4 minute read

La Dernière Performance

Gymnopédie No. 1. Jari-jemariku berdansa, mengikuti ritme, mengikuti arus musik melankolis itu. Ruangan di sekitarku senyap. Bisikan-bisikan dan suara sayup isak-isak yang bisa kudengar lenyap bersama dengan udara dan melodi yang mengisi ruangan ini. Lagu yang dikomposisi Erik Satie ini merupakan favoritnya. Suasana ini tidak asing bagiku. Aku ingat, ketika melodi ini menembus dinding ruanganku suatu malam. Larut, ketika dirinya memainkan lagu tersebut di piano dalam ruang tamu. Piano sama yang diperkenalkannya padaku, yang aku mainkan setiap harinya. Aku sempat mendengar banyak suara-suara yang berbicara dengannya. Kebanyakan dari mereka mengenalku dan memanggilku “la fille piano,” sang gadis piano. Aku ingat, ketika mendengar julukan itu, aku akan tersenyum. Aku juga bisa merasakan… senyuman hangat darinya, dan dari para pengunjung.

Advertisement

Namun, tidak ada yang tersenyum sekarang. Mereka hanya dapat bungkam, dan yang bisa kulakukan saat ini, hanya memainkan lagu favoritnya. Tanpa satu pun melodi yang ketinggalan. Tanpa sedetik tempo pun yang sesat. Hawa dingin yang menemani pertunjukanku hari ini juga tidak asing, meskipun aku terbiasa dengan kehangatan setiap kali aku memainkan piano dalam ruanganku. Namun, hawa dingin ini berbeda dengan kedinginan yang kurasakan ketika bermain pertama kali di depan banyak orang. Kegugupan dan tremor mengitari sekujur badanku, sampai pada jari-jariku, sebelum dan setelah pertunjukan. Untungnya, latihan tiada akhir, yang dipimpinnya dengan sabar, berbuah saat itu. Konser piano-ku yang pertama sukses. Aku dihadapi dengan gemuruh tepuk

tangan dari para audiensi. Tangis haru dan senyumanku tidak dapat kutahan pada saat itu, dan saat aku bertemu lagi dengannya di balik layar, ketika aku memeluknya erat, aku dapat merasakan, bahwa dirinya juga merasakan hal yang sama denganku saat itu.

Namun, saat ini hanya tangisan kesedihan yang ingin keluar. Aku harus kuat, sampai pertunjukan ini berakhir, demi dirinya, demi memorinya, demi segala hal yang telah diberikannya kepadaku. Dirinya sudah merawatku sejak kelahiranku. Kelahiranku yang mengakhiri nyawa dari Ibunda. Ibunda yang tidak pernah kulihat, tidak pernah kudengar. Aku mulai merasakan bibirku bergetar, tetapi jari-jariku sudah memiliki kehendak mereka sendiri. Mereka juga ingin menyelesaikan pertunjukan ini, membuat bangga para pengunjung yang meluangkan waktu untuk menghadiri, membuat bangga dirinya. Memperlihatkan kepada dunia hasil dari jamjam yang dihabiskan untuk mempelajari, melatih, dan menyempurnakan karya ini, agar dapat menyenangkan telinga para pendengar.

Jari-jariku berdansa dengan gemulai, menggiring melodi sampai pada akhir lagu. Teruslah berdansa… mengikuti irama… mengikuti nada-nada, setiap kunci yang kamu mainkan adalah sekeping jiwamu yang kamu bagikan kepada pendengarmu. Jika saja kalimatnya itu dapat dimaknakan secara harfiah, melainkan sekadar kiasan, jangankan jiwa, seluruh nyawaku rela kuserahkan kepadanya melalui musik yang kumainkan pada malam itu. Aku ingat, momen demi momen, terekam sempurna dalam ingatanku.

Aku sedang memainkan piano malam itu, seperti biasa. Menunggu dirinya pulang dari kerjanya, seperti biasa. Aku ingat… Yang kumainkan sebelum dirinya pulang adalah Comptine d’’Un Autre Été. Salah satu karya favoritku, tetapi aku berhenti memainkannya saat aku mendengar pintu depan terbuka, itu tidak seperti biasanya; biasanya aku akan tetap memainkan tanpa mempedulikan apapun. Aku berhenti… karena malam itu malam yang tidak biasa. Malam itu malam yang spesial. Hari ulang tahunnya. Setiap malam dirinya keluar untuk bekerja, aku menyisihkan waktu untuk latihan memainkan lagu favoritnya. Lagu yang belum pernah aku mainkan untuknya, yang belum pernah didengarkannya dari jari-jariku. Kejutan ini sudah kusiapkan berbulan-bulan. Hatiku berdetak seperti saat konser pertamaku, tetapi tremor saat itu tidak dingin meskipun sedang bersalju di luar. Tremor ini hangat. Malam itu, aku hendak memainkan piano kepada seseorang yang sudah merawatku, mengantarku ke dunia musik, yang menjadi karir profesional-

ku, dan senantiasa menemaniku pada setiap tahap perjalanan hidupku. Hadiah ulang tahun dariku untuknya. Aku mendengarkan langkahlangkahnya mendekati ruangan tamu, yang mana terletak piano serta diriku yang telah menghentikan bermain piano sementara.

“Mengapa berhenti?” tanyanya, keletihan yang tidak dapat disembunyikannya terdengar jelas. Aku dapat mendengar dirinya duduk di kursi panjang di belakangku, menghela dan menarik napas yang dalam.

“Aku… mau memainkan sesuatu untukmu…” aku bergumam, tetapi aku dapat merasakan kehangatan dari senyumnya. Dia dapat mendengarku.

“Begitu…” dan aku dapat mendengarkan badannya bersandar, derik kayu terdengar jelas. Istirahatlah… biarkan aku memainkan lagu ini… lagu favoritmu, yang telah kamu mainkan di bawah cahaya bulan, lagi dan lagi…

Aku mulai memainkan Gymnopédie No. 1, jari-jariku masih bergetar pada nota-nota pertama. Namun, seiring jalannya irama, aku tidak lagi merasa takut. Apakah dirimu dapat mendengarkannya? Jiwaku… yang berterima kasih kepada dirimu.

Setelah lagu selesai, aku hanya mendengar keheningan. Itu tidak seperti biasanya. Biasanya dirinya akan menepuk tangan lemah, meraba kepalaku, bahkan jika ada yang salah dalam pertunjukan, dirinya akan mengarahkanku, mengajariku cara-cara untuk meningkatkan performa-ku. Namun, yang bisa kudengar hanya hening.

“Papa…? Papa…?”

Je me demande 1 … Apakah Papa mendengarkan pertunjukanku sampai tuntas, sebelum beliau mengambil napas terakhirnya? Ya, au cas où 2 , aku harus memainkan lagu tersebut sekarang. Tidak boleh lengah. Tidak boleh gemetar. Seakan seluruh jiwaku dikerahkan demi lagu ini, demi menembuskan melodi ini ke surga sekalipun. Est-ce que vous pouvez l’’entendre, Papa? 3

“Dan yang akan membawakan eulogi pada hari ini…” suara lelaki yang dalam dan murung hendak mengumumkan, tetapi aku menghentikannya, mengangkat tanganku untuk memotong ucapannya. Aku tidak biasanya seperti ini, tetapi ini adalah hari yang tidak biasa. Maka, izinkanlah aku untuk menjadi tidak seperti biasanya, hanya sementara saja.

Aku meraba mikrofon di depanku, menguji coba suaranya. Aku menarik napas yang dalam.

“Izinkan aku untuk memperkenalkan diriku sendiri,” meskipun aku yakin, kebanyakan, jika tidak semua, orang dalam ruangan ini sudah