201534 01 03 (062 070) jakob oetama media digital bukan ancaman

Page 1

62 34,GNo. 1, 2015 D I AVol. LO Prisma Prisma,

Jakob Oetama

Media Digital: Bukan Ancaman, Tetapi Mitra Menuju Perubahan Wajah media di Indonesia belakangan ini telah berubah cukup dramatis seiring perkembangan pesat media berbasis internet dan teknologi informasi. Pada saat yang sama, pertumbuhan pasar media cetak di Indonesia cenderung mengalami kemandekan. Bagaimana menjelaskan keadaan itu? Apakah media digital merupakan ancaman terhadap media mainstream? Prisma mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dengan mewawancarai Jakob Oetama, tokoh pers nasional yang berhasil membangun dan mengembangkan media sebagai institusi sosial sekaligus institusi bisnis. Persoalan lain yang juga dibahas adalah sejauhmana peran media dalam suksesi kepemimpinan nasional 2014. Di tengah kegaduhan politik yang ditingkahi kampanye negatif, kampanye hitam, politik uang, dan isu manipulasi suara, pers sangat diharapkan dapat dan mampu menjadi wasit yang adil dan juru penerang bagi masyarakat. Kenyataannya tidak demikian. Sangat banyak media mengambil sikap partisan, dan pers kerap mengabaikan Kode Etik Jurnalistik dalam pemberitaannya. Agus Sudibyo, Agung Anom Astika, dan Arya Wisesa dari Prisma berbincang-bincang dengan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama di Jakarta awal Januari 2015. Berikut petikannya:

Prisma (P): Bagaimana Bapak melihat lanskap industri media dewasa ini? Jakob Oetama (JO): Saya sependapat dengan pernyataan bahwa zaman telah berubah. Perubahan itu juga turut mengubah wajah media massa. Muncul pelbagai jenis media baru yang meningkatkan kadar persaingan dalam industri media. Media mainstream pun dituntut untuk secara jeli melakukan penyesuaian diri. Pers cetak tetap ada, tetapi dihadapkan pada persaingan yang semakin sengit, misalnya, dengan media televisi. Media televisi jelas unggul dalam hal kecepatan menyampaikan informasi, selain memiliki daya tarik berupa gambar dan suara. Namun, masyarakat tetap membutuhkan dan membaca media cetak. Membaca adalah bagian integral dari kehidupan manusia modern. Pendek kata, selain bersaing satu sama lain,

media-media yang berbeda itu sesungguhnya saling mengisi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangan tersebut juga berlaku bagi media digital atau media sosial yang belakangan ini berkembang sangat pesat. Dengan media sosial, setiap orang bisa membuat berita sendiri dan sejauh ini tidak ada yang mengontrol. Media digital atau media sosial juga mengubah peta persaingan yang harus disikapi pers cetak, baik dari sisi bisnis maupun sisi ideal. Namun, sekali lagi, setiap media mempunyai cara dan ciri tersendiri. Masing-masing media mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dalam praktik, media cetak maupun non-cetak saling mengisi dan memperkaya. Masyarakat butuh membaca koran, menonton televisi, mendengarkan radio serta mengakses internet. Setiap D I A L O G


Jakob Oetama, Media Digital

jenis media dan institusi media harus pandaipandai merengkuh perhatian publik agar menjadi bermakna bagi kehidupan bersama. Pada titik inilah perkembangan lanskap media massa justru bermakna positif, dalam arti merangsang setiap media untuk lebih kreatif dan cerdas menangkap suara dan kebutuhan masyarakat.

63

menegasikan etika itu dipengaruhi oleh perkembangan media siber? JO: Gejalanya tampak seperti itu. Sekarang ini, dari lokasi kejadian, reporter media siber bisa langsung memublikasikan berita tanpa harus diproses terlebih dahulu di ruang redaksi. Ada semacam kondisi memudarnya proses penyuntingan dalam newsroom. Padahal, proses penyuntingan sangat penting. Kekeliruan atau ketidaklengkapan kerja reporter dikoreksi oleh redaktur, pekerjaan redaktur dikoreksi oleh redaktur yang lebih tinggi, dan seterusnya. Intinya, informasi atau berita yang dipublikasikan ke masyarakat sudah melalui proses kerja standar jurnalistik yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika yang terjadi arah sebaliknya, proses editing makin disederhanakan bahkan diabaikan, hal ini tentu cukup memprihatinkan. Lama-kelamaan kita tidak bisa membedakan informasi, gosip, spekulasi, dan berita. Masyarakat menjadi bingung atau bahkan keliru memahami apa yang disampaikan oleh media. Persoalan itu tentu harus dipikirkan bersama dan dibenahi. Namun, seperti telah saya utarakan, semua media tetap berhak hadir karena sama-sama dibutuhkan; meski saling bersaing pada waktu bersamaan mereka juga saling mengisi.

P: Merujuk data Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tingkat ketaatan pers pada umumnya terhadap Kode Etik Jurnalistik masih rendah. Tingkat pelanggaran terhadap Kode Etika Jurnalistik justru tinggi ketika kebebasan pers sudah diperoleh. Bagaimana menjelaskan hal tersebut? JO: Salah satu penyebabnya mungkin karena media justru semakin dibutuhkan masyarakat. Karena merasa dibutuhkan, awak media pun menjadi serba terburu-buru dalam menyiapkan dan menurunkan berita. Media saling bersaing dalam menurunkan berita secepat mungkin yang dianggap eksklusif. Tak pelak, muncul pendapat bahwa rumusan jurnalisme zaman sekarang adalah: kecepatan, kecepatan, dan kecepatan. Itu berbeda dengan rumus jurnalisme yang berlaku sebelumnya: verifikasi, verifikasi, verifikasi. Jurnalisme yang dalam praktik mengenyampingkan verifikasi dan mendewakan kecepatan itulah yang tampaknya melahirkan banyak pelanggaran etika jurnalistik dewasa ini. Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian bersama. Jangan sampai jurnalisme dalam praktiknya menyangkal diri sendiri sebagai sebuah isme dan disiplin ilmu yang menuntut komitmen dan disiplin dalam menjaga norma dan etika bersifat universal. Jurnalisme bukan pekerjaan main-main yang dapat dilakukan sembarang orang. Jurnalisme menuntut kompetensi dan integritas. Dengan memenuhi tuntutan itu kita dapat berharap pemberitaan media mampu membuahkan kemaslahatan bersama dan kehadiran pers sungguh dirasakan lebih bermakna.

P: Bagaimana respons Kelompok Kompas melihat perkembangan pesat pelbagai jenis media dewasa ini? JO: Kami coba mengembangkan diri dengan melakukan diversifikasi usaha. Sekarang, Kompas memiliki Kompas TV, meski belum sebesar Kompas cetak. Kami sadar bahwa tidak cukup hanya memiliki koran saja dan Kompas TV adalah pemain baru, late comer. Mendirikan dan mengembangkan sebuah stasiun televisi memang butuh dana sangat besar, namun kami sudah memutuskan harus memiliki stasiun televisi dengan tetap membawa visi dan pendekatan Kompas.

P: Apakah jurnalisme yang mengedepankan kecepatan penyampaian informasi dan

P: Apakah ada perbedaan antara mengelola media televisi dengan media cetak?

D I A L O G


64

Prisma, Vol. 34, No. 1, 2015

JO: Tentu saja ada perbedaan. Media televisi butuh dan menggunakan teknologi lebih tinggi ketimbang media cetak yang teknologinya sudah lama kita kenal dengan baik. Masing-masing media memiliki kelebihan. Kelebihan media televisi adalah lebih cepat dan lebih “hidup� dalam menyampaikan informasi, sedangkan kelebihan media cetak adalah mampu menghadirkan informasi yang lebih cermat dan lengkap.

Jakob Oetama lahir di Desa Jowahan, Borobudur, Jawa Tengah, 27 September 1931. Putra pensiunan guru itu menamatkan pendidikan dasar dan Sekolah Menengah Atas Seminari di Yogyakarta (1951). Pernah bekerja sebagai guru SMP di Cipanas, Jawa Barat (1952-1953) dan SMP di Jakarta (1954-1956). Lulus Sekolah Guru Jurusan B-1 Ilmu Sejarah pada 1956 dan melanjutkan studi di Jurusan Jurnalisme Perguruan Tinggi Ilmu Publisistik di Jakarta (tamat tahun 1959) dan Jurusan Publisistik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada (1961). Pengalaman kerja di bidang jurnalisme dimulai sebagai editor sekaligus redaktur majalah Mingguan Penabur (1955). Bersama Petrus Kanisius (PK) Ojong, J Adisubrata, dan Irawati SH, menerbitkan majalah bernama Intisari pada 17 Agustus 1963. Selanjutnya pada 28 Juni 1965, juga bersama PK Ojong, mendirikan Harian Kompas. Bersama sejumlah tokoh pers nasional, mendirikan Jakarta Post, harian nasional Indonesia berbahasa Inggris. Penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama (1973) dari Pemerintah Indonesia dan Doktor Honoris Causa bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada (2003). Dia pernah menjabat Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Anggota Dewan Penasihat PWI, Anggota DPR Utusan Golongan Pers, Pendiri dan Anggota Dewan Kantor Berita Nasional Indonesia, Anggota Dewan Federation Internationale Des Editeurs De Journaux (FIEJ), Anggota Asosiasi International Alumni Pusat Timur Barat Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, dan Ketua Bidang Organisasi dan Manajemen Serikat Penerbit Surat Kabar. Sejumlah karya tulisnya, antara lain, Kedudukan dan Fungsi Pers dalam Sistem Demokrasi Terpimpin, yang merupakan skripsinya di Fisipol UGM (terbit pada 1962); Dunia Usaha dan Etika Bisnis (2001), Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan (2002), serta Bersyukur dan Menggugat Diri (2009). Jakob Oetama menjabat Pemimpin Redaksi Kompas sejak harian ini berdiri hingga 2000. Kini, Jakob Oetama merangkap Pemimpin Umum Kompas dan menjadi pemimpin Kelompok Kompas-Gramedia (KKG).

P: Sebagaimana diketahui, pertumbuhan dan perkembangan media televisi dan media digital di Indonesia berjalan begitu pesat. Apakah kedua media tersebut dapat mengancam keberadaan dan keberlangsungan media cetak di masa depan? JO: Media televisi dan media digital bukan saingan atau ancaman. Namun, harus pula diakui bahwa masyarakat kini punya banyak pilihan dengan kehadiran media-media baru tersebut. Karena itu, para “pemain lama� atau media mainstream seperti media cetak harus lebih kreatif dan terus menyesuaikan diri, atau melakukan perubahan tanpa mengubah hal-hal yang fundamental. Masyarakat semakin selektif dalam mengakses informasi dan berita di media: membaca koran, menonton acara televisi, mendengarkan siaran radio, atau membuka situs berita. Namun, yang terjadi juga sebaliknya. Sebelum atau setelah menonton televisi, masyarakat biasanya akan membaca koran. Masyarakat yang tidak puas mencari informasi lewat internet, masih akan mencari dengan membaca koran, majalah, atau buku. Jadi, kebutuhan masyarakat akan media informasi akan mencapai titik equilibrium, keseimbangan antara kebutuhan satu medium dengan kebutuhan medium yang lain. Pada akhirnya, kebutuhan akan informasi atau berita dari pelbagai jenis media bersifat saling melengkapi atau komplementer dan bukan substitutif. P: Sepengetahuan kami, Kompas banyak membangun pers daerah. Bagaimana perkembangannya saat ini? D I A L O G


Jakob Oetama, Media Digital

JO: Perkembangannya lumayan. Ada yang melejit menjadi media utama di beberapa provinsi. Ada juga yang biasa-biasa saja. Pers daerah sendiri sudah sejak lama berkembang dan memiliki pemain lama di bidang bisnis media. Kami tidak mau ngoyo, memaksakan diri. Kami pun harus tepa selira terhadap mereka. Kita berjalan bersama dan tidak saling membunuh. Perkembangan bisnis media dewasa ini tetap terpusat di Pulau Jawa. Bisnis media di luar Jawa umumnya memang agak berat. Namun, pada sisi lain, Indonesia bukan hanya Jakarta atau Jawa saja. Pembangunan, demokratisasi, dan deliberasi ruang publik harus dilakukan di setiap daerah. Kompas sendiri mencoba mengembangkan diri di daerah mulai dari Aceh hingga Papua. P: Bagaimana Bapak melihat hubungan antara pers dan politik, khususnya pemerintah, selama era Reformasi? JO: Dalam kondisi seperti sekarang, pengamatan saya tentang media dan pers mungkin tidak sejernih dulu. Namun, dengan tulus dan jujur, saya melihat sikap pers terhadap pemerintah masih berada dalam rel tugas pokok pers. Sejauh ini pers masih menunjukkan jati diri yang kritis, menggugat, menggoyang keyakinan diri agar tidak merasa mapan, serta senantiasa memperingatkan berbagai pihak lewat kritik-kritik konstruktifnya. Pers cukup berhasil menunjukkan bahwa core business media adalah sebagai anjing penjaga yang terus-menerus menggonggong, mengilik, menegur, dan menyampaikan alternatif tindakan atau pemikiran secara maksimal. Media pers hanya mengajukan tawaran dan tak mungkin melakukan perubahan sendiri. Singkatnya, media pers membutuhkan peran pihak lain untuk melakukan perubahan yang selalu dijalankan terus-menerus tanpa bosan, frappez toujurs. Setiap sosok manusia adalah unik. Begitu pula setiap lembaga media atau pers dengan keunikan jiwa dasar masing-masing. Mereka hanya berbeda dalam menyampaikan dan mengeksD I A L O G

65

presikan pandangan masing-masing. Hal demikian perlu dipahami oleh pemerintah dan siapa pun yang menjadi presiden di negeri ini bahwa setiap media memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap suatu masalah. Kalaupun muncul konflik atau gangguan komunikasi, pemerintah semestinya tidak mengambil sikap berlebihan. Ketenangan, kejernihan, dan keterbukaan dalam menyikapi kritik harus lebih diutamakan. Sebaliknya, pers juga tidak mesti membabi-buta dalam menyampaikan kritik. Dengan kata lain, pers menyampaikan critics with understanding. P: Apa yang masih perlu dibenahi dari sikap pers selama ini? JO: Agak sulit menjawab pertanyaan itu. Mereka yang bergelut di dunia media dan kehidupan pers pasti akan memberi jawaban berbeda-beda. Saya sendiri berusaha melakukan otokritik atau semacam refleksi pribadi. Otokritik pertama menyangkut independensi media. Makna dari independensi itu adalah media hanya bergantung pada kebenaran dan kepentingan publik. Terjemahan atas prinsip itu tidak sama. Semua tergantung pada kondisi dan jiwa dasar masing-masing lembaga media. Hal tersebut berdampak pada cara media bersangkutan dalam memberitakan dan menginformasikan sesuatu. Gaya meledak-ledak dan langsung tunjuk hidung berbeda dengan gaya media yang mbulet, ngalor-ngidul-ngetan-bali- ngulon atau bila perlu menggebrak pada suatu kesempatan dan lemah gemulai pada kesempatan lain. Sejauh tidak keluar dari tata krama kesantunan bermasyarakat dan tidak menghakimi secara pribadi, beragam gaya mengekspresikan independensi dan jiwa dasar bermedia itu bisa dibenarkan. Yang tampaknya masih perlu dibenahi adalah menyangkut independensi media dan cara mengekspresikan pandangan agar tidak keluar dari rule of conduct pers yang etis dan profesional. Kedua, sebelumnya saya mohon maaf karena tidak intens mengikuti perkembangan di luar media mainstream. Bagaimanapun juga,


66

Prisma, Vol. 34, No. 1, 2015

perkembangan pesat media sosial, terutama Twitter dan blog, perlu dicermati dengan sungguh-sungguh agar bisa menjadi rekan seiring yang produktif bagi jiwa dasar bermedia. Jangan sampai upaya kita menegakkan jiwa dasar itu terusik oleh beredarnya isu-isu personal, tendensius, dan kurang etis, sementara sebagian masyarakat menerima dan “mencerna” kehadiran isu-isu tersebut sebagai sebuah kebenaran atau sumber rujukan. Karena itu, menjadi tanggung jawab bersama masyarakat pers mencermati media non-mainstream itu yang memang sangat sulit dikontrol, tetapi lebih mudah dan lebih cepat beredar dibanding media mainstream. P: Bagaimana Bapak melihat peran media massa dalam Pemilu 2014? JO: Independensi media, terutama dalam Pemilu dan Pilpres 2014, kerap dipersoalkan banyak pihak. Untuk itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman tentang soal “independensi” tidak dengan menempatkannya sebagai aberration (penyimpangan) jati diri media, tetapi sebagai pelatuk untuk mengaktualisasi dan memperkaya secara kreatif independensi media bermuara pada kemaslahatan bersama. Selain independensi media, masalah lain yang juga perlu diperhatikan dan diselesaikan masyarakat pers seiring “membaiknya” kondisi kemerdekaan pers selama 10 tahun terakhir adalah bagaimana menyikapi kehadiran mediamedia non-mainstream dan menjaga idealisme perjuangan pers yang mencerahkan kehidupan masyarakat tanpa mengenyampingkan sisi bisnis industri pers. Perlu pula dicatat, kondisi kemerdekaan pers yang berjalan selama 10 tahun terakhir relatif lebih baik dibanding era sebelumnya. Namun, jika bertolak dari tataran ideal, masih banyak yang perlu dibenahi. Kita harus sungguh-sungguh menjaga agar media pers di Indonesia yang lahir dari gua garba perjuangan kemerdekaan tidak didominasi oleh kepentingan bisnis dan politik. Hal tersebut perlu ditegaskan, karena kepentingan bisnis atau

politik senantiasa terasa samar-samar, namun menurut beberapa kalangan jelas terlihat dalam penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2014. Makna perjuangan pers itu perlu terus-menerus diaktualisasi berinti pada upaya mewujudkan hak asasi manusia di bawah payung besar yang mencerahkan kehidupan masyarakat lewat tatanan yang lebih demokratis. P: Jadi, Bapak merasakan media massa atau pers turut bermain politik dalam Pileg 2014? JO: Tergantung cara kita melihat dari sudut mana. Pada kenyataannya, ada pihak-pihak yang bermain politik melalui media massa. Pada masa lalu juga banyak yang seperti itu. Berpolitik melalui pers. Kompas sendiri juga berpolitik, namun proporsinya sebatas sebagai media massa yang berpolitik secara independen dan tidak menjadi alat partai serta sungguhsungguh menjaga kepentingan publik. Namun, dalam praktik memang selalu ada godaan untuk mendukung salah satu pihak. Yang kita lakukan kemudian adalah memberi informasi sebanyak mungkin kepada masyarakat tentang opsi politik yang ada. Misalnya, ada dua kandidat presiden. Kita “bongkar” kelebihan dan kekurangan mereka secara proporsional dan etis. Kita tampilkan plus-minus kedua calon itu dan menyerahkan kepada publik untuk menilai berdasarkan informasi yang kita sampaikan. Namun, dalam “kondisi darurat”, secara independen dan proporsional kita bisa memberikan endorsement atau masukan kepada publik tentang pilihan yang lebih baik demi kemaslahatan bersama. Dalam situasi tertentu, bersikap netral bahkan bisa menjadi amoral. Media perlu membantu masyarakat menuju pilihan yang lebih baik. Yang penting dalam menyampaikan sikap adalah media tidak dipengaruhi atau disetir pihak mana pun, sehingga bisa bersikap kritis kepada siapa pun, bahkan terhadap diri sendiri. P: Maksud Bapak, Kompas berpolitik dalam pengertian itu? D I A L O G


Jakob Oetama, Media Digital

JO: Kompas bersikap kritis sekaligus apresiatif terhadap semua kontestan pemilu. Kompas juga berusaha untuk tidak ikut arus dukungmendukung capres-cawapres, misalnya. Semua kita terima dengan tangan terbuka. Kompas pun akan mengkritik dan “mengupas� kekurangan mereka secara terbuka agar masyarakat tidak terjebak memilih kucing dalam karung. Begitu pula sebaliknya. Kompas akan mengurai kelebihan mereka sejauh hal ini bersifat faktual dan proporsional. Bahkan, Kompas bisa memberikan endorsement terhadap pilihan politik tertentu dengan mempertimbangkan situasi yang ada dan dilakukan secara beralasan serta tetap mempertahankan sikap kritis. Dalam konteks inilah, Kompas kerap dihadapkan pada dilema. Tidak sedikit pihak berharap media bersikap netral, berada di tengah, dan tidak berpihak ke pihak mana pun. Namun, dengan pertimbangan moralitas, kita perlu berbuat sesuatu dan harus menentukan sikap agar masyarakat atau bangsa terhindar dari kondisi yang lebih buruk di masa depan. P: Beberapa media belakangan ini secara terang-terangan berpihak pada kubu tertentu dan memusuhi kubu politik lain. Apakah hal seperti itu tidak berdampak buruk terhadap masyarakat dan masa depan media itu sendiri? JO: Ya, bisa terjadi seperti itu. Harus diakui ada pihak yang memproduksi koran atau mendirikan stasiun televisi untuk “numpang� kepentingan politik tertentu dengan mendukung tujuan politik praktis. Apa yang pernah terjadi di masa Orde Lama dan awal Orde Baru agaknya terulang lagi di masa Reformasi ini. Cukup memprihatinkan, tetapi sulit ditahan karena menyangkut hak setiap orang untuk mendirikan media. Di sini pentingnya Dewan Pers, KPI dan asosiasi profesi media atau asosiasi media untuk bersama-sama menegakkan Kode Etik Jurnalistik. Perlu ada yang selalu mengingatkan rambu-rambu yang harus ditaati media terkait dengan tarikan-tarikan untuk berpihak pada kepentingan politik tertentu. Media-media itu akan semakin berani menunjukkan sikap D I A L O G

67

partisan, dan pemilik media juga kian gegabah menggunakan medianya demi tujuan politik jika hukuman atau sanksi berdasarkan Kode Etik Jurnalistik, UU Pers atau Penyiaran tidak tegas dan tidak sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan. Asosiasi media atau asosiasi wartawan hendaknya juga berkontribusi dalam urusan ini dan tidak selalu berpikir bagaimana membela kepentingan anggotanya saja, ketika yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Sekarang ini mendirikan media jauh lebih mudah, tanpa perizinan yang njelimet dan menghambat seperti di era Orde Baru. Kemudahan ini semestinya dikonversi dengan tanggung jawab untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat dan kemampuan untuk mengerem kepentingan atau ambisi pribadi. Kita harus ingat, masyarakat semakin kritis dan memiliki banyak pilihan. Media yang hanya mementingkan kepentingan sendiri lama kelamaan akan ditinggalkan masyarakat yang sudah memiliki banyak pilihan. P: Beberapa riset menunjukkan, generasi muda kita sekarang tidak terbiasa membaca koran. Bila ingin mendapatkan informasi, mereka mengaksesnya dari medium internet. Bagaimana tanggapan Bapak? JO: Itu merupakan persoalan tersendiri. Memang, belakangan ini generasi muda mencari informasi dan “membaca� berita bukan dari koran, tetapi dari media lain, seperti televisi, radio atau media siber. Meski telah ditinggalkan oleh sebagian pembaca generasi muda, media cetak masih tetap eksis. Itu bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di negara-negara lain. Setiap media, baik cetak maupun noncetak, memiliki kelebihan masing-masing, dan masih tetap dibutuhkan masyarakat dari segala usia. P: Dalam urusan bahasa, Kompas sangat rapi dan tidak jarang memperkenalkan kosa kata atau istilah-istilah baru. Bapak juga menyinggung soal saling mengisi antara media baru dan media lama. Namun, bahasa di


68

Prisma, Vol. 34, No. 1, 2015

media baru itu sering kali disingkat-singkat dan terkadang menyerap bahasa daerah atau bahasa gaul. Bagaimana tanggapan Bapak? JO: Sejak awal, Kompas selalu mempertimbangkan dan memperhatikan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bagian dari pengembangan budaya bangsa. Perubahan berbahasa di media baru seperti yang Anda katakan itu senantiasa kami perhatikan dengan cermat sekaligus berhati-hati dalam menyerap kata atau istilah-istilah baru. Saya sendiri mengingatkan teman-teman redaksi agar Kompas tetap mengembangkan, memperkaya, dan menggunakan bahasa Indonesia secara tepat dan disiplin. Urusan bahasa dalam media massa sangat penting, serupa dengan isi pemberitaan. Bila diibaratkan, isi berita adalah sang raja sedangkan bahasa adalah sang ratu (content is the king, language is the queen). Karena itu, dibutuhkan kehati-hatian, kerendahhatian, dan kesantunan dalam berbahasa. Kami memiliki buku panduan berbahasa, Tim Bahasa, dan litbang yang terus-menerus melakukan riset dan diskusi demi pengembangan isi dan bahasa yang digunakan Kompas dan dibaca masyarakat. P: Salah satu kelebihan media siber adalah kemampuannya mengundang banyak orang untuk mengomentasi berita atau informasi tertentu dan berdiskusi. Namun, diskusi di ruang media siber itu kadang kala berlangsung secara “kasar”, bahkan menyudutkan dan menyakitkan pihak tertentu. Kehendak untuk memberitakan sesuatu secara cepat pada umumnya juga membuat media sering mengabaikan pentingnya verifikasi. Bagaimana tanggapan Bapak? JO: Itu memang sudah terjadi belakangan ini. Pemberitaan tanpa verifikasi seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Namun, sekali lagi, hal tersebut sulit untuk “dicegah”, karena setiap media memiliki cara dan gaya serta kelebihan dan kekurangan masing-masing. Serahkan saja kepada publik untuk menilai dan memutuskan hendak “membaca” yang mana.

Masyarakat sendiri bersifat majemuk. Ada yang senang membaca berita media yang tidak serius dan ada juga yang suka membaca berita media yang cukup serius, berhati-hati, dan proporsional. P: Prinsip bad news is a good news tampak sangat menonjol dalam pemberitaan pers kita belakangan ini. Sebagai contoh, liputan tentang jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 yang ditayangkan beberapa stasiun televisi dengan menampilkan potongan jasad korban. JO: Pemberitaan media pada kasus jatuhnya AirAsia memang tampak sangat “kedodoran,” tidak etis, dan menambah sedih pihak keluarga korban dan masyarakat pada umumnya. Hampir tidak ada empati sama sekali. Sebaliknya, pemerintah dalam hal menangani bencana itu belajar dari pengalaman masa lalu berjalan cukup baik dan juga berkat solidaritas masyarakat serta bantuan pemerintah dan beberapa negara tetangga. Musibah dan kasus serupa memang perlu segera dievaluasi untuk mencegah sekecil mungkin dampak negatifnya bila kecelakaan terjadi kembali. Selain menangani media relations, hal lain yang sangat perlu diperhatikan dan diselesaikan dalam kasus jatuhnya AirAsia QZ8501 itu adalah urusan izin penerbangan. Misalnya, bagaimana pesawat sipil yang belum mendapat izin terbang sudah bisa mengangkasa, dan akhirnya jatuh. Hal-hal seperti itu yang semestinya diangkat oleh media, bukan dramatisasi atas kondisi korban dan keluarganya yang justru menambah kepedihan dan membangkitkan amarah publik. P: Bagaimana Bapak melihat hubungan antara pemerintahan Jokowi-JK dengan media? Hal apa saja yang harus dirumuskan sebagai kebijakan di bidang pers, media massa, dan ruang publik? JO: Pemerintah perlu memosisikan diri lebih jelas dan memberikan banyak manfaat kepada rakyat. Sekarang ini masih belum kelihatan. Presiden Jokowi pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo. Sebuah kota di Jawa Tengah D I A L O G


Jakob Oetama, Media Digital

yang boleh dibilang tidak terlalu besar. Setelah itu, dia menjabat Gubernur DKI Jakarta sekitar dua tahun. Keberhasilan dan kegagalannya dalam menata kota-kota itu sebenarnya belum bisa dinilai. Mendadak dia dicalonkan dan kemudian menjadi presiden negeri ini. Sifat dan pembawaannya menyenangkan serta dekat dengan rakyat. Namun, hal itu saja belum cukup. Saya mencoba mengikuti bagaimana cara dia memimpin pemerintahan, namun sampai sekarang belum menemukan gambaran yang memuaskan. Tanpa bermaksud merendahkan, saya kerap bertanya dalam hati kenapa si A atau si B diangkat menjadi menteri. Apakah sebagian besar di antara mereka yang diangkat menjadi menteri itu memang layak dan mumpuni? P: Menurut sebagian kalangan, Kompas justru banyak memberikan endorsement kepada Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014. JO: Ketika The Jakarta Post menuangkan dalam tajuknya awal April 2014 akan mendukung Jokowi, kami sungguh berada dalam posisi amat sulit. Kami sendiri tetap ingin independen. Kalaupun diputuskan mendukung, kami tetap dengan “cara” Kompas. Pendapat tersebut akhirnya kami sampaikan dan tegaskan dalam salah satu “Tajuk Rencana” Kompas bulan April 2014, yang kemudian ditafsirkan oleh sebagian kalangan bahwa Kompas mengapresiasi Jokowi-JK. Namun, kami menggunakan “cara” yang berbeda. Ngono ya ngono ning ora ngono. Media massa seharusnya mengambil sikap seperti itu. Ia bisa memberikan endorsement atau dukungan politik kepada pihak tertentu, namun dengan tetap bersikap kritis. Kompas pernah mengembangkan dan menyebutnya sebagai jurnalisme pembangunan. P: Jurnalisme pembangunan seperti apa? JO: Pada zaman Orde Baru, media menjadi underdog, karena berpihak pada underdog. Namun, bagaimana keberpihakan itu diwujudkan? Ada yang melakukannya dengan sikap D I A L O G

69

keras menentang pemerintah, seperti harian Indonesia Raya dan Pedoman. Sementara Kompas memiliki pendekatan berbeda. Selain mengapresiasi capaian pembangunan, Kompas juga memberikan kritik dan memaparkan kelemahan atau kekurangannya. Kritik tersebut mengandung sejumlah pemahaman dan respek. Good news is new, bad news is new. Itu pengertian kami mengenai jurnalisme pembangunan. Sampai sekarang rekan-rekan redaksi masih berpedoman seperti itu, meski konteksnya barangkali bukan lagi pembangunan. Selain endorsement, kami juga tetap memberikan kritik. Kita tidak boleh menutup mata atas keberhasilan pemerintah, entah di zaman Soeharto atau SBY. Untuk urusan itu Kompas dinilai terlalu berhati-hati. Kami pernah memakai tagline “kata hati mata hati” yang oleh beberapa pihak diselorohkan “mata” dan “kata”-nya hilang, tinggal “hati-hati”-nya. Begitu pula “jurnalisme kepiting” yang ditujukan kepada Kompas setelah tahun 1978. P: Bagaimana menjalankan dan menjaga institusi pers sebesar Kompas saat ini? JO: Saya rasa lumayan berat, tetapi bisa dilakukan dengan baik. Kuncinya adalah rekanrekan bisa bersatu. Kita sering bertemu dan berbicara. Riak-riak tentu ada dalam perjalanan kami, namun relatif bisa diselesaikan dengan baik. Bila ada masalah, dibicarakan secara terbuka dan kekeluargaan. Semangat kekeluargaan harus terus dipupuk, namun profesionalisme dan corporate culture juga mesti dijalankan. Bagaimanapun juga, Kelompok Kompas adalah sebuah korporasi yang cukup besar dan kompleks. Sebagai sebuah media, Kompas ibarat “Indonesia Kecil” dengan semangat kemanusiaan yang beriman. Kebersamaan didasari oleh kesadaran bahwa kita sama-sama umat manusia yang memiliki keluhuran dan kekurangan. Walaupun menganut kepercayaan dan agama berbeda, tetap menuju arah yang sama: nilainilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu, Kompas senantiasa berusaha memberi


70

Prisma, Vol. 34, No. 1, 2015

kontribusi bagi proses demokratisasi, kebebasan, serta berpihak pada yang miskin, lemah, dan menderita. Untuk mencapainya memang harus secara bertahap dan membutuhkan kerja sama dengan pihak lain. P: Selain berhasil sebagai korporasi media, Kompas juga dinilai berhasil menghidupi dan menyejahterakan karyawannya. Semua tampak berjalan mulus. Apakah benar demikian? JO: Terima kasih atas penilaian itu. Namun, sesungguhnya tidak selamanya berjalan tanpa masalah. Sebagian besar karyawan Kompas berusia muda. Untuk menjadi seorang wartawan, misalnya, tentu dimulai dari usia muda. Kaum muda ini terkadang tidak sabar, mau serba cepat, serta grusa-grusu, bahkan “menuntut” Kompas mengikuti semua keinginan dan idealisasi mereka. Maksud mereka sebenarnya sangat baik. Mereka ingin menjadikan Kompas tumbuh dan berkembang lebih baik. Namun, semua itu, termasuk meniti karier di sebuah perusahaan, tentu butuh waktu dan proses. Hal tersebut sering tidak dipahami oleh rekanrekan muda. Selain itu, perlu juga ditanyakan apa yang membuat seseorang bergabung ke Kompas? Sekadar mencari pekerjaan dan menduduki jabatan ataukah karena ada “panggilan” untuk

berbuat sesuatu bagi masyarakat dan bangsa? Kita selalu berusaha menanamkan pengertian bahwa kerja sebagai wartawan adalah ibadah, panggilan hidup, dan pengabdian. Upaya menanamkan kesadaran semacam itu tidaklah mudah. Di sisi lain, kita juga harus memahami dan menghargai target pribadi rekan-rekan muda itu. Menyatukan kedua hal itu bukan perkara mudah, namun tetap harus terus-menerus dicoba. Nuansa berpikir antara “generasi muda” dan “generasi tua” Kompas memang berbeda. Para perintis atau generasi awal Kompas ibarat “kelompok perjuangan.” Kami membangun institusi Kompas berawal dari kesederhanaan dan keprihatinan. Sementara rekan-rekan muda bergabung ketika Kompas sudah jadi. Sebagian dari mereka berasal dari lapisan kelas menengah yang hidup dengan berbagai fasilitas yang dahulu tidak dinikmati oleh para perintis. Namun, kami yang generasi lama ini tidak bisa menyalahkan begitu saja rekan-rekan muda. Untuk itu dibutuhkan saling pengertian atau saling menerima dan memberi (take and give) yang positif karena membuat kerja sama di antara keduanya menjadi lebih dinamis. Simbiosis mutualisme demikian tentu saja harus bertumpu pada peraturan, tradisi, pengertian, dan tata krama, dan kesantunan yang berlaku dalam masyarakat•

D I A L O G


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.