TRANSFORMASI #50

Page 1


tajuk

Pemerataan Guru Lahirkan Inferioritas Penulis: HARRIS MALIKUS

Disadari atau tidak, pemerataan tenaga pendidik masih menjadi masalah dalam dunia pendidikan Indonesia. Usaha pemerintah atau pihak swasta yang coba untuk menyelesaikannya seakan menghadirkan masalah baru. Ya, seperti yang dilakukan oleh pemerintah (Dikti) dengan Sarjana Mendidik di titik Terbelakang Terluar dan Terpencil (SM3T) dan Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) milik Anies Baswedan. Sebenarnya, meski samasama memiliki tujuan dalam pemerataan pendidik di daerah. Namun antara SM3T dan GIM tetap memiliki perbedaan yang kongkret. Karena pemerintah lebih mengarah pada lembaga pendidikan tinggi keguruan dan kependidikan yang diutamakan dikirim ke daerah terbelakang, terluar, dan terpencil. Sedangkan GIM coba membuka ruang sebesar-besarnya kepada semua sarjana dari pelbagai disiplin ilmu untuk dikirim ke dae-

rah untuk mengajar. Sayangnya, kedua pihak justru tidak begitu mempertimbangkan budaya peserta didik yang berada di daerah. Imbasnya, tenaga pendidik akan merasa inferior terhadap siswa yang berada di daerah. Karena mereka terbiasa dengan kultur mengajar di kota besar. Se hingga esensi dari pendidikan yang seharusnya bisa menciptakan kepercayaan diri terhadap siswa menjadi sebaliknya. Hal tersebut bisa saja terjadi dengan lahirnya sikap jumawa yang dibawa oleh tenaga pendidik dalam ruang kelas. Tenaga pendidikan yang terbiasa dengan fasilitas lengkap di kota, menganggap dirinya lebih hebat dari masyarakat yang ada di desa (terpencil). Bahasa menjadi permasalahan lainnya bagi para sarjana yang berasal dari kota. Terkadang sebagian masyarakat di pedesaan tidak dapat berbahasa Indonesia, melainkan bahasa daerah

mereka. Sudah barang tentu adaptasi bahasa menjadi kendala tersendiri. Praktis, proses pendidikan akan berjalan satu arah tanpa membangun penalaran secara konstruktif terhadap peserta didik. Artinya, gagasan pemerataan pendidikan yang seharusnya ‘membangun pendidikan’ hanya sebatas ‘pembangunan lembaga pendidikan’ di daerah. Bukankah hakikat pendidikan untuk memperjelas kondisi masyarakat yang tengah dialaminya? Karena jika tidak, gagasan pemerataan pendidik yang bertujuan untuk memajukan pendidikan nasional justru akan berbalik arah dengan hadirnya ‘orang asing’ yang berstatus sarjana. Terbukti, dari beberapa sarjana yang mengikuti SM3T atau GIM malah merasa kebingungan ketika dirinya tiba di daerah terbelakang, terpencil, dan terluar. Karena merasa kikuk

melihat proses belajar mengajar yang jauh berbeda dengan situasi di kota besar. Salah satunya, kurangnya fasilitas mengajar di lembaga pendidikan. Belum ada evaluasi menjadi salah satu catatan tambahan terkait program pemerataan pendidikan di daerah 3T. Mulai ketepatan pelaksanaan dengan tujuan awal maupun dari persoalan teknis pelaksanaan. Mengingat program pemerataan tenaga pendidik sudah dilakukan bukan hanya dalam lima tahun belakangan melainkan dari ketika desentralisasi pendidikan dicanangkan. Program Pendidikan Guru di 3T pernah mulai dijalankan pemerintah sejak awal tahun 2000. Program tersebut secara teknis berlangsung dengan skema pemberian beasiswa kepada guru di daerah 3T untuk bersekolah dan belajar di universitas-universitas kependidikan di kota besar. Alhasil kebanyakan guru yang sudah diberi

beasiswa untuk pergi ke kota besar enggan kembali pulang ke daerah dan akhirnya mengajar di kota. Hal ini menegaskan bahwa program tersebut pun belum mencapai target dan informasi mengenai pembenahannya masih ditunggu. Baik pihak swasta dan pemerintahan idealnya bekerja sama mengentaskan pelbagai persoalan tentang pendidikan. Bukan berjalan sendiri-sendiri. Mengingat permasalahan soal pendidikan adalah permasalahan nasib masa depan seluruh bangsa, bukan sebagian populasinya saja. Pun demikian sudah selayaknya pendidikan dikembalikan pada unsur utamanya kebutuhan peserta didik untuk mengembangkan lingkungannya. Bukan sebaliknya.

wacana

RUU PT: LIBERALISASI PENDIDIKAN

2

form ns n (Tra rayo yaC Usiln

Bicara soal pendidikan memang tidak ada habisnya. Mulai dari fenomena kebijakan yang nyeleneh, hingga harapan untuk menciptakan pendidikan murah dan berkualitas. Apalagi pendidikan merupakan salah satu sarat untuk melakukan politisasi anggaran. Seperti yang dilakukan pemerintah dan DPR yang tengah sibuk menggodok sebuah Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) sejak April 2012. Hakikatnya, RUU-PT merupakan rentetan dari segala bentuk komersialisasi pendidikan yang telah terjadi di Indonesia. Mulai munculnya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang akhirnya berhasil digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Desember 2009. Sehingga melahirkan beberapa banyak kebijakan lainnya seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 66, hingga Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) yang bertujuan untuk melakukan otonomi anggaran dalam PT. Dengan dalih efisiensi

asi)

Penulis: HARRIS MALIKUS

kurangnya APBN untuk perguruan tinggi. Maka pemerintah coba untuk memberikan

kesempatan bagi pihak kampus untuk menjual apa yang dimilikinya. Hal ini wajib dilaku-

kan agar sumber dana yang didapat secara mandiri bisa terus mendukung proses pembangunan di perguruan tinggi. Sehingga tanggung jawab negara dalam pendanaan PTN dapat dihapus. Parahnya lagi, liberalisasi yang diakibatkan dari RUU-

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

PT juga akan berhasil melupakan pengembangan kualitas keilmuan yang berada dalam kampus. Jika demikian adanya, maka liberalisasi dalam dunia pendidikan tak dapat lagi dicegah. Sebenarnya, liberalisasi pendidikan di atas tidak terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh pihak Bank Dunia. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Christopher B. Jork, seorang peneliti asal Australia dalam penelitiannya, bahwa agenda terbesar dari IMF dan Bank Dunia terhadap negara berkembang ialah pengurangan subsidi sebesar-besarnya. Salah satunya, dalam bidang pendidikan. Meski demikian, patut diketahui jika pengusul RUU PT ini kebanyakan dari PTN yang telah memiliki status Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Sehingga semua PTN tersebut praktis memiliki mekanisme korporasi. Yaitu modal dan teknis pelaksanaan akan selalu terikat kepada pengusaha yang berhasil menginvestasikan sahamnya di PTN.


interaksi KKL SOSIOLOGI: SEBUAH ANTI-KLIMAKS Saya mahasiswa Jurusan Sosiologi yang akan mengikuti Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Jurusan Sosiologi 2012. KKL merupakan satu proses akademik yang terintegrasi dengan mata kuliah Metode Penelitian Sosial. Mata kuliah tersebut cukup menarik diikuti karena pada pertemuan awal, saya langsung disodor untuk membaca karya Clifford Geertz: Penjaja dan Raja, kemudian membuat review, lantas dibahas di dalam kelas. Buat saya ini menarik, karena setelah beberapa tahun saya kuliah di Jurusan Sosiologi, baru kali ini ada mata kuliah yang mewajibkan semua mahasiswa untuk membaca sebuah buku dan membahasnya. Karya Geertz memang menunjang mata kuliah tersebut. Dalam karyanya, mahasiswa disuguhi penelitian kualitatif yang renyah dan metode berpikir yang asik, kelak akan berguna dalam proses pembelajaran mahasiswa, maupun saat mengikuti KKL yang memang berfokus pada penelitian kualitatif. KKL yang merupakan klimaks dalam mata kuliah Metode Penelitian Sosial menjadi ajang pembuktian bagi mahasiswa, apakah telah mengerti bagaimana membuat penelitian kualitatif. Namun, KKL Sosiologi yang kelak akan diadakan pada akhir Juni mungkin sedikit menjadi anti-klimaks bagi saya yang bersemangat mengikuti kuliah tersebut. Biaya KKL tahun ini mencapai 1,2 juta melonjak dari tahun sebelumnya sebesar 900 ribu. Padahal, durasi dan lokasi yang dituju tidak jauh berbeda. tahun lalu tujuannya ke Wonosobo, sekarang punya destinasi ke Tegal. Beberapa jurusan lain yang punya hajat sama padahal tidak sampai mematok harga setinggi itu, sebagai perbandingan Jurusan Bahasa Jepang yang punya destinasi:Bandung, Yogyakarta, Malang hanya dibandrol 500 ribu. Usut punya usut, kenapa biayanya bisa tinggi karena ada alokasi dana yang digunakan untuk fee dosen. Yang dapat bukan cuma dosen yang ikut KKL atau yang mendampingi, tapi semua dosen jurusan. Saya tidak tahu apakah kondisi ini legal atau tidak. Namun, hemat saya, ini sama saja memungut uang dari mahasiswa yang masih dalam kegiatan akademik. Dan ini sebuah hal yang tabu. Beberapa cerita dari senior yang telah mengikuti KKL pun buat saya makin gemas. Kata senior saya, ada beberapa dosen yang justru memanfaatkan momen KKL ini untuk berekreasi. Bukan malah mendamping mahasiswa, mereka malah banyak wara-wiri, belanja, selama proses penelitian. Parahnya, si dosen menumpang mobil sewa yang disewa oleh mahasiswa. Padahal, fasilitas untuk print: kertas, printer, tinta musti mahasiswa sendiri

yang sedia. Demi membangun jurusan yang baru saja genap berusia delapan tahun ini, saya berharap Jurusan Sosiologi dapat terus memperbaiki diri dan terus menciptakan karyakarya yang bermanfaat bagi sivitas akademik UNJ juga masyarakat. Peran aktif pihakpihak terkait seperti rektorat, dekanat juga menjadi sebuah kewajiban dalam menanggapi kondisi ini, dalam rangka membangun UNJ untuk lebih baik di usianya yang ke-48. Mahasiswa Jurusan Sosiologi yang akan ikut KKL 2012

RUANG TERBENGKALAI: PROYEK DIAM-DIAM Salam, Beberapa hari di akhir bulan Maret, saya mencermati ruang 101 dan 102, di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris—tempat saya berkuliah. Kedua ruang ini biasanya dipakai untuk kegiatan perkuliahan pada umumnya tapi kali ini saya melihatnya diabaikan, dikosongkan: hanya barisan kursi yang disandarkan ke dinding, LCD proyektor yang terlambat dipasang. Entah sebab pastinya apa, tetapi saya berpikir ulang kalau memang semua ruang kelas di jurusan mulai dipasang LCD proyektor, dan ruang 101 dan 102 mendapat jatah terakhir pengadaan. “O, mungkin ini bagian dari renovasi, peremajaan sarana belajar,” pikir saya ketika itu. April pekan awal, saya mulai mempertanyakan perkara ini lebih lanjut, sebab salah satu jatah pertemuan dalam satu pekan mata kuliah yang diambil semester ini yakni Error Analysis, tak dijalankan belajar-mengajarnya di ruangan 102. Terakhir alasan di muka: saya mendapat informasi kalau pihak berwenang jurusan menonaktifkan kedua ruang tersebut. Dari situ, saya menjadi heran. Seperti ada yang terbengkalai, yaitu hak saya, juga hak rekan mahasiswa lain di jurusan, terkhusus bagi mereka yang semester ini mendapat giliran belajar di 101 dan 102. Kekhawatiran ini terbukti, manakala saya sempatkan berdialog ringkas dengan sejumlah pekerja yang turut melakukan proses pembangunan. Kata salah satu mereka menjelaskan, “Ini akan dijadikan kantor Pasca Sarjana di sebelah kanan (menunjuk 102) dan yang ini dibangun kamar kecil dan musholla (sambil menunjuk 101).” Kritik mendasar saya, menyoroti persoalan ini, antara lain: 1. Dosen jurusan/tenaga pengajar sudah berjumlah sedikit, ditambah lagi mengurusi program S1 saja belum sepenuhnya optimal—bertolak dari proses belajar-mengajar beberapa semester ke belakang. 2. Minimnya sosialisasi pihak berwenang jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, menge-

nai proyek Program Magister—hingga ke tingkat satuan mahasiswa. 3. Dualisme akademisi, dalam segi tanggung jawab dan amanah, memberi keluangan untuk ‘lengah’ mengingkatkan kualitas internal S1 di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Dan membuat kegamangan dalam hal ‘prioritas’! Akhir kata, saya—termasuk mahasiswa yang sempat melihat, mengalami, dan bertanya—landaskan kritik di atas tak dibuat-buat, direka-reka. Apaapa yang jadi suara miring bukan berarti tanpa kepedulian! Rawamangun, 19 Mei 2012 *Nama ada pada redaksi

PERIHAL SEMESTER PENDEK Sebelum saya memperkelalkan diri, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada redaksi Tabloid Transformasi yang telah menerima surat keluhan saya. Semoga dengan dimuatnya surat saya ini, akan ada perbaikan dari pihak yang semestinya bertanggung jawab. Saya adalah mahasiswa reguler dari FBS. Saya ingin menyampaikan keluhan saya tentang semester pendek. Pada semester genap ini saya berencana mengambil semester pendek (SP) dari mata kuliah umum. Pada semester genap tahun sebelumnya pendaftaran SP dilaksanakan secara manual setelah semester genap habis. Tiap mahasiswa yang akan ikut SP datang ke MKU untuk mendaftar. Terjadi perubahan prosedur pada semester ini. Sebelum semester genap tuntas, pada tahun ini pendaftaran SP sudah dibuka. Pendaftarannya pun tidak lagi manual, melainkan lewat situs jejaring sosial. Sampai di situ, saya cukup maklum dan berpikir positif. Perubahan prosedur pendaftaran SP MKU dilakukan untuk mencegah terjadinya penumpukan (crowded) pendaftaran peserta SP. Pada dasarnya saya mendukung inovasi ini. Tapi sayangnya hal ini tidak diiringi dengan sosialisasi yang baik. Saya beserta teman-teman saya di jurusan juga banyak yang terlewatkan info ini. Wujud konkret dari persoalan tersebut adalah gagalnya kami mengikuti SP salah satu MKU. Sebab ketika saya dan yang lain ingin melakukan pendaftaran, ada keterangan bahwa

MK tersebut telah penuh. Solusi yang diberikan pun sekadar harapan. “Mata kuliah x telah penuh. Mahasiswa yang telat mendaftar mata kuliah x baru dapat mengikuti ketika ada mahasiswa yang tidak melakukan daftar ulang. Atau jika ada kelas yang tidak dipakai mata kuliah lain.” Seperti yang telah saya singgung di atas, saya mendukung inovasi semacam ini. Selain lebih praktis, tentu akan membuat mahasiswa lebih aktif (tidak menunggu). Jika saya boleh menawarkan saran, untuk semester genap/pendaftaran SP tahun depan, pihak MKU dapat bekerja sama dengan UPT Puskom. Sehingga mekanisme pendaftaran SP dapat dilakukan melalui Siakad, bukannya lewat situs jejaring sosial. Selain lebih aman, mahasiswa yang bersangkutan akan mengetahui secara langsung bahwa dirinya telah terdaftar. Saya berharap ada tanggapan langsung tidak hanya dari pihak MKU. Karena ada pihak jurusan juga yang seharusnya membantu kelancaran info semacam ini. Terima kasih. Any Sembiring Mahasiswa yang gagal ikut SP

INI KAMPUS? “Oh, seperti ini toh, kampus yang berstatus negeri di Jakarta ini? Ini pasar atau?” tanya kawanku dari kampus sebelah. Saya diam. Ya, inilah kalimat tanya yang sering saya telan ketika orang asing dari luar kampus kita berkunjung ke kampus tercinta ini, Universitas Negeri Jakarta. Tak perlu saya berpikir

panjang untuk mencerna dan memahami pertanyaan itu. Daripada menjawab pertanyaan itu, menanggapi pun enggan rasanya. Hanya malu dan sedih yang saya dapati. Lebih kepada menyembunyikan muka. Bagaimana tidak? Kampus hijau—katanya—yang berlokasi di Ibukota ini ternyata sarang berkumpulnya penjaja makan minum dan pengemis, serta pemulung. “Astaga! Ini kampus macam apa?” Begitulah kalimat kedua yang terlontar dari mulutnya. Memang, banyak manfaat yang kami rasakan dari penjaja makan dan minum. Namun, banyak pula kerugian yang kami rasakan. Tak lain adalah pemulung yang kerap kali berkeliaran di area kampus kita. Betapa tidak, lebih dari sekali saya memergoki beberapa anak berusia belia bertangan jahil dengan mengambil sepatu mahasiswa jurusan saya yang tengah berada di laboratorium. Sering kali mahasiswa mengeluh dan menuntut pihak jurusan untuk bertanggun jawab atas kehilangan yang mereka alami. Namun, tetap saja nihil yang mereka dapatkan. Tak ada tindakan lebih lanjut dari pihak jurusan untuk mengubah keadaan sekitar jurusan saya. Apa yang akan terjadi jika hal ini terjadi pula pada semua jurusan dan bahkan fakultas di kampus kita? MahasiswaUNJ *Nama ada pada redaksi

DAFTAR ISI Tajuk Wacana Interaksi Utama - Program Juru Selamat dari Kota - Senjata Baru Pemerataan Distribusi Guru Wawancara Utama - “GIM, menjawab akses sekaligus kualitas” - Tak Gentar Dikirim ke Daerah Wawancara Khusus Kampus Gagasan Khusus - Misteri Korupsi UNJ - Gurita Korupsi PTN Opini Profil Ruang Sastra Budaya Resensi Foto

| | | |

2 2 3 4

|6 | | | |

7 7 11 12

|14 |16 |17 |18 |19 |20

Diterbitkan oleh Universitas Negeri Jakarta SK Rektor no. 729/SP/2009 Penanggung Jawab: Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd (Rektor Universitas Negeri Jakarta) // Dewan Penasihat: Zaenal Rafli, Suryadi, Fakhrudin Arbah, Suprijanto // Pemimpin Umum: Zaenal Rafli // Dewan Redaksi: Sjafnier Rosinef, Irsyad Ridho, Lara Fridani, Wahyu Arifin, Soeprijanto // Pemimpin Redaksi: Harris Malikus // Redaktur Pelaksana: Sugeng Sutrisna, Kahfi, Hendro Rahmandani // Staf Redaksi: Rizki Rakita, Mansur Adnan, Jabbar Ramdhani, Vicharius DJ, Prima Gumilang // Kontributor: Jaya Menggala, Andral Intrakta, Hamoezi // Tata Letak: Shofrul Hadi // Cover: UsilnyaCrayon // Editor: Tim // Sirkulasi: Redaksi // Alamat Redaksi: Gedung G Ruang 303 Komplek Universitas Negeri Jakarta Jl. Rawamangun Muka No. 1 Jakarta 13220 Telp. (021) 47865543, E-mail: redaksi_transformasi@yahoo.com, Website: www.transfornews.com Redaksi menerima tulisan opini dan foto dari pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan yang akan dimuat dengan tidak mengubah maknanya.

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

3


UTA MA

Penulis: SUGENG SUTRISNA

Menjadi guru mungkin sudah menjadi pilihan Ali. Mulai dari kuliah di kampus pendidikan, dan selepas lulus sempat mengajar di salah satu sekolah swasta di Jakarta, masih ada yang ia rasa kurang. Ali rupanya ingin mencicipi bagaimana menjadi guru di daerah terpencil. Kebetulan, UNJ kampus tempatnya dulu kuliah membuka program untuk mengajar di daerah terpencil. Program Sarjana Mendidik Daerah Terpencil, Terbelakang dan Terluar (SM3T), merupakan program teranyar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dengan UNJ. Ali yang memiliki nama lengkap Muhammad Ali Akbar, menjadi salah seorang peserta program yang lulus seleksi. Seleksinya pun terhitung cukup ketat, dengan mencantumkan syarat Indeks Prestasi Komulatif (IPK) di atas 3.00 dan Tes Potensi Akademik. Kupang, NTT menjadi wilayah penempatan Ali. Tepatnya di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Amfoang Barat bersama tujuh orang peserta lainnya. Sebenarnya program SM3T tidaklah tertutup untuk alumni UNJ saja tapi terbuka untuk seluruh sarjana pendidikan. “SM3T terbuka untuk lulusan pendidikan. Kebetulan UNJ ditunjuk menjadi panitia seleksi untuk wilayah Jakarta,” kata Pembantu Rektor I UNJ, Zaenal Rafli. “Tapi seleksinya cukup ketat. Minimal ber-IPK 3.00 yang dilanjutkan dengan tes-tes lainnya.” SM3T sendiri merupakan terobosan terbaru dari Kemdikbud untuk mengatasi minimnya tenaga pendidik di daerah terpencil dan terluar. Sebelumnya, sudah ada program Pendidikan Profesi Guru daerah Terpencil, Terbelakang dan Terluar (PPG3T), dimana pemerintah daerah mendidik putra-putra dearahnya sebagai sarjana di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, guna mengisi tenaga pendidik di wilayah yang belum terjangkau. Memang biasanya, guruguru di daerah-daerah belum semuanya berjenjang sarjana, bahkan ada yang hanya lulusan SMA. Hanya saja, masalah lain yang ditimbul dalam program itu adalah kekosongan tenaga pengajar karena mengikuti program PPG3T. Jadi SM3T, kata Zaenal Rafli, sebenarnya berkaitan dengan PPG3T. “Saat ini kami menerima mahasiswa baru dari Papua Barat sebanyak

60 orang. Setelah selesai masa pendidikan mereka dikembalikan untuk mengajar,” katanya. Namun, bukan berarti program SM3T berjalan mulus. Program itu sendiri dinilai sebagai jiplakan dari Indonesia Mengajar (IM) yang digagas Anies Baswedan. Indonesia Mengajar memang mencuri perhatian banyak orang, dipuji dan diapresiasi diberbagai media massa. Tudingan meniru IM, dibantah Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), “Kami tak meniru Indonesia Mengajar. Konsep program ini sudah lama sebelum IM ada. Salah satunya adalah seperti program dokter di daerah 3T.” tegas Djoko. “Kami sekarang mencoba menerapkan sistem tersebut pada profesi guru.” Peserta SM3T menurut Djoko bukanlah sembarang orang. Selain ber-IPK besar, harus lulusan program pendidikan yang memiliki akta IV. Beda dengan IM yang membolehkan peserta non-sarjana pendidikan. “Kalau SM3T yang dikirimkan adalah benar-benar sarjana pendidikan yang dicetak untuk menjadi guru,” tambahnya. Para peserta SM3T memang menjalankan tugasnya sebagai guru, berikut dengan insentif tiap bulannya. “Kami diberikan gaji dua juta rupiah perbulannya. Itu sudah termasuk kos dan yang lainnya,” ujar Ali, peserta SM3T. Program SM3T, ibarat magang bagi para calon guru. Selepas mengikuti program itu selama setahun, para peserta dijanjikan akan mendapat kemudahan dalam mengikuti Program Pendidikan Guru (PPG) di setiap rayonnya. Di daerah penempatannya, terkadang masalah yang dihadapi guru SM3T perihal adaptasi di lingkungan baru. Ali sendiri yang dihubungi Transformasi di pertengahan program mengajarnya mengakui hal itu. “Saya sadar dengan program ini kita dikirim ke daerah tak mungkin memikirkan fasilitas mewah. Intinya kita harus bisa adaptasi,” ujarnya. Aliran listrik, kata Ali, biasa mati mendadak karena bahan bakar solar yang digunakan sebagai pembangkit listrik diesel sudah habis. Di daerah penempatannya belum masuk aliran listrik dari PLN. “Jangankan listrik, beberapa tempat saja atap gedungnya ditutupi pakai daun,” ujar Ali miris. Kurangnya perhatian ter-

PROGRAM JURU SELAMAT DARI KOTA hadap pendidikan di daerah tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah. Selama ini, pemerintah pusat dan daerah saling melempar tanggung jawab terkait pendidikan di daerah, terlebih wilayah-wilayah terluar. Perlu ada sinergi antar keduanya untuk menyelesaikan problem pendidikan di daerah. Pengiriman sarjana ke daerah dinilai hanya menjawab sebagian kecil dari masalah pendidikan daerah terluar. Pandangan itu dikemukakan pakar pendidikan HAR Tilaar, “program seperti itu masih terkungkung pada lokasi. Padahal di kota pun masih ada sekolah

Road show Gerakan Indonesia Mengajar berlangsung di gedung Pusat Sertifikasi UNJ. (foto atas) Anies Baswedan. (foto bawah) alumni GIM gelombang pertama.

4

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

terpencil. Sekolah yang tak memiliki akses secara baik kepada peserta didik sebagai tempat pendidikan,” ujar Guru Besar Emiritus UNJ itu. “Masalah utama pendidikan daerah adalah akses.” Lebih lanjut, Tilaar menekankan pemerintah untuk lebih serius menjalankan program yang sudah ada. “Inpres sekolah dasar bisa menjadi solusi,” ucapnya. Pendidikan daerah haruslah berbasis multikulturalisme, karena perkembangan anak Indonesia tak lepas dari tempatnya berpijak. “Indonesia Mengajar dan SM3T tidak kuat dalam pendidikan kebudayaan lokalitas masyarakat setempat.

Pendidikan dan kebudayaan itu menyatu,” pungkasnya. Tilaar berpendapat harus ada desentralisasi tenaga pendidik. “Guru adalah pionir dari kesatuan. Siapa lagi yang akan mengenalkan Indonesia ke anak didik kalau bukan mereka.” Minimnya akses dan kesejahteraan yang tak merata ikut mendorong urbanisasi di kotakota besar. Pendidikan di daerah memegang peranan penting dalam pengokohan republik sekaligus jawaban atas problem tersebut. Jika pemerintah pusat dan daerah serius membenahi pendidikan, lakon juru selamat dari kota pun sebenarnya tak perlu ada.

Foto-foto: Harris Malikus/ Transformasi

Secara umum penduduk daerah terluar masih dianggap berbeda dan tertinggal. Tak heran, berbagai program yang dimaksudkan ‘memajukan‘ mereka terus berlanjut. SM3T dan Indonesia Mengajar adalah contohnya.


UTA MA

Foto-foto: Dokumentasi Pribadi Zaenal Rafli

Pembekalan ketrampilan kepemimpinan dan mental peserta SM3T di markas Pasukan Khas (PASKAS) Angkatan Udara di Bandung. Atas: Penandatanganan kerja sama antara panitia pelaksana SM3T wilayah Jakarta oleh Pembantu Rektor I UNJ , Zaenal Rafli. Bawah: Foto bersama peserta SM3T dengan para pelatih dari PASKAS.

SENJATA BARU PEMERATAAN DISTRIBUSI GURU Persoalan pendidikan bukanlah persoalan yang dapat diselesaikan hanya dalam waktu enam bulan atau setahun. Pendidikan tak lain kebudayaan yang mengakar kuat dan harus berjalan secara terus menerus. Penulis: HARRIS MALIKUS

Menjelang akhir tahun 2011 kemarin, gedung Pusat Sertifikasi Guru UNJ dipadati lulusan sarjana pendidikan. Mereka datang untuk mengadu nasib dengan mengikuti program Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil Terluar dan Terbelakang (SM3T) yang kebetulan penatarannya berada di lantai 9 gedung PSSG UNJ. UNJ-sebagai satu-satunya PTN Pendidikan di Jakartaditugasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) untuk menangani peserta program SM3T wilayah Jabodetabek, yang nantinya akan dikirimkan ke wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur sebagai daerah yang diidentifikasi tertinggal dalam bidang pendidikan. SM3T merupakan proyek lanjutan dari PPG3T, yang terinspirasi dari program koas atau dokter muda yang dikirim ke daerah-daerah terpencil (Baca tulisan Program Juru

Selamat dari Kota). Sebuah program yang dinilai mulia, karena bertujuan mengimplementasikan teori-teori yang sudah didapat di bangku kuliah. Layaknya pendidikan profesi seperti dokter, akuntan dan advokat, saat ini guru juga coba dilibatkan dalam program-program profesi. Meskipun secara kesejahteraan, masih jauh dari profesiprofesi tersebut. Awalnya, UNJ hanya menjaring peserta SM3T dari Jabodetabek, namun kurangnya kuota peserta membuat peserta dari luar Jabodetabek diikutsertakan. Sekitar 20 LPTK dengan total 300 peserta dari berbagai wilayah di Pulau Jawa terlibat dalam program ini. Hanya saja, seperti yang diutarakan salah satu peserta dari UNJ, program SM3T ini masih dibebankan hal-hal teknis. “Secara gagasan cukup menakjubkan, tapi pelaksanaannya masih acak-acakan,” kata Muhammad Ali

Akbar, peserta dari UNJ. Hal-hal teknis yang dimaksudkan Ali lebih pada soal administrasi dan kesiapan panitia, semisal syarat IPK minimal 3.00 yang harus dimiliki pelamar, nyata-nyata hanya sekedar syarat. “Banyak juga yang di bawah itu tetap lolos dan akan diberangkatkan,” sesal Ali. Panitia program, yang kebanyakan dosen UNJ juga dinilainya kurang siap. “Mungkin karena perdana, jadi panitia terkesan tidak sigap dan seakan bingung.” Di luar kendala-kendala teknis, program SM3T bagi Djoko Santoso Dirjen Dikti merupakan salah satu upaya besar untuk menuntaskan problem pemerataan pendidikan di daerah. Kendati ia mengakui, program ini tidak bisa jadi tolak ukur keberhasilan, “Semua itu berjalan ber-

tahap, tidak mungkin langsung.” Djoko membandingkan SM3T dengan Koas di bidang kedokteran, dimana dokter dan guru harus selalu siap terjun di masyarakat. Rencananya, SM3T akan didorong sebagai prasyarat awal seorang guru dinyatakan benar-benar siap untuk mengajar. Tak heran jika program ini menyasar para lulusan sarjana pendidikan yang nantinya akan menjadi guru. Namun untuk tahap awal, SM3T belum menjadi suatu kewajiban bagi para calon guru. Seperti yang diungkapkan oleh Pembantu Rektor I UNJ Zaenal Rafli, “Tidak berarti harus mengajar di daerah 3T. Tapi jika nantinya memang ada yang mau mengabdi di sana, itu lain persoalan. Ini program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.” Sebuah Gerakan SM3T bukanlah satu-satunya program terkait dengan pemerataan pendidikan, masih ada program-program sejenis seperti Indonesia Mengajar (IM), UI Mengajar, ITB Mengajar dan UGM Mengajar. Hanya saja yang membedakan seperti kata Djoko, peserta program SM3T benar-benar sarjana pendidikan alias calon guru. Sedangkan IM dan program dari kampuskampus tersebut di atas memang membuka peluang bagi sarjana dari berbagai disiplin ilmu. IM, kata Hamid Hardono Direktur Eksekutif IM, lebih menitikberatkan pada paradigma masyarakat dalam memandang persoalan pendidikan.”Kami tidak mengklaim dengan hadirnya IM akan mengatasi problem pemerataan pendidikan. Ini hanya pemantik, agar persoalan pendidikan

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

menjadi perhatian semua pihak,” kata Hamid kepada Transformasi. Meskipun begitu, lanjut Hamid, bukan berarti IM tidak serius dalam menjalankan program ini. Para calon pengajar muda (sebutan untuk sarjana peserta IM) harus membuat sebuah makalah, dan aktif dalam sebuah organisasi. Dari 3.538 orang pendaftar angkatan ke-IV IM yang lulus seleksi hanya 72 orang. Ketatnya seleksi menandakan IM bukan sekadar proyek dadakan yang sekali jalan. “Seleksinya ketat. Bagi kami mengajar adalah memimpin. Jadi tiap-tiap calon pengajar muda haruslah seorang yang mempunyai bakat kepimimpinan,” ujar Hamid. Genap dua tahun IM berjalan, Hamid mengakui masih banyak kekurangan dan harus dievaluasi. Baginya, IM bukan hanya sekedar ruang diskusi, melainkan sebuah gerakan yang terus berjalan. Hamid juga mengapresiasi banyaknya gerakan serupa yang fokus pada akses pendidikan di daerah terluar dan terpencil. “Lebih banyak lebih bagus. Artinya dapat perhatian dari banyak pihak.” Sejatinya, pendidikan memang menjadi persoalan seluruh pihak, meskipun pemerintah punya tanggung jawab politik lebih besar sebagai penyelenggara negara. Hanya saja, jangan sampai programprogram pengajar di daerah terdepan republik ini hanya menjadi ajang balas budi atau sekedar kedermawanan sekelompok orang. Tapi memang ada solusi nyata dan berkelanjutan dalam memajukan dunia pendidikan nasional.

5


WAWANCARA UTAMA

[ Wawancara dengan Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar ]

“GIM, menjawab akses sekaligus kualitas�

Siapa tidak mengenal Indonesia Mengajar. Sebuah program, gerakan dalam dunia pendidikan yang coba digagas untuk memeratakan guru di pedesaan terpencil di Indonesia ini datang dari inisiatif seorang. Digawangi dan didanai secara mandiri, tanpa keterlibatan pendanaan dari pemerintah program ini terus berjalan. Transformasi mencoba melihat sisi berbeda dari Indonesia Mengajar, dimana program ini berhasil menginspirasi banyak pihak tidak terkecuali Dirjen Pendidikan tinggi, yang akhirnya membuat SM3T. Untuk itu wartawan Transformasi, Harris Malikus menemui Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar. Berikut petikannya. Transformasi: Sejak kapan Indonesia mengajar dimulai? Hardono: Indonesia mengajar dimulai tahun 2010 akhir. Transformasi: Ide awal Indonesia mengajar? Hardono: Bapak Anies sebagai pendiri Indonesia mengajar mungkin sering berinteraksi dengan Bapak Kusnadi, rektor UGM pada tahun 1985. Yang dibicarkan bukan cerita ketika sudah menjabat sebagai rektor, melainkan adalah ceritanya ten-

tang masa muda Pak Kusnadi. Pada masa itu Pak Kusnadi ikut sebagai tentara Peta, kemudian bersekolah. Pak Kusnadi beruntung menjadi anak seorang bupati, jadi dia bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Setelah tahun 1950-an pasca perang kemerdekaan membuat sekolah gampang. Sebagai gedung sekolah sangat mudah. Akan tetapi banyak sekolah kekurangan guru. Kemudian pada masa itu ada sebuah gerakan, dimana ada anak muda yang terpanggil menjadi guru. Meskipun menjadi guru hanya pada masa tertentu (temporary). Dari sana kita kemudian mendapat ide, kalau dimasa lalu anak-anak muda Indonesia mau mengabdi kenapa sekarang tidak. Lalu selanjutnya alasan programatik, ialah distribusi guru. Guru kita banyak tapi, yang hadir di kelas kalau didaerah tidak seberapa ketimbang yang didata. Transformasi: Berapa lama dari ide awal GIM kemudian ke tahap pelaksanaan? Hardono: Kita mulai terpikir itu di pertengahan 2009. Lalu kemudian Mas Anies berbicara dengan saya itu akhir 2009. Mulai menyusun tim ditahun 2010, pada awalnya yang

mendukung kita adalah teman-teman dari Indika Energi. Kalau Mas Anies sendiri saya juga kurang tahu berapa lama dia berpikir kemudian menjalankannya. Terkadang tidak semua ide dapat langsung di ekstraksi. Tapi sebenarnya kita sedari mahasiswa juga sudah memiliki ide untuk membuat bentuk pendididkan kepada masyarakat. Idenya pengabdian pada masyarakat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Transformasi: Tanggapan Anda tentang program pemerataan guru bentukan pemerintah, semisal SM3T dan PPG3T? Hardono: Pokoknya termasuk kaitannya dengan pemerintah, kita akan membantu, sesedikit mungkin akan kita kerjakan. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar di tempatnya, di tempat-tempat terpencil tersebut untuk pemerataan guru, jadi biarlah mereka melakukan itu dan akan kami bantu. Semua inisiatif kalau tujuannya baik maka hasilnya insya Allah akan baik. Akan tetapi masih saja ada guru yang kurang di daerah. Transformasi: Setelah berjalan selama dua tahun adakah evaluasi internal dari IM dari setiap angkatannya?

TAK GENTAR DIKIRIM KE DAERAH

ada hanya seleksi berkas memenuhi syarat atau tidak. Kalau urusan seleksi itu urusan panitia. Transformasi: Apakah ada janji yang diberikan dari panitia jika Anda dikirim ke daerah untuk mengajar? Ali Akbar: Yang mereka janjikan adalah setelah satu tahun mengajar, kami akan diberi pendidikan lagi selama satu tahun, nah itu yang namanya sertifikasi. Transformasi: Ada berapa orang di sana yang mengajar dari program ini? Ali Akbar: Total di Amfoang Barat tujuh orang Transformasi: Bagaimana kondisi murid dan sekolahnya di sana? Ali Akbar: Lebih kacau dari pada ketika saya PPL di Jakarta. Ya maklum namanya daerah. Karena memang kondisi riil di lapangan beda banget. Secara fasilitas sangat kurang, listrik pun tidak ada. Kami di sini menggunakan generator listrik. Bahkan untuk beberapa bagian gedung pun masih ada yang ditutupi pakai daun di bagian atapnya. Transformasi: Apakah ada kesulitaan dengan fasilitas seperti itu? Ali Akbar: Kita dikirim ke daerah sudah tentu sadar akan risiko yang menimpa. Kita dikirim sudah pasti tidak akan ada fasilitas mewah. Intinya di sini kita harus adaptasi lebih luas. Mengenal masyarakat dan kebudayaannya. Transformasi: Apakah

Menjamurnya program pengiriman tenaga pengajar ke daerah-daerah terpencil di Indonesia, menimbulkan banyak rasa penasaran sekaligus penasaran, masyarakat Indonesia. Pelbagai opini pun terbuat, tidak sedikit orang yang mendaftar kemudian meninggalkan pekerjaan utamanya,. Terhitung Februari 2011, UNJ menjadi tuan rumah digelarnya program pemerintah tersebut. Untuk menilik lebih jauh bagaimana program SM3T ini berjalan, wartawan Transformasi, Harris Malikus dan Hendro Rahmandhani berhasil menemui salah satu pesertanya. Berikut petikannya. Transformasi: Dari mana Anda mengetahui adanya program SM3T? Ali Akbar: Saya mengetahui program SM3T dari web UNJ dan juga dari website Dirjen Dikti. Transformasi: Apakah ada seleksi masuk untuk mengikuti SM3T? Ali Akbar: Tidak ada sepengetahuan saya, sebab kalau pun ada saya tidak ada seleksi. Yang

Hardono: Misalnya seperti ini, di Jakarta kita sering beranggapan untuk memperbanyak jumlah anak yang sekolah dengan menggratiskan mereka. Akan tetapi berbeda dengan di daerah. Di beberapa tempat kami menemui keyakinan tentang pentingnya pendidikan itu kurang. Dan hal tersebut terjadi bukan karena alasan utamanya uang. Tidak berarti kalau sekolah digratiskan masyarakat akan tersadar pentingnya pendidikan. Transformasi: Sudahkah terjadi audiensi, sounding dari pihak pemerintah ke GIM atau sebaliknya?

ada masukan buat pemerintah bagi Anda yang sudah mengikuti program ini? Ali Akbar: Sejujurnya selama saya di sini merasakan ketimpangan yang amat sangat dalam hal pendidikan. Pemerintah harus menyiapkan calon guru yang harus memiliki pengalaman lebih. Terlebih masalah yang harus dikuasai adalah aspek sosial. Karena itu penting sekali untuk berbaur pada masyarakat sekitar. Kalau tidak ada aspek sosial yang ting-

Doku

menta

si Pri

badi

M. Ali

Akba

r

Wawancara dengan Muhammad Ali Akbar. Peserta SM3T yang dikirim ke Amfoang NTB.

Harris Malikus/ Transformasi

6

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

Hardono: Belum. Secara khusus berbicara tentang masalah SM3T belum ada. Akan tetapi kita juga dekat dengan Kementrrian Pendidikan Nasional. Transformasi: Apakah pemerataan akses pendidikan menjadi inti, tujuan? Hardono: Iya. Menjawab akses sekaligus kualitas. Ada tiga pilar, akses, mutu, dan good governence. Tiga pilar tersebut terdapat dalam strategi kementerian pendidikan dasar dan menengah. Dan kita berbicara masalah pemerataan pendididkan. Ketika berbicara masalah pemerataan, kami mencoba masuk ketempat paling jauh. Di Indonesia tempat yang masih kekurangan dan membutuhkan guru saya menjamin masih gampang disebut, masih banyak. Selama ini isu kita bukan pada data guru yang aktif akan tetapi kehadiran guru di sekolah. Ada laporan bahwa di sekolah A, jumlah guru 7 orang. Itu data administratif. Belum ada sebuah tempat secara data administratif kurang. Akan tetapi secara dilapangan yang hadir terkadang hanya empat, tiga, bahkan satu orang guru di sebuah sekolah.

gi, ia tidak akan bisa berkomunikasi dengan baik. Transformasi: Terakhir, apakah Anda menikmati mengajar di sana? Ali Akbar: Sangat menikmati mengajar di sana. #Untuk tambahan, pada Januari terakhir kontrakan, rupanya gajinya belum dibayar, tapi perlu dikonfirmasi ke peserta lainnya. Apa ini hanya menimpa guru di Amfoang atau seluruh peserta.


kampus

Selebrasi Cinta dari Bengkel Sastra Penulis: JAYA MENGGALA Bengkel Sastra, laboratorium kesusastraan yang ada di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia kembali mengadakan acara. Perhelatan tersebut berlangsung pada Februari 2012 di Puri Lingua, mereka menggelar Selebrasi Cinta 4, acara yang rutin digelar setiap tahunnya ini belum pernah absen dan selalu dilaksanakan sejak tahun pertama digelar yaitu pada tahun 2009. Selebrasi Cinta 4 kali ini bertemakan “Kabisat Cinta” yang berarti ketika bicara sudah, tulislah. Tema tersebut sangat relevan dengan tema bulan Februari yang notabene adalah bulan cinta dan kasih sayang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Selebrasi Cinta 4 menampilkan pameran puisi, pembacaan puisi dan musikalisasi puisi. Pameran puisi yang ditampilkan merupakan puisipuisi kreasi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia dan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni UNJ. Tidak hanya mahasiswa, dosen-dosen ikut menyumbang coretan cinta mereka. Inilah yang menjadikan gairah puisi menjadi lebih hidup dari sebelumnya. “Selebrasi Cinta kali ini mendapatkan respon yang sangat baik dari pecinta sastra Indonesia, hal ini dibuktikan dengan membludaknya puisi yang dikirimkan mahasiswa maupun dosen,” kata Shelma Aisya, ke tua pelaksana Selebrasi Cinta 4.

Selanjutnya Shelma menambahkan, bahkan panitia sempat mengaku kerepotan dengan hal ini, meski demikian panitia dapat menampung semua coretan cinta dan memamerkannya di Puri Lingua dan lobi jurusan. Sebagai bentuk penghargaan terhadap para pengirim puisi, Bengkel Sastra menganugerahi puisi terfavorit, puisi terfavorit dipilih oleh Pengunjung pameran, dengan cara memberikan tanda cinta, setelah sebelumnya tiaptiap pe ngunjung diberikan tiga tanda cinta oleh panitia. Setelah penghitungan terpilihlah puisi yang berjudul “Untuk Tuan” karya Nurul Tirsa Sari sebagai puisi terfavorit. Puisi yang mengisahkan tentang kecemburuan pada tuan yang sudah memiliki pacar ditulis Uchu (red: panggilan Nurul Tirsa Sari) jauh sebelum acara Selebrasi Cinta digelar. “Saya tulis puisi ini sudah lama dan Selebrasi Cinta 4 memberikan wadah untuk mempublikasikan puisi saya, ini sangat bagus untuk perkembangan sastra khususnya puisi di Universitas Negeri Jakarta ini,” terang Uchu. Suksesnya acara ini pun tidak luput dari dukungan para dosen, Helvy Tiana Rossa, cerpenis, dosen sekaligus pembimbing Bengkel Sastra, mewajibkan mahasiswanya untuk mengirimkan minimal satu karya puisi untuk acara tersebut. Tindakan tersebut sangat

Jabbar Ramdhani/ Transformasi

Apresiasi. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa menampilkan ketrampilan bermusik pada acara Selebrasi Cinta. membangun dan menyadarkan mahasiswa dalam mencipta karya seperti puisi. Selain, pemilihan puisi terfavorit pembacaan dan musikalisasi puisi pada Selebrasi Cinta 4 pun mendapat apresiasi baik. Meskipun sempat diundur dari tanggal 29 Februari 2012 menjadi 1 Maret 2012 karena hujan, kedua acara tersebut mampu menarik banyak pengunjung hingga lintas fakultas. Antusiasme pengunjung dari luar fakultas ini dapat dilihat dari keberanian mereka

untuk berpartisipasi, meski pengisi acara didominasi oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, mereka tak canggung untuk ikut bergabung. Tercatat Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris dan Jurusan Seni Musik menampilkan musikalisasi puisi yang dibawakan dengan kombinasi yang sangat unik. Selain kedua jurusan tersebut, komunitas di luar Bengkel Sastra seperti Ronggolawe tak ketinggalan untuk meramaikan acara. Selebrasi Cinta 4 dapat di-

katakan sukses, “Acara yang bagus dan membangun, acara seperti ini harus dilaksanakan setiap tahunnya bila perlu dilaksanakan dua sampai tiga kali dalam setahun!” ujar Suva Solinah, salah seorang pengunjung Selebrasi Cinta 4. Memang acara seperti ini perlu ditingkatkan intensitasnya karena ini menyangkut budaya dan peradaban bangsa yang akan membangun negara kita menjadi lebih berkarakter. Dengan bahasa, Indonesia satu, dengan sastra bahasa indah.

WAWANCARA KHUSUS

“Jika saya bicara nanti heboh….” Masa transisi jabatan periode 2009-2014 menjadi malapetaka bagi Fakhrudin Arbah, selaku Pembantu Rektor III UNJ dan keluarganya. Pasalnya, instruksi sang rektor membuat dirinya ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi alat-alat laboratorium UNJ 2010 oleh Kejaksaan Agung RI. Terlebih, instruksi tersebut tak dipahami secara utuh oleh dirinya. Sehingga jabatan PPK baginya hanya menjadi formalitas penandatanganan proyek yang merugikan negara sebesar Rp 5 milyar. Berikut wawancara reporter Tabloid Transformasi, Hendro Rahmandani dengan Fakhrudin setelah beberapa kali sulit ditemui di ruang kerjanya, lantai III gedung Rektorat. Tepat ketika dirinya sedang mengenakan kemeja hijau, jas agak gelap serta kacamata tengah menuju ruangan PR II UNJ di lantai II gedung Rektorat, 14 Februari 2012, pukul 14.00 WIB. Transformasi: Bagaimana tanggapan Bapak setelah

ditetapkan sebagai tersangka (Pejabat Pembuat Komitmen)? Fakhrudin: Saya tidak mau komentar. Karena kasus ini masih dalam proses pemeriksaan saksi oleh Kejagung. Jika saya bicara nanti malah jadi heboh. Transformasi: Maksud nya heboh? Fakhrudin: Ya, karena nanti malah berbeda dengan apa yang akan dikatakan oleh kuasa hukum. Nanti akan malah banyak yang membicarakan. Nama saya sudah jelek, keluarga saya sudah jelek atas kasus ini. Jadi, biar penyidik yang akan memprosesnya. Transformasi: Apakah Bapak merasa dikorbankan atas ditetapkannya menjadi tersangka? Fakhrudin: Saya tidak akan menjawab hal itu. Penandatanganan ini merupakan instruksi dari rektor karena kampus sedang dalam masa transisi. Dan saya harus mengikuti instruksi tersebut. Transformasi: Apa maksud dari masa transisi tersebut?

Fakhrudin: Transisi pergantian beberapa pejabat pembantu rektor. Khususnya Pembantu Rektor II. Transformasi: Lalu, mengapa harus Bapak yang menandatangai proyek tersebut? Bukankah kewenangan Anda mengurusi kegiatan mahasiswa? Fakhrudin: Ya, karena PR II sebelumnya (Syarifuddin) sudah digantikan kepada PR II saat ini (Suryadi). Makanya saya yang mendapat instruksi dari rektor. Dan saya hanya berniat baik agar proyek ini bisa cepat selesai saja. Saya hanya melakukan penandatanganan saja, tidak tahu-menahu soal proyek tersebut. Transformasi:Mengapa P R I I b a r u ( S u r y a d i ) tak mengambil alih proyek ini? Fakhrudin: Karena Suryadi tidak dapat izin dari departemen. Sepertinya, Anda juga harus mempertanyakan hal tersebut kepada Suryadi (PR II). Transformasi: Dari penjelasan Anda, sepertinya pemberi

instruksi (rektor) sangat berperan penting dalam melanggengkan proses penandatanganan sebagai PPK dalam kasus korupsi ini? Fakhrudin: Itu tanya sendiri kepada Pak Rektor. Transformasi: Bagaimana kinerja Anda pasca menjadi tersangka dugaan korupsi? Fakhrudin: Kalau masalah itu lancar semua. Saya sudah menandatangani semua proposal untuk kegiatan mahasiswa. Transformasi: Tapi mengapa Bapak sangat sulit ditemui oleh mahasiswa? Fakhrudin: Kondisi saya sedang bingung. Makanya saya tidak mau ketemu siapa pun. Transformasi: Kenapa bingung?

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

Fakhrudin: Karena kalau saya ketemu orang atau wartawan (media). Nanti pernyataannya malah berbeda dengan apa yang akan diungkapkan oleh kuasa hukum. Makanya saya lebih baik tidak bicara. Karena kasus ini (korupsi pengadaan alat laboratorium pendidikan) yang menerpa saya masih dalam proses penyidikan saksi-saksi.

Do

kum

enta

si D

ida

ktik

a

7


Hamoezi/ Transformasi

kampus

HUT TED dan Regenerasi Pengurus Penulis: HAMOEZI Anton, adalah sosok pegiat politik yang bersikeras mengatakan bahwa kalau bangsa ini ingin bergerak maju, haruslah memiliki sikap dalam memperjuangkan politik. Sedangkan, adik Anton pertama Ami dan Alya adik kedua Anton, kerap menentang sikapnya. Ami bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan ternama. Sedangkan Alya masih mengenyam bangku sekolah menengah. Ami yang ter-

biasa hidup dan berpikir praktis, tidak banyak bicara kecuali soal cinta, senantiasa mendapat kritik Anton. Sebaliknya, Ami selalu menyimpan rasa kesal jika Anton tengah sengit berbincang politik dengan sang Ayah, yang sama-sama gemar politik. Adapun Alya lain lagi. Ia sosok anak muda yang terkepung kegamangan hidup. Ia berlagak layaknya remaja yang baru pubertas. Permasala-

han timbul ketika sang Ibu meminta satu per satu anaknya, yang selalu sibuk di luar, untuk tinggal di rumah barang sehari penuh. Ada satu tokoh penengah, yaitu Si Mbok, pembantu setia rumah itu. Si Mbok, mencoba menghibur Ibu, manakala majikannya dilanda duka lara. Drama keluarga ini pun berakhir di ruang tamu, semua anggota keluarga, Anton bersama adik dan ayah menangisi kepergian

sang Ibu. Adegan drama berjudul Orang yang Bergegas, karya Puthut EA, dipentaskan secara apik oleh kelompok teater Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNJ (TED). Pementasan itu merupakan rangkaian acara perayaan hari jadi TED ke-9, pada 14 April lalu. Drama teater itu pun memang sengaja dipilih TED, mereka ingin menyampaikan pesan kepada banyak orang

Antusiasme Futsal Pada futsal mahasiswa tertarik, pada kultur akademik hanya melirik. Penulis: ANDRALL INTRAKTA DC Gol… Gol… Suara membahana itu kian hadir ketika pelbagai turnamen futsal berlangsung di Universitas Negeri Jakarta. Ya, mulai dari turnamen yang diselenggarakan oleh Jurusan, Fakultas, hingga Universitas semuanya tertarik dengan aktivitas olahraga yang satu ini. Sebut saja, Ligina di Jurusan Bahasa Indonesia, Arabic Cup di Jurusan Bahasa Arab, Poratin di Jurusan Sejarah, Dekan Cup, hingga Rektor Cup. Arif Budiman, Ketua Umum Ligina 2012 mengatakan jika antusiasme turnamen futsal ini merupakan salah satu simbol dalam membangun solidaritas dan sportifitas sesama mahasiswa. Hal ini menampik pernyataan yang berkembang, kalau pelbagai turnamen futsal yang berlangsung hanya sekadar melaksanakan rutinitas Program Kerja (Proker) tahunan. “Jadi, turnamen ini bukan sekedar menjalankan tanggung jawab Proker tapi ada esensi

8

bahwa masyarakat tengah krisis, terlebih bagi rumah tangga keluarga urban. “Orang-Orang yang Bergegas mengajak kita berpikir ulang tentang fungi rumah. Lakon ini menjadi kritik sekaligus sindiran keras.” ujar, Rizal Avicena, sutradara pementasan. Sebelumnya dalam sambutan acara perayaan yang bertempat di Aula Gedung S itu, dua orang Pimpinan TED, Joshua Ogesta dan Nova Yuliana S secara bergantian menyampaikan bahwa, HUT ini sekaligus menandai proses regenerasi, kepengurusan baru akan mengemban misi TED ke depan. Perayaan yang dimulai sejak pukul 14.30 WIB, berlangsung meriah dan khidmat. Acara ini juga dihadiri sejumlah kelompok seni di tingkat kampus UNJ, seperti Unit Kesenian Mahasiswa (UKM), Bengkel Sastra UNJ, Teater ZAT, serta Angkringan Sastra Rawamangun (ASAR). Ritual tiup lilin menutup rangkaian acara perayaan HUT TED ke-9. Jelang penutupan, Joshua Ogesta menyatakan, TED dalam waktu dekat akan kembali melakukan pementasan, niatnya pementasan nanti bakal mengangkat drama dari naskah berbahasa inggris. “Maka dari itu, OrangOrang yang Bergegas ini semoga bisa memotivasi gebrakan kreatifitas teman-teman (TED) berikutnya,” harap Joshua Ogesta.

Foto-foto: Dokumentasi Panitia Poratin

yang lebih penting yaitu solidaritas dan sportifitas,” tambahnya. Buktinya, pada puncak Ligina tahun ini, hampir 100 mahasiswa menikmati final Ligina di lapangan Halaman IKIP (HI) tersebut. Jelas, olahraga futsal menjadi salah satu hiburan mahasiswa yang cukup diminati di kampus. Seperti diketahui, Turnamen futsal ini cenderung memiliki visi yang sama seperti diatas. Sebut saja, Poratin (Pekan Olahraga Antar Tingkatan) Jurusan Sejarah yang memiliki tujuan untuk menjaga keakraban keluarga besar Jurusan Sejarah. Menariknya lagi dalam turnamen Poratin, panitia penyelenggara juga mengundang para alumni dan senior yang masih aktif di kampus untuk berpartisipasi dalam lomba. Hasilnya cukup bagus, komunikasi antara kakak dan adik di Jurusan berjalan lancar. “Namanya juga Pekan Olahraga Antar Tingkatan Sejarah (Poratin), jadi lingkup kami hanya dalam diri kami sendiri. Mulai angkatan 2007-2012,” ujar Pieter, selaku Ketua Poratin 2012. Meski demikian, terdapat hal yang berbeda dari turna-

men Ligina dan Poratin. Karena dalam Ligina yang digelar untuk seluruh Jurusan di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) justru tidak ikuti oleh tiga Jurusan di FBS. Diantaranya, Bahasa Jepang, Seni Rupa, dan Seni Tari. Bagi Hera, mahasiswi Seni Tari menyayangkan ketika timnya tidak berpartisipasi dalam turnamen Ligina. “Ya, kalau ada futsal putri, kami pasti akan ikut turnamen tersebut.” Kealpaan panitia dalam menggelar futsal putri memang menjadikan turnamen ini cukup diskriminatif terhadap kaum hawa. Apalagi dalam perkembangannya, sepakbola wanita telah banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia. Ya, hal ini pula yang disadari oleh panitia penyelenggara yang sebenarnya ingin menggelar turnamen fut-

sal untuk mahasiswi. “Jujur, sebelumnya, panitia juga telah berencana menyelenggarakan futsal untuk putri tapi keterbatasan waktu yang akhirnya mengurungkan niat kami.” jelas Ranggi Windy, Koordinator Acara Ligina 2012. Sedangkan turnamen Poratin di Jurusan Sejarah sempat menggelar futsal putri. Sehingga acara ini cukup mendapat antusias besar dari mahasiswi. Karena hakikatnya, Poratin bukan sekedar lomba futsal saja yang diselenggarakan. Tapi ada beberapa cabang olahraga yang diperlombakan seperti Bulu Tangkis, Bola Tangan, dan Tenis Meja. “Hanya saja, futsal yang lebih terekspos karena kegiatan itu berlangsung di belakang gedung Fakultas Teknik UNJ,” ungkap Pieter.

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

Futsal sebagai cabang olahraga favorit di tiap pekan olahraga yang diselenggarakan di tingkat jurusan sampai universitas. Aksi mahasiswa-mahasiswa Jurusan Sejarah dalam Poratin. Kondisi diatas membuktikan bahwa aktivitas olahraga sepakbola yang lebih mengandalkan teknik ini menjadi perhatian bagi mahasiswa dan mahasiswi ketimbang persoalan akademik. Bayangkan saja, tercatat lebih dari 140 mahasiswa yang berpartisipasi dalam turnamen futsal Ligina dan Poratin. Jumlah diatas belum terhitung partisipasi mahasiswa dalam ajang Dekan Cup dan Rektor Cup.


kampus Shofrul Hadi/ Transformasi

Cintai Bumi Lewat Film Penulis: RIZKI RAKITA

Acara yang berlangsung tiap dua tahunan ini mengambil tema Semangat Tanpa Batas yang coba diangkat oleh panita untuk mendukung Aleta Baun. Ia adalah perempuan adat Mollo yang berhasil mengajak masyarakat Mollo untuk bangkit menolak pertambangan dan perusakan lingkungan. Mollo adalah salah satu contoh keegoisan negara “utara”. Masih banyak “Mollo-Mollo” lain yang tersebar diseluruh dunia yang masih peduli dengan alam. Disamping nonton bareng film-film lingkungan dalam dan luar negeri, selama seminggu pengunjung juga disuguhi diskusi film, regional meeting forum film maker, dan musik akustik. Inti keseluruhan dari setiap pesan StoS Film Festival adalah bagaimana membangun kepedulian dan solidaritas antara satu komunitas dengan komunitas lainnya di belahan daerah dan negara lainnya lewat film.

Mustara (kanan), Staf Pembantu Rektor III menikmati kopi setelah meresmikan launching Coffe Mobile.

Tawaran Cita Rasa Kopi Nusantara Ketertarikan pada kopi mengantarkan Awan, Shoim, dan Tri pada niat yang lebih besar: perkenalkan cita rasa kopi nusantara. Penulis: JABBAR RAMDHANI Usaha ketiga mahasiswa Teknik Elektro UNJ ini berawal dari obrolan rutin mereka sebagai sesama anggota Kopi Koe (Komunitas Pecinta Kopi Nusantara). Mereka ingin kegiatan yang dijalani lebih dari nong krong dan membahas kopi. Mereka ingin berwirau-

saha. Tapi keinginan mereka itu tentunya tidak dijalankan atas nama komunitas. Karena mereka memandang bahwa komunitas bukanlah badan usaha. Komunitas harus tetap digunakan sebagai tempat berkumpul dan tukar pikiran. Beberapa peluang wirausa-

ha coba dimanfaatkan, salah satunya adalah even Entrepreneurship Challenge yang diselenggarakan ITB. Sampai akhirnya mereka mendapatkan juga kesempatan itu dari UNJ. "Kebetulan di kampus ada PKM-W (Program Kreatifitas Mahasiswa Wirausaha). Karena

Rizki Rakita/ Transformasi

lama seminggu (22-26 Febuari) yang tersebar di beberapa tempat antara lain Goethe Institute, IFI (CCF Salemba), Kineforum (TIM) dan Hotel Akmani. Selain pemutaran film, pada pembukaan ditampilkan pula komik strip hasil tangan dingin Eko S. Bimantara yang menggambarkan cerita tentang masyarakat Mollo yang ada daerah kecil di Nusa Tenggara Timur yang memperjuangkan kearifan lokal. “Pada StoS kali ini, kami menyuguhkan 33 film yang terdiri dari 13 film dokumenter kompetisi, 7 film fiksi kompetisi, dan 13 sisanya dalam film festival,” jelas Ferdinand Ismail, Direktur StoS Film Festival 2012. Awal kemunculannya, StoS memang mengedepankan isu ketimpangan antara negara-negara “selatan” yang sering dieksploitasi negara-negara “utara”. Istilah “selatan” adalah untuk negara miskin yang tergolong negara berkembang. Negara bagian selatan termasuk Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayatinya paling banyak dieksploitasi oleh negara “utara” untuk menopang kehidupannya. Seperti eropa, amerika utara, Jepang, dan Australia.

Jabbar Ramdhani/ Transformasi

South to South (StoS) Film Festival IV kembali digelar guna mendorong kesadaran publik tentang isu-isu lingkungan hidup dari prespektif sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam sebuah kemasan film festival. Perubahan iklim yang semakin santer terjadi membuat dampak yang mendalam bagi seluruh warga dunia. Tak terkecuali warga desa Ginikan, yang terletak di lereng gunung Merbabu, Jawa Tengah. Hampir seluruh warganya bermata pencaharian sebagai petani sayur. Perubahan iklim yang terjadi membuat mereka bingung. Satu-satunya sistem tradisional kalender Jawa yang dipakai secara turun-temurun kini tak mampu lagi memprediksi masa pertanaman dan panen. Alhasil berdampak pula pada penghasilan warga. Ditambah harga jual sayur yang murah semakin mengancam keberlangsungan hidup mereka. Itulah sepenggal cerita dari film “Negeri Dibawah Kabut” karya Salahudin Siregar yang menjadi film pembuka di StoS (South To South Film Festival IV). Acara ini berlangsung se-

rencana sudah sempat timbul maka kami ambil kesempatan ini," ujar Awan, ketua kelompok PKM-W. Awan Kuspriadi, Muhammad Fuad Shoim, dan Tri Ikhwan Hasyim menjadi wakil dari Kopi Koe sebagai tim PKM-W. Usai mendaftar menjadi peserta PKM-W mereka kemudian menggaet Volks Cafe, kafe tempat mereka biasa berkumpul sebagai supporting team. "Ketika kita mendengar ada PKM-W, kita mengajak Volks Cafe untuk bekerja sama," Awan melanjutkan, Seperti gayung bersambut pihak Volks Cafe menyambut baik gagasan Awan, satu unit mobi VW Combi dan mesin seduh kopi dipinjamkan kepada mereka. Bukan hanya itu, bahkan tiga orang dari Volks Cafe juga akan ikut serta dalam pelaksanaannya. Coffee Mobile Ketersediaan alat dan kendaraan meruncingkan konsep usaha mereka untuk membuka kedai kopi keliling. Gagasan berkeliling, menjadi rasional untuk menggapai semua kalangan. Selain itu, mereka akan menawarkan kepada segenap konsumen berupa tempat ngopi yang asik dan terjangkau. Hadi Mardiansyah yang juga aktif di Kopi Koe menuturkan bahwa kopi adalah langgam minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat setelah air putih. Sayangnya walaupun konsumsi masyarakat cukup tinggi belum banyak yang tahu

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

keragaman cita rasa kopi yang dihasilkan Indonesia. Kepastian didapat. Mereka berhasil terpilih menjadi salah satu kelompok PKM-W yang akan dibiayai Dikti. Usaha mereka bukan berjalan tanpa hambatan. Pada proposal awal mereka menganggarkan 9,7 juta rupiah. Sayangnya hingga kini mereka belum mendapatkan bantuan dana tersebut. Sebagai langkah awal, Coffee Mobile melakukan promosi di dalam kampus. Promosi ini juga dimaksudkan sebagai acara Launching Coffee Mobile. Mustara selaku staf Pembantu Rektor III turut berpartisipasi, dalam acara tersebut dengan memberikan sambutan. “Kampus akan mengembangkan kreatifitas mahasiswa dalam berkompetisi yang sehat. Pemunculan gagasan wirausaha seperti ini akan terus dipelihara dan dikembangkan,” ucap dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan ini. Di kampus, Coffee Mobile telah menjadwalkan waktu promosinya sebanyak delapan kali. Setiap hari Selasa dan Jum’at. Rentang harga yang dipatok cukup terjangkau bagi mereka yang gemar akan rasa kopi nusantara. Awan menerangkan bahwa target usaha memang untung. Tapi bagi kami yang lebih utama adalah semakin dikenalnya beragam cita rasa kopi nusantara. “Untung yang kecil menjadi pemicu kami untuk bekerja lebih keras,” tu tupnya dengan tenang.

9


kampus

Foto-foto: Harris Malikus/

Transformasi

Sewindu Sosiologi untuk Refleksi Bersama “Apalah arti sosiologi, kalau terpisah dari derita dan realita masyarakat sekitar,” Imam Sapargo Penulis: HARRIS MALIKUS Petikan puisi tersebut dibacakan Mboy, begitu sapaan akrab Imam Sapargo, mahasiswa Sosiologi Angkatan 2005. Pembacaan puisi itu mengisi rangkaian acara hari terakhir peringatan Sewindu Sosiologi, Kamis (10/05). Pembacaan puisi yang me nurut Imam dibuat semalam sebelumnya ini bermaksud mengingatkan sivitas Jurusan Sosiologi, memahami tujuan kehadiran sosiologi di jagat pengetahuan. “Sosiologi itu tidak hanya di kelas, menghafal teori tapi terapan, dan dia bukan sebuah ilmu,” kata Imam. Terinspirasi puisi W. S. Rendra, Imam menuturkan bahwa selayaknya pembelajaran sosiologi tidak terlepas dari kehidupan sekitar. Maka, memahami hakikat sosiologi ini amat penting, terutama bagi para mahasiswa baru.

Karena itu pula, peringatan usia sewindu Jurusan Sosiologi inipun berangkat dari refleksi segala penimbaan ilmu sosiologi di ruang kelas. Selama ini, tutur Imam, seharusnya mahasiswa juga belajar pada aplikasi sosiologi di kehidupan nyata, bukan hanya terbelit teori. Pembacaan puisi oleh Imam pun seakan mengajak para pengunjung ke puncak acara, penampilan band punk Marjinal. Menurut Ketua Pelaksana Acara Ahmaddizzu Iskandar menjelaskan bahwa hadirnya Marjinal sebagai representasi kenyataan kehidupan masyarakat akar rumput. Selain mengundang Marjinal dalam perhelatan ini juga diadakan diskusi dan workshop.“Kita juga mengundang Alumni kita yang sudah berada di DPR, partai sebagai penyeimbang, jadi tidak hanya dari kalangan bawah,” tambah Dizzu. Dalam rangkaian acara ini, panitia seolah ingin mengetengahkan tafsir sosiologi bahwa masyarakat terbagi dalam kelas-kelas sosial. Kondisi ini menyebabkan terjadinya banyak kesenjangan, terutama

kerap terbayang banyaknya ketidakadilan sosial, jurang realitas dengan idealitas yang menganga. Mike vokalis Marjinal menyambut positif acara. Ia menjelaskan bahwa kampus sebagai sebuah ruang akademik sudah seharusnya menjadi ruang intelektual yang tidak lupa akan sejarahnya. “Kita (Marjinal dan Taring Babi) sudah sering main ke kampus-kampus, diundang dalam acara,” kata Mike. Marjinal sendiri sudah dua kali terhitung tampil di UNJ. Mike yang mengenal UNJ sebagai kampus pendidikan berpesan kepada sivitas akademik untuk memperbaiki kondisi pendidikan nasional sekarang. “Pendidikan sudah seharusnya tidak melulu digerus dengan proyek neoliberal, dampaknya soal musik saja seorang anak kecil hari ini bisa berlaku ‘cabul’ karena lagu-lagu yang diproduksi,” tukas Mike.

Catatan Merah Desentralisasi Pendidikan “Guru di Indonesia bermental pelayan,” kata Jumono, salah satu Kelompok Orang Tua Peduli Pendidikan. Penulis: HARRIS MALIKUS Seperti biasa, hari Kamis menjadi salah satu ajang silaturahmi pelbagai organisasi untuk melakukan diskusi ‘Kamisan’ yang digelar oleh Komunitas Baca Transformasi di Gedung G 303. Di antaranya yang hadir adalah Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM), Koalisi Pendidikan (KP), Kelompok Orang tua Peduli Pendidikan, dan beberapa mahasiswa jurusan yang berada di Universitas Negeri Jakarta. Dengan diselingi kopi hitam dan makanan kecil, mereka asyik membahas salah satu artikel yang ditulis oleh Cristhoper B. Jork , peneliti pendidikan asal Australia yang melakukan

10

riset tentang pendidikan di Indonesia. Menariknya, meski artikel tersebut ditulis dalam bahasa Inggris tapi para peserta ‘Kamisan’ sangat antusias dalam hal berbagi pengetahuan terkait dengan kebijakan desentralisasi pendidikan. Dalam diskusinya, Jumono selaku angota Komunitas Orang Tua Peduli Pendidikan menjelaskan bahwa sejarah pendidikan Indonesia telah mengalami fase perubahan yang cukup radikal pada tahun 1980-an. Tepatnya, pada saat pemerintahan Orde Baru mulai kehilangan kekuatan politiknya, pra reformasi 1998. Alhasil, menyebabkan desentralisasi politik yang melahirkan modifikasi kurikulum pendidikan. Sebenarnya, dari artikel B. Jork, penyebab adanya kebijakan desentralisasi dalam dunia pendidikan merupakan salah satu pesanan kebijakan dari Bank Dunia. Yaitu keharusan Indonesia untuk melakukan desentralisasi pendidikan dalam segala bidang jika tidak ingin dikucilkan dalam pergaulan internasional.

Lihat saja, bagaimana kebutuhan peserta didik yang direduksi melalui Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP) dan silabus yang sudah dibakukan oleh pihak dinas. Sehingga guru seakan hanya menjadi pelayan alat kekuasaan negara tanpa melihat sisi humanis seorang guru, yaitu sebagai pendidik. Apalagi aturan kurikulum tersebut didukung dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005. “Makanya saat ini, guru di Indonesia banyak yang bermental layaknya pelayan ,” kata Jumono, salah satu Kelompok Orang Tua Peduli Pendidikan. Hal ini menyebabkan otoritas guru tak lagi menjadi kekuatan dalam memberikan makna pendidikan kepada peserta didik. Sehingga banyak guru lebih semangat untuk membuka jaringan bisnis ketimbang mendidik siswa di sekolah. Keresahan ini nyata dirasakan oleh Heru, salah satu guru di SD IKIP 12 Pagi. Menurutnya, desentralisasi pendidikan membuat guru mencari celah untuk mengais sesuap

Aksi panggung Marjinal

nasi melalui kursus-kursus atau bimbingan belajar (Bimbel) di luar jam pelajaran sekolah. Dan meningkatkan biaya produksi orang tua untuk membuat anaknya lebih pintar. “Jelas, ini akibat tidak efektifnya guru di dalam institusi sekolah,” tegas Heru dalam diskusi ‘Kamisan’ tersebut. Idealnya, ketika ada sesuatu yang menyimpang dalam penerapan proses belajar dan mengajar di sekolah. Seharusnya, guru wajib menentang dan merubahnya. Sayangnya, guru yang memiliki keberanian sangat minim jumlahnya. Sehingga tak banyak guru yang membicarakan masalah siswa ketika jam istirahat sekolah berlangsung. “Sangat sedikit obrolan soal anak murid, dan perkembangan mereka di dalam kelas,” kata Galis Remina, guru bahasa Jepang di SMAN 32 Jakarta yang hadir dalam diskusi ini. Terlebih, dalam Program pengiriman tenaga pengajar ke daerah terpencil yang telah dilakukan Dirjen Dikti dan Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) milik Anies Baswedan

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

di Arena Prestasi

juga menjadi manifestasi berikutnya dari kegagalan penerapan desentralisasi pendidikan. Pasalnya, selama guru belum memiliki otoritas dalam institusi pendidikan maka mustahil desentralisasi pendidikan bisa berjalan maksimal. Menurut Jimmy F. Paat, anggota Koalisi Pendidikan, situasi diatas hanya akan menciptakan pengiriman guru ke daerah imej inferioritas terhadap masyarakat pedalaman. Padahal makna pendidikan sesungguhnya ialah membentuk sebuah kebudayaan. Sehingga dalam desentralisasi hanya menjadi salah satu jalan basa-basi dalam konsep pemerataan guru di daerah. “Apa yang akan terjadi bila materi kebutuhan yang diperuntukan untuk masyarakat kota, justru dipaksakan kepada masyarakat desa untuk menerimanya? Pasti, nantinya akan kembali memunculkan masalah baru dalam pendidikan nasional,” tegas Jimmy yang juga dosen Jurusan Bahasa Perancis UNJ.


gagasan l’exploitation de I’home par ‘i home Penulis: SATRIO PRIYO UTOMO Tidak mudah sebenarnya menentukan apakah penggunaan tenaga kerja manusia dalam suatu pekerjaan itu bisa dibilang bagian dari ekploitasi atau bukan. Tapi yang jelas, pemilik Indofood Sudono Salim menegaskan bila menggunakan tenaga manusia, asalkan dibayar bukan eksploitasi namanya. Tentu benar kata Bang Napi, pemerasan terjadi bukan karena ada niat dari pelakunya. Tapi karena ada kesempatan. Mendapatkan tenaga muda produktif itu anugerah bagi perusahaan. Dalam kasus Indonesia sendiri, magang diperkenalkan khususnya untuk pekerjaan yang bersifat clerical work, seperti kerja kantor atau administrasi. Tapi kini, hampir di tiap sektor. Inilah yang dipraktikkan oleh pemerintahan kolonial Belanda sewaktu berada di tanah Hindia. Pada zaman kolonial Belanda, untuk menjadi ambtenaar harus magang dalam waktu beberapa bulan ke depan. Hal ini berguna demi memantapkan pekerjaannya. Selanjutnya, tinggal masalah menunggu besluit, dari kantor pusat untuk mempertegas status kepegawaiannya. Status ini tidak hanya berharga di kantor,

tapi juga menjadi alat pendongkrak status sosial. Hal yang juga ditemukan dalam magang ialah, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah tempat yang tersedia di perusahaan. Kondisi seperti ini merupakan keuntungan bagi perusahaan. Perusahaan dapat menggunakannya sebagai tenaga bantu terus-menerus. Nantinya, setelah dilatih, pekerjaan mereka akan sama berat dengan pegawai tetap, tetapi gaji mereka tidak perlu sebesar pegawai tetap. Hal ini dikarenakan situasi dilematis yang mesti diterima fresh graduated. Sebab jika tidak bekerja, ratusan ribu manusia masih siap menggantikannya. Seorang sosiolog industri bernama Parker berpendapat, dunia bisnis mempunyai kecenderungan mempengaruhi sektor pendidikan. Agar menyusun dan menerapkan kurikulum serta materi pelajaran dan kuliah, agar sesuai dengan kebutuhan industri. Mahasiswa harus disiapkan bekerja dan didesain untuk dapat menjalani metode pendidikan yang memungkinkan mereka menjadi tenaga siap pakai setelah lulus, dan terjebak di lembah bisnis.

Jangan heran, dalam materi pelajaran ditekankan atas dasar technical skill yang akan diimplementasikan secara nyata nanti di perusahaan yang bergerak di bidang produksi atau jasa. Karena itu, para manajer di perusahaan lebih menyukai hasil pendidikan praktis, yang tidak terlalu teoritis apalagi falsafati. Hal tersebut pernah diterapkan oleh kaum hartawan eropa, pada periode abad 18-20 yang kita sebut imperialisme dan kolonialisme. Sejarah Indonesia: Penghisapan dan Pemerasan Proklamasi 1945 punya tujuan yang kongkret. Adalah jalan pembebas bagi Indonesia untuk keluar dari kungkungan imperialisme dan kolonialisme. Ternyata hal itu jauh dari kenyataan. Nyatanya, proklamasi 1945 hari ini belum mampu mengikut-sertakan kedaulatan bagi segenap bangsa Indonesia. Cita-cita luhur founding father hanya menjadi isapan jempol. Masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sesuai dengan amanat UUD 45, menjadi pengantar dongeng yang membuat kita tertidur pulas

dalam ketidaksadaran kita masing-masing. Apa yang berlaku justru menunjukkan kemiskinan di mana-mana, pembodohan terus terjadi, suara lantang yang dibungkam. Serta sekian kasus penindasan, karena begitu banyaknya membuat kita tak mampu untuk mengungkapkan itu satu persatu. Wajar jika kemudian eksistensi kita sebagai sebuah bangsa menjadi terancam, karenanya kemudian mengakibatkan sekian ketidakpuasan menjelma menjadi sebuah pemberontakan. Aceh, Papua, dan Maluku barangkali menjadi contoh akumulasi perasaan tidak puas tersebut. Patahan sejarah terbesar Indonesia, membuktikan sampai pasca jatuhnya kekuasaan Orba pada tahun 1998, negara masih tetap bahkan makin kuat mewakili kepentingan elit-elit yang berkuasa. Didukung oleh intelektual pragmatis-oportunis serta parlemen pasca pemilu 1999. Negara justru semakin kuat merepresentasikan kepentingan kaum berkuasa. Berbagai kebijakan yang anti rakyat dan pro modal serta kebijakan pertanian dan pertana-

han yang juga anti rakyat menunjukkan hal tersebut. Pelbagai program liberalisasi yang didorong oleh IMF, WB, maupun Asian Development Bank terus dilaksanakan. Bahkan reformasi 1998 tidak membawa perubahan apapun, selain memperjelas bahwa Indonesia tidak berdaulat atas tanah, air, dan udaranya. Oleh karena itu, mimpi akan Indonesia yang adil dan makmur sesuai cita-cita konstitusi tidak akan pernah terjadi. Jika kaum intelektual tidak bangun dan mengerjakannya. Melihat hal tersebut sudah sepatutnya kita kembali memutar ingatan kolektif di tahun 1908 dan 1928 guna menyatukan semangat perjuangan bersama melawan penindasan— kala itu direpresentasikan oleh kolonialisme Belanda—dalam perjuangan meraih mimpi akan kebebasan berdaulat atas negeri ini. Lewat berbagai macam cara yang ditempuh, baik itu dengan cara lunak maupun keras. Lewat perundingan maupun perang gerilya, mereka menunjukkan contoh bahu-membahu mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

Demonstrasi dan Ke–maha-siswaan Penulis: JAYA MENGGALA

Maraknya aksi massa baik yang dilakukan mahasiswa, buruh dan elemen masyarakat lainnya saat ini mengingatkan pemerintah bahwa kekuatan masyarakat harus diperhitungkan. Massa yang turun kejalan meneriakan satu suara yaitu “gagalkan rencana kenaikan harga bbm”. Aksi yang merespon rencana pemerintah yang akan menaikan harga bbm per 1 April ini sudah merata di seluruh wilayah Indonesia sejak pertama pemerintah menggulirkan isu ini. Sebelum aksi turun ke jalan, massa terutama mahasiswa melakukan aksi dengan cara dialog dan rekonsiliasi yang dilakukan dengan pihak terkait, dalam hal ini adalah pemerintah, BP Migas dan anggota dewan. Namun hingga minggu terakhir menjelang kenaikan harga bbm, pemerintah tetap dengan pendiriannya menaikan harga bbm. Menindaklanjuti sikap keras

kepala pemerintah, masyarakat yang diwakili mahasiswa, buruh dan elemen lainnya mulai bergerak melakukan aksi turun ke jalan. Aksi yang direncanakan damai, tak jarang berakhir ricuh. Hal inilah yang mengingatkan kita dengan aksi massa tahun 66 dan 98 saat menjatuhkan rezim Soekarno dan Soeharto. Gerakan-gerakan ini sudah teridentifikasi menuju arah pergerakan massa seperti itu, bahkan Presiden Republik Indonesia, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan gerakan ini sebagai gerakan aneh yang berupaya menjatuhkan rezimnya. Mahasiswa sebagai pengendali pemerintah ini dituding melakukan aksi karena ada yang menunggangi. Menurut anggota dewan (fraksi pendukung pemerintah) mahasiswa ditunggangi salahsatu parpol yang sekarang berseberangan dengan pemerintah (fraksi oposisi), hal ini ditunjukan dengan

diturunkannya kader partai tersebut untuk melakukan aksi turun ke jalan bergabung dengan elemen masyarakat lainnya termasuk mahasiswa. Selain itu pemerintah menilai aksi mahasiswa ini sudah diluar batas kewajaran, seperti terjadi di depan lobi gedung Nusantara III, beberapa mahasiswa berhasil masuk dan menurunkan foto SBY yang terpampang di lobi tersebut dan alhasil foto itu jatuh dan pecah. Begitu juga yang terjadi di Medan, Mahasiswa dan warga setempat melakukan aksi blokir bandara Polonia yang mengakibatkan aktifitas bandara tersebut lumpuh selama beberapa jam. Pada aksi tersebut polisi dan massa terlibat bentrok. Aksi-aksi tersebut belum seberapa ketimbang mahasiswa Universitas Hassanudin Makassar pada tanggal 21 Maret 2012, mahasiswa memblokir jalan, membakar truk serta menjarah LPG yang kebetulan lewat saat

mereka aksi. Puncaknya terjadi pada 30 Maret 2012, massa mengepung gedung DPR saat anggota dewan melakukan rapat paripurna membahas pasal 7 ayat 6 dan pasal 7 ayat 6a tentang kenaikan bbm. Dalam aksi itu, massa menjebol empat pagar gedung DPR dan merusak beberapa fasilitas yang berada disekitarnya. Polisi yang awalnya diam kembali bersikap represif dan memukul mundur massa dengan kembang api, gas air mata dan meriam air. Bersamaan dengan aksi di depan gedung DPR, di Salemba, Medan, Makasar, Ambon, Ternate juga tempattempat lainnya di Indonesia Melakukan aksi yang sebagian besar berakhir bentrok. Aksi-aksi tersebut mencoreng nama baik mahasiswa, pemerintah dan aparat menilai mahasiswa tak layaknya seperti elemen massa lain yang tidak terpelajar. Mahasiswa bukan lagi massa yang melakukan aksi

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

dengan mengedepankan intelektualnya. Penilaian aparat dan pemerintah ada benarnya, namun pemerintah harus mengetahui, mahasiswa dapat kita umpamakan sebagai semut yang sedang berkumpul, jika tidak diusik maka tidak akan menggigit. Hal inilah yang menurut mahasiswa merupakan upaya pemerintah melemahkan aksi mahasiswa. Mahasiswa menjamin, jika tuntutan mereka dipenuhi, atau minimal saat melakukan aksi mereka dapat perlakuan yang manusiawi dari aparat maka kerusuhan dapat dihindari. Namun jika sikap pemerintah dan aparat seperti ini maka kejadian tahun 66 dan 98 akan terulang ditahun 2012. Mahasiswa akan menjadi garda terdepan untuk membela dan memperjuangkan hak rakyat. Hidup mahasiswa.

11


Misteri Korupsi UNJ

Usiln

yaCra

yon (T ransf

orma

si)

Penulis: HENDRO RAHMANDANI

“Penandatangan ini merupakan instruksi dari rektor karena kampus sedang dalam masa transisi. Dan saya harus mengikuti instruksi tersebut,” kata Fakhrudin selaku PR III UNJ, tersangka dugaan kasus korupsi pengadaan alat laboratorium. Entah karena mimpi apa malamnya, 29 November 2011 lalu, Fakhrudin Arbah, Pembantu Rektor III UNJ ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat laboratorium UNJ, tahun anggaran 2010. Tak hanya Fakhrudin, Tri Mulyono, yang juga dosen Teknik Sipil Fakultas Teknik UNJ mendapat predikat yang sama. Keduanya dijadikan tersangka dengan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) nomor 161/F.2/Fd.1/11/2011 dan Sprindik Nomor 162/F.2/ Fd.1/11/2011. Fakhrudin dan Tri menjadi tersangka dikarenakan keduanya menjabat sebagai penanggung jawab dalam proyek pengadaan alat-alat laboratorium UNJ, dimana Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dijabat oleh Fakhrudin dan Tri Mulyono selaku Ketua Panitia Lelang. “Saya hanya mendapat instruksi dari Rektor untuk menjabat sebagai PPK, dan itu harus saya ikuti,” kata Fakhrudin saat dikonfirmasi Transformasi, 16 Februari lalu di ruangan kerjanya. “Soal isi dan ketentuan proyek saya tidak tahu menahu.” Entah benar atau tidak, pernyataan Fakhrudin itu setidaknya harus ditelusuri lebih jauh. Namun, jika melongok ke belakang proyek ini memang masuk dalam tahun anggaran 2010, dimana saat itu di pucuk pimpinan rektorat tengah mengalami perombakan. Jabatan Pembantu Rektor II (PR II) yang sebelumnya digawangi Syarifuddin dari Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), dialihkan kepada Suryadi yang berasal dari Fakultas Ilmu Pendidikan. Nah, dari pengakuan Fakhrudin, di masa transisi itulah dirinya diserahi tanggung jawab sebagai PPK dalam proyek pengadaan alat laboratorium. Bi-

12

asanya, jabatan PPK memang dipegang oleh PR II yang wewenangnya mengelola keuangan dan proyek pembangunan. “Karena masa transisi, saya diserahi tanggung jawab sebagai PPK. Tujuan saya baik agar proyeknya berjalan dan hanya menuruti instruksi,” ujar Fakhrudin. Senada dengan Fakhrudin, Rektor UNJ Bedjo Sujanto membenarkan kalau penunjukan PR III itu memang atas kehendaknya. Pasalnya, selain dalam masa transisi kepemimpinan PR II, Bedjo punya alasan tersendiri memilih Fakhrudin, ”Dia orangnya baik dan jujur. Karena itu saya memberikan kewenangan itu,” jelas Bedjo saat deklarasi Hari Anti Korupsi di UNJ. Sebelum memilih Fakhrudin, lanjut Bedjo, sesuai prosedur yang berlaku dirinya mengaku sudah mengajukan Syarifuddin (saat itu masih menjabat PR II) kepada Kemdiknas (sekarang Kemdikbud) untuk dijadikan PPK dalam proyek ini. Namun, kata Fakhrudin, pengajuan itu ditolak Kemdiknas dengan alasan Syarifuddin sudah terlalu banyak menjabat PPK dalam proyek-proyek di UNJ. Sedangkan Suryadi, yang juga pernah diajukan oleh Bedjo untuk menjabat PPK menolak, karena tak tahu menahu perihal proyek pengadaan itu. Akhirnya, pilihan pun jatuh pada Fakhrudin. Namun, dari salinan dokumen yang didapatkan Transformasi dari Kejagung, terdapat banyak kejanggalan perihal penunjukan Fakhrudin sebagai PPK. Sebelum PPK ditunjuk oleh rektor, Bedjo sudah membentuk terlebih dahulu panitia pengadaan barang atau jasa yang bersumber pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2010. Panitia yang diangkat melalui Surat Keputusan (SK) Rektor selaku KPA Nomor 11.B/ SP/2010 pada tanggal 5 Januari 2010 ini terdiri dari lima orang pegawai UNJ, yakni Tri Mulyono (ketua merangkap anggota), Ifaturrohiyah Yusuf (sekretaris merangkap anggota), Suwandi (anggota), Andi Irawan Sulistyo (anggota), dan M Abbud Robiudin (anggota). Tri sendiri belakangan menjadi tersangka dalam kasus ini. Seharusnya, panitia pengadaan barang dibentuk oleh PPK,

b u k a n oleh rektor. Tapi, PPK belum ditunjuk oleh Kementerian Keuangan, rektor sudah melangkah lebih jauh dengan membentuk panitia pengadaan, sesuai dengan salinan dokumen yang didapat Transformasi. Sedangkan SK Kemendiknas yang mengatasnamakan Dodi Nandika (Sekjen Kemendiknas) Nomor 5138/A.A3/KU/2010 tentang pengangkatan pejabat perbendaharaan atau pengelola keuangan (PPK) baru muncul pada tanggal 21 Januari 2010. Dari dokumen itu terungkap, ada jeda waktu yang cukup panjang antara SK Rektor yang mengangkat panitia dengan Kemdiknas yang menunjuk PPK, sekitar 16 hari atau 2 minggu lebih. Dalam dokumen pengangkatan pejabat pengelola keuangan, tertera nama Fakhrudin Arbah dan Rita Aryani. Indikasi permainan proyek pun merebak. Tampaknya, orang-orang yang akan bermain dalam proyek ini sudah dipersiapkan jauh hari, tanpa Fakhrudin sebagai PPK mengetahuinya. Dugaan manipulasi ini serta merta mendapat tanggapan dari Febri Hendri, Koordinator Divisi monitoring Pelayanan publik Indonesian Corruption Watch (ICW), yang mengatakan tak adanya transparansi di lembaga negara khususnya perguruan tinggi membuat celah korupsi terbuka. “Nantinya akan terkuak semua, bukan hanya UNJ yang terkena pusaran korupsi PTN. Saat ini sedang didalami KPK,” tegasnya. Pusaran korupsi PTN seperti yang diutarakan oleh aktivis ICW Febri Hendri bukanlah isapan jempol. Bahkan, UNJ diduga masuk dalam jaringan mega korupsi terdakwa M.Nazaruddin. Dalam beberapa persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Mindo Rosalina, terdakwa kasus suap wisma atlet Palembang mengaku terlibat

dalam proyek pengadaan barang di UNJ. Dalam proyek pengadaan barang di UNJ, diketahui pemenang tendernya PT Marell Mandiri yang berkantor di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Hanya saja, dalam praktiknya PT Marell menyerahkan pengerjaan proyek pengadaan itu kepada PT Anugrah Nusantara yang masih satu konsorsium dengan PT Permai Grup milik terdakwa kasus suap wisma atlet, M. Nazaruddin. Nazaruddin sendiri saat ini tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal keterlibatannya dalam proyek-proyek di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ada indikasi, proyek pengadaan barang di UNJ juga mainan dari Nazaruddin. Hasil pantauan Transformasi yang menyambangi kantor PT Marell, kondisinya tampak kosong melompong. T e r libatnya Mindo Ro-

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

salina dalam proyek korupsi di UNJ mengesankan ada pihak-pihak lain yang terlibat di luar para tersangka. Noor Rochmad, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung mengatakan besar kemungkinan banyak terlibat dalam kasus ini. Namun menurutnya, secara hukum masih harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu. “Pastinya, saat ini secara teknis PPK serta ketua panitia lelang tetap harus bertanggung jawab,” ujar Noor yang saat ini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Sementara itu, Bedjo Sujanto (Rektor UNJ) masih belum mau di wawancara ketika Transformasi ingin mengkonfirmasi pendapatan fee terkait kasus dugaan korupsi ini meski surat permohonan sudah diajukan ke kantornya.


GURITA Korupsi PTN Penulis: KAHFI

Kasus Rumit Kasus korupsi yang melibatkan PTN memang pelik. Pasalnya, korupsi ini melibatkan Nazaruddin yang tentunya juga melibatkan banyak orang penting sehingga sulit untuk diungkap. Ambil contoh, kasus yang melibatkan Nazaruddin saja bukan hanya sebatas wisma atlet, tapi juga Hambalang dan proyekproyek di Kemdikbud. Dugaan banyak orang penting yang terlibat membuat kasus-kasus terkait dengan Nazaruddin berjalan lambat dan bertele-tele. Tak banyak pihak yang berani

i) as rm sfo an (Tr on ray

Hari Jumat, tanggal 30 November 2011 lalu itu bisa disebut sebagai Jumat Kelabu di UNJ. Di saat awan mendung dan hujan rintik-rintik, puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan BEM UNJ menggelar demonstrasi mendesak agar Fakhrudin Arbah, pejabat Pembantu Rektor III (PR III) UNJ dan Tri Mulyono, dosen Fakultas Teknik dipecat dari jabatannya. Sehari sebelumnya, keduanya ditetapkan sebagai tersangka korupsi Proyek Pengadaan Peralatan Penunjang Laboratorium Kemdikbud oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Beberapa hari selepas aksi itu, pihak rektorat merespon protes BEM UNJ dengan menggelar dialog sivitas, dimana BEM UNJ tampil sebagai mediator antara pihak rektorat dengan mahasiswa. Dialog itu merupakan klarifikasi dari rektorat terkait kasus korupsi yang menjerat dua orang pejabat di UNJ. Dalam penjelasannya dihadapan puluhan mahasiswa, Rektor UNJ Bedjo Sujanto mengatakan pihak kampus belum menerima surat tembusan dari Kejagung soal penetapan tersangka keduanya. Fakhrudin dan Tri sendiri tidak nampak hadir dalam acara itu. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi (P2T) yang mencakup pengadaan barang, kata Bedjo, dinikmati hampir seluruh Perguruan Tingi Negeri (PTN) di Indonesia. “Ada sekitar 26 kampus, tapi mengapa orang UNJ yang jadi tersangka?” ujarnya. Ia juga menyimpulkan bahwa PTN tengah kena getah ulah Nazaruddin, yang ternyata bermain dalam tender proyekproyek di Kemdikbud. Dalam beberapa kali persidangan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, terungkap kalau anak perusahaan milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu menjadi rekanan pengadaan barang di berbagai PTN. Berangkat dari keterangan itu, Transformasi melakukan penelusuran hingga mendapatkan Amar Putusan Pengadilan Jakarta Pusat dengan terdakwa Mindo Rosalina Manulang, anak buah Nazaruddin di Grup Permai. Di berkas dokumen itu, tercantum bukti transaksi keuangan yang dilakukan Mindo. Senada dengan ke-

laboratorium farmasi di Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam proyek tersebut, tercatat juga nama PT Sean Hulbert Jaya sebagai pemenang tender sebesar Rp. 14,5 miliar. Sumber Transformasi di Kejagung RI membenarkan korupsi proyek pengadaan peralatan penunjang laboratorium dari APBN 2010 tidak hanya melibatkan UNJ saja, tapi juga kampus lain. “Mengapa UNJ yang terjerat, soalnya baru UNJ yang bisa dibuktikan korupsinya, lainnya belum,” katanya kepada Transformasi. Sumber ini juga menambahkan, korupsi di PTN akan terbongkar bila ada keberanian dari para tersangka. “Mindo harus bicara soal pengaturan pemenang proyek. Tersangka dari UNJ juga harus bicara yang sebenarnya siapa pengatur sebenarnya,” terangnya.

aC ilny Us

Dunia pendidikan pun tak luput dari noda (Nazaruddin)

terangan Bedjo, nama-nama PTN lain bergantian mengisi keterangan transaksi Mindo. Dari dokumen tersebut, selain UNJ beberapa PTN ternama tercantum sebagai pihak rekanan diantaranya, Institut Pertanian Bogor, Universitas Soedirman, Universitas Sumatera Utara, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, dan Universitas Sriwijaya. Hanya saja, dalam beberapa kali persidangan, nama-nama kampus itu hanya disebutkan tanpa ada kelanjutan penyidikan seperti kasus UNJ. Dokumen itu juga menjelaskan, PT Marrel Mandiri yang memenangi tender pengadaan barang di UNJ ternyata salah satu anak perusahaan milik M. Nazaruddin. Bukan hanya PT Marrel Mandiri yang bermain dalam proyek di PTN, tapi juga anak perusahaan lainnya seperti PT Alfindo Nuratama, PT Darmakusumah, PT Nuratindo Bangun Perkasa, PT Kolam Intan Prima, PT Sean Hulbeart Jaya, dan PT Borisdo Jaya. Semua perusahaan ini tercatat dalam bukti pengeluaran serta dokumen pengadaan barang yang dimiliki Mindo Rosalina. Amar putusan itupun mencantumkan catatan transaksi PT Marrel Mandiri pada tanggal 19 November 2010 yang mengirimkan uang kepada PT Dynatech untuk pembayaran termin II proyek UNJ Tahun Anggaran 2010, sebesar Rp. 213.920.784,Sementara catatan lainnya merekam adanya keterlibatan pembiayaan PT Marrel Mandiri dengan proyek pengadaan

berkomentar. Kalaupun ada, hanya beberapa dan tak sampai menyentuh substansi dari masalah. Seperti yang diungkapkan oleh Deddy Gumelar dari Komisi X DPR, baginya dugaan korupsi PTN itu murni masalah moral pribadi pimpinan kampus. “Korupsi itu kemauan mereka,” katanya kepada Transformasi di ruang rapat Komisi X DPR RI. Benarkah ini hanya soal moral? Fakhrudin, PR III UNJ yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dalam penuturannya mengaku sama sekali tak berfirasat buruk terhadap proyek pengadaan itu. Sebagai bawahan, ia mengaku hanya menjalankan perintah atasan. “Saya hanya tanda tangan,” terangnya menjelaskan fungsi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang menyeretnya ke persoalan hukum. Beberapa kali ditemui Transformasi, nampak raut wajah Fakhrudin begitu murung. Selama ini, ia memang tak pernah berurusan dengan tetek proyek di UNJ. Sebagai PR III, Fakhrudin tiap hari-

Dokumen Putusan Mindo Rosalina terkait kasus dugaan korupsi UNJ atas pengadaan alat-alat laboratorium 2010

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

nya hanya mengurusi bidang yang terkait dengan mahasiswa. Entah kenapa, kali ini dia bisa terjerembab dalam pengurusan proyek. “Saya juga bingung. Seingat saya, saat itu masa transisi pergantian PR II, jadi harus ada yang bertanggung jawab. Dan saya dipilih,” akunya. Dari penelusuran Transformasi, oleh beberapa dosen di UNJ, Fakhrudin memang dikenal sebagai pribadi yang ramah dan tak neko-neko. “Saya kenal beliau sejak pertama mengajar di UNJ. Setahu saya orangnya nggak pernah mau ngurusin masalah proyek. Ia selalu menolak. Tapi tiba-tiba ada berita seperti ini. Cukup mengagetkan,” ujar seorang dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan, tempat Fakhrudin mengajar. Ucok Sky Khadafy, Kepala Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai korupsi di PTN harus dilihat berjejaring. “PPK dan Ketua Panitia Pengadaan Barang di tingkat PTN hanyalah rantai terlemah di jaringan korupsi pendidikan itu,” jelasnya. “Apapun regulasinya, tender bisa dipermainkan sehingga pemenang sudah ditentukan jauh sebelum tender.” Tender sebagai praktik sehat di Indonesia, katanya, tidak pernah ada di Indonesia. Namun, Deddy anggota DPR dari Fraksi PDI-P menampik pendapat Ucok. Menurutnya, korupsi yang membelit PTN merupakan kecerobohan Kemdikbud dan Inspektorat Jenderal (Itjen) yang ia sebut tak becus mengawasi bawahan. “Berarti (Itjen) disfungsi,” sergah pria yang beken dipanggil Miing ini.

13


opini

MENDIDIK PEMIMPIN MENTAL TEMPE

si)

orma

ransf yon (T

yaCra

Usiln

Dr. Saifur Rohman Pengajar Program Doktor Universitas Negeri Jakarta Demonstrasi yang marak menjelang kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) pada akhir Maret 2012 menunjukkan adanya masalah serius. Teori psikologi klinis menunjukkan dua mekanisme pemecahan masalah, yakni langkah yang terpusat pada masalah itu sendiri dan langkah yang terpusat pada pemecahan. Langkah pertama akan menghasilkan efek ketakutan, tidak nyaman, dan tertekan. Langkah kedua menghasilkan tahapan-tahapan penyelesaian dan menghasilkan ketenangan. Berdasarkan kerangka itu, pemerintah tampak jelas terfokus pada masalah sehingga langkahnya menghasilkan kegalauan dan ketakutan. Di Indonesia, pemimpin yang tidak memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan dan berlindung di balik payung kekuatan disebut dengan pemimpin mental tempe. Ir Soekarno (1964) menjelaskan, model pemimpin ini tidak memiliki visi yang jelas sehingga tidak memiliki keberanian bertahan dalam proses demokratisasi. Pandangan Ary Suta (2011), pemimpin kita tidak pernah lapang dada. Keberanian mengatasi masalah berganti dengan ketakutan dan berusaha keras mencari perlindungan di balik segala tameng yang bisa menenangkannya. Pada 21 Juni 2011, yang berarti 41 tahun setelah kematian Ir Soekarno, Indonesia cukuplah digambarkan melalui seloka yang dibuat warga Malaysia belum lama berselang, seperti terbaca berikut ini: Harimau mati meninggalkan belang. manusia mati meninggalkan nama. Sukarno mati tinggalkan taik? (rakyat indon mental tempe)* Kita boleh saja masgul bahkan marah membaca pernyataan itu, tetapi barangkali hanya melalui kalimat itulah kita bisa becermin. Setelah hampir setengah abad ditinggal oleh pendiri bangsa ini, apa sesung-

14

guhnya warisan yang telah dan akan diteruskan? Bangsa yang Unggul Membaca konsep-konsep Indonesia adalah membaca seraup gagasan pribadi Soekarno tentang hadirnya sebuah bangsa yang merdeka. Pentingnya gagasan Soekarno pada masa sekarang adalah sebagai titik pijak untuk merefleksikan apa yang telah dan akan dilakukan para penyelenggara negara yang mengatasnamakan pembangunan bangsa. Manusia Indonesia masa kini lembek oleh karena kuatnya orientasi-orientasi material ketimbang idealitas kebangsaan. Mereka yang lemah mental itu bisa disebut dengan masyarakat mental tempe. Dalam bahasa Soekarno, mental tempe berarti bahwa masyarakat Indonesia tidak berani “menyelam ke dasar lautan untuk menemukan mutiara” (Sumber: Di Bawah Bendera Revolusi, 1964: 57). Pada masa feodal, tempe adalah sajian terhormat dalam jamuan resmi kerajaan. Pada masa kolonial, makna tempe mengalami arti peyoratif sebagai identitas kaum terjajah. Sebab, si penjajah tidak makan tempe, tapi roti. Dalam konteks pemaknaan antropologis, roti lebih tinggi ketimbang tempe. Dengan begitu makanan itu menemukan identitas baru dalam konteks sosial. Pemakan roti telah terdistribusi dalam struktur sosial yang lebih terhormat ketimbang pemakan tempe. Makna peyoratif itu berlanjut pada masa kemerdekaan. Soekarno menyusun gugus frasa “mental tempe” untuk mendapatkan makna baru yang lebih mendalam. Mental tempe bila disederhanakan adalah lemahnya daya tahan untuk mencapai target. Masyarakat kita telah menderita serentetan kejadian yang menempatkan derajat sosial kita tidak lebih sebagai masyarakat terjajah yang bermental tempe. Visi sebagai bangsa yang unggul sebagaimana dicita-citakan Soekarno mengabur.

Kaburnya Visi Kebangsaan Jajak pendapat yang dilakukan Kompas (23 Mei 2011) membuktikan adanya disorientasi pada masyarakat kita tentang pembangunan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan 56,7 persen responden mengaku tidak paham dengan arah pembangunan ekonomi Indonesia. Di bidang hukum, sebesar 60,0 persen responden mengaku tidak tahu orientasi penegakan hukum dan HAM. Persentase tertinggi terdapat pada ketidaktahuan responden terhadap arah pembangunan Indonesia, yakni 63,3 persen. Hilangnya motivasi membangun itu membawa implikasi terhadap tumpulnya semangat kebangsaan. Sekitar 76,7 persen responden tidak percaya bahwa Indonesia bakal menjadi nomer satu di kawasan Asia Tenggara. Bukti-bukti empiris mendukung hasil penelitian itu. Asumsi-asumsi ekonomi makro selama ini selalu berpijak pada pertumbuhan. Setelah pertumbuhan ekonomi anjlok dari 6 persen menjadi 4,5 persen pada 2009, Pemerintah berupaya mengejar pertumbuhan ekonomi pada 2010 hingga 5,5 persen, 2011 sebesar 6,5 persen, dan diproyeksikan pada 2012 mendekati angka 6,9 persen. Angka-angka tersebut memberikan pesan bahwa ekonomi didesain untuk mencapai pertumbuhan, bukan pemerataan. Karena itu visi Komite Ekonomi Nasional 2010 menjadi utopia bila disandingkan dengan pesimisme masyarakat terhadap pembangunan. Rasa bangga sebagai bangsa meluntur. Kita kembali berkubang dengan trauma lama sebagai bangsa bermental tempe.

Segala daya upaya menegakkan martabat sebagai bangsa jatuh kembali menjadi bangsa yang terhina. Sisanya kita hanya berdiri sebagai bangsa yang melihat kekayaan alam kita telah dikuasai bangsa lain. Ketika kita bangun pagi kita akan bekerja sesuai dengan petunjuk dari pemilik asing di tanah ini. Itulah bentuk lain dari penjajahan. Jadi, kini kita tahu, ada dua warisan Soekarno. Pertama adalah visi sebagai bangsa yang unggul dan kedua adalah ketakutannya akan hadir sebagai sebuah bangsa kuli bermental tempe. Kita, ya kita bersama, bukan mewujudkan visinya, melainkan ketakutannya. Penderita Phobia Kenyataan sebagai bangsa yang sudah atau akan bermental tempe kian diperparah dengan kepemimpinan yang berjalan dalam dua fobia. Pertama, fobia terhadap dialog kritis terhadap

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

keputusankeputusan kepemimpinan. Ketakutan meretas jalan yang rasional adalah refleksi dari mental tempe. Kedua, fobia belajar. Karena takut menyelam dalam wacana rasio publik, maka pemimpin tidak berani belajar secara terbuka di dalam iklim demokrasi partisipatif. Lazimnya, tuntutan adanya dialog yang berbasis pada kesetaraan adalah bentuk lain dari mekanisme yang ditempuh untuk menemukan rasionalitas publik yang paling memadai. Tujuannya, memecahkan persoalan secara organisasional. Tetapi ketika ketika ketakutan belajar itu menggejala, maka dialog tidak akan terlaksana. Terapi terhadap penderita fobia ini adalah melalui pemahaman realitas. Kenyataan yang tidak bisa ditampik, mekanisme pemilihan pemimpin sebelumnya secara sah menjadikan SBY sebagai nahkoda untuk mengarahkan kapal besar ini. Tugasnya jelas, mewujudkan visi melalui tindakan strategis dan rasional. Jadi langkahnya bukanlah membentuk dan mengevaluasi aliansi kekuatan agar keputusan-keputusan strategisnya tidak “diganggu” oleh para anggota. Jika diterus-teruskan, kepemimpinan model ini hanya sibuk mencari kartu garansi ganda hingga akhir periode 2009-2014. Ketakutan kehilangan kekuasaan lebih besar ketimbang keberanian berkorban untuk bangsa ini. Kita tidak bisa membanggakan pemimpin mental tempe. * (Sumber: http://m.topix. com/forum/world/indonesia/ TJ3MN3C6TGQM3Q7CS).


opini

PROGRAM SM3T SARJANA MENGAJAR DI DAERAH TERDEPAN,TERLUAR,TERTINGGAL Dr Murnaria Manalu Guru SMP Negeri 216 Jakarta Pusat

UsilnyaCrayon (Transformasi)

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luasnya 5.193.252 km2, dan wilayah perairan Âą 3.288.683 km2, serta daratan Âą 1.904.569 km2. Secara geografis kita memiliki posisi strategis dengan jumlah Âą 17.000 pulau, dan sosiokultural yang sangat heterogen. Tentu kondisi ini membuat peyelenggaraan pendidikan mempunyai banyak permasalahan, terutama pada saudara kita yang berdomisili di daerah yang tergolong terdepan, terluar, dan tertinggal (daerah 3T) termasuk daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga kita. Perhatian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terhadap daerah 3T perlu didukung, mengingat daerah ini memiliki peran strategis guna memperkokoh ketahanan nasional dan keutuhan NKRI. Permasalahan penyelenggaraan pendidikan, di daerah 3T yaitu: kekurangan jumlah pendidik (Shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan adalah angka putus sekolah juga masih relatif tinggi, sementara angka partisipasi sekolah masih rendah. Kebijakan Kemdikbud dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T, melalui Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia, yaitu: (1) Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan Kewenangan Tambahan (PPGT), (2) Program Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM3T), (3) Program Kuliah Kerja Nyata di Daerah 3T dan PPGT (KKN-3T PPGT), (4) Program Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif), (5) Program S-1 Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan (S-1 KKT). Program- program tersebut merupakan sebagai jawaban untuk mengatasi berbagai permasalahan pendidikan di daerah 3T. (www.dikti.go.id) Dan penulis menyoroti Program SM-3T yang ditujukan kepada para Sarjana Pendidikan yang belum bertugas sebagai guru dengan lama satu tahun bertugas didaerah 3 T

sebagai penyiapan pendidik profesional. Tujuan dari program SM-3T adalah: 1) Membantu mengatasi permasalahan kekurangan tenaga pendidik, 2) Memberikan pe-ngalaman pengabdian kepada sarjana pendidikan sehingga terbentuk sikap profesional, cinta tanah air, bela negara, peduli, empati, terampil memecahkan masalah kependidikan, dan bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa, serta memiliki jiwa ketahanmalangan dalam mengembangkan pendidikan pada daerah tersebut. 3) Menyiapkan calon pendidik yang memiliki jiwa pengabdian sebagai pendidik profesional pada daerah 3T. 4) Mempersiapkan calon pendidik profesional sebelum mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Program SM3T merupakan salah satu bagian program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia diampu Ditjen Dikti dan pelaksanaannya dibawah Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Program SM3T, sebenarnya Program Pendidikan Profesi Guru bagi sarjana pendidikan yang diawali dengan pengabdian selama satu tahun penuh di daerah terkategori 3T, dan setelah selesai menunaikan tugas mendidiknya di daerah yang ditentukan, para peserta berhak untuk mengi-

kuti program PPG berbeasiswa di 12 LPTK yaitu: UNIMED, UNP, UNJ, UPI, UNNES, UNY, UNESA, UM, UNM, UNDHIKSA, UNIMA dan UG. (www. kopertis12.or.id) Bila dilihat dari sejarahnya, program seperti ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1950 pemerintah meluncurkan program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) yang bertujuan untuk mengurangi perbedaan kemajuan antara Jawa dengan Luar Jawa. Kemudian dilanjutkan tahun 1971/1972, UGM, Univ. Hasanudin, dan Univ. Andalas ditunjuk sebagai proyek perintis kegiatan Program PTM disebut Pengabdian Mahasiswa pada Masyarakat. Pada tahun 1973, IPB meluncurkan program Bimbingan Massal (Bimas) dan Tenaga Kerja Sukarela (TKS) yang dikoordinasikan oleh Badan Urusan Tenaga Sukarela Indonesia (BUTSI). Departemen Pendidikan Nasional juga mempunyai pengalaman mengerahkan Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (SP3) Peserta yang diterima dalam program ini adalah sarjana pendidikan dengan IPK di atas 3,5. Agar progam ini berjalan lancar dibutuhkan kerjasama Kemdikbud dengan Pemerintah Daerah Kabupaten sejak para peserta sampai pada daerah tu-

juan, serta memfasilitasi pengantaran peserta ke sekolah tempat mereka bertugas. Selain itu pemda menyiapkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi peserta selama setahun. Mengenai sistem penggajiannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan dananya dikirim langsung ke rekening masing-masing sebesar Âą 2 juta/bulan. Bila dilihat dari besaran gaji, tentulah uang ini jauh dari cukup, tetapi pemerintah berusaha melengkapi mereka dengan kehidupan yang layak. Diharapkan melalui program SM3T dapat menginspirasi para penggiat pendidikan mulai dari peserta didik, guru, tenaga kependidikan, dosen, rektor dan para pengampu pendidikan di negeri ini, agar mau berbagi, menginspirasi dan mengajar di berbagai pelosok negeri. Mulianya tujuan dan bentuk program ini pada akhirnya meninggalkan pertanyaan dalam benak penulis. Apakah setelah mereka berada di lapangan pemerintah daerah atau pusat peduli terhadap kesehatan mereka? Mengingat beratnya medan yang harus ditempuh, keseharian yang sepi setelah melakoni tugas mengajar. Se-

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

andainya mereka tidak mampu melaksanakan tugasnya, apakah sanksinya? Kehidupan sehari-hari peserta SM3T yang berat dan serba minim fasilitas itu, tentu merupakan sesuatu hal yang luar biasa. Sehingga tidak heran dari 3.500 orang yang dibutuhkan hanya 2.600 orang yang memenuhi syarat. Apakah karena syarat IPK 3,5 yang membuat mereka tidak terseleksi, ataukah karena honorarium yang diterima? Tentu syarat ini perlu direvisi kembali, sesuai kondisi para lulusan, dan biaya yang dibutuhkan. Kemudian bagi mereka akan tinggal di daerah itu selama setahun, dan betah tinggal di sana apakah tindak lanjutnya dari pemerintah? Apakah mereka dapat diangkat sebagai guru PNS, karena pada umumnya PNS adalah impian para calon guru. Tentu ini perlu ditindaklanjuti dengan reward dan punishment yang jelas. Bagi peserta yang ditempatkan di SMP relatif lebih baik, karena minimal berada di kecamatan atau di desa yang relatif dekat dengan kota kecamatan, dan minimal ada peserta lain, untuk teman berdiskusi, mengingat di SMP mereka memegang per mata pelajaran. Tetapi bagaimana para peserta yang ditempatkan di SD, sebagian besar mereka sendirian, tidak ada teman untuk berdiskusi, karena kehadirannya sebagai guru kelas. Tentu perlu dicarikan solusi, karena pada dasarnya manusia butuh hubungan sosial. Terlebih lagi bila disoroti dari segi pembiayaan, apakah dana yang dikeluarkan pemerintah sudah sebanding hasilnya dengan biaya yang dikeluarkan, apakah tidak terjadi penggelembungan dana, dan apakah bebas dari KKN? Tentu dibutuhkan penelitian lebih lanjut, dan niat baik ini penuh kejujuran dan keikhlasan dalam melaksanakannya. Ingat daerah 3T adalah daerah Indonesia juga, jangan terulang kembali kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang diambil negara tetangga, karena kelemahan kita sendiri. Dan semoga program ini juga menjadi program yang berkelanjutan dan tidak putus di tengah jalan seperti program sejenis yang ada. Semoga.

15


PROFIL

Kelompok Wangsa : Diskusi Tanpa Ruang dan Waktu Wangsa hadir sebagai alternatif akan minimnya budaya diskusi di antara mahasiswa UPI Bandung. Penulis: VICHARIUS DJ

Cuaca kota Bandung yang sedikit mendung makin menambah sejuknya udara siang itu. Tepat pukul 10.30 kami sampai di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Wangsa, salah satu kelompok kajian pendidikan di UPI mengundang kami untuk bersilaturahmi sekaligus berdiskusi soal pendidikan. Diskusi diadakan di salah satu ruang di dalam gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Ruangnya berukuran sekitar 7x4 meter, berbentuk persegi panjang. Peserta diskusi kebanyakan berasal dari jurusan Pendidikan Sejarah. Hanya beberapa yang berasal dari jurusan lain. “Diskusi ini awalnya memang dibangun oleh anak Sejarah, makanya banyak yang dari sejarah. Tapi pada dasarnya terbuka kok untuk siapa saja,“ ucap Muhamad Taufan, salah satu peserta diskusi.

Taufan kini bekerja sebagai guru sejarah di SMP Hikmah Teladan, Bandung. Ia adalah salah satu penggagas berdirinya kelompok diskusi Wangsa. Bersama beberapa rekannya, Taufan ketika masih menjadi mahasiswa berinisiatif mendirikan kelompok baru yang tujuannya adalah untuk memfasilitasi mahasiswa jurusan sejarah untuk berdiskusi. “Kami ini (baca: Wangsa) berada di luar sistem Himpunan Mahasiswa. Jadi, kami lebih mandiri dalam melaksanakan kegiatan. Termasuk pendanaannya,“ ujar Taufan menyindir. Nama Wangsa sendiri merupakan akronim dari Wangun Asa Sasana yang berarti keluarga yang membangun harapan bersama. Kelompok ini dibentuk berdasarkan keperihatinan mahasiswa sejarah dan alumni akan minimnya budaya diskusi di kampus mereka. Menurut Taufan, langkanya kelompok diskusi makin bertambah parah sejak kejadian pada tahun 2010 lalu. Kala itu, Hima Sejarah mengundang Wardah Hafidz, salah satu figur yang intens membicarakan persoalan ur-

ban, pluralisme dan bias gender. Ia dianggap kontroversi oleh petinggi UPI dan tidak boleh diundang sebagai pembicara. Namun, para panitia sudah terlanjur mendatangkannya ke Bandung. Acara tetap berlanjut tetapi setelah selesai petinggi UPI memberikan sanksi pada Hima Sejarah untuk tidak melakukan aktivitas apapun selama satu tahun dengan tidak memberikan dana kepada mereka. “Di sini budayanya agak sensitif. Mereka sekarang hanya mau meminjamkan tempat. Kalau mau dapat dana, ya harus sesuai dengan keinginan petinggi UPI,”ujar Taufan. Minimnya kelompok diskusi di kampus UPI secara tidak langsung berimbas pada kualitas lulusannya. Hal inilah yang disampaikan Johan, salah satu alumni pendidikan Sejarah yang sering mengisi diskusi rutin di Wangsa. “Saya merasakan bahwa tidak adanya kultur akademik yang kritis di UPI berimbas pada mahasiswa. Ketika lulus mereka hanya menjadi pekerja teknis,” ungkap Johan. Baginya ini adalah salah satu problema pendidikan di Indonesia. Minimnya minat

Vicharius DJ/ Transformasi

Topan, salah satu penggagas Wangsa berdiskusi dan berorganisasi mencerminkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia kurang berkualitas yang menyebabkan lulusannya pun kurang berkualitas. ”Ini ter-

jadi hampir di seluruh kampus. Pendidikan di negeri ini memang sudah tidak memiliki orientasi yang jelas,“ papar Johan.

Harapan Pak Win di Usia Senja Penulis: KAHFI Winarno Surakhmad sudah memasuki usia senja. Meski begitu, Mantan Rektor IKIP Jakarta periode 1970 itu masih melontarkan kritik tajam terhadap sistem pendidikan nasional yang kian buram. Winarno Surakhmad merupakan manusia empat zaman. Pasalnya, Saat perang kemerdekaan dirinya sudah bertugas sebagai Tentara Pelajar Indonesia. Tak hanya itu, ia juga kerap merasakan gerilya dan hidup seadanya ketika beranjak pada di usia muda. Terbukti, kesederhanaan yang dibalut kelaparan tak membuatnya gentar memasuki medan peperangan. Pasca kemerdekaan, Winarno yang telah bercita-cita menjadi guru sejak kecil sempat mengalami dua orde kekuasaan. Yaitu Orde Lama dan Orde Baru. Meski begitu, dirinya mulai melakukan kritik-kritik satir terhadap sistem yang diberlakukan oleh Soeharto ketika Orde Baru mulai kokoh berdiri. Pasalnya, memasuki akhir tahun ’70-an, kisruh politik akibat ulah mahasiswa terjadi. Terlebih, pasca kejadian Malari Tahun 1974, mahasiswa menginginkan adanya peruba-

16

han kepemimpinan Soeharto, ini berarti menempatkan mahasiswa sebagai musuh Golkar dan ABRI. Di tengah kekacauan inilah sosok Winarno hadir. Status sebagai Rektor IKIP Jakarta periode 1974 hingga 1979 membuatnya kerap berhadapan dengan kekuasaan, militer dan birokrasi. Selain itu, ia sebagai pimpinan kampus juga mesti menghadapi mahasiswa yang notabene geram terhadap pelbagai kebijakan pemerintah. Bagi Winarno yang sempat ditemui Transformasi di kediamannya, kondisi diatas membuat dirinya terus berusaha untuk mengayomi mahasiswa sekaligus melindungi IKIP Jakarta terhadap intervensi kekuasaan. Pernah suatu kali, dirinya dipanggil oleh Soedomo selaku Pangkopkamtib. Jika dirinya diminta untuk mengendalikan kondisi mahasiswa IKIP Jakarta agar ruang gerak mahasiswa dibatasi. “Biarkan militer mengajarkan kepada mahasiswa soal yang benar,” ujar Winarno ketika bercerita bagaimana Soedomo berbicara pada dirinya. Hebatnya, dengan tegas seorang pendidik yang sempat

membatalkan UU-BHP di MK pada Desember 2009 langsung menampik ajakan Soedomo yang dinilainya merendahkan institusi pendidikan. Baginya, mengajari manusia untuk berpikir lebih sukar ketimbang mengajari mereka menggunakan senjata. “Lebih baik saya yang mengajari tentara,” tegasnya ketika membalas permintaan Soedomo. Tak hanya itu, salah satu Rektor IKIP Jakarta yang pernah menolak kehadiran Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kegiatan (NKK/BKK) dibawah pemangku kebijakan Menteri P dan K, Daoed Djosoef . tetap memilih sikapnya untuk mendukung mahasiswa. Karena kebijakan tersebut justru melanggar hak otonom kehidupan kampus dan harus jauh dari intervensi kekuasaan, Orba. Tak heran, jika Winarno sempat dipercepat masa jabatannya sebagai Rektor IKIP Jakarta. Sehingga ia harus menjalani profesinya di Universitas Kristen Satia Wacana (UKSW). Tak lama mengajar di UKSW, justru Pemerintah Brunei Darussalam menghubunginya untuk merancang pendidikan

tinggi di negeri Sultan Bolkiah itu. Negara Brunei, ungkapnya, ketika itu amatlah terbelakang, proyek yang ia jalankan pun masih dalam rangka pembangunan Universitas pertama di Negeri itu. “Masyarakatnya masih lekat dengan takhayul, saya pernah disangka dukun juga,” kenang Pak Win soal kehidupan masyarakat Brunei. Namun kini, Winarno yang juga sempat menjabat Rektor Universitas Bung Karno (UBK) selama dua bulan sebelum menjabat sebagai Rektor IKIP Jakarta tahun 1974 mulai merasakan cita-cita pendidikan ketika masa kemerdekaan semakin kabur. Pasalnya, pasca reformasi justru harapan tentang Indonesia yang berkebudayaan perlahan mulai terhapuskan. Apalagi pelbagai media massa banyak memberitakan tentang maraknya kasus korupsi yang dilakukan bersamaan oleh anak-anak muda. Sebut saja Muhammad Nazaruddin dan Gayus Tambunan. Terlebih, maraknya kasus korupsi juga mulai menghantui dunia pendidikan, khususnya Institusi Pendidikan Tinggi. Jelas, hal ini membuat tokoh le-

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

genda IKIP Jakarta ini dibaluti kesedihan yang akut. Menurutnya, rakyat Indonesia saat itu, termasuk para pemuda merasakan hidup penuh penderitaan pada masa peperangan. Sehingga membuat mereka lebih dapat merasakan kegembiraan dihari yang akan datang. “Esok akan lebih baik, begitulah bayangan manusia Indonesia waktu itu,” kenang Pak Win. Namun dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Winarno semakin yakin jika hari yang akan datang justru malah bertambah suram dengan jerat komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang semakin kuat gaungnya saat ini. Ya, semoga bayangan suram tersebut hanya sebatas bayangan dirinya di usia senja. Meski kita semua yakin, dalam asa yang tersisa. Rektor yang sempat membangun Pasca Sarjana IKIP Jakarta tersebut masih menyimpan harapan besar untuk perubahan pendidikan yang murah dan berkualitas di masa depan.


Ruang Sastra

Luna

Riezky Hana Putra (Pongah), Mahasiswa Jurusan Seni Rupa UNJ

KRING - KRING

Aku kesal. Aku sangat membenci kehidupanku ini. Aku tidak ingin dilahirkan dari orang tua yang tidak menyayangiku sama sekali. Mama dan Papa sangat menyayangi adik-adikku tapi aku tidak. Aku tahu dikeluargaku mungkin aku sangat memalukan. Aku tidak punya yang dibanggakan. Aku sering sekali bolos sekolah. Aku tidak pernah mendapat peringkat di sekolah. Berbeda sekali dengan adikku yang selalu mendapat peringkat di sekolahnya. Mereka juga tidak pernah meninggalkan sekolah kecuali mereka sakit. Aku juga sering menggunakan uang sekolahku untuk aku gunakan bersenang-senang dengan teman-temanku. Itu sebagai bentuk dari protesku dengan orang tuaku. Banyak yang menyadarinya kalau wajah kami tidak mirip. Mama dan Papa memiliki mata yang sipit sedangkan aku memiliki mata yang bulat. Adalah yang membuatku sangat yakin bahwa aku benar-benar bukan anak mereka yaitu golongan darahku yang berbeda. Aku sangat ingin bertemu dengan orang tua asliku. Setiap hari aku membayangkan bertemu dengan orang tua asliku mungkin aku akan selalu dilimpahkan kasih sayang yang banyak terhadapku. Aku bingung kenapa aku selalu disuruh untuk membersihkan rumah, mencuci pakaian mereka, dan mencuci piring mereka setelah makan. Padahal adik-adikku sudah mulai tumbuh menjadi remaja. Suatu ketika aku memulai protesku lagi dengan nada tinggi “Ma, Luna bukan pembantu. Kenapa harus Luna yang mengurus semua ini. Kan masih ada dua orang anak Mama yang sudah remaja. Kenapa Mama tidak menyuruh mereka?” Mama hanya menjawab “Itu supaya adikmu belajar dan mencontoh dari kamu bagaimana harusnya pekerjaan seorang perempuan”. Tapi ini tidak adil kenapa aku yang sebagai panutan? Aku juga butuh kasih sayang. Aku juga ingin dimanja seperti adikku dengan barang-barang yang mereka pinta dan dapat dengan mudahnya dibelikan untuk mereka. Aku iri. Aku sedih. Aku seperti dibuang. Suatu ketika aku ingin melakukan aksi protesku lagi. Aku ingin mengambil uang orang tua. Hari itu rumah sepi. Kedua adikku masih ada bimbingan belajar. Orang tuaku belum pulang kerja. Aku masuk ke kamar mereka dan sudah membuka lemari mereka. Aku mencari-cari uang orang tuaku. Di kepalaku sudah merencanakan

untuk menghambur-hamburkan uang tersebut dengan temantemanku. T a p i mataku tertuju pada buku lusuh yang ada di lemari orang tuaku. Aku tertarik dan membuka buku tersebut. Di dalamnya terdapat fotofoto. Aku mencoba membaca halaman pertama di bawah foto tersebut terdapat tulisan. Tulisan yang sangat kukenal, yaitu tulisan Mama “Allah, terima kasih telah mengabulkan do’a kami. Tujuh tahun penantian kami menunggu buah hati kami telah Engkau wujudkan. Terima kasih Allah, kami berdua berjanji (saya dan Ernest) akan menjaga buah hati ini dengan baik. Ini adalah hasil USG pertama kami, ternyata usia kandunganku sudah masuk dua minggu lebih. Maafkan Mama sayang, Mama tidak menyadari kehadiran kamu,” aku tertegun membaca buku harian yang ternyata adalah milik Mama. Aku melanjutkan membaca halaman lain “Kandunganku sudah masuk empat bulan dan Alhamdulillah kata dokter kandungannya sehat. Aku ingin sekali bayiku perempuan. Biar ia dapat dijadikan orang yang hebat dan dapat dibanggakan seperti Kartini. Aku juga ingin merasakan beratnya seorang ibu saat melepaskan putrinya dipinang dengan kekasih yang dipilihnya. Cepatlah bertemu ibu di dunia sayang” Tak terasa air mataku menetes. Aku benarbenar tidak bisa berkata apaapa selain aku meringis dan menyebutkan nama Mama. Aku masih melanjutkan membaca halaman diary berikutnya yang Mama tulis “Sayang, maafkan Mama. Mama benar-benar tidak bisa menjagamu dengan baik. Mama benar-benar tidak dapat menjagamu. Maafkan Mamamu yang ceroboh ini. Tadi pagi Mama terpeleset dan membuat kamu harus dilahirkan dengan cepat. Apakah kamu hangat di inkubator sana, Sayang? Sudah berapa hari Mama tidak bisa tidur. Mama yakin kamu dingin di sana. Tidak ada yang hangat selain pelukan seorang ibu. Sayangku, anak Mama, kemarilah, Nak. Jangan pergi meninggalkan Mama. Mama sudah memberikan nama yang indah untukmu. Luna. Putriku yang cantik kumohon jangan pergi.” Aku sudah tidak dapat menahan tangisanku. Air mata sudah membanjiri mataku. Kini

UsilnyaCrayon (Transformasi)

Hikmah Wahyuningsih Mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia

aku benarbenar sesegukku menangis. Mama, betapa aku sudah menyakiti hatimu. Aku sudah menjadi duri dalam hatimu. Dengan sisa nafas yang tersengal-sengal sambil perlahan membuka lembar diary mama, aku membacanya lagi entah halaman berapa. Aku melihat fotoku saat masih kecil. Aku dengan wajah yang dihiasi senyuman lucu anak balita. Di depannya ada sebuah kue tar dengan lilin angka satu. Kuhapus air mata yang tertinggal, aku tahan lagi hasratku ingin menangis. Mencoba untuk membaca tulisan Mama “Lunaku kini sudah masuk satu tahun. Luna sudah akan memulai kehidupannya. Lihat betapa menggemaskannya dia. Pipinya montok. Matanya indah. Rambutnya ikal. Aku yakin 20 tahun lagi dia akan menjadi wanita yang sangat cantik. Luna, jadilah anak yang berbakti. Jadilah panutan semua orang. Jadilah yang dibanggakan. Mama akan menjagamu selama Mama disampingmu. Cintaku Luna, tumbuhlah jadi anak yang soleh. Mama berharap kelak kau akan menjadi Luna yang sangat dicinta. Happy birthday dear. I’ll always loving you.” Aku sudah tidak kuat membacanya. Kini yang sudah menyesaki ruang hatiku adalah cinta Mama. Betapa aku tidak menyadarinya bahwa bukan maksud Mama untuk menyuruhku melakukan sesuatu, tetapi sebagai wujud agar aku menjadi dewasa. Mama juga ingin aku menjadi contoh yang baik. Aku juga menyadari kesalahanku terlalu menganggap negative thinking orang tuaku. Bahwa mereka tidak pernah jahat sekalipun terhadapku. Mereka wajar memberi hadiah kepada adikku karena mereka berprestasi dan itu sebagai contoh kalau aku pun berprestasi aku akan mendapat hadiah dari orang tuaku. Aku menaruh lagi diary Mama dan menutup pintu lemari orang tuaku. Aku keluar dari kamarnya. Dan kini aku menunggu saat-saat Mama pulang kerja. Saat Mama pulang kerja aku ingin memeluknya dengan erat. Dan aku akan berkata “Maafin Luna, Ma”.

kring- kring... "Phoenix" mulai kugenjot maju,sayang maju menuju monas lambang hutan yang kejam hutan yang bernama Jakarta hutan tanpa pepohonan lebat yang ada hanya gedung tinggi menjulang gedung yang akan membunuh dikala alam murka kring-kring... ini glodok,sayang tempat dimana para babi menggelar dagang tempat para pribumi menjadi keledai pengangkut barang tempat monyet mesum mencari kepingan porno kring-kring.. ini gajah mada,sayang tempat dimana gajah buncit melepas hasrat seksual tempat dimana kelelawar betina penghisap darah hinggap tempat dimana dosa dicetak kring-kring... ini istana negara,sayang istana dimana singa duduk manis di singgasana istana yang ketat,namun negara tak terjaga istana yang megah, sedang rakyat menderita kring-kring... kita sampai,sayang sampai di tengah hutan

Asmi Norma Wijaya Mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia

Balada Penjaga Perpustakaan Balada Penjaga Perpustakaan di tempat ini, waktu berjalan lebih lama dari biasanya lebih sepi dari imajinasi sedang aksara aksara tak pernah sabar dijadikan bahasa disusun hingga terbentuk putaran lema baru di kerutkerut lipatan otak kiri sedang wanita itu masih saja duduk di belakang meja kadang kepalanya terantuk jatuh karena dera kebosanan yang mematuk matuk mata "tak ada yang datang" lirihnya perih matanya cair karena terlalu banyak membaca sedang seluruh buku telah dibabatnya habis, sendirian..

Kirimkan naskan Anda ke redaksi_transformasi@yahoo.com

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

17


BUDAYA

asi) form ans (Tr on

y Cra nya Usil

Pendidikan yang Membingungkan

“ yang jelas rakyat butuh

pendidikan,tapi pendidikan yang di dapat adalah rongsokan

Penulis: MANSUR ADNAN

18

Itulah petikan lagu Iwan Fals yang berjudul “Dan Orde Paling Baru”. Sebuah kritik yang mungkin untuk saat ini sesuai dengan kenyataan yang ada dalam dunia pendidikan. Di satu sisi rakyat memang membutuhkan pendidikan, namun sayang pendidikan yang didapat tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Agak miris memang jikalau kita melihat kondisi dunia pendidikan di negeri ini. Menjamurnya institusi pendidikan tidak lagi bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa namun hanya untuk mencetak para buruh. Hal ini tidaklah jauh dengan pola pendidikan di masa penjajahan kolonial, dimana anak bangsa diberi pendidikan hanya untuk jadi buruh kantor para ‘manir’ yg berkuasa. Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja buruh saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi sekitar. Karena pola buruh lah, segala macam hafalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata: IJAZAH! Ya, ijazah, ijazah, dan ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan.

Bahkan tak sedikit orang yang memilih atau memiliki gelar yang mentereng namun perilaku tak ubahnya seorang yang buta ilmu. Bisa jadi gelar yang mereka miliki didapat dengan cara yang tidak benar semisal membeli ijazah. Hal ini mungkin kita bisa dapati bagaimana melihat para politikus yang duduk nyaman di DPR/MPR sana namun berkumpul hanya untuk merumuskan jalannya ‘proyek’ untuk memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan rakyat yang katanya sebagai wakil rakyat. Bongkar pasang kurikulum pun sering dijalankan dengan tujuan untuk mengatasi krisis pendidikan yang melanda negeri ini. Namun apa yang terjadi, lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban bahan percobaan para penguasa kebijakan dalam hal ini adalah pemerintah. Adanya sentralisasi kebijakan yang harus diterapkan oleh instansi pendidikan yang ada di negeri ini membuat tenaga pengajar tunduk patuh terhadap kebijakan yang ada. Guru tidak lagi bebas memberikan materi pelajaran kepada muridnya walau materi

tersebut sangat relevan dan sesuai dengan kebutuhan siswanya. Tentunya kita masih ingat pada masa pemerintahan pembangunan. Dimana kita diharuskan menjadi seorang patriotik dengan cara wajib menghafal butir-butir Pancasila bahkan sampai hal-hal yang sangat tak penting pun harus dengan cepat dijawab oleh murid. Semisal jumlah bulu dalam burung garuda atau menghadap ke manakah burung garuda. Kekinian Bahkan sekarang ini, adanya institusi pendidikan (sekolah) sudah sangat jauh dari tujuan asalnya. Pendidikan bukan lagi sarana untuk mencerdaskan namun lebih terlihat hanya sebatas bisnis semata. Keberadaan wali amanah atau komite sekolah hampir mirip dengan pemegang saham, berbagai kebijakan sekolah senantiasa harus dikonsultasikan kepada mereka. Karena itu penyelesaian pendidikan tidak bisa hanya dengan melahirkan dan menetapkan suatu undang-undang semata. Pendidikan bukanlah hanya mengejar rating dan reputasi internasional melainkan jalan untuk membangkitkan potensi masyarakat. Kemudian pendidikan mampu jadi cerminan dari prinsipprinsip ideal yang selama ini jadi dambaan masyarakat: tentang kemanusiaan, keadilan serta persamaan. Urusan negara dalam hal

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

pendidikan bukan saja sekadar merumuskan kurikulum, melainkan juga melatih dan mendidik para tenaga pengajar (guru) yang memiliki dedikasi serta loyalitas terhadap peserta didik. Tugas mendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan semata melainkan mampu melatih peserta didik agar memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Perubahan sosial yang begitu pesat menjadikan dunia pendidikan semakin bertambah buram. Munculnya era teknologi informasi membuat guru serta sekolah hanya sebagai alat pemuas orang tua yang menginginkan anaknya menjadi makhluk super. Sehingga murid tidak lagi belajar dengan serius di kelas karena orang tua sudah menyediakan bimbingan belajar (bimbel) di luar jam sekolah. Dengan banyaknya siswa yang mengikuti bimbel, dimana dalam sistem bimbel hanya diajarkan agar siswa mampu menjawab soal-soal tertulis semata. Sehingga rasa kepedulian terhadap sesama tidak lagi tertanam dalam dirinya. Di bimbingan belajar, siswa bukan lagi bertemu dengan guru melainkan seorang yang cakap dan pintar (tutor) dalam mencari teknik penyelesaian sebuah soal dengan cepat dan praktis. Seberat apapun soal yang ada dalam ujian pasti ada teknik dan penyelesaiannya dengan mudah dan cepat. Maka tak heran anak didik pasti akan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan masalah lingkungan walau hal itu jauh dari kata etika.


R E SENSI

PRAM DALAM DEKAPAN IDEOLOGI Penulis: WAHYU ARIFIN Pramoedya Ananta Toer yang lebih akrab disebut Pram masih menarik untuk terus dibahas, baik secara karya maupun pribadinya. Karyanya yang sangat fenomenal dan pribadinya yang keras, tentu membuat beberapa peneliti mempunyai alasan cukup kuat sekaligus logis untuk menjadikannya bahan penelitian. Belum lama ini, salah satu profesor dari salah satu Universitas di Korea Selatan meluncurkan buku tentang Pram yang berjudul Pramoedya Menggugat. Tapi dalam kesempatan ini saya bukan ingin membahas buku tersebut di atas, kali ini yang akan kita perbincangkan buku lain, namun masih seputar tentang Pram yakni Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi, karya Savitri Scherer. Savitri, seorang peneliti yang pernah menjadi koresponden harian Kompas di luar negeri ini menjadikan Pram sebagai bahan penelitian untuk disertasinya di Universitas Nasional Australia, dekade tahun 80-an. Meskipun terhitung lawas, penelitian yang akhirnya dijadikan buku ini masih menarik dan relevan untuk dibahas karena menceritakan sisi Pram tak melulu dari soal karya, tapi juga pribadinya. Selama ini Pram selalu dikenal sebagai seorang sastrawan kiri yang revolusioner dan berpihak kepada PKI melalui organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tapi siapa kira, Pram juga pernah bergaul bahkan cukup intim dengan sastrawan-sas-

Judul Buku:

Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi Penulis : Penerbit : Tebal : Tahun :

Savitri Scherer Komunitas Bambu 190 halaman Januari 2012

trawan golongan kanan yang memusuhi Lekra, kelompok Seniman Gelanggang Merdeka seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan HB Jassin. Meskipun tidak terlibat secara jauh, namun Pram mengenal cukup dekat mereka. Bahkan, karya-karya Pram sendiri pernah dimuat di media Siasat yang dikelola

kelompok ini. Lalu, bagaimana Pram bisa secara mengejutkan ikut berkecimpung dengan kelompok sastrawan kiri, dan dengan begitu bersemangat ikut mengibarkan bendera konfrontasi antar kelompok sastrawan di periode tahun 60-an? Dalam pengantarnya, Ajip Rosidi, salah satu kritikus sastra terkemuka sekaligus kawan Pram dengan begitu lugas mendeskripsikan peralihan haluan Pram dari kanan ke kiri. Menurut Ajip, salah satu faktor terkuat dari berpindahnya haluan Pram dari kanan ke kiri salah satunya kesulitan ekonomi. Entah, apakah alasan ini bisa diterima atau tidak yang pasti Ajip mengakui kalau

Retorika Politik Gus Dur

Judul Buku:

DeMOKARASI AJA KOK REPOT Penulis : Penerbit : Tebal : Tahun :

‘Guyonan’ tak selamanya berbuah tawa. Namun, bisa saja menjadi kritik satir terhadap penguasa. Penulis: HENDRO RAHMANDANI Berbekal pengalaman dari pesantren, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memiliki komunikasi politik yang luar biasa. Tak pelak, kelebihannya tersebut didapat semasa ia mengenyam pendidikan di pesantren. Pasalnya ketika itu, ia mendapatkan tugas dari sang kyai untuk melakukan pidato agamanya di sekitar pesantren. Ya, dari sana ia mulai terbiasa untuk bericara di depan publik mulai dari tingkat “akar rumput” hingga tingkat internasional. Tak heran, pada masa Soeharto - rezim Orde Baru -

saat itu Pram pernah bertutur kepadanya kalau dirinya sudah tidak makan selama beberapa hari karena tidak mempunyai uang. Selain itu, kesulitan finansial juga ikut menggoyahkan biduk rumah tangga Pram. Republik pasca Revolusi 45 memang sedang mengalami masa-masa sulit, terutama dalam masalah ekonomi. Banyaknya konfrontasi dengan pihak luar ikut menyedot anggaran negara mengakibatkan inflasi yang cukup tinggi. Kesulitan ekonomi di masa itu sempat dibantah oleh pihak kiri dengan munculnya lagu dengan cuplikan ”... siapa bilang rakyat Indonesia lapar, Indonesia banyak makanan... “ Tapi, faktor kesulitan ekonomi juga tidak bisa dijadikan faktor tunggal dari berpindahnya dukungan Pram kepada kelompok sastrawan kiri, jauh sebelum itu Pram sudah dikenal sebagai sastrawan yang selalu mengangkat kehidupan wong cilik dalam karya-karyanya, diantaranya Djalan Jang Amat Pandjang (1956) dan Sekali Peristiwa di Banten (1959). Kesadaran akan kondisi politik dan sosiologis masyarakat Indonesia yang dimunculkan oleh Pram juga sedikit banyak terpengaruh oleh kehadirannya dalam diskusi sastra di Belanda. Dalam simposium itu, pernyataan seorang pemikir sastra marxis. Prof. Wertheim yang menyatakan kondisi sastra Indonesia memprihatinkan karena cenderung menganut pesismisme barat dalam memandang masyarakat Indonesia, cukup menyentak Pram. Menurut Wertheim, masya-

berkuasa, tatkala semua orang harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh penguasa. Justru, Gus Dur melakukan kritiknya dengan kemampuan bicara yang sangat hebat. Yaitu dengan cerama-ceramah yang diselingi humor cerdas tapi substansinya bernas. Sehingga dirinya berhasil menjadi figur yang terkenal dengan pejuang demokrasi. Karena bagi Gus Dur, pesan politik yang berat akan serasa ringan jika dilakukan dengan gaya khas ‘guyonan’ yang kerap kali didengar masyarakat “akar

rumput”. Pencerdasan dan pendidikan politik yang menggunakan ‘guyonan’ ini pula yang membuat dirinya cepat dikenal oleh masyarakat khususnya warga Nahdiyin. Sehingga dirinya berhasil terpilih menjadi Ketua Umum PBNU ketika Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Sebenarnya, gaya retorika politik Gus Dur yang penuh dengan ‘guyonan’ sejatinya juga didapat dari tempat ia menimba ilmu pengetahuan di Mesir, Universitas Al-Azhar. Pasalnya, Mesir merupakan

Nur Kholisoh Pohon Cahaya 256 halaman Februari 2012

Negara yang penuh dengan humor-humor cerdas dan menyegarkan. Sebut saja Nasruddin Hoja, salah seorang tokoh yang terkenal jenaka dan cukup kontroversial dalam kalangan masyarakat jelata di Mesir. Karakter Nasruddin Hoja juga lahir dari sebuah sejarah Mesir yang kerap kali terjadi penindasan dan kediktatoran penguasa pada zamannya. Dan satu lagi, kebiasaan melakukan humor juga menjadi kebiasaan bagi kaum fundamentalis dan sufi sepertinya di Mesir. Sehingga kisah-kisah jenaka yang sarat dengan sindiran terhadap pemerintah merupakan satu nilai sikap menentang kenyataan dan memberontak terhadapnya. Ya, pendekatan ‘guyonan’ ini pula yang dilakukan Gus

Transformasi // Edisi 50 // Mei 2012

rakat Indonesia tidak seharusnya tidak berhak untuk merasa pesimis. Revolusi yang melahirkan masyarakat baru seharusnya bisa meletupkan semangat-semangat yang bergelora. Jika karya sastranya saja begitu pesimis dalam melihat kondisi masyarakat, tanda revolusi tidaklah berhasil. Dari pergulatan-pergulatan itu, Pram perlahan-lahan mulai fokus dengan tema-tema yang mengangkat tentang isu-isu kerakyatan. Kelak, kerakyatan itu menjadi idealisme utama yang nanti diusung Pram hingga akhir hayatnya sekaligus menjadi jurang pemisah antara Pram beserta rombongan sastrawan kiri dengan HB Jassin dan kawan-kawannya. Pram mungkin juga bisa disebut sebagai salah satu pelopor sastrawan yang cukup getol dengan epos-epos sejarah masa lalu bangsa Indonesia. Dengan penuh semangat Pram menganjurkan agar para sastrawan Indonesia mengangkat sejarah masa lalu sebagai tema utama karya sastra, dengan maksud mengingatkan kita pada masamasa perjuangan pendirian republik ini. Pram mengecam karya sastra picisan yang tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi kemajuan bangsa Indonesia, dan justru malah membuat rakyat jadi semakin lemah dan mempunyai mental terjajah. Sosok Pram dengan sangat tegas menunjukan bagaimana seorang penulis harus memosisikan dirinya di tengah-tengah rakyat, menyuarakan ketertindasan dan menggelorakan perlawanan. Bisa jadi, pilihan posisi itulah yang memberi efek luar biasa bagi karya-karyanya sehingga sepeninggal dirinya karya sastra Pram tetap mendapat dukungan dari masyarakat Indonesia. Tabik!

Dur retorika pilitiknyaa sebagai kritik sosial terhadap pemerintah Orde baru, Soeharto. Alasannya sederhana, yaitu sebagai strategi politik identifikasi Gus Dur dengan publik untuk memberikan pencerdasan politik terhadap masyarakat terhadap makna demokrasi. Patut diketahui pula, jika retorika politik Gus Dur juga dilakuan secara bertahap. Hal ini seperti yang diungkap oleh Nur Kholis melalui penelitiannya, bahwa pada mulanya Gus Dur melakukan kritik terhadap pemerintah hanya melalui tulisan-tulisannya yang satir sejak 1970 hingga menjelang 1990. Terbukti pelbagai judul tulisannya yang terbit seperti “Agamawan dan Pembangunan Desa” (Tempo, 1 Juli 1978), “Pesantren dan Ludruk” (Prisma, 22 Desember 1979), “Melawan melali lelucon” (Tempo, 19 Desember 1981) menjadi secercah pencerdasan situasi politik yang bagi masyarakat yang penat terhadap Soeharto.

19


FOTO

Gerakan Sosial Dalam rangka memperingati Sewindu Jurusan Sosiologi, Kelompok Mahasiswa Peminat Fotografi (KMPF) UNJ bekerja sama dengan BEM Jurusan Sosiologi mengadakan pameran foto yang bertemakan “GERAKAN SOSIAL”. Pameran ini merupakan salah satu agenda yang diadakan dalam rangkaian acara Refleksi Jurusan Sosiologi Untuk Sahabat, yang merupakan visualisasi dari pergerakan sosial yang terjadi di negara kita Indonesia. Pergerakan sosial menjadi suatu bukti bahwa negara ini masih memegang asas demokrasi, dimana setiap warga negaranya berhak menyuarakan aspirasi di muka umum dan menjadi bagian dalam menyuarakan harapannya bagi kemajuan bangsa ini. Pergerakan ini menyangkut berbagai bidang yang melekat dalam masyarakat kita, yakni sosial, budaya, dan politik. Salah satu contoh pergerakan sosial yang baru-baru ini dapat sama-sama kita saksikan adalah demonstrasi besar-besaran dalam memperingati Hari Buruh Internasional (1/5). Serikat-serikat buruh secara serempak menyuarakan aspirasi demi kesejahteraan buruh-buruh di Indonesia. Pergerakan sosial di negara ini masih akan terus terjadi, selama rakyat masih memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya. Karena bangsa ini ada karena dibangun oleh rakyatnya, untuk itu sudah selayaknya suara rakyat memiliki pengaruh yang besar dalam pembangunan bangsa ini. Mengutip perkataan Abraham Lincoln, “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”

Teks dan foto oleh: Kelompok Mahasiswa Peminat Fotografi (KMPF) UNJ


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.