OPINI
Pontianak Post - Sabtu 11 Oktober 2008
19
EDITORIAL
Setelah Sultan Terima Keppres KELUARNYA Keputusan Presiden (Keppres) 86/P Tahun 2008 yang memperpanjang masa jabatan Sri Sultan sebagai gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ), untuk sementara memecahkan persoalan pemerintahan di Jogja. Paling tidak, selama tiga tahun -lama perpanjangan yang tercantum dalam keppres- Jogja akan berjalan normal di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX. Namun, tiga tahun bukanlah waktu yang lama. Karena itu, pembahasan RUU Keistimewaan Jogjakarta harus benarbenar diselesaikan sebelum rentang waktu itu selesai. Ini penting agar ‘’tragedi’’ ancaman kekosongan kekuasaan seperti sebelum keppres dikeluarkan tidak terjadi lagi. Namun, yang harus diperhatikan dalam pembahasan itu, unsur-unsur keistimewaan Jogja harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah pusat dan DPR RI. Sebab, dari sisi historis daerah ini memang memiliki keistimewaan. Demi mengakomodasi keistimewaan itu, logika demokrasi yang selama ini menjadi ‘’agama kita’’ dalam bernegara bisa jadi harus dikesampingkan. Demokrasi, untuk sementara ini, memang kita yakini sebagai sistem bernegara yang terbaik. Namun, bukan berarti demokrasi tidak memiliki kelemahan. Dan, soal kelemahan itu, kita tidak sulit mencari contohnya. Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung bisa dijadikan contoh aktual. Dengan menggunakan mekanisme demokrasi, orang jahat dan berniat buruk banyak yang sukses menjadi pemimpin suatu daerah. Dengan bermodalkan tumpukan uang yang dimiliki, ‘’si jahat’’ bisa melenggang menjadi orang nomor satu di suatu daerah. Dengan alasan demokrasi pula, kendati ‘’si jahat’’ itu terbukti tidak membuat kemajuan apa pun -bahkan malah memperburuk, sistem tidak bisa berbuat apa-apa. ‘’Si jahat’’ bisa terus melanjutkan kepemimpinan buruknya hingga masa jabatannya selesai. Memang, melalui lembaga legislatif ada mekanisme untuk menurunkan pemimpin yang gagal. Tapi, seberapa jauh legislatif mau dan bisa menjalankan fungsi ideal itu? Bukankah banyak bukti yang menunjukkan, dalam kasus seperti itu, anggota legislatif lebih bisa berkompromi dengan pemimpin buruk daripada harus membela kepentingan rakyat yang diwakilinya? Pelajaran yang bisa dipetik dari sana, ternyata demokrasi bukan segala-galanya. Jika demokrasi hanya dilaksanakan secara prosedural, tidak ada jaminan demokrasi akan mendatangkan kemanfaatan. Dan, demokrasi prosedural seperti itu kini banyak terjadi di negeri ini. Nah, kaitannya dengan Jogja, bila memang kepemimpinan ‘’otomatis’’ Sultan-Paku Alam terbukti membawa kemaslahatan, tidak ada alasan untuk mengotak-atiknya demi alasan demokrasi. Sejarah membuktikan, selama sistem itu diterapkan (sejak keluarnya piagam pengukuhan Jogjakarta 19 Agustus 1945) hingga sekarang, kemadlaratan yang fatal tidak terjadi. Memang, seperti halnya demokrasi, sistem ini bukanlah tanpa kekurangan. Artinya, bisa saja ke depan, figur yang memangku gelar sultan dan paku alam -yang otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur DIJ- bukanlah orang yang ideal. Karena itu, mekanisme untuk menjaga agar hal itu tidak terjadi juga harus dipikirkan. Tentu kesultanan dan pakualaman merupakan pihak yang paling bertanggung jawab agar kepemimpinan di Jogja tetap dipegang oleh orang yang pantas dan layak memimpin. Nama besar Kesultanan Jogja harus bisa dijadikan garansi akan hal itu. (*)
GAGASAN
Trend Pembunuhan di Indonesia ELAKANGAN banyak sekali kasus-kasus pembunuhan di Indonesia yang terkuak dan terekspos di media massa yang cukup menggetirkan hati saat menyaksikan beritanya. Diantaranya kasus yang paling menghebohkan negeri ini ialah pembunuhan sebelas nyawa oleh Lakilaki asal Jombang bernama Rian yang konon dikabarkan berorientasi homoseksual. Entah apa sebenarnya motif pelaku, yang jelas peristiwa pembunuhan kembali terjadi oleh orang-orang berbeda dan tempat berbeda. Seakan pembunuhan kini telah menjadi trend di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di Kalbar. Di Pontianak sendiri pembunuhan atas Satpam Indosat yang terjadi di Sungai Rengas telah membuka tabir merah tindak pembunuhan pada awal tahun 2008 ini. Pada awal bulan September pun Pontianak kembali dikejutkan dengan kasus pembunuhan seorang janda berusia 40 tahun bernama Lusi di daerah Kubu Raya yang diduga motif pembunuhannya masalah utang piutang yang hanya bernilai satu
B
juta rupiah. Miris memang mengingat waktu kejadian masih dalam bulan suci Ramadhan, dimana umat Islam termasuk pelaku yang seorang muslim seharusnya berlomba-lomba dalam beribadah. Selain sejumlah kasus pembunuhan, ada pula kasus perampokan, pencurian, korupsi, peminta-minta yang semakin menjamur serta pelecehan seksual yang semakin banyak terekspos media massa. Hal ini menunjukkan betapa mental manusia Indonesia telah terserang penyakit kronis dan kompleks yang semakin hari semakin akut. Beberapa kasus diatas adalah bukti bahwa keterpurukan Indonesia seolah sanggup mengikis moral sebagian individu Indonesia. Hal ini selain dapat dipicu oleh faktor kurangnya pemahaman dalam beragama, keterpurukan ekonomi, dapat juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang makna dari pendidikan oleh pelaku pendidikan, bahwa pendidikan secara umum bertujuan membantu anak didik agar dapat mengembangkan kepribadiannya secara utuh, baik dari segi IQ, EQ dan
Oleh: Dian Miranda S Psi SQ serta berbagai ketrampilan yang dibutuhkan pada saat terjun ke masyarakat. Bukan hanya melulu mengembangkan aspek IQ dan keterampilan fisik saja yang dapat mengakibatkan perkembangan pribadi yang patologis atau pribadi yang “sakit” karena pengembangan emosional dan spritualnya tidak dipenuhi. Menurut Tirtarahardja dan Sulo dalam bukunya Pengantar Pendidikan memaparkan bahwa pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan yang meliputi orang tua, guru, beserta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pemaparannya, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai komponen pendidikan guna menciptakan pribadi anak didik secara utuh dan sehat. Namun kenyataan yang terjadi belakangan ini, ketiga komponen
pendidikan diatas seolah berjalan sendiri-sendiri. Jadi tidaklah heran jika generasi yang dihasilkannya mengalami ketimpangan dalam perkembangan kepribadiannya, karena keluarga sebagai dasar pendidikan moral, emosional, sosial dan agama, serta lingkungan organisasi pemuda dalam masyarakat sebagai wahana pengembangan kesadaran sosial dalam berinteraksi dengan sesama manusia cenderung menarik fungsinya dan menyerahkan sepenuhnya tugas pendidikan kepada sekolah. Oleh sebab itu, ada baiknya kita semua bercermin pada diri sendiri, sebagai orang tua, masyarakat, termasuk lembaga pendidikan untuk kembali menjalankan perannya. Pendidik yang berada di lembaga pendidikan sebagai insan yang dipandang berintelektual lebih tinggi seharusnya berkesadaran untuk merangkul kembali partnerpartnernya yaitu keluarga dan masyarakat untuk saling bekerja sama dalam mewujudkan fungsi pendidikan yaitu membentuk pribadi dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia secara
utuh. Mengingat peran pendidikan sangat penting karena berkaitan langsung dengan arah masa depan bangsa. Anak didik adalah bibit yang sedang berkembang yang perlu ‘pupuk’ dan’‘asupan gizi’ yang seimbang agar dapat tumbuh dengan sempurna.’Sesungguhnya kesuksesan bangsa akan berpengaruh langsung pada kesuksesan pribadi dan sebaliknya, kesuksesan pribadi akan berpengaruh langsung pada kesuksesan bangsa. Bersatunya semua komponen pendidik dan berhenti menjadi egois untuk acuh tak acuh akan peran masing-masing, serta serius dalam membina generasi muda yang masih membutuhkan ‘vitamin’’IQ, EQ dan SQ dalam masa pertumbuhannya. Mudah-mudahan akan memberikan harapan akan cerahnya masa depan bangsa dan kita akan kembali bangkit dari keterpurukan mental maupun intelektual. ** *) Penulis adalah Dosen FKIP Untan dan Anggota Tim Indigrow (Biro Konsultasi Psikologi & SDM) Pontianak.
Privatisasi Krakatau Steel;Antara Efesiensi & Nasionalisme
Makelar Politik 2009 PEMILU 2009 semakin dekat. Berbagai aktivitas politik kini tampak?marak. Mulai pencalegan, penggalangan massa, pembekalan kader, perekrutan anggota parpol, hingga peragaan teknik atau cara kampanye agar memberikan nuansa teduh, nyaman, dan jauh dari konflik. Ramainya proses “perpolitikan” di negeri ini membuka peluang “bisnis” bagi mereka yang punya visi bisnis/dagang untuk menjadi makelar politik. Makelar ternyata tidak hanya berlaku pada jenis perdagangan umum, tapi juga untuk even nasional, seperti Pemilu 2009. Ada makelar caleg, makelar nomor urut caleg, makelar calon penguasa atau pemimpin parpol, dan lain-lain. Dengan begitu, proses politik amat mungkin disusupi jiwa makelar, asa ongkos, atau pembagian fee. Kalau demikian, proses politik yang bersih ternyata sulit dicapai. Ongkos untuk makelar saja sudah tinggi, bagaimana mau berpikir untuk peningkatan kesejahteraan wong cilik? Bagaimana merealisasikan konsep politiknya bila sejak awal menggunakan uang untuk makelar politik? WISNU WIDJAJA, Jl Sindoro Kalibuntu, Panggung, Tegal
Pojok Pemilih Pemula Tolak Golput * Sudah seharusnya. Ribuan Batang Kayu Illegal Diamankan * Terus?
Pawang
Pontianak Post
WALAUPUN menimbulkan pro dan kontra seputar privatisasi PT. Krakatau Steel beberapa waktu lalu, akhirnya DPR menyetujui privatisasi BUMN strategis yang memproduksi baja ini. Bagi yang pro, privatisasi saat ini dibutuhkan oleh pemerintah sebagai alternatif pembiayaan dan mengurangi pemborosan oleh BUMN yang tidak efisien. Hasil privatisasi BUMN tersebut dapat digunakan oleh pemerintah untuk memperkuat struktur modal perusahaan sehingga mampu berekspansi dalam rangka mengurangi pengangguran dan kemiskinan, meningkatkan efisiensi, mengurangi intervensi pemerintah dalam ekonomi, distribusi kepemilikan, menciptakan peluang baru melalui persaingan, dan memaksa BUMN ke mekanisme pasar. Kaufman dan Siegelbaum (Journal of International Affairs, 1996) melihat dari sisi lain yaitu privatisasi ditujukan untuk mengurangi korupsi melalui pemindahan kontrol dari politikus ke manajer swasta, sehingga transparansi kinerja internal BUMN bisa diawasi oleh publik dan pemegang saham lainnya secara lebih terbuka dan transparan (good corporate governance). Bagi yang kontra, selain kurangnya sosialisasi tentang manfaat privatisasi, privatisasi didukung oleh pemikiran adanya ketidaksempurnaan pasar sehingga privatisasi dapat merugikan. Joseph Stiglitz, tokoh besar dalam ilmu ekonomi, pemenang hadiah nobel ekonomi 2001, termasuk pendukungnya. Dalam kondisi pasar yang tidak sempurna dan banyak distorsi, maka privatisasi hanya merupakan pengalihan monopoli dari pemerintah ke swasta. Dan ini
bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Alasan lain adalah rasa nasionalisme. Privatisasi kepada pihak asing berarti menjual perusahaan kepada pihak asing, dan transfer pengelolaannya. Badan usaha strategis seperti Krakatau Steel ini dapat digunakan untuk mengendalikan Indonesia, karena produsen baja nasional ini sangat terkait dengan berbagai perkembangan industri hilir strategis lain seperti industri senjata, perkapalan, dan infrastruktur dasar lainnya. Penjualan saham kepada pihak asing dikhawatirkan dapat mengakibatkan negara kita tergantung pada pihak asing, tidak mandiri, lemah dalam inovasi sehingga kita mudah didekte. Program privatisasi sangat berkaitan erat dengan aktivitas politik di suatu negara, karena proses privatisasi dianggap sebagai transfer kontrol atas BUMN dari para politikus ke manajer swasta (Boycko et al., 1996). Aktivitas privatisasi juga sangat rentan dengan issu yang berkaitan dengan identitas nasional suatu negara dan nasionalisme (Rothgeb, 2002), terutama ketika pemerintah akan memprivatisasi BUMN yang bersifat strategis bagi suatu negara baik dari sisi besaran aset, penyediaan lapangan kerja, identitas nasional dan potensi terganggunya “public service”. Harus diingat bahwa tujuan dasar BUMN berbeda dengan perusahaan swasta. Maksimalisasi keuntungan (profit) semata, yang merupakan ciri dari perusahaan swasta, tidak bisa dipakai parameter sebagai acuan keberhasilan dari BUMN. Karena BUMN juga mengemban misi lain yaitu seperti penciptaan lapangan kerja, pengembangan
Oleh: Anwar Azazi teknologi nasional, motor penggerak ekonomi daerah dan penyediaan barang dan jasa yang tidak diminati kalangan swasta. Akibatnya, kehadiran BUMN lebih diutamakan untuk memenuhi public interest dan national interest. Sebenarnya privatisasi memang dibutuhkan negara demi mendapatkan pemasukan dari divestasi itu. Dengan total jumlah BUMN sebanyak 161 perusahaan bertotal aset mencapai 800 triliun, BUMN merupakan “komoditi” potensial untuk dijual. Apalagi melihat kondisi pemerintah yang tidak mempunyai alternatif lain (sepertinya karena tidak kreatif) dalam menutup anggaran yang defisit selain menjual BUMN. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum, BUMN indentik sebagai perusahaan yang tidak efisien, terlalu gemuk birokrasi dan korup. Pada tahun 2001 saja ada 25 BUMN yang mengalami kerugian dengan nilai kerugian sebesar 1 triliun lebih dan akibat kerugian tersebut negara dipaksa nombok. Belum lagi dengan pendapatan dari dividen dan pajak yang hanya sebesar 7 triliun dan 14 triliun. Hal itu sangat tidak sebanding dengan total aset yang begitu besar. Apakah privatisasi mendorong efisiensi dan pertumbuhan ekonomi? Pakar Ekonomi Pembangunan, Michael Todaro (2003), berdasarkan hasil penelitian Kikeri dkk menunjukkan bahwa dalam banyak kasus privatisasi berhasil meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, khususnya di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah.
Tetapi sebaliknya di negaranegara berkembang yang miskin, hasil privatisasi tidak jelas kesimpulannya. Bahkan privatisasi ternyata menimbulkan dampak negatif terhadap distribusi pendapatan, sebab aset-aset negara jatuh kepada orang kaya yang mampu membeli. Keuntungan dari membeli aset tersebut semakin besar, sementara si miskin yang tidak mempunyai akses untuk meningkatkan penghasilannya, misal diPHK sebagai alasan efisiensi dari pengusaha, akan semakin miskin. Nellis (1998) juga mengungkapkan bahwa tidak semua BUMN yang diprivatisasi berkinerja lebih baik dibandingkan sebelum diprivatisasi. Bahkan pengalaman di beberapa negara seperti Rusia, Polandia dan Rep. Ceko ternyata privatisasi masih berpotensi untuk menciptakan “vested interes” antara manajemen lama dan baru, yang berpengaruh terhadap ketidakmampuan manajemen BUMN beradaptasi dengan lingkungan baru. Kasus privatisasi di Amerika Latin pada tahun 1988-1992 telah mengakibatkan banyak BUMN dikuasai kelompok tertentu karena proses tender tidak transparan (Todaro, 2003). Kondisi tersebut telah mengalihkan monopoli usaha kepada swasta. Para pengusaha berkesempatan untuk menumpuk kekayaan melalui kekuatan monopoli atau kartel yang berasal dari pengalihan perusahaan yang semula dimiliki dan dikelola oleh pemerintah yang beroperasi di sektor-sektor vital. Menguasai Krakatau Steel akan membuka kesempatan menguasai industri nasional dan ekonomi nasional. Karenanya, kebijakan tentang perusahaan ini mestinya dimaknai dalam konteks ini dan disikapi
pemerintah dengan sangat hati-hati. Agar privatisasi dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, maka : Pertama, membentuk perusahaan holding BUMN yang terleas dari campur tangan birokrasi pemerintahan. Contohnya Malaysia yang memiliki holding company Khazanah Nasional untuk mengelola BUMN yang tersebar di Malaysia, Indonesia, Singapura, Saudi Arabia dan India. Pengelolaan BUMN di negara tersebut dapat dikelola secara efisien karena kunci keberhasilannya adalah profesionalisme dan keterbukaan. Kedua, walaupun telah ada Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan, namun sudah selayaknya pemerintah membuat UU Privatisasi, karena di Brazil, Nigeria dan Rumania, yang merupakan pasien IMF seperti Indonesia paska krisis ekonomi 1997, diharuskan mempunyai UU Privatisasi dahulu sebelum bisa menjual BUMN mereka. Ketiga, meningkatkan bargaining power dan ketegasan terhadap negara maju (kreditor). Dalam hal ini kita bisa belajar dari Malaysia. Malaysia ternyata berani menolak permintaan Amerika Serikat yang menginginkan agar Malaysia benar-benar menerapkan perdagangan bebas dengan kedua negara dalam Bilateral Free Trade Agreement (BFTA). Amerika ingin Malaysia membuka industri jasa keuangan yaitu perbankan syari’ah yang memang berkembang pesat dan industri otomotifnya yang sangat potensial, namun dengan elegan Malaysia menolaknya. *) Penulis adalah Dosen Magister Manajemen Untan.
Terbit 7 Kali Seminggu. Izin terbit Menteri Penerangan RI No. 028/SK/Menpen/SIUP/A7. Tanggal 3 Februari 1986. Persetujuan Perubahan Nama No: 95A/Ditjend. PPG/K/1998 Tanggal 11September 1998. Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Jalan Gajah Mada No. 2-4 Pontianak 78121. Kotak Pos 1036. Fax. (0561) 736607. Telepon Redaksi: (0561) 735070.Telepon Iklan/Pemasaran:735071. Hunting (Untuk seluruh bagian) Fax. Iklan 749637. Email: redaksi @pontianakpost.com. Penerbit: PT.Akcaya Utama Press Pontianak. Pembina: Eric Samola, SH, Dahlan Iskan. Pemimpin Umum: Tabrani Hadi. Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: B Salman. Wakil Pemimpin Redaksi : Nies Alantas. Pemimpin Perusahaan: M. Nurdin Idris. Sidang Redaksi: Abu Sofian, H Holdi, Muslim Minhard, Surhan Sani, Mela Danisari, Mursalin, Khairulrahman. Sekretaris Redaksi: Endah Djaniawati. Dewan Pengarah Redaksi: Agusno Sumantri. Staf Redaksi: Marius AP, Mizar B, Donatus Budiono, Budi Darmawan, U Ronald, Efrizan, Asianti Falevy, Budianto, Jawa Pos Group Chairunnisya, M Khusdarmadi, Pracetak/Artistik: Karnadi (Koordinator), Abdurahman, Sartika, Ratnawati, Sujarwadi, Muhsinin, Heri S, Sudarmadi, Grafis: A.Riyanto, Ilustrator: Kessusanto, Sigit. Fotografer: Timbul Mudjadi, Bearing, Sando Shafella. Biro Singkawang: U Ronald, Zulkarnaen Fauzi, Hari Kurniathama (Jl. Gunung Raya No.15 Telepon (0562) 631912). Biro Sambas: Mursalin (Jl P Anom Telp (0562) 392683) Biro Sanggau: Anto Winarno (Jl. Sudirman No. 4 Telp. (0564) 21323). Biro Ketapang: Adi Chandra, Andre Januardi (Jl. Gajahmada No. 172. Telp. (0534) 35514). Kabupaten Pontianak: Hamdan, Pringgo. Biro Sintang: Mustaan, Budiman. Pemasaran/Sirkulasi: Tri Hanjaya. Iklan: Dewiyanti.S. Percetakan: Surdi. Devisi Event/Kombis: Robert Iskandar Jakarta: Max Yusuf Alkadrie, Bank: BPD Kalbar, BEII, Bapindo. Harga Langganan per 1 Bulan dalam kota Rp 65.000,- (luar kota tambah ongkos kirim). Tarif iklan: Per mm kolom hitam putih Rp 20.000,- spot colour Rp 25.000,- full colour Rp 30.000,- Iklan baris Rp 8.000,- per baris (minimal 2 baris, maksimal 10 baris) pembayaran di muka. Telepon Langganan/Pengaduan: 735071. Iklan: 730251. Perwakilan Jakarta: Jl. Jeruk Purut-Al-Ma’ruf No.4 Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12560. Telepon: 78840827 Fax. (021) 78840828. Percetakan: PT.Akcaya Pariwara Pontianak. Anggota SPS-SGP ISSN 0215-9767. Isi di luar tanggung jawab percetakan.
PERTAMA DAN TERUTAMA DI KALIMANTAN BARAT