Bookshelves Volume 5 2018

Bookshelves Teachers’ inspiration for a better education

Volume 5, 2018 periplus.edu@gmail.com IG: periplus_education

arcaion on pixabay.com

Salam!

Greetings

Para Rekan Pendidik yang terkasih, Istilah perisakan (bullying) cukup populer pada beberapa dekade terakhir ini. Dengan serius negaranegara tertentu, Finlandia misalnya, menggarap masalah tersebut. Secara terprogram mereka bahkan menerapkan modul-modul ilmiah untuk melucuti perisakan di lingkungan sekolah mereka.

Kita memang mesti sungguh-sungguh memahami persoalan perisakan dengan segala aspeknya yang saling terkait: aneka bentuk perisakan, para perisak, mereka yang dirisak, para orang tua murid, para pendidik di sekolah, sistem sekolah, dan sebagainya. Sementara semua faktor tersebut adalah penting, secara khusus perhatian mesti ditujukan kepada mereka yang dirisak.

Ingatkah Anda pembantaian massal yang terjadi di Columbine High School pada 20 April 1999?

Ini merupakan kenangan paling mengerikan bagi para pendidik, baik di Amerika Serikat maupun di

Dear Fellow Educators, The word bullying has been around for these last decades. Some countries, like Finland, really take the bullying problem into account. They even utilize scientific-research-based modules to programmatically disarm the bullying in their schools.

We are to take into consideration bullying with its many intertwined aspects: the diverse forms of bullying, the bullies, those being bullied, the parents, the educators in school, the school systems, etc. While other facets are all important, we are to pay special attention to those being bullied.

Remember the Columbine High School Massacre that happened on April 20th, 1999? It is one of the most horrible memories for all educators across the USA and around the world. Two twelfth grade students, Eric David Harris (18) and Dylan Bennet Klebold (17), opened fire in their own school in Columbine (Colorado, USA).

1

Bookshelves seantero dunia. Dua orang siswa Kelas-12, Eric David Harris (18) dan Dylan Bennet Klebold (17), secara membabi-buta memuntahkan peluru senjata api di sekolah mereka sendiri di kota Columbine, Colorado, AS. Banyak orang langsung mengaitkan peristiwa memilukan itu dengan perisakan. Kebrutalan yang ganas tersebut merupakan cara Harris dan Klebold, yang acap kali dirisak oleh teman-teman mereka, melampiaskan kemarahan, kekecewaan dan segala rasa-sakit-hati mereka yang terpendam. Serentak keduanya membalas dendam: membunuh 13 orang, mencederai 24 orang lainnya—sebelum akhirnya keduanya bunuh diri.

Tampaknya, pada titik tertentu orang tidak sanggup lagi menanggung perisakan. Menurut salah satu penelitian di Inggris, setidaknya separuh dari kasus bunuh diri berkaitan dengan perisakan. Sementara, di sisi yang lain ada juga perilaku agresif yang tidak terduga. Ada 15 kasus penembakan di sekolah sepanjang tahun 90-an di Amerika Serikat. Selusin daripadanya sangat berhubungan dengan perilaku agresif dari mereka yang mengalami perisakan sebelumnya.

Manakala tidak ditangani dengan seksama dan disembuhkan dengan baik, mereka yang terluka secara potensial akan ganti melukai diri mereka sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, mata rantai kekerasan mulai menampakkan wujudnya.

Sebelum sangat terlambat, kita mesti sungguhsungguh menggunakan segala upaya untuk menghentikan perisakan di lingkungan sekolah kita.

Perisakan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Toto Subagyo Redaktur

Volume 5, 2018

Some people link the horrific incident directly to bullying. They say that the satanic brutality was the way of both Harris and Klebold, who had always been bullied by their classmates, vented their anger, disappointment, and all the stuck hurt feelings. In unison they did take revenge on that deadly day, killing 13 and leaving 24 badly injured—before committing suicide themselves.

It seems that at some point people cannot tolerate the bullying any longer. At least half of suicides among young people, according to a study in Britain, are related to bullying. Meanwhile, aggressive behavior is the other side of the coin. There were about 15 school shooting cases in the USA in 1990’s. A dozen of them are closely related to the unpredictable aggressive behavior of those ever being bullied.

Being not properly treated and well healed, the wounded ones might harm themselves and others in turn. The chains of violence, then, begin to take shape.

Before too late, we have to make all efforts to stop the bullying in our schools. We surely cannot take bullying for granted anymore.

Now, I've always known that there were bullies in the world. We've seen a lot of it in politics lately as well as in daily life. You see it where people who may be stronger, or bigger, or better with verbiage than other folks... show off. To me, that's what bullying is, showing off. It's saying, I'm better than you, I can take you down. Not just physically, but emotionally Sekarang, saya tahu bahwa selalu ada perisak di dunia ini. Kita bisa melihat mereka di kancah politik, juga dalam kehidupan sehari-hari. Para perisak itu bisa saja orang yang lebih kuat, lebih besar, atau lebih baik dengan kepandaian berkata-kata yang lebih baik daripada kebanyakan orang...suka pamer.

Menurut saya, perisakan adalah suka pamer. Seolah mereka berkata bahwa 'Aku lebih baik dari kamu sehingga aku dapat menjatuhkan dirimu.' Bukan hanya soal fisik, tapi juga secara emosional.

Whoopi Goldberg, Aktris dan Penulis (1955 - sekarang)

2

Bookshelves

Volume 5, 2018

Temanku yang Nyentrik My One Peculiar Friend Debora Aritonang

Saya bertemu dengannya di tempat kerja. Rambut keritingnya yang tebal terurai menutupi sebagian wajahnya memberi kesan pertama yang tidak ramah. Ketika mulai berbincang dengannya, saya segera menyadari kalau dia memang tidak biasa.

Caranya berbicara sampai topik percakapan yang dipilihnya tidak biasa. Dia suka membaca novel fiksi yang berat. Dia suka mendengarkan lagu-lagu band Islandia yang jarang terdengar. Dan, dia bisa jadi temperamental kalau ada sesuatu atau seseorang yang mengusiknya. Singkatnya, dia cocok sebagai seseorang yang terasing.

Suatu hari, saya sedang menikmati makan siang dengan teman-teman kerja. Kami mengelilingi sebuah meja bundar di ruang makan kantor kami.

Setiap orang yang baru datang langsung mengambil kursi dan menyusup di antara kami, walaupun mejanya sudah penuh. Tidak ada yang mau ketinggalan berita terbaru di kantor kami.

Dia datang terlambat dan memilih untuk duduk sendiri di meja sebelah. Kami mengajaknya untuk bergabung, “Kenapa kamu nggak duduk di sini aja sama kita?”

Jawabannya membuat saya tersentak sekaligus membuka mata saya, “Oh, saya kira ini seperti di SMA. Itu meja anak-anak gaul, dan saya duduk sendirian di sudut.”

Jawaban jujurnya menunjukkan dampak yang sangat besar dari perisakan, bahkan setelah bertahun-tahun kemudian. Dia mungkin sudah mengalami perisakan selama masa sekolahnya—atau bahkan lebih buruk lagi—selama hidupnya. Perisakan jelas menorehkan luka yang dalam di jiwanya. Itu

I met her at work. Her thick and curly hair covering half of her face gives a first unfriendly impression.

When I started talking to her, and I soon found out that she is quite peculiar, from the way she talks to the topics she picks. She likes reading heavy fictions novels.

She listens to unheard Icelandic bands. And, she could be a little temperament if something or someone bothers her. In a nutshell, she is qualified to be an outcast.

One day, I was having lunch with some work colleagues in a roundtable at our office dining space.

Every newcomer just grabbed a chair and squeeze in between us, even though the table was packed already. Nobody wanted to miss the latest updates from the office.

She came late and chose to sit alone at another table. We invited her to sit with us, “Why don’t you join us here?”

Her reply was a heart-wrenching but also an eyeopener for me, “Oh, I thought it’s like in high schools.

Those are the cool kids’ table, and I just sit alone in the corner.”

Her honest expression just shed light on how bullying leaves a strong effect even years after. She has probably been bullied throughout her school years or—even worse—her entire life. It certainly leaves a deep mark on her soul. It is obvious. Anyone can see it. Now, she is used to sitting alone, isolated from the crowd.

Bullying leads me to curiosity and contemplation. Google leads me to Merriam-Webster dictionary, which defines bullying as “an abuse and mistreatment of someone vulnerable by someone stronger or more powerful.” Human beings tend to naturally enjoy the

3

Bookshelves jelas terlihat. Siapa saja dapat melihatnya. Sekarang, dia terbiasa duduk sendiri, terisolasi dari keramaian.

Perisakan membuat saya penasaran dan membayangkan apa yang terjadi padanya. Google kemudian membawa saya pada kamus Merriam-Webster, yang mendefinisikan perisakan sebagai “suatu umpatan atau perlakuan kejam terhadap orang yang lemah oleh orang yang lebih kuat atau berkuasa.”

Secara natural, manusia cenderung menikmati perasaan superior terhadap orang lain. Kita cenderung tidak menyukai orang yang berbeda dengan kita, baik secara fisik maupun karena dirinya memiliki pendapat yang berbeda.

Terkenang masa lalu, saya tidak ingat kejadian tertentu saat saya menjadi korban perisakan langsung, justru saya harus mengakui bahwa saya pernah menjadi pelaku perisakan. Saya ikut menjadikan beberapa teman saya yang lemah di masa SD menjadi bahan lelucon. Pada masa itu, perisakan belum menjadi topik yang ramai dibicarakan. Jadi, saya menganggap hal tersebut biasa dan tidak ada yang salah dengan menjadikan teman yang lemah sebagai bahan tertawaan.

Volume 5, 2018

feeling of superiority over others. We also tend to dislike those who are different from us, either in physical features or opposing opinions.

Flashback to my own childhood, I don’t remember any particular moment when I was directly bullied, but I have to admit that I have committed to bullying. I have made fun of some of my vulnerable friends in the primary school. Back in that time, bullying was not a hot topic, so I thought it was normal, or it was okay to make fun of my odd friends.

I had no idea that my jokes and mistreatment could affect their life long after we grow up.

Some newspapers even report that bullying cause more damaging effect like children fear of going to school and even commit Jawabannya membuat suicide.

saya tersentak sekaligus membuka mata saya, "Oh, saya kira ini seperti di SMA. Itu meja anak-anak gaul, dan saya duduk sendirian di sudut."

Her reply was a heart-wrenching but also an eye-opener for me, "Oh, I thought it's like ini high schools. Those are the cool kids' table, and I just sit alon in the corner."

Saya tidak tahu bahwa lelucon dan perlakuan kejam saya semasa kecil dapat memengaruhi hidup mereka bahkan jauh setelah kita dewasa.

Beberapa surat kabar memberitakan bahwa perisakan dapat berdampak buruk bagi anak-anak, seperti misalnya, takut pergi ke sekolah bahkan sampai bunuh diri.

Lalu, bagaimana cara terbaik untuk menghadapi perisakan? Sebuah video menarik oleh Brooks Gibbs di Facebook menunjukkan bahwa semakin kita melawan para perisak, semakin kita memberikan kepuasan kepada mereka. Perisak menikmati rasa takut yang timbul pada diri korban dan merasa superior atas korban. Sebaliknya, perkataan yang lemah lembut dan penghargaan atas perhatian mereka justru dapat menghentikan perisakan. Memang, hal ini lebih mudah dikatakan, daripada dilakukan. Tapi, silahkan saja dicoba!

What is the best way to encounter bullying? An interesting video of Brooks Gibbs on Facebook shows that the more you counter attack the bullies, the more you give them satisfaction from bullying. They love the fear of those who are bullied and enjoy being superior to them.

On the other hand, kind words would actually stop the harassment. When you respond one’s anger with wise and sincere appreciation, it will stop them.

It’s easier to be said than to be done. But, just give it a try!

I got a chance to know my friend better when we were assigned to the same project team.

We occasionally hanged out after office hours and had a deep conversation. I found that she is the only child of overprotective parents. I came to realize that her upbringing and family background must have shaped the way she is today, a quirky lonely woman. Her overly protective parents have limited her social interactions and made her a bookworm—in which I guess her imaginations could find freedom and go to places that her parents probably disapprove.

My peculiar friend had opened my eyes about devastating impact of bullying. But I couldn’t go back to the past and undo my misbehaviour. I can only look forward and decide not to bully anyone ever. I even learn the need to stand up for those who seem vulnerable to bullying. When we stand up, we actually raise awareness of the damage of bullying and change people’s mindset, and who knows, you save someone’s life.

4

Bookshelves

Volume 5, 2018

Saya mendapatkan kesempatan untuk mengenal teman saya tersebut secara lebih dekat ketika kami ditugaskan dalam sebuah tim pada proyek yang sama. Kadang-kadang, kami menghabiskan waktu bersama setelah jam kantor dan bercakapcakap secara mendalam. Saya jadi tahu bahwa dia adalah anak tunggal dengan orang tua yang kelewat melindungi. Saya menyadari bahwa cara dia dibesarkan dan latar belakang keluarganya pasti telah membentuk dia sebagaimana dirinya saat ini, seorang perempuan kesepian yang nyentrik. Orang tuanya yang kelewat melindungi telah membatasi pergaulan sosialnya dan membuatnya menjadi kutu buku—imajinasinya bebas melanglang buana ke tempat-tempat yang mungkin akan dilarang oleh orang tuanya.

Temanku yang unik telah membuka mataku mengenai dampak menyedihkan dari perisakan.

Tapi, saya tidak dapat kembali ke masa lalu untuk mengubahnya. Saya hanya dapat melihat ke depan dan memutuskan untuk tidak akan pernah merisak orang lain lagi. Bahkan, saya belajar pentingnya untuk membela orang yang terlihat rentan terhadap perisakan. Ketika kita membela mereka, kita telah menyadarkan orang lain dampak buruk perisakan dan mengubah pola pikir orang tersebut dan siapa yang tahu mungkin kita telah menyelamatkan satu nyawa.

Look around your school, your office, your community, there might be someone being bullied. Don’t stay quiet. It’s time for us to speak up and change people’s mind about bullying!

Often the right path is the one that may be hardest for you to follow. But the hard path is also the one that will make you grow as a human being.

Sering kali, jalan yang benar merupakan jalan yang paling sulit dilalui. Namun, jalan itu adalah jalan yang akan membuat kita tumbuh sebagai manusia yang lebih utuh.

Karen Mueller Coombs, Penulis (1947 - sekarang)

Lihatlah sekitar kita, di sekolah, kantor, atau komunitas kita, mungkin ada seseorang yang sedang dirisak. Jangan diam saja. Ini waktunya kita angkat bicara dan mengubah pola pikir orang lain tentang perisakan!

Debora Aritonang Manajer Humas / Communication Manager Green School - Ubud, Bali / Green School - Ubud, Bali

5

Bookshelves

Volume 5, 2018

Menjadi Sekutu Becoming an Ally Iwan Mardi & Imelda

Sebagai orang tua, kami merasa senang bahwa di sekolah anak kami ada program antiperisakan yang disebut Soul Shoppe. Program ini diajarkan sejak Taman Kanak-kanak sampai dengan Kelas V SD. Program ini meliputi banyak hal mengenai ketrampilan hidup, termasuk perisakan.

Perisakan tidak boleh terjadi di sekolah. Alasannya sederhana: perisakan melukai hati orang lain.

Sepatah kata atau sebuah tindakan saja bisa merusak seluruh komunitas. Anak-anak didorong untuk lebih berhati-hati dalam bebicara dan bertindak, sejak usia dini.

As parents, we are so glad that our kid’s school has a program called Soul Shoppe, taught from Transitional Kindergarten through Fifth grade. It is a program to cover life’s problems, such as bullying.

No bullying in school allowed. Simple reason: bullying hurts other-people’s feeling. One bad word or action can destroy the whole community. Kids are encouraged to be selective to talk and to act, starting in early age.

In school, our six year old are taught, if kids make fun other kids or do not let other kids playing or sitting with them, because they are different than themselves, by saying bad words, it’s called bullying. If someone intentionally hurt our feeling even if we already say to stop it, it is called bullying. Name calling is not allowed either. Becoming aware what bullying means is a way to prevent bullying itself.

Di sekolah, pada waktu anak kami masih berusia enam tahun, diajarkan bahwa kalau ada yang suka meledek anak yang lain, atau tidak membolehkan teman lain ikut bermain atau duduk bersama mereka Menjadi sekutu adalah hanya karena mereka berbeda, atau Becoming an ally is also another way cara lain untuk mengumemakai kata-kata kasar; itu disebut rangi perisakan. Anak to prevent bullying. Our sixth grader perisakan. Kalau ada yang sengaja said, "We were told to become an ally if kami yang sudah di kelas menyakiti hati teman padahal si tewe see bullying happens."

VI mengatakan, "Kami man sudah bilang untuk menghendiajari untuk menjadi An ally is a person who stands up for tikannya, itu juga disebut perisakan. sekutu (korban) apabila someone. Let’s say Austin took a ball Mengolok-olok teman juga tidak terjadi perisakan." from John who was playing that ball in diperbolehkan. Menjadi sadar apa the playground, and David saw it. John artinya perisakan merupakan salah Becoming an ally is also can say nicely, “You took my ball, please satu cara untuk mencegahnya. another way to prevent bully- stop it.” If Austin doesn’t stop after John ing. Our sixth grader said, "We said please stop, then David, who saw Menjadi sekutu merupakan salah were told to become an ally if the incident, should be an ally and tell satu cara lain untuk mengurangi we see bullying happens."

Austin that he is doing something that perisakan. Anak kami yang sudah di is not nice and should stop it. If Austin kelas VI mengatakan, “Kami diajari doesn’t stop, then either John or David, untuk menjadi sekutu (korban) apaor both of them should tell an adult. An adult could be bila terjadi perisakan.” a yard supervisor or a teacher or a principal.

Menjadi sekutu berarti menjadi orang yang They also make kids be aware of cyber bullying, membela teman yang dirisak. Misalnya saja, ketika too. It makes it very easy for someone to cyber bully John sedang bermain bola di halaman lalu Austin

6

Bookshelves

Volume 5, 2018

mengambil bolanya, dan David melihat kejadian itu.

Dengan sopan, John bisa bilang: “Kamu mengambil bolaku. Tolong kembalikan.� Kalau Austin tetap tidak mau mengembalikan bolanya, maka David mesti menjadi sekutu yang baik dengan mengatakan kepada Austin bahwa tindakannya kurang terpuji. Austin harus mengembalikan bola kepada John. Apabila Austin tetap tidak mau mendengar keduanya, maka John dan/atau David bisa melaporkan hal tersebut kepada orang dewasa di sekitar. Orang dewasa ini bisa pamong, guru, atau kepala sekolah.

Sekolah juga menyadarkan para murid mengenai perisakan siber, atau perisakan di dunia maya.

Sangat gampang orang merisak orang lain lewat dunia maya karena bisa dilakukan secara anonim sehingga sulit untuk memastikan siapa yang melakukannya. Ada macam-macam cara yang dilakukan dalam perisakan siber. Misalnya, ancaman, gambar yang tidak pantas atau kata-kata kotor, dan sebagainya.

Anak-anak juga diajari untuk tidak sembarangan membagikan informasi pribadi seperti nomor telepon, alamat rumah, foto, nama lengkap, sekolah, dan seterusnya. Kalau hal itu terjadi di rumah, mereka harus langsung menyampaikannya kepada orang tua mereka.

Apa pun bentuknya, perisakan selalu dilarang karena selalu melukai orang lain. Untuk berjaga-jaga agar jangan sampai hal tersebut terjadi, kami selalu mengingatkan anak-anak agar jangan merisak orang lain karena itu tidak baik. Justru mereka harus menjadi sekutu yang baik apabila menyaksikan seorang teman dirisak. Karena kalau tidak, perisakan akan sangat merusak hidup seseorang. Perlakukan orang lain seperti engkau sendiri ingin diperlakukan.

another person because they can be anonymous, so it makes it hard to figure out who the bully is. Cyber bullying can come in various ways such as, threats, inappropriate pictures or messages, etc.

They were also taught to never share personal information such as phone numbers, addresses, pictures of family members or themselves, passwords, full names, schools etc. If it happens at home, they should tell their parents right away.

Bullying in any type is never wanted and is hurtful. To prevent it from happening we need to always remind our children that they should never bully someone because it is not nice and to stand up for a person if they see someone getting bullied. If we don’t, this could affect them and other people very badly in life. Always treat other people like you want to be treated.

You should never make fun of something that a person can't change about themselves.

Hendaknya kita tidak mengolok-olok seseorang atas apa yang tidak dapat mereka ubah dalam dirinya.

Phil Lester, Youtuber (1987 - sekarang)

Iwan Mardi & Imelda Orang tua murid/ Parents San Francisco - Amerika Serikat/ San Francisco - United States of America

7

Bookshelves

Volume 5, 2018

Cara Efektif Menangani Perisakan di Sekolah Some Effective Ways of Dealing with Bullying Silvia Liem

writer's own picture

Bagi sementara orang, rasanya tak terbayangkan bahwa anak-anak yang masih kecil sudah mampu melakukan perisakan pada temannya. Saya pernah menerima pengaduan dari orang tua murid tentang putra mereka yang dipukuli oleh teman-temannya.

Kapan? Sewaktu mereka semua masih duduk di bangku TK B! Suka atau tidak, faktanya memang perisakan— atau, kekerasan—sudah bisa terjadi di antara para murid TK dan SD Kelas Kecil. Sekedar contoh saja: mengejek teman, mengambil barang orang lain tanpa permisi, bersepakat menjauhi teman tertentu—apa pun alasannya—memukul dan mencubit.

For some, it seems unimaginable that little kids are already able to bully each other. Well, they are. Once a parent of my student complained to me that their son got beaten by his friends. When that had happened?

When they were all still in the Kindergarten!

Whether we like it or not, bullying—or, should I say: violence?—might happen among our young learners in the Kindergarten and Lower Primary. To mention just a few: name-calling, taking other’s goods without asking, not befriending with certain kid for some reason, even physical beating and pinching.

As educators we are to understand the bullying in the school grounds comprehensively so that we can both curatively and preventively deal with it.

8

Bookshelves

Volume 5, 2018

Sebagai pendidik kita perlu memahami perisakan di lingkungan sekolah secara menyeluruh, sehingga kita dapat melakukan pencegahan dan penanganan yang efektif.

Please allow me to share some tips based on what I have been doing together with my students in my school ground.

Izinkan saya membagikan beberapa tips, berdasarkan apa yang saya lakukan bersama anak didik saya di sekolah.

Instead of saying “Don’t be naughty,” or “Don’t disturb your friend,” I use positive words to make a positive atmosphere in my class, in which the students have to respect and value each other. I keep reminding them to love each other as members of one family. I encourage them to care for each other as I do for them.

1. Menciptakan suasana kekeluargaan di kelas Daripada terus-menerus mengatakan, "Jangan nakal," dan "Jangan ganggu temanmu," saya menggunakan kata-kata positif untuk menciptakan suasana positif di kelas agar terbangun iklim saling menghargai dan menghormati. Saya sendiri sering mengingatkan murid-murid saya untuk saling menyayangi seperti layaknya saudara. Saya mendorong mereka untuk peduli dan perhatian pada teman mereka seperti saya juga menaruh perhatian pada mereka.

Bersama-sama, kami membuat kesepakatan sebagai berikut: • "Berbicara sopan pada teman-teman dan guru."

• "Menolong teman saat melihatnya terjatuh, bukan menertawakannya."

• "Mendoakan teman yang sakit."

Dan, masih ada sejumlah kesepakatan seperti itu.

2. Menanamkan nilai-nilai dengan cara kreatif

Tindakan lebih didengarkan daripada kata-kata.

Anak-anak usia 6-7 tahun masih harus diberi contoh yang sangat konkrit tentang bagaimana sebuah nilai yang baik dihayati. Sekedar memberi tahu mereka bahwa mereka harus peduli satu sama lain tidaklah efektif. Anak-anak perlu memakai pancaindra mereka untuk meresapkannya.

Salah satu cara belajar favorit di kelas saya adalah bermain peran. Biasanya saya akan memanggil dua orang anak secara bergantian untuk menyimulasikan suatu kejadian. Misalnya, seorang anak terjatuh hingga barang-barang yang dibawanya berserakan.

Maka, temannya yang melihat itu mesti memutuskan mana yang lebih baik: menolongnya atau menertawakannya. Saya juga memanfaatkan dongeng yang mengandung nilai moral. Cara lain yang juga saya pergunakan adalah dengan mengadakan permainan yang melibatkan kerja tim. Dengan demikian, semangat kekeluargaan akan terbangun.

1. Creating homey atmosphere in class

So, together we make some agreement like the following: • “Speaking politely to friends and teachers.”

• “When someone falls down, give a hand instead of laughing at him/her.”

• “Pray for those who are sick.”

And more such commitments.

2. How to creatively make the values deeply rooted Actions speak louder than words. That’s also true for children of 6-7 years old. They need to see something good embodied, and then try to imitate it. Just telling them that they have to care for one another doesn’t always work effectively. They need to use their senses to internalize the point.

Often I utilize a role-play. I invite two students to do some simulation; for instance, someone is falling to the ground and his/her belongings scattered around. The other one has to decide which one is better: whether she/he will help that friend or not. Also, I employ stories embedded with values. Another thing is that I would invite my students for a team-work game to enhance their sense of one community.

3. Dealing with conflicts wisely When conflict happens, first of all, I would listen to both sides of those who have been involved in. I believe that scolding them without understanding them is useless. I won’t hastily ask them to say sorry nor make peace without listening to them in the first place. Apology should come out of a sincere heart.

In the first week of a new Academic Year, I got a call from a parent, telling me that Leon (not the real name) had been crying and didn’t even want to enter our school gate. So I went out to fetch him and talk with

9

Bookshelves 3. Menangani konflik dengan bijaksana Bila konflik terjadi, saya mendengarkan dari dua pihak yang terlibat. Saya percaya bahwa langsung memarahi anak yang mengganggu temannya tanpa benar-benar memahami masalahnya adalah percuma. Saya pun tidak akan cepat-cepat menyuruh anak untuk meminta maaf dan berdamai tanpa mendengarkan mereka lebih dahulu. Permintaan maaf harus dilakukan dengan tulus.

Pada minggu pertama Tahun Ajaran yang baru, saya menerima telepon dari orang tua murid yang mengatakan bahwa murid saya, Leon (bukan nama sebenarnya) menangis dan tidak mau masuk sekolah. Saya segera keluar menjemput Leon dan membujuknya bicara. Rupanya Leon takut untuk masuk sekolah karena pipinya yang tembam sering dicubit oleh Hendra (juga bukan nama sebenarnya), teman sebangkunya. Bagi orang dewasa, peristiwa ini mungkin kelihatan lucu. Namun, bagi seorang bocah usia 6 tahun, menjadi sasaran keisengan teman secara terus-menerus bisa menjadi pengalaman traumatis Dalam menangani kasus Leon, saya ajak bicara Leon maupun Hendra secara terpisah. Saya bertanya pada Hendra dan mengajaknya merenung sejenak: kalau setiap hari ada teman yang iseng mencubiti pipimu, bagaimana rasanya? Kepada Leon, saya mendorongnya untuk berani mengatakan pada temannya untuk berhenti mengganggunya. Setelah itu, saya baru mempertemukan mereka untuk mendamaikan mereka.

Hal yang sama berlaku untuk kasus yang lebih berat. Ketika murid saya Norman sengaja menjatuhkan Alyssa (keduanya nama imajiner) hingga kakinya terkilir dan lututnya berdarah, saya meminta Norman untuk membantu saya membalut luka Alyssa. Melihat betapa seriusnya luka tersebut, Norman pun menyesal dan meminta maaf tanpa disuruh.

4. Terus-menerus melakukan pendekatan untuk benar-benar mengenal setiap anak Salah satu penyebab kenapa perisakan masih ada di lingkungan sekolah kita adalah karena tidak ada yang berani melaporkannya. Bila korban memilih diam dan siswa yang melihat kejadian tersebut juga diam saja. Dengan demikian, sang pelaku merasa lebih kuat karena toh tidak ada yang mengaju-

Volume 5, 2018

him. I found that he was afraid that his seatmate Hendra (not the real name) would pinch his chubby cheeks.

For us adults the incident seems funny, but not for the 6-year-old Leon. It can be a traumatic experience.

In dealing with the case, I talked with Leon as well as Hendra separately. I asked Hendra to reflect on this question: if someone intentionally pinches your cheeks every day, how do you feel? I also encouraged Leon to say to his friend to stop of disturbing him anymore.

Then I brought them together to make peace.

For some grievous cases, I would employ the same approach. When intentionally Norman tackled Alyssa (both names are imaginary), I asked Norman to help me to bandage Alyssa’s wound. Realizing how serious the wound was, Norman felt so sorry that he apologized to Allyssa without me asking him to do so.

4. Continuously get to know better about every single student One factor that makes bullying remains lingering in our school ground is that no one dares to tell the truth. When the one being bullied choose to keep silent, and the bystanders also do the same, then the bully will get stronger justification of what he/she is doing. The teachers should get to know better and deeper about their students personally. Understanding their personalities and family backgrounds would help us to better understand their behavior patterns. Once bullying takes place, we know what to do effectively and efficiently. That’s why, I believe, every teacher should become a trusted friend to whom the students feel free to talk about almost anything. Such a safe atmosphere will enhance genuine respect as well as love in the student community.

5. Invite all the students to participate in Being human, we educators have our limitations, too. We may miss some unpleasant incidents. That’s why we are to invite all students to participate in our efforts of promoting some noble values in our community. I myself trust even a student from Level 1 to care for his/her friends. They will lend a hand when someone tumbles down, or tell me when they see some kind of conflict happens. That way I will address the issue promptly. Some students with good leadership would be a great help to make sure that everything is going orderly.

Lastly, minimizing the bullying and violence in our schools is our responsibility. We are to join hand in

10

Bookshelves

Volume 5, 2018

kan protes. Kita perlu terus-menerus melakukan pendekatan pada setiap siswa untuk benar-benar mengerti mereka. Dengan memahami kepribadian dan latar belakang keluarga siswa, maka guru dapat memahami tingkah laku mereka di sekolah dan menemukan cara untuk menangani mereka. Karena itu, idealnya guru bisa menjadi tempat yang aman bagi siswa untuk bercerita. Bila rasa aman sudah didapat anak maka anak mampu bercerita apa saja kepada guru. Suasana aman-nyaman tersebut akan mendorong bertumbuhnya rasa-hormat yang asli dan juga rasa sayang di dalam komunitas para murid.

hand in promoting safe and homey environment for all school community members as one family. Let us talk with the parents and invite them to participate in the endeavor. Let us keep on striving for the future of our children entrusted to us.

5. Ajak semua murid untuk terlibat Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan. Bisa saja ada kejadian-kejadian yang lolos dari pengamatan kita. Karena itu kita mesti mengajak semua murida terlibat dalam upaya memajukan nilai-nilai luhur di komunitas kita. Bahkan, anak-anak kelas 1 SD pun sudah bisa saling menjaga temannya. Mereka akan menolong temannya yang terjatuh dan melaporkan konflik yang mereka lihat kepada saya sehingga saya dapat langsung menanganinya. Beberapa anak yang berbakat memimpin bisa menolong untuk memastikan teman-temannya tertib.

Pada akhirnya, memerangi kekerasan di sekolah adalah tugas kita bersama. Seorang guru tidak dapat bekerja sendirian. Libatkanlah dan kampanyekanlah semangat kekeluargaan pada murid-murid di sekolah. Bicaralah dan ajaklah kerjasama orang tua murid. Teruslah berjuang demi masa depan generasi ini.

markus spiske on unsplash.com

Silvia Liem Guru / Teacher SD St. Joseph Dwiwarna- Sawah Besar, Jakarta / St. Joseph Dwiwarna Elementary School - Sawah Besar, Jakarta

11

Bookshelves

Volume 5, 2018

Budaya Kasih: Obat Mujarab untuk Perisakan The Culture of Love: An Effective Remedy to Bullying Alexandra Eko Suspriyatiningsih

Stop Bullying! Slogan itu sering kita baca atau lihat di mana-mana. Begitu seringnya diberitakan, disertai banyaknya gerakan antiperisakan. Media dan tampilan slogan bisa jadi berbeda. Begitu banyaknya pemberitaan dan gerakan antiperisakan, akhirnya kita merasa bahwa perisakan menjadi hal yang lumrah.

Tetapi, jangan kaget apabila di kalangan remaja dan anak muda perisakan dianggap sebagai tren, bahkan gaya hidup dalam berkomunitas. Tidak merisak dianggap tidak keren. Kelompok anak perempuan, seperti sekolah-khusus-putri kami di Yogyakarta, bukanlah kekecualian terhadap perisakan.

Stop Bullying! We can easily find such a slogan, because it’s almost ubiquitous though displayed with different designs and broadcasted through different media channels. As often being on the news as many anti-bullying movements, we might think that bullying is just another common thing.

To our surprise, among the teenagers bullying is considered to be part of their so-called community lifestyle. No bullying isn’t cool. Female groups, like in our all-female-school in Yogyakarta, are no exception to bullying.

Theorically speaking, education institution is supposed to be a place where ideal human formation is taking place. We have to admit, Secara teoretis, kita sepaham however, that very often it’s also where bahwa sekolah adalah tempat ideal Anak yang merasa dikucilbullying is taking place. Being unwantuntuk mengembangkan diri. Nakan kadang tidak berani ed and excluded by the peers (whatever mun, toh sekolah dapat menjadi terbuka dan menyampaithe reason), gesture intimidation and lahan yang subur untuk tumkannya karena takut didisgracing comments via social-media buhnya perisakan. Dikucilkan atau anggap cengeng . are just few examples, which we might tidak diterima di kelas dengan overlook. berbagai alasan, intimidasi melaIt is not always easy for a stului gestur dan pelecehan lewat It is not always easy for a student dent being excluded to discuss media sosial hanyalah beberapa being excluded to discuss what she/ what she/he is going through contoh kasus yang bisa kita anghe is going through just because not just because not wanted to be gap angin lalu. wanted to be labeled as a crybaby. labeled as a crybaby.

They have their own defense mechaAnak yang merasa dikucilkan nism. If the torture is unbearable they kadang tidak berani terbuka dan will leave the school. The only reason? menyampaikannya karena takut dianggap cengeng.

Not feeling welcome.

Mereka mencoba bertahan dengan caranya sendiri.

The more courageous and outspoken one will talk Jika tidak tertahankan, mereka langsung mengajuover the matter frankly with a teacher, a confidant kan diri untuk mengundurkan diri dengan alasan friend, a school counselor, or her/his parents. Once he/ tidak kerasan di sekolah. she has the courage to disclose the matter, the bullyAnak yang punya keberanian lebih akan mencoing can be got through with curatively. We adults then ba bercerita kepada guru atau teman yang dipercan handle thoroughly both the bullies and the one caya termasuk guru BK (Bimbingan dan Konseling) got bullied. Cautiously selected, we may invite his/her dan orang tua. Bila anak berani bercerita kepada close-friends; involving those it may concern: parents,

12

Bookshelves

Volume 5, 2018

seseorang—dalam hal ini teman, guru, guru BK ataupun orang tua—maka permasalahan perisakan dapat diselesaikan sebagai tindakan kuratif. Anak yang mengalami perisakan maupun yang merisak ditangani secara menyeluruh. Dengan pertimbangan matang dan penuh kehati-hatian, beberapa teman-teman dekat bisa dilibatkan; juga semua pihak terkait: orang tua, wali kelas, guru BK, dan kepala sekolah. Tergantung berat-tidaknya kasus, jika memang dibutuhkan, tenaga ahli bisa menjadi rujukan menurut kasusnya.

teachers, counselors and the principal. Case by case, when terribly needed, we may refer him/her to the experts accordingly.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa faktor yang memengaruhi perisakan adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal menyangkut pribadi yang dibully: konsep diri yang kurang-bisadibanggakan (minder), cenderung pendiam, tidak berani mengungkapkan pikiran serta perasaannya, sulit beradaptasi dalam pergaulan, kurang memiliki kecakapan untuk kehidupan sosial (life skill) sehingga mudah dintimidasi. Percaya atau tidak, beberapa hal tersebut “menarik perhatian� mereka yang suka merisak.

Meanwhile, the bullies also have their own problems. Mostly they have poor self-concept (even though expressed with the masks of being superior, aggressive, and selfish). Lacking of the experience of true love, they enjoy recognition among peers as being feared of. If we trace back, we will find that something was not right in their up-bringing. They may come from broken-home family, be reared by abusive parents/adults, live in certain environment where the presence of violence is frequent.

Sementara itu, anak yang merisak biasanya juga mempunyai permasalahannya sendiri, seperti: rendah-diri (meski ditutupi dengan aneka topeng seperti sikap superior, agresif, dan egois), menikmati popularitas (karena merasa dirinya penting) dan perasaan disegani (baca: ditakuti) oleh temanteman sebaya. Bila ditelusuri lebih lanjut, biasanya kita akan menemukan pola asuh yang kurang ideal dalam keluarga. Bisa jadi, yang bersangkutan berasal dari keluarga yang berantakan, atau dibesarkan oleh orang tua yang kasar-kejam, atau hidup di lingkungan yang terbiasa dengan kekerasan.

Tidak bisa dimungkiri bahwa faktor eksternal, dalam hal ini sekolah, pun memengaruhi tindakan perisakan karena kurang optimalnya pendampingan. Misalnya, pembentukan kelompok-kelompok untuk mengerjakan suatu tugas (proyek) tidak ditentukan oleh guru tetapi diserahkan kepada anak sendiri. Alasannya, menghormati kemerdekaan untuk memilih dan demokrasi. Sayangnya, tidak jarang kriteria pemilihan anggota kelompok adalah rasa suka dan tidak suka. Guru wajib menyadari apakah ada murid yang disingkirkan, tidak diterima oleh hampir semua kelompok? Sebelum terlambat, adalah tanggung jawab guru untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun murid yang dikucilkan atau ditolak. Kalau ada, guru mesti bertanya: Mengapa bisa terjadi? Guru punya tanggung jawab untuk

In general, we may pinpoint the reasons of bullying, i.e. internal factors and external ones. The internal factors closely related the state of mind of the one get bullied: having low self-esteem, introvert, unable to express his/her feelings as well as to speak out his/her mind, incapable of adapting self to the environment, or having poor social life skills. Believe it or not, such traits simply allure some aggressive people to bully.

We cannot deny that even the school, as one of the external factors, may contribute to the bullying. With the justified excuse of democracy, for instant, the students may freely choose their own group members for a project. Often time, regretfully indeed, the only criterion is about likes and dislikes. So, it is mandatory for teachers to be very aware of who is/are excluded from such groups. Before too late, it is their responsibility to make sure that no one is left-out. If they find one, they are to find out the reason: why? It is also their job to fix the predicament. The sociometric data prepared by the school counselor(s) should be used proportionally. In my context, the erroneous belief that all-female-school is an exception to bullying should be corrected as well.

No group is immune to bullying.

We find that the following preventive precautions are truly effective: (1) Optimizing the sociometric data carefully prepared by the school-counselor(s) as a reference for both individual and communal accompaniment.

(2) It is supposed to be the teachers who compose mixed-groups for any project, not merely let the students choose their own group members.

(3) All teachers and counselors should have extra sensitivity to sense any signal of an on-going bullying among the students.

(4) Homeroom-teachers may have social-media-group for the students entrusted to him/her to be familiar

13

Bookshelves

Volume 5, 2018

menemukan akarnya dan lalu membenahinya. Selain itu, kurang optimalnya penggunaan data sosiometri yang dibuat oleh guru BK. Dalam pengalaman saya sehari-hari, anggapan bahwa di sekolah-khusus-putri tidak akan terjadi perisakan juga harus dikoreksi.

Tidak ada satu pun kelompok yang kebal terhadap perisakan.

with what’s going on among them.

Beberapa upaya pencegahan yang bisa dilakukan sekolah agar angka kasus bisa ditekan antara lain adalah sebagai berikut:

(7) Creating and living out the culture of love (that everybody matters) deserves our full efforts.

(1) Mengoptimalkan data sosiometri tiap kelas yang dibuat oleh guru BK sebagai acuan dalam pendampingan personal maupun kelompok; (2) Imbauan kepada guru mata pelajaran untuk menentukan kelompok majemuk untuk tugas kelompok (jangan biarkan murid semena-mena memilih anggota kelompok); (3) Kejelian guru BK dan para guru dalam menangkap adanya sinyal-sinyal atau gejala-gejala perisakan;

(5) Socialization of a proper understanding of anything-about-bullying in the beginning of school-year is very important.

(6) Intensive communication with the parents is also a must. Lastly,

As I have observed these last few years, those aforementioned precautions are really helpful to make the number of bullying cases declined significantly. In our all-female-school, we deliberately put our full efforts in the program of creating and living out the culture of love. Everyone in our community should exercise herself/himself to care for their environment and not being absorbed into their own narrow world. Even more, they are encouraged to take real action to befriend with anybody despite all the differences without fear of being excluded nor rejected.

(4) Wali kelas membuat grup medsos bersama anak kelas perwaliannya agar dapat memantau dan membahas apa saja, (5) Melalui kegiatan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah), diberikan sosialisasi pemahaman yang memadai tentang perisakan dan cara-cara mengatasinya; (6) Menjalin komunikasi yang intensif dengan orang tua/wali terutama bila ada hal-hal yang perlu diwaspadai, dan yang terpenting; (7) Membiasakan "budaya kasih" di lingkungan sekolah.

Sejauh ini, dari pengamatan saya pada beberapa tahun terakhir, upaya-upaya tersebut sangat membantu menurunkan kasus perisakan di sekolah. Hal yang saat ini gencar diupayakan di sekolah kami adalah "budaya kasih". Setiap warga komunitas sekolah diajak membiasakan diri untuk peka dengan sekitarnya dan tidak asik dengan dirinya sendiri, lebih dari itu diajak untuk berani melakukan aksi nyata, bukan sekedar slogan saja, seperti mau berteman dengan siapa saja tanpa takut ikut dikucilkan.

yeshi kangrang on pixabay.com

Alexandra Eko Suspriyatiningsih Guru BK / Counselor SMA Stella Duce I - Yogyakarta/ Stella Duce I High School - Yogyakarta

14

Bookshelves

Volume 5, 2018

Berani Membela Diri Courage to Stand Up for Yourself Liem Lie Leng

Bertahun-tahun silam, ketika masih sebagai seorang murid di sebuah SD Negeri di Kalimantan Barat, ada teman sekelas yang selalu bersikap kurang ajar kepadaku.

Years ago, when I was still a school-girl in a rural public elementary school in West Kalimantan, there was a certain classmate who had been very nasty to me.

Selama beberapa hari, bahkan beberapa minggu, dia suka mengolok-olok rasku. “Apa salahnya aku terlahir sebagai orang Tionghoa?”, aku kadang bertanya pada diri sendiri. Jujur saja, aku kurang peduli pada olok-olokannya, sampai suatu saat batas kesabaranku habis.

For several days, even weeks, he kept teasing me and mocking my origin. “What’s wrong with my being a Chinese?” I used to ask myself. Honestly, I didn’t really care about such a mockery until one day my patience was at the brink.

Pagi itu, aku sedang berjalan masuk ke ruang kelas. Tiba-tiba, anak itu sudah berdiri di depan pintu dan mulai mengolok-olok aku. Lagu Garuda Pancasila dia pelesetkan menjadi “garuda pantat cina”.

Kuhentikan langkahku sebelum sampai tempat duduk. Aku balik badan dan berjalan ke arahnya.

Plak! Kutampar mukanya dua kali.

Terkejut oleh kenekatanku, dia lalu terdiam. Hidungnya mengucurkan darah segar. Dia menangis.

That very morning I was walking into my classroom, and there standing near the door he started name calling. He made fun of me by singing out loud Garuda Pancasila as “garuda pantat cina”.

Syukurlah dia tidak melawan balik. Tetapi kalau pun dia melawan, aku juga sudah siap untuk risiko terburuk.

I was quite lucky that he didn't figh me back. If he did, to tell the truth, I had been all set for the worse already.

Syukurlah, dia tidak melawan balik. Tetapi, kalau pun dia melawan, aku juga sudah siap untuk resiko terburuk. Sejak saat itu, dia tidak lagi mengejekku. Dia bahkan menghindar kalau mau berpapasan denganku.

Memukul orang bukanlah caraku melampiaskan amarah. Akan tetapi, berhari-hari diolok-olok dan tak seorang pun yang membelaku membuat diriku menunjukkan sisi yang lain untuk membela diri.

Pada usia itu, aku tidak tahu cara yang pas untuk merespon dengan tepat. Tak seorang pun menga-

I promptly stopped before reaching my desk. Turning back, I directly walked toward him. Smack! Smack! I slapped his face twice. Not anticipating my nerve, he then just stopped singing. His nose got bleeding. He cried.

I was quite lucky that he didn’t fight me back. If he did, to tell the truth, I had been all set for the worse already.

The result? From that day on he didn’t dare to make fun of me anymore. He avoided of meeting me on his way.

Hitting people is not my type of venting out my anger. Being mocked for days with no adults came to my rescue, however, could draw out the other side of me for a self-defense.

At that age I was quite innocent that I didn’t know how to respond properly. None taught me how, at least, to defend myself in such circumstances. Now, just imagine that your little daughter or niece in such situation, how is she supposed to respond? I don’t think that do-nothing is the best way.

15

Bookshelves jariku bagaimana membela diri. Coba bayangkan apabila puteri kecil Anda atau keponakan yang masih seusia SD dalam situasi serupa, bagaimana mestinya dia merespon orang yang merisaknya?

Rasanya, diam saja bukanlah cara terbaik.

Itulah sebabnya, menurut saya, guru di sekolah atau orang tua di rumah harus selalu peduli dengan apa yang sedang terjadi di antara murid atau anak mereka. Saya merasa tidak didampingi dalam kondisi semacam itu. Bersikap biasa adalah pengkhianatan. Sikap diam juga bukan emas lagi.

Saya tidak mengatakan bahwa perisakan harus dibalas dengan kekerasan. Hanya apabila segala cara lain tidak bisa diupayakan, kita boleh membela diri.

Untuk menghindari perisakan, kita perlu tahu cara bagaimana membela diri. Jackie Chan membuatku belajar. Ketika masih anak-anak, dia dulu biasa dirisak. Dia tidak tahu bagaimana cara membela diri.

Tetapi, ketika dia membela temannya yang dirisak, dia lantas tahu bagaimana mesti membela dirinya.

Tak seorang pun boleh diperlakukan semena-mena.

Volume 5, 2018

That’s why, in my opinion, educators in school or parents should be around and caring about what’s going on among their children or students. I felt unaccompanied at that time. Not only once, but almost every day. In such a context, neutral means betrayal.

Silence isn’t golden anymore.

I am not saying that we should counter bullying with violence. Only if all other means do not work, we may use it as our defense mechanism. In certain situation to stop any kind of bullying, you have to stand up for yourself. Jackie Chan made me learn a thing. When he was still a kid, he used to be bullied in his school.

He didn’t know how to defend himself from the bullies.

Then he learned how to do so when he defended a new student from the bullies. It succeeded. Nobody deserves such a malicious thing.

Liem Lie Leng Corporate Legal sebuah perusahaan multinasional /

Corporate Legal of a multinational company

george becker on pexels.com

16

Bookshelves

Volume 5, 2018

Perisakan Siber Cyber-Bullying Adella Suwandi & Rebecca Mimosa

pixel2013 on pixabay.com

"Be soft. Do not let the world make you hard. Do not let the pain make you hate.

Do not let the bitterness steal your sweetness."

-Iain Thomas

Kata “siber� terkait dengan budaya komputer, teknologi informasi, dan realitas dunia maya.

Sementara itu, perisakan berarti perlakuan kejam dan penganiayaan oleh seseorang yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah. Dari situ, perisakan siber berarti perlakuan kejam lewat sarana internet. Umumnya, para perisak mengirimkan pesan yang merugikan, mengancam, dan bertujuan untuk menakut-nakuti korbannya.

Berdasarkan sebuah penelitian tentang perisakan dalam dunia maya pada 2016, setidaknya 34% para pelajar yang menjadi responden pernah mengalami perisakan siber. Tindak perisakan paling umum yang dialami adalah menerima unggahan komentar berisi hinaan. Saat ini, perisakan siber dapat ditemukan dalam bermacam media sosial dan aplikasi pesan.

Mengapa perisakan dalam dunia maya dapat

Cyber relates to the culture of computers, information technology, and virtual reality. Then, bullying means abuse and mistreatment of someone vulnerable by someone stronger. By that, Cyber- bullying means an act of abuse to people via internet. Typically, the bullies send adverse, menacing, and daunting messages to their victims.

Based on a research by a cyber-bullying research team on 2016, approximately 34% of the students in their sample report had experienced cyber-bullying in their lifetime. Posting mean comments online was the most common type of cyber-bullying they reported.

Nowadays, we can find cyber-bullying on various social media and online messaging applications.

Why does cyber-bullying occur? Cyber-bullying can happen due to many factors. Anger, jealousy, resentment, frustration, and revenge are the main causes of

17

Bookshelves terjadi? Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebabnya. Kemarahan, iri hati, sakit hati, frustrasi dan keinginan untuk membalas dendam adalah sebab utama perisakan siber. Umumnya, ketika seseorang menghadapi begitu banyak masalah dalam hidupnya, dia memerlukan pelampiasan. Buruknya, mereka melampiaskan rasa frustasi dan kemarahan kepada orang lain. Karena teknologi internet tersedia begitu mudah, mereka melampiaskannya di media sosial. Meski demikian, tidak jarang para perisak di dunia maya melakukannya demi kesenangannya sendiri, membuat orang menertawakan orang lain. Mereka tidak memiliki simpati bahkan merasakan nikmatnya melihat orang lain menderita. Ada kalanya perisakan siber juga terjadi karena tekanan teman-teman sebaya.

Seorang teman kami pernah menjadi korban perisakan siber. Namun, sebelum dia menjadi korban, sebelumnya dia adalah perisak bersama dengan kelompok temannya. Dia melakukan perisakan demi meraih popularitas; diterima dalam satu kelompok teman sebaya. Sayangnya, teman-temannya diamdiam berbalik merisak tanpa sepengetahuannya.

Teman-temannya telah berkhianat. Awalnya, hanya empat orang yang merisaknya. Mereka mengolokolok dirinya melalui aplikasi pesan daring.

Volume 5, 2018

cyber-bullying. Usually, when someone has too many problems on their plate, they will need a place to let it all out. As a result, they let all their frustration and anger out on other people. Since the internet is everywhere, it makes them easier to let it all out through social media. However, some cyber-bullies do it mainly for their own entertainment, to get laughs out of other people. They either lack sympathy or just enjoy seeing others in pain. Though, there are some cases of cyberbullying that happen as a result of peer pressure.

A friend of ours was once a victim of cyber-bully.

But before she was a victim, she was also a bully, along with her group of friends. She did it in order to maintain her popularity, to be accepted by her peers. Sadly, they turned their backs on her and bullied her instead.

The people she loved dearly betrayed her. First, it started with four people then more people take parts in it. They mocked her through an online messaging app.

They even made a special group to bully her. They followed her new friends on a photo sharing app and used every chance to comment mean and hurtful things online about her. They made sure that she saw it. They made sure everyone saw it. Eventually, words spread around and everyone knew about it. Some people joined in, some remained as bystanders. That experience has a great impact on her. As a consequence of it, she suffered from anxiety disorder.

Teman-temannya bahkan Dari kasus tersebut, dapat From the case above, we can see membuat grup percakapan daring kita lihat bahwa perisakthat cyber-bullying has a great effect khusus. Mereka menguntit pertean siber berdampak besar on its victim’s psychological and menmanannya dalam aplikasi berbagi pada kondisi psikologis tal condition. Those who are victimfoto dan mengunggah komentar dan mental korbannya. ized by cyber-bullying may experience yang menyakitkan. Mereka melow self-esteem and incapability to mastikan bahwa dia melihat itu From the case above, we can concentrate on studies. They might sufsemua. Mereka juga memastikan see that cyber-bullying has a fered from severe mental health issues bahwa semua orang melihatnya. great effect on its victim's psysuch as depression, eating disorder, Akibatnya, persoalan ini menyebar chological and mental condianxiety disorder, etc. Other severe ke semua teman. Beberapa tetion. complications of cyber-bullying include man turut bergabung merisaknya. self-harm, social isolation, suicidal Sementara, beberapa yang lain ideation and attempts, usage of illegal cenderung diam saja. Pengalaman ini berdampak substances, aggressive behavior, and many more sangat hebat baginya. Pada akhirnya, dia mengalami (Bauman, Toomey, & Walker, 2013; Litwiller & Brausch, gangguan kecemasan.

2013).

Dari kasus tersebut, dapat kita lihat bahwa periYou can prevent cyber-bullying from happening sakan siber berdampak besar pada kondisi psikoloby protecting private information, raising awareness gis dan mental korbannya. Mereka yang menjadi and educating yourself about cyber-bullying, and by korban perisakan siber akan memiliki rasa percaya not being a cyber-bully. Bullies tend to share private diri yang rendah dan kehilangan fokus pada pelainformation to make you feel miserable. Every so often, jaran. Mereka bisa mengalami beberapa masalah both the victims of cyber-bullying and the witnesses mental seperti depresi, gangguan makan, gangguan

18

Bookshelves

Volume 5, 2018

kecemasan, dan sebagainya. Komplikasi paling parah dari perisakan siber bahkan dapat membuat seseorang cenderung membahayakan dirinya sendiri, mengisolasi diri, berpikir dan mencoba untuk bunuh diri, menggunakan obat-obatan terlarang, bersikap agresif, dan masih banyak lagi (Bauman, Toomey, & Walker, 2013; Litwiller & Brausch, 2013).

Perisakan siber bisa dihindari dengan melindungi privasi, meningkatkan kesadaran dan mendidik diri sendiri, dan tidak menjadi perisak siber. Para perisak cenderung untuk membagikan informasi yang sifatnya privat untuk membuat korbannya menderita. Seringkali, baik korban dan saksi perisakan siber cen-derung takut membicarakannya.

Mereka bahkan takut untuk meminta pertolongan orang lain. Namun, kita masih bisa melindungi diri kita sendiri. Jangan pernah membuka pesan di media sosial dari orang yang tidak kita kenal. Batasilah orang-orang yang dapat mengakses profil kita dalam media sosial.

Ketika perisakan siber terjadi, selalu ada jalan untuk membenahinya. Kita bisa memulainya dengan tidak mengacuhkan pesan-pesan yang kita terima.

Para perisak siber menginginkan reaksi kita. Selain itu, kita juga tidak perlu balas merisak. Meskipun perisakan siber adalah tindakan yang tidak dapat kita terima, cobalah untuk memaafkan dan melupakannya. Dengan balas merisak, kita akan masuk pada lingkaran dendam yang tak berkesudahan. Kita sebaiknya mencoba menceritakan perisakan yang kita alami kepada orang (dewasa) yang dapat kita percaya. Memendam persoalan yang kita hadapi hanya akan memperburuk kesehatan mental kita.

are afraid to actually talk about it. They are afraid to seek for help. Keeping your guards up means you have to look out for yourself. Do not open messages from unidentified people or from people you do not know.

Limit access of your online profile to trusted friends only.

When cyber-bullying does happen, there are ways to solve it. You can start by not responding to any of the messages. They want a reaction out of you, do not give them the satisfaction of it. However, do not seek for revenge. Though cyber-bullying is unacceptable, try to forgive and forget. By retaliating, the cycle will never end. Talk to the people you trust to seek for help (preferably adults). Burying all those problems and emotions inside is not good for your mental health.

If bullies actually believe that somebody loves them and believes in them, they will love themselves, they will become better people, and many will even become saviors to the bullied.

Andai saja para perisak sungguh percaya bahwa ada seseorang yang menyayangi dan memercayai mereka, mereka akan menjadi pribadi yang lebih baik, dan rasanya akan banyak yang menjadi penyelamat bagi korban perisakan.

Dan Pearce, Penulis/Fotografer (1978 - sekarang)

Adella Suwandi Pelajar, SMK St. Theresia - Jakarta/

Student of St. Theresia Vocation School - Jakarta

Rebecca Mimosa Pelajar, SMA St. Theresia - Jakarta/

Student of St. Theresia High School - Jakarta

19

Bookshelves

Volume 5, 2018

Source: Kathryn Gibbs, et al., Cambridge Primary English as a Second Language. Student Book. Stage 6, London: Collins, 2017, p.10.

20

Bookshelves

Volume 5, 2018

Kekerasan Masih Menghantui Sekolah Violence Still Haunts The School Thomas Gunawan Wibowo

Kathleen P. Allen dari Universitas Rochester, menunjukkan bahwa hampir 30% peserta didik di Amerika terlibat dalam kekerasan. Dari angka itu, 13% peserta didik mengaku sebagai pelaku kekerasan; 11% menjadi korban kekerasan, dan 6 % pernah menjadi sekaligus pelaku dan korban kekerasan. Gangguan pengendalian diri yang dialami sejak kecil karena pengaruh lingkungan sekitar menjadi pendorong pertama. Mereka melihat dunia dengan kacamata permusuhan. Mereka mengalami kegelisahan emosional, salah memahami interaksi dengan orang lain, dan mengalami kesulitan untuk mengelola dorongan-dorongan kekerasan.

Kathleen P. Allen from University of Rochester, mentioned that almost 30% students in America get involved in bullying. The number speaks that 13% students confess as the doers, 11% are the victims, and 6% are both of them. First, the disorder of self-control becomes the main cause. This disorder is sustained since childhood as an effect of surroundings. They notice world in hostility perspective. They emotionally worry, fail to understand the social interaction, and find trouble to manage the violent impulses.

Second, they "learn" the violence by being treated rudely from the adults around. They watch and consider the various rude actions and motives in media.

They take the rap uncontrollably and inconsistently.

The intimidation they accepted since preschool triggers their aggressivity more.

Kedua, mereka ”belajar” kekerasan melalui perlakuan kekerasan yang diterima dari orang dewasa di sekitarnya. Mereka menyaksikan dan merasakan perbuatanIt isn't only done by senior perbuatan kejam di media dengan students when 'orientaberagam motif. Hukuman yang tion period', but also mereka terima tidak terkontrol dan teachers to their students konsisten. Intimidasi yang mereka and principals to their alami memicu agresivitas mereka teachers. sejak masa prasekolah.

Tidak saja dilakukan oleh Ketiga, mereka melakukan peserta didik senior pada saat kekerasan demi mendapatkan per'perploncoan', tapi juga oleh hatian dan kesenangan tertentu. guru terhadap peserta didik, Kesenangan ini bisa dalam bentuk atau kepala sekolah terhadap uang jajan, hasil pekerjaan rumah, guru. sampai jawaban ujian.

Keempat, demi menjaga harga diri dan memelihara hierarki. Mereka berharap mendapat pengakuan bahwa mereka lebih ”hebat” dibandingkan orang yang mereka intimidasi.

Suatu Anjakan: Guru sebagai Pelaku Perisakan Bagi Peter Randall, perilaku kekerasan atau intimidasi merupakan tindakan agresif yang sengaja dan berulang yang dilakukan satu pihak kepada

Third, they do violence for the sake of getting attencies and current pleasure. These can be money, finished home work until exam answer.

Forth, they do for saving their face and hierarchy. They are expecting to be respected as the more ‘dominant’ than the victims.

Kick Down: Teacher as The Player

For Peter Randall, violence or intimidation is a purposive and repeatedly aggressive action by one to another without opposition which impacts physically, socially and emotionaly stress. It isn’t only done by senior students when ‘orientation period’, but also teachers to their students and principals to their teachers. Behind t he bureaucracy and structure, a leader could intimidate ‘weak’ teachers. For instance, by giving them excessive workload, harassing the others, blaming a teacher in front of the students or the board of teachers, even holding up their professional career.

21

Bookshelves pihak lain tanpa perlawanan yang mengakibatkan tekanan baik secara fisik, sosial, maupun emosional.

Tidak saja dilakukan oleh peserta didik senior pada saat ‘perploncoan’, tapi juga oleh guru terhadap peserta didik, atau kepala sekolah terhadap guru.

Dalam kemasan birokrasi dan struktur, seorang pimpinan bisa saja mengintimidasi kelompok guru yang ‘lemah’. Misalnya, memberi beban kerja yang berlebihan, melecehkah guru lawan jenis, mendiskreditkan guru di harapan peserta didik atau dewan guru, sampai menghambat karier profesional.

Ketidakseimbangan peran dan kekuatan acap kali memicu tindakan perisakan. Pakar psikiatri dari Texas, Dr. Stuart Twemlow, mengungkapkan, “Guru mengintimidasi dengan menggunakan kekuasaannya untuk menakut-nakuti, menghukum, memanipulasi, melecehkan, atau mengolok-olok siswa melebihi apa yang merupakan sebuah tindakan disipliner yang masuk akal.”

The disproportion role and power often triggers bullying. Psychiatry expert from Texas, Dr. Stuart Twemlow, wrote, “One who uses his or her power to punish, manipulate, or disparage a student beyond what would be a reasonable disciplinary procedure.”

These are the violence actions may be done by the teachers:

VIOLENCE

EXAMPLE

Verbal

calling the students with racist, sexist, socioeconomic, physical or mental lack and homophobic nickname

Physic

push, shake, hit with a ruler, pinch, pulling the students’ hair, throwing the eraser, kicking, spitting, touching impolitely, etc

Social

isolating, spreading rumors, posting personal matters to humiliate, exploiting the other students to cheat or force, publishing writings or images to discredit the others via social networks

Psychological

shouting, talking harshly, bluffing, throwing or tearing sheet of assignments, penalizing, judgementalling, ignoring, or harassing the opinion/ question

Authority Misuse

unfaifly assessing the exam; frightening the students by degrading their points in the interest of private economic gain; punishing inappropriately, inconsequently, and unfairly; inhibiting the students from their right of obtaining the same teaching equally; discriminatively treating the parents for the unaccesible chance to complain due to the barriers of language, culture or socio-economic status

Berikut adalah bentuk kekerasan yang bisa saja dilakukan oleh para guru: KEKERASAN

CONTOH

Verbal

menjuluki peserta didik dengan konotasi rasis, seksis, sosio-ekonomi, kekurangan fisik dan mental, dan homofobia

Fisik

mendorong, mengguncang, memukul dengan penggaris, mencubit, menarik rambut atau telinga, melempar penghapus, menendang, meludah, mencolek bagian tubuh tertentu, dsb.

Sosial

Psikologis

mengucilkan, menyebarkan gosip atau rumor, mempublikasikan masalah pribadi untuk menjatuhkan, memanfaatkan peserta didik untuk memanipulasi atau memaksa, menayangkan tulisan atau gambar untuk mendiskreditkan pihak lain melalui jejaring sosial. berteriak, berbicara secara kasar, menggertak, melempar atau menyobek lembar tugas, mengacam dengan hukuman, menghakimi, tidak peduli, atau melecehkan pendapat/ pertanyaan

Volume 5, 2018

22

Bookshelves

Volume 5, 2018

KEKERASAN

CONTOH

Penyalahgunaan Profesi

menilai tugas secara tidak adil; mengancam peserta didik dengan nilai rendah untuk mendapat keuntungan ekonomis; menghukum dengan cara yang tidak pantas, tidak relevan, dan tidak adil; menghambat peserta didik untuk mendapat hak pengajaran yang sama, materi yang sama, atau remidiasi/pengayaan; dan mengintimidasi orang tua yang karena hambatan bahasa, budaya, atau status sosial ekonomi tidak memungkinkan menyampaikan keluhan kepada sekolah.

Apa Peran Guru?

Sekolah perlu mempunyai komitmen dan program-program yang mendukung program anti kekerasan. Idealnya, guru sangat diharapkan menjadi pelopor praktik antiperisakan melalui beberapa hal praktis yang dapat dilakukan di sekolah.

Pertama, menghentikan segala bentuk praktik pelecehan. Setiap guru harus berkomitmen untuk mengatakan bahwa setiap perilaku kekerasan terhadap peserta didik harus dihentikan dan diselidiki secara tuntas.

Kedua, melakukan sosialisasi dan diskusi tentang isu intimidasi pada level apapun. Hal ini dilakukan untuk menanamkan budaya malu sebagai sikap hidup.

Ketiga, bersikap proaktif. Guru perlu menggunakan beragam pendekatan dan cara untuk menggali dan mengeksplorasi apa itu dan bagaimana mengatasi beragam model praktik perisakan terjadi di sekolah.

What Should Teacher Do? Schools ought to commit their agendas in supporting anti-bullying programme. Preferably, the teachers should be the pilot of this programme by doing some practical things in the school.

First, to stop any kind of humiliation. Each teacher should commit to prevent the humilliation and dig the triggers deeper completely.

Second, socialize and discuss about this issue at any levels. This will help to habituate ‘shame culture’ as a way of life.

Third, be proactive. The teachers need to utilize many approachs and ways to explore what and how to overcome the bullying in school.

Forth, they prefer to talk with the school board to be noticed. Furthermore, it is better to build the network concerning how to handle and prevent the impacts.

Fifth, the teachers ask their students to consider that bullying isn’t a trivial but important issue. It is significant to advise or warn if some students start to joke with improper words.

Sixth, the teachers should ensure the confidential information from the students. With trusting, a student will be easy to share the informations in order to prevent the expansion of bullying.

The Millennials strongly are colonized by the frenzied of electronic and social media. In fact, the school can’t be assumed as antibullying-proof. Will we just invoke the students to escape from their own issues or educate them to deal with these as a dauntless?

Most comedy is based on getting a laugh at somebody else's expense. And I find that that's just a form of bullying in a major way. So I want to be an example that you can be funny and be kind, and make people laugh without hurting somebody else's feelings.

Keempat, guru sebaiknya berbicara dengan administrator sekolah guna mendapat perhatian. Perlu juga dilengkapi dengan usaha membangun jaringan komunitas bagaimana menangani atau mencegah lebih jauh dampak perisakan.

Hampir semua komedi menertawakan orang lain sebagai korban. Bagi saya, itu merupakan satu bentuk perisakan dalam arti yang luas. Maka, saya ingin memberikan teladan bahwa komedian dapat menjadi lucu sekaligus ramah, dan dapat membuat orang lain tertawa tanpa melukai perasaan orang lain.

Kelima, guru mengajak peserta didik untuk melihat perisakan sebagai masalah serius, bukan masalah remeh. Guru harus lekas menegur dan

Ellen DeGeneres, Komedian (1958 - sekarang)

23

Bookshelves

Volume 5, 2018

mengingatkan jika ada panggilan atau gurauan yang berkonotasi negatif dan melecehkan.

Keenam, guru perlu menghormati kerahasiaan informasi dari para peserta didik. Dengan sikap percaya, seorang peserta didik akan merasa nyaman untuk berbagi informasi guna mencegah terjadinya perisakan dalam skala yang lebih besar.

Generasi Milenial memang tidak aman dari ingar bingar media elektronik dan media sosial. Faktanya, sekolah memang tidak steril dari praktik intimidasi dan kekerasan. Akankah kita hanya mengajak anakanak untuk menghindari masalah atau mengedukasi mereka untuk berani menghadapi dan menyelesaikan masalah?

Thomas Gunawan Wibowo Wakasek Kurikulum / Curriculum Vice Principal SMA Kolese Kanisius - Jakarta/

Kanisius College High School - Jakarta

alex blajan 99475 on unsplash.com

Source: Kathryn Gibbs, et al., Cambridge Primary English as a Second Language. Student Book. Stage 6, London: Collins, 2017, p.10.

24

Bookshelves

Volume 5, 2018

A word about CLIL A. Toto Subagyo

CLIL stands for Content and Language Integrated Learning. As we see, it has two elements. They are content and language.

Content refers to any teaching subject. It can be Math, Science, History, Geography, or even Religion.

Meanwhile, Language deals with the language used to teach the subject. The language is supposed to be other than the mother tongue of the students. So, when you teach Math to your Indonesian students in English, that’s a CLIL. Likewise, every time you teach History in Bahasa Indonesia to your Javanese-speaking-students, that’s also a CLIL.

already been practiced for hundreds of years. Only recently, after 1980-s the terminology has become widespread and popular. It was David Marsh from the University of Jyväskylä (Finland), who coined the term . On CLIL, the Australian-born was saying: "CLIL refers to situations where subjects, or parts of subjects, are taught through a foreign language with dual-focused aims, namely the learning of content and the simultaneous learning of a foreign language."

Lease notice that CLIL has double goals, i.e. learning the subject (content) and at the same time learning the language through which the subject is delivered. In this Bookshelves, the language refers to English.

The following is just a sample of a Lesson Plan of doing CLIL: Civics (Kewarganegaraan).

Some people might have been doing the CLIL without knowing that they do. And in fact, CLIL has

CLIL: Civics (Kewarganegaraan) Lesson Plan Subject

Civics: Bhineka Tunggal Ika

Topic

“Everybody is unique, but we are one family.”

Short description

Everyone is unique. One differs with another because of that. The differences should be admitted and cherished as something that will enrich the community.

The more one is familiar with such uniqueness, the more they will have courage to welcome diversity while maintain their own unique identity. Easier said than done, such a life skills should be introduced and practiced over and over.

Level

Primary, Level 1-3

Time

70 minutes

Objectives

After doing this CLIL, the students shall a. Become more familiar with their own uniqueness b. Recognize the uniqueness of his/her friends c. Respect each other despite the differences d. Understand some new words regarding colors, pet animals and activities e. Know how to use some expressions in introducing self

25

Bookshelves

Materials

Keywords & Expressions

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Volume 5, 2018

Table-sheet of the keywords Pictures related to the keywords in the table Banner: “My friends and I are unique. We are one community.”

A card for each students Crayons or water-base markers Drawing book/sheet

Introducing phrase: • hello • hi • my name is …

• my favorite color is …

• my favorite animal is …

• I like …

Colors: black, blue, brown, green, orange, pink, purple, red, white, yellow Pet animals: cat, chicken, dog, fish, hamster, iguana, monkey, pigeon, rabbit, turtle Activities: climbing, dancing, drawing, jumping, reading, running, singing, swimming, walking, writing Before the Lesson: 1. Make a large table-sheet of the keywords. You may use Powerpoint, or simply write them on the blackboard/whiteboard instead.

2. Provide a copy of the Form-card for each student. Or, you may give them blank card instead, so that they have to copy the form from the blackboard/whiteboard.

1. Warming-up (5 minutes) a. Ask the students to recognize the pictures regarding colors, pet animals and activities. You may use posters or slide-show. category. b. For the words of the activities, let them express every word with physical movement, employing TPR (Total Physical Response). c. Let them guess “what topic that we are going to learn today”. → Please refer to the Table-sheet

Procedure

2. Activity #1 (5 minute) Distribute a card for each student, and let them fill in the blank. They are to choose only the words from the table-sheet regarding colors, pet-animals and activities.

Encourage them to “choose the words that are most close describing who you are”. → Please refer to the sample of the Card 3. Activity #2 (20 minutes) a. Now, divide your class into small groups of 7-10 persons. b. Explain to your students that they will introduce to each other not only by name, but also about their favorite colors, animals and activities. c. Next, lead the game. Give an example or two. The students will take turns, going clockwise. Provide directions like the following: → A students, supposed his name is Budi, will shout-loud his name, favorite color, animal and activity. Every time, the rest of the group will be echoing.

26

Bookshelves

Volume 5, 2018

Budi All Budi All Budi All Budi All

: : : : : : : :

hi/hello. my name is budi your name is budi my favorite color is blue your favorite color is blue my pet animal is monkey your pet animal is monkey I like dancing you like dancing → Then, the students on Budi’s left , let’s say it’s Tuti, will say:

Tuti All

: Budi, can you show me a blue monkey dancing? : Budi, can you show me a blue monkey dancing? → Budi then is to gesture a dancing monkey.

Then the rest of the group will be imitating his gestures.

Procedure

4. Activity #3 (15 minutes) a. Now, distribute a large drawing-sheet to each group. Provide some packs of crayons and/or color markers to share in a group. b. On the same large drawing-sheet, ask them to draw their own aforementioned favorite animal pet doing the activity they like with their favorite colors. For instance, Budi will draw a blue monkey dancing; while Tuti is drawing an orange turtle swimming. c. Remind them that they’re drawing on the same sheet at the same time. One is supposed to be cautious and gentle to each other. d. When all have finished, let them jot down their names on the drawing sheet.

5. Activity #4: Circle Time (15 minutes) a. Have the students sit down on the floor in a large group. Put all the drawing sheets together on the floor. b. Observing their drawing, express your appreciation sincerely. Also notice if there are several similarities, e.g. same pet animals with different colors and gestures. c. Now, ask them what they remember about his/her certain friend(s) in their small groups respectively. For instance: T: What do you know about Budi?

S: His favorite color is blue. He loves a monkey. He likes dancing. d. Also ask them: • how they like the activity #3 & #4; and • what they might have learned from them Give every student a chance to practice his/her answer in English. Be gentle and kindhearted to unfinished sentences and/or mispronounced words or grammatical errors. Instead, encourage them to speak in English only, employing the keywords they have just learned.

27

Bookshelves

Volume 5, 2018

e. When you think that everyone has got their turn and felt content, invite them all to stand up, holding hand in hand. Using their own words, phrases, or expressions, relate their understanding to the theme. Underline that: • Everyone is unique. One differs with another because of that.

• The differences, however, should be admitted and cherished.

• The diversity will enrich our community.

Procedure

6. Concluding Activity (10 minutes) a. Somewhere in middle of the wall/blackboard/whiteboard put the banner that reads: “Everybody is unique, but we are one family” b. Let each group also put their drawing-sheets around the banner. c. Ask the students to read the banner together three times, after which invite them to shake hand to one another.

Keywords Table-sheet Introducing phrase

Favorite Colors

Favorite Animals

Favorite Activities

hello.

black,

cat,

climbing,

hi.

blue,

chicken,

dancing,

my name is …

brown,

dog,

drawing,

my favorite color is …

green,

fish,

jumping,

my favorite animal is …

orange,

hamster,

reading,

I like …

pink,

iguana,

running,

purple,

monkey,

singing,

red,

pigeon,

swimming,

white,

rabbit,

walking,

yellow

turtle

writing

A Card for Every Student my name is … my favorite color is … my favorite animal is …

I like …

28

Bookshelves

Volume 5, 2018

Jigsaw Reading dalam Mengajar Matematika Applying Jigsaw Reading Method in Mathematics Class Anton H.P.

Mungkin kita sering mendengar begitu banyak waktu yang dibutuhkan oleh seorang peserta didik untuk belajar matematika, ditambah dengan waktu les tambahan. Sebegitu sulitkah mempelajari matematika? Sebegitu identikkah matematika dengan rumus dan hitungan yang rumit? Menurut saya, belajar matematika bisa menyenangkan. Tanpa kita sadari, sesungguhnya kita selalu berhubungan dengan matematika. Misalnya, menghitung lama waktu dari rumah ke sekolah.

We may often hear how much time is needed for a student to learn mathematics, including the additional course they should attend. Is it truly the most difficult subject? Is it right that mathematics identical to complicated formula and difficult calculation? Learning mathematics can be fun. Unwittingly, we are always in touch with mathematics. For instance, counting how long we go to school.

Some time ago, while teaching mathematics, I distributed some different tasks into each student groups in the class. Every group was responsible to compreBeberapa waktu yang lalu, saat sedang mengajar hend the task by collecting and exploring the revelant matematika, saya membagi beberapa tugas kepada informations related to the topic. setiap kelompok belajar di dalam Together, they should work in mutual kelas. Setiap kelompok bertangJadi, sambil mengerjakan respect and responsibility. They discuss gung jawab untuk mendalami tugas, mereka bisa lebih how to process and verify data. The tugas dengan mengumpulan dan saling mengenal satu mathematical concept they had dismengeksplorasi informasi sesuai sama lain. cussed should be presented to the class. dengan topik yang saya sampaiI asked them to prepare the poster as a kan. Mereka harus bekerja sama, So, while they were working, medium of presentation. saling menghormati, dan bertangthey could deepen their undergung jawab. Dalam diskusi, mereka This learning method will certainly standing between each other. mencoba memproses dan memhelp the other students to associate verifikasi data. Konsep matematika what they were observing with the yang mereka diskusikan ditampilkan di depan kelas. other groups’ explorations. Due to their obvious roles, Saya meminta mereka untuk menyiapkan sebuah the students were challenged to work optimally. This poster sebagai media presentasi. anticipated their tendency to play around and just tease one another. Furthermore, they were free to Metode pembelajaran macam ini pastinya choose the spot where they intended to finish their membantu peserta didik lain untuk membandingtasks. So, while they were working, they could recogkan apa yang mereka gali dengan proses eksplorasi nize one another. This could strengthen the team for kelompok lainnya. Mengingat kejelasan tugas setiap doing the tasks happily. personel, mereka ditantang untuk mengerjakan When I use the method, various comments occured tugas dengan optimal. Hal ini tentunya mencegah from the students. Some confused, got bored with that mereka untuk bermain-main dan saling bercanda. and could not easily mingle. As a teacher, however, Selain itu, mereka pun bebas memilih tempat untuk this is my real duty. Besides teaching, I am obligated to berdiskusi. Jadi, sambil mengerjakan tugas, mereka improve their characters. The more personally caring, bisa lebih saling mengenal satu sama lain. Hal ini the less complaints. My students started to enjoy that akan memperkuat kinerja tim sehingga mereka pun

29

Bookshelves mengerjakan tugas dengan ceria.

Saat pertama kali menggunakan metode ini, beberapa anak mulai berkomentar. Sebagian anak merasa pusing, bosan, dan malah susah untuk berbaur dalam kelompok. Justru, di sinilah tugas sejati seorang guru. Selain mengajarkan teori, saya pun wajib mendampingi perkembangan karakter peserta didik. Semakin saya memberikan perhatian secara personal, berkurang pula keluhan mereka.

Para peserta didik mulai menikmati metode itu.

Mereka pun mendapatkan tugas-tugas, afirmasi, dan umpan balik, terlebih yang berkaitan dengan refleksi pribadi selama pelajaran.

Memang, saya sadar bahwa mereka sempat mengalami penurunan nilai, baik dalam nilai tugas maupun ulangan. Sebab, mereka belum terbiasa dengan metode seperti ini. Akan tetapi, di sisi lain, mereka mulai dibiasakan untuk bekerja dalam kelompok, bertanggung jawab, dan saling peduli.

Setelahnya, nilai mereka pun semakin membaik.

Berdasarkan pengalaman saya, metode tersebut menjadi wadah bagi mereka untuk belajar menghargai orang lain sebagaimana mereka sudah saling mengenal keunikan masing-masing. Dalam istilah dunia pendidikan, metode tersebut dikenal dengan nama Jigsaw Reading. Metode ini tidak hanya diterapkan pada matematika, tapi juga bisa diterapkan pada mata pelajaran lain. Semoga pengalaman saya menjadi inspirasi seni mengajar bagi sesama rekan guru.

Volume 5, 2018

method. They get my assignments, affirmations and feedbacks, especially about how they reflect their roles during the lesson.

I realized that their assessments, either review or exercises, decrease. For me, it is just because they haven’t used to that method yet. Still in other side, that method accustomes them to internalize teamwork, responsibility and emphatics. After adapting that method, their assessments are getting better for sure.

Based on my experience, through that method, they are able to learn how to respect one another because they have already grasped the uniqueness of each person. In education term, that method is known as Jigsaw Reading. It isn’t only applied in Mathematics, but also in other subjects. Hope my experience could inspire to the other in the art of teaching.

Nonviolence means avoiding not only external physical violence but also internal violence of spirit. You not only refuse to shoot a man, but you refuse to hate him.

Tindakan antikekerasan tidak hanya berarti tindak kekerasan fisik lahiriah namun juga kekerasan batin. Anda tidak hanya menolak untuk menembak seseorang tapi juga sekaligus menolak untuk membencinya.

Martin Luther King, Jr., Aktivis kemanusiaan (1929 - 1968)

Anton H.P. Guru Matematika / Mathematics Teacher SMP Dian Harapan - Daan Mogot, Jakarta / Dian Harapan Junior Highschool - Daan Mogot, Jakarta

30

Bookshelves

Volume 5, 2018

Tiada Nurani Tanpa Sains No Conscience Without Science Handy Hardian Binawan

writer's documentation

Isu mengenai perisakan sudah menjadi momok di banyak sekolah di seluruh dunia. Ada banyak bentuk perisakan. Salah satunya adalah pelecehan verbal.

The issue bullying has plagued many schools throughout the world. It comes in many forms; one of which is verbal abuse.

Dalam artikelnya yang berjudul Forms of Emotional and Verbal Abuse You May Be Overlooking, Darlene Lancer, seorang psikolog, mengatakan bahwa meskipun disampaikan dengan suara yang manis ataupun dinyatakan secara tidak langsung (dibungkus dengan lelucon) pelecehan bisa saja tetap menusuk hati. Sadar mengenai hal ini, secara professional saya melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk mencegah terjadinya perisakan.

A psychologist, Darlene Lancer, in her article Forms of Emotional and Verbal Abuse You May Be Overlooking states that words can be abusive, even when said in a loving voice or indirect (disguised as jokes).

Being aware of this issue, I professionally do what it takes to prevent bullying.

Sementara itu, dalam buku The Value of Science, Richard Feyman menyatakan bahwa sains (ilmu murni) merupakan “saluran yang terbuka”—melaluinya orang akan mendapatkan jawaban asali atas

In his book, The Value of Science, Richard Feynman states that science is an “open channel” through which one can find a genuine answers to life.

Also according to Feynman, for a child to get a taste of science is such an adventure. This has made me realize that science through its experiments is truly a powerful tool to bring greater meanings or values of life to the

31

Bookshelves kehidupan. Masih menurut Feymann, upaya agar anak bisa merasakan (keindahan) sains merupakan petualangan. Ini membuat saya sadar bahwa melalui eksperimen sains bisa menjadi sarana yang dahsyat untuk menumbuhkan makna dan nilai dalam hati nurani para murid.

Volume 5, 2018

students’ conscience.

Just last week, a class of mine did an experiment with Bromothymol Blue, or well known as BTB. The students were divided into groups based on the class sociogram and were given a set of materials and tools (BTB, a cup of water, a stopwatch and a beaker).

Pekan silam kelas saya mengadakan eksperimen Next, they chose a student in their group to be the menggunakan BTB (Bromothymol Blue). Kelas dibagi leader. I told the students that everyone in the group menjadi beberapa kelompok menurut sosiogram had to say one kind, encouraging kelas. Kepada masing-masing sentence to the leader. First, they were kelompok diberikan satu set bahan puzzled or even laughed, but they had Kebingungan berubah dan sarana yang dibutuhkan: BTB, no other option. What I heard next were menjadi kekaguman secangkir air, stopwatch, dan gelas many heartened words echoing in the manakala para pemimpin kimia. laboratory. kelompok meniupkan Selanjutnya, mereka harus udara melalui sedotan ke memilih satu orang sebagai pemConfusion turned into amazement dalam larutan BTB. impin kelompok. Saya katakan when the leaders started to breathe out kepada mereka bahwa setiap angthrough the straw into the BTB solution.

Confusion turned into amazegota kelompok harus menyam“The color changed!” shouted one of ment when the leaders started paikan satu kalimat yang positif the students followed by many others’ to breathe out through the dan memberi semangat kepada being so curious to find out how it could straw into the BTB solution. pemimpin kelompok masingbe possible. Being asked to recall what masing. Awalnya, mereka tampak everyone did to the leader earlier, a bingung dan bahkan cekikikan. student, feeling unsure, answered that Tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Selanjutnya, the words caused this. yang terdengar adalah suara riuh-rendah kata-kata yang membesarkan hati di laboratorium.

Kebingungan berubah menjadi kekaguman manakala para pemimpin kelompok meniupkan udara melalui sedotan ke dalam larutan BTB. “Warnanya berubah!” seru seorang murid diikuti yang lain.

Semua begitu penasaran bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Ketika diminta untuk mengingat apa yang sebelumya mereka katakan kepada pemimpin kelompok, meski merasa tak yakin, seorang murid menjawab bahwa kata-kata tadilah yang membuat terjadinya perubahan warna tersebut.

Mengutip Michael Hyatt dalam artikel How Our Words Impact Others, saya menerangkan bahwa kata-kata positif yang kita ucapkan bisa membuat dampak positif bagi orang lain. Sebaliknya, katakata negatif juga berdampak negatif. “Setiap hari,” demikian Hyatt, “kita menciptakan realitas bagi orang lain lewat kata-kata yang kita tuturkan kepada mereka.”

Meski pada akhirnya para murid mengerti bahwa sebenarnya karbondioksida yang ditiupkan oleh pemimpin kelompoklah yang menyebabkan ter-

writer's documentation

Quoting Michael Hyatt in How Our Words Impact Others, I explained that words can build people up and provide grace, empowering others to make a positive change. However, discouraging words also give impacts on someone’s life. “Every day, we are shaping reality for someone by the words that we use with them,” Hyatt says.

Though eventually the students knew it was

32

Bookshelves

Volume 5, 2018

jadinya perubahan warna tersebut, mereka belajar mengenai nilai kehidupan melalui eksperimen sains yang sederhana. Maka saya meminta mereka untuk menuliskan pada kertas-tempel mengenai pelajaran “tambahan” tersebut dan memberikan catatan tersebut kepadateman lain sebagai pengingat.

Bagaimana kata-kata orang lain, baik yang positif maupun negatif, berdampak atas hidup Anda?

because of the carbon dioxide the leaders breathed out, they learned a life value through a simple science experiment. I asked them to write on a sticky note about this “extra” lesson and gave the note to other as a reminder.

How have the words of another—positive or negative—impacted your life?

Note: Sociogram is a chart than can help teachers get valuable data about the class’ social relationship. It normally consists of circles with the student names and of arrows indicating their

Catatan: Sosiogram adalah grafik, yang umumnya berupa

relationship.

lingkaran-lingkaran dengan nama para siswa disertai garis-garis panah, yang memuat pemetaan dan kualitas hubungan sosial di antara para murid.

Handy Hardian Binawan Guru Matematika dan Sains /

Mathematics and Science Teacher Teacher

SD St. Laurensia - Alam Sutera, Tangerang/ St. Laurensia Elementary School - Daan Mogot, Jakarta

photo 256485 on pexels.com

33

Bookshelves

Volume 5, 2018

Social School Value : The Sense of Concern Kompetensi Sosial : Sikap Kepedulian Presty Pramasiwi

Boleh kita katakan bahwa sekolah merupakan miniatur kehidupan masyarakat pada umumnya.

Tidak hanya belajar berhitung, mencatat, dan menghafal, mereka juga membuat kelompok berdasarkan komunikasi dan kesamaan hobi. Pada dasarnya, berkelompok adalah langkah yang tepat untuk belajar bagaimana berinteraksi. Akan tetapi, kehadiran kelompok bisa jadi mengancam keberadaan orang lain. Terlebih, jika orang lain dipandang berbeda dari mayoritas pada umumnya.

Dalam novel Before I Fall, penulis berprestasi, Lauren Oliver, menampilkan sosok Samantha Kingston sebagai pelajar yang cantik. Bersama teman-temannya, mereka bersikap jahat dan kasar kepada teman-teman sekolah, termasuk Juliet Sykes yang pendiam. Mereka sudah merisak gadis cantik ini sejak kelas 6. Juliet dicap sebagai gadis "psiko".

Akhirnya, Juliet pun memutuskan untuk bunuh diri.

Hal yang sama dialami oleh Hannah Baker dalam novel 13 Reasons Why. Dia terus diperlakukan kurang ajar oleh teman-teman sekolahnya. Setelah mengalami serangkaian tuduhan yang kasar, Hannah menjadi pendiam. Jay Asher, sang penulis novel, menggambarkan alih-alih mencurahkan apa yang sedang dihadapi, dia malah memilih untuk merekam alasan mengapa dia bunuh diri.

Perisakan membuat hampir semua korbannya memisahkan diri dari lingkungannya. Mereka terdorong untuk mengakhiri kehidupan karena merasa kesepian dan diperlakukan semena-mena. Kendati begitu berat, akan lebih baik jika mereka memiliki teman bercerita. Sahabat bisa menjadi tempat untuk

11

We might say that the school is a miniature for the real society. The students doesn’t just come to count, to note and to memorize. They also build their own community based on communication and the same interest. Basically, building a small group surely is a good way to learn how to interact. But somewhile, it can be a threat to intimidate somebody else. Especially, if the majority of students consider somebody else as a different person.

In novel Before I Fall, an award-winning author, Lauren Oliver, characterizes Samantha Kingston as a popular high school student. With her friends, they are downright mean and rude to many of their peers, including Juliet Sykes, a quiet, beautiful girl whom the group of popular girls have bullied since the sixth grade. Juliet is stigmatized as a “psyco�. Then, she finally committes suicide.

As experienced by Hannah Baker in novel 13 Reasons Why, she is intimidated by her savage schoolmates. After suffering a sequenze of crude gossiping, she turns to be quiet. Later, she commits suicide. The author, Jay Asher, portrays Hannah instead tells what she is facing, she records the reason why she ends her life by cassette-tape.

Bullying causes almost the victims separated from their surroundings. Feeling alone and being arbitrarily treated lead them to end the problem by ending the entire life. Though seemed impossible to fix, but the wiser reponse is trying to share with someone. Friend can be a place to express the negative feeling. Sad to say that finding a friend indeed is as difficult as hiking to the misty mountain.

34

Bookshelves

Volume 5, 2018

mengungkapkan perasaan negatif. Sayangnya, menemukan sahabat seperti ini terhitung sulit, seperti mendaki gunung yang berkabut.

Hallelujah “Hallie” Calhoun, dalam situasi yang sama sebagai korban, memilih untuk retret di tempat yang tenang. Novel The Distance Between Lost and Found mengisahkan perjuangannya untuk menyembuhkan diri. Dalam satu kesempatan, para peserta retret diberi kesempatan untuk mendaki gunung agar terbantu dalam penyembuhan. Bersama dua sahabatnya, dia harus menyusuri Smoky Mountains. Sayangnya, mereka malah tersesat. Justru inilah yang merupakan penyembuhan saat mereka berupaya mengalahkan ketakutan dengan percaya satu sama lain.

Hallelujah “Hallie” Calhoun, in the same situation as a victim, chooses to go to retreat in a solitude place.

The novel The Distance Between Lost and Found narrates her struggling during the self-recovery. In one occasion, the participants could cope with their problems by hiking. Being accompanied by her two friends, she should cross the route in Smoky Mountains. Unluckly, they lost their way. This becomes real recovery. They conquer their fear by trusting each other.

If you are the victim, you may choose to be positive and negative. You may be a person like Hallie. She prefers to cure her own wound rather than to escape.

On the other side, New York Times bestseller Wonder enchants succesfully over 6 million reader. Raquel Jaramillo Palacio Seorang korban perisakan bisa Untuk mengatasi perisakwrote a story about a boy born with memilih untuk beraksi positif atau an, kurikulum nasional face deformities, Agust “Auggie” Pullnegatif. Seorang korban bisa saja kita menganjurkan beman. After homeschooling for years, menjadi seperti Hallie. Dia memilih berapa sikap sosial. Salah his parents want him to experience the untuk menyembuhkan diri darisatunya, rasa peduli. real society. Then, enroll him into the pada lari dari masalah. ordinary school. Because of his appearTo overcome bullying, oru Di sisi lain, novel laris versi New ance, some students are bullying him. national curriculum suggests York Times, Wonder, berhasil memiFurthermoer, they tease him as ‘Plague’. some social affective values. kat lebih dari 6 juta pembacanya.

One of these is the sense of To get over that situation, the school Raquel Jaramillo Palacio menuconcern. environment should take a role. Luckliskan sebuah kisah tentang anak ily, Jack and Summer ignore Auggie’s yang ter lahir dengan deformitas deficiency. Both regard him as a smart, wajah, August “Auggie” Pullman. funny, and friendly one. Moreover, the teachers also Setelah sekian tahun homeschooling, orang tuanya suggest all the students to regard Auggie as an ordiingin Auggie bisa belajar dari lingkungan yang nary student. This surely helps him both to fullfill his nyata. Lantas, mereka mendaftarkannya di sebuah self-esteem and to actualize himself. Indeed, every persekolah umum. Hanya karena penampilannya, beson with the self-esteem will be able to live confidently berapa peserta didik lantas merisak. Malah, Auggie and compassionately. Even, this self-actualization mendapatkan predikat sebagai ‘Wabah’. drives Auggie to be the best so far as he can.

Sekolah berperan penting untuk mengatasi To overcome bullying, our national curicculum sugmasalah tersebut. Beruntungnya, Jack dan Summer gests some social affective values. One of these is the mengabaikan kekurangan fisik Auggie. Keduanya sense of concern. If the students are willing to respect menganggap Auggie sebagai anak yang cerdas, the diversities, they are be able to build a truly friendlucu, dan mudah bergaul. Di samping itu, para guru ship. We can’t just let someone different with us isolate juga mendorong anak-anak lain untuk memperhim/herself from the community (class). We don’t have lakukan Auggie sebagai anak biasa. Tentunya, hal right to split the society based on the appearances or ini menolong Auggie untuk memenuhi kebutuhanuniquenesses. nya akan harga diri dan sekaligus untuk aktualisasi diri. Setiap orang dengan harga diri pastinya akan mampu hidup dengan penuh percaya diri dan kasih.

Aktualisasi diri ini membuat Augie mampu menjadi versi terbaik dirinya.

Untuk mengatasi perisakan, kurikulum nasional kita menganjurkan beberapa nilai sikap sosial. Salah

We might remember what Auggie is notifying, “Here’s what I think: the only reason I’m not ordinary is that no one else sees me that way”. The more we perceive somebody else deservedly, the more we prevent bullying.

35

Bookshelves

Volume 5, 2018

satunya, rasa peduli. Jika peserta didik bersedia untuk menghormati keragaman, mereka pastinya mampu untuk membangun persahabatan yang sejati. Kita tidak bisa diam melihat seseorang menyendiri atau terpisah dari kita hanya karena berbeda. Pun, kita tidak punya hak untuk membagi-bagi kelompok berdasarkan penampilan dan keunikan mereka.

Mari kita ingat apa yang dikatakan oleh Auggie, “Here’s what I think: the only reason I’m not ordinary is that no one else sees me that way”. Semakin kita melihat orang lain dengan wajar, semakin kita mampu mencegah perisakan.

Presty Pramasiwi Aktivis Gerakan Literasi / Literacy Movement Activist

nathan dumlao on unsplash.com

Dari Redaksi Bookshelves merupakan buletin berkala yang dikelola oleh Periplus Education. Bookshelves merupakan media berbagi gagasan, keprihatinan, dan ide-ide terkait dengan dunia pendidikan.

Redaksi menerima usulan tema yang akan dibahas dalam buletin Bookshelves-Periplus Education dari pembaca.

Redaksi juga menerima kiriman naskah berupa opini atau resensi buku terkait dengan tematema pendidikan. Naskah yang diterbitkan dalam buletin akan mendapat imbalan berupa voucher belanja di periplus.com senilai Rp 750.000,00.

Bookshelves Teachers’ inspiration for a better education

Redaktur Toto Subagyo Ruth Solaiman Jeane Tjandiagung Tri Nugroho A.S. Tata Letak Andriyan Permono Hubungi kami: Email: periplus.edu@gmail.com Instagram: periplusid

36

Bookshelves

Volume 5, 2018

Before I Fall

(Movie Tie-In Edition)

The Distance between Lost and Found

Lauren Oliver

Katryn Holmes

ISBN-13: 9780062656322

ISBN-13: 9780062317278

Publisher: HarperCollins

Publisher: Harper Teen

Language: English

Language: English

Paperback: 496 Pages

Paperback: 320 Pages

Product Dimension (L x W x H):

Product Dimension (L x W x H):

19.81 x 13.21 x 3.56 cm

20.32 x 13.46 x 2.03 cm

Shipping Weight: 0.36 Kg

Shipping Weight: 0.23 Kg

Thirteen Reasons Why

Wonder

(Movie Tie-In Edition)

Jay Asher

R.J. Palacio

ISBN-13: 9780141387772

ISBN-13: 9780141378244

Publisher: Penguin Books Ltd

Publisher: Penguin Books Ltd

Language: English

Language: English

Paperback: 320 Pages

Paperback: 352 Pages

Product Dimension (L x W x H):

Product Dimension (L x W x H):

13.10 x 19.70 x 2.40 cm

12.90 x 19.50 x 2.50 cm

Shipping Weight: 0.25 Kg

Shipping Weight: 0.26 Kg

Please find our selections at Periplus Bookstores or www.periplus.com

37

Bookshelves

Volume 5, 2018

Macmillan ELT Upgrade Day 2018 Jakarta, 10th March 2018 and Surabaya, 12th March 2018

1

2

3

1 | Storytelling yang dibawakan oleh Saquila

2 | Para peserta Macmillan ELT Upgrade Day

Vincent Lee dari SD St. Bellarminus -

2018 di Surabaya tengah berinteraksi

menampilkan kisah Bawang Merah dan

Jakarta mengangkat kisah cerita rakyat

dan mengikuti pelatihan yang diberikan

Bawang Putih dalam storytelling pada

Timun Mas pada Macmillan ELT Upgrade

oleh pemateri dari Macmillan Educa-

Macmillan ELT Upgrade Day 2018 di

Day 2018 di Jakarta.

tion.

Surabaya.

Storytelling perfomance of Saquila Vincent Lee of Saint Bellarminus Primary School presented a folktale called Timun Mas (Golden Cucumber) in Macmillan ELT

3 | Jennifer Evangeline dan Angela Putri

Audiences of Macmillan ELT Upgrade Day in Surabaya interacted each other during training session presented by Macmillan Education's trainer.

Jennifer Evangeline and Angela Putri presented Bawang Merah dan Bawang Putih (Red Onion and White Garlic) as their storytelling performance in Macmillan ELT Upgrade Day 2018 in Surabaya.

Upgrade Day 2018 in Jakarta.

38

Bookshelves

Volume 5, 2018

Macmillan ELT Upgrade Day 2018 Jakarta, 10th March 2018 and Surabaya, 12th March 2018

1

2

3

4

1 | John Cruft membuka klinik

2 | Para peserta pelatihan

pelatihan Bahasa Inggris

4 | Seorang staf tim Periplus

Upgrade Day 2018 di Jakarta

Education sedang menga-

pada Macmillan ELT Upgrade

presentasi yang dibawakan

sedang berfoto dengan sam-

rahkan permainan selama

Day 2018 di Jakarta.

pada Macmillan ELT Upgrade

bil memegang pernak-pernik

jeda istirahat pada Macmil-

Day 2018 di Jakarta.

dari Macmillan Education.

lan ELT Upgrade Day 2018 di

3 | Dua peserta Macmillan ELT

sedang berdiskusi tentang

John Cruft opens English-

language clinic at Macmillan

Jakarta.

Some audiences discuss

Two audiences of Macmillan

ELT Upgrade Day 2018 in

about a topic presented in

ELT Upgrade Day 2018 in

Jakarta.

Macmillan ELT Upgrade Day

Jakarta are possing and

gives game instruction during

2018 in Jakarta.

handling gimmicks from

break-time at Macmillan ELT

Macmillan Education.

Upgrade Day 2018 in Jakarta.

A Periplus Education staff

39

Bookshelves

Volume 5, 2018

Macmillan ELT Upgrade Day 2018 Jakarta, 10th March 2018 and Surabaya, 12th March 2018

1

4

2

3 1 | John Cruft dan beberapa peserta

5 3 | Seluruh peserta Macmillan ELT

6

7 5 | Mrs. Warisa Suksomboon, Country

melakukan swafoto pada Macmil-

Upgrade Day 2018 di Jakarta

Manager dari Macmillan Educa-

lan ELT Upgrade Day 2018 di

sedang berfoto bersama di akhir

tion.

Jakarta.

acara.

John Cruft and some audiences

All audiences are taking picture to-

are doing selfie at Macmillan ELT

gether in the end of Macmillan ELT

Upgrade Day 2018 in Jakarta.

Upgrade Day 2018 in Jakarta.

Mrs. Warisa Suksomboon, Country Manager of Macmillan Education.

6 | Mr. Derek 'Del' Spafford, trainer dari Macmillan Education.

2 | Tim Periplus Education dan Macmillan Education berfoto bersama

foto bersama pemenang hadiah

pada akhir acara Macmillan ELT

kejutan.

Upgrade Day 2018 di Jakarta.

4 | Tim Macmillan Education ber-

Periplus Education team and Macmillan Education team are posing in the end of Macmillan ELT Upgrade Day 2018 in Jakarta.

Macmillan Education team are posing with a lucky-draw winner.

Mr. Derek 'Del' Spafford, trainer of Macmillan Education.

7 | Mr. John Cruft, trainer dari Macmillan Education.

Mr. John Cruft, trainer of Macmillan Education.

40