84
Prisma
Prisma Vol. 32, No. 1, 2013
ESAI
Kapital, Korupsi, dan Keadilan Daniel Dhakidae
K
eadilan mungkin tidak membutuhkan definisi, dan menghindari batasanbatasan yang dalam usaha memberi kejelasan tak terhindar menghasilkan ketidakjelasan. Menjawab pertanyaan tentang apa itu keadilan sama sulitnya dengan menjawab apa itu kebenaran. Keadilan dan kebenaran selalu menjadi dua sisi dari sesuatu yang sama. Karena itu, lembaga apa pun dan siapa pun yang tidak bersedia melihat keadilan, dan dalam hubungan itu menolak kebenaran selalu menerimanya dengan mengajukan pertanyaan tentangnya. Hampir semua penguasa otoriter agaknya terwakili dalam diri Gubernur Roma di Palestina awal milenium lalu tatkala dia harus memutuskan tentang pembunuhan besar dengan bertanya: quid est veritas? Apa itu kebenaran? Pertanyaan yang sama sebenarnya bisa dilanjutkan dengan: quid est justitia? Apa itu keadilan?
Keadilan Absolut Karena itu Multatuli tidak memedulikan definisi, akan tetapi mengerjakan keadilan dengan mencari kebenaran saat menulis novel besar Max Havelaar yang terbit pada 1860. Dia mengawalinya dengan sebuah drama yang sudah dikutip entah berapa ribu kali. Kutipan di sini mungkin menjadi yang keseribusatu kalinya. Multatuli mengutip drama Lessing berjudul Nathan der Weise (Nathan sang Bijak) yang membenarkan segala alasan untuk membunuh kaum Yahudi pada abad ke-19. Kaum Yahudi Eropa bukan inlander HindiaBelanda; dua-duanya hanya sama dalam menanggung ketidakadilan.
Apa paham kebenaran dan apa isi keadilan dituang dalam suatu drama pendek pada halaman pertama novel itu (lihat boks). Kesatuan antara kebenaran dan keadilan dilukiskan begitu menyayat hati siapa pun. Ada berbagai persoalan diungkapkan di sana. Pertama, sesuatu menjadi fakta karena tuduhan. Dengan demikian, fakta pembunuhan ada karena ada tuduhan pembunuhan. Tanpa tuduhan dengan sendirinya pembunuhan itu tidak ada. Fakta dan tuduhan bisa dibolak-balik. Hasilnya tetap sama dan tidak lain adalah kekerasan yang merupakan wajah asli ketidakadilan. Kedua, bukti pembunuhan sama sekali tidak ada hubungan dengan tuduhan, karena itu korban tidak perlu dihadirkan—korban mungkin tidak ada serta tidak perlu, dan kalau sekiranya korban harus dihadirkan karena tuntutan hukum, maka korban diada-adakan. Ketiga, dalam kasus drama tersebut tibatiba korban hadir dalam keadaan sehat walafiat dan menjadi bukti sesungguhnya. Namun penemuan kebenaran itu adalah kesalahan yang membuktikan keangkuhan, yaitu pendakuan pemilikan kebenaran. Karena itu, kebenaran malah tidak membuktikan apa pun, dan kebenaran menjadi bukti kepalsuan baru berupa kesalahan baru, unsur keempat, yakni karakter congkak menjadi bukti kejahatan. Keseluruhan yang dikemukakan di atas menunjukkan unsur kelima, yaitu kekuasaan yang menaklukkan dan membuat kebenaran, kalau belum ada. Ada pertandingan dua kebenaran di sini, yaitu perempuan yang sehat walafiat dan