Radar Sulbar

Page 3

OPINI

RADAR SULBAR

'Haji Mabrur'

Tajuk Pemangkasan Izin Pemeriksaan Kepala Daerah SATU lagi terobosan hukum dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga yang dipimpin Mahfud MD itu memangkas birokrasi pemeriksaan kepala daerah yang menjadi saksi dan tersangka kasus pidana, termasuk kasus korupsi. Dalam putusan yang dijatuhkan pada Rabu (26/9) tersebut, jaksa maupun polisi selaku penyidik tidak perlu mengajukan izin pemeriksaan kepala daerah kepada presiden dan Mendagri. Putusan tersebut terkait dengan sidang pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). MK menyatakan, sebagian materi pasal 36 ayat 1, 2, dan 3 UU Pemda bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak punya kekuatan hukum mengikat (Jawa Pos, 27/9). Dalam amar putusan, MK menegaskan bahwa pemeriksaan kepala daerah selaku saksi maupun tersangka tidak membutuhkan izin presiden. Proses hukum tidak menghalangi kepala daerah melakukan tugas-tugas pemerintahan. Penahanan saja, yang masih membutuhkan izin tertulis dari presiden. MK juga memangkas batas waktu persetujuan tertulis dari presiden terkait dengan penahanan seorang kepala daerah. Jika pada pasal 36 ayat 2 UU Pemda diatur batas waktu 60 hari, MK mengurangi menjadi 30 hari. Dengan demikian, sejak izin penahanan diajukan, presiden dalam tempo 30 hari harus mengeluarkan izin boleh tidaknya seorang kepala daerah ditahan. Tentu saja, putusan MK itu selaras dengan penegakan hukum yang berasas cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. MK benar-benar mengoptimalkan asas cepat di balik putusannya tersebut. Semua itu dibuat demi kepastian hukum dalam penanganan perkara. Terutama, tidak terganggunya penyelenggaraan pemerintahan di daerah oleh sebuah proses hukum. Asas cepat memang menjadi barang mahal dalam penegakan hukum. Aparat acapkali menggantungkan nasib seseorang dalam sebuah proses hukum. Kepala daerah yang menjadi saksi dan tersangka hanya bisa bersikap pasrah menunggu pemeriksaan. Aparat sering mengulurulur jadwal pemeriksaan dengan berdalih belum turun izin pemeriksaan dari presiden. Padahal, kepala daerah yang terseret kasus itu ingin kepastian hukum. Hal ini bisa memecah konsentrasi kepala daerah yang harus memimpin r da pemerintahan di daerah. Itu termasuk jika ada mafia hukum yang memainkan izin pemeriksaan kepala daerah. Dari pengalaman selama ini, izin pemeriksaan acapkali sengaja diulur-ulur pihak tertentu dengan harapan kepala daerah tidak diperiksa dan ujungujungnya kasus dipetieskan dengan alasan entah tidak cukup bukti atau alasan kedaluwarsa. Modusnya, memanfaatkan rantai birokrasi dari daerah ke pusat hingga ke meja presiden. Aparat kadang mengabaikan ketentuan batas waktu persetujuan izin pemeriksaan sesuai dengan pasal 36 ayat 2 UU Pemda.Terurainya satu simpul penghambat penegakan hukum tidak berarti tidak ada lagi kebobrokan penegakan hukum. Kini tinggal independensi dan fairness aparat dalam menangani sebuah perkara. Jika aparat masih saja doyan sogokan, pemangkasan birokrasi penegakan hukum tidak akan berarti. (rp)

RADAR SULBAR

3

KAMIS 4 OKTOBER 2012

Oleh: HARUNA RASYID

(ketua umum DPD Mapancas Sulbar)

TULISAN tentang haji ini dibuat oleh orang yang belum pernah naik haji, bahkan belum pernah sekedar mendapat oleh-oleh khusus buah kurma, dan umrah pun sama sekali tidak pernah. Bahkan untuk dapat undian saja naik umrah yang biasa diselenggarakan oleh pribadi yang memiliki banyak uang dan punya niat ikhlas mengumrahkan orang. Olehnya itu, penulis sangat sadar dan memohon maaf atas sisi lemah dari tulisan ini. Dengan rasa cemburu yang indah, dari jauh kita mengucapkan selamat dan salut kepada penempuh ibadah haji tahun ini. Mereka mendapat kesempatan untuk menyelenggarakan penjernihan diri kembali. Alhamdulillah, Islam adalah agama yang mempunyai kecenderungan besar untuk memudahkan pemeluk-pemeluknya. Kalau tak sanggup berdiri dalam shalat, boleh duduk. Kalau tak bisa duduk, silahkan berbaring. Kalau berbaringpun masih akan kacau, bolehlah mesrai Allah dengan kerjapankerjapan mata. Demikian juga haji. Islam itu ibaratnya bila anda tak mampu beli daging sapi, cukuplah anda membeli bumbu yang berasa seperti daging sapi. Asal anda ikhlas dan sabar maka akan terasa seperti makan daging. Adapun penulis, tergolong diantara ratusan juta umat Islam yang belum bahkan tak akan pernah naik haji, sehingga hanya bisa merasakan haji. Seperti orang yang lagi makan masakan yang diberi bumbu rasa daging sapi tersebut. Artinya buat ummat Islam yang tidak mampu naik haji, tak perlu berkecil hati, begitu banyak alternatif yang diberikan kepada kita untuk dapat merasakan dan mendapatkan pengalaman batin seperti apa yang dirasakan oleh saudarasaudara kita yang berhaji, agar kita juga dapat menjernihkan diri sebagaimana layaknya orang yang berhaji. Pada pengalaman berhaji, mungkin seseorang menjadi

mengerti bahwa jati diri bukanlah yang terpenting pada tataran sosial budaya, sebab itu semua hanyalah cara atau jalan menjadi seseorang. Di dalam Islam “aku status sosial” harus meningkat ke “aku manusia” kemudian meningkatkan diri menjadi “aku Abdullah” (aku hamba Allah), kemudian meningkat lagi “aku khalifatullah” (aku wakil Allah) kemudian meningkat atau lebih meninggi lagi. Dengan melihat tingkatan-tingkatan di atas, maka kita masing-masing bisa mengevaluasi diri. Misalnya, seberapa jauh atau seberapa dalam pengalaman haji seseorang merupakan peristiwa agama, dan seberapa jauh seseorang “hanya” merupakan peristiwa sosial. Barangkali kita bisa menyebut beberapa ornament. Kalau seseorang “gugup” menaruh gelar haji di depan namanya, itu semata-mata kasus sosial, bukan kasus agama. Apalagi kalau berhaji diintrumentalisasikan untuk kepentingan politik pribadi, untuk aksesori kultural, atau untuk menambah “peci dan rumba-rumba” reputasi. Bila orang sudah berpredikat haji, lantas kemudian dipesta perkawinan hanya diposisikan sebagai juru masak, bukan pagar ayu, dan kemudian protes dan tidak terima, maka haji yang sudah dilaksanakannya hanyalah peristiwa sosial belum merupakan peristiwa agama. Bila kita mengevaluasi tingkat kemabruran haji seseorang, logikanya tercermin pada dua dimensi. Dimensi pertama, kemabruran menurut

warning Semua isi artikel/tulisan yang berasal dari luar, sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan

persepsi Allah, semata-mata hanya Allah lah yang mengetahui. Sehingga tak pantas kita menghakimi seorangpun seolah-olah kita perwakilan Allah dalam kedudukan kehakiman-Nya. Akan tetapi semustahil apapun kemabruran di mata Allah, mestinya di dimensi kedua, tetaplah memantul. Kemabruran haji seseorang dapat dilihat pantulannya pada realitas hidupnya mestinya termanifestasikan melalui-misalnya- social output dari perilaku hidup seorang yang bukan atau yang belum haji dengan seseorang lain yang sudah haji, secara teoritis, berbeda pada kadar kemanfaatan sosialnya. Ibadah haji adalah sebuah pelatihan pencerahan diri. Seorang pelaku haji, atau orang yang sudah memiliki tambahan titel haji (budaya sebagian besar orang Indonesia bila sudah dari berhaji akan mendapat tambahan titel di depan namanya H yang berarti haji, budaya ini tidak berlaku di pemeluk Islam di Negara lainnya) sesungguhnya diharapkan untuk tercerahkan pada empat tataran: (1) intelektual, artinya; seorang yang sudah berpredikat haji harus mampu berfikir obyektif; (2) spiritual, artinya; seorang sudah berpredikat haji harus memiliki kejernihan jiwa, kebersihan hati, ketulusan perasaan serta kepekaan rohani terhadap atmosfir katuhanan dan keilahian; (3) mental, artinya; seorang yang berpredikat haji mesti sudah mempunyai ketentraman hati, elastisitas, releksitas, kedamaian dan kesimbangan; (4) moral, artinya; seorang yang berpredikat haji sudah memiliki integritas social, kesantunan kemanusiaan, serta sikap demokrasi. Hal ini bisa terjadi karena pada hakikatnya orang yang melaksanakan ibadah haji, sesungguhnya tidak hanya melaksanakan dan menyelenggarakan haji di ka’bah dan tempat-tempat rukun lainnya di Tanah suci, tetapi juga teruta-

ma terletak dan berlangsung di dalam diri masing-masing pelaku haji itu sendiri. Ka’bah dan tanah suci tidak kita agungagungkan, karena tak satupun nash baik itu Qur’an maupun yang lain dimana Allah memerintahkan demikian, disamping memang tidak masuk akal kita sendiri. Orang berhaji tidak untuk menyembah Tanah suci dan menuhankan Ka’bah, meskipun itu adalah Baitullah (rumah Allah). Tingkat kemakhlukan manusia tiga tingkat lebih tinggi dibanding Ka’bah dan Tanah suci, kecuali jika manusia –dengan sistem-sistem nilai dan mekanisme realitas sejarahnya- menurunkan derajatnya menjadi setingkat aspal, yang diinjak-injak atau dengan watak serigala yang menghabiskan hidupnya untuk melakukan kekejaman-kekejaman terhadap hamba-hamba Allah yang lain. Orang naik haji, tidak harus pulang kampung untuk membangga-banggakan pengalamannya dengan Ka’bah, karena berhaji bukanlah perjalanan turistik. Orang pulang kampung dari berhaji berarti sudah menyandang predikat haji, itu berarti sudah berhasil melahirkan kembali kepribadiaanya, menjadi “makhluk” yang sama sekali baru. Kemudian mensyukurinya. Kemudian menikmatinya. Kemudian menaburkan kemanfaatannya kelingkungannya. Baik pada skala kampung, komunitas, Negara, maupun universalitas kemanusiaan. Misalnya saat haji kita wajib melaksanakan “gerakan ihram” suatu kewajiban dimana tidak seorangpun diperkenankan memakai pakaian kecuali kostum ihram yang sifatnya sangat universal dan memakai warna inti, warna sumber, yakni putih. Ihram adalah gerakan deprimordialisasi. Allah ingin menunjukkan kepada kita secara gamblang bahwa sepanjang hidup manusia tidak boleh memelihara kebodohan untuk hanya pernah mencapai tingkat primordialisme hidup. Tidak usah menunggu tua

Pengirim naskah artikel/opini/SdP harus melampirkan foto copy identitas dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Tulisan diterima dalam bentuk flash disk/disket. naskah tulisan/opini minimal 4 halaman.

untuk mengerti kesejatian. Tidak usah menunggu hancur untuk sanggup memahami perbedaan antara yang palsu dengan yang murni. Sebuah kampung yang tak ada hajinya mestinya berbeda dengan kampung yang ada hajinya. Sebuah kampung yang pada suatu waktu memiliki seorang haji, akan merasakan atmosfir kepemimpinan baru, dimana manusia bisa lebih tertata dan kreatif mengenai permasalahan-permasalahannya. Seorang yang sudah berpredikat haji mestinya cemas menyaksikan sesuatu yang tidak benar di kampungnya, sehingga ia akan mempersembahkan kemanpuan kepemimpinannya untuk memperbaiki ketidak benaran di kampungnya tersebut, dia tidak lagi punya waktu –misalnya- menumpuk uang lagi untuk biaya berangkat haji di tahun berikutnya dengan ongkos naik haji plus, karena dengan pengalaman hajinya ia memperoleh pelatihan untuk tidak sanggup membiarkan tetangga-tetangganya hidup susah, sehingga ia akan merasa ibah kepada mereka, kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhan, apabila yang ia lakukan menginvestasikan hartanya untuk surga sendirian umpamanya dengan naik haji berkali-kali, makanya Allah hanya mewajibkannya sekali saja, itupun bagi yang sanggup saja. Seorang haji yang mabrur akan merasa malu di hadapan Allah apabila ia tidak bersedia mengurusi kemiskinan, penderitaan dan kesengsaraan di lingkungannya. Karena seorang yang berpredikat haji tidak akan mampu berangkat ke surga sendirian sambil “tanpa hati” meninggalkan saudarasaudaranya dalam kesengsaraan. Seorang yang pulang haji, karena ibadah-ibadah yang dilakukannya selama di tanah suci akan meningkat kualitas kemanusiaannya, ia diharapBaca HAL 7

Artikel dapat dikirim via email:radarsulbar01@gmail.com

IKLAN MUNGIL IKLAN MUNGIL IKLAN MUNGIL IKLAN MUNGIL IKLAN MUNGIL IKLAN MUNGIL IKLAN MUNGIL IKLAN MUNGIL IKLAN MUNGIL

DIBUTUHKAN SEGERA

HAKASIMA MEDIA TV Membutuhkan KARYAWAN/KARYAWATI

UNTUK STAFF * Adm. Marketing * Bagian Gudang * Collector * Pasilitas Gaji * Mess *Uang Makan LAMARAN DIANTAR LANGSUNG ke Jl. kurungan Bassi No. 3, dekat RSUD Mamuju Telp. (0426) 21702

RADAR SULBAR Pertama dan Terbesar di Sulawesi Barat

Pasang Iklan Atau Tidak Terima Koran Hubungi: Sirkulasi : Firdaus Paturusi (Koordinator), Rismayanti, Rukman. Alamat Kantor Mamuju: Jl. Jend. Sudirman No. 50, Telp./Fax. 0426-22138 Majene : Jl. Jend. Sudirman No. 167, Telp. 0422-21157 (M. Yunus Alibin) Polewali: Jl. H.A. Depu No. 39, Telp. 0428-23203 (Hasanuddin) Pasangkayu: Jl. Trans Sulawesi No. 52, Telp/ HP: 0813 4247 1414, (Andi. Safrin.M), PENERBIT: PT RADAR SULAWESI BARAT

Rp 65.000

/

Bulan


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.