5 minute read

Designing Food Products for Senior Consumers

Next Article
FORUM

FORUM

FoodReview Indonesia Workshop Designing Food Products for Senior Consumers

Membuat produk pangan untuk konsumen senior tentu tidak bisa disamakan dengan konsumen pada umumnya. Hal ini berlaku pula untuk produk pada anak-anak. Kekhususan ini tidak dapat dipisahkan dari karakteristik dan metabolisme yang terjadi pada usia-usia tertentu seperti anak-anak dan konsumen senior.

Advertisement

Terkait dengan konsumen senior atau ada pula yang menyebutnya lanjut usia (lansia) terbagi menjadi beberapa kategori. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) membagi klasifikasi lansia menjadi tiga yakni elderly (6075 tahun), old (76-90 tahun), dan very old (di atas 91 tahun). Sedangkan di Indonesia, umur lansia juga telah diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia di mana lansia dimulai pada umur 60 tahun dengan klasifikasi sebagai berikut: pra-lansia (usia 50-60 tahun), lansia muda (60-70 tahun), lansia dewasa (usia 70-80 tahun), dan lansia paripurna (usia >80 tahun).

Menjadi tua bukanlah sesuatu yang bisa disangkal. Proses penuaan merupakan proses normal yang berlangsung sejak maturitas dan umumnya menjadi nampak nyata sesudah usia 40 tahun. Penuaan ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti genetik, gaya hidup, dan lingkungan. “Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi-fungsi tubuh secara bertahap dari organisme yang disebabkan oleh perubahan struktur yang bergantung pada waktu dan bersifat irreversible yang pada akhirnya akan menurunkan kemampuan tubuh untuk mengatasi tekanan lingkungan sehingga meningkatkan probabilitas kematian,” tutur Dosen Departemen Gizi Masyarakat, IPB University, Dr. Rimbawan dalam FoodReview Indonesia Workshop – Designing Food Products for Senior Consumers yang diselenggarakan beberapa waktu lalu secara virtual.

Perubahan fisiologis organ tubuh

Dalam proses penuaan, ada beberapa perubahan yang terjadi terutama pada fisiologis seseorang. Pada aspek mobilitas yang berpengaruh pada sistem otot, tulang, dan persendiaan, terdapat beberapa perubahan seperti adanya proses sarcopenia yang mengakibatkan berkurangnya massa otot, dan adanya penurunan kekuatan otot yang sesuai, dan tulang kehilangan kandungan mineralnya selama masa tua, terutama pada wanita. “Diet (mengatur pola konsumsi) dan olahraga merupakan cara yang penting untuk mencegah

serta memperlambat proses penurunan fungsi sistem tulang, persendian, dan otot,” tambah Rimbawan. Selain mobilitas, perubahan juga terjadi pada fungsi organ tubuh seperti pada sistem kardiovaskular, pernafasan, urinari, dan pencernaan. Pada sistem pencernaan khususnya, terjadi penurunan sekresi HCl. Di mana HCl merupakan faktor ekstrinsik yang membantu penyerapan vitamin B12 dan kalsium, serta utilisasi protein.

Kekurangan HCl juga dapat menyebabkan lansia mudah terkena osteoporosis. Tidak hanya itu, kekurangan HCl mengakibatkan terjadinya defisiensi zat besi yang menyebabkan anemia, sehingga oksigen tidak dapat diangkut dengan baik. “Berkurangnya sekresi saliva juga turut menimbulkan kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi,” ungkap Rimbawan. Tidak hanya organ di dalam tubuh saja, beberapa panca indera yang mengalami penurunan juga berpengaruh pada perubahan sensasi dan persepsi terhadap suatu produk pangan yang akan dikonsumsi. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa perubahan seperti penurunan massa bebas lemak, massa lemak, dan massa air yang berakibat pada penurunan massa otot, retensi cairan serta cadangan air tubuh yang menurun. Hal-hal tersebut kemudian juga memiliki dampak pada asupan gizi seperti kebutuhan energi dan protein yang menurun, dan risiko dehidrasi yang meningkat.

Dr. Rimbawan Dosen Departemen Gizi Masyarakat, IPB University

Kebutuhan gizi lansia

Berdasarkan data Angka Kecukupan Gizi (AKG) dalam Permenkes No. 28 Tahun 2019, disebutkan bahwa AKG lansia umumnya lebih rendah, terutama pada gizi makro (karbohidrat, lemak, dan protein). Kebutuhan vitamin dan mineral lansia cenderung tidak mengalami perubahan, atau justru lebih tinggi, seperti vitamin K, vitamin D, vitamin B6, dan kalsium. Pada wanita berusia antara 65-80 tahun, kebutuhan energi per hari adalah 1.550 kkal. Lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan energi wanita berusia 19-29 tahun yakni sebesar 2.250 kkal.

“Tidak hanya itu, kebutuhan lemak dan karbohidrat juga berbeda. Sebagai contoh, pada pria dewasa berusia 1929 tahun, kebutuhan lemaknya sebesar 75gr per hari, sedangkan pada lansia hanya sebesar 50gr,” imbuh Rimbawan. Di sisi lain, persentase untuk zat gizi makro yang disarankan adalah 2025% protein, 20% lemak, dan 5560% karbohidrat. Asam lemak yang dikonsumsi sebaiknya yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang

tinggi, yaitu asam lemak omega 3 dan omega 9 seperti yang terdapat pada ikan yang hidup di laut dalam.

Produk pangan untuk lansia

Setelah mengetahui perubahanperubahan yang terjadi pada lansia, maka dapat ditentukan bagaimana mendesain produk pangan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lansia. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan modifikasi produk berbasis tekstur (texturemodified foods/TMF). “Tentu saja, produk yang akan dibuat harus aman dan efisien untuk lansia, memenuhi kebutuhan gizi serta memiliki persepsi sensoris yang dapat diterima dan dinikmati oleh konsumen,” kata Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB University, Prof. Dede R. Adawiyah.

Tipe TMF biasanya merupakan makanan (solid) dengan tekstur lunak dan/atau ukuran partikel diturunkan sehingga lebih mudah tercampur dan dihancurkan dalam mulut oleh tekanan lidah-palatal tanpa penguyahan. Sedangkan dalam bentuk cair, biasanya viskositas dimodifikasi dengan menambahkan bahan pengental sehingga aliran lebih lambat yang bertujuan untuk mengurangi risiko penetrasi fluida ke saluran nafas. Teknologi proses TMF dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti pengecilan

ukuran, proses enzimatis, high-pressure, pulsed electric field, plasma, ultrasound, dan irradiation. “Pada pengecilan ukuran, biasanya dalam bentuk pure, cincang, atau dilembutkan. Ini memudahkan dalam proses oral, namun kualitas sensoris menurun sehingga terjadi penolakan dan penurunan jumlah produk pangan yang dikonsumsi,” tutur Dede.

Kendati demikian, untuk beberapa jenis makanan lain lain seperti daging, proses pengecilan ukuran ini sangat membantu karena dapat memfasilitasi pembentukan bolus sehingga membuat kenyamanan dalam konsumsi daging. Sedangkan untuk proses pada minuman dan pangan semi solid dapat menggunakan thickening agents seperti hidrokoloid (pati dan gum) untuk meningkatkan viskositas, retensi air, kepadatan dan kelembutan. Jenis hidrokoloid yang dapat digunakan sangat beragam mulai dari carrageenan, carboxymethyl cellulose, pectin, atau gellan gum. Hidrokoloid tersebut dapat mengentalkan produk minuman, pure, wortel, serta pea creams. Pengembangan produk pangan untuk lansia memang sangat perlu mempertimbangkan kinerja oral processing. TMF dan reologi merupakan pendekatan yang paling tepat dalam pengembangan produk untuk lansia atau penderita disfagia dengan tetap mempertimbangkan aspek sensoris lain terutama rasa, kenyamanan pada saat dikonsumsi, tidak menimbulkan sakit, risiko respirasi dan meninggalkan residu. “Penggunaan hidrokoloid atau bahan pembentuk gel dapat digunakan untuk membentuk tekstur sesuai dengan kemampuan oral processing,” pungkas Dede. Fri-35

Prof. Dede R. Adawiyah, Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB University

This article is from: