Penulis Rusdianto, Jurnal Skolastik DPP IMM Vol. I No. 1 Tahun 2015

Page 1

JALAN BERAT KETAHANAN PANGAN INDONESIA Ancaman Bonus Demografi Menjadi Peluang Menuju MEA 2015 Rusdianto Institute Bisnis Muhammadiyah (IBM) Bekasi Jawa Barat yantosagarino@yahoo.co.id dan shaffan.sagarino@yahoo.co.id Abstrak : Pertautan antara bonus demografi dengan MEA sangat menentukan masa depan bangsa. Kedua momentum ini dalam suatu negara menentukan nasib masyarakatnya. Bonus demografi di prediksi berlangsung hingga puluhan tahun tentu kesempatan emas yang harus di bumbuhi oleh tenaga-tenaga produktif sehingga memiliki kekuatan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015 ini agar tidak kaget dengan besarnya modal, arus valuta asing, investasi, komunikasi teknologi, politik maupun ekonomi yang akan mewarnai seluruh sektor masyarakat. Maka usia produktif sebagai hadiah dari bonus demografi dalam pemberlakuan MEA merupakan alat untuk menggeser ekonomi lemah menjadi kekuatan yang luar biasa bagi bangsa itu sendiri sehingga cita-cita nasional dapat tercapai dengan baik. Keyword : MEA, Demografi, Kiamat Pangan, Jalan Berat, Indonesia Abstract: Linkage between demographic bonus with AEC will determine the future of the nation. Both this momentum in a country determines the fate of society. The demographic bonus lasts for decades predictions of a golden opportunity to be in bumbuhi by the productive forces that have the strength to face the Asean Economic Community (AEC) in 2015 order not to be surprised by the amount of capital, the flow of foreign exchange, investment, communications technology, politics and economic, which colors all sectors of society. Then the productive age as a gift from the demographic bonus in the implementation of MEAs is a tool to shift the weak economy into extraordinary power for the nation itself so that national goals can be achieved with either. Keyword: AEC, Demographics, Doomsday Food, Roads Weight, Indonesia Pendahuluan Kemampuan pertanian Indonesia kini tak lagi bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan masyarakat. Program ketahanan pangan semakin terancam. Selama dua dasa warsa terakhir lahan pertanian yang merupakan andalan untuk tercapainya

1


swasembada pangan telah mengalami penurunan volume drastis. 1 Hantaman cuaca ekstrim sepanjang tahun, kekeringan, dan banjir menjadi penyebab utamanya. Selain itu serangan hama yang tak pernah ada habisnya juga menambah parah kondisi. Akibatnya, hasil panen yang seharusnya bisa menguatkan ketahanan pangan kini jauh dari harapan. Alhasil penyediaan pangan kita selalu mengalami kekurangan dan semakin langka. Tentu hal ini sangat sulit bagi Indonesia untuk dapat mengatasi defisit pangan ini. Kalaupun memiliki cukup banyak devisa untuk mengimpor beras, masalahnya beras itu tidak selalu tersedia di pasar internasional. Harus di pahami bahwa pasar beras internasional bagian dari lingkaran politik global. Hal ini pula yang jadi salah satu alasan pemerintah mengejar swasembada beras. Kalaupun berasnya tersedia, bagaimana dengan harga yang bersandar pada mekanisme pasar global. Kebijakan impor jutaan ton beras oleh pemerintahan Indonesia saat ini memicu terjadinya kenaikan harga beras sangat tajam. Sehingga Kedaulatan pangan terusik oleh krisis pembangunan pertanian yang setengah hati dilakukan. Program swasembada pangan dalam kurun waktu tiga tahun mendatang jalan berat bagi pemerintah. Hitungan realisasi hanya di atas kertas namun lemah di implementasi. Banyak faktor pengaruhi agenda swasembada pangan, salasatunya panjangnya sistem distribusi bahan pokok. Hampir 10 tahun pemerintah menggulirkan program revitalisasi pangan, pertanian, perikanan dan perkebunan dengan maksud supaya negara mampu swasembada. Tolak ukur swasembada pada banyak komoditas, ialah beras, jagung, gula, padi, kedelai, jagung, daging dan gula, Realitas berkata lain, semua faktor penentu pangan ditingkat petani belum maksimal pembenahan sistem perbenihan padi varitas unggul yang sesuai dengan perubahan iklim, tahan kekeringan, banjir, dan hama. Lagi pula, penyediaan infrastruktur penyaluran pupuk bersubsidi, antisipasi hama, teknologi budi daya hingga paska panen dan tata niaga hasil panen. Hal ini belum diatur sepenuhnya pemerintah. Alihalih mimpi swasembada, kebijakan makro dan mikro belum menentukan arah swasembada. Padahal pangan Indonesia sedang darurat stadium empat. 1 Dengan kondisi seperti itu, Indonesia mau tak mau menjadi pasar pangan yang paling diincar oleh negara-negara

produsen pangan dunia. Apalagi pemerintah Indonesia hingga kini belum punya “greenland� sebagai tumpuan upaya membenahi sektor pangan dalam negeri. Indonesia masih berkutat pada posisi sebagai negara pengimpor pangan terbesar di dunia. Merosotnya kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi makin menambah runyamnya kondisi ketahanan pangan kita. Bahkan ketidakmampuan pemerintah telah membuat kondisi risiko produksi saat ini paling buruk untuk kurun waktu 30 tahun terakhir. Wajar bila banyak pengamat memprediksi, ke depan Indonesia selalu terjadi defisit pangan berkepanjangan, terutama beras. Lihat http://indonesianreview.com/dsmuftie/kiamat-pangan-di-era-jokowi#sthash.BioPF41Q.dp uf. Diakses pada tanggal 8 April 2015

2


Seharusnya pemerintah menentukan terlebih dahulu program jangka pendek dan jangka menengah. Jangka pendek perbaiki sistem dan mekanisme distribusi kebutuhan pangan. Sementara jangka menengah lebih urgen perbaiki irigasi yang tidak berfungsi dan membangun bendungan baru. Sehingga mayoritas masyarakat yang berkemampuan ekonomi lemah selalu tidak mampu untuk membelinya. Program swasembada pangan tentu tidak mudah diwujudkan. Saat ini segundang masalah di sektor pertanian, peternakan dan ekonomi belum tuntas. Kurun waktu 4 bulan ini, jalan setapak dan terjal menimpa berbagai sektor kebutuhan pangan, tentu menghambat program swasemdaba. Apa pun logika pemerintah, suatu hal yang sudah dapat diprediksi adalah kegagalan produksi pangan, terutama beras, akan selalu menjadi ancaman serius bagi kebanyakan penduduk negeri ini di masa datang. Maka kiamat pangan pun akan segera tiba dan menjelang kebangkrutan social masyarakat. Hal ini, harus ada sinergitas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan daerah sehingga dapat di atasi secara kolektif. Pada sisi lain, ketahanan pangan selalu berada pada situasi mengkhawatirkan karena besarnya laju impor. Nilai impor tanaman pangan dalam kurun 2010 - 2015 sudah tembus 13 miliar dolar AS. Sementara laju impor yang besar menempatkan negara lain berkuasa dalam konteks pangan dan mengindikasikan kegagalan menjaga kedaulatan petani Indonesia. Implikasinya, kenaikan harga beras hingga 30 porsen merupakan masalah berat bagi pemerintah. Beras masuk maksimal memenuhi kebutuhan pasar penyangga adalah 1.000 - 2.000 ton per hari, misalnya kebutuhan Jakarta saja mencapai 3.000 ton/hari belum daerah lain yang membutuhkan. Kalau diamati dan hitungan dilapangan bahwa jenis beras IR 2 yang biasa dipasarkan dengan harga Rp 8.500/kg kini dijual Rp 11.000/kg. Kemudian, beras IR I dari Rp 9.500/kg kini dijual Rp 12.000/kg. Sementara harga jenis beras premium dibanderol Rp 10.000/kg naik menjadi Rp 13.000/kg. Hal ini sangat menakutkan bagi rakyat Indonesia dan ditambah lagi, rencana penghapusan program beras miskin (raskin). Rupanya kanker (kedaulatan kering) pangan hinggapi keadaan darurat pangan stadium empat, yakni tidak stabil stabilitas ekonomi, melemahnya keuangan rupiah, tingginya harga sandang, papan, pangan dan naiknya harga kebutuhan perdagangan impor. Antisipasi kanker pangan stadium empat, perlu dilakukan terobosan kebijakan agar dapat menstabilkan dan mengembalikan ketahanan pangan guna tercapainya swasembada. 3


Terobosan tersebut yakni pertama, mengembalikan tata niaga pangan ke bulog untuk mengamankan penyaluran dan distribusi pangan. Kedua, melakukan optimalisasi peran dan fungsi pasar dibawah mekanisme BUMN bidang pangan sebagai penyangga kebutuhan pangan nasional sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Ketiga, memberikan jaminan sarana infrastruktur dan sarana produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan, alat dan mesin pertanian. Keempat, meningkatkan luas areal tanam yang nyata dan permanen. Antisipasi lonjakan harga dimasa akan datang yang bisa saja tingginya permintaan sehingga darurat pangan bisa teratasi dengan baik dan benar. Untuk mencapai hal itu perlu penguatan penyuluhan, perbaikan infrastruktur dan penggunaan tenologi unggul pada input produksi (benih unggul hibrida, pupuk) dilakukan. Upaya membangkitkan sektor pertanian pangan merupakan langkah tepat bagi pemerintah dalam mengawal kegiatan revitalisasi pangan sehingga dapat memberi efek kesejahteraan petani. Konstitusi jelas amanatkan capaian kedaulatan pangan yang telah menjadi pondasi membangun pertanian pangan dan petani sejahtera. Hal ini bisa tercapai ketika Indonesia keluar dari jeratan impor. Hal itu nampak pada pendekatan peningkatan produksi padi. Produksi yang didorong dengan menggunakan input luar yang tinggi (pupuk kimia sintetis, pestisida, benih hibrida) menjadikan situasi rentan akan munculnya ledakan hama penyakit. Sepanjang tahun 2013 telah terjadi spot-spot serangan hama terutama wereng disentra produksi padi, maka diyakini akan terjadi ledakan hama dan gagal panen secara luas dan pasti membuat situasi akan sama dengan tahun 2010 - 2011, terjadi gagal panen dan impor akan kembali meningkat. Pentingnya penyelarasan dan perbaikan kebijakan di sektor pertanian pangan sangat diperlukan dari pemerintah pusat hingga daerah. Tanpa itu diyakini persoalan darurat pangan yang sudah berstadium empat ini dan minimnya produksi lahan pertanian petani akan sulit diatasi. Pembangunan pertanian dan ketahanan pangan berkelanjutan harus di tangani secara terpadu. Tentu, mengatasi persoalan krisis pangan dengan paket kebijakan penyelamatan terhadap petani dan keluar dari ancaman krisis pangan. Untuk terhindar dari situasi penuh ancaman ledakan krisis pangan segera berbuat menyelamatkan petani dari kerugian sekaligus menyelamatkan negara dari krisis pangan.

4


Ketahanan Pangan Indonesia Merespon Ancaman Menjadi Peluang Dalam Bonus Demografi Ketergantungan kepada negara pengekspor pangan berimbas pada kondisi ekonomi Indonesia yang sudah lama terseok-seok. Gejolak ekonomi Indonesia yang mudah terombang-ambing itu dimanfaatkan oleh negara-negara pemasok, ketika kondisi ekonomi domestik terpuruk. Kecemasan rakyat terhadap kelangkaan pangan memang bukan lagi bayangan, tapi sudah menjadi kenyataan. Selama kuartal pertama 2015 saja telah terjadi kelangkaan beras pada medio Januari hingga Februari. Beras yang merupakan bahan pokok utama, hilang dari pasaran dengan tiba-tiba. Walau pemerintah telah berusaha dengan cara operasi pasar melalui distribusi beras Bulog, tetap saja tidak ada pengaruhnya terhadap harga yang sudah telanjur naik. Operasi pasar justru kadang dimanfaatkan oleh oknum pejabat sebagai peluang untuk membuang beras yang sudah terlalu lama tersimpan di gudang. Tak pelak lagi, kondisi beras pun tak layak dikomsumsi masyarakat. Akhirnya masyarakat pun enggan untuk membeli beras yang berasal dari operasi pasar. Sementara itu, sebagian besar beras yang di impor hanya berasal dari Thailand, India, dan Vietnam, tiga negara dengan kondisi politik pangan yang belum begitu mapan. Sering terjadi naiknya harga beras di pasar domestik setempat secara politis mempengaruhi pesanan negara seperti Indonesia. Negara pemasok beras tersebut terkadang sengaja mengontrol harga beras international guna melindungi stabilitas persediaannya di dalam negeri mereka. Hal ini menjadikan harga beras sebagai isu politik yang sangat sensitif di tingkat regional. Sekali waktu bisa terjadi negara tersebut secara sepihak dan mendadak menghentikan pasokannya terhadap Indonesia. Hubungan Bonus demografi dengan ketahanan pangan Indonesia sangat berkaitan langsung untuk pengaruhi potensi ekonomi dan menggali kekuatan arus perdagangan secara langsung yang tetap memiliki keterkaitan dengan pasar global internasional. Kendati demikian, pemerintah harus memberikan suplay jumlah bahan ekonomis yang bersifat terjangkau untuk menambah kebutuhan masyarakat. Sehingga proses dinamika usia produktif dapat di manfaatkan sebagaimana mestinya, walaupun sangat berat dalam konteks penyediaan bahan pokok ketahanan pangan. Namun hal ini harus di lakukan menginggat kebutuhan masyarakat dalam pasar lokal di dominasi oleh imporisasi pangan dari negara luar. Maka sebab itu, pemerintah harus menyiapkan intrumentasi kebijakan yang bersifat distributif untuk mengantisipasi kelemahan-kelemahan ekonomi yang terjadi 5


pada saat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang di mulai tahun 2015 ini. Hubungan Bonus demografi, ketahanan pangan dan MEA di lihat dari kekuatan produktif, kebutuhan, pemasaran dan produktifitas produksi kebutuhan pokok makanan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, populasi penduduk Indonesia saat ini 250 juta jiwa. Dengan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun, diperkirakan jumlah penduduk pada tahun 2020 mencapai angka 270 juta jiwa. Jika ledakan penduduk ini tidak diimbangi dengan kemampuan produksi pertanian dan lahan pertanian yang baik, maka bukan tak mungkin akan ada krisis pangan setiap tahunnya. Banyak hal yang menyebabkan krisis pangan terjadi. Selain pertambahan penduduk yang semakin banyak, juga kerusakan lingkungan yang terjadi di mana-mana, konversi lahan dan penurunan kualitas lahan pertanian, perubahan pola konsumsi, serta kebijakan lembaga keuangan internasional dan negara maju. Sementara, dinamika kependudukan menjadi hot issue yang tak kalah menarik berkaitan dengan kekuatan ketersedian pangan Indonesia sebagai negara berkembang. Menariknya, ketika ketahanan pangan melemah di saat bonus demografi (demographic opportunity) atau momentum usia produktif dengan kebutuhan yang sangat tinggi. Di sinilah menarik seiring membincangkan masa depan pembangunan ketahanan pangan Indonesia. Bonus demografi merupakan gambaran mengenai jumlah penduduk produktif sebagai aset Indonesia untuk menjadi negara maju secara ekonomi. 2 Dari tahun 2010 berbagai kalangan membicarakan, apalagi Indonesia diperkirakan mendapat peluang tinggi tenaga produktif sekitar tahun 2020-2030 akan datang yang tentunya menguntungkan pembangunan dan ketahanan pangan disegala aspek. Fenomena prediksi jumlah penduduk usia produktif yang dianggap besar dan usia muda semakin kecil maupun lansia menurun. Data yang diperoleh Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan komposisi penduduk Indonesia di dominasi oleh penduduk usia anak-anak 0-9 tahun sekitar 45,93 juta. Sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Sehingga dari sini dapat diproyeksikan pada rentang tahun 2020-2030 Indonesia akan dipenuhi dengan usia produktif, inilah yang disebut peluang demografi. Berbagai spekulasi pun muncul dari para ahli kependudukan dan ekonom terkait masa depan Indonesia saat mengalami bonus demografi kelak. 2 Republika, Bonus Demografi, 15/04/2012. h. 2

6


Di Indonesia fenomena ini terjadi karena proses transisi penduduk yang berkembang sejak beberapa tahun lalu yang dipercepat oleh keberhasilan menurunkan tingkat fertilitas, meningkatkan kualitas kesehatan dan suksesnya program pembangunan pendidikan, ketahanan pangan, ekonomi, dan kesejahteraan maupun pertanian. Utamanya lahan penyiapan produksi produk ketahanan pangan sangat penting. Kendatinya terjadi masalah pada aspek konversi lahan masih menjadi persoalan utama di sektor pertanian Indonesia. Adanya konversi lahan beralih ke lahan perumahan dan industri, membuat luas lahan pertanian di Indoensia kian menyusut. Bahkan luas lahan pertanian Indoensia kini kalah luas dengan negeri Thailand, yang penduduknya lebih sedikit. Maka dengan adanya bonus demografi tentu mempengaruhi penyediaan pangan. Di sisi lain potensi pemanfaatan lahan sebagai bahan baku energi alternatif semakin membuat pangan dalam negeri kian terancam. Menurut para peneliti di bidang pertanian, ada beberapa indikator yang menunjukkan rawan pangan akut yang mengarah kepada kondisi terancam kiamat pangan lebih cepat dari yang diperkirakan. Prediksi peneliti sebelumnya kiamat pangan yang akan terjadi di Indonesia pada tahun 2020 yang memiliki potensi usia produktif sangat besar. Namun dengan indikator baru itu, bukan tak mungkin kiamat pangan terjadi di negeri disebabkan oleh kecilnya pasokan pangan di banding besarnya usia produktif dengan tingkat konsumsi dan kelahiran sangat tinggi. Kita bisa lihat saat ini jumlah usia produktif Indonesia mencapai sekitar 180 juta, nonproduktif sekitar 60 juta. Proporsi tersebut, usia produktif menanggung beban nonproduktif sangat rendah, yakni 44 per 100 penduduk produktif pada 2020-2030. Jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan nonproduktif berkisar 30 persen. Hal ini merupakan harapan agar dapat menopang tumbuhnya penguatan ekonomi pangan. Namun, meskipun Indonesia diprediksi mendapat bonus demografi tidak akan tercapai jika tidak disertai peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan dan peningkatan gizi, utama ketahanan pangan. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai sekitar 271,4 juta jiwa. Dengan besarnya penduduk, maka harus disiapkan untuk hadapi peluang demografi sehingga tidak menimbulkan banyak masalah, terutama maksimalisasi pembangunan jangka panjang dan mencegah meningkatnya angka pengangguran agar tidak terjadi pembebanan terhadap negara. 7


Pemerintah seolah tidak mau belajar dari pemerintah yang sukses sebelumnya dalam melakukan swasembada pangan. Jika kondisi pangan ini terus dibiarkan dalam keadaan kekurangan, maka bangsa ini sangat berat menata perekonomian nasionalnya. Apalagi bila negara-negara pemasok pangan mengalami terjadi bencana dan perubahan iklim gejolak politik, yang memungkinkan negeri pengimpor itu akan menolak permintaan impor beras oleh Indonesia. Jika sudah begitu, mau ke mana lagi bangsa kita akan mencari beras ? Kiamat pangan memang terus mengancam bangsa kita. Konspirasi kiamat pangan ini merupakan faktor utama sebagai ancaman terbesar peluang demografi ketika ketahanan pangan tak terkendali yang disebabkan oleh ketidaktepatan pemerintah merespon peledakan jumlah penduduk Indonesia, indikator tersebut adalah pertama, masih besarnya kesenjangan pembangunan sektor pertanian yang tidak didukung oleh modal maupun teknologi pangan. Kedua, tingkat pengangguran di usia muda sangat tinggi dengan konsumsi pangan rata-rata di atas 40 porsen. Ketiga, belum terbuka arus industrialisasi kerja dalam aspek sumberdaya manusia, ekonomi, budaya dan politik. Keempat, masyarakat masih memiliki rasa malas dan kurang motivasi kerja yang menyebabkan terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota sehingga berdampak pada pemiskinan pertanian petani (tidak ada yang urus). Ancaman diatas, termasuk faktor penentu yang harus dibenahi oleh pemerintah. Karena durasi puncak peluang demografi terjadi pada tahun 2030 – 2040. 3 Kalau kesempatan ini tidak digunakan sebaik mungkin maka potensi Indonesia menjadi negara gagal diserta kiamat pangan. Hal ini sangat mungkin terjadi kedepannya, apabila pemerintah bersifat abai terhadap alarm demografi dan peluang MEA yang dimulai tahun 2015 ini. Sejatinya peluang demografi sedang berjalan, telah dimulai dari tahun 2010 hingga tahun 2015 ini, jumlah usia produktif tanggung beban kerja nonproduktif di bawah 50%. Diprediksi, tahun 2040 komposisi penduduk produktif dan nonproduktif seimbang, yakni 50 banding 50. Puncak peluang demografi, yaitu 100 produktif menanggung 44 nonproduktif prediksi terjadi pada tahun 2030. Maka sebab itu, pemerintah sebaiknya cepat perhatikan kualitas utama perkembangan sumberdaya manusia pada sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi dan penyediaan pangan agar tingkat ekses kesejahteraan tercapai.

3 Fasli, Republika 25/8

8


Walaupun selama ini, belum adanya proteksi terhadap kebijakan impor pangan dan tidak ada insentif bagi produsen pangan dalam negeri. Ini masih di tambah kebijakan perdagangan agribisnis yang lebih memihak kepentingan pemodal dan impor, ketimbang berorientasi ekspor dalam negeri. Hal itulah yang menjadi posisi petani dalam negeri selalu hanya dijadikan tumbal. Intervensi pemerintah pun tidak bertujuan untuk mengendalikan komoditas pangan dalam negeri agar tetap tersedia sehingga upaya-upaya usia produktif dapat menggunakan kesempatan bonus demografi dan MEA secara maksimal dalam menyedia proses ketahanan pangan Indonesia. Namun lebih fokus kepada pengendalian pasar semata. Tentu juga akan bercampur banyak kepentingan pemodal yang selama ini memang sudah mahir bermain mata dengan okum pejabat pemerintah. Intervensi yang dilakukan pemerintah selama ini lebih bersifat reaktif sebagai pemadam kebakaran, ketimbang tindakan preventif dan terencana yang bersifat mengendalikan komoditas pertanian. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah bukan untuk bertujuan mengendalikan suatu komoditas sehingga terjamin ketersediaannya, melainkan hanya subsidi pada beberapa komponen yang terkait pangan. Di sisi lain tidak ada proteksi terhadap kebijakan impor pangan dan tidak ada insentif bagi produsen pangan dalam negeri. Ini masih ditambah dengan kebijakan perdagangan agribisnis yang lebih memihak kepentingan pemodal dan impor, ketimbang berorientasi ekspor. Dari ancaman diatas, pemerintah sebaiknya segera mungkin mengambil langkahlangkah strategis dan cerdas untuk memanfaatkan momentum bonus demografi dan MEA yang sangat langka dalam jangka waktu seabad sekali ini lamanya. Karena kalau tidak, maka akan kehilangan peluang yang luar biasa. Ketahanan pangan dan pemanfaatan peluang demografi menjadi pilar peningkatan produktivitas suatu negara dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya produktif. Ketika angka nonproduktif dan lansia menurun, tentu pertumbuhan pendapatan perkapita untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia anak-anak dan lansia dapat dialihkan pada program peningkatan mutu pendidikan, kesehatan dan ketahanan pangan. Sementara data lain BPS hasil sensus penduduk tahun 2010 angka rasio ketergantungan adalah 51,3%. Bonus demografi tertinggi biasanya didapatkan angka ketergantungan berada di rentang antara 40-50%, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak produktif.

9


Meningkatnya jumlah usia produktif tentu saja menjadi dambaan suatu negara. Pasalnya, peningkatan produktivitas ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Apakah Indonesia mampu mengambil keuntungan dari bonus demografi dan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini ?. Tentu, disikapi dengan bijak dan tegas, bahwa pemerintah dari sekarang menyusun langkah agar optimal sehingga kedepan tidak mengalami turbulensi keadaan. Menurut Endang Srihadi, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (2010) dalam Lailatul Maniroh (2012), untuk meraih keuntungan peluang demografi, ada empat prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, penduduk usia muda yang meledak jumlahnya itu harus mempunyai pekerjaan produktif dan bisa menabung. Kedua, tabungan rumah tangga dapat diinvestasikan untuk menciptakan lapangan kerja produktif. Ketiga, ada investasi untuk meningkatkan modal manusia agar dapat memanfaatkan momentum jendela peluang yang akan datang. Keempat, menciptakan lingkungan yang memungkinkan perempuan masuk pasar kerja.4 Faktor penentu lain adalah, seperti penanganan anak di usia sekolah, peningkatan etos kerja, pendidikan kewirausahaan, dan penekanan kompetensi soft skills, peningkatan derajat kesehatan, pemberdayaan perempuan, perbaikan regulasi pendidikan. Peluang ini secara otomatis dapat menurunkan angka lansia, apabila pemerintah mampu pergunakan kesempatan ini secara optimal. Masih menurut Lailatul Maniroh (10/12/2012) bahwa pemerintah telah menetapkan konsep bagus yang akan mengintegrasikan tiga elemen utama, yaitu pertama, mengembangkan potensi ekonomi.Kedua, memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global.Ketiga, memperkuat kemampuan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan komunikasi teknologi nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.Keempat, pemerintah memantapkan strategi “full participation� dalam rangka meningkatkan produktivitas penduduk usia produktif. Tentu saja harapan besar bagi kemajuan bangsa berpeluang mendapatkan bonus demografi yang akan mengantarkannya menjadi negara adidaya (big state).5 4 Endang Srihadi, (2010) dalam Lailatul Maniroh (2012), Peluang Bonus Demografi, Jurnal Demografi, Vol. I No. 2 Tahun 2012

5 Ibid, Lailatul Maniroh (2012:33)

10


Membaca harapan dan kenyataan bonus demografi dan MEA sangat berkaitan dan keduanya paling penting mengingat perencanaan kebijakan strategis belum maksimal. Asumsi dasar memahami komposisi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan usia nonproduktif (dibawah 15 dan di atas 65 tahun) dalam rentang waktu tahun 2012 hingga 2045 nantinya. Idealnya, pemerintah harus terus melakukan kajian, survei dan pendekatan kebijakan agar dapat mendorong potensi yang dimiliki oleh penduduk usia produktif secara optimal. Harapan munculnya kesadaran peran strategis usia produktif, terutama kaum muda sebagai kereta pembangunan dalam ketahanan pangan Indonesia sehingga terwujudnya peluang demografi dan MEA yang dimulai tahun 2015 ini, menjadi titik fokus utama pemerintah agar mampu perhatikan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, etos kerja berdaya saing, kreatif dan inovatif dalam menciptakan karya cipta yang bernilai ekonomis secara maksimal. Menjamin hal ini faktor dukungan ialah konektivitas infrastruktur komunikasi dan partisipasi sebagai penentu final peluang demografi untuk memberikan dampak pada ketahanan pangan Indonesia. Mengukur tingkat bonus demografi dengan ketersediaan pangan, terlebih dahulu mengetahui indikatornya, yakni pertama, Indikator proyeksi rasio bonus demografi sebagai ancaman atau peluang dari perkiraan meleset dan kenyataan. Pada hakekatnya tahun 2015 sudah memiliki angka produktif sebesar 49,6% yang akan terus naik hingga tahun 2035 sebesar 70%. Kedua, Indikator jumlah angka ketergantungan antara produktif dan nonproduktif. Argumentasi Sonny Harry B Harmad (Kompas, 16/01/14), menilai potensi bonus demografi meleset dari perkiraan atau kenyataan bagi Indonesia. Sementara, rasio ketergantungan akan mencapai titik terendah sebesar 44 per 100 penduduk usia produktif selama periode tahun 2020 hingga 2030. Proyeksi tersebut, mengalami perubahan sebagaimana hasil sensus penduduk oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) tahun 2010 menunjukkan perbedaan hasil, setiap 100 orang usia produktif akan menanggung 46 orang usia nonprodukif (terdiri atas 35 penduduk muda berusia 0-14 tahun dan 11 penduduk lansia).6 Angka rasio ketergantungan akan naik kembali yang berdampak pada meningkatnya proporsi penduduk lansia. Tentunya manfaat ekonomi yang diperoleh dari perubahan 6 Sonny Harry B Harmad, Peluang Indonesia Hadapi Bonus Demokrafi, (Kompas, 16/01/14)

11


struktur umur tidak sebesar yang diharapkan. Setelah tahun 2025, rasio ketergantungan akan naik terus dan kembali mencapai angka 51 % pada tahun 2050 (sama dengan 2010). 7 Ketiga, identifikasi faktor usia produktif dengan nonproduktif. Prediksi besarnya proporsi usia produktif (rentang usia 15-64 tahun) mendorong berkembangnya aset sumberdaya yang produktivitas tinggi sehingga kemampuan finansial dapat mensuplay nonproduktif, investasi maupun modal usaha ekonomi. Pemerintah sebaiknya segera identifikasi jumlah usia produktif dan nonproduktif melalui berbagai riset, penelitian, kebijakan strategis dan partisipasi. Keempat, Indikator implikasi bonus demografi dihitung dari angka kelahiran dan kematian. Seharusnya ada upaya meningkatkan kesehatan ibu, dengan target menurunkan angka kematian ibu sebesar 3/4 dari tahun 2015 hingga 2025. Data AKI pada tahun 2015 ini adalah 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 bahwa angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 dan mudah – mudahan menurun. Kelima, Indikator prediksi porsentase lansia atas tingkat keberhasilan penggunaan kesempatan bonus demografi. Bisa dilihat tingkat lansia dari persfektif perkembangan usia produktif yang berhubungan dengan penggunaan kesempatan bonus demografi. Hal ini tergantung pada pola kebijakan sosial yang dilakukan. Selama ini, tahapan kebijakan hanya bersifat sempit dengan distribusi kesejahteraan terbatas. Maka, penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) harus berdasarkan data valid berapa jumlah lansia, tua, dan muda. Sehingga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2015 dengan sumber dana pada tarif gaji tenaga kerja yang dibayarkan oleh pekerja. Tarif tersebut merupakan asuransi sosial yang dimiliki oleh usia produktit, bisa jadi angka lansia menurun dengan tanggungan usia produktif lebih tinggi. Beban pembiayaan jaminan sosial yang harus ditanggung akan terus meningkat setelah tahun 2025, terutama akibat meningkatnya proporsi lansia. Tahun 2050, diperkirakan lebih dari 40 persen penduduk usia nonproduktif termasuk dalam kategori lansia.

7 Ibid, Sonny Harry B Harmad 16/01/14

12


Keenam, Indikator mengantisipasi bonus demografi dari ancaman menjadi peluang pembangunan ekonomi pada momentum MEA. Pemerintah harus proaktif mendorong ekonomi nasional dan lokal agar kesejahteraan sosial, pengembangan industri dan pembangunan dapat dimaksimalkan. Pemberdayaan masyarakat di tingkat pedesaan sangat penting dalam mendorong aktivitas sosial yang berdaya saing sebagai antitesa bonus demografi. Pemerintah saat ini, perlu terobosan strategi kebijakan yang bisa mengantisipasi ancaman bonus demografi. Ancaman itu, berbentuk tidak terkendalinya kelahiran, besarnya pertumbuhan lansia dan melemahnya struktur ekonomi. Tanpa komitmen kebijakan dan strategi pembangunan yang kuat, maka, bisa saja peluang dari bonus demografi akan terlewatkan begitu saja. Ketujuh, indikator pembasisan pemberdayaan sosial. Memanfaatkan bonus demografi dengan menata piranti sosial pemberdayaan masyarakat adalah kewajiban pemerintah. Betapa tidak, pemberdayaan sosial dapat menggerakkan usia produktif dalam memasarkan usahanya sehingga otomatis penguatan basis sosial tercapai. Kedelapan, Indikator peluang pemerintah menggunakan perkembangan teknologi dan komunikasi. Tampaknya membawa perubahan struktur sosial dan pelayanan publik melalui penciptaan tenaga produktif melalui teknologi dan komunikasi yang berpeluang menciptakan "the real state; economic communication and tecnology" berbasis ekonomis. Pada level ini, bisa mengguranggi dampak depresi sosial dengan asumsi rasio ketergantungan individu dengan kebutuhan konsumtif. Apalagi, tenaga produktif kreatif Indonesia cukup mumpuni dalam menggunakan teknologi saat transaksi ekonomi, maka harus dibuat regulasi dalam rangka melindungan produk dalam negeri yang dihasilkan warga Negara. Kesembilan, Indikator keberpihakan kebijakan politik (political will) dalam menopang regulasi hadapi bonus demografi. Sala satu faktor penting memanfaatkan bonus demografi adalah adanya dukungan political will seluruh komponen pemerintah dalam melahirkan kebijakan dalam mensiasati bonus demografi. Karena tak mungkin bagi Indonesia apabila tidak ada political will dalam pengentasan kemiskinan, pengurangan lansia perbaikan basis ekonomi. Lain daripada itu, aspek keamanan, pertahanan dan pertanian sebagai penopang keberhasilan menggunakan kesempatan peluang demografi.

13


Bonus demografi sangat menarik dianggap dapat meningkatkan perekonomian negara berkembang yang melukiskan pergeseran penduduk, mulai dari potensi ancaman menjadi peluang. Indonesia termasuk negara yang mengalami pembengkakan penduduk produktif yang berpotensi menjadi engine of growth bagi perekonomian nasional. Potensi demografi menjadi peluang percepatan pembangunan untuk menguranggi angka ketergantungan nonproduktif. Indikator diatas tolak ukur kebijakan strategis pemberdayaan, pembangunan dan penguatan penduduk produktif. Mengingat tahun 2015 seterusnya merupakan tahun menantang dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah diambang pintu. MEA tentu membawa implikasi, yakni derasnya arus kebebasan perdagangan, investasi, dan tenaga kerja asing sehingga pemerintah harus mampu menyediakan lapangan kerja yang dibuka seluas-luasnya untuk warga negara sendiri. STRATEGI TRIPLE P: CARA JITU SUKSES BONUS DEMOGRAFI HADAPI MEA 2015 DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN INDONESIA Menghadapi bonus demografi dan masuknya arus Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), butuh strategi super agar bisa mengambil manfaat dari hikmah datangnya kesempatan besar antara besarnya usia produktif dengan pemberlakuan MEA 2015 harus menjadi prioritas sehingga dapat mengguranggi tenaga nonproduktif. Misi utama pemerintah, ialah mengenjot besarnya porsentase penduduk lansia yang bergantungan pada usia produktif sehingga kondisi demikian dapat diatasi pada saat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Maka merespon bonus demografi maupun Masyarakat Ekonomi Asean sangat perlu sebuah cara jitu untuk mensukseskan dua agenda pekerjaan rumah tersebut, yakni strategi politik pemberdayaan pembangunan (Triple p) yang sangat perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi segala sektor yang dapat menghalangi momentum bonus demografi maupun MEA 2015. Definisi Triple P lebih pada kebijakan yang berhubungan dengan politik, pemberdayaan dan pembangunan. Pertama,Triple P bidang politik, selama ini wajah politik Indonesia lebih pada nature faksional diberbagai lembaga negara, seperti DPR, kementerian, dan partai politik. Nampaknya, pemerintah lupa bahwa bonus demografi dan MEA 2015 sedang berjalan dan dipersiapkan yang perlu direspon secara bersama. Konteks politik, Indonesia harus keluar 14


dari dinamika politik yang tak menguntungkan, seperti konflik partai, perbaikan komunikasi legislatif eksekutif dan problem penegakan hokum yang masih serampangan. Keluar dari masalah (problem exit) ini, penting untuk menghadirkan kekuatan negara dalam menggunakan kesempatan bonus demografi dan MEA 2015 sebagai momentum pemberdayaan kaum produktif. Apabila terjebak pada patsun konflik politik, maka dipastikan Indonesia tak bisa memanfaatkan peluang demografi maupun MEA karena pasti akan mempengaruhi seluruh sektor sumberdaya yang ada. Dengan demikian, sangat adanya harmonisasi negara untuk memberi dampak pada pencapaian kesejahteraan dibidang pendidikan, ekonomi, pangan maupun kesehatan. Aspek ini tentu membutuhkan political will antara pemerintah, partai politik, lembaga negara dan masyarakat. Mengingat, usia produktif Indonesia mulai melonjak dengan menanggung beban ketergantungan lansia maupun anak-anak. Artinya, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean sebagai penrjanjian antar negara dengan ekses yang sangat bebas maka usia produktif perlu dorongan pemerintah dengan menciptakan situasi kondisi politik yang aman damai agar pergerakan totalitas ekonomi fundamental Indonesia menjadi besar sesuai yang di harapkan. Selain itu, bonus demografi dan MEA 2015 ini tentu bagi usia produktif memerlukan kebijakan politik yang mengarah pada perbaikan sarana prasana, infrastruktur ekonomi dan pemurnian konstitusi. Triple p bidang politik akan menentukan regulasi total selama bonus demografi dan MEA berjalan karena penduduk Indonesia butuh kepastian konstitusi yang bersifat ekstra ketat dalam rangka melindungi melindungi dan menjamin hak-hak ekonomi sosial politik (ekosop) masyarakat sehingga penduduk produktif dapat memegang peran maksimal dalam investasi, pekerjaan maupun pemberdayaan pembangunan selama menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Kedua,Triple P bidang pemberdayaan, perlu diapresiasi gerakan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah saat ini yang sudah menunjukkan geliat baik melahirkan tenaga produktif pemuda mahasiswa pelajar Indonesia menjadi pengusaha, walaupun masih sebatas koperasi, distribusi khas kebutuhan lokal, barang antik, pedagang bakulan, dan sejenisnya. Usaha tersebut tentu lambat laun pasti menjadi besar dengan syarat pemerintah mendorong kebijakan insentif pemberdayaan melalui dana kreatif, jaminan subsidi ekonomi, pendirian usaha bertaraf kecil dan menengah. 15


Pidato dan MoU (kerjasama) Bung Karno dalam Deklarasi Ekonomi, 28 Maret 1963 di jakarta mengatakan tahap pertama memang harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis yang bersih dari sisa imprealis dan feodalis. Artinya, kualitas pemberdayaan usaha ekonomi, manufaktur, jasa dan industri rumahan perlu ditingkatkan dan penyebarannya keseluruh masyarakat sehingga terserap potensi penduduk produktif dengan baik. Karena seringkali ada pembatasan usaha kecil serta penghambatan terhadap potensi semangat penduduk nonproduktif. Maka, pemerintah menjemput dengan memberikan jaringan modal usaha ekonomi yang menunjang bagi masyarakat. Dalam buku Adi Sasono, Menuju Rakyat Berdaulat (2013:81) bahwa cara hadapi bonus demografi yang penting adanya alokasi kredit usaha. Namun, pembiayaan sangat timpang baik antar golongan, sektor, wilayah, dan desa-kota. Apalagi hambatan birokrasi yang tidak bisa di hadapi oleh pengusaha kecil dalam memperoleh kredit untuk berkembang. Pemerintah memiliki kemauan perbaiki mekanisme birokrasi agar kredit usaha kecil dapat diperpendek dan bersifat langsung sebagai bentuk politik pemberdayaan hadapi bonus demografi. Kalau saja terhambat bisa saja produk industri kecil tidak akan mampu bersaing, apalagi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah di depan mata. Ketiga,Triple p bidang pembangunan, mekanisme kinerja pemerintah dalam mengukur keberhasilan pembangunan merupakan faktor yang paling menentukan diantara faktor lain dalam masa berjalannya bonus demografi. Pasalnya, usia produktif dengan usia nonproduktif saling bergantung ditambah dengan usia lansia. Tentu, ketergantungan ini harus dikurangi dengan model pembangunan nasional yang kuat dan seimbang, baik pusat, daerah dan desa-perkotaan. Ketergantungan itu terjadi karena kemiskinan sebagai realitas. Namun, harus memahami bahwa kemiskinan itu terjadi karena rendahnya kesejahteraan yang tidak terpenuhi sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Apalagi ditambah dengan rendahnya akses sumber daya, kurang kesadaran kritis, partisipasi dan posisi tawar secara ekonomi. Tentu masalah demikian adanya, tetapi pemerintah mensiasati bonus demografi sangat penting untuk digelorakan dalam pembangunan dan penyedian kebutuhan masyarakat. Dari ketiga strategi diatas, dapat menganalisis peristiwa demografi yang hanya sekali itu. Pendekatan strategi Triple p tampak sederhana karena ketiga saling kait-mengait. Nilai kontribusi demografi akan semakin besar dan membawa Indonesia pada level negara 16


pertama secara geopolitik dan global. Menggunakan strategi politik pemberdayaan pembangunan (Triple p) diseluruh sektor sungguh akan meningkatkan Indonesia pada tingkat negara maju di dunia. Untuk mengatasi bonus demografi, bukan dalam arti mengalirkan uang kepada masyarakat. Tetapi lebih kepada kebijakan nasional yang berkait dengan politik pemberdayaan dan pembangunan yang diatur melalui konstitusi yang mengikat. Karena skema demografi ada kaitan erat dengan kebijakan makro maupun mikro sehingga keterkaitan aktivitas produktif dan nonproduktif sepenuhnya mendukung potensi yang ada. Catatan akhir, bahwa apabila bonus demografi memakai pendekatan kebijakan yang salah maka akan tercipta konflik sosial yang massif. Karena memang disertai melonjaknya usia lansia di mulai dari tahun 2015 hingga 2040 mendatang. Tugas pemerintah sebagai penyedia dan fasilitator yang memungkinkan seluruh usia produktif Indonesia mendapat peluang usaha secara maksimal. Terutama penyiapan infrastruktur dan kesiapan partisipasi sehingga kegiatan ekonomi menjadi aktif.

PENUTUP Kiamat pangan merupakan sebuah kekhawatiran bagi bangsa Indonesia mengingat kondisi selalu mengalami fluktuatif terhadap perekonomian negara, utamanya dalam hal pangan yang tidak merata distribusi karena disebabkan oleh faktor yang tidak menentu seperti pelemahan rupiah, imporisasi dan kebijakan ekonomi luar negeri serta kekurangan kesiapan pasokan pangan dalam negeri. Sejumlah masalah tersebut, dapatlah di prediski dalam waktu yang tidak lama akan terjadi krisis pangan yang sangat luar biasa. Namun, hal ini masih prediksi, tidak menutup kemungkinan ada muncul kekuatan baru dalam ekonomi Indonesia sebagai repon positif terhadap perkembangan kesiapan hadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Bonus Demografi. Sangat penting melihat keduanya karena memiliki korelasi antara keduanya. Bonus Demografi fokus pada pengembangan usia produktif sementara MEA fokus pada penguatan ekonomi di bawah kendali ekonomi negara-negara ASEAN yang patut di respon secara baik dan positif. Tentu hal itu membutuhkan strategi yang kuat dan menarik agar Indonesia bisa bangkit sebagai The Big Economic ASEAN melampaui negara lain. Hal ini merupakan harapan besar sebagai spirit menentukan arah kedaulatan bangsa. Walaupun begitu, harapan tersebut 17


tidak akan tercapai apabila kebijakan-kebijakan yang dilahirkan menafikan kondisi dan realitas perkembangan masyarakat. Kendati demikian, sangat sulit di lakukan dan bagaimanapun tantangan yang di lalui. Maka sebaiknya pemerintah segera mematok kebijakan yang bersifat kongkrit dan definitif untuk merespon bonus demografi dan MEA. Arah keberhasilan bonus demografi dengan pemberdayaan pada momentum pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) merupakan sebuah keniscayaan bagi usia produktif dalam suatu negara. Mengingat usia produktif alat perubahan dan senjata menjadi “The Big State�, waktu bonus demografi dan MEA adalah peluang emas yang harus di gunakan bagi pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi krisis pangan dan anjloknya ekonomi negara.

DAFTAR PUSTAKA Rusdianto, Kiamat Pangan Era pemerintahan Jokowi – JK, http://indonesianreview.com/dsmuftie/kiamat-pangan-di-era-jokowi#sthash.BioPF41Q.dp .uf. Diakses pada tanggal 8 April 2015 __________Editorial, Republika, Bonus Demografi, 15/04/2012 Fasli, Membaca Arah Demografi, Republika 25/8/2012 Endang Srihadi, (2010) dalam Lailatul Maniroh (2012), Peluang Bonus Demografi, Jurnal Demografi, Vol. I No. 2 Tahun 2012 Sonny Harry B Harmad, Peluang Indonesia Hadapi Bonus Demokrafi, Kompas, 16/01/14

18


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.