IL TIK_Kelompok 4_ Majalah Digital

Page 1

TANGISAN SANG ANAK??!!

MENYAYANGI LADANG

SEPERTI ANAK SENDIRI

TIDAK PERLU HIDUP

MEWAH DI DESA

LIVING NEAR MERAPI MOUNTAIN!

2023
KESEDERHANAANSISWI DIDESA LIHAT! LIHAT! SMPSANTA URSULAJAKARTA
PENGALAMANMORAL
TIDAK PERLU HIDUP MEWAH DI DESA MEMASAK PANENAN DI API TUNGKU LINGKUNGAN DESA YANG BEBAS MASKER "IBU ASIH" JADAH GORENG, MAKANAN TRADISIONAL INDONESIA PUTIH NAN GURIH Sudoku This or That Find These Tic Tac Toe GAMES ENGLISHTEXTS LIFE IN A VILLAGE THE VALUE OF JIMPITAN LIVING NEAR MERAPI MOUNTAIN THE SACK OF BEANS A FOOD FEAST ARTIKEL 13 23 30 39 14 18 20 24 26 6 8 10 28 32 Daftar
OUR GALLERY My Gallery #1 My Gallery #2 PUISI TANGISAN SANG ANAK KU SEBUT INI RUMAH PELANGI HATI SEMANGAT & KOMITMEN MENYAYANGI LADANG SEPERTI MENYAYANGI ANAK SENDIRI SEMANGAT DAN KOMITMEN BU HARYATI SEMASA HIDUPNYA 17 31 16 22 38 34 36
Isi

The Crew The Crew Meet

Salam Redaksi

Happiness In Live-In 2023

Search

Setiap situasi pasti memiliki hikmah sendiri. Seperti pandemi Covid-19 yang melanda kita sejak tahun 2020. Rutinitas yang selalu kita lakukan dahulu, pastinya perlahan menghilang dan tergantikan oleh kebiasaan yang baru. Tetapi semuanya pasti memiliki dampak negatif dan positif, hanya bagaimana kita bisa menyikapinya dengan bijak. Lalu, bagaimana SMP

Santa Ursula Jakarta menyikapi hal tersebut?

Dengan New Normal yang sudah ditetapkan oleh WHO, SMP Santa Ursula Jakarta mengadakan kembali untuk pertama kalinya program Live-In untuk para siswi. Bagaimana cara berjalannya kegiatan Live-In tersebut?

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan kalian temukan di majalah ini...

Happy reading!

Arletha Rhea Tirta

Salam kenal, aku Letha! Aku tinggal di rumah

Ibu Asih dan Pak Supri selama Live-In bersama

teman rekanku, Brenda. Ayo, simak majalah kami! Happy reading ;)

Peluang tidak datang dua kali, jadi ambillah dan perjuangkan!

Brigitta Brenda Gustiar

Halo semua! Nama aku Brenda! Selama kegiatan

Live-In berlangsung, aku memiliki rekan yang bernama, Letha. Kalau kalian penasaran dengan kegiatanku selama disana, baca majalah ini dengan pelan-pelan yaa Selamat membaca semua <3

Bagi saya, hidup terlalu singkat untuk dilewatkan dengan biasa-biasa saja

Nova Gracia Pyhanny

Halo semua! Kenalin, aku Nova! Selama Live-In, aku tinggal bersama temanku, Ratna. Bersama dengan

Pak Soewandi dan Bu Haryati! Aduh… Jadi kangen

Live-In rasanya Selamat menikmati majalah ini, ya :)

Hadiah memang menyenangkan, tetapi hadiah yang paling membahagiakan adalah ketika

melihat orang-orang bahagia!

Theresia Ratna Ester

Hello, perkenalkan aku Ratna!

Aku bersama temanku, Nova, tinggal bersama selama

Live-In di rumah Pak Soewandi beserta Ibu Haryati.

Semoga kamu menikmati membaca majalah kami!

Thank you and God bless you!

Kegagalan merupakan hal yang normal, akan tetapi menyerah? Tidak.

TIDAKPERLUHIDUP

MEWAHDIDESA

JAKARTA - Kegiatan Live-In SMP Santa Ursula Jakarta diadakan di Desa Ngargomulyo dan Juwono. Para siswi diajak untuk beradaptasi di kehidupan orang desa, seperti menanamkan rasa kesederhanaan, rasa syukur, kesenangan, dan kemandirian. Siswi diajak untuk berpengalaman bersama para orang tua asuh, seperti memasak, pergi ke ladang, memberi makan hewan ternak, dan sebagainya. Dengan adanya kegiatan Live-In ini, siswi diharapkan dapat membawa kesan dan pesan yang baik dari desa, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari saat kembali ke Jakarta.

Selama kegiatan Live-In berlangsung, para siswi SMP Santa Ursula Jakarta diajak untuk menjalani keseharian mereka berbeda dari biasanya. Para siswi diajak untuk mendalami kehidupan sehari-hari para warga di sana. Kehidupan di kota seringkali membuat orang-orang berpikir bahwa semakin mewahnya suatu hal maka semakin bagus. Tetapi, di desa, dapat dilihat bahwa hidup sederhana pun cukup. Para siswi diajak untuk selalu mensyukuri apa yang dimiliki. Bahkan, Devina, salah satu siswi SMP Santa Ursula Jakarta telah mengatakan, “Desa mengajariku bahwa kita tidak perlu hidup mewah-mewah untuk bisa bahagia. Kita hanya perlu hal-hal yang cukup saya seperti pangan, papan, dan sandang yang nyaman. Dengan hati yang bahagia saja pun itu sudah lebih dari cukup.”

Selain kesederhanaan, para siswi SMP Santa Ursula juga

dapat mempelajari nilai kemandirian yang kental di lingkungan desa. Mulai dari hal-hal kecil seperti merapikan kasur setelah bangun tidur, membantu memasak untuk

makanan sehari-hari, mencuci piring setelah makan, dan masih banyak lagi. Para siswi belajar bahwa kehidupan di desa tidak memiliki pembantu rumah tangga, yang seringkali hadir dalam kehidupan siswi di daerah ibukota Jakarta.

Dengan nilai kemandirian ini, siswi-siswi SMP Santa Ursula

Jakarta dapat menjadi lebih berdisiplin dan bertanggung jawab. Walaupun terlihat sulit untuk dilakukan, para siswi terlihat membawa suasana desa dengan gembira. Brenda, siswi SMP Santa Ursula Jakarta yang mengikuti Live-In di rumah Pak Supri, mengatakan bahwa ia senang akan sifat kekeluargaan yang sangat kental diantara para warga di desa Ngargomulyo. Kegiatan Live-In telah berhasil membawa

pengalaman baru yang bermutu dan asyik bagi siswi-siswi SMP Santa Ursula Jakarta.

Hal-hal tersebut didapatkan oleh para siswi SMP Santa

Ursula Jakarta sesampai di hari terakhir Live-In tepatnya

pada tanggal 30 Maret 2023 malam hari. Diadakannya refleksi

pada tempat yang telah direncanakan untuk menutup

kegiatan Live-In. Dengan nilai-nilai dan pengalaman yang sudah didapatkan oleh para siswi, diharapkan kembali agar

dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari serta tak lupa

untuk mengenang kenangan bersama yang didapatkan

selama Live-In terjadi oleh para siswi. (tim redaksi)

Memasak Panenan di

Tepat pukul 08.00 WIB

minggu lalu, saya dan temanteman sedusun Gemerwetan

berkumpul di teras rumah

bapak dan ibu asuh saya. Kami

berkumpul untuk berjalan ke

ladang, disana kami akan

memanen sayuran buncis.

Sesampainya di ladang, kami

diajarkan oleh ibu pemilik

ladang tersebut tentang sayuran

buncis mana yang sudah

matang dan bisa dipetik, dan

mana yang belum matang, tidak

bisa dipetik. Tanaman buncis

juga tidak bisa di asal petik

kemudian diolah, buncis yang

kurang lentur atau bisa disebut

keras, tidak dianjurkan untuk

diolah dan dikonsumsi.

Sebaliknya, buncis yang lentur

lah yang lebih baik dipetik

untuk diolah dan dikonsumsi.

Setelah kita semua

mendapatkan buncis

sebanyak segenggam

tangan kami, kita

melanjutkan perjalanan

ke rumah gubuk yang

ada di sebelah rumah

bapak dan ibu asuh saya.

Disana, kami dibagi

menjadi dua kelompok

berbeda, kelompok saya

memutuskan untuk

memasak sayur buncis

cah, dengan gorengan

tahu tempe, serta

cocolan sambal nikmat.

Tugas memasak dilakukan bersama tentunya agar lebih cepat selesai. Kelompok kami berbagi tugas secara adil, ada yang bertugas mencuci, memotong, serta menumis buncis, ada juga yang bertugas mengurus bumbu dan menggoreng tahu tempe, terakhir ada yang bertugas menyiapkan sambal. Kami memasak tidak dengan api kompor, namun menggunakan api tungku. Maka dari itu, ada anggota kami yang bertugas untuk menyalakan api tungku.

Saya membantu teman-teman yang lain dalam menyiapkan

tempe, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat bumbu marinasi dan merendamkan nya, terakhir baru

digoreng. Pertama, kita menyiapkan bawang putih sebanyak 3 siung, dan diulek halus di cobek. Kedua, masukkan bawang putih halus ke dalam wadah dan tambahkan dengan bumbu garam serta masako. Ketiga, tambahkan air ke dalam wadah tersebut dan aduk rata, tekstur dari bumbu akan menjadi cair.

Keempat, potong-potong tempe dan masukkan semua ke dalam wadah, pastikan semua tempe terendam didalam wadah.

Setelah dibiarkan selama beberapa menit, kita akan memulai

tahap penggorengan tempe. Dalam menggoreng tempe juga kita harus menunggu minyak sampai panas, setelah itu kita

masukkan tempe satu persatu. Tempe digoreng sampai

berwarna kuning keemasan, dan setelah itu kita meniriskannya di saringan. Saat semua minyak sudah turun, tempe siap untuk disajikan.

(BBG)

Lingkungan desa yang Bebas Masker

Pemberangkatan kegiatan Live-In jatuh pada tanggal 27 Maret 2023 hari Senin hingga 28 Maret 2023 hari Selasa. Pada pukul

18:00, dilaksanakan persiapan pemberangkatan Live-In. Hal tersebut dihadiri oleh para siswi kelas 8, para guru, beserta beberapa orang tua. Selama proses tersebut, para siswi dan guru sudahmemakaimasker,akantetapisebagianbesarorangtuatidak. Selainiturata-rataorangtidakmenjagamobilitasdanjarak.

Selama perjalanan di bus, kami melihat sebagian besar orang menggunakan masker. Akan tetapi, mobilitas pun masih terjadi dan ketika waktu tidur, banyak orang membuka masker. Lalu, terdapat beberapaorangmualdanpusing.Selamaperjalanantersebut,kami menghampiri tiga rest area. Rata-rata rest area yang telah kami kunjungi, terlihat banyak orang yang tidak menjaga protokol kesehatan.Sepertisaatkamiketoilet,terlihatbahwapenjagatoilet danpenjual-penjualmakanantidakmenggunakanmasker.Lalu,ada banyak orang sedang berbicara bersama dan tidak memakai masker. Walaupun begitu, salah satu toilet yang kami kunjungi di restareakebersihannyacukupterjaga.

Sesaat kami sampai di rumah makan, setelah kurang lebih enam jam perjalanan, kami disambut oleh penjual-penjual souvenir yang terlihattidakmenggunakanmasker.Dirumahmakan,paragurudan siswi menggunakan masker serta menjaga kebersihan seperti mencucitanganyangsudahdisediakan.Namundemikian,pegawaipegawai rumah makan tersebut rata-rata tidak menggunakan masker. Setelah kami meninggalkan tempat tersebut, kami mulai berangkatmenujukelokasiLive-In.

Selama perjalanan, kami melihat beberapa orang tidak menggunakan masker. Kami melihat bapak-bapak sedang menongkrong tidak menggunakan masker di tepi sawah, serta ibu-ibu ngobrol di warung. Dalam satu angkatan, para siswi dipisah menjadi dua desa yang berbeda. Terdapat tiga kelas yang menempati Desa Ngargomulyo dan dua kelas lainnya pada Desa Juwono.

SetelahtibadiDesa,siswiyangsudahturundaribusterlihatada yang pusing, mual, dan mabuk jalan. Sesudah itu, kami semua diminta untuk membuat barisan sesuai dengan dusun masingmasing. Saat membuat barisan, seluruh siswi menggunakan masker dan beberapa sedang menggunakan hand sanitizer. Kakak pembina ETM sudah tidak menggunakan masker. Awalnya kami merasa bingung. Tetapi, seiring berjalannya waktu, kami sadar

bahwadidesaberbedadengandikota.Dikota,kitamenggunakan masker bukan hanya karena penyakit yang menyebar dimanamana, tetapi juga karena polusi-polusi yang memenuhi udara. Perbedaan yang sangat jelas adalah kondisi udara di desa. Saat pertama kali turun dari bus bisa langsung dirasakan udaranya yang sangat segar dan minim sekali akan polusi. Lingkungan di sana memang dipenuhi dengan banyak tanaman, sehingga udaranyasangatsejuk.

Kamijugamelakukanupacarapenerimaantamu.Upacaradibuka dengan alunan gamelan, siswi yang berbaris satu persatu membasuh tangannya dengan air mengalir. Setelah pembasuhan, kami melewati api tungku kecil untuk menaruh tangan diatasnya, untuk mengeringkan tangan. Terakhir, melewati sosok buto yang mengoleskan abu di lengan dan tangan kami. Upacara ini juga menjadi kesempatan para siswi untuk mencuci tangan, karena selamaperjalanankitahanyamengandalkanhandsanitizer.

Kegiatan berlanjut sampai kami tiba di rumah orang tua asuh masing-masing. Ketika sharing, Ibu Asih dan Pak Supri, orang tua asuh Brenda dan Letha, mengatakan bahwa klinik ataupun pelayanan kesehatan desa sudah terpenuhi, contohnya seperti vaksinyanglengkapdangratisdaripemerintah.Adapulakegiatan untuklansiasepertisenamkebugaransetiapkamissore.

Mereka rajin tersenyum dan menyapa. Jam kerja mereka juga sangat stabil sehingga dapat dilihat penerapan work-life balance dalam kehidupan sehari-hari orang-orang di sana. Tak melupakan juga bahwa mereka memiliki jiwa yang sangat spiritual. Mereka rajin berdoa dan tidak pernah lupa untuk mensyukuri apa yang merekamiliki.

Sesudah mengemas serta berjalan kaki ke bus, kami mengemas taskebagasibus.Kamimenaikibuskembalikesekolah.Beberapa siswi terlihat menyemprotkan hand sanitizer setelah duduk di tempat masing-masing. Kami akhirnya sampai di tujuan pertama, yaitu tempat jual oleh-oleh. Protokol kesehatan sangat minim di tempattersebutakibatbanyaknyasiswiyangberdempetanuntuk mengantre membayar. Setelah itu, sampailah kami di tujuan kedua, yaitu Tebing Breksi. Terdapat beberapa siswi yang menggunakan dan tidak menggunakan masker saat sesi foto. Dilanjutkan ke lokasi Candi Prambanan. Tempat ini menyediakan lahan yang luas bagi para siswi untuk menjaga jarak. Udara di tempat tersebut sejuk dan bersih. Setelah bertamasya, kami sampai di tujuan keempat, yaitu restoran Satria yang menyajikan makan siang. Sanitasi dijaga dengan baik di sana dengan adanya jarakyangidealantarmeja.Beberapajamberlalu,busberhentidi restoran yang menyajikan makan malam. Setiap alat makan terlihatcukupbersih.Akhirnya,kamisampaidisekolahSMPSanta UrsuladiJakarta.(timredaksi)

From the 27th of February until the 1st of April, the 8th graders in Saint Ursula Jakarta Junior High School had been assigned to a Live-In activity in Muntilan, Magelang. Group 4 of Class 83 arrived at a hamlet called Gemer Wetan. Villagers there greeted us kindly. We introduced ourselves and then went straight to the scheduled activity that day. We were certainly more active in the village than back home in Jakarta. We had plenty of time to converse with our foster parents before beginning a strenuous exercise. Ratna and Nova had been helping their foster mother's job by harvesting green beans and selling them. They had been shown how to select the best ones, harvest them, put them in the buckets provided, and carry them to the place. Not only that, but they had been helping plant some cabbage too. While for Letha and Brenda, they had assisted in providing vitamin fertilizer to the farm's crops. In the meantime, their foster mother had removed weeds. Afterward, they had been observing their mother feeding the goats the weeds she gathered.

Since the first day of Live-In, we all had been helping the villagers there with a lot of stuff. Starting from planting, harvesting, cooking, and washing clothes. We had been making new memories with the villagers. Most of the students from Saint Ursula Jakarta Junior High School said that they had not been having this much fun for a long time. Other than the students having fun, the villagers there also had been saying that they were glad that we wanted to help and learn the ways of the villagers there. Some even said that they were glad to liven up their days. We were all so happy just by seeing the smiles on their faces.

Life in the villages is found to be peaceful, calm, friendly, and full of greenery. That is one of many things that made the students love living in the village. Many students said that it’s the best place to hang out with their friends, have some fun, and spend time with their foster family. The villagers are very excited by the presence and help of the students. When the students returned to Jakarta, they all said that they had missed their family in the village. They all had hoped that they could come back to the village and meet their foster family again someday. (tim redaksi)

TANGISAN SANG ANAK

oleh: Nova G.P.

Air mata berlinang tak henti

Tak sangka secepat ini kupergi

Waktu terus berjalan mempercepat temponya

Bisikan penuh melodi menjauh dan memudar

Hati ini tergores rindu

Tak dapat diungkapkan rinduku padamu

Hari demi hari dihabiskan sendiri

Ruangan hampa dipenuhi sunyi

Secepat inikah cerita kita berakhir?

Kuingin melihat senyummu lagi

Namun haruslah kita berpisah

Membawa semua kisah kita di desa

Nanti akan kita ingat hari ini

Menulis kisah yang baru di lembar putih

Terima kasih pahlawanku

ta berjumpa lagi di lain waktu

My Gallery#1

The Value of Jimpitan

Last week, I was in Magelang for Live-In activities. I lived in Ngargomulyo village, more correctly in Gemerwetan Hamlet. All the people there are so nice to me and my friends. My foster parents had been nice to me also. One day, the mentors that guided us in Gemerwetan gave us a job. The job that they are giving us was to do a ‘jimpitan’.

Gemerwetan mentors guided me and my friends to do the activity-jimpitan around Gemerwetan hamlet. They taught us to say “Kula nuwun pak/bu” when we knocked on the door. ‘Kula nuwun’ means ‘excuse me’ to the house owner in the house. The intentions are to show politeness because we are knocking on their door and going to ask for jimpitan. The house owner will open the door and reply “nggih” .

‘Nggih’ means ‘yes’.

After the Bapak or Ibu said yes to us, we should say “badhe nyuwunjimpitan” . It means “Can I have some dimes?”. The Bapak or Ibu will give you some coins and you collect them in a small plastic bag. Last, you will have to say “Matur nuwun” to the Bapak or Ibu that gives you some coins. It means thank you to them after they gave you some dimes. We could also say “Berkah dalem”. It means ‘God bless you’ or may God bless them after giving a jimpitan. All the coins that me and my friends have collected are then merged and given to the head of the hamlet. People there had been doing jimpitan for a long time, and now, it is a tradition.

Usually, the kids that live in Gemerwetan Hamlet are the ones that do the jimpitan, but since we are there, the mentors told us to do the tradition. All the coins that we have given the Pak RT, are then saved by him. The jimpitan money will be used for stuff, such as donating to neighbors who are having a celebration or cook during village events such as Thanksgiving on August 17th (Indonesia Independence Day). I did the jimpitan with Nova and the kid from my neighborhood, her name is Emily and Alfa(they were brother and sister). I love doing jimpitan because I could meet my new neighbors and get to know them. (BBG)

From March 27th to April 1st, my classmates and I held a trip called ‘Live-In’ near Merapi Mountain in Muntilan, Magelang. I lived in a village called Gemer Wetan. My foster parents had been very nice and welcoming. We had always been served a cup of sweet tea every break time.

On the first day, Brenda and I followed our mother to the field to do agricultural work such as watering the crops, cutting excess grass, and other things. The next day, we had more free time than the previous day to spend with friends around the neighborhood. After hanging out with friends, we shared some stories with our guide leader in the evening. We had also done community service which was a cooking session together with the teachers, foster parents, and friends.

The dishes we made will then be served to our teachers, parents, and of course us. We had excelled at making stir-fried chicpeas, tofu, and deep -fried tempeh.

On the third day, we had done a community service activity called Jimpitan. Jimpitan is a voluntary dues tradition that is usually held in Javanese villages. During this activity, Kezia, Avalona, and I had been going to different houses to collect funds. The funds would later be used for occasional holiday activities, visits to sick villagers, and other things. We had started by knocking on the door and saying “kulo nuwun ” which meant excuse me. If our greetings were welcomed, we continued by saying “bade nyuwun jimpitan” which meant ‘I’m asking for spare money ’ . By saying all of this courtesy, we would be welcomed by the whole village well.

On the last day, we had said our farewells to our foster parents and cried tears of joy as well as sadness of leaving. I enjoyed my ‘Live-In’ stay in Gemer Wetan village very much. It was an adventurous and exciting experience. I’m never going to forget this wonderful trip. I wish to visit this village again in the future. (ART)

Bade nyuwun jimpitan Matur nuwun

oleh: Nova G.P.

KUSEBUT INI RUMAH

Sno Ne Mu Ha Jak Jac Tah Bo Spicy Food ! Th ng ep m Up li er eh ok Non-Spicy Food That !

THESACKOF THESACKOF THESACKOF BEANS BEANS BEANS

ForLive-In,Istayedin

NgargomulyoVillage,theGemerHamlet. TheVillagewasnothinglikethecity.Itfeltlikegoing to a different place because I feel very unfamiliar with the environment,butforsomereason,Ihadbeenfeelingsomewhat ofaconnectiontotheplace.Growingupinthecity,Iamsoused to busy places, electronics, and even air pollution. There, everyone just lives individualistically. We just live our own lives and if we meet anyone, we don't smile or greet them because, for us, they’re just strangers. But it's totally different in The Village. No matter who they are, we have to smile when we see them, which was actually pretty nice for me because in the city we hadn’t been getting that experience. When we came to the Village, I was pretty surprised because we had been living during the time of pandemic where in the city we all have to wear a mask and there was so much pollution going on. But, in the village, everything was just so different and there was no suchthingasairpollution.Theairthereissoclean.Ithadfeltas if after living in the city for so long, I finally had gotten the chance to breathe and take a moment with the nature that surroundsme.

On the first day, I got to know my foster family there, my mother, my father, and three children that both of them had. First, I got to drink tea and ate some snacks with my housemate, Ratna. Then, our foster mother took me and Ratna to her Garden. There, we got to harvest some beans and we now had learned about the way of the Harvest. After finishing harvesting the beans, we ended up with Three sacks of beans. At that time, it was 12:00 p.m. so we had to go to the market to sell the beans that we hadharvested.Ihelpedmyfostermothercarryoneofthesacksof beans on my back and the other one carried by my mother. The lastsackwasleftathomeforustocook.

It had been such a new experience for me to have carried that sack of beans on my back and I was actually so happy to have been given the trust of carrying the sack of beans to the market. On our way to the food market, me, Ratna and my foster mother had been talking and making jokes which were so fun. The sack of beans on my back kept on falling from time to time and we kept on joking about it. We had talked along the way and I just felt so happy to have been there and experienced that moment. The Neighbors that saw me and my foster mother carrying the sack of beans kept on saying “Oh the kid can really carry a sack of beans.” AtthatmomentIwassohappytohave experiencedthatandIwoulddoanything togobacktothatmomentandjustfeel thewayIfeltcarryingthesackofbeans.

(NGP)

A FOOD

A few weeks ago, my class had a Live-In to Magelang for five days. We arrived in Ngargomulyo Village. The villagers had greeted us with open arms before we were divided into groups to go to our determined hamlet. I stayed in Gemer Wetan Hamlet, along with several of my classmates for three days. In each hamlet, we shared a house with our foster parents and a chosen classmate as our housemate and partner. We did all the scheduled activities with that particular partner and others in each of our hamlets.

One day, several of my classmates and I cooked and ate our meal in our hamlet. Since it needed to be in groups, we had separated into two groups of six members before we started cooking. Each group had been required to have an idea for a recipe to cook and eat. There were requirements for the meal. First, it must include an in-season vegetable. Next, we have to decide on a side dish between tofu, tempeh, or salted fish. Each group came up with an idea after much discussion. Both groups have decided to use green beans as the in-season vegetable. Besides that, we used tofu and tempeh as side dishes. Not only did we have to know which spices to use, we also had to remember to serve rice with our meals.

FEAST

The following day, we gathered and went to a green bean field. We were permitted to harvest green beans while being taught on how to select the right green beans to use. After that, we visited other farms to learn about agriculture and helped nurture a rice field. We had been doing that for around two to three hours before we cleaned ourselves up, gathered all the necessary ingredients, and met at the designated place. Each group worked and cooked in their groups. Although everyone worked in arranged groups, we had helped each other by borrowing certain ingredients and spices. Even though we had a few minor struggles, the process overall had gone smoothly. It had been a learning experience with a fun and unique accent, and we all had things to reflect on at the end of the day. We unlocked new skills, learnt to be brave at taking risks, leveled up our teamwork, and learnt to give opinions and ideas. After a lot of effort, it was finished. The meal was served with drinks, cups, spoons, and tissues. We all sat together, prayed, and enjoyed the meal. After we had finished eating, we cleaned up all the tools we used. We then returned back to our homes and continued our remaining day's activities. (TRE)

Ibu

Asih

Nama

Nama Panggilan

Umur

Tempat/Tgl Lahir

Pendidikan

: Valentina Sunarsih

: Asih / Aseh

: 51 tahun

: Magelang, 16 Januari 1972

: TK, SD, SMP Kanisius

Sumberdukun, SMA Hati

Kudus Semarang

Pekerjaan

Sejarah Pekerjaan

: Petani

: Pabrik garmen di Tangerang, pabrik sepatu

Nike di Tangerang, petani

Pendapatan

Pasangan

Anak Kandung

: Rp 60.000,00/hari

: Supri

: Aprilia, Novan

Valentina Sunarsih, atau akrab dipanggil Ibu Asih, adalah salah satu orang tua asuh untuk kegiatan Live-In sekolah SMP Santa Ursula Jakarta tahun 2023. Ibu Asih lahir pada tanggal 16 Januari 1972 di kota Magelang. Beliau sekarang berumur 51 tahun. Ibu Asih menempuh pendidikan di TK, SD, dan SMP Kanisius Sumberdukun. Setelah menyelesai jenjang SMP-nya, Ibu Asih melanjuti pendidikan di SMA Hati Kudus yang berpusat di kota Semarang.

Tidak lama setelah mengakhiri masa pendidikannya, Ibu Asih bekerja di Tangerang yang dulu kala merupakan pusat perindustrian. Beliau bekerja di pabrik garmen selama 1 tahun. Selanjutnya, beliau bekerja di pabrik sepatu Nike selama 8 tahun. Pada akhirnya, beliau memutuskan untuk kembali ke kampung desanya, yaitu Ngargomulyo untuk bekerja sebagai petani. Dalam kesehariannya, Ibu Asih sering diperkerjakan untuk merawati ladang orang lain, alias menjadi buruh. Tetapi, Ibu Asih juga memiliki ladang sendirinya seluas 4 petak yang ditanami tanaman cabai, daun bawang, singkong, dan lainnya. Ketika menjadi buruh untuk ladang tetangganya, Ibu Asih mendapatkan pendapatan sebesar Rp 60.000,00 per harinya.

Ibu Asih memiliki pasangan atau suami bernama Bapak Supri yang menjadi kepala rumah tangganya. Kedua pasangan tinggal di Desa Ngargomulyo, tepatnya di Dusun Gemer Wetan, yang merupakan dusun terdekat dengan

Gunung Merapi yang saat ini masih aktif serta dalam

kondisi Siaga 3. Ibu Asih dan Bapak Supri memiliki dua anak kandung. Anak pertama berkelamin perempuan yang sudah menikah bernama Aprilia atau akrab dipanggil Mba Lia. Mba Lia kini berumur 25 tahun. Anak kedua berkelamin laki-laki yang saat ini menempuh jenjang SMP bernama Novan. Novan kini berumur 14 tahun.

FindThese!

Jadah atau yang sering disebut dengan nama uli merupakan makanan tradisional khas Indonesia. Makanan ini terbuat dari campuran olahan beras ketan dan kelapa. Jadah

memiliki nama-nama yang bervariasi. Mulai dari ulen ketan (yang disebut orang Jawa Barat), jadah (yang disebut orang

Jawa Tengah), tetel (yang disebut orang Jawa Timur), dan uli (yang disebut orang Betawi). Bentuk jadah bisa berbagai

macam, mulai dari dipotong kotak-kotak tebal maupun tipis dan dibulatkan. Jadah juga mempunyai banyak jenis, seperti jadah blondo, jadah manten, jadah tempe, jadah bakar, jadah goreng, dan masih banyak lagi. Setiap jenis jadah pun akan

menggunakan teknik dan bahan tambahan yang berbeda, sehingga tekstur, tampak, ukuran, dan rasa juga berbedabeda. Rata-rata warna jadah adalah putih atau putih

keemasan, sesuai dengan jenis jadahnya. Makanan ini dapat dibuat ataupun dimakan saa

Lebaran), ataupun sebagai maka

makanan ini cocok disantap den oncom, gula pasir, atau kelapa y disangrai.

anan ini kerap ditemukan dua siswi SMP karta, yaitu Ratna dan Nova saat sedang

Live-In di Desa Ngargomulyo pada rumah Pak Suwandi dan Bu Haryati. Jenis jadah yang mereka temui merupakan jadah goreng. Jadah yang mereka temui berwarna putih keemasan. Dengan ukuran dari kecil ke sedang dengan ketebalan sedang kebesaran. Mereka diperkenalkan makanan tersebut dan diberi tahu sekilas tentangnya.

Dimulai dari dibuat dari apa dan cara membuatnya. Ratna dan Nova sangat suka dengan jadahnya karena rasanya yang gurih dan tidak terlalu asin. Jadah ini memiliki tekstur yang empuk, kenyal, lengket, dan juga garing. Sehingga, disarankan untuk d tangan dan tidak menggunakan tis

Rasasemangatdansebuahkomitmenadalahhalyangharusselalu jalan beriringan agar dapat membuahkan hasil yang manis, sama seperti apa yang telah Ibu Asih lakukan selama ini. Ibu Asih adalah seorang petani yang bekerja dengan giat setiap harinya dalam merawatparatanaman-tanamandiladang.WalaupunumurIbuAsih sudah mencapai angka 51, tetapi semangat yang membara di dalam dirinya untuk selalu pergi ke ladang tetap berkobar. Tanamantanaman di ladang, yang Ibu Asih rawat sudah seperti anaknya sendiri tentu dipenuhi rasa sayang dan cinta. Untuk memiliki rasa itu, Ibu Asih tentunya memiliki motivasi agar rasa semangat dan komitmennyatetapterjaga.

Pergi ke ladang setiap hari, merawat dan menyayangi tanaman disanaadalahbentukrasasemangatyangberkobardidalamdiriIbu Asih. Sama seperti merawat tanaman dari kecil sampai besar, untuk mewujudkanhalitujugaperlupengorbanandanrasasemangatyang membara. Cuaca disana terkadang berdampak baik maupun buruk bagiparatanaman.IbuAsihmengatakan“Initanamannyapadalayu karena dari kemarin hujan terus-menerus, dan tidak ada matahari”

tantangan dalam merawat dan menjaga tanaman pasti ada, namun melihat Ibu Asih yang pantang menyerah dan selalu semangat, membuat saya teringat akan motivasinya. ‘Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sehari-harinya’ merupakan bentuk motivasi dari Ibu Asih. Semangat dalam dirinya untuk ke ladang setiap hari tidak luput dari motivasi memenuhi kebutuhan hidup.

Musim panen juga menjadi target Ibu Asih dalam merawat tanamannya sebaik mungkin, agar saat musimnya tiba Ia mendapatkanpemasukkanuntukbiayahidupkesehariandia.

Komitmen yang dimiliki oleh Ibu Asih adalah menyayangi, merawat, dan membesarkan tanaman-tanaman di ladang seperti anak sendiri. Artinya, tanaman-tanaman yang tumbuh di ladang akan dirawat Ibu Asih dengan sepenuh hati. Sama halnya seperti merawat seorang anak. Hal ini diterapkan Ibu Asih dengan memberikan pupuk, vitamin, dan air yang diperlukan oleh tanaman untuk tumbuh dengan baik. “Tanaman diajak ngobrol jugaboleh,agarsuasanasaatbekerjatidaktegang”,ucapIbuAsih. Selain itu, Ibu Asih berpegang teguh pada motivasi “hari ini mencapaihasilpanenyangmaksimaluntukmemenuhikebutuhan sekolah agar anak memiliki nasib yang lebih baik”. Hal ini dijadikan motivasi oleh Ibu Asih karena beliau mempunyai

seorang anak bernama Novan yang sedang menduduki jenjang SMP di sekolah Kanisius Sumberdukun. Ibu Asih berjanji kepada diri sendiri untuk bekerja keras agar nasib masa depan anaknya lebihbaik.

Oleh karena itu, kita sebagai siswi SMP Santa Ursula Jakarta perlu bersyukur akan terpenuhinya kebutuhan hidup kita, baik dalam lingkungan sekolah maupun keluarga. Orang tua telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga agar kitatidakmenderita.Dengankebutuhanhidupkitayangsebagian besar sudah terpenuhi, ada baiknya untuk berbagi kesukacitaan tersebut bersama dengan masyarakat, terutama masyarakat KLMTD (Kecil, Lemah, Miskin, Terpinggirkan, Disabilitas). Dengan melakukan hal-hal yang baik, kita dapat lebih bersyukur akan kehidupan yang telah diberikan oleh Yang Maha Esa. Marilah bersemangat dalam menempuh pendidikan untuk masa depan yang cerah! Ayo berpegang teguh pada komitmen dan motivasi sepertiyangdilakukanolehIbuAsih!(ART&BBG)

Bu Haryati m 60 tahun yang tinggal di Desa Ngargomulyo pada Dusun Gemer Wetan. Dengan status seorang ibu rumah tangga dan juga petani yang memiliki suami, beserta tiga anak yang kini sudah berkeluarga. Anakanaknya tinggal di tempat-tempat yang berbeda. Seperti Tangerang, Bekasi, dan juga Yogyakarta. Akan tetapi, anakanaknya rajin berkunjung ke desa dan membantu pekerjaan orang tuanya. Bu Haryati beserta suaminya, Pak Soewandi, merupakan pekerja keras. Mereka sangat memperhatikan masa depan anakanaknya dan membebaskan anak-anaknya untuk bermimpi. Hingga, mereka pernah menghadapi masalah keuangan untuk membiayai kuliah anak-anaknya. Beliau sangatlah bijak dalam memperhitungkan pengeluaran dan penghasilan. Mereka juga pernah direndahkan dalam bekerja karena mimpi mereka terlalu tinggi dalam membiayai anak-anaknya kuliah dengan pekerjaan mereka dengan penghasilannya dikit. Namun, mereka berhasil membuktikan kepada mereka bahwa dengan pekerjaan sang petani,mimpimasihmampudiraih.

Selain hal tersebut, terdapat masa dimana Pak Soewandi pernah mengalami kecelakaan ketika salah satu anaknya sedang sakit.

Walaupun begitu, hal tersebut tidak menghentikan Bu Haryati dalam terus bekerja keras. Banyak yang mengira bahwa pekerjaan seorang petani sangatlah sibuk. Melainkan, Bu Haryati memilih pekerjaan tersebut agar memiliki cukup waktu di rumah. Sebelum menjadi petani, Bu Haryati bekerja sebagai pedagang. Namun, pekerjaan seorang pedagang mengurangi waktunya bersama keluarga di rumah. Maka dari itu, beliau memilih untuk menjadi seorang petani dengan pengetahuan bahwa penghasilan sebagai petani yang kurang stabil dan tetap bekerja di ladangnya sebagai warisankeluarganyasecaraturuntemurun.

Bu Haryati sudah diajarkan bekerja sebagai petani sejak

beliau masih kecil, tepatnya ketika beliau menduduki bangku SD. Namun demikian, beliau tak dapat melanjutkan pendidikannya akan kekurangan biaya. Beliau tidak pernah mengeluh dalam menjalani pekerjaannya. Meskipun begitu, beliau dan suaminya tidak memaksa ketiga anaknya untuk menjadi petani dan membebaskan anak-anaknya untuk menggapai impiannya masing-masing. Dikarenakan beliau yakin akan ada seseorang yang melanjutkan warisan keluarganya.

Di masa ketika Covid gempar, warga-warga di sana diwajibkan untuk menggunakan masker dan mengikuti protokol kesehatan. Semasa itu, banyak warga juga yang sakit dan kehilangan nyawanya. Tetapi Puji Tuhan, Bu Haryati dan Pak Soewandi terhindar dari Covid. Sayangnya, teman baik Bu Haryati dari SMP pun meninggal, dan beliau dilarang untuk berkunjung ke kuburan. Hal tersebut merupakan masa yang sedih karena sudah lama mereka berteman, tetapi beliau dilarang untuk berkunjung. Masa Covid merupakan masa yang sulit bagi semua orang. Namun Bu Haryati masih terus bekerja keras demi keluarganya. Dapat dilihat bahwa kasih sayang Bu Haryati kepada keluarganya sangatlah besar. Bahkan, beliau pernah mengatakan bahwa sumber semangatnya adalah keluarganya. Totalitas Bu Haryati dalam menjalani pekerjaannya tak pernah luluh. Dalam pikirannya beliau selalu ‘kerja kerja kerja’ tanpa batas. (NGP & TRE)

PELANGI HATI

oleh: Nova G.P.

Kebahagiaan berdiri di depan mata

Tetapi mengapa kita masih tak melihatnya?

Kita masih terlalu fokus pada bebatuan di jalan

Tidak menyadari sungai yang mengalir penuh harapan

Kita terlalu sibuk berlari

Mengejar hal yang tak dapat dikejar

Menganggap kebahagiaan sebagai hal kecil

Yang sebenarnya adalah harta emas berlian

Mengapa kita menghabiskan waktu kita?

Mencari hal yang ada di depan mata kita

Kunci emas ada di hati kita

Kita saja yang masih terlalu buta untuk melihatnya

Mulailah mensyukuri apa yang kita punya

Bukan malah membuangnya ke jalanan

Sebab Tuhan telah berkorban

Tetapi kita yang buta tak bisa melihatnya

Kita masih tak bisa melihat pelangi yang ada

Pelangi di dalam diri kita

Play

TicTacToe Vs.

Sebuah majalah yang menceritakan pengalaman siswi

Santa Ursula Jakarta dalam kegiatan Live-In.

Mengisahkan tentang sebuah pertemanan, kasih

sayang orang tua asuh, dan memori terbaik yang akan dikenang selamanya.

Starring:

ArlethaRheaTirta

BrigittaBrendaGustiar

NovaGraciaPyhanny

TheresiaRatnaEsther

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.