PASTI edisi 39 (2018)

Page 1

PASTI

MENGUPAS REALITAS MEMACU PERUBAHAN


Emptiness Feeling, How Charmingful Thing it is. Anggi Wismandaru, 2018 Poster Color, Marker, Pen on Cottage Paper, 21 x 29,7 cm


WE ARE OPEN RECRUITMENT If you are interested, check out our website pastipress.com


14

30

50

60 Daftar Isi

Laporan Utama

06

Tak Ada Makan Malam di Klender

14

Senandung Sunyi Ribuan Malam

24

Narasi dari Mata Relawan

30

Derap Mahasiswa Runtuhkan Rezim

Kisah Mata

38

Kartu Pos dari Seberang Istana

Sosok

46

Menapaki Jalan Lengang Sinema Dokumenter

oleh Laurensius Bagus

oleh Gregorius Bramantyo oleh Bara Bagaskara oleh Teresia Bela

oleh Gregorius Bramantyo

oleh Christian Adi

02 | PASTI edisi 39

Ragam

50

Bintang Daud di Utara Celebes

Seni & Budaya

60

Warta Seni dari Tatar Pasundan

oleh Gregorius Bramantyo oleh Yustinus Satyagraha


38

46

74

66 Komunitas

64

Menabur Sastra Lewat GeRMO

Jalan-Jalan

66

Turi-Turi Coffee: Oase Warung Ngopi

70

Melepas Lelah di Karangwaru Riverside

74

Segenggam Ramuan Jampi

Resensi Buku

80

Menata Sejarah, Merumuskan Kenikmatan, Menikmati Identitas

Resensi Film

82

Ziarah Ingatan ke Tanah Air Buru

Sastra

84

Air Mata Batin Zulnaedi

Seni Rupa

87

PELIT

88

Ayu lan Prasojo

oleh Vaulika Rinjani & Ega Karisma Bumi oleh Damar Pratita

oleh Michelle Tjandra & Cyntia William

oleh Misericordias Domini & Leonardus Rama oleh Aloysius Bram oleh Aloysius Bram

oleh Yustinus Satyagraha oleh Silvester Wisnu oleh Silvester Wisnu

PASTI edisi 39 | 03


Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Sekretaris Umum Redaktur Senior

Laurensius Bagus Gregorius Bramantyo Teresia Bela Bara Bagaskara

Staf Redaksi

Christian Adi Damar Pratita Michelle Tjandra Yustinus Satyagraha Aloysius Bram Cyntia William Vaulika Rinjani Ega Karisma Bumi Leonardus Rama Misericordias Domini

Desainer

Gregorius Bramantyo

Kontributor

Anggi Wismandaru Silvester Wisnu

GAMBAR SAMPUL Anggi Wismandaru, Go Check The Inner Stuff. Just Do It Please, 2018

Thread, Marker, Pin, Paper Tape, Pen, Poster Color, Spray Paint, Canvas, Gauze on Cottage Paper, 21 x 29,7 cm Surat Kabar Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Berdasarkan SK Rektor UAJY Nomor 11/HP/1995. Pertama kali diterbitkan oleh Unit Penerbitan Mahasiswa UAJY. Alamat Redaksi: Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PUSGIWA) Kampus III Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 43, Yogyakarta, 55281. Email: pastipers@gmail.com Website: www.pastipress.com

Redaksi menerima surat pembaca, opini, dan ilustrasi yang dapat dikirim melalui email ke redaksi PASTI.

04 | PASTI edisi 39


EDITORIAL

PASTI Hari Ini Reformasi di tahun 1998 sudah menginjak usia dua dekade pada tahun ini, sebuah peristiwa yang cukup berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa reformasi diawali dengan banyak kerusuhan dan tragedi di Tanah Air, terutama Jakarta. Dalam memperingati usia reformasi yang sudah mencapai dua dasawarsa ini, kami mencoba mengajak merawat ingatan bahwa kebesaran sebuah bangsa bukan hanya karena bisa menghargai pahlawannya. Tapi juga bangsa yang berani mengakui lembaran hitam perjalanan kehidupan bangsanya. Di Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Tragedi Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan paksa aktivis, seperti ada cara yang sistematis untuk mengerdilkan ingatan bangsa besar ini tentang tragedi kebangsaan tersebut. Waktu dan pembiaran sepertinya akan menjadi mesin efektif untuk melunturkan ingatan soal peristiwa yang menjadi bagian perjalanan bangsa ini. Beberapa kasus tersebut adalah bagian dari fragmen tumbangnya Orde Baru. Tak ada maksud kami melebih-lebihkan tokoh yang kami liput. Sebagai objek, perjuangan mereka sama kerasnya dengan penyintas rezim Orde Baru lainnya. Tapi kami harus memilih. Narasumber di empat laporan utama kami telusuri karena kami tak bisa mengelak dari kelaziman jurnalistik: kesetiaan pada fokus dan kebutuhan untuk menetapkan angle. Mereka adalah kaca pembesar yang kami gunakan untuk melihat konteks yang lebih besar, yakni pelanggaran hak asasi manusia pada rezim Orde Baru. Empat cerita tentu tak cukup untuk melukiskan kepahitan sebuah orde. Tapi jurnalisme memang bukan kunci untuk membuka semua pintu. Selalu ada yang terlewat dari sebuah liputan media massa. Jurnalisme adalah ikhtiar dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Apresiasi setinggi langit saya berikan kepada rekan-rekan redaktur dan pihak-pihak yang telah mengupayakan terbitnya majalah ini hingga akhirnya dapat dirilis. Panjang umur semangat baik! Gregorius Bramantyo

PASTI edisi 39 | 05


LAPORAN UTAMA

06 | PASTI edisi 39


Tak Ada Makan Malam di Klender CERITA OLEH LAURENSIUS BAGUS ILUSTRASI OLEH SILVESTER WISNU

PETANG 13 MARET 1998, NEZAR PATRIA BARU SAJA PULANG DARI DEPOK. Ia adalah orang yang pertama pulang pada malam itu ke rumah kontrakannya. Nezar dan ketiga kawannya—Mugiyanto, Aan Rusdianto, dan Petrus Bima Anugrah—tinggal di Rumah Susun Klender Blok 37 No. 7 lantai II, Jakarta Timur. Mereka adalah penghuni baru di sana, baru sekitar sepuluh hari. Tepatnya mulai 28 Februari 1998. Mereka semua adalah anggota Serikat Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), organisasi afiliasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hidup dalam perburuan aparat rezim Orde Baru. Setelah gagal menuding PRD sebagai “dalang” peristiwa itu, rezim Soeharto tetap menyalahkan PRD sebagai organisasi yang tidak sah karena menggunakan Pancasila bukan sebagai asas, melainkan Sosial-Demokrasi Kerakyatan. Walaupun tak ada maksud sedikitpun dari PRD untuk anti Pancasila—justru memberikan tekanan khusus dari orientasi nilai Pancasila pada azas SosialDemokrasi Kerakyatan—namun kediktatoran Soeharto tetap saja memenjarakan para pimpinan PRD serta setahun kemudian melarang PRD dan juga SMID sebagai salah satu organisasi yang berafiliasi dengannya. Dalam kondisi seperti itu, para anggota SMID tetap bergerak walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Rumah kontrakan mereka di Klender memang sepi kalau siang hari karena mereka rata-rata punya aktivitas di luar rumah penuh seharian. Bukan cuma aktivitas yang berkaitan dengan politik, namun juga melakukan pekerjaan untuk dukungan finansial—menterjemahkan dan menulis artikel. Sepuluh menit setelah Nezar tiba di rumah, Aan pulang. Mereka menjerang air untuk membuat minuman. Saat itulah terdengar pintu diketuk oleh seseorang. Aan membuka pintu. Empat orang bertubuh tegap dan menggunakan penutup kepala dari wol berdiri di depan pintu. Aan memanggil Nezar yang

PASTI edisi 39 | 07


masih berada di dapur, karena tamu itu tak dikenal olehnya. Nezar melihat salah seorang langsung masuk ke dalam dan memegang lengan Aan. Nezar bertanya mereka siapa dan ada keperluan apa yang langsung dibalas oleh sebuah bentakan, “Jangan banyak tanya, mari ikut kami!”. Aan dicengkeram oleh dua orang yang langsung menggiringnya keluar. Demikian juga Nezar. Ia mencoba meronta, tapi seseorang yang mengapit di sebelah kanannya langsung mencabut pistol jenis semi otomatis. Orang itu berjaket hitam, bercelana jins, dan menggunakan penutup kepala (seperti topi wol pendaki gunung warna hijau). Pistol itu ditodongkan ke perut Nezar. Sementara, seseorang yang mengapit di sebelah kirinya langsung memborgol kedua tangannya. Para tamu misterius itu menggiring Nezar dan Aan dengan paksa menuruni tangga rumah susun (rumah mereka di lantai dua). Mereka berdua dimasukkan ke dalam jip yang langsung meluncur kencang. Di dalam mobil, mata mereka langsung ditutup dengan kain hitam dan ditambah lagi dengan penutup kepala dari wol hitam. Mereka berdua duduk di tengah. Sementara di kedua sisi diapit oleh dua orang. Masing-masing tangan mereka diborgol bergandengan. Tangan kanan Nezar dengan tangan kiri Aan diborgol jadi satu, sementara kedua tangan yang lainnya diborgol bersama dengan tangan orang-orang tak dikenal itu. Mobil itu ber-AC. Sebelum mata Nezar ditutup, ia sempat melihat dua orang duduk di depan, seorang berfungsi sebagai supir dan seorang lagi duduk di sampingnya. Semua kaca mobil tertutup rapat. Musik diputar cukup keras, sehingga ia tak mendengar suara bising lalu lintas di sepanjang perjalanan. Di dalam Jip itu seseorang menanyakan nama dan apa aktivitas mereka selama ini. Setelah Nezar menyebut nama dan kegiatannya, seseorang menyela “Aktivis SMID, kita nggak salah tangkap!”. Tak ada percakapan lagi setelah itu. Nezar berpikir keras menduga siapa yang menangkapnya. Jelas, mereka bukan orang biasa. Mereka cukup profesional dan sikapnya keras serta dingin. Ia berdoa dan berdzikir, tak bisa menerka arah dan jalur mana yang ditempuh oleh mereka. Namun, Nezar mencermati selama perjalanan itu, kaset musik sempat berganti side. Jadi kurang lebih satu jam. Setelah itu ia merasa mobil berhenti di satu tempat, dan terdengar seseorang melakukan komunikasi dengan radio. Terdengar tanda panggil, “Merpati, Merpati!” Namun ia tak mendengar balasannya. Kelihatannya mobil telah tiba di tempat tujuan, dan sedang menunggu konfirmasi izin untuk masuk. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, mobil meluncur ke sebuah bangunan. Nezar dan Aan diturunkan dengan mata tertutup dan tangan terborgol. Kaki Nezar yang telanjang terasa menginjak 08 | PASTI edisi 39

rumput, lalu tanah berpasir dan kemudian lantai tegel. Mereka digiring masuk ke sebuah ruangan. Ketika masuk ke dalam ruangan yang ber-AC itu, mereka langsung dipisah, walaupun masih dalam satu ruangan. Nezar merasa banyak orang yang berada dalam ruangan tersebut mengelilinginya dan juga Aan. Celana Nezar dibuka dengan paksa sehingga tinggal celana dalam dan baju kaos saja. Ia langsung didudukkan pada sebuah kursi lipat, borgol dibuka namun sebelah tangannya diborgol pada besi kursi. Ia merasa berhadapan dengan sebuah meja dan ada seseorang di seberang sana melontarkan pertanyaan dengan cukup keras, “Sebagai Sekjen SMID kamu pasti tahu di mana Andi Arief. Katakan segera di mana dia sekarang!”. Nezar menjawab tidak tahu persis di mana Andi Arief berada, karena ia bertemu terakhir dengan dia di Yogyakarta sekitar setengah tahun sebelumnya. Mendengar jawaban itu, mereka segera menghajar Nezar. “Bangsat, pembohong!” kata salah seorang. Lalu Nezar merasakan sebuah pukulan keras di rahangnya diikuti dengan puluhan pukulan lain. Mereka mengulangi pertanyaannya, dan jawaban Nezar tetap sama. Lalu Nezar mendengar ada suara perintah untuk mengambil alat setrum. Sebuah benda terasa menempel di betis dan pahanya, dan sebuah aliran listrik yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh Nezar. Ia berteriak “Allahu akbar!” sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Aliran listrik itu menyerang bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang dudukinya bergeletar. Ia merasa sebuah tendangan keras menghantam dadanya hingga terjengkang ke belakang dan kursi lipat yang didudukinya jadi ringsek. Setelah mengganti kursi yang lebih kuat, mereka kembali mengulang pertanyaan tersebut. Nezar dalam keadaan setengah sadar, lalu mengatakan bahwa Andi Arief berada di Lampung. Tempat persisnya tidak tahu, mungkin saja di rumah orang tuanya. DI MALAM YANG SAMA, MUGIYANTO BARU SAJA selesai menghadiri pertemuan dengan organisasi solidaritas untuk Timor Leste di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dia mewakili SMID untuk mengurus bidang hubungan internasional. Tidak ada yang janggal saat dia pulang menaiki angkutan umum dari Menteng ke Rusun Klender. Terlebih satu jam sebelumnya, Nezar Patria menjawab telepon Mugi, sapaan akrab Mugiyanto, soal makan malam yang dibawa Mugi. Malam itu adalah malam yang biasa bagi Mugi sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sedang berada di Ibu Kota. Turun dari angkutan umum, sekitar pukul 20:15 WIB ia berjalan menuju rumah. Ibu-ibu sedang duduk di tangga naik ke kontrakan dan dia meminta


permisi untuk lewat. Mugiyanto mengetuk pintu berkali-kali. Seharusnya rekan-rekannya ada di dalam rumah. Keanehan baru mulai terjadi ketika Mugi mengetuk pintu dan tidak ada jawaban. Dia menoleh ke arah ibu-ibu yang sedang berkumpul tadi, namun mereka bubar secara serempak. Pintu terus diketuk, justru tetangga sebelahnya yang keluar, seorang perempuan yang masih muda, lantas berkata pada Mugi, “Temannya lagi keluar, mas. Sebentar lagi katanya akan balik.” Mugi lantas merogoh sakunya, ternyata ia membawa kunci rumah cadangan. Ia lalu membuka pintu dan masuk ke ruangan yang gelap, semua lampu mati kecuali lampu kamar yang masih menyala. Ia menyalakan lampu dan menemui beberapa kejanggalan. Gagang telepon tidak pada tempatnya, laptop dan tas yang berisi buku serta barang cetakan yang biasa berantakan di lantai hilang tidak pada tempatnya. Di dapur masih ada seplastik buah jeruk untuk minuman dan segelas air yang masih hangat. Mugi mengira rekan-rekannya sedang pergi keluar. Ia lantas mengirim pesan singkat melalui pager kepada Nezar Patria untuk segera pulang dan makan. Namun nihil, pesannya tidak mendapat balasan. Mugi dan rekannya memang menjadi buron aparat karena jaket aktivis yang melekat di dirinya. Terlebih pada masa itu, organisasi mahasiswa yang kontra dengan pemerintah adalah hal terlarang untuk dijalankan. SMID saat itu dituding sebagai dalang peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 yang pecah di markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro. Mengetahui ada yang tidak beres malam itu, Mugi berniat untuk pergi meninggalkan kontrakan. Dia memasukkan beberapa barang penting ke dalam tasnya sebelum menengok ke luar jendela guna memastikan semua aman. Malam yang tenang berubah menjadi salah satu malam yang paling menakutkan di hidupnya. Beberapa orang berbadan besar dan tegap ternyata sudah menunggu di luar kontrakan. Dia melihatnya dari jendela rumah di lantai dua. Sebelum dia keluar, pintu sudah diketuk dan orang di luar meminta untuk dibukakan pintu. Tidak ada jalan keluar lagi untuk Mugi, kecuali melompat keluar jendela dan itu sama saja bunuh diri. Mugi membuka pintu, sekitar sepuluh orang masuk ke dalam rumahnya. Dari kesaksiannya yang tertulis dalam Dokumen PRD, empat di antaranya berpakaian seragam hijau dan membawa handy talky dan yang lainnya berpakaian preman, termasuk dua orang tua berpeci yang ia kira adalah perangkat kelurahan. Setelah diperiksa, Mugi diseret keluar dan dimasukkan ke dalam mobil. Dia duduk di belakang sopir dan diapit oleh beberapa orang yang menjemputnya.

CNN Indonesia pernah menggambarkan situasi Mugi saat itu. Tulisan yang terbit di tahun 2016 itu menceritakan bagaimana Mugi ketakutan saat diseret oleh orang yang tidak dikenalnya. Tidak ada pikiran untuk menyantap makanan yang baru saja dibawanya, bahkan belum sempat dibuka. Hanya kematian yang mendekapnya erat di malam yang dingin, serta suara lalu lintas yang terdengar lirih dari dalam mobil yang membawanya. Sekitar 15 belas menit perjalanan, dia ternyata dibawa ke Komando Rayon Militer Duren Sawit, Jakarta Timur. Di situ Mugi diinterogasi dengan dijejali berbagai macam pertanyaan. Di tengah ketakutan Mugi yang sedang diperiksa, datang anak muda yang baru saja ditangkap. Pemuda itu mengaku bernama Jaka, tinggal di Cipinang, tidak jauh dari kontrakan Mugi. Pemuda itu marah-marah kepada petugas karena tidak tahu apapun namun ditangkap. Jaka mengancam akan melaporkan petugas kepada keluarganya yang merupakan petinggi ABRI saat itu, namun malah ditendang oleh orang yang menginterogasinya. Tidak lama mereka berada di Koramil Duren Sawit. Hanya sekitar belasan menit untuk diinterogasi. Mereka kemudian dinaikkan ke kendaraan bak terbuka dengan tangan diborgol dan diapit oleh petugas berseragam lengkap di kanan dan kiri. Mereka dibawa ke Komando Distrik Militer Jakarta Timur. Sampai di sana, ada seorang berbadan tegap yang memakai baju batik ditemani oleh dua orang berpakaian dinas militer. Seseorang berbaju batik itu berteriak kepada polisi militer yang membawa Mugi dan Jaka untuk segera menurunkan mereka. “Kalian menghormati saya tidak?! Ayo segera turunkan mereka!” katanya dikutip dari kesaksian Mugiyanto di Dokumen PRD yang ditulisnya. Setelah beberapa saat, akhirnya borgol Mugi dibuka dan dia diturunkan bersama Jaka. Mereka lalu dibawa ke ruang tamu Kodim yang hanya sebentar dan tidak ditanyai apapun, mereka disuruh keluar lagi. Saat keluar, Jaka menggandeng Mugi dan berbisik, “Mugi, kamu selamat, kita pulang ke rumahku,” kata Jaka kepada Mugi yang masih ketakutan. Mugi masuk ke mobil lainnya. Dia diapit oleh lima orang. Mereka menyuruh Mugi membuka bajunya dan digunakan sebagai penutup mata. Di situ Mugi menyadari bahwa ia sedang diperebutkan oleh kelompok militer saat itu. Memang, beberapa kelompok militer sedang bersaing mencari para aktivis untuk mendapat prestise dari Soeharto pada masa itu. Entah dari kelompok Wiranto, Prabowo, atau kelompok lainnya. Penyanderaan belum berakhir, di sinilah masa kelam Mugianto dimulai. Dia ditutup matanya dan dibawa ke suatu tempat. Tidak ada yang bisa dia lihat. Dia hanya mendengar suara kendaraan lain PASTI edisi 39 | 09


Mugiyanto di kantornya, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jakarta Selatan. (Foto: Laurensius Bagus)

di luar, suara lalu lintas seperti musik kelam yang dimainkan di sebuah orkestra di dalam gedung. Ketakutan masih menghantui dirinya. Dia bisa saja mati sewaktu-waktu, tergantung takdir akan mengeksekusinya. Di dalam kendaraan, mereka tidak banyak tanya tentang aktivitas Mugi, namun mereka lebih banyak berbicara tentang mereka sendiri. Mereka bilang bahwa mereka adalah kelompok mafia yang bisa melakukan apa saja, pada siapa, dan untuk siapa saja asalkan ada uang. Mereka memegang pistol yang kadang menodongkannya pada Mugi dan handy talky yang selalu digunakannya untuk berkomunikasi dengan yang lain. Sandi-sandi yang mereka sebut adalah ‘Elang’, ‘Harimau’ dan ‘Rajawali’. Berselang satu jam, orang yang membawa Mugi memintanya turun. Mereka meminta agar dia melepas sepatu dan celananya. Udara dingin menampar tubuh Mugi, dia seperti berada di luar ruangan saat itu. Di tempat inilah penyiksaan kepada Mugi akan dimulai. Di tempat yang dingin dan tidak bisa dia lihat. Ia hanya bisa mendengar suara orang berbisik. Kadang-kadang ia mendengar suara cambuk dan raungan seseorang seperti alarm mobil. Kemudian ia dipukul berulang kali di perut dan di muka sampai terjatuh. Mugi ditidurkan terlentang di atas sebuah tempat tidur lipat dari terpal. Kedua kakinya 10 | PASTI edisi 39

diikat pada tempat tidur itu. Setelah itu interogasi dimulai. Interogasi tidak ditemani dengan teh manis dan pisang goreng hangat, tetapi alat setrum yang sesekali dinyalakan dan ditempel di seluruh bagian kakinya, terutama di bagian sendi lutut. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan kepada Mugi adalah soal identitas sahabatnya, Nezar dan Aan. Di tengah interogasi, Mugi mendengar jeritan dengan suara yang tidak asing baginya. Dia sadar, itu adalah suara Nezar dan Aan yang ternyata berada di tempat yang sama. Mereka menikmati malam yang sama, tidak untuk makan malam, tetapi disiksa oleh aparat yang sudah lama memburu aktivis yang menentang pemerintah. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah mengenai keterlibatan Mugi dalam kerja dan struktur organisasi PRD, nama Mirah Mahardika sebagai koordinator KPP-PRD, dan terutama tentang posisi Andi Arief. Setelah disetrum berkali-kali, Mugi menjawabnya dengan jawaban bahwa ia baru saja di Jakarta sehingga saya tidak tahu banyak tentang halhal tersebut. Juga bahwa selama ini kalau ketemu yang lain, mereka berhubungan melalui seorang kawan yaitu Bimo Petrus (sapaan akrab Petrus Bima Anugrah), jadi Mugi tidak tahu nama dan posisi kawan-kawan yang lainnya. Kemudian mereka memberondong Mugi dengan pertanyaan-pertanyaan


tentang Andi Arief dan Bimo Petrus dengan setruman berkali-kali. Mengenai Andi Arief, Mugi menjawab bahwa setelah Peristiwa 27 Juli 1996 dan ia lulus dari UGM, ia jarang ketemu dengan Andi Arief. Namun karena rumahnya di Lampung, Mugi bilang bahwa Andi Arief di Lampung sebagaimana kawan-kawan bilang pada Mugi. Namun mereka tidak percaya dengan berkata, “Dia tidak ada di sana. Berapa sih luasnya Lampung. Saya telah mencarinya di setiap jengkal tanah di Lampung�. Mereka terus dan tetap memaksa Mugi untuk mengatakan tentang di mana dan bagaimana menangkap Andi Arief, namun Mugi menjawabnya dengan jawaban yang sama. Untuk hal itu mereka menggunakan cara-cara kekerasan dengan cara menyetrum dan juga dengan cara halus dengan merayunya. Jawaban Mugi tetap sama. Selama dua hari di tempat penyiksaan, Mugi hanya keluar untuk buang air kecil dan difoto. Jarak dari tempatnya sampai kamar mandi sekitar 25 meter jalan dengan mata masih ditutup dan selalu ditemani petugas. Dia tidak bisa melihat apa-apa, tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas bentuk ruang tempatnya disiksa. Yang dia tahu, dia masih bersama Nezar Patria dan Aan Rusdianto. Penutup matanya dibuka hanya sekali saat difoto, namun seseorang yang mengambil fotonya menggunakan penutup kepala, sehingga dia tidak bisa memperhatikan wajah orang itu dengan jelas. Selama dua hari dua malam itu, Mugi masih bisa mendengar suara Aan dan Nezar. Selama proses interogasi berlangsung, suara lain yang dia dengar tetaplah alat setrum yang dapat sewaktu-waktu menempel di tubuhnya. Suara mengerikan itu hanya berhenti saat dia disuruh tidur. Ia mengira waktunya adalah tengah malam dan sudah tidak diinterogasi lagi. Hari Minggu, 15 Maret 1998, Mugi dibawa ke Polda Metro Jaya. Penutup matanya mulai dibuka. Ia diminta memakai baju dan masuk ke sel isolasi. Satu sel diisi satu orang, kali ini Mugiyanto, Nezar Patria dan Aan Rusdianto berada di ruang tahanan yang berbeda. Lelaki Tua di Kejauhan Akhir Maret 1998 kira-kira pukul sembilan pagi, seorang lelaki tua mengunjungi Mugi. Selama ditahan, Mugi merasa tidak akan ada yang berani mengunjunginya, termasuk rekannya sesama aktivis. Rasa penasaran membayangi Mugi ketika petugas yang berjaga menyuruhnya untuk menemui orang tersebut. Mugi keluar dari sel, dia berjalan menuju sebuah lorong. Di ujung lorong yang panjang, ia melihat seorang lelaki tua dari kejauhan yang ternyata

adalah ayahnya. Air matanya keluar di sela-sela pertemuan itu. Mugi menangis karena merasa bersalah telah membuat keluarganya kerepotan. Mulut Mugi seperti membisu tidak bisa mengatakan apa-apa, dia hanya diberi waktu 30 menit untuk bertemu dengan ayahnya. Selama itu, hanya ayahnya yang berbicara untuk menguatkan Mugi dan memberi kabar kalau semuanya pasti akan baik-baik saja. Udara Segar Sang Aktivis Memasuki Bulan Mei, udara semakin berat bagi Indonesia. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Teriakan para demonstran seolah menjadi musik bagi negara ini. Dari balik penjara, Mugi menyaksikan semua gejolak dari layar televisi. Ratusan orang ditangkap dan dijebloskan di dalam penjara bersamanya. Sejak saat itu, Mugi tidak lagi diisolasi, dia digabung bersama tahanan-tahanan yang lain saat itu, termasuk tahanan kriminal. Tepatnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto yang menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia melepas jabatannya. Kabar itu sampai ke telinga Mugi dan aktivis lain yang berada di dalam tahanan. Mereka meluapkan kegembiraan dengan berteriak seperti pendukung sepak bola yang timnya baru saja lolos dari fase degradasi. Lagu-lagu pergerakan berkumandang di dalam penjara, semua beban yang mereka tanggung lenyap sedikit demi sedikit, menjadi peluh kemenangan. Setelah peristiwa itu, tahanan politik dibebaskan. Termasuk Mugiyanto, Nezar Patria, dan Aan Rusdianto, juga rekan sesama aktivis mahasiswa. Beberapa teman dekat Mugi masih hilang sampai saat ini, termasuk Bimo Petrus yang merupakan teman dekat Mugi sekaligus teman satu kontrakannya di Rusun Klender. Orang-orang yang hilang tersebut sampai saat ini masih belum diketahui keberadaanya. Setelah semua berlalu, Mugi menuliskan kesaksiannya di Dokumen PRD pada 8 Juni 1998. Mugiyanto, Bimo Petrus dan Tempe yang Belum Terlalu Matang Zaman sudah berganti, namun Mugi belum sepenuhnya tenang. Selesai peristiwa mencekam yang mengisi kehidupan pria asal Jepara ini, dia memutuskan untuk bergabung dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Dia mengadvokasi keluarga rekan-rekannya yang masih menjadi misteri. Salah satunya adalah keluarga Bimo Petrus. Bimo Petrus adalah teman dekat Mugi saat menjadi aktivis. Dia diculik saat berada di Rusun Klender tempat mereka tinggal. Mereka tinggal bersama dan berpindah dari satu tempat ke tempat PASTI edisi 39 | 11


lain. Salah satunya tinggal di Palmerah, Jakarta Barat sebelum diculik di hunian terakhirnya. “Di masa-masa pengejaran, itu kan kami pindah dari satu tempat ke tempat lain, sebulan, sebulan, sebulan, gitu kan. Sebelum di Rusun Klender, kami sempat di Palmerah, tiap pagi kami sama Bimo Petrus,” ujar Mugiyanto mengenang masa itu. Dia mengenang masa-masa di mana mereka sarapan bersama di dekat kantor Kompas. Kembali ke dua puluh tahun yang lalu, ia dan Bimo Petrus menikmati tempe goreng yang belum terlalu matang digoreng dengan sangat enak. Mereka sangat menyukainya. “Sarapan di dekat Kompas itu, makan tempe goreng. Tempenya enak sekali menurut kami, tempe yang belum terlalu matang, belum terlalu jadi lalu digoreng, enak sekali. Tapi kok sekarang nggak ada,” kenang Mugi. Saat di KontraS, ia bertemu dengan beberapa keluarga korban penculikan pada masa itu, salah satunya adalah Utomo Rahardjo, ayah Bimo Petrus. Mugi merasa ada tanggung jawab yang besar di pundaknya. Dia membayangkan perasaan ayah Bimo Petrus seperti perasaan ayahnya saat dia dipenjara. Berbagai macam perasaan campur aduk di dalam hatinya, mulai dari perasaan bersalah hingga kesedihan melihat keluarga rekannya. KontraS saat itu masih sangat sibuk. Mengurus berbagai macam urusan tidak hanya soal penghilangan aktivis. Akhirnya, dengan inisiatif Mugi, ia mengusulkan untuk menghidupkan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Ia rela melepaskan pekerjaannya sebagai jurnalis di stasiun televisi Belanda untuk hal ini. Mugi terus mengkonsolidasikan IKOHI. Walaupun kesulitan ekonomi, dia terus berpegang pada niat baiknya. Dibantu istri yang berjualan buku ke seminar-seminar dan beberapa tempat lainnya, akhirnya IKOHI berhasil melaksanakan kongres yang pertama di Ragunan, Jakarta Selatan. KontraS bisa menghadirkan korban dari Aceh sampai Papua dan Mugi diangkat menjadi ketua. Ia terus melakukan advokasi dengan menuntut keadilan. Jaket Aktivis Sudah Dipakainya Sejak Lama Sebelum peristiwa penculikan terjadi, Mugiyanto sudah memiliki jiwa aktivis sejak lama. Dia bercerita soal kisahnya dari awal mulai peristiwa yang membuatnya peka akan ketidakadilan. “Saya menjadi aktivis pada masa itu, melalui proses yang panjang dari satu ke proses-proses berikutnya. Semuanya semakin menguatkan saya, bahwa memang saya harus menjadi aktivis. Dalam 12 | PASTI edisi 39

artian voicing against injuctices, voicing against any undemocratic rules begitulah intinya,” ungkap Mugi saat ditemui di tempatnya bekerja. Ia kini bekerja di International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Tugas kemanusiaan masih diembannya hingga saat ini. Salah satu hal yang mendorongnya menjadi aktivis dan mungkin adalah cikal bakal peristiwa mencekam yang dialaminya, dimulai saat dia masuk ke dunia perkuliahan. Mugiyanto berasal dari Jepara, sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Ia merupakan satu-satunya orang yang mempunyai gelar mahasiswa di kampungnya, Dermolo, Kecamatan Kembang. “Waktu itu saya satu-satunya mahasiswa di kampung saya, apalagi di UGM. Ketika saya SMA, saya tidak membayangkan bisa kuliah apalagi di UGM karena latar belakang orang tua yang tidak mampu. Ayah saya kerja di perkebunan karet waktu itu,” kata Mugi. Saat itu tahun 1992, orang tua mahasiswa dikumpulkan di auditorium Fakultas Sastra. Mugi mengantar ayahnya menghadiri acara tersebut. Saat itu, Mugi hanyalah anak yang baru saja lulus dari sekolahnya dan akan menjalani kehidupan yang baru sebagai mahasiswa. Paguyuban Orangtua Mahasiswa (POTMA) dibentuk oleh instansi perkuliahannya. Ia bercerita kalau ada yang aneh saat pertemuan itu berlangsung. Ternyata selesai pertemuan itu, para orang tua dimintai sumbangan sukarela. “Katanya disuruh nyumbang sukarela, kalau sukarela tapi ada angkanya di situ,” jelas Mugi. Menurutnya, pertemuan itu seperti sudah diatur dan hanya berisi testimoni-testimoni oleh pejabat. Testimoninya adalah, menekankan kepada POTMA untuk berkontribusi melalui uang. Mugi melihat ada yang tidak beres saat itu. “Terus iki piye to? (Lalu ini bagaimana?),” ujar Mugi menirukan ucapan ayahnya saat itu. “Sudah, nggak usah dibayar, Pak. Kita tidak punya uang karena ini sukarela, nanti biar saya yang urus,” kata Mugi, mengenang ucapannya saat itu. Di sinilah jiwa aktivis Mugi mulai tumbuh. Dia melihat hal ini sebagai ketidakadilan. Ternyata, tidak hanya Mugianto yang merasakan hal serupa. Teman seangkatannya juga merasakan hal yang sama. Dibantu oleh mahasiswa senior Fakultas Sastra pada saat itu, mereka mulai mendiskusikan hal ini. Berangkat dari pers mahasiswa, mereka mulai menuliskan aspirasinya di selembar kertas. Isinya berupa fakta-fakta yang terjadi dan tuntutan mereka atas ketidakadilan tersebut. “Kita tulis fakta-fakta dan kita tulis tuntutan kita apa dan supaya selebarannya punya otoritas kita


kasih nama. Kita bentuk yang namanya SMS (Solidaritas Mahasiswa Sastra), itu langsung rame di fakultas,” kenangnya. Di sebuah kantin yang selalu ramai, Mugi berdiskusi dengan teman-temannya. Kantin itu dikenal dengan nama “Bonbin”. Mugi mulai terjun ke dunia kritik dimulai dari tempat ini. Tidak hanya dengan mahasiswa sastra tetapi sudah merambat dengan mahasiswa fakultas lain seperti Filsafat, Hukum, dan Fisipol. Mereka ternyata juga menyadari bahwa ada kisah dan ketidakadilan yang sama terjadi di sekitar. Mugi mulai melihat bahwa ternyata kasus ini bukan hanya kasus lokal di Fakultas Sastra saja, namun sudah menjadi kasus universitas. Menurutnya, POTMA dan ketidakadilan bisa terjadi karena tidak ada kritik di dalamnya. Atas dasar kesamaan visi, akhirnya Mugi dan mahasiswa lain membentuk Dewan Mahasiswa (DEMA). Di ingatannya, DEMA diketuai oleh Ari Sarjito pada saat itu. Organisasi ini dilarang di tempatnya menempuh pendidikan. Mereka mulai membaca, mengidentifikasi persoalan dan menemukan bahwa persoalan tidak hanya di tingkat universitas saja, melainkan sudah masuk dalam isu nasional. Hal ini didasari karena kebebasan berekspresi dan berorganisasi dilarang oleh negara, serta mereka mulai mengetahui soal disfungsi ABRI dan intelijen yang mulai memasuki kampus. “Kita ngomong soal disfungsi ABRI, kita ngomong tentang Lima Undang-Undang Politik waktu itu. Kemudian kita berjejaring lebih luas tidak hanya di UGM tapi di Jogja dengan mahasiswa universitas lain,” ujarnya. Peristiwa inilah yang kemudian melatarbelakangi terbentuknya SMID. Sebelumnya sempat terbentuk Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta (SMY), namun karena semakin lebar, maka SMID terbentuk. Di saat yang sama, secara pararel di tahun 1994, Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) terbentuk dan diketuai oleh Sugeng Bahagyo. “Jadi kami secara teoritik matang. Dari bacaan diskusi tadi, kita mampu menganalisa persoalan ada yang tidak beres harus bagaimana, kemudian kami aksi. Yang hebat juga adalah kemudian kami turun ke masyarakat, untuk menunjukkan ketidakadilan agar jelas,” kata Mugiyanto.

untuk kembali ke UGM pada tahun 2004 namun ditolak. Saat ini ia berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Terbuka, selain bekerja di lembaga swadaya masyarakat. Mugi masih terus memikirkan soal rekan-rekannya yang belum ditemukan. Ia keluar dari stasiun televisi Belanda dan mengabdikan dirinya pada Indonesia. Rekan-rekannya yang hilang masih menjadi sorotan utama di hatinya. Keluarga korban adalah harta yang berharga baginya. Ketidakadilan bagi mereka masih terus dipikirkan oleh lelaki yang sedikit berisi dan berwajah bulat ini. Dua puluh tahun sudah berlalu dan semua itu pernah terjadi. Mugi menekankan bahwa tidak boleh hanya berhenti pada peringatan. Semua ketidakadilan ini harus terus diingatkan. Sembari sedikit menggebu dan hujan yang masih mengguyur di luar, ia mengatakan bahwa ketidakadilan berbeda pada setiap korban tetapi ada satu yang sama, yaitu keberadaan mereka. “Tidak mungkin dilupakan, dan tidak boleh dilupakan, terutama belum pernah ada kesepakatan resmi oleh negara yang mengutuk peristiwa ketidakadilan ini, pemerintah belum pernah menganggap peristiwa ini sebagai sebuah kejahatan, jadi harus terus menerus diingatkan,” tegas Mugi.

Di mana Mereka? Hujan sedang turun di luar Kantor INFID dan hari mulai petang. Mugiyanto masih terus bercerita soal organisasi yang diikutinya. Mulai dari aksi di lapangan dan dihajar oleh aparat, hingga pengalamannya mengorganisir buruh di Surabaya tahun 1995. Ia sempat meninggalkan kuliahnya demi dapat membela keadilan di masyarakat. Mugi pernah berniat PASTI edisi 39 | 13


LAPORAN UTAMA

14 | PASTI edisi 39


Senandung Sunyi Ribuan Malam

â–¶

CERITA & FOTO OLEH GREGORIUS BRAMANTYO

Potret Wawan, korban Tragedi Semanggi I. (Foto: Gregorius Bramantyo)

PASTI edisi 39 | 15


MARIA KATARINA SUMARSIH MASIH INGAT BETUL masakan yang ia buat pada Jumat pagi, 13 November 1998 di rumahnya, Meruya, Jakarta Barat. Istri Antonius Maria Jamari Arief Priyadi itu memasak empal dan sayur asam untuk keluarganya. “Wawan suka sayur asam, dengan lauk empal,” kata perempuan kelahiran Rogomulyo-Susukan, Semarang, Jawa Tengah ini. Ternyata, Wawan tak sempat mencicipi masakan ibunya. Bukannya ia tak mau atau melewatkan kesempatan itu. Pria bernama lengkap Bernardinus Realino Norma Irmawan itu ambruk di pelataran kampus. Sebutir timah panas menembus dada kirinya. Ia menjadi korban dalam sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Semanggi I. PETIR SEAKAN MENYAMBAR KALA WAWAN BERBINcang dengan sang ibunda hari itu. Sumarsih tersentak saat mendangar ‘curhatan’ anaknya soal daftar lima besar mahasiswa target pembunuhan aparat pada November 1998. “Bu, mosok, Bu, tadi ada temen kasih tahu ke Wawan, kalau Wawan itu masuk urutan nomor satu dari lima daftar mahasiswa yang akan dihabisi, Bu,” ucap Wawan. “Dihabisi? Apa artinya?” ujar Sumarsih balik bertanya. “Ya mau dibunuh, Bu,” jawab Wawan. “Ah yang bener? Serem banget. Wawan tahu dari mana daftar itu?” timpal Sumarsih, yang saat itu berusia 55 tahun. “Dari teman Wawan, Bu. Dia dapat daftar itu dari intel. Sekarang kan semua kampus ada intel yang disuruh kuliah,” Wawan menjelaskan. Hati Sumarsih mencelos. Ia panik. Mencemaskan keselamatan anak bujangnya. Sumarsih, yang bekerja sebagai pegawai di Sekretariat DPR RI, bukannya tak tahu situasi saat itu sedang panas. Unjuk rasa tak juga surut. Padahal Soeharto telah tumbang beberapa bulan sebelumnya. Putranya, Wawan, ikut ambil bagian dalam demonstrasi itu. Tahun 1997-1998, menjelang kejatuhan Soeharto, Gedung DPR yang juga kantor Sumarsih, menjadi target demonstrasi masif mahasiswa, termasuk Wawan. Gedung itu dijaga ketat oleh polisi dan tentara bersenjata. Di pintu gerbang DPR hingga Lapangan Tembak Senayan, drum dan kawat berduri diletakkan berjejer, membentuk pagar. Sumarsih yang penasaran, pernah bertanya apa isi drum-drum bertuliskan “Pomdam Jaya” itu. “Isinya air beracun, Bu,” kata salah seorang personel keamanan, seperti ditirukan Sumarsih. Heran, Sumarsih kembali bertanya, “Untuk apa?” 16 | PASTI edisi 39

“Ya untuk menangani mahasiswa,” jawab si petugas. Jawaban itu kian menegaskan keresahan Sumarsih. Ia tak henti memanjatkan doa untuk putra-putrinya. “Tuhan Yesus, lindungilah anak-anak saya di tempat mereka berada. Lindungilah mereka dari kekerasan negara,” bisik Sumarsih mendaraskan doa begitu tahu demonstran berhadapan dengan aparat bersenjata peralatan perang. Masuk bulan November 1998, Jakarta kembali genting. Kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 rupanya tak membuat massa demonstran sepenuhnya puas. Sang suksesor, Bacharuddin Jusuf Habibie, dianggap gagal oleh sebagian pihak untuk memenuhi tuntutan Reformasi. Dan sebagian mahasiswa kembali turun ke jalan. Keadaan makin tegang seiring rencana Sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1998. Pada titik ini, ironi menghampiri Sumarsih dan sang putra, Wawan. Kala Sumarsih sebagai staf DPR sibuk mempersiapkan Sidang Istimewa MPR di gedung parlemen, Wawan justru turun ke jalan menolak agenda Sidang Istimewa tersebut. Ia bagian dari massa demonstran. Melihat unjuk rasa besar terjadi, Kepolisian dan ABRI memperketat penjagaan, mengerahkan personel hingga 15.000 tentara. Jakarta siaga demi pengamanan Sidang Istimewa MPR November 1998. Sebagai mahasiswa yang giat berunjuk rasa, Wawan merasa terancam, namun tak mau mundur. Ia berupaya mengantisipasi kemungkinan terburuk. Ia berusaha mengantisipasinya dengan meminta dibelikan rompi anti peluru. “Bu, Wawan minta beli rompi anti peluru ya? Harganya Rp 150 ribu. Soalnya kan temen-temen Wawan pada punya rompi anti peluru semua, Bu,” kata Wawan. Gayung bersambut, Sumarsih yang khawatir dengan keselamatan anaknya langsung memberikan uang sebesar Rp 200 ribu untuk membeli rompi anti peluru. “Saya khawatir karena saat itu Wawan kan katanya mau ‘dihilangkan’ itu, makanya saya kasih. Terus juga di sekitar kampus Atma Jaya kan banyak tank, terdengar tembakan terus tiap hari, tentara pakai senjata-senjata, peralatan berat untuk perang ada di situ,” kata Sumarsih. Masalahnya, toko kehabisan stok rompi anti peluru saat itu. Sebagai gantinya, Wawan justru membeli jaket kulit biasa seharga Rp 200 ribu. Wawan yang masuk kampus mulai Juli 1996, menjadi mahasiswa bersamaan dengan situasi Indonesia yang memanas. Krisis moneter berujung turbulensi politik, dan Wawan tak duduk anteng di bangku perkuliahannya—Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.


Maria Katarina Sumarsih memegang potret anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), korban Tragedi Semanggi I, di rumahnya, Meruya, Jakarta Barat. (Foto: Gregorius Bramantyo)

Sejak peristiwa gawat di penjuru Jakarta yang juga membuat empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak pada 12 Mei 1998, Sumarsih sudah was-was. Sebab Wawan tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) yang mendampingi korban kekerasan. Benak Sumarsih kerap dibayangi tragedi Trisakti, resah jika satu saat Wawan harus berdiri di garis depan ketika demonstrasi merebak. Wawan tak cuma minta dibelikan rompi anti peluru, tapi juga ponsel untuk mempermudah komunikasi. Meski uang untuk membeli rompi anti peluru diberikan Sumarsih, ponsel tidak. “Karena saya bisa berkomunikasi dengan Wawan memakai telepon BPM FE (Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya),” kata Sumarsih. Tapi ibu mana yang tak gelisah melihat putranya hampir tiap hari berada di pusaran berbahaya. Sumarsih pun sempat meminta Wawan untuk berhenti dari semua aktivitas. Berhenti kuliah juga tak apa. Asal selamat. Tekad Wawan tak bisa dibendung. Bahkan baru tiga hari setelah operasi polip yang mengharuskannya opname di Rumah Sakit Sumber Waras, 9 November 1998, Wawan langsung meminta diantarkan ke kampus. Ia akan memimpin sebuah diskusi di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta. Sejak itu, Wawan terus berada di kampus. Dan tiga hari kemudian, 12 November malam, Wawan berkomunikasi dengan Sumarsih.

“Wawan kenapa nggak pulang? Kan Wawan baru operasi sinus, dan udara luar kotor. Terus kamu makannya bagaimana?” tanya Sumarsih kepada si anak sulung. Wawan menenangkan ibunya. “Bu, kalau masalah udara, Wawan kan tidurnya di ruang BPM yang ber-AC. Sarapan tadi dibeliin bubur ayam sama dosen Wawan. Wawan habis dua mangkok, Bu.” JUMAT PAGI, 13 NOVEMBER 1998, SUMARSIH sempat berkomunikasi dengan Wawan lewat telepon untuk menanyakan keadaannya. Wawan diketahui belum pulang dari kampusnya di kawasan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, sejak sehari sebelumnya. Sumarsih juga meminta Wawan untuk pulang karena dirinya memasak makanan kesukaan wawan; sayur asam dan empal. “Wan, pulang dulu ke rumah. Ibu memasak sayur asam sama empal nih,” kata Sumarsih. “Wawan masih di kampus, Bu. Enggak bisa keluar, dijaga ketat aparat, situasi seperti mau perang,” ujar Wawan saat itu. Sebelum mencoba menelepon Sumarsih, Wawan sempat menelepon ayahnya. Ia menceritakan, keadaan kacau tak memungkinkannya untuk pulang. “Bagaimana mau pulang? Di kampus suasana sudah kayak perang, Pak.” Sang ayah lantas meminta Wawan untuk tetap di dalam kampus supaya aman. Sore harinya, Sumarsih pulang lebih cepat karena suasana di kompleks parlemen DPR/MPR PASTI edisi 39 | 17


sudah tak kondusif. Di tengah kesibukan, Sumarsih mendadak risau. Ia mendengar kabar gawat: akan dilakukan penembakan bebas dengan peluru tajam oleh aparat, dan Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto menghimbau agar kantor-kantor harus ditutup jam 15.00 WIB. Ucapan Wawan kembali menyelinap masuk ke benak Sumarsih. “Bu, masa sih Wawan itu urutan nomor satu dari lima orang yang akan dihabisi.” Sumarsih ketar-ketir dengan kondisi Wawan di kampus. Ia ingin menemui Wawan di Atma Jaya, tapi situasi terlanjur panas. Kantor Sumarsih di DPR RI sudah dijaga pasukan bersenjata di setiap ruangan, dan tong-tong serta kawat berduri dijejer di depan Gedung MPR/ DPR. Sumarsih dan pegawai DPR lain sempat mati kutu. “Mau menyeberang (di belakang Gedung DPR) saja dilarang sama polisi.” Kampus Atma Jaya sudah dikepung aparat pukul 16.30 WIB saat Sumarsih tiba di rumah. Sumarsih menyaksikan ketegangan di kampus putranya itu dari televisi di rumah. Tiba-tiba, layar televisi memunculkan gambar seseorang terkena tembakan. Sumarsih panik. “Ada yang kena!” teriaknya. Sumarsih langsung mengajak sang suami, Arief Priyadi, berangkat ke Atma Jaya. “Mas, ayo kita

Sumarsih menyentuh jasad Wawan. (Foto: Dok. Sumarsih)

18 | PASTI edisi 39

ke kampus! Ayo belikan Wawan handphone.” Sumarsih sangat yakin Wawan ada di tengah lautan mahasiswa yang saat itu sedang dihujani peluru. Di tengah kepanikan dahsyat yang melanda Sumarsih, telepon berdering. Sejumlah orang menghubungi. Salah satunya dari kawan Wawan bernama Ivon. “Ini rumahnya Wawan? Tante tenang saja di rumah. Ivon akan cari Wawan. Nanti kalau sudah ketemu, Ivon akan segera telepon ke Tante.” Menyusul masuk telepon dari Romo Ignatius Sandyawan Sumardi. Pria yang biasa dipanggil Romo Sandi itu merupakan Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK), tim tempat Wawan bergabung. Sumarsih langsung berteriak, “Wawan bagaimana, Romo?! Wawan bagaimana, Romo?!” Melihat sang istri histeris, telepon direbut oleh Arief. Perbincangan antar dua lelaki itu terdengar jelas. Ketakutan Sumarsih terkonfirmasi: Wawan tertembak. Mulailah momen-momen terburuk dalam hidup Sumarsih dimulai. Sumarsih dan Arief diminta segera ke Rumah Sakit Jakarta yang tak jauh dari kampus Wawan. Dari saksi mata yang merupakan temannya Wawan, Sumarsih kemudian tahu bahwa anaknya itu ditembak saat hendak menyelamatkan mahasiswa yang terlebih


dulu terkena tembakan dari aparat. “Waktu itu Wawan sudah mengibarkan kain putih sebagai tanda mau menyelamatkan seseorang padahal, tapi tetap saja ditembak,” ungkap Sumarsih. Wawan terbunuh. Ia rebah diterjang peluru, telak di jantung. “Ketika saya dengar Wawan tertembak dan saya disuruh ke Rumah Sakit Jakarta, saya ganti baju lalu ambil kendaraan. Kemudian saya naik mobil sambil nangis.” Perjalanan menuju Rumah Sakit Jakarta dilalui penuh liku. Keluar dari Tol Tomang, jalan sudah dibarikade kawat berduri. Polisi dan tentara berjejer berjaga. Sumarsih kemudian turun menemui aparat, meminta dibukakan jalan agar segera sampai di rumah sakit. “Pak, saya minta bantuannya bagaimana supaya saya bisa tiba di Rumah Sakit Jakarta. Anak saya kena musibah, tertembak,” ucap Sumarsih, memohon. Polisi menolak permintaan itu. “Wah nggak bisa, Bu. Nggak bisa.” Sumarsih masih berkukuh. “Masa sih Pak nggak bisa. Saya bisa didampingi untuk dibukakan kawat berduri ini, ayo.” Jawaban polisi tetap “tidak”. Sumarsih belum mau menyerah. Ia beringsut menemui tentara yang berjaga. Kepada mereka, Sumarsih mengajukan permintaan serupa. “Pak, saya minta bantuannya, supaya segera bisa sampai ke rumah sakit. Anak saya tertembak. Ini KTP saya. Saya pegawai DPR, ini kartu pengenal saya.” Upaya Sumarsih kembali membentur dinding. “Nggak bisa. Ibu harus segera tinggalkan tempat ini. Ibu jangan mengundang massa. Terserah ibu lewat mana.” Mobil Sumarsih dan Arief kemudian mencari jalan lain. Sepanjang jalan, Sumarsih tak putus mendaraskan doa dengan rosario tergenggam di tangan. “Selamatkanlah, Tuhan. Selamatkanlah anak saya. Bunda Maria, tolonglah.” Saat mobil yang dikendarai Arief dan Sumarsih tiba di sekitar Semanggi, senja menjelang, namun huru-hara masih berlangsung. Azan magrib berkumandang, dan Sumarsih tiba di ujung Jalan Garnisun. Keadaan masih saja kacau. Orang-orang berlalu-lalang, dan kendaraan melintas semrawut berlawanan arah. Pintu Rumah Sakit Jakarta dipenuhi mahasiswa. Sumarsih merangsek masuk, bertanya-tanya kepada mereka. “Dik, saya ibunya Wawan. Wawan katanya tertembak, ya? Wawan sekarang di mana?” Demi mendengar kalimat itu, mahasiswa itu terlihat agak panik. “Ini… Wawan di UGD, Tante,” jawabnya.

Ia lantas mengantar Sumarsih dan Arief. Saat mereka hendak masuk lift menuju UGD, seorang mahasiswa lain keluar dari lift, dan ia berbincang dengan mahasiswa yang mendampingi Sumarsih. “Wawan di mana?” tanya si mahasiswa pengantar. “Wawan di basemen,” jawab kawannya. Pikiran buruk sontak melintas di kepala Sumarsih. Di lantai dasar RS Jakarta, air mata Sumarsih menderas. Ia menyaksikan tubuh anaknya tak lagi bernyawa. Wawan terbujur rapi. Tangan terlipat, mata terpejam, dan ujung jempol diikat kain putih. Sumarsih meraba sang bujang dari kepala sampai ujung kaki. Ia juga membuka pakaian Wawan, dan melihat lubang di dada bagian kiri. “Kamu ditembak, Wan,” kata Sumarsih, menyapa Wawan. Wawan tak membalas sapaan sang ibu. Luka di dada, yang telak menembus jantung, telah membuatnya diam. Di tengah riuh kekacauan massa dan desing peluru, jiwanya terbang hening menuju keabadian. Sumarsih tak tahu harus menangis seperti apa. Tekadnya hanya satu, segera membawa pulang Wawan ke rumah. Baginya, jika sang putra sudah meninggal, ya sudah. Sumarsih hanya ingin segera membawanya pulang dan mengurus pemakaman. Namun saat tengah mengurus administrasi pengambilan jasad Wawan, seorang pria menghampiri, menyarankan agar jenazah Wawan diautopsi lebih dulu. Sumarsih sempat ragu. Ia lalu meminta pendapat beberapa pihak, termasuk sejumlah pastor yang hadir di rumah sakit. Si pria pemberi saran berkata, “Itu hanya operasi kecil, Bu. Nanti menjadi penting.” Alasan tersebut cukup meyakinkan. Sumarsih setuju dan autopsi dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Meski Wawan jelas telah tiada, Sumarsih tak berhenti berdoa. Kegentingan belum reda. Malam harinya, jenazah Wawan dimasukkan ke ambulans untuk dibawa ke RSCM. Namun ketika melintas di Semanggi, Sumarsih didera kekagetan lain. Sopir ambulans berteriak, “Tundukkan kepala! Tundukkan kepala! Mobil kita ditembaki!” Bukan main mengagetkannya. Ambulans tak bersenjata, yang berdasarkan aturan internasional dilindungi di medan perang manapun di seluruh dunia, masih saja ditembak. Autopsi atas jasad Wawan dilakukan oleh dokter forensik RSCM, Budi Sampurno. Hasil autopsi memperkuat dugaan bahwa Wawan jadi korban penembakan oleh aparat. “Putra Ibu meninggal dunia karena ditembak peluru tajam standar ABRI, mengenai jantung dan PASTI edisi 39 | 19


paru di dada sebelah kiri,” kata Dokter Budi kepada Sumarsih. Autopsi usai. Sumarsih tak lagi menangis. Ia bertekad memberikan yang terbaik bagi Wawan untuk terakhir kalinya. Ia mengenakan baju terbaik di tubuh Wawan. Sumarsih juga meminta relawan TRK untuk membantu mencarikan peti yang bagus buat jenazah anaknya. Sabtu, 14 November 1998, pukul 01.00 WIB, jenazah Wawan tiba rumah. Saat jasad Wawan dimandikan, Sumarsih merasa hampa. Meski air mata menetes di pipinya, Sumarsih tak merasa sedih, pun tak senang. “Jari-jari Wawan terlihat lentik, bulunya bagus, badannya gemuk,” ucap Sumarsih sambil tersenyum, mengingat detail tubuh sang putra. Wawan dimakamkan pada Sabtu 14 November 1998. Gereja Maria Kusuma Karmel Meruya, Jakarta Barat dipenuhi pengunjung. Banyak pelayat telah menanti Wawan. Jumlah mereka kian bertambah seiring hari yang mulai meninggi. Panji-panji ikatan mahasiswa dari berbagai universitas mengiringi jenazah Wawan memasuki gerbang gereja. Puluhan karangan bunga menyambut jenazah di depan gereja. Sumarsih terharu menyaksikan pemandangan itu semua. Kali ini perempuan yang seluruh rambutnya telah memutih berlinang air mata kembali. Parkiran gereja penuh. Orang-orang yang datang mengikuti Misa dan mendoakan Wawan berjibun. “Situasinya seperti Misa Natal atau Paskah,” terang Sumarsih. Uskup Agung Jakarta waktu itu, Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja, S.J, memimpin Misa. Ada sepuluh pastor yang mendampinginya. Semua mengenakan jubah berwarna merah yang melambangkan kemartiran. Dalam khotbahnya, Kardinal Julius menegaskan penyebab kematian umatnya. “Wawan meninggal karena ditembak aparat militer di area kampusnya ketika menolong korban yang juga ditembak aparat.” Semua saksi mengiyakan ucapan tersebut. Wawan, yang mengenakan kartu identitas Tim Relawan Kemanusiaan, memang ditembak dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di parkiran Universitas Atma Jaya. Lautan manusia berdiri tegap, memberi hormat ke arah mobil jenazah yang mengarah ke Taman Pemakaman Umum Joglo, Kembangan, Jakarta Barat. Sumarsih tak lagi mampu menahan tangis. Sejak saat itu, dan mungkin seterusnya, hati Sumarsih kebas. Ia mati rasa. Tak beda jauh dengan Arief, ayah Wawan. Ia masih menyimpan rasa tak terima di hati. “Saat saya lihat (dokumentasi) di lapangan, aparat itu benarbenar membidik, bukan melakukan tembakan bebas,” kata Arief. Wawan, jadi satu di antara yang dibidik. 20 | PASTI edisi 39

SEMUANYA BERAWAL DARI MEJA MAKAN. MASINGmasing anggota keluarga menuturkan kisah keseharian mereka, saling berbagi cerita dan bertukar pikiran. Tentunya sembari menikmati hidangan lauk-pauk dan sayur-mayur untuk bersantap malam bersama. Perbincangan hangat keluarga yang semula ringan, tak terelakkan bisa menjurus berat, membahas soal politik dan agenda reformasi. Terutama karena nalar kritis si putra sulung terhadap penguasa Orde Baru yang menurutnya telah kelewat lama bercokol mencengkeram negeri dan menindas rakyat. Pemikiran “radikal” sang bujang mengusik ibunya, yang sehari-hari bekerja sebagai staf di Sekretariat Jenderal DPR—kantor Orde Baru. Ia bukan sepenuhnya setuju dengan rezim berkuasa, tapi mencoba memberikan pemahaman dari sudut pandang lain kepada putranya. “Rumah yang kita tempati ini pemberian pemerintah Orde Baru. Beras yang kita makan juga dari pemerintah Orde Baru. Kebutuhan sehari-hari pun dibeli oleh uang dari pemerintah Orde Baru,” kata sang ibu, Maria Katarina Sumarsih, kepada si sulung, Benardinus Realino Norma Irmawan. Kepala keluarga, Arief Priyadi, pun bekerja sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang kerap disebut sebagai lembaga think tank Orde Baru—meski sejak 10 tahun sebelumnya, 1988, Soeharto berujar “tidak mau ada hubungan apapun lagi dengan CSIS.” Apapun, kesan keluarga Orde Baru melekat pada Sumarsih dan Arief, yang menjalani kehidupan khas pegawai negeri, dengan segala kebutuhan berkecukupan dan terpenuhi oleh pemerintah. Dan itu justru semakin membuat resah Wawan. Ia tak rela menjadi “anak” dari Orde Baru yang tiran di matanya. “(Dengan semua pemberian Orde Baru untuk keluarga kita), lalu bagaimana Wawan bisa membentuk jati diri?” keluhnya kepada Sumarsih. Sang ibu berusaha “memangku” gejolak batin putranya dengan tenang. Ia memang tak suka bila Wawan ikut berdemonstrasi, namun memahami keinginan Wawan yang ingin berbuat sesuatu dan mengubah keadaan. “Wawan bisa bikin ruang dialog. Wawan kan senang ikut seminar. Ya sudah, selenggarakan seminar, dialog publik, sarasehan,” ujar Sumarsih, memberi saran. Nyatanya, menjadi anak dari keluarga Orde Baru tak membuat Wawan surut. Keyakinannya membuat dia tetap terlibat demonstrasi mahasiswa. Bahkan tak cuma itu. Wawan pun bergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) yang mengajar anak jalanan dan mendampingi para korban kekerasan Tragedi Mei 1998.


“BU, TADI WAWAN KE RUMAH ITA,” KATA WAWAN pada percakapan lain dengan ibunya. “Dia sehat?” ujar Sumarsih, bertanya. “Kasihan, Bu. Kasihan dia. Kan dia dan mamanya mau ke PBB, membuat testimoni,” jawab Wawan yang satu tim dengan Ita di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK)—yang juga digawangi oleh Romo Ignatius Sandyawan Sumardi. Ita Martadinata bukan perempuan biasa. Sempat terpuruk karena menjadi korban pemerkosaan, ia bangkit dan bergabung dengan TRK untuk melakukan konseling kepada para korban pemerkosaan Mei 1998 lainnya. Di usia mudanya yang 18 tahun, Ita men-

Wawan, korban Tragedi Semanggi I. (Foto: Dok. Sumarsih)

Bagaimana Sumarsih tak menasbihkan diri sebagai orang Orde Baru, sebab ia telah berkarier sebagai staf Sekretariat Jenderal DPR RI selama 16 tahun ketika itu, sejak tahun 1982 hingga 1998—bahkan terus hingga pensiun pada 2008 saat Orde Baru tinggal nama. Sumarsih adalah seorang staf DPR, pegawai negeri, anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia), dan untuk melengkapi semua itu: ia ditugaskan pada Fraksi Partai Golkar yang selama ini menjadi kendaraan politik Soeharto. Menjadi pegawai di DPR sedikit banyak memengaruhi cara pandang Sumarsih dalam melihat isu. Sumarsih biasa bersikap tenang dan cenderung menghindari ketegangan, berkebalikan dengan gejolak emosi putranya dalam proses pembentukan idealisme diri. Namun semua perbedaan watak dan sikap keluarga Sumarsih lebur di meja makan, tempat segala isu dalam dibahas terbuka dan dikompromikan. Santap malam jadi wadah diskusi antara Sumarsih, Arief, Wawan, dan si bungsu Benedicta Rosalia Irma Normaningsih. “Di meja makan, Wawan cerita tentang kegiatan di kampus, Irma tentang sekolah, saya di Setjen DPR, bapaknya di CSIS. Cerita keseharian masing-masing,” ujar Sumarsih. Mendengar cerita keluarga kecilnya di meja makan, Sumarsih terutama cemas dengan si sulung, Wawan. Ia terutama mengkhawatirkan keamanan Wawan jika terlibat demonstrasi. Bagaimanapun, bekerja di gedung parlemen yang dekat dengan kekuasaan, membuat Sumarsih tahu betul tentang pergunjingan di dunia politik terkait gerakan mahasiswa. Telinga Sumarsih mendengar langsung rencana-rencana represi aparat pemerintah terhadap demonstran yang lantang bersuara. Sumarsih, seperti Wawan, berada di lingkaran ketegangan negeri. Bila Wawan di kampus dan jalanan, Sumarsih di gedung tempat para politikus negeri bersemayam.

jelma menjadi pejuang. Ia bahkan disebut sebagai saksi kunci dalam mengungkap rangkaian kasus pemerkosaan yang menyasar para perempuan Tionghoa sepanjang Mei 1998. Ita telah bersedia dan siap bersaksi di hadapan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Bersama ibunya—Wiwin Haryono— dan empat korban kerusuhan Mei 1998, Ita akan berangkat ke AS sebagai bagian dari TRK. Mereka akan bersama-sama bersaksi tentang Tragedi Mei 1998 yang terjadi di Indonesia. Cerita Ita berhenti sampai di situ. Sepekan sebelum bersaksi di Markas Besar PBB, 9 Oktober 1998, ia tewas dibunuh secara sadis. Ita belum sempat berangkat ke New York ketika jasadnya ditemukan di kamarnya dengan perut, dada, dan lengan ditikam. Ia ditikam hingga 10 kali. Dan tak cuma itu, lehernya pun disayat. PASTI edisi 39 | 21


Sumarsih menyentuh foto Wawan yang tersimpan rapi dalam lemari di rumahnya. (Foto: Gregorius Bramantyo)

Sejak tiga hari sebelumnya, sejumlah anggota TRK dan beberapa organisasi hak asasi manusia mengalami ancaman pembunuhan jika tak berhenti mendukung investigasi internasional atas pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Tionghoa selama Mei 1998. Sudah bisa diduga seperti biasa, kasus pembunuhan Ita hingga kini tak pernah terungkap. Aparat “hanya” mengatakan Ita dibunuh oleh Suryadi, pecandu obat bius yang hendak merampok rumahnya. Kematian Ita tak membuat Tim Relawan untuk Kemanusiaan, termasuk Wawan, berhenti beraktivitas. Membantu para korban Tragedi Mei 1998 sudah menjadi tujuan hidup mereka. Di benak Sumarsih, kegiatan kemanusiaan menolong sesama mestinya tak membahayakan, malah membanggakan. Tak semua orang punya jiwa sosial tinggi dan bersedia membantu orang lain secara sukarela. Wawan dan rekan-rekannya membantu para korban Tragedi Mei 1998, dan ini amat mungkin menjadi aktivitas yang tak disukai penguasa. Sebelum Ita dibunuh pun, sejumlah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan, organisasi tempat Wawan berkiprah, mendapat ancaman pembunuhan. Dan ini bukan cuma sekali. Kecemasan Sumarsih baru mereda ketika melihat Wawan lebih fokus mengurus logistik ketimbang 22 | PASTI edisi 39

berorasi di jalanan dalam berbagai aksi demonstrasi. DI TENGAH HIRUK PIKUK SIDANG ISTIMEWA MPR Maret 1998, Wawan tertangkap kamera televisi sedang berada di tengah tumpukan kardus. Ia bertanggung jawab membantu logistik untuk gerakan mahasiswa.Bahkan konsumsi pun harus dijaga ketat, sebab jika lengah, makanan minuman beracun bisa menyusup masuk. Hal itu pernah diperbincangkan Wawan dan Sumarsih. “Ibu tadi lihat Wawan di TV,” kata Sumarsih ketika Wawan baru tiba di rumah setelah beberapa hari menginap di kampus. “Oh iya, Bu? Pas ngapain?” tanya Wawan. “Wawan ada di tengah tumpukan barang. Itu isinya apa?” ujar Sumarsih. Sang bujang menjawab, “Macem-macem, Bu. Ada biskuit, mi, dan kebutuhan lain.” “Ada juga sumbangan air mineral. Tapi masa toh Bu, yang minum air sumbangan itu pada sakit perut. Semua sakit perut. Rupanya air sudah disuntik pakai zat kimia.” Mendengar detail kecil berbahaya itu, Sumarsih kembali paranoid. Ucapan Wawan sebelumnya, bahwa dia menjadi target pembunuhan, terngiang lagi. Tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa


kembali berkelebat di kepala Sumarsih. Ketakutan Sumarsih pun akhirnya mewujud. Tugas Wawan paripurna di suatu sore, ketika peluru menembus jantungnya. Ia tewas di halaman kampusnya, Universitas Atma Jaya Jakarta, saat hendak menolong temannya yang juga tertembak. Kematian Wawan sungguh menghancurkan hati Sumarsih. Hingga rasa sedihnya berubah kebas. Sumarsih nyaris tak dapat merasakan emosi apapun lagi. Dari 13 November 1998 sejak Wawan diterjang peluru tentara, Sumarsih baru masuk kantor lagi tiga bulan kemudian, Februari 1999. Sumarsih kembali bekerja di DPR dengan hati yang masih terkoyak. Ia bingung harus bersikap bagaimana. Saat menerima santunan untuk putranya yang tewas, Sumarsih bahkan menulis, “Mohon bantuannya agar cek ini disumbangkan kepada yang menembak Wawan. Kalau sulit ditemukan siapa yang menembak, agar diberikan kepada 163 prajurit yang terkena sanksi.” Sumarsih tak lagi sama. Ia tetap tenang, tapi memendam kobar api putranya dalam hati. Sumarsih selamanya akan menuntut keadilan bagi Wawan. Bagi dia, tak seharusnya mahasiswa berhadapan dengan peluru aparat. Sepanjang 1998 sampai 2007, Sumarsih menempuh berbagai jalur advokasi untuk memperoleh keadilan atas Wawan. Ia beraudiensi dengan tentara, dan berkeliling bersama para aktivis hak asasi manusia untuk merangkul korban lain dari kasus-kasus HAM lain. Mereka bersatu dan menggelar aksi rutin, Kamisan—yang terinspirasi dari gerakan kelompok ibu di Argentina pada 1977. Para ibu berkumpul di Plaza de Mayo, di depan Istana Kepresidenan, menuntut pemerintah menemukan anak-anak mereka yang hilang selama rezim militer berkuasa di negara itu. Pemerintah Argentina akhirnya membentuk komisi nasional untuk orang hilang. Sumarsih tak lagi takut. Suatu hari, ketika mendengar DPR mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukanlah pelanggaran HAM berat, Sumarsih melempar telur busuk ke tengah rapat paripurna DPR. Sumarsih yang kemudian beberapa kali diundang oleh politikus, menolak undangan itu. Ia tak peduli dengan mulut manis mereka. Tahun 2004, Sumarsih menerima Yap Thiam Hien Award atas dedikasinya berjuang menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Sebab ia tak cuma memperjuangkan Wawan, tapi juga mendorong korban-korban kasus HAM lain untuk bergerak bersama— persis seperti yang dilakukan Wawan ketika hidup. Yap Thiam Hien Award diterima Sumarsih

saat masih bekerja di Sekretariat Jenderal DPR. Sumarsih, yang pernah menasihati Wawan untuk tak ikut-ikutan berdemonstrasi, berubah menjadi orator aksi damai yang ikonik. Dalam salah satu orasinya, Sumarsih—yang bekerja untuk Fraksi Partai Golkar di DPR—meminta masyarakat untuk tak memilih Golkar di Pemilu karena sikap politik partai itu yang menolak mengakui Tragedi Semanggi dan Trisakti sebagai pelanggaran HAM berat. Orasi Sumarsih itu mengusik salah satu legislator Golkar yang sehari-hari ia temui di Gedung DPR. Lama-lama, Sumarsih dipanggil oleh legislator itu. “Bu, kerja yang baik ya,” kata sang legislator. Sumarsih menjawab enteng, “Kapan saya disuruh keluar?” Namun kinerja Sumarsih tak jelek. Ia bisa merampungkan tugas lebih cepat dari target waktu yang diberikan. Bekerja di Gedung DPR, dengan anak yang tewas di tangan Orde Baru, sungguh pergulatan batin bagi Sumarsih. Namun ia tak pernah diusik di DPR hingga pensiun tahun 2008. HINGGA KINI DI SUDUT RUMAH SUMARSIH, FOTO beserta sejumlah sertifikat Wawan tetap terlihat rapi terpajang di lemari. Jika Sumarsih kebetulan melintasi lemari itu dan tiba-tiba merindukan Wawan, ia menoleh dan menyentuh foto sang putra. Sumarsih tahu, Wawan tak bisa kembali dan tak dapat diganti. Kenangan atasnya bisa kapanpun diputar, tapi tak bakal mengubah kenyataan. Setelah 20 tahun kepergian Wawan, Sumarsih memaknai kehadiran Wawan dalam hidupnya dengan berbeda, dan lebih dalam. Selama ribuan malam, Sumarsih tersadar, Wawan selama ini tak pernah jauh darinya. Mereka begitu dekat. Bagi Sumarsih, mati sebatas beda dunia. Secara fisik, Wawan kini menjadi tanah. Tapi rohnya tetap ada. “Sampai sekarang Wawan bersama saya,” ucap Sumarsih, yakin.

PASTI edisi 39 | 23


LAPORAN UTAMA

Let Us Do and Think What’s Good for Us Anggi Wismandaru, 2018

Oil Pastel, Acrylic, Marker, Spray Paint on Paper 21 x 29,7 cm

24 | PASTI edisi 39


Narasi dari Mata Relawan CERITA OLEH BARA BAGASKARA ILUSTRASI OLEH ANGGI WISMANDARU

KERUSUHAN PADA 27 JULI 1996 MENJADI AWAL MULA TERBENTUKNYA TIM Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) yang kala itu mendedikasikan diri untuk menolong para korban yang berjatuhan. Semua berawal dari penyerbuan kantor DPP PDIP yang berada di Jalan Diponegoro oleh sekelompok massa tak dikenal. Masyarakat sipil yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituduh sebagai pelaku kerusuhan di kantor PDIP. Padahal kenyataannya tak seperti itu, serangan itu hanya perbuatan segelintir oknum yang berusaha mengambinghitamkan PRD dan masyarakat sipil. Ada pula yang menjatuhkan tuduhan bahwa PRD sebagai komunis, karena hanya melakukan pembelaan terhadap masyarakat sipil. Pria berambut ikal dengan topi newsboy cap ala Tino Sidin menjadi ciri khas Ignatius Sandyawan Sumardi. Ia adalah Direktur Institut Sosial Jakarta (ISJ) sekaligus pendiri dan koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) penolong korban kerusuhan 27 Juli 1996. TRK dibentuk oleh Sandyawan dengan bantuan Gus Dur, Marzuki Darusman, Nursyahbani, Karlinah Umar Wirahadikusumah, Hilmar Farid Setiadi, Stanley Adi Prasetyo dan masih ada rekan-rekan yang membantu berdirinya TRK tanpa disebutkan seluruhnya oleh Sandyawan. “Kita membantu dan menolong orang-orang yang dituduh melakukan serangan 27 Juli ‘96, termasuk korban-korban yang dikejar-kejar oleh PDIP,” tukas Sandyawan. Tim relawan membuka pertolongan dan memasukkan para korban dari PDIP dan PRD ke kantong-kantong perlindungannya. Saat itu memang PDIP terpecah menjadi dua kubu, yaitu antara kubu PDIP Pro Megawati dan PDIP Pro Suryadi. Fakta kala itu, pemerintah mendukung PDIP Pro Suryadi dan mengambinghitamkan PDIP Pro Megawati. PASTI edisi 39 | 25


Pada saat itu hampir semua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tiarap, karena pemerintah menggunakan tangan besi untuk menangkap siapa saja yang melakukan tindakan protes. Terdengar pula ada perintah tembak di tempat oleh Pangdam Jaya yang kala itu dipegang oleh Jendral Sutiyoso. Sandyawan sebagai salah satu aktivis kemanusiaan yang mendengar isu seperti itu tergerak hatinya untuk membantu dan mencoba melindungi orang-orang yang diancam akan dibunuh. Sandyawan yang membantu rekan-rekan PRD justru dituduh sebagai die hard-nya PRD. Padahal melindungi seseorang yang terancam akan ditembak mati adalah tindakan kemanusiaan yang dapat dilakukan oleh siapapun. Kala itu memang kebetulan Sandyawan Sumardi yang aktif dalam kegiatan kemanusiaan juga masih menjadi pastor dari Gereja Katholik. Jadi ia memiliki perlindungan profesional dan berhak untuk merahasiakan identitas orangorang yang diselamatkannya. Sama persis seperti profesi seorang dokter yang berusaha melindungi data pasiennya dari orang lain yang tak dikenal. Tak disangka niat baiknya menolong para korban justru membuat Sandyawan dituduh berusaha melindungi orang yang dicari oleh polisi. Tuduhan yang cukup berat karena pada dasarnya ia hanya berusaha membantu orang-orang yang baru ia kenal pada saat ia menolongnya. Orde Baru memang dikenal tidak memberikan pintu terbuka sedikitpun bagi kebebasan berorganisasi dan berpendapat. “Kita ngomong politik sedikit, mengerikan jadinya. Ditangkap, diculik dan hilang sudah biasa,� ucap mantan pastor Jesuit itu. Bahkan Gus Dur dengan PBNU-nya saja tidak diberikan izin untuk melakukan sebuah konferensi pers. SESUDAH AKSI 27 JULI 1996, SEPANJANG JALAN Salemba sampai Senen selalu dipantau oleh anggota Kopassus. Sampai-sampai Gus Dur yang ingin menunaikan ibadah harus dijaga oleh anggota Kopassus di kantornya sendiri. Hak yang seharusnya didapatkan seutuhnya oleh manusia menjadi sebuah hal yang tidak bisa dibayangkan untuk saat itu karena kebebasan di era pasca reformasi sudah jauh berubah. Pasca reformasi menjadi era kebebasan bagi siapapun untuk mengekspresikan diri. Tidak hanya konflik antara militer dengan masyarakat sipil saja. Kala itu konflik di dalam militer sejatinya juga terjadi. Ternyata terjadi ketidakadilan pada pembagian dana untuk militer. Dana kemiliteran 50 persen diberikan kepada Angkatan Darat, sedangkan sisanya 50 persen yang kemudian dibagi lagi untuk Angakatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian. Hal ini yang akhirnya menimbulkan friksi di antara mereka. 26 | PASTI edisi 39

Tangan besi Orde Baru semakin berusaha menujukkan sifat represifnya. Penangkapan terus terjadi, banyak yang hilang entah di mana. Setelah sekian banyak rekan-rekan tim relawan dan aktivis lainnya yang ditangkap dan hilang, akhirnya Sandyawan juga mendapat jatah persidangan. Bila dihitung sudah hampir 24 kali Sandyawan mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Bekasi terkait dengan niatnya melindungi orang-orang yang dituduh melawan pemerintah. Namun ia dibela oleh saksi ahli yang cukup kuat, antara lain Prof. Dr. Loebby Loqman yang merupakan Guru Besar Hakim Pidana dan juga oleh Gus Dur serta Romo Mangunwijaya. “Waktu itu saya diajarkan oleh Romo Mangun, gunakanlah persidangan ini untuk ajang membela hak kaum kecil dan tertinggal. Akhirnya saya dibebaskan di Pengadilan Negeri Bekasi karena dengan sadar membantu orang-orang yang dituduh,� ucap pria kelahiran Jeneponto, Sulawesi Selatan itu. Walaupun pada akhirnya Mahkamah Agung meminta naik banding dan mengalahkan Sandyawan, tapi setelah Gus Dur menjabat sebagai presiden, ia tetap diberi pengampunan. Sandyawan memang tidak sampai merasakan hidup di balik jeruji besi, namun tidak jarang ancaman dan teror yang ia dapatkan. Kepemimpinan bertangan besi oleh Soeharto tidak akan terlupakan oleh masyarakat. Tidak hanya mahasiswa dan aktivis saja yang gerah dengan model kepemimpinannya, bahkan guru, petani dan buruh pun turut merasakan ketidaknyamanannya dengan keadaan yang terjadi kala orde baru berkuasa. Aksi protes berujung pada kekerasan dan penculikan. Wiji Thukul adalah salah satu orang yang dekat dengan Sandyawan yang hingga kini pula masih tidak diketahui dengan jelas keberadaannya. Tim relawan berusaha mengadvokasi orangorang yang hilang saat itu. Data-data yang didapatkan oleh tim sampai sekarang masih tersimpan dengan rapi, konferensi pers juga telah dikumandangkan sampai ke dunia luar. Untuk pertama kalinya, Sandyawan akhirnya membuat sebuah konferensi pers. Sikap yang diambil olehnya ini menjadi titik awal di mana banyak LSM ataupun aktivis-aktivis kemanusiaan mulai berani menampakkan diri di depan publik. TRAGEDI MEI 1998 MENJADI PUNCAK KERUSUHAN terbesar sekaligus menjadi detik-detik berakhirnya era Orde Baru. Krisis ekonomi terparah dalam sejarah Indonesia terjadi kala kerusuhan Mei 1998 memuncak. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin juga menjadi salah satu contoh parahnya krisis ekonomi di Indonesia. Keruhnya persoalan hidup menimbulkan konflik-konflik beraroma agama dan ras. Inilah yang kelak dan dijadikan sebagai penyulut terjadinya kerusuhan oleh sang provokator.


Ignatius Sandyawan Sumardi. (Foto: Dok. Rakyat Merdeka TV)

Negara seakan kehilangan kewibawaannya. Pemerintah sudah kewalahan mengatur masyarakatnya yang berhamburan di jalanan. Lantas dengan tangan besinya, pemerintah Orde Baru berusaha menghentikan demo besar-besaran. Dengan massa yang tidak diketahui identitasnya, pemerintah menyulut konflik hingga menimbulkan sebuah kerusuhan. Dengan begitu pemerintah juga yang nantinya akan muncul seakan-akan menjadi pahlawan yang berusaha memadamkan kerusuhan. Pola ini dilakukan dengan skala yang besar dan tertata secara rapi. “Sebenarnya tidak benar jika tragedi Mei ‘98 dikatakan sebagai konflik antar etnis, agama, dan kaya-miskin. Konflik ini hanya mungkin ditimbulkan oleh operasi militer. Itulah sebabnya tragedi Mei ‘98 dengan eskalasi yang luas sekali dengan pola yang luar biasa terencana dengan baik bukan hanya terjadi di Jakarta, namun juga di Solo, Palembang dan ada kesamaan pola,” tutur Sandyawan. JAKARTA TERASA SEPERTI NERAKA PADA TANGGAL 12-15 Mei 1998. Pembakaran mall-mall terjadi di Jakarta. Kebanyakan kaum miskin urban yang dijebak di dalam mall kemudian dibakar oleh oknum yang telah diorganisir. Menurut data tim relawan, sebanyak 1.188 nyawa manusia meninggal di Jakarta saat terjadi kerusuhan. Ini menjadi sebuah tragedi selain perang yang menelan banyak korban berjatuhan. Indonesia pertengahan Mei 1998 berada dalam titik nadir yang paling parah. Indonesia di

mata dunia juga dikenal sebagai negara yang rasis, terutama terhadap kaum etnis Tionghoa. Penjarahan terhadap toko dan pusat perbelanjaan terjadi secara besar-besaran. Mulai berkembanglah isu-isu mengenai Indonesia yang sudah lama dijajah oleh Cina hingga pada akhirnya memprovokasi masyarakat. Tanpa pikir panjang, masyarakat yang sudah tersulut emosinya terjerat dalam hasutan sang provokator kemudian mengincar toko-toko dan menjarah barang-barang milik siapa saja, terutama toko milik masyarakat dengan etnis Tionghoa. Menduduki mall-mall yang ada di Jakarta dan meledakkan toko dengan gas yang ditembaki dengan senapan. Kasus-kasus pemerkosaan juga terjadi secara besar-besaran. Menjadi makanan sehari-hari bagi tim relawan dalam menangani kasus-kasus pemerkosaan. Diakui oleh tim relawan bahwa memang benar yang menjadi korban pemerkosaan didominasi oleh perempuan dengan etnis Tionghoa. Ini merupakan sebuah pilihan dan memang sudah diatur dengan baik. Tujuannya membuat ledakan beritanya sampai ke dunia internasional. Secara sengaja dunia internasional dibuat marah dengan kasus yang bernuansa etnis dan agama. Realitanya memang tidak semua yang menjadi korban adalah perempuan dengan etnis Tionghoa. Ada etnis lainnya yang hanya karena memiiki ciri-ciri sama dengan perempuan beretnis Tionghoa lalu menjadi target pemerkosaan. Tetapi ini menunjukkan bahwa yang diincar dan dipilih adalah mereka yang memiliki ciri-ciri seperti layaknya perempuan PASTI edisi 39 | 27


etnis Tionghoa. Inilah salah satu alasan mengapa Indonesia disebut sebagai negara yang rasis pada masa-masa kelam itu. Dalam konflik maupun perang, pemerkosaan menjadi alat teror yang paling mengerikan karena sang korban takut untuk berbicara. Namun, dampak yang ditimbulkan sangat signifikan dan operasional terhadap sebuah negara. Dalam kasus pemerkosaan, ada dua hukum yang berlaku di Indonesia. Pertama, hukum Indonesia yang menyebutkan pemerkosaan terjadi jika ada bukti secara rekam medis bahwa organ intim laki-laki masuk ke organ intim perempuan. Sedangkan hukum yang dikategorikan oleh PBB menyebutkan bahwa semua tindakan kekerasan terhadap perempuan sudah dapat disebut sebagai tindakan memperkosa. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam menangani kasus pemerkosaan menggunakan dua hukum sekaligus, yaitu hukum Indonesia dengan hukum PBB. Dari data-data yang terverifikasi, memang hanya ada 52 kasus pemerkosaan terjadi. Namun itu hanya yang sudah terverifikasi saja, masih banyak yang belum terverifikasi karena cukup sulit bagi tim mendapatkan data-datanya. Mendapatkan data korban pemerkosaan tidak semudah yang dibayangkan. Ini berkaitan dengan faktor psikologis dari sang korban dan tentunya juga pihak keluarga. Perlu pendampingan dan pendekatan yang tepat bagi tim relawan dalam menangani korban pemerkosaan. Tak ada kata lelah bagi para relawan dalam menolong dan mendampingi korban kerusuhan. Menumpangi mobil ambulans dari sebuah rumah sakit dan dibantu oleh dokter pun mereka lakukan. Saat itu tim hendak menolong korban kebakaran di Jatinegara Plaza, akan tetapi ada dua blokade besar yang dilakukan oleh Brimob dan Pasukan Anti

â–ś

Kerusuhan Mei 1998. (Foto: Dok. Deutsche Presse-Agentur)

28 | PASTI edisi 39

Huru-Hara. Memang tim relawan diberikan akses untuk masuk jalur yang diblokade. Namun, bukannya pertolongan yang didapat, justru perlakuan tidak baik dengan ucapan kasar yang didapatkan oleh tim relawan saat meminta pertolongan aparat untuk turut menolong korban kebakaran. Berada dalam posisi yang sulit, tim relawan memilih untuk melapor ke Polres Jakarta Timur, karena banyak anggota kepolisian di tempat kejadian perkara yang tidak memberikan upaya apapun untuk membantu korban. Saat melakukan konfirmasi ke Polres Jakarta Timur, ternyata pihak kepolisian mengaku tidak ada anggotanya yang berada di tempat kejadian perkara. Dibantu oleh TGPF dengan mencoba melakukan pemeriksaan ke Polda Metro Jaya, Jenderal Hamami Nata yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya mengatakan bahwa pakaian seragam kepolisian mereka digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kerusuhan-kerusuhan yang sedang terjadi. Mudah ditebak bahwa kepolisian tidak diikutsertakan dalam skenario tragedi kerusuhan Mei 1998. Data-data yang kemudian diperoleh tim ditolak oleh pemerintah karena bisa menjadi kontroversi. Justru pemusnahan dokumen berusaha dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak dikenal. Dari sini sudah bisa dilihat bagaimana pemerintah menyulitkan tim dalam pengungkapan fakta kejadian perkara. Sandyawan yang juga mewakili tim relawan mengungkapkan bahwa dokumen-dokumen berisi bukti-bukti kejadian perkara masih disimpan berjumlah enam bendel. Termasuk hasil wawancara pemeriksaan jenderal terkait dan kesaksian korban pemerkosaan. Penyelidikan sudah sempat dilakukan oleh tim relawan, kemudian penyidikan diserahkan


kepada pihak kepolisian sebagai yang memiliki wewenang. Bukannya disidik, hasil penelitian justru hilang dan sampai sekarang terbengkalai. Berbagai macam berkas kejahatan hak asasi manusia pada kasus Mei 1998 menjadi terbengkalai dan tidak menemui jalan terang. “Meskipun ada mekanisme untuk persidangan HAM, secara de facto tidak pernah terlaksana. Usaha-usaha untuk rekonsiliasi saja tidak bisa diungkap karena aktor-aktornya masih hidup, bahkan masih ada yang memerintah sampai sekarang,� tutur Sandyawan. Kasus-kasus yang bersinggungan dengan HAM memang sensitif dan sulit untuk menemui jalan tengahnya. Sandyawan mewakili tim relawan menginginkan media massa yang memintainya keterangan berkaitan dengan persoalan-persoalan masa lalu harus mengungkapnya secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Bukannya dijadikan alat oleh pemilik media untuk kepentingannya sendiri terutama menjelang pemilihan umum, karena beberapa pemilik media faktanya memiliki afiliasi dengan dengan partai politik. Begitulah pesannya sebagai aktivis kemanusiaan yang tidak memiliki kepentingan politik apapun selain membantu masyarakat sipil yang membutuhkan pertolongan. Mesin operasi kekerasan politik tragedi Mei 1998 masih ada. Operator memang bisa mati lalu berganti, namun tidak dengan mesinnya. Maka tidak heran jika potensi-potensi konflik bisa dimanipulasi dan bisa meledak sewaktu-waktu. Potensi-potensi konflik seperti perbedaan agama, budaya dan ras bukanlah menjadi sebab utama. Namun, isu-isu yang bersinggungan dengan agama dan ras dapat digunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab sebagai pemicu terjadinya konflik. POLITISI SEMAKIN KE SINI MENJADI SEMAKIN ngawur. Mereka bersembunyi di balik topeng. Mereka membuat politik tawar-menawar ketika ada kepentingan di dalamnya. Politikus sibuk berbicara di depan publik tapi nol pijakannya di dalam masyarakat. Ini berkaitan erat dengan reformasi. Bahwa reformasi bisa dikatakan gagal jika ada sebuah evaluasi besar-besaran. Sebuah usaha dan jerih payah dari para pejuang reformasi yang harus dibayar dengan nyawa nyatanya tidak seutuhnya menuai hasil baik. Banyak orang-orang yang berjuang mati-matian di lapangan demi lengsernya Orde Baru terabaikan dan tidak pernah diperdengarkan namanya sebagai pejuang. Justru orang yang dielu-elukan karena pidato dan retorikanya diangkat menjadi pahlawan reformasi. Mereka yang kini punya jabatan memegang erat kursinya tanpa peduli siapa rakyatnya. Pura-pura melupakan masa lalu demi misi pribadinya. Secara demokrasi, memang benar kebebasan

berpendapat dan berorganisasi adalah buah dari reformasi. Namun, secara sistem negara telah terjebak dalam politik artifisial. Perebutan kekuasaan dan jabatan menjadi tujuan yang salah dari politik berkeadilan sosial. Kegagalan reformasi terjadi sebab kemerdekaannya diambil dan dibajak oleh orangorang tidak bertanggung jawab. Perjuangan atas kemerdekaan hak hidup masyarakat seakan tertutup oleh ambisi elite pemerintah. Tidak ada yang benar-benar memperjuangkan masyarakat layaknya perjuangan mereka melengserkan Soeharto dan menjemput reformasi. Banyak tokoh-tokoh mahasiswa pejuang reformasi sudah lupa diri karena kepentingan pribadi dan golongan lebih menjadi prioritas. Tim relawan dengan berbagai macam tantangan dan ancaman berusaha menginvestigasi tragedi Mei ‘98. TRK bersama TGPF saling bekerja sama dalam menolong korban dan mengumpulkan data-data perkara yang ada. Teror dan ancaman tak jarang mereka terima dari orang-orang tak dikenal. Berkali-kali percobaan untuk melakukan pembunuhan terhadap para relawan dilakukan. Namun sekali lagi, ini tidak pernah menghentikan tekad tim relawan untuk membantu korban dan mengumpulkan fakta-fakta di lapangan demi terungkapnya kebenaran. Sandyawan menjadi salah satu relawan yang cukup dekat relasinya dengan mendiang Munir Said Thalib. Sebagai kawan, seorang Munir mengkhawatirkan keselamatan Sandyawan sebagai seorang aktivis kemanusiaan yang cukup berani menampakkan diri di depan publik. Namun kekhawatiran Munir justru berbanding terbalik dengan kejadian yang menimpanya pada September 2004 bahwa Munir ditemukan tewas karena keracunan. “Pertama karena saya bukan seorang Muslim, kedua tidak ada backing apa-apa, posisi saya lemah. Eh malah Munir dibunuh duluan,� tutur Sandyawan. Perjuangan tim relawan menolong korban kemanusiaan kala Orde Baru berkuasa memang tidak nampak di mata masyarakat awam. Hanya orangorang tertentu saja selain para mahasiswa yang akhirnya dijadikan sebagai tokoh pejuang lahirnya reformasi. Padahal di baliknya masih banyak orangorang yang berjuang sampai titik darah penghabisan untuk membela masyarakat sipil yang tertindas dan menjadi korban rezim bertangan besi. Tak kunjung lelahnya uluran tangan yang mereka berikan bagi para korban. Luka bakar, darah dan jenasah menjadi pemandangan yang sudah tak asing lagi bagi tim relawan.

PASTI edisi 39 | 29


â–ś

LAPORAN UTAMA

Iring-iringan FORKOT di atas jalan tol lingkar dalam kota, menuju Kampus Trisakti untuk memperingati 1 tahun penembakan Trisakti. (Foto: Dok. Muh. Firman Hidayatullah)

30 | PASTI edisi 39


Derap Mahasiswa Runtuhkan Rezim CERITA OLEH TERESIA BELA

PASTI edisi 39 | 31


32 | PASTI edisi 39

wartawan bermula kala Firman mulai mencicipi bangku perkuliahan tahun 1992 ketika dirinya masuk di Fakultas Hukum, Universitas Kristen Indonesia. Sambil menuntut ilmu, ia juga mengikuti jejak ibunya, Roostien Ilyas, yang aktif dalam kegiatan sosial. Sewaktu itu, mereka mengajar anak-anak jalanan yang tinggal di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur. Kegiatan membantu sesama yang membutuhkan tersebut rupanya banyak mengundang wartawan untuk datang meliput. Dari ibunya yang kerap diwawancara itulah, Firman perlahan mulai mengenal para pewarta berita maupun foto. Ditambah juga dengan pengalamannya saat bergabung dengan salah satu media. “Tahun 1997 saya magang di grupnya Jawa Pos. Bukan officially magang ya. Tapi ngikut-ngikut wartawan gitu. Istilahnya wartawan tandem. Belajar motret, masang film. Terus saya di situ jadi lebih kenal wartawan,” ujarnya. Firman biasa mendapat film dari kawankawan wartawannya setelah memberikan informasi tentang demo yang akan berlangsung, “Itu ada yang gendong kamera namanya Luther Ulag. Dia wartawan

Foto: Dok. Muh. Firman Hidayatullah

Setelah Soeharto menyatakan diri berhenti menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, berlangsung aksi mahasiswa di kawasan Semanggi, Jakarta. Muhammad Firman Hidayatullah mengabadikan momen bersejarah tersebut di atas jembatan penyeberangan orang yang letaknya berdekatan dengan Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya. Tanpa disangka sebelumnya, sekelompok tentara naik dan memergokinya mengambil gambar. Firman-panggilan akrabnya-hanya bisa pasrah ketika pukulan mendarat ke kepalanya bertubi-tubi. Seusai babak belur dihajar tentara, ia merasa ada kucuran air hangat yang mulai menempa wajahnya. Sesaat kemudian Firman sadar bahwa cairan tersebut adalah darah. Ia selanjutnya dilarikan ke Rumah Sakit Jakarta dan mendapatkan perawatan selama 10 hari. Sementara itu, 18 jahitan diperlukan untuk menutup luka yang menganga di kepalanya. Firman mengingat betul musibah yang dialaminya kala itu. Ketika ditemui di Graha Pena 98, Kemang, Jakarta Selatan, ia tampak antusias menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi fotografer organisasi pergerakan mahasiswa 1998 bernama Forum Kota atau Forkot. Mulanya, lelaki asal Sumenep, Madura, Jawa Timur ini tergerak untuk membantu teman-temannya yang kesulitan dalam mendokumentasikan setiap kegiatan Forkot. “Jadi dari apa saya bergerak? Dari pemikiran, ‘kira-kira perjuangan ini butuh apa? Apa yang bisa saya perbuat untuk perjuangan ini? Apa sumbangsih saya?’ Ya itu, foto,” ujarnya. Ia menuturkan bahwa bakat memotretnya ini didapat dari ayahnya yang mempunyai hobi fotografi. Dulu, ayah Firman yang juga berprofesi sebagai TNI Angkatan Udara memiliki kamera Nikon FM keluaran pertama tahun 1977. Dilengkapi dengan lensa tele zoom sigma, ia mengabadikan tiap momentum pergerakan mahasiswa maupun massa yang berjuang untuk reformasi. “Kameranya dia aja saya colong gitu,” katanya sambil tertawa. Kala masih menjadi fotografer Forkot, Firman mengaku pernah menghabiskan hampir 2 juta rupiah untuk membeli film. Waktu itu, tabungan 2,5 juta yang disimpan di sela-sela lempitan baju dalam lemari perlahan mulai berkurang. Ia menceritakan bahwa dulu harga Fujifilm ASA 400 C 36 sempat mencapai angka 40 ribu per roll. Harga tersebut naik 2 kali lipat dari yang awalnya hanya 18 ribu rupiah. Maka dari itulah, tabungan Firman mulai krisis dan hanya menyisakan beberapa ratus ribu saja. Akibat kondisi keuangan yang kurang baik itulah, ia kebingungan. Namun beruntung, Firman kerap kali mendapat sumbangan film dari temanteman wartawannya. Cerita perkenalannya dengan


Muhammad Firman Hidayatullah di Gedung Graha Pena 98, Kemang, Jakarta Selatan. (Foto: Teresia Bela)

foto Suara Pembaharuan. Itu tiap ketemu di lapangan, ‘cing!’ terus ‘nih’ gitu,” katanya ketawa geli sambil menunjuk salah satu fotonya yang dipajang dalam Pameran Foto ‘Refleksi 20 Tahun Reformasi’. Menurutnya, support teman-teman wartawan yang bertugas kala itu sangat luar biasa. Selain Ulag, Firman juga berkawan dengan fotografer Antara, Oscar Motuloh. Uniknya, komunikasi yang terjalin antara Oscar dan Firman menggunakan perantara pager atau pejer. Alat telekomunikasi yang booming di tahun 90-an ini berfungsi untuk menyampaikan dan menerima pesan pendek. Sebelumnya, mereka sepakat menggunakan bahasa sandi tertentu ketika akan menyampaikan sebuah informasi. Waktu itu kata ‘demo’ diubah menjadi ‘makan siang’, sedangkan ‘DPR’ diganti ‘Dawam Pramudya Rahardjo’. “Jadi kalau besoknya mau demo itu, besok pagi saya pejer si Oscar itu pakai, ‘Nanti jam 1 siang makan di kediaman Bapak Dawam Pramudya Rahardjo.’Berarti nanti jam 1 siang demo di DPR’,” kenangnya. Selain memiliki jaringan wartawan lokal, Firman juga mengenal beberapa wartawan asing yang sama-sama meliput aksi mahasiswa kala itu. Suatu kali setelah semalaman menginap di Gedung DPR/MPR RI di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, ia beserta teman-teman seperjuangannya pada pagi harinya dikumpulkan di parkiran kampus Atma Jaya. Ia didatangi oleh wartawan Nata dari Jepang dengan

kondisi rambutnya yang masih acak-acakan. “Kebetulan wartawan asing selalu carinya saya karena teman-teman jarang yang bisa bahasa Inggris,” katanya sambil tertawa. Keterlibatan Firman dalam Forum Kota Firman merupakan bagian dari organisasi mahasiswa Forum Kota atau Forkot. Forkot ada sejak 7 Maret 1998 dan menjadi inisiator pergerakan mahasiswa dalam menumbangkan rezim Soeharto. Forkot bersama Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jabotabek (FKSMJ) tercatat sebagai organisasi gerakan mahasiswa pertama yang memasuki Gedung DPR/ MPR pada Mei 1998. Pada awalnya, Forkot beranggotakan 16 kampus, di antaranya Universitas Kristen Indonesia (UKI), IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta), IAIN Syarif Hidayatullah, Universitas Nasional (Unas), Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Unika Atma Jaya, Institut Teknologi Indonesia, Universitas Jayabaya dan lain sebagainya. Kemudian jumlah itu sempat membengkak menjadi 70-an lebih kampus. Dilansir dari situs resminya yang sudah diarsipkan www.geocities.com/forumkota, ada enam poin tujuan utama didirikannya Forkot, antara lain; Pertama, Mahkamah Rakyat (Tribunal) menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat; Kedua, Menghukum PASTI edisi 39 | 33


â–ś

Salat maghrib saat demonstrasi. (Foto: Dok. Muh. Firman Hidayatullah)

Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya; Ketiga, Membubarkan Golkar dan organisasi-organisasi bentukannya; Keempat, Membersihkan korupsi, kolusi, nepotisme sampai ke akar-akarnya; Kelima, Demiliterisasi sistem dan mengembalikan militer ke fungsi profesional. Menghapus Dwifungsi; serta Keenam, Membersihkan birokrasi dari sisa-sisa rezim Orde Baru. Firman berujar bahwa tuntutan mahasiswa yang tergabung dalam Forkot tersebut dibangun atas dasar banyaknya kasus-kasus di masyarakat. Seperti contohnya penggusuran warga Kedung Ombo, Grobogan, Jawa Tengah dengan dalih pembangunan. Pada 1985 seperti dilansir dalam Tirto.id, Bank Dunia telah menggelontorkan dana sebanyak 156 juta dolar AS demi terbangunnya sebuah waduk seluas 5.898 hektar. Lahan yang tergusur itu setidaknya dihuni oleh 3.006 keluarga dengan rata-rata mata pencaharian warga sekitar sebagai petani. Tertulis melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 593/135/1987 bahwa besaran ganti rugi tanah yang terdampak Proyek Waduk Kedung Ombo di daerah Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan sebanyak 700 ribu per meter. Namun yang disayangkan, uang yang dijanjikan tersebut menemui masalah. Ganti rugi yang dibayarkan tidak sesuai dengan nominal dalam surat keputusan tersebut. Alhasil warga pun 34 | PASTI edisi 39

menuntut. Tak berhenti di situ, citra PKI pun juga ikut disematkan pada warga Kedung Ombo yang membangkang. Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Waduk Kedung Ombo mengamininya dengan mengatakan bahwa warga yang protes dianggap telah disusupi paham komunis. Selain kasus penggusuran warga atas dasar pembangunan, era Orde Baru juga dikenal dengan berkembang biaknya nepotisme dalam keluarga cendana. Nepotisme tak lain merupakan kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri terutama dalam menduduki jabatan tertentu. PT Citra Lamtoro Gung Persada merupakan perusahaan milik Siti Hardiyanti Rukamana atau Tutut, putri pertama Soeharto. Perusahaan ini bergerak dalam bidang usaha konstruksi, perdagangan, pertanian, dan kerajinan tangan. Kemudian PT Humpuss milik Hutomo Mandala Putra atau yang dikenal dengan Tommy Soeharto. Humpuss pun memiliki anak perusahaan seperti PT Humpuss Land untuk bisnis properti dan konstruksi; PT Humpuss Intermoda Transportasi; PT Humpuss Karbometil Selulosa pada pengeboran minyak dan gas; PT Humpuss Aromatik dalam produksi minyak tanah dan solar; PT Humpuss Pengolahan Minyak; dan PT Humpuss Petragas. Sementara putra ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo mendirikan PT Bimantara Citra (seka-


rang diakuisisi oleh MNC dan berubah nama menjadi PT Global Mediacom) yang bergerak di bidang industri media. Terakhir putri bungsu Soeharto, Siti Hutami Endang Adiningsih atau Mamiek Soeharto. Ia mendirikan PT Manggala Kridha Yudha di mana taman buah Mekar Sari Bogor merupakan salah satu bagian di dalamnya. “Ketika anak-anaknya jadi pengusaha, berbisnis, Soeharto tidak lagi jadi presiden. Tapi dia menjadi bapak yang baik. So everything number one is anaknya,” kata Firman dengan sedikit penekanan. Pecah Reformasi

Titik kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dimulai dari dibakarnya truk-truk sampah oleh massa. Firman mengaku kala itu melihat langsung peristiwa di mana truk sampah datang dan ditinggalkan begitu saja. Rupanya hal ini juga terjadi di 11 titik kerusuhan lainnya. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin oleh Marzuki Darusman pernah mencatat bahwa kerusuhan-kerusuhan di Jakarta mempunyai pola awal yang sama. Ada aktor yang diindikasi memancing reaksi massa dengan membakar material tertentu seperti ban, kayu, tong sampah, dan barang bekas. Selain itu, aksi-aksi kampus merupakan cikal bakal perlawanan mahasiswa. “Saya masih ingat wak-

tu itu, demonstrasi dianggap hal yang menakutkan,” ucap Firman. Hingga kemudian muncul pernyatan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan VI, Edi Sudrajat, yang menyatakan bahwa aksi mahasiswa hanya diperbolehkan di dalam kampus saja. Namun rupanya, gelombang demontrasi sudah tak terbendung lagi. Seluruhnya berakhir dengan aksi turun ke jalan untuk menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Pada Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto dengan tenang berdiri di depan mikrofon yang berada di ruang Credentials Istana Negara. Presiden ke-2 RI ini kemudian menyatakan dirinya berhenti dari jabatannya. “Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik

Mahasiswa dipukuli tentara. (Foto: Dok. Muh. Firman Hidayatullah)

PASTI edisi 39 | 35


Bentrok mahasiswa dengn aparat di Gedung Manggala Wana Bhakti. (Foto: Dok. Muh. Firman Hidayatullah)

Indonesia Prof. H. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 19982003,” kata Soeharto seperti dikutip dalam laman Kompas.com. Perjuangan Mahasiswa Apa yang pernah dilakukan mahasiswa selama ini menurut Firman tak pernah berkonsiliasi dengan kepentingan bisnis apapun. Ia mengaku dulu sering mendapat cibiran dari pihak oposisi yang mempertanyakan fungsi aksi turun ke jalan oleh mahasiswa. “Sejak kapan perjuangan itu seperti jual beli? Kita hanya ingin keadaan politik yang lebih baik,” ungkapnya. Selain itu menurutnya, perjuangan rakyat kala itu disuarakan oleh mahasiswa karena dianggap sebagai kelompok yang paling mewakili masyarakat. Mahasiswa tidak terkonfrontasi oleh partai manapun. Artinya, kepentingan politiknya bukan untuk kepentingan golongan atau partai melainkan negara. “Nah, dari situlah lalu mereka bergerak. Didahului dari beberapa pernyataan-pernyataan kritis dari lembaga intelektual seperti LIPI,” lanjut Firman. Ungkapan bernada kebencian dari para pendukung pemerintahan Orde Baru juga berbentuk klaim yang menyatakan bahwa Forkot merupakan bagian dari komunis. Gaya menyerang khas orba ini kemudian disebarkan ke masjid-masjid dalam bentuk selebaran. “Dulu (Forkot) dibikin Front Operasi Rakyat Komunis Total,” kata Firman tertawa heran. Sementara itu mahasiswa lain yang tidak tergabung dalam Forkot dianggap sebagai gerakan komunis baru 36 | PASTI edisi 39

dan tidak murni lagi. Meski berat, semangat bapak satu anak ini tak pernah padam. Suatu kali dalam aksinya di jalan, ia, Despen, dan Luther Ulag pernah dikejar-kejar oleh aparat bersenjata. Diketahui bahwa Despen merupakan wartawan televisi Indosiar yang berkawan erat dengan Firman. “Mundur sambil lari gitu. Tentara maju sambil nembakin peluru ke atas (pyu pyu) sambil diskusi politik sama mas Despen, terus sama Luther. Itu sambil ‘DPR kok gitu ya sekarang?’,” kenangnya. Kini reformasi sudah berjalan selama 20 tahun. Namun cita-cita reformasi menurut Firman tidak akan terwujud apabila masih ada seruan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama tertentu. Saat ini muncul banyak tokoh yang mengklaim dirinya sebagai pemuka agama, namun tidak tercermin dari sikapnya. Hal ini yang digarisbawahi oleh Firman sebagai bentuk disintegrasi bangsa berbasis perbedaan keyakinan atau kepercayaan. “Jadi kalau misalnya tanya, ‘apa yang diinginkan sekarang?’ aku sudah berhenti berharap. Makanya sekarang kalau pameran, ‘Man lu mau nggak pameran?’ Ayo gitu, karena cita-cita saya sudah saya taruh lagi,” katanya muram. Firman berharap agar masyarakat bisa dewasa dalam menentukan masa depan. Ia menambahkan bahwa jangan sampai bahaya laten baru ini berpeluang untuk mengadakan praktek memecah belah.


TRIBUTE TO THE VICTIMS OF THE LOMBOK EARTHQUAKE JULY 29, 2018


KISAH MATA

Kartu Pos dari Seberang Istana CERITA & FOTO OLEH GREGORIUS BRAMANTYO

38 | PASTI edisi 39


Kiri: Payung hitam menjadi simbol dari Aksi Kamisan. Atas: Deretan foto para korban pelanggaran HAM.

Puluhan hingga ratusan orang memadati sudut barat Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Panasnya terik matahari tak membuat semangat massa yang berkumpul di depan Istana Merdeka memudar. Kamis sore itu, 17 Mei 2018, ratusan pegiat hak asasi manusia (HAM) dan simpatisan menggelar Aksi Kamisan yang ke-538. Mereka tetap berdiri menjalankan Aksi Kamisan demi menanti adanya keadilan HAM di Indonesia. Seperti Kamis-kamis lainnya, Maria Katarina Sumarsih kembali melangkahkan kaki ke depan Istana Negara. Seperti biasa pula, pakaian serba hitam ia kenakan. Tak lupa, sebuah payung hitam ia tenteng. Sumarsih adalah salah satu pejuang HAM yang setia sejak Aksi Kamisan pertama kali digelar pada 2007 silam. Ia rutin saban Kamis berdiri mengenakan pakaian serba hitam di depan Istana Merdeka, menanti sikap Presiden RI yang sejak 1998 telah berganti-ganti, mencari keadilan bagi almarhum Benardinus Realino “Wawan� Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas dalam peristiwa Semanggi I pada 1998 silam. Ketika itu, Wawan merupakan bagian dari jutaan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut pergantian rezim. Wawan menjadi korban tewas dalam aksi demonstrasi dan kerusuhan besar pada 11-13 November 1998 yang dikenal dengan sebutan Tragedi Semanggi I. Wawan menyusul empat rekan mahasiswa yang telah lebih dahulu gugur dalam Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.

PASTI edisi 39 | 39


Meskipun namanya masuk dalam jajaran pahlawan reformasi, pembunuh Wawan tidak pernah diadili. Pada akhir 2006, para orang tua korban Tragedi Semanggi I, Tragedi Semanggi II dan Tragedi Trisakti kemudian menyepakati menggelar aksi diam di depan Istana Negara sebagai bentuk protes. Pada 18 Januari 2007, Kamisan pertama digelar. Payung hitam menjadi simbol Kamisan. Aksi Kamisan kini sudah meluas. Bukan hanya di Ibu Kota saja, aksi Kamisan juga digelar di berbagai kota besar lainnya di Indonesia. Khusus di Jakarta, kini anak-anak muda pun ikut terlibat menggantikan peran para orang tua korban yang telah meninggal dunia dan telah lelah memperjuangkan keadilan bagi putra-putri mereka. “Saya bangga. Sejak dari generasi ke generasi ada Kamisan dan ada regenerasi. Anak-anak muda ikut terlibat, bikin skripsi, tesis bahkan disertasi tentang Kamisan. Artinya ini terdokumentasi dengan baik. Dan mereka juga ikut. Tidak seperti di pemerintahan yang pejabat strategisnya masih itu-itu saja,” cetus Sumarsih.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Kamisan kali itu memang dipenuhi anak muda. Hanya sedikit terlihat peserta aksi yang sudah berusia lanjut. Selain para aktivis dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti KontraS, LBH Jakarta dan Amnesti Internasional Indonesia, sejumlah mahasiswa juga tampak di jajaran peserta aksi. Kini, sudah 11 tahun Sumarsih berdiri di depan Istana setiap Kamis. Sumarsih mengatakan, ‘hilal’ keadilan bagi Wawan dan rekan-rekan mahasiswa lainnya yang gugur ketika membuka jalan bagi era reformasi belum juga terlihat. Sumarsih berharap agar Presiden Joko Widodo segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Menurutnya, seluruh keluarga korban pelanggaran HAM tidak akan pernah melupakan kejahatan yang melanggar hak asasi manusia seperti Tragedi Semanggi 1 dan 2 hingga Tragedi Trisakti. “Kami berjuang melawan lupa dan berjuang melawan impunitas, agar hukum di negara kita tidak melindungi penjahat,” tegas Sumarsih.


Kiri: Peserta Aksi Kamisan membawa payung hitam menjadi simbol dari Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta. Atas: Salah satu aktiivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadlian (JSKK) ketika menggelar Aksi Kamisan ke-538. Bawah: Sumarsih, ibu dari Wawan korban Tragedi Semanggi I, turut hadir dalam Aksi Kamisan.

PASTI edisi 39 | 41


Atas: Deretan foto para korban pelanggaran HAM. Bawah: Aktivis membawa foto korban pelanggaran HAM saat aksi Kamisan ke-538.


Atas: Beberapa aktivis Jaringan Korban untuk Keadilan (JSKK) ketika menggelar aksi Kamisan di depan Istana Negara. Bawah: Polisi berjaga saat aktivis Jaringan Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-538.

PASTI edisi 39 | 43


Salah satu aktivis mengenakan topeng bergambar wajah Teten Masduki.

Salah satu aktivis mengenakan topeng bergambar wajah Budiman Sudjatmiko.

Salah satu aktivis mengenakan topeng bergambar wajah Presiden Joko Widodo.

44 | PASTI edisi 39


Atas: Polisi berjaga saat aktivis Jaringan Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-538. Bawah: Salah satu peserta membawa payung hitam yang menjadi simbol aksi Kamisan.


SOSOK

Menapaki Jalan Lengang Sinema Dokumenter CERITA OLEH CHRISTIAN ADI FOTO OLEH GREGORIUS BRAMANTYO ‘Oi bencong, sini beli tempe’, ‘Dasar orang aneh!’, ‘Enggak berguna, dipotong saja pakai parang! (menunjuk arah kelamin)’. Begitulah kira-kira seruan warga sekitar ketika “menyapa” beberapa kaum transgender dalam film dokumenter Bulu Mata karya Tonny Trimarsanto. Film dokumenter dengan tema kaum minoritas dan Tonny adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bermula ketika menjadi penata artistik, periset materi visual, dan penulis skenario untuk film-film Garin Nugroho selama 10 tahun sejak film Bulan Tertusuk Ilalang. Ia pernah memenangi kategori Best Art Director untu film Daun di Atas Bantal di beberapa festival film internasional. Namun ternyata gemerlap industri film layar lebar tidak serta merta membuat Tonny betah. Salah satu alasannya, tidak ada tantangan dalam membuat film fiksi. Dengan puluhan kru, peralatan lengkap, dan dukungan teknologi Computer Generated Imagery (CGI), proses pembuatan film layar lebar bisa diatur dengan mudah. Sebaliknya, film dokumenter yang memotret realitas di masyarakat lebih banyak menangkap peristiwa spontan, penuturan cerita, dan tak jarang mengambil risiko jika bersentuhan dengan isu yang kontroversial dan sensitif, seperti yang pernah ia alami di Sampit, Ambon, Timor Leste, dan Papua. Namun justru itu yang membuat Tonny tertarik. Ia sejak awal tahu bahwa film dokumenter adalah kasta terendah dalam dunia bisnis audio visual di bawah industri periklanan, layar lebar, dan sinetron. Pasar film dokumenter hanyalah festival, dunia akademis, dan komunitas terbatas. Apalagi sejarah yang lekat dengan propaganda, dari zaman Hitler hingga Soeharto, yang membuat film dokumenter kurang 46 | PASTI edisi 39

diminati. “Dokumenter itu sepi, tak menjanjikan uang. Tetapi itu minat saya, membuat film sebagai media untuk mengekspresikan sikap saya terhadap sebuah persoalan,” kata Tonny. Meski dengan modal pas-pasan, Tonny cukup produktif menghasilkan film dengan berbagai tema sosial, di antaranya Gerabah Plastik, The Last Prayer, It’s a Beautiful Day, Laki-laki dengan Dua Belas Istri, Tikus yang Kawin dengan Wereng, dan Egg, Chicken and Where’s Mr Kelly—film pendek tentang cerita kekerasan di Papua. Daun di Atas Bantal, Bulan Tertusuk Ilalang, dan beberapa film layar lebar lainnya membuat namanya melambung di tahun 1997 ketika mendapatkan penghargaan sebagai Best Art Director di Indonesia Cine Club Film Festival untuk film Daun di Atas Bantal. Tahun 2002 Tonny kembali memenangkan penghargaan Film Terbaik dalam Festival Film Dokumenter Indonesia untuk filmnya yang berjudul Gerabah Plastik. Di tahun 2010, Tonny kembali mendapat penghargaan di kategori Film Terbaik dalam Festival Film di India. Sejak tahun 2000, Tonny mulai fokus berkarir dalam dunia film dokumenter. Selain menggarap film dokumenter, Tonny juga sempat menjelajahi dunia kepenulisan hingga menerbitkan beberapa buku seperti, Membaca Film Garin, Renita Renita, dan Membuat Dokumenter Gampang-Gampang Susah. Tonny lebih senang dalam dunia dokumenter ketimbang fiksi, walaupun film fiksi juga pernah mengharumkan namanya dengan masuknya beberapa film karya Tonny ke festival film di berbagai belahan dunia. “Contohnya, film saya yang berjudul Serambi, sudah masuk festival film di Cannes, Prancis. Tapi dokumenter lebih menarik untuk saya,” begitu ungkapnya.


Tonny Trimarsanto di rumahnya, Klaten, Jawa Tengah, yang juga berfungsi sebagai basecamp rumah produksi Rumah Dokumenter. (Foto: Gregorius Bramantyo)

Dokumenter sendiri menurut Tonny lebih menantang dan lebih membuat dirinya terpacu dalam belajar. Cara kerja yang simpel dan tidak membutuhkan banyak pekerja maupun aktor yang membuat Tonny semakin nyaman dalam dunia film dokumenter. Film dokumenter menurutnya lebih personal dalam proses pembuatannya dan juga tidak membutuhkan banyak biaya. “Di film dokumenter pun saya lebih bisa mengatakan langsung, misalnya tentang pelecehan, tentang kemiskinan, dapat saya sampaikan secara langsung. Tidak perlu banyak aspek artistik, pemeran dan lain-lain. Dan saya juga lebih menikmati proses dalam pembuatan film dokumenter,” begitu kata Tonny ketika ditanya alasan lebih menggarap dokumenter dibandingkan film fiksi. Kami bertemu Tonny di basecamp Rumah Dokumenter di Belangwetan, Klaten, Jawa Tengah—yang juga sekaligus kediaman Tonny sekeluarga. Rumah berasitektur Jawa dengan sedikit sentuhan Bali tersebut terkesan paling “teduh” di antara rumah-rumah sekitarnya. Obrolan kami berlanjut membahas alasan Tonny memilih minoritas dan transgender sebagai tema yang kerap diangkat dalam film-filmnya. “Karena menurut saya ketika membuat film, kita belum mencapai titik equality

(kesetaraan). Apapunlah dan kesetaraan itu tidak pernah terjadi bagi kaum minoritas. Nah, ketika kesetaraan tidak pernah terjadi, maka saya mencoba untuk membuka ruang dialog yang lebih luas guna menyampaikan bagaimana kesetaraan dapat terjadi,” begitu katanya. Tonny terbilang konsisten membuat film dokumenter selama 20 tahun terakhir ini. Menurut Tonny sendiri, dokumenter mempunyai pangsa pasar yang berbeda dengan film fiksi. Banyak orang menganggap dokumenter tidak dapat menghidupi dan tidak banyak diekspos. Namun pasar film dokumenter karya Tonny lebih banyak di luar negeri, seperti Amerika Serikat, dan Eropa. Beberapa filmnya juga pernah dikontrak untuk ditayangkan di televisi Taiwan. Tonny sendiri menyayangkan dengan sutradara yang bisa terhitung banyak jumlahnya dalam ranah film dokumenter, namun hanya sedikit yang mampu bertahan. Di dunia film dokumenter, kerap kali permasalahan biaya menjadi momok bagi para sutradara yang akan berkecimpung di dalamnya. Tetapi Tonny punya cara tersendiri dalam menghadapi ketakutan tersebut. Ia tidak terlalu memikirkan bagaimana uang yang akan diterima ataupun pembiayaan filmnya. Tonny lebih sering menggarap filmnya setengah jadi lalu memutar otak untuk melakukan PASTI edisi 39 | 47


fundraising. Seperti film Asu Gancet yang berceritakan tentang pertanian organik. Asu Gancet sendiri adalah komposisi musik lama dan lesung. Film ini sudah digarap olehnya sejak tahun 2013 dan sampai sekarang belum mendapat fundraising. Namun menurutnya, ada atau tidaknya fundraising tidaklah penting. Tonny lebih bergantung kepada modal sosial dan juga jaringan yang dimiliki olehnya. Kapital berupa uang menurutnya tidak terlalu penting dibandingkan dengan modal sosial dan jaringan yang dimiliki olehnya. Pola yang dilakukan oleh Tonny adalah tidak mendapatkan uang terlebih dahulu, namun uang bisa didapatkan kemudian. Modal sosial yang dimiliki Tony pun bekerja dengan baik. Ia bercerita ketika memproduksi film Laki-laki dengan Dua Belas Istri

48 | PASTI edisi 39

yang idenya bermula sejak 2012 ketika Tonny menyutradarai syuting iklan Djarum “My Life My Adventure” yang lokasinya berada di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ketika syuting di Sumba, salah satu kru Tonny bercerita, “Mas, di sini ada bapak-bapak yang punya istri dua belas lho”. Dari situ Tonny mendapatkan ide untuk film tersebut. Tidak lama setelah itu, ia mengumpulkan tim dan berangkat ke lokasi untuk memulai syuting. Selama perjalanan sampai lokasi, untuk masalah akomodasi Tonny mengandalkan jaringan yang ia punya. Ia menumpang tidur di biara, dengan feedback memberikan workshop untuk orang muda Katolik sekitar. Sejak film Renita Renita dan The Mangoes, Tonny lebih banyak dikenal sebagai sineas dokumenter yang punya spesialisasi isu transgender. Bahkan, beberapa penyelenggara festival film international sering bertanya apakah dirinya memiliki film serupa untuk diputar dan diapresiasi. Ketertarikan Tonny dalam memotret dunia transgender didorong oleh keinginannya untuk membuat film-film advokatif yang membela hak kelompok minoritas di Indonesia. Transgender ada di tengah-tengah masyarakat tetapi sering luput dari perhatian publik. “Saya merasa berkepentingan dengan isu minoritas, karena mereka layak untuk dilihat dan dimanusiakan. Dan film-film saya tentang transgender adalah dialog yang tak pernah selesai,” kata Tonny. Secara umum, orang-orang memandang kelompok waria dengan stigma negatif dan memperlakukannya secara diskriminatif. Sementara, saat itu belum ada film dengan teknik pengambilan gambar tak berjarak yang mengungkap sisi kehidupan transgender secara gamblang. “Kalaupun ada, ambil gambarnya memakai lensa tele, diam-diam mencuri, dan sudut pandangnya sebagai pihak luar. Saya membuat film dengan kamera yang sangat dekat dengan mereka, dan membuat mereka berani bercerita ke arah kamera,” kata Tonny. Renita Renita menjadi film dokumenter pertama tentang transgender yang memiliki intimasi dengan subyek. Sejak awal, Tonny memposisikan dirinya berada di pihak mereka dan berupaya membangun kedekatan secara


personal sehingga tokoh yang difilmkan tak merasa risih dibuntuti kamera. Tonny lebih banyak menggunakan pendekatan empati terhadap kelompok transgender, sehingga mereka merasa sang sutradara seperti sahabat yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita dan kehidupannya yang sangat pribadi. “Untuk cara pendekatan, saya lebih mengedepankan empati, misalkan bagaimana saya tidak berjarak, saya berdiri di pihak mereka, bagaimana saya di antara mereka dan bagaimana saya meyakinkan mereka bahwa saya ada di pihak mereka. Saya mencoba jujur dengan mereka, mencoba jujur tentang apa maksud saya dan bahwa saya peduli dengan mereka,” jelasnya. Ia menambahkan, “Dulu kita mengenal transgender dengan panggilan ‘wadam’ (wanita adam), ataupun ‘waria’ (wanita pria). Lalu beberapa tahun terakhir dunia internasional mengenal kata LGBT (Lesbian Guy Bisexual Transgender)”. Menurut Tonny sendiri, masyarakat Indonesia sejak lama mengalami fobia dengan segala sesuatu yang bersifat asing. Kisah itu terjadi di pesantren waria, ketika Tonny sedang nongkrong wedangan di sekitaran Kotagede. Sang penjual wedangan bercerita, “Mas, tahu nggak? Pesantren itu kemarin habis digrebek kelompok radikal dan kelompok intel lho”. Lalu Tonny pun bertanya “Lha memang kenapa pak?” “Mereka kan LGBT,” sang penjual masih bersikukuh. “Tapi mereka sudah lama toh, Pak?” Tony menimpali, lalu dijawab kembali oleh sang penjual, “Tiga tahunan lah”. “Pernah ada masalah?” Tony kembali bertanya. Sang penjual mengaku, “Nggak pernah”. “Terus kenapa digrebek?” tanya Tony kembali. “Ya karena mereka LGBT,” pungkas sang penjual. Menurut Tonny, kejadian tadi disebabkan karena ketakutan sebagian besar masyarakat Indonesia akan segala sesuatu yang berbau impor yang harus dilawan, harus ditolak dan semacamnya.

Lantai atas rumah Tonny yang sekaligus menjadi ruang kerja Tony, kerap didatangi oleh siswa SMK jurusan multimedia. Tonny kerap mengadakan program magang untuk siapapun yang tertarik dalam film dokumenter. Di ruang kerja dengan tembok batu bata merah yang tidak “diaci” tersebut pula tergantung puluhan penghargaan yang telah diraih Tony selama ini. Soal apresiasi film dokumenter, ia menceritakan pengalamannya bahwa film Renita Renita pernah ditolak di Jakarta International Film Festival (JIFFest) 2006 karena dianggap tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan panitia. Tetapi, film berdurasi 16 menit itu malah diminta oleh seorang kurator Singapore International Film Festival 2007 untuk diputar di festival tersebut. “Untuk bisa bertahan di dokumenter, harus membangun jaringan, terutama di luar negeri yang punya prospek bagus. Dengan cara itu, saya bisa terus menghidupi film-film berikutnya yang akan dan sedang saya buat,” ujar Tonny yang kini juga menjadi pengajar tamu di beberapa kampus di Indonesia. Godaan pun beberapa kali mendatanginya berupa tawaran menggarap sinetron dan film fiksi, namun semuanya ia tolak dengan halus meskipun menjanjikan pendapatan yang lebih besar. Ia ingin tetap berada di luar arus utama perfilman Indonesia, dan memilih menapaki jalan sunyi nan lengang sinema dokumenter yang mengangkat kehidupan kaum minoritas.

PASTI edisi 39 | 49


â–ś

RAGAM

Suasana di dalam sinagoge Shaar Hashamayim, Tondano, Sulawesi Utara. (Foto: Gregorius Bramantyo)

50 | PASTI edisi 39


Bintang Daud di Utara Celebes CERITA & FOTO OLEH GREGORIUS BRAMANTYO

PASTI edisi 39 | 51


BANGUNAN ITU TAMPAK MENARIK PERHATIAN. Memiliki bentuk segi enam dengan atap genteng berwarna merah yang menutupi seluruh sisi terluarnya. Di halamannya terdapat pagar teralis berornamen Bintang Daud. Persis di atas pintu berkelir biru muda, terpampang sebuah plang yang memuat informasi dalam aksara latin dan Ibrani. Tulisannya: Shaar Hashamayim Synagogue. Itu adalah sinagoge berukuran 8 kali 16 meter di Kelurahan Wawalintouan, Kecamatan Tondano Barat, Minahasa, Sulawesi Utara. Ia menjadi pusat peribadatan penganut Yahudi di Sulawesi Utara. Jaraknya sekitar 35 kilometer dari Manado, ibu kota Sulawesi Utara. Lewat tengah hari, bangunan itu terlihat sepi. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil jenis sport berwarna hitam berhenti di bahu jalan depan sinagoge. Seorang pria berpostur tinggi, mengenakan jas dan topi fedora berwarna hitam keluar dan melangkahkan kaki ke sinagoge. Pria itu dikenal sebagai Rabi Yaakov Baruch, pengelola sinagoge Shaar Hashamayim. Yaakov Baruch merupakan nama Ibrani.

Semula, pria berusia 35 tahun itu punya nama Toar Palilingan Jr. Ketertarikan Yaakov pada Yahudi, bermula saat dirinya berusia 20-an. Saat itu, ia mulai menelusuri silsilah keluarga dan menemukan garis keturunan Yahudi dari seorang Belanda, Elias van Beugen—kakek buyut dari pihak ibu. Pada pameran bertajuk Selamat Shabbat, The Unknown History of Jews in the Dutch East Indies yang diselenggarakan Museum Sejarah Yahudi di Amsterdam, van Beugen disebut lahir di Den Haag dari sebuah keluarga Yahudi ortodoks. “Orangtua ayah nenek saya itu tidak menandatangani akte kelahiran karena saat itu hari sabat,” kata Yaakov. Dalam Yudaisme, sabat merupakan hari istirahat. Sabat dimulai sebelum matahari terbenam pada Jumat sore dan berakhir ketika bulan muncul di Sabtu malam. Di Hindia Belanda, Van Beugen bekerja sebagai anggota angkatan bersenjata pemerintah kolonial. 27 Juni 1935, ia meninggal. Batu nisannya yang beraksara Ibrani dan bersimbol Bintang

Sinagoge Shaar Hashamayim di Tondano, Sulawesi Utara. (Foto: Gregorius Bramantyo)

52 | PASTI edisi 39


Daud kini berada di pinggir jalan raya Pineleng, akses utama yang menghubungkan Manado dan Tomohon. Bintang Daud adalah lambang berbentuk sebuah heksagram, gabungan dua gambar segitiga sama sisi yang sudah sangat lumrah digunakan sebagai tanda jati diri Yahudi. Yaakov lantas memutuskan menelusuri garis keluarganya serta mempelajari Yudaisme hingga ke Belanda dan Israel. Ia diberitahu neneknya bahwa ia merupakan keturunan Yahudi ketika ia mulai beranjak dewasa. Orang-orang Yahudi dahulu melarang anak-anaknya untuk memberitahu pada orang lain jika mereka seorang Yahudi untuk alasan keamanan. Di Indonesia belakangan ini beberapa keturunan Yahudi mulai keluar dari balik tirai dan menunjukkan kehadiran mereka di tengah keberagaman Indonesia. “Kami juga banyak yang mulai menceritakan tentang siapa leluhur kami sehingga banyak yang sudah mulai tahu. Di akhir 90-an hingga awal 2000-an sudah mulai banyak yang berani mengklaim sebagai keturunan Yahudi. Ada yang terbukti iya, ada yang buat cari sensasi,” tutur Yaakov. Proses Yaakov untuk mendalami sejarah latar belakangnya terbilang simpel. Ia melakukan yang dinamakan Teshuvah. “Teshuvah itu istilahnya become religious atau back to the roots. Jadi orang Yahudi yang tadinya sekuler, yang nggak tahu tentang agama, kembali ke identitas aslinya”, jelasnya. Hal itu ia lakukan dan belakangan mulai banyak keturunan Yahudi di Indonesia yang melakukan hal serupa. Yaakov mendalami sejarah keluarganya terlebih dahulu, bagaimana mereka bisa tiba di Indonesia. Sejak kecil ia tahu bahwa keluarganya adalah keturunan Belanda. Namun keluarganya tidak menunujukkan identitas Yahudi sama sekali. Setelah keluarganya memberitahu dan menunjukkan dokumen dari Belanda tentang status keyahudiaannya, Yaakov pun percaya. “Saya melakukan riset, mencari tahu keberadaan keluarga saya itu dari mana dan ke mana. Sampai akhirnya saya menemukan beberapa informasi ketika saya ada di Belanda dan Israel. Sejak itu saya mulai belajar lebih jauh tentang ajaran Yudaisme”. Yaakov Baruch adalah satu-satunya rabi di sinagoge Shaar Hashamayim. Dalam prosesnya menjadi rabi, ia belajar di sebuah Yeshiva atau lembaga pendidikan kitab taurat di Yerusalem. Dengan bekal itu, ia mengklaim dapat memimpin ibadah dan mengajar Yudaisme. Tiap kali ke Israel, ia selalu menyempatkan diri ke Yeshiva untuk

belajar. Proses itu memakan waktu cukup lama dan rumit. Ia belum sempat menyelesaikannya karena membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menuntaskannya. Yaakov memang hanya dua bulan belajar di Yeshiva, namun sudah cukup baginya agar terkualifikasi untuk dapat memimpin ibadah Yahudi di sinagoge. “Yang namanya menjadi rabi harus lewat Yeshiva itu. Nggak mungkin mau jadi pastor nggak masuk seminari kan. Kita harus belajar teori dan sejarah, lalu kita akan memasuki masa spiritual kita sendiri yang membuat kita dapat panggilan. Itu yang buat saya memutuskan untuk jadi rabi,” jelasnya. Di komunitasnya memang baru Yaakov yang menjadi rabi untuk sementara. Pun begitu di Indonesia, hanya Yaakov seorang. “Kalaupun ada (rabi lain), paling ya rabi tamu tapi WNA. Kalau yang ngaku-ngaku rabi sih banyak ya,” tambahnya. DI INDONESIA TERKHUSUS SULAWESI UTARA, kata Yaakov, harus dibedakan antara para “penganut Yahudi” dengan “keturunan Yahudi”. Penganut Yahudi bisa saja bukan keturunan Yahudi. Pun, tak sedikit keturunan Yahudi yang memeluk agama lain. Saat ini, ada 33 kepala keluarga di wilayah Sulawesi Utara yang menjadi jemaat sinagoge Shaar Hashamayim. Meski demikian, angka persis penganut Yahudi di Sulawesi Utara sulit ditaksir. Provinsi itu memang punya jejak keturunan Yahudi, sehingga besar kemungkinan banyak pemeluk ajaran Yudaisme di sana. Namun, data kependudukan belum mengakomodir agama ini. Penganut Yahudi di Sulawesi Utara, masih menulis agama Kristen atau Islam di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Yaakov pun masih menulis Kristen Protestan pada kolom agama di KTP-nya. Ia sendiri sempat mengadakan survei kecil-kecilan dan ia menemukan bahwa hampir tiap agama dicantumkan di KTP mereka karena memang tidak ada pilihan. Mau tidak mau, mereka harus memilih salah satu agama yang diakui pemerintah Indonesia. “Sampai sekarang kolom agama di KTP tidak bisa dikosongkan. Banyak wacana untuk pengosongan tapi itu tidak benar. Beberapa kali saya coba mengosongkan tidak bisa. Jadi mau gimana lagi, saya tulis aja Kristen,” tutur pria yang berdomisili di Manado itu. Sejak pemerintah setempat merenovasi sinagoge Shaar Hashamayim, Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama datang PASTI edisi 39 | 53


Plang sinagoge yang beraksara latin dan Ibrani. (Foto: Gregorius Bramantyo)

berkunjung dan meninjau langsung dengan para penganut Yahudi. Mereka banyak bertukar pikiran soal pengakuan agama di Indonesia. “Jadi di Indonesia itu salah kalau bilang hanya mengakui enam agama. Yang diakui itu hari rayanya, sementara agama lain diakui keberadaanya, seperti Yahudi” jelas Yaakov. Pemerintah memang mengakui keberadaan agama Yahudi atau Yudaisme di Indonesia. Namun, pemeluk agama itu tidak akan mendapatkan pelayanan dari negara, seperti yang diperoleh penganut Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal itu ditegaskan di dalam Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Beleid yang diteken Presiden Soekarno itu menyebut enam agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Konghucu, pada era Orde Baru, sempat dijalankan secara sembunyi-sembunyi oleh para pemeluknya seiring kebijakan anti-Cina. Pengakuan pemerintah tidak berhenti di situ. Bagian penjelasan pada penetapan presiden itu juga memberikan jaminan hak dan kewajiban serupa bagi penganut agama dan aliran kepercayaan lain. “Tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme 54 | PASTI edisi 39

dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945,” tulis aturan itu. Yaakov menyebut, perbedaan perlakuan terhadap Yahudi dan enam agama yang diakui lainnya merujuk pada faktor jumlah pengikutnya yang banyak. “Makanya mereka diberikan keistimewaan hari raya dan diberikan subsidi, tempat ibadah, dikasih uang. Yang lain nggak dapat fasilitas itu, sehingga dianggap nggak diakui, padahal sebenarnya diakui. Kita harus luruskan soal itu,” tegasnya. Manfred Hutter, penulis buku Between Mumbai and Manila: Judaism in Asia since The Founding of the State of Israel, menyebut keturunan Yahudi dan penganut Yudaisme mudah diterima di lingkungan sosial Sulawesi Utara karena sejumlah faktor. Komunitas Kristiani yang mengakar di wilayah itu memiliki berbagai denominasi, salah satunya berorientasi pada kepercayaan mesianik. Orientasi denominasi itu, kata Hutter, mirip dengan apa yang diyakini penganut Yudaisme. Selain itu, menurut Hutter, Sulawesi Utara mempunyai sejarah panjang dalam hubungan dagang dengan saudagar asal Israel. “Daerah itu menyediakan tempat yang aman di sebuah negara yang ‘bermusuhan’ dengan Yahudi,” ucapnya.


Di perbukitan Gunung Klabat, Airmadidi, Minahasa Utara, pemerintah kabupaten setempat mendirikan kaki dian (menorah) raksasa setinggi 19 meter. Kaki dian merupakan simbol penting Yudaisme. Meskipun pemerintah setempat membangun monumen yang berdiri sejak 2009 itu sebagai titik turisme, kaki dian itu tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan beragama di Sulawesi Utara. PADA MASA SILAM SEMPAT ADA SINAGOGE YANG berdiri di Manado. Lokasinya ada di wilayah yang kini dikenal sebagai area wisata kuliner, Jalan Wakeke. Namun, saat pendudukan Jepang, rabi di sinagoge itu dibunuh dan aktivitas keagamaan akhirnya berhenti. Pada 2004, komunitas Yahudi di Sulawesi Utara mulai merintis pembangunan Shaar Hashamayim Synagogue. Mulanya, sinagoge itu sekadar rumah dua lantai milik Leo Van Beugen, yang tak lain adalah paman Yaakov Baruch. Lantaran punya nuansa arsitektur Yahudi, bangunan itu disulap jadi sinagoge pada medio 2004. Pembangunannya didanai J. P. Van Der Stoop, seorang Yahudi asal Belanda, yang memberikan donasi kepada Yaakov. Pemerintah Kabupaten Minahasa—masa kepemimpinan Steven Vreeke Runtu—juga memberi izin ibadah. Belakangan, lokasi ini mulai jadi satu situs pariwisata di Sulawesi Utara. Pada awalnya tidak ada yang tahu bah-

wa bangunan itu adalah sebuah sinagoge. Hingga akhirnya tamu-tamu penting dari kedutaan dan konsulat jenderal datang membuat masyarakat mulai terbuka dengan tempat tersebut. Awalnya masyarakat sekitar mengira bangunan tersebut adalah sebuah kantor yayasan. “Bukannya kami ingin menyembunyikan, tapi kami tidak mau mencari sensasi. Kami bergerak yang penting ada badan hukum, kami tidak mau jadi masalah,” papar Yaakov. April 2017 lalu, secara mengejutkan, Deputi Luar Negeri Amerika Serikat Anthony John Blinken merayakan paskah yang diselenggarakan komunitas penganut Yudaisme di Jakarta. Blinken kala itu tengah melakukan perjalanan dinas di Indonesia. Sebelum hadir di pusat perayaan paskah Yahudi di Jakarta Barat, Blinken bertemu dengan pejabat tinggi Indonesia seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang ketika itu menjabat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan.“Perayaan paskah Yahudi di negara yang mayoritas warganya beragama Islam sangat langka. Semuanya bersatu dalam toleransi,” ucap Blinken. Berita Blinken dan paskah Yahudi beredar luas. Namun jangkauannya tetap tidak masif. Komunitas Yahudi di Indonesia masih hidup dalam bayang-bayang. Dengan adanya tamu-tamu dan pejabat negara penting yang berkunjung ke sinagoge,

Rabi Yaakov Baruch sedang menunaikan ibadah pagi atau schacharit. (Foto: Gregorius Bramantyo)

PASTI edisi 39 | 55


Di perbukitan Gunung Klabat, Airmadidi, Minahasa Utara, pemerintah kabupaten setempat mendirikan kaki dian (menorah) raksasa setinggi 19 meter. Kaki dian merupakan simbol penting Yudaisme. (Foto: Gregorius Bramantyo)

masyarakat menjadi tahu dan mencoba untuk mencari tahu. Dalam prosesnya, banyak yang sempat mengaggap bangunan itu adalah tempat yang negatif. “Kebetulan masyarakat sekitar mayoritas Kristen. Jadi waktu mereka bilang ini tempat ibadah sesat, saya bilang ‘di dalam Alkitab kalian, Yesus pergi ke sinagoge pada hari sabat. Dengan mengatakan tempat ini sesat berarti kalian menghina kitab suci kalian sendiri’. Akhirnya dengan pola pikir seperti ini mereka jadi terbuka dan tertantang karena mungkin di mindset mereka Yesus pergi ke gereja waktu itu,” terangnya. Hal itulah yang akhirnya membuat banyak mahasiswa dari seminari Katolik, sekolah tinggi teologi, bahkan sekolah tinggi agama Islam yang datang berkunjung untuk belajar dan mencari informasi tentang ajaran Yahudi. Itu menjadi hal positif bagi masyarakat yang ingin mencari tahu mengenai agama Yahudi. “Karena selama ini agama Yahudi itu kalau di internet jadi korban fitnah nomer satu sepanjang sejarah. Karena nggak ada akses untuk mencari tahu, orang akan terima bulat-bulat segala yang jelek tentang Yahudi. Saya nggak menyalahkan mereka karena mereka memang belum pernah lihat orang Yahudi,” Yaakov menambahkan. Menjadi minoritas, ujar Yaakov, bukan perkara mudah. Pada mulanya, banyak masyarakat sekitar sinagoge yang bertanya-tanya tentang agama Yahudi. 56 | PASTI edisi 39

Perlahan, lewat komunikasi, warga mulai mengerti perihal Yahudi dan bisa berdampingan dengan sinagoge. Tilda Roring, yang rumahnya berhadapan dengan sinagoge, mengaku tak keberatan dengan aktivitas penganut Yahudi di lingkungannya. Menurut Tilda, rabi dan beberapa jemaatnya kerap singgah di rumahnya untuk silaturahmi. “Saya turut menjaga rumah ibadah itu. Kalau ada anak-anak memanjat pagar dan main bola di halaman sinagoge, saya suruh keluar.” Sinagoge Shaar Hashamayim sempat mengalami gangguan seperti vandalisme pencoretan pada dinding dan pencurian artefak. “Coretannya belum saya hapus, itu masih ada di luar. Saya sengaja nggak mau hapus supaya jadi bukti aja gitu kalau ada orang gila yang kurang kerjaan,” jelas Yaakov. Yaakov pun mengungkapkan bagaimana ia diintimidasi di sebuah mal yang ramai di Jakarta, saat dia sedang berjalan bersama istrinya yang sedang hamil. “Dari beberapa lantai, mereka meneriaki saya ‘Crazy Jew’,” katanya dan menambahkan, ada sekelompok pria lalu berlari mendatanginya dan meminta dia melepaskan kippahnya (penutup kepala Yahudi). “Mereka berkata kepada saya, ‘Kami tidak ingin Anda menggunakan kippah di negara ini. Jika Anda terus menggunakannya, kami akan membunuh Anda’.” Yaakov menganggap bahwa oknum-oknum yang intimidatif seperti itu tidak mewakili agama


yang mereka tunjukkan. Ia tetap menghargai orang-orang dari agama yang tertuduh sebagai anti-Yahudi. “Saya tahu mereka ini hanya korban mainstream media yang membuat propaganda anti-Israel, anti-Yahudi. Kalau mereka benar-benar melakukan ajaran agamanya, nggak akan seperti itu. Semua agama kan membawa kedamaian”. Menurutnya, kebanyakan masyarakat melihat Yahudi dari dua sisi. Yang pertama, masa pra kemerdekaan bahwa Yahudi itu penjajah karena kedatangannya bersamaan dengan orang-orang Belanda yang memang ada yang Yahudi maupun yang bukan. Yang kedua, era pasca kemerdekaan ketika terjadi perang antara Israel dengan negara-negara Arab. “Jadi memang stigma Yahudi tidak pernah postitf di negara ini, selalu negatif karena dua hal itu tadi,” ucapnya. Yaakov tidak pernah menyalahkan masyarakat Indonesia yang anti Yahudi. Ia hanya mencoba sejauh yang ia bisa untuk meluruskan beberapa informasi yang keliru tentang Yahudi. KEHADIRAN ORANG YAHUDI KE INDONESIA MEMIliki sejarah panjang dan mereka datang dalam tiga gelombang menurut Romi Zarman, peneliti sejarah Yahudi di Indonesia dan penulis buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme. Pada awal abad 10 orang, Ishaaq Yehuda seorang Yahudi Oman berdagang di Sumatra dan tewas dirampok di wilayah kerajaan Sriwijaya. Tiga abad kemudian, lewat dokumen Geniza, diketahui bahwa seorang Yahudi Mesir berlabuh dan berdagang di Barus, Pesisir Barat Sumatra. “Kehadiran orang Yahudi di negeri ini pertama-tama tampak didorong motivasi ekonomi berdagang, namun pada abad ke-16, dalam era Portugis, kehadiran Yahudi juga dilengkapi aspek lain di mana Politik Inkuisisi di Spanyol telah membuat Yahudi terusir,” jelas Romi. Kelompok ini menurut Romi bermigrasi di antaranya ke Asia. Kelompok ini ditemukan berdiam di Malaka. Gelombang kedua kedatangan orang Yahudi ke Indonesia terjadi pada 1602 sampai masa kolonial Belanda pada 1819. Menurut Romi, sebagian besar mereka merupakan Yahudi Sephardic, yang memiliki kemampuan berbahasa Arab dan menjadi penerjemah bagi perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indsich Compagnie (VOC) dan British East India Company (EIC), terutama di Aceh dan Banten. “Sementara, Yahudi Ashkenazi (Eropa Timur) kebanyakan bekerja sebagai administrator dan ada yang tergabung dalam barisan serdadu

VOC, adapun Yahudi Mizrahi (Timur Tengah) giat dalam bisnis dan menjalin kerjasama dengan siapa saja,” kata Romi. Orang Yahudi yang datang ke Indonesia bukan hanya penganut Yudaisme, namun juga terdiri dari Yahudi Arab beragama Islam yang bermigrasi bersama-sama dengan rombongan Arab. Dalam penelitiannya, Romi bertemu dengan salah seorang keturunan Yahudi Arab dan menemukan mereka berkontribusi dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Dalam catatan Romi, pada awal 1920-an, orang-orang Yahudi ini antara lain tersebar di Kutaraja, Padang, Medan, Deli, Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya. Catatan awal tentang keberadaan komunitas Yahudi di Indonesia itu terbukti dengan penemuan sejumlah batu nisan yang memuat lambang Bintang Daud dan aksara Ibrani. Di Banda Aceh, seperti ditulis Teuku Cut Mahmud Aziz dalam penelitian berjudul Tracing Jewish History in Kuta Radja, lambang-lambang itu ditemukan di kompleks pemakaman Kerkoff. Simbol-simbol khas Yahudi itu juga terdapat pada sejumlah nisan di pemakaman Kembang Kuning, Surabaya, Jawa Timur. Dua nisan bersimbol Bintang Daud dan beraksara Ibrani juga ditemukan di Pineleng, Minahasa dan Matungkas, Minahasa Utara. Dua daerah itu berada di Sulawesi Utara. Rotem Kowner, seorang profesor di Departemen Studi Asia pada Universitas Haifa, Israel, mengidentifikasi latar belakang orang Yahudi mula-mula di Hindia Belanda. Menurut Kowner, komunitas Yahudi di Hindia Belanda beranggotakan para pegawai pemerintah kolonial dan saudagar. Kelompok masyarakat Yahudi itu menjalankan tradisi Sephardic yang berasal dari kawasan Timur Tengah. Kelompok ini disebut berakar Baghdadi dan mayoritas dari mereka tinggal di Surabaya. Sebagian dari anggota komunitas Yahudi yang lain berstatus sebagai imigran yang melestarikan tradisi Askhenazi. Kebanyakan dari mereka lari dari penindasan Nazi di Jerman, Austria dan negara Eropa Timur lain. Mereka berhasil mencapai Hindia Belanda atas bantuan sanak saudara yang telah lebih dulu tiba. Menurut Fuad Mahbub Siraj, Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, ketidaktahuan sejarah yang dialami sebagian masyarakat Indonesia mempengaruhi eksistensi keturunan Yahudi dan penganut Yudaisme di Indonesia pada era kekinian. Menurutnya, PASTI edisi 39 | 57


Suasana di dalam sinagoge Shaar Hashamayim, Tondano, Sulawesi Utara. (Foto: Gregorius Bramantyo)

komunitas itu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dengan situasi dan kondisi seperti itu, mereka berjalan secara di bawah tanah atau senyap. “Mereka jadi enggan mengekspos diri. Ada ketakutan terkait keselamatan mereka,” ucap Fuad. Mengutip pernyataan Ibnu Burdah dalam tulisan berjudul Indonesian Muslims’ Perceptions of Jew and Israel, Manfred Hutter, penulis buku Between Mumbai and Manila: Judaism in Asia since The Founding of the State of Israel, menyebut fenomena yang terjadi di Indonesia adalah ‘anti-semit tanpa Yahudi’. Ia menilai, masyarakat Indonesia garis keras menjadikan Yahudi sebagai simbol negatif atas sekularisme, globlisasi dan modernitas pada umumnya. “Karena mereka tidak pernah berkomunikasi dengan keturunan Yahudi, stigma negatif itu tumbuh subur,” kata Hutter. “Saya hidup di negara yang konsep Yahudi dipandang secara negatif, dicurigai dan dibenci. Saya harus menjelaskan ke orang-orang di lingkungan pergaulan saya, bahwa Yahudi tidak seperti yang ditulis media ekstrem,” jelas Yaakov Baruch. Yaakov juga memberi penekanan soal perbedaan Yudaisme dan Zionis. “Penganut Yahudi 58 | PASTI edisi 39

(atau Yudaisme) dan Zionisme kerap kali disamakan. Padahal keduanya berbeda,” kata dia. Menurutnya, Yahudi sering diartikan sebagai ras dan sebagai agama. Sebagai agama, selain kata Yahudi bisa pula menggunakan kata “Yudaisme”. Catatan lain, sebagai ras, tidak sedikit orang Yahudi yang memeluk agama lain macam Islam atau Kristen. Sedangkan zionisme, dalam kacamata Yaakov, adalah kata yang kontroversial. Pada mulanya adalah kata Sion yang merujuk pada sebuah bukit di Yerusalem. Namun, zionisme berubah jadi identitas politik dengan tujuan menciptakan tanah air Yahudi di wilayah yang kini dikenal sebagai Israel. Perlu dicatat, ada pula tarik ulur dalam wacana negara Israel itu. Ada yang ingin tanah Israel jadi sekuler. Di sisi lain, kelompok konservatif yang menginginkan keluhuran Yahudi. Menurut Fuad Mahbub Siraj, persoalan muncul ketika Yahudi diidentikkan dengan negara Israel dan zionisme. Padahal, kata dia, Yahudi tidak berkaitan dengan zionisme yang disebutnya sebagai gerakan politik. “Yahudi itu sebetulnya tidak ada hubungan dengan zionisme. Itu kan gerakan yang berkaitan


invasi Israel sebagai negara terhadap Palestina,” kata dia. Fuad menyebut zionisme sudah ada sejak Indonesia berada di bawah koloni Belanda. Ideologi itu, kata dia, tidak serta merta diterima oleh imigran berlatar belakang Yahudi yang menetap di Hindia Belanda. Pernyataan tersebut serupa dengan apa yang dipaparkan Jeffery Hadler, peneliti Studi Asia Tenggara dari Universitas Berkeley, Amerika Serikat. Pada penelitiannya yang berjudul Translations of Antisemitsm: Jews, The Chinese and Violence in Colonial and Post-Colonial Indonesia, Hadler menyebut organisasi zionis yang didirikan di Hindia Belanda tidak mendapatkan sambutan hangat dari komunitas Yahudi. Hadler mengutip kata sambutan pada perayaan pendirian Association for Jewish Interest in the Netherlands Indies di Batavia, Juli 1927. Dokumen itu ditemukannya di Arsip Nasional Indonesia. “Dua belas tahun lalu di Batavia, sebuah asosiasi Yahudi didirikan. Keberadaannya sangat singkat. Beberapa tahun kemudian, organisasi zionis coba didirikan di Batavia. Lembaga itu memang berhasil dibentuk, tapi eksistensinya bahkan lebih singkat,” tulis dokumen itu. Januari 2009, 21 organisasi masyarakat keagamaan menyerang sinagoge Beth Shalom di Surabaya. Aksi itu dipicu protes mereka atas serangan Israel ke Palestina. Satu kutipan dari rilis Wahid Institute bisa membantu memahami konteks salah kaprah soal Yahudi dan zionis yang kerap terjadi di Indonesia. “Mereka (orang-orang yang salah kaprah) tidak bisa membedakan tentara Israel yang menyerang Palestina dan pemeluk agama Yahudi. Dalam demonstrasi itu terlihat sentimen antiYahudi daripada komitmen atas HAM.” tulis lembaga yang berfokus pada isu-isu multikultural dan toleransi itu.

www.pastipress.com


SENI & BUDAYA

Warta Seni dari Tatar Pasundan

CERITA & FOTO OLEH YUSTINUS SATYAGRAHA

Siang yang sejuk menyelimuti langit Bandung kala itu. Ramai orang-orang dan pedagang makanan turut memeriahkan suasana di Jalan Haji Akbar yang tidak begitu banyak pengunjung. Jalan itu juga merupakan saksi berdirinya sebuah galeri dan sentra souvenir wayang golek yang cukup terkenal di Bandung: Gallery Wayang Golek dan Souvenir Cupumanik. Letak galeri itu terkesan unik. Tidak seperti sentra cinderamata kebanyakan yang letaknya strategis, bangunan ini terletak di tengah-tengah perkampungan. Bangunannya juga tidak begitu besar, dapat dikatakan seperti sebuah depot kecil yang diisi berbagai macam wayang golek yang dipamerkan dan dijual. Bagian depan bangunan juga disuguhkan tulisan “Cupumanik Bandung” yang dipegang oleh Cepot, salah satu tokoh dalam wayang golek. Cepot adalah salah satu dari punakawan selain Semar, Gareng dan Petruk. Bedanya dengan cerita dalam wayang kulit, Cepot adalah nama lain dari Bagong dan merupakan anak pertama dari Semar. Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan cerita pewayangan dalam 60 | PASTI edisi 39

wayang kulit yang menceritakan bahwa Cepot atau Bagong ini justru merupakan anak terakhir dari Semar. Jika letaknya dapat dibilang “tersembunyi” dan jauh dari keramaian kota, inferior dalam bangunan justru semakin unik. Sederet aksesoris hingga pernak-pernik dipajang di sepanjang etalase dan dinding bangunan. Bagian belakang bangunan juga digunakan sebagai tempat produksi sekaligus pembuatan wayang golek. Tak lama kemudian, seorang perempuan muncul dari balik ruang kerjanya. Ruang kerjanya berada di tengah-tengah bangunan. Perawakannya tidak begitu tinggi, sedikit agak gemuk. Ia adalah Shanty Sondari, pemilik Cupumanik saat ini. Ia juga merupakan anak dari Herry Hermawan yang merupakan pendiri Cupumanik. “Ayah saya sebenarnya kalau bisa disebut, pahlawan usaha kecil menegah ya. Jadi waktu dulu itu ada usaha-usaha kecil gitu, dikembangkan oleh ayah saya.” Shanty, begitu ia dipanggil memulai ceritanya pada siang itu. Ia kemudian melanjutkan ceritanya. “Nah waktu


ayah saya datang ke Purwakarta, ada pengrajin-pengrajin wayang ini yang terbengkalai, tidak tahu harus ke mana, mau menyalurkan wayang-wayang hasil karyanya. Lalu sama ayah saya diambil, dibawa ke Bandung, dipasarkan di sini, ternyata sukses. Akhirnya bisa kerja sama terus sampai 30 tahun.” Herry Hermawan adalah pendiri Cupumanik pada tahun 1980. Cupumanik diambil dari cerita pewayangan yang berarti wadah bundar berhiaskan permata yang indah. Sepak terjangnya di kebudayaan Sunda khususnya wayang golek dimulai ketika ia bersama pemerintah bekerja sama dalam membangun UKM Bapikra pada tahun 1977. Seperti yang dikatakan Shanty, ayahnya berperan penting dalam memajukan beberapa UKM, khususnya UKM Bapikra, sehingga menjadi UKM yang sukses. Peran pentingnya dapat dilihat dari usahanya dalam mendidik dan mengasuh UKM-UKM tersebut. Dahulu, wayang golek digunakan oleh Walisongo sebagai media dakwah. Salah satu tempat belajar dan pertunjukan wayang golek yang terkenal di Bandung adalah Padepokan Giri Harja yang didirikan oleh Asep Sunandar Sunarya. Asep adalah dalang sekaligus maestro wayang golek.

Shanty juga mengatakan bahwa Cupumanik hanya khusus menjual wayang golek sebagai hiasan, bukan sebagai media dakwah dalam proses pembuatannya. “Enggak. Jadi Wayang Golek Cupumanik itu khusus untuk hiasan. Kalau misalnya wawancara ke Giri Harja atau Asep Sunandar Sunarya, mungkin beda jawabannya.” Suasana di ruang tengah di samping ruang kerja Shanty semakin nyaman, ditambah sirkulasi udara yang hangat tetapi tidak membuat gerah. Shanty juga sempat bercerita soal perbedaan mendasar wayang golek dan wayang kulit. Menurutnya, perbedaan mencolok wayang golek dan wayang kulit bisa dilihat dari dimensi dan fisiknya. Ia juga berpendapat bahwa asal kedua jenis wayang juga berbeda. “Perbedaan wayang golek sama wayang kulit itu, kalau wayang golek dari Jawa Barat, wayang kulit dari Jawa Tengah.” Wayang kulit memiliki satu dimensi, hanya bisa dilihat dari luarnya saja. Wayang golek bisa dilihat secara tiga dimensi, bisa dilihat dari luar dan memiliki ketebalan. “Tapi pada dasarnya sejarahnya sama, jadi cerita-ceritanya sama, cuma perbedaan fisiknya saja,” imbuhnya kemudian.

PASTI edisi 39 | 61


Shanty menuturkan bahwa bahan dasar pembuatan wayang golek bukan hanya dari kayu albasiah yang lebih mudah didapatkan dan diukir. Ada juga bahan dasar lain yaitu kayu lame. Perbedaan kedua bahan dasar ini turut mempengaruhi harga jual wayang golek. Kayu albasiah biasanya digunakan untuk membuat wayang dengan kisaran harga sepuluh ribu rupiah sampai lima puluh ribu rupiah. Kayu lame digunakan untuk membuat wayang premium, yang kisaran harganya mulai dari tiga juta, tujuh juta, delapan juta, hingga lima belas juta rupiah. “Kayu lame itu kayu yang enggak bisa ditanam, tapi cukup langka dan hasilnya sangat bagus sekali, jadinya lebih mahal dibandingkan dengan wayang yang terbuat dari kayu albasiah,” ujar Shanty. Menurut Shanty, jenis wayang golek yang laris terjual adalah wayang golek Rama-Shinta. Shanty juga sempat menunjukkan beberapa model wayang golek premium. Motif warna pada masing-masing wayang berbeda satu sama lain, dengan tujuan menyesuaikan batik yang dikenakan pada wayang. Motif warna yang berbeda-beda pada masing-masing wayang juga menjadi keunikan Cupumanik dibandingkan dengan 62 | PASTI edisi 39

produksi wayang golek yang lain. Keunikan Cupumanik tidak hanya berhenti pada motif warna wayang. Yang membedakan Wayang Golek Cupumanik dengan yang lain adalah bahannya. “Jadi mulai kayu, terus batiknya, dari pengecatannya, itu semuanya beda. Kita kualitas tinggi semua, gitu.” Lebih-lebih, menurut Shanty, masing-masing orang membuat wayang, jadi satu orang membuat satu wayang, sehingga hasil pengerjaan wayang tentunya akan berbeda satu sama lain. Pengerjaan wayang golek di Cupumanik khusus hanya mulai pengecatan, pembuatan baju, pemakaian baju dan pengemasan wayang. “Untuk pengukiran bahan mentah kita ambil di Purwakarta dengan pengrajin yang kita asuh sendiri, kita didik,” cerita Shanty. Cupumanik juga mendidik para pengrajin wayang golek agar kualitas wayang golek menjadi bagus. Wayang golek erat kaitannya dengan budaya Sunda. Shanty bahkan berujar banyak orang yang meminta agar Wayang Golek Cupumanik tetap dilestarikan. “Makanya kita sampai saat ini tetap bertahan, karena juga rasanya berat sekali kalau harus menghapus budaya


Sunda ini.” Prinsip yang diterapkan oleh Shanty dan karyawannya ini menjadi bukti Cupumanik tetap bertahan hingga sekarang. Jika berbicara tentang hubungan Wayang Golek Cupumanik dengan budaya Sunda, tentu ada orang-orang di balik layar yang ikut terlibat di dalamnya. Orang-orang ini tidak lain adalah orang-orang yang tinggal di sekitar Cupumanik yang bekerja di sana. “Jadi rata-rata karyawan Cupumanik itu tinggalnya di daerah sekitar sini, membantu perekonomian masyarakat di sekitar Cupumanik,” ungkap Shanty. Jelas terlihat adanya hubungan mutualisme yang terjalin antara Cupumanik dan masyarakat sekitar. “Kita enggak ada bikin pagelaran. Jadi cuma wayang buat hiasan aja, khusus di Cupumanik ini,” terang Shanty. Ia juga mengatakan tempat Cupumanik yang terbatas membuat Cupumanik hanya menyediakan galeri dan tempat penjualan suvenir. Jumlah karyawan yang bekerja di Cupumanik saat ini sekitar 35 orang. Padahal, jumlah karyawan yang bekerja sempat mencapai angka 40. “Faktor usia, karena semua itu dari saya lahir, itu juga sudah pada kerja di sini,” kata Shanty menjelaskan alasan berkurangnya jumlah

karyawan yang bekerja di Cupumanik. Latar belakang karyawan yang bekerja di Cupumanik juga berpengaruh pada gaji yang diterima. Ada karyawan yang meminta kenaikan gaji pada Shanty, tetapi ditolak. “Oh ya pasti itu, karena pengennya UMR Kota Bandung.” Ia menambahkan, “Cuma, dengan tingkat pendidikan dia yang SD, sayangnya kita juga enggak sanggup ya, ngasih UMR yang sesuai dengan Kota Bandung. Jadi kita sedikit di bawahnya, gitu.” Baik Asep Sunandar dan Herry Hermawan sama-sama telah melestarikan budaya Sunda melalui perannya masing-masing. Hal itu yang membuat wayang golek tetap lestari sampai sekarang, bahkan dikenal oleh dunia internasional. Shanty merupakan generasi penerus budaya Sunda melalui wayang golek yang digunakan sebagai hiasan dan suvenir. “Soalnya banyak orang yang ngomong, ‘waduh Cupumanik jangan sampai udahan ya, enggak ada lagi yang bisa meneruskan budaya Sunda, enggak ada lagi yang bisa melestarikan’,” kata Shanty berharap.

PASTI edisi 39 | 63


KOMUNITAS

Menabur Sastra Lewat GeRMO CERITA OLEH VAULIKA RINJANI & EGA KARISMA BUMI

“Germo�, masyarakat mengenal istilah ini sebagai induk semang bagi para pelacur. Akan tetapi di tangan empat seniman sastra asal Semarang, istilah tersebut bukan lagi menjadi sebuah nama yang memiliki citra negatif. Mereka adalah Basa Basuki, Lukni Maulana, Tri Budiyanto, dan Goenoeng Percussion, perintis komunitas bernama GeRMO (Gerakan Rakyat Miskin Kota). Komunitas ini berupaya untuk memperkenalkan bentuk lain dari seni sastra puisi melalui panggung pertunjukan puisi-teaterikal. Sesuai dengan namanya, segmentasi Komunitas GeRMO adalah rakyat-rakyat kecil yang lemah akan kuasa. Maka tidak heran jika pertunjukan dilakukan di halaman-halaman kosong, gang-gang pemukiman, halaman masjid hingga kawasan kumuh padat penduduk. GeRMO membawa misi untuk mengajak masyarakat mengupas segala hal tentang budaya, politik kekuasan, kemanusiaan, keadilan, hingga ketuhanan. Komunitas GeRMO memiliki keunikan jika dibanding64 | PASTI edisi 39

kan dengan komunitas sastra lainnya. Yang pertama dari segi isi dan pesan yang disampaikan, puisi yang dibawakan oleh Komunitas GeRMO bertemakan kritik sosial atas politik kekuasaan. Puisi-puisi tersebut diciptakan sendiri oleh para anggota Komunitas GeRMO, antara lain puisi karya Basa Basuki yang berjudul Sia-Sia. Kemudian milik Tri Budiyanto, yang berjudul Orang-orang Manekuin dan juga karya milik Lukni Maulana, yaitu Jeruk Indonesia. Tidak hanya itu, puisi-puisi milik penyair kondang juga dipertunjukkan seperti puisi karya WS Rendra yang berjudul Sajak Burung-burung Kondor, juga puisi Istirahatlah Kata-Kata milik Wiji Tukul: Kemudian puisi-puisi yang telah terkumpul digarap bersama dengan pemusik GeRMO yaitu Goenoeng Percussion. Keunikan kedua dari segi penyampaian, jika biasanya puisi hanya dibacakan atau dimusikalisasi, komunitas GeRMO mengubah pola penyampaian puisi dengan menampilkan puisi treatikal dengan diiringi


alunan musik. Untuk menghidupkan panggung, mereka juga menggunakan properti-properti sederhana. Misalnya pada pertunjukkan puisi Sajak Burung-burung Kondor, mereka menjadikan kursi yang ditutupi oleh kain untuk menggambarkan gunung dan juga bangku panjang sebagai perahu. Sedangkan untuk koreografi dan gaya penyampaian kebanyakan diciptakan oleh Basa. Komunitas GeRMO terbentuik pada tanggal 28 Oktober 2016, berawal dari Basa dan teman seperjuangannya, Goenung yang hidup di kawasan kumuh Kabupaten Karanganyar. Pada mulanya Goenung ingin mengadakan kegiatan pada salah satu Kampung Cina dalam rangka menjaga multikultural yang ada di Indonesia. Kemudian dibuatlah Komunitas GeRMO sebagai wadah untuk mereka berkarya menampilkan pembacaan puisi dengan diiringi lantunan musik Cina yang dipadukan dengan Musik Rebana, sehingga menghasilkan gabungan seni Jawa, Cina dan Arab. Kegiatan GeRMO yang lain adalah mengikuti aksi ibu-ibu petani Kendeng di Rembang yang melakukan demonstrasi menolak didirikannya pabrik di daerah pegunungan. Melalui aksi ini, GeRMO ingin berkesenian dengan puisi sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat miskin akan diskriminalisasi yang selalu hadir di sekitar mereka. Kemudian komunitas kesenian Surakami Banyumanik mengundang GeRMO untuk mengisi kegiatan bulanan. Mereka

menantang GeRMO untuk membawakan puisi yang berjudul Segantang Garam dan Sekarung Kapas, yang berisi tentang pertaubatan seorang politikus. Agar tidak menjemukan maka puisi tersebut diedit dan dipersingkat lagi oleh GeRMO kemudian dibuat dengan treatrikal. Sungguh disayangkan, komunitas GeRMO vakum pada tahun 2017. Salah satu anggota yaitu Lukni memiliki kesibukan lain yaitu mengurus komunitas baru yang dibentuknya sendiri. Kemudian Goenung (pemusik GeRMO) keluar karena masalah uang. Sejak awal Komunitas GeRMO telah sepakat bahwa prioritas mereka adalah produktivitas dengan kualitas dan inovasi, Komunitas ini bergerak dengan sukarela sehingga uang sama sekali tidak dipertimbangkan. Saat ini hanya Basa yang masih menjadi anggota GeRMO. Meski sudah berusaha mencari, tetapi hingga saat ini belum ada calon anggota baru yang sesuai dengan visi dan misi GeRMO. Kegiatan terakhir yang belum sempat dilakukan oleh GeRMO adalah aksi menentang pajak yang disponsori oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta.

PASTI edisi 39 | 65


JALAN-JALAN

66 | PASTI edisi 39


Turi-Turi Coffee: Oase Warung Ngopi CERITA & FOTO OLEH DAMAR PRATITA

Bicara tentang Yogyakarta, tidak pas rasanya jika tidak membahas tentang kuliner. Wisatawan yang melancong ke Yogyakarta memiliki beragam pilihan jenis makanan. Mulai dari makanan barat yang terkesan asing, sampai makanan yang tak asing di lidah warga nusantara, khususnya makanan bernuansa Jawa. Tipikal makanan khas Jawa khususnya Jogja memang terkesan berempah-rempah dan tentunya, manis. Ibarat manis semanis kulit sawo matang khas gadis-gadis nusantara. Selain kuliner khas tersebut, Yogyakarta dikenal sebagai daerah dengan berbagai macam tempat nongkrong. Tempat nongkrong yang dimaksud adalah tempat yang dapat digunakan berkumpul bersama keluarga, teman-teman, maupun komunitas untuk melakukan berbagai kegiatan, contohnya belajar, berkarya atau hanya ngobrol saja. Namun bagaimana jika ada tempat nongkrong yang cozy dan vibesnya dapat, ditambah dapat merasakan atau mencicipi hidangan yang bernuansa Jawa sekaligus? Jawabannya adalah Turi-Turi Coffee. Dari namanya saja sudah dapat tertebak letak dari Turi-Turi Coffee. PASTI edisi 39 | 67


Tempat nongkrong berbasis alam ini bertempat di Donokerto, Turi, Kabupaten Sleman. Sekitar kurang lebih 20 km dari Kota Yogyakarta dan dapat ditempuh selama kurang lebih 40 menit menggunakan sepeda motor. Turi-Turi Coffee dapat dijangkau melalui Jalan Palagan atau bisa juga melalui Jalan Magelang jika berasal dari daerah Godean, Cebongan, Denggung dan sekitar Kabupaten Sleman bagian barat. Setelah sampai di Jalan Pakem-Turi, beloklah ke kiri (barat) jika sudah menemukan papan arah jalan menuju Embung Kaliaji. Inilah salah satu keunikan Turi-Turi Coffee, tempat ini tepat berada di samping Embung Kaliaji. Embung adalah kolam tangkapan air untuk menampung air dari aliran sungai yang biasanya digunakan untuk irigasi maupun konservasi air. Bahasa tekniknya yaitu reservoir. Turi-Turi Coffee dikatakan berbasis alam karena letaknya yang berada tepat di samping Embung Kaliaji dan area sekitar Turi-Turi Coffee yang masih asri karena di antara hutan sengon dan kebun salak khas Kabupaten Sleman bagian utara. Gagahnya Gunung Merapi dapat terlihat dengan jelas dari Turi-Turi Coffee jika cuaca sedang cerah. Setelah memarkir kendaraan bermotor di tempat yang sudah disediakan di samping embung, atmosfer khas pedesaan langsung terasa, yang dapat membuat pikiran keruh karena 68 | PASTI edisi 39

bekerja dan belajar seharian menjadi segar kembali. Nuansa arsitektur Jawa yang kental dapat dilihat dari bangunan Turi-Turi Coffee yang berbentuk pendopo lengkap dengan tiang-tiang kolom kayu tua khas arsitektur Jawa. Kursi kayu dipadu dengan anyaman bambu, meja dan kursi berkarat seperti di kantor kelurahan jika sedang punya hajatan, ditambah timbangan beras besi tua, melengkapi nuansa pedesaan Jawa yang asri di Turi-Turi Coffee. Menikmati suasana alam di samping embung dan nuansa arsitektur khas Jawa, kurang lengkap rasanya bila tidak ada ditemani segelas kopi khas Turi-Turi Coffee dan hidangan khas Turi-Turi Coffee. Yang menjadi signature beverage di sini adalah Turi-Turi Coffee with butter. Kopi americano ditambah butter menghadirkan rasa kopi yang berbeda yaitu rasa kopi yang gurih. Nikmat dan legit namun sedikit berminyak. Pengunjung dapat menikmati Turi-Turi Coffee with butter dengan hanya merogoh kocek Rp 25.000. Untuk yang tidak suka atau terbiasa meminum kopi, di sini tersedia thai tea, green latte dan red velvet latte beserta minuman berbahan dasar susu atau teh lainnya. Uniknya lagi jika memesan teh hangat, maka akan dihadirkan teh hangat rasa tawar. Kenapa tawar? Gulanya diambil sendiri untuk dicemplungin ke teh tawar yang dipesan. Gulanya pun lengkap mulai dari gula pasir, gula


batu dan gula jawa. Tidak dibungkus dan ditakar seperti di kebanyakan tempat ngopi yang hype. Pengunjung dapat mengambil sebebasnya. Asli, hal kecil yang unik. Untuk memuaskan rasa lapar, tentunya harus menikmati hidangan di Turi-Turi Coffee, karena di sini menu yang disediakan cukup lengkap: nasi, sayur dan lauk pauk ditambah sambal. Sistemnya pun all you can eat, artinya dengan membayar Rp 25.000, pengunjung dapat menikmati hidangan sekenyang-kenyangnya yang pasti self service atau mengambil sendiri. Terdapat lima macam jenis sayur dan lima macam jenis lauk yang disediakan. Pilihan jatuh kepada nasi ditambah sayur kacang panjang, tempe goreng dan telur dadar crispy. Tak lupa siraman kuah sayur brongkos melengkapi hidangan. Jika tidak ingin makanan yang berat, tersedia juga cemilan atau makanan ringan untuk menemani waktu ngopi di pagi atau sore hari. Rekomendasinya adalah edamame dan pisang goreng, teman yang serasi dengan kopi americano with butter. Menikmati hidangan khas desa ditemani americano with butter ini, tak lengkap rasanya jika tidak duduk tepat di samping embung. Tempat duduk juga disediakan tepat di pinggir embung agar vibes alamnya dapat. Konsep nuansa pedesaan Jawa memang sengaja dihadirkan di Turi-Turi Coffee ini, supaya pengunjung tidak hanya merasakan kopi dan makanan saja. Suasana khas pedesaan menjadi arti dan nilai penting di Turi-Turi Coffee yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. “Turi-Turi Coffee hadir karena berbeda dengan tempat ngopi yang lain, juga untuk membantu wisata di sekitar Kecamatan Turi, khususnya embung di samping yaitu Embung Kaliaji,” tutur Ayu, pemilik Turi-Turi Coffee. Bersama suaminya, Ayu mengelola dan mengkontrol kualitas makanan dan minuman (khususnya kopi). “Biji kopi di sini semua berasal dari Indonesia. Saya memang tidak mau ada kopi impor di sini,” ujarnya sore itu. “Kopi Indonesia itu luar biasa, kenapa harus kopi impor?” tambahnya. Memang kopi di sini menggunakan kopi Indonesia. Contohnya Bajawa, Ijen, Papua dan masih banyak lagi. “Di sini kami tidak menghadirkan wifi karena memang dari awal

konsepnya adalah tempat nongkrong untuk saling bercengkrama, bukan malah saling menjauhkan karena pengunjung di sini bukan kalangan anak muda saja tetapi juga keluarga kecil maupun besar,” ungkapnya. Keunikan yang ditawarkan oleh Turi-Turi Coffee membuat berkesan dan membekas di hati para pengunjungnya. “Suasana enak dan nyaman, sangat recommended, pas juga sih untuk feed instagram karena instagramable,” ujar Mutiara Nur Anisa, salah satu pengunjung. “Sangat worth it,” tambahnya. Dengan keunikannya, Turi-Turi Coffee hadir ditengah makin semaraknya warung kopi atau coffee shop yang sangat hype dan berbudget lumayan, di tengah hiruk pikuk kota, yang suasana dan nuansanya biasa dan seperti itu saja. Seperti oase, hadir di tengah-tengah gurun berpasir.

PASTI edisi 39 | 69


JALAN-JALAN

Melepas Lelah di Karangwaru Riverside CERITA OLEH MICHELLE TJANDRA & CYNTIA WILLIAM FOTO OLEH CYNTIA WILLIAM Apa yang pertama kali muncul di benak ketika mendengar kata “Jogja”? Apakah kota yang terkenal dengan pelajar, kuliner, batik, atau wisatanya? Semua julukan tersebut memang menggambarkan Kota Yogyakarta. Namun, belum banyak yang tahu jika Yogyakarta juga terkenal dengan ruang publik yang ramah lingkungan. Desa yang terletak di Kelurahan Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta, merupakan kawasan ruang publik ramah lingkungan yang dikenal dengan nama Karangwaru Riverside. Pada mulanya, Karangwaru merupakan kawasan kumuh yang rawan terhadap penyakit dan banjir karena merupakan kawasan yang dilintasi oleh Sungai Buntung, yang biasanya digunakan oleh para warga sebagai tempat pembuangan limbah. Lalu pada tahun 2009, pemerintah mulai melakukan penataan atau sosialisasi terhadap masyarakat Desa Karangwaru untuk mengubah mindset mereka agar mau terlibat dalam membangun ulang kawasan Karangwaru menjadi kawasan yang bersih, sehat, indah, dan layak untuk dihuni. Proses ini dimulai dengan diskusi di ru70 | PASTI edisi 39

mah-rumah warga, penyuluhan, hingga meminta bantuan berbagai pihak akademisi dan swasta. “Dengan adanya perubahan mindset, pembangunan fisik akan lebih mudah. Harus dibangun mentalnya,” kata Subandono, Pimpinan Kolektif Badan Keswadayaan Masyarakat Tridaya Waru Mandiri dan sekretaris Dusun Karangwaru. Kerja keras dan usaha bersama untuk berubah dan menata ulang kembali kawasan yang dulunya terkenal memiliki sungai, sebagai tempat sampah terpanjang ini pun tak sia-sia dan membuahkan hasil. Karangwaru Riverside mendapatkan apresiasi melalui kehadiran empat pejabat dalam negeri hingga internasional, yang dimulai dari empat menteri, yaitu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo. Adapun dari pemerintah Internasional, yakni Asia Infrastructure Investment Bank dan World Bank yang ikut memberi dana, hingga dikunjungi


oleh 128 negara secara bergilir, yang sangat bangga atas pembangunan infrastruktur yang dilakukan bersama dengan dukungan dan kerjasama dari para warga Karangwaru. Bahkan Karangwaru juga menyabet peringkat dua pada lomba ‘Kampung Ramah Anak’ di tingkat kecamatan. Jalan setapak yang telah nampak berbeda dari jalan raya, adalah pertanda bahwa telah berada dalam kawasan Karangwaru Riverside. Suara air sungai yang mengalir dan tanaman serai wangi yang terbawa angin di sepanjang jalan akan menemani perjalanan panjang selama menyelusuri Karangwaru Riverside. Selama perjalanan, juga terdapat berbagai macam keindahan seni mural yang dapat memanjakan mata kita. Karya-karya seni mural tersebut dapat ditemui lebih banyak lagi di perempatan jalan atau daerah titik nol kilometer. Setelah berjalan cukup jauh, kita dapat menemukan jembatan berbentuk gapura unik, yang terbuat dari bambu dengan tulisan Jawa kuno di atasnya yang bernama Gapura Bahtera Silaturahmi. Gapura tersebut merupakan ikon utama dari Karangwaru Riverside, yang biasanya menjadi tempat favorit para wisatawan atau pengunjung untuk berfoto-foto. Seusai menyeberangi gapura, terdapat kawasan titik nol kilometer yang digambarkan dengan lingkaran. Kawasan itu juga merupakan

ikon utama dari Karangwaru Riverside. Di bawah kawasan titik nol kilometer, kita dapat menjumpai rumah baca anak-anak Desa Karangwaru yang biasa digunakan untuk kursus atau belajar bersama, bernama Omsimas (Omah Sinau Masyarakat). Ketika matahari semakin tinggi dan suara kicauan burung yang telah tertutupi oleh suara gemuruh perut yang lapar, kita dapat mendatangi warung-warung yang berada di beberapa titik pedestrian jalan di Karangwaru. Di samping itu, kita juga dapat duduk-duduk santai melepas lelah sejenak di gazebo-gazebo yang biasa digunakan oleh para warga untuk berkumpul dan mengobrol bersama. Pada minggu ketiga setiap bulannya, Desa Karangwaru juga diramaikan dengan acara ‘Minggu Paguyuban’, acara yang membuka jajanan kuliner, jalan sehat, seni, senam massa atau kegiatan bersama lain. Selain minggu guyub, juga terdapat acara pemancingan yang banyak diramaikan oleh berbagai pihak dan sudah menjadi agenda tahunan, “Lomba yang paling diminati ada lomba memancing. Misalnya kemarin, STII AKAKOM pernah mengadakan acara memancing untuk berbaur dengan warga, mengajak tips and trick memancing,” tutur Ratno, salah satu warga. Ada juga kegiatan berenang di sungai yang

PASTI edisi 39 | 71


dipengaruhi oleh tinggi rendahnya aliran sungai. Di Karangwaru juga terdapat kegiatan rafting atau arung jeram, yang biasanya diadakan ketika air sedang pasang, “Ada rafting di saat-saat tertentu, terutama kalau libur sekolah dan airnya naik. Anakanak main dengan ban dan disewa Rp 2.000. Biasanya juga tidak tentu karena tergantung keadaan dan jadwal libur”, ungkap Subandono. Walaupun sejauh ini Karangwaru Riverside belum difokuskan untuk pembangunan desa wisata, namun para warga desa Karangwaru terbuka terhadap para pengunjung manapun yang ingin datang untuk sekadar jalan-jalan ataupun untuk mahasiswa yang ingin melakukan studi pengamatan lingkungan atau penelitian, “Untuk datang biasanya gratis, tapi untuk pemberdayaan studi, dan lain-lain ada biayanya”, kata Subandono. Subandono sendiri memfokuskan Desa Karangwaru bukan hanya sebagai destinasi pariwisata semata, tetapi untuk pembelajaran bagi semua pihak pada perubahan mindset dan semangat gotong royong. Gotong royong di sini tidak membedakan suku, ras, maupun agama, seperti halnya pada pembangunan ulang masjid yang 72 | PASTI edisi 39

banyak dibantu oleh anak-anak sekitar yang beragama Katolik, “Selain jemaat, banyak anak Katolik yang ikut kerja bakti bongkar masjid, tidak peduli timur atau barat semuanya kerja bakti,” tutur Subandono. Adapun warga negara asing yang menetap dan ikut berpartisipasi bagi pembangunan desa, baik melalui kerja bakti atau menjelaskan perubahan warga di acara-acara khusus dalam bahasa Inggris. Rencana untuk ke depannya, Desa Karangwaru ini akan melanjutkan pembangunan di segmen ketiga yang berada di wilayah barat Karangwaru, yakni pembangunan jalan hingga ke daerah Jalan Magelang. “Ada rencana pembangunan di segmen ketiga, Borobudur Langsa, Jalan Magelang dan ada jembatan yang belum terbangun,” lanjut Subandono. Desa Karangwaru memang telah menghabiskan banyak waktu serta tenaga untuk dapat sampai merasakan arti kata “kenyamanan” dan “kelayakan”, khususnya para pemerintah desa Karangwaru, terutama Subandono dan temanteman swadaya masyarakat setempat, yang telah


melakukan pendekatan langsung, dengan mendatangi rumah warga setiap harinya selama hampir kurang lebih setahun. Berkat semangat pantang menyerah dan ketulusan hati mereka pun, akhirnya dapat membuka dan mendorong hati para warga desa untuk bersama-sama membangun dan menata ulang Desa Karangwaru menjadi desa ramah lingkungan, yang dapat ditinggali oleh setiap orang. Subandono juga mengatakan bahwa dengan adanya latar belakang Karangwaru yang seperti itu membuatnya bangga terhadap perubahan pola pikir dan semangat para warga desa untuk tetap terus bergerak ke arah yang lebih baik. “Masalah itu untuk pendewasaan. Selama belum dirasa nyaman huni, Karangwaru akan dibangun terus,� ucap Subandono.

PASTI edisi 39 | 73


JALAN-JALAN

â–¶

Foto-foto jadul Warung Jampi Asli. (Foto: Leonardus Rama)

74 | PASTI edisi 39


Segenggam Ramuan Jampi CERITA OLEH MISERICORDIAS DOMINI & LEONARDUS RAMA FOTO OLEH LEONARDUS RAMA

PASTI edisi 39 | 75


Belum sempat matahari muncul, salah satu rumah toko (ruko) di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta sudah ramai pengunjung. Kebanyakan dari mereka para orang tua yang membawa serta anak-anak mereka. Ruko tersebut tampak cukup sederhana, bangunannya berbentuk seperti lorong memanjang, banyak kursi kayu panjang berjejer yang menjadi tempat bagi para pengunjung untuk mengantri. Sebuah plang penanda nama ruko bertuliskan “Jampi Asli“ terpampang jelas di atas pintu. Dalam bahasa Jawa, ‘jampi asli’ berarti ‘jamu asli’. Tampak juga papan dengan tulisan “jamu cekok kulon kerkop lama” terpasang di daun pintu sebagai penanda lokasi. “Kulon” adalah bahasa Jawa dari “barat”, sementara “kerkop” sendiri berasal dari bahasa Belanda, yakni kerkhof yang memiliki arti “makam orang Belanda”. Konon, warung jamu ini dahulu memang berposisi di sebelah barat makam Belanda dengan jamu cekok sebagai jamu andalan mereka. Kata “lama” sendiri digunakan karena warung ini telah berpindah tempat ke bangunan baru yang mungkin pelanggan lama banyak yang belum mengetahuinya. Sudah sejak tahun 1875 warung jamu ini berdiri, menjadikannya warung jamu legendaris di kota gudeg. Beraneka ragam jamu dijajakan di warung ini, kira-kira terdapat sekitar 29 jenis jamu yang terdaftar di dalam menu. Warung jamu ini didirikan oleh Kerto Wiryo dan sekarang dikelola oleh generasi kelima, Joni Wijanarko. Setiap lima hari sekali, Joni beserta ayahnya Zaelali membeli bahan baku jamu di Pasar Beringharjo. Pasar ini memang berjarak tak jauh dari warung jamu mereka. Joni dan ayahnya memilih sendiri setiap bahan jamu. Mereka tak mau lantas hanya memesan bahan tanpa mengetahui kualitas atau menyerahkannya begitu saja pada orang lain. “Saya ingin memastikan setiap bahan jamu yang dibeli itu berkualitas untuk menjaga mutu dan citarasa jamu yang dihasilkan nantinya,” kalimat tersebut terlontar dari Joni sembari menyuguhkan segelas jamu. Satu persatu pengunjung mengajukan keluhannya pada si tukang jamu. Dengan cekatan si tukang jamu langsung meramu jamu pesanan pelanggannya. Pelanggan terus berdatangan mulai dari lansia hingga balita. Terkadang terdengar samar suara tangisan anak meronta tak mau diberi jamu cekok. Jamu cekok merupakan jamu penambah nafsu makan. Jamu ini paling populer di antara jamu lain yang ditawarkan di warung ini. 76 | PASTI edisi 39

“Cekok”, atau dalam istilah orang Jawa “dionthel”, dilakukan dengan cara bahan-bahan jamu yang diramu seukuran genggaman orang dewasa dimasukkan ke dalam kain atau sapu tangan kemudian dipaksakan dicekokkan agar cairan jamu masuk ke dalam mulut. Jamu ini diperuntukan bagi anak-anak berusia delapan bulan hingga dua tahun, serta disajikan dua jam setelah makan atau sebelum makan. “Jamu cekok ini muncul karena adanya perasaan prihatin orangtua melihat anak-anaknya yang sulit makan. Melihat keprihatinan para orangtua tersebut membuat Eyang Kerto berinisiatif membuka usaha warung jamu. Rasa jamu yang pahit membuat anak-anak tidak menyukainya, sehingga munculah metode cekok ini,” ucap Joni. Agustus tahun 2000 merupakan masa-masa sulit yang dihadapi warung jamu ini yang membuat usaha jamu ini hampir mati. Masalah sengketa lahan antar anggota keluarga harus mengorbankan sebagian lahan tempat warung jamu ini berdiri untuk dijual. Tak mau usaha jamu legendaris ini mati begitu saja, munculah ide untuk membuat sebuah tenda di dekat rumah yang berlokasi tepat di belakang lahan yang telah dijual. Hujan lebat


â–ś

Joni Wijanarko, generasi kelima pemilik Warung Jampi Asli. (Foto: Leonardus Rama)

dan angin kencang tidak membuat Joni menyerah untuk berjualan jamu di dalam tenda yang kecil itu. Perubahan tempat ini hampir membuat mereka kehilangan pelanggan. Banyak pelanggannya seperti tak percaya melihat transformasi drastis yang dialami warung jamu ini. 25 Desember 2000 merupakan titik di mana warung jamu ini mengalami sebuah kebangkitan. Sedikit demi sedikit pondasi dibangun kembali. Atap yang yang semula berupa terpal, sudah menjadi atap yang utuh kembali. Tenda yang dulunya menjadi tempat berjualan jamu, sudah menjadi bangunan yang utuh. Walaupun hanya berupa lorong kecil, tetapi setidaknya ada tempat untuk menetap. Perlahan-lahan para pelanggan yang hilang, akhirnya kembali lagi setelah mengetahui warung Jampi Asli telah merombak penampilan. Masalah dapur dan penyajian jamu, Joni menyerahkan semuanya kepada karyawanya. Sejak dari generasi pertama, pemilik warung jamu memang tidak pernah terlibat langsung dalam proses pembuatan jamu. Karyawan warung jamu ini berasal dari satu keluarga, turun temurun. Mereka sudah sangat paham meramu beragam jamu. Ruangan kecil di sudut rumah pemilik warung menjadi tempat pengolahan bahanbahan jamu. PASTI edisi 39 | 77


hidung sehingga anak mau membuka mulutnya. Di balik kepopuleran warung Jampi Asli, tak ada strategi pemasaran khusus yang digunakan untuk mempromosikan warung jamu ini. Dengan kekuataan cerita dari mulut ke mulut dan testimoni para pelanggannya yang merasakan khasiat dari jamu buatan warung ini, menjadikan warung jamu ini populer bukan hanya bagi orang-orang lokal Indonesia saja tetapi juga menyedot perhatian orang-orang mancanegara. Di kala hari libur, warung jamu ini tampak begitu ramai dibanding hari kerja. Antrian pun panjang hingga keluar warung. Terdapat banyak warung jamu lain yang menyuguhkan beragam jamu yang sama dengan jamu yang ditawarkan oleh warung Jampi Asli, namun khasiat yang dirasakan dari mengonsumsi jamu buatan warung ini membuat para pelanggannya tetap setia. Sebuah penghargaan di dalam kotak kaca dengan tali hijau menyimpul rapi terpajang di atas lemari yang berada di ruang tamu sang pemilik warung jamu. “Penghargaan Anugerah Budaya Pelestari Adat dan Tradisi”, begitulah yang tertulis pada penghargaan tersebut atas nama Zaelali. Sebuah piagam berwarna kuning juga tertempel di dinding warung tersebut. Piagam tersebut dianugrahkan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Zaelali sebagai penghargaan atas upayanya untuk

Tampak dua orang pegawai sedang mengolah bahan-bahan jamu. Aroma bahanbahan jamu menyeruak memenuhi ruangan dapur tersebut. Terlihat banyak peralatan tradisional lawas masih digunakan dalam pembuatan jamu. Arang digunakan sebagai pengganti bahan bakar kayu untuk cita rasa agar tetap terjaga. Resep turun temurun masih menjadi andalan, tak ada perubahan di dalamnya. Keotentikan masih begitu terjaga baik dari segi resep maupun peralatan pembuatan jamu. Kami sempat bercengkrama dengan Denok, salah satu karyawan yang telah bekerja kurang lebih 29 tahun di warung jamu ini. Ia berbagi pengalamannya ketika “mencekok”. Ia dilatih melakukan cekok oleh ibunya yang merupakan generasi pertama karyawan di warung jamu ini. Awalnya ia merasa takut untuk “mencekok” karena perasaan tidak tega dan takut membuat anak tersedak dengan metode yang memang bisa dibilang memaksakan. Namun, makin lama ia makin terbiasa untuk “mencekok”. Perasaan ketakutan pun telah hilang. Ia juga berbagi mengenai beberapa strategi “mencekok”, dimulai dari tangan berisi jamu yang tidak boleh terlihat langsung oleh si anak dengan cara posisi awal tangan di belakang tubuh si anak lalu di arahkan ke mulut. Kemudian jika si anak tidak membuka mulut, maka dilakukanlah metode memencet

Proses pengukusan bahan jamu. (Foto: Leonardus Rama)


â–ś

Zaelali, generasi keempat pemilik Warung Jampi Asli. (Foto: Leonardus Rama)

melestarikan adat dan tradisi di Yogyakarta. “Kami tak pernah diberitahu masuk nominasi mendapat penghargaan dari gubernur. Tiba-tiba suatu hari kami mendapat panggilan untuk menerima penghargaan,� ujar Joni sembari meyunggingkan senyum di wajahnya. Bagi Joni sendiri, warung Jampi Asli ini memberikan banyak manfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Selain sebagai sumber penghasilan keluarga, warung Jampi Asli ini menyimpan banyak sekali kenangan yang begitu membekas dalam dirinya. Merupakan sebuah kepuasan tersendiri yang Joni rasakan ketika dapat membantu orang lain melalui warung jamu ini, serta menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bisa melestarikan warisan leluhur.


RESENSI BUKU

Menata Sejarah, Merumuskan Kenikmatan, Menikmati Identitas TULISAN OLEH ALOYSIUS BRAM

Masyarakat “modern” tidak dapat melepaskan begitu saja aktivitas konsumsi dari kesehariannya. Namun yang kerap tidak disadari adalah bahwa aktivitas mengonsumsi hari ini begitu kompleks. Konsumsi bukan hanya sekedar bagian dari proses biologis menyerap nutrisi bagi tubuh dan mengenyangkan perut. Hari ini, simbol dan makna yang bertebaran di sekeliling kita pun ikut “dilahap”. Tak terkecuali yang berasal dan terakomodir melalui media. Bagaimana tidak? Media dengan segala moda dan aktivitas produksinya menjadi medan penting untuk memahami bagaimana kecenderungan masyarakat dalam memenuhi ekspektasi dan seleranya. Sebagai salah satu bentuk dari budaya popular, media massa merupakan ranah yang politis. Kelompok sosial yang lebih “elitis” menolak budaya popular, sementara di sisi lain terdapat kelompok lain yang becita-cita menjadi naik kelas dengan mengonsumsi produk-produk budaya popular (hal. 23). Maka genaplah nas John Storey dalam “Cultural Theory and Popular Culture” (2015) yang berusaha merumuskan arti tentang budaya popular— di samping tidak pernah ada definisi pasti tentangnya—sebagai sebuah arena kontestasi yang mana suatu ideologi berusaha untuk dinegosiasikan dan dilanggengkan. Pendekatan strukturalis melihat bahwa budaya populer merupakan “mesin ideologi” untuk melanggengkan sebuah struktur kekuatan dominan. Pandang Storey mendaraskan pada grand perspektif yaitu Marxism, yang melihat budaya populer sebagai arena perjuangan kelompok sub-ordinat terhadap kekuatan dominan dimana standar serta nilai budaya berusaha untuk dinegosiasikan. Mengonsumsi budaya popular berarti mengonsumsi sesuatu yang ada dan tersedia untuk menegaskan identitas kita dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya dari sini kita ditunjukkan bagaimana budaya popular, yang terlihat remeh dan seakan-akan jauh dari layak untuk diselidik karena lebih kerap dianggap sebagai ekses globalisasi, mempunyai serabut rumit yang menyusunnya. Dalam konteks masyarakat dan budaya popular di Indonesia hal tersebut menjadi sesuatu yang tak terhindarkan, namun tidak bisa sekedar diamini tanpa penyelidikan lebih lanjut. Misalkan, meledaknya hallyu atau Korean Wave di Indonesia beberapa tahun terakhir tidak bisa disamakan dengan yang terjadi di Amerika Serikat. 80 | PASTI edisi 39

Sikap memukul rata sebuah fenomena sosial dan membuang mentah-mentah apa yang disebut “konteks” malah akan membawa distorsi dalam usaha kita memahami hal macam apa yang sedang terjadi. Maka Ariel Heryanto, Herb Feith Professor for the Study of Indonesia dari Universitas Monash Australia menyodorkan buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015) sebagai usaha untuk membongkar apa yang terjadi dengan ranah budaya popular kita. Tepatnya pasca keruntuhan rezim otoriter Soeharto. Membaca kajian budaya popular semacam Identitas dan Kenikmatan memang tidak seseksi dan serenyah mengonsumsi budaya popular itu sendiri. Tinjauan yang diberikan buku ini memaparkan aspek multidisiplin yang harus diakui sangat kompleks. Namun bila boleh memberikan semacam garis merah, Ariel Heryanto memberikan tinjauan historis, terutama pada medio yang dijuluki oleh rezim pada waktu itu sebagai rezim Orde Baru dan era setelahnya, sebagai konteks paparannya. Alhasil paparan dalam Identitas dan Kenikmatan sedikit banyak menjadi petunjuk bahwa bercokolnya Orde Baru bukan hanya cerita mengenai perpindahan kekuasaan dengan ongkos pertumpahan darah. Melainkan Orde Baru merupakan sebuah era selama 32 tahun yang mendeterminasi segala segi kehidupan kita sampai hari ini dari aspek mikro hingga makro. Rezim kala itu memainkan narasi-narasi tertentu atas nama stabilnya pemerintahan yang mereka bangun. Tidak hanya melalui instrumen formal, usaha-usaha itu juga dilemparkan kepada publik melalui budaya popular—secara umum—dan budaya layar—secara spesifik. Budaya populer menjadi subjek yang cair, merangkul semua aspek masyarakat dari berbagai jenis latar belakang, tidak hanya dalam konsumsi, tapi juga produksi (Heryanto, 2009:16). Misalnya sentimen rezim terhadap beberapa golongan dan stigma yang sengaja digaungkan, yang naasnya masih diam-diam menyelinap dibenak kita hingga hari ini, ternyata turut memengaruhi bagaimana budaya layar kita hari ini. Hari ini kita bisa lihat bagaimana tayangan-tayangan di berbagai media berlomba-lomba menjadi yang paling islami. Citra islam di budaya layar kita yang marak kita jumpai akhir-akhir ini ternyata bisa dilihat sebagai luapan atas kekuatan yang selama ini ditekan. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, selama itu


pulalah kekuatan Islam tersubordinasi. Medio 19701980an penjara disesaki oleh aktivis-aktivis politik “kanan� yang berhaluan keagamaan, terutama Islam. Soeharto baru membuka tangan bagi pihak-pihak tersebut supaya menjadi bagian dari lingkarannya ketika secara politis ia mulai terdesak. Meskipun kekuasaan Soeharto tetap tak terselamatkan dengan manuver politiknya tersebut, namun kekuatan yang ia gandeng dahulu kini mendapat panggung terbuka. Semenjak itu, berbagai kelompok milisi meraih posisi penting di masyrakat dengan membawa bendera Islam, memamerkan kebebasan mereka untuk melancarkan serangan dengan kekerasan terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang mendukung liberalism, demokrasi, hak asasi manusia atau multikulturalisme (hal.45). Kelas menengah muda sebagai bagian dari masyarakat dengan negeri terbesar berpenduduk muslim jelas tergoda untuk mengukuhkan identitasnya. Namun juga enggan terus menyandang citra “konservatif� sebagaimana yang kekuatan-kekuatan itu tonjolkan. Kegalauan itu beriringan dengan semakin berderapnya laju modernisasi yang terus mekar dan menjadi kenikmatan lain yang menjanjikan. Lantas muslim generasi baru menemukan cara untuk mendamaikan hal-hal yang secara tradisional dipandang sebagai bertolak belakang sambil tetap memegang ketakwaan. Cara tersebut mendapat predikat sebagai kecenderungan postislamism. Hal tersebut kentara dalam berbagai produk budaya layar yang ada dan mungkin diam-diam kita juga nikmati. Ariel mengambil contoh beberapa film yang muncul di Indonesia. Tak hanya sekedar muncul, film-film tersebut bisa dibilang merupakan anomali seperti misalnya Ayat-Ayat Cinta. Ada yang menarik dalam film tersebut terutama dari segi narasi yang coba disampaikan. Ayat-ayat Cinta disebut Ariel memenuhi hasrat terpendam jutaan Muslmim yang mudah terpesona oleh sinema. Film ini menawarkan jalan tengah diantara citra kaum Islamis militan dan Muslim tradisional yang taat dari era pra-digital (79). Jumlah 3,7 juta penonton paling tidak menunjukkan ada satu golongan yang bisa jadi merasa terwakili oleh film hasil alih wahana novel karya Habiburahman El Shirazy itu. Tidak hanya berhenti disitu, sebagian besar dari jumlah itu adalah mereka yang belum pernah datang ke bioskop. Ariel juga menunjukkan bagaimana proses di balik layar film, pertim-

bangan yang penuh negosiasi, serta kontradiksi yang saling menarik dari berbagai pihak. Hal itu tidak bisa diabaikan begitu saja karena semakin menegaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan budaya layar kita yang tidak netral. Apa yang dipaparkan diatas baru merupakan sebagian saja dari apa yang Identitas dan Kenikmatan sampaikan. Contoh yang rumit itu, menjadi pintu masuk Identitas dan Kenikmatan dalam membahas budaya layar di Indonesia. Post-islamisme dalam budaya layar hanyalah satu pokok bahasan dalam buku tersebut. Bagaimana komunisme dan wajah etnis Tionghoa muncul dalam budaya layar juga dipaparkan oleh buku ini. Begitu seterusnya dalam pembahasan-pembahasan yang lain, Ariel Heryanto menjadikan sejarah sebagai jangkar pembahasan dan lalu menata fenomena yang menyeruak akibat dari relung kebebasan dan keterbukaan yang kehadirannya bukan hanya tiba-tiba tapi juga sangat luas. Meski pada dasarnya naskah buku ini adalah kajian akademis, namun penyampaian buku ini tak ubahnya sebuah dongeng yang sayang untuk dilewatkan.

Judul Buku : Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia Penulis : Ariel Heryanto Penerjemah : Eric Sasono Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Tahun terbit : 2015 Tebal : xvi + 350 halaman PASTI edisi 39 | 81


RESENSI FILM

Ziarah Ingatan ke Tanah Air Buru

TULISAN OLEH ALOYSIUS BRAM

Dengan tangan terikat dan geraham terkunci. Tidak lebih dari seorang bandit. Ketika ia diseret didepan pengusana di bumi. Dengan dada telanjang tidak lebih dari bertaruh mati. Karena ia anak dewasa. Anak dewasa di depan altar pengadilan Dia disiksa bukan diperiksa. Ia diperkosa bukan ditanya. Bisa apa dia selain bertahan di dalam mulut terkatup. Sobekan koran ia telan. Melecut robek tubuh darah mengucur. Bisa apa dia selain bertahan dan berkata sepatah. Puisi tersebut dibawakan dengan tersedu sedan. Suara renta laki-laki tua seperti menahan pedih tak terperi. Itulah suara dan puisi Hersri Setiawan yang membuka film dokumenter garapan Rahung Nasution, Pulau Buru: Tanah Air Beta (2016). Hersri Setiawan adalah satu dari 12.000 orang dengan label “tahanan politik” yang dibuang oleh rezim Soeharto ke Pulau Buru, Maluku. Sejak 1968 hingga 1979, dalam beberapa tahap, Soeharto menahan mereka yang dituduh “merah” tanpa pernah melalui proses pengadilan sekalipun. Hersri ditangkap karena aktivitasnya sebagai seorang pegiat literasi dan sastra di Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA), organisasi underbow Partai Komunis Indonesia (PKI). Sumber lain menyebutkan, Hersri adalah ketua LEKRA di region Jawa Tengah sehingga ia masuk dalam kategori B menurut pemerintah. Kategori itu disematkan bagi mereka 82 | PASTI edisi 39

yang dipercaya kuat sebagai pimpinan PKI, meskipun tiada bukti berarti untuk memperkuat tudingan tersebut. Fakta lain menyebutkan, Hersri justru juga aktif dalam lembaga Peminat Deklamasi Indonesia. Tak hanya itu ia juga mewakili Indonesia dalam konferensi linguistik di Tashkent pada tahun 1965. Ia memimpin delegasi Indonesia dalam konferensi yang diikuti oleh Biro Pengarang Asia-Afrika itu, sesuatu yang tidak pernah tercatat dalam nota sejarah bangsa ini. Selama 10 tahun di Pulau Buru, Hersri bersama ribuan tahanan lainnya dipekerjakan secara paksa oleh pemerintah melalui serdadu-serdadu yang bertugas di Buru. Pengalaman yang mereka rasakan karena “dosa politik”, tidak beda jauh dengan masa kolonialisme. Bahkan salah satu tahanan Buru, Trikoyo Ramidjo yang pernah juga merasakan pengasingan di Boven Digul pada era kolonialisme Belanda menyatakan jika Orde Baru tak lebih baik daripada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dan Digul agak lebih baik dibanding Buru. “Tidak ada penjara (di Digul). Belanda tidak sekejam Soeharto dan masih punya rasa perikemanusiaan,” tulis Trikoyo yang merupakan wartawan Harian Rakyat dalam bukunya yang berjudul Kisah-kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru. Hersri beruntung karena mampu bertahan hingga akhirnya dilepas oleh pemerintah pada bulan Desember tahun 1977 setelah dunia internasional mendesak Soeharto. Sedangkan nasib beberapa narapidana lain tidak seberuntung Hersri. Menurut situs Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) sumber dari jurnalis asing yang mengun-


jungi Pulau Buru melaporkan, sebanyak 42 tahanan telah meninggal sejak proyek Buru dimulai. Sebanyak 24 dilaporkan karena sebab ilmiah, 14 karena kecelakaan, satu bunuh diri, dan dua karena dibunuh. Sedangkan sumber lain yang berasal dari jurnalis S. Jasa menuturkan jumlah tahanan yang tewas di Pulau Buru sebanyak 80 orang, 60 di antaranya tewas karena malaria dan kurang gizi. Pulau Buru: Tanah Air Beta adalah perjalanan ziarah Hersri beserta anak serta istrinya setelah 50 tahun meninggalkan Buru. Perjalanan ziarah yang tidak mudah karena menyambangi Buru berarti menanarkan lagi luka yang belum kering. Ingataningatan kelam Hersri ditata menjadi narasi dengan kunjungannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Amatan Hersri dan kedua teman penyintasnya di hadapan Monumen Projek Perdesaan Savanajaya bisa dianalogikan sebagai kebebalan negara memelihara bangkai sejarah. “Yang membangun adalah tapol. Yang diabadikan namanya di monumen justru para penindas tapol”, tutur Tedjabayu yang merupakan salah satu penyintas Buru. Dalam scene yang lain, bentangan sawah seluas 3000 hektar yang pernah diklaim sebagai keberhasilan pemerintah menjalankan swadaya pangan khususnya di Maluku, adalah bukti bisu kejinya Buru. Kesaksian warga yang hidup di Pulau Buru turut dihadirkan untuk menampik narasi-narasi kejam yang dilemparkan oleh negara tentang bagaimana seorang komunis hidup. Makam dengan papan-papan nama yang pecah dan tertimbun tanah, turut menghadirkan nostalgi yang tak seharusya bersemayam dalam ingatan. Papan-papan mati, tanda kehidupan. Orang-orang kalah kembali berkisah Pantang menyerah, pantang menyerah. Dilantunkan oleh Hersri di depan nisan seorang karib yang mati di pengasingan. Nukilan puisi dari Hersri yang memang seorang sastrawan, terus dibawakan dan menjadi pengantar kisah demi kisah. Menambah kesan getir dari dokumenter peziarahan tersebut. Dokumenter berdurasi 48 menit ini menggunakan narasi putri Hersi, Ken yang berusaha meneroka masa lampau ayahnya dengan mengunjungi dan menggali lagi setiap makna dalam ingatan dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Tidak hanya dari tempat ke tempat, ingatan Hersri juga dibangun dari pertemuan demi pertemuan dengan sesama penyintas tahanan Buru yang masih hidup. Tidak seperti Hersri, beberapa dari mereka memilih hidup di Pulau Buru dan tidak kembali ke tempat asal pasca dilepas sebagai tahanan politik. Alasannya macam-macam, mulai dari tidak diterima oleh warga

di lingkungan asal hingga dikira sudah wafat oleh keluarga karena menahun tiada kabar. Sejujurnya, secara teknis sinematografi tiada yang terlalu istimewa dari film ini. Pengambilan gambar film lebih banyak menggunakan teknik-teknik standar seperti long-shot dan close-up. Sutradara seperti tidak menyadari bahwa teknik pengambilan gambar bisa memengaruhi dramaturgi yang dibangun. Linearitas narasi yang disusun film ini sendiri juga kurang enak untuk diikuti bahkan sekalipun sutradara berargumen bahwa alur yang digunakan merupakan alur maju-mundur. Penuturan kisah demi kisah cenderung terlalu melompat. Kecuali hal itu memang disengaja untuk mengikuti dan menyelami sosok Hersri sepuh dengan usahanya yang pelan dan penuh duka mengumpulkan ingatan-ingatan yang berserakan. Tapi rasanya, tendensi utama dari film ini memang juga bukan untuk memanjakan penonton dengan unsur sinematografi kelas wahid. Sebagaimana dokumenter sejarah, pertama-tama film ini mengajak kita untuk sekali lagi menolak lupa atas suatu fakta sejarah lain yang luput (atau sengaja diluputkan) dari genggaman ingatan kolektif kita. Pulau Buru: Tanah Air Beta sebagaimana film-film bertemakan kekerasan negara yang lain, ingin menggugat dengan keras—melalui tangisan serta puisi Hersri, makam yang legam tertimbun tanah dan monumen penindasan—bahwa permintaan maaf negara sangat diperlukan untuk memutus mata rantai belenggu itu. Pulau Buru: Tanah Air Beta juga melengkapi dokumenter lain mengenai epos 1965 seperti Mass Grave (2002), The Act of Killing (2012) hingga The Look of Silence (2014) yang pada umumnya mengangkat tentang peristiwa pembunuhan massal dari kerangka besar peristiwa 1965. Pulau Buru: Tanah Air Beta juga menjadi peringatan keras bagi penonton: bahwa negara bisa kambuh sewaktu-waktu. Sejarah perlu diingat dan di-titeni karena ia berulang. Sebagaimana Karl Marx katakan, dalam Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte: “Sejarah selalu berulang pada dirinya sendiri, ‘pertama sebagai tragedi, kemudian menjadi lelucon”. Hersri Setiawan dan puluhan ribu bahkan ratusan juta warga Indonesia yang tertuduh “kiri” sudah menjadi bagian dari tragedi itu. Tentu kita, yang sekarang masih bersemayam dan mewarisi fakta sejarah itu, tidak mau menjadi lelucon bukan? Judul : Pulau Buru: Tanah Air Beta Sutradara : Rahung Nasution Produser : Dolorosa Sinaga, Whisnu Yonar Rilis : 2016 Durasi : 48 menit

PASTI edisi 39 | 83


SASTRA

Air Mata Batin Zulnaedi TULISAN OLEH YUSTINUS SATYAGRAHA ILUSTRASI OLEH SILVESTER WISNU Malam itu di Pulau Buru sangat sunyi. Suara hewan-hewan malam menemani para tapol yang tertidur pulas di barak setelah seharian bekerja di hutan. Para tentara berjaga di masing-masing unit, mengawasi para tapol yang diam-diam berniat kabur dari Pulau Buru. Zulnaedi masih terjaga. Pikirannya masih mengawang-awang. Ia beberapa kali membalikkan badan agar bisa tidur. Ia ingat ketika tentara menciduk dirinya untuk dibawa ke Nusakambangan. Waktu itu ia dan Marni, istrinya, sedang menonton televisi. Ia baru saja pulang dari kantornya. Anak perempuannya sedang belajar di kamar. “Kepiye gaweane, Mas? Wes dirampungke to?” Marni bertanya kepada suaminya. “Uwes, Ni.” “Mas Edi kesel to? Tak gaweke wedang teh yo ben awake anget,” kata Marni seraya merayu Zulnaedi yang berada di sampingnya. “Iyo rapopo, Ni.” Marni lalu beranjak dari sofa dan menuju ke dapur. Zulnaedi masih menonton televisi. Hari itu ia bisa pulang cepat dari kantornya. Tiba-tiba terdengar suara truk tentara datang mendekati rumah mereka. Lampu truk yang terang menyinari depan rumah Zulnaedi. Cahaya lampu utama truk itu sangat terang, seterang lampu sorot yang biasa untuk menyinari langit di malam hari. Zulnaedi melihat cahaya yang menyilaukan dari ruang tamu. Ia segera beranjak dari sofa dan mengintip lewat jendela ruang tamu. Ia tampak kaget ada satu truk tentara beserta kawanan tentaranya yang sedang bersiap-siap menggerebek rumahnya. Tentara-tentara itu langsung turun dari bak truk sesampainya di depan rumah Zulnaedi. Bunyi sepatu tentara berlari-lari mengganggu ketenangan malam itu. Zulnaedi bingung mengapa rumahnya digerebek oleh sekawanan tentara. Gubrak! Tiba-tiba saja suara pintu rumahnya didobrak dari luar. Ia dengan sigap menahan pintu itu agar tidak bisa dilewati para tentara itu. Tenaganya ia curahkan untuk menahan beban pintu yang berusaha dimasuki paksa oleh sekawanan tentara. Usahanya sia-sia. Pintu itu akhirnya bisa dibuka paksa. Zulnaedi langsung jatuh terjengkang. 84 | PASTI edisi 39

Dua tentara yang ada di situ langsung memegangi tubuh Zulnaedi. “Apa-apaan ini?!” tanya Zulnaedi dengan nada keras. “Apakah kamu Zulnaedi?” tanya pimpinan tentara yang ada di situ. “Ya, saya sendiri!” jawab Zulnaedi buas. “Enggak usah banyak omong. Kamu, ikut kami!” Sikap berontak langsung ditunjukkan Zulnaedi kepada dua tentara yang memegangnya. Seketika itu juga istrinya berlari-lari dari dapur. Marni sungguh terkejut melihat suaminya ditahan dua tentara. “Mas Edi, ono opo iki?!” tanya Marni dengan penuh cemas. Ia ikut mencegah agar suaminya tidak dibawa oleh tentara. Salah satu tentara berusaha memisahkan Zulnaedi dengan istrinya. Dor! Nahas, tiba-tiba tembakan senapan tentara melayang ke arah dada istrinya. Zulnaedi langsung berlari ke arah istrinya. Tepat sebelum Marni jatuh, Zulnaedi langsung menadahi tubuh istrinya tepat di pangkuannya. Zulnaedi menangis tersedu-sedu, sambil mengelus-elus wajah Marni. Salah satu tentara yang ada di situ kemudian memukul kepada Zulnaedi menggunakan popor senapan. Zulnaedi langsung tak sadarkan diri. Begitu sadar, tahu-tahu ia sudah mendekam di balik jeruji penjara Nusakambangan. Sejak kejadian itu, ia selalu terbayangbayang keluarganya. Anak perempuannya juga tidak diketahui keberadaannya. Kabar burung beredar di antara para tapol bahwa pimpinan tentara di Unit III Wanayasa baru saja membawa salah satu anak perempuan untuk dijadikan gundiknya. Zulnaedi benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia yang biasanya rajin menunaikan salat lima waktu, kini hampir tidak pernah salat. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk makan dan tidur, di samping bekerja di hutan. “Di, belum tidur kau?” Ramlan melihat Zulnaedi terus-menerus membalikkan badan. “Belum, Lan. Aku enggak bisa tidur.” “Lha lagi mikirin apa?” Ramlan yang tidur di samping kiri Zulnaedi membalikkan badan ke arah Zulnaedi. “Aku kepikiran istriku. Ia tewas ketika berusaha mencegahku diciduk tentara. Aku memangkunya


tepat ketika ia tewas.” Nada Zulnaedi mulai meninggi. “Aku bisa memahami apa yang kau rasakan sekarang, Di,” kata Ramlan. Zulnaedi segera memalingkan wajahnya ke arah Ramlan. “Istriku disiksa dan diperkosa oleh tentara sewaktu aku masih dipenjara di Nusakambangan. Mereka menelanjangi dan menyetubuhinya satu per satu. Setelah mereka selesai, mereka meninggalkan rumah kami dan membiarkan istriku terkulai lemas tak berdaya.” Air mata Ramlan mulai meleleh. “Lalu apa yang terjadi?” Zulnaedi bertanya dengan penuh penasaran. Ramlan menghela napas dalam-dalam sambil memandang ke atas. “Sehari kemudian aku mendengar kabar dari kakaknya kalau dia meninggal di rumah, dalam keadaan tergeletak di lantai dan telanjang bulat.” Amarah Zulnaedi mulai memuncak mendengar cerita Ramlan. Ia tidak bisa membayangkan jika istrinya yang disiksa dan diperkosa. Baginya semua tentara sama biadabnya. “Apakah kau masih memiliki dendam kepada tentara-tentara itu?” kata Zulnaedi.

“Jika ada orang melakukan kejahatan padamu, balaslah ia dengan kebaikan.” Ramlan masih memandang ke atas. “Apa maksudmu?” Zulnaedi mengerutkan dahinya. “Setelah peristiwa itu, aku sangat sedih. Aku sampai tidak makan dua hari. Aku bahkan bertanya kepada Tuhan, ‘Apa maksud semua ini, ya Tuhan?’ Sampai suatu ketika, entah mengapa, perlahan-lahan aku mulai bisa mengikhlaskan kepergian istriku. Tentara-tentara yang menyiksa dan memperkosa istriku sudah kuampuni. Aku bisa menikmati hidupku kembali. Aku tahu bahwa istriku tidak akan kembali. Paling tidak, beban yang aku pikul menjadi berkurang.” Zulnaedi tidak mengerti apa yang dikatakan Ramlan. Ia masih diliputi rasa dendam dalam hidupnya. Bahkan, ia menghilangkan kata ‘kebaikan’ dalam kamusnya. “Sudahlah, aku ingin tidur,” kata Ramlan. Ia lalu membalikkan badannya dalam posisi terlentang dan menaruh kedua tangannya dalam posisi sedhekap di atas dadanya. Zulnaedi tampak merenung. Ia masih memikirkan kata-kata Ramlan tadi. Apakah aku harus mengampuni, atau membalas mereka, tanya Zulnaedi dalam hati. Suara mesin ketik tua Royal 440 berbunyi keras memenuhi barak itu. Zulnaedi yang sudah mulai terlelap, tiba-tiba kembali membuka matanya. Ia lalu menoleh ada salah satu tapol yang masih mengetik di salah satu sudut barak, sambil ditemani lampu sentir di samping mesin ketiknya. Waktu berjalan cepat. Zulnaedi kemudian menoleh sekelilingnya. Suara mesin ketik tua itu sudah hilang. Sinar lampu sentir di meja ujung barak juga sudah mati. Semua orang sudah tidur, katanya dalam hati. Tanpa disadari, Zulnaedi memegangi luka sayatan di pelipisnya. Ia kembali teringat kejadian kemarin waktu di hutan. Waktu itu ia sedang mengayunkan kapaknya saat menebang pohon. Siang itu panas terik matahari menyengat tubuhnya. Tiba-tiba dari belakang, salah seorang tapol yang sedang melewatinya langsung menyayat pelipisnya dengan pecahan kaca. Ia jatuh sambil memegangi pelipisnya yang berlumuran darah. Para tapol langsung memadati lokasi kejadian. Ada yang berusaha menolong Zulnaedi, ada yang mencoba melerai, ada pula yang mencoba menghakimi tapol itu. Dua menit kemudian tentara yang mengawasi para tapol bekerja di hutan datang. Tapol yang tadi menyayat Zulnaedi langsung dibawa ke ruang interogasi. Zulnaedi lantas dibawa ke ruang pengobatan. Pyarrr!!! Suara lampu petromaks di samping barak jatuh dan pecah. Zulnaedi tersadar dari lamunannya. Ia lantas beranjak dari tempat tidur dan mengintip ke luar barak. PASTI edisi 39 | 85


Dua tentara yang sedang berjaga tampak berada di lokasi jatuhnya lampu petromaks itu. Zulnaedi melihat dari kejauhan. Rasa ingin tahunya muncul. “Wah, untung langsung mati, kalau enggak bisa habis kebakar ini barak,” kata salah satu tentara yang membawa senapan. Ia tidak melihat percikan api dari dalam lampu petromaks. “Iya benar juga,” jawab tentara lainnya yang memegang senter sambil memandangi barak yang terbuat dari kain terpal yang tebal itu. Zulnaedi masih memandangi dua tentara itu. Dua tentara itu sibuk membereskan pecahan kaca dari lampu petromaks yang terjatuh. Suara pecahan kaca yang disapu dan dimasukkan ke serokan sampah terdengar sampai ke telinga Zulnaedi. “Heh, siapa itu?” Tentara yang membawa senter melihat sosok hitam dari samping barak. Tentara itu hanya melihat bayangan samar-samar saja. Senter yang diarahkannya tadi diarahkan ke bayangan samar-samar itu. Usahanya sia-sia. Cahaya senter itu tidak cukup terang untuk menyelidiki siapakah sosok hitam di samping tenda itu. Semak belukar yang tumbuh liar di samping barak juga mengganggu cahaya senter. Zulnaedi langsung masuk ke barak. Ia berlari kecil saking takutnya. Begitu sampai di tempat tidur, ia kemudian membalikkan badannya ke arah Ramlan yang sudah tertidur pulas. Suara derap langkah sepatu tentara perlahan tapi pasti mendekati pintu barak. Tak butuh waktu lama bagi kedua tentara itu untuk mencapai pintu barak. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh Zulnaedi. Suara itu makin lama makin dekat. Tahu-tahu kedua tentara itu sudah berada di depan Zulnaedi. Ia pasrah saja. “Tampaknya semua tapol sudah tidur,” kata tentara yang membawa senter. Tentara yang satunya melihat sekeliling di barak itu. Suara ngorok bersahut-sahutan disertai udara yang pengap menyelimuti barak yang penuh sesak oleh tapol. Semua tapol yang tidur di situ tampak seperti sekumpulan mayat sambil ngorok. “Ya kau benar. Ayo kita keluar dari sini,” kata tentara lain yang membawa senapan sambil mengajak temannya keluar dari barak. Setelah memeriksa keadaan sekitar, kedua tentara itu akhirnya keluar, meninggalkan Zulnaedi seorang diri yang masih terjaga. “Tadi malam aku mendengar suara mesin ketik tua di salah satu sudut barak.” Zulnaedi yang sedang mengayunkan parang ke arah kayu pohon yang mati, memulai pembicaraan dengan Ramlan di sampingnya. Ramlan yang juga sama-sama sedang mengayunkan parang untuk membuka semak belukar di 86 | PASTI edisi 39

samping kayu-kayu pohon yang mati itu, lalu menghentikan aktivitasnya sebentar seraya menoleh ke arah Zulnaedi. “Oh, mesin ketik tua itu milik Pram,” jelas Ramlan. “Pram? Pramoedya Ananta Toer aktivis Lekra itu?” tanya Zulnaedi. “Ya. Dia juga ditahan bersama kita di sini,” kenang Ramlan. Ramlan diam sejenak. Lalu ia melanjutkan pembicaraannya. “Ia juga sempat ditahan di Nusakambangan, bersama denganku. Ia ditahan di sana selama 3 tahun 8 bulan. Kami berangkat bersama menggunakan Kapal ADRI XV dari Pelabuhan Sodong.” “Oh begitu...” ujar Zulnaedi. Mereka berdua kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Sekitar 15 menit kemudian, ada dua orang tentara datang menghampiri mereka berdua. Tentu saja Zulnaedi dan Ramlan menoleh ke arah dua tentara dengan pandangan heran. “Kamu Zulnaedi?” kata salah satu tentara itu. “Iya,” jawab Zulnaedi dengan penuh penasaran. “Ikut kami ke barak khusus. Tenagamu dibutuhkan di sana,” kata tentara itu lagi. Zulnaedi hanya diam saja. Ia berjalan sambil diapit dua tentara di sampingnya. Baru kali ini ia diminta bekerja di barak khusus. Kurang lebih 10 menit kemudian mereka sampai di area barak khusus. Pasir beterbangan di mana-mana. Zulnaedi sempat mengucek-ucek matanya karena kelilipan. “Sekarang mulailah bekerja,” perintah tentara tadi kepada Zulnaedi. Zulnaedi langsung menjalankan perintah tentara itu. Tiba-tiba dari barak keluarlah seorang anak perempuan. Anak perempuan itu sungguh manis. Wajahnya terkesan polos. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Anak perempuan itu melihat ke arah Zulnaedi. Zulnaedi bingung. Siapakah dia? Zulnaedi terdiam memandangi anak perempuan itu. Salah seorang tentara tiba-tiba keluar dari balik barak. Rupanya tentara itu adalah pimpinan tentara yang pernah menciduk dan membunuh istrinya. Pimpinan tentara itu kemudian menggandeng tangan seorang anak perempuan yang Zulnaedi lihat tadi lalu dibawa menuju kantornya. Zulnaedi masih menatapi anak perempuan itu sampai masuk ke kantor pimpinan tentara. Tatapan anak perempuan tadi seakan-akan seperti tatapan seorang anak kepada ayahnya. “Mungkin benar, dia memang anakku,” pikir Zulnaedi.


SENI RUPA

Silvester Wisnu, 2018, PELIT, pen on paper, 21x29,7 cm

PASTI edisi 39 | 87


SENI RUPA

Silvester Wisnu, 2018, Ayu lan Prasojo, pen on paper, 21x29,7 cm

88 | PASTI edisi 39


Emptiness Feeling, How Charmingful Thing it is. Anggi Wismandaru, 2018 Poster Color, Marker, Pen on Cottage Paper, 21 x 29,7 cm



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.