Narodnik #2

Page 11

11 “Kenapa mesti malam hari?” “Iya. Malam hari menandakan keabadian.” “Bukankah kita abadi dalam hati?” “Lebih dari itu. Hidup kita selalu terjal untuk dijalani. Maka di malam hari semoga kita memiliki langkah yang sama,” “Maksudnya?” “Kita ganjilkan malam ini dari dua hati menjadi satu antara aku dan kamu punya cinta yang sama.” “Dengan apakah kita ganjilkan malam ini?” “Dengan hati kita.” Sesudah itu, aku tersipu. Ia benar-benar memikatku dengan cara yang berbeda. Seolah ia tahu betapa aku membutuhkannya. Sikapnya pun begitu tegas. Kali ini aku tak salah pilih lelaki. Sementara Emak hanya memasrahkan itu padaku. Emak menuruti apa yang menjadi pilihan terbaik dalam hidupku. Emak tak seperti almarhum Bapak. Emak sudah tahu bahwa aku tak ingin dipaksakan kehendakku. Karena itu, Emak cukup mendukung apa yang menjadi keinginanku, termasuk hubunganku dengan lelaki. “Doa Emak selalu untukmu, Nak!” ujarnya. Terharu. “Jadi, Riana boleh memilih pasangan hidup sendiri kan, Mak?” “Iya, asalkan jangan terlalu lama. Dan Bapak bisa bangga padamu, Nak!” “Insya Allah, Mak!” Aku bangga. Emak tidak mengharapkan sesuatu yang aneh-aneh terutama tentang penilaian lelaki yang akan kudekati, kucintai dan kusuamikan sendiri. Meskipun Emak sebetulnya berharap menimang cucu sebelum mengikuti Bapak. “Kapan Emak bisa menimang cucu?” “Ya, sebentar lagi. Emak sabar aja,” “Asal tidak terlalu lama. Biar Bapak senang, dan Emak juga dapat tenang” “Emak percaya pada Riana. Emak tak perlu risau.” Aku yakini jika lelaki pilihanku segera melabuhkan pinangan. Kerap dalam hatiku

Narodnik #2 bertanya kapankah semua ini berlalu dengan kebahagiaan. Hati terdalam selalu berasa seperti tak ingin menjadi perawan tua. Lelakiku yang kutunggu di malam yang separuh rembulan ini. Akankah bahagia itu menyerbuku? Aku menunggu lelaki yang menjadi pilihan hidupku. Tiba-tiba dari kejauhan, seseorang berlari ke arahku. Tergopoh-gopoh, terdengar sekali kalau ia ingin memberikan kabar penting untukku. Lalu ia menjulurkan sepucuk surat dan entah ia langsung berlari lagi. Begitu kubaca, sesekali tetesan airmataku terjatuh tak tertahankan. Betapa sedihku berulang, kesepianku berganda, Emak sudah menyusul Bapak. Sementara aku ratapi diri, lelakiku tak kunjung datang ke sini. Bayangkan, dingin di sini menusukku dalamdalam. Aku terus memandangi langit yang sendiri. Rembulan sendiri. Bintang sendiri. Aku pun sendiri. Aku datang untuk memenuhi janjinya malam ini. Aku penuhi waktuku untuknya di atas bulan merah hati. Masihkah cintaku berikrar di hatimu, Sayang? (*)

Malang, 14 Februari 2011


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.