam rang mutiplisitas dalam memproduksi keseragaman dan perbedaan. Multiplisitas merupakan rumah idea yang mengaktualisasian diri ke dalam yang aktual. Virtual selalu mengambil tempat dalam skema perbedaan, divergensi, dan diferensiasi. Aktualisasi atau diferensiasi ideadan muatan virtualnya selalu menghasilkan yang baru (genuine), seperti yang ditegaskan Deleuze dalam Piliang (2008: 157) bahwa ...nyata tanpa menjadi aktual, mempunyai sifat diferensi (differentiated) tanpa harus didiferensiasikan (differenciated), lengkap tanpa harus menyeluruh. Perbedaan dan keserbaberagaman yang dihasilkan dalam struktur idea sangat ditentukan oleh singularitas yang memproduksi atau yang mereproduksi perbedaan itu sendiri yang berkaitan dengan konsep representasi. Deleuze membedakan konsep representasi pada sifatnya yakni; 1) pertama, representasi terbatas yaitu mengenai bentuk-bentuk yang selalu harus merujuk pada bentuk dan identitas asali yang diikat di dalam prinsip pertentangan dan


dideterminasi dengan menjadikannya sebagai subordinat dari identitas genus. 2) Kedua, representasi tak terbatas yaitu sebuah representasi yang tidak dideterminasi dan dibatasi oleh konsep umum. Dengan demikian tidak ada hierarki antara objek dan representasinya, antara genus dan spesies, aktualitas dan virtualitas maka representasi tidak lagi dibatasi oleh medan hierarki genus-spesies, namun lebih bersifat tak terbatas. Dan, menurutnya ketakberaturan kreatif atau chaos yang penuh inspirasi. Perbedaan kemudian dinilai mampu memberi ruang pada perbedaan ekstrem yakni perbedaan antara bentuk biasa dan bentuk ekstrem dengan nilai-nilai baru.

Perbedaan ekstrem tak dapat diraih hanya dengan

membawa bentuk biasa ke dalam ketakterbatasan, kemudian untuk mengafirmasi identitasnya di dalam wilayah keterbatasan.

Perbedaan ekstrem hanya dapat dihasilkan di dalam medan

perbedaan yang tanpa hierarki dan tanpa negasi. Bahwa seseorang tokoh dunia yang memiliki impian besar bermula dari keberanian menggali potensi dirinya dengan ide-ide besar. Sejak Napoleon Bonaparte hingga Soekarno, dari Michael Angelo, Leonardo Da inci, Marchel Duchamp hingga Christo semua beranjak dari kegilaankegilaan ide-ide brilian melahirkan kreativitas-kreativitas yang mengguncang persepsi dan melahirkan nilai-nilai baru yang memberi kejutan dan penyegaran kembali wilayah kreatif. Bagaimana ‘mimpi’ Wright bersaudara untuk bisa melenting terbang layaknya burung yang melipat jarak dan meringkas waktu Jakarta-London hanya 12 jam. Ide luar biasa bola lampu Thomas Alfa Edison dalam mengubah dunia melawan gulita dan Guttenberg-James Watt dengan ide gilanya menjadi

lokomotif

revolusi

industri

hingga

pengembangan

teknologi

berikut

proses

pencanggihannya. Mereka hidup dalam gelimang ‘dunia ide’ seperti yang disebutkan Plato mampu membangkitkan daya hidup hingga saat ini dan guncangan ‘dunia ide’ inilah yang mendekonstruksi segenap kemapanan cara berpikir saat ini dengan menempuh cara berpikir baru. Kreatif bukan sekedar berpikir dan bertindak asal beda melainkan bagaimana mengembangkan ide-ide segar dengan kreativitas tinggi dan pencapaian nilai-nilai estetika individual. Ide-ide segar dan kreativitas itu sumber creativepreneurship dan entrepreneurship yang terus meletakkan kita pada strategi berpikir ‘think out the box’. Ide gila menyatu dan mengalir sebagai spirit manusia yang sedikit banyak mewarisi gagasan Tuhan dalam proses penciptaannya. Karena saya yakin Tuhan memiliki ide-ide gila yang luar biasa ketika berniat mencitakan manusia yang dibekali kreativitas berpikir di atas mahluk ciptaan lainnya di muka bumi. Ide gila Tuhan mungkin akan menjadi suatu ide gila yang tak akan pernah terjadi lagi. Sekali dan berdampak luar biasa. Ide gila membangun mekanisme dan kinetika alam seisinya digerakan dan di benturkan atau dihancurleburkan bahkan. Ide gila yang meruntuhkan seluruh keangkuhan manusia. Ide gila yang menyelamatkan kau dan aku. Sebuah ide gila selalu bersumber dari kekuatan imajinasi hasil kinerja otak kanan dan


bekerjasama dengan otak kiri pada Era konseptual dimana perlu upaya melengkapi penalaran otak kiri kita dengan menguasai enam kecerdasan (hight concept, hight touch) penting yang difokuskan pada kerja otak kanan untuk membantu mengembangkan sebuah pikiran yang benar-benar baru sesuai tuntutan jiwa jaman. Phink (2006: 93-95) memaparkan; 1) Tidak hanya fungsi tetapi juga disain. Tak cukup fungsional di era kontemporer namun secara ekonomi penting dan bernilai secara personal menciptakan sesuatu yang juga indah, sedikit fantastis, dan menarik secara emosional. 2) Tidak hanya argumen namun juga cerita. Ketika hidup kita penuh informasi dan berbagai data, mengumpulkan argumentasi yang efektif tidaklah memadai. Sesungguhnya dibutuhkan esensi dari persuasi, komunikasi, dan pemahaman diri sebagai suatu kemampuan untuk menciptakan kisah yang menarik. 3) Tidak hanya fokus tetapi juga Simponi. Begitu banyak dari era-era industri dan informasi membutuhkan fokus dan spesialisasi-spesialisasi. Namun ketika pekerjaan kerah putih dialihkan ke Asia dan direduksi ke dalam software, ada sebuah penghargaan terhadap kecerdasan. Sebaliknya, menggabung-gabungkan bagian-bagian sebagai simponi. Kemudian apa yang menjadi permintaan terbesar saat ini bukanlah analisa namun sintesa.

Sintesa untuk melihat secara keseluruhan

berbagai perspektif, melintas batasan-batasan, dan dapat mengkombinasikan bagian-bagian terpisah ke dalam ruang satu kesatuan baru yang mengesankan serta memukau. 4) Tidak hanya logika tetapi juga empati. Kapasitas untuk memikirkan yang logis adalah salah satu hal yang membuat kita menjadi manusia. Namun dalam sebuah dunia yang penuh informasi menyebar dan alat-alat analitis yang maju, logika sendiri tidaklah bisa. Apa yang akan membedakan mereka berkembang dengan cepat boleh jadi kemampuan mereka untuk memahami apa yang membuat teman laki-laki atau perempuannya bergerak, untuk mempererat hubungan dan peduli kepada orang lain. 5) Tidak hanya keseriusan namun juga Permainan. Bukti yang cukup menunjukkan kepada kesehatan yang besar dan keuntungan-keuntungan profesional bersikap tenang, permainan dan rasa humor. Tentu saja, ada saatnya untuk serius. Dalam era konseptual, pekerjaan, maupun kehidupan kita perlu bermain. 6) Tidak hanya akumulasi tetapi juga Makna. Kita hidup dalam sebuah dunia yang berisi kelimpahan materi yang menarik. Itu telah membebaskan ratusan orang dari perjuangan sehari-hari dan membebaskan kita untuk mengejar kesenangan-kesenangan yang lebih bermakna, bertujuan, transendensi, dan pemenuhan spiritual. Paparan saya di atas dengan sejumlah tokoh dunia yang inspiratif dan berbagai pandangan filosofis meyakinkan dan meneguhkan pilihan-pilihan kita. Tak puas dengan segala yang kita


lakukan, maka lakukanlah peran (dengan meminjam istilah Pink) sebagai ‘penyeberang batasan’. Sebuah upaya radikal untuk mengembangkan keahlian beragam bidang, berbeda bahasa, atmosfer yang berbeda, dan menemukan kesenangan –kenyamanan- dalam keberagaman pengalaman orang lain. Peran ‘penyeberang batasan’ bukan peran sederhana dan main-main karena dibutuhkan nyali sang juara, visioner, berani mengambil risiko-risiko apapun dan siap untuk menjadi penyeberang batasan yang mencandu. Semua batasan menjadi sesuatu tanpa batasan, semua disiplin akan menjadi penting ketika kita berada di sana dan bergulat melepaskan batasan-batasan yang memenjarakan. Penggambaran sosok Leonardo da Vinci dikenal sebagai ‘pelompat batasan’ bahkan mengingatkan kita pada karya-karya besarnya yang menginspirasi dunia kedokteran, seni rupa bahkan menjadi inspirsi awal dan sebagai titik tumpu perkembangan teknologi penerbangan. Para penyeberang batasan, Andy Tuck yang seorang profesor filsafat dan pianis yang menerapkan keahlian-keahlian yang mempertajam dalam bidang-bidang untuk menjalankan perusahaan konsultasi manajemennya. Gloria White-Hammond, seorang pastur dan dokter anak di Boston. Todd Machover, penulis opera dan membangun peralatan musik berteknoogi tinggi. Jhane Barnes, memiliki keahlian matematika menginspirasi disain-disain pakaiannya yang kompleks. Mihalyi Csikszentmihalyi, seorang psikolog dari Universitas Chicago yang menulis buku klasik Flow: The Psychology of Optimal Experience dan buku Creativity: Flowand the Psychology of Discovery and Invention, telah mempelajari kehidupan orang-orang yang kreatif dan menemukan bahwa ‘kreativitas pada umumnya mencakup penyeberangan batasan–batasan wilayah’.

Orang yang

paling kreatif diantara kita yang melihat hubungan-hubungan yang paling tidak pernah diketahui oleh orang lain. (Pink, 2006: 176-177) Selanjutnya bahwa Mihalyi Csikszentmihalyi juga mengungkapkan dimensi bakat penyeberang batasan yang berkaitan: mereka yang memilikinya seringkali menjauhi pemunculan citra stereotipe peran gender tradisional. Temuannya bahwa ‘ketika tes-tes maskulinitas atau feminitas diberikan kepada anak muda, secara berulang-ulang seorang akan menemukan gadis-gadis yang kreatif dan berbakat lebih dominan dan kuat daripada gadis-gadis lainnya. Dan, anak laki-laki yang kreatif lebih sensitif dan kurang agresif daripada teman-temannya’. Csikszentmihalyi dalam Pink (2006: 179) menegaskan bahwa ‘seseorang yang androgini secara psikologis sebenarnya menggandakan daftar respon-responnya dan dapat berinteraksi dengan dunia terkait dengan spektrum peluang-peluang yang begitu lebih kaya dan bervariasi’. Kemudian dikatakan Samuel Taylor Coleridge bahwa pada dua ratus tahun lalu para penyeberang batasan mengingatkan kita pada saat ini, pikiran-pikiran yang besar adalah androgini. Senada ketika ia meneliti Cobbet, ‘saya telah mengenal pikiran-pikiran yang hebat, dengan gaya-gaya seperti Cobbet yang mengesankan, tidak meragukan, akan tetapi saya tidak pernah menjumpai pikiran besar seperti ini. Kebenarannya adalah sebuah pikiran yang besar pastinya berwatak androgini’. Ketika seorang seniman mengeksplorasi semua kemungkinan ruang kreatifnya dengan


presentasi pola-pola personal, spesifik, dan original sesungguhnya ia tengah menggali dan menjumput nilai-nilai estetika baru. Nilai baru lahir karena kemunculan pandangan-pandangan personal atas fenomena, respon atas berbagai fenomena, respon atas pengalaman empiris, representasi pengetahuan intelektualitasnya dan berbagai hal menyentuh kepekaan estetiknya.

C. Persoalan Estetis dan Estetika yang Tak Terumuskan Salah seorang skeptis yang paling menonjol Morris Weitz, menyampaikan anggapan banyak kalangan sebagai argumentasi yang cukup memuaskan untuk kata ‘seni’ yang tak dapat didefinisikan secara baku.

Hal senada disampaikan filsuf Ludwig Wittgenstein, bahwa ‘seni’

menunjuk pada hal-hal yang paling kehilangan ‘family resemblance’ (memiliki kemiripan dalam hubungan satu sama lainnya). Ia beranggapan bahwa kondisi keharusan dan mencukupi untuk penggunaannya yang tepat dan tak dapat diberikan layaknya game (bola, golf, dragon, spionase dan game bawah tanah (Dungeon). Apa karakteristik yang sama antara Fifth Symphony pada Beethoven, Monalisa pada Leonardo Da Vinci, dan Hamlet pada Shakespeare? Karya Marchel Duchamp yang dipajang museum kota Hartford ‘Fountain by R. Mutt’ adalah original dan luar biasa. John Cage ‘4 minuts and 33 Sconds of Silence’ dan beberapa puisi kontemporer menyajikan halaman kosong sebagai ‘puisi’ kemudian ada juga film beberapa menit yang tidak menghadirkan apa-apa kecuali suatu ruang hall kosong dan tarian kerumunan orang berjalan maju mundur melintasi panggung. (Eaton, 2010: 9-10). Jerome Stolnitz dalam Eaton (2010: 32) menyatakan bahwa ada teori ekspresi Tolstoy merupakan versi teori yang kuat mengingat sesungguhnya teori ini menggabungkan dua cara untuk menjelaskan ekspresi artistik, yaitu: (a) dalam pengertian perasaan seniman dan (b) dalam perasaan penikmat. Masing-masing sudut pandang dapat digunakan terpisah untuk menjelaskan ekspresi. Mungkin kita dapat menyatakan bahwa karya seni sedih atau mengekspresikan kegembiraan, kita telah membuat pernyataan tentang senimannya. Oleh karena itu kitapun dapat menyebut teori itu sebagai berikut: (1) y mengekspresikan y jika dan hanya jika seniman merasakan y ketika memproduksi x. (2) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x menyebabkan (membangkitkan atau memadamkan) y pada penikmat. (3) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x adalah y. (4) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x mendeskripsikan atau menggambarkan seseorang yang merasakan y. (5) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x memiliki ciri orang yang merasakan y.


(6) x mengekspresikan y jika dan hanya jika x memperlihatkan sesuatu sedemikian rupa yang menunjukkan y. (Frase ‘jika dan hanya jika’ mengindikasikan bahwa apa yang mengikuti adalah kondisi keharusan dan mencukupi bagi apa yang mendahuluinya). Suatu karya seni akan mengekspresikan kesedihan jika dan hanya jika seniman merasa sedih ketika memproduksinya. Sebagai dukungan atas teori ini adalah kecenderungan kita untuk menganggap seniman sebagai orang yang lebih peka, yang bakatnya terletak pada kemampuannya meletakkan perasaan pada kata-kata, bunyi dan bentuk-bentuk atau gerakan. Sulit membayangkan seseorang yang tidak mengalami suatu kerinduan akan masa lalu yang tak dapat kembali dapat menuliskannya. Suzanne Langer dalam Edmund Burke pada A Philosophical Inquiry into the Ideas of the Sublime and the Beautiful (1958) mempertimbangkan ekspresi artistik dengan cara lain tetapi sama. Ia berpendapat bahwa kita tidak dapat menjelaskan dengan baik tentang ekspresifitas seni hanya melalui penjelasan asosiasi yang kita tentukan antara ciri formal (seperti warna dan bentuk) dengan perasaan manusia. Menurutnya, perasaan berada dalam karya tentu saja bukan perasaan yang sesungguhnya tetapi gagasan tentang perasaan tersebut, misalnya bahwa musik merupakan analogi bunyi kehidupan emotif. Keduanya memiliki bentuk logis yang sama. Objek seni yang digambarkan dalam teori-teori estetika secara bebas atau memerlukan konteks-konteks yang berkaitan dan tanpanya tidak akan ada. Pengalaman estetis telah dipandang sebagai sesuatu yang memfokuskan diri pada aspek properties formal yang intrinsik (warna, bentuk dan irama) atau sesuatu yang melibatkan diri dengan ciri signifikan atau kondisi yang melampaui objek itu sendiri. Kemudian ahli sejarah seni Erwin Panofsky (1962) mengemukakan bahwa ikon seni dapat dipelajari menurut tiga tingkatan yakni: tingkat ikonik, sebuah gambar menunjuk sesuatu ia mirip dengan hal tersebut. Tingkat ikonografik, sebuah gambar menunjuk sesuatu melalui praktik yang dikenali misalnya seekor anjing yang berarti kesetiaan dan merpati yang berarti perdamaian. Tingkat ikonologis, sebuah gambar mengartikan suatu gagasan, misalnya mengekspresikan hubungan antara kebenaran dan keindahan atau mengacu pada klaim metafisik tentang kenyataan dunia fisik. John Dewey kemudian juga mengusulkan teori ekspresi jenis yang lain yakni teori ekspresi yang mendasarkan teori seninya pada teori pengalaman yang menurutnya bahwa pengalaman merupakan unit koheren yang menghubungkan ciri yang hadir dalam interaksi yang rumit antara organism manusia dan kekacauan tumpukan benda-benda yang mempengaruhinya. Pengalaman selalu dimulai dengan ‘impulse’ –dorongan atas keinginan atau kebutuhan- dimana ekspresi merupakan pengalaman reflektif. Ekspresi melibatkan nilai-nilai yang melampaui momen sesaat dimana seseorang bertindak dan melibatkan ‘perkembangan’ dari apa-apa yang dirasakannya bebigu sangat sublim. Dikuatkan Richard Murphy dalam buku Theorizing the Avant-Garde (1998:


274) menyatakan bahwa ‘Kant's argumentation Lyotard too describes the sublime as 'the feeling of something monstrous. Das Uniform. Formless. The retreat of regulation and rules is the cause of the feeling of the sublime’. Di sinilah proses brainshocking dalam wilayah kreativitas mengkonstruksi estetikaestetikanya sendiri. Dan, sejumlah hal besar dan penting kemunculan ‘seni’ secara spektakuler tampaknya memberi pengayatan yang luas mengenai pendefinisian seni. Kemudian Weitz (1956: 32) menyatakan bahwa sifat kreatif seni tidak butuh untuk didefinisikan: yang paling jauh dari ciri petualangan seni adalah perubahannya yang terus berlangsung dan kreasi baru menjadikannya tak mungkin secara logis menjamin suatu perangkat ciri yang didefinisikan. Mencermati fakta bahwa perkembangan kreativitas seni yang konstruksinya dari berbagai perspektif, dengan lompatan-lompatan imajinatif dan berbagai paradigma terus berubah ‘berkembang’ maka seni mempresentasikan nilai estetika secara multi interpretatif. Seni bergerak ke wilayah-wilayah inter-disipliner dan senantiasa memperkaya nilai-nilai yang diusung sehingga seni dengan estetikanya tak dapat dirumuskan secara ketat dan baku. Namun, hal ini menjadi ruang maha luas bagi seni itu sendiri untuk melakukan perluasanperluasan nilai dengan merangsang berbagai perspektif lahir karenanya.

Perumusan hanya

persoalan identifikasi dan prosedur ilmiah di luar nilai-nilai yang dibangun oleh seniman melalui kerja estetiknya.

Bagian VI.


Membongkar Kembali Metode dan Ruang Eksperimentasi Berlian diperoleh dari mengaduk-aduk ratusan ton batu yang tak berguna. (James Mapes)

Cukup banyak seniman dengan pemikiran-pemikirannya yang tak terurai dengan teks-teks yang benderang, begitu banyak variabel-variabel untuk melakukan pendekatan terhadap proses kreatif seniman yang tak mampu membuka keseluruhan misteri emosi dan kedalaman pemikirannya. Berbagai hal yang menyebabkan situasi tersebut mengedepan, diantaranya: seniman tidak cukup terbuka untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya, cukup banyak seniman kurang terampil mentransformasi gagasan ke dalam bentuk teks maupun komunikasi bahasa verbal, dan lemahnya kesadaran mendokumentasi sejumlah gagasan penting ke dalam dokumentasi tekstual. Penulisan buku ini yang dipersiapkan kurang lebih setahun yang lalu, saya menentukan tujuh seniman yang representatif dengan materi buku ini diantaranya: AT. Sitompul, Dedy Sufriadi, Farhan Siki, Rocka Radipa, Theresia Agustine Sitompul dan Yon Indra. Seniman, proses kreasi, dan karya seninya merupakan subjek bergerak yang terus tumbuh, berubah dan berkembang. Materi ini digali dengan serangkaian proses diskusi informal dan perolehan data tekstual dari questioner lebih dari seratus pertanyaan mendalam yang diajukan. Kemudian didampingi dengan kunjungan ke studio ketika seniman melangsungkan progres karya untuk projek pameran Brainshocking. Pada awal bagian ini saya memperoleh insight dari pernyataan James Mapes bahwa ‘berlian diperoleh dari mengaduk-aduk ratusan ton batu yang tak berguna’. Untuk menemukan sesuatu yang bernilai bukan suatu hal yang mudah dan cepat dilakukan namun membutuhkan visi yang cemerlang, kerja keras, etos kerja yang luar biasa, dedikasi terbaik, dan kesabaran melakukan penghayatan proses perolehannya. Menggali nilai estetik juga pada wilayah analogi yag sama, bahwa nilai estetik tidak begitu saja lahir ketika kita bermimpi dan begitu beranjak bangun sesuatu yang kita impikan sudah didepan mata. Penggalian nilai dan temuan-temuannya membutuhkan proses yang luar biasa panjang dan melelahkan, kadang menempatkan posisi kita pada jalan buntu atau malah berhadapan representasi jiwa kita yang patah arang dan banyak hal yang mewarnai perjalanan kreatif seorang seniman. Nah, insight yang luar biasa dari Mapes sesungguhnya menjadi bagian penting dari spirit saya menulis dan menyusun pemikiran-pemikiran sederhana ini disusun untuk mengonstruksi perihal itu. Point utama dalam penulisan bagian ini saya ingin membongkar kembali, melacak detail-detail dari proses penciptaan seni yang tidak sederhana tersebut dengan menelisik beberapa pokok masalah baik inspirasi, gagasan konseptual, teknis, prosedur, pendekatan, metode, riset, maupun menggeledah prinsip-prinsip eksperimentasi yang melatarbelakangi sebuah karya itu muncul dan bagaimana nilai-nilai yang melekat pada karya seni yang diciptakannya menjadi penting. Ruang ini adalah proses menyaring inti berlian dengan membongkar bongkahan bukit berbatu, menyaring tanah dan lumpur, kemudian mengaduk kembali dengan berbagai proses-proses eksperimentasi yang tidak sederhana


dan rentang waktu yang panjang. Saya berupaya membahas secara terperinci proses kerja kreatif dan temuantemuan metode penciptaan seni dan memaparkan pengembangan berbagai metodologi penciptaan seni masing-masing seniman yang memiliki kecenderungan hybrid. Berbagai pendekatan kritis dilakukan untuk menggali konsep dasar penciptaan dengan memprovokasi kesadaran kreatifnya dan mengenali pendekatan kreatifnya untuk membongkar kembali metode sekaligus menganalisis ruang eksperimentasi. Informasi ini dipaparkan secara komprehensif sebagai representasi segenap konsep dasar penciptaan seni yang tengah dimatangkan sampai saat ini. Lebih lanjut saya mencermati temuan-temuan sebagai berikut: A.

AT. Sitompul

1. Inspirasi dan Orientasi Estetik Bagi AT. Sitompul sebuah inspirasi mampu merangsang ide dan memacu kreativitas yang pada akhirnya mampu memotivasi diri dengan menjaga intensi kreatif yang bergairah dan eksploratif. Ketika ia mulai berkarya senantiasa berawal dari rangsangan sumber inspirasi karena baginya disitulah pintu aktivitas kreatif dibuka atau malah senantiasa terbuka. Inspirasi berperan penting dan integral sebagai salah satu bahan baku utama dalam mengeksplorasi energi imajinasi dalam memperkokoh konstruksi gagasan sepanjang proses kreatif berlangsung. Tak jarang ketika dorongan yang kuat untuk berkarya sudah barang tentu begitu melimpah inspirasi bermunculan saling salip maka seorang Tompul justru hanya melakukan prioritas-prioritas yang relevan dengan kebutuhan dan kecenderungan proses kreatifnya. Pada poin ini ia memprioritaskan hasil reka visual kendati akhirnya konsep karyannya bisa berubah atau terjadi pengayaan aspek eksotika visual yang mengedepan. Atau malah sebaliknya ia mengusung konsepsi tertentu kemudian memformulasikan idiom-idiom formal yang ia kuatkan sebagai perekat nilai estetik yang dibangunnya. Kehadiran inspirasi pada rangkaian proses kreatif baginya selalu muncul dengan dadakan, sekonyong-konyong ketika memperoleh insight atau mungkin karena ketika berkarya. Meskipun dalam perjalanan proses kreatifnya ia selalu berfikir ‘diapakan lagi ya ini karya‌’, tampaknya ini yang memicu terjadi perubahan-perubahan atau pengembangan-pengembangan baik secara visual, teknik kreasi maupun konstruksi nilai yang menjadi tesis-tesis pada tiap karyanya. Pada prinsipnya bekerja dengan tumpuan sumber inspirasi namun ia membebaskan inspirasi lain muncul ketika berkarya. Jika inspirasi muncul tiba-tiba yang mampu menaikan derajat estetik maka ia bisa menjumputnya seketika itu juga karena dorongan atas sumber inspirasi atau sumber inspirasi muncul, tumbuh, dan berkembang begitu saja ketika tengah melakukan proses kreatif. Proses ini sesungguhnya menjadi kelaziman seorang seniman dalam melakukan proses penciptaan seninya, namun tak sedikit disadari sebagai sebuah metode untuk menjaring ‘inventarisasi’ ide yang begitu kaya. Bayangkan setiap kali muncul ide kemudian memicu ide-ide lainnya bermunculan sepanjang proses ide dalam proses inkubasi hingga ide mewujud dalam produk visual yang memukau. Maka sungguh kita dikayakan pada setiap proses penciptaan seni yang memiliki intensi lonjakan yang tetap


terjaga dengan baik. Ketertarikannya pada buku-buku sejarah seni rupa dan buku-buku yang mendokumentasikan khasanah motif-motif tradisi, motif-motif geometris, macramĂŠ, tapestry dan berbagai dokumentasi penting karya-karya indivual maupun karya industri yang mengeksplorasi garis sebagai bahasa visual. Alasan pokok menyukai informasi tekstual sejarah lebih dikarenakan upaya pencermatannya pada perkembangan sejarah seni rupa untuk mawas diri untuk tidak mengulang sejarah semata, namun upaya kerasnya untuk menjadi bagian dari sejarah seni rupa ke depan menjadi penting dicermati lebih lanjut. Kecintaannya dengan garis, bentuk-bentuk geometris dan motif tradisi yang juga menjadi bagian penting dalam memperkaya dan melakukan kedalaman visual sekaligus konseptual sebagai upaya memperkuat kecenderungan karya-karyanya. Kecenderungan musik yang mengumandang dalam studionya adalah musikmusik yang ngebeat tempo musiknya karena mempengaruhi simulasi otak dan psikologisnya yang menggiali kerja dengan durasi 8-16 jam sehari. Karakter musik pilihannya sangat beralasan untuk memberikan ruang nyaman bagi psikisnya, membangkitkan emosi, gairah batin, dan mengakomodasi kinerja otak kanan dalam menerjemahkan setiap instrumen maupun lirik lagu ke dalam ruang imajinasi yang senantiasa muncul bentuk-bentuk imajiner. Tidak penting apakah ini signifikan pada karya-karyanya tetapi justru yang lebih penting adalah bagaimana musik mampu mengelola dan menjaga spirit hidup dengan menciptakan karya-karya terbaiknya. Keterpukauannya pada film-film kolosal klasik baik film Amerika, Ingris, Jerman, China, Jepang dan Indonesia karena ia ingin merasakan eksistensi dirinya pada representasi masa itu, sebuah kehendak untuk menelisik sejarah perkurun waktu. Dengan begitu kita menjadi tahu bagaimana peradaban bergerak dan kebudayaan dikayakan dengan detaildetail pada kisah kolosal klasik tersebut. Bagaimana budaya lisan beranjak ke budaya sastra tulis dan mengalami lonjakan pada akumulasi budaya visual dengan pencanggihan teknologi digital dan animasi. Citra kolosal secara tidak langsung terefleksi pada berbagai hamparan detail-detail karyanya. Jejalin inilah yang menstimulus semua aspek organis di dalam dirinya dalam melakukan semua tindakan kreatif dan menikmati ruang-ruang yang baginya hidup, hidup dalam ruang imajinasi pada template-template atau file virtual otak yang sebelumnya dikejutkan sensasi-sensasi tertentu dan jutaan sel syaraf yang diguncangkan bahkan ketika berada pada situasi itu baik secara visual, konseptual, tekstual maupun kontekstual. Rangkaian ini memberi pengaruh signifikan terhadap kerja kreatif, emosi individual terhadap bacaan, tontonan dan atmosfer bunyi-bunyian yang disukainya itu mempengaruhi emosi dan kerja otak. Semua berperan memotivasi tindakan kreatifnya. Saya pikir semangat ini layak bagi seniman yang memiliki visi masa depan. Orientasi proses penciptaan seni yang diacu AT. Sitompul sejak awal ialah membangun wacana melalui rekonfigurasi visual dan sentuhan konsepsi yang lugas. Orientasi kreasinya mengacu kesadaran penuh akan penguasaan diri dalam berkarya. Jadi berkarya tidak hanya mengalir begitu saja, tetapi benar-benar tahu dan jelas akan apa yang dilakukan. Ia berorientasi pada kekuatan pikir sebagai cara melakukan


eksplorasi gagasan imajinatifnya tanpa batas.

2. Konsep Perubahan dan Konsep Proses kreatif dalam Perspektif Neurologis Orientasi perubahan menjadi bagian penting eksplorasi kreatif misalnya saja didalam menentukan seri seni grafis yang sudah dikonvensikan secara internasional mengenai perfeksi hasil cetakan seri grafis murni. Nah justru ditabraknya dengan diimbuhi sentuhan handcoloring, hand coloring yang diserikan dalam satu karya dengan master yang sama dan kadang ia jadikan master grafisnya dipresentasikan sebagai karya. Master grafis berdampingan dengan karya grafis. Sampai saat ini, hal tersebut belum dapat pengakuan, karena masih sangat baru didalam kesenian seni grafis. Distinctive merupakan sesuatu yang berbeda menjadi trik kuno yang tetap dilakukan seorang seniman dalam politik identifikasi, naïf jika berangkat dari situ. Tetapi distinctive selalu bertumpu pada bagaimana melakukan kerja kreatif dengan intensiintensi tertentu melalui totalitas untuk melakukan pengembangan-pengembangan karya inovatif niscaya menemukan karakteristik khusus. Ia menikmati proses menuju distinctive bukan sekedar berbeda. Dengan begitu kita memiliki kepantasan memimpikan sebuah lompatan-lompatan baru secara konseptual dengan ‘amunisi baru’ berupa lentingan-lentingan yang mencolok dari sebuah praktik presentasi. Dalam beberapa sesi diskusi sebelumnya, Tompul nampak ingin melakuakan kebaruan mengenai esensi seni Abstrak dengan melakukan advokasi-advokasi visual sebagai bentuk revitalisasi bukan sekedar formalistik tanpa kedalaman. Format abstrak justru lahir atas relasi-relasi yang berkaitan dengan kedalaman, konseptualitas dan spiritualitas. Kemunculan satu item form saja harus teruji dengan argumentasi estetika dan bahkan bisa diurai dengan hasil temuan riset yang serius. Sampai pada titik tertentu, bahwa form tersebut dapat dijadikan pintu masuk ke kedalaman keseluruhan subjeksubjek yang dihadirkan secara utuh. Ini bagian tindakan revitalisasi nilai. Tindakan kreatif untuk menerjemahkan impian dan kekuatan imajinasi anda bagi proses penciptaan. Ada pernyataan Tompul yang menarik ketika merespons sebuah pertanyaan yang saya ajukan, ‘Jika brainstorming menjadi posisi penting dalam proses kreatif anda. Seberapa berani apa anda mengambil keputusan ‘gila’ dari kerja kreatif anda’, dengan tegas ia menjawab ‘saya berani meninggalkan ide atau konsep awal, jika ternyata dari sketsasketsa pemikiran maupun visual yang dilakukan kontinu dan dikembangkan, ternyata bakal menghasilkan bentuk visual (visual form) yang menggugah tapi sudah tak cocok dengan ide awal maka saya akan mengkaryakannya walaupun sudah tidak cocok dengan ide atau konsep awal’.

3. Eksplanasi Visual Pencitraan Font Baru dan Nilai Estetis Berkaitan dengan dunia ide, dalam neurologi sangat banyak ilmuwan yang meneliti kerja otak manusia. Peran dan kinerja otak belahan kiri manusia secara umum dieksplorasi fungsinya berkaitan dengan kemampuan komunikasi verbal, berpikir logis,


analitis dan senderung dinamis. Sedang otak belahan kanan nyaris tidak tereksplorasi secara maksimal, otak kanan cenderung diam statis, tidak liner, imajinatif, intuitif dan naluriah. Dalam proses pemunculan gagasan biasanya dituntaskan oleh kinerja otak kiri yang mengeksplorasi berbagai komponen kepekaan sebagai dasar penting kemudian pada saat tertentu kinerja otak kanan dikontrol dengan kekuatan analitis belahan otak kiri sampai pada tahapan evaluatif. Jika otak kanan manusia dikelola maksimal kemampuannya, maka manusia memiliki peluang besar menjadi genius dan melahirkan gagasan-gagasan monumental, imajinatif dan tentu merangsang pemikiran-pemikiran baru. AT. Sitompul mengakui bahwa ia tidak cukup baik mengenal ilmu neurology. Paling tidak itu yang dinyatakannya saat saya merangsang untuk melakukan eksplorasi neurology karena saya seringkali mengamati ia suka bekerja menggunakan kedua tanggannya dengan cukup baik. Namun, sesunggunya pada proses kreatifnya ia mengimplementasikan proses-proses neurologis, baik pada saat memotong, memasang kanvas, menggunakan gun tacker, menggurinda, menempel maupun menancapkan paku repeart dan baut mur pada plat bordes dan beberapa aktivitas kecil lainnya. Karena ketika kita menggunakan organ fisik kita dengan tangan kanan maka orientasi dan kontrol otak kiri yang selalu bekerja. Sehingga otomatis kinerja otak kanan dibiasakan melakukan kontrol pada saat kita melakukan aktivitas sehari-hari dengan tangan kiri. Sebuah pertanyaan sederhana saya ajukan kepadanya ‘pernahkah anda berpikir terbalik atau semacamnya?’. Ia menyatakan bahwa ia tidak pernah berfikir sejauh itu tetapi, yang menjadi salah satu keunikan saya dalam kehidupan, saya bisa menembak dengan senapan angin dengan menggunakan baik tangan kanan atau tangan kiri yang memegang trigernya dengan baik, hasilnya tetap sama dan saya tidak canggung. Satu hal lagi yang unik, ketika tangan saya berdoa (saling menggenggam) jempol kiri saya yang diatas bukan jempol kanan padahal saya bukan seorang kidal. Sebuah tantangan sederhana untuk melakukan eksplorasi neurologis. Ini secara tak sadar seorang seniman memberdayakan kinerja otak kanannya lebih dominan meskipun masih tetap melakukan kontrol struktur, sistematik, analitik maupun evaluatif. Seorang instruktur seni Universitas Negeri California, Bety Edwards pada tahun 1979 dibantu Prof. Spery memindahkan laboratorium ke ruang keluarga. Kemudian ia menerbitkan buku spektakuler ‘Drawing on The Right Side of The Brain’. Ia menolak gagasan bahwa sebagian orang tidak mempunyai kemampuan artistik danTompul menganggap dirinya termasuk orang dikategorikan yakni potensi dasar berupa talenta hanya 1 %, dan sisanya 99 % adalah aktivitas latihan. Sebuah projek yang menarik pada kerja kreasi seorang Tompul dalam mengelola kinerja otak kanan yang tak sekedar mengabstraksi font dengan sentuhan optical art namun kehendak untuk merumuskan kembali bentuk abstraksi font yang sudah tahun kedua masih menjadi fokus kerja estetiknya selama ini. Jadi saya akan menurunkan beberapa karya lama pada bordes alumunium dan kanvas. Pada karya mutakhir ia mengeksplorasi teknik-teknik relief lagi tetapi tidak dengan bordes lagi yakni dengan media karpet beludru diatas kanvas. Subject matternya mengeksplorasi font kaligrafi latin yang dipetik esensi bunyinya dengan persetubuhan bentuk abjad secara umum diacu dan pengelolalan aspek visual


geometris untuk menemukan citra-citra baru secara personal. Pendekatan-pendekatan metodologis yang mampu menguatkan paradigma atau justru menghancurkan paradigma tertentu yang hendak dilawan atau pertentangannya bagi Tompul cukup penting dilakukan karena mampu merangsang terobosan-terobosan baru untuk mengontruksi karya-karyanya. Spirit karyanya ini memiliki aspek kritis terhadap upaya menghancurkan atau menguatkan paradigma sebelumnya, tapi lebih ke arah untuk merekontruksi paradigma yang sudah ada. Tanda visual apa saja dapat dijadikan pintu masuk ke gagasannya sehingga mampu mempresentasikan dengan baik berbagai konsep yang mampu mengguncang persepsi. Bagi Tompul hal tersebut ketika mengekplorasi bentuk geometris terutama yang berbentuk dasar kotak dan lingkaran. Penggunaan kotak sebagai metaphor ketegasan dan lingkaran sebuah metaphor keluwesan. Beberapa karya terakhir seputar mengolah relief dengan bahan karpet beludru sintetis yang dipotong, diiris dan dilobangi berdasarkan eksplorasi bentuk font abjad yang selama ini dirumuskan secara visual. Font yang menggambarkan bentuk-bentuk geometris yang sudah diolah kembali, dengan cat yang dimasukkan ke dalam botol kemudian menulis dengan cat yang keluar dari dalam botol. Sensasi kumpulan font yang seperti sebuah kode. Sensasinya ketika berada pada saat ia tidak mmemahami dan rasa penasaran atas makna tulisan tersebut. Berbagai sign yang tabrakkan untuk menemukan berbagai hal baru. Sebuah kealpaan kita mengenai kapan huruf-huruf itu muncul, dari mana bentuk-bentuk huruf tersebut, kebudayaan mana yang pertama kali merumuskan dan kapan menjadi konvensi. Gejala visual dengan konsepsi sederhana ini saja sesungguhnya mampu menjadi penanda proses kesenian yang mungkin mampu menjadi rujukan bagi pembahasan karya sejenis sebagai studi komparatif untuk kepentingan pengayaan wacana seni rupa kita secara universal. AT. Sitompul seorang pencinta kaligrafi, sampai pada lengan tangan Tompul juga ada tattoo sebuah kaligrafi Batak. Setelah ia memahat aksara Batak Toba melalui tattoonya, ia penasaran dan memunculkan pertanyaan bagaimana asal huruf tersebut bisa tercipta. Lantas mencoba-coba menelusuri berbagai referensi teks dan referensi visual sebagai dasar pijakan eksplorasinya. Ia mencoba berangkat dari presentasi bentuk-bentuk geometris yang sudah bertahun-tahun digeluti. Ia mengeksplorasi lebih lanjut bentuk dasar dari font atau huruf dan akan dituliskan dengan cat melalui botol, agar muncul efek tekstur. Bentuk geometri yang sudah diolah kembali kemudian dikonfigurasikan layaknya susunan huruf yang terbaca atau sebaliknya tak terbaca secara tekstual namun membangun gugusan visual baru yang estetis. Ia kadang membayangkan karyanya akan seperti prasati 10 Hukum dari Tuhan, yang seperti film Ten Comand.

B.

Dedy Sufriadi

1. Membeli Langit: Obsesi, Orientasi dan Visi Kreatif


Inspirasi bagi Dedy Sufriadi adalah semacam ‘pemantik’ untuk melakukan sesuatu karena melalui inspirasi semuanya dimulai. Di sini inspirasi jadi hal yang sangat penting, tanpa inspirasi mustahil kita bisa menciptakan produk-produk imajinatif. Inspirasi bisa datang dari mana saja dan kapan saja, kemunculannya bisa dari hal yang besar bahkan sampai hal yang paling sederhana. Seberapa jauh inspirasi membentuk karya yang akan dihasilkan tergantung seberapa kuat inspirasi tersebut pada awalnya melekat dan dorongan seseorang mengeksplorasinya. Inspirasi menjadi pencetus apa yang akan kita ciptakan. Insprasi ibarat sebuah kotak kosong, kita bebas mengisi ruang yang ada di dalam kotak tersebut dengan apa saja, tidak tertutup kemungkinan kita membungkus kotak tersebut dengan kotak baru atau melucuti dan membongkarnya ‘mendekonstruksi’ kotak tersebut kemudian merekonstruksi menjadi citra baru. Ada proses tawar menwar disini. Peran intuisi dan logika akan bernegosiasi dengan kemampuan ‘motorik’ seorang seniman, bisa saja seniman terinspirasi dari seekor kera yang bisa memanjat pohon ratusan meter kemudian memicunya sebagai proses pencapaian luar biasa dalam mengeksplorasi semua potensi dirinya. Tentu saja untuk melakukan hal yang sama harus ada proses tawar menawar antara imajinasi, intuisi, logika dan kemampuan motorik. Ketika dorongan kuat untuk melakukan proses kreatif tentu begitu melimpah inspirasi bermunculan saling salip kemudian akan dipilih dan kembali mencari inspirasi apa saja yang memungkinkan untuk di eksekusi terlebih dahulu dengan pertimbang kemampuan fisik, finansial dan seberapa penting karya tersebut bisa dihadirkan. Artinya Dedy dalam hal ini akan memilih inspirasi yang memiliki kemungkinan besar untuk diterjemahkan ke dalam artikulasi visual kerja kreatifnya. Inspirasi bisa datang di awal proses berkarya, tetapi tak jarang inspirasi datang kemudian. Inspirasi bisa saja tumbuh dan berkembang ketika tengah melakukan proses kreatif. Akhir-akhir ini yang ia alami bahwa inspirasi lebih banyak muncul ditengah proses kreatif. Hal ini dikarenakan beberapa tahun terakhir ini ia menerapkan pola kerja secara konstan, memulai bekerja dari jam 8 pagi sampai sore hari. Berkesenian baginya sudah menjadi rutinitas seharihari. Pola semacam ini mempersempit ruang baginya untuk merenung lebih jauh tentang apa yang akan di buat dan dimulai. Pada tahap awal ia lebih banyak bermainmain dengan berbagai media dan kemungkinan-kemungkinannya. Dari situlah mulai ‘tumbuh’ inspirasi berbarengan dengan tahap-tahap yang harus dilakukan selanjutnya dan memunculkan banyak gagasan yang berbanding lurus dengan pencapaian artistik yang dipicu tingginya adrenalin dalam proses kreatifnya. Dedy dalam kesehariam tidak ada kecenderungan khusus mengenai bacaan, music, atau film favorit, ia melahapi buku apa saja, menyedapi film apa saja yang mampu membawa dunia bawah sadarnya pada rasa nyaman untuk mengelana ke mana-mana dan menikmati musik apa saja yang bisa memicu nyali berkesenian dan melejitkan visi hidupnya. Ia menyuntukinya tergantung dengan suasana hati dan kebutuhan kreatifnya. Hal ini membawa dampak keliaran imajinasi yang berkembang untuk mengeksplorasi berbagai hal yang inspiratif dan menuntaskannya dalam proses kreatif di laboratorium kreatifnya. Dedy yang senantiasa berusaha untuk bisa menerima berbagai macam perbedaan kemudian dengan udah menemukan spirit secara situasional baik visual, konseptual, tekstual maupun kontekstual. Secara visual memeberikan dampak beragam


bagi karya-karyanya. Dengan tanpa beban bisa melompat dari teknis satu ke teknis yang lain, dari gaya A ke gaya B dan dari konsep satu ke konsep yang lain. Pengaruh peran emosi individual terhadap bacaan, tontonan dan atmosfer bunyi-bunyian ia sukai terhadap perubahan emosi dan kerja otak. Pada kenyataannya tidak bisa serta-merta mengeksekusi sejumlah pengaruh tersebut tanpa ada proses pemilahan terlebih dahulu. Emosi harus bisa direduksi dengan konsep inkubasi, seperti hal di atas dengan mencoba mengakumulasi semua pengaruh tersebut (bacaan, musik, dan film). Ia percaya bahwa proses penciptaan seninya merupakan hasil dari semua akumulasi pengaruh-pengaruh tersebut. Orientasi proses penciptaan seni adalah dengan menciptakan karya dengan teknis dan ide sebaik mungkin. Ia sangat antusias ketika saya tanya ‘Inginkah anda mencolek langit dari proses panjang kesenimanan anda kelak?’ Kemudian ia menyatakan dengan lugas bahwa ‘sebuah komitmen besar sebagai seorang seniman harus bercita-cita tinggi, hasil akhir tetap akan ditentukan oleh kinerja dan dedikasinya. Kerja yang bagus akan mendatangkan hasil yang baik. Semoga dengan hasil yang baik tidak sekedar mencolek tapi bisa membeli langit hahahahha...’ Karena ia meyakini, tidak akan ada lompatan besar tanpa dilandasi kerja yang sistematis dan terukur. Lompatan besar akan terjadi jika urutan-urutan ini bisa diselesaikan dengan baik. Baginya kebanyakan gagasan penting berawal dari hal sepele, lebih banyak dari proses bermain, mencoba, dan tidak takut salah untuk melompat.

2. Konsep Perubahan dan Pemahaman Eksplorasi Neurologis Dedy menjadikan sebuah perubahan suatu kewajiban dalam proses kreatif dan dalam proses mendedah visi kehidupannya secara umum. Bagaimana mewujudkan orientasi perubahan menjadi bagian penting eksplorasi kreatif baik ide maupun teknis seorang seniman harus tetap melakukan perubahan tersusun artinya seniman harus membuat periodesasi-periodesasi penting bagi keseniannya. Periode ini berfungsi untuk memudahkan pembacaan dan evaluasi. Distictive? sulit untuk menemukan sesuatu yang benar-benar berbeda, yang ada sekarang adalah peminjaman dari masa lalu seperti proses pembentukan interteks. Yang terpenting sekarang seniman tidak perlu mencaricari kosep dan citra distinctive yang sesungguhnya proses sederhana untuk ‘memperbaiki’ dan ‘meminjam’ sesuatu yang sudah ada justru lebih menarik. Tak ada hasil yang bagus tanpa kerja keras dan tak ada kebaruan tanpa pemikiran yang intens. Kita dapat memimpikan sebuah lompatan-lompatan baru secara konseptual dan memerlukan ‘amunisi baru’ berupa lentingan-lentingan yang mencolok dari sebuah presentasi visual anda bukan? Kebaruan penting, tapi bukan yang utama, sedapat mungkin kita membuat dan memperbaiki apa saja yang sudah pernah ada. Kemudian suatu ketika kita menemukan sesuatu yang menarik untuk ditambahkan ke dalam sesuatu yang sudah ada. Istilah brainstorming melekat pada kerja kreatif. Namun tidak seperti pada umumnya brainstorming di atas kertas, brainstorming di lakukan bersamaan dengan proses berkarya (melukis). Dalam proses kreatifnya Dedy biasanya menghadapi 3-5


kanvas sekaligus, proses brainstorming dilakukan dengan mencoret atau melakukan sapuan-sapuan cat diatas kanvas. Dari proses inilah akan di runtut kembali apa yang harus dibuat, dibuang maupun di tambahkan. Praktis dengan cara seperti ini ia dengan cepat menemukan kembali gagasan-gagasan yang sebelumnya lepas kini bisa diurai kembali bahkan mengkristal karena brainstorming berlangsung ketika proses kreatif berlangsung sembari ia menerjemahkan impian dengan menuangkan gagasan imajinatifnya. Peran intuisi kadang lebih dominan, terjemahan kekuatan impian dan imajinasi di atas kanvas kadang lebih ditentukan oleh kekuatan improvisasi. Dan, keputusan-keputusan gila bisa secara otomatis dapat diterjemahkan dengan melakukan hal-hal baru yakni dilakukan dengan eksperimen-eksperimen media baru. Peran dan kinerja otak belahan kiri manusia secara umum dieksplorasi fungsinya berkaitan dengan kemampuan komunikasi verbal, berpikir logis, analitis, dan cenderung dinamis. Sedang otak belahan kanan nyaris tidak tereksplorasi secara maksimal, otak kanan cenderung diam statis, tidak liner, imajinatif, intuitif, dan naluriah. Pemberdayaan kinerja otak kanan yang cenderung intuitif, berarti dapat disimpulkan bahwa kecerdasan seniman adalah kecerdasan intuitif bukan analitik. Peran intuisi sangat signifikan bagi pelukis abstrak yang mendasari proses kerja dengan menghampar pesona fantasi dan kekuatan intuisi. Hal yang besar selalu berawal dari imajinasi karena imajinasi bisa membuat apa saja. Untuk mewujudkan imajinasi menjadi benda konkret maka imajinasi (otak kanan) harus bekerjasama dengan logika (otak kiri). Artinya dalam praktiknya kinerja otak kanan adalah pemicu sedang kinerja otak kiri yang menentukan hasil akhir. Baginya peran otak kanan yang besar terutama untuk karya-karya abstrak. Proses tersebut di tentukan oleh kemampuan improvisasi dan intuisi yang bisa dipertajam dengan latihan dan kerja terus menerus. Ini semacam treatment untuk melakukan eksplorasi neurologis secara sederhana yang berkesusaian dengan orientasi penciptaan seni sebagai proses mengeksplorasi ketuntasan gagasan pada batas terjauhnya. Eksplorasi yang demikian bagi Dedy sudah sering dilakukan, dimulai dengan hal sederhana misalnya dengan sering menggunakan tangan kiri untuk melukis. Pada periode ‘childist’ awalnya tangan kiri dipakai untuk mencari bentuk-bentuk teks dan visual form yang naif layaknya seorang anak kecil sedang melukis dimana kemampuan motorik tangan kanan yang sangat terlatih menyulitkannya -juga pada kasus orang dewasa kebanyakan- untuk menemukan goresan seartistik anak-anak. Menguasai ruang ekspresi anak adalah projek utamanya untuk melakukan transformasi ide ke dalam visualisasi bercitra childist. Ketika kita menggunakan organ fisik kita dengan tangan kanan maka orientasi dan kontrol otak kiri yang selalu bekerja. Bagaimana jika anda balik? Sehingga otomatis kinerja otak kanan dibiasakan melakukan kontrol pada saat kita melakukan aktivitas sehari-hari dengan tangan kiri. Pernahkah anda berpikir terbalik atau semacamnya. Untuk kegiatan sehari-hari sangat sulit untuk menggantikan peran otak kiri yang cenderung rasional dan terukur. Untuk mengangkat beban, menghitung jarak, menulis, menonton, dan membaca otak kanan lebih dominan, otak kanan cenderung dikesampingkan. Otak kanan dapat dipakai untuk proses-proses improvitatif, melukis bermusik, dan kerja intuitif lainnya.


3. Brainshocking: Mengelola Persepsi dan Proses Rekonstruksi Estetik Brainshocking dapat diterjemahkannya secara harafiah sebuah tindakan inisiatif yang menghasilkan efek ‘guncangan’ otak (pikiran), pada umumnya istilah ini dipakai untuk nenunjukkan kondisi keterpukauan (terguncang) otak akibat tak terkonfirmasikan dengan pengalaman empiris yang tidak biasa. Berkaitan dengan kerja otak dan kepekaannya untuk menginterpretasikan keterpukauan atas subjek. Segera secara otomatis mencari rujukan-rujukan konvensi namun tak memperoleh relasinya. Jika belahan otak kiri berpikir sistematis, struktural, superior dalam analisa dan menguasai artikulasi verbal. Dan, pada belahan otak kanan berpikir holistik, mengenali pola-pola, mengonstruksi pola-pola, imajinatif, intuitif, dan presentasi ekspresi-ekspresi visual. Namun dalam kehidupan sehari-hari peran otak kiri begitu dominan dan menekan tindakan eksperimentatif yang sesungguhnya mampu mengubah dunia. Tinggal tergantung porsi tertentu yang mana yang berperan lebih dominan. Imajinasi (otak kanan) terkadang melampaui logika untuk mewujudkan imajinasi menjadi bentuk diperlukan kontrol otak kiri. Begitu juga sebaliknya. Seorang seniman tentu memiliki pola kerja kratif yang demikian menggilai kerja–kerja eksperimentatif yang membangun pola-pola kerja spesifik serta memerlukan ritme kerja otak kanan sehingga melahirkan ide-ide gila dan eksekusi visual yang mengguncang persepsi dan imajinasi orang lain. Ide-ide gila tidak selalu identik dengan sesuatu yang baru atau ‘kerja besar’. Baginya ide yang menarik justru hal-hal kecil keseharian yang terkadang luput dari perhatian. Seniman yang cerdas mampu merepresentasikan hal tersebut sehingga menimbulkan ‘brainshocking’. Misalnya, bagaimana seorang Andy warhol mempresentasikan kembali kemasan dan iklan popular menjadi karya seni yang menarik. Atau bagaimana Jean-Michel Basquiat ‘mengkanvaskan’ graffiti yang bertebaran di tembok dan memamerkannya di dalam galeri. Ini semacam presentasi nyali untuk menggedor persepsi publik mengenai satu hal dan reaksi-reaksinya. Pernahkah kerja seni anda sebagai laboratorium brainshocking? Selalu ada tujuan kearah sana, sekecil apapun tedensi untuk memberikan kejutan kepada orang lain dengan memberikan efek kejut ‘shocking’ atau tidak hanya penikmat yang merasakan namun atmosfer ruang sekitar karya tersebut memperoleh pengaruh yang signifikan. Sebagai medium rekreasi seni mampu merefresh semua kejenuhan dari rutinitas seharihari dan merefresh dapur kreativitas, paling jauh seni hanya perpanjangan tangan untuk menampar orang supaya sadar. Karya-karya yang didasari dari konsep-konsep yang mendorongannya untuk terus bereksplorasi dengan hal-hal yang kecil dan sederhana yang berangakat dari ide-ide keseharian yang kadang terabaikan. Setidak-tidaknya mampu memberikan gangguan dan pemcerahan terhadap kemapanan seni visual pada saat itu. Di sini terlihat dengan jelas bahwa imajinasi berhasil berdialog dengan logika dan bahkan bernegosiasi dengan teknologi. Kisah seorang instruktur seni Universitas Negeri California, Bety Edwards pada tahun 1979 dibantu Prof. Spery memindahkan laboratorium ke ruang keluarga.


Kemudian ia juga menerbitkan buku spektakuler ‘Drawing on The Right Side of The Brain’. Ia menolak gagasan bahwa sebagian orang tidak mempunyai kemampuan artistik. Dan, pada akhirnya ia juga mengamini Robert Ornstein dalam ‘The Right Mind’ bahwa sebagian penulis popular menyatakan bahwa belahan otak kanan merupakan kunci untuk memperluas pemikiran manusia, menghidupkan trauma, menyembuhkan autis dan seterusnya. Dedy langsung menanggapinya bahwa setiap manusia di anugerahi kemampuan artistik. Pemaham tentang artistik tergantung dari pengalaman empiris. Kemampuan artisitik bisa dilatih meskipun seorang akan sulit melukis, mengenali, dan meggilai lukisan abstrak kalau kesehariannya jarang menemui lukisan abstrak. Untuk bisa menikmati rasa pedas kita harus akrab dengan cabe dan merica. Begitulah ia menyikapinya. Memahami konsep Out the box bukan berarti benar-benar harus keluar dari kebiasan lama, baginya out the box bisa diartikan meniggalkan sejenak rutinitas, mencoba hal-hal baru yang belum pernah di coba, atau melakukan kolaborasi keduanya. Seperti saat ini ia akan meneruskan eksplorasinya tentang teks sebagai subject matter masih belum tuntas ia pahami dan sampai menemukan batas kedalamannya. Penggunaan teknik silkscreen akan tetap ditempuh dengan melakuakn penambahan tekstur di beberapa bagian. Orientasi kreatifnya akan melanjutkan paradigma yanng sudah ada. Di Jogjakarta ia merasa bukan satu-satunya seniman yang menggilai teks sebagai bahan eksplorasi. Ia meyakini dirinya sebagai seorang seniman yang mencoba memberikan aternatif lain dari apa yang sudah ada dengan mencomot beberapa bagian dari seniman lain yang menurutnya menarik dan memformulasikannya dengan kekayaan teknik yang dimiliki.

4. Eksplorasi Konseptual: Hypertext, Eksistensialisme dan Eksperimentasi Tanda visual yang dijadikan pintu masuk ke sebuah gagasan sehingga mampu mempresentasikannya semua dengan mengolah bahan baku teks sebagai subjek. Pada proses kreatif Dedy sebagian teks akan direpetisi dengan mencoba menyusun secara konstan tetapi ada beberapa bagian yang akan dihancurkan dan tidak akan lagi terbaca. Adapun metaphor yang cenderung dan dominan dipergunakan ialah citra teks sebagai interpretasi atas berbagai hal yang menggelisahkan. Akhir-akhir ini teks menjadi kajian dalam seni lukisnya, teks tidak lagi hanya sebatas ‘penghias’ tetapi lebih jauh teks mengambil peran penting dalam periode ini. Teks kemudian bisa berfungsi ganda sebagai elemen artistik (visual) dan estetik inheren dengan persoalan nilai filosofisnya. Sebagai elemen artistik teks berfungsi sebagai pengganti unsur garis yang dominan pada lukisannya terdahulu. Pada penciptaan karya seni sebelumnya, unsur garis-garis tersebut digantikan oleh penulisan huruf latin di kanvas. Maksudnya, huruf yang dipakai dalam tulisan sehari-hari ternyata mempunyai karakteristik yang sangat unik dan berbeda satu dengan yang lainnya. Di luar wilayah ‘makna’, huruf Latin, Cina, Arab, dan etnis lainnya ternyata bisa diolah menjadi elemen abstrak yang menarik dan sangat impresif. Karyanya dominan mengelola teks dan huruf akan dibuat menonjol dengan menambahkan media tekstur, baik semen maupun fiberglass. Ia membayangkan tekstur


kasar ditembok diubah representasinya seakan membentuk huruf-huruf dan teks. Huruf dan teks tersebut merupakan jejak-jejak dari huruf yang diproduksi mesin pabrik yang ditekan di atas tekstur. Teknik menggunakan tekstur yang sering di pakai Aming Prayitno, AD. Pirous dan seniman generasi 60-an yang menjadikan tekstur bagian penting proses kreatifnya. Teknik ini sekarang jarang dipakai oleh pelukis kontemporer, dengan begitu Dedy mencoba menghidupkan kembali teknik ini melalui karya-karya konseptualnya. Berharap publik sadar bahwa huruf yang dipakai dalam tulisan seharihari ternyata mempunyai karakteristik yang sangat unik dan berbeda satu dengan yang lainnya. Perihal teknik dan temuan-temuan artistik, ia justru menganggap tidak ada temuan baru namun yang ada hanya pengulangan dan pengkayaan apa yang sudah pernah dibuat seniman lain sebelumnya. Representasi ini sebagai jalan tengah, yang menarik adalah karya ini hadir kembali ketika seniman terdahulu yang pernah mengeksplorasi teknik semacam ini dan seniman yang baru seolah-olah melupakan teknik ini begitu saja. Pada projek ini, teks dan hypertext akan menjadi objek utama kajian seni lukis. Eksplorasi visualnya dengan menghadirkan elemen teks yaitu huruf menjadi karya seni lukis (dua dimensi) kemudian selanjutnya teks akan menjadi elemen visual lukisan dengan menghadirkan teks-teks yang masih bisa di baca dan teks yang tidak bisa lagi dibaca. Ibarat sebuah layar monitor komputer dengan bermacam link dan hiperteks akan di hadirkan di lukisan lain. Teks selalu hadir pada periode eksistensialisme, pada periode ini teks mulai bertebaran disetiap lukisan saya dan hanya berfungsi sebagai sampiran semata. Kesadaran baru mulai muncul setelah periode eksistensialisme. Selama ini elemen teks yang sering dipakai mampu memukaunya dan tak kering digali. Teks tersebut layak sebagai pengganti garis, goresan yang akan menarik jika hadir dan berdiri sendiri sebagai unsur visual. Beberapa tahun terakhir ia banyak disibukan dengan eksperimentasieksperimentasi proses kreatif yang didominasi oleh media campuran, beberapa puluh lukisan terbaru telah dikerjakan dengan melakukan eksplorasi secara mendalam subject matter teks sebagai kata kuncinya. Awalnya pada periode eksistensialisme teks diumbar sebagai media artikulasi untuk menyampaikan sebuah narasi kemudian pada karya-karya mutakhir ini teks telah dikemas sebagai sebuah pola baru dan dikelola menjadi elemen visual. Teks tampaknya jadi subject matter yang menarik untuk dibahas lebih jauh. Semenjak 1996 ia telah memulai ketertarikan untuk mengekspose teks di beberapa karya. Teks hadir berdampingan sejajar dengan unsur lainnya, bahkan teks dapat secara tegas mengambil peran strategis dan vital yang mampu menerjemahkan segenap pikiran, obsesi, opini, dan kegelisahan mengenai berbagai hal yang tak terjemahkan oleh bahasa visual. Bermula dari peran teks dan relasinya ‘interteks’, disinilah titik pijak konseptualnya untuk mengusung subject matter teks pada setiap proses penciptaan seninya. Dalam perkembangannya ia justru merasa terganggu beban makna ketika teks harus bisa dibaca. Dedy Sufriadi selama ini menyuntuki eksistensialisme untuk menggali nilai filosofi tertentu karena eksistensialisme sangat melekat dengan kajian yang ia geluti sejak di bangku kuliah S1 sampai sekarang menjadi kajian pokok tesis program Magister


Penciptaan Seni di ISI Yogyakarta. Secara sederhanya eksistensialisme dapat dijelaskan sebagai aliran filsafat yang menekankan eksistensial. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensi dari segala yang ada, yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana segala yang ada itu berada dan untuk apa berada. Kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norma. Berdasarkan norma kemerdekaan kita bisa berbuat apa saja yang mampu mengoptimalkan hidup, dengan kata lain kita bisa saja mengabaikan konvensi yang mengurangi nilai optimal hidup termasuk konvensikonvensi yang secara umum berlaku. Segi positif dan sekaligus daya tarik etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi, dan penglihatan tentang masa depan. Berbeda dengan pemikiran orang lain yang menganggap hidup ini selesai, yang harus diterima seperti apa adanya dan tidak perlu diubah, etika eksistensialis justru memberikan perlawanan. Hidup ini belum selesai, tidak perlu diterima apa adanya, dapat diubah, dan memang seharusnya diubah. Ini berlaku bagi manusia secara pribadi, masyarakat, bangsa dan dunia seanteronya. Orang yang memandang hidup sebagai sesuatu yang sudah selesai mempunyai sikap pasrah dan menerima, sementara kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, selalu berusaha, dan berjuang untuk memperbaiki hidup. Bagi kaum eksistensialis setiap orang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dan selalu berusaha untuk mengembangkannya. Pandangan kaum eksistensialisme yang mengedepankan subjektivitas tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap ide-ide penciptaan seni lukisnya sampai sekarang ini. Kemudian Dedy secara khusus mengubah teks yang ingin diproyeksikan dalam projek penciptaan seni saat ini, dengan mencoba memanfaat material sederhana, semen dicampur dengan lem, maupun potongan-potongan kayu yng direkonfigurasi diatas multipleks kemudian di sapu dengan cat transparan. Memberi pemahaman kepada pemirsa bahwa dari bahan-bahan sederhana tersebut dan hanya dengan penggunaan teknik yang sederhanya mampu menghasilkan karya yang menarik. Perihal wacana apa yang ingin ia sampaikan dalam membangun paradigma baru atau justru berhadapan dengan paradigma tertentu yang ingin ia tinjau kembali perspektifnya. Ia dengan nada kooperatif menyatakan bahwa proses kerja kreatifnya akan melanjutkan paradigma yang sudah ada. Teknis yang tawarkan bukan suatu teknik yang luar biasa dan ia mencoba memberikan aternatif lain dari apa yang sudah ada.

C. Farhan Siki 1. Visi dan Orientasi Estetika Farhan Siki Inspirasi itu seperti sinyal, pantulan yang muncul dari peristiwa keseharian kita. ia selalu disebabkan oleh sesuatu yang mendahuluinya. Peran penting inspirasi sebagai penunjang konstruksi estetika kira-kira formulasi saya begini; 15 % inspirasi, (15% rasa, 25% pikiran, 40% tindakan, dan 5 % ketakterdugaan). Inspirasi mana yang ‘match’ dengan rasa, pikiran dan tindakan, akan mungkin segera bisa saya eksekusi menjadi karya.


Kehadiran inspirasi pada rangkaian proses kreatif adalah ketika Farkhan Siki merasa gelisah dan terganggu akan suatu hal pasti akan memikirkan hal tersebut setiap saat. Disitulah inspirasi datang dengan segala pemantiknya, bagaimana memecahkannya bila itu sebuah masalah atau jalan buntu, atau bagaimana mewujudkannya bila ia seperti mimpi dan keinginan-keinginan. Ia tak pernah patuh pada inspirasi awal atau ide awal, dinamikanya bisa bergeser 90 derajat bahkan 180 derajat. Terkait dengan pengembaraan imajinasi Farhan Siki menyukai buku-buku sejarah perang (politik) dan ekonomi, nonton film epic dan action dan suka music rock klasik juga jazz. Sejarah perang/politik dan ekonomi baginya bisa memberi gambaran yang sangat komplit akan keunikan manusia-sebentuk antropomorfisme untuk narasi dalam karya. Begitu juga dengan nonton film-film epic dan action. Sementara musik rock klasik dan jazz adalah analogi akan suatu skill atau craftsmanship. Ia menganalogikan pilihan-pilhan itu dalam proses berkarya. Proses mempertemukan secara visual, konseptual, tekstual maupun kontekstual melalui tegangan atau friksi tarik menarik bahwa proses mencipta karya seni selalu dalam alur yang fluktuatif dan situasional. Ia selalu mendekap lebih erat konsep dan bahasa (tekstual), sementara teks visual dan perihal yang kontekstual itu hal yang otomatis mengikuti sekaligus melekat. Semua hal yang berkaitan dengan kecenderungan pilihan-pilihan tersebut memberi pengaruh signifikan terhadap kerja kreatifnya dan peran emosi individual terhadap bacaan, tontonan dan atmosfer bunyi-bunyian yang anda sukai itu mempengaruhi emosi dan kerja otak. Sesungguhnya buku, film atau musik yang ia sukai itu adalah knowledge atau referensi sebagai vitamin atau penyuplai daya dan emosi tetapi bukan hal yang otomatis yang menyertai berkarya dengan kemelekatan nilai di dalamnya. Orientasi kreatif yang Farhan acu bahwa berkarya itu harus jelas mau bicara tentang apa, bahasanya seperti apa, juga ‘attitude’nya dan juga harus beserta skill atau merujuk craftmanship yang dimiliki bagaimana. Itulah nanti yang bisa menampakkan jelas pada eksekusi akhirnya. Farhan memiliki obsesi terhadap proses kreatif yang sedang diperjuangkan dengan kehendak keinginan berkarya dengan hal-hal biasa saja, hal yang semua orang juga mungkin bisa melakukannya karena hasilnya bisa jadi hanya berupa kesia-siaan belaka. Tetapi baginya ini sebuah ruang eksplorasi yang sangat terbuka untuk memperoleh respons dan dapat dinikmati begitu dekat dengan ingatan masyarakat kita. Ketika saya bertanya ‘inginkah anda mencolek langit dari proses panjang kesenimanan anda kelak? Ia dengan tegas menjawab ‘of course’. Dan, saya lanjutkan dengan ‘kekuatan imajinasi seperti apa sehingga anda harus membayar mahal dengan ideologi estetika yang belum karuan anda temukan? Ia dengan lugas menyatakan bahwa ia selalu rajin mengupdate pengetahuan perkembangan terkini karya-karya seniman terkenal dunia melalui buku, majalah atau browsing internet. Kemudian mengomparasi dengan periode karya-karya sebelumnya, adakah perkembangan yang signifikan dari proses kreatifnya. Pada saat yang sama, mencari parameter sejauh mana perkembangan karya yang ia lakukan selama ini. Bagi Farhan untuk menemukan gagasan-gagasan penting dalam proses penciptaan seni bahwa gagasan itu datangnya otomatis ketika kita memikirkan akan suatu hal. Semakin dalam kita memikirkan maka semakin kuat juga


datangnya gagasan, yang lebih penting mungkin malah dengan jalan apa kita ingin menyatakan gagasan tersebut .

2. Brainshocking: Paradigma Perubahan dan Eksplorasi Neurologis Secara pribadi saya meyakini Farhan Siki menyukai perubahan dan distinctive. Ia menganggap mutlak perlu adanya perubahan ketika pada situasi tertentu seseorang tidak bisa berbuat apa-apa atau merasa tidak kemana-mana dan tentu saja juga yakin tidak akan mendapat apa-apa. Indikasinya bisa diukur dengan realitas seperti apa kesenian yang berkembang disekitar kita. Tentu dengan perubahan yang berangkat dari realitas diri dengan kata lain perubahan itu bukan hal yang sekonyong-konyong berbeda dari sebelumnya. Distinctive..! Sesuatu yang berbeda menjadi trik kuno yang tetap dilakukan seorang seniman dalam politik identifikasi. Bisa jadi seperti itu, apalagi jaman hybrida seperti ini apa yang benar-benar berbeda tidaklah nyata. Tapi setiap individu seniman harus mempunyai watak distinctive ini, karena pada kadar kesamaanpun mungkin tetap dapat dilihat ketidaksamaan. Jika demikian, ketika kita memimpikan sebuah lompatan-lompatan baru secara konseptual dan memerlukan ‘amunisi baru’ berupa lentingan-lentingan yang mencolok dari sebuah presentasi visual bukan? Kebaruan sedang dipikirkan untuk projek ini, bahwa ia mencermati kasus projek terbaru, ada hal yang saya anggap prinsip dalam menentukan hasil akhir sebuah karya yang ideal yaitu dengan cara mengeksekusi gagasan-gagasan imajinatif dan memiliki daya pukau yang andal. Cara ini bisa menyangkut teknis, media dan juga pendekatan. Dalam karya-karya terbaru, teknik dan medium yang dipakai adalah stencil, meski populer medium yang sesungguhnya sudah kuno dan teramat banyak seniman di dunia yang melakukan. Namun mempelajari betul medium ini dari pola sederhana hingga paling rumit yang menyerupai karya digital, tapi itu belumlah cukup jika ingin dianggap distinctive dengan seniman seperti Banksy atau Shepard Fairey. Ada satu lagi hal penting seperti saya katakan diatas yaitu pendekatan (approach) terhadap semua fenomena yang khusus dan subjektif. Nah, pendekatan yang ia lakukan dalam proses berkarya selama ini adalah mengeksplorasi berbagai cara bagaimana mengonstruksi visual dalam satu karya saya, yang bisa ditengarahi dari hal tersebut dengan kecenderungan selalu menyusun atau mengomposisi semua aspek visual yang besar dari konstruksi visual kecil-kecil. Farhan sangat memosisikan brainstorming menjadi bagian yang amat penting untuk menguji kadar kedalaman dan pemahaman kita akan suatu hal. Brainstorming juga mampu membuka berbagai hal yang samar-samar menjadi terkemuka dan benderang. Ini semacam kran air yang mengalirkan berbagai gagasan imajinatif untuk menerjemahkan impian dengan kekuatan imajinasi pada proses penciptaan seni. Farhan menyadari bahwa semua tetap harus realistis antara mimpi dan imajinasi harus disinkronisasi dengan realita yang melingkupinya. Apakah itu match dengan kegelisahan yang sedang dipikirkan hari ini dan mungkin dikonkretkan menjadi karya dengan kapabilitas saat itu. Bila itu tidak memadai, berarti itu investasi imajinasi yang suatu saat bisa kita gali lagi. Baginya seperti orang bilang bahwa itu mimpi yang terpendam atau


dipendam. Pertanyaan yang sama saya ajukan pada semua seniaman dan Farhan ‘Jika brainstorming menjadi posisi penting dalam proses kreatif anda. Seberapa berani apa anda mengambil keputusan ‘gila’ dari kerja kreatif anda?’ Dengan tangkas Farhan menyikapi bahwa itu harus disadari sebagai challenge, jika seniman takut mengambilnya sekali lagi ia tidak bisa kemana-mana dan tidak akan mendapat apa-apa. Ketika saya giring dengan pernyataan bahwa dalam neurologi, sangat banyak ilmuwan yang meneliti kerja otak manusia. Peran dan kinerja otak belahan kiri manusia secara umum dieksplorasi fungsinya berkaitan dengan kemampuan komunikasi verbal, berpikir logis, analitis, dan senderung dinamis. Sedang otak belahan kanan nyaris tidak tereksplorasi secara maksimal, otak kanan cenderung diam statis, tidak liner, imajinatif, intuitif dan naluriah lantas bagaimana dengan optimalisasi otak kanan. Ia menyatakan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang otomatis dan alamiah dalam dirinya. Hal yang alamiah juga kebuntuhan pada otak kiri yang mengeksplorasi jalan keluarnya selalu dari otak kanan dan bekunya otak kanan bisa dipanaskan kembali oleh kinerja otak kiri. Jika otak kanan manusia dikelola maksimal kemampuannya, maka manusia memiliki peluang besar menjadi genius dan melahirkan gagasan-gagasan monumental, imajinatif, reflektif, dan tentu merangsang pemikiran-pemikiran baru. Menurutnya pernyataan ini ada benarnya dan banyak kasus yang membuktikan itu. Tapi ia tak betul-betul bisa menyadari bahwa pada saat proses kreatif dilangsungkan ada satu mekanisme kerja otak kanan yang sedang onn, ia berpikir ini hanyalah identifikasi ilmiah dokter, ilmuwan atau yang disebut ahli neorologi. Tapi pada praktiknya semua seniman atau manusia pada umumnya melihat itu semua sebagai hal yang otomatis dan alamiah. Ia sependapat dengan Bety Edwards seorang instruktur seni Universitas Negeri California, pada tahun 1979 dibantu Prof. Spery memindahkan laboratorium ke ruang keluarga. Kemudian ia menerbitkan buku spektakuler ‘Drawing on The Right Side of The Brain’. Ia menolak gagasan bahwa sebagian orang tidak mempunyai kemampuan artistik. Dan, pada akhirnya ia juga mengamini Robert Ornstein dalam ‘The Right Mind’ bahwa sebagian penulis popular menyatakan bahwa belahan otak kanan merupakan kunci untuk memperluas pemikiran manusia, menghidupkan trauma, menyembuhkan autis dan seterusnya. Ia merupakan kursi kreativitas, jiwa, bahkan gagasan-gagasan besar seorang seniman harus memiliki sikap dan senantiasa berpikir dan bernyali dengan ‘Out of The Box’. Keberangkatannya berkesenian sejak mula memang sudah ‘out of the box’, dari outsider saya tak mengenal apa itu yang dinamakan ‘The Rules of Art’. Ia berorientasi etap mengolah dan mengembangkan kemungkinan lebih jauh dari materimateri yang sudah saya kumpulkan, saya pikir masih ada 1001 probabilitas yang bisa saya lakukan. Statement inilah yang menegaskan seorang Farhan yang visioner. Berkaitan dengan ide-ide gila yang akan diproyeksikan dalam projek ini ia akan membuat karya seni yang kamuflase, tidak jelas betul antara seni dan bukan. Ia ingin masuk ditengah belantara tanda di era digital seperti sekarang, yang semua sudah menjadi massal, tidak istimewa lagi. Baginya seni yang disengajakan menjadi seni tidak akan menjadi lebih seni dari yang bukan seni, akan monoton, mekanis dan boleh jadi akan menjadi massal juga (karena semua seniman berpikiran serupa).


3. Lompatan Ide dan Pendekatan Proses Pencitaan Seni Penajaman mengenai lompatan quantum bagi seniman yang melakukan berbagai eksplorasi dalam proses penciptaan seninya sangat terbuka dan tingginya probabilitas untuk melahirkan citra karya seni yang yang distingsi. Apa lagi pada jaman hybrid seperti ini apa yang benar-benar berbeda tidaklah nyata tapi setiap individu seniman harus mempunyai watak distinctive ini, karena pada kadar kesamaan pun mungkin tetap dapat dilihat ketidaksamaannya. Pernyataan ini harusnya dimiliki sebagai sikap tegas seorang seniman profesional untuk melakukan konstruksi dasar bagi visi keseniannya sehingga tak terjebak pada wilayah disorientasi. Farhan memiliki sikap bahwa kerja seni lebih dianggap sebagai sebuah proses yang berkesinambungan dari berbagai momentum, lompatan-lompatan ide dan praktik visual yang baru selalu ia kaitkan dengan proses sebelumnya, sehingga jangan sampai saya membuat karya ‘gila’ hanya jebakan sensasional saja. Karya yang berorientasi pada bagaimana karya tersebut melakukan prosedur kerja strategik dengan daya pukau dan daya ganggu yang masuk ke wilayah sensasi semata. Ia ketika saya temui di studionya menyatakan dengan sangat lugas bahwa ia tak terlalu berpusing dengan efek dari proses kekaryaannya dengan situasi psikologis audience yang menyaksikan karya tersebut, yang dipikirkan adalah bagaimana ia menuntaskan gagasan imajinatif yang ‘gila’ itu sebagai proyeksi pencitraan jangka panjang proses keseniannya. Lebih penting dari itu sesungguhnya adalah bagaiamana karya-karyanya merangsang kembali gagasan kreatifnya dan memberi inspirasi orang lain serta memberikan edukasi atau kesadaran bagi masyarakat secara global. Ia sedang berorientasi bagaimana membuat karya seni yang kamuflase, tidak jelas betul antara seni dan bukan seni. Ia ingin lebur sebagai bagian dari belantarabelantara tanda di era digital seperti sekarang, yang semua sudah menjadi massal, tidak istimewa lagi. Baginya seni yang disengajakan menjadi seni tidak akan menjadi lebih seni dari yang bukan seni, akan monoton, mekanis dan boleh jadi akan menjadi massal juga (karena semua seniman berpikiran serupa). Tanda visual apa saja yang dijadikan pintu masuk ke gagasan sehingga mampu mempresentasikannya dengan konsep mampu mengguncang persepsi? Tanda-tanda budaya popular (recognized sign) sebagai tanda visual yang dijadikan pintu masuk ke dalam gagasan yang dikelola secara personal secara konseptual sehingga mampu memberi kejutan secara neurologis sekaligus memberikan proses kesadaran mengenai hegemoni budaya konsumerisme ataupun berbagai ancaman budaya pop. Farhan sangat menggemari pada apa yang disebut appropiasi, karena lebih jitu jika ia hendak menyatakan suatu hal yang ironi dan paradoks. Ia bisa saja mempertemukan dua aspek yang berbeda untuk melakukan juxtaposition dan mempresentasikan perihal yang paradoks dari keseharian kita. Seringkali kita bisa amati selera masyarakat pecandu gaya berbelanja, ia akan membeli barang belanjaan apa saja yang belum tentu dibutuhkan sama sekali dan bukan atas dorongan kebutuhan namun


lebih bisa dipandang atas dorongan gengsi dan seterusnya. Selebritis yang selalu mengejar merk-merk tertentu dengan varian desain (yang terus menerus bergerak untuk membius mata konsumen) tanpa berpikir bahwa perburuannya bukan sesuatu yang ia butuhkan secara fungsional, mungkin sekali pakai dan langsung melupakannya. Ada pula yang keranjingan sekadar memiliki untuk koleksi prestisius dan akan dipamerkan ketika rekananya berkunjung ke rumah atau saat arisan. Mereka mengejar untuk mengkonsumsi brandednya dan mengejar status-status sosial yang tidak keruan itu. Pemandanga serupa bisa kita temui sehari-hari di sekitar kita sebagai fenomena yang berjarak dengan konsep konsumen dalam pandangan umum sebagai tindakan pengguna barang dan jasa sebagai sesuatu yang mereka butuhkan secara fungsional. Dalam proses penciptaan seni, Farhan cenderung mengeksekusi gagasangagasan kreatif dengan menggunakan teknik stencil, pemilihan teknik tersebut karena baginya dapat menguji kemampuan eksplorasi dan kesabaran seberapa tahan bekerja dengan sesuatu yang harus selalu ada polanya. Karena pada dasarnya seniman ingin sesuatu yang bebas sekehendaknya. Pendeknya jika ia ingin meletakan sebuah titik atau garis di bidang karya pada medium apa saja (tembok, kanvas atau apasaja) maka harus ada plat cetakannya. Tahapan teknik ini seperti halnya dengan teknik grafis lainnya adalah membuat pola atau gambar pada plat, kertas karton, mika, atau plastik akrilik, kemudian melubangi bagian bagian pola yang akan di cetak, dan melakukan proses cetak dengan media cat yang disemprotkan atau roll print. Yang paling menarik baginya adalah ketika ia hunting materi yang akan dijadikan model stencil. Materi apa saja yang ia temui di sampah-sampah rumah tangga, swalayan, toko-toko, jalanan, pasar-pasar, kafe-kafe, ke rumah-rumaah tetangga hingga hunting materi dengan berbelanja sesuatu yang ia tidak buuhkan sama sekali ke hypermarket di kota-kota atau negara yang ia singgahi. Kemudian kegilaannya melacak satu persatu desain dari brand tertentu yang baginya menarik dan sulit ia temui karena tidak banyak dikonsumsi masyarakat umum maka ia juga seperti selebriti yang keranjingan berbelanja apa saja yang menarik dan menginspirasi tanpa berpikir apakah ia akan memerlukan barang yang ia beli. Logo-logo maupun logotype dari brand-brand yang populer dan benefide selalu menjadi buruannya, materi tersebut sekedar disalin (untuk meniru secara persis detail dan ukurannya) ke permukaan plat yang akan distencil. Ia juga pernah membeli beberapa puluh pak barang yang ia tidak butuhkan karena ketertarikannya ada citra logo maupun visual dari produk tersebut. Ia masuk ke dalam kecenderungan gaya berbelanja masyarakat konsumeris masa kini. Dalam relasi ini sesungguhnya Ia ingin merelasikan atau malah membenturkan berbagai tanda visual yang memiliki nilai citra dari branding produk tertentu. Ia bermaksud lebih nyata memiliki dorongan untuk melakukan sebuah kritik sosial dan kesadaran publik mengenai hegemoni konsumerisme yang kian merangsek ke ruang-ruang aktivitas sosial, ekonomi, ruang psikologis, ruang humanis pada layer permukaan, dan potensi perubahan budaya. Stancil menjadi cara kerja kreatifnya yang khas, karena kerja semacam ini adalah kerja yang konstruktif, pola kerja yang tak sering terjadi distorsi gagasan karena sudah


direncanakan dari awal memulai proses kerja. Soal kepuasan, jelas bisa terpuaskan karena apa-apa yang direncanakan dapat direalisasikan dengan kontrol yang maksimal. Ketidakpuasan yang lain biasanya memantik pada proses penciptaan karya-karya berikutnya. Sekali lagi Farhan tak terlalu pusing dengan situasi psikologis para penikmat seni dengan presentasi visual karyanya yang mutakhir ini. Toh kadang apresiasi para penikmat itu sering datang dengan wujud vulgarnya yaitu membeli karya tersebut, baginya itu bukan sesuatu yang menarik sebagai pencapaian akhir ia berkarya tetap jauh lebih menarik ketika hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan kwalitas karya dan sejenisnya yang ia yakin kelak akan menjadi inspirasi bagi orang lain. Meskipun bisa jadi sebagai referensi yang bisa dibicarakan terus menerus dalam wacana seni rupa kemudian muncul adalah hal lain diluar proses keseniannya. D. Rocka Radipa 1. Inspirasi dan Storage Idea Saya tertarik pada paparan Rocka Radipa perihal bagaimana seseorang mengenali dirinya sendiri dengan kata kunci Mind, body dan Soul. Setiap hari kita di pengaruhi oleh ketiganya. Kadang kita bergerak karena dorongan pikiran, karena metabolisme tubuh kita, atau jiwa kita menginginkan melakukan sesuatu. Rocka menganggap bahwa inspirasi mempunyai pintu khusus seperti Newton dapat ide ketika apel terjatuh di kebunnya, Archimedes ketika masuk bak mandi dan seterusnya. Tapi yang mendasari kemunculan inspirasi itu adanya niat (konatif), karsa, keinginan atau kehendak. Tidak ada inspirasi berarti tidak ada karya. Meskipun inspirasi juga tidak bermakna sakral, tapi ketika berkehendak harus diniatkan dengan lurus dan khusuk (serius). Inspirasi dan dorongan gerak fisik bisa jadi berjalan dalam satu tempo sehingga seseorang juga bisa berpendapat bahwa seakan-akan tidak perlu inspirasi atau naluriah lebih dikarenakan inspirasi berada di ruang maya dan ruang tanpa batas. Sehingga Rocka sering menyelesaikan karya saya di ruang itu sebelum diwujudkan ke bentuk fisik karyanya. Inspirasi membangun gagasan ideal pada perkembangan kecanggihan teknologi simulasi serba digital merupakan sebuah keniscayaan yang terhampar luas. Inspirasi seperti sebuah rasa damai, dia harus di siapkan bukan di minta. Inspirasi hadir karena kesadaran bahwa kesadaran sempurna akan hadir ketika kita rileks, ikhlas dan syukur. Kesadaran (Otak di Gelombang Alpha) terus ada niat itu saja. Ketika orang tidak memperoleh kesadaran maka kejadian apapun tidak akan menghadirkan inspirasi. Rocka sangat cermat untuk mendokumentasikan ide dengan pendekatan metode storage ide. Invertarisasi ide dalam ruang pikiran, diendapkan, proses inkubasi ataupun dicatat pada buku ide dengan prioritas-prioritas tertentu yang dibiarkan mengalir saja. Inspirasi diperoleh dari apa saja kegiatan dan kesukaan seseorang misalnya membaca buku, nonton juga kalau ingin. Ia menggemari dengan semua jenis film dari film drama seperti Great Expectation, Before Sunrise, Truman Show, Matrix sampai model thrillerspsycho seperti Silence of the Lambs. Penyuka musik dari gending, classic, jazz, Beatles, Jackson 5, Koop sampai model Slipknot atau The dillinger Escape Plan. Yang paling ia suka justru share, ngobrol, tukar pikiran monolog dengan diri sendiri ataupun dialog dengan teman-teman.


Orientasi seputar bagaimana semua itu memberi stimulus, ilmu pengetahuan dan pencerahan. Dan, tidak hanya berorientasi dengan ruang-ruang diatas. Semua itu baginya semacam ‘krim penggeli’. Untuk memicu akselerasi yang menggeliatkan gugahan imajinasi dan meambungkan fantasi. Dalam proses kreatifnya Rocka merasa sedang bersalaman dan berdialog dengan pembuat langit. Seperti halnya Afandi yang menginginkan cat yang langsung mengalir dari tangannya. Maka ia ingin sekali apa yang diimajinasikan bisa langsung terwujud melaui tangan, alat atau teknologi. Ada gagasan, citra estetis, dan pencapaian teknis serta sejumlah nilai yang melingkupinya sebagai sebuah kebutuhandalam serangkaian proses penciptaan seni. Ide tidak ditemukan begitu saja tapi dipersiapkan kehadirannya seperti yang ia nyatakan secara lugas ‘ketika saya menginginkan ide, atau berkarya saya harus berusaha sehat dulu, berfikir jernih, lihat sekeliling, ngobrol, cari refensi, sampai cari dana untuk hal hal teknis’. Cara berpikirnya yang pragmatis, analitis, terstruktur, dan prosedural melekat pada pribadi Rocka Radipa yang telah lama menggeluti dunia kerja sebagai graphic design. Polapolanya menjadi khas dan cenderung metodis terefleksi pada pencitraan karya-karyanya yang resik, perfect, teratur, dan distinctive.

2. Brainshocking: Eksplorasi Neurologis dan Konstruksi Estetika Rocka Radipa cukup berbeda mengartikulasikan sebuah perubahan sebagai sesuatu yang tumbuh atau ditumbuhkan, konsep pertumbuhan dan menjaga pertumbuhan natural. Tumbuh bukannya tidak boleh patah, rontok, jatuh atau hancur tetapi ketika jatuh atau hancur dia masih punya energi hidup atau masih bisa bersemi, mendapat pelajaran, dan justru menambah daya hidup untuk meninggi bersama ruang dan waktu. Ia menyatakan bahwa ‘itulah bedanya distinctive dengan tumbuh menurut saya. ‘Beda’ itu hubungannya dengan lingkungan, trend atau kebiasaan sedangkan tumbuh berhubungan dengan kedirian. Kita yang mencari jati diri dan orang lain yang lebih bisa melihat bahwa kita beda tentu sangat subjektif’. Kebaruan-kebaruan yang ditempuhnya merupakan sesuatu yang lebih meningkat secara kualitas dari karya sebelumnya, misalnya dengan menggabungkan teknik etsa saya dengan implementasi ilmu fisika sederhana. Karena melakukan lintasan pemikiran interdisipliner justru memberikannya proses pengayaan dan proses pendalaman ilmu pengetahuan yang pada akhirnya dapat memunculkan nilai atau pengetahuan baru. Kedua-duanya dikayakan baik dari sisi kesenian itu sendiri maupun pada sisi ilmu fisika dengan perluasannya. Siapa sangka bahwa seni bisa berurusan dengan fisika quantum, fisika nuklir dan cybernetica sebagai puncak-puncak pembentukan kebudayaan baru akhir-akhir ini. Berbagai lintasan kreatif diatas sesungguhnya telah melakukan pendekatan brainshocking yang kemunculannya dari kebiasaan menerapkan curah gagasan atau pendapat dengan brainstorming. Brainstorming dapat menerjemahkan seperti juga mengkonversi, memerlukan ketepatan, pemilihan ide, pemilihan bahasa, tanda, media atau bahan dan esekusi karyanya. Ketika ia mulai berniat membuat karya maka ia berimajinasi dengan otak kanan. Proses pematangan sampai dengan dengan teknis otomatis dengan otak kiri.


Otak kanan digunakan lagi untuk eksekusi karya sampai proses finishing, ada beberapa detail yang muncul begitu saja ketika memasuki proses tersebut. Lompatan imajinasi kemampuan otak kanan terbebas dari dimensi ruang dan waktu. Orang punya imajinasi terbang sebelum ditemukannya pesawat terbang. Orang sudah membayangkan bentuk komunikasi tanpa kabel sebelum ditemukannya handphone, tv atau internet. Mengingat otak kanan mempunyai pola acak dan tidak selalu aktif maka ia mempersiapkan serta menyambutnya dengan kerja otak kiri yang cenderung analitis mendorong untuk belajar dan bekerja. Ketika berusaha mengontrol, otomatis kita semacam mengerem otak kanan dan secara otomatis otak kiri bekerja. Untuk bisa memasuki pikiran sadar dan bawah sadar, kita harus masuk ke gelombang Alpha atau gelombang netral (keadaan sadar). Brainshocking dalam proses keseniannya memberi cara pandang baru, wawasan baru, pencerahan baru. Kejutan-kejutan otak bisa diciptakan dengan memberdayakan seluruh mekanisme kerja otak kanan yang selama ini kurang dimaksimalkan kinerjanya. Otak kanan bisa berfungsi optimal dan sempurna ketika manusia sudah memiliki kesadaran badani (gelombang Alpha), bisa mengontrol atau bahkan bisa ‘meninggalkannya’. Bila belum bisa mengontrol ‘badan kesadarannya’ maka cenderung nanti akan ‘menggangu lingkungan’. Otak kanan tidak serta merta terbangun kalau tidak dipicu dengan kesadaran Roka mengilustrasikan seperti perseneling mobil, bahwa gelobang Alpha adalah posisi netral, ini poros untuk memasuki alam sadar atau bawah sadar. Ketika orang telah sempurna kesadarannya (PQ, IQ, EQ, dan SQ) maka ia mengibaratkan seperti mobil matic dan dengan demikian Rocka secara pribadi memperlakukan kerja kreatifnya sebagai sebuah laboratorium. Sebuah laboratorium kreatif yang mengawinkan berbagai gagasan, metode, teknik, dan perluasan lain yang lebih njlimet untuk menghasilkan kejutan otak yang menikmati karya ketika gagasan dihadirkan ke publik. Pada dasarnya seni selalu memiliki peluang mengguncang dunia. Temuan-temuan dasar penciptaan helikopter, pesawat jet, IPhone sampai cloning, dan berbagai rekayasa genetika sebagi buah kerja kreatif. Sehingga kita tahu di jaman dahulu biasanya seorang ilmuan juga bisa dipastikan dia seorang seniman. Brainshocking dapat dielaborasi, diadopsi bahkan ditranplantasi dengan berabagai perspektif, pola kerja, pembenturan ‘disorientasi’ dan kecenderungan penggunaan materi. Ada beberapa pola dalam brainshocking yang memberikan wawasan baru, mengcounter pola lama, ataupun tambal sulam. Brainshocking tidak serta merta bisa memasuki gelombang umum. Otomatis pasti perlu konfirmasi, penjelasan, dan konversi dengan cara yang cantik. Konsep brainshocking mewarisi nyali out of the box, harus didasari oleh kesadaran, pengenalan diri serta proses belajar dengan lingkungan dan alam semesta. Sebuah tindakan radikan dalam proses kreatif secara sepihak menghantam pandangan lesu yang cenderung konservatif. Out of The Box sebagai jargon untuk memuluskan metode-metode Glass Box Methode dan Black Box Methode yang sering memprovokasi lonjakan ide-ide kreatif dengan spirit kerja inovatif seorang desainer untuk menemukan identitas kreatif yang terus-menerus segar dan up


to date. Ada salah satu karya yang Rocka yang menggunakan cermin untuk membalik objek, sehingga karya asli dan bayangan di cermin menjadi satu kesatuan makna. Teknik masih dengan etsa. Mungkin nanti masih ada beberapa kendala. Bagi saya karya tidak harus ‘selesai’. Seperti Right bersaudara yang memberikan brainshocking, sebuah pesawat sederhana yang terbang sebentar sehingga sekarang disempurnakan menjadi pesawat Stealth F-117. Rocka sesungguhnya dalam berkarya ingin menguatkan paradigma yang ia yakini melalui metode kesadaran dan pemahaman ‘mengapa dan untuk apa kita harus mencipta’ sama seperti ia berusaha memahami ‘Mengapa dan untuk apa Tuhan Mencipta”. Pada pameran kali ini ia mengabarkan sesuatu yang up to date: Tentang Perang. Bisa jadi peperangan itu memang telah dekat dan hadir di ruangan kita seperti manusia menciptakan bola kemudian sekarang ada pertandingan di lapangan sepak bola, manusia menciptakan produk selanjutnya terjadi perang produk, manusia menciptakan uang dan terjadi persaingan mata uang. Manusia menciptakan motor atau mobil dan terjadi balapan liar hingga GP Motorcross atau GP F1 di sirkuit-sirkuit bergengsi. Manusia menemukan internet lantas sekarang terjadi kejahatan cyber, manipulatif dan perang cyber. Ketika manusia mengeksplorasi lautan kemudian sekarang sering terjadi konflik batas laut sampai pada upaya manusia mengeksplorasi dan memanfaatkan minyak bumi dan gas kemudian tak jarang terjadi peperangan karena minyak baik pemicu perang dingin maupun agresi militer besar-besaran antar blok. Untuk memenuhi hasrat kreatifnya dan mewujudkan gagasannya maka ia bergerak mencari referensi dan produk - produk yang berkaitan dengan peperangan sekarang. Produk, media, jejaring sosial, senjata, dan lain-lain. Peperangan modern sasarannya adalah konsumen (bisa di untungkan atau bisa dirugikan) barangkali ini memang cuma baru sebuah perang ekonomi, perlombaan, persaingan ataupun peperangan semu. Menurutnya ini seperti menunggu titik didihnya melaui kecanggihan mesin perang sekarang, mungkin kita tidak bisa membayangkan kehancuran yang akan terjadi selanjutnya. Pertanyaanya adalah apakah perdamaian dijaga supaya tidak ada perang, atau untuk memberantas kejahatan, perdamaian harus di tegakkan dengan jalan berperang? Nah, proses kreatifnya dieksplorasi melalui media ekspresi 2D, 3D dan interactive serta beberapa masih di eksplorasi lebih jauh. Selanjutnya audience bebas memberikan ekspresinya. Bagi saya di cemooh atau di puji sama sama bernilai 1, sedangkan jika karya di cuekin bernilai nihil (0).

3. Esensi Energy: Konsep Tumbuh, Wacana Kebenaran dan Perspektif Estetik Rocka sangat tertarik dengan subject matter tentang esensi energy. Lagu yang evergreen berarti punya energy, Karya sastra yang sering diperbincangkan berarti punya energy atau lukisan yang mempengaruhi wacana berarti punya energy. Energy ini yang menggelisahkannya selama ini. Ada semacam keinginan kuat untuk mencari rumusannya dan ia senantiasa berfikir bahwa itu pasti ada rumusannya. Ini baru sebuah


proses pencarian. Atau mungkin rumusnya memang dengan terus mencari. Kalau jalannya tidak pasti berarti kadang-kadang muncul ide karya setelah seharian buat musik di program frutyloop, atau habis ngegames, habis sepedaan, nonton TV, saat menyiram tanaman dan seterusnya. Sumber inspirasinya begitu sangat cair. Banyak yang berasal dari apa yang dilihat, dirasakan dan yang didengar. Kadang ide tiga tahun lalu baru terlaksana sekarang, kadang juga mampat ide, tiba-tiba dapat ide trus jadi karya. Yang biasa Rocka lakukan ialah membuat data investasi ide dengan menuliskan semua ide yang muncul kapan saja dan di mana saja, mungkin sudah ribuan ide dan biasanya catatan-catatan itu direview kemudian terjadi berbagai perubahan-perubahan detail juga ada penambahan–penambahan yang memperkuat esensi konseptualnya. Seperti pecahan puzzle ketika dibuka catatan ide itu maka saya terpacu mencari serpihannya. Serpihan ini juga kadang unik, kadang ketemu di sekitar kita kadang juga ketemu di tempat lain, kadang ketemu di ruang yang berbeda (lintas disiplin) dan kadang bertahuntahun baru ketemu. Saat ini Rocka fokus ke sesuatu yang berkebalikan. Dua sisi yang saling berkait, viceversa dan selalu abadi, seperti perang–kedamaian. Eksekusi tergantung pada konsep presentasi karya akan masuk ke media macam apa, bisa dieksekusi ke dalam bidang 3D, 2D, instalasi maupun multi media namun secara teknis ia masih setia menggunakan teknik etsa. Prosedur kerja kreatifnya biasanya membuat sket global dulu, diolah di komputer baru di eksekusi (proses etsa) ke karya. Setiap membuat karya selalu bereksperimen, walaupun sudah beberapa kali ia lakukan. Rasanya selalu berhadapan dengan kendala (ide, teknis, bahan, waktu, dana dan lain-lain) banyak karya yang kemudian dianggap gagal. Yang akhirnya ia memperoleh kefahaman bahwa kesempurnaan itu adalah kepasrahan ketika kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Pada proses kreatifnya ia merancang secara teknis meski kadang juga berubah malah kadang juga tidak jadi. Ada beberapa karya yang yang membutuhkan instalasi listrik tapi ada juga karya yang tidak. Rocka saat ini mengekslporasi 4 konsep karya yang sedang diekskusi dan akan dipamerkan pada projek ini yang tentu saja masing-masing karya secara konsep berbeda. Konsep karya yang dimatangkan secara visual tentang konstruksi peperangan diri, image kedirian dengan budaya sosialita, tren fashion dan prestige. Secara Visual saya gambarkan dengan figur perempuan sakit yang dibalut perban seperti mumi dan di tubuhnya banyak infuse dengan jarumnya. Infuse ini bermerk Prada, Luis Vuitton, Versace, CK, Benetton, dan lain-lain yang diterjemahkan menjadi karya 3 dimensi dan mengolah sedikit ilusi optik. Konsep mengenai peperangan dan perdamaian. Wacana tentang ‘kebenaran’. Bahwa sesuatu kejadian yang ‘telah terjadi’ berati itu adalah ‘benar’. Sejarah dunia yang telah terjadi berati benar menurut alur alam. Baik atau buruk, benar atau salah menurut kita. Termasuk tentang apa yang terjadi dengan diri kita atau yang berkaitan dengan kita. Peperangan ke diri, peperangan menghadapi residu kehidupan termasuk juga peperangan dengan senjata. Rocka sesungguhnya lebih berminat mengolah paradigma dari temuan–temuannya tentang arti kehidupan sebagai cara merefleksikan pengalaman, renungan dan intelektualitasnya.


E. Yon Indra 1. Ide Kreatif Yon Indra: Inspirasi dan Orientasi Estetika Yon Indra menganggap bahwa inspirasi adalah sesuatu yang menjadi insight atau semacam pencerahan yang dapat dijadikan acuan dalam memulai sesuatu ide yang bias diperoleh dari melalui membaca fenomena lingkungan sekitarnya. Melalui kegiatan rutin seperti menonton pameran, nonton film, membaca majalah, buku-buku yang berhubungan dengan seni atau semacam seri petualangan manusia dengan alam. Dengan begitu sebuah inspirasi akan bermunculan yang memiliki peran sangat penting, karena tanpa inspirasi rasanya sulit mengembangkan ide-ide kreatif dalam berkarya dan tanpa kepekaan yang memadai inspirasi akan sulit muncul dalam proses penciptaan seni terjadi stagnasi yang serius. Betapa pentingnya inspirasi dalam pengembangan proses penciptaan karya seni, sebagai contoh ketika ia mengembangkan pencitraan garis-garis ilusif dengan media akrilik berlapis. Tentu berbagai kendala dihadapi untuk mengembangkan ide-ide kreatif dari bagaimana mencitraakan garis ilutif, bidang ilutif dan permainan keruangan yang memainkan ilusi optic. Kemudian eksplorasi dengan menggabungkan unsur alam dengan bentuk-bentuk abstrak geometris maka memunculkan citra-citra baru dalam karya-karya seri dimensi ruang dalam terawang. Bagi seniman metroseksual yang berdarah Minangkabau ini memosisikan peran inspirasi sebagai aset sangat penting sekali dalam konstruksi estetika kemudian inspirasi dapat dianggap senagai sesuatu yang menyegarkan dan menyempurnakan ide-ide atau konsep yang sedang di kembangkan dalam sebuah karya. Misalnya dalam projek ini ia memacu imajinasinya untuk menangkap berbagbai inspirasi dalam mengangkat subject matter huruf-huruf dalam beberapa tesis karya. Bentuk huruf sesungguhnya dinilai sebagai bentuk yang abstrak dan sudah artistik selanjutnya tinggal disesuaikan dengan konsep yang sedang dikerjakan. Inspirasi yang begitu banyak bermunculan baik sebelum ide muncul hingga ide sedang digarap kemudian memilih inspirasi yang sesuai dengan kebutuhan yang harus dikembangkan dan berbanding lurus dengan kemampuan untuk menuangkan inspirasi itu baik secara visual, skill atau pun dukungan finansial. Yon Indra gemar membaca buku-buku religi, novel, sejarah, majalah seni, malajah mode dan menyedapi film drama, religi, film fiksi dan film action. Ia juga sangat menikmati jenis musik jazz, musik religi, musik pop dan musik klasik sembari membaca buku religi. Baginya mendengarkan musik jazz, mendengarkan musik klasik mampu memberi rangsangan emotif dan melahirkan berbagai inpirasi yang secara tidak langsung mempengaruhi pencitraan karya serba teratur, abstrak, tidak vulgar (implisit) dan tenang. Menonton film fiktif memberikan ruang eksplorasi dan mengolah kedalaman-kedalaman inner feeling. Baginya kebiasaan membaca, menonton film dan menikmati musik tersebut sebagai sumber inspirasi untuk memperkaya ide-ide dalam berkarya selanjutnya. Spirit atau semangat yang ditemukan pada situasi itu seolah menutun untuk membuat bentuk yang mempunyai rasa tenang, suatu bentuk yang mempunyai pola berulang (repetisi). Suatu bentuk yang abstrak atau suatu bentuk yang realis yang biasa dikenali semua orang. Berbagai citra visual kemudian lahir secara eksploratif.


Penggalian konseptual seputar konsep yang berhubungan dengan dimensi ruang, konsep yang berhubungan dengan keseimbangan alam, konsep yang mempertentangkan bentuk abstrak teratur dan terukur dengan sesuatu yang organis di alam sebagai wujud keseimbangan. Secara tekstual diperoleh dengan banyak acuan, acuan yang bersiat ilmiah ataupun fiksi. Hal tersebut untuk memperkaya konseptual penciptaan seni yang digelutinya. Secara kontekstual ia ingin memberikan rasa tenang, ruang harmonis, sesuatu yang seimbang, sesuatu penguatan paradigma yang tidak bertentangan dengan nilai budaya dan agama. Semua seniman memiliki keinginan mencolek langit dan itu salah satu tujuan sebagai wujud pencapaian puncak obsesi kreatifnya. Seorang Yon Indra yang telah menempuh studi seni patung di ISI Yogyakarta bermimpi untuk membuat karya yang cukup besar di ruang terbuka (out door) dengan menggunakan bahan-bahan yang tahan perubahan cuaca. Karya yang bisa dilihat dengan segala arah, dengan teknik cor dan las diatas bidang plat aluminium, stainlessteel dengan olahan garis-garis ilusif. Ia membayangkan karya tersebut terlihat seperti melayang diatas permukaan alam semoga degan konsep levitasi yakni konsep yang berhadapan langsung dengan teori gravitasi. Gagasan ini didukung dengan riset dan eksplorasi yang cukup panjang. Baginya ini sebuah gagasan yang penting dalam proses kesenimanannya.

2. Konsep Perubahan dan Proses Eksperimentsi Yon yang suka terhadap konsep perubahan dan distinctive, sesuatu yang berbeda ‘distinctive’ bagi seniman harus tetap dijadikan pijakan sebagai strategi identitas atau ciri khas yang kuat dari karya seorang seniman. Sejak 2003 ketika ia meuntaskan studi khusus seni patung di ISI Yogyakarta melakukan eksperimen karya seni patung yang radikal dan sangat distinctive serta memiiki pandangan sederhana dengan melakukan proses perubahan terpenting adalah ketika ia keluar dari paradigma seni patung. Dalam seni patung ada ukuran standar dan acuan, karya patung harus dapat dilihat dari segala arah, patung terbentuk dari permainan volume bisa diraba dan hadir dalam ruang nyata. Kemudian ia berusaha keluar dari paradigma seni patung tersebut dengan membuat karya dari olahan-olahan garis-garis geometric diatas bidang transparan terutama kaca dan flexiglass. Ruang kemudian ditransformasi dari pengulangan garis atau gatra dan irama garis. Ruang yang dimaksud adalah ruang ilusi kemudian yang diolah keatas bidangbidang transparan yang disusun dengan jarak tertentu untuk membentuk ruang yang sesungguhnya walaupun karya tersebut bisa dilihat dari depan atau belakang samping kiri atau samping kanan. Eklsplorasi kreatif berikutnya yakni upaya mengembangkan karya patung tersebut kedalam bentuk patung dinding yang diolah dengan berbagai komposisi diatas bidang kanvas dengan ukuran dan ketebalan tertentu demi mewujudkan dimensi ruang yang lebih dalam. Pola inilah yang ia tekuni bertahun-tahun dengan dukungan media dan pengayaan penguasaan teknik yang spesifik. Di sinilah karya spesifik Yon Indra belakangan ini. Pada seri karya-karya tersebut mampu memberi identifikasi proses kreatifnya sehingga memiliki positioning di sederetan perupa yang


berorientasi eksplorasi kreatif sejenis. Perubahan berikutnya adalah dengan menggambar pemandangan alam atau di antara konfigurasi motif geometric, untuk menunjukkan prinsip kesetimpangan (keseimbangan yang dinamis), perubahan ini adalah suatu keputusan logis terkait dengan semacam prinsip kesinambungan. Perubahan dan pergeseran yang ia lakukan secara berbeda dengan proses berkarya Piet Mondrian. Jika Piet Mondrian melakukan tahap abstraksi (analitis) dari suatu yang kasat seperti pemandangan alam bergerak sehingga ia akhirnya menemukan dan mengkonfirmasikan bentuk-bentuk karya abstrak geometric sebagai hasil akhir. Sementara yang dilakukan sebaliknya dengan membuka semacam celah pada konfigurasi motif geometric demi meneropong dan memahami alam. Dalam projek kali ini Yon Indra mengajukan tiga tesis yang berbeda, tiga jenis karya sebagai kelanjutan dan kesinambungan dari karya yang terdahulu: karya pertama masih mengusung konsep yang sama, cuma bedanya ada pada objek yang ditampilkan. Kalau karya sebelumnya motif geometric terbentuk dari permainan garis gatra dan irama garis, sedangkan untuk karya ini ia mengolah permainan bentuk-bentuk huruf yang diulang-ulang membentuk sebuah pola memusat yang tersusun rapat mulai dari huruf ukuran kecil sampai besar dapat memberikan kesan ilusi naik dan turun. Motif geometric berbentuk huruf ini kemudian diolah keatas beberapa bidang akrilik transparan, yang saya susun dengan jarak tertentu untuk mewujudkan dimensi keruangan yang dalam tataran. Eksekusi akhir dari karya ini dengan menghadirkan bentuk komposisi diatas kanvas dengan susunan memusat ketengah secara simetris, dengan ukuran kanvas 200X200X13cm. Semua bidang kanvas dipenuhi dengan huruf-huruf kecil dan besar dengan memakai teknik sablon (screen printing). Perpaduan dua karakter ini akan menghasilkan efek visual yang berbeda dari sebelumnya. Karya kedua, Yon Indra menampilkan bentuk relief dan sablon huruf tersusun dalam format segi empat, yang disusun dalam bentuk vertikal dan horizontal dengan titik tengah sebagai pusaran, pola huruf tersusun rapat dari ukuran yang paling besar sampai kecil membentuk ilusi garis naik turun. Semua pola terbentuk dalam format relief dengan ketinggian yang berbedabeda huruf paling besar mempunyai ketinggian yang lebih tinggi dibanding huruf yang lebih kecil. Relief di bentuk dan disususn dalam bidang kanvas 200X200X6cm semua bidang kanvas yang kosong dipenuhi dengan berbagai tataran huruf kecil-kecil dengan teknik silkscreen. Dan, karya ketiga formasi dua lukisan landscape sebagai kelanjutan dari karya seri dimensi ruang dalam terawang. Dengan mencermati perancangan-perancangan karya di atas maka posisi brainstorming sangat penting sekali bagi proses kreatif karena tanpa rangsangan ide-ide kreatif rasanya sangat sulit sekali melahirkan karya-karya yang kreatif dan inovatif. Proses rangsangan yang ditransformasikan melalui proses eksperimentasi dan kontemplasi ataupun mengotak-atik ide dari sebuah program komputer. Proses brainstorming berbagai hal dapat ditempuh setiap individu dalam penggalian gagasan kreatif sesuai pendekatan dan kenyamanan untuk mencurahkan segenap pikiran-pikiran


kreatifnya. Curah pikiran dengan pengelolaan potensi kreatif otak kanan, jika otak kanan dikelola dengan maksimal tentulah akan melahirkan pemikiran-pemikiran baru, betapa banyak orang jenius dalam berbagai ilmu selalu aktif menggunakan otak kanan misalnya dalam bidang sains adalah Albert Einstein, dibidang seni Leonardo Da Vinci, Salvador Dali dan sebagainya. Dan, satu tokoh inspirator Viktor Vasarelly yang mengusung konsep abstrak geometric analitik. Sebuah proses kreatif sesungguhnya membutuhkan peran kinerja otak kanan dalam imajinasi, tapi otak kiripun berperan dalam proses berkarya untuk proses analitik dan evaluatif. Karena untuk menelaah secara visual dan menilai karya itu, terhadap perkembangan yang lebih dinamis tentu peran otak kiri lebih dibutuhkan. Bagi seniman itu harus bisa menyeimbangkan peran dari kedua belahan otak kita, baik kiri maupun kanan. Bagi kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari otak kirilah yang sangat dominan perannya, sehingga menekan tindakan eksperimentatif. Bagi seorang seniman yang selalu gelisah untuk perubahan maka otak kanan akan selalu berperan seimbang dengan otak kiri bahkan mungkin otak kanannya yang lebih dominan untuk melakukan olahan-olahan kreatif, imajinatif, pola kerja spesifik yang mampu melahirkan karya yang bisa mengguncang persepsi.

3. Eksplorasi Estetik pada Sublimasi Konseptual Yon Indra meyakini bahwa setiap orang pastilah mempunyai kemampuan artistik sebagai karunia yang diturunkan Tuhan. Barangkali kadar atau potensi bakat dari setiap individulah yang berbeda namun sesungguhnya kemampuan artistik bisa diasah melalui latihan dan eksplorasi dengan membuka diri terhadap sesuatu yang berbeda. Prioritasnya adalah mengembagkan konsep karya sebelumnya dengan pengembangan ide yang berbeda, mengelola subject matter huruf dan pengembangan tiga konsep tesis yang dikemukakannyaa di atas. Tesis pertama adalah dimensi ruang dalam tataran huruf-huruf, tesis kedua berupa relief dalam perspektif huruf dan tesis ketiga berupa lukisan objek pemandangan dipadukan dengan berbagai dimensi ukuran objek-objek huruf melalui teknik sablon (screen printing). Ide karya pertama masih pengembangan dari karya sebelumnya yang berhubungan erat dengan percampuran bahan flexiglass, kanvas, cat mobil (duco) dan cat kayu. Konsep penciptaan seni pada karya pertama masih berhubungan dengan ruang, ruang disini dapat dibentuk melalui pengulangan garis, gatra dan irama garis, ruang ilusi yang diolah diatas bidang-bidang transparan berlapis untuk mewujudkan ruang nyata atau ruang yang sesungguhnya. Pada karya ini ia tidak lagi membentuk ruang melalui pengolahan garis, gatra dan irama garis, dalam membentuk motif-motif abstrak geometric namun inspirasi diperoleh dari susunan dan pengulangan huruf-huruf membentuk pola bujur sangkar yang tersusun dari bagian luar menuju bagian dalam. Huruf-huruf dibuat dengan ukuran berirama dari ukuran kecil menuju ukuran besar yang saling berhimpitan dari baris satu sampai barisan huruf paling akhir. Permainan ukuran huruf ini akan membentuk ruang ilusi. Motif berupa huruf ini diolah kedalam beberapa bidang flexiglass dengan bahan cat mobil dan teknik mal. Proses akhir dari karya ini adalah menggabungkannya dari kanvas ukuran 200X200X13cm dalam komposisi


memusat dan simetris. Semua bagian kanvas yang kosong akan diisi dengan balutan perspektif huruf-huruf dengan menggunakan teknik screen printing. Dimensi huruf dalam ruang transparan yang dipadukan dengan lukisan huruf dengan teknik sablon diatas kanvas akan menghadirkan sensasi huruf yang memikat mata (eksotika visual). Kemudian ide karya kedua, ia memproyeksikan dengan membuat karya relief dalam balutan motif-motif huruf yang tersusun membentuk suatu motif bujur sangkar yang saling bertabrakan dalam suatu titik sentral. Motif yang dikonstruksi berupa susunan huruf-huruf mulai dari ukuran besar sampai kecil, yang saling berhimpitan akan memberikan kesan ilusi ruang. Kemudian motif berupa huruf diolah ke dalam bentuk relief diatas kanvas dengan memakai media kertas karton, lem fox serta pelamir kanvas sebagai perekatnya. Setiap ukuran huruf akan diberikan ketinggian yang berbeda-beda demi mencapai harmonisasi dan kesan ruang. Eksekusi akhir karya ini dengan mewarnai huruf yang ada pada relief dengan warna yang lembut untuk membedakannya dari latar belakang, kemudian diberikan sedikit aksentuasi pada permukaan huruf tersebut dengan barisan warna titik-titik dengan teknik pointilis. Bagian luar dari relief diisi dengan lautan huruf-huruf dengan teknik screen printing. Konsepsi ini yakni bagaimana membuat kesan ruang ilusi dalam permainan dimensi huruf dalam yang terpateri dalam bentuk relief diatas bidang kanvas. Ruang dapat diciptakan dari permainan irama huruf dan tinggi rendahnya huruf dalam sebuah relief. Ia sedang membayangkan melalaui konsep karya ini untuk membenturkan ruang nyata dan ilusi, juga ingin membenturkan paradigm relief dalam konteks seni patung kedalam konteks seni lukis. Ide karya ketiga dengan membuat dua buah lukisan diatas kanvas dengan objek pemandangan (landscape) yang dibingkai dengan balutan huruf-huruf mengelilingi objek alam dengan teknik screen printing. Ada juga bagian huruf yang di screen diatas pemandangan untuk memberikan kesan unity dan harmonisasi. Pendekatan metodologi ia lakukan yaitu semua aspek yang berhubungan dengan desain elementer, perspektif ruang yang mampu memproyeksikan objek akan terlihat besar atau kecil tergantung dari jaraknya. Kemudian desain trimatra yang lebih dominan mengolah bentuk, garis dan bidang dalam konfigurasi warna hitam putih. Dari metode inilah ide-ide untuk membuat motif geometric ilusif dengan memberdayakan konsep ilmu desain elementer ruang ilusi melalui pengulangan garis, pengulangan gatra dan irama garis. Selanjutnya mengeksplorasi teknik seni grafis untuk mereproduksi karya melalui metode cetak dengan memanfaatkan teknik screen printing dan teknik mal kertas atau teknik stencil. Tanda visual yang bisa dijadikan pintu masuk adalah motif-motif geometric berupa garis atau huruf yang membentuk ruang ilusi dan bentuk visual berupa permainan garis atau huruf diatas bidang transparan dalam membentuk ruang nyata. Bentuk ruang perspektif atmosferik yang tergores lewat visual lukisan pemandangan (landscape) diatas kanvas adalah berupa tanda yang bisa dijadikan pintu masuk kedalam gagasan karya-karya Yon Indra. Metafora yang sering digunakan adalah bentuk abstrak geometric, bentuk huruf dengan pola tertentu, pengulangan-pengulangan bentuk huruf dan garis, dengan menghadirkan lukisan pemandangan diatas bidang kanvas melalui teknik dan perspektif yang menyerupai alam. Metafor yang dimunculkannya merupakan representasi filosofis bahwa dalam hidup kita harus menjalani sistem yang hidup,


tumbuh dan berkembang dengan teratur dan terencana. Di samping itu juga hidup harus punya nilai ketenangan, harmonis dan penuh keseimbangan dengan alam. Pada karya Yon Indra, yang pertama bahwa tahapan proses kreatif dan pencapaian teknis yang Yon Indra melakukan tahapan-tahapan proses kreatif sebagai berikut: Tahap pertama, menyiapkan semua bahan yang diperlukan mulai dari flexiglass yang dipotong dengan ukuran yang dikehendaki, persiapan spanram khusus dengan ketebalan tertentu dengan lapisan tripleks, span tersebut dipasangkankain kanvas mentah yang bisa diatur menurut bentuk span yang dikehendaki, selanjutnya kain kanvas dipelamir. Tahap kedua, menyiapkan desain hitam putih dengan objek huruf yang tersusun teratur membentuk pola bujursangkar memusat, desain dibuat dengan bantuan komputer melalui aplikasi CorelDRAW dengan skala yang dikehendaki. Desain tersebut lalu diprint ke atas kertas A4 untuk selanjutnya dipindahkan keatas bidang fleksiglass dengan menggunakan kertas karbon. Tahap ketiga, mulai proses memindahkan gambar desain keatas beberapa bidang fleksiglass kemudian semua desain dilubangi memakaia pisau cutter untuk selanjutnya dilakukan pengecatan dengan menggunakan kompresor dan cat duco yang biasa diaplikasi pada pengecatan mobil. Tahap keempat membuka stiker dan membersihkan flexiglass selanjutnya disusun dengan jarak tertentu dengan wadah khusus yang terbuat dari kayu. Tahap kelima dipasangkan kedalam span khusus yang bisa memuat wadah tersebut dalam sebuah komposisi yang memusat ditengah. Tahap keenam proses pengisian semua bidangbidang kanvas dengan lautan huruf dengan teknik sablon dengan warna yang tidak mencolok mata. Pada karya kedua, Yon Indra melakukan tahapan-tahapan proses kreatif sebagai berikut: Tahap pertama, persiapan kanvas ukuran 200X200cm, persiapan kertas karton dari berbagai ukuran lem fox dan cat plamir. Tahap kedua, merancang desain dengan bantuan komputer dengan aplikasi corelDraw kemudian desain di print diatas kertas A4 lalu dipindahkan dengan menggunakan kertas karbon. Tahap ketiga, tahap pemotongan desain yang telah dipindahkan tersebut dengan menggunakan pisau cutter. Tahap keempat, proses perekatan objek atau pemasangan huruf keatas bidang kanvas dengan menggunakan lem. Tahap kelima, semua potongan huruf yang telah dipasang dan diplamir dengan menggunakan cat genteng campur cat tembok agar memiliki daya rekat tinggi dan kuat pada bidang kanvas. Tahap keenam, proses pewarnaan semua permukaana relief akan diwarnai dengan warna yang berbeda dari warna latar belakang relief. Tahap ketujuh, semua bidang kanvas yang kosong dilukis dengan beragam ukuran huruf besar dan kecil lewat teknik sablon (silkscreen). Pada proses kerja Yon Indra akhir-akhir ini ada satu gagasan menarik yang bisa dikerjakan dalam projek brainshocking yakni ketika ia mengeksekusi ide seni lukis dengan media flexiglass yang memadukan teknik stencil, teknik lukis realis, brushstroke ekspresif dengan media cat akrilik. Pada karya ini ia tetap mempertahankan karakteristik flexiglass menjadi bagian-bagian transparan dipadu dengan teks-teks melingkar dan landscape realis. Proses eksplorasi ini dilakukan ketika ia sering mengerjakan karya patung dinding seri ‘Dimensi ruang’ dan seri ‘Dimensi Ruang Dalam Terawang’ yang memadukan media flexiglass diatas lukisan kanvas. Dari proses inilah tampaknya Yon Indra berfikir untuk


membuat karya yang berkarakter kuat, simple, dan memberikan kejutan-kejutan teknis visual. Dalam karya ini ia mempresentasikan rekonfigurasi teks berupa huruf-huruf yang mengartikulasikan berbagai teks wcana brainshocking yang disusun melingkar dengan komposisi huruf-huruf dari ukuran besar, sedang, kecil, dan yang kecil sekali saling berhimpitan mengelilingi garis maya mengikuti objek utamanya. Presentasi lainnya berupa angka-angka dan huruf-huruf yang menyatu dalam ilusi optis seolah membalut balutan figur manusia sebagai simbolisasi kehidupan yang tak bisa lepas dari persoalan teks dalam berbagai perspektif dan konteksnya. Sebuah rekonfigurasi hurufhuruf diatas bidang transparan dengan teknik stencil dan menggunakan cat duco yang biasa dipergunakan pada aplikasi cat pada kendaraan bermotor dengan teknik spray kompresor. Beberapa huruf dan angka turut hadir di atas permukaan lukisan dengan menggunakan teknik silk screen. Karya ini adalah berupa lukisan yang terdiri dari dua bentuk lingkaran yang dipotong rapi dari bahan flexiglass dengan ukuran diameter 120cm. Sebagai langkah awal yang ia dilakukan adalah membuat desain berupa huruf yang terangakai dari kata-kata yang memiliki kesempurnaan bunyi dan makna. Bentuk desainnya adalah huruf berupa kata yang terpola dalam bentuk lingkaran, huruf tersebut tersusun dari bagian luar menuju ke pusat lingkaran, dari ukuran kecil sampai ukuran paling besar yang selintas akan memberikan ruang ilusi yang menuju kearah dalam yang memberikan kesan jauh dan dekat. Pada bagian tengah dari lingkaran berdiameter 90cm akan dilukis figur manusia dengan balutan optis huruf-huruf dan angka dengan teknik silkscreen, teknik handcoloring, teknik block dan brushstroke ekspresif dalam mewujudkan harmonisasi visual secara keseluruhan yang memiliki citra dinamis. Kendala teknis pada karya tersebut menurut penuturan Yon Indra adalah proses pemindahan desain dan teknis pemotongan huruf-huruf yang berukuran kecil yang ia atasi dengan memindahkan desain yang sudah fix dengan mengunakan kertas karbon secara hati-hati untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam proses pemotongan huruf-huruf baik ukuran besar dan kecil saya menggunakan pisau cuttter yang tajam dengan ujung yang lebih kecil agar bisa bergerak leluasa dalam proses pemotongan sehingga dapat hasil potongan yang tepat, rapih, dan bersih. Dalam proses penciptaan seninya Yon Indra ingin bertutur tentang problem ruang, huruf, kata-kata, angka-angka dalam diksi rupa. Bertutur tentang ruang nyata dan ruang ilusi yang terbentuk dari permainan, irama, dan pengulangan huruf-huruf yang tersusun di atas flexiglass berlapis. Bertutur tentang huruf dan pemilihan kata-kata yang berhubungan dengan tema pameran ini, misalnya istilah brainshocking, brainstorming, distinctive, mengguncang persepsi dan sebagainya yang bisa dibaca dan dimaknai oleh penikmat seni dalam pameran ini. F. Theresia Agustine Sitompul 1. Eksplorasi Gagasan Untuk pertemuan awal dengan Theresia Agustine Sitompul, saya menyampaikan ilustrasi sederhana yang berujung dengan sebuah pertanyaan bahwa ketika anda berada


di atas kolam renang, kolam ikan, sungai atau hamparan air di persawahan dan menatap bayangan diri sendiri. Apakah anda benar-benar mengenali siapa pribadi anda sesungguhnya? Ia dengan lugas menyatakan, jika itu hanya bayangan saya hanya bisa memahami bahwa itu bayangan saya. Mengenali pribadi saya sendiri mungkin tidak cukup dengan bayangan yang ada pada hamparan air saja. Dan kemungkinan saya sendiri sampai saat ini juga belum bisa memahami pribadi saya sendiri seperti apa. Ini semacam gambaran sederhana mengenai Tere yang lugas dan tak mau ambil peduli eksistensinya dihadapan publik luas dengan beranggapan bahwa dirinya saja tak mampu mengenalinya dengan baik. Tere bagi saya seorang seniman muda yang memiliki mimpi besar yang memiliki kecenderungan pragmatis meskipun ia seorang pribadi eksploratif yang tangguh. Berbagai sumber inspirasi bisa menjadi bahan baku proses kreatifnya. Inspirasi menurut baginya adalah sesuatu yang memicu aspirasi kreatif dan menggerakkan ruang bawah sadar untuk melakukan tindakan kreatif. Inspirasi memiliki posisi penting, maka ketika dorongan kuat untuk berkarya tentu begitu melimpah inspirasi bermunculan maka sebijak mungkin kita memilah-milah yang sesuai dengan konteks dan konten yg akan dibuat. Tere mengedepankan prioritas kreatifnya untuk membuat karya yang terbaik sesuai dengan konstruksi konsep. Untuk memicu kemunculan inspirasi selanjutnya ia mengembara dengan membaca buku-buku apa saja. Untuk sekedar refresh maupun kesadaran mendalami berbagai pengetahuan ilmiah yang bisa mendasari konsep-konsep penciptaan seninya. Buku-buku fiksi maupun ilmiah menjadi bagian yang melekat dengan aktivitas keseharian hingga ia tuntaskan program magister seni di ISI Yogyakarta. Hobby menikmati tontonan film yang berbau based on true story (lebih suka), tapi film apa saja kecuali yang berbau futuristic. Jenis musik yang ia gemari antara lain: jazz, blues, rock lawasan, instrumental dan New Age. Namun demikian menurutnya bahwa pengembaraan imajinasi tidak melulu diperoleh hanya dari buku-buku, film atau musik. Inspirasi dapat pula dijumput dari aktivitas kehidupan sosial, jejaring sosial pada internet, makanan apa yang kita makan dan banyak lagi inspirasi yang dapat memacu imajnasi. Semua yang bergerak dan hidup di sekitar kita memberi pengaruh signifikan terhadap kerja kreatif dan mempengaruhi peran emosi individual anda terhadap bacaan, tontonan, dan atmosfer bunyi-bunyian yang anda sukai itu mempengaruhi emosi maupun kerja otak. Baginya kekuatan imajinasi bisa jadi melebihi kekuatan alam dan peran imajinasi secara umum lebih mengedepan melampaui ilmu pengetahuan. Sebuah lompatan-lompatan baru secara konseptual memerlukan ‘amunisi baru’ berupa lentingan-lentingan yang mencolok dari sebuah presentasi visual, Tere lebih sepakat bahwa shock momentum jauh lebih distinctive ketimbang sebuah shock kebaruan-kebaruan. Tere menganggap proses brainstorming sangat penting dan melekat pada kerja kreatif untuk menemukan gagasan-gagasan baru dan segar untuk menerjemahkan impian dan kekuatan imajinasi dalam proses penciptaan seni. 2. Visi Kreatif dan Eksekusi Gagasan Untuk selanjutnya saya merangsangnya dengan memprovokasi, jika menurutnya brainstorming memiliki posisi penting dalam proses kreatif. Seberapa berani apa ia


mengambil keputusan ‘gila’ dari kerja kreatifnya. Ia menyambut degan antusias bahwa dalam proses kreatif seorang seniman selalu saja mengambil keputusan yang ‘gila’ dan itu suatu hal yang biasa. Seseorang mengambil keputusan kesenian menjadi pilihan hidup saja merupakan sikap dan keputusan yang ‘gila’ karena sangat berbeda dari pertimbangan kebanyakan orang yang selalu ingin mengambil keputusan pentingnya sebagai dokter maupun arsitek. Dalam neurologi, sangat banyak ilmuwan yang meneliti kerja otak manusia. Peran dan kinerja otak belahan kiri manusia secara umum dieksplorasi fungsinya berkaitan dengan kemampuan komunikasi verbal, berpikir logis, analitis dan senderung dinamis. Sedang otak belahan kanan nyaris tidak tereksplorasi secara maksimal, otak kanan cenderung diam statis, tidak liner, imajinatif, intuitif dan naluriah. Dan, Tere seringkali melakukan pekerjaan dengan menggunakan tangan kiri. Dengan begitu diharapkan dapat memberdayakan kedua belah otak secara seimbang. Menyeimbangkan berbagai orientasi kinerja otak dan menajamkan orientasi kreatifnya. Orientasinya adalah bangaimana membuat karya terbaik yang memiliki daya ganggu tinggi dan dapat memproduksi berbagai persepsi. Pada situasi itu baik secara visual, konseptual, tekstual maupun kontekstual merupakan bentuk kesadaran dalam proses kreatif. Tere secara terbuka mengakui bahwa ia sesungguhnya mengadaptasi spirit seorang pekerja. Terkadang ia terlibat bekerja dalam atmosfer bunyi-bunyian atau bekerja mengeksplorasi bunyi-bunyian juga mengolah animasi dalam beberapa karya video artnya. Dalam proses kerja ia juga melibatkan bunyi-buyian instrumentalia dengan volume sangat rendah tergantung pada saat itu sedang konsentrasi mengerjakan pekerjaan tertentu. Bagi Tere sebuah kekuatan imajinasi melebihi kekuatan alam. Karena dengan kekuatan imajinasilah alam dapat ditaklukan manusia secara ilmu pengetahuan dan menjadi medan eksploitasi. Meski alam merupakan maha daya secara kosmologi namun manusia dengan kekuatan imajinasinya mengeksplorasi hampir seluruh potensinya untuk berbagai kepentingan hidup manusia, semua mahluk hidup dan kelestarian alam itu sendiri. Kemudian sebuah proses kreatif Tere melakukan eksplorasi neurologis dengan mengeksplorasi imajinasi dan optimalisasi gagasan kreatifnya. Sebuah langkah eksplorasi neurologis sudah dilakukan saat kita hendak melakukan proses kratif maupun saat melakukan proses kratif baik dalam hal berpikir gagasan maupun eksplorasi neurologis itu terus berjalan. Bahkan saat kita melihat sesuatu atau mendengar serta merasakan apa yang sedang ‘menghantui’ kita.

Kepustakaan Budiman, M. Arief (2008), Jualan Ide Segar, Yogyakarta: Galang Press Beckwith, Harry (2007), The Invisible Touch, Yogyakarta: Think Calne, Donald B. (2004), Batas Nalar, Rasionalitas dan Perilaku Manusia, terj: Parakitri T.


Simbolon, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Capra, Fritjof (2000), The Tao of Physics: menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur, terj: Aufiya Ilhamal Hafizh, Yogyakarta: Jalasutra __________ (2007), The Turning Point: Science, Society and TheRising Culture, terj: M. Thoyibi, Yogyakarta: Jejak Chittick, William C. (2001), Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Diversitas agama, Surabaya: Risalah Gusti Djatiprambudi, Djuli (2009), Musnahnya Otonomi Seni, Malang: Banyumedia Publishing Eaton, Marcia Muelder (2010), Persoalan-Persoalan Estetika, Jakarta: Salemba Humanika dan Waveland Press, Inc. Eco, Umberto (1987), Tamasya Dalam Hiperealitas, terj: Iskandar Zulkarnaen, Yogyakarta: Jalasutra Edwards, Betty (1999), The New Drawing on the Right Side of thr Brain, Tarcher/Putnam. Gadamer, Hans-Georg (2004), Truth and Method, terj: Ahmad Sahiha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Jencks, Charles (1977), The Language of Postmodern Architecture Joesoef, Daoed (2002) ‘Mencari Pemahaman mlalui Pengetahuan’ dalam Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra Dalam Evolusi Pengetahuan dan Implikasinya Pada Kepemimpinan, Eko Wijayanto, Yusuf Sutanto, Ramelan dkk (Ed). Jakarta: PPM Kelley, Tom (2001), The Art of Inovation, terj: Paulus Herlambang, jakarta: Gramedia Kushartanti, Wara, Peran Seni dalam Kecerdasan, ARTISTA Majalah Informasi Seni dan Pendidikan Seni, Nomor 1, Volume 7 (Januari-Juni 2005), PPPG Kesenian Yogyakarta. Laksono, PM. (2009), Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan, Alih Ubah Model Berpikir Jawa, Yogyakarta: Kepel Press Levi-Strauss, C. (1963), Structural Anthropology, New York: Basic Books Marianto, M. Dwi., (2004), Teori Quantum Untuk Mengkaji Fenomena Seni, Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta. Murphy, Richard. (1988), Theorizing the Avant-Garde, United Kingdom: Cambridge University Press. O’Hara, Kieron. (2002) , Plato dan Internet, Jendela, Yogyakarta.


Ornstein, Robert (1997), The Right Mind: Making Sense of the Hemispheres, Harcourt Brace & Company. Panofsky, Erwin (1962), Studies in Iconology; Humanities Theme in the Art of the Rennaisance, New York: Oxford University Press Piliang, Yasraf Amir (2006), Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melalui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta. __________________ (2008), Multiplisitas dan Diferensi: Redefinisi Desain, Teknologi dan Humanitas, Jalasutra, Yogyakarta. Pink, Daniel H (2006), Misteri Otak Kanan Manusia, terjemahan dari judul asli: A Whole New Mind, New York, Riverhead Books, 2006 dialihbahasakan oleh: Rusli, Yogyakarta: Think Sentanu, Erbe (2007), Quantum Ikhlas, Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta: PT Elex media Komputindo Steven Best and Douglas Kellner. (1997), The Postmodern Turn, The Guilford Press, New York-London Strinati, Dominic. (2007), Popular Culture, Jejak, Yogyakarta. Suprapto, Yos (2009), Teknologi Tepat Guna Dalam Konteks Estetika, Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

Yogyakarta:

Susanto, Rusnoto (2011), The Disposition and Reposition of The Javanese Cultural Existence in Cybercultures, dalam proccedings makalah seminar internasional ‘Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen The Nation Identity’, Surakarta: Sebelas Maret University Press ______________ (2011), ‘Cyber-Architecture Paradigm and The Contruction of Cyberculture Lifestyle in Contemporary Society’ dalam procceding makalah seminar nasional ‘Life Style and Architecture’, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta Taylor, Jim dan Wacker, Watts (2002), The Visionary’s Handbook, Jakarta: BIP Kelompok Gramedia Tjokronegoro, Arjatmo (2002), ‘Prinsip dan Fenomena Biologis dalam Kehidupan’ dalam Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra Dalam Evolusi Pengetahuan dan Implikasinya Pada Kepemimpinan, Eko Wijayanto, Yusuf Sutanto, Ramelan dkk (Ed). Jakarta: PPM Venturi, Robert (1966), Complexity and Contradiction in Architecture Wijayanto, Eko (2002), Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra Dalam Evolusi Pengetahuan dan Implikasinya Pada Kepemimpinan, Eko Wijayanto, Yusuf


Sutanto, Ramelan dkk (Ed). Jakarta: PPM Weitz, Morris (1956), The Role of Theory in Aesthetics, Journal of Aesthetics and Art Criticism 15.

Sumber Bacaan Lainnya http://umum.kompasiana.com/2010/04/08/manfaatkan-kekuatan-pikiran/ The Power of Enterpreneurial Intelligence [Aribowo Prijosaksono Sri Bawono] http://www.livescience.com/10236-zap-smart-mild-brain-shock-stimulates-mathskills.html http://topnews.us/content/228553-electric-shock-brain-become-math-genius http://www.forumsains.com/fisika/quantum-gravity/ http://en.wikipedia.org/wiki/Schrodingers_cat http://www.yohanessurya.com/download/penulis/Teknologi_07.pdf http://forum.kompas.com/sains/28067-kekuatan-pikiran-realitas-anda.html http://www.pustakasekolah.com/pengertian-gelombang-elektromagnetik.html http://blog.unsri.ac..id/download3/33480.pdf[Ditalia]


Rusnoto Susanto, was born in Tegal, Indonesia on September 30th, 1972. 2012 Doctoral Candidate at Indonesian of Arts Institute, ISI Yogyakarta (Studied Doctoral since 2010) 2007 Studied Fine Art of Post Graduate Program at Indonesian of Arts Institute Yogyakarta, 2009 (Cumlaude) 1992 Studied Visual Art Education in from FBS State University of Jakarta(UNJ), graduate in 1997 Employer

: Visual Artist, Independent Curator and Lecture Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Address

: Jl. Suryodiningratan MJ II/712 Yogyakarta Indonesia 55141

Mobile

: 081586185965

Email

: m_rusnoto@yahoo.com

Blog

: http: //netoksawijirusnoto.blogspot.com

SEMINARY 2012 Panelist ‘REVOLUSI BUDAYA VISUAL DAN SHOCK CULTURE’ at FKIP UST Yogyakarta 2011 Panelist ‘REKONSTRUKSI NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME: Eksistensi dan Revitalisasi Citra Pendidik Seni Budaya’ Seminar Bahasa dan Seni dalam Merangkul Kebudayaan Nasional, at FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta 2010 Panelist INTERNATIONAL SEMINARY ‘Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen the Nation Identity’ at The Institute Javanology Sebelas Maret University, Surakarta 2010

Panelist Indonesia Art Award for Teacher 2010, ‘KONSTRUKSI MULTIKULTURALISME: Eksistensi dan Revitalisasi Citra Pendidik Seni Budaya’ at PPPPTK art gallery Yogyakarta

2010

Panelist of National Seminary ‘Mempertimbangkan Kembali Multikulturalisme dalam Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan’ at UNY, Yogyakarta

2010 Panelist ‘Perspektif Multikultural dan Pemberdayaan Muatan Lokal dalam Pendidikan Seni Budaya’at Museum Pendidikan UNY, Yogyakarta

PUBLISHING 2011 Procceding ‘Life Style & Architectur’ with fullpaper: CYBER-ARCHITECTURE PARADIGM AND THE CONSTRUCTION OF CYBERCULTURE LIFESTYLE IN CONTEMPORARY SOCIETY at National Seminary, Atmajaya University, Yogyakarta. 2011

Procceding ‘Exploring Noble Values of Local Wisdom and Prime Javanese Culture to Strengthen the Nation Identity’ at The Institute Javanology Sebelas Maret University, Surakarta.

2010 SOULSCAPE: The Treasure of Spiritual Art, (AA. Nurjaman, Anton Larenz, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Sulebar M Soekarman), Yogyakarta: Yayasan Seni Visual


Indonesia: Jakarta 2010 Virtual Displacement di SURYA SENI Jurnal Penciptaan dan Pengkajian Seni, PPs ISI Yogyakarta, Vol.6 No.1 February 2010 2009 Mempertimbangkan Kembali Paradigma Multikultural Dalam Pendidikan Seni Rupa & Kriya, (Penulis: Dr. M Dwi Marianto, Kasiyan, MHum, Dr. Djuli Djatiprambudi, Hajar Pamadhi, M Rusnoto Susanto, dkk), Penerbit FBS UNY: Yogyakarta 2008 SENI ABSTRAK INDONESIA: Renungan, Perjalanan dan Manifestasi Spiritual, (Penulis: AA. Nurjaman, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Sulebar M Soekarman), Yayasan Seni Visual Indonesia: Jakarta.



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.