Jurnal Pembangunan Daerah Edisi 3 Tahun 2014

Page 1

ISSN 2337-3318

JURNAL

VOLUME II | EDISI 3 | TAHUN 2014

Pembangunan Daerah

M E D I A

R E F E R E N S I

D A E R A H

M E M B A N G U N

KARAKTERISTIK INDIVIDU, PERILAKU KOMUNIKASI DAN PENGGUNAAN JENIS MEDIA DENGAN PEMAHAMAN PETANI TENTANG KREDIT KETAHANAN PANGAN Anna Gustina SISTEM ZONASI UNTUK MENINGKATKAN KOORDINASI TIM PENGENDALIAN INFLASI DAERAH PROVINSI TERHADAP KABUPATEN/KOTA Rahmad Hadi Nugroho PEMBANGUNAN TOL LAUT: MEMPERKUAT KOMUNIKASI MARITIM INDONESIA Rusdianto POLA DAN STRUKTUR PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI DI YOGYAKARTA 2010-2013 Elyas Ajiwangsa TINJAUAN PENGARUH MASYARAKAT EKONOMI ASEAN TERHADAP PERGERAKAN BARANG DAN TENAGA KERJA Willi Hastono

DIREKTORAT JENDERAL BINA PEMBANGUNAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI JURNAL VOL. II PEMBANGUNAN DAERAH JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

EDISI 3

JAKARTA 2014

ISSN 2337-3318

i


ii

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Dewan Redaksi PELINDUNG PENANGGUNGJAWAB KETUA DEWAN REDAKSI ANGGOTA

REDAKTUR UTAMA REDAKTUR PELAKSANA EDITOR

MITRA BESTARI

TATA LETAK ALAMAT REDAKSI

: Menteri Dalam Negeri : Dr. H. Muh. Marwan, M.Si : Dr. Drs. Sjofjan Bakar, M.Sc : Hasiholan Pasaribu, SE., MPKP Drs. Binar Ginting, MM Edi Sugiharto, SH., M.Si Widodo Sigit Pudjianto, SH., MH Ir. Dadang Sumantri Muchtar : Drs. A. Damenta, Mag.rer.publ : Subhany, M.Si : Ahmad Anshori Wahdy, SE., MBA Ali Hasibuan, SH., MM Muhammad Nur Fajar Asmar, S.STP Dede Sulaeman, S.PdI : Prof. Dr. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ Achmad Adhitya, M.Sc., Ph.D Dr. Moch. Fachrurrozi, M.Si Dr. Rulli Nasrullah, M.Si : Deni Irawan, S.IKom : Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp.: 021-7992537 Email: jurnal@bangda.kemendagri.go.id

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

iii


iv

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Pengantar Redaksi ara petani pada masa sekarang tidak bisa bekerja dengan cara tradisional. Sebab, mereka harus mengikuti sistem pertanian yang sudah berkembang pesat. Karena itu, mau tidak mau para petani tersebut harus mengikuti sistem pertanian masa kini secara keseluruhan. Mulai dari penentuan bibit, perawatan dengan menggunakan pupuk, panen dan menjual hasil panennya. Semuanya harus diperhitungkan secara matang dan modern. Jika tidak mengikuti alur tersebut, para petani malah akan banyak mengalami kendala, bahkan kerugian. Ketika para petani rugi, maka tidak akan banyak orang yang ingin menjadi petani dan produktivitas pertanian akan menjadi menurun dan kita tidak bisa berharap Indonesia memiliki ketahanan pangan nasional. Salah satu kebijakan dasar pemerintah melalui Kementerian Pertanian Republik Indonesia dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional adalah memperkuat modal usaha tani padi melalui peningkatan pendapatan petani. Salah satu program peningkatan pangan yang telah dilakukan adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP). KKP bertujuan untuk meningkatkan produksi padi sekaligus mengembangkan program ketahanan pangan. Kebijakan kredit ketahanan pangan merupakan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam bentuk penyediaan kredit dengan suku bunga rendah dan subsidi sarana produksi (pupuk dan pestisida), merupakan penyempurnaan dari fasilitas kredit sebelumnya, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT). Belajar dari pengalaman tidak optimalnya pengelolaan KUT yang disebabkan oleh distorsi Komunikasi antara aparat pemerintah sebagai pengelola dengan petani sebagai penerima kredit, pengelolaan kredit ketahanan pangan ini diharapkan lebih profesional. KKP ditujukan untuk mendidik kemandirian petani dalam mengelola usahataninya, sehingga program ketahanan pangan dapat berlanjut secara terus menerus. Penyaluran kredit ketahanan pangan ini diperuntukan pada semua petani yang dinilai feasibel di seluruh Indonesia. Dalam penelitiannya, Anna Gustina, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung, menemukan pola-pola komunikasi yang seharusnya dilakukan dalam program KKP tersebut. Secara khusus, ia meneliti Kabupaten Tanggamus yang merupakan salah satu daerah penghasil padi yang diandalkan di Propinsi Lampung. Kabupaten Tanggamus mendapat alokasi KKP bagi 12 kelompok tani. Dalam uraiannya, Anna menjelaskan, di daerah tersebut KKP yang dikembangkan dengan pola kemitraan dengan PT. Bank Rakyat Indonesia, dan Perum Sarana Pengembangan Usaha. Pola kemitraan ini dilandasi oleh keterbatasan ekonomi, ketersediaan peralatan pertanian, dan kualitas sumberdaya petani dalam menangani kegiatan usahatani. Keikutsertaan petani dalam program KKP dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal.

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

v


Faktor-faktor inilah yang berperan dalam mendorong petani mengikuti program KKP. Penelitiannya kemudian dirangkum dalam artikel yang bisa ditelaah dalam Jurnal Pembangunan Daerah Edisi ini: Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan (Kasus Kelompok Tani di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung). Dalam artikel kedua, Rahmad Hadi Nugroho, Manajer Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I Sulampua mengkaji tentang sistem zonasi dalam pelaksanaan koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Kajiannya bertujuan untuk mencari solusi agar kualitas koordinasi TPID Provinsi dengan TPID Kabupaten/Kota tetap berjalan baik. Ia mengambil studi kasus Provinsi Sulawesi Selatan. Kajiannya menawarkan solusi, yaitu membagi TPID Kabupaten/Kota menjadi beberapa zona. Artikelnya berjudul, Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan. Berbeda dengan dua topik artikel sebelumnya, dalam artikel ketiga, Rusdianto, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Madiun, Jawa Timur, menyoroti masalah pembangunan yang menurutnya harus diperkuat dengan pola komunikasi maritim yang baik. Artikelnya berjudul, Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia. Menurutnya, untuk mengembalikan kembali orientasi maritim Indonesia agar dapat dikelola, diatur, dan dikendalikan melalui kebijakan dan strategi yang bagus, diperlukan suatu perubahan paradigma, sehingga kepentingan nasional bisa tercapai. Kemudian, dalam artikel keempat, Elyas Ajiwangsa, Tenaga Ahli Bidang DAK Ditjen Bina Pembangunan Daerah menganalisis pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di daerah, khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan data sekunder dengan waktu berkala (time series) selama periode 20102013 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan metode analisis data Tipologi Klassen dan Indeks Spesialisasi Regional, Elyas menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta diklasifikasikan sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Artikelnya berjudul, Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013. Terakhir, dalam artikel kelima, dalam artikel kelima, Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja, Willi Hastono, Tenaga Ahli Statistik pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, menjelaskan mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan menjadikan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal dan basis produksi. Dalam studinya diketahui bahwa perdagangan barang antarnegara ASEAN tidak memiliki porsi yang relatif besar dalam perdagangan luar negeri masing-masing negara ASEAN.[]

vi

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

vii


Daftar Isi PENGANTAR REDAKSI

v

DAFTAR ISI

vii

KARAKTERISTIK INDIVIDU, PERILAKU KOMUNIKASI DAN PENGGUNAAN JENIS MEDIA DENGAN PEMAHAMAN PETANI TENTANG KREDIT KETAHANAN PANGAN Oleh: Anna Gustina

1

SISTEM ZONASI UNTUK MENINGKATKAN KOORDINASI TIM PENGENDALIAN INFLASI DAERAH PROVINSI TERHADAP KABUPATEN/KOTA Rahmad Hadi Nugroho

17

PEMBANGUNAN TOL LAUT: MEMPERKUAT KOMUNIKASI MARITIM INDONESIA Rusdianto

31

POLA DAN STRUKTUR PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI DI YOGYAKARTA 2010-2013 Elyas Ajiwangsa

47

TINJAUAN PENGARUH MASYARAKAT EKONOMI ASEAN TERHADAP PERGERAKAN BARANG DAN TENAGA KERJA Willi Hastono

59

viii

JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


JURNAL PEMBANGUNAN DAEERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

ix


Anna Gustina

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan (Kasus Kelompok Tani di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung) Anna Gustina Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) tingkat pemahaman petani tentang Kredit Ketahanan Pangan (KKP), (2) kondisi petani di Kabupaten Tanggamus berkenaan dengan karakteristik individu, perilaku komunikasi, dan penggunaan jenis media, dan (3) hubungan karakteristik individu, perilaku komunikasi, dan penggunaan jenis media dengan tingkat pemahaman petani tentang Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Penelitian ini dirancang melalui pendekatan deskriptif korelasional dengan menggunakan metode survei. Sasaran penelitian adalah kelompok tani peserta program KKP meliputi lima kecamatan yaitu: Kecamatan Gading Rejo, Kota Agung, Gisting, Talang Padang dan Semaka, Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukan bahwa, umur petani berada pada kisaran 30 – 50 tahun (76,1 %) dan < 30 & > 50 tahun (23,9). Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagian besar petani telah mencapai tingkat kematangan dalam bekerja, berpikir, dan mengambil keputusan tentang usahatani maupun hal-hal yang terkait dengan usahatani. Hubungan antara keterdedahan terhadap media dengan prosedur pengajuan KKP sangat nyata sebesar 0,23 pada taraf kepercayaan 99%, artinya bahwa petani yang sering memanfaatkan media akan menambah wawasannya. Selain itu dalam penelitian ini juga diketahui adanya hubungan sangat nyata antara mendengarkan radio dengan prosedur pengajuan KKP sebesar 0,39 pada taraf kepercayaan 99%. Hal ini berarti bahwa keseringan dalam mendengarkan radio memiliki hubungan signifikan dengan pemahaman petani tentang prosedur pengajuan KKP. Petani yang agak sulit membaca, akan lebih mudah mengakses pesan-pesan tentang program KKP melalui siaran radio dan hal ini terbukti sangat membantu petani dalam memahami prosedur pengajuan KKP. Kata Kunci: KKP, Komunikasi, Petani

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

1


Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Anna Gustina

ABSTRACT This study aimed to determine: (1) the level of farmers' understanding of Kredit Ketahanan Pangan (KKP) (2) the condition of farmers in Tanggamus regard to individual characteristics, communication behavior, and the use of media, and (3) the relationship of individual characteristics, behaviors communication, and the use of media in understanding of the level of Kredit Ketahanan Pangan (KKP). This study was designed through a descriptive correlational approach using survey methods. Target research is farmer groups KKP program participants include five districts, Gading Rejo, Kota Agung, Gisting, Talang Padang dan Semaka, Kabupaten Tanggamus Lampung. The results showed that, the farmers are in the age range of 30-50 years (76.1%) and <30 and> 50 years (23.9). This condition indicates that the majority of farmers have reached a level of maturity in the work, think, and make decisions about farming and matters related to farming. The relationship between vulnerability to the media with the application procedure is very real KKP 0.23 at 99% confidence level, meaning that farmers often use the media will add his insights. In addition, this study also note the very real relationship between listening to the radio with the procedure of filing the KKP of 0.39 at 99% confidence level. This means that the frequency of the radio listening has a significant relationship with the farmers' understanding of the procedures to apply for KKP. Farmers are somewhat difficult to read, it will be easier to access messages on the KKP program through radio broadcasts and this proved very helpful in understanding farmers filing KKP procedures. Keywords: KKP, Understanding of farmers, Communications Pendahuluan Dalam sejarah perkembangan Bangsa Indoensia baik sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdakaan, pangan khususnya beras merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke. Karena pangan (beras) dapat menciptakan instabilitas sosial yang mengarah pada kerawanan keamanan. Situasi ini telah dipikirkan oleh pemerintah sejak era orde lama sampai pada era reformasi. Kebijakan yang ditempuh untuk menyediakan kebutuhan pangan (beras) dilakukan dengan berbagai cara, dalam skala makro diantaranya kebijakan impor beras , perluasan areal persawahan, dan program transmigrasi, dan dalam skala mikro misalnya program intensifikasi dengan fasilitas-fasilitas pendukungnya. Mengingat pentingnya ketersediaan bahan pangan (beras) yang cukup, pada tahun 2001 pemerintah memprioritaskan arah pembangunan pertanian pada dua sektor yaitu ; (1) Program peningkatan ketahanan pangan (2) Program pengembangan agribisnis, Prioritas pembangunan pertanian pada program ketahanan pangan, dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan bahan pangan (beras) yang dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga

2

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Anna Gustina

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

tercipta iklim stabilitas nasional yang dibutuhkan demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Salah satu kebijakan dasar pemerintah melalui Departemen Pertanian Republik Indonesia dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional adalah memperkuat modal usahatani padi melalui peningkatan pendapatan petani. Salah satu program peningkatan pangan yang telah dilakukan adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP). KKP bertujuan untuk meningkatkan produksi padi sekaligus mengembangkan program ketahanan pangan. Kebijakan kredit ketahanan pangan merupakan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam bentuk penyediaan kredit dengan suku bunga rendah dan subsidi sarana produksi (pupuk dan pestisida), merupakan penyempurnaan dari fasilitas kredit sebelumnya yaitu Kredit Usaha Tani (KUT). Belajar dari pengalaman tidak optimalnya pengelolaan KUT, yang disebabkan oleh distorsi Komunikasi antara aparat pemerintah sebagai pengelola dengan petani sebagai penerima kredit, pengelolaan kredit ketahanan pangan ini diharapkan lebih profesional. Selain itu, KKP ditujukan untuk mendidik kemandirian petani dalam mengelola usahataninya, sehingga program ketahanan pangan dapat berlanjut secara terus menerus (Hartoyo, 2000). Penyaluran kredit ketahanan pangan ini diperuntukan pada semua petani yang dinilai feasibel diseluruh Indonesia. Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil padi yang diandalkan di Propinsi Lampung. Kabupaten Tanggamus mendapat alokasi KKP bagi 12 kelompok tani. KKP yang dikembangkan didaerah ini dengan pola kemitraan dengan PT. Bank Rakyat Indonesia, dan Perum Sarana Pengembangan Usaha. Pola kemitraan ini dilandasi oleh keterbatasan ekonomi, ketersediaan peralatan pertanian, dan kualitas sumberdaya petani dalam menangani kegiatan usahatani. Keikutsertaan petani dalam program KKP dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor inilah yang berperan dalam mendorong petani mengikuti program KKP. Faktor internal terkait dengan tingkat karakteristik individu dan perilaku komunikasinya. Faktor eksternal terkait dengan jenis penggunaan media. Lionberger dan Gwin (1982) menjelaskan bahwa keadaan seseorang dan kemampuan yang dimilikinya merupakan kombinasi dari karakteristik yang melekat pada dirinya dan pengalaman yang didapat melalui proses pembelajaran. Kombinasi dari karakteristik individu seperti: umur, tingkat pendidikan, status lahan garapan, dan luas lahan garapan akan menentukan tingkat pemahaman petani. Schram (1981) mendeskripsikan perilaku komunikasi dalam porsi yang dapat dipertimbangkan sebagai permainan, alat dan perilaku ego sentris. Berdasarkan Schram, Berlo,mengemukakan bahwa hal-hal yang sebaiknya dipertimbangkan dalam perilaku komunikasi adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Atas dasar hal tersebut diindikasikan adanya faktor-faktor seperti: proses pencarian informasi, kehadiran petani dalam rapat anggota kelompok, keterdedahan

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

3


Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Anna Gustina

terhadap media massa, dan kontak dengan pembina, ketua kelompok tani, penyuluh, pihak Bank, dan instansi terkait lainnya akan mempengaruhi perilaku komunikasi. Selain faktor internal yang telah disebutkan, faktor eksternal seperti peran media massa juga mempengaruhi pemahaman petani. Corner dan Hawton (1986) mengemukakan bahwa media berperan besar dalam mendorong perubahan sosial dan mempengaruhi organisasi sosial. Pada kehidupan sehari-hari masyarakat telah cukup familier dengan televisi, radio, dan media cetak (majalah, koran, brosur, leaflet, dll). Namun kefamilierennya tidak akan menjamin interpretasinya terhadap isi media. Tingkat kemampuan antara petani (individu) yang satu dengan petani (individu) yang lain diindikasikan akan berbeda, sehingga akan mempengaruhi pemahamannya tentang KKP. Sistem pengelompokkan petani dalam suatu wadah yang terkoordinir dalam proses pembelajaran akan mempengaruhi pemahaman petani. Melalui kelompok, perbedaan karakteristik petani, perbedaan perilaku komunikasi, dan perbedaan dalam menginterpretasikan isi media dapat dikomunikasikan dalam suatu tingkat persepsi yang sama. Melalui tingkat pemahaman petani yang sama tentang KKP merupakan salah satu faktor penentu keikutsertaan petani dalam program KKP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) tingkat pemahaman petani tentang Kredit Ketahanan Pangan (KKP), (2) kondisi petani di Kabupaten Tanggamus berkenaan dengan karakteristik individu, perilaku komunikasi, dan penggunaan jenis media, dan (3) hubungan karakteristik individu, perilaku komunikasi, dan penggunaan jenis media dengan tingkat pemahaman petani tentang Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Metode Penelitian Penelitian ini dirancang melalui pendekatan deskriptif korelasional dengan menggunakan metode survei. Sasaran penelitian adalah kelompok tani peserta program KKP meliputi lima kecamatan yaitu: Kecamatan Gading Rejo, Kota Agung, Gisting, Talang Padang dan Semaka, Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung. Metode pengambilan sampel menggunakan model "representative sample of intact system" (Rogers dan Kincaid, 1982). Jumlah sampel sebanyak 84 responden yang diambil secara purposive dari jumlah populasi 172 orang yang tersebar pada 12 kelompok tani yang mengikuti program KKP. Tiap-tiap kelompok tani diwakili oleh 7 responden. Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahapan yaitu pra survei dan survei. Pada pra survei dilakukan pengecekan terhadap: keberadaan kelompok tani peserta program KKP di Tanggamus. Pengecekan pra survei menunjukkan bahwa di Kabupaten Tanggamus terdapat 12 kelompok tani yang aktif dan ikut dalarn prograrn KKP. Data yang diperlukan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh langsung dari responden berdasarkan hasil wawancara, sesuai dengan instrumen penelitian yang dituangkan dalam bentuk kuesioner. Semua pengajuan dan aplikasi untuk kuesioner dilakukan dengan menyesuaikan waktu responden (Sudman dan

4

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Anna Gustina

Nurman, 1989). Data sekunder diperoleh melalui berbagai sumber antara lain: Kantor Dinas Koperasi Kabupaten Tanggamus, Dinas Pertanian Kabupaten Tanggamus dan instansi terkait lainnya. Selain itu, digunakan studi literatur dan penelitian terdahulu untuk menjaga keutuhan data atau informasi yang relevan dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Validitas atau keabsahan merupakan syarat penting untuk sebuah instrurnen seperti kuesioner. Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Berdasarkan uji coba tersebut, kemudian dilakukan pengujian terhadap tingkat reliabilitas dengan menggunakan metode test-retest yakni dengan cara mencobakan instrumen beberapa kali pada responden. Instrumen yang diujukan sama, terhadap responden yang sama dengan waktu yang berbeda. Reliabilitas diukur dari koefisien korelasi antara percobaan pertama dengan yang berikutnya Bila koefisien korelasi positif dan signifikan maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel (Down W. Stacks dan John E. Hocking). Pengujian reliabilitas dilakukan terhadap 15 anggota kelompok tani yang bukan responden. Pengolahan data dilakukan dengan mengurutkan, mengelompokkan. mengkode, mengkategorikan dan mentabulasi data untuk dianalisis, dihitung dan diinterpretasikan. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis berdasarkan kepentingan pernbahasan. Analisa dilakukan dengan menggunakan analisa deskriptif dan analisa statistik non parametrik sebagai berikut : 1. Analisis stalistik deskriptif,: untuk melihat pernusatan atau distribusi frekwensi pada masing-masing peubah guna mengamati bagaimana keragaman karakteristlk individu, perilaku komunikasi, penggunaan jenis media dan pernahaman petani tentang KKP. 2. Analisis statistik non parametrik; yaitu untuk mengetahui hubungan antara peubah, dimana dengan menggunakan korelasi Rank Spearman untuk mengetahui hubungan atau asosiasi antara dua variabel yang minimal mempunyai skala ordinal, sehingga obyek-obyek atau individu-individu yang dipelajari dapat diranking dalam dua rangkaian berurut (Siegel, 1985). Berikut rumus yang digunakan dalam uji statistik. n 6  di2 rs =

i=1

n 6  di2 =

(n-1) n (n+1)

i=1

n3 - n

Keterangan • rs = Koefisien korelasi pangkat Spearman • di2 = Selisih antara peringkat  n = Banyaknya pasangan pangkat Dengan test peringkat Spearman dapat diketahui hubungan di antara dua variabel. Arti angka korelasi terdapat dua hal dalam hubungannya dengan penafsiran korelasi yaitu tanda (+) dan tanda (-) yang berhubungan dengan arah korelasi serta kuat tidaknya korelasi.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

5


Anna Gustina

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Hasil dan Pembahasan Hasil Petani dan Kelembagaan Petani Secara umum petani di Kabupaten Tanggamus memiliki latar belakang profesi yang berbeda-beda. Sebagian besar petani (85,7%) berprofesi murni sebagai petani dan 14,3% merupakan petani memiliki pekerjaan ganda. Berdasarkan kemampuan baca tulis, tercatat dengan kategori baik (82,1%), sedang (15,5%), dan kurang (2,4%). Berdasarkan tingkat pendapatan per bulan rata-rata< Rp. 300.000.- sebanyak 44,1%, Rp. 300.000 –Rp. 500.000 sebanyak 48,8%, dan > Rp. 500.000 sebanyak 7,1%. Kebersamaan antar sesama petani dibangun dalam wadah formal BPP (20) dan kelompok tani (927) dengan cara mengarahkan, mengkoordinasikan kegiatan petani dan membina petani. Dari jumlah kelompok tani tersebut 817 (88,13%) telah dikukuhkan dalam klasifikasi kelas lanjut, sedangkan 110 (11,87%) belum dikukuhkan. Dari jumlah yang telah dikukuhkan (817), 12 (1,47%) masuk dalam program pemberian KUT. Keikutsertaan 12 kelompok tani dalam program KKP ini didasarkan pada pertimbangan untuk meningkatkan produksi dan kesinambungan usahatani dalam setiap musim tanam. Karakteristik Individu Karakteristik individu merupakan salah satu variabel yang diamati dalam penelitian ini, hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan karakteristik individu dari sampel yang diamati terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Karakteristik Individu Petani Responden Peserta KKP No

6

Karakteristik

1

Umur

2

Pendidikan

3

Pengalaman

4

Luas lahan

5

Status lahan

Kategori < 30 30 – 40 41 – 50 > 50 SD SMP – SMU P.Tinggi < 10 10 – 20 21 – 30 > 30 < 1 ha 1 ha > 1 ha Milik sendiri lainnya

Persentase (n = 84) 2,4 44,0 32,1 21,4 45,2 51,2 3,6 13,1 65,5 16,7 4,8 53,6 22,6 23,8 91,7 8,3

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Anna Gustina

Pola Komunikasi Program KKP Proses komunikasi adalah proses interaksi pengiriman pesan dari sumber kepada penerima. Proses komunikasi program KKP di Kabupaten Tanggamus digambarkan sebagai berikut: PPL

Bank Rakyat

Petani Peserta Program KKP Gambar: Proses komunikasi program KKP di Kabupaten Tanggamus

Perilaku Komunikasi Perilaku komunikasi adalah aktivitas petani dalam mencari informasi. Aktivitas dalam pencarian informasi program KKP di Kabupaten Tanggamus terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Perilaku Komunikasi Peserta Program KKP No

Perilaku Komunikasi

1

Pencarian informasi

2

Rapat anggota kelompok

3

Keterdedahan terhadap media

4

Kontak dengan sumber informasi

Kategori tdk pernah kadang2 selalu tdk pernah kadang2 selalu tdk pernah kadang2 selalu tdk pernah kadang2 selalu

% (n = 84) 10,7 69,1 20,2 13,0 81,0 6,0 10,7 48,8 40,5 22,6 67,9 9,5

Penggunaan Jenis Media Penggunaan jenis media merupakan salah satu kegiatan petani dalam pemakaian media sebagai sumber informasi. Aspek-aspek yang terkait dengan penggunaan media adalah pada media yang telah familier dengan petani, seperti radio, televisi, dan majalah/koran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan media sebagai sumber informasi program KKP dapat dilihat pada tabel berikut ini:

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

7


Anna Gustina

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Tabel 3. Penggunaan Jenis Media oleh Petani No

Penggunaan Jenis Media

1

Mendengarkan radio

2

Menonton televise

3

Membaca majalah/Koran

% (n = 84)

Kategori tdk pernah kadang2 selalu tdk pernah kadang2 selalu tdk pernah kadang2 selalu

7,2 72,6 20,2 11,9 42,9 45,2 9,5 26,2 64,3

Pemahaman Petani Tentang KKP Pemahaman petani tentang KKP (Kredit Ketahanan Pangan) merupakan pengetahuan petani tentang keberadaan KKP. Indikatornya adalah tentang prosedur pengajuan KKP, pemahaman hak dan kewajiban, serta sanksi terhadap pelanggaran aturan. Katagori pemahaman petani dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Pemahaman Petani Tentang KKP No

8

Pemahaman Petani

1

Prosedur pengajuan KKP

2

Hak, kewajiban, dan Sanksi thd pelanggaran

3

Manfaat KKP

Kategori kurang paham paham sangat paham kurang paham paham sangat paham kurang paham paham sangat paham

% (n =84) 4,8 57,1 38,1 14,3 63,1 22,6 10,7 44,1 45,2

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Anna Gustina

Hubungan Karakteristik Individu dengan Pemahaman Petani tetang KKP Hasil uji statistik (rs) secara partial hubungan antara karakteristik individu (petani) dengan pemahamannya tentang KKP dijelaskan pada tabel berikut ini: Tabel 5. Koefisien Korelasi Karakteristik Petani dengan Pemahaman Petani Karakteristik Petani Umur Pendidikan Pengalaman bertani Luas lahan Status kepemilikan lahan

Pemahaman Petani Tentang KKP Sanksi terhadap Proses pengajuan pelanggaran 0,89 -0,13 O,177 0,112 0,021 -0,055 -0,013 0,208 -0,008 -0,320**

Keterangan: ** Hub. sangat nyata pada taraf

Manfaat 0,052 0,187 -0,024 0,128 -0,171

= 0,01

Berdasarkan Tabel 1, umur petani berada pada kisaran 30 – 50 tahun (76,1 %) dan < 30 & > 50 tahun (23,9). Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagian besar petani telah mencapai tingkat kematangan dalam bekerja, berpikir, dan mengambil keputusan tentang usahatani maupun hal-hal yang terkait dengan usahatani. Nilai korelasi faktor umur dengan proses pengajuan KKP sebesar 0,89 menunjukkan hubungan yang signifikan. Kecenderungan ini disebabkan oleh kontribusi umur petani dalam kisaran 30 – 50 tahun (76,1 %) pada kisaran ini, hubungan yang menguat dimungkinkan oleh pengaruh variabelvariabel lain seperti; cara berpikir yang sudah matang, kemauan untuk bekerja lebih tinggi, dan secara fisik masih mampu bekerja sebagai petani, dll. Nilai korelasi faktor umur dengan sanksi terhadap pelanggaran sebesar –0,13 menunjukan hubungan negatif dan tidak signifikan. Umur petani (baik muda maupun semakin tua) tidak mempengaruhi pemahamannya tentang sanksi terhadap pelanggaran (misalnya didenda, dituntut secara hukum, dll bila tidak mengembalikan kredit misalnya). Nilai korelasi faktor umur dengan manfaat KKP sebesar 0,05 juga menunjukan hubungan yang tidak signifikan., artinya bahwa semakin tua umur petani tingkat pemahamannya tentang manfaat KKP akan semakin tinggi. Nilai korelasi faktor pendidikan dengan pemahaman petani tentang proses pengajuan KKP sebesar 0,177, pemahaman petani tentang sanksi terhadap pelanggaran sebesar 0,112, dan pemahaman petani tentang manfaat KKP sebesar 0,187 menunjukan hubungan yang tidak signifikan. Tingkat pendidikan pada Tabel 1. 54,8 % berpendidikan SMP – Perguruan Tinggi dan 45,2 % berpendidikan SD, ada kecenderungan faktor pendidikan tidak berimplikasi dengan tingkat pemahamannya tentang KKP, karena program KKP ini belum begitu dikenal oleh petani, tetapi kalau dengan kredit-kredit lainnya dapat saja dipahaminya. Atau karena ada faktor-faktor internal lainnya, sehingga untuk mengemukakan yang sebenar-benarnya mereka masih ragu-ragu. Nilai korelasi faktor pengalaman bertani dengan pemahaman petani tentang proses pengajuan KKP sebesar 0,021, pemahaman

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

9


Anna Gustina

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

petani tentang sanksi terhadap pelanggaran sebesar -0,055, dan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP sebesar -0,024 menunjukan hubungan yang tidak signifikan. Artinya petani yang berpengalaman < 10 dan > 30 tahun menunjukan hubungan yang lemah terhadap pemahaman petani tentang KKP. Keadaan ini bisa saja terjadi, sebab dalam kurun waktu 10 – 30 tahun, petani belum memiliki pengalaman dalam mengelola kredit usahatani. Dan program ini adalah merupakan pengalaman pertama mereka. Nilai korelasi faktor luas lahan dengan pemahaman petani tentang proses pengajuan KKP sebesar -0,013, dengan pemahaman petani tentang sanksi terhadap pelanggaran sebesar 0,208, dan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP sebesar 0,128 menunjukan hubungan yang tidak signifikan. Ini artinya bahwa faktor luas lahan tidak menunjukkan hubungan karakter dengan pengajuan KKP. sedangkan terhadap sanksi atas pelanggaran menunjukan hubungan yang lemah. Hal ini karena dengan luas lahan yang mereka miliki ada keragu-raguan dalam mengembalikan kredit. Faktor pengalaman bisa mempengaruhi hal tersebut. Dan terhadap manfaat KKP, hubungan yang lemah tersebut dapat diakibatkan oleh rata-rata luas lahan yang dimiliki < 1 hektar (53,6 %) dan 1 hektar (46,4 %). Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Pemahaman Petani tentang KKP Perilaku petani merupakan faktor yang turut menentukan pemahaman serta keterlibatan petani dalam program KKP. Perilaku mengacu pada tingkah laku petani yang berkenaan dengan informasi tentang KKP. Secara teoritis, semakin aktif mencari dan terlibat dalam program KKP maka pemahaman tentang KKP juga akan meningkat. Hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6. Koefisien Korelasi Perilaku Komunikasi dengan Pemahaman Petani (1) Karakteristik Petani Pencarian informasi (1) Kehadiran dalam RAK Keterdedahan terhadap media Kontak dengan penyuluh, ketua kelompok, dan pihak Bank

(2) Proses pengajuan 0,39** (2) 0,23* 0,30**

Pemahaman Petani Tentang KKP (3) Sanksi terhadap pelanggaran 0,47** (3) 0,34** 0,23*

(4) Manfaat 0,34** (4) 0,20 0,33*

0,48**

0,32**

0,10

Keterangan: * Hubungan nyata pada taraf = 0,05 ** Hubungan sangat nyata pada taraf = 0,01.

Berdasarkan Tabel 2, faktor pencarian informasi yang tidak pernah 10,7 %, kadangkadang 69,1 % dan selalu 20,2 %. Hubungan sangat nyata antara pencarian informasi dengan prosedur pengajuan KKP sebesar 0,39 pada taraf kepercayaan 99%. Hal ini berarti bahwa keseringan dalam mencari informasi menjadi indikator pemahaman prosedur pengajuan KKP. Petani yang sering mencari informasi akan cenderung mempunyai

10

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Anna Gustina

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

pemahaman yang mendalam dan lebih dibandingkan dengan petani yang tidak sering mencari informasi KKP. Dengan sering mencari informasi, ia akan lebih mengenal cara-cara yang betul untuk mengajukan kredit ketahanan pangan. Pencarian informasi juga mempengaruhi pemahaman hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran, dengan koefisien korelasi 0,47 menunjukkan hubungan yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%. Hal ini berarti walaupun korelasinya kurang kuat ada indikasi, dengan aktif dalam pencarian informasi beberapa hal dapat diketahui petani misalnya pengetahuannya meningkat sehingga dapat menghindari sanksi. Sebaliknya petani yang tidak atau kurang mencari informasi tidak dapat mengetahui informasi pengucuran dana, tempo akhir pengambalian kredit, pembagian pupuk dan sebagainya. Pencarian informasi juga berhubungan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP. Misalnya, secara berkala penyuluh menjelaskan kelebihan pupuk phonska yang dikeluarkan oleh PT. Pusri sebagai bagian dari program KKP. Dengan seringnya mencari informasi, banyak penjelasan akan diketahui dan sekaligus dirasakan petani, yang pada akhirnya petani bisa menimbang untung ruginya ikut program KKP. Sebaliknya petani yang kurang mencari informasi KKP akan kurang merasakan manfaat program KKP. Kecenderungan ini terlihat pada koefisien korelasi sebesar 0,34 yang menunjukan hubungan pemahaman petani tentang KPP sangat nyata pada taraf kepercayaan 99 % atau = 0,01. Hubungan sangat nyata antara kehadiran dalam rapat anggota dengan prosedur pengajuan KKP sebesar 0,23 pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini berarti bahwa keseringan dalam mengikuti rapat anggota kelompok menjadi indikator memahami prosedur pengajuan KKP. Sebab dalam rapat-rapat anggota petani dapat mengungkapkan seluruh masalah yang dihadapi, juga dapat menanyakan seluruh masalah yang berkaiatan dengan program KKP. Kehadiran dalam rapat anggota juga mempengaruhi pemahaman hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran, dengan koefisien korelasi 0,34 dan menunjukkan hubungan yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%, artinya walaupun korelasinya kurang kuat ada indikasi, dengan aktiv dalam rapat anggota, bagi petani yang kurang lancar dalam menulis dan membaca (42,5 % pada tabel 1), dapat dibimbing secara langsung oleh PPL atau pihak-pihak terkait, sehingga dapat diketahui hak, kewajiban, dan sanksi. Sebaliknya yang tidak atau kurang dalam mengikuti rapat anggota tidak akan menemui kendala dalam memenuhi hak, kewajiban, dan sanski. Kehadiran dalam rapat anggota juga berhubungan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP, sebab perasaan dan pengalaman petani dalam ikut program KKP sulit diukur. Manfaat KKP akan dirasakan jika KKP menguntungkan dirinya. Begitupun sebaliknya, sehingga untung ruginya sangat obyektif. Kehadiran dalam rapat anggota kelompok mempunyai kecenderungan tidak berhubungan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP. Kecenderungan ini terlihat pada koefisien korelasi sebesar 0,2 yang menunjukan hubungan nyata pada taraf kepercayaan 95%.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

11


Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Anna Gustina

Hubungan antara keterdedahan terhadap media dengan prosedur pengajuan KKP sangat nyata sebesar 0,23 pada taraf kepercayaan 99%, artinya bahwa petani yang sering memanfaatkan media akan menambah wawasannya. Program-program yang ditayangkan melalui media elektronik maupun media cetak turut membentuk pemahaman petani tentang KKP. Dengan memanfaatkan media cetak (majalah/koran) misalnya petani akan mengetahui cara-cara dalam pengajukan kredit ketahanan pangan (KKP). Penayangan informasi lewat media biasanya lebih membekas di hati petani, sehingga petani yang memanfaatkan media sebagai sumber informasi akan lebih memahami cara pengajuan KKP. Sebaliknya petani yang tidak atau kurang mengikuti perkembangan program KKP lewat media, pemahamannya tentang cara pengajuan KKP rendah. Keterdedahan terhadap media juga mempengaruhi pemahaman hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran. Koefisien korelasi sebesar 0,23 menunjukkan hubungan yang nyata pada taraf kepercayaan 95%, artinya walaupun korelasinya kurang kuat ada indikasi, penyampaian program melalui media yang disertai dengan ilustrasi gambar dan ilustrasi garis, akan lebih mudah dipahami oleh petani. Disamping itu petani mempunyai kesan tersendiri dengan pesan yang disampaikan lewat media, yang tentunya petani akan cepat paham sehingga hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran cepat diserap oleh petani. Keterdedahan terhadap media juga berhubungan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP. Dalam media dijelaskan faktor-faktor keuntungan mengikuti program KKP. Dari sini petani yang sering memanfaatkan media akan mengetahui apa manfaat dan kegunaan KKP bagi usaha pertaniannya. Petani yang semula tidak merasakan manfaat KKP tetapi setelah memanfaatkan media maka ia merasa telah merasakan manfaat KKP. Kecenderungan ini terlihat pada koefisien korelasi sebesar 0,32 yang menunjukan hubungan sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%. Hubungan sangat nyata antara kontak dengan sumber informasi dengan prosedur pengajuan KKP ditunjukan oleh nilai korelasi sebesar 0,48 pada taraf kepercayaan 99% , artinya bahwa petani yang sering membangun hubungan dengan sumber-sumber informasi akan mempunyai peluang besar mengikuti program KKP dengan lancar yang akhirnya membawa dampak pemahaman yang baik tentang KKP termasuk prosedur-prosedur pengajuan, sehingga kesalahan-kesalahan yang sering dialami petani akan terhindar. Hal ini karena sumber informasi merupakan kunci dari segala data dan turut berperan dalam pengambilan kebijakan yang berkenaan dengan program KKP sehingga, keberadaannya betul-betul diperlukan. Kontak dengan sumber informasi juga berhubungan dengan pemahaman petani tentang hak, kewajiban, dan sanksi atas pelanaggaran dalam program KKP. Keberadaan sumber informasi sebagai penjelas dari hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran yang tertulis memerlukan pemahaman yang mendalam. Keefektifan dan keseringan kontak akan membantu petani. Dengan koefisien korelasi 0,30 menunjukkan hubungan yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 99% , artinya walaupun korelasinya kurang kuat ada indikasi,

12

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Anna Gustina

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

keseringan kontak dengan sumber informasi mengenai hak, kewajiban, dan sanksi akan mengurangi resiko terhadap petani selaku kreditur maupun pemerintah selaku debitur. Kontak dengan sumber informasi juga berhubungan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP. Manfaat lebih bersifat individual. Artinya pengalaman petani dalam merasakan manfaat KKP antara petani yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda. Petani akan merasakan manfaat KKP jika dia berada dalam kondisi dan situasi yang memungkinkannya untuk merasakan manfaat dan kegunaan KKP. Kontak dengan sumber informasi tidak menjadi faktor penentu apakah petani merasakan manfaat atau kegunaan KKP. Keseringan kontak dengan sumber informasi atau tidak bukan ukuran pemahaman petani tentang manfaat KKP. Artinya, belum tentu juga petani yang sering kontak pemahamannya tentang manfaat KKP baik. Dan belum tentu juga petani yang jarang kontak dengan sumber informasi pemahamannya tentang manfaat KKP juga rendah. Kecenderungan ini terlihat pada koefisien korelasi sebesar 0,10 yang menunjukan hubungan nyata pada taraf kepercayaan 95%. Hubungan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang KKP Penggunaan jenis media merupakan perilaku komunikasi petani yang berhubungan dengan pemahaman petani tentang program KKP. Hasil uji statistik dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 7. Koefisien Korelasi Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani Penggunaan Jenis Media Mendengarkan radio Menonton televisi Membaca majalah/koran

Pemahaman Petani Tentang KKP Proses pengajuan Sanksi terhadap pelanggaran 0,39** 0,47** 0,04 0,43** ** 0,33 0,39**

Manfaat 0,44** 0,46** 0,56**

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa hubungan sangat nyata antara mendengarkan radio dengan prosedur pengajuan KKP sebesar 0,39 pada taraf kepercayaan 99%. Hal ini berarti bahwa keseringan dalam mendengarkan radio memiliki hubungan signifikan dengan pemahaman petani tentang prosedur pengajuan KKP. Petani yang agak sulit membaca, akan lebih mudah mengakses pesan-pesan tentang program KKP melalui siaran radio dan hal ini terbukti sangat membantu petani dalam memahami prosedur pengajuan KKP. Dengan mendengarkan siaran-siaran radio juga mempengaruhi pemahaman hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran, dengan koefisien korelasi 0,39 menunjukkan hubungan yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%, artinya ada indikasi, dengan aktif mendengarkan radio petani dapat memahami hak-hak dan kewajiban petani selaku kreditur sehingga dapat menghindar dari sanksi. Sebaliknya petani yang tidak atau kurang mendengarkan radio tidak dapat mengetahui hak dan kewajibannya sebagai kreditur.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

13


Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Anna Gustina

Mendengarkan radio juga berhubungan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP, sebab informasi-informasi yang terkait dengan manfaat dari program KKP, akan lebih diketahui petani. Hal-hal yang mungkin kurang jelas dalam rapat anggota misalnya, akan lebih jelas setelah mendengarkan radio. Kecenderungan ini terlihat pada koefisien korelasi sebesar 0,34 yang menunjukan hubungan sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%. Hubungan antara menonton televisi dengan prosedur pengajuan KKP sebesar 0,04 pada taraf kepercayaan 95%, artinya bahwa tampilan visual disertai narasi tentang program KKP melalui televisi akan lebih memperjelas cara-cara (prosedur) pengajuan kredit ketahanan pangan (KKP). Sebab dengan tampilan secara visual tentang apa yang dibicarakan akan lebih jelas. Menonton televisi juga mempengaruhi pemahaman hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran, dengan koefisien korelasi 0,43 menunjukkan hubungan yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%, artinya walaupun korelasinya kurang kuat ada indikasi, dengan mendengarkan dan melihat unsur visualisasi , petani dapat memahami hak, kewajiban, dan sanksi terhapap pelanggaran. Sebaliknya yang tidak atau kurang dalam mengikuti rapat anggota tidak akan menemui kendala dalam memenuhi hak, kewajiban, dan sanski. Menonton televisi juga berhubungan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP, sebab. Kecenderungan ini terlihat pada koefisien korelasi sebesar 0,47 yang menunjukan hubungan yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 99%. Artinya semakin sering mengikuti program-program KKP melalui televisi, akan lebih banyak mengetahui manfaat program KKP. Majalah/koran merupakan salah satu media komunikasi yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya. Dengan karakteristik yang merupakan ciri dari majalah/koran, sebab jika dibandingkan dengan media lainnya, majalah/koran dapat dibawah kemana saja dan dapat disimpan dalam waktu yang laman. Dengan demikian informasi-informasi tentang program KKP akan lebih diperjelas melalui majalah/koran. Hubungan sangat nyata antara membaca majalah/koran dengan prosedur pengajuan KKP sebesar 0,33 pada taraf kepercayaan 99%, artinya bahwa informasi melalui majalah/koran akan mempunyai hubungan dengan prosedur pengajuan KKP. Petani yang sering mengikuti program-program yang ditayangkan melalui media media cetak ini mempunyai pemahaman lebih tentang KKP. Prosedur pengajuan KKP akan lebih cepat dan baik dipahami lewat majalah/koran karena jika sekali belum paham petani dapat memahaminya dengan membaca berulang-ulang. Petani yang kemampuan baca tulisnya rendah dapat meminta teman atau yang lainnya untuk membacakan dan menerangkan. Membaca majalah/koran juga mempengaruhi pemahaman hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran. Dengan koefisien korelasi 0,39 menunjukkan hubungan yang nyata pada taraf kepercayaan 99%, artinya ada indikasi, penyampaian program melalui media cetak yang disertai dengan ilustrasi gambar dan ilustrasi garis, akan lebih mudah dipahami oleh petani. Disamping itu petani mempunyai kesan tersendiri dengan pesan yang

14

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Anna Gustina

Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

disampaikan lewat media cetak, petani akan cepat paham sehingga hak, kewajiban, dan sanksi terhadap pelanggaran cepat diserap oleh petani. Membaca majalah/koran juga berhubungan dengan pemahaman petani tentang manfaat KKP. Dengan kofesien korelasi 0,56 menunjukan hubungan yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 99% menunjukan dalam media dijelaskan faktor-faktor keuntungan mengikuti program KKP. Kondisi ini menunjukkan petani yang sering memanfaatkan media cetak akan mengetahui apa manfaat dan kegunaan KKP bagi usaha mereka. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemahaman petani tentang prosedur pengajuan KKP, hak dan kewajiban dan sanksi terhadap pelanggaran, dan manfaat KKP rata-rata dalam kategori cukup baik. 2. Selain itu hasil penelitian menunjukkan Adanya perbedaan yang nyata dari karakteristik individu petani, perilaku komunikasinya, dan penggunaan jenis media, menyebabkan pemahamannya tentang program KKP berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tersebut, terutama pada faktor perilaku komunikasi dan penggunaan jenis media, hal ini dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati dalam penelitian ini, yaitu lebih cenderungan pasif dan tingkat kesibukannya sebagai petani. 3. Hubungan karakteristik individu petani, perilaku, komunikasinya, dan penggunaan jenis media yang cukup variatif, dengan rata-rata persentase terbesar masing-masing faktor dalam kategori cukup menggambarkan kondisi petani di Kabupaten Tanggamus diindikasikan mempunyai hubungan dengan respon petani terhadap program KKP. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut di sarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Publisitas dari program KKP ini perlu ditingkatkan baik yang menyangkut prosedur, hukum, dan manfaatnya. 2. Guna mengantisipasi kecenderungan kurang aktivnya petani (pasif) diperlukan peran aktif pihak-pihak terkait dalam mempromosikan dan mengajarkan hal-hal yang terkait dengan program KKP ini, baik melalui media formal (televisi, radio, dan cetak) maupun media-media informal. 3. Terdapat hal-hal yang tidak diamati, terutama perilaku petani, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Daftar Pustaka Berlo, David K. 1960. The Process of Communication. New York : Holt Rinehart and Winston Inc. Corner, John dan Jeremy Hawthorn. 1986. Communication Studies : An Introductory Reader. Victoria : Edward Arnold Pty Ltd.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

15


Karakteristik Individu, Perilaku Komunikasi dan Penggunaan Jenis Media dengan Pemahaman Petani tentang Kredit Ketahanan Pangan

Anna Gustina

Lionberger, Herbert F. dan Paul H. Gwin. 1982. Communication Strategies : A Guide for Agricultural Change Agents. Illionis ; the Interstate Printers and Publishers Inc. Rogers, Everet, M dan Kincaid, D. Lawrence. 1982. Communication Net Work : To ward a New Paradigm for Research. London : Collier Macmillan Publishers.Sudman S and Norman MB. 1989. Asking Question : A Practical Guide to Questionare Desaign. Oxford : Jossey-Bass Publishers. Schram, Wilbur. 1982. Men, Women, Massages and Media : Understanding Human Communication. New York : Harper and Row Publisher.

16

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rahmad Hadi Nugroho

Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan Rahmad Hadi Nugroho Manajer Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah I Sulampua

ABSTRAK Terbitnya Inmendagri No.027/1696/SJ tahun 2013 membawa implikasi beban koordinasi kepada Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi, terutama untuk melakukan pembinaan dan pendampingan kepada TPID Kabupaten/Kota yang baru terbentuk. Untuk provinsi di dengan luas wilayah dan jumlah kabupaten/kota yang banyak, beban koordinasi tentu menjadi semakin berat. Kajian ini bertujuan untuk mencari solusi agar kualitas koordinasi TPID Provinsi dengan TPID Kabupaten/Kota tetap berjalan baik. Mengambil studi kasus Provinsi Sulsel, hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi provinsi yang memiliki permasalahan yang sama. Salah satu solusi yang dapat diambil adalah membagi TPID Kabupaten/Kota menjadi beberapa zona. Dengan metodologi deskriptif analitis menggunakan data administratif dan data sekunder seperti luas wilayah, batas administratif, PDRB, dan aset perbankan, sebagai dasar pengelompokkan zona. Hasil kajian menunjukkan, bahwa untuk Provinsi Sulawesi Selatan, menggunakan data indikator tersebut, dapat dibagi menjadi 5 zona, antara lain Zona Bone/Watampone, Zona Bulukumba, Zona Makassar, Zona Palopo, dan Zona Parepare. Kata kunci: TPID, koordinasi, sistem zonasi ABSTRACT The issuance of Inmendagri Number 027/1696/SJ in 2013 gave consequences to Regional Inflation Task Force (RITF) in province level, especially to be adviser for RITF in district/City level that recently formed. Provinces with great number of district/cities, would be different with the little number. This study aims to find solutions for better and efficient coordination. Taking the case of South Sulawesi province, the results of this study are expected to be a reference. The alternative solution is divide RITF in district/City level into several zones. Using descriptive analytical methodology, we process such data as total

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

17


Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Rahmad Hadi Nugroho

area, administrative boundaries, GDP, and banking assets, as indicator for grouping basis. The results show, that in South Sulawesi province, we can divide RITF in district/City into 5 zones, such as Bone Zone, Bulukumba Zone, Makassar Zone, Palopo Zone, and Parepare Zone. Key Words: RITF, coordination, zone system Pendahuluan Secara kelembagaan pengendalian inflasi merupakan tugas bersama Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia. Bank Indonesia mengendalikan inflasi sisi demand (inflasi inti) dengan menggunakan perangkat kebijakan moneter. Sementara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengupayakan kestabilan harga melalui berbagai kebijakan yang dapat mempengaruhi sisi supply (pasokan). Diperlukan sinergi, koordinasi, dan sinkronisasi antara kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal di tingkat pusat maupun daerah, melalui wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Tirtosuharto dan Adiwilaga (2013) mengatakan bahwa desentralisasi berdampak terhadap inflasi regional di Indonesia, dimana kenaikan desentralisasi fiskal juga menaikkan volatilitas inflasi regional, sampai batas tertentu, oleh karena itu kelembagaan tetap berperan dalam mengendalikan inflasi di daerah. Perkembangan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) semakin pesat dengan diterbitkannya Inmendagri No.027/1696/SJ tentang Menjaga Keterjangkauan Barang dan Jasa di Daerah tanggal 2 April 2013. Inmendagri tersebut menginstruksikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk membentuk TPID dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian dan mengatasi permasalahan ekonomi sektor riil serta menjaga stabilitas harga barang dan jasa yang terjangkau oleh masyarakat. a. Beragamnya Beban Koordinasi TPID Provinsi Sebagai implikasi Inmendagri tersebut, tugas dan kewajiban TPID Provinsi untuk melakukan koordinasi dengan TPID Kab/Kota relatif beragam. Dengan memetakan jumlah kab/kota dengan luas wilayah, beban masing-masing TPID Provinsi dapat diketahui (Grafik 1). Mengambil contoh wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua, terlihat bahwa Provinsi Papua akan memiliki beban yang terbesar, berturut-turut diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Gorontalo. Mengingat beban koordinasi tersebut, maka akan dikaji implementasi pembagian zona TPID Kabupaten/Kota oleh TPID Provinsi Sulawesi Selatan.

18

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Rahmad Hadi Nugroho

18

Persentase Luas Wilayah terhadap Indonesia(%)

16

Papua

14 12 10 8 6

Papua Barat Sulawesi Tengah

4

5

Sulawesi Selatan

Sulawesi Tenggara

Maluku Utara 2 Sulawesi Barat Gorontalo 0

Maluku 10

Sulawesi Utara 15

Jumlah Kab/Kota 20

25

30

Grafik 1. Beban Koordinasi TPID Provinsi Pasca Penerbitan Inmendagri No.027/1696/SJ

b. Profil Provinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan memiliki luas wilayah sebesar 45.764,53 km2, dengan 24 kabupaten/kota dengan rincian 21 kabupaten, 3 kota, 304 kecamatan dan 2.953 desa/kelurahan. Provinsi Sulawesi Selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah Utara dan Teluk Bone. Selain itu, Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Timur. Batas sebelah Barat dan Timur masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut Flores. Penduduk Sulawesi Selatan pada tahun 2012 sebesar 8.190.222 jiwa atau naik sebesar 74.584 jiwa dari tahun 2011 sebesar 8.115.638 jiwa. Jumlah penduduk terbesar berada di Kota Makassar yaitu sebesar 1.369.606 jiwa pada tahun 2012 atau 16,72% dari total penduduk Sulawesi Selatan. Sedangkan penduduk terkecil berada Kabupaten Selayar yaitu sebesar 124.553 jiwa atau 1,52% dari total penduduk Sulawesi Selatan. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sulsel (PDRB ADHB) tahun 2013sebesar Rp184.510 milyar, atau mencapai 2,44% dari PDB Indonesia. Struktur PDRB Provinsi Sulsel terdiri dari sektor-sektor utama antara lain sektor Pertanian; sektor Pedagangan, Hotel, dan Restoran; sektor Jasa-jasa; dan sektor Industri Pengolahan. Sementara berdasarkan daerahnya, lima Kabupaten/Kota yang memiliki pangsa terbesar berturut-turut adalah Kota Makassar, Kab. Luwu Timur, Kab. Bone, Kab. Pangkep, dan Kab. Pinrang. Pertumbuhan ekonomi Sulsel tetap tinggi dan diimbangi dengan tingkat inflasi yang terkendali. Selama 5 (lima) tahun terakhir tingkat inflasi Sulsel cenderung lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat dikatakan kalau investasi maupun daya beli masyarakat juga relatif terjaga. Namun demikian, disparitas antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi cenderung menyempit mulai tahun 2013.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

19


Rahmad Hadi Nugroho

Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

Pertumbuhan Ekonomi

%, yoy

I

II

III IV

2010

I

II

III IV

2011

I

II

III IV

2012

I

II

III IV

2013

Inflasi

I

II

2014

Grafik 2. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Untuk perhitungan inflasi di Sulsel, BPS mengambil sampel 5 kota survei biaya hidup (SBH) yaitu Kabupaten Bone/Watampone, Kab. Bulukumba, Kota Makassar, Kota Palopo dan Kota Parepare. Tingkat inflasi terutama datang dari sektor pangan yang termasuk volatile food (VP). Berdasarkan SBH tahun 2012, jumlah komoditas VF sebanyak 85 komoditas, dengan bobot sebesar 16,62%. Contohnya adalah beras, bawang merah, bawang putih, cabai, daging sapi, daging ayam dsb. Bobot kelompok VF mencapai 88% dari bobot kelompok Bahan Makanan (18,85%) dengan total komoditas sebanyak 314. Tantangan yang dihadapi TPID adalah konsumsi beras di Sulawesi Selatan yang masih tinggi, sekitar 104,5 kg per kapita per tahun (Susenas Sulsel, 2012), sedangkan konsumsi nasional sebesar 97,65 kg/kapita/tahun (Susenas, 2012). Oleh sebab itu, konsumsi beras yang tinggi dapat memicu harga beras sehingga apabila harga beras naik dapat mempengaruhi kenaikan harga komoditas lainnya karena beras merupakan salah satu komoditas strategis. Strategi kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi menjadi penting bagi pengendalian inflasi kelompok VF. Di sisi lain, inflasi inti dan administered price (AP) membutuhkan strategi pengendalian permintaan dan kebijakan pemerintah. Jumlah komoditas inflasi inti sebanyak 751 komoditas dengan bobot sebesar 65,36%. Contohnya adalah pakaian, mobil, alat elektronik seperti televisi, radio, dan lainnya. Sementara inflasi administered price adalah komoditas yang mekanisme pembentukan harganya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, baik dari pusat maupun daerah. Contohnya adalah bensin, solar, bahan bakar rumah tangga (LPG, minyak tanah), berbagai tarif angkutan, tarif tol, tarif parkir dan lainnya. Berdasarkan SBH

20

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rahmad Hadi Nugroho

Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

tahun 2012, komoditas kelompok ini berjumlah 23 komoditas, dengan bobot sebesar 18,02%. c. Pembentukan TPID Provinsi Sulawesi Selatan Kompleksitas pengendalian inflasi di daerah mendorong Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan membentuk Forum Koordinasi Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan SK Gubernur Sulsel Nomor 3956/XII/Tahun 2009. Namun, setelah adanya penyeragaman melalui Inmendagri Nomor 027/1696/SJ tahun 2013, dilakukan penyesuaian melalui SK Gubernur Sulsel No.238/II/Tahun 2014 tentang Pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Seiring dengan meningkatnya pemahaman pentingnya TPID, maka Kab/Kota di Sulsel mulai membentuk TPID. Hingga September 2014, selain TPID Provinsi Sulsel, juga telah terbentuk 3 TPID Kota (Makassar, Parepare, dan Palopo) dan 19 TPID Kabupaten (Bone, Soppeng, Bulukumba, Luwu Timur, Luwu Utara, Toraja Utara, Tana Toraja, Enrekang, Pinrang, Sidrap, Barru, Soppeng, Wajo, Sinjai, Bantaeng, Jeneponto, Selayar, Pangkep, Maros, dan Takalar). Tujuan Penelitian a. Mencari pemecahan untuk meningkatkan koordinasi TPID Provinsi dengan TPID Kab/Kota. b. Mengetahui indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai dasar pembagian kab/kota di dalam satu provinsi ke dalam zona-zona. c. Mengelompokkan TPID Kab/Kota dalam satu provinsi menjadi beberapa zona. Metodologi Penelitian Kajian ini disusun menggunakan data administratif dan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Data yang digunakan adalah data tahunan, antara lain tahun 2012 s.d. 2014. Data diolah dengan statistik deskriptif dengan membandingkan secara cross section (antar daerah) dan time series (runtut waktu). Hasil analisis digambarkan dengan menggunakan program ArcGIS, agar lebih mudah dipahami oleh pembaca. Landasan Teori a. Teori Inflasi Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum dimana barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau turunnya daya jual mata uang suatu negara/daerah. Penyebab inflasi dapat berasal dari demand pull inflation ataupun cost push inflation. Demand pull inflation adalah kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh adanya gangguan (shock) pada sisi permintaan barang dan jasa. Kenaikan permintaan barang yang

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

21


Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Rahmad Hadi Nugroho

tidak seimbang dengan kenaikan penawaran akan mendorong harga naik sehingga terjadi inflasi. Cost push inflation adalah inflasi yang disebabkan oleh adanya gangguan (shock) dari sisi penawaran barang dan jasa atau yang biasa juga disebut dengan supply shock inflation, biasanya ditandai dengan kenaikan harga yang disertai oleh turunnya produksi atau output (Mankiw, 2002). Teori kuantitas Irving Fisher menyatakan salah satu penyebab inflasi adalah ekspektasi atau harapan masyarakat mengenai kenaikan harga, dengan tahap-tahap : (1) masyarakat belum meramalkan harga-harga untuk naik pada waktu mendatang, sehingga masyarakat belum menyadari adanya inflasi; (2) masyarakat mulai sadar akan adanya inflasi dan meramalkan adanya kenaikan harga barang-barang pada waktu mendatang, sehingga terdapat kenaikan permintaan barang-barang tersebut dan selanjutnya harga barang-barang tersebut akan meningkat; (3) tahap hiperinflasi, sehingga masyarakat sudah kehilangan kepercayaannya terhadap nilai mata uang. Keadaan ini ditandai dengan makin cepatnya peredaran uang (high velocity of circulation). Mankiw et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara ekspektasi ke depan konsumen dengan para profesional. Terdapat variasi antar waktu, tergantung pergerakan inflasi dan perubahan nilai absolut inflasi. Untuk itu, dinamikanya hanya bisa ditangkap melalui model dinamis. b. Teori Growth Pole Teori Growth Pole dikembangkan oleh ahli ekonomi Perancis Francois Perroux pada tahun 1955. Secara geografis, suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas/infrastruktur dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), sehingga berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi didaerah yang bersangkutan dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada. Termasuk dalam pengertian infrastruktur adalah fasilitas transportasi, bangunan institusional dan komersial, bangunan irigasi, drainase dan pengendali banjir, fasilitas air bersih dan air kotor, fasilitas penanganan limbah padat, pembangkit energi dan distribusinya, fasilitas telekomunikasi, fasilitas olah raga dan rekreasi, serta infrastruktur kawasan permukiman (Hudson, et al., 1997). Suatu kota dikatakan sebagai pusat pertumbuhan harus bercirikan: (1) adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, (2) adanya unsur pengganda (multiplier effect), (3) adanya konsentrasi geografis, (4) bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2004).

22

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rahmad Hadi Nugroho

Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Hasil Pembahasan Mengantisipasi permintaan pendampingan dan koordinasi, sebagai implikasi perkembangan TPID Kab/Kota yang semakin pesat, yang disertai dengan peningkatan intensitas kegiatannya, maka TPID Provinsi Sulsel berinisiatif untuk meningkatkan efisiensi koordinasi. Langkah yang dapat ditempuh adalah membagi TPID Kab/Kota yang berdasarkan indikator-indikator sebagai berikut: a. Letak geografis dan Kota Sampel Survey Biaya Hidup (SBH) Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data SBH tahun 2012 dengan 5 (lima) kota sampel yaitu Kota Palopo, Kota Parepare, Kab. Bone, Kab. Bulukumba dan Kota Makassar. Kota sampel SBH dapat ditetapkan sebagai kota sebagai kutub (pole), dengan memperhatikan kedekatan administratif dengan kota sampel SBH tersebut, serta luas wilayah kerja yang hampir sama yaitu berada pada kisaran 5.000km2 hingga 9.000km2 sebagai berikut:  Zona sebelah utara adalah Zona Palopo merupakan kumpulan kab/kota yang terdiri dari Kab. Luwu Timur, Kab Luwu Utara, Kab. Toraja Utara, Kab. Tana Toraja, Kota Palopo dan Kab. Luwu. Zona Palopo merupakan wilayah atas Sulsel.  Zona tengah dibagi menjadi 3 yaitu Zona Parepare, Zona Bone dan Zona Makassar.  Zona Bulukumba merupakan zona paling selatan Sulsel yaitu Kab. Bulukumba, Kab. Bantaeng, Kab. Jeneponto, dan Kab. Selayar.

Zona Palopo

Zona Parepare Zona Bone Zona Makassar

Zona Bulukumba

Gambar 1. Pembagian Zona Berdasarkan Letak geografis dan Kota Sampel SBH

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

23


Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Rahmad Hadi Nugroho

Tabel 1. Pembagian Zona Berdasarkan Batas Administrasi Zona

Kabupaten Kab. Luwu Timur Kab. Luwu Utara

Zona Palopo

Kab. Toraja Utara Kab. Tana Toraja Kota Palopo Kab. Luwu Kab. Enrekang Kab. Pinrang

Zona Parepare

Kab. Sidrap Kota Parepare Kab. Barru Kab. Soppeng Kab. Bone

Zona Bone Kab. Wajo Kab. Sinjai

24

Batas Administrasi Utara: Prov. Sulawesi Tengah; Selatan: Prov. Sulawesi Tenggara dan Teluk Bone; Barat: Kab. Luwu Utara; Timur: Prov. Sulawesi Selatan Utara: Provinsi Sulawesi Tengah; Selatan: Teluk Bone, Barat: Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Mamuju, Timur: Kabupaten Luwu Timur. Utara: Kab. Mamuju-Provinsi Sulawesi Barat, Kab. Luwu Utara; Selatan: Kab. Tana Toraja; Barat: Kab. Tana Toraja; Timur: Kab. Luwu Utara: Kab. Toraja Utara dan Propinsi Sulawesi Barat; Selatan: Kab. Enrekang dan Kab. Pinrang; Barat: Propinsi Sulawesi Barat ; Timur : Kab. Luwu; Utara: Kab. Luwu; Selatan: Teluk Bone; Barat: Kab. Luwu; Timur: Kab. Luwu Utara: Kab. Luwu Utara dan Kab. Tana Toraja; Selatan: Kab. Sidrap dan Kab. Wajo; Barat: Kab. Tana Toraja dan Enrekang; Timur: Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara Utara: Kab. Tana Toraja; Selatan: Kab Luwu; Barat: Kab. Pinrang; Timur: Kab. Sidrap Utara: Kab. Tana Toraja; Selatan: Kota Parepare; Barat: Selat Makassar dan Kab. Polewali Mandar; Timur: Kab. Enrekang dan Sidrap Utara: Kab. Pinrang dan Enrekang; Selatan: Kab Barru dan Soppeng; Barat: Kab Pinrang dan Kota Parepare; Timur: Kab. Luwu dan Wajo Utara: Kab. Pinrang dan Enrekang; Selatan: Kab Barru; Barat: Selat Makassar; Timur: Kab. Sidrap Utara: Kota Parepare; Selatan: Kab.Soppeng; Barat: Selat Makassar; Timur: Kab. Pangkajene Utara: Kab. Sidenreng Rappang dan Kab. Wajo; Selatan: Kab. Bone; Barat: Kab. Barru; Timur: Kab. Wajo dan Kab. Bone Utara: Kab. Wajo, Soppeng; Selatan: Kab. Sinjai, Gowa; Barat: Kab. Maros, Pangkep, Barru; Timur: Teluk Bone Utara: Kab. Sidrap; Selatan: Teluk Bone; Barat: Kab.Soppeng; Timur: Kab. Bone Utara: Kab. Bone; Selatan: Kab. Bulukumba; Barat: Kab. Gowa; Timur: Teluk Bone

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Rahmad Hadi Nugroho

Kab. Bulukumba Kab. Bantaeng Zona Bulukumba

Kab. Jeneponto Kab. Selayar Kab. Pangkep Kab. Maros

Zona Makassar

Kota Makassar Kab. Gowa Kab. Takalar

Utara: Kab. Sinjai; Selatan: Laut Flores; Barat: Teluk Bone; Timur: Kab. Bantaeng Utara: Kab.Gowa; Selatan: Laut Flores; Barat: Kab. Jeneponto; Timur: Kab. Bulukumba Utara: Kab.Gowa; Selatan: Laut Flores; Barat: Kab. Takalar; Timur: Kab. Bantaeng Utara: Kab. Bulukumba dan Teluk Bone; Selatan: Provinsi Nusa Tenggara Timur; Barat: Laut Flores dan Selat Makassar; Timur: Laut Flores (Prov. NTT) Utara: Kab. Barru; Selatan: Kab. Maros; Barat: Nusa Tenggara; Timur: Kab. Bone Utara: Kab.Pangkep; Selatan: Kota Makassar dan Kab. Gowa; Barat: Selat Makassar; Timur: Kab, Bone Utara: Kab. Pangkep; Selatan: Kab. Gowa; Barat: Selat Makassar; Timur: Kab. Maros Utara: Kota Makassar, Kab. Maros; Selatan: Kab. Takalar dan Jeneponto; Barat: Kota Makassar dan Takalar; Timur: Kab. Sinjai, Bulukumba dan Bantaeng Utara: Kab. Gowa; Selatan: Kab. Bantaeng; Barat: Selat Makassar; Timur: Kab. Jeneponto

Sumber: www.sulselprov.go.id

b. Karakteristik Sektoral Mempertimbangkan teori growth pole, pengelompokan zona juga mempertimbangkan adanya keterwakilan pusat perdagangan. Daerah sebagai pusat perdagangan, cenderung memiliki pangsa sektor sekunder maupun tersier yang lebih besar, karena kedua sektor tersebut perkembangan cenderung lebih cepat daripada sektor primer. Atau dapat dikatakan daerah yang mengalami hilirisasi industri, akan memberikan nilai tambah yang lebih besar terhadap perekonomian Provinsi Sulsel. Pembagian zona berdasarkan letak geografis dan kota sampel Survey Biaya Hidup (SBH) telah mempertimbangkan pembagian daerah berdasar dengan setidaknya satu pusat perdagangan, namun tetap terdapat daerah produksi (cenderung ke sektor primer). Adapun secara lebih mendetail, karakteristik masing-masing daerah adalah sebagai berikut:  Zona Palopo. Pada Kab. Luwu Timur terdapat tambang nikel yang dikelola oleh perusahaan Kanada, INCO. Pada Luwu Utara sebagian berbasis kepada pertanian dan kelautan seperti halnya Kota Palopo. Sedangkan pada Toraja daerah tersebut juga banyak ditopang oleh sektor pariwisata. Sementara Kota Palopo cenderung ke kota jasa.  Zona Parepare, sebagian besar perekonomian didorong oleh sektor pertanian. Kab. Pinrang dan Kab. Sidrap merupakan lumbung pangan di Sulsel. Kota Parepare sebagai pusat perdagangan di zona tersebut menerima barang dari wilayah sekitar sehingga produk pertanian dari Pinrang dan Sidrap mengirimkan barang ke Kota Parepare.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

25


Rahmad Hadi Nugroho

Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

 Zona Bone. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi pada Zona Bone juga memiliki mata pencarian sebagai petani dengan produk utama padi, palawija dan coklat (di Kab. Sinjai). Kemudian produk pangan dapat dikirim ke Kab. Bone sebagai pusat perdagangan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Kab. Bone merupakan yang tertinggi di zona tersebut terlihat dari PDRB tahun 2012 sebesar Rp 3.685 milyar.  Zona Bulukumba. Kab Bulukumba merupakan pusat perdagangan karena memiliki PDRB paling tinggi diantara kabupaten lainnya yaitu sebesar Rp 2.019 milyar. Sehingga wilayah sekitar dengan ditopang oleh sektor pertanian dan perikanan.  Zona Makassar. Kota Makassar sebagai ibukota Provinsi memiliki pertumbuhan ekonomi dan pusat perdagangan terbesar di Sulsel, cenderung ditopang oleh sektor sekunder dan tersier. Kab. Gowa ditopang oleh sektor pertambangan. Kab. Pangkep berkembang sektor sekunder karena terdapat industri semen. Sementara Kab. Takalar dan Maros hampir seimbang antara perkembangan sektor primer (pertanian) dan tersier.

Zona Palopo

Zona Bone/Wata Zona mpone Bulukumba Zona Makassar Zona Parepare

Grafik 3. Pangsa Sektoral Kab/Kota Kab. Takalar Kab. Gowa Kota Makasar Kab. Maros Kab. Pangkep Kab. Selayar Kab. Jeneponto Kab. Bantaeng Kab. Bulukumba Kab. Sinjai Kab. Wajo Kab. Bone Kab. Soppeng Kab. Barru Kota Parepare Kab. Sidrap Kab. Pinrang Kab. Enrekang Kab. Luwu Kota Palopo Kab. Tana Toraja Kab. Toraja Utara Kab. Luwu Utara Kab. Luwu Timur

Primer Sekunder Tersier

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Sumber: BPS, 2012 (diolah)

26

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rahmad Hadi Nugroho

Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Masing-masing zona memiliki pangsa sekitar 12%-20% terhadap ekonomi Sulsel, kecuali zona Makassar dan Bulukumba. Zona Makassar memiliki pangsa 45,7% karena sumbangan kota Makassar yang relatif besar (33,0%). Sementara zona Bulukumba relatif kecil, hanya berkisar 7,5%. Namun dalam setiap zona, selalu ada kota/kab yang memiliki sumbangan terbesar. Dalam Zona Makassar pangsa terbesar adalah kota Makassar; dalam zona Bulukumba pangsa terbesar adalah kab. Bulukumba; zona Bone pangsa terbesar adalah kab. Bone; zona Parepare pangsa terbesar adalah kab. Pinrang; dan zona Palopo pangsa terbesar adalah kab. Luwu Timur. Gambar 2. Pangsa PDRB Kab/Kota terhadap Sulsel

Sumber: BPS, 2012 (diolah)

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

27


Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Rahmad Hadi Nugroho

c. Perkembangan Lembaga Keuangan (Perbankan) Perkembangan ekonomi suatu daerah diikuti dengan tingkat kemajuan lembaga keuangan, yang salah satunya adalah aset perbankan. Namun demikian, kota Makassar tetap menjadi pusat keuangan bagi Provinsi Sulsel sehingga pangsanya sendiri mencapai 69,7%, sehingga pangsa zona Makassar mencapai memiliki pangsa 74,5%. Oleh karena itu, pangsa aset perbankan zona lainnya hanya berkisar 3%-9%. Sama halnya dengan struktur zona berdasar PDRB, dalam setiap zona tetap ada kota/kab yang memiliki pangsa terbesar, yang dianggap sebagai pole growth bagi zona tersebut. Dalam zona Bulukumba pangsa terbesar adalah kab. Bulukumba; zona Bone pangsa terbesar adalah kab. Bone; zona Parepare pangsa terbesar adalah kota Parepare; dan zona Palopo pangsa terbesar adalah kota Palopo. Gambar 3. Pangsa Aset Perbankan Kab/Kota terhadap Sulsel

Sumber: Bank Indonesia, Juni 2014 (diolah)

28

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rahmad Hadi Nugroho

Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Kesimpulan dan Rekomendasi a. Keluarnya Inmendagri No.027/1696/SJ tahun 2013 bagi provinsi yang dengan kondisi geografis yang luas dan memiliki banyak kab/kota, akan membawa konsekuensi beban koordinasi TPID Provinsi yang lebih berat. Hal ini dikarenakan TPID Kab/Kota baru saja terbentuk masih dalam tahap berkembang, sehingga memerlukan pendampingan dan koordinasi dari TPID Provinsi. b. Pembagian zona ditempuh untuk efisiensi dan mempermudah jalur koordinasi dalam meningkatkan komitmen TPID sehingga pada akhirnya inflasi dapat stabil dan terkendali. c. Pembagian zona dapat mempertimbangkan indikator letak geografis dan kota sampel Survey Biaya Hidup (SBH), karakteristik sektoral dan keterwakilan pusat perdagangan, serta perkembangan lembaga keuangan (perbankan). d. Untuk kasus Sulsel, dengan mempertimbangkan indikator-indikator tersebut, Sulsel terbagi menjadi 5 Zona, antara lain Zona Bone/Watampone, Zona Bulukumba, Zona Makassar, Zona Palopo dan Zona Parepare. Daftar Pustaka BKPM. Gambaran Wilayah Kabupaten Gowa. 2012 BPS. Hasil Sensus Penduduk 2010 Kabupaten Barru – Data Agregat Perkecamatan. ___.Hasil Sensus Penduduk 2010 Kabupaten Pangkajene Kepulauan – Data Agregat Perkecamatan. ___. Hasil Sensus Penduduk 2010 Kabupaten Soppeng – Data Agregat Perkecamatan. ___. Kabupaten Bone Dalam Angka 2006. 2006 ___. Kabupaten Bulukumba Dalam Angka 2010. ___. Kabupaten Jeneponto Dalam Angka 2003. ___. Kabupaten Luwu Dalam Angka 2003. ___. Kota Makassar Dalam Angka 2010. ___. Kota Palopo Dalam Angka 2013. ___. Kota Parepare Dalam Angka 2013. ___. Kabupaten Pinrang Dalam Angka 2003. ___. Kabupaten Selayar Dalam Angka 2003. ___. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 46. Maret 2014. ___. Sulawesi Selatan Dalam Angka 2013. ___. Survei Biaya Hidup 2012. Hudson et.al, 1997. Infrastructure Management. McGraw-Hill, New York Kelompok Kerja PPSP. 2012. Gambaran Umum Kabupaten Soppeng ___. Gambaran Umum Kabupaten Bantaeng ___. Gambaran Umum Kabupaten Bulukumba ___. Gambaran Umum Kabupaten Enrekang

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

29


Sistem Zonasi untuk Meningkatkan Koorinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Provinsi terhadap Kabupaten/Kota

Rahmad Hadi Nugroho

Mankiw, Gregory. 2002. Macroeconomics 5th edition. Worth Publishers Mankiw, Gregory. 2003. Disagreement About Inflation Expectations. NBER Working Paper. June 2003 Ramlan, dkk. Laporan Akhir Pendampingan Program Strategis Kementerian Pertanian di Kabupaten Maros. Tarigan, Robinson. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT. Bumi Aksara. Jakarta www.bi.go.id www.sulselprov.go.id

30

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Maritim Indonesia

Rusdianto

Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia Rusdianto Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Madiun, Jawa Timur ABSTRAK Dibutuhkan suatu perubahan paradigma untuk mengembalikan kembali orientasi maritim Indonesia agar dapat dikelola, diatur, dan dikendalikan melalui kebijakan dan strategi yang bagus sehingga kepentingan nasional tercapai. Indonesia memiliki perairan laut 70 persen luas dibandingkan daratan yang merupakan National Building Indonesia. Hal ini menjadi isu strategis dalam proses pembangunan tol laut kedepan. Kekayaan laut Indonesia menjadi faktor percaturan global. Maka pembangunan maritim lebih pada power market comparative segala produk unggulan sumber daya alam nasional dengan tujuan mencegah terjadinya illegal fishing, illegal mining, dan illegal trading. Sehingga perlu kebijakan, strategi, dan program pada aspek maritim dengan pengembangan potensi ekonomi nasional, mempercepat pertumbuhan SDM dan IPTEK Nasional. Sektor maritim sangat menguntungkan (highly profitable) dan menyerap tenaga kerja, mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan kaya miskin, mengurangi disparitas pembangunan, urbanisasi, dan brain drain. Pembangunan tol laut sebagai akselerasi masa depan Negara sehingga daya saing ekonomi Indonesia terjaga. Spirit utama adalah meningkatkan kegiatan eksplorasi, produksi (eksploitasi), dan pengolahan (processing) SDA non-konvensional diwilayah pesisir, seperti industri air laut dalam (deep sea water industry), gas hidrat dan shale gas, deep sea mining, dan pusat ekonomi baru. Pembangunan tol laut sebagai strategi menyamaratakan pendapatan daerah dan keamanan maritim yang didukung teknologi dan komunikasi maritime (Scientific technology and communication maritime) untuk menjaga perairan Indonesia. Pembangunan maritime juga, penyiapan energi pemanfaatan aneka hayati, biota laut, perdagangan, dan pengiriman barang lokal sehingga ekonomi Indonesia bisa meningkat, seperti pergerakan barang dan jasa membutuhkan infrastruktur yang proporsional untuk menjangkau kegiatan distribusi barang dan jasa melalui pelabuhan sentral untuk berlabuhnya kapal besar, seperti pelabuhan Tangjung Karang Mataram, Berang Biji Sumbawa, Labuhan Aji Lombok dan pelabuhan besar lain. Semangat maritim dikonstruksikan dengan beberapa faktor, adalah wawasan bahari, kedaulatan laut, industri dan jasa maritim, mengelola kawasan pesisir, hukum nasional

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

31


Rusdianto

Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia

maritime, komunikasi maritime. Faktor komunikasi maritim bagi laut Indonesia, adalah Pertama, komunikasi maritim culture, integrity, negosiation and diplomation of mercantilism, welfare state, alutsista coastguard, dan knowledge and intelctually. Enam elemen untuk dapat memiliki maritime power, yaitu posisi geografis, konfirmasi fisik, luas wilayah, system komunikasi, jumlah populasi, karakter bangsa, dan karakter pemerintah. Kata kunci: pengolaan sumberdaya air, berkelanjutan ABSTRACT It takes a paradigm shift to restore back the Indonesian maritime orientation to be managed, regulated, and controlled through is good policy and strategic national interest is reached. Indonesia has vast marine waters compared of the land which is the national building Indonesia. It is a strategic issue development process the ocean toll fore. The construction of maritime power over the comparative market a superior product all national resources with the aim of preventing illegal fishing, illegal mining and illegal trading. So it is necessary policy, strategic, and program maritime aspect of the development national potential economy, accelerate the growth of national human resources and science and technology. Maritime sector is highly profitable and employment, poverty and the rich poor gap, reduce the disparity of development, urbanization, and the brain drain. Development toll as acceleration of future sea state that Indonesia's economic competitiveness is maintained. The main spirit is increasing exploration activities, production (exploitation), and processing (processing) of non-conventional SDA coastal region, such as deep sea water industry (deep sea water industry), gas hydrates and shale gas, deep sea mining, and economic center of the new. Construction of the sea as a strategy leveler toll revenue and regional maritime security and communications technology supported maritime (maritime Scientific and communication technology) to keep the waters of Indonesia. Also maritime development, the preparation of a variety of biological energy utilization, marine life, commerce, and local delivery can be increased so that the Indonesian economy, such as the movement of goods and services requires infrastructure to reach activity proportional distribution of goods and services through a central port for berthing large vessels, such as Coral Tangjung port of Mataram, Beaver Seeds of Sumbawa, Lombok and Labuan Aji other major ports. The spirit of maritime constructed by several factors, is insight nautical, marine sovereignty, maritime industries and services, managing coastal areas, national maritime law, maritime communications. Factors for marine communications maritime Indonesia, is the First, maritime communications culture, integrity, negosiation and diplomation of Mercantilism, the

32

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rusdianto

Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Maritim Indonesia

welfare state, coastguard defense equipment, and knowledge and intelctually. Six elements to be able to have a maritime power, the geographical position, physical confirmation, area, communication system, number of population, national character, and the character of the government. Key Words: water resources management, sustainability Pendahuluan Indonesia sebagai negara maritim pernah mengalami masa jaya, tatkala Patih Gadjah Mada berhasil menyatukan seluruh kepulauan nusantara menjadi kerajaan Majapahit. Bahkan pada masa awal-awal kemerdekaan, semasa Presiden Soekarno, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekuatan Angkatan Laut yang ditakuti di kawasan Asia. Indonesia merupakan produsen minyak ke-20 terbesar di dunia. Setiap harinya Indonesia memproduksi sekitar 1.136.000 barel (Tucci & Rosenberg, 2009: 232). Diestimasikan, Indonesia memiliki cadangan minyak sekitar 8,6 milyar barel dan cadangan gas alam sebesar 182 triliun kaki kubik (Ali, 2008). Ditambah lagi, sebagai negara yang memiliki perairan amat luas, tentu saja Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar; mulai dari ikan, sumber mineral, energi laut non-konvensional, hingga pariwisata. Menyimak pidato Ir. Soekarno yang disampaikan pada forum National Maritime Convention I (NMC) tahun 1963 bahwa “membangun Indonesia menjadi negara besar, kuat, makmur dan damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka harus kuasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang�.1 Ingat, Indonesia memeiliki luas lautan 70 persen dibandingkan daratan. Fakta ini, tentu menjadi isu strategis dalam proses pembangunan Indonesia kedepannya. Sungguh ironis, ketika bangsa lain begitu terpesona dengan ribuan pulau Indonesia dan fatalnya para pemangku kebijakan kehilangan akal dan semangat untuk mengelolanya modal besar kekayaan dilaut. Bukan suatu kebetulan wilayah Indonesia dinyatakan sebagai tanah air dalam satu tarikan napas dalam konteks kekayaan laut Indonesia yang selama ini dianggap tidak terpisahkan. Penguasaan atas laut menjadi faktor penentu dalam percaturan global karena permukaan bumi sebagian besar adalah lautan yang lebih dari 2/3 � nya dari luas daratan. Jika Indonesia memiliki ekspektasi besar sebagai Negara maju, maka orientasi pembangunan maritim lebih kepada power market comparative yang tentunya Indonesia harus untung besar dengan memasok produk unggulan berasarkan sumber daya alam nasional sebagai kekuatan tawar. Indonesia secara de facto, adalah negara yang memiliki ribuan pulau dalam satu kesatuan. Kita buktikan, total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia sebesar US$ 1,2 1

Ir. Soekarno disampaikan pada forum National Maritime Convention I (NMC), Tahun 1963

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

33


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia

Rusdianto

triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN tahun 2014 (Rp 1.845 triliun = US$ 170 miliar) atau 1,2 PDB Nasional saat ini. Indonesia memiliki potensi produksi perikanan terbesar di dunia (65 juta ton/tahun) dan pada 2012 lalu dimanfaatkan sebesar 13.62 juta ton (21 %). Total produksi perikanan dunia tahun 2012 sejumlah 154 juta ton. Hal ini juga, menyerap lapangan kerja sebanyak 50 juta orang (40 %) dari total angkatan kerja Indonesia. Apalagi aktivitas ekonomi ilegal di Indonesia sangat marak bahkan Negara mengalami kerugian mencapai Rp 300 trilyun per tahun, seperti terjadi illegal fishing, illegal mining, illegal trading. Sekitar 75 % total barang yang diekspor oleh Indonesia harus melalui Singapura, karena hingga kini belum memiliki hubport bertaraf internasional.2 Pada era reformasi, upaya pembenahan, perbaikan, bahkan perubahan lebih serius dilakukan untuk mengembalikan jati diri dan budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa pelaut, meskipun hasilnya belum memuaskan. Adanya kesenjangan antara kebijakan dan implementasi mengingatkan semua pihak, tidak hanya pemerintah, bahwa perbaikan di bidang kelautan masih sangat diperlukan baik waktu maupun tenaga. Dengan begitu, tidak ada pilihan lain, semua stakeholders harus bersatu membangun sektor kelautan yang memiliki potensi besar bagi kemakmuran rakyat.3 Dengan didorong oleh kesadaran masyarakat dan pemerintah pasti terbangun paradigma pembangunan dan keamanan maritim sebagai suatu kepentingan nasional yang perlu diprioritaskan dan dilindungi dalam kerangka kepentingan nasional melalui maritime power. Namun sementara ini, kalau merujuk pada Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah melalui berbagai kajian oleh konsorsium BUMN, maka tentu ada kolaborasi program pembangunan berkelanjutan secara bertahap harus di lakukan. Dalam recana MP3EI, memang direncanakan pembangunan transportasi dan infrastruktur laut. Namun nyatanya, alokasi dana masih berpihak kepada pembangunan infrastruktur dan transportasi darat, lebih dari 60% investasi MP3EI ditujukan untuk pembangunan darat.4 Pembangunan jalan tol pantura membentang Jakarta - Surabaya melalui dua tahap, yakni pertama pembangunan rute Semarang - Surabaya sepanjang 300 km dengan investasi proyek diperkirakan sekitar Rp 50 triliun, dan kedua pembangunan rute menghubungkan Cirebon - Semarang sepanjang 200 km dengan investasi proyek mencapai Rp 90 triliun. Selainitu, juga ada tol laut yang berada di Nusa Dua Bali yaitu sepanjang 12 km dengan waktu pengerjaan 14 bulan. Pembangunan jalan tol ini menelan investasi Rp 2,4

2

Bappenas, 2012 H.E.Herman Khaeron, (2012), Transformasi Politik Kelautan Indonesia untuk Kesejahteraan Rakyat, Penerbit Cidesindo Jakarta. Hal. 21 4 Desk Informasi (2013) ‘Terkait MP3EI, Asosiasi Logistik Minta Pembangunan Infrastruktur Laut dan Udra Lebih Dikedepankan’, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 11 Apr, tersedia: www.setkab.go.id/mp3ei8196-terkait-mp3ei-asosiasi-logistik-minta-pembangunan-infrastruktur-transportasi-laut-dan-udaradikedepankan.html. Diakses 1 September 2014. 3

34

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rusdianto

Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Maritim Indonesia

triliun itu gabungan dari jalur Nusa Dua ke Benoa dan simpang susun yang mengarah langsung ke Bandara Ngurah Rai. Kalau hanya dippusatkan pembangunan tol di Pulau Jawa yang menelan investasi kurang lebih 130 triliun dan waktu hingga belasan tahun untuk membangun konstruksinya sedangkan daya angkutnya tidak mampu menunjang distribusi ke seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke bahkan hingga ke daerah-daerah pelosok sehingga disparitas pembangunan tidak merata. Latar Belakang Akar masalah kelautan lebih pada aspek pengelolaan sumber daya alam yang melimpah, baik hayati dan non-hayati. Dengan demikian, sayangnya kebijakan, strategi, dan program negara tidak begitu mempedulikan aspek maritim. Terlihat pada tahun 2011, pemerintah meluncurkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), berdasarkan tiga pilar utama; (i) pengembangan potensi melalui koridor ekonomi, (ii) memperkuat konektivitas pembangunan nasional, (iii) mempercepat kemampuan SDM dan IPTEK Nasional. Meski ketiga pilar tersebut memiliki ketergantungan yang erat dengan maritim, namun sayang, pembangunan aspek maritim tidak dijadikan prioritas. Keunikan geografis yang melekat pada Indonesia merupakan modal berharga sebagai sumber keunggulan untuk mensejahterakan rakyat. Karena itu, visi maritim “mau tidak mau� harus menjadi dasar utama pembangunan ekonomi nasional Indonesia. Garis pantai Indonesia sepanjang 54.716 km merupakan jalur utama pelayaran dunia darimanapun. Alur-alur strategis ini yang berada dalam wilayah laut Indonesia. Hal demikian, tentu modal spirit dan semangat pembangunan nasional. Kalau dihitung dari segi pendapatan dan budgeting pengiriman dengan kapal laut (shipping cost) di dalam wilayah Indonesia lebih mahal ketimbang budgeting pengiriman barang dari Jakarta ke berbagai Negara, misal dari Jakarta ke Surabaya sebesar 350 dollar AS, dari Jakarta ke Medan sebesar 400 dollar AS, dan dari Jakarta ke Sorong sebesar 2.000 dollar AS. Sedangkan dari Jakarta ke Singapura sebesar hanya sebesar 200 dollar AS. Sebenarnya usaha/bisnis di sektor-sektor ekonomi kelautan sangat menguntungkan (highly profitable) dan menyerap banyak tenaga kerja, mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan kaya vs miskin. Lagi pula, hampir semua kegiatan pembangunan dan bisnis kelautan berlokasi di wilayah lautan, pesisir, dan pulau kecil mengurangi disparitas pembangunan, urbanisasi, dan brain drain.5 Pembangunan sektor kelautan, mulai dari transportasi laut, pelabuhan, dan industri perkapalan nasional sebagai akselerasi masa depan kelautan akan secara positif membaik dan biaya logistik semakin murah. Sementara trend peningkatan PDB Indonesia capai 10 % dari

5

Ibid, hal. 3

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

35


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia

Rusdianto

24 % PDB menjadi 34 %. Hal ini, mengalami kuatnya tekanan daya saing ekonomi nasional Indonesia. Yang terpenting adalah konektivitas logistik (logistics connetion) maritim Indonesia harus mumpuni sehingga daya saing ekonomi Indonesia tetap terjaga pada level tinggi atau sedang. Mengembalikan kejayaan maritime merupakan upaya serius mengurus kekayaan laut Indonesia yang bisa mendatangkan keuntungan sepuluh kali lipat dari APBN setiap tahun.6 Sehingga harus ada reorientasi pembangunan nasional, dari land based development ke ocean based development.Hal ini akan menunjang proses kelancaran pembangunan jalan tol laut yang menelan biaya yang tak sedikit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena Indonesia selama ini pemasok produk dan jasa dalam laut (Global Supply Chain System) bukanlah pasar empuk bangsa-bangsa lain untuk mengambil secara serampangan kekayaan alam dibawah laut di Indonesia. Selain itu, perlu perbaiki pelabuhan perikanan yang ada dan bangun pelabuhan perikanan baru (outer fishing ports) yang bersih dan higienis sebagai kawasan industri perikanan terpadu. Pembahasan Pembangunan Tol Laut Suatu Keharusan Spirit utama pembangunan tol laut adalah upaya meningkatkan kegiatan eksplorasi, produksi (eksploitasi), dan pengolahan (processing) SDA non-konvensional yang ada di wilayah pesisir dan lautan Indonesia, seperti industri air laut dalam (deep sea water industry), gas hidrat dan shale gas, deep sea mining, dan sebagainya. Menurut Rokhmin Dahuri (2014), mengatakan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di sepanjang pesisir; alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dan pulau-pulau kecil, khususnya di wilayah perbatasan, sangat diidamkan masyarakat, maka kewajiban pemerintah untuk mengimplentasikan pembangunan kelautan itu harus meningkatkan alokasi anggaran (APBN dan APBD) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan. Karena demikian adanya bahwa posisi geoekonomi Indonesia sangat strategis, di tengah lintasan perdagangan dunia (the global supply chain system), dimana 45 % dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia).7 Menurut Hasyim Djalal (2014) yang juga pakar maritim Indonesia, mendukung adanya akselarasi pembangunan dan perwujudan tol laut. Ada lima faktor untuk membangun tol laut itu yakni:

6

Faisal Basri, Visi Maritim: Acuan Pembangunan Ekonomi Nasional, Lihat http://www.pemudamaritim.com /2013/10/opini-faisal-basri-visi-maritim-sebagai.html. Diakses pada tanggal 5 September 2014 7 Rokhmin Dahuri (2011), Pembangunan Pesisir Laut dan Kekuatan Ekonomi Indonesia. UNCTAD. Hal. 21

36

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rusdianto

Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Maritim Indonesia

1. Strategi keamanan maritim ini harus didukung oleh teknologi dan komunikasi maritime, berupa strategi, konsepsi, finansial dan pemetaan sehingga Indonesia dapat meninggalkan mentalitas budaya colonial yang selama ini dianut dalam system maritim kita. 2. Menyusun anggaran pembangunan wilayah maritik harus efektif, rinci dan sistematis. Anggaran ini meliputi banyak bidang seperti anggaran pertahanan laut, anggaran pembangunan pelabuhan berkapasitas internasional, anggaran marketing sumberdaya alam dan transportasi, anggaran armada laut, dan anggaran manajemen operasional maritim. 3. Scientific technology untuk menjaga dan memonitoring aktivitas perairan di Indonesia. Faktor ini harus lebih ditonjolkan untuk memajukan daerah baik di bagian barat maupun timur Indonesia. 4. Mekanisme maritime Indonesia dengan teknis tol dipungut biaya atau tidak. Mekanisme ini menyangkut kapal-kapal yang melewati perairan Indonesia atau kapal-kapal yang beraktifitas di perairan Indonesia. 5. Pemerintah juga harus melakukan training atau pendidikan bagi kaum nelayan agar bisa mengelola kapal dan alat transportasi lainnya secara baik dan benar. Menurut (Purn) Robert Mangindaan (2014) menyatakan merealisasikan pembangunan tol laut suatu keharusan sehingga dapat dilakukan penguatan industri dan jasa maritim sebagai semangat nasionalisme dan kebangkitan ekonomi Indonesia masa depan. Pembangunan tol laut bersifat fundamental yang mulai dari inftrastruktur, kapal, pelabuhan dan sektor komunikasi yang menopang kekuatan maritime Indonesia. Memang pembangunan tol laut secara finansial membutuhkan anggaran biaya yang tidak sedikit, tetapi bukanlah hambatan jika pemerintah berkomitmen untuk pemaksimalan pengunaan teknologi dalam proses pembangunan. Transformasi pembangunan tol laut dalam wilayah maritime Indonesia, adalah penyiapan energi dan keselamatan pelayaran sebagai kebutuhan masyarakat. Selain itu, pemberdayaan energy dan keselamatan maritime ini harus didukung dengan penggunaan perangkat lunak peta digital yang tidak terbatas jangkauannya karena wilayah Indonesia yang luas. Hal ini bertujuan untuk menjaga dan mengamankan stabilitas laut di Indonesia agar kapal-kapal bisa terpantau dengan baik. Sampai saat ini, negara dengan luas laut mencapai 3.302.498 km2 luas lautan yang menyimpan potensi kelauatan, mulai dari perikanan, konservasi ekosistem pantai dan pesona keindahan bawah laut yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Lebih dari itu, pembangunan tol laut sebagai upaya menyamaratakan pendapatan daerah di seluruh Indonesia, seperti pemanfaatan aneka hayati, biota laut, perdagangan, pengiriman barang lokal dan lainnya sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa meningkat tajam dan mencapai lebih dari 10 %, seperti diketahui, pergerakan barang dan jasa membutuhkan infrastruktur yang proporsional untuk menjangkau kegiatan-kegiatan yang menyangkut distribusi barang dan jasa. Dengan adanya pembangunan tol laut kelak lalu lintas kapal-kapal

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

37


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia

Rusdianto

besar setiap hari berlayar dari sabang sampai merauke mampu menjangkau daerah – daerah kecil pedalaman sehingga kegiatan distribusi barang dan jasa lebih mudah. Sehingga keseimbangan akan stabilitas ekonomi pembangunan Indonesia dapat direalisasikan serta teratasi dengan baik. Secara praktis, pembangunan tol laut bisa di katakana sebagai konsep Deep Seaport, yaitu pelabuhan-pelabuhan sentral untuk berlabuhnya kapal besar pengangkutan seperti pelabuhan Belawan, Tanjung Priuk, Tanjung Perak, Tanjung Mas, Tangjung Karang Mataram, Berang Biji Sumbawa, Labuhan Aji Lombok dan pelabuhan-pelabuhan besar lain hingga ke Papua. Dari pelabuhan besar tersebut komoditas-komoditas yang telah sampai dan diangkut oleh kapal besar akan diangkut kembali oleh kapal-kapal kecil yang menjangkau pulau-pulau pedalaman sehingga manajemen distribusi terjadi secara merata dan tercipta rasa keadilan bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Selat ini merupakan selat alternatif bagi kapal-kapal dari Timur Tengah (Teluk Persia atau Suez), Afrika, dan Eropa yang hendak menuju Laut Cina Selatan (Cina, Taiwan, Jepang Korea) dan Samudera Pasifik (Amerika, Kanada). Selat Lombok (yang kemudian melalui Selat Makasar) merupakan rute dari Australia/Selandia Baru menuju Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik. Dan berdasarkan hasil penelitian British Petroleum, Indonesia adalah pusat terbesar kedua bagi jalur ekspor-impor minyak dunia setelah Arab Saudi. Sehingga dengan kenyataan ini, gangguan apapun terhadap lalu-lintas pelayaran melalui perairan Indonesia berdampak besar terhadap kepentingan seluruh dunia.8 Dikarenakan letaknya yang berada pada pertemuan Samudera Hindia dan Pasifik dan diantara Benua Asia dan Australia, membuat Indonesia memiliki keragaman ekosistem seperti pantai, hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, alga, dan perairan laut dangkal yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut. Bagi Indonesia sendiri, posisi ini memungkinkan untuk berlayar kemana saja. Dari pulau kecil yang berada di tengah Indonesia, seorang dapat berlayar langsung menuju Singapura, Hongkong, Pelabuhan Moresby, atau Darwin. Bagi dunia, perairan Indonesia (dan yang berbatasan) merupakan akses jalur perdagangan paling mudah dan murah dalam menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, antara lain yang paling strategis ialah melalui selat Malaka. Selat ini merupakan penghubung antara Timur Tengah dan Eropa dengan Asia dan merupakan salah satu selat paling penting bagi jalur perdagangan dunia. Tanpa selat ini, kapal-kapal tangki yang mengangkut minyak mentah dari Timur Tengah ke Asia harus memutar melewati Selat Lombok yang mana lebih jauh 1.600 km atau sekitar 3 hari pelayaran. Menurut U.S. Energy Information Administration, selat ini dilalui kapal-kapal tanker dengan total 15,2 juta/barel setiap harinya. 8

Rosyid, D (2009) ‘Jembatan Selat Sunda: Blunder Konsep dan Teknomik’, Menggagas untuk Indonesia yang Lebih Baik [online], 16 Sept, tersedia: http://danielrosyid.com/jembatan-selat-sunda-blunder-konsep-danteknomik.html [diakses pada tanggal 29 Maret 2014].

38

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Maritim Indonesia

Rusdianto

Pentingnya pembangunan sarana dan prasarana transportasi laut adalah sesuatu yang harus dilakukan untuk menunjang konektivitas dan komunikasi maritime antar pulau. Dengan begitu, arus lalu lintas manusia dan barang akan semakin baik. Meskipun demikian, ada lima tantangan yang harus dihadap dalam mewujudkan pembanguna tersebut, yakni Pertama, mengembangkan pelabuhan modern sesuai dengan kebutuhan ekonomi lokal dan regional, Kedua, bangun sistem komunikasi maritime sehingga proses transparan, accountable, efisien, sistem elektronik sehingga tidak menemukan kesulitan dalam identifikasi masalah. Ketiga, kapalnya pengangkut disesuaikan besar dan kecinya. Empat, pengembangan multi moda harus dilihat keefektifan dan kegunaannya, dan kelima, sumber daya manusia perlu ditingkatkan agar operasionalisasi semakin baik.9 Pembangunan tol laut dapat membuka aksesibilitas antar pulau di Indonesia sehingga menjadi lebih modern, canggih, handal dan efisien serta tidak merusak ekosistem laut. Karena memang Indonesia memiliki 17.000 pulau dan 95.181 garis pantai, serta 5,8 juta km2. Pembangunan tol laut juga dinilai memperkecil penggunaan bahan bakar minyak. Dari data Komisi VII yang membidangi BPH Migas dan Pertamina (Persero) tingkat penggunaan BBM bersubsidi paling banyak dihabiskan oleh transportasi darat. Porsi Konsumsi Bahan Bakar Minyak

Sektor Transportasi Darat Transportasi Air Usaha kecil & lain Perikanan

Premium 99,40% 0,13% 0,37% 0,10%

Porsi Konsumsi (%) Solar Premium + Solar 88,76% 95,54% 7,76% 2,90% 1,75% 0,87% 1,73% 0,69%

Sumber: Komisi VII DPR RI dengan Pertamina (Persero). http://www.tempokini.com /2014/05/membaca-era-tollaut-jokowi-dan-prabowo/dinduh pada Senin 26 Mei 2014

Bila mengintegrasikan perekonomian nasional yang dilihat dari paradigma pembangunan tol laut akan semakin menguntungkan sebagai penghubung antar pulau untuk melintasi selat, misalnya Jembatan Nasional Suramadu penghubung Pulau Jawa (Surabaya) dan Pulau 9

Tanah dan air (barri wal bahri) Indonesia merupakan negeri di dunia ini yang diberikan karunia begitu berlimpah dari Tuhan Semesta Alam. Tanah yang begitu subur dan didalamnya belimpah kekayaan alam serta lautan yang di dalamnya juga terdapat juta-an ekosistem yang beranak pinak dan berkembang biak. Keduanya merupakan sumber kehidupan manusia Indonesia. Dalam sebuah konsepsi cara pandang yang integral kita sering menggabungkan keduanya menjadi “tanah air�. Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang menyebut negerinya dengan tanah air. Hartmann, F. (1978) The Relations of Nations, 5th ed., New York: Macmillan Publishin Co. Inc. dalam Ikawati (2013) ‘Menjajaki Visi Maritim Orabowo, Gita wirjawan, dan Dahlan Iskan, Jurnal Maritim, 23 Nov, tersedia: jurnalmaritim.com/2013/1/271/menjajaki-visi-maritim-prabowogita-wirjawan-dan-dahlan-iskan [diakses pada 1 Maret 2013].

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

39


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia

Rusdianto

Madura dan selat sunda penghubung Pulau Sumatera dan Jawa. Hal ini mendorong maritim Indonesia mampu memanfaatkan potensi yang sangat luar biasa banyak keuntungan.10 Berdasarkan perhitungan konstruksi pembangunan tol laut diperkirakan sebesar 16.8 triliun rupiah dan akan membutuhkan waktu 15 tahun untuk menyelesaikannya dengan kapasitas fiskal pembangunan Channel Tunnel atau Chunnel sebagai moda komunikasi. Dibutuhkan suatu perubahan paradigma untuk mengembalikan kembali orientasi maritim Indonesia agar dapat dikelola, diatur, dan dikendalikan melalui kebijakan dan strategi yang bagus sehingga kepentingan nasional tercapai. Semangat maritim dikonstruksikan dalam paradigma pembangunan masa kini dengan beberapa faktor, adalah (1) membangun kembali wawasan bahari, (2) menegakkan kedaulatan secara nyata di laut, (3) mengembangkan industri dan jasa maritim secara optimal dan lestari bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, (4) mengelola kawasan pesisir, laut, dan pulau kecil untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi secara serasi dan berkelanjutan, dan (5) mengembangkan hukum nasional di bidang maritim. (6) mengembangkan komunikasi armada laut maritime Indonesia secara berkelanjutan yang terimplementasi dalam strategi dan program pembangunan Indonesia. Komunikasi Maritim Indonesia Untuk mencapai kepentingan nasional, sebagaimana tertulis pada preambul UUD 1945 alinea keempat, Indonesia amat bergantung pada laut. Berdasarkan luasnya dan uniknya letak Indonesia, setidaknya terdapat faktor komunikasi maritime Indonesia yang memperkuat agenda pembangunan tol laut yang menghubungkan segala penjuru pulau nusantara bahkan dunia. Faktor komunikasi maritim bagi laut Indonesia, adalah Pertama, komunikasi maritim culture sebagai perekat keutuhan NKRI. Seorang pakar maritim, Geoffrey Till, mengatakan, perdagangan melibatkan interaksi (percakapan) dan komunikasi antar pusat industry perdagangan.11 Hal ini sebagai perekat dari berbagai kepentingan penduduk yang berdagang antar pulau melalui laut untuk saling kenal mengenal budaya/kebiasaan. Terutama bangsa Indonesia yang memiliki begitu banyak ragam budaya dan bahasa; mulai dari aksen bicara (logat), hingga tingkah laku. Semakin sering mereka berinteraksi dan komunikasi antara sesama, semakin tinggi rasa saling memahami dan 10

Berbeda dengan kondisi ekonomi atau politik yang demikian cepat berubah-ubah, geografi tidak akan berubah. Sampai kapanpun Indonesia adalah negara archipelagic. Menyadari hal tersebut, sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu berorientasi pada seluruh hal yang menyangkut maritim. Para pembuat keputusan harus selalu menanamkan di benak dan pikiran mereka, bahwa maritim merupakan kepentingan yang tidak dapat dikompromikan dan berubah-ubah keprioritasannya dari satu periode ke periode lainnya. Ministerie van Infrastructuur en Milieu (2012) The Netherlands: Home to Leading Maritime Companies, Netherlands: IenM. 11 Till, G (2013) Seapower: A Guide for the Twenty-First Century, Oxon: Routledge dalam Tucci, P. A. dan Rosenberg. M. T. (2009) The Handy Geography Answer Book, Canton: Visible Ink Press.

40

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rusdianto

Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Maritim Indonesia

toleransi. Sehingga melalui proses cultural understanding secara sadar atau tidak sadar antar penduduk (dan atau etnis) tidak akan merasa asing satu dengan lainnya. Kedua, komunikasi maritim integrity sebagai integritas kedaulatan negara. Penanaman kesadaran bahwa laut merupakan bagian perpanjangan dari daratan yang tak terpisahkan sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir apabila luas laut ini berkurang. Bersamaan dengan hal tersebut, akan muncul pula perhatian terhadap pulau-pulau terdepan yaitu sebagai penentu titik pangkal untuk menetapkan wilayah yurisdiksi nasional. Ketiga, komunikasi maritim negosiation and diplomation of mercantilism, laut sebagai pelengkap kebutuhan antar pulau melalui perdagangan dan penawaran (negosiasi / diplomasi). Hal ini sangat menarik bagi hasil sumber daya alam yang berasal dari daerah, seperti padi, kelapa sawit, karet, dan kopi, sagu, rotan, coklat, tambang emas, biota dan ikan ekspor. Keempat, komunikasi maritim welfare state, laut sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2011 bahwa potensi sumberdaya ikan Indonesia mencapai 6,52 juta ton. Nilai ini sama dengan 8% dari total produksi ikan laut dunia, yaitu 90 juta ton/tahun. Tidak hanya sanggup memenuhi pangan penduduk Indonesia, tetapi juga mampu menjadi sumber pendapatan. Dengan luas laut sekitar 5.800.000 km2 dapat memberikan kesejahteraan rakyat. Selain itu, sumber welfare state juga pariwisata, pelabuhan, industri perkapalan, ikut mendongkrak industri-industri yang bisa memproduksi kesejahteraan rakyat.12 Kelima, komunikasi maritim alutsista coastguard, laut sebagai pertahanan keamanan Indonesia karena memang berbatasan darat dengan tiga negara, yaitu Malaysia di Pulau Kalimantan, Papua Nugini di Pulau Papua, dan Timor Leste di Pulau Timor. Selebihnya, Indonesia berbatasan dengan laut. Maka tidak heran untuk mengamankan daratan dan laut Indonesia membutuhkan keamanan pertahanan dengan modernisasi persenjataan dan pemasangan kekuatan armada pos pertahanan Negara di daerah laut. Pengamanan di laut yang diadakan oleh Angkatan Laut dan coastguards sangatlah diperlukan. Dengan membuat strategi yang tepat untuk memperkuat kapabilitas Angkatan Laut dan coastguard sehingga dapat menghalau datangnya ancaman seperti teroris, penyelundupan barang gelap, perdagangan organ tubuh dan manusia, imigran illegal, termasuk juga illegal fishing yang terjadi di zona ekonomi eksklusif Indonesia. Pertahanan-keamanan laut berarti sama dengan keamanan di daratan.13

12

Wangsadinata, W (2009) ‘Advanced Suspension Bridge Technology & The Feasibility of The Sunda Strait Bridge’, Kawasan Strategis Infrastruktur Selat Sunda, http://sundastraitbridge.com/testimonial/view/adva nced-suspension-bridge-technology-the-feasibility-of-the-sunda-strait-bridge [diakses pada 29 Maret 2009). Diakses pada tanggal 8 September 2014 13 Ali, M. (2008) ‘Pertamina, Talisman to cooperate on Indonesia Oil’, Reuters, 23 Juni 2008, tersedia: http://www.reuters.com/article/2008/06/24/indonesia-talismanidUSJAK17079 7200 80624 [diakses pada 25 Feb 2014]

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

41


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia

Rusdianto

Keenam, komunikasi maritim knowledge and intelctually, laut sebagai sumber pengetahuan. Kekayaan perairan Indonesia merupakan center for excellence untuk kajian baik industri maritim, maupun riset ilmiah dunia seperti meningkatkan penemuan minyak, penemuan energi alternatif, farmasi, kosmetik, bahkan pencegah bencana. Terutama bagi Indonesia sendiri, pengetahuan tentang ekologi Indonesia mampu memberikan ilmu-ilmu baru mengenai cara meminimalisir resiko bencana alam. Misalnya, penelitian terumbu karang di Nusa Tenggara Barat oleh banyak ilmuwan bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai potensinya sebagai penghalau gelombang besar sebanyak 50 %.14 Atau penelitian mengenai early warning system yang bertujuan untuk mengurangi jumlah korban jiwa akibat bencana alam dari laut. Bahkan, penelitian mengenai energi listrik untuk pembangunan Indonesia.15 Alfred Thayer Mahan, seorang geostrategis abad 19, berargumen bahwa, terdapat enam elemen untuk dapat memiliki maritime power, yaitu posisi geografis, konfirmasi fisik, luas wilayah, system komunikasi, jumlah populasi, karakter bangsa, dan karakter pemerintah.16 Namun, semudah apapun akses suatu negara dengan Negara lain tidak akan berarti tanpa adanya pola communication power yang berpusat pada pelabuhan sebagai sumber kekuatan negosisasi dan diplomasi demi kemakmuran rakyat. Berdasarkan laporan Global Competiveness Report 2012-2013, infrastruktur pelabuhan Indonesia sebagai communication power hanya bernilai 3.6 dan berada pada peringkat 104 dari 144 negara. Berbanding dengan keadaan ini, negara-negara tetangga yang memiliki pesisir pantai jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia justru mampu mengungguli Indonesia. Infrastruktur pelabuhan Malaysia bernilai 5.5 dengan peringkat 21, dan negara kecil seperti Singapura berhasil mengungguli seluruh negara ASEAN dengan nilai 6.8 dan berada pada peringkat 2.17 Communication power Indonesia tidak dapat menutup mata dan bersantai-santai menikmati berkah wilayah yurisdiksi yang luas dan letak geografis yang strategis. Maka, pemerintah bertanggung jawab memelihara keutuhan kedaulatan Republik Indonesia dengan menggunakan asas communication power agar tidak dapat memengaruhi integritas kesatuan

14

Mahan, A. T. (1957) The Influence of Seapower upon History, New York: Hill and Wang, Inc. Mangindaan, R. (2008) ‘Indonesia’s Perspective’ dalam Parashar, S., Maritime Counter-Terrorism: A PanAsian Perspective, New Delhi: Dorling Kindersley/Pearson. 15 Badan Pusat Statistik (2013) ‘Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2013’, Berita Resmi Statistik, 6 Nov, tersedia: www.bps.go.id/brs_file/pdb_06nov13.pdf [diakses pada 31 Maret 2014]. 16 Alfred Thayer Mahan, Rahtz, D. R. dan Sidik, I. G. (2006) ‘Indonesia: Transition at a Crossroads’ dalam Pecotich, A. & Shultz, Clifford, J., Handbook of Markets and Economics: East Asia, Southeast Asia, Australia, New Zealand, New York: M.E.Sharpe, Inc. 17 ______________________, Progress Global Competiveness Report 2012-2013. Hal 10

42

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rusdianto

Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Maritim Indonesia

Indonesia.18 Dengan demikian, communication power (komunikasi maritime) Indonesia sangat berhubungan dengan perdagangan, industri maritim dan kekuatan Angkatan Laut Indonesia sehingga keuntungan maritim tercapai secara maksimal.19 Bagi Indonesia sendiri longgarnya kontrol di laut menyebabkan kerugian besar mencapai 50 triliun rupiah setiap tahun. Dikatakan oleh seorang penulis Bangladesh, Mohd Khurshed Alam, bahwa communication power harus di perkuat dengan menambah kekuatan armada laut dengan ditentukan jumlah aset dan kepentingan maritim yang harus dilindungi.20 Seorang pakar Hubungan Internasional, Frederick H. Hartmann dalam bukunya, The Relations of Nations, mengatakan cara berpikir masyarakat merupakan communication of power dipengaruhi oleh peristiwa yang telah terjadi pada bangsa dan negara ini di masa lalu.21 Namun, apa yang dicanangkan pemerintah seperti geographically illiterate of communication yang merupakan produk keputusan yang belum sejalan dengan what the nation has. Kebijakan, strategi, dan program yang diusung pemerintah tidak berpihak kepada aspek komunikasi maritime secara fairness.22 Maka, oleh sebab itu aspek komunikasi maritime tentu menjadi prioritas agenda nasional (vital). Dengan demikian, seluruh potensi maritime Indonesia dapat didayagunakan secara cerdas dan bijaksana, maka kepentingan fundamental maritime terdapat dalam UUD 1945 yang mampu terwujud sehingga maritime Indonesia dapat berkembang secara pesat. Penutup Kesimpulan Pembangunan tol laut membutuhkan bantuan investor asing karena dana APBN masih belum mumpuni untuk membiayai belanja negara ditambah dengan pembangunan infrastrukturnya. Di Indonesia sendiri pembangunan tol laut, perluasan pelabuhan, penambahan armada kapal harus menjadi pilihan bagi Indonesia yang diperlukan agar dapat memaksimalkan transportasi dan komunikasi maritime Indonesia. Berdasarkan fisiknya, Indonesia memiliki banyak sekali aset dan kepentingan maritim yang seharusnya dilindungi 18

______________________, Theguardian (2002) ‘Sangatte Refugee Camp’, UK News, May 23, tersedia: http://www.theguardian.com/uk/2002/may /23/immigration.immigrationand publicservices1 [diakses pada 29 Maret 2014]. 19 Plumer, B (2013) ‘How Oil Travels Around the World, in One Map’, The Washington Post, 8 Mei, www.washingtonpost.com/blogs/wonkblog/wp/2013/ 05/08/how-oil-travel-around-the-world-in-onemap/ 20 ibid Till, 2007. Hal. 12 21 Hartmann, The Relations of Nations, 1978. Hal. 31 22 Cribb, R. dan Ford, M. (2009) ‘Indonesia as an Archipelago: Managing Islands, Managing the Seas’ dalam Cribb, R. & Ford, M., Indonesia Beyond the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State, Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

43


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia

Rusdianto

dari perompak, perampok, illegal fishing, dan lainnya dapat merugikan aktivitas perdagangan. Maritim bukan hanya persoalan perikanan dan kelautan tetapi juga memperbesar industri jasa maritime, galangan kapal, teknologi perkapalan, desain kapal, servis kapal, manufaktur dan komponen kapal. Selain itu, aktivitas ekspor/impor, pemeliharaan, penyediaan, perbaikan, bongkar muat, layanan broker kapal, asuransi untuk para pelaut, jasa angkutan, wisata pantai, wisata bawah laut, jasa penginapan, dan wisata sejarah, yang menjadi daya tarik turis manca negara. Jika Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensi maritim yang ada, bayangkan berapa besar pendapatan negara yang dapat dialokasikan untuk kesejahteraan dan kecerdasan bangsa, serta kekuatan negara. Negara ini memiliki kemudahan akses mencapai pelabuhan untuk mengekspor komoditikomoditi tanpa harus bersusah payah melewati yurisdiksi negara lain. Indikator peningkatan kekuatan maritime Indonesia adalah harus memiliki faktor communication power sebagai konektivitas maritim antar pulau yang memungkinkan kapal Indonesia dapat mengakses laut bebas, sehingga mempermudah aktivitas perdagangan. Posisi Indonesia yang berada di jalur tersibuk di dunia secara tidak langsung menguntungkan Indonesia terhindar dari konflik terbuka. Indonesia memang selalu mengupayakan jalur diplomasi untuk setiap permasalahan atau konflik yang muncul, baik bagi negara sendiri maupun negara-negara tetangga. Namun, di luar konsep politik dan sejarah Indonesia yang selalu mengedepankan diplomasi, letak Indonesia yang berada di kawasan strategis dengan sendirinya membuat resiko konflik terbuka semakin kecil. Hampir seluruh negara di dunia adalah pengguna Selat Malaka dan ALKI Indonesia. Pergerakan ekonomi amat bergantung pada stabilitas regional ini. Jika hal tersebut terjadi, hampir seluruh negara dunia akan mengalami instabilitas ekonomi yang kemudian merembet pada kerugian-kerugian lainnya Saran Saran yang dapat diberikan dalam tulisan ini kepada pemerintah adalah: 1. Mempercepat pembangunan tol laut sehingga menjadi sentra perdagangan bagi warga negara 2. Percepatan program diversifikasi energi laut dengan pembangunan kawasan ekonomi maritim, diberbagai pulau yang dapat di jangkau oleh masyarakat. 3. Mempercepat proses penganggaran dalam APBN mulai dari proses pembangunan sampai pada anggaran operasional. 4. Pengembangan wisata bahari dan pemberantasan illegal logging, illegal mining dan illegal fishing.

44

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Rusdianto

Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Maritim Indonesia

Daftar Pustaka H.E.Herman Khaeron, (2012), Transformasi Politik Kelautan Indonesia untuk Kesejahteraan Rakyat, Penerbit Cidesindo Jakarta Desk Informasi (2013) ‘MP3EI, Asosiasi Logistik Minta Pembangunan Infrastruktur Laut dan Udra Lebih Dikedepankan’, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 11 April 2014, www.setkab.go.id/mp3ei-8196-terkait-mp3ei-asosiasi-logistik-minta-pembangunaninfrastruktur-transportasi-laut-dan-udara-dikedepank an.html. diakses 1 Maret 2014. Faisal Basri, (2014), Visi Maritim: Acuan Pembangunan Ekonomi Nasional, http://www.pemudamaritim.com/2013/10/opini-faisal-basri-visi-maritimsebagai.html. Diakses pada tanggal 5 September 2014 Rokhmin Dahuri (2011), Pembangunan Pesisir Laut dan Kekuatan Ekonomi Indonesia. UNCTAD. Hal. 21 Rosyid, D (2009) ‘Jembatan Selat Sunda: Blunder Konsep dan Teknomik’, Menggagas untuk Indonesia yang Lebih Baik. Online, 16 September 2014, http://danielrosyid.com/jembatan-selat-sunda-blunder-konsep-dan-teknomik.html diakses pada tanggal 29 Maret 2014. Hartmann, F. (1978) The Relations of Nations, 5th ed., New York: Macmillan Publishin Co. Inc. Ikawati (2013) ‘Menjajaki Visi Maritim Orabowo, Gita wirjawan, dan Dahlan Iskan, Jurnal Maritim, 23 November 2013, jurnalmaritim.com/2013/1/271 /menjajaki-visimaritim-prabowo-gita-wirjawan-dan-dahlan-iskan. Diakses pada 1 September 2014. ____________________, (2012) Ministerie van Infrastructuur en Milieu The Netherlands: Home to Leading Maritime Companies, Netherlands: IenM. Till, G (2013), Seapower: A Guide for the Twenty-First Century, Oxon: Routledge Rosenberg. M. T. (2009) The Handy Geography Answer Book, Canton: Visible Ink Press Wangsadinata, W (2009) ‘Advanced Suspension Bridge Technology & The Feasibility of The Sunda Strait Bridge’, http://sundastraitbridge.com/testim onial/view/advanced-suspensionbridge-technology-the-feasibility-of-the-s unda-strait-bridge. Diakses pada tanggal 8 September 2014 Ali, M. (2008) ‘Pertamina, Talisman to cooperate on Indonesia Oil’, Reuters, 23 Juni 2008, http://www.reuters.com/article/2008/06/24/indonesia-talismanid USJA K17079 7200 80624. Diakses pada 2 September 2014 Mahan, A. T. (1957) The Influence of Seapower Upon History, New York: Hill and Wang, Inc. Mangindaan, R. (2008) ‘Indonesia’s Perspective’ dalam Parashar, S., Maritime CounterTerrorism: A Pan-Asian Perspective, New Delhi: Dorling Kindersley/Pearson. __________________, Badan Pusat Statistik (2013) ‘Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2013’, Berita Resmi Statistik, 6 Nov, tersedia: www.bps.go.id/brs_file/pdb_06nov13.pdf. Diakses pada 1 September 2014.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

45


Pembangunan Tol Laut: Memperkuat Komunikasi Maritim Indonesia

Rusdianto

Alfred Thayer Mahan, Rahtz, D. R. dan Sidik, I. G. (2006) ‘Indonesia: Transition at a Crossroads’ dalam Pecotich, A. & Shultz, Clifford, J., Handbook of Markets and Economics: East Asia, Southeast Asia, Australia, New Zealand, New York: M.E.Sharpe, Inc. ______________________, Progress Global Competiveness Report 2012-2013. ______________________, Theguardian (2002) ‘Sangatte Refugee Camp’, UK News, May 23, tersedia: http://www.theguardian.com/uk/2002/may/23/im migration.immigrationandpublicservices1. Diakses pada 9 September 2014. Plumer, B (2013) ‘How Oil Travels Around the World, in One Map’, The Washington Post, 8 Mei, www.washingtonpost.com/blogs/wonkblog/wp/20 13/05/08/how-oil-travelaround-the-world-in-one-map/. Diakses pada 9 September 2014 Cribb, R. dan Ford, M. (2009) ‘Indonesia as an Archipelago: Managing Islands, Managing the Seas’ Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies Cribb, R. & Ford, M., (2009) “Indonesia Beyond the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State, Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies.

46

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Elyas Ajiwangsa

Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013 Elyas Ajiwangsa Tenaga Ahli Bidang DAK Ditjen Bina Pembangunan Daerah ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Struktur dan Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dengan waktu berkala (time series) selama periode 2010-2013 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan tinjauan pustaka yang diperoleh dari text book maupun artikel-artikel dalam jurnal ilmiah. Metode analisis data yang digunakan adalah Tipologi Klassen dan Indeks Spesialisasi Regional. Berdasarkan hasil analisis Tipologi Klassen, Kota Yogyakarta diklasifikasikan sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari analisis indeks spesialisasi regional, nilainya masih lebih mendekati nol dari pada dua, sehingga masih belum menunjukan adanya tingkat spesialisasi. Kata kunci: Tipologi Klassen, Indeks Spesialisasi Regional ABSTRACT This study aims to analyze the structure and pattern of economic growth Yogyakarta Province. The data used in this study is a secondary data with periodic time (time series) during the period 2010-2013 were obtained from the Central Statistics Agency (BPS) and review of the literature obtained from a text book or articles in scientific journals. Data analysis method used is Typology Klassen and Regional Specialization Index. Based on the analysis Typology Klassen, Yogyakarta City area classified as fast forward and fast growing which have economic growth and income per capita is higher than the average of Yogyakarta Special Region. From the analysis of regional specialization index, its value is closer to zero than the two, so it is still not showing any degree of specialization. Key Words: Typology Klassen, Regional Specialization Index

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

47


Elyas Ajiwangsa

Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Pendahuluan Pembangunan ekonomi daerah secara tradisional diartikan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu daerah dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu daerah. Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber berupa akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karateristik suatu wilayah menyebabkan kecendrungan terjadinya ketimpangan antardaerah dan antarsektor ekonomi suatu daerah (caska dan Riadi, 2008). Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi dari 33 provinsi di wilayah Indonesia, dan terletak di Pulau Jawa bagian tengah. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7º33’- 8º12’ Lintang Selatan dan 110º00’ - 110º50’ Bujur Timur, tercatat memiliki luas 3.185,80 km² atau 0,17 persen dari luas Indonesia (1.890.754 km²), merupakan Provinsi terkecil setelah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yang terdiri dari: 1. Kabupaten Kulon Progo, dengan luas 586,27 km² (18,40 persen); 2. Kabupaten Bantul, dengan luas 506,85 km² (15,91 persen); 3. Kabupaten Gunungkidul, dengan luas 1.485,36 km² (46,63 persen); 4. Kabupaten Sleman, dengan luas 574,82 km² (18,04 km²); 5. Kota Yogyakarta, dengan luas 32,50 km² (1,02 persen). Berikut ini merupakan gambaran perekonomian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2010 sampai dengan 2013: Tabel 1 Distribusi Sektoral PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010 - 2013 (Persen) Sektor

Tahun

2010 2011 1. Pertanian 17,26 16,07 2. Pertambangan dan Penggalian 0,67 0,71 3. Industri Pengolahan 13,27 13,28 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0,92 0,91 5. Bangunan 9,70 9,89 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 20,83 20,84 7. Pengangkutan dan Komunikasi 10,70 10,98 8. Keuangan 9,62 9,87 9. Jasa-jasa 17,04 17,25 PDRB 100 100 Sumber: BPS, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, beberapa terbitan

48

2012 14,65 0,67 13,34 1,28 10,85 20.09 8,60 10,30 20,23 100

2013 13,91 0,65 13,77 1,25 10,85 20,65 8,48 10,27 20,16 100

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Elyas Ajiwangsa

Data pada tabel 1 memperlihatkan persentase peranan sektoral terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tampak bahwa sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran menjadi sektor paling dominan memberi kontribusi dalam pembentukan PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Sumbangannya dari tahun 2010 sampai dengan 2013 kurang lebih 20 persen, kondisi tersebut tidak terlepas dari keadaan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sektor kedua yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan PDRB Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sektor jasa-jasa dengan sumbangan rata-rata 18,67 persen, di mana perkembangannya memiliki keterkaitan erat dengan Perdagangan, Hotel dan Restoran, pariwisata memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi sektor-sektor lainnya. Tabel 2 Pertumbuhan Sektoral Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010 - 2013 (Persen)

Tahun Sektor 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan 9. Jasa-jasa PDRB

2010

2011

2012

2013

-0,27 0,88 7,00 4,00 6,06 5,33 5,73 6,35 6,44 4,88

-2,12 11,96 6,79 4,26 7,23 5,19 8,00 7,95 6,47 5,16

4,19 1,98 -2,28 7,11 5,97 6,69 6,21 9,95 7,09 5,32

0,63 4,92 7,81 6,54 6,07 6,20 6,30 6,23 5,57 5,40

Sumber: BPS, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, beberapa terbitan

Data pada tabel 2 menunjukan bahwa laju pertumbuhan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memperlihatkan kinerja perekonomian yang cukup baik. Perekonomian tumbuh positif dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 5,40 persen yang merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi dari tahun 2010 sampai dengan 2013, dimana kenaikan laju pertumbuhan ekonominya didorong oleh pertumbuhan pada masing-masing sektor. Penelitian ini bertujuan: Pertama, untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah di Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

49


Elyas Ajiwangsa

Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Istimewa Yogyakarta. Kedua, untuk mengetahui tingkat spesialisasi antar daerah di Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode Tipologi klassen Alat analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Dengan menetukan rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan per kapita sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu: 1. Daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high income) 2. Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth) 3. Daerah berkembang cepat (high growth but low income) 4. Daerah relatif tertinggal (low growth and low income) Gambar 1 Klasifikasi daerah (Tipologi Klassen)

Y P e r t u m b u h a n

Berkembang Cepat

Cepat-Maju dan Cepat Tumbuh

Relatif Tertinggal

Maju Tertekan

Pendapatan per kapita

X

Kriteria yang digunakan untuk membagi Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh, daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;

50

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Elyas Ajiwangsa

2. Daerah maju tapi tertekan, daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; 3. Daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; 4. Daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Disebut “tinggi” apabila indikator di suatu Kabupaten dan Kota lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; digolongkan “rendah” apabila indikator di suatu Kabupaten dan Kota lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tabel 3 Kriteria daerah (Tipologi Klassen)

PDRB per kapita (Y) Yi > Yn

Yi < Yn

Daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh Daerah maju tetapi tertekan

Daerah berkembang cepat Daerah relatif tertinggal

Laju pertumb. (r) ri > rn ri < rn

Keterangan: ri : Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten dan Kota i rn : Laju pertumbuhan PDRB Provinsi Yi : Pendapatan per kapita Kabupaten dan Kota i Yn : Pendapatan per kapita Provinsi

Indeks Spesialisasi Regional Penggunaan alat analisis indeks spesialisasi regional adalah untuk mengetahui tingkat spesialisasi antardaerah di Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan menggunakan Indeks Krugman sebagaimana diterapkan oleh Kim (Aswandi dan Kuncoro, 2002) untuk menganalisis spesialisasi regional di Amerika Serikat, yaitu:

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

51


Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

n

Eij

Elyas Ajiwangsa

Eik

Sijk = ÎŁ i=1

Ej

Ek

Keterangan: SIjk = Indeks Spesialisasi Kecamatan j dan k Eij = PDRB Sektor i pada Kecamatan j Ej = Total PDRB Kecamatan j Eik = PDRB Sektor i pada Kecamatan k Ek = Total PDRB Kecamatan k

Kriteria pengukurannya menurut Kim (Aswandi dan Kuncoro, 2002) adalah “bila indeks spesialisasi regional mendekati nol maka kedua daerah j dan k tidak memiliki spesialisasi, dan bila indeks spesialisasi regional mendekati dua maka kedua daerah j dan k memiliki spesialisasi�. Batas tengah antara dua tersebut adalah satu, oleh karena itu nilai indeks spesialisasi yang lebih besar dari satu dapat dianggap sebagai sektor/subsektor yang memiliki spesialisasi. Untuk melihat tinggi rendahnya tingkat spesialisasi suatu daerah terhadap daerah lainnya, sebagai pembanding dipergunakan nilai rata-rata indeks spesialisasi seluruh daerah. Hasil Analisis Berdasarkan hasil analisis Tipologi Klassen Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2010-2013 menunjukan bahwa Kabupaten dan Kota yang termasuk dalam klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh yakni daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding ratarata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta sebagai daerah yang berada pada klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata (2010-2013) lebih tinggi yang mencapai 5,51 persen dibandingkan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 5,19 persen dan pendapatan perkapita tahun 2010-2013 lebih tinggi yang mencapai 15,203,229.25 juta rupiah dibandingkan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 6,456,874.00 juta rupiah. Apabila dilihat dari lapangan usaha Kota tersebut, sektor perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, dan jasa-jasa memberikan sumbangan terbesar terhadap pertumbuhan PDRB-nya secara keseluruhan. Kabupaten dan Kota yang termasuk dalam klasifikasi daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Bantul dan Sleman.

52

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Elyas Ajiwangsa

Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Bantul sebagai daerah yang berada pada klasifikasi berkembang cepat memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata (2010-2013) lebih tinggi yang mencapai 5,29 persen dibandingkan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 5,19 persen. Tingginya pertumbuhan Kecamatan ini, didorong oleh sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, industri pengolahan dan jasa-jasa. Sleman sebagai daerah yang berada pada klasifikasi berkembang cepat memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata (2010-2013) lebih tinggi yang mencapai 5,21 persen dibandingkan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 5,19 persen. Dari lapangan usahanya, sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi paling dominan dalam pembentukan total PDRB-nya, disamping sektor pertanian, industri pengolahan, dan jasajasa. Kabupaten dan Kota yang termasuk dalam klasifikasi daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Gunung Kidul sebagai daerah yang berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata (2010-2013) lebih rendah yang mencapai 4,59 persen dibandingkan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 5,19 persen dan pendapatan perkapita tahun 2010-2013 lebih rendah yang mencapai 5,209,479.25 juta rupiah dibandingkan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 6,456,874.00 juta rupiah merupakan Kabupaten dengan leading sector pertanian.. Kulon Progo sebagai daerah yang berada pada klasifikasi daerah relatif tertinggal memiliki tingkat pertumbuhan rata-rata (2010-2013) lebih rendah yang mencapai 4,52 persen dibandingkan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 5,19 persen dan pendapatan perkapita tahun 2010-2013 lebih rendah yang mencapai 4,869,535.50 juta rupiah dibandingkan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 6,456,874.00 juta rupiah merupakan Kabupaten dengan leading sector pertanian. Sementara itu, tidak ada satu pun Kabupaten dan Kota yang termasuk dalam klasifikasi daerah maju tertekan yakni daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

53


Po ola dan Struktur Perttumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyaka arta 2010-2013

Elyas Ajiwangsa

Gam mbar 2 Klasifikasi daeerah (Tipolog K gi Klassen) Kab bupaten dan Kota K d Provinsi Daaerah Istimew di wa Yogyakarta Tahun 2010 - 2013

Peta Pro ovinsi Daerah Istimewa Yog gyakarat Berd dasarkan Tipo ologi Klassen

5 54

JURNAL PEM MBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAH HUN 2014


Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Elyas Ajiwangsa

Dari hasil perhitungan indeks spesialisasi regional Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan bahwa adanya penurunan nilai rata-rata indeks spesialisasi sebesar 0,08 yaitu dari 0,51 pada tahun 2010 menjadi 0,43 pada tahun 2013. Penurunan nilai rata-rata indeks spesialisasi tersebut didorong oleh penurunan nilai rata-rata pada masing-masing daerah. Indeks spesialisasi antar daerah di Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2010 menunjukan terspesialisasinya kegiatan sektor usaha Kota Yogyakarta terhadap Sleman, akan tetapi terjadi penurunan Indeks spesialisasi pada tahun 2013, sehingga tidak menunjukan adanya tingkat spesialisasi. Penurunan indeks spesialisasi antar daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan semakin tidak terspesialisasinya kegiatan sektor usaha Kabupaten dan Kota: a. Kota Yogyakarta terhadap Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul dan Sleman. b. Sleman terhadap Kulon Progo, Bantul dan Gunung Kidul. c. Gunung Kidul terhadap Kulon Progo dan Bantul. d. Bantul terhadap Kulon Progo. Spesialisasi antardaerah dalam Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan adanya penurunan indeks spesialisasi dan nilainya masih lebih mendekati nol dari pada dua, sehingga masih belum menunjukan adanya tingkat spesialisasi antar daerah. Dilihat dari rata-rata indeks spesialisasi tahun 2010 dan 2013 terdapat 1 (satu) daerah yang memiliki nilai lebih tinggi dari rata-rata indeks spesialisasi seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Kota Yogyakarta diklasifikasikan sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Tabel 4 Indeks Spesialisasi Regional Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010 Kulon Progo Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Yogyakarta

Bantul 0,21

Rata-rata

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

Gunung Kidul 0,32 0,31

Sleman 0,33 0,22 0,49

Yogyakarta 0,62 0,67 0,81 1,08

Rata-rata 0,37 0,35 0,48 0,53 0,80 0,51

55


Elyas Ajiwangsa

Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Tabel 5 Indeks Spesialisasi Regional Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013 Kulon Progo Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Yogyakarta

Bantul 0,24

Gunung Kidul 0,28 0,31

Rata-rata

Sleman 0,34 0,21 0,48

Yogyakarta 0,60 0,63 0,79 0,45

Rata-rata 0,37 0,35 0,47 0,37 0,62 0,43

Kesimpulan Hasil analisis Tipologi Klassen Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2010-2013 menunjukan bahwa: Pertama, Kota Yogyakarta diklasifikasikan sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Kedua, Bantul dan Sleman diklasifikasikan sebagai daerah berkembang cepat. Ketiga, Gunung Kidul dan Kulon Progo diklasifikasikan sebagai daerah relatif tertinggal. Dari hasil perhitungan indeks spesialisasi regional Kabupaten dan Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan adanya penurunan indeks spesialisasi dan nilainya masih lebih mendekati nol dari pada dua, sehingga masih belum menunjukan adanya tingkat spesialisasi.

56

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Elyas Ajiwangsa

Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

Daftar Pustaka Aswandi dan Kuncoro. (2002). Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 17, No. 1: 27-45. BPS (2003), Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut Lapangan Usaha, 2009 - 2013,Yogyakarta: Badan Pusat Statistik. (2011), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, Yogyakarta: Badan Pusat Statistik. (2012), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, Yogyakarta: Badan Pusat Statistik. (2013), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, Yogyakarta: Badan Pusat Statistik. (2014), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, Yogyakarta: Badan Pusat Statistik. Caska dan Riadi. (2008). Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah di Provinsi Riau, Jurnal Industri dan Perkotaan Volume XII 1629 Nomor 21/Februari 2008. Sukirno, Sadono. (2011). Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, Kencana, Jakarta. Widodo, Tri. (2006). Perencanaan Pembangunan: Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah), UPP STIM YKPN, Yogyakarta. www.yogyakarta.bps.go.id

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

57


Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DI Yogyakarta 2010-2013

58

Elyas Ajiwangsa

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

Willi Hastono

Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja Willi Hastono Tenaga Ahli Statistik pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah ABSTRAK Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan menjadikan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal dan juga basis produksi. Pemberlakuan komunitas ini pada 2015 akan memberi dampak bagi negara-negara anggotanya. Pengaruh terutama diberikan pada pergerakan barang dan tenaga kerja yang lebih bebas di dalam Asia Tenggara. Dalam studi ini diketahui bahwa perdagangan barang antarnegara ASEAN tidak memiliki porsi yang relatif besar dalam perdagangan luar negeri masing-masing negara ASEAN. Selain itu, karakteristik tenaga kerja yang cenderung serupa antarnegara ASEAN membuat brain drain di intern ASEAN tidak besar terjadi. Setiap negara ASEAN bisa saling bekerja sama dan mendapatkan manfaat melalui MEA. Kata Kunci: MEA, pasar, kerja sama ABSTRACT ASEAN Economic Community (AEC) will make Southeast Asia as a single market and production base. Implementation of this community in 2015 will give effect to its member states. Te effect especially given on the movement of goods and labor in Southeast Asia. This study found that trade of goods between ASEAN countries have a relatively smaller portion than the foreign trade to outside ASEAN. In addition, the characteristics of workers who tend to be similar between ASEAN countries make brain drain in internal ASEAN is not significantly occurred. Each ASEAN countries can work together and get benefit through the AEC. Key Words: AEC, market, workers

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

59


Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

Willi Hastono

Pendahuluan Pintu gerbang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) segera dibuka pada 2015. Ini menandakan akan adanya integrasi ekonomi di dalam kawasan Asia Tenggara. ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan juga basis produksi. Negara-negara ASEAN secara bersama akan mengambil peran dalam perekonomian global. Pembentukan MEA ini diharapkan dapat menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang lebih kompetitif dalam persaingan global. Masing-masing negara lalu membenahi kesiapannya dalam menghadapi MEA tersebut. Beberapa pihak mungkin menganggap MEA sebagai ancaman, namun beberapa pihak lainnya melihatnya sebagai peluang. MEA bisa mendatangkan keduanya sekaligus. Kesiapan dan respons masing-masing negara anggotanya terhadap komunitas ini bisa menimbulkan reaksi, baik positif maupun negatif. Indonesia dalam menghadapi MEA seringkali membicarakan masalah daya saing. Kalangan industri berusaha meningkatkan daya saingnya, sementara pemerintah memberikan dukungan agar Indonesia tidak hanya menjadi basis pasar dalam komunitas ini. Daya saing tidak hanya soal produktivitas, tetapi juga biaya bahan baku dan produksi. Peningkatan daya saing ini bukan upaya yang bisa dilakukan sekejap. Butuh proses yng konsisten dan berkelanjutan untuk mencapainya. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia merupakan yang terbanyak jumlah penduduknya. Proporsi penduduk Indonesia sekitar 60% dari seluruh penduduk di Asia Tenggara. Selain itu, luas wilayah Indonesia juga relatif lebih besar dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Ini bisa menunjukkan setiap negara ASEAN belum tentu memiliki potensi yang sama dalam pembentukan dan pelaksanaan komunitas ekonomi Asia Tenggara ini. Keragaman potensi terjadi bukan hanya antarnegara, tetapi juga antardaerah di dalam satu negara. Indonesia sendiri memiliki potensi daerah yang beragam. Keragaman itu juga terjadi antarkawasan di Indonesia, misalnya kawasan Indonesia barat dengan timur. Daerah perkotaan dan perdesaan juga memiliki potensi yang berbeda dalam menghadapi MEA ini. Karakter geografis daerah juga bisa menimbulkan keragaman potensi yag semakin besar. Oleh karena itu, dampak yang diberikan dari pemberlakukan MEA ini terhadap masingmasing daerah di Indonesia juga bisa berbeda. Akan tetapi, banyak daerah memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam komunitas MEA tersebut. Hanya saja secara umum, Indonesia memiliki tantangan dari sisi tenaga kerja, teknologi, hingga infrastruktur yang menjadikan munculnya ekonomi biaya tinggi. Pergerakan Barang dan Jasa di Asia Tenggara Untuk melihat pengaruhnya terhadap perkonomian daerah-daerah di Indonesia, statistik perdagangan antarnegara ASEAN bisa memberi petunjuk. Jika MEA diberlakukan, arus barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal akan lebih bebas bergerak di kawasan Asia

60

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

Willi Hastono

Tenggara. Volume ekspor dan impor kemungkinan akan lebih besar karena tidak ada atau dikuranginya hambatan antarnegara ASEAN. Pada 2012, ekspor Indonesia sebagian besar ditujukan ke negara-negara selain ASEAN. Ekspor yang ditujukan ke negara-negara ASEAN sebesar 22.01% dari total ekspor. Dalam tabel di bawah dapat dikatehui bahwa Singapura merupakan engara tuuan ekspor tertinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Porsi ekspor yang ditujukan ke Singapura sekita 9,02%. Di bawah Singapura terdapat Malaysia dengan porsi ekspor sebesar 5,94%. Dari sembilan negara ASEAN yang menjadi tujuan ekspor Indonesia, empat di antaranya memiliki porsi ekspor di bawah 1%. Laos menjadi yang terendah sebagai negara tujuan ekspor Indonesia, yakni sekitar 0,01%. Proporsi Ekspor Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2012 (%)

Negara Tujuan Singapura Malaysia Thailand Filipina Vietnam Myanmar Kamboja Brunei Laos

Persentase 9,02 5,94 3,49 1,95 1,2 0,21 0,15 0,04 0,01

Sumber: WITS Bank Dunia

Sejalan dengan itu, impor Indonesia juga sebagian besar berasal dari negara-negara selain ASEAN. Di antara negara-negara ASEAN, Singapura merupakan yang terbesar persentase impornya, yaitu sekitar 13,61% dari total impor Indonesia. Malaysia menjadi yang terbesar kedua dengan persentase 6,39%. Dari sembilan negara ASEAN, lima di antaranya memiliki proporsi impor di bawah 1%. Impor dari Laos bahkan sangat kecil, yakni mendekati 0%. Proporsi impor Indonesia dari seluruh negara ASEAN pada 2012 sebesar 28%.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

61


Willi Hastono

Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

Proporsi Impor Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2012 (%)

Negara Tujuan Singapura Malaysia Thailand Vietnam Filipina Brunei Myanmar Kamboja Laos

Persentase 13,61 6,39 5,97 1,35 0,42 0,22 0,03 0,01 0

Sumber: WITS Bank Dunia

Dengan melihat proporsi ekspor dan impor Indonesia ke dan dari negara-negara ASEAN, dapat diketahui bahwa ASEAN tidka memegang porsi yang relatif besar. Hal ini dapat menunjukkan Indonesia tidak terlalu bergantung pada negara-negara ASEAN dalam perdagangan. Indonesia juga memiliki mitra dagang dari banyak negara lainnya. Meskipun demikian, Singapura menduduki posisi penting sebagai importir. Impor dari Singapura merupakan yang terbesar kedua setelah China. Sedangkan dalam ekspor, Singapura merupakan negara tujuan ekspor terbesar ketiga setelah Jepang dan China. Malaysia dan Thailand juga termasuk ke dalam sepuluh besar negara tujuan ekspor Indonesia. Begitu pun dengan impor, Malaysia dan Thailand masuk ke dalam sepuluh besar negara asal impor ke Indonesia. Setidaknya, tiga negara ASEAN ini perlu diperhitungkan sebagai mitra dagang utama dalam kerangka MEA, tanpa mengabaikan negara-negara ASEAN lainnya. Dilihat dari produknya, ekspor Indonesia ke Singapura sebagian besar berupa barang konsumsi dan bahan bakar. Begitu juga dengan impornya. Sementara dengan Malaysia, ekspor terbesar berupa barang antara, baru kemudian bahan bakar dan barang konsumsi. Jenis produk impor terbesar dari Malaysia sama dengan Singapura, yaitu barang konsumsi dan bahan bakar. Dengan Thailand, ekspor terbesar Indonesia merupakan bahan mentah. Produk ekspor terbesar kedua dan ketiga yakni bahan bakar dan barang antara. Sedangkan, impor dari Thailand sebagian besar berupa barang modal, barang antara, dan transportasi. Dengan demikian, meskipun terdapat kesamaan jenis produk yang diperdagangkan, negara-negara ASEAN yang menjadi mitra Indonesia juga memiliki karakteristik tersendiri. Thailand, misalnya. Seperti ditunjukkan di atas, Indonesia banyak mengekspor bahan bakar ke Thailand, tapi tidak dengan impornya. Impor produk berupa bahan bakar dari Thailand hanya sekitar 1,47% dari total impor Thailand. Contoh ini dapat menunjukkan Indonesia

62

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Willi Hastono

Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

masih bisa menemukan dan memanfaatkan keunggulan komparatifnya untuk mengoptimalkan perdagangan barang dan jasa ke negara-negara lain. Dari tiga negara di atas, produk ekstraktif masih menjadi andalan ekspor Indonesia. Hal ini menunjukkan unggulnya Indonesia dalam karakteristik lahan. Misalnya, lahan yang subur untuk pertanian dan perkebunan. Karakteristik ini tidak dapat berubah drastis dalam waktu singkat meskipun hambatan perdagangan antarnegara dihapuskan. Begitu juga dengan ketersediaan sumber daya minyak dan gas. Hal-hal tersebut masih bisa menjadi keunggulan Indonesia yang unik dan belum tentu dimiliki negara-negara lain. Hal ini yang dimiliki daerah. Setiap daerah cenderung memiliki potensi tersendiri. Potensi tesebut pada umumnya berupa produk-produk ekstraktif seperti pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Potensi ekstraktif tersebut dimungkinkan daapat bertahan saat MEA sudah dimulai. Namun, bertahan dengan produk ekstraktif saja tidak cukup. Para produsen di setiap daerah harus bisa melakukan inovasi dan pemanfaatan teknologi agar produknya bisa lebih berdaya saing. Tenaga Kerja di Asia Tenggara Selain barang dan jasa, tenaga kerja juga akan lebih bebas bekerja lintas negara setelah MEA diberlakukan. Dari sisi pengusaha, upah rendah menjadi incaran. Dari sisi pekerja, upah tinggi atau sepadan dengan keahlian dan kontribusi kerja lah yang menjadi incaran. Kebijakan upah minimum dapat menjadi patokan investor untuk mengetahui kisaran upah di suatu negara. Namun, tidak semua negara memiliki kebijakan upah minimum. Singapura, misalnya. Negara ini menyerahkan mekanisme upah ke pasar. Tetapi bagi pekerja dengan upah rendah, pemerintah Singapura memberikan sejumlah insentif. Pemerintah Malaysia pun baru pada 2013 menetapkan kebijakan upah minimum. Pada awal tahun tersebut, upah minimum ditetapkan sekitar US$296 per bulan, kecuali di Sabah, Sarawak, dan Labuan. Di tiga tempat tersebut, upah minimum ditetapkan sebesar US$263 per bulan. Pada tanggal yang sama, pemerintah Thailand juga menetapkan upah minimum, yakni sekitar US$10,34 per hari. Sedangkan di Vietnam, upah minimum bervariasi dalam kisaran US$79,12 hingga US$112,68 per bulan. Myanmar termasuk negara yang tidak menetapkan kebijakan upah minimum secara umum. Namun, standar upah ditetapkan pada sektor-sektor tertentu. Misalnya, pegawai pemerintahan minimal mendapatkan US$56,8 per bulan. Sedangkan, pekerja paruh waktu minimal mendapat US$2,3 per hari kerja. Di Filipina, upah minimum ditetapkan berdasarkan sektor dan wilayah geografis. Rata-rata upah minimum di Filipina sekitar US$6,8 per hari. Standar upah minimum di Kamboja diberlakukan hanya di industri pakaian dan sepatu. Standar upah minimum diklasifikasikan berdasarkan status, yaitu pekerja magang sebesar US$31,6 per bulan, pegawai pada tahap percobaan sebesar US$59 per bulan, dan pekerja reguler sebesar US$64,3 per bulan. Sementara itu, upah minimum di Laos kemungkinan

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

63


Willi Ha astono

Tiinjauan Pengaruh Ma asyarakat Ekonomi ASEAN A Terhadap Pe ergerakan Barang da an Tenaga Kerja

bberkisar antara US$43,5 hinggga US$78,15 pada 2011. PPemerintah Laoos juga menetaapkan tuunjangan makaan per hari sebeesar US$1,1. Di Indonesiaa sendiri, wew wenang penetappan kebijakan uupah minimum m diserahkan keepada p pemerintah daaerah. Akibatnnya, upah minnimum bervaariasi antardaeerah. Kisaran upah m minimum di Indonesia I beraada antara US$85,45 hinggga US$226,5 per bulan. Upah m minimum tertinnggi berada di Jakarta sebagaai ibukota Indoonesia. Kebijakkan upah miniimum inni akan dicerm mati oleh pengusaha maupun pekerja. p Melihat karrakteristik tenaga kerja berrdasarkan tingkkat pendidikannnya, tenaga kerja Inndonesia lebihh banyak berpeendidikan dasaar. Keterdidikaan tenaga kerja di masing-m masing n negara akan menjadi m perbaandingan jika MEA diberllakukan. Tenaaga kerja terrdidik k kemungkinan akkan mencari peekerjaan dengaan gaji yang rellatif lebih tingggi, sementara teenaga k kerja yang berppendidikan relaatif rendah akann menjadi incarran pengusaha atau investor untuk u tiingkat-tingkat tertentu. Berdasarkann data Barro-Leee Educationall Attainment D Dataset dalam Phan dan Coxxhead (22013), negara Asia Tenggarra dengan rataa-rata lama sekkolah tertinggii pada 2010 adalah a M Malaysia, yaituu sebesar 10,1 tahun. Jikaa diurutkan, tanpa mempeerhitungkan Brunei B D Darussalam, Indonesia beradaa di peringkat enam. Angkaa rata-rata lamaa sekolah Indoonesia p pada 2010 sebeesar 6,2 tahunn. Angka ini hanya h lebih baaik daripada Kamboja, K Laos, dan M Myanmar. Denngan kata lain, rata-rata pendduduk Indonesiia bersekolah hingga h awal sekolah m menengah pertaama (SMP). 12

10,1 9

10 7,5

8 6

9,1 1

6 4,,6

6,2

6,4

5,1

4 2 0

Rata-rata Lama sekkolah, 2010 (Dalam Tahun) Sumber: Phann & Coxhead (20133)

6 64

JURNAL PEM MBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAH HUN 2014


Willi Hastono

Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

Salah satu permasalahan yang sering diperdebatkan mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN ini adalah migrasi penduduk berpendidikan tinggi ke negara lain (brain drain). Permasalahan ini dalam kerangka MEA perlu diperhatikan lebih jauh. Setiap negara anggota ASEAN dalam pembentukan komunitas ini pada dasarnya menghendaki manfaat yang lebih besar bagi negaranya. Indonesia, seperti telah disebutkan, cenderung lebih banyak memiliki tenaga kerja berpendidikan rendah. Indonesia sendiri kekurangan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Di samping itu, kesempatan kerja di Indonesia cenderung rendah, begitu juga dengan tingkat upah yang diberikan. Dari sisi perekonomian, Indonesia bisa dikategorikan negara berkembang dengan pertumbuhan menengah. Negara ASEAN lainnya, misalnya Filipina, memiliki penduduk yang banyak namun bukan sebagai angkatan kerja. Tingkat pendidikan yang ada di Filipina juga cenderung rendah. Dalam beberapa sektor, Filipina kekurangan tenaga kerja terdidik dan terlatih. Serupa dengan Indonesia, banyak penduduk Filipina juga bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Thailand dalam hal ini memiliki banyak penduduk dan angkatan kerja. Kebutuhan negara ini dalam tenaga kerja terdidik dan terlatih bukan hanya di beberapa sektor, tapi juga di sebagian besar sektor. Kualitas pendidikan dan pelatihan di Thailand tidak tinggi, sehingga kebanyakan penduduk Thailand berpendidikan rendah. Vietnam memiliki pertumbuhan yang cepat karena negara ini termasuk yang belum maju perekonomiannya. Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang dimiliki negara ini relatif banyak. Tapi, tingkat upah yang diberikan di negara ini relatif rendah. Jumlah buruh migran dari negara ini cenderung tidak terlalu banyak, namun tumbuh cepat setiap tahunnya. Dengan kualitas pendidikan yang rendah, Vietnam kekurangan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Kamboja, dengan jumlah penduduk dan angkatan kerja yang tidak terlalu banyak, termasuk negara yang belum maju dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Negara ini juga kekurangan tenaga kerja terdidik. Pendidikan dan pelatihan yang ada di negara ini cenderung rendah. Dengan tingkat upah rendah, tidak ada insentif bagi tenaga kerja berpendidikan tinggi. Laos dalam hal ini memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit. Tidak jauh berbeda dengan Kamboja dan Vietnam, Laos juga termasuk negara berpendapatan rendah. Sejalan dengan itu, tingkat upah yang ditawarkan di negara ini juga rendah. Terlebih lagi, minimnya fasilitas pendidikan dan pelatihan yang ada di Laos membuat negara ini semakin kekuranga tenaga kerja terdidik untuk mendorong perekonomiannya. Myanmar termasuk negara dengan tingkat upah yang relatif lebih rendah, sejalan dengan tingkat perekonomian yang dimilikinya. Baik kualitas maupun fasilitas pendidikan dan pelatihan yang ada, Myanmar termasuk rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

65


Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

Willi Hastono

lainnya. Dengan jumlah penduduk dan angkatan kerja yang banyak, migrasi pun terjadi ke negara tetangga. Malaysia, dengan pendapatan per kapita relatif lebih tinggi, juga tidak memiliki tenaga kerja berpendidikan tinggi yang mencukupi. Malaysia bahkan masih memiliki banyak angkatan kerja yang kurang terdidik dan terlatih. Sementara Singapura, negara dengan tingkat perekonomian yang paling tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, memiliki penduduk dan angkatan kerja dengan jumlah sedikit. Singapura membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mendorong perekonomiannya, terutama tenaga kerja berpendidikan tinggi. Kualitas pendidikan di Singapura sudah termasuk tinggi, tapi kuantitas penduduk relatif rendah. Kesimpulan Oleh karena itu, brain drain antarnegara ASEAN dimungkinkan tidak terjadi. Kalaupun terjadi, perpindahan tersebut mungkin tidak signifikan meskipun MEA diberlakukan. Dari karakteristik yang telah dijelaskan sebelumnya, negara-negara ASEAN cenderung samasama kekurangan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Kekurangan ini terjadi tidak hanya terjadi di negara berpendapatan rendah, tetapi juga negara berpendapatan tinggi seperti Singapura. Karakteristik negara-negara ASEAN cenderung memiliki tingkat upah yang rendah. Hal ini membuat tenaga kerja terdidik kurang tertarik bermigrasi ke ASEAN. Di dalam ASEAn sendiri, perpindahan menjadi tidak menarik bagi tenaga kerja terdidik jika upah yang akan didapatkan tidak berbeda signifikan. Brain drain dimungkinkan terjadi antara ASEAN dengan negara-negara di luarnya. Dengan upan rendah yang didapatkan di ASEAN, tenaga kerja terdidik akan lebih tertarik bermigrasi ke luar ASEAN, di mana tawaran upah dimungkinkan berbeda signifikan dengan yang didapatkan di ASEAN. Dengan karakteristik yang serupa, negara-negara ASEAN bisa memandang MEA sebagai jalan untuk bekerja sama sehingga lebih kuat menghadapi negara-negara di luar ASEAN. Setiap negara ASEAN bisa menentukan spesialisasinya sementara negara ASEAN lainnya melengkapi di sektor yang sesuai dengan keunggulan komparatifnya. Indonesia, dalam membangun perekonomian daerah dan nasional, bisa memanfaatkan MEA ini. Melalui komunitas ini, transfer teknologi dari negara ASEAN lain yang lebih maju dimungkinkan terjadi. Setiap negara bisa saling melengkapi kelebihan dan kekurangannya. Misalnya, Indonesia mengirimkan tenaga kerja ke Singapura sementara Singapura menanamkan investasi dan mentransfer penguasaan teknologinya ke Indonesia. Pertukaran yang sama-sama memberikan manfaat ini bisa terjadi ke depannya secara lebih intens jika MEA diberlakukan.

66

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Willi Hastono

Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

Daftar Pustaka ASEAN Briefing. Minimum Wage Levels Across ASEAN. Online at http://www.aseanbriefing.com/news/2013/04/16/minimum-wage-levels-acrossasean.html Chia, S. Y. (2011), ‘Free Flow of Skilled Labor in the AEC’, in Urata, S. and M. Okabe (eds.), Toward a competitive ASEAN single market: Sectoral analysis. ERIA Research Project Report 2010-03, pp.205-279. Jakarta: ERIA. Oostendorp, Remco H. (2013). The occupational wages around the world (OWW) database: Update for 1983-2008. Background paper for the world development report 2013. Phan, Diep & Coxhead, Ian. (2013). Education in Southeast Asia: investments, acheivements, and returns. Preparation for Routledge Handbook of Southeast Asian Economis. Cheewatrakoolpong, K., C. Sabhasri, & N. Bunditwattanawong. (2013). Impact of the ASEAN Economic Community on ASEAN production networks. ADBI Working Paper 409. Tokyo: Asian Development Bank Institute. Petri, Peter A., Plummer, Michael G. & Zhai, Fan. (2011). The ASEAN Economic Community: A general equilibrium analysis. USAID Regional Development Mission Asia. ASEAN Secretariat. (2008). ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta: ASEAN Secretariat.

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014

67


Tinjauan Pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN Terhadap Pergerakan Barang dan Tenaga Kerja

68

Willi Hastono

JURNAL PEMBANGUNAN DAERAH | VOL. II | EDISI 3 | TAHUN 2014


Pedoman Penulisan Naskah 1. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 2. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4, Times New Roman 12 pt, spasi satu setengah, dengan panjang naskah 10 s.d. 15 halaman. 3. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan pada bagian akhir naskah setelah daftar pustaka. 4. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki. 5. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf besar. Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring. 6. Identitas penulis meliputi:  Nama lengkap penulis (tanpa gelar).  Nama dan alamat lembaga penulis.  Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor telepon, handphone, dan fax, serta alamat email.  Nomor rekening bank yang masih aktif. 7. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata yang ditulis dalam satu alinea yang mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, maupun kesimpulan. 8. Redaksi berhak menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah maksud. 9. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium sepantasnya. Naskah dikirim kepada redaksi Jurnal Pembangunan Daerah melalui email: jurnalbangda@gmail.com atau ke alamat redaksi di Bagian Perencanaan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata, Jakarta Selatan 12750. Telp. (021) 7992537


Jurnal Pembangunan Daerah diterbitkan empat edisi dalam setahun oleh Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri dengan tujuan sebagai media referensi daerah membangun. Jurnal ini kiranya berfungsi juga sebagai media komunikasi dalam menyampaikan gagasan, pandangan, pengetahuan, dan pengalaman tentang pembangunan daerah yang meliputi perencanaan pembangunan daerah, pengembangan wilayah, penataan ruang dan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi daerah, dan penataan perkotaan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan isu pembangunan daerah dan desentralisasi.

ALAMAT REDAKSI: Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Jl. Taman Makam Pahlawan No. 20 Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp.: 021-7942651, 7942653 Website: www.bangda.kemendagri.go.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.