belum banyak dijangkau oleh para pembalak liar. Langkah ini, menurut Munir, dimulai dari KPH yang dinilai paling sedikit kerusakannya. Deep assessment dilakukan dengan cara memotret, mengumpulkan, dan melakukan standarisasi sehingga diketahui kekurangannya. Melalui deep assessment inilah Perhutani berharap tidak lagi dikenal memiliki hutan-hutan yang rusak, seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk melakukan deep assessment, Perhutani bekerjasama dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO), antara lain The Forest Trust (TFT) dan World
sertifikasi. Setelah berhasil, lalu kami coba untuk menduplikasi apa yang telah dilakukan di dua KPH tersebut ke KPH lainnya,” tuturnya.
Perjalanan Panjang
Dok. Humas PHT
KPH Kendal menjadi salah satu KPH yang sebenarnya telah mengatongi sertifikat, namun di tahun 2002 harus kehilangan lagi. Menurut Administratur KPH Kendal, Ir. Soenarto, pencabutan sertifikat PHL KPH Kendal tahun 2002 dikarenakan ada beberapa tindakan perbaikan yang tidak mampu diselesaikan. Namun, hal itu tak lantas membuat mereka berputusasa. Di tahun 2003, Perum Perhutani mengikat perjanjian dengan TFT (Tropical Forest Trust) dalam rangka pendampingan dengan target mendapatkan Sertifikat PHL standard FSC. Soenarto menjadi ketua tim tk KPH. Kala itu, sempat terjadi perbedaan pendapat antara tim TFT, kantor Pusat dan Soenarto sendiri. “Pada awalnya memang sempat terjadi silang pendapat, terutama mengenai pemahaman standard FSC apabila diterapkan di Perhutani. Sementara kita sudah memiliki
Wide Fund for Nature (WWF). Deep assessment dilakukan kedua LSM ini terhadap sejumlah KPH terpilih, yakni Kendal, Kebonharjo, Ciamis, Madiun, Cepu, Randublatung, serta Banyuwangi Utara. Pemilihan sejumlah KPH ini nyatanya menuai hasil. Dari tujuh KPH, kini sudah lima KPH yang meraih sertifikat FSC, yakni Kebonharjo, Kendal, Cepu, Randublatung, dan Ciamis. Klasifikasi ini, menurut Petugas Khusus SISDH/SIG Perum Perhutani, Ir. Diah Djayanti, M.Sc., dilakukan agar Perhutani fokus sekaligus menemukan model proses sertifikasi. “Pertama kali kami majukan KPH Kendal dan Kebonharjo untuk mendapatkan sertifikat PHL. Kedua KPH ini menjadi model untuk proses
NO. 42 • TH. 7 • MARET-APRIL 2012
Dok. Humas PHT
Ir. Diah Djayanti, M.Sc., Petugas Khusus SISDH/SIG Perum Perhutani
Ir. Soenarto, Administratur KPH Kendal
sistem pengelolaan hutan yang sudah teruji dan bahkan menjadi percontohan pengelolaan hutan di
Indonesia,” tuturnya. Soenarto dan Didik sama-sama menyebut, ketika itu hasil penilaian atas pengelolaan hutan Perhutani berdasarkan standard FSC, terdapat tiga kategori. Sudah berjalan baik, terutama bidang SDM; perlu disempurnakan, yaitu mulai dari bidang perencanaan sampai dengan Pemasaran; dan belum dilakukan, terutama dalam hal pemantauan dan pengelolaan lingkungan atau ekologi. “Yang terpenting dari itu semua adalah, kita diajarkan bahwa dalam pengelolaan hutan harus tertib, terdokumentasikan dengan baik, terukur, terkontrol, dan terevaluasi untuk menyusun langkah-langkah perbaikan dengan tepat,” kata Soenarto. Didik Budi Purwanto menambahkan, komitmen dari berbagai pihak menjadi kunci keberhasilan meraih sertifikasi. Berbagai pihak, artinya mulai dari mandor di lapangan hingga Direktur Utama. Dalam bahasa Didik, kecakapan para petugas di lapangan dan kekuatan komitmen dari Direktur Utama menjadi sebuah simphoni yang mengiringi dinamika proses sertifikasi PHL. “Yang juga tidak kalah penting adalah dukungan dan pendampingan dari TFT dan WWF. Mereka masing-masing mempunyai peran dan kontribusi dalam menapaki kesuksesan demi kesuksesan,” ucapnya. Di mana peran sentral TFT dan WWF? “Yang jelas, TFT dan WWF mempunyai kompetensi, integritas dan kredibilitas. Dan mereka merupakan organisasi global yang dapat memberikan bantuan manakala Perhutani tidak mempunyai akses internasional yang baik. WWF dan TFT memberikan warna tersendiri dalam berkomunikasi secara baik dengan komunitas internasional. Dan saya
DUTA Rimba 37