SUARA May 2010 Main

Page 16

16

WARTA

7 May 2010

Surat dari Kampung Julia Perez bikin panas

Kang Mul DIK Srie di rantau, Kabarmu baik-baik selalu kan? Kami di kampung juga begitu. Tapi, ini suasana lagi panas. Ya, panas cuacanya, serasa di wajan penggorengan, juga panas oleh pro-kontra tentang seorang calon pemimpin di kabupaten tetangga kita. Ya, Dik, panas yang terakhir ini disulut oleh seorang perempuan yang dikenal dengan nama Julia Perez. Itu nama ngetopnya di panggung hiburan negeri kita, nama aslinya Yuli Rachmawati. Umur 30 tahun. Perez dari nama suaminya yang orang Perancis, tapi sekarang mereka sudah cerai. Nah, dia dicalonkan oleh sekitar 8 partai untuk menjadi calon wakil bupati Kabupaten Pacitan, daerah kelahiran Presiden SBY. Acara pemilihan kepala daerahnya terkabar Desember mendatang. Yang bikin panas karena dia artis “panas”. Hee..he, maksudku bikin panas-dingin kaum pria. Laaa gimana tidak. Dia jadi gadis model, dengan tampilan yang syur. Di film-film pun dia selalu kebagian peran menjadi penggoda pria. Terus belakangan dia jadi penyanyi dangdut. Lagunya yang ngetop berjudul “Belah Duren”, bisa ditafsirkan ngeres juga. Kalau dia nyanyi di panggung, waduuh, goyangnya benerbener bikin empot-empotan kita yang nonton. Perempuan “kayak gitu” mau jadi

pemimpin daerah? Begitulah orangorang yang menentang pencalonan dirinya. Kontan pencalonannya menyulut panas di Jakarta sampai kampung kita. Bahkan sampai-sampai Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan dibuat aturan yang akan melarang orang-orang yang “cacat moral” untuk menjadi calon pemimpin daerah.

“Kalau pendapatku, biarkan saja perempuan kayak Julia Perez mencalonkan diri,” kata Pakde Kimpul, saat kami ngobrol di gardu ronda. Kaget aku, kok Pakde yang dikenal kalem itu sampai ikut ngomong tentang Julia Perez. “Lho,

Pakde tahu dia?” aku bertanya. “Kamu jangan nyepelekan aku, Mul. Meskipun aku sudah tua tapi aku senang dengan lagu Belah Duren dia, waaah, bikin aku ingat masa awal dengan bojoku...haa..haa,” dia tertawa. Aku dan beberapa orang yang ada di gardu jadi ikut tertawa juga. “Pakde,” kata Samidi, teman seusiaku, “Kalo aku kenal Julia Perez dari nonton tipi. Waduuh, bener-bener bikin aku ser-seran melihat goyangnya. Apalagi gayanya kenes banget. Kalau dia nyalon untuk kabupaten kita, pasti aku mau nggendong dia ke mana-mana saat kampanye...hee...he.” “Kalau pendapatmu gimana, Mul?” tanya Samidi. “Pencalonannya harus digagalkan. Dia tidak layak. Alasanku, dia tak punya pengalaman politik, tidak pernah bergaul dengan para tokoh masyarakat. Lagi pula, dia artis yang cuma mengandalkan kebahenolan bodinya saja. Apa yang bisa diharapkan dari pemimpin macam itu?” jawabku serius. Jawabanku itu ternyata membuat suasana yang semula penuh tawa jadi berubah kaku. Orang-orang terdiam. “Tapi, Mul,” kata Pakde Kimpul memecah keheningan sesaat itu, “Di dalam kebahenolan tubuhnya, siapa tahu tersimpan niat tulus untuk mengabdi kepada rakyatnya. Penampilan bisa mengecoh, Mul. Lihat tuh lurah kita. Ke mana-mana ngomong moral, surga-neraka, tapi buktinya dia nyunat duit pembangunan sekolah, dan punya istri simpanan.” “Lagi pula Mul,” lanjut Pakde Kimpul, “dia seperti kita juga, punya hak yang sama untuk maju menjadi pemimpin.”


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.