66 Vol. No. 1, 2012 DIA L 31, OG Prisma Prisma
Marzuki Darusman:
Kelas Menengah yang Tak Sadar, dan Tanpa Disiplin Pada awal 2012, perbincangan tentang kelas menengah kembali menyeruak di tengah pesona pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bank Dunia melaporkan jumlah kelas menengah Indonesia meningkat cukup dramatis. Pada 2012 saja, bila diukur berdasarkam tingkat pengeluaran belanja 2 sampai 20 dolar sehari, ada sekitar 135 juta orang Indonesia tergolong “kelas menengah� Sementara survei AC Nielsen mencatat 30 juta orang, dan Asian Development Bank memasukkan 81 juta orang sebagai golongan kelas menengah Indonesia. Istilah kelas menengah sesungguhnya masih dapat diperdebatkan, mengingat ketidakjelasan locus kelas ini dalam stratifikasi sosial. Ada yang menyebutnya sebagai kelas konsumen baru, menimbang kelas inilah yang sebetulnya hanya memeriahkan budaya konsumsi, saat Indonesia kian terbuka bagi pasar global. Kritik terhadap kelas menengah juga masih sama seperti halnya ketika kelas ini diperbincangkan secara akademik pada pertengahan tahun 1980-an. Laporan media tentang gaya hidup kelas menengah juga tak banyak berubah, khususnya watak kelas menengah yang cenderung pro-kemapanan terutama dalam soal-soal politik. Untuk mengupas lebih dalam masalah tu, Nezar Patria dan Arya Wisesa dari Prisma bertemu dan berbincang dengan Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung Republik IndonesiaI dan Ketua Komnas HAM yang kini menjadi Pelapor Khusus PBB untuk Isu Korea Utara. Walaupun banyak bergiat di bidang hukum, Marzuki dikenal cukup intens mengikuti dan mengamati isu-isu kelas menengah. Berikut petikan dialog tersebut. Prisma: Bank Dunia merilis laporan statistik tentang meningkatnya pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang kini berjumlah sekitar 135 juta orang. Ada yang menyebut mereka sebagai kelas konsumen baru. Apa pandangan Anda? Marzuki Darusman: kelas menengah sering kali dikaitkan dengan pelbagai isu seperti demokrasi, hak asasi, dan perubahan. Itu yang tidak diyakini oleh sebagian orang bahwa yang kita bicarakan sebagai kelompok atau golongan itu adalah sebagaimana umumnya dilihat sebagai kelas menengah dalam sejarah perkembangan perubahan sosial. Belum lagi kalau kita mau menyoal istilah kelas dalam wacana politik, yang secara mendasar mengubah pembicaraan
umum tentang faktor-faktor yang menentukan perubahan, dan umumnya dihubungkan dengan negara atau kelas kapitalis atau kelas buruh yang sekarang menjadi konsep-konsep kunci dalam membicarakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam sebuah buku tentang politik sistem jaminan sosial yang diterbitkan Kompas, disebutkan bahwa Bank Dunia mengklasifikasi Indonesia sebagai negara dengan pendapatan menengah. Bahwa pendapatan menengah itu otomatis menjadi kelas menengah juga belum jelas, sehingga untuk praktisnya kita memang perlu memastikan sebisanya konsensus tentang golongan mana atau siapakah kelas menengah itu. Sebab, kalau tidak seperti itu akan D I A L O G