PASTI edisi 33 (2010)

Page 1

edisi 33 / agustus 2010

PASTI MENGUPAS REALITAS MEMACU PERUBAHAN

www.pasti.or.id


WE ARE OPEN RECRUITMENT if you are interested, check out our website pasti.or.id


30

52

40

22 60

72

58

64 Daftar Isi

Laporan Utama

06

oleh

16

oleh

Kisah Mata

40

Seni & Budaya

52

Kilas Sejarah

56

Jalan-jalan

58

Resensi Buku

76

Resensi Film

78

Sastra

80

Seni Rupa

84

Herman Pranadita

Dominikus Kuncoro

Memahami Akar Kekerasan Massa oleh

Suryo Wibowo

The Elephant Man oleh

Immanuel Giras

Henry Adrian

Tinju Hingga Kuba oleh

Paulina Damayanti

Kafe Retro Yang Lahir Tanpa Konsep oleh

72

Suryo Wibowo

Pak Ollot & Penyerbuan Kotabaru oleh

Seputar Atma Jaya

Henry Adrian

Gua Maria Lawangsih oleh

Henry Adrian

Menari Adalah Hidup Bagi Kami oleh

PASTI edisi 33

68

Aditya Mardiastuti & Henry Adrian

Pesona Gunung Api Purba oleh

Henry Adrian

Derita Urban Di Penghujung Ramadhan oleh

02

64

Rosalia Fergie

Orkestra Sepak Bola

Ruang Seni Seberang Beringharjo oleh

All That Glitters Are Not Golds oleh

30

Henry Adrian

Pekerja Sosial Masyarakat oleh

22

60

Matinya Kijang Putih

Oge Tampubolon

KOLAZ oleh

Oge Tampubolon

TANKARD oleh

Benny Carcass

PASTI edisi 33

03


Editorial

Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Pemimpin Perusahaan Sekretaris Umum Staf Redaksi

Designer Kontributor

Gregorius Herman Pranadita Henry Adrian Paulina Damayanti Aditya Mardiastuti Dominikus Wirawan Kuncorojati Anastasia Anindya Paramita Immanuel Giras Pasopati Oge Tampubolon Veronica Olimpia Rosalia Fergie Stephanie Henry Adrian Suryo Wibowo Benny Carcass Benedictus Yanuarto

LUKISAN SAMPUL Benny Carcass, Child, 2008 akrilik di atas klaras, 30 x 42 cm

Surat Kabar Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Berdasarkan SK Rektor UAJY Nomor 11/HP/1995. Pertama kali diterbitkan oleh Unit Penerbitan Mahasiswa UAJY. Alamat Redaksi: Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PUSGIWA), Kampus III Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari 43, Yogyakarta, 55281. Email: redaksipasti@yahoo.com Website: www.pasti.or.id Redaksi menerima surat pembaca, opini, dan ilustrasi yang dapat dikirim melalui email ke redaksi pasti.

PASTI Hari ini

Hari ini beberapa orang mengatakan kami mati. Ya, kami memang mati. Kami mati berkali-kali, dan hidup berulang kali. Kami tak ubahnya seperti gerombolan anti pasti. Telah berkali-kali redaksi menulis sajak kematian tentang organisasi ini. Sajak-sajak yang lalu diganti dengan kebangkitan dan berakhir lagi dengan kematian. Sebuah lingkaran setan. Introspeksi dan evaluasi tak hanya sekali kami lakukan. Namun itu hanya seperti onani yang berakhir dengan orgasme. Sesaat kami merasakan semangat yang bergelora, suatu ekstasi. Tapi lagi-lagi kami lalu mati. Tak terhitung berbagai cercaan yang menghantam PASTI selama ia mati. Cercaan yang berasal dari ketidaktahuan dan juga ketidakpastian. Seorang Harper Lee pernah berkata, “kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya‌ hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.â€? Cercaan itu tentu saja menghasilkan kegelisahan bagi kami. Meski begitu, kami tak ingin saling menyalahkan untuk meredakan kegelisahan tersebut. Melimpahkan kesalahan pada orang lain tak lebih dari pengakuan bahwa PASTI telah kalah. Tidak. Kami belum mau kalah ataupun mengalah pada keadaan. Di edisi ini, kami bercerita tentang orang-orang yang tidak mau kalah. Sebagian dari mereka terus berjuang hingga hari ini. Namun ada pula yang terhenti setelah dijemput oleh kematian. Semoga cerita-cerita yang kami tampilkan disini cukup berharga untuk dikisahkan. Cerita-cerita tentang harapan sebuah perjuangan. Cerita-cerita tentang harga sebuah perjuangan.

Henry Adrian

04

PASTI edisi 33

PASTI edisi 33

05


Matinya Kijang Putih “Sebuah kasus kalau tidak dikawal wartawan bisa dibelokkan.�

CERITA & ILUSTRASI OLEH HENRY ADRIAN

MALAM ITU HERU PRASETYA SEDANG BEKERJA DI KANTOR BERNAS. SUASANA KANTOR malam itu tampak seperti biasanya. Sebagian besar wartawan telah pulang, sedangkan yang masih berada di kantor kebanyakan adalah redaktur. Sedangkan di tempat lain, seorang wartawan Bernas bernama Fuad Muhammad Syafruddin dianiaya oleh orang tak dikenal di beranda rumah kontrakannya. Akibatnya, pria yang akrab disapa Udin ini tergeletak bersimbah darah tak sadarkan diri. Sejak saat itu Udin tidak pernah sadar. Koresponden Bernas untuk daerah liputan Bantul ini akhirnya meninggal tiga hari kemudian. 16 Agustus 1996 menjadi tanggal terakhir yang tertera di nisannya.

WAJAH PRIA ITU SUDAH TAMPAK MENUA. SEBAGIAN RAMBUTNYA TELAH MEMUTIH. Pembawaannya ramah dan nada bicaranya tenang, tidak meledak-ledak. Pria itu adalah Heru Prasetya. Ia bekerja di surat kabar harian Bernas sejak tahun 1990. Saat itu, Bernas yang baru saja bergabung dengan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) membuka lowongan pekerjaan sebagai wartawan. Karena merasa tertarik untuk bekerja sebagai wartawan di media massa, Heru pun mendaftar ke Bernas. Menurutnya, bekerja sebagai wartawan itu menantang dan bisa memiliki banyak pengetahuan. Setelah diterima sebagai wartawan Bernas, Heru telah beberapa kali dipindahtugaskan ke berbagai kota. Mulai di Purwokerto, Semarang, hingga pada akhir tahun 1992 dipindah ke Yogyakarta dan diberi tugas sebagai asisten redaktur halaman daerah. Sejak bekerja sebagai asisten redaktur halaman itulah Heru mengenal Udin. Saat pertama kali bertemu dengan Udin, Heru merasa takut. Maklum, badan Heru kecil, 06

PASTI edisi 33

PASTI edisi 33

07


tidak sebanding dengan badan Udin yang tinggi dan besar. Roman wajah Udin pun serius dan jarang membuang senyum. Namun seiring berjalannya waktu, kesan pertama yang muncul di benak Heru pada Udin itu pun pupus. Meski berperangai menakutkan, ternyata Udin pun dapat diajak berkelakar. “Orangnya angker tapi tabiatnya sangat lemah lembut,” kenang Heru.

sebuah kolom di surat kabar tersebut. Selang satu hari setelah berita penganiayaan Udin dimuat di Bernas, Udin akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia meninggal sekitar jam lima sore di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Setelah sore itu, bukan hanya gelapnya langit malam yang mengiringi kepergiannya. Namun juga gelapnya sosok pelaku pembunuhan yang belum terungkap hingga hari ini.

MALAM SEBELUM DIANIAYA, UDIN DATANG KE KANTOR Bernas untuk mengetik berita dan menyerahkannya pada Heru seperti biasa. Berita terakhir yang dibuat oleh Udin adalah tentang korupsi pembangunan jalan. Ketika berita itu keluar di Bernas, Udin sudah tidak dapat membaca berita itu lagi karena ia telah koma di rumah sakit. Heru tidak ingat secara persis kapan ia memperoleh kabar tentang penganiayaan Udin. Tapi yang jelas, ketika ia datang ke Bernas keesokan paginya, suasana kantor sudah ramai membicarakan penganiayaan Udin. Saat itu belum terbayang di benak Heru dan teman-temannya di Bernas kalau Udin akan meninggal. “Apalagi badannya mas Udin kan besar, jadi ngga nyangka kalau ternyata begitu parah bahkan sampai meniggal,” ujar Heru. Setelah itu, Heru pun pergi ke tempat Joko Mulyono. Udin dan Joko Mulyono merupakan koresponden Bernas di Bantul. Biasanya Udin meliput berita-berita Kriminal di Bantul, sedangkan Joko meliput berita-berita seputar pemerintahan Bantul. Heru pun bertanya tentang kabar penganiayaan tersebut pada Joko, tapi Joko kebanyakan menjawab tidak tahu. Menurut Heru, kisah penganiayaan Udin waktu itu ternyata tidak menarik simpati dari pimpinan di Bernas. Meski Udin merupakan koresponden Bernas, namun pimpinan Bernas waktu itu enggan memuat berita tentang penganiayaan Udin di korannya.

UDIN TELAH BEKERJA DI BERNAS SEJAK TAHUN 1986. Sebelum bekerja di Bernas, pria kelahiran 18 Februari 1963 ini semula mendaftar ke Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Bandung. Namun karena tidak diterima, ia lantas pulang lagi ke Yogyakarta untuk membantu ayahnya yang bekerja sebagai tukang batu. Hingga akhirnya, pada tahun 1986 Udin pun mendaftar ke Bernas dan diterima sebagai koresponden Bernas sekaligus agen koran Bernas dan majalah Djoko Lodang. Pada tahun itu pula Udin diangkat sebagai koresponden Bernas untuk daerah liputan Bantul dan sekitarnya. Banyak pihak mengungkapkan analisis bahwa kematian Udin berkaitan dengan berita-berita yang ia tulis di Bernas sesaat sebelum ia dianiaya. Mulai dari penyunatan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT) di desa Karangtengah, kecamatan Imogiri, Bantul, sampai pada berita pemilihan Bupati Bantul. “Saya masih meyakini sampai sekarang bahwa latar belakang pembunuhan Udin adalah berita yang pernah ditulis oleh Udin. Karena menurut saya sebagai salah satu redakturnya, berita-beritanya itu memang kritis. Saya tidak berbicara soal kualitas penulisan, saya berbicara tentang isi berita. Dan itu saya tidak melihat di wartawan-wartawan di Bantul dari media manapun,” jelas Heru. Menurut dugaan Heru, berita-berita yang ditulis oleh Udin akan membuat marah beberapa orang. Udin memang sering menulis berita kritis. Seingat Heru, dalam seminggu Udin pasti selalu menulis berita kritis. “Kalau ada yang salah dia betul-betul tulis bahwa itu salah, dan dia tidak tedeng aling-aling (basa-basi) ketika mengungkapnya,” kenang Heru. Hal senada juga diungkapkan oleh Muchamad Achadi, mantan koresponden Bernas yang waktu itu kerap menulis berita tentang politik dan agama di Bernas. “Saya melihat sisi Udinnya cukup kritis, mas Herunya sebagai redaktur juga cukup mengakomodir itu, dan secara kelembagaan di Bernas, rasa-rasanya memang tidak ada sensor secara langsung. Saat itu yang saya pahami kalau ada beritaberita keras paling kita mendapat telepon dari Pangdam, Korem dan macem-macem.” Meski sering menulis berita kritis, hubungan Udin dengan narasumber tetap baik. Hal ini diungkapkan oleh Heru karena ia sendiri seringkali meliput bersama Udin. “Di kantor polisi, hampir semua reserse mengenal Udin, di pengadilan, pemerintah kabupaten, dan DPRD juga begitu,” ungkap Heru. Namun, Heru sendiri tidak tahu apakah Udin

“Kalau ada yang salah dia betul-betul tulis bahwa itu salah, dan dia tidak tedeng aling-aling (basa-basi) ketika mengungkapnya.” “Menurut pimpinan di kantor, itu merupakan berita biasa, jadi ngga dimuat ngga apa-apa, ngga ada nilai layaknya,” ucap pria 45 tahun ini. Setelah mendapat alasan seperti itu, Heru dan beberapa temannya di Bernas lantas melobi para pimpinan di kantornya agar bersedia memuat berita tentang penganiayaan Udin. “Bagaimanapun, layak atau tidak layak, Udin itu adalah saudara kita yang sedang terkena persoalan, masa kita tidak memberitakan,” ujar Heru menirukan kata-katanya sendiri pada waktu itu. Akhirnya usaha tersebut tak sia-sia. Keesokan harinya, berita penganiayaan terhadap Udin dimuat dalam 08

PASTI edisi 33

memiliki hubungan yang baik dengan Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul waktu itu. Sri Roso merupakan salah satu tokoh yang menurut analisis berbagai pihak merupakan orang yang berada dibalik penganiayaan Udin. Meski begitu, hal ini belum terbukti secara hukum hingga saat ini karena pelaku pembunuhan Udin yang sesungguhnya belum tertangkap. Sebenarnya, beberapa hari setelah pembunuhan ini terjadi, Ade Subardan, Kapolres Bantul waktu itu, sempat berkata bahwa identitas pelaku sudah diketahui. Ia bahkan sempat berkata, “dua sampai tiga hari ini dapat tertangkap, percayakan saja pada kami,” ungkap Ade waktu itu. Namun, perkataan Ade ini tak pernah terlaksana. Tiga bulan kemudian, Ade Subardan justru dipindahtugaskan ke Inspektorat Kepolisian Daerah Irian Jaya. “Kelihatannya dia tahu siapa pelakunya. Nyatanya kemudian, ngga tahu ada tangan-tangan darimana yang kemudian ikut campur, dia dipindah ke Irian. Bahkan katanya sempat stres. Saya pernah menelepon dia ketika dia di Irian. Dia bilang, oh maaf, saya sudah tidak mau lagi bicara soal itu. Kelihatan dari nada bicaranya, dia seperti orang yang sangat tertekan, terputus-putus ngomongnya, dan dia merasa, sudah, saya tidak mau lagi mengingat masalah itu. Berarti kan ada sesuatu,” ungkap L.N Idayanie, redaktur Koran Tempo biro Jawa Tengah dan DIY yang dulu juga meliput kasus Udin.

satu pengurus PWI cabang DIY. “Pada waktu itu, PWI sebagai organisasi profesi menuntut Tim Pencari Fakta yang jumlahnya lima orang itu untuk bekerja maksimal. Statement yang dibuat oleh PWI itu nilainya strategis sekali. Artinya, ketika PWI atau TPF PWI mengatakan kasus Udin ini murni berlatarbelakang pemberitaan, itu dampaknya akan luar

“Kelihatannya dia tahu siapa pelakunya. Nyatanya kemudian, ngga tahu ada tangan-tangan darimana yang kemudian ikut campur, dia dipindah ke Irian. Bahkan katanya sempat stres.”

GELAPNYA LATAR BELAKANG DAN aktor yang berada di balik pembunuhan Udin membuat berbagai media massa lokal, nasional, maupun internasional ikut terjun meliput kasus ini. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sendiri sampai membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk menyelidiki kasus kematian Udin. “Karena yang meninggal adalah wartawan, dan Udin adalah anggota PWI, maka mereka merasa punya kewajiban untuk mengungkap kasus itu, maka dibentuklah Tim Pencari Fakta PWI,” jelas Heru. Pada waktu itu anggota TPF PWI terdiri dari lima orang wartawan. Diantaranya adalah Masduki Atamami yang merupakan koordinator TPF PWI, Putut Wiryawan, Nurhadi, Sutirman Eka Ardana, dan Asril Sutanmaraju. Selain PWI, Bernas sendiri pada awalnya juga membentuk tim khusus untuk meliput kasus ini. Meski begitu, tim ini kemudian tidak berjalan dengan baik. Menurut Heru, salah satu penyebab tidak jalannya tim ini adalah karena Putut Wiryawan, sebagai koordinator tim dan juga wartawan senior di Bernas lebih terkonsentrasi di TPF PWI. Saat itu, Putut adalah salah

biasa. Karena PWI saat itu menjadi satu-satunya organisasi kewartawanan di Indonesia,” jelas Putut. Selain PWI, beberapa wartawan Indonesia sebenarnya telah mendirikan organisasi profesi wartawan tandingan PWI bernama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994. Saat itu, PWI dianggap sebagai alat kekuasaan Soeharto. AJI didirikan lewat penandatanganan suatu deklarasi yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Sirnagalih. AJI didirikan setelah pemerintah membredel tiga media massa nasional, yaitu Detik, TEMPO, dan Editor pada 21 Juni 1994. Meski telah didirikan sejak tahun 1994, pada masa Orde Baru AJI belum mendapat pengakuan dari pemerintah dan dianggap sebagai organisasi terlarang. Pemerintah lewat Departemen Penerangan dan PWI memandang AJI sebagai suatu pembangkangan. Kedua lembaga tersebut bahkan tak segan-segan menekan para pimpinan media massa untuk memecat karyawannya yang terlibat di dalam AJI. Setelah tim yang dibentuk oleh Bernas tidak berjalan dengan baik, beberapa wartawan Bernas akhirnya berinisiatif untuk meliput sendiri kasus Udin. Tak terkecuali Heru yang saat itu telah menjabat sebagai redaktur halaman DIY. Ia bahkan sampai meninggalkan pekerjaannya sebagai redaktur halaman agar dapat turun langsung ke lapangan. Secara formal Heru memang tidak mengundurkan diri. Namun karena sering ke lapangan, tugasnya sebagai redaktur halaman akhirnya digantikan oleh orang lain. “Saya merasa perlu untuk terjun langsung disitu karena di Bernas waktu itu saya melihat gelagat bahwa kasus Udin tidak akan dibesarkan beritanya,” ungkap Heru. Meski begitu, asumsi Heru tentang keengganan Bernas untuk membesarkan kasus Udin ini dibantah oleh Putut. “Di Bernas saya kira ngga ada kebijakan untuk PASTI edisi 33

09


mereduksi pemberitaan Udin. Sama sekali tidak ada. Misalnya mas Heru punya kekhawatiran itu, apakah dengan dia terjun langsung, terlibat langsung, itu dia yang paling menentukan keluar tidaknya berita? Tidak. Berita boleh dibuat oleh siapa saja, tapi ketika pemimipin redaksi memutuskan tidak ya tidak. Ngga bisa dibantah itu,” jelas pria yang pada waktu itu menjabat sebagai redaktur liputan ini. Di awal perjalanannya, para wartawan Bernas ini tidak bekerja sendirian. Beberapa wartawan dari media lain juga turut serta meliput bersama mereka. “Di awal liputan kita ke lapangan bareng-bareng, kalau naik motor kan tidak praktis, karena banyak orang. Terus karena kumpulnya di Bernas, maka pakai mobil Bernas. Kebetulan, mobil Bernas yang bisa dipakai di lapangan adalah mobil Kijang warna putih,” cerita Heru. Secara formal, kelompok wartawan yang pada akhirnya disebut sebagai Tim Kijang Putih ini sendiri tidak pernah terbentuk. Mereka sendiri tidak pernah berpikir tentang penggunaan sebuah nama tertentu untuk menyebut kinerja mereka dalam liputan ini. Awal nama Tim Kijang Putih ini sendiri datang dari seorang

Baginya, yang penting adalah kasus Udin terungkap. “Ngga peduli beritanya bagaimana toh kemudian kalau kita menuliskannya, masing-masing orang kan punya rasa sendiri, punya angle yang berbeda. Ngga mungkin kan kita angle nya sama,” ucap ibu dua anak ini. Pemerintahan Orde Baru yang represif terhadap pers membuat kasus Udin menjadi momentum untuk melawan pemerintah yang otoriter. “Dari situlah kami berpikir lebih baik kasus Udin ini dijadikan simbol. Artinya jangan hanya terpendam, sehingga munculah Tim Kijang Putih. Latar belakangnya kan untuk mengawal peristiwa, supaya menjadi momentum, menimbulkan kesadaran sosial banyak orang,” jelas Achadi yang juga turut bergabung di dalam Tim Kijang Putih. Seiring berjalannya waktu, seolah-olah terjadi persaingan antara Tim Kijang Putih dengan TPF PWI. “Bagi wartawan kan setiap hari harus nulis berita, untuk nulis berita kan harus ada bahan, diantara bahannya itu kita kepingin minta ke TPF, apa saja sih perkembangan TPF yang bisa diberitakan, tapi TPF PWI ngga mau ngasih. Jadi sama mereka disimpan sendiri untuk kepentingan organisasi, bukan pemberitaan,” jelas Heru. Saat itu, tidak semua data yang didapat oleh TPF PWI dapat dibagi ke wartawan. Namun Putut sendiri menolak jika dikatakan bahwa TPF PWI tidak pernah membagi hasil kerjanya pada wartawan. “Kita mengumpulkan fakta itu untuk dilaporkan pada organisasi. Tapi sekalipun demikian, pada waktu itu kami juga tetap menyampaikan hasil-hasil yang kami dapat kepada wartawan. Memang kemudian tidak setiap hari, tapi tetap saja ada, yang namanya press conference yang dilakukan oleh TPF PWI ataupun PWI tetap ada. Memang tidak semuanya bisa kita buka, karena kalau sesuatu yang belum jelas kita buka nanti kan bisa berantakan,” jelas pria yang sekarang menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD DIY ini. Menurut Heru, TPF PWI waktu itu memiliki beragam keuntungan dibanding wartawan. Hal ini disebabkan karena TPF PWI diperbolehkan untuk mewawancarai Edy Wuryanto secara khusus tanpa diganggu wartawan. Sedangkan wartawan sendiri saat itu tidak diperbolehkan untuk mewawancarainya. Selain itu, TPF PWI juga diperbolehkan untuk meminta berbagai data yang didapat oleh polisi. Sedangkan wartawan yang sejak awal telah turut membantu penyelidikan kepolisian tidak diperbolehkan. “Mereka lebih banyak berhubungan dengan kepolisian, sementara kami sudah melihat kepolisian kerjanya tidak beres,” ungkap Heru. Menurut Putut, sikap kooperatif kepolisian terhadap TPF PWI ini disebabkan karena kelembagaan PWI dihormati oleh siapapun. “Bahkan TPF PWI itu menyampaikan paparan di depan Direktur Reserse Mabes Polri, dan itu kan tidak mungkin dilakukan oleh wartawan karena wartawan kan untuk kepentingan pemberitaan, tapi kita TPF untuk kepentingan organisasi

“Eksklusif tidak menjadi nomor satu lagi ketika itu, karena yang terpenting dan menjadi tujuan utama yaitu ingin mengungkap betul apa penyebab meninggalnya Udin.” wartawan koran sore Wawasan. “Setelah berjalan beberapa waktu, ada wartawan Wawasan bernama mas Bowo yang nyletuk woh, nek ngono jenenge tim kijang putih iki (wah, kalau begitu namanya tim kijang putih ini),” ucap Heru menirukan kata-kata wartawan tersebut. Para anggota Tim Kijang Putih biasanya berkumpul di Bernas pada pagi hari. Disana, mereka mendiskusikan berbagai informasi baru dan tempat liputan yang hendak dituju. Jika tempat liputan yang hendak dituju dirasa banyak, mereka akan saling berbagi tugas. Siangnya, mereka akan saling menghubungi atau berkumpul untuk kembali berbagi informasi. “Kita langsung gabung aja waktu itu, karena Bernas ada mobil yang setiap hari ke Bantul. Mobil itu memang khusus untuk liputan Udin. Setiap hari sebelum jam sembilan kita sudah langsung ke Bernas, menunggu teman-teman yang mau pada ikut kesana. Setiap hari itu,” kenang Idayanie yang dulu juga ikut meliput dalam Tim Kijang Putih. Meski terdiri atas wartawan-wartawan dari beragam media, eksklusifitas liputan tidak menjadi penting lagi saat itu. “Eksklusif tidak menjadi nomor satu lagi ketika itu, karena yang terpenting dan menjadi tujuan utama yaitu ingin mengungkap betul apa penyebab meninggalnya Udin,” jelas Heru. Hal senada juga diungkapkan oleh Idayanie. 10

PASTI edisi 33

dan profesi, sehingga akses kita memang lebih gampang,” ucap pria yang pada Oktober 2004 lalu keluar dari Bernas setelah terkena PHK massal. Edy Wuryanto sendiri adalah anggota reserse Polres Bantul dan juga Kepala Unit (Kanit) yang bertugas menyelidiki kasus kematian Udin. Pria asal Nanggulan, Kulon Progo ini menghilangkan barang bukti berupa darah Udin yang dipinjam dari rumah sakit. Selain itu, ia juga merupakan salah satu tokoh utama yang berada dibelakang penjeblosan Dwi Sumaji alias Iwik ke penjara. Iwik yang sehari-hari bekerja sebagai supir ini dituduh oleh polisi sebagai pelaku pembunuhan Udin. Menurut polisi, Iwik merasa sakit hati karena istrinya berselingkuh dengan Udin. Meski kepolisian tidak memiliki bukti-bukti yang menguatkan Iwik sebagai pelaku pembunuhan, mereka tetap menahannya. Kasus perselingkuhan yang digembargemborkan polisi pun seakan hanya mengada-ada karena tidak pernah terbukti. Bahkan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diserahkan kepolisian ke Kejaksaan Tinggi DIY sampai ditolak empat kali karena tidak kuatnya buktibukti dalam BAP tersebut. Sebelum Iwik ditangkap, beberapa wartawan termasuk Heru pergi meliput ke Polwil DIY (waktu itu belum Polda DIY) untuk bertemu dengan Sukoharianto, Kabag Serse waktu itu. Saat itu, Heru melihat beberapa analisis yang dibuat oleh kepolisian tentang penyebab terbunuhnya Udin. “Yang ditulis disitu, semua kemungkinan mengarah ke berita, tidak ada yang lain. Jadi polisi dari awal sudah mengarahkan hal itu ke berita. Tapi ini kan aneh, kenapa yang ditangkap justru tidak ada sangkut pautnya dengan berita ini. Jadi ini berita yang sudah dianalisis oleh polisi, mestinya juga sudah didalami, dan mereka dari awal sudah menyangka hal itu sebagai latar belakang persoalan penganiayaan Udin. Tetapi kemudian yang muncul tersangkanya malah Iwik,” ungkap Heru. Meski akhirnya bebas, namun Iwik sempat meringkuk di tahanan Mapolda DIY selama 58 hari.

dipenjara. Padahal itu orang bodoh, ngah-ngoh, dan betul-betul secara intelektual ngga masuk akal untuk memiliki keberanian sampai membunuh orang,” ungkap Idayanie. Selain wartawan, masyarakat sendiri saat itu sudah melihat ketidakberesan-ketidakberesan dalam kasus penangkapan Iwik. Oleh karena itu, masyarakat menginginkan Iwik segera dibebaskan. Masyarakat saat itu menganggap pria lulusan SMP ini sebagai korban kekuasaan. Kekesalan karena penangkapan yang mengada-ada tersebut tak hanya menimpa masyarakat. Bimo Anggoro, anak Iwik, bahkan mendadak memiliki cita-cita untuk pandai seperti Habibie. Ia ingin membuat bom untuk mengebom Polda! Meski menjadi tersangka sebuah kasus pembunuhan, Iwik justru tidak dikucilkan. Ia malah dielu-elukan. Ketika penahanannya ditangguhkan, ia sempat pulang ke rumahnya di Panasan, Triharjo, Sleman. Saat hendak memasuki desa, terpampang sebuah spanduk bertuliskan, “Selamat Datang DSM/Iwik.” Pada November 1999, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menerbitkan sebuah buku berjudul Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah. Buku tersebut ditulis oleh Heru Prasetya bersama sepuluh wartawan lainnya yang tergabung dalam Tim Kijang Putih. Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana suasana sidang terakhir terhadap Iwik di Pengadilan Negeri Bantul pada 27 November 1997. Saat itu terdapat tiga kelompok yang menghadiri persidangan Iwik. Kelompok pertama adalah pendukung Iwik yang menuntut Iwik dibebaskan. Kelompok kedua adalah mereka yang menginginkan Iwik dihukum sesuai tuntutan jaksa. Sedangkan kelompok ketiga adalah mereka yang tidak memihak siapa-siapa. Kelompok pertama yang juga terdiri dari para wartawan ini lebih banyak berada diluar ruang sidang dibandingkan kelompok kedua. Hal ini disebabkan karena kelompok kedua selalu datang lebih cepat dibandingkan kelompok pertama. Kelompok kedua selalu dapat membanjiri ruang sidang yang tidak terlalu luas tersebut. Bukan rahasia lagi kalau kelompok kedua tersebut sebagian besar adalah aparat keamanan. Kebanyakan dari mereka terdiri dari para pria berambut cepak. Meski berpakaian sipil, sebagian dari mereka lupa mengganti bawahan seragamnya yang berwarna cokelat. “Itu intel tok isinya. Mereka mesti bawa tas selempang kecil. Terus pura-pura nulis pakai block note. Kadang-kadang ada yang bawa kamera. Jadi menyamar

“Sebuah kasus kalau tidak dikawal wartawan bisa dibelokkan. Contohnya kasus Udin sendiri. Kalau tidak dikawal wartawan, pasti yang namanya Iwik itu sudah dipenjara.” “Sebuah kasus kalau tidak dikawal wartawan bisa dibelokkan. Contohnya kasus Udin sendiri. Kalau tidak dikawal wartawan, pasti yang namanya Iwik itu sudah

PASTI edisi 33

11


sebagai wartawan ceritanya. Terus nanti provokatif gitu omongannya. Njelei wis pokoknya. Saya itu saking jengkelnya sama intel sampai kalau ada intel tak potretin. Saya dulu sampai koleksi foto intel lho saking keselnya,” kenang Idayanie seraya tertawa. Kelompok pertama akan bertepuk tangan jika puas terhadap persidangan dan berteriak huuuu… jika kecewa. Sedangkan kekecewaan kelompok kedua akan dilampiaskan dengan teriakan lantang, goblok! Endang Sri Murwati, selaku Ketua Majelis Hakim dalam sidang tersebut pun lambat laun geram dengan sikap kasar kelompok kedua. “Ini bukan pasar!” katanya waktu itu. Meski sebelumnya sering menerima teror dan ancaman agar Iwik dijatuhi hukuman, Endang akhirnya justru menutup sidang dengan vonis bebas bagi Iwik. Kegembiraan kelompok pertama pun tumpah di halaman pengadilan. Dalam buku The Invisible Palace yang ditulis oleh Jose Manuel Tesoro diceritakan, “Someone began singing a patriotic song, which everyone joined in and chated. Another person launched into the opening bars of the Indonesian national anthem. Several audience member shouted: Long live the judges! Long live Iwik! Long live the lawyers!” Iwik memang telah bebas. Namun ia masih merasa terkekang. Di Yogyakarta, orang-orang masih sering memanggil namanya ketika ia lewat. Hal serupa terjadi pula ketika ia berkunjung ke Surabaya. Sosoknya menjadi terkenal setelah kasus Udin ini. Setelah berselang tiga tahun dari peristiwa penangkapannya, ia merasa identitasnya sudah tidak lagi dikenal. Ia pun mulai mencoba membangun lagi kehidupannya dari awal.

WARTAWAN YANG TERGABUNG DALAM TIM KIJANG Putih sebagian besar adalah wartawan Bernas. Dalam perjalanannya, kinerja mereka terhambat oleh berbagai hal. Mulai dari sikap kepolisian yang tidak jelas dalam mengungkap kasus Udin, hingga dari sisi manajemen Bernas sendiri. Tim Kijang Putih selalu memberi masukan pada kepolisian agar dapat mengungkap kasus Udin. Namun kepolisian sendiri terkesan acuh tak acuh. Salah satunya adalah masukan agar polisi memeriksa Edy Wuryanto secara intensif dalam kaitannya dengan penghilangan beberapa barang bukti dan penangkapan Iwik. “Mereka itu selalu bilang begini, saya tu pingin masukan dari teman-teman, untuk mengungkap ini saya pingin masukan, jadi jangan hanya cuma mengejar, padahal kita sudah sering memberi masukan,” jelas Heru. Selain dari kepolisian, manajemen Bernas sendiri seolah tidak menaruh perhatian khusus terhadap kasus pembunuhan Udin. “Manajemen Bernas sendiri tidak sepenuh hati melakukan investigasi pada kasus ini, entah jenuh atau ada persoalan yang lain, hingga pada akhirnya saya harus keluar dari Bernas, teman-teman lain dengan persoalan yang berbeda juga

harus keluar dari Bernas,” ungkap Heru. Setelah tujuh bulan melakukan peliputan mendalam terhadap kasus ini, bukan simpati yang diperoleh Heru dari Bernas. Ia justru diminta mengundurkan diri oleh Kusfandi, pemimpin umum di Bernas pada waktu itu. Saat itu bulan Maret tahun 1997. Sekitar tengah hari sebelum dhuhur, Heru baru saja kembali dari meliput sidang gugatan PDI pro Megawati. Saat memasuki kantor Bernas, ia diminta oleh seorang sekertaris redaksi untuk menemui Kusfandi, pemimpin umum dan orang paling berkuasa di Bernas pada waktu itu. “Pak Heru, disuruh menemui pak Kus.” “Pak Kus siapa?” “Pak Kusfandi.” “Kapan?” “Saiki, di ruangannya.” Heru tidak paham tentang maksud pemanggilan itu sebelumnya. Saat itu ia hanya merasa heran karena Kusfandi tidak pernah memanggilnya. Sesaat kemudian, Heru pun pergi menemui Kusfandi. “Ada apa pak Kus?” “Begini dik, ternyata setelah kami cek berkasberkasnya dik Heru ini, ternyata anda tidak bersih lingkungan. Sehingga, anda tidak bisa menjadi wartawan.” “Lho kok bisa pak?” “Iya, ini data-datanya memang seperti itu.” “Kalau saya memang tidak bersih lingkungan, itu saya sudah bekerja disini selama hampir tujuh tahun, selama hampir tujuh tahun kenapa baru sekarang saya diberitahu seperti itu pak Kus?” “Iya ngga tau, karena kemarin kami memang ngga tau, nah sekarang setelah kami tahu, ya seperti itu. Jadi, untuk enaknya begini saja dik, dik Heru membuat surat pernyataan pengunduran diri.” Ungkapan tidak bersih lingkungan pada jaman Orde Baru biasa digunakan untuk merujuk pada seseorang yang memiliki keterkaitan dengan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Biasanya, di KTP orangorang tersebut terdapat tulisan ET, yang merupakan

Setelah tujuh bulan melakukan peliputan mendalam terhadap kasus ini, bukan simpati yang diperoleh Heru dari Bernas. Ia justru diminta mengundurkan diri oleh Kusfandi, pemimpin umum di Bernas pada waktu itu.

12

PASTI edisi 33

singkatan dari Eks Terlarang. Pencantuman tulisan ET pada KTP seseorang seringkali menyebabkan orang tersebut mendapat perlakuan diskriminatif di masyarakat, entah secara politis maupun sosial. Namun, kadang tidak hanya orang tersebut yang memperoleh

perlakuan diskriminatif, keluarganya pun dapat turut menanggung beban ini. Hal ini jugalah yang menimpa Heru. Ternyata setelah ditelusuri, terdapat tulisan ET di KTP ayah Heru yang merupakan mantan guru sekaligus kepala sekolah di

berpikir untuk saya saja, tapi juga berpikir untuk keluarga,” kenang Heru. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, Achadi mengingat peristiwa pemecatan itu. “Saya hanya melihat mas Heru ngomong dia dah ngga kuat lagi dengan terornya dan menangis,” ucapnya mengenang.

“Saya merasa tidak mendapat perlakuan yang adil di sebuah perusahaan yang menurut ukuran saya sudah saya bela mati-matian. Saya tidak diperlakukan dengan layak disitu.” sebuah SD. “Tapi saya tanya ayah saya dan dia mengatakan kalau tidak pernah menjadi anggota PKI. Hanya dari perkataan seperti itu, tidak pernah ada persidangan, tidak pernah ada pemeriksaan. Meski begitu, ayah saya tidak pernah dipecat dari pekerjaannya tapi tidak digaji dan tidak boleh masuk kerja,” ungkap Heru. Heru tidak tahu darimana Bernas mengetahui hal ini. Ia sendiri yakin jika memang ia tidak bersih lingkungan, maka ia tidak mungkin menuliskan data mengenai hal tersebut. Artinya, Bernas pasti memperoleh data tersebut dari pihak lain. “Ternyata, setelah saya tanya ke teman-teman yang lain, ternyata pagi harinya, sebelum saya datang ke ruangannya pak Kus itu, beberapa pimpinan Bernas baru saja datang ke Korem,” ungkap Heru. Maksud dari kunjungan ke Korem tersebut tidak diketahui secara pasti oleh Heru. Namun dari penuturan beberapa temannya, para pimpinan Bernas tersebut diundang ke Korem untuk membahas kasus Udin. Salah satunya adalah permintaan Korem untuk menghentikan pemberitaan tentang Udin di Bernas. Heru sendiri enggan menyebutkan identitas pimpinan di Bernas tersebut. Menurut Heru, cara yang paling efektif untuk menghentikan wartawan agar tidak memberitakan kasus Udin adalah dengan mengeluarkannya. “Saya merasa tidak mendapat perlakuan yang adil di sebuah perusahaan yang menurut ukuran saya sudah saya bela mati-matian. Saya tidak diperlakukan dengan layak disitu,” ungkap Heru kecewa. Saat itu, salah satu permasalahan yang melintas di benak Heru adalah keluarganya. “Saya kan punya orang tua di rumah, ada ayah, ibu, dan juga adik serta keponakan saya yang masih sekolah, juga dibawah tanggungan saya, jadi saya kan harus berpikir. Bukan

S E C A R A R E S M I H E R U A K H I R N YA mengundurkan diri pada bulan April 1997. Namun hal ini ternyata belum menjadi akhir dari sengkarut Tim Kijang Putih Bernas. Hampir semua wartawan Bernas yang tergabung dalam tim ini akhirnya dimutasi ke berbagai daerah, seperti Solo, Semarang, Magelang, Purworejo, Purwokerto, dan Wonosobo. Selang waktu antara pemecatan Heru dengan pemutasian temantemannya ini berdekatan. Bahkan surat pengunduran diri Heru saja pada waktu itu belum ditulis ketika temantemannya dimutasi. “Jadi tidak salah kalau kemudian banyak orang mencium gelagat bahwa ini memang upaya untuk menghentikan berita tentang Udin,” ujar Heru yang setelah keluar dari Bernas tidak dapat meliput kasus ini dengan intens lagi. Dalam buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah dikatakan, “alasan formal yang diberikan pimpinan koran kecil itu adalah karena daerah-daerah tadi sangat membutuhkan wartawan andal, sehingga terpaksa ada yang dipindahkan.” Namun alasan ini seolah dibantah oleh Kusfandi sendiri akhirnya. Dalam wawancaranya dengan TEMPO Interaktif pada S e p t e m b e r 1 9 9 7 , Ku s f a n d i mengatakan “mereka itu bukannya wartawan yang bagus atau berani.” Secara tidak langsung, hal ini menyiratkan bahwa alasan pemutasian itu hanya mengada-ada belaka. Hal ini tidak dapat saya konfirmasi pada Kusfandi karena pada tahun 2002 lalu ia telah meninggal dunia dalam usia 62 tahun. Akhirnya, tidak semua wartawan yang tergabung dalam Tim Kijang Putih ini bersedia dimutasi. Sebagian besar dari mereka memilih untuk mengundurkan diri. Jika dijumlah, saat itu terdapat 15 orang yang mengundurkan diri dari Bernas sejak Tim Kijang Putih dipecah belah. Beberapa wartawan Bernas yang mengundurkan diri tersebut diantaranya seperti Tarko Sudiarno, Triatmoko Sukmo Nugroho, Purwani Dyah Prabandari, Miftahuddin, Triyanto Heri, dan Muchamad Achadi. “Mengapa kami mundur, atau dikeluarkan secara halus, itu jelas karena kasus Udin sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Apalagi saat itu semangatnya sedang semangat melawan Orde Baru dan pers mulai PASTI edisi 33

13


menunjukan giginya,” ucap Achadi. Menurut Achadi, persoalan Udin bukan menjadi satu-satunya alasan bagi mereka untuk keluar dari Bernas. Kejenuhan terhadap manajemen Bernas juga menjadi sebab lainnya. “Sejauh yang saya pahami, kami ngga cocok dengan manajemen yang ada disitu, kan susah kalau hidup dalam manajemen yang tidak ada upaya perbaikan. Kami ini bukan yang memiliki perusahaan, namun concern kami kalau lembaga ini dikelola baik itu akan maksimal apa yang kita lakukan,” ungkap pria lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. Achadi mengatakan, Bernas saat itu merupakan media massa lokal di Yogyakarta yang cukup menarik. Baginya, keberanian Bernas dalam meliput dan membahas permasalahan-permasalahan politik dan sosial membuat koran ini menjadi bacaan yang menarik bagi mahasiswa waktu itu. “Saya saat itu merupakan aktivis, sehingga saya kira Bernas bisa cukup mengakomodir ekspresi teman-teman,” kenang pria kelahiran 1972 ini. Romantisme Achadi dengan Bernas tidak bertahan lama. Beberapa hari setelah Heru diminta untuk mengundurkan diri, Achadi pun diminta untuk pindah ke Semarang dengan janji akan diangkat sebagai wartawan tetap Bernas. Namun Achadi menolak karena ia belum menyelesaikan kuliahnya di IAIN. “Saya masih bertahan di Jogja tapi sama saja, perusahaan pelanpelan bilang ya kalau kamu di Jogja sama saja dengan kamu mengundurkan diri,” ucap pria yang saat ini menjadi anggota DPRD Magelang dari fraksi PKB ini. Keberanian Bernas dalam mengungkap hasil liputannya ini juga dibenarkan oleh L.N Idayanie. “Tapi kemudian polisi mencari-cari kesalahan orang, karena dianggap Bernas ini sangat berani menentang polisi. Sangat berani menentang kebijakan polisi. Bahkan menentang Bantul dan sebagainya. Bupati kan yang berkuasa waktu itu. Dan yang paling penting, Bupati ini sangat dekat dengan Argomulyo itu. Adiknya Soeharto

pernyataan Sri Roso Sudarmo yang bersedia memberi uang satu miliar pada Yayasan Darmais yang dipimpin oleh Soeharto, penguasa Orde Baru. Uang ini akan ia berikan jika ia kembali terpilih lagi menjadi Bupati Bantul untuk kedua kalinya. Dalam selebaran tersebut terdapat tanda tangan Noto Soewito, adik tiri Soeharto. Pada tahun 1999 lalu, Sri Roso akhirnya divonis sembilan bulan penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi Semarang karena kasus tersebut. Menurut Achadi, kasus Udin dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kasus ini berkaitan dengan masalah politik. Pemerintah saat itu bersikap represif terhadap dunia jurnalisme, sehingga arus informasi dan demokrasi selama Orde Baru menjadi tersumbat. Baginya, kasus Udin merupakan salah satu letupan yang menuntut perbaikan terhadap ketersumbatan ini. “Karena yang terkena adalah pelaku demokrasi yaitu wartawan, solidaritasnya menjadi massif. Media massa, ormas, mahasiswa dan yang lain-lain jadi menemukan momentumnya. Sehingga kasus Udin itu menurut saya merupakan bagian dari letupan yang menekan Orde Baru untuk membuka keran demokrasi,” ungkap Achadi. Sedangkan sisi yang kedua berkaitan dengan dinamika perusahaan yang muaranya ke bisnis. “Ketika Bernas itu tumbuh, tentu semangat Kompas dan Bernas itu berbeda dengan pemilik lokal. Kalau pemilik lokal tentu semangatnya berdagang, bagaimana koran ini laku, survive, dan lain-lain. Kami ini ada dalam dinamika profesionalisme, jadi bukan dalam kerangka dinamika bisnis. Sehingga pemilik perusahaan lokal ini juga kerepotan mengendalikan kita. Saat itu sudah sampai pada tekanan-tekanan di internal, ngapain sih kita beritakan terus soal Udin, kan ngga baik untuk bisnis,” ujarnya. Pada Agustus 1990, Bernas menjalin kerjasama dengan Kelompok Kompas Gramedia. Komposisi sahamnya waktu itu 45 persen dimiliki gabungan beberapa pemilik lama Bernas, 20 persen karyawan Bernas dan sisanya 35 persen dimiliki Kompas. Sebelumnya, Kompas hendak mendirikan koran lokal di Yogyakarta. Namun Departemen Penerangan tak kunjung menerbitkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bagi Kompas. Akhirnya, Kompas memilih bekerjasama dengan Bernas yang sudah memiliki SIUPP. “Ketika awal Bernas dengan manajemen baru itu terbit, ditunggu banyak orang dan oplahnya banyak, sempat sampai kalau ngga salah 70 ribu, oplah yang sangat besar waktu itu. Tetapi secara manajemen ngga dikelola secara baik, karena ternyata antara pemilik lama, dalam hal ini pak Kus, dengan manajemen baru yang dikelola oleh KKG itu ngga sinkron, ngga ada sinergi untuk membangun kebersamaan menjadi koran nomor satu,” ungkap Heru. Kesemrawutan manajemen, pemecatan, dan pemutasian adalah kisah yang mewarnai dinamika Bernas setelah kematian Udin. Achadi dan beberapa

“Mengapa kami mundur, atau dikeluarkan secara halus, itu jelas karena kasus Udin sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Apalagi saat itu semangatnya sedang semangat melawan Orde Baru dan pers mulai menunjukan giginya.” itu. Udin sering sekali memberitakan kasus-kasus kedekatan mereka,” jelas perempuan yang dulu sempat bekerja di majalah D&R setelah TEMPO dibredel ini. Argomulyo yang dimaksud Idayanie merujuk pada sosok R. Noto Soewito, Kepala Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, saat itu. Udin pernah memberitakan selebaran yang dilayangkan ke seluruh fraksi DPRD Tingkat II Bantul menjelang pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001. Selebaran itu berisi 14

PASTI edisi 33

wartawan Bernas lainnya pun sempat terpikir untuk melakukan perlawanan terhadap manajemen. “Saat itu kami memang berpikir untuk melakukan perlawanan dan lain-lain, tapi kok rasanya sudah lelah sekali, ngurusi kasus Udin itu sudah bagian dari kelelahan yang luar biasa. Semangat kami kan ngga hanya semangat bekerja, tapi juga semangat bersolidaritas, tapi selalu saja terbentur oleh kepentingan perusahaan. Dari situlah bubar kita,” ucap Achadi. “Sudah selesai menurut saya itu, meskipun kami juga tetap ke lapangan, tapi memang itu usaha yang sangat ampuh dan sangat jitu untuk menghentikan pemberitaan tentang Udin,” kenang Heru.

seorang wartawan memang telah menjadi tekadnya sejak awal. Bahkan, sejak dini ia juga menyadari berbagai resiko yang harus dihadapi dengan pilihan tersebut… Suatu saat pernah dia bilang, walau pun harus mati akan aku terima. Itulah yang selalu aku ingat dalam

“Aku tahu, untuk itu kalian harus menghadapi tantangan dan ancaman yang mungkin akan merenggut nyawa kalian. Tetapi itulah arti sebuah perjuangan.”

JIKA SAYA MATI HARI INI ATAU BESOK PAGI, saya ingin berdiri. Kalau diperkenankan Tuhan, di belakang arwah Udin yang sedang menghadapNya. Dan saya akan merasa bangga karena itu. Kini orang menyelesaikan persoalan dengan jalan pintas; membunuh, mengurung, membisukan orang lain. Terkadang kita bertanya-tanya, benarkah hari ini manusia memang layak mewakili Tuhan di bumi.

benakku dan membuatku harus mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku pun harus siap terhadap segala resikonya. Namun jujur aku akui, sebenarnya aku tidak siap dengan resiko seberat ini… Terakhir, untuk rekanrekan wartawan di seluruh penjuru dunia yang sempat membaca ini, teruskanlah perjuangan kalian dalam membela kebenaran dan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Aku tahu, untuk itu kalian harus menghadapi tantangan dan ancaman yang mungkin akan merenggut nyawa kalian. Tetapi itulah arti sebuah perjuangan.”

Hanya jiwa yang tidak gentar seperti Udin yang bisa mengingatkan kita; kita bukan makhluk nista. Puisi diatas dikirim lewat faksimili ke kantor Bernas oleh Goenawan Mohammad, salah satu pendiri TEMPO, sehari setelah Udin meninggal. Tidak hanya Goenawan Mohammad yang menyampaikan dukanya atas kepergian Udin. Warga Bawuran, Pleret, Bantul, juga turut menyampaikan dukanya dalam sebuah surat. “… Telah banyak yang kamu berikan kepada kami. Bukan hanya sekedar berita yang kami baca, tapi sebuah pencerahan jiwa. Sebab berita yang kau tulis umumnya berhubungan dengan nasib rakyat yang menderita. Yang sering tidak berdaya bila berhadapan dengan penguasa… Kehadiranmu di desa kami telah memberikan pencerahan jiwa kami. Kami yang semula gelisah, menjadi tenang karena ada perlindungan... Selamat jalan Udin. Jasamu takkan pernah kami lupakan…” demikian petikan surat warga Bawuran tersebut. Sebelum meninggal, Udin dan beberapa wartawan lainnya pernah memperjuangkan nasib warga Bawuran yang harus membayar biaya sertifikasi tanah lima kali lipat lebih tinggi dari biaya yang sebenarnya. Akhirnya, tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah surat yang ditulis Marsiyem, istri Udin, untuk buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah. “Menjadi PASTI edisi 33

15


Laporan Utama

Pekerja Sosial Masyarakat

CERITA OLEH ROSALIA FERGIE STEPHANIE ILUSTRASI OLEH HENRY ADRIAN

16

PASTI edisi 33

PERNYATAAN DARI SEORANG PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (PSM) TERSEBUT dilontarkan untuk menyikapi kesulitan masyarakat miskin dalam memperoleh berbagai jaminan kesejahteraan sosial yang dijanjikan negara. Kondisi ini pernah dialami oleh seorang pedagang angkringan bernama Sukani. Pria ini sempat putus asa karena tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Ada juga seorang pria bernama Papang yang tidak mampu membayar biaya pengobatan ginjal ayahnya. Sukani dan Papang hanya sedikit contoh dari banyak orang miskin yang kini bisa berdiri tegak kembali setelah mendapat uluran tangan dari para Pekerja Sosial Masyarakat. Kini, Sukani sudah mulai tersenyum lega setelah beberapa bulan lalu kehilangan harapan. “Saya sudah bisa menyekolahkan anak-anak dari hasil angkringan. Berkat program pendampingan dari PSM, didampingi langsung oleh Mas Priyono sebagai penggagas kelompok angkringan Kube Mandiri ini,” ungkap Sukani yang membuka angkringannya di seputaran area Mandala Krida. Sama halnya dengan Sukani, Papang, seorang warga Bantul, merasa peran PSM sangat total dalam membantu mendapatkan keringanan biaya rumah sakit. “PSM langsung bertindak menghubungi Dinas Sosial dan pejabat terkait lainnya, sampai akhirnya dana bantuan untuk cuci darah tersebut bisa cair. Saya kagum karena mereka non profit, tidak menarik keuntungan apapun,” ujarnya. Dalam pandangan mereka, anggota Pekerja Sosial Masyarakat adalah relawan sosial. “Sampai sekarang tidak pernah Mas Pri meminta uang kepada saya, imbalan rokok sekalipun dia tolak,” tegas Sukani. Status para Pekerja Sosial Masyarakat ini adalah relawan, bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka juga bukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meski begitu, organisasinya ada di seluruh Indonesia dan berada di bawah naungan PASTI edisi 33

17


Departemen Sosial Republik Indonesia. Berdasarkan keterangan dari website resmi Departemen Sosial, pemerintah melalui Departemen Sosial RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial dalam masyarakat yang kemudian disebut dengan nama Pekerja Sosial Masyarakat. Menurut Departemen Sosial, pembentukan organisasi ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa permasalahan sosial di dalam masyarakat begitu

paling aktif menangani berbagai permasalahan kesejahteraan sosial. Priyono mengatakan, PSM harus berkarya dengan hati nurani, semaksimal mungkin membantu menyelesaikan masalah sosial terutama yang diakibatkan oleh ketidakadilan birokrasi. “Dan yang paling penting jangan pernah meminta maupun menerima imbalan,” ungkapnya. Dalam rumahnya yang sangat sederhana di Semaki Gede, Yogyakarta, Priyono menyimpan rapi seluruh arsip mengenai dasar hukum kegiatan Pekerja Sosial Masyarakat. Tak hanya itu, ayah dua anak ini juga menyimpan berbagai peraturan perundang-undangan negara mengenai hak kesejahteraan sosial masyarakat. Selain itu, ada pula catatan-catatan yang menunjukkan telah terselesaikannya beragam masalah masyarakat miskin yang dibantunya, seperti kesulitan membayar biaya pendidikan ataupun pengobatan. Catatan-catatan ini dilengkapi dengan tanda bukti pengesahan yang diberikan langsung oleh para pejabat di daerah. Priyono menegaskan, semua data tersebut menunjukkan kalau kinerja PSM benar adanya dan bisa dipertanggungjawabkan. ”Boleh juga ditanyakan pendapat setiap orang yang kami bantu ini, apakah pernah kami meminta atau menerima sesuatu dari mereka sebagai balas jasa?” katanya menegaskan. Para relawan ini tidak memperoleh gaji dari pemerintah seperti mereka yang menyandang status Pegawai Negri Sipil. Namun, bekerja tanpa imbalan bukan berarti mereka berasal dari keluarga berpenghasilan mapan. Priyono telah 12 tahun bekerja sebagai PSM. Pekerjaan ini tidak menjanjikan materi apapun padanya. Oleh karena itu, di sela-sela aktifitasnya sebagai PSM, Priyono tetap harus bekerja untuk mendapatkan sumber pemasukan bagi keluarga. Hal ini harus dilakukan untuk menutup pengeluaran yang besar terutama jika harus bepergian menemui masyarakat di wilayah yang berada jauh dari kota Yogyakarta. ”Kalau dompet saya bisa nangis, pasti dari dulu menangis, karena harus siap selalu tekor biaya terutama untuk bensin. Tapi sekali lagi kembali pada hati nurani, jika ikhlas pasti selalu akan ada jalan,” ujarnya pasrah. Priyono berkata dirinya bersyukur mendapat kontrak menjadi supervisor untuk yayasan pembasmi jentik nyamuk sampai akhir Juli 2010. ”Tetapi setelah kontrak selesai, saya harus berusaha mencari sumber pemasukan lain untuk biaya hidup keluarga,” ujarnya seraya tersenyum. Sebelumnya, mantan ketua PSM kecamatan Semaki ini juga menjajaki usaha penjualan parfum botolan yang didistribusikan di wilayah-wilayah seputar Yogyakarta. “Memang penghasilan tidak tetap, tapi paling tidak untuk satu bulan bisa mendapat Rp 400.000 dan bisa saya gunakan untuk keluarga serta menambah biaya menjalankan kegiatan PSM,” ujar Priyono. Dana kegiatan sosial para anggota PSM diberikan oleh dinas sosial sebulan sekali setiap rapat di

“Dan yang paling penting jangan pernah meminta maupun menerima imbalan.” kompleks, sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Maka, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Drs. Rusli Wahid, dalam buku pedoman kebijaksanaan dan strategi pemberdayaan Pekerja Sosial Masyarakat, menerangkan lebih lanjut mengenai organisasi ini. PSM merupakan relawan dari masyarakat yang berdomisili di desa-desa sampai kelurahan di seluruh Indonesia. Rusli Wahid juga menegaskan bahwa PSM mempunyai posisi strategis sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial di tingkat desa atau kelurahan. “PSM adalah warga masyarakat yang peduli, memiliki wawasan, komitmen kesejahteraan sosial, telah mengikuti program pendidikan dan pelatihan kesejahteraan sosial. Mereka disebut pula sebagai relawan sosial,” terangnya. Selain itu, tambah Rusli, PSM merupakan motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap permasalahan sosial yang ada dalam lingkungannya. Mereka selanjutnya akan berkiprah sesuai dengan kultur dan tradisi lingkungan sehingga tidak terkesan ekslusif. Fasilitas kegiatan PSM cukup sederhana. Mereka hanya memiliki seragam, atribut, buku panduan dan tanda pengenal. Melawan ketidakadilan birokrasi organisasi terhadap masyarakat miskin adalah inti dari perjalanan karya seorang PSM. Mereka membuat program-program pemberdayaan masyarakat dan menjembatani masyarakat untuk memperoleh hak kesejahteraan sosial sesuai dengan yang dijanjikan oleh negara. Ketika harus melawan ketidakadilan birokrasi organisasi yang kerap berpihak pada kuasa uang, mereka akan berargumen sesuai dengan dasar peraturan negara mengenai jaminan hak kesejahteraan sosial masyarakat. Hal ini pula yang selama ini dilakukan oleh sosok pria bertubuh kurus bernama Priyono. Pria ini sudah tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat miskin di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia merupakan salah satu Pekerja Sosial Masyarakat Yogyakarta yang dikenal 18

PASTI edisi 33

kelurahan. “Namanya uang absensi. Jadi anggota PSM yang datang ke rapat membahas masalah-masalah masyarakat di kelurahannya masing-masing, diberikan uang absensi itu. Setiap orang sebesar Rp 6.000,” jelas Priyono. Penjelasan Priyono tersebut sama dengan penjelasan dari Sri Widyaningsih Wahwu, ketua Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IKPSM) Keparakan. Selain itu, setiap kecamatan juga mengumpulkan dana secara swadaya. “PSM memang tidak dibayar untuk membantu program pemerintah, tetapi yang pasti kami ikhlas mendampingi mereka yang perlu pendampingan sosial, dan semua dilakukan tanpa imbalan,” kata Sri. Menurut wanita yang membuka usaha ayam bakar di rumahnya ini, kerjasama kelembagaan PSM memang sangat kuat dari tingkat nasional hingga kecamatan di Indonesia. “Misalnya saja untuk kecamatan Keparakan, kami selalu mengadakan musyawarah, mencari solusi bagaimana bisa memecahkan masalah-masalah sosial di sekitar lingkungan,” ucapnya. Selain itu, untuk menunjang kegiatan pendampingan masyarakat, PSM juga melakukan pembinaan di Panti Karya yang terletak di jalan Penaungan, Brontokusuman, Yogyakarta. Kegiatan di tempat ini antara lain penanganan orang hilang yang ditemukan di Yogyakarta, kekerasan dalam rumah tangga, pembinaan anak jalanan hingga bantuan untuk para warga lanjut usia. Sri mengatakan, inilah salah satu wujud program PSM yang tanggap masalah sosial. Dalam mendampingi orang terlantar, gelandangan, dan gangguan mental, harus dilakukan penyelidikan dari mana mereka berasal. “Mereka ditampung di Panti Karya. Dilakukan pendampingan setidaknya untuk membuat kondisi fisik dan mentalnya lebih baik, sampai jelas siapa keluarganya. Jika ternyata berasal dari daerah lain, sudah ada dana pemulangan khusus dari provinsi,”

keringanan, PSM yang akan mendampingi sampai menghubungi Dinas Sosial setempat dan instansi terkait lainnya,” ujar Sri. Saat mengusahakan keluarnya ijazah yang ditahan pihak sekolah karena siswa tidak mampu membayar, PSM berupaya menjembatani hingga ke Dinas Pendidikan kota untuk mencari solusinya. “Diusahakan mereka yang benar-benar tidak mampu paling tidak bisa mendapat keringanan biaya,” ujar Sri. Dari salah satu pengalaman yang diingat Priyono baru-baru ini, saat hendak memasuki masa ujian sekolah, ada empat orang ibu yang datang ke rumahnya. “Mereka mengeluh anak-anaknya tidak diijinkan ujian karena belum mampu membayar biaya. Akhirnya, saya ajak menemui kepala Dinas Pendidikan Yogyakarta, Drs. Syamsuri,” ungkapnya. Priyono mengungkapkan, Drs. Syamsuri bisa memahami permasalahan tersebut. “Setiap orang tua hanya membayar biaya ujian tersebut sampai jumlah yang mereka mampu saja, dana selebihnya dibantu oleh Dinas Pendidikan.” “Saya berani katakan, selama ini dari pengalaman PSM selama berkoordinasi dengan pemerintah daerah kota Yogyakarta, masalah menyangkut masyarakat seperti ini selalu ditanggapi sangat baik dan cepat,” ungkap Priyono. Totalitas pendampingan para Pekerja Sosial Masyarakat itulah yang juga sangat dirasakan Papang. Dia mengatakan, seluruh penghasilan dan harta milik keluarganya sudah digunakan seluruhnya untuk biaya cuci darah. “Saya sempat bingung juga karena tidak punya Surat Keterangan Tidak Mampu maupun jaminan kesehatan lainnya. Akhirnya, ada tetangga saya menyarankan untuk meminta pendampingan Pekerja Sosial Masyarakat,” kisah Papang. Saat membantu Papang, Priyono sempat beradu argumentasi dengan Camat, Lurah, dan pihak lembaga lain yang mengurus klaim. “Saya tunjukkan bukti kartu nama dan seragam PSM sebagai kepanjangan tangan Dinas Sosial. Kalau memang pelayanan terhadap orang kecil seperti ini tidak jalan saya akan ajukan ke dinas atau faks Menteri Kesehatan,” ucap Priyono. Akhirnya, permohonan klaim dikabulkan dan Papang mendapat uang pencairan klaim serta potongan gratis 8 kali cuci darah dari Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos). Masalah serupa juga terjadi saat seorang buruh cuci meminta bantuan pendampingan untuk meringankan biaya rumah sakit bagi anaknya yang mengalami gangguan jiwa. “Perawatan selama 2 minggu disuruh membayar biaya rumah sakit milik pemerintah sebesar Rp 1.900.000, padahal punya Surat Keterangan Tidak Mampu,” ungkap Priyono. “Saya perlihatkan aturan-aturan jaminan kesejahteraan sosial, keluarkan kartu nama PSM, tapi namanya debat dengan orang ngeyel, jalan akhir saya ajukan pengaduan ke DPR propinsi,” tambahnya. Beberapa waktu kemudian, ibu itu mengabarkan kalau

”Kalau dompet saya bisa nangis, pasti dari dulu menangis, karena harus siap selalu tekor biaya terutama untuk bensin. Tapi sekali lagi kembali pada hati nurani, jika ikhlas pasti selalu akan ada jalan.” ujarnya. Sedangkan pendampingan sosial untuk masalah kesehatan dan pendidikan, menurut Sri, harus dipastikan ke rumah orang tersebut apakah mereka benar-benar bukan keluarga berpenghasilan tetap dan mapan. Selain itu, perlu diketahui apakah keluarga tersebut memiliki Jaminan Kesejahteraan Sosial (Jamkesmas), Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), ataupun Kartu Menuju Sehat (KMS). “Jika mereka memiliki semua itu namun tetap kesulitan mendapat

PASTI edisi 33

19


pihak rumah sakit bersedia memberikan keringanan biaya dan hanya mengharuskan membayar Rp 900.000. Menurut seorang anggota forum komunikasi PSM dari kelurahan Gondokusuman, Koen Surahman, masalah seperti ini banyak muncul karena masih lemahnya koordinasi antara pemerintah dan lembaga-lembaga layanan masyarakat. Koen menegaskan, jika pemerintah ingin membuat suatu program sebaiknya dilakukan sosialisasi optimal dengan lembaga-lembaga terkait.

diajak bergabung dalam kelompok Kube Mandiri, sekarang hasil mulai bisa dirasakan terutama menunjang pendidikan anak-anak,” ungkap pria pemilik angkringan di Jalan Tunjung, belakang stadion Mandala Krida ini. Pada dasarnya, Pekerja Sosial Masyarakat dapat menjadi salah satu pilar pembangunan bangsa dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang butuh perhatian, seperti yang dikatakan Ibnu Gerindra dari PSM kelurahan Terban. “Organisasi sosial ini dibentuk dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sebagai lembaga legal diakui pemerintah, PSM menjadi ujung tombak penanganan masalah di wilayah masing-masing,” jelasnya. D i Yo g y a k a r t a s e n d i r i , menurut Ibnu ada sekitar seribu Pekerja Sosial Masyarakat dari kelurahan, kecamatan, kota sampai provinsi. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap pengurus memahami apa arti sesungguhnya PSM untuk masyarakat. “Jangan hanya menangani hal-hal sebatas birokrasi seperti mendata orang, tapi tidak pernah langsung datang ke lapangan menemui masyarakat kecil, memahami masalah mereka dan berupaya mencari solusinya,” tegas pria yang pernah mendapat penghargaan sebagai PSM teladan ini. “Setiap orang yang telah memiliki panggilan hati menjadi relawan ini secara organisasi harus paham benar mengenai dasar hukum serta visi dan misi PSM. Posisinya di tengah pemerintah dan masyarakat, serta tujuan dari setiap program yang dijalankan,” ujar Priyono. Selain itu, Sri Widyaningsih Wahwu juga menambahkan, anggota PSM harus pandai berkomunikasi serta dapat menjaga relasi dengan semua pihak mulai dari masyarakat hingga kalangan pemerintahan. Oleh karena itu, seperti yang dijelaskan Ibnu

“Jangan hanya menangani hal-hal sebatas birokrasi seperti mendata orang, tapi tidak pernah langsung datang ke lapangan menemui masyarakat kecil, memahami masalah mereka dan berupaya mencari solusinya.” “Sosialisasi perlu dilakukan supaya realisasi program jaminan kesejahteraan sosial masyarakat itu dapat diterapkan tepat sasaran,” jelas Koen. Misalnya saja untuk masalah kesehatan. Masyarakat miskin masih sering dibebani biaya kesehatan yang cukup besar. ”Kartu Menuju Sehat (KMS) fungsinya untuk menebus obat harusnya tidak dikenakan biaya karena obat ditanggung rumah sakit,” ungkapnya. Selain itu, menurut Koen, banyak orang yang tidak tahu bagaimana seharusnya prosedur mendapatkan jaminan sosial. Maka, untuk mereka yang tidak mampu secara ekonomi, perlu diberi pendampingan jika menemui kesulitan-kesulitan tersebut. “Oleh karena PSM tahu persis aturan-aturan itu, dalam melaksanakan tanggung jawab pendampingan kami tidak pernah sembarangan bertindak. Semua ada dasarnya,”ujar Koen. Di sisi lain, selain membantu penanganan masalah sosial yang perlu secepatnya diatasi, anggota PSM juga jeli memikirkan program sosial yang bisa meningkatkan kecukupan ekonomi masyarakat miskin. Ini bisa dilakukan melalui pendampingan usaha mandiri masyarakat, seperti program terbaru PSM Yogyakarta selama enam bulan terakhir ini. “Ada 50 pedagang angkringan binaan PSM kota antara lain di Malioboro dan Mandala Krida, kami jadikan satu kelompok yang disebut Kube Mandiri,” jelas Priyono. Untuk pengelolaan lebih lanjut terutama masalah dana, PSM bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Yogyakarta serta Dinas Sosial. Selain itu, PSM juga mendapat kepercayaan langsung dari ibu Wakil Walikota Yogyakarta, Anna Muslichdatun. Sukani, selaku anggota Kube Mandiri, mengaku sebelumnya sempat putus asa atas mahalnya biaya penddidikan. “Saat ketemu dengan mas Priyono saya

“Tidak ada artinya jika seseorang selalu mengomentari permasalahan sosial tetapi tidak pernah bergabung dengan masyarakat untuk meminimalisir masalah tersebut.”

20

PASTI edisi 33

Gerindra, dalam rangka meningkatkan kinerja membangun kesejahteraan sosial, dibentuk pula Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FKPSM). Forum ini berada dibawah binaan Departemen Sosial. “Melalui FKPSM, semua anggota PSM seluruh Indonesia bisa berkomunikasi, berkoordinasi, dan berkonsultasi mengenai kegiatan-kegiatan sosial,” terang Ibnu Gerindra. Selain itu, lanjut Ibnu, tujuan FKPSM juga untuk meningkatkan kualitas kerja setiap anggota terutama dalam membangun kemitraan dengan berbagai pihak.

“Terutama jika menghadapi situasi tanggap darurat seperti bencana alam di suatu wilayah, FKPSM di setiap kota bisa melakukan koordinasi mengumpulkan bantuan yang diperlukan masyarakat,” jelasnya. Maka, untuk mengemban seluruh tugas sosial tersebut, sudah seharusnya anggota PSM juga diperhatikan kesejahteraannya, mengingat sebagai relawan tanpa bayar mereka harus mencari sendiri pemasukan ekonominya. Ibnu mengungkapkan, meski tidak digaji, kesejahteraan PSM tetap diperhatikan oleh Dinas Sosial dengan memberikan bimbingan dasar ekonomi produktif. “Ada bimbingan bagaimana memperoleh pemasukan dengan membentuk usahausaha kelompok maupun pribadi. Disitulah PSM dilibatkan, jadi tidak langsung diberikan gaji atau sejenisnya,” ungkap Ibnu. Ini juga merupakan wujud keteladanan yang dicontohkan kepada masyarakat. “Tidak ada artinya jika seseorang selalu mengomentari permasalahan sosial tetapi tidak pernah bergabung dengan masyarakat untuk meminimalisir masalah tersebut,” jelasnya. Seperti yang diungkapkan Priyono, tidak benar jika dikatakan kemiskinan sudah menurun. “Kami tahu persis ketika mendatangi masyarakat di desa-desa dan daerah pelosok. Masyarakat merintih. Jamkesos,

Hal itulah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, sehingga layak disebut sebagai wakil rakyat. Jamkesmas, SKTM, banyak yang tidak mendapat karena pembagiannya tidak rata, dan banyak juga yang dapat jaminan tersebut, tetapi tidak bisa digunakan,” ungkap Priyono. Dalam menangani masalah di masyarakat, pemerintah seharusnya tidak hanya melakukan pendataan jarak jauh ataupun memberikan komentarkomentar tanpa melihat realitas kehidupan masyarakat di daerah-daerah yang kurang mendapat perhatian. Jika hanya dilakukan demikian, suatu program yang dirancang tentu tidak akan berjalan tepat sasaran. Peluang oknum-oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan juga akan semakin besar. Kinerja para relawan ini patut dijadikan contoh. Mereka menghabiskan sebagian besar waktu dan biaya pribadi untuk berpergian jauh sampai ke pelosok agar dapat melakukan berbagai aktivitas sosial. Semua itu dilakukan secara sukarela dan tanpa memikirkan hasil dibelakang. Hal itulah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, sehingga layak disebut sebagai wakil rakyat.

www.pasti.or.id


Laporan Utama

All That Glitters Are Not Golds “The gold mining industry has come to stink in the nostrils of so many thousands of people.” (J. H. Curle in The Goldmines of The World)

CERITA & FOTO OLEH HENRY ADRIAN

SAAT ITU WAKTU MENUNJUKKAN HAMPIR JAM 12 MALAM. DI DEPAN SEBUAH HOTEL yang terletak di perbukitan gelap Samarinda, Kalimantan Timur, Bondan menunggu. Tepat jam 12 malam Bondan pun masuk ke hotel tersebut. “Kalau saya ngga turun dalam waktu satu jam, kamu segera lapor ke polisi, bilang bahwa saya hilang disitu,” ucap Bondan pada supir taksi yang mengantarnya. Bondan tidak hendak mencicipi berbagai hidangan kuliner disana. Waktu itu ia hendak menemui Letnan Kolonel Edi Tursono, orang yang paling ditakuti oleh Bondan karena ia memiliki potensi untuk membunuhnya.

CERITA DI ATAS MERUPAKAN SEBAGIAN DARI KISAH BONDAN DALAM MELAKUKAN reportase investigasi terhadap kasus Bre-X. Kasus ini sempat mengguncang Indonesia dan dunia pada tahun 1997. Sebuah kasus yang menurut Bondan merupakan kasus penipuan terbesar yang pernah terjadi di bidang perburuan emas. Hasil dari reportase ini lantas dicetak dalam sebuah buku setebal 288 halaman yang terbit pada Juli 1997. Bre-X, Sebungkah Emas Di Kaki Pelangi, menjadi judul yang dipilih Bondan untuk bukunya. Di bagian atas muka buku tersebut tertera nama Bondan Winarno. Begitulah buku tersebut hendak memperkenalkan penulisnya kepada siapa saja yang melihatnya. Dalam buku tersebut, pria bernama lengkap Bondan Haryo Winarno ini melakukan investigasi terhadap sebuah perusahaan yang melakukan penambangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Perusahaan tersebut adalah Bre X Minerals Ltd, sebuah perusahaan tambang yang berpusat di Calgary, Kanada. David Walsh mendirikan perusahaan ini pada awal tahun 1988. Pertemuan David Walsh dengan John Felderhof menjadi awal dari kisah PASTI edisi 33

23


penipuan ini. Pada Maret 1993, Felderhof dan Walsh mengadakan suatu pertemuan di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Felderhof berhasil membujuk Walsh untuk mendanai eksplorasi emas di Busang, Kalimantan Timur. Felderhof menyarankan agar Walsh mengakuisisi properti milik Montague Gold NL yang telah dieksplorasi antara tahun 1987-1989. Namun karena tidak memiliki dana untuk mengakuisisi properti tersebut, Walsh pun kembali ke Kanada. Disana ia segera meniup terompet Bre-X dan menawarkan sahamnya di Alberta Stock Exchange bermodalkan potonganpotongan artikel dari koran. Dalam waktu singkat, David Walsh segera memperoleh dana yang ia butuhkan berkat kepiawaiannya menjual saham. Pada Juli tahun 1993, Bre X akhirnya membeli properti milik Montague Gold NL tersebut. Dua bulan kemudian, perusahaan ini telah mulai melakukan pengeboran di Busang. Dalam pengeboran pertama ini, John Felderhof yang kemudian menjadi Senior Vice President Bre-X, mengatakan telah menemukan adanya potensi emas sejumlah 1,5 hingga 2 juta ons disana. Setelah pengeboran pertama tersebut, jumlah potensi emas yang ditemukan oleh Bre-X semakin meningkat. Hingga Februari 1997, Bre-X mengatakan potensi emas di Busang mencapai 70,95 juta ons emas. “The biggest thing in the world! It's so big. It's scarry. It's so fucking big!” kelakar Felderhof waktu itu. Harga saham Bre-X yang pada tahun 1989-1992 berkisar antara 27 sen dollar Canada, bahkan pernah mencapai dua sen saja, akhirnya meningkat setelah penemuan ini. Pada Mei 1996, harga saham Bre-X yang tercatat di Toronto Stock Exchange bahkan sempat mencapai tingkat 201,75 dollar Canada. Namun, ledakan saham Bre-X ini tak berlangsung lama. Sekitar sepuluh bulan kemudian, tepatnya pada Maret 1997, Freeport-McMoRan menyatakan bahwa jumlah potensi emas di Busang tidaklah besar. Bahkan, Strathcona Mineral Services, sebuah perusahaan penguji yang diminta Bre-X untuk menguji potensi emas di Busang mengatakan, “there appears to be a strong possibility that the potential gold resources has been overstated, because of invalid samples and assaying of those samples.” Harga saham Bre-X pun lantas jatuh. Sangat jatuh. Pada Mei 1997, harga saham Bre-X terpuruk hingga mencapai delapan sen.

TO: MR. JOHN B. FELDERHOF + ALL MY FRIENDS Sorry I have to leave. I cannot think of myself a carrier of hepatitis “B”. I cannot jeopardise your lifes, same w/ my loved ones. God bless you all. No more stomach pains! No more back pains! Surat di atas ditulis oleh Michael Antonio Tuason de Guzman, Manajer Eksplorasi Bre-X Corp, sebelum ia 24

PASTI edisi 33

mengakhiri hidupnya. Tak seorang pun yang mengira bahwa geolog berkewarganegaraan Filipina ini akan bunuh diri. Malam sebelum ia bunuh diri, tepatnya pada 18 Maret 1997, ia bahkan sempat bersenang-senang di sebuah tempat minum di Balikpapan bersama temantemannya. Rudy Vega, seorang ahli metalurgi dari Filipina yang juga teman De Guzman yang ikut dalam kemeriahan malam itu mengatakan, “pesta itu saya rasa bahkan lebih meriah daripada semua pesta ulang tahun Michael sebelumnya. He behaved like he was on the top of the world.” He was on the top of the world! Kesimpulan ini juga dimiliki Bondan sewaktu mendengar berita kematian De Guzman. Hal inilah yang menyebabkan Bondan berpikir bahwa kematian De Guzman dirasanya tidak biasa. Awal ketertarikan Bondan dalam meliput kasus Bre-X bermula dari kematian De Guzman yang dinyatakan bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari helikopter yang sedang terbang di atas hutan Kalimantan. “Di situ saya mengatakan ini ngga mungkin. Seorang wartawan investigatif itu punya sesuatu yang namanya professional skepticism, dia udah ngumpulin duit begitu banyak kok tiba-tiba sekarang bunuh diri,” jelas Bondan. Empat hari kemudian kecurigaan Bondan pun semakin menemukan alasannya. Mayat De Guzman ditemukan oleh Martinus, seorang karyawan Bre-X yang turut membantu tim SAR mencari mayat De Guzman. “Perasaan saya bicara lain ketika disuruh mengikuti rombongan pencari, karena itu saya ajak Tahir menyisir hutan yang sulit dilalui manusia,” ungkap Martinus pada Kompas waktu itu. Akhirnya, setelah bersusah payah menyusuri rawa, Martinus dan Tahir pun menemukan mayat De Guzman. Ketika pertama kali ditemukan, mayat itu berada dalam posisi tertelungkup di pinggir pohon yang besar. Ketika melihat foto mayat De Guzman kemudian, Bondan mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin. “Saya pernah lihat orang yang jatuh dari 1.500 kaki itu sudah ngga berbentuk manusia, tapi sudah setumpuk daging sama tulang, jadi kalau 800 kaki, ya hancur, ngga akan seperti itu,” ucap Bondan. Kesimpulan Bondan ini kemudian diperkuat oleh seorang dokter di bagian otopsi National Bureau of Investigation (NBI) di Filipina. Dokter tersebut mengatakan bahwa ciri-ciri trauma pada mayat yang ditemukan tersebut tak tampak seperti jatuh dari ketinggian 800 kaki. Namun, lebih tampak jatuh dari ketinggian sebuah pohon kelapa. Saat itu Bondan memutuskan bahwa kejadian ini tidaklah benar. Pria kelahiran Surabaya, 29 April 1950 ini menganggap ada kejadian besar di belakang peristiwa ini. Oleh karena itu, beberapa hari kemudian dimulailah reportase Bondan di lapangan. Dalam waktu sebulan, ia melakukan reportase di Kalimantan, Filipina, hingga Kanada. Sebelum kematian De Guzman, Bondan sebenarnya telah mengamati kasus Bre-X. Artikelnya tentang penambangan yang dilakukan oleh Bre-X bahkan

sempat dimuat oleh Wall Street Journal pada 24 Januari 1997. Artikel itu dimuat dengan judul All That Gitters: The Indonesian Gold Crush. Setelah pemuatan itulah Bondan dianggap sebagai ahli tambang. “Jadi tiba-tiba pak Kuntoro mengundang saya untuk diskusi di kantornya di Dirjen Pertambangan Umum dengan para Geolog. Itu mereka memanggil saya prof, saya kaget,” ujar Bondan seraya tertawa. “Pak, saya bukan geolog, justru dalam pertemuan ini saya ingin dengar dari bapak-bapak yang memang ahli-ahli di bidang geologi,” jawab Bondan waktu itu. Pada akhir diskusi tersebut, mereka semua sepakat dengan Bondan bahwa secara geologis Kalimantan tidak memiliki potensi emas yang besar. Kuntoro yang dimaksud oleh Bondan adalah Kuntoro Mangkusubroto, Direktur Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi waktu itu. Meski tidak memiliki kartu pers, Bondan tetap terus melakukan reportase. Dulu ia memang sempat bekerja di dunia pers, mulai dari kameramen di Departemen Pertahanan dan Keamanan, hingga menjadi pemimpin redaksi majalah SWA. Namun ia akhirnya memutuskan keluar dari dunia pers untuk sementara waktu dan menjadi pengusaha agar dapat membiayai pendidikan anak perempuannya bernama Gwendoline di Amerika.

kemarahan Yohanes. “Wartawan Kompas itu bohong pak, saya sudah ngomong gini-gini dia nulisnya lain, apalagi itu yang dari Wall Street Journal, sampai saya diuber-uber orang, disangkanya peracunannya disini,” ungkap Yohanes kesal. Pada waktu itu, beberapa pemberitaan di media massa mengatakan bahwa gudang Bre-X di Loa Duri dijadikan sebagai tempat peracunan inti bor. Dalam istilah geologi, peracunan inti bor itu dikenal dengan istilah salting. Dalam kasus Bre-X, peracunan ini bertujuan untuk membuat daerah pengeboran tampak memiliki kandungan emas yang tinggi. Yohanes pun lantas mengemukakan alasannya mengapa gudang di Loa Duri tidak mungkin menjadi tempat peracunan inti bor. Ia juga menunjukkan buktibukti pada Bondan untuk menguatkan argumennya tersebut. Reportase Bondan kemudian juga membuktikan ketidakmungkinan terjadinya peracunan inti bor di Loa Duri. Dalam melakukan reportase, Bondan kerapkali mengalami kesulitan. Namun, kesulitan yang sangat dirasakan Bondan waktu itu disebabkan karena ia sudah berangkat dengan suatu kesimpulan. Kesimpulan itu ialah bahwa De Guzman belum mati. “Kesimpulan itu adalah hasil deduksi dan tidak ada orang yang percaya kecuali saya sendiri,” ucap Bondan. “Deduksi itu adalah mengumpulkan semua informasi sekecil apapun kemudian merangkainya dan melihat kaitannya dengan ini, kaitannya dengan ini, kaitannya dengan ini, berarti kesimpulannya seperti ini,” jelasnya kemudian. Saat mengemukakan teorinya tentang De Guzman yang melakukan cheating death, Bondan mengatakan ia dimusuhi oleh wartawan-wartawan Wall Street Journal. “Wartawan-wartawan mereka itu tibatiba memusuhi saya karena saya mengatakan bahwa Wall Street Journal salah dengan teori gudang Loa Duri itu sebagai tempat salting, mereka malu disitu,” kenang Bondan. Bondan merupakan orang pertama yang mengemukakan teori bahwa kematian De Guzman merupakan sebuah penipuan. Wartawan Wall Street Journal tidak percaya pada teori ini awalnya. Namun sepuluh tahun kemudian, di tahun 2007 kemarin, wartawan Wall Street Journal ini menelepon Bondan. “Bondan kamu benar.” “Benar apa?” “Ya, sekarang kita mendapat informasi bahwa De Guzman ada di Brazil, dan istrinya, Genie yang ada di Palangkaraya, masih tetap dapat kiriman uang.” “Ok, tapi saya sudah malas untuk mengejar lagi.”

“Sepanjang sejarah, kalau sudah soal emas orang jadi kehilangan akal, akal sehatnya ngga jalan. Seolah-olah di kaki pelangi itu akan ada emas yang berbukit-bukit.” Sopan santun adalah modal Bondan dalam menemui narasumber. Hal ini pula yang menyebabkan Yohanes, seorang penjaga gudang Bre-X di Loa Duri, sebuah desa di pinggir sungai dekat Samarinda, bersedia menerimanya. Padahal sebelumnya, semua wartawan yang datang kesana diusir oleh Yohanes. Bermodalkan sopan santun, Bondan pun datang kesana. Pintu gudang diketuknya. Tak lama kemudian, Yohanes pun muncul dari balik pintu. “Selamat sore pak, nama saya Bondan Winarno, saya dari Jakarta, saya mau menulis buku tentang BreX.” “Anda bukan dari wartawan Koran?” “Bukan, saya mau nulis buku, tapi anda boleh juga menyebut saya wartawan untuk menulis buku itu.” “Bukan dari Kompas?” “Bukan.” “Bukan dari TEMPO?” “Bukan.” “Ya sudah, masuk.” Seperti kebiasaannya, dalam beberapa peliputan Bondan selalu membawa rokok meskipun ia sendiri tidak merokok. Ditawarkannya rokok itu pada Yohanes. Setelah beberapa hisapan, meluaplah

SETELAH MERUGIKAN PARA INVESTORNYA LEBIH DARI enam miliar dollar, Bre-X akhirnya bangkrut pada tahun PASTI edisi 33

25


2002. Sepuluh tahun setelah kasus Bre-X mengguncang dunia, John Felderhof dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan Kanada pada 31 Juli 2007 kemarin. Koran Canadian Bussines menyebut peristiwa itu sebagai kekalahan Kanada dalam perang melawan penjahat kerah putih. Dalam pengadilan itu, Felderhof disidangkan dengan tuduhan menyebarkan isu yang menyesatkan dalam perdagangan saham dan melakukan insider trading. Insider trading adalah istilah yang merujuk pada perdagangan saham atau sekuritas suatu perusahaan yang dilakukan oleh orang-orang dalam perusahaan tersebut. Dalam beberapa kasus, praktik ini legal di depan hukum. Meski begitu, praktik ini dapat menjadi ilegal ketika perdagangan saham dilakukan berdasarkan informasi internal perusahaan yang tidak disediakan untuk umum. Selain tidak adil, hal ini akan menghancurkan pasar efek dengan merusak kepercayaan investor. Pada awal Juni 1998, David Walsh meninggal dunia karena serangan jantung di Nassau Bahama. Saat harga saham Bre-X sedang tinggi, ia membeli rumah mewah di pulau ini. Dalam lembar tambahan yang

“SEPANJANG SEJARAH, KALAU SUDAH SOAL EMAS orang jadi kehilangan akal, akal sehatnya ngga jalan, seolah-olah di kaki pelangi itu akan ada emas yang berbukit-bukit,” ungkap Bondan menjelaskan maksud dari judul buku Bre-X, Sebungkah Emas Di Kaki Pelangi, yang ditulisnya. Buku ini banyak disebut sebagai the best investigative report yang ditulis oleh orang Indonesia. Namun ironisnya, pengakuan itu baru datang beberapa tahun setelah buku ini pertama kali diterbitkan. “Pertama kali muncul pengakuan itu saya kira sekitar tahun 2003 oleh ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Andreas Harsono memakai buku itu sebagai suatu contoh dalam pelatihan di bidang jurnalisme investigasi,” ungkap Bondan. Andreas Harsono adalah anggota International Consortium for Investigative Journalists (ICIJ) dari Indonesia selain Goenawan Mohamad, salah satu pendiri majalah TEMPO. “Sekarang kan buku saya dianggap oleh ISAI sebagai buku jurnalisme investigasi terbaik, saya bilang, ya, ok, terlambatlah,” lanjut pria yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi wartawan ini seraya tertawa. Beberapa waktu setelah buku ini beredar, Bondan akhirnya menarik buku ini dari pasaran karena adanya tuntutan dari Ida Bagus Sudjana, Menteri Pertambangan dan Energi waktu itu. Sudjana menuntut Bondan atas dasar pencemaran nama baik dan meminta ganti rugi sebesar 1 triliun rupiah serta pemasangan iklan permohonan maaf di sepuluh media cetak di Jakarta dan dua media cetak di Bali. Salah satu penyebab tuntutan Sudjana ini adalah karena Bondan menulis tentang inkompetensinya dalam hal kebijakan tambang. Namun, tulisan Bondan mengenai hal ini bukanlah tanpa dasar. Pers asing seperti Canadian Bussines menguatkan inkompetensi Sudjana ini. Brian Hutchinson, seorang wartawan Canadian Bussines mengatakan dalam salah satu artikelnya, “The tall, stiff Sudjana has no grasp of the technicalities of mining. He is completely incompetent, he leaves everything to his advisers.” Bahkan, mantan anak buah Sudjana menelepon Bondan dan mengatakan, “pak Bondan, dia sekarang sudah bukan bos saya, jadi kalau bapak mau, saya bersedia menjadi saksi karena semua pidato dia di luar negeri saya yang bikin,” ujar Bondan menirukan ucapan mantan anak buah Sudjana. Menurut Bondan, latar belakang tuntutan Sudjana itu sebenarnya adalah tuduhan bahwa ia dibayar oleh Kuntoro Mangkusubroto untuk menulis buku tersebut. Tuduhan inilah yang menjadi salah satu hal paling menyakitkan yang diterima Bondan setelah menulis buku ini. “Itu untuk saya sangat memalukan. Dia menyangka saya itu seorang wartawan kere (miskin) yang ngga punya duit. Jadi dia heran kok ini orang bisa kemana-mana. Tapi dia lupa, sebelum melakukan itu kan saya sudah pernah jadi presiden dari Ocean Beauty di Amerika. Lihat saja gaji saya berapa, ngga usah susahsusah. Itu untuk menunjukkan bahwa saya a man of resources. Saya mampu mendanai semua itu dari uang

Sudjana menuntut Bondan atas dasar pencemaran nama baik dan meminta ganti rugi sebesar 1 triliun rupiah serta pemasangan iklan permohonan maaf di sepuluh media cetak di Jakarta dan dua media cetak di Bali. disisipkan di bukunya, Bondan mengatakan Walsh adalah seorang perokok dan peminum berat, serta memiliki masalah kelebihan berat badan. Michael de Guzman belum ditemukan hingga saat ini. Meski begitu, pada 26 Mei 2007 koran Calgary Herald mengabarkan De Guzman sempat mengirim uang pada Genie, istri keduanya yang bernama asli Sugini Karnasih yang tinggal di Indonesia. Dalam artikel berjudul The Mystery of Michael de Guzman tersebut, De Guzman dikabarkan menelepon rumah Genie enam pekan setelah ia dikabarkan tewas. Telepon itu diangkat oleh pembantu Genie. Dalam percakapan di telepon itu, De Guzman meminta Genie memeriksa rekeningnya. Setelah diperiksa, ternyata Genie memperoleh kiriman uang sebesar 200 ribu dollar Amerika. Pada tahun 2005, Genie menerima fax dari Brazil. Dalam fax tersebut, Genie mendapat pemberitahuan bahwa ia menerima kiriman uang sebesar 25 ribu dollar Amerika. Kiriman itu ia terima pada hari Valentine. Hari yang sama dengan hari ulang tahun De Guzman.

26

PASTI edisi 33

saya sendiri. Itu bukan untuk menyombongkan diri, tapi kenyataannya memang begitu,” ungkap Bondan kesal. Menurut Bondan, kalau seseorang menulis atas pesanan seseorang, maka nama orang yang memesan itu akan ditulis paling banyak. Padahal ketika dihitung, nama Ida Bagus Sudjana lebih banyak disebut oleh Bondan daripada nama Kuntoro Mangkusubroto. “Lha kalau dilihat dari sini yang paling pantas membayar saya malah bapak,” jelas Bondan pada Ida Bagus Sudjana waktu itu. Bondan pun menolak jika dikatakan ia terlalu memuji Kuntoro di dalam bukunya. “Kalau mengagungagungkan menurut saya ngga, karena saya tulis apa adanya, memang dia bener kok disitu. Coba aja, ada ngga kalimat yang ngga perlu yang saya tulis mengenai Kuntoro, yang ngga ada kaitannya dengan ini, ya ngga ada. Saya memang kenal sama pak Kuntoro, itu bukan rahasia. Tapi itu bukan berarti saya dibayar dia, yang bener aja,” ungkap Bondan sedikit emosi. Hal lain yang menyakitkan Bondan adalah karena tidak adanya dukungan dari sesama wartawan atas tuntutan yang diterima Bondan. “Karena saya memang tidak mewakili siapa-siapa, saya tidak mewakili lembaga, saya kan atas nama diri sendiri dan mereka tidak melihat itu. Mungkin kalau saya mati baru mereka membela. Tapi karena saya ngga mati ya sudahlah, it's your own, itu salib kamu sendiri, pikul sendirilah,” ujar Bondan mengemukakan alasan kenapa tidak ada wartawan yang mendukungnya saat itu. “Padahal waktu TEMPO disikat sama Tomy Winata, saya jadi ketua untuk Gerakan Anti Premanisme. Waktu itu, yang mau membela saya justru World Bank,” tambahnya. Saat tuntutan Sudjana ini bergulir ke meja hijau,

Bondan bekerja sebagai konsultan di World Bank. Suatu ketika, Bondan mengantar Dennis de Tray, Country Director World Bank untuk bertemu dengan Hartarto, Menteri Koordinator dan Distribusi waktu itu. Setelah Bondan memperkenalkan diri, Hartarto pun membentak Bondan dengan suara tinggi, “Oo..kamu ya yang namanya Bondan Winarno!” Bondan pun menjawab, “iya pak.” Namun, Hartarto segera memelankan suaranya setelah tersadar bahwa Dennis de Tray juga berada disitu bersama Bondan. Setelah pertemuan itu, Dennis pun bertanya pada Bondan. “Kenapa kamu dibentak sama Hartarto?” “O iya, dalam kasus Bre-X itu saya mempersoalkan keterlibatan Airlangga Hartarto, anak dia di Bre-X.” “Lho ada masalah apa?” Bondan pun lantas menceritakan perihal tuntutan Sudjana itu kepada Dennis. “Bondan, kamu jangan sampai takut ya menghadapi ini, kita bantu ongkos perkaranya.” “Ngga mau” “Ini bukan dari World Bank, tapi dari temanteman kamu di World Bank.” “Ngga mau, karena begitu ketahuan saya terima uang dari kamu dan teman-teman, nanti akan ada cerita lain. Please, saya terima kasih kamu kasih dukungan moral, ini berat untuk saya tapi biar saya bayar sendiri,” ucap Bondan waktu itu. Dukungan dari World Bank ini sangat berarti bagi Bondan. Saat terjerat kasus ini, Bondan menyampaikan pengunduran dirinya pada World Bank. Peraturan World Bank tentang pegawainya yang terlibat dalam masalah


hukum sangat tegas. Apalagi Bondan saat itu dituntut secara pidana dan perdata. Namun World Bank justru tidak menerima pengunduran diri Bondan ini. “Ngga, kamu ngga mengundurkan diri, kamu tetep, kita tahu bahwa masalah kamu adalah masalah yang justru menegakkan anti korupsi,” ucap Bondan menirukan penjelasan World Bank waktu itu. Sebelum tuntutan Sudjana ini bergulir ke meja hijau, Bondan sebenarnya sudah akan menerbitkan buku ini dalam bahasa Inggris. Dalam waktu cepat, Bondan telah menerjemahkan buku ini kedalam bahasa Inggris. Ia bahkan telah membayar seorang editor Kanada bernama Wendy Thomas. “Tadinya itu pertimbangannya betul-betul bussines waktu saya mau setengah mati membuat buku itu selesai dalam satu bulan dan menerbitkannya sendiri. Saya pikir buku ini bakal laris, yang dalam bahasa Inggris juga laris, bahkan bisa jadi film di Hollywood sana, saya akan meraup keuntungan lah. Tapi semuanya gagal hanya karena tuduhan yang kemudian menyulitkan saya,” ungkap Bondan. Bondan pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menerbitkan buku ini dalam edisi bahasa Inggris. Sebuah keputusan yang lantas disesali oleh Bondan kemudian. Teror merupakan hal yang ditakuti Bondan saat itu. Suatu ketika, istri Bondan yang bernama Yvonne Raket ketakutan karena ditelepon oleh seseorang yang mengaku sebagai tentara. Orang itu mengatakan akan menyita rumah Bondan. Saat itu Bondan berkata pada istrinya, “ya sudahlah, kalau kita memang akan kehilangan semuanya apa boleh buat, karena kita berhadapan dengan penguasa.” Meski akhirnya kalah di pengadilan, namun tuntutan Sudjana itu tidak pernah dipenuhi oleh Bondan. Hal ini disebabkan karena Sudjana telah meninggal dunia terlebih dahulu. “Untuk dia poinnya cuma satu, dia

issue yang membuat Bondan ingin kembali melakukan investigasi. Persoalan yang membakar Bondan ini adalah masalah impor beras. Namun menurut Bondan, hal ini diluar kemampuannya. Dalam persoalan ini, Bondan mempertanyakan kebijakan impor beras yang dilakukan oleh pemerintah. “Jangan-jangan ini semua adalah isu-isu yang dibuat sedemikian rupa sehingga kita percaya. Jangan-jangan sebetulnya kita cukup beras. Saya ngoyo (bekerja keras) untuk mencari tahu jawaban-jawabannya karena beras adalah komoditas politik. Beras adalah komoditas korupsi. Disitu ada kepentingan-kepentingan yang mempertahankan tetap berlangsungnya impor beras,” jelas Bondan. Bagi Bondan, terdapat dua modal utama yang harus dimiliki oleh seorang wartawan investigasi. Kedua bekal itu adalah otak dan nurani. “Kalau tanpa otak, ngga ketemu itu. Tapi kalau ngga ada nurani, ini semua ngga bisa dirangkai,” tegas pria yang berpendapat tantangan menjadi seorang wartawan adalah harus berani miskin. Jiwa investigasi Bondan tidak dapat dilepaskan dari sosok Lord Baden Powell, seorang Letnan Jenderal kelahiran Inggris yang menjadi idolanya sejak kecil. Baden Powell adalah seorang intelijen yang menjadi pendiri gerakan kepanduan dunia. “Saya berpikir ini orang cerdas betul, berarti intelijen itu bukan kayak spion-spion melayu saja, tapi betul-betul orang yang dengan otaknya mencari segala macam informasi untuk mengambil suatu kesimpulan. Nah, semangat itu yang ada di diri saya sejak kecil,” ungkap pria yang pernah menerima Baden Powell Adventure Award pada tahun 1967 ini ketika mengikuti Jambore Dunia yang ke 12 di Idaho, Amerika. Sebelum menerbitkan buku tentang kasus Bre-X, Bondan juga pernah menerbitkan buku tentang kasus Tampomas. Dalam buku berjudul Neraka Di Laut Jawa tersebut, Bondan melakukan investigasi atas kecelakaan kapal Tampomas II di laut Masalembo. Saat itu, Bondan mengatakan letak kesalahan yang menyebabkan ratusan korban meninggal dunia adalah Junus Efendi Habibie, atau yang lebih dikenal dengan nama Fanny Habibie. Ia adalah adik kandung B.J. Habibie yang waktu itu menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Laut. Malam ketika kapal Tampomas II sedang terbakar di laut Masalembo, Fanny Habibie berbicara di TVRI dan mengatakan bahwa keadaan sudah terkendali. Akibatnya, kapal dari Angkatan Laut Surabaya yang sudah berangkat untuk menarik kapal Tampomas II justru kembali lagi. Padahal keesokan paginya, kapal Tampomas II tersebut masih terbakar. Ketika kapal dari Angkatan Laut Surabaya tadi hendak berangkat kembali menuju lokasi terbakarnya kapal Tampomas II, mesin kapal ini justru tidak mau jalan. “Itu sebabnya sampai sekarang pak Fanny Habibie itu memusuhi saya, karena saya menunjuk kesalahannya kamu! Kenapa sih pakai

“Itu sebabnya sampai sekarang pak Fanny Habibie itu memusuhi saya, karena saya menunjuk kesalahannya kamu! Kenapa sih pakai gengsi-gengsian, wong kapal terbakar kok dibilang sudah terkendali.” sudah bisa menyatakan bahwa dia menang di pengadilan. Pengadilan yang dia bayar tentunya,” ucap Bondan.

MESKI SEMPAT MENUAI HASIL PAHIT DARI JERIH payahnya menulis kasus Bre-X, Bondan tidak kapok untuk melakukan reportase investigasi lagi. Menurut Bondan, selama ada the burning issue yang membakarnya seperti kematian De Guzman, ia tak akan ragu untuk turun lagi ke lapangan. Saat ini sebenarnya ada sebuah the burning 28

PASTI edisi 33

gengsi -gengsian, wong kapal terbakar kok dibilang sudah terkendali,” ungkap Bondan kesal.

“KETIKA SAYA BERUMUR 48 TAHUN, SAYA TAKUT AKAN mati di usia muda,” ucap Bondan sedikit menerawang. Oleh karena itu, pada usia 50 tahun Bondan memutuskan untuk pensiun. Ketakutan ini disebabkan karena ayah Bondan, Imam Soepangat, meninggal di usia 55 tahun,

sehingga menurutnya, isu kuliner ini harus diperbaiki. “Masa depan anak-anak itu tergantung pada makanan, kalau makanannya ngga bener, ngga bener juga nanti masa depannya,” jelas Bondan. “Saya itu sedang mencari makanan apa sih yang sebetulnya bisa menjadi makanan bangsa Indonesia yang baik, akhirnya saya temukan itu. Namanya dalam bahasa Jepang adalah Konyaku,” ungkap Bondan. Konyaku terbuat dari umbi yang di Jawa dikenal dengan nama iles-iles. Iles-iles ini banyak terdapat di Indonesia, Cina, dan India. Dilihat dari segi kesehatan, kelebihan Konyaku adalah nol kalori. Sedangkan dari segi pertanian, kelebihan Konyaku adalah ia tidak membutuhkan banyak air seperti padi. “Dan ternyata proses produksinya juga simple, jadi secara teknis kita sudah bisa membuatnya,” tambah Bondan yang mulai tahun 2010 ini tidak pernah makan nasi di rumah karena ingin mengurangi tingkat konsumsi beras. Ketika ditanya tentang hal apa yang ingin dilakukan namun belum kesampaian hingga saat ini, dengan bergurau Bondan menjawab, “saya pengen jadi Duta Besar tapi ngga tau ngelamarnya kemana,” katanya seraya tertawa. Namun, gurauan ini segera tergantikan oleh jawaban serius Bondan selanjutnya, ia ingin jadi motivator. “Sekarang itu kan banyak motivator, tapi kalau anda perhatikan, semua motivator ini honornya besar sekali. Sekali ngomong bisa 50 juta, paling murah itu katanya 20 juta. Lha, lalu yang dimotivasi itu siapa kalo honornya segitu. Anda ngga kuat bayar, ngga bisa ikut seminar mereka,” ungkapnya. Suatu ketika, karena penasaran Bondan datang ke suatu acara motivasi. Baginya, acara motivasi yang dihadirinya waktu itu hanya omong kosong. Hal inilah yang mendorongnya untuk menjadi motivator. “Saya ngga perlu dibayar, saya ngga mau dibayar, tapi saya kepingin dikasih tempatnya, dikasih panggungnya untuk ngomong,” ujar Bondan. Buruknya Sumber Daya Manusia di Indonesia menjadi alasan kenapa Bondan ingin menjadi seorang motivator. Ia menjelaskan hal ini dengan mengacu pada rendahnya tingkat Human Development Index (HDI) di Indonesia yang diterbitkan setiap tahun oleh United Nations Development Programme (UNDP). “Kalau saya lihat angka ini saya malu. Tapi apakah calon-calon presiden kemarin memakai angka-angka itu sebagai suatu janji kampanye mereka. Ngga ada. Jangan-jangan mereka juga ngga tahu bahwa kondisi kita itu begitu terpuruk,” ungkap pria yang sempat kuliah di jurusan arsitektur Universitas Diponegoro ini meski akhirnya tidak diselesaikan karena masalah ekonomi. “Jadi kita harus mengubah itu. Mengubah dengan apa, ya sudahlah, anda akan menjawab sistem persekolahan yang jelek segala macam, tapi jangan percaya sama sekolah dong kalau gitu, percaya sama diri sendiri. Ambil nasib kamu ke tangan kamu sendiri sekarang! Jangan nunggu siapa-siapa. Perbaiki dirimu sekarang!” tegas Bondan dengan nada serius.

“Ambil nasib kamu ke tangan kamu sendiri sekarang! Jangan nunggu siapa-siapa. Perbaiki dirimu sekarang!” sedang kakak lelakinya, Harso Widodo, meninggal di usia 52 tahun. “Jadi saya pikir, umur saya barangkali cuma 55,” lanjut anak ketiga dari delapan bersaudara ini. Bondan akhirnya sempat pensiun, namun hal ini tak berlangsung lama. Pada tahun 2001 ia diminta untuk menjadi Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan. “Waktu itu saya diminta untuk membantu, ya saya hanya setuju untuk tiga tahun saja,” ujar Bondan. Ketertarikan Bondan pada liputan kuliner bermula pada tahun 2004 ketika ia telah menyelesaikan pekerjaannya di Suara Pembaruan dan memutuskan untuk pensiun. Meski telah pensiun, Bondan tidak ingin berhenti menulis. Saat itulah, Ninok Leksono dari Kompas menawarinya untuk menjadi penulis kolom di Kompas Cyber Media. “Mas, nulis sing gampang-gampang wae, sing enteng-enteng.” “Opo?” “Ya pariwisata, travel, jalan-jalan, kan mas Bondan suka jalan-jalan.” “O iya to, boleh.” Akhirnya Bondan pun mulai menulis tentang pariwisata di kolom Jalansutra. Jalansutra berarti pengetahuan tentang jalan-jalan. Semula Bondan menulis tentang jalan-jalannya, tapi lambat laun ia pun mulai menulis tentang kuliner. “Jadi as simple as that, mencari bidang yang belum digeluti sama orang,” jawab Bondan perihal awal mula ketertarikannya meliput di bidang kuliner. Menurut Bondan, dunia kuliner bisa menjadi sebuah kekuatan ekonomi. “Orang yang dalam kategori pengusaha di Indonesia ada 52 juta. Dari 52 juta ini, yang kelasnya di atas sepuluh milyar itu kurang dari dua juta. Jadi selebihnya, yang 50 juta ini pedagang-pedagang kecil. Nah, dari 50 juta ini, yang terbanyak bergerak di bidang makanan. Baik yang mulai berkebun, ke pasar, sampai makanan jadi. Sudah pasti. Kalau ngga percaya itung aja,” ujar penggemar makanan Manado ini seraya tertawa. Oleh karena itu, Bondan tidak menganggap sebelah mata dunia kuliner. Jutaan pengusaha yang bekerja di bidang kuliner adalah pengusaha gurem,

PASTI edisi 33

29


GEGAP GEMPITA PEMAIN KEDUABELAS, DARI SEPAK BOLA HINGGA POLITIK.

ORKESTRA SEPAK BOLA

CERITA & FOTO OLEH HENRY ADRIAN


SEORANG PRIA MELOMPAT DARI PAGAR YANG memisahkan lapangan dengan bangku penonton. Setelah melompat, ia lantas memelorotkan dirinya di atas bendera Arema yang diikat miring menghadap lapangan layaknya aksi-aksi Jacky Chan di film yang ia tonton. Namun sial, bendera yang diikat tersebut tak mampu menahan berat badannya. Ia pun terjatuh ke dalam selokan yang terletak di bawah bendera tersebut. Kedalaman selokan itu sekitar dua meter. Pria yang hendak meredakan amarah suporter Arema yang terjadi di belakang gawang itu pun jatuh pingsan. Ketika sadar, ia sudah ditangani oleh seorang dokter yang lantas menanyainya, “Pusing Yul?” “Iyo, pusing, tapi ngga ngerti pusing minuman atau pusing jatuh.” “Pingin muntah ngga?” “Iyo, tapi ngga ngerti muntah mabuk atau muntah jatuh.” “Wah, repot ini Yul.” Begitulah tingkah jenaka Yuli Sugianto, atau yang lebih dikenal sebagai Yuli Sumpil, saat mendukung kesebelasan Arema bertanding melawan PKT Bontang beberapa tahun yang lalu. Sumpil sendiri adalah nama sebuah kampung di Malang, tempat Yuli tinggal dan tumbuh. Ramah dan jenaka, begitulah kesan pertama yang saya dapat setelah berkenalan dengannya pada suatu malam di kota Malang. Namun jangan salah, meski pola tingkahnya jenaka, ia cukup dihormati diantara para Aremania, sebutan bagi suporter Arema. Ia adalah konduktor Aremania. Dalam hal ini, konduktor adalah orang yang memimpin suporter untuk menyanyi dan menari dalam sebuah pertandingan sepakbola. Yuli telah menjadi konduktor Aremania sejak

tahun 1998. Seorang konduktor tidak dibayar. Ia lahir diantara para suporter yang selalu setia mendukung kesebelasannya saat bertanding. Tidak ada peraturan yang digunakan untuk memilih seseorang menjadi konduktor. Yuli sendiri tidak mengerti bagaimana ia bisa menjadi seorang konduktor pada awalnya. 12 tahun yang lalu, bermula dari canda tawanya dengan teman-teman saat menonton pertandingan Arema, Yuli pun naik ke atas pagar pembatas lapangan. Di atas pagar itulah pria kurus dengan tinggi sekitar 170 sentimeter ini menjadi konduktor untuk pertama kalinya. Tidak jelas apa yang membuat Yuli diterima menjadi seorang konduktor oleh Aremania hingga saat ini. Mungkin penerimaan ini tak jauh dari dandanan aneh yang sering digunakan Yuli saat ia menonton pertandingan dulu. Namun yang jelas, seorang konduktor merupakan orang yang komunikatif, sekaligus atraktif di mata suporter kesebelasannya. Meski atraksi-atraksi yang ditampilkan Aremania sangat mengesankan, namun mereka tidak pernah sekalipun melakukan latihan. Semuanya terjadi spontan di stadion. Berbagai ide nyanyian dan gerakan atraktif yang dilakukan oleh suporter Arema tidak hanya berasal dari Yuli, namun juga dari Aremania lainnya. “Jadi bukan karena saya Aremania itu bagus, tapi tanpa saya pun Aremania juga bagus,” ucap Yuli. Sejak kelas lima SD Yuli telah menjadi suporter setia Arema dan sering menonton pertandingan Arema di stadion. Saat itu ia tidak memiliki uang untuk membeli tiket. Maka ia pun masuk stadion dengan cara membawakan payung bagi penonton lainnya yang memiliki tiket. Namun, setelah menginjak bangku SMP ia sudah tidak diperbolehkan lagi memasuki stadion tanpa membeli tiket. Akhirnya ia mulai memasuki stadion

dengan memanjat tembok. Menurut Yuli, panjat memanjat itu selain disebabkan karena masalah ekonomi juga disebabkan karena rendahnya kesadaran Yuli sebagai suporter saat itu. Keliaran Yuli ini akhirnya berakhir saat ia duduk di bangku kelas tiga SMA. Menjelang ujian akhir, Yuli mulai menyadari risiko dari tindakannya memanjat tembok stadion itu. “Waktu itu ketika mau ujian aku mikir, kalau aku manjat dan jatuh, itu biayanya lebih mahal daripada kalau aku beli tiket. Kedua, kalau suporter ngga mau beli tiket, tim kita ngga bisa baguslah, kan hidupnya Arema dari tiket,” jelas pria kelahiran Malang, 14 Juli 1976 ini. Yuli tidak berasal dari keluarga yang

bersaudara ini seraya tertawa.

SIANG ITU CUACA MALANG TERASA PANAS. BUKAN hanya karena sinar matahari yang terus menyengat, namun karena malamnya kesebelasan Arema akan bertanding melawan Persebaya di stadion Kanjuruhan, Malang. Pertandingan ini adalah salah satu pertandingan terbesar yang ditunggu oleh suporter kedua kesebelasan. Intensitas permusuhan antara Aremania dengan Bonek, kependekan dari Bondo Nekat atau modal nekat, sebutan bagi suporter Persebaya, sudah tinggi sejak dulu. Hal ini menyebabkan kedua suporter kesebelasan tersebut sering terlibat dalam kerusuhan. Tak jarang, kerusuhan ini berakhir pada kematian suporter salah satu kesebelasan. Januari lalu, setelah sembilan tahun belum pernah merasakan kemenangan atas Arema, Persebaya akhirnya berhasil mengalahkan Arema dengan skor 2-0. Pertandingan yang dilangsungkan di Stadion Gelora 10 November Surabaya itu dijaga oleh tiga ribu personil keamanan. Jumlah ini naik tiga kali lipat dibanding saat pertandingan-pertandingan Persebaya sebelumnya. Besarnya jumlah personil keamanan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusuhan yang sering terjadi antar suporter kesebelasan yang samasama berasal dari Jawa Timur ini. Sejak pertandingan belum dimulai Bonek memang sudah berulah. Bus yang ditumpangi oleh para pemain dan ofisial Arema dilempari batu oleh para Bonek. Pada 4 September 2006, pertandingan antara Persebaya melawan Arema dalam laga Piala Copa Indonesia juga pernah berakhir ricuh. Pertandingan yang berakhir imbang tanpa gol itu membuat Bonek marah.

Seorang konduktor tidak dibayar. Ia lahir diantara para suporter yang selalu setia mendukung kesebelasannya saat bertanding. berkecukupan secara ekonomi. Oleh karena itu, sejak kecil Yuli sudah terbiasa bekerja. Saat duduk di kelas empat SD, Yuli sudah mulai bekerja dengan menjual koran. Pekerjaan ini ia lakukan hingga kelas dua SMP. Setelah itu, saat duduk di kelas satu SMA ia bekerja di tempat pencucian mobil selama empat tahun. Kesukaan Yuli pada sepak bola sudah terbentuk sejak kecil. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari kegemaran teman-temannya yang sering bermain sepak bola di kampung. “Waktu kecil kan arek kampung sering sepak bola olah raganya. Kalau badminton yo ngga mungkinlah cilikanku, kalau badminton yo pakai triplek, cetak..cetok..cetak..cetok... ke gedung yo ngga bisa, golf yo ngga mungkin,” ucap anak ke tujuh dari delapan

PASTI edisi 33

33


Mereka lantas membakar sebuah mobil milik sebuah stasiun televisi swasta. Peristiwa tersebut lantas dikenal dengan nama Amuk Suporter Empat September atau yang sering disingkat Asusemper. Pelemparan kendaraan yang ditumpangi oleh pemain dan ofisial tim terjadi pula ketika Persebaya bertandang di stadion Kanjuruhan Malang pada 21 Februari 2010 lalu. Bedanya, saat itu Persebaya tidak menggunakan bis, tetapi menggunakan kendaraan rantis Kepolisian Daerah Jawa Timur. Ketika kendaraan ini lewat, beberapa Aremania lantas meneriaki dan melemparinya. Meski begitu, kemungkinanan terjadinya kerusuhan yang lebih besar dapat dihindari. Hal ini

disebabkan karena Bonek dilarang menghadiri pertandingan tersebut. Permusuhan dan perkelahian antar suporter kesebelasan memang telah menjadi bagian dari sepak bola. Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lainnya. Sebagai seorang suporter sepak bola, dulu Yuli sering terlibat dalam perkelahian antar suporter. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan keluarganya. “Ngga pingin rabi (menikah) ya?” begitulah tanya keluarganya waktu itu. Bagi Yuli, resiko menjadi seorang suporter itu cukup sederhana. “Kalau aku sih, dadi suporter resikone diantemi opo ngantemi, (jadi suporter resikonya

dipukuli atau memukuli),” ucapnya. Pernah suatu ketika, setelah menonton pertandingan Arema di Sidoarjo, Yuli memisahkan diri dari rombongan Aremania ketika ia pulang. Saat menunggu angkutan umum, kepalanya dipukul dengan helm oleh Bonek yang mengendarai motor. “Jlaagg! Wis, Chris John rek,” cerita Yuli seraya tertawa. Setelah memukul Yuli, Bonek yang mengendarai motor tersebut lantas lari. “Pertama, Bonek itu bodoh, ngapa pakai helm, kalau pakai batu kan malah moncrot. Kedua, ngapa kok dia lari, lha wong itu kandangnya dia,” ungkap Yuli kesal. Akhirnya, pacar Yuli yang saat itu ikut bersama Yuli mengatakan, “sampeyan keno omongan-omonganmu

dewe, diantemi opo ngantemi, (kamu kena omonganmu sendiri, dipukuli atau memukuli).” Beberapa tahun yang lalu, Yuli juga pernah terlibat perkelahian dengan Bonek di depan stasiun Pasar Senen, Jakarta. Saat itu, Yuli dan sekitar 40 Aremania lainnya menerima undangan dari Suprapto untuk menonton balapan anaknya di Sentul. Suprapto yang dimaksud Yuli adalah Tinton Suprapto, ayah dari pembalap Moreno Suprapto. Kebetulan, Persebaya waktu itu juga berada di stasiun Pasar Senen. Mereka hendak menonton laga tandang Persebaya di Tangerang. Semula tidak terjadi keributan apa-apa diantara kedua suporter tersebut. Namun, setelah rombongan Aremania menaiki bis dan hendak meninggalkan stasiun, beberapa Bonek melempari bis Aremania tersebut dengan batu. Rombongan Aremania itu pun lantas turun dari bis dan mengejar Bonek. Esoknya ketika membaca Koran, Yuli baru tahu bahwa perkelahian tersebut menewaskan tiga orang Bonek. Sedangkan Aremania sendiri selamat semua. Perkelahian antar suporter kesebelasan bukanlah sebuah masalah besar bagi Yuli. Namun, ketika hal ini berubah menjadi suatu bentuk penjarahan, dengan keras ia menentangnya. Baginya, perkelahian antar suporter dengan penjarahan yang dilakukan oleh suporter itu dua hal yang sangat berbeda. Yuli mengatakan, meskipun bisa diminimalisir, permusuhan dan perkelahian antar suporter kesebelasan tetap tidak bisa dihilangkan dari dunia sepak bola. Permusuhan antara kesebelasan Barcelona dengan Real Madrid yang berlangsung selama hampir satu abad merupakan contoh yang digunakan Yuli. “Itu memang ngga bisa untuk dihapus, diminimalisir bisa. Tapi siapa pun kalau ketemu di jalan mesti tetep crash,” jelas pengagum sosok Lionel Messi ini. Pada tahun 2006 lalu Yuli menonton pembukaan Copa Indonesia bersama pacar dan teman-temannya. Saat itu ia masih duduk-duduk di luar stadion dan minum bersama teman-temannya. Pada saat yang bersamaan, dua remaja usia SMP yang memakai atribut kesebelasan Persik Kediri lewat di depannya. Melihat Yuli yang mulai tampak tidak senang, pacar Yuli pun berkata, “Wis, kuwi nek sampeyan nganggu aku marah mbek sampeyan.” Namun, bukannya menurut, Yuli justru memanggil dua remaja tadi. “Eh dik..dik..sini dik.” “Opo mas?” “Kowe arep neng endi? (kamu mau kemana?)” “Arep nonton bola.” “Ngopo nonton bola!” Yuli pun lantas menamparnya, “Puakkk!!” “Lho mas salahku opo mas?” Sekali lagi Yuli menamparnya, “Puakkk!!” “Ngalih kono! (pergi sana!)” “Lho salahku opo?” “Timbang tak antemi meneh lho! (daripada tak pukuli lagi lho!)” Setelah itu, pacar Yuli pun marah-marah, “ngapain sih mas!” PASTI edisi 33

35


tersendiri, seperti dilarang berbuat onar di dalam stadion, melempar benda apapun ke lapangan, menyulut petasan, dan berkata rasis. Keberadaan hal ini

dikenai sanksi terkait tindakan rasisme yang dilakukan beberapa suporternya terhadap ofisial Persipura. Sanksi tersebut berupa denda sebesar Rp 50 juta dan satu laga tanpa penonton di pertandingan berikutnya. Yuli menentang keras sanksi itu. Baginya, tindakan segelintir orang tidak boleh digunakan untuk menghakimi Aremania seluruhnya. “Terkecuali, dari 40 ribu penonton, yang ngomong itu sekitar empat ribu atau lima ribu, kan koor. Seandainya di saat koor arek-arek nyanyi, monyet..monyet.. itu baru kita kena sanksi,” jelasnya. Meski PSSI telah berulang kali memberi sanksi atas tindakan rasisme, namun konsep rasisme dalam peraturan PSSI sendiri tidaklah jelas. Ketika Aremania dan Bonek saling hujat, hal itu dikatakan PSSI sebagai sebuah tindakan rasis. Padahal, tindakan saling hujat antara Aremania dan Bonek tidak mewakili ataupun menyerang etnisitas tertentu. “Kata-kata dibunuh, dibantai, kan sama PSSI ngga boleh. Padahal itu yang dipakai adalah bahasa-bahasa wartawan di koran,” ungkap Yuli.

“Kalau ada organisasi, pucuknya kan pasti ketua, baru staf-staf, bawahnya anggota. Kita ngga mau, kita maunya datar, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”

“Ini hukum suporter, seandainya arek Malang jalan di depan arek Surabaya atau arek Kediri, yo kayak gitu,” jawab Yuli waktu itu. “Kan masih cilik?” balas pacarnya. “Yo podo wae, mergone isih cilik kuwi nek tak keplak ngga mbales, ngga wani ngelawan kan. Nek gede, mbales, njuk tarung, iyo nek menang, nek kalah, (ya sama saja, karena masih kecil itu kalau tak pukul ngga membalas, ngga berani melawan. Kalau besar, membalas, terus berkelahi, iya kalau menang, kalau kalah),” jawab Yuli dengan jenaka. Bagi Yuli, tindakan

“PSSI itu ngga salah, yang salah itu pengurusnya.” itu bertujuan untuk semakin mengobarkan api permusuhan antara suporter Arema dengan Persik Kediri yang telah bermusuhan sejak dulu.

AREMA ADALAH KESEBELASAN “PLAT HITAM”. ISTILAH ini merujuk pada pendanaan Arema yang tidak tergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini berbeda dengan kesebelasan “plat merah” yang tergantung pada APBD. Kesebelasan “plat merah” biasanya mendapat kucuran dana APBD hingga puluhan milyar rupiah. Salah satunya adalah 36

PASTI edisi 33

Persija, Jakarta. Musim kompetisi depan, Persija mendapat kucuran dana sebesar 40 milyar dari APBD. Menurut Yuli, penggunaan dana APBD untuk sebuah kesebelasan hingga mencapai angka puluhan milyar sangat tidak masuk akal. ”Masak sih duit sebanyak itu. Sedangkan keponakan-keponakanku yang ngga mampu sekolah yo banyak. Kalau dibagikan sama anak ngga mampu sekolah sebanyak 500 ribu per anak, berapa ribu yang akan dapat,” ucap Yuli. Selain berkaitan dengan jumlahnya yang besar, alasan yang dikemukakan Yuli selanjutnya adalah masalah keadilan. Seringkali, pembagian dana APBD untuk setiap cabang olahraga sangat tidak adil. Menurutnya, jika pemerintah ingin memajukan semua cabang olahraga, maka pembagian dana antar cabang olahraga juga harus seimbang. Status “plat hitam” yang melekat pada Arema membuat kesebelasan ini tergantung sepenuhnya pada dana sponsorship dan hasil penjualan tiket pertandingan. Meski begitu, hal ini bukan menjadi masalah besar bagi Arema. Kesebelasan ini memiliki ratusan ribu suporter yang setia mendukung timnya, entah di lapangan atau diluar lapangan. Sejak tahun 2000 Aremania telah beberapa kali dinobatkan sebagai the Best Supporter di Indonesia. Penobatan ini selain disebabkan karena penampilan Aremania yang atraktif, juga disebabkan karena kesadaran mereka sebagai seorang suporter cukup tinggi. Mereka bahkan memiliki hukum suporter

membuat Aremania lebih tertata di dalam stadion. Namun Yuli tidak menyangkal jika beberapa Aremania masih bertindak “liar” di dalam stadion tanpa alasan yang jelas. Dalam hal ini, Aremania punya solusi tersendiri. “Pertama dibilangin, kalau ngga bisa dibilangin ya dipukuli sendiri,” ungkap Yuli. Kesadaran Aremania dalam menonton pertandingan di stadiun memang sudah cukup tinggi. Namun hal ini bukan berarti mereka selalu terlepas dari tindak kerusuhan di dalam stadiun. Pada 16 Januari 2008, Aremania merusak dan membakar stadion Brawijaya, Kediri. Peristiwa ini disebabkan oleh ketidakpuasan Aremania dengan wasit yang memimpin pertandingan antara Arema melawan Persiwa Wamena. “Oke lah kalau wasit selalu dikambing hitamkan, tapi korbannya kan selalu pemain sama suporter. Contoh, wasitnya ngga netral, sampai pemain marah, manusia itu ada batasnya kan. Kejadian di Kediri, tiga gol kita dianulir, jadi jangan dinilai Aremanianya, manusia itu ada emosionalnya juga,” jelas Yuli kesal. Saat itu, tiga gol yang dicetak Arema dianulir wasit Jajat Sudrajat karena dianggap telah offside dan handsball sebelumnya. Akibat peristiwa itu Aremania dikenai sanksi oleh PSSI. Mereka tidak boleh menggunakan atribut Arema selama dua tahun saat menonton pertandingan timnya di stadion. Bagi Yuli, sanksi PSSI berupa larangan penggunaan atribut itu tidak jelas. Meski begitu, hukuman menonton tanpa atribut ini tak menyurutkan kreatifitas Aremania. Bagi Yuli, sanksi ini justru menjadi cambuk bagi kreatifitas Aremania. “Akhirnya, waktu liga berikutnya tahun 2009, kita pakai pakaian hitam-hitam semua. Belasungkawa atas matinya PSSI. Warna hitam adalah warna perlawanan. Kita itu melawan, melawan terhadap ketidakbeneran yang ada di tubuh PSSI,” ucap Yuli bersemangat. Saat wawancara siang itu, Yuli mengenakan kaos putih dengan tulisan Liga Djancok, Badan Liga Sepak Bola Indonesia dengan logo PSSI yang disilang merah. “Ini mungkin suatu unek-unekku. Woo…liga Djarum liga djancok. Suatu ekspresi ketidaksenangan teman-teman terhadap PSSI. Bukan sama PSSI sebenarnya, sama pengurusnya. PSSI itu ngga salah, yang salah itu pengurusnya,” ungkap Yuli. Kekecewaan Yuli lainnya terhadap PSSI tercermin ketika Arema dikenai sanksi setelah melawan Persipura, Jayapura pada 9 Desember 2009. Arema

MESKI PERTANDINGAN BARU DIMULAI JAM TUJUH malam, namun Aremania sudah memadati stadion Kanjuruhan sejak jam sebelas siang. Tiket pertandingan pun semakin susah dicari karena tingginya minat masyarakat Malang menonton laga ini. Bahkan, harga tiket kelas ekonomi yang secara resmi dijual dengan harga Rp 25.000, di tangan para pedagang gelap melonjak hingga Rp 75.000. Selain sebagai konduktor, Yuli juga menjadi Koordinator Wilayah (Korwil) Aremania di kampungnya. Terdapat ratusan Korwil Aremania di Malang. Setiap Korwil berperan mengurus Aremania di wilayahnya, mulai dari menjual tiket pertandingan hingga mengkoordinasi Aremania jika hendak menonton pertandingan tandang di luar kota Malang. Sebagai Korwil, Yuli juga ikut menjual tiket pertandingan Arema. Ia mendapat komisi 2,5 persen dari tiket yang ia jual dengan harga resmi. Pagi sebelum pertandingan, rumah Yuli dipadati oleh banyak Aremania yang ingin membeli tiket hingga ia kewalahan. Ia bahkan sempat menolak beberapa orang yang ingin membeli tiket karena jumlah tiket yang ia jual terbatas. “Aku ngga mau, pas pertandingan rame kayak gini, yang jarang nonton jadi ikut nonton, yang biasanya nonton malah ngga kebagian,“ jelasnya. Yuli biasanya berangkat menuju stadion dengan menggunakan mobil pick up bersama Aremania dari kampungnya. Siang itu, ia dan teman-temannya berangkat menuju stadion Kanjuruhan pada jam dua siang. Dalam perjalanan yang ditempuh sekitar 45 menit itu, mereka terus bernyanyi dan menggebuk drum yang mereka bawa di atas mobil pick up. Tak jarang, beberapa Aremania yang mereka temui di jalan juga ikut bergabung dalam kemeriahan itu. PASTI edisi 33

37


Hari itu, peraturan lalu lintas di kota Malang seolah ditiadakan. Seorang teman berkata pada saya, selama kita menggunakan atribut Arema pada hari Arema bertanding, maka tak akan menjadi masalah jika kita berkendara dengan sepeda motor tanpa helm. Satu motor dinaiki tiga orang pun tak jadi soal. Tak hanya Aremania yang bersemangat pada hari itu. Polisi dan masyarakat pun juga tampak bersemangat. Mereka turut melambaikan tangan dengan senyuman ketika pick up yang dinaiki Yuli melintas. Tak jarang, umpatan-umpatan terhadap Persebaya terucap dari mulut masyarakat yang berdiri di pinggir jalan. Kemeriahan ini semakin terasa ketika Yuli dan rombongannya mulai memasuki stadion. Lautan Aremania yang kebanyakan menggunakan atribut warna biru, warna Arema, tumpah ruah di jalanan dan luar stadion. Padahal, pertandingan baru akan dimulai empat jam lagi. Saat hendak memasuki stadion, petugas tiket menerima tiket masuk yang diulurkan Yuli seraya tertawa. Petugas tersebut sepertinya telah mengenal Yuli. Tampaknya, dengan ataupun tanpa tiket Yuli tetap akan ia ijinkan masuk. Meski begitu, Yuli tetap membeli tiket. Tahun lalu, ia dan teman-temanya yang sudah memiliki tiket untuk menonton pertandingan antara Arema melawan Persipura tidak dapat masuk ke stadion karena kapasitas stadion sudah penuh. Meski begitu, Yuli tetap ditawari masuk. Namun tawaran ini ia tolak. “Aku sendiri yo ngga mau kan, aku ngga mau dibeda-bedain. Kalau aku bisa masuk, teman-temanku yang membawa tiket yo bisa masuk. Soalnya aku lihat dihadapanku sendiri,” ucap Yuli. Puluhan tangan Aremania menyalami Yuli ketika ia memasuki bangku penonton di stadion Kanjuruhan, Malang. Para Aremania yang telah memenuhi stadion mundur satu langkah untuk memberi jalan bagi Yuli.

lantas berubah menjadi tenang. Lalu dalam sekejap, ribuan Aremania pun dengan kompak mulai menyanyi dan menari bersama-sama. Mereka menari dengan riang, mencondongkan tubuhnya dari kiri ke kanan, ke depan dan ke belakang. Suasana ini lantas menyebar ke sisi lain stadion, termasuk di bangku VIP. Hingga akhirnya sekitar 40 ribu Aremania yang memadati stadion pun menyanyi dan menari bersama sesuai aba-aba yang diberikan Yuli. Mereka juga membentuk gerakan gelombang mengelilingi stadion dengan kompak. Dalam dunia sepak bola, gerakan ini dikenal dengan sebutan Mexican Wave atau La Ola Mexicana yang mulai populer di Piala Dunia 1986 di Mexico. Menurut Asian Football Confederation (AFC), Aremania adalah kelompok suporter terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketujuh di Asia. Besarnya jumlah Aremania ini menjadi salah satu sasaran para politikus untuk mencari massa. Hal ini terjadi pula pada Yuli. Beberapa kali ia pernah ditawari untuk bergabung dengan partai politik tertentu. Namun tawaran-tawaran tersebut ditolaknya. “Lha aku ngatur dan ngurusi diriku pribadi wae ngga iso, kok ditawari jadi Caleg, atau jadi tim sukses. Misalnya aku ditawari jadi tim sukses presiden, malah tak buat guyonan, iyo nek presidennya bener, nek salah, aku yang jadi tim suksesnya, mendukung orang yang korupsi, opo ngga dosa hukumnya,” ungkapnya serius. Yuli sendiri tidak tertarik dengan iming-iming materi yang akan ia terima jika bergabung dengan partai politik. “Orang sukses itu belum tentu materinya gede. Kita nikmatinlah hidup ini. Apa adanya kita, kita terima.

“Di saat hajat Arema, jangan sampai ada bendera politik di stadion, Aremania boleh berpolitik, tapi Aremania jangan sampai dipolitiki.” Beberapa Aremania pun menawarinya minuman keras. Meski sesekali diterimanya, tak jarang pula Yuli menolaknya dengan halus. Puluhan kamera Aremania pun mencoba memotret Yuli dari dekat. Sebuah pemandangan yang membuat saya bertanya dalam hati, seperti apakah Yuli bagi para Aremania. Tak perlu menunggu lama, jawaban ini segera saya peroleh. Saat itu ia sedang berjalan menyusuri selasela bangku penonton menuju tempat duduk yang khusus disediakan bagi seorang konduktor di bawah papan skor. Baru berjalan beberapa meter, beberapa Aremania yang berada di dekat pintu masuk memintanya untuk memimpin mereka menyanyi dan menari terlebih dahulu. Tak berselang lama, Yuli pun segera naik ke pagar dan memberi aba-aba. Suasana yang semula gaduh 38

PASTI edisi 33

Maksudnya ngga selalu nerima seperti ini, kita akan selalu kepingin yang terbaik,” ucap pria yang dulu berkeinginan masuk Angkatan Laut ini. Meski menjadi kelompok suporter dengan jaringan yang luas dan besar, Aremania tidak dilembagakan dalam suatu bentuk organisasi. “Memang kita beda dengan suporter yang lain. Karena mungkin dari temen-temen Arema sendiri ngga ingin ada kesenjangan. Kalau ada organisasi, pucuknya kan pasti ketua, baru staf-staf, bawahnya anggota. Kita ngga mau, kita maunya datar, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,” terang Yuli. Menurut Yuli, tidak adanya organisasi bagi Aremania juga disebabkan karena Aremania tidak ingin digunakan sebagai kendaraan politik bagi pihak-pihak tertentu. Ia menjelaskan hal ini dengan menggunakan analogi air di dalam sebuah gelas. “Kalau air ini ditaruh di wadah, air ini enak dibawa kesini, dibawa kesana. Tapi kalau air di dalam gelas ini ditumpahkan, tanpa wadah, dia ambil disini, sini ngga kena. Artinya, kita ngga mau dimanfaatin,” jelas Yuli. Dulu, beberapa partai politik sering membawa bendera Arema dalam kampanye-kampanyenya. Sebagai seorang Aremania, Yuli tidak mempermasalahkan hal ini. Namun jika bendera partai politik ikut dikibarkan di dalam stadion saat Arema sedang bertanding, ia akan mempermasalahkannya. “Di saat hajat Arema, jangan sampai ada bendera politik di stadion, Aremania boleh berpolitik, tapi Aremania jangan sampai dipolitiki,” ucapnya serius.


Kisah Mata

Derita Urban Di Penghujung Ramadhan

CERITA & FOTO OLEH SURYO WIBOWO

Kiri: Seorang bocah duduk di atas sandaran bangku kereta ketika tak ada lagi tempat untuk duduk. Atas: Harapan kaum urban di Jakarta adalah pulang membawa kesuksesan.

JERITAN ANAK KECIL MENANGIS TERDENGAR JELAS. TERIAKAN BAPAK memanggil anak bersahut dengan teriakan dari pengeras suara. Perintah mundur dari ujung stasiun itu tak digubris oleh ribuan orang yang sudah bermantap hati untuk pulang ke kampung halaman. Imaji Idul Fitri yang damai dan penuh berkah selalu bersatu dengan imaji arus mudik. Ricuh, ramai, padat! Setiap tahun, jumlah pemudik selalu menanjak. Tak tanggungtanggung, tahun 2009 mencatatkan sedikitnya 65ribu orang pemudik harus diangkut dengan kereta api saja! Jumlah tersebut 4 kali lipat di atas kemampuan angkut PT KAI. Tiket sudah ludes habis dari H-7. Banyak pula tiket yang telah diborong oleh calo ataupun dimainkan oleh sejumlah petugas. Gerbong tambahan yang hanya satu dua tak pula mencukupi untuk mengangkut pemudik. Tak ayal lagi, ketika kegelisahan penumpang yang menunggu di stasiun-stasiun Jakarta semakin memuncak ketika melihat kereta yang ditunggu-tunggu mendekat ke arah peron. Kereta yang telah terisi penuh dari Depo Stasiun Jakarta Kota , bahkan sebelum mencapai stasiun Pasar Senen yang menjadi awal trayek Pasar Senen – Gubeng Surabaya itu. Pemandangan yang terulang tiap tahun selalu terlihat lagi dan lagi. Tak ada perubahan, tak ada pelajaran dipetik. Rebutan jalan masuk terjadi di setiap pintu. Penumpang dengan barang bawaannya yang tak bisa dibilang kecil berebut bersikut untuk bisa memasuki kereta. Sibuk memikirkan barang bawaan, memikirkan anak-anak kecil yang ikut dibawa. Entah bagaimana, ribuan orang dijejalkan dalam gerbong-gerbong yang sudah penuh sesak dengan manusia dan barang bawaannya. Semuanya bercampur dalam kebanggaan kaum urban pulang ke kampung dari ibukota. PASTI edisi 33

41


Di dalam gerbong tak ada tempat lagi untuk duduk. Berdiripun sering tak bisa dengan dua kaki. Berdiri dua kaki pun tak bisa dalam posisi tegak. Sementara yang tak lagi bisa menginjak kaki di dalam gerbong, harus mengeluarkan separuh badan dari gerbong. Jumlah beban yang jauh di atas batas toleransi itu membuat lokomotif tak bisa berlari secepat biasa. Jarak Jakarta – Surabaya yang seharusnya ditempuh dalam 14 jam harus ditempuh selama 21 jam. Pelayanan manusiawi tak mungkin bisa diberikan dengan kondisi yang sudah tidak manusiawi. Tak ada toilet dengan air mengucur yang bisa dipergunakan, karena di dalamnya sudah mendengkur 3 orang yang saling berdesakan dengan bau yang tak tertahankan (kecuali oleh ketiga orang itu). Pedagang asongan memaksakan dagangan berjalan menginjak setiap kaki yang tak terlindungi dan melompati tubuhtubuh orang yang meringkuk di bawah kursi. Tak ada

privasi, tak ada ruang untuk bernafas. Bau keringat, rokok kretek, parfum murah, minyak angin, minyak telon, minyak kayu putih, muntahan bayi, semua bercampur jadi satu. Diaduk dengan kegelisahan para penumpang. Potret arus mudik selalu berulang. Tak ada perubahan besar terjadi yang memungkinkan penumpang diangkut dengan lebih manusiawi. Mudik, yang terjadi di bulan suci Ramadhan seharusnya menjadi waktu bagi kita untuk bercermin. Mudik seharusnya menjadi arena untuk berbenah. Subsidi diberikan bukan sebagai uang diam bagi penerima subsidi. Subsidi seharusnya diberikan pemerintah dengan integritas dan itikad baik. Penumpang yang berebut juga merupakan cermin tidak adanya rasa saling menghargai di antara para penumpang. Mudik adalah potret budaya kita. Sudahkah kita yang mengaku berbudaya dan beragama memanusiakan diri sendiri dan orang lain?

Kiri: Penumpang berebutan membawa masuk barang-barang dan keluarga mereka ke dalam kereta yang sudah penuh sesak. Atas: Tumpukan penumpang di Stasiun Pasar Senen, Jakarta (19/09/2009) Bawah: Seorang penumpang mencari tempat di atas untuk meletakkan kelinci yang dibawanya dari Jakarta sebagai oleh-oleh.

PASTI edisi 33

43



Kanan atas: Para penumpang yang berdesakan di dalam toilet kereta menyalakan api untuk menerangi toilet yang gelap dan sesak. Kanan bawah: Di toilet yang penuh barang dan bau pesing, penumpang rela berdiam asal tetap terangkut sampai tujuan.

Halaman sebelumnya: Penuhnya kereta, bertumpuknya manusia, pantat di atas kaki dan kepala di depan kaki. Tak ada ruang privasi di dalam kereta mudik. Kiri atas: Tiga orang penumpang yang menempati toilet harus berpuas diri dengan jendela kecil untuk mengusir bau pesing yang tak tertahankan. Kiri bawah: Tak cukup lagi, separuh badan pun harus dikeluarkan dari dalam kereta.


Kiri: Dua orang bocah yang tak kebagian tempat memaksa diri duduk di depan lokomotif. Kanan atas: Pedagang asongan berjalan di antara kereta yang sedang berhenti di stasiun Pasar Senen Jakarta. Mereka menangguk untung dari hasil penjualan air minum dan makanan di kala mudik. Kanan bawah: Ketika kereta mudik sudah meninggalkan stasiun, hanya sisa-sisa sampah yang dibuang sembarang menjadi pemandangan di stasiun.


Kiri: Saat kericuhan sudah agak mereda, beristirahat di kereta menjadi saat yang menenangkan.

50

PASTI edisi 33

PASTI edisi 33

51


Seni & Budaya

MENARI ADALAH HIDUP BAGI KAMI

Tubuhnya melenggak-lenggok mengikuti alunan musik. Baju dan dandanan khas yang mereka kenakan menggambarkan kegagahan dan keangkuhan, sekaligus keterpinggiran.

CERITA OLEH PAULINA DAMAYANTI FOTO OLEH HENRY ADRIAN

DI SINILAH MEREKA BERKARYA, BUKAN DI PANGGUNG pertunjukan yang megah dan ber-AC, namun hanya di perempatan jalan yang penuh polusi dan teramat panas. Tidak ada tepuk tangan riuh penonton yang mengeluelukan mereka. Meski demikian, mereka akan terus menari, tak peduli peluh keringat yang terus mengalir, tak peduli perut yang sudah mulai keroncongan. Mereka merupakan kepala keluarga yang harus bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Mereka ingin turut melestarikan budaya. Mereka adalah para penari Jathilan. Jathilan berasal dari kata juthil yang berarti tapak kaki kuda. Jathilan juga biasa disebut jaran kepang atau jaran dor di beberapa desa di Jawa. Alat musik yang mengiri tarian tersebut diantaranya adalah saron, kendang, kenong dan gong. Tarian unik ini merupakan kesenian yang menyatukan unsur gerakan tari dengan magis. Pagelaran tersebut dimulai dengan tari-tarian. Puncaknya adalah ketika para penari kerasukan roh halus sehingga tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Setelah kerasukan, para penari biasanya melakukan atraksiatraksi berbahaya yang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Atraksi-atraksi yang biasa mereka lakukan adalah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, atau boham lampu tanpa terluka ataupun merasa sakit. Biasanya, Jathilan berisi sebuah cerita yang

disampaikan dalam bentuk tarian. Tidak banyak orang yang mengetahui alur cerita pertunjukan Jathilan. Penonton lebih menikmati adegan kerasukan yang ditampilkan oleh para pemain Jathilan. Pertunjukan Jathilan biasanya digunakan untuk memeriahkan hari-hari tertentu seperti hari bersih desa, 17 Agustus, pernikahan ataupun sunatan. Namun akhirakhir ini, sering pula terlihat para penari Jathilan yang terjun ke jalan. Berkurangnya panggung pertunjukan bagi Jathilan menjadi salah satu penyebab turunnya mereka ke jalanan. Demi menghidupi keluarganya, para penari Jathilan tersebut rela merantau ke kota untuk menjadi penari Jathilan jalanan. Salah satunya adalah Sukir, Budi dan Widi. Berbekal warisan budaya leluhurnya, mereka berharap dapat memperoleh sedikit peruntungannya di kota Yogyakarta. “Kami melakukanya dengan senang, kami mencintai pekerjaan ini,� jawab Sukir sambil tersenyum saat ditanya kenapa ia menjadi penari Jathilan jalanan. Laki-laki berusia 35 tahun ini merupakan salah satu penari Jathilan yang berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Sudah satu tahun ia mencoba peruntungannya sebagai penari Jathilan di Yogyakarta. Bersama adiknya, Budi dan Widi, tetangganya, mereka turut memeriahkan hiruk pikuk jalanan kota Yogyakarta. Di kota ini, mereka tinggal di sebuah kamar koskosan kecil berukuran 3x4 meter yang terletak di daerah Ketandan. Kamar kos yang disewa Rp 150.000 per bulan PASTI edisi 33

53


itu mereka tempati bersama-sama. Kamar sempit itu terlihat lenggang. Tidak ada radio ataupun TV. Bahkan kasur dan bantal pun tak ada. Disana hanya terlihat kostum-kostum dan peralatan tari. Kostum dan peralatan itu sebagian mereka gantung di dinding, sebagian lagi diletakkan begitu saja di pojok ruangan. Di kamar tersebut mereka tidur beralaskan karpet tipis berwarna biru yang sudah berlubang di sana-sini. “Ya

terbilang kecil dan sangat pas-pasan untuk mencukupi kehidupan keluarga mereka di Temanggung. Meski begitu, mereka tetap ingin menunjukkan bahwa kesenian mereka belum mati walau hanya dipertontonkan di jalanan. Jathilan sudah menjadi bagian dari hidup Sukir, Budi, dan Widi. Sejak kecil mereka sudah bisa menari Jathilan. Di kampung halamannya, tarian tersebut memang bukan hal yang asing. Jathilan diminati oleh semua usia, dari anak kecil hingga orang tua. Di Temanggung, Sukir, Budi, dan Widi tidak memiliki pekerjaan tetap. “Di Temanggung kami tidak punya pekerjaan tetap, cuma buruh tani dengan penghasilan rendah. Waktu itu saya yakin kalau di Jogja kami pasti bisa mendapat penghasilan lebih. Keluarga kami pun mendukung niat kami untuk bekerja sebagai penari Jathilan di kota Jogja,” ucap Sukir. Yogyakarta mereka pilih sebagai tempat tujuan bukan tanpa alasan. “Karena kalau di kampung saya malu mbak. Kalau disana kan banyak yang kenal dan belum umum ada penari jathilan yang menari di jalanan. Makanya kami memilih untuk merantau ke Jogja dan

“Kami tahu kami salah, karena seharusnya kami memang tidak boleh menari di perempatan jalan, tapi mau gimana lagi, selain menari Jathilan, kami tidak punya keahlian apa-apa lagi. Wong kami Cuma lulusan SD,” beginilah kami, hidup serba pas-pasan. Tapi kami tetap bersyukur bisa mencari uang halal dengan menari Jathilan di perempatan jalan,” ungkap Budi. Dalam sehari, pendapatan bersih mereka sebagai penari Jathilan sekitar Rp 30.000. Jumlah ini

54

PASTI edisi 33

menjadi penari Jathilan jalanan,” jelas Budi polos. Bekerja sebagai penari Jathilan jalanan tidaklah mudah. Pekerjaan ini mempunyai banyak resiko. Selain persaingan dengan sesama penari jalanan lainnya, mereka juga harus kucing-kucingan dengan para Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP. Hal ini tentu saja sangat merepotkan dan membuat mereka was-was. Bagaimana tidak, sudah beberapa kali Sukir ditangkap oleh Satpol PP saat sedang menari di perempatan jalan. Tidak hanya denda kurungan satu hari yang diterima Sukir. Peralatan Jathilan yang dimilikinya seperti kendang dan kenong juga disita oleh para Satpol PP. “Kami tahu kami salah, karena seharusnya kami memang tidak boleh menari di perempatan jalan. Tapi mau gimana lagi, selain menari Jathilan, kami tidak punya keahlian apa-apa lagi. Wong kami cuma lulusan SD,” Budi, laki-laki tinggi berkulit hitam itu mengungkapkan. Belajar dari pengalaman, mereka kini lebih berhati-hati saat menari Jathilan di perempatan jalan. Ketika Satpol PP mulai membersihkan jalanan dari pengamen dan pengemis sekitar jam sebelas siang, Sukir, Budi dan Widi menyingkir dari jalanan. Mereka menggunakan waktu itu untuk makan siang dan mengumpulkan energi. Selepas jam dua belas siang, mereka baru kembali lagi ke jalanan.

Di Yogyakarta sendiri sudah banyak terdapat penari Jathilan jalanan. Mereka biasanya menari di perempatan Janti, Giwangan, Gejayan, dan Maguoharjo. “Pernah kami selama satu hari tidak mendapatkan penghasilan sama sekali, karena sudah keduluan penari lain. Ya sudah, karena di setiap perempatan sudah ada penarinya semua, akhirnya kami pulang tanpa hasil apa-apa,” kata Sukir seraya merubah posisi duduknya. Pahit manisnya menjalani pekerjaan ini menjadi warna kehidupan tersendiri bagi Sukir, Budi dan Widi. Walaupun pendapatannya tidak seberapa, namun mereka tetap menjalankan pekerjaan ini dengan senyuman. “Buat kami rejeki sudah ada yang ngatur, jadi kerjaan apa saja juga sama saja bagi kami, semua ada baik dan buruknya. Termasuk menari Jathilan, dinikmatin saja, karena menari adalah hidup bagi kami,” Widi menambahkan. Dan pagi ini, mereka sudah mulai bersiap-siap dan merias wajah sejak jam enam pagi. Mereka harus cepat-cepat berangkat karena harus berebut tempat dengan kelompok penari Jathilan lainnya. Sekitar jam tujuh pagi mereka telah selesai berdandan dan berangkat menuju perempatan Janti dengan bis kota. Selama delapan jam berikutnya, mereka akan menari Jathilan di perempatan padat kendaraan itu.

PASTI edisi 33

55


&

Kilas Sejarah

Pak Ollot Penyerbuan Kotabaru

Di Kotabaru, rakyat dan tentara pernah bersatu untuk mengusir penjajahan.

CERITA OLEH IMMANUEL GIRAS PASOPATI FOTO OLEH HENRY ADRIAN

OLLOT SAJIMAN NAMANYA, ORANG-ORANG BIASA MEMANGGILNYA pak Ollot. Wajahnya telah dipenuhi kerutan tanda pergantian zaman. Giginya sudah tidak sekomplit dulu. Ketika saya temui di rumahnya yang asri di daerah Gondokusuman, ia tengah tertidur setelah membaca buku berjudul Sejarah Sumatra karya William Marsden. Meski umurnya sudah 81 tahun, pak Ollot tetap bersemangat ketika menceritakan sejarah penyerbuan Kotabaru. Semangat yang sama seperti ketika ia bertempur mengusir penjajah dari republik ini. Semua itu berawal pada Januari 1945 ketika ia masuk sekolah Kepolisian di Sukabumi. Setelah lulus, ia ditempatkan di Sleman dan dua bulan kemudian dikirim untuk pendidikan di Jakarta. Di kota itu, ia ditempatkan di Tokomuko Sakotai, yang kemudian berubah istilah menjadi Polisi Istimewa. Istilah Polisi Istimewa saat ini telah berganti menjadi Brigade Mobile atau Brimob. “Waktu proklamasi itu saya sedang berada di Jakarta, dan anda tahu bahwa proklamasi Jakarta diduduki pasukan sekutu. Waktu Perang Kemerdekaan ke I saya menjaga keamanan ibukota, di satuan Polisi Istimewa (PI) yang menjadi cikal bakal Brimob atau Brigade Mobile,” ujarnya dengan lantang. Dengan mata yang berbinar dan seakan menerawang ke masa lalu, pak Ollot menceritakan bagaimana rakyat Indonesia dengan sekuat tenaga melawan penjajahan. Ingatannya menerawang peristiwa penyerbuan markas tentara Jepang di Kotabaru. Ia pun menggambarkan kenangan penyerbuan Kotabaru yang melibatkan kekuatan pemuda, rakyat, dan tentara Indonesia itu. “Waktu itu sebelum penyerbuan ada pendahuluan, yaitu untuk mengibarkan bendera merah putih dan menurunkan bendera Hinomaru atau bendera Jepang di kantor gubernuran. Kan itu merupakan lambang kekuasaan, kalau benderanya ganti merah putih kan penguasa di situ juga merah putih,” jelas kakek dari tiga belas cucu ini bersemangat. Pada tanggal 6 Oktober 1945, Moh. Saleh (Ketua KNID), Sunjoyo, R.P. Soedarsono, Umar Djoy, Sukardi dan beberapa tokoh lain berunding dengan Butaicho Mayor Otzuka dan beberapa petinggi Jepang di Kotabaru. Saat itu, markas Jepang di Kotabaru disinyalir menjadi gudang senjata Jepang. Pada sore itu juga, Umar Slamet yang merupakan ketua BKR mendatangi Mantri Pangreh Praja Danurejan dan mengatakan bahwa ia akan melucuti senjata tentara Jepang di

Kotabaru. Ia mengatakan akan mengadakan perundingan dengan cara baik-baik terlebih dahulu. Namun kalau tidak berhasil, ia akan bertindak dengan kekerasan. Mantri Pangreh adalah istilah Pamong Praja di dalam sistem pemerintahan Keraton Yogyakarta. Kedudukannya berada di bawah Mantri Mangku Hadiningrat. Umar Slamet juga meminta supaya rakyat dikerahkan sebanyak mungkin. Kemudian Mantri Mangku Hadiningrat menghubungi Mantri Pangreh Praja lainnya dan mengusahakan angkutan untuk mengerahkan rakyat dan mengepung markas tentara Jepang di Kotabaru. Para Mantri Pangreh Praja itu mengerahkan rakyat lewat para ketua Rukun Kampung. Setelah rakyat terkumpul, mereka kemudian diangkut dengan truk dari perusahaan Jepang yang sudah dikuasai bangsa Indonesia. Sementara itu, Harjono Prakosa, Kepala Seksi Senjata Berat PI, mendengar letusan granat sekitar jam delapan malam. Letusan itu dipahaminya sebagai tanda bahwa perundingan telah gagal. Maka ia pun mempersiapkan anak buahnya dan menempatkannya sekitar dua ratus meter di sebelah selatan markas tentara Jepang. Sementara itu, Seksi Senjata Ringan yang dipimpin oleh Oni Sastroatmojo mengambil posisi di sebelah timur. Sedangkan Pak Ollot sendiri yang kala itu menjadi Polisi Istimewa di Sleman berkumpul bersama pasukannya dan menempati sisi utara. Pak Ollot mengatakan waktu itu Jepang mengitari markasnya dengan pagar berduri yang dialiri listrik bertegangan tinggi. Pemuda-pemuda dari luar kota Yogyakarta juga ikut serta mengadakan pengepungan markas tentara Jepang di Kotabaru tersebut. Salah satunya adalah Slamet Raharjo, mantan Bundantyoo Daidan Pingit yang tinggal di Sentolo, Wates. Ia mendengar berita bahwa para pemuda di kota sudah bersiap akan menyerbu dan melucuti tentara Jepang di Kotabaru. Sesaat kemudian ia pun mengumpulkan kawan-kawannya dan lantas pergi ke Kotabaru. “Pemuda-pemuda yang berani itu semuanya campuran mantan dari keibodan, seinendan, heiho, PETA. Namun karena belum dikoordinasi dengan baik, serangannya jadi terkesan mana suka, tanpa koordinasi,” ujarnya panjang lebar disertai tawa dan kekeh yang khas. Bersenjatakan bambu runcing dan senjata ala kadarnya, mereka ikut mengepung markas tentara Jepang di Kotabaru. Pak Ollot mengatakan bahwa pemuda-pemuda itu ikut mengepung tanpa adanya koordinasi dan komando. “Pemuda itu cuma pake senjata seadanya, dan bambu runcing itu sebenarnya Jepang yang membuat, namanya takehari. Saat itu Jepang bermaksud mengajari pemuda Indonesia untuk melawan sekutu. Jadi sebenarnya itu senjata makan tuannya Jepang,” ujar pak Ollot serya kembali terkekeh. Menurut pak Ollot, saat itu generasi muda memang sangat aktif dalam bergerilya walaupun tidak memiliki persenjataan dan keahlian yang cukup. Gerakan pemuda saat itu tidak terkoordinasi dengan baik. Meski begitu, menurut pak Ollot gerakan pemuda

ini cukup membuat para penjajah terkejut. Dalam situasi terisolasi dan terkepung, pemimpin militer Jepang di Kotabaru didesak untuk menyerahkan senjata yang ada di markas secara sukarela melaui jalur perundingan. Dalam perundingan itu, R.P. Sudarsono meminta Mayor Otsuka untuk menyerahkan senjata yang ada di markasnya kepada rakyat. Namun Otsuka tidak menjawab dengan tegas dan perundingan pun mengalami jalan buntu. Sudarsono dan kawan-kawannya yang merasa terhina lantas keluar. Diluar markas Jepang, Polisi Istimewa, BKR, dan rakyat sudah mengepung dan siap bertempur dengan persenjataan seadanya. Saat itu kekuatan Jepang diperkirakan mencapai 360 tentara yang terlatih dan bersenjata lengkap. Esoknya, tanggal 7 Oktober 1945 sekitar jam empat pagi, terdengar letusan granat yang diyakini sebagai tanda bahwa aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan. Pasukan yang sudah disiagakan sejak sore itu pun lantas menyerbu markas Jepang. Pihak Jepang memberi perlawanan balik dengan memuntahkan peluru mitraliyur (senjata otomatis) ke arah barisan rakyat dan aparat Indonesia. Pasukan gabungan rakyat dan tentara Indonesia terus memberi perlawanan dan mendesak masuk ke dalam markas Jepang sehingga terjadi pertempuran satu lawan satu dari jarak dekat yang berlangsung sampai siang hari. Meski telah mengalami perlawanan sengit, pihak Jepang belum juga mau menyerah. Akhirnya, Moh. Saleh dan R.P. Sudarsono masuk menemui Mayor Otsuka sekali lagi untuk menanyakan pendiriannya. Setelah didesak pihak Jepang akhirnya bersedia menyerah. Sekitar jam setengah sebelas siang Mayor Otsuka menyerah dan memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan pertempuran. Sekitar 360 orang tentara Jepang kemudian ditangkap dan dimasukkan ke penjara Wirogunan. Setelah tembakan berhenti, rakyat menyerbu masuk ke gudang senjata dan mengambil senjata sesuka hatinya. Namun, karena tidak adanya koordinasi dalam hal pengumpulan senjata rampasan, banyak senjata rampasan yang akhirnya tidak diserahkan pada aparat, namun disimpan sendiri oleh rakyat. Saat ini, di usianya yang telah tua pak Ollot masih tetap tampak sehat. Sesekali ia masih bermain tenis. Penggemar buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer ini masih memegang jabatan yang cukup banyak. Ia antara lain menjadi Wakil Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia), Wakil Ketua PP Polri (Persatuan Purnawirawan Polisi Republik Indonesia), dan juga menjabat sebagai Koordinator Paguyuban Weirkrheis III Yogyakarta (Paguyuban Wilayah Perang III Yogyakarta). Dalam akhir pertemuan saya dengan pak Ollot sore itu, ia menyampaikan harapannya bagi generasi muda Indonesia. Ia berharap semoga generasi muda dapat mempertahankan dan mengisi kemerdekaan negara ini dengan baik. Semoga. PASTI edisi 33

57


Jalan-jalan

“Lékkèr Jé artinya Leker Jogja,” jelas Priambodo ketika ditanya maksud nama Lékkèr Jé. Leker adalah makanan tradisional, menyerupai crepes, terbuat dari adonan tepung dan telur yang digoreng, ditaburi isian seperti pisang, keju atau cokelat, dan lalu dilipat. “Dahulu menu utama Lékkèr Jé adalah kue leker. Tapi karena sulit laku, kue leker akhirnya ditinggalkan,” lanjutnya. Priambodo belajar membuat kue leker dari pedagang kue leker keliling yang ia sewa untuk melatihnya.

“Sebenarnya saya bikin ini semua ngaco saja lho.”

KAFE RETRO YANG LAHIR

TANPA KONSEP

CERITA OLEH GREGORIUS HERMAN PRANADITA FOTO OLEH HENRY ADRIAN

LANTUNAN SUARA PAUL MCCARTNEY MENYAMBUT saya ketika melangkah masuk ke dalam ruangan kecil dengan tembok berwarna merah darah itu. Aroma asing seperti bau rempah menguar lembut. Layar televisi di pojok ruangan menayangkan gambar orang-orang bule yang sedang asyik berselancar. Tak terlihat ada seorang pun di ruangan itu selain saya. Tak berselang lama, datanglah seorang pria paruh baya dari balik meja kasir. Rambutnya yang ikal dan gondrong sebahu sudah kelihatan memutih. “Selamat sore,” sambutnya ramah. Pria itu bernama Joko Priambodo, pemilik kafe Lékkèr Jé. Dengan kaos oblong, celana pendek jins, dan topi berburu yang sudah butut, Joko duduk mengobrol bersama saya di meja yang terletak di salah satu sudut kafe. Retro, lawas, atau kuno, mungkin adalah pikiran yang muncul dalam benak seseorang ketika memasuki kafe ini untuk pertama kalinya. Interior dan eksterior di kafe ini amat unik. Di muka kafe, sebuah mobil jeep dan motor tua dipajang. Sedangkan di dalam kafe, koleksi ratusan keping piringan hitam yang terawat dan siap disetel tampak tertumpuk rapi. Puluhan buku juga tampak ditumpuk di beberapa meja dan sudut ruangan. Dinding dalam kafe ini penuh dengan berbagai hiasan, mulai dari beraneka macam jam, poster, hingga kepala rusa yang diawetkan. Cahaya lampu temaram yang 58

PASTI edisi 33

menerangi kafe menambah kesan masa lampau ke kafe ini. “Sebenarnya saya bikin ini semua ngaco saja lho,” kata Priambodo sambil terkekeh ketika ditanyai tentang puluhan jam dinding yang tertempel di dinding kafe. Jam dinding dengan bentuk yang sangat tidak lazim dipasang bersandingan dengan foto-foto lusuh, posterposter penyanyi dan musisi, senjata api klasik, dan platplat yang tidak familiar di mata. Jam ini dibuat dari berbagai macam bahan, mulai dari teko, wajan, pipa PVC, bahkan celana jins yang sudah belel. “Semua jam yang ada di sini adalah sisa hasil karya yang belum terjual,” lanjut pria kelahiran Bandung yang sempat menjadi seniman jam di Pasar Seni Ancol, Jakarta ini. Tanpa konsep dan bahkan tanpa rencana apapun Joko menata interior Lékkèr Jé hingga menjadi terkesan kuno. “Barang-barang yang ada di sini kebanyakan berasal dari kamar saya di Boston dulu, termasuk semua koleksi piringan hitam,” katanya. Meski begitu, ternyata hasil karya pria lulusan Boston University jurusan teknik elektro ini melahirkan suasana yang tak disangka sebelumnya, retro. Suasana ini pulalah yang menjadikan Lékkèr Jé beberapa kali digunakan sebagai lokasi syuting video klip, foto prewedding, konser kecil-kecilan, hingga dianalisis desain interiornya oleh mahasiswa jurusan arsitektur.

Saat ini, menu yang ditawarkan oleh Lékkèr Jé adalah makanan dan minuman instan yang sederhana dan diberi nilai tambah. Makanan dan minuman instan yang dapat dengan mudah diperoleh di toko-toko ini kemudian diolah Priambodo menjadi berbagai makanan dan minuman yang tidak dapat ditemui di kafe-kafe lain. “Saya memilih untuk mengolah makanan dan minuman instan agar kalau tidak laku ruginya tidak terlalu banyak,” ujar Priambodo seraya tertawa. Priambodo sebenarnya tidak menyangka bahwa ruang garasi yang diwariskan oleh ibunya dapat disulapnya menjadi sebuah kafe, apalagi kemudian dikenal dengan nuansa lawasnya. “Lucu rasanya jika melihat Lékkèr Jé lalu mengingat-ingat perkataan teman-teman di Amerika dulu yang menyuruh saya untuk membuka usaha pub. Waktu itu kamar kos saya selalu didatangi teman-teman untuk berpesta karena katanya saya pintar membangun suasana,” jelasnya. Di samping suasana retro yang menarik hati,

Lékkèr Jé juga menyediakan fasilitas-fasilitas yang membuat pengunjung dapat menikmati waktu dengan nyaman disana. Fasilitas internet wide-fidelity, siaran melalui layanan TV kabel, koleksi buku yang dapat dibaca bebas, jalur khusus bagi para difabel, dan lagulagu lawas yang bebas diputar bakal membuat siapapun nyaman berada di sini. Kafe dan tempat nongkrong di Yogyakarta memang tumbuh seperti cendawan dalam beberapa tahun terakhir. Banyak faktor yang menyebabkan bisnis ini menjadi begitu menggiurkan. Kemunculan berbagai komunitas dan klub-klub minat yang sering berkopi darat serta populasi anak muda yang tinggi merupakan pangsa pasar yang baik bagi bisnis ini. Dapat dimengerti apabila kemudian muncul begitu banyak kafe yang menawarkan fasilitas dan suasana yang berbeda untuk menarik hati para pelanggannya. Lékkèr Jé tampil sebagai salah satu kafe yang menawarkan suasana baru di tengah persaingan yang ketat di dalam bisnis kafe. Suasana lawas yang digabungkan dengan fasilitas hiburan yang relatif lengkap ini menjadi alat promosi utama Lékkèr Jé. Menu yang ditawarkan oleh kafe-kafe dan tempat nongkrong memang tidak selalu istimewa. Hingga ketika makanan disajikan di atas meja, kadang muncul celetukan, “kita cuma membeli suasana.” Penulis-penulis, komunitas fotografi, band-band independen, sineas, hingga pecinta Pink Floyd dan Led Zeppelin yang sering jajan, berkumpul, hingga akhirnya menjadi langganan tetap Lékkèr Jé mungkin memang terpikat dengan suasana retro ala Lékkèr Jé. Dan itu menjadi bukti bahwa sebenarnya suasanalah yang memiliki andil terbesar dalam membuat suatu kafe dikenal.


Jalan-jalan

Ruang Seni Seberang Beringharjo CERITA OLEH ADITYA MARDIASTUTI & HENRY ADRIAN FOTO OLEH HENRY ADRIAN

MINGGU MALAM ITU TAK BERBEDA DARI MALAM-MALAM sebelumnya. Ramai dan penuh sesak pejalan kaki, begitulah Malioboro malam itu. Namun, keramaian ini segera berganti dengan kecemasan ketika api mulai melalap sebuah toko yang terletak di depan pasar Beringharjo, Yogyakarta. Puluhan pedagang kaki lima yang berada di dekat toko tersebut pontang-panting menyelamatkan barang dagangannya. Dalam kekacauan tersebut, beberapa orang justru menjarah barangbarang dagangan milik para pedagang kaki lima. Kebakaran itu terjadi di toko Mirota Batik. Sekitar jam sembilan malam, api mulai tampak dari lantai dua toko tersebut. Setelah bergulat sekitar tiga jam, sebelas mobil pemadam kebakaran akhirnya berhasil memadamkan amarah si jago merah. Pemandangan yang tampak setelah itu cukup mengenaskan. Toko Mirota Batik yang beberapa jam lalu masih berdiri kokoh sekarang telah musnah. Peristiwa kebakaran tersebut terjadi pada tanggal 2 Mei 2004. Setahun kemudian, setelah melewati berbagai perjuangan, akhirnya toko Mirota Batik dapat berdiri lagi hingga saat ini. Mirota Batik adalah sebuah toko barang kerajinan yang terletak di sudut selatan Malioboro. Selain menjual berbagai barang kerajinan yang menarik dan tak jarang juga eksentrik, toko ini juga menawarkan suasana layaknya sebuah galeri seni. Dua buah kereta kuda tampak dipajang di muka toko ini. Di dekat kereta kuda ini terdapat sebuah papan kecil bertuliskan, “kereta ini hanya boleh dinaiki pada hari selasa.� Dibawahnya, terdapat semacam sesaji berupa bunga-bungaan. Entah apa maksud dari hal tersebut, namun pemandangan ini menambah kesan kejawen yang banyak ditampilkan Mirota Batik di dalam tokonya. Di pinggir pintu masuk, berdiri seorang nenek

dengan rambut disanggul dan berpakaian adat Jawa. Ia memberikan senyum ramah dan menyapa setiap pengunjung yang hendak masuk ke Mirota Batik. Sesaat setelah saya menginjakkan kaki pada pintu masuk toko, aroma dupa langsung hinggap di hidung. Sebuah tulisan yang cukup nyleneh (aneh) yang terdapat di sebelah dalam pintu masuk juga tampak di depan mata saya. Tulisannya, “copet dilarang masuk, enak ya jadi copet bisa ngambil barang orang.� Toko empat lantai milik Hamzah Hendro Sutikno ini pertama kali dibuka sekitar tahun 1980. Berbagai jenis kerajinan dijual disini, mulai dari batik, patung, lukisan, berbagai jenis cindera mata, makanan dan minuman tradisional, hingga poster reproduksi dari berbagai iklan tempo dulu. Ketika sedang melihat-lihat rak minuman tradisional, mata saya tertuju pada sebuah jamu yang memiliki nama unik, Jagamuk, atau jamu untuk obat gemuk. Di dekat deretan rak jamu ini, seorang ibu tua dengan pakaian jawa tampak sedang membatik. Meski suasana sekitarnya ramai, ia tampaknya tidak terganggu dan terus menorehkan cantingnya di atas kain dengan tenang. Di sebelah tangga yang menuju lantai dua, terdapat beberapa barang antik yang dipajang. Mulai dari sepeda onthel hingga sebuah Baby Grand Piano yang hanya boleh dimainkan pada hari Rabu. Dalam hati saya tersenyum, toko ini sepertinya begitu terobsesi pada hari-hari tertentu. Beranekaragamnya barang yang ditawarkan oleh Mirota Batik ini didasarkan pada konsep One Stop Shopping. Konsep ini juga didukung oleh kreatifitas display yang mengatur dan menata letak barang-barang kesenian yang dijual di Mirota Batik. Display ini dapat berubah sewaktu-waktu. Tujuannya cukup sederhana, yaitu menampilkan suasana baru supaya pengunjung tidak merasa jenuh. PASTI edisi 33

61


Sebagian besar barang kerajinan yang dijual di Mirota Batik berasal dari para pengrajin dari Yogyakarta dan Bali. Sedangkan barang kerajinan lainnya diperoleh dari pengrajin-pengrajin di Solo, Semarang, Pekalongan dan beberapa daerah di Jawa Barat. Meski dipasok dari berbagai daerah, beberapa barang kerajinan tersebut sekilas memiliki kesamaan bentuk. Namun jika dilihat lebih cermat, masing-masing barang kerajinan tersebut memiliki karakteristik daerahnya masing-masing, entah dari segi warna, corak, dan sebagainya. Barang kerajinan yang hendak dijual di Mirota Batik harus melalui proses seleksi terlebih dahulu. Selain harus memiliki nilai seni dan menarik, barang tersebut juga harus mempunyai nilai jual dengan harga yang kompetitif. Abdul Kholiq, salah satu pengrajin yang memasok barang kerajinannya di Mirota Batik mengatakan, ia menitipkan barang kerajinannya disini karena yakin dengan kinerja Mirota Batik. Ia merasa nyaman dengan sistem kerja sama yang ditawarkan Mirota Batik. Selain karena sistem pembayaran yang transparan, pengambilan uang hasil penjualan barangnya pun tidak membutuhkan waktu lama. Pria asal Pekalongan ini mengatakan bahwa kerjasamanya dengan Mirota Batik sudah berlangsung selama hampir setahun. Beberapa kali barangnya ditolak 62

PASTI edisi 33

oleh Mirota Batik setelah gagal dalam seleksi kualitas. Meski begitu, bukannya putus asa, ia justru semakin terpacu untuk meningkatkan kualitas barangnya. Mirota Batik tidak mematok berapa jumlah barang kerajinan yang harus dikirim ke toko ini setiap bulannya. Alasannya, tidak semua pengrajin dapat memenuhi hal ini. Sehingga daripada pengrajin terbebani oleh jumlah pesanan, Mirota Batik memberikan kebebasan kepada pengrajin untuk mengirimkan barang kerajinan sesuai kemampuan produksinya. Selain menyediakan berbagai jenis barang kerajinan, Mirota Batik juga memiliki sebuah kafe bernama Oyot Godhong. Kafe yang terletak di lantai paling atas toko ini tidak tertutup atap sepenuhnya. Pengunjung dapat menikmati langit kota Yogyakarta sembari melepas lelah dan menikmati berbagai menu yang ditawarkan di tempat ini. Selain terdiri dari beberapa meja dan kursi seperti kafe pada umumnya, Oyot Godhong juga memiliki beberapa rumah panggung yang digunakan sebagai pengganti ruangan. Di kafe ini, kelompok tari Mirota Batik yang bernama Grup Malem Seton juga sering tampil dalam hari-hari tertentu. Grup ini sendiri terdiri dari karyawan-karyawan Mirota Batik.

PASTI edisi 33

63


Jalan-jalan

Pesona Gunung Api Purba CERITA OLEH HENRY ADRIAN FOTO OLEH HENRY ADRIAN & BENEDICTUS YANUARTO

TUJUH KELUARGA ITU HIDUP BERDAMPINGAN DI SEKITAR PUNCAK GUNUNG. MEREKA telah tinggal disana secara turun-temurun. Tak jelas sejak kapan tradisi ini bermula, namun yang jelas, tempat itu hanya boleh dihuni oleh tujuh keluarga. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Hal ini sesuai dengan pesan dari sesepuh mereka, Eyang Iro Dikromo. Ia mengatakan, lokasi yang saat ini dikenal dengan nama Tlogo Mardidho ini hanya boleh dihuni oleh Mpu Pitu, atau kelompok tujuh. Saat ini, Mpu Pitu direpresentasikan oleh tujuh keluarga yang tinggal disana. Gunung tempat tujuh keluarga tersebut tinggal bernama Nglanggeran. Mereka tinggal di ujung timur gunung Nglanggeran. Selain cerita tentang tujuh keluarga tersebut, tempat ini masih memiliki beragam cerita lainnya. Mulai dari pesona alamnya, hingga legenda-legenda yang melingkupinya. Gunung Nglanggeran terletak di desa Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul, DIY. Jarak gunung ini dari kota Yogyakarta kurang lebih 20 kilometer. Waktu tempuhnya dari pusat kota sekitar 45 menit. Mencapai lokasi ini bukanlah perkara yang sulit. Jika anda menempuh perjalanan dari kota Yogyakarta melalui jalan Wonosari, anda tinggal berbelok ke kiri setelah mencapai Polsek Patuk. Setelah itu, anda harus menempuh perjalanan sekitar tujuh kilometer. Ketika telah sampai di Puskesmas Tawang, anda tinggal berbelok ke kanan dan sampai. Panas dan kering, begitulah Gunung Kidul seringkali dicitrakan oleh beberapa orang. Sebagian wilayah di Gunung Kidul sering dilanda kekeringan karena berada di kawasan karst. Kawasan karst seluas 13.000 kilometer persegi ini dikenal dengan nama Pegunungan Sewu. Bentangannya meliputi tiga wilayah yang berbeda, yaitu Gunung Kidul, Wonogiri, dan Pacitan. Dalam bahasa Indonesia, Pegunungan Sewu memiliki arti


pegunungan seribu. Mungkin hal ini merujuk pada sekitar 40 ribu perbukitan karst yang menyusun kawasan ini. Citra Gunung Kidul sebagai daerah yang sering membuat badan gerah itu tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Beberapa wilayah di daerah ini juga memiliki hawa yang menyejukan dan menyegarkan. Hal inilah yang saya rasakan saat berkendara mendekati gunung Nglanggeran. Hawa sejuk menemani saya melewati jalanan berliku yang mengarah ke lokasi tersebut. Suasana pedesaan Jawa dengan aromanya yang khas memberi rasa ketenangan pada saya setelah sepekan lebih terpapar polusi di kota. Secara litologi, atau sifat dan ciri bebatuan, gunung Nglanggeran merupakan gunung api purba yang tersusun dari bebatuan vulkanik tua. Berdasarkan suatu penelitan, diketahui bahwa gunung ini pernah aktif sekitar 60 juta tahun yang lalu. Di daerah sekitar gunung ini, tampak bebatuan-bebatuan besar yang tersebar di berbagai tempat, mulai di sawah hingga pekarangan rumah penduduk. Saya tidak tahu apakah bebatuan tersebut merupakan sisa-sisa muntahan gunung ini pada masa lampau. Gunung Nglanggeran terdiri dari beberapa buah gunung yang dinamai dengan nama-nama dalam dunia pewayangan. Nama gunung-gunung ini antara lain adalah gunung Blencong, gunung Bongos, gunung Buchu, gunung Kelir, dan gunung Gedhe. Menurut legenda yang ada di masyarakat sekitar, penamaan ini dipilih karena gunung ini dijaga oleh tokoh-tokoh dalam cerita pewayangan, yaitu Kyai Ongkowijoyo dan para Punakawan, yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Selain itu, gunung Nglanggeran juga dipercaya memiliki sebuah telaga bernama Tlogo Wungu. Namun telaga ini hanya dapat dilihat oleh orang yang memiliki hati bersih. Beranekaragamnya legenda yang melingkupi gunung api purba ini menarik beberapa orang untuk bertapa di gunung tersebut pada hari-hari tertentu. Sekitar jam tiga sore, saya akhirnya tiba di pintu pendakian gunung ini. Beberapa pemuda Karang Taruna dari desa Nglanggeran yang ada disana menyambut kedatangan kami dengan sapaan ramah. Setelah bercakap sejenak dengan mereka, saya pun memulai pendakian bersama beberapa teman. Jalur pendakian di gunung ini sebenarnya tidak terlalu berat. Terlebih, tiap berjalan beberapa puluh meter, gunung ini selalu menyediakan tempat untuk melihat hamparan pemandangan alam yang indah. Sehingga perjalanan menuju puncak yang biasa ditempuh selama satu jam menjadi tidak terasa. Hamparan sawah pedesaan dan deretan perbukitan terlihat mengesankan dilihat dari ketinggian. Angin semilir yang menerpa wajah dan cuaca yang tidak begitu panas turut menambah kesan sejuk disana. Tak heran, beberapa orang sering camping di tempat ini. Saya pun berencana akan camping disana suatu saat nanti. Menikmati sunset dan sunrise disana sembari minum kopi rasanya akan menyenangkan. Gunung Nglanggeran tidak hanya memiliki 66

PASTI edisi 33

pemandangan alam yang indah. Di tempat ini terdapat berbagai flora dan fauna yang beraneka ragam, diantaranya bahkan termasuk kategori langka. Cendana liar, pohon pakis, monyet, hingga elang gunung adalah beberapa flora dan fauna yang hidup di gunung ini. Bahkan, beberapa hari sebelum saya tiba disana, penduduk Nglanggeran sempat menyelamatkan dua ekor anak macan cecep yang ditemukan di gunung ini. Dua ekor anak macan dari jenis yang terancam punah itu semula akan dijual oleh penemunya, namun penduduk berhasil mencegahnya. Sayang, setelah lima hari dirawat penduduk, kedua anak macan tersebut lantas mati. Salah satu hal yang mengesankan dalam pendakian ini adalah ketika saya harus melalui sebuah celah sempit yang diapit oleh dua bukit batu setinggi puluhan meter. Nama celah itu adalah Lorong Sumpitan. Panjangnya sekitar 30 meter, dengan lebar tak lebih dari satu meter. Lorong itu terasa dingin dan gelap. Akhirnya, setelah mendaki sekitar satu setengah jam, saya berhasil mencapai puncak tertinggi di gunung tersebut, yaitu puncak gunung Gedhe. Angin bertiup cukup kencang waktu itu. Di puncak ini, saya bisa melihat beberapa gunung lain yang menyusun gunung Nglanggeran. Meski gunung-gunung itu tersusun dari bebatuan, namun saya tidak menangkap kesan gersang disana. Hal ini disebabkan karena berbagai tumbuhan dan rumput liar yang hijau menyelimuti gunung-gunung tersebut. Sehingga bukannya gersang, saya justru merasakan kesejukan. Setelah menikmati pemandangan dan beristirahat sejenak, kami akhirnya terpaksa turun karena kabut sudah mulai menyelimuti puncak.


Jalan-jalan

Gua Maria Lawangsih CERITA & FOTO OLEH HENRY ADRIAN

SIANG ITU BERNADETTE SOUBIROUS MENYEBERANGI SUNGAI GAVE DENGAN RAGU. Air sungai terasa begitu dingin di kakinya. Sesampainya di seberang, Bernadette segera melangkah untuk menyusul adiknya, Marie Toinette, dan temannya, Jeanne Abadie yang telah lebih dahulu menyeberang. Setelah berjalan beberapa langkah, ia lantas berhenti untuk mengenakan sepatunya di depan gua Massabielle. Sesaat kemudian ia pun segera tertegun. Dari arah gua Massabielle angin berhembus kencang. Setelah itu, seberkas cahaya bersinar berkilauan dari dalam gua itu. Di tengah cahaya tersebut, muncullah sosok perempuan muda yang cantik. Ia berdiri di atas rangkaian bunga mawar kuning emas. Kedua tangannya saling mengatup di depan dada. Perempuan itu mengenakan pakaian putih terang, ikat pinggangnya berwarna biru langit, dan kerudungnya terurai panjang hingga hampir mencapai mata kakinya. Rosario yang digantungkan di lengannya tampak berkilauan. Perempuan itu tersenyum padanya. Sesaat kemudian, Bernadette pun segera mengeluarkan rosario yang selalu dibawanya. Ia lantas berlutut dan mulai berdoa rosario. Kisah penampakan Bunda Maria di atas terjadi pada 11 Februari 1858. Peristiwa ini terjadi di gua Massabielle yang terletak di kota Lourdes, Perancis Selatan. Pada awalnya, pengalaman Bernadette ini tidak diakui oleh gereja Katolik dan dipertentangkan oleh banyak pihak. Meski begitu, empat tahun kemudian kisah ini diakui oleh gereja dan dibangunlah sebuah kapel di gua Massabielle. Penampakan Bunda Maria telah terjadi berulang kali di berbagai penjuru dunia. Meski begitu, cerita penampakan Bunda Maria di gua Massabielle merupakan salah satu cerita penampakan paling terkenal. Kisah ini lantas menginspirasi banyak komunitas Katolik di berbagai belahan dunia untuk membuat tempat-tempat ibadah dalam bentuk Gua Maria. Di Indonesia terdapat banyak sekali Gua Maria. Beberapa tempat ini dahulunya adalah gua alami, namun ada juga yang merupakan gua buatan. Pendirian Gua Maria di Indonesia dilatarbelakangi oleh berbagai sebab. Sebagian karena keinginan komunitas 68

PASTI edisi 33


Nama Lawangsih merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu lawang dan asih. Dalam bahasa Indonesia, lawang memiliki arti pintu atau gerbang. Sedangkan asih berarti kasih atau berkat. Secara rohani, kata Lawangsih merujuk pada peran Bunda Maria sebagai gerbang surga dan pintu berkat. Dalam keyakinan iman Katolik, Bunda Maria adalah perantara manusia kepada Yesus. Secara administratif, gua ini terletak di dusun Patihombo, desa Purwosari, Kulon Progo, DIY. Tanah tempat gua Lawa berada dulunya milik keluarga T. Supino, yang merupakan Ketua Stasi Santa Perawan

Terletak di perbukitan, Gua Maria Lawangsih menawarkan kesejukan dan juga ketenangan. Meski tempatnya tidak terlalu besar, bukan berarti gua ini menjadi tidak menarik. Gua Maria ini memiliki dua gua alami. Gua yang pertama berukuran cukup besar. Di dalamnya, terdapat sebuah patung Yesus dan juga salib yang tergantung di dinding gua. Di mulut gua, terdapat papan kecil berisi tulisan Panti Semedi. Pengunjung dapat berdoa di dalam gua ini dengan tenang. Meski kedalaman sesungguhnya dari gua ini belum terukur, pengunjung hanya dapat memasuki gua ini hingga kedalaman sekitar 30 meter. Sedangkan sisanya belum dapat dilalui karena masih tertutup oleh bebatuan-bebatuan besar. Hawa dingin akan langsung merambati tubuh ketika kita masuk ke dalam gua ini. Stalaktit dan stalagmit saling berpadu menghiasi gua ini dengan indah. Tak jarang, air akan menetes jatuh dari dinginnya stalaktit. Paduan cahaya lampu yang menyinari garis lekuk bebatuan gua turut memperindah pemandangan di dalam gua ini. Sedangkan gua yang kedua terletak di belakang patung Bunda Maria. Gua ini berukuran cukup kecil, seseorang harus merangkak jika ia ingin memasukinya. Dari dalam gua ini, mengalir sungai yang cukup jernih. Kemarau panjang tak membuat sungai ini mengering. Meski aliran airnya tidak besar, suara gemericik air yang timbul turut menambah suasana spiritual di tempat ini. Ditemani oleh cahaya lilin dan alunan suara air, patung Bunda Maria tampak tersenyum dan menyambut siapa saja yang hendak berdoa di hadapannya. Damai dan tenteram rasanya.

Secara rohani, kata Lawangsih merujuk pada peran Bunda Maria sebagai gerbang surga dan pintu berkat. Dalam keyakinan iman Katolik, Bunda Maria adalah perantara manusia kepada Yesus.

Katolik sendiri. Sedangkan yang lainnya disebabkan karena tempat tersebut memiliki nilai sejarah tertentu bagi umat Katolik, seperti Gua Maria Sendangsono. Gua Maria yang terletak di desa Banjaroyo, Kulonprogo, DIY ini adalah Gua Maria tertua di Indonesia. Pada 14 Desember 1904, tempat ini menjadi saksi pembaptisan 173 warga setempat oleh Romo Van Lith. Peristiwa ini merupakan pembaptisan pertama yang dilakukan di tanah Jawa. Berbeda dengan Gua Maria Sendangsono, Gua Maria Lawangsih tidak memiliki nilai sejarah tertentu bagi umat Katolik. Gua ini dibuat berdasarkan keinginan komunitas Katolik setempat yang ingin memiliki tempat berdoa di ruang terbuka. Keinginan tersebut lalu ditindaklanjuti oleh Romo Ignatius Slamet Riyanto, Pr, yang lantas meneliti kemungkinan menjadikan gua yang terletak di perbukitan Menoreh ini menjadi tempat ibadah. Ia adalah Romo Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Nanggulan. Gua Maria Lawangsih adalah gua alami yang pada awalnya bernama gua Lawa. Dalam bahasa Indonesia, gua Lawa berarti gua Kelelawar. Tidak jelas sejak kapan gua ini bernama gua Lawa. Namun yang jelas, sebelum dijadikan sebagai tempat ibadah, gua ini dulunya dihuni oleh banyak kelelawar. Penduduk setempat biasa mencari kotoran kelelawar di gua ini untuk kemudian dijadikan pupuk. Gua Lawa dahulunya dikelilingi oleh semak belukar. Lubang di pintu gua saat itu hanya sekitar satu meter. Meski begitu, sejak dibangun pada 2008, batubatuan dan tanah yang menutupi pintu gua mulai dibongkar. Sehingga pintu gua yang semula berukuran 70

PASTI edisi 33

kecil saat ini telah menjadi lebih besar. Pembangunan gua ini tidak menggunakan alat-alat berat. Umat Katolik dan penduduk di sekitar gua Lawa bekerja secara gotong royong untuk membangun tempat ini setiap hari. Akhirnya, setelah dibangun selama hampir setahun, pada tanggal 1 Oktober 2009 gua ini diresmikan oleh Rm. Ignatius Slamet Riyanto, Pr. Sejak itulah nama gua Lawa secara resmi berubah menjadi Gua Maria Lawangsih.

Maria Fatima Pelemdukuh. Pada bulan Juli 2008, tanah ini dihibahkankan oleh T. Supino ke gereja. Perjalanan menuju gua ini tidak terlalu sulit. Dari perempatan Kenteng, Nanggulan, Kulon Progo, anda tinggal berkendara ke arah barat sekitar sepuluh kilometer. Dari perempatan tersebut, anda tinggal mengikuti berbagai petunjuk jalan yang mengarah ke Gua Maria ini. Selain tidak membingungkan, perjalan menuju Gua Maria ini juga cukup meyegarkan. Anda akan disuguhi oleh pemandangan alami perbukitan dan juga lahan persawahan yang terhampar luas. Jika langit cukup cerah, anda juga akan melihat Gunung Merapi dan Merbabu yang tampak biru dilihat dari kejauhan.


Seputar Atma Jaya

Tinju

Hingga

KUBA CERITA OLEH DOMINIKUS WIRAWAN KUNCOROJATI FOTO OLEH HENRY ADRIAN

PETINJU ITU BERNAMA ALFONSIUS RISKY NURCAHYANTO, MAHASISWA FAKULTAS Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pria kelahiran 25 April 1989 ini adalah salah satu atlet tinju berprestasi andalan Provinsi DIY. Sejak duduk di bangku kelas empat SD, pria yang akrab disapa Rizky ini telah masuk Tugu Mataram Boxing Camp, sebuah sasana tinju di Yogyakarta. Di klub ini, hampir tiap hari Rizky berlatih. Awalnya, ia berlatih tinju dengan perasaan terpaksa. Saat itu, ia memang belum menyukai olahraga ini. Bergabungnya Rizky dengan Tugu Mataram Boxing Camp semata-mata disebabkan karena dorongan ayahnya. Meski pada awalnya tidak tertarik pada tinju, lambat laun Rizky mulai menyukai olahraga ini. Saat itu ia sudah duduk di kelas lima SD. Bayangan menjadi terkenal, berprestasi dan membanggakan orangtua menjadi motivasinya kala itu.


Pada tahun 2006 lalu, Risky berhasil meraih gelar juara pertama dalam Kejuaraan Nasional Tinju Amatir Junior di Palangkaraya. Pada tahun yang sama, pria yang waktu itu telah duduk di bangku SMA kelas satu ini juga berhasil menjadi juara pertama dalam Kejuaraan Daerah Tinju Amatir Yogyakarta Senior. Di tahun berikutnya, ia berhasil mempertahankan gelar juara ini. Puluhan pertandingan telah dilalui Rizky. Meski begitu, perasaan takut tetap selalu muncul dibenaknya kala pertandingan sedang berlangsung. Meski begitu, ketakutan ini tidak membuat Risky mundur. Ia justru menjadikan rasa takut tersebut sebagai kewaspadaan terhadap lawan. “Setiap kali bertanding pasti ada rasa takut, tapi bagaimana kita mengelola ketakutan itu untuk waspada terhadap lawan,” ujar pemilik tinggi 174 sentimeter ini. Setiap mengalami kekalahan, Risky tidak pernah terjebak dalam kekecewaan yang berlarut-larut. Ia justru menganggap kekalahan sebagai pelajaran yang bisa digunakan untuk membangun diri. “Aku menjadikan kekalahan sebagai bahan evaluasi,” ujar bungsu dari dua bersaudara ini. Rizky tak lantas menjadi tamak meski sembilan gelar juara tinju amatir pernah disabetnya. Mulai dari kejuaraan di tingkat daerah, nasional hingga internasional. Ia tetap berusaha menjaga performanya agar selalu bisa tampil lebih baik lagi. Pada penghujung tahun 2008 lalu, alumni SMA Kolese De Britto ini dikirim ke Kuba oleh tim Pelatnas Tinju Indonesia. Bersama lima atlet tinju muda lain dari Indonesia, ia dikirim kesana untuk mengembangkan teknik bertinjunya. Di negara yang menjadi kiblat tinju dunia ini, ia dilatih oleh pelatih tim nasional junior Kuba. Selama tiga bulan disana, Rizky berlatih dari senin hingga sabtu. Tiap harinya, ia harus menjalani latihan dalam tiga sesi, yaitu pagi, siang dan sore hari. Masing-masing dua jam tiap sesi. Pada latihan pagi hari, ia diajari berbagai teknik bertinju. Mulai dari cara menyerang, bertahan, hingga melangkahkan kakinya kala bertanding. Siangnya, ia melakukan sparing partner dengan atlet kuba dan pukul sansak. Sorenya, latihan fisik berupa lari dan angkat beban menjadi rutinitasnya. Meski kerap kewalahan, namun Risky merasakan kemajuan setelah berlatih disana. “Aku merasakan kemajuan terutama dalam hal fisik, selain itu aku juga merasa lebih percaya diri,” ungkapnya. Ketika akhir pekan tiba, rasa lelah akibat padatnya sesi latihan akhirnya dapat terlampiaskan. Pada hari minggu, sesi latihan ditiadakan. Ketika hari ini tiba, ia biasa mengisi waktunya dengan jalan-jalan ke pantai. Semua biaya yang dikeluarkan selama pelatihan di Kuba tersebut ditanggung oleh negara melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Menpora). Hal ini tentu tidak diraihnya dengan mudah. Sebelum memperoleh fasilitas ini, ia harus melalui proses seleksi berdasarkan prestasi. Prestasi ini tidak diukur dari gelar juara semata, namun juga dari teknik bertinju. 74

PASTI edisi 33

Salah satu pertimbangan prestasi tersebut adalah apakah seorang atlet nantinya dapat mengembangkan tekniknya atau tidak. Pertimbangan ini menjadi salah satu tolak ukur penting karena gelar juara yang diperoleh seorang atlet dalam sebuah pertandingan belum tentu disebabkan oleh kemampuan teknik yang baik. Tak jarang, gelar juara yang diraih disebabkan karena lucky draw. Lucky draw adalah kemenangan yang tidak terlepas dari faktor keberuntungan. Hal ini dapat terjadi ketika seorang atlet tidak bertemu dengan lawan yang seimbang saat babak awal kompetisi. Sebagai atlet tinju, Risky berusaha menjaga fisiknya agar selalu tetap kuat. Hal ini ia lakukan dengan latihan dua kali sehari. Pada jam lima pagi, ia biasa melakukan latihan fisik seperti lari sprint dan angkat beban. Sorenya, pada jam tiga, ia melatih tekniknya dengan pukul sansak atau sparing partner dengan temanteman sasananya. Sekali waktu, ia kadang juga keluar kota untuk sparing partner dengan atlet dari kota lain. Kota yang ia tuju untuk sparing partner biasanya adalah Semarang. Tiap satu atau dua bulan sekali, ia biasa berlatih di kota ini dengan pendampingan dari pelatihnya. Selain latihan, Risky juga selalu menjaga pola makannya, terlebih menjelang pertandingan. Hal ini bertujuan untuk menjaga berat badannya agar sesuai dengan kelasnya, yaitu 64 kg. Jika saat penimbangan ternyata beratnya 64,1 kg, ia sudah harus bertanding di kelas atasnya, istilahnya rugi berat badan. Dukungan yang diberikan kedua orangtuanya menjadi penyemangat dikala ia bertanding dan berlatih. Saat pertandingan, orangtuanya selalu datang untuk mendukungnya, terutama ayahnya. Risky mengaku kegiatannya sebagai atlet membuat kuliahnya terganggu. Konsentrasinya terpecah baik dalam pembagian waktu maupun pikiran antara dua hal tersebut. Ketika harus tinggal di mes untuk mempersiapkan kejuaraan, ia terpaksa tidak dapat mengikuti kegiatan perkuliahan. Setelah kejuaraan berakhir, sebisa mungkin ia akan mengejar ketertinggalannya dengan mencari bahan kuliah dari teman-temannya. Kedepannya, Risky mempunyai keinginan untuk memperkuat tim tinju Indonesia di Sea Games 2012. Sebuah hal yang tidak mudah tentunya mengingat ketatnya persaingan dalam proses seleksi. “Tentunya lebih berat soalnya setiap orang juga berlomba-lomba ingin berprestasi mewakili negara. Namun yang penting persiapan aja yang matang. Kalau persiapannya matang, otomatis kan akan percaya diri,” ucap Rizky bersemangat. Kita tunggu saja.


Resensi Buku

Memahami Akar Kekerasan Massa Judul Buku

James Nachtwey

Penulis Epilog Penerbit Tahun Tebal

TULISAN OLEH HENRY ADRIAN

: Memahami Negativitas, Diskursus tentang Massa, Terror, dan Trauma : F. Budi Hardiman : Dr. Karlina Supeli : Penerbit Buku Kompas : Oktober 2005 : xliv + 222 halaman

Manusia-manusia yang secara buta menempatkan diri di dalam kolektif sudah ...memadamkan diri mereka sebagai makhluk yang menentukan diri. (T.W. Adorno) MASSA, TERROR DAN TRAUMA ADALAH PENGALAMANpengalaman negatif yang selalu membayangi Indonesia. Pembantaian etnis Cina di Batavia pada tahun 1740, pembantaian 1965, kerusuhan Mei 1998, hingga pembantaian etnis Madura di Sampit pada tahun 2001. Peristiwa tersebut telah dilalui oleh negara ini. Namun, ancaman akan terjadinya hal serupa di masa mendatang semakin besar seiring dengan proses globalisasi pasar. Proses ini siap mengorbankan mereka yang tersingkir menjadi massa dalam pertentangan-pertentangan ekonomis, politis, ideologis ataupun agama. Massa tidak dipahami sebagai sekumpulan orang pada suatu tempat dan waktu semata. Namun massa dipahami sebagai aksi-aksi dari sekumpulan orang yang melampaui batas-batas institusional. Mereka dianggap sebagai massa ketika aksi-aksinya mengabaikan normanorma sosial yang berlaku dalam situasi sehari-hari. Massa dalam arti ini selalu berkaitan dengan situasi khusus, yaitu keadaan yang abnormal. Dalam buku ini, negativitas tidak dipahami sebagai sikap ataupun perilaku. Namun, negativitas dipahami sebagai sesuatu yang memungkinkan sikap atau perilaku itu muncul. Destruksi adalah ekspresi fenomenal dari negativitas, ia adalah fakta. Namun negativitas melampaui fakta, karena ia berada di ranah metafisis sebagai conditio humana atau kondisi manusia. Budi Hardiman mengawali buku ini dengan mendeskripsikan dimensi dari the other atau “yang lain” sebagai awal dari negativitas. Secara umum, terdapat tiga tipe penampakan dari “yang lain”, yaitu “yang ekstrem lain”, “yang kurang sama” dan “yang sama”. 76

PASTI edisi 33

Ketika kita berbicara tentang heterofobia, maka kita akan lebih banyak mengacu pada mereka “yang kurang sama”. “Yang lain” itu lebih merupakan konstruksi sosial. Identitas mereka “yang lain” tidak berciri personal, melainkan kolektif. Nantinya, “yang lain” di antara kita dapat berubah menjadi yang lain di hadapan kita. “Di hadapan” ini memperlihatkan suatu bentuk hubungan yang konfrontatif, yang dimungkinkan jika terjadi blokade dalam persentuhan sosial. Mereka yang takut akan melihat “yang lain” sebagai ancaman survival-nya. Hal ini merupakan strategi psikis dari ego yang mengalami defisit nilai-nilai dan menemukan penegasan diri dalam tindakan yang destruktif. Menurut Hermann Broch, “karena penyebabpenyebab panik tak dikenal, maka sebab-sebab itu harus ditemukan. Dan karena sumber bahaya hanya dapat dilokalisasi pada non-ego, tak ada yang lebih cocok untuk proyeksi ini selain pendatang asing yang sekarang dinyatakan sebagai parasit.” Ketika mereka “yang lain” diroyeksikan sebagai ancaman bagi survival-nya, ego seolah telah menemukan sumber ketakutan mereka. Lewat menyerang mereka “yang lain” tersebut, ego seolah telah mengatasi rasa takut mereka. Padahal, sistem ketakutan yang mendasari heterofobia tak lain adalah ketakutan akan diri sendiri, yaitu otofobia. “Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasan. Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan identitas,” ungkap Hannah Arendt. Baginya, akar-akar kekerasan terletak pada kerinduan manusia untuk

menemukan rasa kepastian dan identitas, atau dengan kata lain yaitu penegasan diri. Jika kekerasan adalah bentuk penegasan diri, maka terdapat sisi lain dari hal tersebut, yaitu kekaburan diri. Kekaburan diri adalah situasi negatif dari penegasan diri. Hal ini merupakan sebuah bentuk ketidakmampuan manusia untuk menegaskan dirinya. Para pelaku kekerasan sebenarnya adalah orang-orang yang mengalami kekaburan diri. Mereka lantas menegaskan diri dengan mengubah orang lain menjadi korban tindak kekerasan mereka. Peristiwa ini dimungkinkan dalam situasi massa, dimana mereka menegaskan diri sebagai subyek kolektif yang melawan objek kolektif lainnya. Objek kolektif ini lantas direpresentasikan seperti dalam diri etnis minoritas, sehingga politik massa tak lain daripada politik representasi. Peradaban telah membantu manusia untuk memandang rendah kekerasan. Namun di sisi lain, perdaban juga telah membantu meningkatkan pesona kekerasan. Hal ini dimungkinkan karena peradaban telah menemukan alat pertolongan yang membantu manusia untuk membunuh sesamanya tanpa rasa bersalah. Alat tersebut tak lain adalah cara-cara yang digunakan untuk mendehumanisasi manusia-manusia yang dibenci menjadi seperti binatang. Tumbuhnya kesadaran diri dalam diri manusia disertai dengan tumbuhnya kesadaran bahwa suatu ketika ia akan mati. Hal ini seringkali menghasilkan kecemasan akan kematian. Karena itu, manusia seringkali melakukan resistensi terhadap kesadaran ini. Massa dan teror pada esensinya bersumber dari kematian. Dalam terorisme, ketakutan akan kematian diperbesar. Sehingga, tujuan dari terorisme bukanlah mencipatakan kematian, namun menciptakan ketakutan akan kematian. Teror akan menghasilkan massa, karena teror menyeragamkan manusia dengan rasa takut. Dalam situasi teror, solidaritas negatif massa dapat tumbuh dan menghasilkan teror. Sehingga, bukan hanya teror yang menghasilkan massa, namun massa pun juga menghasilkan teror. Hal ini sebenarnya dapat diatasi jika manusia berani melihat manusia lainnya bukan sebagai teror yang mengancam survival mereka. Namun dalam politik massa dan teror, orang tak mau menempuh jalan ini. Dalam politik ini, orang tak mau berkomunikasi dengan “yang lain” melalui intersubyektifitas, yaitu proses pengenalan diri melalui pengenalan atas orang lain. Dalam buku ini, Budi Hardiman juga menjelaskan mengapa orang seperti Soeharto mampu mengendalikan puluhan juta orang pada masa Orde Baru. Menurutnya, hal ini tidak bersumber dari kekuasaan, namun dari kepatuhan. Ia menjelaskan hal ini dengan suatu tesis yang mengatakan bahwa manusia dapat meniru mesin. Mesin-mesin ini dikendalikan oleh suatu megamachine dalam bentuk rezim. Kesamaan manusia dengan mesin tidaklah natural, melainkan artifisial. Hal ini tampak ketika manusia melakukan suatu bentuk mimesis. Mimesis ini tidak hanya berarti

meniru suatu perilaku yang bukan dirinya, namun juga memiliki perasaan menjadi bukan dirinya. Mimesis ini menampakan dirinya dalam bentuk kepatuhan. Seperti mesin, tubuh yang patuh bergerak menurut skema-skema objek yang ditirunya, seperti perintah. Manusia dimungkinkan untuk patuh dan meniru mesin karena desakan suatu motif purba, yaitu survival. Nantinya, proses mimesis ini dapat dipercepat dengan pemberian punishment bagi mereka yang tidak patuh dan reward pada mereka yang patuh. Selain tubuh-tubuh yang patuh, ada hal lain yang juga mengungkap rahasia kepatuhan pada rezim otoriter seperti Orde Baru, yaitu eliminasi suara hati. Dalam diri manusia terdapat suatu bentuk instansi moral yang dapat menolak perintah yang tidak sesuai dengan nuraninya. Hal ini disebut suara hati. Namun, jika manusia dipasang dibawah suatu struktur otoritas, ia akan memiliki modus berpikir bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, karena ia hanya menjalankan perintah atasannya. Makin impersonal subjek yang memerintah itu, maka makin besar pula daya desak untuk tidak menggunakan hati nurani. Bagi tubuh-tubuh konformis tersebut, dusta pada akhirnya menjadi mode of being. Kepatuhan tanpa kejujuran tidaklah berarti, namun diantara para pendusta, cukuplah kepatuhan tersebut ditampakan, sehingga apa yang dikatakan seolah-olah juga dilakukan. Pelantunan kepatuhan ini tak lain daripada penjilatan. Para penjilat ini tak lain daripada para pengecut yang tunduk. Plato menggambarkan keadaan ini dengan sangat baik. Menurutnya, “yang paling parah diantara binatang-binatang buas adalah sang tiran, sedangkan diantara binatang-binatang jinak adalah si penjilat.” Trauma merupakan torehan dari peristiwa negatif dimasa silam. Dasar dari trauma adalah peristiwa, namun trauma itu sendiri bukanlah peristiwa. Ia adalah bekas yang membuat peristiwa seolah-oleh hadir kembali dengan melebih-lebihkan sisi gelapnya. Dalam mekanisme psikis, mengingat dan melupakan di dalam trauma merupakan bagian yang tak terpisahkan. Di satu sisi, korban ingin melupakannya. Namun di sisi yang lain, ia justru mengingatnya. Bagi Hannah Arendt, memaafkan sekaligus berjanji adalah cara untuk merelakan suatu peristiwa yang telah terjadi dan berusaha menjalani hidup dengan lembaran yang baru. Namun, trauma telah membuat korban tak mampu lagi bertindak, maka ia tak mampu memaafkan. Akhirnya, solusi yang tersedia adalah membiarkan diri matang oleh waktu, yaitu dengan bercerita pada diri sendiri maupun orang lain. Bercerita dapat menjadi cara untuk merelakan peristiwaperistiwa traumatis yang telah lewat. Merelakan bukanlah fatalisme ataupun defaitisme, melainkan suatu upaya untuk memutus rantai kekerasan. Di dalam trauma, ketakutan tidak pernah sungguh-sungguh lewat, namun ia senantiasa datang menghampiri. Oleh karena itu, detraumatisasi tidak hanya membutuhkan waktu, tapi juga pelaksanaan penegakan hukum yang didasarkan pada keadilan. PASTI edisi 33

77


Resensi Film

The Elephant Man PADA SEBUAH LORONG YANG TERTUTUP TIRAI, frederick Treves (Anthony Hopkins) berjalan masuk. Dokter dari London Hospital ini mendengar suara orangorang yang terbangkit marah di ujung lorong sebuah arena pertunjukan. Ketika si dokter berhasil mendekati asal suara kericuhan tadi, ia melihat beberapa polisi muncul di muka kamar berjeruji yang gelap seperti sel isolasi. Percekcokan kemudian tak dapat dihindarkan. Mr. Bytes (Freddie Jones), yang mengklaim diri sebagai pemilik objek pertunjukkan itu, berkilah bahwa ia memiliki hak apa saja terhadap budaknya. Namun komandan polisi berkata bahwa pertunjukkan itu akan merendahkan harkat seorang manusia. Tanpa kesepakatan, Mr Bytes dipaksa menutup pertunjukkannya. ”Akhirnya pindah lagi...” bisik Mr. Bytes seraya menghela nafas pada sosok yang tersembunyi di balik tirai. Kejadian ini benar-benar memiliki daya tarik bagi Treves, terlebih ia sendiri belum melihat objek pertunjukkan itu. Meski telah kembali pada rutinitasnya

Judul Sutradara Skenario Pemain Tahun rilis

: The Elephant Man : David Lynch : David Lynch, Christopher De Vore, Eric Bergren : Anthony Hopkins, John Hurt, Freddie Jones : Oktober 1980

TULISAN OLEH OGE TAMPUBOLON

sebagai pekerja medis, Treves masih menyimpan misinya terhadap mahkluk itu. Ia pun lantas menyuruh seorang bocah untuk mencari keberadaan Mr. Bytes. Setelah berhasil menemukan keberadaan Mr. Bytes, Treves pun mendatanginya. Treves menjelaskan bahwa ia ingin mendapatkan pertunjukkan pribadi. Meski sempat menolak, Mr. Bytes akhirnya bersedia memenuhi permintaan Treves setelah disodori sejumlah uang tepat di bawah hidungnya. Tak lama berselang, mereka berdua lantas berjalan melewati lorong-lorong gelap. Di sebuah kamar yang terletak di pojok ruangan mereka berhenti. Di dalam kamar ini sosok yang ingin dilihat oleh Treves berada. Sebuah lentera yang tergantung pada dinding pun dinyalakan. Treves duduk di kursi dan menyiapkan diri untuk apa yang akan ia saksikan. Dalam pertunjukkan pribadi ini, Mr. Bytes berlaku sebagaimana biasanya. Setelah memberi pembukaan secara dramatis, dengan suara keras ia berteriak, “Hidup!” Teriakan ini membangunkan sosok itu. Sambil merendahkan suara, Mr. Bytes pun berkata,

“Penuh kejutan... Bayangkan nasib Ibu dari makhluk ini. Diserang saat hamil empat bulan oleh gajah liar. Hasilnya bisa dilihat.” Kemudian dengan nada deklaratif ia pun berkata, “Tuan... saksikanlah si Manusia Gajah yang mengerikan!” Secara cepat tirai itu disingkapkan. Tampaklah sesosok makhluk dengan seluruh bagian tubuh yang diselubungi kain hitam. Treves tersentak bangkit lalu mendekat. Akhirnya, ketika makhluk itu dipaksa melepaskan kain yang menyelubunginya, Treves pun berhasil melihat manusia gajah yang teramat mengerikan!

FILM THE ELEPHANT MAN YANG DIBUAT PADA TAHUN 1980 ini telah meraih berbagai penghargaan. Pada tahun 1981, film ini memenangkan tiga nominasi dari BAFTA Award, yaitu Best Film, Best Actor (John Hurt) dan Best Production Design. Selain itu, pada tahun yang sama film ini juga masuk dalam delapan nominasi penerima Academy Award, empat nominasi Golden Globe dan dua nominasi Grammy Award. David Lynch, pria berkebangsaan Amerika Serikat yang menyutradarai film ini, sangat diperhitungkan dalam kancah perfilman internasional. Film ini dianggap sebagai masterpiecenya.

meluapkan rasa benci dan jijik melalui caci-maki pada objek yang tidak dikenalnya. Angin baik mulai datang ketika Treves berhasil membawanya ke rumah sakit dan memberinya sebuah kamar yang baik. Kala itu keadaan jiwa Merrick sedang tak menentu. Ia enggan berbicara. Beberapa pegawai rumah sakit merasa ngeri atas keberadaannya. Pimpinan rumah sakit itu pun hendak mengeluarkan Merrick jika keberadaannya di sana tidak berarti bagi kesembuhannya. Saat itu kemajuan medis masih rendah, ilmu kedokteran sendiri belum berhasil mendiagnosa penyakit ini sehingga menghasilkan bermacam spekulasi. Ternyata melalui pendekatan yang bersahabat, Treves pun berhasil membujuk Merrick untuk berbicara. Hal ini merupakan syarat agar ia tak diusir dari rumah sakit itu. Maka, meski dimulai dengan malu-malu, ia akhirnya berbicara, ”Tuhan adalah gembalaku... Dia menyembuhkan jiwaku...” Ia menunjukkan kemampuan menghafal ayat-ayat Alkitab dengan hebat. Ia pun lantas mulai disebut-sebut dalam surat kabar. Suatu ketika Merrick menerima undangan minum teh di rumah Treves. Ane, istri Treves, adalah seorang perempuan terhormat yang rupawan. Ia memberi Merrick perhatian sekaligus kelembutan seorang perempuan. Merrick tak dapat menahan tangis. Ia mampu menerima cercaan dan cambukan, tapi jika itu adalah kebaikan dari perempuan yang lembut, nyaris mati ia tak mampu menahan. Dalam sedu-sedannya yang menyayat hati ia berucap lirih, ”aku tak terbiasa diperlakukan sangat baik oleh seorang wanita cantik.” Selain itu, ia kembali memperoleh pengalaman yang luar biasa ketika seorang artis teater ternama, Miss Kendal, mengunjunginya. Melalui kekaguman yang teramat sangat, ia lantas menjadi sahabat bagi Merrick. Bahkan Yang Mulia Alexandra, Princess of Wales, sebagai delegasi dari Ratu Victoria, datang dan mengintervensi sidang Dewan London Hospital. Ia memperjuangkan Merrick agar tidak diusir dari tempat itu! Meski terdapat beberapa orang yang berhati mulia, banyak pula yang berusaha menjadikan Merrick sebagai objek penghasil uang lagi. Mr. Bytes yang ingin mendapatkan budaknya kembali akhirnya berhasil menculik Merrick. Namun kini Merrick telah mengenal dunia luar. Ia mulai menunjukkan perlawanan. Merrick akhirnya berhasil kabur dari kungkungan Mr. Bytes setelah dibantu oleh teman-temannya dari kelompok sirkus. Meski begitu, dalam pelariannya tersebut ia dihajar oleh orang-orang yang tidak dikenalnya. Orangorang yang berada di stasiun kereta api menghajarnya hanya karena ia berbeda. Dalam kesakitan yang tak terperikan, ia berteriak parau, ”I am not an animal! I am a human being! I… am… a man!” Teriakan ini adalah manifestasi kemarahannya akan ketidakmanusiaan yang ia terima dari mereka yang menyatakan diri sebagai manusia.

”I am not an animal! I am a human being! I… am… a man!” Film ini berusaha mempertanyakan konsep kita akan manusia dan kemanusiaannya, kenormalannya dan juga peradabannya. Dalam film dengan gambar hitam putih ini, kita dibawa untuk melihat kota London pada abad ke-19. Diangkat dari kisah nyata -meski pada film ini beberapa kisah diubah agar tampak mengenaskanJoseph Merrick (5 Agustus 1862-11 April 1890) sebagai seorang manusia yang berwujud aneh. Ia memiliki kulit serupa gajah, bahkan lebih tidak beraturan dan lebih buruk daripada itu. Di Inggris, pada masa hidupnya ia dikenal sebagai The Elephant Man. Namanya tersebar luas di berbagai kalangan, bangsawan atau kawula, tuan maupun budak. Tak dinyana, bahkan sesudah mati pun tulangnya dimuseumkan di Royal London Hospital. Beberapa isu yang beredar bahkan mengabarkan bahwa kerangka tubuh Joseph Merrick dikoleksi oleh Michael Jackson dan telah diganti oleh Jacko dengan tulangnya sendiri karena dipercaya mengandung keabadian. Selain itu, ada pula yang menghitungnya dalam daftar 15 orang ternama yang meninggal pada umur 27 tahun, berada di antara nama-nama seperti Jim Morrison, Jimi Hendrix, Janis Joplin dan Kurt Cobain. Joseph Merrick (John Hurt) awalnya hidup di pertunjukkan sirkus sebagai budak. Saat sedang tidak bekerja, ia diisolasi oleh Mr. Bytes di kamar gelap dan terpencil yang menjadi dunianya sebagai manusia. Joseph Merrick dieksploitasi dan keanehan fisiknya dipamerkan. Ternyata, banyak sekali orang yang ingin

PASTI edisi 33

79


Sastra

KOLAZ TULISAN OLEH OGE TAMPUBOLON

Kolaz, anak lelaki Argentina itu, duduk termenung di balkon sambil memandang cakrawala senja. Indonesia baginya masihlah asing, karenanya ia bergairah, dan ia berprilaku seolah-olah seorang seniman kecil, yang sering mengamati tiap-tiap bagian dari Indonesia dengan tujuan mencari keindahan akan alam, adat-istiadat, kebiasaan dan ruparupa unik manusianya. Ayahnya menjabat sebagai Konsulat Jendral yang berkantor di Jakarta, berambut putih dan bersikap tegas namun memiliki selera humor yang baik, serta selalu mengenakan mantel kulit pada setiap acara kehormatan. Tetapi ia lebih sering berada di Jakarta. Karena itu, Kolaz hanya ditemani oleh Sang Ibu untuk melalui waktu-waktu kosongnya di sebuah vila mewah di lereng Gunung Gede. Selama setahun Kolaz menunda bersekolah untuk mempelajari bahasa Indonesia, dibimbing seorang lelaki pribumi. Dan karena itu, ia merasa kesepian. Suatu kali di sebuah pagi berbulan-bulan silam, dan tak terduga-duga, si pembimbing tak datang tetapi digantikan oleh seorang gadis berusia tujuh belas, atau setahun lebih tua dari Kolaz. Gadis itu… ou-ow, betapa indah rupanya! Tubuhnya langsing, tinggi dan gerakannya gemulai. Wajahnya tirus dan, meski berwarna cokelat halus, tapi alangkah indahnya bercahaya. Dan ia suka memutar-mutar bola mata dengan manja ketika Kolaz bermain-main dalam belajar. Kala itu ia mengenakan blus putih dengan syal merah kirmizi, melingkari lehernya. Tapi, lebih dari semua itu, amboi, suaranya sungguh halus nan merdu bak nyanyian Bulbul kala menjelang pagi. Dan celakanya, si gadis yang namanya tak diketahui itu, hanya sekali membimbing Kolaz, dan setelah itu, tak pernah lagi, hilang. Kerinduan pilu pun bersarang di hati Kolaz. Dengan dirudung sepi dan rindu, sungguh malanglah dirinya itu! Di halaman vila itu ada taman indah dengan berupa-rupa bunga, dirawat oleh seorang lelaki pemalas dan mudah jatuh tertidur. Pak Komanlah nama tukang kebun itu. Dan tentu saja Pak Koman sedang tertidur di atas bangku ketika Kolaz berjalan dengan langkah bak pencuri, melewati halaman dan menyelinap keluar pagar. Sementara itu, si satpam, konyolnya, sedang asik membaca syair-syair Khalil Gibran. Dengan bersusah payah ia menghapal jalinan kata-kata indah dari buku itu, berharap jika kesempatan datang, akan dipakainya untuk menggombal Mbak Suraini, si manis baby-sitter. 80

PASTI edisi 33

Di jalan lapang dan kosong, di bawah siraman cahaya terang-benderang itu, ia berjalan mantap, kedua tangannya diselipkan ke dalam saku celana. Ia meyakinkan diri untuk bersikap tenang. Pertama-tama, ia memejamkan mata sambil berjalan, lantas teringatlah ia akan helai daun tebu yang pernah terselip di rambut hitam bergelombang gadis itu. Itulah petunjuknya! Dari seorang pedagang mie, kepada siapa ia bertanya tentang keberadaan kebun tebu, Kolaz kemudian diajak untuk berjalan berbarengan menuju ke sana. Kerangka gerobak dorong itu berkarat di sana-sini, dan roda-rodanya berdecit-decit melewati jalanan berlubang. Mereka berhenti di muka jalan tikus yang membelah sebuah hutan, dan seketika Kolaz khawatir akan kengerian di depannya. “Dik, hanya ada satu perkebunan tebu di desa ini,” jelas si pedagang. “Dan untuk ke sana, haruslah menyusuri jalan ini lebih dahulu.” “Pak,” kata Kolaz dengan aksen yang janggal, “antarkanlah saya ke sana, tolong. Nanti akan saya bayar kalau bapak bersedia memintanya di vila saya. Tapi nanti, Pak. Uang yang ada pada saya saat ini tak cukup.” “Bukan itu pokoknya, Dik. Bapak bukannya menolak rejeki. Tapi, orang-orang bilang, di sana ada Aden-aden. Untuk ini, bapak percaya. Begini saja, kalau ada seorang kakek tua, terlalu tua, di sana, dan meminta sebatang rokok, maka berilah itu.” “Tapi kenapa, Pak? Dan apa itu Aden-aden?” “Bapak menjadi takut karena sudah menyebut namanya. Ini, terimalah… Dan sudah, sudahlah, Bapak harus pergi dulu, tak perlu dibayar. Dah!” Dan setelah Kolaz menerima sebatang rokok dan korek api, pedagang itu lari pontang-panting mendorong gerobaknya sampai debu-debu terangkat dan menyebar, menutupi siluetnya. Dan siapa dapat membayangkan bahwa Kolaz, setelah memasuki bagian dalam hutan, akhirnya benarbenar bertemu dengan kakek tua itu, terlampau tua sampai-sampai Kolaz tak mengerti kenapa dia tak beristirahat saja di rumah. Kakek itu adalah Adenaden—hantu yang meminta rokok kepada pejalan kaki dan akan menggelitik perut mereka sampai mati jika ia tak menerima apa yang diinginkannya. Aden-aden itu memakai jubah hitam, rambutnya gondrong tak terurus layaknya pertapa. Dia bersembunyi di balik pohon cempedak, setengah wajahnya tampak sedang mengintip, mata yang tampak dalam, seperti lubang hitam yang penuh misteri. Melihat itu, Kolaz berlari dengan langkah-langkah panjang, akan tetapi, ia bukanlah menjauh, melainkan justru mendekati Adenaden itu. “Kek, Kek… Rokok ini untukmu! Tak perlu sembunyi, tak perlu itu, Kek. Tadi kujumpa seorang pedagang yang baik dan ia mengenalmu, rokok ini adalah pemberiannya. Terimalah, Kek…” Sulit bagi Aden-aden itu untuk memercayai penglihatannya, sehingga ia merasa seperti pencuri malam yang secara mengejutkan dikepung oleh mobil-

mobil bersirene, dikepung teror-teror yang mengancam. Kemudian, dedaunan bergetar-getar dengan sangat hebat, tak jelas kenapa angin datang tiba-tiba, diikuti percikan gerimis. Seekor tokek men-to-kek sebanyak tujuh kali, pertanda sial, kata orang-orang tua kita dulu. Dan perlahan, Aden-aden itu tersungkur di tanah berumput, lemah tak berdaya, dan dengan gerakan dramatis ia mengoyakkan pakaiannya diiringi tangis merengek yang nyaring, dengan kedua kaki menendang-nendang barisan semak-ilalang. Kolaz tak mengerti akan apa sebabnya, tapi ia menitikan air mata juga seraya mendekati Aden-aden itu lalu merangkul tangannya. “Sudahlah, Kek. Jika ini salah saya, maaf, ya? Tapi saya tak tahu apa-apa. O, Kakek baik, Kakek yang baik…” Sesaat kemudian, makhluk malang itu menjeritjerit histeris dengan parau dan berat, menjadi kian membingungkan. Sesuatu yang aneh kemudian terjadi, Aden-aden itu bernyanyi pilu, o, burung-burung… Bip-bip-bip! cegahlah paruhmu berkicau jauhkan ini dari langit dan bulan betapa malunya aku, betapa malunya!!! sudah waktuku berlalu bawa pahit ini ke dalam goa, ke dalam lembah, biarpun dalam sepi ada luka, ada nestapa sebab di hutan, bahkan seorang anak kecil tak takut padaku! o, burung-burung… Bip-bip-bip! Tiba-tiba, dari arah belakang, Kolaz mendengar bunyi berderak-derak seperti datangnya andong dan decisan kuda, yang terjadi bersamaan dengan turunnya kabut tebal. Seketika, Kolaz menoleh ke belakang, tapi ia tak melihat apa-apa, dan ketika ia mengembalikan wajahnya, Aden-aden itu sudah tak berada di tempatnya lagi. Mereka lenyap begitu saja. Lalu kabut itu sirna kembali. Tapi Kolaz baru saja meyakinkan diri bahwa saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan hal-hal lain selain tujuannya. Ia meletakkan rokok dan pemantik di atas tanah setelah dibungkus dengan daun talas, melindunginya dari guyuran gerimis, sebab ia menduga bahwa Aden-aden itu malu untuk menerimanya langsung. Lalu ia pun mulailah berjalan kembali. Lama juga ia sudah berjalan, kira-kira lebih dua mil. Rangkaian pepohonan pinus yang tegak menjulang seakan hendak menusuk langit, tak habis-habisnya menghimpit jalan tikus itu. Burung-burung beraneka jenis terbang dan hinggap di dahan-dahan yang tinggi, sedangkan yang lainnya bertengger saja dan bersiul-siul. Langit kian lama semakin terang, dengan cahaya matahari yang menyelusup ke celah dedaunan dan jatuh lurus ke tanah, berpadu dengan angin semilir. “Pemandangan yang indah,” batin Kolaz. Sayup-sayup terdengar suara orang-orang dan bunyi mesin, tercium pula bau gula yang menggelitik bulu hidungnya. Kolaz PASTI edisi 33

81


menyadari bahwa tujuannya sudah dekat. Ia lantas berlari kencang. Di ujung sana, ketika rangkaian pohonan pinus berakhir, tampaklah sebuah kampung dengan rumahrumah yang dibangun memakai bahan dari kayu jati, masing-masing cukup luas dan memiliki halamanhalaman yang indah dan juga luas. Ada sebuah pabrik gula berdiri dikitari pohonan rambutan, kepunyaan warga setempat secara bersama-sama, dan karenanya hidup mereka sejahtera. Betapa sebuah pemukiman yang bersahaja! Para pemuda lagi berkumpul di sebuah warung, bernyanyi dengan diringi gitar dan suling Sunda. Syairsyair lagunya berwarna ceria dan menyampaikan pesan tentang semangat kerja. Selain itu, tiap orang murah tersenyum. Senyum mereka serupa dengan senyum di wajah gadis itu, begitu lepas merekah, dan karenanya Kolaz menjadi girang akan harapan besar yang ia miliki. Ia merogoh saku, dan beruntunglah ia sebab di situ ada beberapa lembar uang kecil. Ia memasuki sebuah warung, kemudian memesan susu dan menikmati lagu yang dinyanyikan dengan sempurna. Kolaz hanya menghentak-hentakkan kaki ke lantai mengikuti tempo lagu, dan kelakuan itu menarik perhatian seorang lelaki. “Halo…” “Hi!” Mereka berkenalan dan cepat menjadi akrab, selanjutnya bercerita tentang apa saja dan, meski topiknya sangat simpang-siur, di ujung setiap kalimat selalu diikuti dengan gelak tawa, karena memang suasana ceria itu menggugah setiap orang untuk bercanda-canda. Lalu Kolaz menceritakan tujuan kedatangannya. Ia bercerita dengan cara dan gaya seorang pria, hal yang ia pelajari dari ayahnya. Kawan minumnya itu adalah seorang pendengar yang hebat pula! Hal itu membuat Kolaz tak ragu-ragu untuk berkata, “Kukira, aku mencintainya.” “Kolaz, aku yakin kau berpikiran baik, tak ada padamu sesuatu maksud jahat. Kau pun anak lelaki yang tampan. Tapi, tidakkah kau akan kembali ke Argentina suatu saat nanti?” “Tahun depan aku akan dewasa. Tujuh belas tahun, usia yang hebat, bukan? Jika waktu itu tiba, pastilah Ayah akan mendengar perkataanku.” “Ya, kupikir itu benar.” Lalu, kawan minumnya itu, seorang pemuda menarik dan pekerja yang kuat, ulet dan bersemangat, meminta kolaz menunggu untuk sementara waktu selama ia pergi. Kolaz kembali dibikin bingung. Apa yang terjadi? Kolaz, kali ini, merasa lebih akrab dengan lingkungan itu, kehidupan yang ramah kepadanya. Ia berandai-andai jika kampung halamannya dapat seperti ini, dengan kepemilikan bersama akan alat-alat produksi oleh rakyat itu sendiri, dapat membagi keuntungannya secara adil dan dapat menetapkan waktu kerja secukupnya, setiap orang pun memiliki banyak waktu luang untuk bersenang-senang, mengembangkan 82

PASTI edisi 33

kebudayaan dan menjalankan agamanya. Maka, sudah barangtentu mereka mencintai kehidupan dengan penghargaan yang tinggi. Akan tetapi, Kolaz sesungguhnya telah lupa bahwa di Indonesia secara umum, seperti di negaranya, banyak sekali rakyat menjadi buruh dan tentu saja mereka miskin-miskin, tidak bisa tidak. Kolaz duduk dan termenung sambil tersenyumsenyum sendiri ketika suara seorang gadis terdengar dari dekat, “Teteh, saya pesan es-teh satu gelas, ya?” Dan, oh-oh-oh… betapa layaknya siulan burung Bulbul suara itu! Betapa halus dan merdunya! “Hi, Kolaz… Apa kabar?” tanya gadis itu selagi duduk di seberang meja. Mereka sangat dekat, dan—hei, Kolaz, apa yang akan kau lakukan? Itu dia! O tuhan, itu dia!!! Dan kendatipun keberuntungan sudah memihak padanya, tetapi Kolaz—celakanya—menjadi bergetar dan berkata dengan tergeragap, “Aku… ini… ke sini… hmm, dan” “Hei, tenanglah, tenangkan dirimu…” ujar gadis itu. Dan ia beralih ke penjaga warung, “Teh, tuangkan pesanan saya tadi ke dalam plastik saja, ya? Buatlah dua plastik…” Gadis itu menuntun pergelangan tangan Kolaz lalu berjalan meninggalkan warung. Ya ampun! Kedua tangan yang serupa halus itu bergandengan! Mereka melangkah di jalan yang diselimuti rumput-rumput kecil, diapit rumah-rumah dengan orang-orang yang menyapa mereka dari teras-teras kecil mereka. Siang yang membakar perlahan-lahan berganti dengan suasana teduh sebuah sore dengan pemandangan burung-burung yang terbang berkelompok ke sana-sini. Sedangkan di ufuk barat, langit menyatu dengan puncak Gunung Pangrango. Biar kita lihat, dapatkah panorama alam itu menenangkan gejolak hati Kolaz? Setelah melewati barisan ladang tebu yang panjang, di ujung jalan itu, Kolaz melihat sebuah sungai kecil, tenang, dan airnya begitu jernih. Sungai selalu memberi kesan mendalam bagi Kolaz, air-airnya selalu bernyanyi. Ada bangku panjang berdiri di tepinya. Ke situ mereka duduk, bersisian. Segera Kolaz memejamkan mata untuk sesaat, menarik napas dalamdalam untuk menenangkan perasaan, namun gadis itu mengamati dada Kolaz yang naik-turun secara tak beraturan itu, dan ia tertawa dengan suara sejernih mata air. Wajah Kolaz kembali merah padam. Lama kemudian mereka berdiam diri. Untuk menenangkan perasaan Kolaz, gadis itu lantas bersiul-siul dengan mulutnya yang mungil, kemudian menyanyikan lagu rakyat yang indah, dunia sungguh mempesona, wahai manusia! kub'rikan janji padamu, tentang desaku marilah datang dan bawalah kendi-kendi di sini kita akan berbagi sari tebu, dengan tari-tarian dan nyanyian kami akan menyambutmu tapi janganlah melewati hutan, jika tiada padamu

rokok dan korek api; oh-oh… kiranya jauhlah engkau dari Aden-aden “Apa!!!” pekik Kolaz terkejut, memotong lagu itu, “Aden-aden?” “Ya, dia! Dan dia—kau tahu?—dia itu…” dan berceritalah gadis itu dengan cara seorang penggunjing handal tapi kekanak-kanakan. Tapi ketika belum sampai pada intinya, Kolaz sudah membuat isyarat tangan agar gadis itu berhenti, kemudian, segeralah gadis itu terhenyak sambil mengelus-elus dada ketika Kolaz mengakui bahwa ia baru saja bertemu dengan Adenaden itu. Kolaz masih tak tahu tentang apa dia bercerita, dan andaikata dia tahu!!! ... Dan ketika Kolaz menyanyikan lagu yang dinyanyikan oleh Aden-aden tadi, gadis itu merasa tak percaya akan pendengarannya, tapi ia lalu tertawa dengan terkekehkekeh sampai terlihatlah pembuluh halus yang kemerahmerahan pada lehernya yang cokelat halus. Tapi tak adil pula rasanya jika hanya ia yang tertawa sendiri, sehingga ia pun menjelaskan prihal Aden-aden itu pada Kolaz. Kolaz mula-mula dicekam oleh rasa tak menyangka, hanya saja ia melihat kemungkinan itu. Ia lantas ingat tentang bunyi kereta andong dan tentang bagaimana Aden-aden itu menghilang dengan cara gaib, barulah ia mulai tertawa. Akhirnya mereka tertawa bersama-sama, keduanya bahagia. “Jadi, Aden-aden itu kecewa karena kau tak takut padanya? Dan ia lalu pergi ke lembah, biarpun ia akan hidup nestapa di sana?” “Semuanya, Ya!!!” seru Kolaz. Kembali mereka tertawa dengan meledak-ledak. “Ternyata hantu itu melankolis juga. Barangkali di dunia hantu dia dikenal sebagai penyair…” “Hei Kolaz, hebat benar dirimu, kau tahu! Hanya ada sesosok Aden-aden di desa kami, tapi dia sudah terlalu menghawatirkan, dan dukun-dukun pun tak berani mengusirnya. Dan kau, Kolaz, kau adalah pahlawan kami! Sejak hari ini, desa kami akan terasa sempurna.” Masih dengan ekspresi bergembira, gadis itu kembali berkata, “dan untukmu, akan kami adakan pesta! Datanglah esok hari. Tapi sekarang, rasanya sudah cukup, mari kuantar pulang, akan kubonceng kau dengan sepeda.” “Tidak, aku saja yang memboncengmu.” Dan saat langit senja sudah berwarna merahjingga di ufuk barat, sedangkan di langit timur awanawan berwarna keabu-abuan, sampailah mereka di muka vila. Belum habis buku itu dibaca si satpam—agaknya ia berbakat menjadi penyair, sementara si tukang kebun masih pula tertidur pulas. Kolaz membunyikan bel sepeda kumbang itu—kringkring-kring—lantas semua orang tak mempercayai matanya sendiri. Kapan Kolaz keluar rumah, dan kenapa baru pulang saat menjelang malam? Dan, apakah sebabnya Kolaz membonceng gadis secantik itu? Ibu Kolaz, seorang wanita berkelas tapi memiliki

pembawaan ramah dan penuh kasih, keluar rumah dan menghampiri anak nakalnya. Ia menyibak-nyibakkan rambut Kolaz dengan manja, kemudian membawa mereka masuk ke dalam rumah. Ketika akan memasuki pintu vila yang berukuran besar dan tampak kokoh itu, atau sebelum meletakkan kaki mungilnya di atas lantai keramik yang tampak kramat, si gadis menarik diri dan memohon pamit. Ibu Kolaz mula-mula membujuk untuk ikut makan malam bersama, tapi hari memang sudah menjelang gelap, ia pun memerintahkan supir untuk mengantarnya pulang, sedangkan sepeda kumbang itu disimpan di bagasi untuk dipakai oleh Kolaz demi memenuhi undangan itu, esok. Mereka berpisah dengan memberikan salam yang akrab. Dan tak lama kemudian, ketika mobil sedan hitam itu berjalan menembus gelap, Kolaz teringat bahwa ia belum juga tahu nama gadis itu. Sejurus kemudian, ia segera mengejar mereka, tapi dengan segera pula ia dihentikan oleh si satpam di gerbang, satpam yang menyunggingkan senyum karena ia memahami cinta, meski menjadi soal karena senyum itu membuka ompongnya. Kolaz kemudian berlari kembali, menghampiri ibunya. Setelah meminjam hand-phone, ia menghubungi supirnya dan meminta untuk berbicara dengan gadis itu. “Hei, aku belum tahu namamu. Ayo, ayolah… beritahu aku namamu!” “Tidak, Kolaz—jangan sekarang. Esok aku akan menunggumu di tepi sungai, saat pagi sebelum pesta. Kau akan tahu namaku ketika kita bertemu kembali,” jawab gadis yang memiliki suara sebening hujan dan semerdu burung Bulbul itu.

Yogyakarta, 12 April 2010

PASTI edisi 33

83


Seni Rupa

06.00 - 12.00 : 60.000/jam 12.00 - 16.00 : 80.000/jam 16.00 - 24.00 : 130.000/jam

Benny Carcass, TANKARD, 2007, akrilik di atas kertas, 30 x 42 cm 84

PASTI edisi 33

Lapangan kayu parquet & rumput sintesis Jl. Babarsari (depan Hotel Sahid Raya) Telp. (0274) 6566663


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.