WARNET DAN ASMARAKU
Matthew Bryan Kristanto @matthewbryankris_Siang hari seharusnya tampak terlihat matahari, namun hari ini, semuanya gelap. Rintik-rintik hujan pun mulai turun, membasahi halaman rumah, serta jalan raya di depan rumahku. Sebuah suasana yang cocok untuk merenung, sebuah suasana yang cocok untuk bersedih. Lantas saja, aku memutar lagu Hujan – Viera, lalu duduk didepan teras rumahku. “Gue kemarin kenapa sebegitu jahatnya ya?” ucap pikiranku. Hubunganku hampir berakhir tragis, seakan jantungku lepas dari badanku. Pacarku marah. Dia sengaja mendiamiku tiga hari berturut-turut karena sebuah hal yang tidak penting. Semua ini tentang kemarin
Kemarin, hari Senin, aku baru saja pulang dari sekolah, tempat hidupku dihabiskan sekitar dua belas tahun lebih. Pulang jam dua siang dengan ojek online, dan ketika sampai rumah, aku selalu membereskan apa yang bisa aku lakukan, entah mencuci piring, membereskan baju, serta mengisi dua buah botol air mineral berukuran satu setengah liter. Kebiasaan ini aku lakukan dari sejak kelas satu SMP, sampai sekarang. Karena memang, aku hanya tinggal sendiri dengan ayahku, otomatis segala keperluan dan yang berurusan dengan keperluanku, pasti harus aku yang lakukan. Kalau bukan aku, siapa lagi?
Setelah mengisi air mineral, aku langsung bergegas untuk mandi, karena tidak tahan dengan baju basah, apalagi keringat badanku. Hal aneh pun terpikirkan ketika aku mandi.
“Pergi ke warnet kali ya?” ucap pikiranku
“Tapi mau ngapain disana ya? Kalo main game mah kaga usah ke warnet, di kamar juga ada komputer, lengkap. Ah tapi sudahlah, gaada salahnya nyoba kan? Hitung-hitung dapat suasana baru,” kata hatiku untuk membulatkan niatku, pergi ke warnet.
Baju sudah rapi, dompet sudah kubawa, jangan lupa kunci sepeda motor. Aku langsung saja menaiki motor kesayanganku, si Supra. Tak terlalu jauh jarak ku tempuh ke tempat warnet, mungkin sekitar 10 menit dengan keadaan jalan yang ramai lancar. Setelah aku tiba di warnet, langsung saja ku parkirkan motorku, dan masuk kedalam warnet yang kelihatannya sepi sekali.
Berdasarkan pada perkataan orang-orang, warnet disini termasuk murah. Maka dari itu, aku tertarik dan penasaran. Juga hitung-hitung aku mencoba hal baru. Langsung saja aku melakukan reservasi tempat, mendapatkan nomor ketujuh Setelah beberapa saat, aku menemukan nomor tempat tersebut. Di nomor ketujuh, aku mendapati bahwa ada kursi sofa yang nyaman, satu paket komputer dengan spesifikasi yang mumpuni untuk bermain
permainan yang berat, serta seperangkat PlayStation 5, lengkap dengan dua buah stik penggeraknya.
Permasalahan dimulai ketika aku duduk, dan membuka ponsel pintar tahan bantingku. Terlihat 100 notifikasi pesan dari pacarku, Aurora.
Jujur aku malas membaca semua pesan tidak jelas yang hanya berisikan komplain;
Aku malas menanggapinya sejujurnya, namun jika tidak langsung kubalas, dia pasti langsung cuek kepadaku. Aku berusaha untuk langsung mencoba meneleponnya. Tak lama setelah itu, telepon diangkat, namun tidak ada suara
"Haloo?" " ........... "
"Aku minta maaf," " ........... "
Aku langsung mulai untuk mengklarifikasikan semua pertanyaan yang dia tanyakan tadi.
"Jawaban satu, aku tadi pulang sekolah beres-beres kerjaan rumah, mandi dong. Terus kepikiran mau pergi ke warnet, itung-itung nyobain ya kan. Jawaban kedua, aku lupa ngabarin kamu, ini aja aku baru sampe warnet, baru duduk di sofa udah diteror 1001 pertanyaan sama kamu. Maaf aku lupa ngabarin. Jawaban ketiga, aku pergi sendiri. Enggak ada siapa-siapa disini. Jawaban keempat, iya, aku pengen nyobain warnet punya ko Aceng, katanya murah disini.”
Akhirnya, pacarku pun bersuara, tapi,
"Udah pidatonya? Nyebelin banget sih! Kamu udah enggak sayang sama aku? Kamu tuh berubah, enggak kaya 1 bulan kemarin. Terus sekarang maunya gimana? Putus aja ya?” ucapnya sangat singkat. Seakan ditusuk pisau, lalu dikeluarkan lagi setelahnya.
Sedikit cerita, aku sudah berpacaran dengan Aurora sejak 2 bulan lalu. Pada awalnya, semuanya baik-baik saja. Semuanya saling melengkapi, semuanya saling meminta maaf jika keduanya melakukan kesalahan, walau tidak disadari, harus aku yang meminta maaf. Sampai pada dua minggu terakhir, perasaan dia sedang tidak baik baik saja, dan aku merasa lelah selalu meminta maaf Aku merasa bahwa pacarku selalu egois, selalu ingin dimengerti, dan tidak pernah mementingkanku. Peka adalah senjata utamanya. Aku selalu dianggap cowo yang tidak peka. Heran.
“Maaf,” jawabku, “Kamu enggak cape apa, begini terus?” lanjutku.
“Kita udah seminggu hampir beratem terus. Baikan sehari, dua hari beratem, sisa harinya diem dieman. Aku minta maaf, tetep engga direspon. Aku minta maaf lagi, kamu gamau maafin aku. Emangnya aku pembantu yang selalu minta maaf kalau ada kesalahan sama majikannya? Terus maunya kaya gimana sekaranggg?” jawabku pasrah.
“Kamu tuh enggak pernah ngerti ya! Udah berapa kali aku bilangin, coba liat chat kita 3 bulan lalu. Liat aja sendiri! Kamu tuh enggak peka! Terus aja begini sampai selesai! Heran banget,”
Seperti biasa, pacarku tetap keras kepala. Seakan perkataanku sebelumnya hanya diabaikan saja. Seakan hanya dia yang paling benar. Seakan dia tidak pernah melakukan kesalahan. Harus selalu aku yang minta maaf dan memohon kepadanya. Lantas setelah itu, emosiku tidak stabil. Langsung saja semua perkataan serangan balik ala permainan klub sepakbola Real Madrid kupersiapkan, tentunya dengan cepat dan tanggap, dan tepat sasaran.
“Lah, udah dari kapan tau gua bilang, tinggal ngomong aja si, susah banget kayaknya! Peka-peka-peka-peka, heran. Dikira gue robot apa, bisa ngikutin apa perintah bosnya yang enggak jelas? Semua orang berubah kali, dari kapan setiap berantem, pasti aku yang minta maaf duluan, mana pernah kamu minta maaf? Udah ya, mau main dulu, ganggu aja.”
Setelah itu, langsung saja kumatikan ponselku. Aku kesal, perasaan dan emosiku tidak keruan. Waktu senggangku terbuang siasia, sangat menyebalkan. Setelah itu, aku langsung saja memulai untuk mengutak-atik yang ada didepanku.
Permainan pertama, permainan kesukaanku. Permainan yang selalu kumainkan, walaupun aku selalu kesal ketika kalah berhadapan dengan musuh di dunia maya.
FIFA edisi terbaru, FIFA 2023. Biasanya, aku selalu menggunakan tim kebanggaanku, Barcelona. Walaupun pada kenyataannya, aku selalu diejek; yaaaahhhh decul (sebutan untuk fans Barcelona di Indonesia), maen di liga kecamatan, kalah lagi.
Setiap hinaan, ejekan, saya tidak pernah malu. Saya tahu, tim saya adalah tim terkuat di Spanyol, setelah Real Madrid (hehe)
Namun kenyataannya, trofi kompetisi liga masih ada di tangan kami? Senggol dong!
Setiap hari kumainkan, namun aku bingung mengapa aku selalu kalah. Sejelek itukah permainanku? Setelah aku bosan, aku memainkan permainan kesukaanku setahun yang lalu, Valorant. Sedikit informasi, Valorant adalah
permainan yang mekaniknya kurang
lebih sama seperti CS:GO, game pendahulunya, yang merupakan permainan lima lawan lima, untuk memasang bom dan juga menjinakannya. Singkat cerita, aku memainkannya dari jam tiga sore, sampai jam sembilan malam.
Selama permainan, sering kali aku mengecek ponselku, dan tidak ada notifikasi ataupun telepon dari pacarku. Memang, aku kesal terhadap pacarku, tetap saja aku selalu memikirkannya. Aku berpikir, apakah aku terlalu jahat kepadanya? Apakah dia menangisi katakataku tadi?
Langsung saja aku pulang, karena memang sudah malam, dan sudah bosan Setelah
sampai di rumah, aku masuk ke kamar tidurku, mengganti bajuku, dan merebahkan badanku di atas kasur. Sekarang aku merasa kesepian. Seharusnya tadi aku tidak marah, seharusnya tadi aku tidak emosi, sebab jika aku merasa bosan dan sepi, aku harus hubungi siapa lagi?
Aku mencoba untuk menghubunginya lewat pesan, dan ya, di blok. Segala media sosial kucoba untuk menghubunginya, hasilnya sama saja, tidak ada respon dan jawaban. Mulai dari Instagram, Twitter, Facebook, Telegram, Tiktok, tidak ada yang dibalas.
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa, namun seperti ada yang kurang. Hari ini ternyata ada ulangan Bahasa Indonesia. Belajar dari pengalaman, nilaiku tidak pernah bagus ketika ulangan, terutama Bahasa Indonesia. Sering kupertanyakan, kenapa susah sekali? Tetapi, biasanya, ketika aku dan pacarku berkelahi, itu tidak akan memengaruhi nilaiku. Hubungan percintaan kupisahkan dengan sekolah. Intinya, sekolah ada hal yang utama.
Ketika aku selesai ulangan, jam istirahat pun tiba Aku berpapasan dengan lawan jenis yang kusuka, yang kadang juga membuatku kesal, yaitu pacarku. Dia nampak membuang muka kepadaku Kerap kali juga, raut mukanya menunjukan bahwa dirinya kesal, tidak suka, dan marah kepadaku. Namun, teman-temannya tidak ada yang menyadari bahwa kita sedang marah-marahan.
Aurora pintar menutupi masalah percintaannya. Dia menjalani harinya seakan tidak ada kejadian apa-apa apa. Dia tampak terlihat senang. Sama sekali tidak ada beban kehidupan atau masalah dalam hubungannya.
Setelah sekolah selesai, aku biasanya menunggu Aurora selesai bermain dengan temannya, supaya kita bisa duduk bersama di pangkalan ojek depan sekolah. Berbeda dengan hari sebelumnya, aku memutuskan untuk pulang, meratapi nasib dan keresahanku, menunggu dan menunggu; kapan Aurora akan memaafkan aku?
Seperti biasa, aku pulang menggunakan ojek online. Setelah mengerjakan pekerjaan rumah, aku berganti baju dengan baju tidur. Hujan pun turun, aku pun merenung, sambil mendengarkan lagu
Hujan – Viera Tak lama setelah itu, ada notifikasi dari ponselku