Strategi Pengembangan Wilayah di Indonesia dengan Model Bottom-Up Berbasis Place-Based

Page 1

Nama : Putri May Indah Ribka Harianja

NIM : 21040119130072

Kelas : B

Jumlah Kata : 1509

Penerapan Model Pengembangan Bottom-up Berbasis Pendekatan Placebased sebagai Strategi Pengembangan Wilayah di Indonesia

Pendahuluan

Secara etimologi, pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk

mengembangkan, sedangkan wilayah dapat diartikan sebagai daerah. Dari perspektif geografi, wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu area yang memiliki karakteristik tertentu atau memiliki ketergantungan secara fungsional dalam hal

hubungan secara ekonomi, politik, dan administratif. Hal ini dijelaskan lebih lanjut

dalam Undang-undangNomor26tahun2007tentangPenataanRuang,bahwa suatu

wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur

terkait, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Pengembangan wilayah dapat diinterpretasikan sebagai

suatu tindakan atau upaya dalam mengintervensi suatu wilayah untuk

meningkatkan fungsionalitas atau produktivitas dari suatu wilayah sekaligus

memperhatikan pengembangan dari sumber daya manusia dari suatu wilayah

sehingga secara singkat, pengembangan wilayah dapat juga berarti suatu proses

dimana manusia merupakan aktor, sekaligus penerima manfaat dari adanya pengembangan suatu wilayah (Nijkamp & Abreu, 2009).

Model pengembangan wilayah di Indonesia dimulai dari model pengembangan top-down yang ditandai dengan teori ekonomi neoklasik hingga penerapan model pengembangan bottom-up. Model pengembangan wilayah dari

atas kurang memperhatikan karakteristik wilayah, hambatan wilayah, dan hanya memperhatikan faktor eksogen, seperti investasi, pasar ekspor, dan migrasi. Sebaliknya, model pengembangan dari bawah memperhatikan berbagai faktor

endogen. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan berbagai wilayah yang

memiliki karakteristik masing-masing sehingga model pengembangan wilayah

yangefektifuntukditerapkandiIndonesiaadalahmodelpengembangan terintegrasi bottom-up dan top-down dengan menggunakan pendekatan place-based.

Nama : Putri May Indah Ribka Harianja

NIM : 21040119130072

Kelas : B

Jumlah Kata : 1509

Argumentasi

Teori Pengembangan Wilayah

Teori pengembangan wilayah selalu mengalami perkembangan sejak abad ke 18. Teori yang merupakan dasar dari teori pengembangan wilayah bagi negaranegara di dunia adalah teori konvergensi neoklasik yang merupakan konvergensi

dari tiga teori, yaitu teori pertumbuhan wilayah, teori pengembangan ekonomi wilayah, dan teori model perdagangan. Teori ini menitikberatkan pembangunan wilayah yangbergantungpada sumber daya atau potensi dari suatu wilayah. Dalam teori ini, pergerakan dari modal dan tenaga kerja memiliki pengaruh terhadap

sumber daya lokal wilayah sehingga hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan sumber daya manusia. Akan tetapi, model ini menunjukkan situasi yang tidak

realistis karena model berasumsi bahwa mekanisme pasar dapat menghasilkan efektivitas penyerapan tenaga kerja (Dunford, 2009)

Selanjutnya, terdapat teori circular and cummulative causation. Teori ini merupakan teori yang berbeda dari teori sebelumnya, yaitu terdapat dampak positif dan negatif dari mekanisme pasar, yaitu adanya backwash effect yang berarti adanya peningkatan ketimpangan antara wilayah maju dan wilayah terbelakang sehinggateoriinimengusulkanadanyaintervensi darikelembagaanuntukmembuat kebijakan yang dapat meningkatkan kesetaraan antar wilayah yang dapat berkontribusi pada pengembangan wilayah.

Selanjutnya, terdapat teori modernisasi, dependensi, dan unequal exchange. Teori modernisasi mengenal model paradigma flying geese dari negara di Asia

Timur, yaitu satu pusat pertumbuhan, dalam hal ini Jepang, sebagai pusat pertumbuhanmemengaruhi pertumbuhanekonomi negara di Asia lainnya sehingga negara lainnya turut mengikuti pola pertumbuhan ekonomi dari Jepang sebagai

pusat pertumbuhan. Teori modernisasi juga melibatkan contoh dari teori Lewis, yaitu terdapat transfer tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern sehingga mengakibatkan peningkatan output dari sektor moden yang berarti terdapat migrasi desa-kota, pengangguran kota, peningkatan ketimpangan wilayah, dan pendapatan daerah yang tidak dapat mendukung adanya pasar bagi barangbarang manufaktur. Hal ini menimbulkan keterbelakangan pembangunan bagi

Nama : Putri May Indah Ribka Harianja

NIM : 21040119130072

Kelas : B

Jumlah Kata : 1509

daerah-daerah terbelakang sehingga terdapat model yang timbul untuk memecahkan masalah ini, yaitu model balanced growth dan unbalanced growth. Kedua model ini melibatkan investasi dalam mengatasi produktivitas yang rendah dari suatu wilayah. Kemudian, teori dependensi menjelaskan adanya keterbelakangan dari daerah-daerah pinggiran, yaitu terdapat interaksi

ketergantungan antara wilayah yangkurangmaju dengan kurangmaju sehingga hal ini mengakibatkan wilayah inti yang berkembang, sementara wilayah kurang maju tidak akan memiliki keuntungan. Kemudian, teori unequal exchange adalah suatu

teori yang cukup kontroversial karena barang yang diproduksi di wilayah kurang berkembang akan dijual dengan harga yang relatif rendah sehingga hal ini mengakibatkanadanya eksploitasi pekerjadari wilayah yangmajuterhadappekerja dari wilayah yang kurang berkembang.

Teori-teori tersebut merupakan penjabaran dari model pengembangan wilayah top-down. Pengembangan wilayah top-down berakar dari teori neoklasik dan teori wilayah tradisional. Teori ini mengasumsikan pengembangan wilayah sebagai dampak dari faktor eksogen, yaitu pasar ekspor, investasi dari luar, dan migrasi (Nelson, 1993). Teori ini juga tidak melibatkan masyarakat dalam menyusun perencanaan pembangunan daerahnya sehingga pemerintah, dalam membuat kebijakan, kurang memperhatikan kepentingan dari masyarakat. Jenis dari teori ini adalah teori konvergensi neoklasik, teori circular and cummulative causation, serta teori modernisasi, dependensi, dan unequal exchange. Selanjutnya, model pengembangan wilayah bottom-up merupakan suatu model pengembangan yang bertujuan untuk menyesuaikan pola pembangunan daerah agar sesuai dengan karakteristikdaerahnya. Model ini melibatkanmasyarakat dalam prosesperumusan kebijakannya sehingga kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, model ini juga bertujuan untuk mengontrol fenomena terjadinya backwash effect yang disebabkan oleh implementasi pengembangan wilayah top-down (Nelson, 1993). Model ini memiliki tiga pendekatan, yaitu pengembangan teritorial, fungsional, dan agropolitan. Pengembangan teritorial dilakukan dengan mengintegrasikan pusat pertumbuhan dengan wilayah terbelakangnya. Pengembangan fungsional dilakukan dengan mengembangkan

Nama : Putri May Indah Ribka Harianja

NIM : 21040119130072

Kelas : B

Jumlah Kata : 1509

wilayah terbelakang ke tahapan yang lebih tinggi dalam pengembangan wilayah. Pengembangan agropolitan dilakukan dengan menerapkan jenis pembangunan

sesuai dengan kebutuhan sosial dan ekonomi dari suatu wilayah. Model pengembangan wilayah bottom-up juga dikenal sebagai model pengembangan wilayah endogen yang melibatkan kewirausahaan, kawasan industri, pembelajaran regional, dan sistem inovasi (Tödtling, 2020). Teori ini, akhirnya, memunculkan pendekatan place-based, yaitu mengintegrasikan tiga model pengembangan bottom up dengan memperhatikan karakteristik wilayah, spesifikasi kelembagaan, dan hambatan-hambatan pembangunan.

Masalah Pengembangan Wilayah

Masalah pengembangan wilayah di Indonesia mencakup berbagai aspek. Permasalahan utama dari pengembangan wilayah di Indonesia adalah disparitas atau kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Namun, kesenjangan tersebut tidak selalu merupakan dampak dari adanya ketidakseimbangan pembangunan karena pada dasarnya, setiap wilayah di Indonesia telah memiliki sumber daya lokalnya masing-masing. Disparitas tersebut, akhirnya, menyebabkan berbagai isu dalam berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, sumber daya manusia, lingkungan, transportasi, dan penataan ruang.

Pertama, isu ekonomi menyangkut angka dependency ratio. Menurut hasil proyeksi penduduk Indonesia tahun 2010-2035 yang dihasilkan oleh (Badan Pusat Statistik, 2013), angka dependency ratio dari tahun 2020 sampai tahun 2025 masih berada di kisaran 47,7 sampai 47,3 sehingga dapat diketahui bahwa masyarakat di Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap masyarakat lainnya.

Kedua, isu sumber daya manusia adalah rendahnya indeks pembangunan manusia. Dilansir dari dokumen Human Development Reports, indeks pembangunan manusia pada tahun 2020 adalah 0,718. Dari angka tersebut, Indonesia memperoleh ranking 107 di dunia. Persentase indeks kemiskinan multidimensional adalah 3,6%. Selain itu, hanya 64,4% populasi penduduk yang berusia di atas 15 tahun yang memiliki pekerjaan. Tidak hanya itu, hanya 42% populasi tenaga kerja di Indonesia yang memiliki kemampuan sesuai International

Nama : Putri May Indah Ribka Harianja

NIM : 21040119130072

Kelas : B

Jumlah Kata : 1509

Standard Classification of Education (United Nations Development Programme, 2020) Dari beberapa indikator tersebut, dapat diketahui bahwa kualitas sumber daya manusia masih belum memiliki kemampuan untuk berdaya saing dengan sumber daya manusia dari negara lain.

Ketiga, isu lingkungan menyangkut indeks kualitas lingkungan hidup. Pada

tahun 2020, indeks kualitas lingkungan hidup di Indonesia adalah 70,27. Berdasarkan angka tersebut, kualitas lingkungan hidup di Indonesia didominasi oleh kondisi yang sangat baik, baik, dan sedang. Akan tetapi, indeks kualitas air dan indeks kualitas tutupan lahan di Indonesia belum mencapai angka yang

maksimal, yaitu berturut-turut 53,53 dan 60,74. Rendahnya kualitas air disebabkan oleh adanya pencemaran limbah domestik, sedangkan rendahnya kualitas tutupan

lahan disebabkan oleh penurunan tutupan lahan semak belukar, hutan lahan kering sekunder, dan hutan tanaman (DLHK Aceh, 2020)

Keempat, isu transportasi dalam pengembangan wilayah di Indonesia

menyangkut kondisi jalan dan infrastruktur wilayah yang kurang memadai. Hal ini

diakibatkan oleh sulitnya pembebasan lahan, kurangnya koordinasi antar

stakeholder, dan masalah pendanaan (KOMITE PERCEPATAN

INFRASTRUKTUR PRIORITAS, 2017).

PENYEDIAAN

Kelima, isu penataan ruang dalam pengembangan wilayah di Indonesia

menyangkut adanya bentrok kepentingan antar sektor, kurang optimalnya penataan

ruang,adanya inkonsistensi kebijakanterhadaprencana tata ruang, kurangtegasnya

alokasi fungsi dalam RTRWN, dan kurangnya keterbukaan dalam menempatkan

kepentingan wilayah dalam tata ruang (Tukidi dan Hariyanto, 2007)

Strategi Pengembangan Wilayah di Indonesia

Berdasarkan isu-isu dari berbagai aspek, model pengembangan wilayah

yang efektif untuk diterapkan di Indonesia adalah model pengembangan wilayah

terintegrasi bottom-up dan top-down dengan menggunakan pendekatan placebased. Model pengembangan tersebut dilakukan dengan memperkuat peran

pemerintah dalam merumuskan kebijakan (top-down) yang juga melibatkan

partisipasi penuh masyarakat (bottom-up) dengan memperhatikan karakteristik dan

Nama : Putri May Indah Ribka Harianja

NIM : 21040119130072

Kelas : B

Jumlah Kata : 1509

hambatan pengembangan dari masing-masingwilayah (place-based). Strategi yang dapat dilakukan, antara lain.

Pertama, penguatan interaksi antara desa dan kota dengan menambah jumlah lapangan pekerjaan, pemerataan distribusi tenaga kerja, dan pelaksanaan pembelajaranlokal berbasispotensi wilayah. Selainitu, dialogjuga perludilakukan antara pemerintah dan masyarakat dalam menerapkan strategi tersebut.

Kedua, penguatan regulasi dan sistem kelembagaan dengan pengkajian ulang rencana tata ruang dan menguatkan koordinasi antar stakeholder dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sehingga rencana tata ruang dapat berjalan konsisten dengan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, pembaharuan sistem inovasi wilayah dengan memperbanyak lokasi riset, universitas, dan institusi pendidikan lainnya. Hal ini dimaksudkan supaya masyarakat di wilayah terbelakang dapat memiliki akses yang baik terhadap pendidikan untuk meningkatkan inovasi dan ide-de dari masing-masing wilayah.

Penutup

Indonesia memiliki kondisi alam tiap wilayah yang berbeda sehingga menyebabkan adanya perbedaan potensi dari masing-masing wilayah. Hal ini menimbulkan berbagai isu ekonomi, sumber daya manusia, lingkungan, transportasi, dan penataan ruang. Berdasarkan isu tersebut, strategi pengembangan wilayah yang efektif untuk diterapkan di Indonesia adalah adalah model pengembangan wilayah terintegrasi bottom-up dan top-down dengan menggunakan pendekatan place-based. Denganbegitu,pengembanganwilayahdi Indonesia dapat

melibatkanpartisipasipenuhdarimasyarakatdanmemperhatikankarakteristik unik dari masing-masing wilayah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Sumber Pustaka

Nama : Putri May Indah Ribka Harianja

NIM : 21040119130072

Kelas : B

Jumlah Kata : 1509

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.