4 minute read

Harapan : Pragmatisme yang Gagal Paham

Oleh Vandana Budhi (FT 2017)

Tahun 2020 mungkin merupakan tahun terberat dalam beberapa dekade terakhir. Pandemi COVID-19 menghampiri siapapun tanpa pandang bulu. Dunia dikekang oleh ketakutan dan ketidakpastian. Walaupun banyak yang telah sembuh, namun grafik yang tertular dan yang meninggal terus naik. Perekonomian pun lumpuh, pengangguran terus bertambah, bahkan tak sedikit pula negara yang mengalami resesi.

Advertisement

Ternyata, pandemi COVID-19 berhasil menyatukan manusia dengan beragam sifat dan perilakunya untuk berharap agar pandemi ini selesai. Mungkin saat ini, harapan adalah kata yang paling sering manusia sebut dalam setiap doanya. Suku, agama, ras, jenis kelamin, dan ideologi tak lagi penting dibandingkan dengan berakhirnya pandemi. Harapan pun muncul bersamaan dengan banyaknya kabar mengenai beragam jenis vaksin yang sedang diuji coba. Seolaholah, kita telah mampu menginjakkan setengah kaki di pintu keluar bencana dunia ini. Sejatinya meskipun tidak ada pandemi, kata harapan telah menjadi hak istimewa bagi semua orang. Semua orang bebas berharap, tanpa biaya tanpa durasi. bahkan tanpa berusaha sekalipun. Harapan juga telah berevolusi menjadi kata wajib dalam setiap ucapan di semua kondisi. Memang tak ada yang salah, namun seiring dengan perkembangan zaman, kata harapan seringkali menimbulkan pengertian yang keliru. Harapan telah menjadi pembungkus ego dalam ekspektasi. Banyak yang berharap dan berekspektasi tinggi, baik dengan diiringi oleh usaha maksimal, seadanya, maupun tidak sama sekali. Tidak sedikit yang berhasil, tetapi lebih banyak lagi yang gagal dan melahirkan kekecewaan berulang. Kini, sulit rasanya untuk memahami apa itu harapan. PARADHAMMA

Dari sudut pandang Buddhisme, selalu dikatakan bahwa semua yang terbentuk adalah hal yang berkondisi dan selalu berubah. Kemudian, semua yang selalu berubah adalah sumber penderitaan. Hal ini menjadi pengingat untuk kita semua agar tidak melekat kepada sesuatu. Lantas, apakah ketika kita berharap, maka kita menjadi melekat dan pasti menderita?

Secara sadar atau tidak, kita menggunakan pikiran dalam setiap momen. Lalu, kita juga pasti berharap melalui pikiran. Dikatakan pula dalam Dhammapada bahwa pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, dan pikiran adalah pembentuk. Pikiran merupakan salah satu pintu dari hal yang disebut sebagai Kamma. Di dalam Panca Niyama, disebutkan mengenai dua hukum yang berhubungan dengan pikiran, yaitu Kamma Niyama dan Citta Niyama. Oleh sebab itu, secara tidak langsung ketika kita berharap hal-hal baik, terlebih lagi dengan motivasi baik, kita telah mempraktikkan Ajaran Sang Buddha. Oleh karena itu, hal tersebut diperbolehkan dan dianjurkan bukan?

Melihat premis tersebut, tentu saja tak ada yang salah, namun ternyata Dhamma tidak semudah kelihatannya. Mungkin kita sering mendengar perkataan bahwa ekspektasi tak sesuai dengan realita dan harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Tatkala kita berekspektasi tinggi, maka merupakan sebuah kewajaran jika kita merasa sakit ketika kenyataannya berbeda. Rasa sakit inilah yang menjadi indikasi bahwa kita masih belum berpraktik Dhamma secara lengkap. Kita melupakan bahwa untung-rugi, terkenal-tak terkenal, dipuji-dihina, serta senang-sedih tidaklah dapat dihindari karena merupakan hal yang berkondisi. Kita menggadaikan keinginan kepada sesuatu yang abstrak, tetapi tak siap untuk menelan pahitnya kekalahan. Padahal sebagai seorang Buddhis, seharusnya kita bersikap pragmatis terhadap harapan. “Hope for the best, but prepare for the worst” adalah frasa yang cocok untuk menggambarkan hal ini. Bersikap optimis, tetapi selalu waspada. Berusaha dengan maksimal dan selalu fokus terhadap tujuan, namun tetap mempersiapkan tindakan yang harus dilakukan ketika gagal.

Setelah membaca hal tersebut, apakah secara otomatis kita telah sukses menerapkan Dhamma secara lengkap? Wah, sayang sekali, ternyata jawabannya lagi-lagi tidak. Mengapa? Mari kita bertanya kepada diri sendiri. Sewaktu gagal, atau minimal ketika apa yang kita harapkan tidak berjalan dengan maksimal, apakah kita tidak dapat menerimanya? Apakah kita merasa menderita karena memendam kekecewaan? Jika jawabannya tidak, maka selamat! Kita sudah selangkah lebih maju dalam mengikis keakuan yang umum dikenal sebagai ego. Jika jawabannya iya, maka jangan bersedih karena setidaknya kita sudah berinteraksi dengan ego dalam diri sendiri. Hal yang mengkhawatirkan justru ketika kita tidak memahami apa yang kita rasakan. Ketika kita tidak paham, ada dua kemungkinan, yaitu kita terlalu sering gagal sehingga akhirnya mati rasa atau kita terlalu bodoh sampai-sampai tidak dapat mengenali kondisi batin sendiri.

Apabila kita berharap dengan motivasi baik, tidak terlarut dalam kekecewaan, dan mampu menerima kegagalan, maka kita telah berhasil untuk berharap dengan benar. Kita telah mampu menerapkan Dhamma untuk menciptakan harapan yang pragmatis, sebuah harapan yang sesungguhnya.

Dari perspektif Buddhisme, sebenarnya harapan sering diasosiasikan dengan keinginan duniawi yang masih tercemar oleh keserakahan. kebencian, dan delusi. Sementara untuk hal-hal baik, terutama yang berhubungan dengan pencapaian spiritual, lebih sering menggunakan istilah aspirasi. Aspirasi (Chanda) adalah harapan yang lebih tinggi dan termasuk ke dalam 52 Cetasika. Jika kita mengambil contoh terkait keinginan untuk menjadi orang kaya. Harapan pada umumnya adalah keinginan untuk menjadi orang kaya agar dapat hidup dengan nyaman, sedangkan aspirasi adalah keinginan untuk menjadi kaya agar mampu membantu banyak orang dan mempermudah praktik Dhamma.

Sebagai penutup, memang harapan adalah hal biasa dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dalam kondisi serba tak pasti seperti saat ini. Kita sebagai manusia bebas berharap, tetapi jelas banyak faktor yang menentukan. Kegagalan adalah sebuah kewajaran yang akan menjadi sebuah ketidakwajaran jika tidak diterima. Untuk itu, berusaha sekuat tenaga dan mempersiapkan rencana cadangan adalah satu-satunya cara untuk menciptakan harapan yang pragmatis. Dengan harapan pragmatis, terlebih lagi dengan motivasi yang benar, kita telah mampu mempraktikkan Dhamma. Bahkan, kita dapat meningkatkannya untuk menjadi aspirasi. So, apa harapanmu untuk tahun depan? (SWA/JAY)

Referensi:

https://pustaka.dhammacitta.org/ebook/ umum/Ikhtisar20Ajaran20Buddha.pdf https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/ dhammapada/ https://www.kompasiana.com/ tjaturpiet/55e67178f67a612112665741/hopefor-the-best-prepare-for-the-worst https://www.wisdomlib.org/buddhism/book/ abhidhamma-in-daily-life-ashin/d/doc3139. html