minggu, 23 NOVEMBER 2014
6
Fiksi dan Nonfiksi dalam Novel
Laskar Pelangi Oleh: Ekarini Saraswati Cerita kehidupan yang dialami pengarang banyak menginspirasi karya fiksi Indonesia saat ini. Dimulai dengan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi atau 9 autum 10 summers karya Iwan Setiawan yang menceritakan pengalaman hidup pengarang yang bermula dari kehidupan yang berat akhirnya berhasil meraih impiannya. Apakah cerita kehidupan tersebut disebut karya nonfiksi? Bagaimana dengan Cerita Kuantar ke Gerbang Kemerdekaan yang menceritakan pengalaman hidup Presiden Soekarno dan istrinya Inggit Garnasih demikian juga dengan novel Si Anak Kampoeng, atau Sepatu Dahlan yang mengangkat kehidupan figur publik Indonesia Buya Syafii Maarif dan Menteri Dahlan Iskan. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui bahwa suatu buku itu sebagai karya fiksi atau nonfiksi. Dari sampul buku kita dapat mengetahui apakah buku itu karya fiksi atau nonfiksi? Karya non fiksi memeliki warna yang gelap dengan susunan kata berbaris rapi. Berbeda dari karya fiksi yang menggunakan sampul meriah dengan gambar bebas. Selain itu dari judul buku itu sendiri dapat dilihat apakah itu karya fiksi atau bukan. Kata Laskar Pelangi apakah fiksi atau nonfiksi? Laskar dan pelangi merupakan dua kata yang menunjukkan nama suatu kelompok orang dari suatu situasi tertentu yang secara konvensi dimiliki oleh kelompok tertentu. Tentu ini berbeda dengan kelompok nonfiksi yang merupakan suatu organisasi yang jelas keberadaannya dan diakui secara hukum. Kalau laskar pelangi dapat ditebak merupakan nama suatu
kelompok pertemanan. Selain sampul buku dan nama judul buku dapat dilihat juga dari segi sintaksis, semantik dan pragmatik ( Art van Zoest, 1980). Secara sintaksis dapat dilihat dari kalimat yang digunakan menunjukkan fiksi atau nonfiksi. Apabila nonfiksi kalimatkalimat yang digunakan memiliki referensi yang jelas dan teruji. ”N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri),...Lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran.....Setelah seharian mengajar, beliau melannjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya (hal. 30)”. Nama N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, SKP dan SD Muhammadiyah merupakan nama-nama yang dapat dibuktikan dalam kehidupan nyata. Sebagaimana dikemukakan pengarang dan kehidupan Bu Mus sendiri dapat dikatakan merupakan kehidupan yang sebenarnya. “Pagi ini Lintang terlambat masuk kelas… (hal. 87).” “Tapi lebih dari setengah perjalanan sudah, aku takkan kembali pulang gara-gara buaya bodoh ini. Tak ada kata bolos dalam kamusku…(hal. 88).” Ada tokoh yang bernama Lintang dalam novel dan setelah ditanyakan ternyata Lintang itu nama fiksi yang dibuat pengarang sebagaimana beberapa kesaksian yang dikemukakan dalam media massa .(http:// rotyyu.wordpress.com/2008/10/21/faktadan-misteri-menarik-seputar-film-dan-novellaskar-pelangi/diakses 5 Oktober 2014)
Bahkan Bu Mus, guru SD Muhammadiyah tempat Lintang dkk bersekolah, yang saat ini mengajar di SD Negeri 6 Gantong dan sedang menunggu pensiun berkata“Saya tidak ingat, siapa Lintang?” ketika beliau ditanya siapa Lintang. Jika dipikirpikir lagi mungkinkah seorang guru melupakan muridnya yang paling jenius sepertiLintang. Demikian juga halnya dua teman Ikal (panggilan Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi) Syahdan dan Kucai mengaku tidak mengenal Lintang dan menjawab bahwa Andis (nama panggilan sebenarnya Andrea Hirata sewaktu kecil) adalah orang paling pintar di kelas Mengingat Lintang merupakan nama fiksi maka apa yang dia lakukan dalam novel ini semuanya fiksi. Hal ini berbeda dengan kegiatan yang dilakukan Bu Muslimah yang ternyata Bu Muslimah merupakan sosok nyata yang ada kemungkinan bersifat nonfiksi. Dari segi semantik kita dapat melihat fakta-fakta yang dapat dilihat dan dibuktikan kebenarannya dalam dunia nyata. “Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?” tanya Mahar kepada ibu Ikal. Ibu tua berwajah keras itu awalnya sangat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami, namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam. (hal. 492).” Sebagian besar pusat penceritaan dilakukan oleh Ikal dan Ikallah yang mengetahui setiap kejadian yang dilakukan tokoh-tokoh yang lain. Namun, pada bagian terakhir Ikal muncul sebagai sosok orang ketiga yang diceritakan. Di sini pengarang berperan sebagai sosok yang serba tahu dan kita dibiaskan antara Ikal dan Andrea Hirata. Dari segi penerimaan pembaca novel
Laskar Pelangi dianggap sebagai novel dan tentu saja merupakan karya fiksi karena pembaca tidak menuntut adanya kebenaran isi novel tersebut. Pembaca tidak menguji kebenaran novel tersebut baik dari tokoh dan tempat serta peristiwa yang dibangun. Berikut pendapat salah seorang mahasiswa pascasarjana Eko Marini melalui tesis yang disusunnya,. Analisis Stilistika Novel Laskar PelangiKarya Andrea Hirata Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Analisis di atas menunjukkan bahwa penulis mampu menonjolkan keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yang spesifik dan lain dari yang lain.Keunikan tersebut dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya dan pendidikan penulis.Hal itu menghasilkan style tersendiri yang menjadi ciri khusus Andrea Hirata dalam menuangkan gagasannya melalui novel Laskar Pelangi. Pembaca memberikan tanggapan tentang bahasa yang digunakan pengarang hasil apresiasi yang diberikan bukan penghakiman atas pemikiran ilmiah yang ada di dalam novel Laskar Pelangi. Dari tiga aspek kajian yang dikemukakan dapat dikatakan bahwa novel Laskar Pelangi merupakan karya fiksi sekalipun isinya
Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim hingga Hikajat Kebonagung Urip dadi apa wae kena, pokoke bener lan temen tumemen. (Munali Patah, Pahlawan Seni dari Sidoarjo, tulisan Henri Nurcahyo, Moh. Ridlo’I, Dewan Kesenian Sidoarjo, 2011) Besok, tanggal 24 November tepat setahun lalu tulisan pertama saya Ang Hien Hood dan Siauw Giok Bie dimuat di kolom budaya Malang Post.Tulisan sepanjang 1345 karakter itu saya kirim Jumat, 15 November 2013 pukul 15.11 wib. Adalah rekan Bagus Ary Wicaksono dari Malang Post yang menuliskan “budayawan” dibawah foto close up saya. Banyak orang lantas menyebut wajah saya mirip Munir, aktivis HAM. Foto close up hasil bidikan Ridhuwan, sahabat di es-em-pe satu Mojokerto. Dan sejak 24 November 2013, hampir setiap minggu tulisan saya dimuat di kolom budaya Malang Post. Tercatat 39 tulisan hingga 16 November 2014. Awalnya Mbak Adinda Noer Zaini dan Mas Bagus Ary Wicaksono yang meng-handle tulisan saya, namun sejak Mbak Dinda berpindah ke Malang Ekspres, kiriman tulisan saya langsung ke e-mail Mas Bagus Ary Wicaksono. Kenapa menulis di Malang Post? Saya menikah dengan Pendeta Novarita di GKI Kebonagung, 18 Januari 2014. Artinya saya akan menetap di Kebon agung. Ini adalah fase kedua saya masuk Malang. Tahun 1987 saya masuk Malang untuk kuliah. Tahun 1990-an saya aktif di Forum Sikat Gigi dan Teater Bellgombest di Malang. Apakah saya tetap menjadi networker kebudayaan saat masuk kembali ke Malang. Saya memilih menuliskan peristiwa budaya yang pernah saya alami. Lalu saya mulai membeli koran lokal yang memiliki rubrik seni budaya. Tersebutlah Malang Post. Selanjutnya berkenalan dengan redaksi Malang Post. Bersama Danial Ahmad saya hadir di acara Emha Ainun Najib & Kyai Kanjeng di depan kantor Malang Post. Bertemu Mas Sumarga Nurtantyo, kawan lama di kampus yang saat itu bekerja di Malang Post. Mas Marga mengenalkan saya dengan Mas Bagus, Redaksi Malang Post. Begitulah kisah bergulir seperti air mengalir. Saya bertemu lagi dengan Mas Bagus saat launching media budaya Pasar Senggol di Gedung Dewan Kesenian Malang. Sejak saat itu, kami intens berkomunikasi khususnya berbagi informasi peristiwa seni budaya. Dan, 12 November 2014 sore hari saya bertemu Mas Bagus di kantor Malang Post, mengutarakan ide untuk menulis kolom budaya di Malang Post setiap minggu selama
setahun. Beberapa jam kemudian, saat saya berada di Kebonagung, Mas Bagus mengirim pesan pendek kalau Pemimpin Redaksi Malang Post setuju dengan ide yang saya ajukan.Puji syukur.. Sebagai koran lokal, Malang Post memiliki kepedulian pada dunia seni budaya. Salah satu bukti kongkritnya adalah terbitnya Barisan Hujan, Kumpulan Cerpen Pilihan Malang Post 2010. Saya hadir dalam launching Barisan Hujan di Perpustakaan Umum Kota Malang. Anita D.Retnowati, Redaktur sastra Malang Post saat itu, memilih 15 cerpen dari 39 cerpen yang dimuat Malang Post sepanjang 2010. Dalam buku setebal 142 halaman tersebut, Anita D.Retnowati menulis “Selama perjalanannya, Malang Post turut serta mengawal perkembangan cerpen di wilayah Malang Raya lewat rubrik cerpen yang terbit tiap hari Minggu. Rasanya sudah menjadi alas an kuat untuk menerbitkan kumpulan cerpen pertama ini. Kendati Malang Post hanya sebuah Koran lokal yang terbit di Malang, tetapi kiprahnya dalam mendukung gairah menulis para cerpenis Malang tak pernah surut.”. Hingga tahun ini sudah 16 tahun rubrik cerpen hadir di Malang Post. Halaman Sastra dan Budaya Malang Post juga menyediakan ruang untuk puisi, resensi buku dan esai. Inilah pertimbangan kenapa saya menulis kolom budaya di Malang Post, karena Malang Post telah memiliki halaman sastra dan budaya. Berapa waktu yang dibutuhkan menulis sebuah artikel? Ini adalah pertanyaan Mbak Adinda Noer Zaini saat bertemu di kantor Malang Post. Untuk menulis sebuah artikel saya membutuhkan waktu 3 hari, kadang juga beberapa jam. Energi terkuras untuk mengingat kembali peristiwaperistiwa yang telah saya alami saat masuk Malang tahun 1987. Mencari kawan-kawan lama untuk menemani ingatan yang terkadang
memudar. Salah satunya adalah Setyo Pambudi di ruang komputer Fakultas Kedokteran Unisma. Jadilah tulisan Akulah Bisma, Lakilaki yang Selalu Tersudut di Pojok Lingkaran. (5/1/2014). Terkadang saya menulis di malam hari lalu paginya saya rapikan sebelum saya kirim. Pernah juga tiga hari saya tak bisa tidur nyenyak. Bayangan sosok almarhum Pendeta Edy Sumartono terus menggedor-nggedor isi kepala saya. Saya mulai mengetik tulisan Nyanyi Sunyi Pdt Edy Sumartono (19692014). Saya benar-benar merasa plong setelah tulisan tersebut selesai, dan dimuat di Malang Post, 11 Mei 2014. Beberapa saat sebelum Pendeta Edy Sumartono berpulang, saya bertemu beliau di acara Live In Samin di Bojonegoro. Ada yang mengatakan bahwa 40 hari sebelum wafat, seseorang dapat dianggap ‘almarhum’. Dapat berdiskusi dengan beliau di Bojonegoro merupakan suatu anugerah. Sebelumnya saya pernah wawancara dengan ‘almarhum’ yang lain. Namanya Pak Atim, salah satu pemain karawitan Wayang orang Ang Hien Hoo dan pernah tampil di hadapan Ir.Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia. Saya menuliskannya dalam Bung Karno dan Ang Hien Hoo. (26/1/2014) Saat menulis ada hal-hal pendukung yang memperlancar selesainya sebuah tulisan? Saya berdoa agar Tuhan membuka pintu ilmu pengetahuan untuk saya. Dan apa yang saya tulis dapat bermanfaat. Musik dari album Bulan Di Asia ( Java Jazz), Solo Piano Improvisations Chick Corea banyak mendukung daya kreatif saat saya menulis. Juga secangkir kopi hitam panas dan beberapa snack. Bagaimana formula dalam menulis untuk kolom budaya Malang Post? Saya menuliskan apa yang saya lakoni dalam dunia seni budaya dalam kurun 25 tahun, saya tambahkan referensi pendukung. Saya masukkan film yang pernah saya tonton, buku yang pernah saya baca, warung kopi langganan saya. Saya kumpulkan data sebanyak mungkin. Lalu saya menuliskannya dari sudut pandang personal dengan bahasa tulis yang sederhana. Saya mengambil sisi yang tidak popular, hal-hal sederhana dan acapkali luput dari publikasi. Lokasi kegiatan dari peristiwa seni budaya yang saya tulis sebagian besar di Malang, ada juga yang terjadi di Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Bojonegoro, Surabaya. Saya menuliskannya di pastori GKI Kebonagung, hotspot, warnet. Ada yang menarik setelah tulisan diterbitkan di Malang Post? Banyak hal-hal yang menyenangkan. Tulisan Perjalanan Musikal Redy Eko Prastyo Bersama Leo Kristi (1/6/2014) dimuat dalam buklet, buku program dan web album terbaru Leo Kristi, musisi folk
Indonesia “Hitam Putih Orche”. Moehammad Sinwan memperoleh Penghargaan Seniman Jawa Timur untuk Bidang Teater dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Saya bersyukur, sebelumnya telah menulis Moehammad “Lek Boss” Sinwan & 30 Tahun Teater IDEOT (17/8/2014). Saya bertemu kawan lama setelah beliau membaca tulisan hasil wawancara saya dengan Pak Totok Suprapto, Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang, Saya Bersyukur Menjadi Seniman Ludruk (19 dan 26 Oktober 2014). Pak Os, Ketua RW saya menempel tulisan Ada Gendhies Di Kebonagung (27/4/2014) di ruang depan rumah beliau dan bisa dibaca banyak warga saat menyaksikan nobar Arema di rumah beliau. Siapa yang menjadi motivator menulis? Bapak Max Arifin (1936-2007), penerjemah Seratus Tahun Kesunyian, Gabriel Garcia Marquez. Saat saya masih tinggal di Mojokerto, saya dan Novarita hampir setiap hari bertemu Pak Max dan Bu Max. Namun ada saat-saat beliau menunda pertemuan karena sedang menyelesaikan tulisan untuk media yang diterbitkan Dinas Infokom Kabupaten Mojokerto. Meskipun honor yang diterima dari Tabloid Warta Majatama tidak besar namun Pak Max tetap disiplin dalam mengirim tulisan. Beliau juga sepenuh hati dan serius dalam menulis. Motivator lain adalah Pak Hardjono WS (1945-2013), Mbak Ratna Indraswari Ibrahim (1949-2011). Ada dua tulisan bersumber dari Mbak Ratna: Membaca Karya Ratna Indraswari Ibrahim (15/6/2014) dan Mbak Ratna (1/12/2013). Juga Pendeta Novarita, istri terkasih yang setiap minggu menulis khotbah sepanjang sembilan belas tahun ini. Ide menulis datang dari mana? Dari mana saja, kapan saja, dimana saja, tak terduga. Saat ngopi di Bu Jum, Magersari, Mas Cossa Bayu Paramita, guru sekolah minggu, mengenalkan saya pada Pakde Susilo yang sedang lewat di depan kami. Jadilah tulisan Padepokan Pak Susilo di Kebonagung (20/7/2014). Sering jagongan dengan Pak Os, pak RW saya menjadi tulisan Ada Gendhies Di Kebonagung (27/4/2014). Tulisan Sepotong Kisah Pak Frans Edward Klavert (13/7/2014) muncul setelah istri saya member informasi bahwa ada jemaat di GKI Kebonagung yang piawai bermain gitar. Tulisan Hikajat Kebonagung (16/11/2014) muncul setelah ngopi dengan Pak Asa Wahyu Setyawan Muchtar di warung kopi 87. Saya baru menuliskan ide-ide yang berkelebatan tersebut setelah saya menjadi gelisah. *) Pemerhati Budaya dan Penulis Kolom Budaya Malang Post, Tinggal di Kebonagung.
berdasarkan pengalaman nyata si pengarang karena unsur imajinasi pengarang lebih dominan daripada unsur ilmiah yang dikemukakan. Dengan demikian novelnovel yang beranjak dari biografi seseorang apabila disajikan dengan menggunakan unsur-unsur novel seperti penokohan, latar juga plot yang menarik dapat dikatakan sebagai karya fiksi. Hal ini dilakukan sepertinya apabila biografi kehidupan seorang tokoh disusun dengan tulisan biasa kurang begitu menarik untuk dibaca. Fiksi dan nonfiksi memberikan nuansa yang berbeda bagi pembaca untuk menikmatinya. Kehidupan yang saat ini dituntut banyak keseriusan juga persaingan yang berat mengharapkan adanya suatu suasana batin yang menyegarkan sehingga tidak membuat masalah semakin rumit. Karya fiksi merupakan suatu solusi yang menarik dan dapat dijasikan konsumsi bagi pengembangan batin yang lebih intens. *** *) Ekarini Saraswati adalah Dosen Tetap Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang
puisi
AYAH Karya: Dewi Mardiyah
Ayah.. Walaupun sangat jarang ,aku berkomunikasi denganmu…. Sekedar bercerita apa yang kuinginkan… Tapi aku percaya padamu ayah.. Disetiap doamu , pasti kau selipkan nama ku.. Diantara uluran kedua tanganmu, Dan tengadahnya kepalamu di sepertiga malam yang mustajabah.. Ayah… Walaupun bertahun- tahun tak pernah kurasakan pelukan hangat penuh kasih darimu… Tapi..satu keyakinanku, sepenuhnya umurmu telah kau baktikan untuk menguras tenaga demi menghidupi aku, Demi mencukupi kebutuhanku, kau rela berada di bawah terik matahari yang menusuk demi … aku Lelahmu…itulah kasih sayangmu untuk aku Ayah… Walau terkadang… fitrah ku sebagai seorang “anak” mendorong aku untuk selalu mendapat perhatian yang lebih darimu.. Layaknya jika aku melihat temanku berinteraksi dengan ayahnya , Sebagai manusia ,terkadang perasaan iri itu ada, Tapi..kembali harus kutepis perasaan itu, Aku percaya.. setiap orang tua pasti perhatian pada anaknya.. Egoku untuk mendapat perhatian yang lebih, mungkin salah.. Mungkin… perhatian ayah, sudah diselipkan ditiap kata yang dilantunkannya kepada Allah untuk aku. . Tidak pernah seharipun ayah berhenti menengadahkan tangan dan kepalanya kepada sang pencipta Aku percaya …. aku ada di tiap doa Ayah. Dan doa Ayah lebih dari apapun bentuk perhatian fisik atau finansial di dunia ini. REDAKTUR: dewi yuhana, LAYOUTER: siti