6 minute read

MUI untuk Persatuan dan Kesejahteraan Bangsa, Potret Setelah 48 Tahun Berkiprah

SEBAGAI suatu negara dengan keragaman budaya, etnik, agama, dan ras, Indonesia dituntut untuk mempertahankan keutuhan dan kesatuan bangsanya. Keragaman ini sejatinya dapat menjadi titik kekuatan, namun juga berpotensi memicu perpecahan besar yang selanjutnya bisa menghancurkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Dalam konteks keragaman dan pluralisme ini, ada beberapa aspek yang dapat merongrong persatuan Indonesia, seperti toleransi yang rendah, politik identitas, penurunan nilai budaya lokal, pembangunan yang tidak seimbang, kurangnya semangat nasionalisme, serta penyebaran informasi palsu (hoaks) dan ujaran yang penuh kebencian. Sebagai kado Milad MUI ke-48 tepat pada 26 Juli 2023 mendatang, tulisan ini berusaha untuk memotret peran MUI dalam menanggapi faktor-faktor tersebut. Dari potret ini, diharapkan lahir kritik konstruktif untuk tahuntahun khidmat dan perjuangan selanjutnya.

TOLERANSI YANG RENDAH

Toleransi mencakup sikap saling menghargai dan menghormati keanekaragaman yang terdapat dalam lingkungan sosial. Akan tetapi, dalam beberapa tahun belakangan ini, kita kerap menyaksikan insiden-insiden intoleransi yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. MUI, sebagai organisasi yang berfungsi krusial dalam memelihara persatuan antar umat beragama di Indonesia, telah sedemikian rupa berusaha mempertahankan dan meningkatkan toleransi dalam komunitas majemuk bangsa ini. Salah satu pendekatan yang diambil adalah dengan mengorganisir dialog lintas agama dan budaya, ser ta memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai signifikansi toleransi dalam rangka mem pertahankan keutuhan bangsa.

Selain itu, MUI telah berperan aktif dalam memfasilitasi dialog antar-agama dan antar-etnik. Salah satu inisiatif MUI dalam konteks ini adalah kerjasama mereka dengan organisasi keagamaan lain seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan PGI dalam pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama. Tujuan dari forum ini adalah untuk memfasilitasi dialog dan kerjasama antar agama di Indonesia. Dalam forum tersebut MUI yang merupakan rumah besar semua ormas Islam memiliki peran yang sangat signifikan untuk mengantisipasi toleransi yang rendah dan merusak.

MUI telah mengeluarkan berbagai fatwa dan panduan yang menekankan pentingnya harmoni sosial dan toleransi. Misalnya, dalam fatwa MUI No. 56 Tahun 2016, MUI menegaskan kembali bahwa Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama. Fatwa tersebut juga menekankan bahwa salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan nonmuslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis. Ini adalah contoh bagaimana MUI memainkan peran dalam mempromosikan toleransi dan persatuan dalam masyarakat yang beragam.

Bukan sekadar memproduk fatwa, MUI juga berperan langsung dalam mengatasi isu-isu keberagaman. Kita dapat merujuk pada kasus penanganan konflik antaragama di Ambon pada tahun 1999-2002. Menurut beberapa riset seperti Benjamin

L Moseley (2016) MUI berperan aktif dalam upaya rekonsiliasi dan perdamaian, menekankan pentingnya dialog dan pengertian bersama, serta menyerukan toleransi dan persatuan. Ini adalah contoh kuat dari bagaimana MUI telah memainkan peran yang penting dalam menjaga persatuan dan harmoni di tengah keberagaman di Indonesia.

POLITIK IDENTITAS

Politik identitas dapat menjadi faktor pemecah dalam persatuan bangsa Indonesia. Politik identitas dalam konteks tulisan ini adalah mempolitisasi simbol atau ajaran agama untuk kepentingan sesaat dalam persaingan politik. Bukan tentang penjelasan etika berpolitik atau pendidikan yang santun dan syar’i. MUI tentu punya peran strategis dalam mengantisipasi dan meminimalisir hal ini. Meskipun tidak ada fatwa yang spesifik terkait politik praktis, namun sikap MUI yang melarang penggunaan masjid untuk politik praktis bisa dibaca sebagai tindakan antisipatis (sadd adzdzari’ah) dari kemungkinan politik identitas yang sangat bisa memecah belah umat.

Fatwa MUI terkait larangan menggunakan masjid untuk kampanye politik praktis telah ditegaskan dalam beberapa pernyataan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa masjid tidak boleh dijadikan tempat kampanye politik praktis yang melibatkan ujaran kebencian, fitnah, dan adu domba. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang

Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang melarang kegiatan kampanye di tempat ibadah, termasuk masjid. MUI juga telah bekerja sama dengan

MARPU MUHIDIN ILYAS

Ketua Komis Dakwah MUI Purwakarta dan Pengasuh Pesantren Putra Al-Muhajirin Pusat Purwakarta Jawa Barat

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengawasi kampanye-kampanye di tempat ibadah Islam. Selain itu, MUI mengimbau pengurus masjid untuk memasang rambu-rambu yang melarang kampanye politik praktis di masjid.

Penyebaran Berita Palsu (Hoaks) dan Hate Speech Maraknya berita palsu (hoaks) dan ucapan kebencian (hate speech) di media sosial menjadi salah satu elemen yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Banyak tragedi perpecahan bahkan kehancuran sebuah bangsa bermula dari hoaks dan hate speech. Bahaya hoaks dan ujaran kebencian telah menjadi perhatian yang serius di Indonesia dan dunia, terutama dalam era digital saat ini. Hoaks dan ujaran kebencian dapat menyebabkan perpecahan, ketidakharmonisan, dan kerugian bagi individu maupun masyarakat luas. Dalam konteks pandemi COVID-19 misalnya, hoaks terkait virus dan penanganannya juga menjadi masalah yang menghambat upaya penanganan pandemi. Dalam konteks ajaran Islam,

Al-Qur’an menawarkan solusi untuk mengatasi hoaks dengan mengajarkan tabayun (memeriksa kebenaran informasi) dan memilah serta memilih esensi dari berita yang diterima (tatsabut). Hal ini penting untuk mencegah penyebaran hoaks yang dapat menyebabkan perpecahan dan kerugian bagi masyarakat. MUI tentu sangat memahami hal ini. Pada tahun 2017 MUI mengeluarkan fatwa yang berisi pedoman tentang beraktivitas di media sosial bagi umat Islam. Fatwa ini menekankan pada perlunya verifikasi dan klarifikasi informasi yang didapat dari media sosial sebelum disebarkan. Hal ini sesuai dengan ajaran dalam Al-Qur’an dan Hadits. Fatwa ini mengharamkan berbagai bentuk aktivitas di media sosial yang dapat menimbulkan permusuhan dan fitnah, seperti ghibah, penyebaran hoaks, bullying, ujaran kebencian, dan penyebaran konten negatif lainnya. Fatwa ini juga memberikan panduan bagi umat Islam tentang bagaimana menyikapi informasi yang diterima dari media sosial.

MUI DAN INDONESIA SEJAHTERA Dalam konteks ekonomi, MUI telah memainkan peran penting dalam membentuk dan mempromosikan ekonomi syariah di Indonesia. Misalnya, MUI melalui Dewan Syariah Nasional telah telah mendorong pertumbuhan dan pengembangan industri halal di Indonesia.

Menurut data dari Global Islamic Economy Report, industri halal Indonesia diperkirakan mencapai $228 miliar pada 2020 dan diproyeksikan akan terus tumbuh. Lembaga ini memiliki peran penting dalam mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan pereko- nomian syariah, ter masuk dalam pengembangan industri wisata halal. Peran ekonomi ini tentu berdampak bagi kesejahteraan bangsa.

Dalam kesejahteraan spiritual umat, peran MUI tentu sangat besar. Salah fungsi MUI untuk himayatu diin (melindungi agama) meniscayakan peran spiritualitas yang besar dari MUI baik secara lembaga ataupun peran individual pengurusnya yang mumpuni dalam ilmu-ilmu keislaman.

Fatwa yang bisa dikatakan sebagai “senjata sakti” MUI memiliki urgensi yang penting, baik bagi MUI sendiri, masyarakat, maupun pemerintah.

Fatwa MUI berfungsi sebagai pedoman dan panduan bagi masyarakat dalam menjalankan ajaran Islam, serta sebagai mitra pemerintah (shodiqul hukumah) dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berkembang di masyarakat.

Ketaatan terhadap ajaran agama memang merupakan pondasi spiritualitas. Namun, kekuatan fatwa tidak tereletak pada tingkat respon dan kepatuhan umat terhadapnya, tetapi pada kejelasan hukum suatu masalah kehidupan yang sedang atau akan dihadapi umat.

Berkaca kepada Al-Qur’an, Sunah Rasulullah SAW dan Ijma’ , tidak seluruh penduduk bumi percaya, mengimani dan menerapkannya. Tetapi, dalil-dalil tersebut sudah memiliki kejelasan untuk dipedomani sebagai petunjuk kehidupan.

SETELAH 48 TAHUN … Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa tantangan masa depan yang dihadapi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) cukup kompleks dan multidimensi. Di tengah masyarakat Indonesia yang kian heterogen dan plural, MUI dituntut untuk berperan aktif dalam memelihara dan memperkuat nilai toleransi yang menjadi fondasi kehidupan bersama. Selain itu, MUI juga harus berani menghadapi fenomena politik identitas yang berkembang pesat dan berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Pada saat yang sama, MUI memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang semakin tergerus oleh arus globalisasi dan modernisasi. Pengawasan dan kritik terhadap kebijakan pembangunan yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia juga menjadi bagian penting dari peran MUI dalam menjaga keadilan sosial. Di sisi lain, penurunan rasa nasionalisme di kalangan generasi muda menuntut MUI untuk berinovasi dalam menanamkan nilai-nilai cinta tanah air kepada generasi penerus bangsa. Tantangan lainnya adalah maraknya penyebaran berita bohong (hoaks) dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial, yang memerlukan kerja sama antara MUI, pemerintah, dan lembaga terkait untuk memberikan edukasi kepada masyarakat serta memerangi penyebaran informasi yang merugikan ini. Dengan demikian, tantangantantangan ini membutuhkan MUI untuk beradaptasi dan berinovasi dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Ke depan, fatwa yang merupakan mahkota MUI harus makin produktif disebarluaskan. Terlepas dari kontroversi dan tingkat kepatuhan umat, kekuatan fatwa dari hasil ijtihad kolektif para ulama sangat penting makin menyasar elemen vital persatuan, kesejahteraan dan martabat bangsa. Fatwa yang ikhlas, bernas dan berkualitas. Wallahu A’lam.

Rest Area Dibangun di Tanjakan Darurat

MEGAMENDUNG– Bagi yang sering melintasi Jalan Raya Puncak, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, sudah tidak asing dengan tanjakan darurat. Lokasinya berada di Tanjakan Selarong. Tanjakan darurat itu dibuat untuk digunakan kendaraan yang mengalami masalah. Baik itu rem blong, atau masalah pada mesin kendaraan. Namun, Belakangan ini masyarakat mengkhawatirkan kondisi tanjakan darurat tersebut. Pasalnya selain kerap digunakan tempat parkir, tepat di bawah tanjakan darurat itu sedang dibangun rest area. Keberadaan rest area itu dinilai membahayakan.

“Bahaya itu rest area di situ (samping tanjakan darurat). Itu kalau ada rem blong, dan kendaraan nanti masuk ke rest area bisa bikin kecelakaan beruntun,” kata Yana, salah satu warga setempat kepada Radar Bogor, Minggu (9/7). Iapun menduga, pembanguan rest area di samping tanjakan darurat

This article is from: