62
Prisma
Prisma Vol. 31, No. 1, 2012
ESAI
Gerak Tanpa Henti Menuju Tengah Daniel Dhakidae
K
elas menengah selalu membingungkan sebagai konsep dan tidak meyakinkan sebagai kekuatan, dan malah keberadaannya dipersoalkan. Kalau ada kemajuan —ekonomi berkembang, kebudayaan gilang-gemilang, kesusastraan menerabas kedalaman bumi dan mencakar ketinggian langit, teknologi menawarkan sesuatu yang tidak pernah diimpikan generasi nenek moyang -- kesimpulan umum mengatakan kelas menengahnya bergairah dan menggairahkan. Sebaliknya pun terjadi; bagi ketiadaan kemajuan kesalahan ditimpakan kepada kelas menengah. Kalau kelas itu ada dikatakan tak bertenaga, kalau tidak ada dikatakan bangsa itu sial, dan gagal.
Bergerak Tak Kenal Batas
Ada atau tidak adanya kelas menengah Indonesia selalu dan akan terus dipersoalkan serta senantiasa bertolak dari sesuatu yang begitu ekstrem dari yang mengatakan ada “kelas menengah” itu yang membuat bangsa ini ada sebagaimana adanya sekarang. Ada juga pihak yang mengatakan bahwa “kelas menengah” hanyalah bayang-bayang baur. Yang ada hanyalah dua kelas, yaitu kelas penindas di atas dan kelas penderita di bawah; hanya pemilik modal di satu pihak dan para penjual tenaga di pihak lain. Tidak lebih dan tidak
kurang. Siapa pun yang mendaku berada di tengah adalah kaum profiteur dan pengeruk keuntungan yang bukan menjadi haknya. Bahasa Indonesia sendiri tidak/kurang menunjang diskursus itu. Dari segi linguistik pun istilah yang ramai dipakai sebetulnya tidak diperkenankan oleh bahasanya sendiri meski semua melawannya dan dalam arti tertentu berhasil melawannya. “Kelas menengah” dalam paham kaum gramarian berarti kelas yang sedang bergerak menuju/menjadi “tengah” — bisa dipadankan dengan “memutih, menguning, melebar” dan lain-lain — yang pada gilirannya, karena belum diisi, mengandaikan ketiadaan “kelas tengah” itu. Baru ada sesuatu yang sedang bergerak ke arah ruang yang masih lapang, kosong. Dalam paham tersebut memang tidak atau belum ada “kelas tengah” itu karena yang disebut sebagai “kelas tengah” adalah sesuatu yang baru dalam tahap awal untuk menjadi dan belum terwujud, semacam perpetuum mobile — alias sesuatu yang bergerak tak sampai-sampai ke tujuan dan dalam bahasa fisika pun disebut sebagai “without doing any useful work”. Kekepalabatuan untuk terus-menerus memakai “kelas menengah” dan menggusur “kelas tengah” adalah wujud tingkah berbahasa, linguistic behavior, untuk mengabadikan kebingungan itu.