Prisma
BUKU
Laut di Antara Berkah dan Kutukan Judul: Indonesia beyond the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State Penyunting: Robert Cribb dan Michele Ford Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2009 Tebal: 248 halaman ISBN: 978-981-230-984-6
S
ampai dengan akhir masa Orde Baru, masalah kelautan belum memperoleh perhatian yang memadai, kecuali dalam konsep wilayah dan ideologi. Soal laut menjadi perbincangan ketika konsep Wawasan Nusantara dimasukkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pengakuan internasional terhadap wilayah kelautan berupa piagam United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS) menjadi momentum penentuan landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Mochtar Kusumaatmaja, yang pernah menjadi menteri luar negeri dalam Kabinet Pem-
bangunan dan memperjuangkan batas wilayah laut Indonesia sejak akhir tahun 1950-an, mengangkat soal-soal itu di forum internasional. Namun, karena keterbatasan modal dan teknologi, tindak lanjut pengelolaannya belum dapat dilaksanakan. Seiring dengan “keinginan” elite politik berkuasa, orientasi pengelolaan sumber daya alam nasional masih selalu menitikberatkan aspek daratan. Secara sporadis, masalah dan potensi kelautan banyak diperbincangkan akademisi, baik dalam seminar ilmiah, konferensi, dan lokakarya maupun sejumlah tulisan. Pada awal tahun 1970-an, misalnya, David Joel Steinberg dan beberapa pakar Asia Tenggara sudah memilah ranah sosial-budaya masyarakat pegunungan 1 (upland people) dengan masyarakat pantai. Sementara tipologi politik dalam sejarah awal Indonesia mengenal adanya kerajaan pedalaman dan kerajaan pesisir. Keduanya memiliki ciri berbeda dalam hal kepemilikan dan pengelolaan sumber daya ekonomi. Kerajaan pesisir lebih bertumpu pada perdagangan lintas laut yang dilakukan oleh lapisan “Orang Kaya”. 1
Lihat, David Joel Steinberg (ed.), In Search of Southeast Asia: A Modern History (New York: Praeger Publishers, 1971).