Sinyo Sipit (Novel Perjuangan)

Page 284

Lantas, aku juga nanti ketemu dengan anak-anakmu yang ingusan bertelanjang dada...” Hian Biauw saat itu tertawa. “Latifah, Latifah," katanya. “Telanjang dada dan ingusan itu memang pemandangan yang ada sekarang. Mereka berbuat demikian karena mereka masih bodoh dalam segala hal. Tapi kelak, kalau pendidikan sudah masuk, kau pasti akan heran melihat bocah-bocah di sini berpakaian rapi, berseragam sekolah” “Itu impianmu?" tanya Latifah. “Ya," jawab Hian Biauw perlahan. Entah apa yang dipikirkan. Ia begitu berhasrat untuk ikut mencerdaskan rakyat desa. Kalau peperangan sudah selesai. Latifah kemudian bertanya lagi: “Lantas bagaimana aku harus menyebut istrimu orang yang desa itu... Encim?" goda Latifah. Tapi godaan itu bagi Hian Biauw berarti banyak. Bagi dia, bagi keluarganya, orang-orang di desa sebenarnya termasuk kelompok yang tak terhitung. Tak ada dalam kamus mereka untuk bicara tentang orang desa. Mereka cuma bernggapan bahwa pribumi dan bocah-bocah itu cuma layak jadi kacung. Hian Biauw ingin mengikis pendapat yang salah itu. Perbedaan yang menyolok antara apa yang disebut pribumi atau orang Jawa dengan orang Tionghoa cuma soal dalam pendidikan saja. Orang Tionghoa tak sayang mengeluarkan biaya untuk mendidik anak-anaknya. Kalau perlu ke sekolah guru gubernemen karena guru saat itu punya gaji yang besar. Tentang vitalitas, kemampuan? Oh, sama saja. Manusia di dunia ini sama saja. Dimana-mana yang bodoh ada yang pintar. Buktinya, Soekarno pintar. Orang seperti Deglok cuma jadi tukang pukul. Hatta juga pintar. Syahrir juga pintar. Bahkan mereka mungkin mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai orang Tionghoa. Mereka berani melawan Belanda. Mereka berani terus

284


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.