TALES from the ROAD - edinburgh

Page 1

Edinburgh

E

dinbra, begitu melafalkannya. Kota lama yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage ini merupakan salah satu alasan saya ke Skotlandia. “Edinburgh itu nggak hanya kota tercantik di Skotlandia, tapi juga se-Inggris,â€? ujar sahabat saya, seorang penulis yang tergila-gila pada seni. Apresiasinya membuat saya makin yakin untuk tidak melewatkan Edinburgh. Apalagi, ia seorang pemerhati seni yang juga mengagumi karya arsitektur seperti saya. Pasti dia bisa mempertanggungjawabkan promosinya. Saking niatnya ke Edinburgh, saya juga secara khusus membeli Lonely Planet Edinburgh City Guide. Padahal saya sudah punya LP edisi Britain yang juga memuat informasi tentang Edinburgh, loh. Nggak biasanya saya membeli LP edisi City Guide karena menurut saya harganya terlalu mahal, sama dengan harga seri country guide. Perjalanan menjemput keindahan Edinburgh itu ter­ nyata harus saya tempuh dengan banyak pengorbanan. Ini gara-gara saya lupa jam keberangkatan kereta dari York (Northern England) ke Edinburgh. Saya pun harus membeli tiket kereta berikutnya yang harganya kalau dikurs ke rupiah sekitar 1,2 juta! Kurs rupiah atas poundsterling pada saat itu Rp18.500,00 dan harga tiket baru yang saya beli adalah

111


People, Culture, Heritage 68 pounds, padahal tiket pertama yang saya beli hanya 24 pounds.) Sebelum meninggalkan York, sebenarnya saya sudah mengecek tiket-tiket untuk pergi ke/dari Edinburgh yang semuanya sudah saya beli secara online sewaktu masih di Jogja, jauh-jauh hari sebelum travelling. Tiket berangkat ke Edinburgh dengan Virgin Train dari York tertera pukul 15.00, sementara tiket dari Edinburgh ke London dengan pesawat Jetstar untuk dua hari kemudian adalah pukul 16.00. Garagara saya lupa ingatan, saya berpikir sebaliknya, yang pukul 16.00 adalah kereta dari York ke Edinburgh dan yang pukul 15.00 adalah jam penerbangan ke London. Ketika sore itu tiba di Stasiun York sekitar pukul 3 kurang dikit, saya nyantainyantai aja. Masih ada waktu 1 jam untuk meluruskan kaki yang pegel-pegel setelah menyusuri York. Sambil menanti kereta datang, saya mengeluarkan print-out tiket dari dalam tas. Dan alangkah terkejutnya saya ketika melihat jam keberangkatan Virgin Train yang tercetak di sana. Oh, my God! Jadi, kereta yang barusan meninggalkan stasiun ini sesaat setelah saya keluar dari toilet tadi adalah kereta yang seharusnya saya naiki! Saya langsung pucat membayangkan poundsterling yang terbuang sia-sia dan yang akan dikeluarkan lagi untuk membeli tiket berikutnya.


Edinburgh Saya mencari alternatif ke Edinburgh dengan bus karena ingin ngirit. Masih ada bus terakhir ke Edinburgh sekitar pukul 17.00. Memang, sih, waktu tempuh perja­lanannya lebih lama, sekitar 5 jam, sedangkan dengan kereta hanya 3 jam. Kebetulan di stasiun itu juga terdapat loket National Express. Lalu, bertanyalah saya kepada petu­gas loket dengan penuh harap. “Sold out,” jawabnya membuat saya kecewa. Tiket bus ke Edinburgh sudah habis terjual dan saya makin mengutuki keteledoran diri sendiri. Sementara itu, perjalanan ke Edinburgh nggak mung­ kin dibatalkan karena semua biaya akomodasi dan per­jalanan selama di Edinburgh sudah dipesan lewat internet ketika masih di Jogja. Biar dapat tiket murah dan nggak buang waktu selama travelling, saya memang membiasakan memesan semuanya sebelum berangkat. Solusi terakhir menuju Edinburgh sore itu adalah dengan Virgin Train berikutnya yang karena tiketnya di­beli dadakan, sejam sebelum keberangkatan, nggak mung­kin dapat fun fare alias harga murah. Apa boleh buat, saya pun menghibur diri dengan memberi pemakluman pada kealpaan. Harga mahal yang harus saya bayar untuk bisa mengunjungi Edinburgh itu tertebus begitu kaki saya keluar dari gerbang Waverly Train Station yang berada di tengah


People, Culture, Heritage kota Edinburgh sekitar pukul 19.00. Langit Edinburgh masih terang benderang karena menjelang musim panas sehingga hari siangnya lebih panjang. Matahari baru ter足benam sekitar pukul 22.00. Malam ketika saya tiba di Edinburgh itu seperti sore yang cerah. Seketika langkah saya terhenti di gerbang Waverly Train Station demi melihat bentangan bangunan berarsitektur klasik di Edinburgh Old Town. Saya sapukan pandangan ke sekeliling. Menengok ke kiri, ke sebelah selatan stasiun, mata saya menemukan deretan bangunan klasik kota tua, Edinburgh Castle, National Gallery dengan hamparan hijaunya taman kota Princess Garden, dan The Scott Monument yang berarsitektur Gothic yang berdiri tinggi menjulang. Makin ke kanan, di sebelah utara stasiun, tampak kawasan Edinburgh New Town yang menjadi pusat

Princess Road yang membelah antara Old Town dan New Town


Edinburgh perbelanjaan modern di sepanjang Princess Street. Kedua kawasan Old and New Town yang berhadapan ini sama-sama merupakan kompleks world heritage yang dilindungi. Menakjubkan sekali. Pantas saja Lonely Planet menulis­ kannya begini: “The view as you walk out of Edinburgh Waverly Train Station is probably the finest first impression of any city in the world.” Kesan pertama yang sungguh menggoda untuk menelusuri “living museum” ini. Mata biologis saya nggak tahan melihat keindahan yang menakjubkan itu, segera saya keluarkan kamera untuk mengabadikan Edinburgh dengan mata digital. Jepret ... jepret ... jepret! Foto-foto ala kartu pos itu pun terekam di kamera. Supaya lebih leluasa memotret, saya memutuskan untuk check-in dan menyimpan barang dulu di hotel yang kebetulan hanya beberapa langkah dari Waverly Train Station. Setelah itu, saya kembali menghabiskan malam yang benderang dengan kamera di tangan. Ketika senja tiba dan lampu-lampu mulai dinyalakan, gedung-gedung klasik yang tersusun dari batu warna tanah itu berkilau seperti tembaga. Di antara ketakjuban, ada sedikit penyesalan di be­ nak saya. Saya menyesal nggak membekali diri dengan ilmu memotret bangunan arsitektur klasik sebelum tiba di kota artistik ini. Saya hanya sempat membaca sekilas tentang kekayaan arsitektur Edinburgh di LP. Edinburgh merupakan kota dengan warisan maha­ karya arsitektur sejak era abad ke-12. Masing-masing era memiliki gaya dan karakteristiknya tersendiri. Arsitektur bergaya Roman (abad ke-12) dapat dilihat di Duddingston Parish Church dan St. Margareth’s Chapel yang merupa­kan bangunan tertua yang terjaga di Edinburgh. Abad berikutnya

115


People, Culture, Heritage hingga abad ke-16 gaya arsitektur Gothic yang diadopsi dari Inggris dan Eropa juga dijumpai di Edinburgh dan Skotlandia pada umumnya. Pada abad ke-17, setelah 1560 yang dikenal sebagai era pascareformasi, memberi pengaruh pada arsitektur gereja-gereja di Edinburgh yang dipengaruhi semangat agama Protestan. Gaya arsitektur yang paling banyak dijumpai di Edinburgh adalah gaya Georgian (abad ke-18). Arsitektur bergaya Georgian yang pada masa itu berjaya adalah karya arsitektur Robert Adam (1728–1792) yang melahirkan bangunanbangunan penting seperti University of Edin­burgh, Register House, Charlotte Square, dan Hopetoun House. Selain gaya Georgian, gaya Victorian (abad ke-19) yang terinspirasi dari Eropa juga cukup banyak terdapat di Edinburgh, seperti The Royal Museum dan The Scottish National Portrait Gallery. Tempat paling strategis untuk menikmati mahakarya arsitektur itu adalah di Calton Hill. Dari atas bukit yang terdapat di sisi Timur kota itu, seluruh Kota Edinburgh baik Old Town maupun New Town yang dibelah Princess Street dapat terlihat jelas. Pagi berikutnya, saya menyusuri Princess Street, menuju Calton Hill. Sengaja saya pilih waktu di pagi hari supaya saat memotret suasana Kota Edinburgh dari Calton Hill tidak bertentangan dengan sinar matahari. Sebaliknya, matahari pagi menjelang mu­sim panas itu akan menyinari seluruh kota. Selain sebagai viewpoint untuk menikmati keindahan arsitektur bangunan di Edinburgh, Calton Hill sendiri menyimpan mahakarya arsitektur abad ke-19 yang tak kalah indahnya. Ada monumen Dugald Stewart yang diba­ngun pada 1831 oleh arsitek Willian Henry Playfair, Observatory

116


Monumen Sir Walter Scott setinggi 60 meter ini berdiri sejak tahun 1846.


Calton Hill merupakan tempat yang strategis untuk memotret lanskap kota Edinburgh. Bahkan lanskap serupa pernah dijadikan cover Lonely Planet Edinburgh City Guide (2004). Hasrat narsis saya langsung bergemuruh. Foto ini saya ambil dengan fitur self-timer mode.


Edinburgh House (1776), City Observatory (1818), Nelson Monument (1807), dan National Monument (1829) yang bentuknya paling aneh di antara bangunan lain­nya. National Monument ini merupakan pilar-pilar bergaya Yunani yang sebenarnya belum tuntas dibangun. Konon monumen ini merupakan replika dari Parthenon, bangunan di Yunani yang kemudian menjadikan Edinburgh dijuluki “The Athens of The North”. Dari sekian bangunan di Calton Hill, yang paling menarik difoto adalah Dugald Stewart. Monumen ini berada di sisi barat bukit sehingga jika kita memotretnya, maka suasana Kota Edinburgh yang berada di bawahnya pun ikut terekam. Keren banget, kan? Nggak heran kalau cover LP edisi Edinburgh City Guide (2004) itu juga memajang foto Dugald Stewart. Tiba-tiba saya punya ide gila. Berfoto di sebelah monumen Dugald Stewart sambil memamerkan buku LP tersebut. Biar ketahuan saya memang sudah beneran ke Calton Hill. Jadilah saya disibukkan dengan tripod dan kamera yang siap memotret menggunakan fitur “self-timer”. Agak repot juga menempatkan posisi yang pas, apalagi bukit itu tanahnya tidak rata dan berkerikil pula. Setelah berkalikali memotret diri sendiri, akhirnya ada juga yang hasilnya lumayan buat dipamerkan ke orang lain. Selesai melepas hasrat narsis memotret diri sendiri, saya menikmati Edinburgh sambil leyeh-leyeh di atas bangku kosong yang terdapat di sekeliling bukit. Dan ternyata saya sudah lupa sama sekali dengan tiket kereta yang hangus dan poundsterling yang harus saya keluarkan lagi untuk membeli tiket pemberangkatan berikutnya ke Edinburgh.

119


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.