154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Page 1


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Ikrar Warga Pangripta Loka Kami, Warga Pangripta Loka Yang Kebenaran menjadi tujuan Yang Kesia-siaan menjadi pantangan Yang Air mata negerinya, menjadi kegelisahan Dengan hati mantap Akan tetap bergerak Menjunjung tinggi Pangripta Loka Membawa Pangripta Loka Ke puncak kejayaannya Menggoreskan sejarah kemenangan Karena kami adalah Warga Pangripta Loka Sekarang, dan untuk Selamanya HMP! HMP! HMP!

2


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................. 2 KONSEP SMART CITY DALAM PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA ................... 5 MENYUSUN MOZAIK KAMPUNG KOLASE................................................ 10 KAJIAN TANTANGAN PROFESI PERENCANAAN DI MASA DEPAN .................... 14 JALAN MENUJU STABILITAS: MELALUI PAKET KEBIJAKAN EKONOMI I PRESIDEN JOKOWI ................................................................................... 17 BELAJAR DARI LUMAJANG: ANTARA TAMBANG, SAWAH DAN KEMANUSIAAN ..... 21 INDONESIA DAN GEOPOLITIK ENERGI DUNIA .......................................... 24 MENGINGAT KEMBALI POSISI MAHASISWA: MAHASISWA SEBAGAI PENGHUBUNG 30 UNTUKMU, YANG MASIH BERPIKIR TURUN KE MASYARAKAT ITU ADALAH SEBUAH BAKAT ..................................................................................... 34 MENUNTUT KEMERDEKAAN KEDAULATAN RUANG UDARA INDONESIA GUNA MENGHADAPI ASEAN OPEN SKY ........................................................ 37 PENGADUAN SANG RAKYAT JELATA ................................................... 45 TANAH OLEH KONSTITUSI ............................................................... 48 UNTUK NARAKUSWA ..................................................................... 55 PAST AND PRESENT HEROES ............................................................ 56 SALAH SIAPA? ............................................................................. 59 KETIKA PANAS BUMI MENJADI FRIKSI .................................................. 61 WHY YOU‘RE NOT GETTING IDEAS OUT THERE ...................................... 65 WORD SCRATCH, EDUCATION IS A LIFESTYLE ........................................ 70 IN REKTORAT PROGRESSIO ............................................................. 72 01.39 ...................................................................................... 76 PASAR BEBAS TERJUN BEBAS ........................................................... 79 KADERISASI: KEBUTUHAN ATAU KEHARUSAN? ........................................ 89 DIMENSI MANUSIA DALAM PERENCANAAN: MENGINGAT KEMBALI PEMIKIRAN GEDDES.................................................................................... 94 THE POWER OF YOUR EMOTIONS ...................................................... 98 PEMBIAYAAN PENDIDIKAN TINGGI.....................................................103 MENGAPA PENULIS MENULIS ...........................................................108 BERGERAK ...............................................................................111 PSEUDOLIBERAL .........................................................................116 MESSIAH COMPLEX ......................................................................122 UNIVERSITAS.............................................................................126 EKONOMI KERAKYATAN DAN PERGURUAN TINGGI: BAGAIMANA KELANJUTAN PKL DAYANG SUMBI DAN PKL GANESHA? ..................................................132 GERAKAN MAHASISWA: HARUS BERILMU SEBELUM BERAMAL ......................140 3


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

THE REGIONAL INTEGRATION: THE IMPACT AND IMPLICATIONS IN MEMBER STATES‘ SOVEREIGNTY .................................................................143 ―BUDAYA‖ DALAM KERANGKENG BAHASA ...........................................149 KAMPUNG KOLASE: BETWEEN CONVERSION AND CONSERVATION ................154 AKTIVISME POLITIK DAN LINGKUNGAN: RIWAYAT PERGERAKAN MASYARAKAT DALAM KASUS HUTAN KOTA BABAKAN SILIWANGI ..................................160 PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN INDONESIA: BERDASARKAN KEBEBASAN ATAU GOTONG ROYONG? .....................................................................171 CATATAN DARI PONGGANG ............................................................178 MENINGGI UNTUK MUNDUR: PROBLEMATIKA PERUMAHAN VERTIKAL ............183 MENOLAK PEMBANGUNAN ―INSTAN‖ KERETA CEPAT JAKARTA-BANDUNG .......190 SEBUAH EPISODE BARU, DRAMA POLITIK JOKOWI: PAPA MINTA AMPUN; REVOLUSI, MENTAL KEMANA? .........................................................207

4


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

KONSEP SMART CITY DALAM PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA Urban Talkshow #1 Pemantik Diskusi: Dhimas Bayu Anindito Konsep kota pintar (smart city) telah digagas dan diterapkan di kota-kota besar di negara maju sejak awal milenium baru yang lalu. Konsep ini mulai banyak dibahas di Indonesia terutama dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan kemajuan teknologi internet yang mulai digunakan dalam banyak aspek kehidupan masyarakat. Namun, apakah sebenarnya definisi dari Smart City tersebut? Ada banyak definisi yang bisa menjelaskan mengenai kota pintar. Ada yang menjelaskan bahwa kota pintar adalah area geografis tertentu dimana teknologi canggih seperti ICT, logistik, produksi energy, dan lain-lain, saling melengkapi dalam rangka untuk menciptakan manfaat bagi penduduk kota dalam hal kesejahteraan, partisipasi, kualitas lingkungan hidup, pembangunan yang cerdas, yang dikelola oleh tata pemerintahan yang tertib dengan kebijakan-kebijakan yang baik (Dameri, 2013). Pendapat lain menyebutkan bahwa kota akan menjadi pintar apabila investasi pada sumber daya manusia dan modal sosial serta infrastruktur sistem komunikasi tradisional dan odern dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kehidupan yang berkualitas, dengan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, melalui tata pemerintahan yang partisipatif (Caragliu, 2011). 5


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Asumsi yang mendukung sehingga pemikiran mengenai Smart City layak untuk dikedepankan diantaranya dikarenakan kota-kota Indonesia perlu secara cermat mengatasi persoalan ledakan penduduk perkotaan akibat urbanisasi yang brutal, tidak tertahankan, apabila kita berharap bahwa kota-kota tersebut dapat menjadi layak huni di masa mendatang. Salah satunya adalah dengan pengendalian jumlah penduduk dan redistribusinya, serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Data Perserikatan Bangsa- Bangsa mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 untuk pertama kali lebih dari setengah penduduk Bumi tinggal di daerah perkotaan. Tahun 2050, jumlah penduduk dunia akan meningkat 70 persen, dari 3,3 miliar jiwa menjadi 6,4 miliar jiwa. Sekarang saja sudah terdapat 500 kota besar (yang memiliki warga lebih dari 1 juta jiwa) di seluruh dunia, dan angka ini akan melonjak menjadi 10.000 kota besar pada tahun 2040. Perubahan demografis tersebut tentu saja berdampak pada banyak hal. Pertama, terjadinya perubahan iklim. Saat ini kota- kota telah membuang sekitar 80 persen emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Sulit dibayangkan kalau hal ini terus berlanjut dalam 40 tahun ke depan, sementara tindakan antisipasi tidak dilakukan. Kedua, meningkatkan kelangkaan sumber-sumber alam. Kota-kota bertanggung jawab terhadap sekitar 75 persen konsumsi energi global yang dihabiskan. Secara langsung atau tidak langsung, sekitar 60 persen penggunaan air juga terjadi di perkotaan. Ketiga, tekanan pada infrastruktur dan mobilitas, terutama pada penyediaan listrik, sanitasi, jaringan jalan, dan logistik. Dampak-dampak tersebut dipandang sebagai ancaman besar sekaligus tantangan bagi kota-kota di seluruh penjuru dunia. Dalam kerangka inilah, dalam beberapa tahun terakhir konsep smart city mulai diwacanakan dan mulai diimplementasikan. Konsep Smart City mempunyai beberapa elemen sebagai ciri khas yaitu diantaranyaSmart Economy (ekonomi yang pintar) yang meliputi faktor seperti inovasi, kewirausahaan, self-branding, produktivitas, dan juga persaingan dalam pasar internasional; Smart People (masyarakat yang pintar) yang tidak hanya terkait dengan level pendidikan dari masyarakat itu sendiri, tetapi juga bagaimana interaksi sosial yang terjadi didalamnya;Smart Governance (pemerintahan yang pintar) meliputi faktor-faktor seperti partisipasi politik, kualitas pelayanan dan administrasi public;Smart Mobility (pergerakan yang pintar) menyangkut aksesibilitas lokal maupun internasional selain dari ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi, serta sistem transportasi perkotaan yang ramah lingkungan;Smart Environment (lingkungan yang pintar) yang berkaitan dengan isu-isu perlindungan lingkungan alami; dan Smart Living 6


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

(pola hidup yang pintar) yang berkaitan dengan aspek kualitas hidup masyarakat kota juga merupakan elemen yang tidak kalah penting. Elemenelemen ini tidak harus semuanya dikembangkan namun dapat difokuskan pada satu atau sebagian saja tergantung dengan potensi dan karakter kota tersebut (Giffinger et al., 2007). Lalu, bagaimana wacana Kota Pintar dan penerapannya di Indonesia? Konsep ini baru mulai terdengar di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir dan masih dalam wujud jargon-jargon program pemerintah seperti misalnya Kota Hijau, Kota Sehat, dan sebagainya. Walaupun beberapa tahun belakangan muncul perintisan-perintisan Kota Pintar di beberapa kota besar di Indonesia seperti di Makassar, Surabaya, Balikapapan, dan yang terakhir di Bandung. Kegiatan-kegiatan tersebut sebenarnya mayoritas masih terfokus pada tahap pembangunan infrastruktur semata. Kota Surabaya adalah kota yang memenangkan ajang Smart City Award 2011 dalam elemen Smart Environment, Smart Living, dan Smart Governance.Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan Surabaya sudah sejak lama menerapkan konsep konsep kota cerdas, bahkan menjadi pionir penerapan konsep itu di Indonesia.Menurut Risma, konsep e-government dan eprocurement sudah diterapkan di Kota Surabaya sejak tahun 2002. Konsep lainnya seperti e-budgeting, e-delivery, e-controlling, dan e-monitoring diterapkan kemudian. Dalam konsep e-monitoring, pemerintah kota Surabaya misalnya bisa memantau situasi seluruh kota, mulai dari lalu lintas jalan raya hingga kondisi tempat pembuangan sampah. Sementara itu, Kota Bandung sendiri akan mempunyai kota pintar yang dinamai Bandung Technopolis seluar 400 hektar di Gede Bage. Kota pintar ini nantinya akan menjadi prototypepenerapan konsep smart city di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, aktor yang terlibat masih didominasi oleh aparatur pemerintah setempat. Masalah klasik kemudian muncul yaitu keterbatasan jumlah dan skill aparatur serta anggaran daerah pun sering mengemuka. Belum lagi masalah sosialbudaya yang lebih kompleks. Budayawan Yasraf Amir Piliang menilai pembentukan kota cerdas tidak terlepas dari ―smart society‖ atau masyarakat yang cerdas. Menurut Yasraf, penggunaan teknologi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari bukan merupakan satusatunya syarat untuk penerapan ―smart city‖. Ia mengatakan bahwa masyarakat harus memahami betul apa peran teknologi dalam membangun sebuah 7


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

masyarakat, yang salah satu diantaranya adalah kesadaran bahwa kita hidup dalam sebuah jejaring, yang merupakan esensi dari sebuah masyarakat yang cerdas. Banyak faktor yang mempengaruhi terwujudnya konsep Smart City dalam pengembangan kota. Salah satunya ialah faktor kelembagaan. Suatu organisasi harus memiliki manajemen yang terstruktur agar organisasi tersebut berjalan baik, seimbang dan lancar. Dalam hal ini factor organisasi dan manajemem merupakan factor yang menentukan kemajuan terciptanya smart city. Faktor lainnya yang berpengaruh ialah teknologi. Sebuah smart city sangat bergantung pada smart computing. Smart computing mengacu pada generasi baru hardware, software dan jaringan teknologi yang menyediakan system IT yang real-time. Dengan analisis yang baik dan secara mendalam dapat membantu penduduk membuat keputusan yang lebih pintar yang diiringi dengan tindakan yang dapat mengoptimalkan proses bisnis. Pemerintah kota harus banyak mempertimbangkan faktor-faktor tertentu ketika mengimplementasikan teknologi informasi yang berkaitan dengan sumber daya, kapasitas, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesenjangan social nantinya. Tata pemerintahan yang baik juga memiliki andil yang besar dalam menentukan keberjalanan Smart City. Perpindahan dari sebuah kota biasa menjadi smart city memerlukan interaksi komponen teknologi dengan politik dan kelembagaan. Komponen politik mewakili berbagai elemen dan tekanan eksternal, seperti kebijakan politik yang mungkin mempengaruhi ide dari pembuatan smart city. Konteks kebijakan sangat penting bagi pemahaman dari penggunaan system informasi. Pemerintah yang inovatif yang ikut serta dalam membangun smart city menekankan perubahan dalam suatu kebijakan. Namun demikian, faktor yang paling menentukan keberhasilan terciptanya Smart City ialah masyarakat. Masyarakat merupakan bagian penting dari terciptanya smart city, karena dengan demikian kebiasaan-kebiasaan yang dulu mulai ditinggalkan. Proyek smart city berdampak pada kualitas hidup warga dengan tujuan menjadikan sebuah kota menjadi lebih efisien. Masyarakat juga dituntut untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan kota, serta menjadi pengguna kota yang aktif. Smart City merupakan salah satu konsep yang hadir untuk menyelesaikan berbagai permasalahan perkotaan. Konsep ini, jika dilaksanakan dengan baik akan mampu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di perkotaan. Kondisi eksisting kota-kota di Indonesia sangat potensial untuk dibangun dan 8


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

dikembangkan menjadi kota-kota pintar. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditingkatkan kualitasnya, serta lebih diarahkan untuk mendukung terwujudnya konsep kota pintar tersebut. Namun demikian, yang perlu dicatat ialah penerapan konsep Smart City harus menyesuaikan potensi dan kondisi eksisting dari tiap-tiap kota di berbagai daerah. Selain itu, pembangunan fisik (infrastruktur pendukung smart city) juga harus dibarengi dengan mempersiapkan masyarakatnya. Hal ini bertujuan agar teknologi yang cerdas bisa berperan dalam membangun masyarakat yang cerdas, sehingga perkembangan teknologi dan perkembangan sosial sejalan dan tidak terpisahkan. Pembangunan infrastruktur perkotaan juga harus memperhatikan faktor lingkungan alam untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dengan pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana.

9


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

MENYUSUN MOZAIK KAMPUNG KOLASE Urban Talkshow #2 Pemantik Diskusi: Tim Magangers Kaprop 2014 Sejarah singkat Kampung Kolase Kampung ini merupakan lahan milik perhutani yang mempunyai kolam yang dirawat oleh lima orang. Semakin lama, lahan ini dihuni oleh semakin banyak pendatang dari berbagai tempat. Maka kampung ini diberi nama Kampung Siliwangi karena lokasinya yang berada di wilayah Siliwangi. Lalu kampung ini pernah digusur dan direlokasi ke Manteos baru. Namun pemukiman di sini tumbuh kembali, menjadi kampung baru yang tahu diri. Di Kampung Kolase ini, rumah yang dibangun menghadap ke sungai. Sehingga, di sempadan sungai itu terdapat RTH (Ruang Terbuka Hijau) yang berupa tempat bermain anak-anak.

10


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Perkembangan Kampung Kolase Kampung Siliwangi yang ada di Desa Gondok Kecamatan Cidadap yang tahu diri itu semakin ditemukan dirinya oleh pengamat seni di sekelilingnya. Mbak Hera Pahlasari, sang seniwati memperkenalkan seni kolase yang terinspirasi dengan keadaan Kampung Siliwangi sendiri. , Kampung Siliwangi bukanlah Kampung yang direncakan langsung menjadi perkampungan. Maka ketika ada lahan, mereka datang ke sana dengan bahan seadanya lalu membangun rumah di lahan itu. Sama seperti kolase yang merupakan kompilasi artistik dua dimensi yang disusun dari guntingan foto, gambar di majalah, kain, logam, kayu dan material lain sesuai imajinasi mereka masing-masing. Hal ini kemudian menjadikan Kampung Siliwangi bermetamorfosis menjadi Kampung Kolase. Latar belakang penggusuran



Pemenuhan keutuhan sempadan Menurut Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum yang dikeluarkan pada tahun 2012 sempadan sungai (riparian zone) adalah zona penyangga antara ekosistem perairan yang ada di sungai dan daratan. Zona ini umumnya didominasi oleh tetumbuhan Tetumbuhan tersebut berupa rumput, semak ataupun pepohonan sepanjang tepi kiri dan/atau kanan sungai seperti yang sebelumnya ada di Kampung Kolase. Sedangkan memang adanya sempadan sungai ini sangat penting untuk diadakan untuk kepentingan kehidupan yang ada disekitarnta. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai meliputi 2 (dua) fungsi utama yaitu: a. Bagi kehidupan manusia, sungai berfungsi sebagai penyedia air dan wadah air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sanitasi lingkungan, pertanian, industri, pariwisata, olah raga, pertahanan, perikanan, pembangkit tenaga listrik, transportasi, dan kebutuhan lainnya. b. Bagi kehidupan alam, keberadaan sungai sebagai pemulih kualitas air, penyalur banjir, dan pembangkit utama ekosistem flora dan fauna.



Tidak punya surat kepemilikan tanah

11


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka



Adanya proyek pembangunan taman air (amphitheater) di pinggir sungai Cikapundung dalam rangka pemenuhan kebutuhan RTH Kota Bandung

Fakta 1.

Adaanya usulan agar tidak melanjutkan pengusuran Dengan ini Herra menawarkan solusi damai bagi masalah-masalah yang muncul di Kota Bandung. Herra mengharapkan bahwa ke 38 KK di tepian sungai Cikapundung ini tidak digusur dari tempatnya, melainkan dijadikan mitra kreatif pihak pemerintah Kota Bandung, sehingga pola pembangunan Ampiteater ini harus menjadi kolaborasi yang cantik dan dapat menjadi contoh pembangunan dengan mengubah 38 rumah sebagai rumah ilmu kreatif, panggung seni, desain, karya sastra, teater, musik, film, dan fashion. Namun usulan ini ditolak oleh pemerintah.

2.

Keradaan apartemen Menurut Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2004 tinggi setiap bangunan maksimum 15 m dari permukaan tanah, kecuali bangunan tertentu, seperti tower, menara, cerobong atau sarana ibadah yang berguna untuk ruang publik. Lima belas meter ini adalah batas maksimal agar sinyal pesawat yang lewat tidak terganggu.

3.

Status Warga Kampung Kolase Warga Kampung Kolase memiliki KTP dengan alamat lengkap dan benar, memiliki hak suara di pemilu, dan membayar PBB.

4.

Keadaan Infrastruktur Tempat Relokasi Direlokasi ke rusunawa Sadang Serang dengan membawa yang mereka miliki. Alat elektronik rusak karena tegangan listrik yang tidak stabil. Air yang langka, kendaraan yang sering hilang, dan mereka harus tetap membayar uang listrik, air dan keamanan yang sebelumnya tidak pernah mereka bayar sebelumnya di Kampung Kolase.

12


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

5.

Keadaan Infrastruktur Kampung Kolase Listrik mereka stabil, air selalu ada karena ada sumur-sumur yang airnya berasal dari sungai, ronda mereka lakukan bergantian. Kalau tidak bisa ikut nge-ronda, tinggal urunan kopi dan cemilan. 20% penghasilan mereka untuk air, keamanan 5%.

KESIMPULAN Bandung juga kota milik Warga Kota Bandung sendiri. Bukan hanya kota milik para turis, yang hanya membuang sampah di pinggir jalan, yang hanya numpang selfie dan upload di instagram. Warga Bandung asli itu mencari makan, kehidupan dan membuat cerita dari lahir sampai mati di sini, di ―tanah ilegal‖nya. Orang pribumi yang tahu diri ini selalu diam saat ditindas. Mereka tak ingin ada keributan lain yang tak perlu. Hidup aman, nyaman, dan tentram dengan cara yang mereka ketahui. Jika mereka memakai cara yang salah, tak perlulah dengan memakai adu-aduan. Dengan nasihat yang lemah lembut, cukuplah bagi mereka. Tak ingin aku melihat hal seperti ini. Kampung yang sudah mencoba beradaptasi dengan keindahan kota, tapi tetap saja ta diterima. Hanya dalam hitungan sesaat. Bahkan belum genap setahun. Tak ingin juga aku mendengar orang berkata, ―Buat apa membuat kampung kita bagus? Toh akan digusur juga.‖. Saat semua itu terjadi, hanya ada dua pilihan. Tetap tinggal dan memperjuangkan tanah mereka atau pergi dan meninggalkan jerih payah mereka dengan diam. Tidak ada yang salah, mungkin. Aku menulis ini bukan untuk apa. Hanya karena aku tidak ingin menjadi orang yang memilih diam saat diusir, tanpa kejelasan apapun.

13


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

KAJIAN TANTANGAN PROFESI PERENCANAAN DI MASA DEPAN Urban Talkshow #3 Pemantik Diskusi: Alvaryan Maulana Dalam Urban Talkshow ketiga, 20 Januari 2016, diadakan kajian mengenai ―Tantangan Profesi Perencanaan di Masa Depan‖. Diskusi itu mengundang Alvaryan Maulana (HMP 2010) yang merupakan asisten lab perencanaan wilayah dan perdesaan SAPPK sebagai narasumber, dan Andreas Ferry Hutagalung (HMP 2012) sebagai moderator. Dalam kesempatan ini, kami membicarakan mengenai tantangan apa saja yang akan dihadapi kita sebagai perencana masa depan, dan apa yang dapat kita lakukan untuk menjawab tantangan tersebut. Pertama, diskusi akan dibagi mengenai apa itu planning, planner, dan how planning works. Planning atau perencanaan merupakan kegiatan pembuatan keputusan yang mengarahkan kegiatan di masa depan agar menjadi lebih baik. Ini berkaitan erat dengan alokasi sumber daya, dan berdasarkan 14


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

ekstrapolasi masa depan. Disiplin ini tidak tetap, dan dipengaruhi oleh konteks atau kondisi pada suatu kurun waktu tertentu. Maka, paradigma bahwa pekerjaan perencanaan hanya membuat RTRW saja adalah tidak benar adanya. Dalam profesi perencana, terdapat standar dari ASPI. Perencana juga harus memiliki kompetensi yang sudah distandarkan oleh IAP. Secara hukum, profesi perencana diakui melalui UU insinyur. Dalam bekerja sendiri, seorang planner harus memiliki ideologi atau nilai-nilai yang digunakan dalam perencanaan. Nilai itu tentu berbeda-beda setiap orangnya, dan akan mempengaruhi hasil dari perencanaan tersebut. Nilai tidak ada yang benar atau salah, karena nilai setiap individualnya sangat bergantung pada cara didik dan lingkungan dimana seseorang itu tumbuh. Menurut Brook Michael dalam bukunya, Planning Theory for Practitioners, perencana terbagi empat. Pertama adalah planner yang rasional dan tersentralisasi. Planner jenis ini akan mengaplikasikan ilmunya secara rasional dan komprehensif untuk membuat rencana-rencana. Yang kedua adalah planner yang rasional dan terdesentralisasi. Dalam hal ini, planner bertindak sebagai aktivis politiik, dimana ia lebih bertugas sebagai jasa advokasi. Yang ketiga adalah planer yang non-rasional dan tersentralisasi. Planner jenis ini biasanya sering kali menabrak regulasi atau situasi politik dan bertindak secara inkremental. Yang keempat adalah planner yang non-rasional serta desentralisasi. Planner jenis ini biasanya menjalankan planning secara komunikatif dengan masyarakat. Permasalahan perencanaan sendiri sangat banyak, mulai dari data, biaya, SDM, regulasi, kepentingan, kontrol, penolakan, ketidaksinergisan, efek kobra, dan lain-lain. Sebagai contoh, dalam hal data, seringkali data yang ada khususnya di Indonesia tidak memadai untuk melakukan perencanaan. Dalam hal kepentingan, seringkali kepentingan kaum-kaum tertentu mencegah pelaksanaan perencanaan yang baik dan benar. Sinergisasi antara satu rencana dengan rencana lainnya baik dibawahnya atau diatasnya seringkali tidak sinkron. Namun, permasalahan yang paling besar adalah, sistem perencanaan itu sendiri yang masih belum benar di Indonesia. Tantangan perencanaan kedepannya yang paling besar adalah, masalah-masalah di perencanaan merupakan wicked problems. Yang dimaksud dengan wicked problems adalah, tidak ada formulasi masalah yang pasti. Solusi terhadap masalahnya tidaklah hitam putih atau benar salah, melainkan bisa memiliki beberapa alternatif yang berbeda. Dalam menyelesaikan wicked problem, tidak ada kesempatan untuk melakukan trial and error, karena setiap 15


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

percobaan berdampak signifikan, apalagi di dunia perencanaan yang melibatkan kepentingan banyak orang. Dan perencana tidak boleh berbuat salah. Jadi, apa yang bisa kita lakukan sebagai perencana masa depan? Yang pertama adalah, kita harus mantapkan niat dulu apakah kita akan tetap menjadi perencana, dan menyelesaikan masalah yang sepelik ini. Kemudian, kita harus bisa memetakan kondisi atau dinamika yang sedang terjadi. Siapa saja stakeholdernya, dan apa saja kepentingannya. Lalu, kita tentukan, bagian mana yang ingin kita intervensi. Karena kita tentu tidak bisa memperbaiki semuanya sekaligus, harus fokus. Rapatkanlah barisan antar sesama calon planner yang memiliki niat yang sama untuk memperbaiki dunia perencanaan. Karena ini merupakan tugas yang berat, dan tidak dapat dikerjakan sendirian saja. Dan yang paling penting, kita harus mengetahui, apa value kita? Ini sangat penting untuk didefinisikan karena itulah landasan kita bergerak.

16


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

JALAN MENUJU STABILITAS: MELALUI PAKET KEBIJAKAN EKONOMI I PRESIDEN JOKOWI Diskusi Kolaborasi #1: Himpunan Mahasiswa Planologi Pangripta Loka ITB, Keluarga Mahasiswa Teknik Industri ITB, Majalah Ganesha Kelompok Studi Sosial Ekonomi Politik ITB, Kabinet KM ITB 2015/2016 Untuk mengantisipasi kondisi perekonomian Nasional yang terus melemah, pada 9 September 2015, Pemerintahan Jokowi mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Inti dari paket kebijakan yang dikeluarkan yang dikeluarkan Jokowi adalah: 1.

2.

Meningkatkan daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum, dan peningkatan kepastian bisnis. Presiden berencana melakukan deregulasi pada 89 aturan dari 154 aturan yang saat ini dikaji. Mempercepat proyek strategis nasional dan menghapus bottleneck yang tidak perlu serta memperkuat peran pemerintah daerah untuk 17


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

3.

mendukung program strategis. Secara khusus, pemerintah berencana menyederhanakan perizinan pembebasan lahan, mempercepat proses pengadaan, dan menyediakan dekresi hukum dalam mengeksekusi proyek strategis. Meningkatkan investasi pada sektor property.

Rincian kebijakan dari paket kebijakan yang dimaksud, antara lain: penguatan pembiayaan ekspor melalui National Interest Account; penetapan harga gas untuk industry tertentu; kebijakan pengembangan kawasan industry; kebijakan memperkuat fungsi ekonomi koperasi agar menjadi mitra utama usaha mikro kecil dan menengah di daerah; kebijakan simplifikasi perizinan perdagangan; kebijakan simplifikasi visa kunjungan dan aturan pariwisata; kebijakan elpiji untuk nelayan; stabilitas harga komoditi pangan, khususnya daging sapi; melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan menggerakkan ekonomi perdesaan; dan pemberian raskin untuk bulan ke-13 dan ke-14. Deregulasi merupakan perombakan aturan-aturan agar selaras, konsisten, dan menghilangkan aturan-aturan yang terduplikasi, redundan, dan tidak relevan. Dari 159 aturan yang ada, sebanyak 89 diantaranya dirombak. Keputusan pemerintah untuk melakukan deregulasi dalam skala besar mengindikasikan bahwa pemerintah serius dalam meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan kondisi lainnya telah menyebabkan melemahnya kepercayaan investor untuk berinvestasi. Oleh karena itu, poin kebijakan ini akan berdampak baik bagi iklim investasi Indonesia dan diharapkan dapat memajukan roda perekonomian dan pembangunan nasional. Dengan meningkatnya daya saing industri nasional diharapkan tumbuh lebih banyak lapangan-lapangan pekerjaan baru sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja lebih banyak. Hal ini akan dapat menyelesaikan permasalahan meningkatnya angka pengangguran yang terjadi akibat melemahnya perekonomian Indonesia beberapa waktu belakangan. Debirokratisasi lebih difokuskan dalam bidang perizinan yang disimplifikasi. Wewenang perizinan yang tadinya terbagi atas berbagai lembaga disederhanakan hanya menjadi satu lembaga saja, yaitu melalui Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Terdapat SOP dan SLA yang jelas agar ada acuan pasti mana usaha yang boleh diizinkan mana yang tidak. Hal ini untuk menghindari peluang KKN akibat adanya subjektivitas aparat. Selain itu, pemilik usaha juga wajib melampirkan Risk Management dalam setiap 18


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

perizinan. Hal ini agar meskipun perizinan dipermudah, namun tidak berarti menjadi asal-asalan. Dengan adanya perbaikan di bidang birokratisasi juga diharapkan dapat menyelesaikan persoalan laten negara kita selama ini. Berbelitnya birokrasi dan banyaknya pos-pos perizinan menyebabkan banyak masalah. Dengan demikian, dengan adanya perbaikan di bidang birokrasi dapat menyelesaikan banyak persoalan strategis secara efektif. Salah satu manfaat yang dapat ditimbulkan misalnya terkait transportasi logistik. Salah satu permasalahan yang menyebabkan tinggi nya angka impor bahan baku ialah bukan karena seluruhnya disebabkan oleh ketiadaan persediaan barang baku tersebut di dalam negeri, namun lebih karena tingginya angka transport logistik di dalam negeri karenabanyaknya pos pos birokrat yang menyulitkan. Dengan adanya kemudahan birokrasi ini perpindahan barang dalam negri akan berefek kepada meningkatnya peningkatan angka perdagangan dan pembangunan. Dalam penegakkan hukum dan kepastian usaha, diadakan saluran penyelesaian permasalahan regulasi dan birokrasi. Terdapat pula program pengawasan, pengamanan dan kenyamanan, serta pemberantasan pemerasan dan pungutan liar. Serta membangun ketentuan sanksi yang tegas dan tuntas dalam setiap peraturan. Poin kedua, yaitu percepatan proyek strategis nasional, dilakukan denga beberapa cara. Antara lain simplifikasi dan kemudahan perizinan dan nonperizinan, penyelesaian tataa ruang dan kepastian penyediaan lahan, pemberian jaminan atas resiko perubahan kebijakan pemerintah, percepatan pengadaan barang/jasa pemerintah, serta diskresi dalam penyelesaian hambatan dan perlindungan hukum. Poin ketiga adalah mendorong investasi di sektor properti. Spesifik pada sektor properti dikarenakan investasi di sektor ini menurun, padahal pembangunan properti memiliki dampak yang cukup luas ke berbagai sektor. Ia memiliki multiplier effect yang tinggi. Untuk mengatasi pelemahannya, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain :

 

Membuka kepemilikan orang asing thd properti (rusun mewah > 10 M)



Penyelesaian PP hunian berimbang utk mendorong swasta membangun hunian MBR 19

Perubahan PP yang memperkuat Perumnas dalam pembangunan rumah susun bagi MBR


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Secara umum, kebijakan ini akan baik dalam menstimulus perekonomian Nasional. Walaupun dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Karena pelaksanaan kebijakan ini tidak dapat dilaksanakan secara kilat, karena banyak faktor faktor eksternal yang akan mempengaruhi pelaksanaannya. Kebijakan yang baik ialah yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat umum. Paket kebijakan ekonomi ini berusaha untuk menyelamatkan golongan masyarakat kurang mampu dari dampak melemahnya perekonomian nasional. Salah satu poin kebijakan dalam paket kebijakan ini diantaranya pencairan dana desa. Adanya percepatan pencairan dana desa ini dilakukan untuk mempercepat pembangunan di desa sembari menjaga daya beli masyarakat untuk menopang tingkat konsumsi masyarakat di perdesaan. Kebijakan lainnya yang ditempuh pemerintah ialah stabilisasi harga pangan, pemberian beras miskin selama 14 bulan dan konversi elpiji untuk nelayan. Namun demikian, paket kebijakan ini tak akan pernah berhasil apabila tidak ada kerjasama yang solid dari pemerintah pusat ke daerah di semua level tingkatan. Artinya, aparatur negara mulai dari presiden, Menteri, Gubernur, hingga Lurah memiliki peran yang sama untuk mengimplementasikan paket kebijakan ini. Referensi: Sekretaris Kabinet. Jakarta. 2015. Seskab.go.id/gerakkan-ekonomi-presidenjokowi-paket-kebijakan-ekonomi-2015, diakses pada hari Selasa, 15 September 2015, pukul 12.48 WIB

20


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

BELAJAR DARI LUMAJANG: ANTARA TAMBANG, SAWAH DAN KEMANUSIAAN Diskusi Kolaborasi #2: Himpunan Mahasiswa Planologi Pangripta Loka ITB dan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan (HMT ITB), Kabinet KM ITB 2015/2016 Pada hari Kamis, 29 Oktober 2015, diadakan program kerja DISKO (Diskusi dan Obrolan) dengan judul ―Belajar dari Lumajang : Antara Tambang, Sawah, dan Kemanusiaan‖. Kajian ini dilakukan sebagai respon dari peristiwa yang baru saja terjadi, dimana seorang warga desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, dibunuh secara tidak manusiawi akibat melakukan perlawanan atas kegiatan pertambangan yang dilakukan di lingkungannya. Kajian mengundang pembicara dari Himpunan Mahasiswa Tambang (HMT) yang diwakili oleh Hermas Puntodewo, Kabinet KM ITB yang diwakili oleh Bilal Adhi 21


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Makayasa, serta pembicara dar HMP sendiri yaitu Muhammad Raihan Afif. Sedangkan moderator kajian adalah Aliyah Alfiananda dari HMP. Konflik agraria di Indonesia terus meningkat jumlahnya, dari 2009 yang hanya 89 kasus, hingga tahun 2014 yang mencapai 472 kasus. Konflik-konflik agraria tersebut tidak hanya terjadi di sektor pertambangan, tapi juga infrastruktur, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir. Dalam konflik-konflik tersebut, banyak masyarakat yang melakukan perlawanan, baik dalam bentuk turmoil, conspiracy, maupun internal war. Kronologi kasus Salim Kancil dimulai pada Bulan Januari 2015, dimana sebagian warga Desa Selok Awar-Awar melakukan penolakan terhadap adanya kegiatan tambang pasir karena dianggap akan mengganggu mata pencaharian mereka sebagai petani. Pada bulan Juni 2015, forum penolakan tambang pasir, termasuk didalamnya Salim Kancil menyurati Bupati Lumajang dan meminta diadakannya audiensi membahas isu tersebut. Pada tanggal 9 September 2015, terdapat aksi damai penyetopan aktivitas penambangan pasir di desa Selok Awar-Awar. Keesokan harinya, terdapat ancaman pembunuhan kepada salah satu pendiri forum penolakan tambang pasir. Ancaman tersebut langsung dilaporkan kepada Polres Lumajang, namun tidak direspon. Pada 25 Septembar, terdapat pertemuan di rumah kepala desa. Esoknya, dilakukan aksi penyebaran selebaran aksi damai tolak tambang yang dimulai oleh Tosan. Tiga puluh menit kemudian, terdapat 40 preman yang mendatangi dan menganiaya Tosan. Tak lama kemudian, terjadi penjemputan paksa dan penganiayaan terhadap Salim Kancil yang berakhir dengan tewasnya Salim Kancil. Peristiwa ini tidak bisa dilihat dari satu kali peristiwa itu saja, karena hal ini melibatkan banyak pihak, diantaranya adalah kepala desa, tim 12, PT. Indo Modern Mining Sejahtera (PT IMMS) dan penambang liar. PT IMMS merupakan perusahaan yang tadinya memiliki izin pertambangan disana. Namun, izin perusahaan tersebut dicabut dikarenakan beberapa hal, antara lain menggunakan lahan perhutani, tidak menepati janji pembangunan infrastruktur senilai 2 Trilliun, tidak mengawasi wilayah IUP sehingga ditambang oleh penambang liar, serta tidak melakukan pengelolaan lingkungan sesuai AMDAL. Akhirnya, lokasi bekas tambang tersebut dimanfaatkan oleh penambangpenambang liar yang tidak bertanggung jawab. Penambang liar atau PETI (Pertambangan tanpa Izin) memang merupakan fenomena yang hingga saat ini belum berhasil diselesaikan pemerintah. Hal ini tidak hanya terjadi di Lumajang, tetapi juga di daerahdaerah lain di sekitar Indonesia. Dampak negatif dari adanya kegiatan PETI 22


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

antara lain adalah kehilangan penerimaan negara, kerusakan lingkungan hidup, kecelakaan tambang, iklim investasi yang tidak kondusif, pemborosan sumberdaya mineral, serta kerawanan sosial. Peraturan tentang hal itu telah diatur pada UU no 4 tahun 2009, namun penegakkannya belum berjalan maksimal. Menurut RTRW Kabupaten Lumajang, kawasan tersebut memang diperuntukkan untuk galian B & C. Namun, RTRW tersebut juga diragukan validitasnya, dikarenakan ia tumpang tindih dengan fungsi-fungsi lainnya. Kawasan pesisir selatan Jawa Timur seharusnya bebas dari kegiatan ekstraksi, karena ia merupakan kawasan rawan bencana. Karakteristik tanahnya subur, sehingga cocok untuk wilayah pertanian. Dalam pembuatan RTRW tersebut, sama sekali tidak mempertimbangkan sawah dan pertanian. Konversi lahan pertanian ke pertambangan gencar dilakukan, sehingga mengurangi lahan pertanian. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat selain ia merupakan sumber pangan, pertanian juga merupakan sumber mata pencaharian dari banyak orang. Solusi dari permasalahan ini secara makro adalah, fungsi pengawasan dari Dirjen Minerba harus dipastikan berjalan. Komisi penilai AMDAL dan Badan Pengawas AMDAL haruslah dipastikan bersih dari tindakan suap. Peran masyarakat dalam mengawasi haruslah ditingkatkan, baik terhadap pelanggaran tata ruang maupun AMDAL. Dokumen tata ruang harus dibuat dengan sepengetahuan masyarakat, agar tidak terdapat ketidaksinkronan. Penambang liar harus dihukum sesuai hukum yang berlaku. Namun, di sisi lain harus dipikirkan mekanisme agar rakyat tetap bisa dengan halal mendapatkan hasil dari tanah yang dimilikinya, tanpa adanya monopoli dari pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus meningkatkan sistem pengawasannya.

23


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

INDONESIA DAN GEOPOLITIK ENERGI DUNIA Diskusi Kolaborasi #3: Himpunan Mahasiswa Planologi Pangripta Loka ITB dan Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan “Patra� ITB, Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia HIMATEK ITB, Kabinet KM ITB 2015/2016 Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah, dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Posisi energi merupakan suatu komoditas yang akan selalu diperebutkan oleh negara-negara di dunia untuk menjalankan roda industri. Seluruh negara membutuhkan minyak bumi, namun tidak semua negara memiliki cukup sumber daya. 24


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Akibatnya, muncul geopolitik energi di dunia antar negara untuk mendapatkan sumber daya energi, terutama antara negara-negara produsen dan konsumen. Minyak bumi pernah menjadi sumber energi yang mampu mendorong pendapatan sektor industri nasional. Hal ini terjadi ketika Indonesia tergabung dengan suatu organisasi negara pengekspor minyak bumi yaitu OPEC. Pada tahun 1970-an, Indonesia menjadi salah satu negara yang menikmati fenomena oil boom. Saat itu, Indonesia dapat mengekspor minyak dari surplus produksinya dikarenakan konsumsi dalam negeri hanya mencapai sepertiga dari produksinya. Bergabungnya Indonesia ke dalam OPEC juga membuat posisi Indonesia diperhitungkan dalam geopolitik dunia. Bahkan, Indonesia merupakan negara yang melahirkan salah satu sistem kontrak kerja sama yang saat ini banyak digunakan di negara lain yatu PSC atau Production Sharing Contract. Namun, saat ini kondisi tersebut berbanding terbalik. Sekitar setengah dari kebutuhan minyak bumi Indonesia diperoleh melalui cara impor. Indonesia telah menjadi negara net importer minyak bumi selama lebih dari 10 tahun dan hingga kini semakin meningkat defisitnya. Konsumsi BBM di Indonesia mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari disamping lifting minyaknya yang hanya sekitar 800 ribu barel. Jika pemerintah mengambil solusi untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri dengan bergantung pada impor minyak, maka Indonesia diprediksi dapat menjadi importir minyak terbesar di Asia Pasifik pada tahun 2025. Selain itu, tanpa adanya penemuan cadangan baru, Indonesia diprediksi hanya dapat memproduksi minyak sekitar 12 tahun lagi. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi. Potensi ini dimiliki Indonesia salah satunya karena letaknya yang strategis berada di garis khatulistiwa sehingga memperoleh sinar matahari sepanjang tahun. Sinar matahari ini kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga surya. Selanjutnya, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi angin yang sangat besar. Selain itu, Indonesia dengan lintasan lingkaran api pasifik atau ring of fire terpanjang di dunia menjadikan Indonesia memiliki potensi energi panas bumi terbesar yaitu 40% potensi dunia. Kemudian, Indonesia juga memiliki potensi energi ombak yang tersimpan di dua per tiga wilayahnya serta energi biomassa yang dapat dimanfaatkan dari jutaan spesies flora yang ada. Dengan demikian, pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia ini perlu dioptimalisasi karena dapat membantu menjaga ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi emisi karbon yang dapat merusak lingkungan. 25


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Kondisi geopolitik energi saat ini masih didominasi oleh kekuatan Iran dan Amerika, atau yang sering disebut Syeikh vs Shale. Sejak Amerika mengembangkan bahan bakar terbarukan berupa shale gas melalui penemuan teknologinya, Amerika yang haus akan energi ini mulai mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil. Akibatnya, hal ini mengancam keseimbangan pasar minyak bumi yang berdampak pada menurunnya harga komoditas minyak. Di samping itu, embargo terhadap Iran (sebagai salah satu penghasil minyak bumi terbesar) yang dicabut oleh Amerika dan Uni Eropa juga menyebabkan Iran memiliki akses untuk terus melakukan supply ke pasar minyak dunia. Hal ini tentunya semakin mengganggu stabilitas harga komoditas minyak dunia. Kelebihan supply pada pasar minyak global yang terjadi mengakibatkan harga minyak semakin menurun. Sejarah geopolitik energi di dunia, krisis energi 1973, kondisi geopolitik saat ini menunjukkan pentingnya ketahanan dan kemandirian energi dalam negeri untuk mewujudkan stabilitas nasional dan memperkecil pengaruh dari dampak buruk dinamika geopolitik energi dunia. Kemudian, persoalan dan potensi sumber energi yang dimiliki Indonesia penting dipahami dalam rangka mencari solusi bagi ketahanan energi nasional. Adapun prinsip-prinsip dalam ketahanan energi suatu negara, antara lain: ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), dan akseptabilitas (mutu dan harga). Upaya untuk menciptakan energy security tersebut membutuhkan dukungan dan keterjaminan terhadap akses dan sumber-sumber energi serta proses konversi dan distribusi energi yang dibutuhkan untuk menjamin terciptanya energy security dalam rangka kelangsungan hidup negara dalam jangka pendek maupun panjang. Kondisi tingkat ketahanan energi Indonesia saat ini dapat terlihat pada datadata statistik mengenai Indonesia oil production & consumption serta trade balance of crude oil and oil products. Pada tahun 2013, terjadi defisit komoditas minyak mentah di Indonesia akibat jumlah impor yang lebih besar dibandingkan ekspor minyak mentah. Hal ini dikarenakan jumlah produksi minyak mentah yang menurun cukup signifikan daripada tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini masih jauh untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi. Syarat tercukupinya kebutuhan energi adalah jumlah supply yang lebih tinggi dari demand; yang dapat dica[ai dengan mengoptimalisasi supply dan meminimalisasi demand. Namun, ketika kebutuhan energi telah tercapai maka belum tentu kemandirian energy juga telah tercapai. Syarat kemandirian energi adalah semakin besar supply yang berasal dari produksi dalam negeri. 26


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Upaya menuju ketahanan energi dapat diwujudkan melalui berbagai kebijakan. Kebijakan ini dapat diklasifikasikan menjadi demand side dan supply side. Kebijakan dari sisi demand diwujudkan melalui kebijakan diversifikasi dan konservasi. Kebijakan diversifikasi energi dilakukan dengan mengetahui potensi sumber daya, political will yang kuat, dan sinergisasi peraturan terkait. Kemudian, kebijakan konservasi dilakukan melalui upaya untuk masuk ke dalam organisasi terkait konservasi untuk memperoleh teknologi. Dari sisi supply, dapat diwujudkan melalui impor, optimasi, dan eksplorasi. Kebijakan impor merupakan langkah jangka pendek yang harus segera dikurangi dan memilih negara yang dapat diandalkan sebagai eksportir minyak ke Indonesia menjadi hal yang penting diperhatikan. Oleh karena itu, menjalin kerjasama dan bergabung dalam organisasi untuk memperoleh kemudahan impor minyak atau pun ketersediaan energi yang dapat dipakai merupakan suatu hal yang penting. Terdapat beberapa bentuk kerjasama dan organisasi yang dapat dimasuki oleh Indonesia, antara lain: OPEC, IEA, OKI, dan hubungan bilateral. Keempat jenis kerjasama tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, yaitu: Kelebihan OPEC:

   

Mudah bergabung Investasi di sektor hilir migas indonesia Hubungan diplomasi antar negara anggota OPEC Mendapatkan akses data pasar minyak dan gas bumi

Kekurangan OPEC:

 

Posisi OPEC tidak sekuat dulu dalam mengatur mekanisme pasar

Banyak konflik internal diantara negara-negara anggota (blok negara teluk dan garis keras)

 

Penentuan kuota produksi negara anggota

 

Studi kasus

Relevansi indoesia bergabung kembali masuk OPEC

Pertemuan negara OPEC setingkat menteri sehingga tidak terlalu strategis dalam hubungan diplomasi

Tujuan organisasi yang berbeda antara negara eksportir dan importir (Indonesia) Pemotongan kuota produksi negara-negara anggota OPEC sehingga membuat Indonesia diharuskan untuk megurangi produksi minyak yang mengakibatkan jumlah minyak yang diimpor semakin besar

27


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Kelebihan IEA:

 

Anggota merupakan negara-negara konsumen minyak bumi

Membuka peluang investasi dan pengembangan energi baru dan terbarukan

 

Dapat memberikan akses data pasar energi

Posisi yang cukup kuat di sektor energi di dunia

Memiliki tujuan yang sama dengan Indonesia sebagai negara importir minyak

Pengembangan terhadap teknologi dan efisiensi konsumsi energi yang maju sehingga sangat sesuai dengan negara konsumen minyak

Kekurangan IEA:

Memiliki prosedur yang lebih kompleks untuk menjadi anggota (tergabung terlebih dahulu dengan OECD, siap memotong konsumsi BBM sebesar 10%, Harus memiliki kapasitas cadangan minimal untuk 90 hari sedangkan indonesia saat ini hanya memiliki cadangan selama 18 hari (3 hari jika kondisi perang))

Indonesia dapat memotong konsumsi BBM dan dapat lebih efisien dalam konsumsi energi karena didukung oleh peraturan dan pengetahuan serta teknologi dari anggota IEA

Kelebihan OKI:

Lebih mudah dalam melakukan negosiasi dengan kepala negara anggota

Dukungan terhadap sesama anggota karena ikatan emosional negaranegara Islam

Kekurangan OKI:

  

Tidak berhubungan langsung dengan sektor energi Studi kasus Indonesia memiliki hubungan diplomasi ang baik dengan negara eksportir minyak yang tergabung dengan OKI sehingga negosiasi impor menjadi lebih mudah

Kelebihan Hubungan Bilateral:

Tidak terikat suatu mekanisme organisasi tertentu (transaksi dapat berjalan langsung dan cepat)

Dapat membangun relasi antar negara yang lebih baik 28


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Kekurangan Hubungan Bilateral:



Tidak hubungan pihak ketiga sehingga ikatan kesepakatan tidakdapat dijamin sepenuhnya.

 

Studi kasus Hubungan kerja sama di bidang energi antara Indoesia dan Norwegia pada tahun 2011

Dari berbagai pertimbangan tersebut, maka bergabung dengan IEA serta memaksimalkan OKI dan hubungan bilateral dapat memberikan dampak positif terhadap kestabilan energi Indonesia. Selanjutnya, upaya mewujudkan ketahanan energi melalui kebijakan sisi supply dapat dilakukan dengan mengintensifkan riset tentang eksplorasi dan mengalihkan eksplorasi ke Indonesia Timur. Kemudian, mengaplikasikan teknologi IOR/EOR untuk menjaga stabilitas produksi juga merupakan langkah optimasi dari kebijakan sisi supply.

29


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

MENGINGAT KEMBALI POSISI MAHASISWA: MAHASISWA SEBAGAI PENGHUBUNG Muhammad Azka Gulsyan Di manakah seharusnya posisi dari gerakan mahasiswa? Mungkin pertanyaan ini telah menjadi perdebatan panjang di kalangan para aktivis mahasiswa. Tapi pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Dari pertanyaan tersebut maka kita dapat menjawab berbagai pertanyaan lain yang lebih lanjut: Siapakah yang seharusnya diperjuangkan oleh mahasiswa? Apa peranan yang seharusnya diambil oleh mahasiswa? Seperti apa bentuk gerakan yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa? Metode seperti apa yang paling tepat untuk melaksanakan bentuk gerakan tersebut? Selama ini telah banyak berkembang posisi-posisi yang diambil oleh mahasiswa atau gerakan mahasiswa. Ada yang berpendapat mahasiswa harus dapat menjadi kelompok penekan pemerintah, sehingga menghasilkan bentuk gerakan berupa kritik-kritik terhadap kebijakan pemerintah melalui berbagai metode 30


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

seperti diskusi publik, demonstrasi, atau serangan media sosial. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa mahasiswa seharusnya berposisi sebagai kelompok yang membantu langsung kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan. Dari posisi ini maka turun bentuk gerakan seperti mengajar, bakti sosial, atau community developmen. Di samping itu ada yang berfikir bahwa mahasiswa seherusnya menjadi kelompok yang turut serta menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga digalakkanlah gerakan kewirausahaan. Atau ada yang berfikir bahwa tugas seorang mahasiswa sebagai akademisi adalah menembangkan keilmuan dan menciptakan berbagai temuan serta inovasi, sehingga bentuk gerakan yang muncul adalah gereakan keprofesian atau keilmuan di mana dituntut berbagai inovasi dari keilmuan yang diemban. Dan berbagai posisi lain yang selama ini telah tumbuh sedemikian beranekaragam. Posisi-posisi tersebut membuat gerakan kemahasiswaan menjadi begitu beragam. Oleh karena itu saya tidak mau mengatakan bahwa salah satu bentuk gerakan adalah lebih baik dari pada bentuk lainnya. Bagi saya ini adalah wujud bhinneka tunggal ika, di mana di tengah kebergaman tersbeut seharusnya kita harus tetap bersatu dalam satu gerakan kemahasiswaan. Tetapi sayangnya saya melihat saat ini mulai terdapat suatu posisi yang telah lama ditinggalkan oleh para aktivis mahsiswa. Dan posisi tersebutlah yang ingin coba saya angkat kembali, mengingatkan kita semua bahwa di samping posisi-posisi yang disebutkan di atas, terdapat suatu posisi penting yang saat ini tidak banyak yang sadar di antara kita meski sebetulnya posisi tersebut begitu penting bagi kita mahasiswa sendiri maupun masyarakat yang termarjinalkan. Mahasiswa Sebagai Penghubung Mahasiswa sebagai penghubung. Sungguh tidak familiar dan saya rasa terdengar sungguh tidak ―keren‖. Tapi apa maksud dari ‗mahasiswa sebagai pengubung‘ ini? Simaklah cerita berikut. Saat ini saya tengah membantu sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mengerjakan program pengentasan kemiskinan berbasis reforma agraria. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat bertemu dengan komunitas di tingkat desa. Salah satu kasus yang ditangani adalah prihal pemanfaatan sebuah tanah ex-hak guna usaha (HGU) dari PTPN. PTPN yang HGU nya sesungguhnya sudah habis semenjak 1997. Namun ternyata lahan tersebut tetap digunakan. Hingga akhrinya pada tahun 2013 para petani di sana memutuskan untuk mengambilalih tanah tersebut. Di sini ada poin penting yang terkait dengan posisi mahasiswa. ‗Pengambilalihan tanah‘ yang dilakukan para petani tersebut pada akhirny adalah berbentuk pembabatan lahan perkebunan 31


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

PTPN yang kemudian akan ditanami oleh rakyat, atau dengan kata lain rakyat menduduki tanah tersebut. Tapi sebuah pertnyaan muncul, mengapa petani harus mengambilalih dengan cara pembabatan dan pendudukan tersebut? Apakah permasalahan ini harus ditangani dengan cara yang ―kasar‖ seperti itu? Mohon jangan berprasangkan negatif terlebih dahulu kepada para petani tersebut. Ternyata petani tersebut untuk berusah mendapatkan hak atas tanah ex-PTPN itu tidak dilakuakn dengan serampangan. Mereka akhirnya mengorganisisr diri dalam suatu kelompok tani, kemudian mengadakan forum-forum dengan warga untuk mengajak warga desa lain terlibat, kemudian mengkaji perangkat peraturan yang tersedia. Dalam PP No.11 Th.2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar telah terdapat mekanisme untuk pemanfaatan tanah-tanah yang HGU nya telah habis tersebut. Dan para petani pada awalnya mencoba jalur tersebut. Mereka mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN)dan mendatangi dinas terkait di kabupaten. Namun apa yang terjadi? Ternyata mereka tidak di dengar sama sekali. Ajuan mereka sama sekali tidak ditanggapi oleh pemerintah. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menempuh jalur lain. Mari kita beranjak ke cerita lainnya sejenak. Saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk coba menyimak bagaimana organisasi mahasiswa berhubungan dengan pemerintah. Beberapa waktu yang lalu, himpunan kami mengadakan suatu kegiatan dan mengundan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN dalam seminar. Proses untuk mengundang menteri/kepala BPN tersebut tidaklah sesulit cerita para petani untuk sekedar bertemu dengan pejabat lokal BPN. Kami sungguh di sambut dengan baik saat mendatangi kementrian/kantor BPN, diperlakukan begitu baik dan sangat terbuka ruang komunikasi di sana. Bahkan mereka tidak segan-segan memberikan bantuan dana dalam jumlah besar. Namun di sinilah saya menyadari sesuatu. Ternyata mahasiswa memiliki akses yang begitu terbuka kepada pemerintah. Bila melihat berbgai kegiatan mahasiswa di berbagai organisasi, begitu banyak kerja sama yang dilakukan dengan pihak pemerintah, entah memint mereka menjadi pembicara, mengajukan bantuan dana, atau pun kerja sama lainnya. Diskusi saya dengan kelompok tani membuat saya menyadari bahwa ini adalah sebuah kemewahan yang dimiliki oleh mahasiswa, karena para petani tersebut sungguh begitu sulitnya unutk berhubungan dengan pemerintah. Seakan telah terjadi ‗blocking‘ sedari awal. Sehingga ini merupakan suatu potensi besar yang seharusnya membuat kita menempati suatu posisi yang mungkin tidak banyak 32


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

pihak lain yang bisa melakukannya selain mahasiswa. Oleh karena itu, ini merupakan posisi yang harus dijalankan kembali oleh gerakan mahasiswa saat ini: menjadi penghubung antara rakyat kecil dengan pemerintah. Bayangkan jika kita mampu mempertemukan kelompok tani tersebut dengan pemerintah, dalam hal ini BPN, maka mungkin pembabatan lahan ex-PTPN tidak akan dan tidak perlu lagi dilakukan oleh para petani yang membutuhkan tanah. Petani memutukan melakukan hal tersebut karena tidak suara mereka tidak didengar sama sekali oleh pemeritnah. Di sisi lain, sungguh sangat ―mubazir‖ jika kemewahan mahasiswa terhadap akses kepada pemerintah hanya dimanfaatkan untuk mengadakan seminar saja, di saat begitu banyak rakyat kecil di bawah sana yang membutuhkan tangan pemerintah untuk hadir. Memang saat ini kondisinya cukup ironis bahwa pemerintah lebih senang hadir dalam seminar daripada hadir langsung ke permasalahan rakyat di bawah sana. Namun di sinilah terdapat suatu kekosongan posisi, yang seharusnya ditempati oleh mahasiswa, untuk menghilangkan ironi tersebut. Penutup Bentuk gerakan mahasiswa semacam ini sesungguhnya bukanlah hal baru. Dahulu mahasiswa sudah sering untuk bergerak bersama para petani ataupun kaum buruh. Sehingga dengan tulisan ini saya ingin mengajak teman-tema mahasiswa sekalian untuk kembali menempati posisi tersebut karena saudarasaudara kita di bawah sana sesungguhnya akan sangat senang jika kita turut serta membantu menyelesaikan permasalahannya. Dan peran sebagai penghubung ini merupakan suatu bentuk yang konkret untuk meningkatkan harkat martabat rakyat kita yang ternyata hingga hari ini masih banyak yang tertindas. Muhammad Azka Gulsyan Ketua HMP Pangripta Loka ITB Rabu, 4 Maret 2015

33


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

UNTUKMU, YANG MASIH BERPIKIR TURUN KE MASYARAKAT ITU ADALAH SEBUAH BAKAT Roby Purnawan ―Menjadi seorang mahasiswa berarti menjadi seorang dengan tanggung jawab dan amanah yang besar, karena di luar sana banyak masyarakat miskin yang menunggu kita untuk menolongnya.‖, Begitu katanya, kata orang-orang yang kau pikir terlalu bersikap sok-sok an dan terlalu memikirkan masyarakat. Mereka yang kau pikir punya hobi unik turun ke masyarakat, yang kau percaya hanya sebagian orang yang ditakdirkan untuk punya pikiran dan hobi unik seperti itu. Ibarat bakat, rasa ingin turun dan menolong masyarakat itu kau anggap hanya ada pada diri sebagian orang, dan kau tak punya bakat itu. 34


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Kalau kau pikir demikian, kenapa tidak kau coba asah bakat itu? Kenapa tidak coba sesekali keluar dari ruangan kelas itu dan coba duduk di sebelah seorang Ibu pengemis yang menggendong anak bayinya, yang tak berhenti menangis karena sudah hampir sehari tidak makan. Atau coba kau tunda jadwal pergi ke mall mu itu untuk pergi ke sawah lalu berbincang dengan seorang petani yang menggarap sawah luas yang hanya diberi upah segenggam beras tiap harinya, sementara istri dan ketujuh anaknya di rumah menunggu sang ayah pulang agar mereka bisa makan. Kalau masih tidak sempat mungkin kau bisa berikan senyuman simpul kepada anak kecil pengamen itu yang hanya bisa menelan air liur ketika kau makan dengan lahapnya di sebuah restoran yang biasa kau kunjungi. Ada sebuah tanggung jawab besar yang kau pikul. Ini bukan masalah kau beruntung dilahirkan di keluarga yang berkecukupan dan bisa mengenyam pendidikan tinggi. Tapi ini mengenai kau diberikan Tuhan amanah untuk bisa mengenyam bangku pendidikan tinggi, lulus dengan ilmu cukup supaya kau membuat perubahan di sekelilingmu. Tapi lantas kau berpikir bahwa semua ini adalah berkat ayah dan ibumu yang bekerja keras di kantor dan membayar uang kuliahmu. Padahal Negara juga mensubsidi uang kuliah itu. Subsidi yang berasal dari pajak orang-orang miskin di luar sana, yang masih rela uang hasil kerja keras mereka yang tak seberapa itu diambil sebagian untukmu. Mereka hidup dalam ketidakadilan, dan menunggumu untuk berbuat sesuatu yang bisa memperbaiki kehidupannya. Mereka tak apa makan dua hari sekali sekarang, karena pikirnya suatu hari toh mereka bisa makan tiga kali sehari berkat kau. Kau masih berpikir semua itu tidak ada hubungannya denganmu? Bagaimana bila ceritanya begini, kau dilahirkan dalam ketidakcukupan. Sehari-hari hanya tidur beralaskan tikar di gubuk kecil. Kau hanya makan sehari sekali bersama ayah, ibu dan adik-adik kecilmu. Kau hanya bisa berharap dan berdoa kepada Tuhan agar suatu hari hidupmu bisa lebih baik. Minimal bisa tidur diatas kasur walaupun masih dalam gubuk, dan makan tiga kali sehari walaupun seadanya. Kau hanaya punya keyakinan itu yang selalu kau ucap dalam doa. Padahal nyatanya Tuhan telah mengirimkan jawaban atas doamu itu lewat orang-orang lain yang hidup dalam kecukupan harta dan ilmu. Orang-orang yang diberikan kesempatan lebih agar suatu hari mereka bisa menolongmu. Namun, bukannya mereka menolong membuat hidupmu lebih baik tapi malah hidup bersenangsenang sendiri karena mereka pikir kecukupan harta dan ilmu mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan hidupmu.

35


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Kau masih juga berpikir seperti itu? Ya sudahlah. Mungkin peduli terhadap rakyat jelata itu memang sebuah bakat. Bakat yang hanya dimiliki oleh orang yang masih punya hati nurani untuk mencintai sesama. Bakat yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang bisa iba pada kehidupan berjuta-juta orang miskin di luar sana. Dan juga bakat segelintir orang dapat merasakan duka orang-orang yang hidupnya tak seberuntung kita. Terlebih mereka mau bergerak dan membuat perubahan. Karena mereka percaya Tuhan menciptakan manusia di muka Bumi ini sama, sederajat. Mereka percaya setiap orang berhak tidur di atas kasur dan makan tiga kali sehari. ―Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita‖ ― Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran

36


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

MENUNTUT KEMERDEKAAN KEDAULATAN RUANG UDARA INDONESIA GUNA MENGHADAPI ASEAN OPEN SKY Amelia Sakinah Indonesia sebagai Negara kepulauan yang merdeka dan berdaulat seharusnya memiliki hak dalam mengelola sumberdaya ruangnya baik dari daratan, lautan dan udara.Sebagai Negara yang luas teritorinya terikat oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berada di persimpangan strategis dunia dan berisikan sumber daya alam yang besar, Indonesia menjadi Negara yang diperhitungkan Integritasnya oleh pihak asing.Dengan perlintasan laut yang strategis memiliki ALKI dan Selat Malaka menjadikan Indonesia penting bagi perlintasan pelayaran dunia baik sipil dan militer.Namun sayangnya potensi tersebut tidak diimbangi dengan kekuatan pertahanan yang mendukung pertumbuhan pemanfaatan ruang Udara.

37


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Konvesi Chicago tahun 1944, dalam Pasal 1 menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif (compate and exclusive souvereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya.Ketententuan pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah territorial, berarti bahwa : (i) setiap Negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan eksklusif atas ruang udara nasionalnya dan (ii) tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antar Negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multirateral. Secara hukum internasional konvensi tersebut sudah secara tegas memberikan perlindungan kekuasaan pengelolaan Indonesia terhadap ruang udaranya. Fakta berbicara, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.504 pulau dengan berbagai ukuran, mulai dari pulau-pulau besar seperti Jawa, 132.107 km2; Sumatera, 473.606 km2; Kalimantan, 539.460 km2; Sulawesi, 189.216 km2; Papua, 421.981 km2, hingga kelompok kepulauan kecil yang berjumlah 35 lebih dan sekitar 6.000 pulau tidak berpenghuni (Kresno Buntoro, 2010: 21).Setelah lahirnya UNCLOS 1982, total luas Indonesia yakni 5.408.000 km2.Luas kedaulatan udara Indonesia pun mengikuti luas kedaulatan yang ada dibawahnya, 5.408.000 km2.Dengan adanya perubahan luas kedaulatan udara di Indonesia, maka setiap pesawat yang hendak melintasi perairan di sekitar kepulauan Indonesia harus mendapat ijin dan pengawasan dari otoritas penerbangan dan ATC Indonesia. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) untuk Pesawat Asing

Sumber : Dewan Kelautan Indonesia, 2008 38


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Panah hitam yang terdapat pada Gambar 5 menunjukkan jalur masuk menuju ALKI, sedangkan garis berwarna biru tua menunjukkan ALKI yang dapat dilintasi oleh pesawat asing. Pemberian ALKI kepada pesawat asing, selain terkait aturan hukum internasional, juga bertujuan untuk menghindari kontak antara pesawat asing dengan wilayah darat. Setiap pesawat asing yang melintasi Indonesia wajib melalui ALKI kecuali ada ketentuan lain seperti aturan rute penerbangan komersial yang diatur oleh ICAO (Dewan Kelautan Indonesia, 2008: 21).Kondisi Potensi Luasnya kedaulatan ruang udara Indonesia tidak diimbangi dengan kekuatan ketahanan udara yang memadai. Berikut kajian permasalahan dari segi internal maupun ekternal Indonesia dalam membangun ketahanan ruang udara, Dari segi internal, ada beberapa permasalahan khusus , yaitu salah satunya mengenai Flight Information Region (FIR) di Indonesia dibagi kedalam dua bagian, FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang.Pembagian FIR ini bertujuan agar pengawasan udara dapat berjalan lebih optimal dan fokus pada satu kawasan saja sehingga Layanan Informasi Penerbangan (Flight Information Services/FIS) dapat diberikan secara maksimal. Manajemen FIR Ujung Pandang diserahkan kepada PT (Persero) Angkasa Pura I, sedangkan manajemen FIR Jakarta diserahkan kepada PT (Persero) Angkasa Pura II (Indonesia Contingency Plan Project Team, 2007: ii). Namun fakta yang ditemukan , harapan yang semula diharapkan dapat memberikan kinerja maksimal justru banyak menimbulkan masalah teknis. Kedua FIR tersebut kurang dapat berintegrasi dengan baik (Kemitraan Australia Indonesia, 2010: 58), manajemen PT Angkasa Pura I dan II lebih tertarik untuk bersaing meningkatkan profit perusahaan daripada mengembangkan kualitas pengawasan penerbangan. Kualitas teknologi ATC (air traffic control) masih dibawah standar, jumlah sumber daya manusia ATC juga masih sangat kurang, sehingga terjadi overload dalam pengelolaan tugas. Dari 50 bandar udara di Indonesia, berdasarkan keperluan jumlah personil ATC, hanya bandar udara Iskandar Muda Aceh dan Adi Sucipto Yogyakarta yang memiliki jumlah personil ATC sesuai kebutuhan (Dave Akbarshah Fikarno, 2009: 56). Selain dari aspek ATC, Indonesia juga mengalami masalah dalam hal militer. Jumlah personil TNI AU yang ditugaskan untuk mengawasi ruang udara Indonesia hanya baru dapat dipenuhi 70% dari jumlah seharusnya, kualitasnya pun masih sangat kurang, jumlah personil yang ada kurang mendapat pembinaan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan. Kurangnya jumlah personil juga menyebabkan terjadinya perangkapan jabatan yang berdampak pada 39


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

penurunan kualitas dan produktivitas kinerja (Perwira Siswa Angkatan LXXIII, 2003: 15-16). Tingkat kesiapan operasional radar-radar TNI AU pada umumnya juga sudah menurun dan tidak dapat dioperasikan penuh 24 jam sehingga tidak efektif dan efisien dalam mendukung tugas pengamatan udara. Kondisi ini diperparah dengan jumlah personil yang tidak mencukupi untuk rotasi penuh 24 jam operasi, suku cadang radar yang minim dan tidak tepat waktu, serta kurangnya jumlah radar yang menyebabkan banyak wilayah yang tidak terawasi (security hole) (Perwira Siswa Angkatan LXXIII, 2003: 18). Peta Penyebaran Radar Militer

Sumber :Perwira Siswa Angkatan LXXIII, 2003 Kondisi ini diperparah dengan minimnya pesawat yang dimiliki oleh TNI AU untuk menjaga kedaulatan udara. Sebagai gambaran, untuk mengawasi ruang udara di ALKI II dan ALKI III yang luasnya meliputi, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, TNI AU hanya memiliki 3 pesawat Boeing 737 (hanya 2 pesawat yang siap operasi) dan 17 pesawat A-4E Skyhawk (hanya 3 sampai 5 pesawat yang siap operasi) (Perwira Siswa Angkatan LXXIII, 2003: 16-19). Dua pesawat Boeing 737 yang siap operasi pun sering menghadapi masalah seperti kemampuan Infra Red Detection System (IRDS) dan kamera terbatas hanya pada ketinggian rendah sehingga pesawat harus turun ke ketinggian yang 40


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

dapat membahayakan keselamatan pesawat dan awak pesawatnya, kemampuan Identification Friend or Foe (IFF) Interogator juga menurun sehingga memungkinkan kesalahan dalam melakukan identifikasi suatu sasaran, penurunan kemampuan dan kesiapan Mission Console karena tidak ada dukungan suku cadang, serta Side Looking Airborne Multi Mission Radar (SLAMMR) hanya mampu menggunakan salah satu fungsi antara Air to Ground dan Air to Air Radar (Perwira Siswa Angkatan LXXIII, 2003: 18). Kondisi pesawat A-4E Skyhawk lebih mengenaskan, dari 17 pesawat, hanya 3 sampai 5 pesawat yang siap digunakan, itu pun dengan tingkat kerusakan yang sangat tinggi. Ketidakoptimalan ini disebabkan oleh usia pesawat yang sudah cukup tua, suku cadang yang tidak memadai karena perusahaan pembuat sudah berhenti memproduksinya, dan tidak ada dukungan film Minipan/Vicon Camera untuk Photo Recce (Perwira Siswa Angkatan LXXIII, 2003: 18). Rendahnya kualitas dan jumlah alat utama sistem persenjataan (Alutsista) oleh angkatan udara, serta banyaknya ruang udara yang belum dapat terpantau oleh radar (Blank Spot) membuat sebagian besar ruang udara Indonesia, baik di FIR Jakarta maupun FIR Ujung Pandang, seringkali menjadi perlintasan penerbangan gelap (Presiden Republik Indonesia, 2004: Bagian II. 7-2). Dari segi eksternal , permasalahan pengamanan ruang udara ditengarai beberapa Negara belum sepenuhnya meratifikasi hukum terkait ruang udara.Negara maju seperti Amerika Serikat pada kenyataannya belum meratifikasi Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982), padahal negara lain sudah banyak yang meretifikasi, sehingga bila Amerika Serikat melintas perairan dan wilayah udara nasional Indonesia masih berpedoman kepada aturan-aturan yang lama, seperti ―Traditional Route for Navigation. Hal ini sering membuat terjadinya benturan di mana berdasarkan aturan lama tersebut pesawat-pesawat Amerika Serikat melintas di atas rute tradisional yang mereka anggap sah dengan alasan bahwa Amerika Serikat belum meretifikasi UNCLOS 1982.Dan ini terjadi saat insiden Bawean saat mereka enak saja bermanuver di atas wilayah kedaulatan udara kita. Insiden penerbangan gelap lima jet tempur F-18 Hornet Angkatan Laut AS pada tanggal 2 Juli 2003 di sekitar Pulau Bawean menjadi pelajaran berharga. Kondisi lain yangcukup mengkhawatirkan adalah ada beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki otoritas FIR masih dipegang oleh Singapura. Seperti contoh apabila otoritas Indonesia mau melakukan patroli di wilayah udara Riau dan Ranai misalnya, harus terlebih dahulu lapor kepada otoritas Singapura dan Malaysia. Kondisi tersebut susah dibayangkan dan sebenarnya tidak bisa 41


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

ditolelir; Bagaimana mungkin patroli di negara sendiri harus lapor atau izin ke negara, di sisi ini kedaulatan udara ini jadi hambar. Dengan fakta dari pengelolaan ketahanan ruang udara tersebut sangat berbenturan dengan kesiapan Indonesia menghadapi ASEAN Open Sky 2015. Open Sky Policy (Kebijakan Ruang Udara Terbuka) melalui "Roadmap for Integration of ASEAN Competitive Air Service Policy" telah ditindaklanjuti oleh Indonesia melalui pengesahan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 pasal 90 tentang "penerbangan". Isinya, akan dibuka akses penerbangan bebas dari dan ke Indonesia yang dilakukan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral maupun multilateral, dengan mempertimbangkan kepentingan nasional (national interest). Sementara itu kita tahu bahwa teknologi kedirgantaraan saat ini dikuasai oleh dunia barat terutama negara-negara Eropa.Dan saat ini negara tetangga terdekat kita yang mampu menguasai teknologi kedirgantaraan seperti Australia, Singapore, Thailand, dan Malaysia. Pertimbangan positif satu-satunya adanya ASEAN Open Sky 2015 adalah keuntungan yang akan didapat dari segi ekonomi. kebijakan Open Sky mampu menyumbang masukan PDB hingga 7 triliun Rupiah dan juga meningkatkan jumlah tenaga sebanyak 32.000 lapangan kerja baru untuk peningkatan perekonomian Indonesia pada tahun 2025. Karena tidak dapat dipungkiri saat ini salah satu sektor yang tengah berkembang pesat di Indonesia adalah sektor perhubungan udara. Industri angkutan udara di Indonesia sebagai sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, memang masih harus menunggu waktu untuk mengalami perkembangan besar-besaran.Terlebih lagi secara geografis letak Indonesia yang berada di sepanjang garis khatulistiwa dan tepat menghubungkan dua benua dan dua samudera sekaligus sangat menguntungkan. Keberadaan indonesia menjadi sangat strategis dalam berbagai aspek hubungan antar negara di dunia, terutama di wilayah pasifik. Lebih dari itu, pertumbuhan penumpang dan barang di sektor perhubungan udara tengah meningkat signifikan dalam 5 sampai 10 tahun terakhir.Mengacu kepada data yang ada di INACA (Indonesia National Air Carriers Association), pertumbuhan penumpang di Indonesia telah bergerak 12 hingga 15% per tahunnya. Sementara itu, khusus untuk International Airport Soekarno-Hatta yang dapat menampung 23 juta penumpang per tahun, ternyata di tahun 2011 terpaksa memfasilitasi 51,5 juta penumpang. Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia tidak memiliki bandara Internasional sebanyak di Indonesia.Namun perusahaan penerbangan mereka jauh lebih kuat dan lebih profesional dari Indonesia yang sudah memilik 26 42


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

bandara Internasional. Ditambah lagi, wilayah udara Indonesia sangatlah luas, tidak seperti wilayah udara di Eropa sehingga diperkirakan Indonesia akan menghadapi resiko yang lebih tinggi menjelang ASEAN Open Sky 2015. Namun sangat disayangkan karena pada tahun 2007 hingga saat ini NKRI berada dalam kelompok negara yang mendapat penilaian kategori 2 dari FAA (Federal Aviation Administration) yang mengacu kepada standar keamanan terbang Internasional seperti yang telah ditentukan dalam regulasi ICAO (International Civil Aviation Organization). Masuknya Indonesia dalam kategori 2 menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu memenuhi persyaratan minimum keamanan terbang internasional.selain itu, sarana dan prasarana dalam dunia penerbangan masih kurang. Hukum udara dan ruang angkasa yang pasti di Indonesia belum lengkap serta kurang siapnya operator yang berkualifikasi dalam mendukung kegiatan penerbangan.ini semua jika diabaikan dapat berimplikasi pada masalah pertahanan dan keamanan yang cukup serius. Kondisi inilah yang menyebabkan wewenang pengaturan lalu lintas udara di wilayah kedaulatan Indonesia kemungkinan akan diserahkan kepada negara lain.Beberapa negara seperti Thailand, Singapura, dan Australia telah lama mempersiapkan diri sebagai pemegang peran sentral dalam pengaturan lalu lintas udara. Sebelum Indonesia memasuki tahun ASEAN OPEN SKY akan ada beberapa tuntutan dalam pemenuhan pengamanan kedaulatan ruang udara Indonesia yaitu: Pertama, Indonesia harus keluar terlebih dahulu dari posisi kategori 2 penilaian FAA.Agak memalukan mengetahui posisi Indonesia dalam hal industri penerbangan sejajar dengan negara-negara kecil seperti Guyana, Nauru, Serbia, Zimbabwe dan Congo. Kedua, Indonesia perlu memprioritaskan perubahan bentuk KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi). KNKT yang berada di bawah Menteri Perhubungan harus segera dibentuk dalam format yang baru serta tidak lagi bertanggung jawab kepada Menhub, akan tetapi bertanggung jawab kepada Presiden RI. Selain itu, perlu juga dibentuk sebuah lembaga yang belum pernah ada sebelumnya yang berfungsi menjatuhkan hukuman atau penalti setelah memproses hasil pekerjaan KNKT yang menunjuk pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Ketiga, Pengaturan lalu lintas udara atau ATC (Air Traffic Control) juga perlu diperbaiki agar kinerjanya dapat memenuhi syarat minimum dari aspek 43


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

keamanan terbang internasional.Hal ini bisa berdampak pada masalah yang lebih serius, yaitu kedaulatan NKRI di udara. Keempat pembangunan infrstruktur pertahanan pengamanan udara baik radar, pesawat patroli maupun menara pengawasan udara Kelima, menguatkan kekuatan diplomasi dengan Negara tetangga seperti singapura dan Malaysia dalam pengambil alihan hak FIR maupun ratifikasi persetujuan hukum kedaulatan udara internasional Meskipun dalam Konvensi Chicago 1944 dikatakan bahwa setiap negara berdaulat penuh di kawasan udaranya secara komplit dan eksklusif, tetap saja atas nama keamanan terbang, wewenang dalam mengatur lalu lintas udara dapat didelegasikan kepada negara yang memiliki kemampuan mengelola sesuai standar keamanan terbang internasional.Disinilah peran pemerintah RI sangat diperlukan dalam mengatasi kemungkinan buruk yang bisa terjadi ke depan. Karena ―Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat‖ (Pasal 33 UUD 1945)

44


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

PENGADUAN SANG RAKYAT JELATA Aku bukan elitis Aku bukan politikus Bukan provokator yang hebat menarik dan mempengaruhi massa Bukan pemimpin pergerakan ternama Aku tak ingin terlalu banyak bicara Aku hanya merasa selalu ingin mendengar Mendengar keluh kesah sesama teman rakyat jelata Aku tak ingin pula terlalu banyak dilihat Dan tak ingin banyak tampil di muka umum seperti para pemimpinku kini Oh, mungkin juga tidak karna kulihat pemimpinku justru banyak diam Entah diam karna itu sifatnya Atau memang dia terlalu dingin untuk mendengar 45


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

dan hanya berpaku pada egonya Aku ada di tempat ini karna trima kasihku pada negeri yang telah mendidik dan membesarkanku karna janjiku pada tetuaku untuk menjaga rumah ini membuatnya selalu berjaya bukan lagi bangga atas kejayaan tempo dulu yang telah dibuat para leluhur Aku sangat berhutang budi pada negeri ini yang mendidik dan menempaku menjadi seorang pejuang Pejuang yang ingin mempertahankan kejayaan negerinya Pejuang yang tak ingin negerinya hancur dan diinjak orang Jika rakyat tak lagi peduli memikirkan nasib bangsanya Siapa lagi yang akan memikirkannya Pemimpinnya masih diam saja Diam membatu dan sulit mendengar Penasehatnya bahkan cabut-cabutan sibuk dengan urusannya dan aku mulai ragu masihkah mereka ikhlas memantaskan diri menjadi seorang pemimpin ataukah mereka menjalani demi sebuah kewajiban dan tak mau lagi menaruh hati serta peduli pada negerinya Naas nian nasib negeriku ini Kepada siapa aku harus berteriak supaya rakyat negeri ini tahu negerinya sedang diujung tanduk kehancuran negerinya tak bertaring seperti kala dulu Ah, tapi apalah gunanya Toh mereka saja sudah banyak yang tak peduli dengan negerinya Memang benar apabila dikata nasihat para tetua Kami generasi sekarang telah mengalami degradasi etika Tak lagi punya sopan santun terlalu angkuh dan tak acuh dengan sekitarnya Bahkan tak mau mendengar nasihat yang tua Hanya bisa menjustifikasi 46


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Jika dikata ingin berteriak mengkritik Aku lelah Dayaku memang masih ada tapi emosiku telah di ambang batas mengingatkan pemimpin negeriku Butuhkah aku datang langsung dan menamparnya Bodoh jika kulakukan itu ! Mana etikaku sebagai seorang rakyat Tak ada hormatnya aku pada pemimpinku Mungkin nasihat ini kubagikan saja bagi generasi di bawahku Calon pemimpin negeriku kelak Karna merekalah yang menentukan nasib negeriku selanjutnya Tapi nuraniku masih meragukan niat ini Akankah calon pemimpinku kelak masih mau mendengarkan Aku takut, rakyat jelata ini tak lagi dianggap Apalagi aku sudah tua renta dan bukan dari kaum elitis terhormat Kini bimbangku tak menemui ujung jalannya Mungkinkah kubiarkan saja semua berjalan dan kubiarkan diri larut dalam ambisi pribadi Atau kuambil saja beban negeri ini di atas pundakku Kupikul kembali mewariskan nilai-nilai negeri ini demi satu tujuan, kejayaan kembali negeriku Meskipun kutahu sisa umurku di negeri ini Bisa dihitung dalam sekejap

47


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

TANAH OLEH KONSTITUSI Fauzan Favian Tanah merupakan sesuatu yang sangat vital bagi setiap mahluk.Tanah menjadi pendukung utama setiap kegiatan dan keberlangsungan segala sesuatu yang terjadi di bumi ini.Pandangan mengenai tanah dapat bervariasi tergantung kepentingan dan subjeknya.Bagi petani tanah merupakan sumber penghasilan dimana tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan.Bagi perusahaan tanah merupakan sumber daya tempat produksi dapat dilakukan.Bagi masyarakat tanah dapat dipandang sebagai tempat tinggal dan memulai usaha baru.Setiap orang memiliki pandangan dan kepentingan tersendiri terhadap tanah.Setiap petak tanah memiliki karakteristik yang unik yang tidak dapat tergantikan.Keunikan tersebut dapat berupa kandungan yang terdapat dalam tanah tersebut, lokasi, kualitas tanah, dan keterbatasan suplai tanah.Pada zaman ini, dimana tanah telah di manfaatkan dan dibangun untuk berbagai kepentingan, keberadaan tanah yang sesuai dengan kebutuhan sangatlah sulit di 48


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

dapat.Tanah telah menjadi komoditas yaitu sebuah objek yang diperjual belikan.Tanah telah menjadi sebuah investasi layaknya emas dan mata uang.Tanah menjadi suatu hal yang sangat strategis untuk berbagai kepentingan.Penilaian terhadapat penguasaan dan kepemilikan sebuah tanah menjadi suatu hal yang sangat berharga dan diinginkan semua orang.Setiap orang telah mengetahui potensi dan kekuatan dari memiliki sepetak tanah dan tanah telah berubah menjadi sebuah objek yang harus dikuasai.Penguasaan terhadap tanah merupakan sebuah bentuk penguasaan yang hampir mutlak.Tingginya penilaian terhadap sepetak tanah telah menjadikan kepemilikan tanah merupakan suatu hal yang mewah bahkan pada daerah terpencil.Tanah telah dikuasai oleh sekelompok orang tertentu yang mampu untuk menguasai tanah.Tanah telah menjadi barang mewah dan terus menjadi lebih berharga seiring berjalannya waktu.Tetapi, pada kenyataannya, setiap orang memiliki kepentingan terhadap sepetak tanah.Pengusaha, pemerintah, petani, dan masyarakat memiliki kepentingan terhadap tanah dalam hal apapun dan dalam bentuk penguasaan apapun.Pada kondisi saat ini, akses seseorang terhadap tanah di Indonesia perlu melalui mekanisme pasar.Bahkan pemerintah tidaklah memiliki kekuasaan mutlak seperti yang disebutkan pada undangundang dalam penguasaan terhadap tanah.Ketika tanah diperebutkan oleh sekelompok golongan tertentu untuk diambil manfaatnya, yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan masyarakat yang tidak menguasainya?Apakah kegunaan, manfaat, fungsi, kekayaan dan segala potensi yang dimiliki sepetak tanah dapat di rasakan oleh masyarakat?Kalaupun secara langsung sulit untuk dirasakan, apakah manfaat tersebut dirasakan secara tidak langsung?Apakah segala kejadian dan kasus mengenai lahan seperti di karawang, permukiman kumuh, kepemilikan lahan pertanian, dan cerita lainnya memang sudah seharusnya terjadi.Apakah mekanisme pasar dalam penyediaan tanah memang sudah seharusnya terjadi dimana hanya golongan yang mampu dan memahami mekanisme tersebut yang dapat menguasai tanah?Kita perlu kembali meninjau dasar konstitusi Negara kita, tidak hanya sebagai sebuah sistem tetapi juga sebagai sebuah nilai yang mendasari yang benar dan yang salah serta yang baik dan buruk dari segala sesuatu yang terjadi. ―Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negaradan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat‖ (UUD ‘45 Pasal 33 ayat 3) Kutipan tersebut diambil dari undang-undang dasar 1945 yang merupakan dasar dari Negara kesatuan republic Indonesia.Berdasarkan pasal tersebut dapat dilihat tiga poin yang perlu dipahami dan diresapi secara 49


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

mendalam.Poin pertama adalah pasal tersebut menekankan pada bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bumi berdasarkan KBBI adalah permukaan dunia;tanah yang mengacu kepada segala hal yang terletak pada permukaan tanah. Air mengacu pada seluruh badan air di baik dipermukaan maupun di dalam bumi.Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mengacu pada segala potensi kekayaan yang terkandung di dalam bumi tersebut.Bagian tersebut menunjukan penekanan pada seluruh bagian yang terdapat pada sepetak tanah (land) dan tidak hanya mengacu kepada tanah (soil).Poin kedua adalah dikuasai oleh Negara. Seluruh bagian tersebut selanjutnya dikuasai oleh Negara yang berarti sesuai KBBI kuasa adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Negara memiliki wewenang dalam hal tersebut, dalam menguasai tanah dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.Poin ketiga selanjutnya berbicara arah penguasaan dari bagian tersebut (bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya) dimana dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.Penekanan terakhir tersebut, sekalipun bersifat sangat umum, merupakan suatu dasar dari pemanfaatan dan penggunaan segala sesuatu atas tanah oleh Negara.Hal tersebut menjadi dasar semangat, jiwa dan nilai dalam mengatur, menguasai, memanfaatkan dan segala kepentingan Negara mengenai tanah.Ketika konstitusi dasar ini dipegang dan menjadi sebuah nilai yang diresapi, tidak boleh Negara menggunakan kekuasaannya terhadap tanah bukan untuk kemakmuran rakyat.Pasal ini merupakan pasal paling dasar dan menjadi asas penggunaan terhadap tanah yang seharusnya menjadi idealism Negara dalam mengatur tanah.Kembali kepada realita, ―tanah dipergunakan untuk memakmurkan rakyat‖, pernyataan silahkan untuk dikritisi masing masing. Pasal 33 ayat 3 UUD ‘45 selanjutnya menjadi dasar dibentuknya sebuah dasar konstitusi dari pertanahan yang terdapat di Indonesia.UU no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok dasar agraria merupakan dasar konstitusi dari pengusaan terhadap tanah.UU ini merupakan dasar dari bagaimana seharusnya tanah digunakan dengan pasal 33 ayat 3 UUD ‘45 sebagai dasarnya.Terdapat poin-poin penekanan yang perlu di ketahui mengenai UUPA agraria yang menjadi dasar padangan terhadap penguasaan tanah.Poin-poin tersebut berdasarkan padangan penulis dapat dijadikan dasar dalam berbicara mengenai keadilan terhadap tanah dan sistem yang seharusnya berlaku terhadap kepemilikan dan penguasaan terhadap tanah. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:

50


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

pasal 2 (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pasal 6 semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Penjelasan (4) Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa : ―Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial‖. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3). Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya.Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, 51


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomi lemah Pasal 11 (2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah. Penjelasan (2) Di dalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang-Undang Pokok Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2, bahwa : ―Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hidup golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional di perhatikan‖. Yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat pedesaan, pula rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah. Pasal 13 (1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warganegara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. (3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang. Pasal 14 (1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, 52


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya : a. untuk keperluan Negara; b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupann masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. (2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Penjelasan (8) Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut di atas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (“planning”) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara : Rencana Umum (―National planning‖) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (―regional planning‖) dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat. Penjabaran diatas merupakan pasal-pasal dan ayat-ayat yang perlu dilihat untuk mengetahui bagaimana seharusnya penguasaan terhadap tanah dilakukan.Pasal 2 membahas mengenai bagaimana Negara menguasai bumi, air dan ruang angkasa.Berdasarkan pasal tersebut penguasaan Negara meliputi segala bentuk kekuasaan dan mengatur hubungan-hubungan ang terdapat di dalamnya.Pasal tersebut memberikan kekuatan pada Negara untuk mengondisikan bagaimana tanah diatur dengan tetap memperhatikan asas-asa yang dijelaskan pada ayat 3.Pasal 6 menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.Fungsi sosial seperti yang telah dijelaskan menunjukan bahwa setiap petak tanah yang ada di Negara ini harus memiliki dampak terhadap keberlangsungan sosial.Poin ini sangat perlu diperhatikan dalam pemanfaatan setiap petak tanah.Dalam realitanya, pemanfaatan lahan masih 53


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

perlu dipertanyakan fungsi sosialnya baik secara langsung maupun tidak langsung ke masyarakat. Pasal 11 selanjutnya berbicara mengenai bagaimana hukum pertanahan yang selanjutnya akan diatur harus memperhatikan semua golongan masyarakat baik masyarakat dengan ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Pasal tersebut juga memberikan penegasan mengenai penjaminan kepentingan golongan masyarakat ekonomi lemah.Hal ini menunjukan bahwa dalam pengaturan lahan pemerintah harus memperhatikan dampaknya terhadap ekonomi lemah.Bentuk perhatian tersebut selanjutnya dilakukan melalui mekanisme hukum dan peraturan yang disusun lebih lanjut oleh pihak pemerintah.Pasal 13 mengatur mengenai usaha-usaha dalam lapangan agraria dalam orientasinya untuk memakmurkan rakyat dan monopoli terhadap lahan.Hal ini dapat menjadi dasar dalam pengaturan pemerintah dalam hal pemanfaatan lahan untuk kepentingan usaha dan penguasaan lahan oleh pihakpihak tertentu.Pasal 14 berbicara mengenai kebutuhan perlunya perencanaan dalam hal lahan dan dalam perencaan tersebut salah satu orientasinya adalah untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan kesejahteraan.Disini perencanaan merupakan salah satu instrument pemerintah untuk mendukung pemenuhan kesejahteraan masyarakat.Kelima pasal tersebut dapat dikatakan dasar dalam penguasaan atas tanah di Indonesia.Berdasarkan hal-hal tersebut, kita perlu melihat bagaimana seharusnya pengaturan dan pemanfaatan lahan terjadi di Indonesia.Kita perlu melihat kembali bagaimana kondisi lahan seharusnya di Indonesia.Tulisan ini tidak membahas mengenai kasus, cerita atau realita yang terjadi di Negara ini.Tulisan ini juga bukan merupakan riset atau analisis terhadap kondisi yang terjadi. Tulisan ini merupakan review dan sebuah pandangan terhadap bagaimana sebuah kondisi pertanahan yang perlu terjadi. Indonesia telah merdeka selama 69 tahun hingga saat ini dan dengan tulisan ini sebagai sebuah dasar pandangan ideal kita dapat melihat bagaimana tanah di Indonesia dikuasai dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

54


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

UNTUK NARAKUSWA Sri Utami Bukan putih yang selalu bersih Bukan pula hitam yang selalu kelam Tetapi merah yang selalu menyala Memang tak sehalus pasir pantai Tetapi sekuat terumbu karang Walau tak disaksikan terang purnama Tetapi datang disambut fajar Narakuswaku, tersenyumlah Kita telah sampai PS. Tulisan ini dibuat enam belas hari setelah kami diterima di hunian baru bernama Pangripta Loka.Seratus tujuh hari berlalu, semoga Narakuswa dapat menebar manfaat dan selalu menyayangi hunian baru ini sebagaimana kita selalu menyayangi perjalanan menuju sini.

55


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

PAST AND PRESENT HEROES Seruni Fauzi Lestari ―We often forget the importance of teachers for this nation. We should have high appreciation for them and therefore the government will focus on their welfare,‖ Anies Baswedan, Culture and Elementary and Secondary Education Ministry. I stumbled upon an article on the Jakarta Post. To be honest, I didn‘t even read till the end. But a particular quote, cited above, caught my eye. I realized that, yes, as a nation, Indonesia has so little appreciation of the welfare of teachers. But so is its lack of appreciation for layers of society, too. I agree with the fact that Indonesian teachers are struggling under immense pressure from the 2013curriculum and especially because of the low wages, even for PNS. And I could tell you so many things on why Indonesia needs to reinforce its education system, why education is important in the first place, and why it‘s important to protect those who are the governments‘ front liners of education, i.e. the underpaid and overworked teachers. But then I remembered, if even today‘s heroes, our teachers, aren‘t given the welfare that they deserve, what about the welfare our past heroes? 56


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

My grandfather fought in the war during the years after Indonesia‘s independence. Apparently the Dutch and Japanese colonies were still out there at that time. It‘s pretty cool when you think of it, having someone so close to you who actually helped Indonesia fight the Dutch and Japanese during the dawn of its age. But it saddens me when I see, or don‘t see, the appreciation the Indonesian government gives towards my grandfather and those who fought alongside him. The depiction of the stories that my grandfather tells from his adventures still sound so clear and vivid.Perhaps because many of those stories still haunt them in his sleep for all this time. And what has the government done to relieve him of all his pain exactly? Not much, I guess. Even if the regulations are imposed in Indonesia (turns out you could refer to UU No. 15/2012 tentang Veteran Republik Indonesia, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan, etc), many of these veterans in reality still live below our living standards, have minimal healthcare treatments, or are forced to work hard like plowing rice fields even in their old age due to economic pressures. And, sadly, that is only one of the good outcomes. Let‘s take an example. Anzac Day and Remembrance Day, Australia and New Zealand. Commemorated on April 25 and November 11 each year respectively in the name of those "who served and died in all wars, conflicts, and peacekeeping operations" and "the contribution and suffering of all those who have served". Those who shredded blood, sweat, and tears for abetter future for his nation. Ceremonies are held all across the countries in remembrance of those who served in the wars. What I believe most important about those national celebrations is that moment of silence. A moment in our so-called busy life just to remember, appreciate, and pray for those people fought for us,those who enabled us to be as free as we are today. The good news is, I decided to finish the article I mentioned above! According to the article, the government of Indonesia has pledged to do more about the welfare of our teachers. Let us hope that the government‘s action to 57


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

accommodate the welfare of our present-day heroes enables the leverage of welfare for other layers of society, including that of the heroes of our past. Oh, dan selamat Hari Guru, Indonesia!

58


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

SALAH SIAPA? Pritta Andrani Widyanarko Apa jadinya kalau semua kaos bertuliskan kata-kata kotor. Keparat, bajingan. Lalu ada orang yang memakai dan lewat di depan anak kecil polos yang baru belajar membaca lalu bertanya pada ayah ibunya apa itu keparat dan bajingan? Apa jadinya kalau semua penjaja nyanyian memaksa. Sampai bilang ayolah neng, bantu, tidak akan miskin mendadak. Menyanyikan lagu pemerintah goblok.Rela mengubah 'kodrat' demi ditakuti dan diberi uang seribu.Siapa yang salah?Apa mereka hanya habiskan untuk rokok? Atau siapa tahu karena nyawa mereka ada di ujung uang setoran? Pernahkah kamu berpikir itu salah mereka?Terlahir di lingkungan yang tak bisa mereka pilih.Dengan kondisi yang tidak maju; tapi mereka masih ikut menyadari dan mungkin ikut mengutuk pekerja bidang publik yang dengan sepihak menyatakan ―fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara‖ – dan menjalankannya dengan sepihak pula. 59


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Pernahkah kamu berpikir itu salah kita? Yang mungkin pernah setidaknya sekali menganggap mereka hama yang mengganggu. Yang mungkin pernah setidaknya mengeluh padahal nun jauh di sana ada yang berharap menjadi kita. Atau – lebih bagus lagi – yang sudah mengakui memang sebagian adalah salah kita, sudah bergerak, namun tak pernah mencapai batasnya. Percayalah, kita tidak sendiri. Ini bukan soal kita jadi malaikat atau sinterklas.Tapi kita manusia.Manusia yang terikat kontrak karena kita tidak bisa memilih titik 0 kita berada di rumah yang mana dan di tangan siapa. Jadi – jangan pernah berpikir bahwa kita hidup sendiri dan kita semua sama. "…mereka (anak jalanan) ini kan ada salah satunya karena kesalahan kita juga. Seandainya kita peduli sama tetangga sebelah kita aja, gimana sekolah anaknya, lancar atau nggak, nggak bakalan ada yang nasibnya kaya mereka. Ini suatu bentuk tanggung jawab kita buat memperbaiki kesalahan kita, karena kita juga bagian dari masyarakat, sama kaya mereka." – Kang Dadan, pejuang Taman Harapan "…Kalau orang kaya kan jarang yang bagi-bagi begitu. Kalau sama-sama nggak punya, kan sama-sama tahu rasanya, jadi mending sama-sama dibagikan rezekinya." – Mas Nur, penjual kue putu di perumahan Balubur ―You must not lose faith in humanity. Humanity is an ocean; if a few drops of the ocean are dirty, the ocean does not become dirty.‖ – Mahatma Gandhi

60


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

KETIKA PANAS BUMI MENJADI FRIKSI Naufal Rofi Indriansyah Mari bicara tentang ketidakadilan. Mari bicara tentang penindasan. Mari bicara tentang kemanuasiaan. Mari bicara tentang kegelisahan. Mari bicara tentang pergerakan. Mari bicara dan hanya bicara. Lalu diam. Pembangunan terus berjalan dan semakin meningkat. Kebutuhan akan pasokan listrik pun semakin tinggi. Makin tinggi kebutuhan, makin tinggi pula listrik yang harus diproduksi oleh berbagai jenis pembangkit. Salah satu sumber energi yang bisa dijadikan pemasok listrik adalah panas bumi (geothermal). Indonesia menyimpan 40% panas bumi di dunia yang bisa diolah menjadi pembangkit tenaga listrik. Panas bumi merupakan sumber energi baru terbarukan dan dinilai ramah lingkungan. Namun pembangunan yang ada tidak terlepas juga dari konflik sosial.

61


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Adanya konflik sosial tersebut membuat Komune Rakapare menerjunkan tim ke daerah konflik kawasan geothermal. Operasi ini didasari atas apa yang dilihat dan didengar oleh Rakapare dari perjalanan ke Ciremai akhir tahun lalu. Masyarakat disana menolak pembangunan pembangkit geothermal atas banyak alasan, seperti kerusakan lingkungan, pudarnya nilai adat dan budaya, serta terganggunya kegiatan sosial mereka. Singkat cerita, kita pun melakukan berbagi tinjauan pustaka serta kajian mengenai geothermal, kebermanfaatannya dalam memenuhi kebutuhan listrik negara, serta dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan. Analisa dilakukan kembali oleh Rakapare terkait Ciremai, dan disimpulkan bahwa perlu semacam studi banding ke wilayah yang sudah terdapat pembangkit geothermal yang mapan. Setelah melalui beberapa pengkajian, kami memutuskan untuk meninjau lokasi pembangkit geothermal Gunung Salak sebagai pembanding calon Kawasan Geothermal Ciremai. Kawasan Geothermal Gunung Salak saat ini dikelola oleh Chevron. Chevron, selaku pengelola pembangkit geothermal telah ada sejak 2005, setelah sebelumnya dijalankan oleh Pertamina dan Unocal dari tahun 1982. Peninjauan lokasi ini dijalankan untuk mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan selama keberjalanan pemanfaatan geothermal, mulai dari survey pendahuluan sampai tahap utilisasi. Dampak yang dibicarakan disini merupakan dampak yang menjadi alasan warga di Ciremai menolak pembangunan pembangkit geothermal, termasuk sejarah konflik (jika ada) yang terjadi. Nantinya diharapkan hasil penelitian di Salak bisa menjadi bahan pertimbangan rasional terhadap alasan-alasan masyarakat Ciremai. Agar lebih sakral operasi ini kami namakan OPLAK (Operasi Salak). Sampai saat ini Operasi Salak telah berjalan dua kali. OPLAK I bertujuan untuk melihat kondisi lapangan, menentukan lokasi survey, dan gambaran kasar mengenai dampak yang terjadi disana. Survey dilakukan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Desa Cipeuteuy merupakan desa terdekat dari lokasi geothermal Gunung Salak. Dari operasi pertama ini, kami dapat menyimpulkan bahwa warga punya kesan negatif terhadap pembangkit geothermal. Dampak yang dirasakan warga 62


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

melingkupi dampak lingkungan, serta kurangnya pemberdayaan sumber daya manusia yang tinggal di sekitar pembangkit. Bantuan terkait dampak yang diduga disebabkan pihak perusahaan pengelola juga dinilai kurang dan tidak merata. Selain itu, sosialiasi yang dilakukan perusahaan juga kurang. Beberapa warga malah merasa tidak tersentuh oleh informasi terkait pembangkit geothermal atau informasi apapun dari perusahaan. OPLAK II bertujuan untuk memastikan secara ilmiah, dampak yang dirasakan warga, melalui kuantifikasi dari pendekatan kualitatif yang dilakukan saat operasi pertama. Saat ini data yang dikumpulkan sedang melalui proses pengolahan, namun secara garis besar, temuan yang ada hampir sama. Kami juga melakukan investigasi lebih dalam terkait konflik sosial yang sebelumnya ditemukan. Sampai sejauh ini operasi berjalan, banyak pertanyaan yang sebenarnya sedang dicoba untuk dijawab. Namun yang paling filosofis mungkin adalah: (1) Hak atas kekayaan alam dibawah tanah tersebut, sebenarnya milik siapa? (2) Apakah sebanding pemanfaatan yang dilakukan atas nama kesejahteraan masyarakat Indonesia, dengan dampak merugikan yang diterima masyarakat lokal? Bicara soal geothermal, Indonesia secara teoritis memang perlu energi alternatif sebagai pengganti energi yang umumnya tidak terbarukan dipakai saat ini, dengan persediaan yang makin menipis dan harga yang makin melonjak. Geothermal hadir sebagai salah satu solusi, terutama dalam konteks pemenuhan kebutuhan listrik Indonesia yang terus meningkat. Ditambah lagi potensi geothermal terbesar ada di Indonesia. Namun, seperti apa yang ditemukan Rakapare di Salak, sebaik-baiknya energi tersebut dimanfaatkan, tetap ada bentuk ketidakadilan yang diterima masyarakat lokal. Hal-hal tersebut sebenarnya yang menimbulkan pertanyaan bagi kami. Kita banyak mendengar tentang bagaimana kekayaan alam kita dieksploitasi, dan yang diterima oleh masyarakat lokal yang telah turun temurun tinggal di daerah tersebut adalah penindasan. Saya dan 10 tim investigasi lainnya menyaksikan sendiri bagaimana warga lokal bingung bagaimana dan ke siapa mengkomunikasikan keluhan atas dampak yang mereka terima. Dan yang menjadi keharuan sekaligus kesedihan adalah bagaimana warga tersebut sangat mengharapkan adanya pemuda-pemudi yang mampu menolong mereka lepas dari ketertindasan tersebut. Haru yang dirasakan ketika mereka sadar bahwa mahasiswa dapat diandalkan untuk menolong mereka, dan bagaimana kita 63


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

sedikit bangga dengan hal itu (Ya, kami juga tidak menyangka bahwa warga masih sangat berharap kehadiran mahasiswa dalam pemberdayaan masayrakat). Namun sedih rasanya, bahwa kita — mahasiswa — selama ini sebenarnya hanya bisa menyaksikan ini dari layar televisi dan hanya bisa membicarakannya seharihari atau sekedar mengisi kekosongan topik kajian. Dari sini, kita sadar bahwa masyarakat Indonesia perlu kehadiran pemuda dan mahasiswa khususnya dalam bersama-sama mengevaluasi keberjalanan pembangunan. Peran kita yang masih muda-muda ini, memang, membahasakan bahasa-bahasa pembangunan dan eksklusifitas terhadap masyarakat, dan menyuarakan aspirasi dan hak-hak yang harusnya diterima masyarakat. Walaupun tidak mudah, langkah yang ditempuh Rakapare saat ini mencoba untuk memahami, membantu, dan menyuarakan fenomena ketidakadilan masyarakat lokal melalui metode penelitian yang kita gunakan. Satu hal yang selalu ditekankan di Rakapare bahwa masyarakat bukan sekedar objek penelitian, yang nantinya solusi yang diberikan dari penelitian hanya omong kosong belaka. Tapi bersama masyarakat, sebenarnya banyak hal-hal hebat yang bisa dilakukan. Saat ini, Rakapare sedang berusaha membina masyarakat dalam mencapai apa yang mereka butuhkan. Membantu masyarakat memahami hak-haknya atas kekayaan alam mereka sendiri, membantu mereka bersama bangkit dari segala macam bentuk penindasan. Bahkan jika penindasan itu membawa nama Indonesia. Penulis merupakan mahasiswa Planologi ITB. Dia adalah pemimpin besar Operasi Geothermal Rakapare. Saat ini sedang belajar bagaimana cara membuat perencanaan yang humanis dan partisipatoris

Originally published at blog.rakapare.org on March 7, 2015.

64


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

WHY YOU’RE NOT GETTING IDEAS OUT THERE Seruni Fauzia Lestari As the world succumbs to great leaders such as Obama, Margaret Thatcher, and even Hitler alike, it has been shown through out the years that confidence and their ability to effectively assert their messages to mass audiences were the key to move people and even change the course of history. For people like them — yes, obviously the notion of bringing about change in society is what they have for breakfast. But what about people you and me, the very people who barely think much of ourselves and much less our place in society, how do we make change? How can our ideas move people? No, the idea is never to leave out our portion of ideas when it comes to making a communal change. It would be such a shame for all of us if we were to leave those great ideas to be tangled up in our heads. Noted that many of those ideas are crazy, unrealistic, 65


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

and down-right unimportant, it‘s still nice to have other people listen to what crazy ideas you have up there. Just for the fun of it. It is a common perception that confidence and great communication skills arise naturally to those who have extroverted personalities and vice versa. First, let me correct that note by saying that extroverts aren‘t always those who are always confident. Rather, extroverts are people who gain energy from the people around them whilst introverts tend to gain energy from themselves. Second, as an introvert myself, I tend to lay low, get my daily dose of fun from being around books, watching movies, and just wandering about my own mind. Implicitly, I express my thoughts and ideas on the books I read, the music I listen to, and the random daily activities I do. Yhaa, ngode lah ya istilah Indonesia gaulnya mah. I‘ve always thought I had a weird mind, so finding a way to express my ideas has been quite a task. I've always sucked at making stories at school (and was even worse at making poems). So as far as primal instinct on threat and possible danger goes, I've always hated writing. However, much as I hate it — and this — it beats my verbal communication skills any day. Noted that many of those ideas are crazy, unrealistic, and down-right unimportant, it’s still nice to have other people listen to what crazy ideas you have up there. Just for the fun of it. Like many of you introverted-people-who-want-to-express-yourselves-and-bepart-of-society, I, too, want (my ideas) to be heard even if I lack the communication skills needed to accomplish that. Over the years, I have made my own hypothesis on why I have so much trouble in expressing my ideas and thoughts. Below are 10 reasons why many people struggle with self expression. (Based on the 10 listed by John M. Grohol, Psy.D.) 1. Conflict Phobia You are afraid of angry feelings or conflicts with people. You may believe that people with good relationships should not engage in verbal ―fights‖ or intense arguments. In addition, you may believe that disclosing your thoughts and feelings to those you care about would result in their rejection of you. This is sometimes referred to as the ―ostrich phenomenon‖ — burying your head in the sand instead of addressing relationship problems.

66


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

2. Emotional Perfectionism You believe that you should not have feelings such as anger, jealousy, depression, or anxiety. You think you should always be rational and in control of your emotions. You are afraid of being exposed as weak and vulnerable. You believe that people will belittle or reject you if they know how you really feel. 3. Fear of Disapproval and Rejection You are so terrified by rejection and ending up alone that you would rather swallow your feelings and put up with some abuse than take the chance of making anyone mad at you. You feel an excessive need to please people and to meet what you perceive to be their expectations. You are afraid that people would not like you if you expressed your thoughts and feelings. 4. Passive-Aggressive Behavior You pout and hold your hurt or angry feelings inside instead of disclosing what you feel. You give others the silent treatment, which is inappropriate, and a common strategy to elicit feelings of guilt (on their part). 5. Hopelessness You are convinced that your relationship cannot improve no matter what you do. You may feel that you have already tried everything and nothing works. You may believe that your spouse (or partner) is just too stubborn and insensitive to be able to change. These positions represent a self-fulfilling prophecy–once you give up, an established position of hopelessness supports your predicted outcome. 6. Low Self-Esteem You believe that you are not entitled to express your feelings or to ask others for what you want. You think you should always please other people and meet their expectations. 7. Spontaneity You believe that you have the right to say what you think and feel when you are upset. (Generally, feelings are best expressed during a calm and structured 67


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

or semi-structured exchange.) Structuring your communication does not result in a perception that you are ―faking‖ or attempting to inappropriately manipulate others. 8. Mind Reading You believe that others should know how you feel and what you need (although you have not disclosed what you need). The position that individuals close to you can ―divine‖ what you need provides an excuse to engage in nondisclosure, and thereafter, to feel resentful because people do not appear to care about your needs. 9. Martyrdom You are afraid to admit that you are angry, hurt, or resentful because you do not want to give anyone the satisfaction of knowing that her or his behavior is unacceptable. Taking pride in controlling your emotions and experiencing hurt or resentment does not support clear and functional communication. 10. Need to Solve Problems When you have a conflict with an individual (i.e., your needs are not being met), avoiding the associated issues is not a functional solution. Disclosing your feelings and being willing to listen without judgment to the other is constructive. When reading the list above for the first time, being the introvert that I am, I automatically categorized myself in all of the 10 reasons. As much as I would love to be extroverted and confident, to the extent of whether I can change my personality or not, I am quite doubtful at this age. The reason why I posted this was; 1. as a form of me finally attempting to master the art of communication (big yay!), 2. for others to understand that there are many people, alike myself, who have a hard time in expressing what they want to say. No matter how wild or petty your ideas are, or how much of an extrovert-introvert you (or society) think you are, it‘s always nice to be heard. May, 16th. The year of the Goat/Sheep. For the love of crazy and down-right unimportant ideas, Seruni 68


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

P.s : Keeping all that in mind, please don‘t forget to also listen! ______________________________________________________ List cited from http://psychcentral.com/lib/10-reasons-you-cant-say-how-youfeel/0002167

69


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

WORD SCRATCH, EDUCATION IS A LIFESTYLE Asyrafinafilah H. I think people should think education is a lifestyle. I know for most of the youngsters who live in metropolis city, like I do – Jakarta, Bandung, etc; we spend almost the entire expenses to catch up with the trend, to look good with the widest acceptance of certain lifestyle in the society. But rarely, they think that to have a constant and proper education is also lifestyle. Education could be as glamor as fashion; we certainly could wear luxury education on our brain. It can‘t seen but it shown. Highly educated people are somewhat looks sophisticated as they are able to think long vision, to resolve complicated issue, to create great innovation, and on the top of everything 70


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

they could change the world. During the critical age of Y and Z generation teens, they tend to spend their time to have fun without learning any good for their future. They take their education easy as they think they have Google in their hands. In the other hand, critics should go to the conventional and boring educational institution. There‘s no way we can longer apply the old-fashioned in class learning process for the Y and Z generation; they are dynamics, they are the people who must adapt with constant changing trends for almost the entire of their life. However, slowly but sure, I see that some of the people have shifted their mindset to take education as their lifestyle. An Indonesian famous author, Andrea Hirata, once wrote that to study and learn is not just about proving something or to get some degrees, instead to study and to learn is an appreciation to develop our self and a celebration to take our right to become a better individual day by day. Looking forward to see my home country, Indonesia, to have a better quality and enthusiasm in education for the entire Indonesian society from the western seas of Sabang to the eastern mountainous of Merauke. This word scratch was written to celebrate Indonesian National Education Day. May 2, 2015

71


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

IN REKTORAT PROGRESSIO Gifari Rahmat Bismillahirrahmanirrahim‌ Beberapa hari ini ada bahan diskusi menarik diantara massa himpunan di ITB. Saking menariknya sampai direspon melalui serangkaian poster propaganda anonim yang disebar di sekeliling mading-mading kampus yang mengkritik kebijakan rektorat yang ‗menyerang‘ hal sensitif dari massa himpunan: 72


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

kaderisasi. Pedoman dari Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan (WRAM) mengenai orientasi studi (OS) himpunan prodi menuai kontra dari berbagai lembaga himpunan. Pasalnya pedoman ini ‗memaksa‘ himpunan untuk merombak ulang sistem kaderisasi yang sudah membudaya pada himpunan tersebut. Memaksa dalam artian ini adalah tidak disediakannya ruang diskusi antara pihak rektorat dan massa himpunan dalam perumusan pedoman sehingga menimbulkan kontra terhadap konten pedoman dan juga ditambah ancaman bagi pelanggaran pedoman tersebut. terlepas dari kekhawatiran akan hasil kaderisasi himpunan kedepannya, ada beberapa hal penting yang ingin saya soroti Pedoman OS Himpunan ITB oleh WRAM Pertama adalah proses pembentukan pedoman ini. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada WRAM, mungkin terdapat kekhilafan dalam proses pembentukan pedoman ini karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa pada periode kepengurusan KM ITB tahun sebelumnya telah diadakan DBKR atau Duduk Bareng KM ITB Rektorat mengenai masalah kebijakan. Di dalam forum tersebut telah ada gentlemen agreement agar setiap kebijakan yang akan diterapkan tetap memberi ruang untuk berdiskusi dengan mahasiswa. Nyatanya, kemunculan pedoman ini secara sepihak tidak hanya melanggar kesepakatan bersama dengan rektorat namun juga merampas hakikat pembelajaran kita sebagai mahasiswa. Saya percaya bahwa sebagai mahasiswa maka kita harus bisa belajar dari, untuk, oleh mahasiswa itu sendiri, bukan saatnya lagi kita bergantung cuma pada dosen atau orang lain untuk memperoleh pembelajaran. Dengan begitu kita belajar untuk mempunyai pemikiran sendiri, belajar untuk mewujudkan apa yang kita pikirkan, dan belajar untuk mempertanggungjawabkan tindakan kita. Kaderisasi adalah wahana yang lengkap dalam pembelajaran tersebut namun dengan munculnya pedoman tanpa kesepakatan bersama ini, dimana letak belajar berpikir, bertindak, dan bertanggungjawab saat kebebasannya didikte? Saya juga percaya bahwa pedoman ini bersifat baik karena tujuan kita sama yaitu memberikan pendidikan terbaik bagi adik-adik kita, namun saya sangat menyayangkan proses pembentukannya yang seolah memaksa dan tidak memperhatikan aspirasi kita massa himpunan. Kedua adalah kekhawatiran akan terjadinya kaderisasi instan, yaitu suatu bentuk kaderisasi yang asal jadi dengan proses apa adanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kaderisasi himpunan sudah membudaya di dalam himpunan tersebutdan tidak akan mudah untuk merombaknya dalam waktu singkat. 73


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Dikhawatirkan akan ada culture shock di dalam himpunan karena kaderkadernya tidak memiliki nilai dan budaya yang sama dengan pendahulunya. Oke ini masih terlalu asumtif, namun apa yang diharapkan saat suatu lembaga yang sudah mempunyai budaya kaderisasi yang melekat selama beberapa generasi ‗dipaksa‘ diubah oleh pihak luar dalam waktu singkat? Saya bisa memprediksi bahwa perubahan tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik karena pertama perubahan bukan dilakukan karena semata-mata kebutuhan himpunan dan kedua waktu persiapan yang semakin sempit karena pedoman muncul disaat konsep kaderisasi dibanyak himpunan sudah disusun setengah jadi atau bahkan sudah ada yang siap melakukan kaderisasi esoknya. Pemaksaan ini akan menyedot banyak tenaga yang sudah tinggal sedikit dan akan mendorong kecenderungan untuk tidak jadi optimal. Selain itu sebagian komponen pendidikan yang krusial adalah konsep dan pendidik, sudah siapkah kedua hal tersebut untuk perubahan? Kalau tidak maka siap-siap saja memberikan kaderisasi yang instan. Mungkin akan ada yang berargumen bahwa kita jangan menyempitkan makna kaderisasi. Kaderisasi adalah bagian dari pendidikan, dan layaknya pendidikan maka proses ini akan berlangsung terus menerus tidak berhenti hanya saat pelantikan namun terus berlanjut selama kader tersebut berkegiatan di himpunan. Oleh karenanya kita mengenal kaderisasi pasif (menerima pembelajaran langsung) melalui OS dan kaderisasi aktif (mencari sendiri pembelajaran) melalui berkegiatan di himpunan. Orang-orang akan berargumen bahwa tidak menjadi masalah kaderisasi 5 hari jika kaderisasi aktifnya berjalan baik di himpunan. Saya setuju tidak setuju dengan hal ini karena bagaimanapun kaderisasi pasif (pendagogi) dan aktif (andragogi) tidak bisa diskip/didahului satu dan yang lainnya. Dengan asumsi calon massa himpunan adalah anak-anak yang belum mengerti konsep berhimpun, maka kita analogikan bahwa kaderisasi pasif adalah pendidikan bagi anak kecil dimana mereka masih bergantung pada orang lain untuk mendapat ilmu dan membutuhkan arahan, lalu kaderisasi aktif adalah pendidikan bagi orang dewasa dimana mereka mencari sendiri ilmunya tanpa disuruh-suruh. Agar anak kecil tersebut bisa menjadi dewasa pasti membutuhkan proses; ada tahapan yang tidak bisa dilompat. Pertanyaannya adalah apakah 5 hari cukup? Menurut teman-teman saya yang sudah menjalankan kaderisasi pasif secara singkat (sekitar 7 hari), sangat sulit untuk mentransisikan fase anak-anak menjadi dewasa dalam mencari pembelajran di himpunan dalam waktu sesingkat itu. Apakah waktu yang kurang atau mungkin kita yang tidak cukup kreatif dan berusaha dalam menjalani proses tersebut? Siapa yang tahu. Bisa jadi aturan ini memaksa kita juga untuk mulai mengevaluasi budaya kaderisasi himpunan kita secara menyeluruh dan berpikir 74


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

lebih kreatif dalam merumuskan kaderisasi ini, namun itu semua membutuhkan komitmen dan komitmen tidak bisa dibangun lewat pedoman dadakan yang tidak sesuai dengan kesepakatan kita Terakhir adalah dampak jangka panjang dari pedoman ini. oke kaderisasi di ITB akhirnya hanya bisa berjalan 5 hari, namun disaat kita tidak bersuara, tidak mengkritisinya, dan tidak menuntut hak kita maka tidak usah heran kedepannya bakal muncul pedoman-pedoman dadakan lain yang akan semakin menyudutkan hak dan peran kita sebagai mahasiswa. Menjadi ironi saat kita tidak menkritisi dan hanya bersikap adaptif terhadap masalah kaderisasi ini karena salah satu tujuan dari kaderisasi adalah membentuk pemimpin di masa depan dan ciri pemimpin masa depan adalah pemimpin yang bisa mengatur masa depannya sendiri bukannya yang hanya membeo Semua ini adalah pendapat pribadi, jangan diambil hati tapi tolong kritisi. Semoga kedepannya kaderisasi di ITB bisa menjadi jauh lebih baik dan melahirkan pemimpin-pemimpin besar bagi bangsa kita kelak Salam, Gifari Rahmat HMP12022

75


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

01.39 Muhamad Fadhil Dwijatmiko Narapidana. Seseorang yang sering dianggap sebelah mata oleh kita dan diabaikan bahkan kucilkan ini mempunyai sebuah rencana yang besar untuk hidupnya. Jam menunjukan pukul 01.39 dini hari dimana seorang mantan ―terhukum‖ yang sedang berusaha menyusun kembali visi hidupnya bernyanyi, kembali dari hidupnya yang penuh dengan narkotika dan dunia malam. Ratusan juta uang yang ia keluarkan untuk kehidupan lalunya. Jika kau berusaha mengakrabkan diri dengannya, ada satu hal yang kau tau, media telah mengubah persepsi kita terhadap penjara. Sesungguhnya penjara tidaklah seperti yang kita lihat di televisi. Penjara yang sesungguhnya berisikan orang — orang cerdas yang ambisius dan mempunyai naluri bisnis yang sangat tajam setajam mereka yang berdasi dan berpenampilan rapih. 76


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Sebagian besar dari mereka adalah para pelaku pelanggaran hukum yang mungkin bisa dikatakan sebagai pengusaha, apapun itu yang mereka jual. Ya, mungkin mereka memang seorang pelanggar hukum, namun disaat mereka berbicara tentang usahanya, mereka akan berubah menjadi sisi yang lain. Konsep bisnis yang mereka bicarakan tidak akan terbayang untuk para mahasiswa perguruan tinggi, dimana mereka melakukan promosi barang, segmenting target, bahkan perluasan daerah mereka dengan caranya sendiri. Namun sebagian besar dari mereka tidak mempunyai niatan untuk ―bangkit‖ kembali, yang mereka inginkan hanya untuk dapat bertahan hidup. Ia harus tetap bisa bertahan hidup meskipun ia berada didalam penjara, mungkin ia harus tetap membayar agar tetap bertahan hidup. Banyak pekerjaan yang mereka bisa lakukan dan bagian dari proses rehabilitasi maupun bukan bagiannya, namun tak sedikit dari mereka menganggap bahwa itu hanyalah membuang waktu dan apa yang didapat tidaklah sebanding. Lalu bagaimana ia dapat bertahan hidup? Seorang mantan narapidana diluar sana pernah mengatakan cara paling mudah bertahan di dalam penjara adalah dimana ia menuruti semua perintah yang ada. Namun terdapat cara tidak resmi lainnya seperti mencari alternatif pemasukan yang dapat digunakan untuk membeli fasilitas di dalam penjara. Terdapat juga cara yang sangat haram seperti penyelundupan obat, pornografi, HP dan hal lain dari dunia luar. Sepotong gambaran yang ia ataupun mereka lakukan agar dapat tetap bertahan di dalam penjara. Sama seperti di dunia nyata, semakin besar resiko yang kita lakukan, keuntungan yang kita dapatkan pun akan semakin besar. Sebuah prinsip kecil yang menurutnya harus disadari dan diterapkan oleh semua manusia. Sebuah aspek pembelajaran terpenting dari sebuah penjara adalah kecerdikan, hal yang bisa berubah menjadi suatu jasa dan dapat memberikan keuntungan, dan mereka melakukan hal tersebut dalam keterbatasan. Banyak dari mereka yang ingin membawa kecerdasan yang mereka pelajari ke dunia luar tentunya dalam hal yang positif. Sebuah konsep alami yang mereka jalani dan dapatkan di penjara, sebuah konsep yang sudah mulai dilupakan banyak orang. Sangat disayangkan dunia nyata tidak akrab dengannya hanya karena pandangan sebelah mata yang menjadikan mereka berkembang lebih cepat lagi dan tak jarang banyak dari mereka yang kembali ke masa lalunya dan berakhir di tempat yang sama. Dan apa yang bisa kalian lakukan sebagai ―manusia normal‖ untuk mereka? Apakah kita sudah cukup memaksakan kecerdikan kita ditengah kondisi yang ada? 77


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Sebuah obrolan beradu renungan hingga pagi akhirnya datang.

78


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

PASAR BEBAS TERJUN BEBAS Luthfi Muhamad Iqbal ―Rezim ekonomi dunia tidak bisa berjalan murni lagi. Dalam dekade ini, kecongkakan pasar bebas pada akhirnya harus menerima pertolongan ‗tangan ajaib‘ yang bernama negara.‖ Usman Kansong Pasar bebas adalah area dimana Perdagangan Bebas bisa berlangsung, baik dalam zona lokal, nasional, regional, maupun internasional. Ide awalnya, pasar bebas dicita-citakan sebagai serangkaian kegiatan pertukaran dalam masyarakat yang terjadi secara sukarela. Secara prakteknya di skala Negara diterjemahkan menjadi sistem Ekonomi Pasar Bebas, dimana perekonomian diserahkan sepenuhnya kepada dinamika penawaran dan permintaan pasar tanpa campur tangan negara. Sehingga, penjual dan pembeli dapat bertransaksi 79


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

secara bebas berdasarkan kesepakatan yang ‗saling menguntungkan‘ antar kedua belah pihak tanpa hambatan pajak, subsidi, regulasi yang dikenakan oleh negara. Indah sekali sepertinya, ketika kita menjadi pembeli yang dapat mendapatkan produk barang/jasa yang terbaik dengan harga yang termurah, tak peduli siapa yang membuatnya; juga ketika menjadi penjual yang dapat memasarkan produk kepada pembeli dimanapun tanpa hambatan tarif/non-tarif untuk ekspor sehingga harga jual akan tetap murah dan disukai oleh pembeli. Disinilah kebebasan interaksi terjadi, kesukarelaan pertukaran antara pembeli dan penjual. Tapi tunggu dulu, sebelum terlalu jauh mengupas tentang kebaikan cita-cita pasar bebas yang melenakan; sebenarnya, ada apa dibalik kemunculan ide pasar bebas? Kegelisahan Dulu, mulai abad ke-16 di Eropa terjadilah sebuah reformasi peradaban yang biasa kita kenal dengan renaisans. Pada periode yang sama, Konstaintinopel jatuh ke tangan Turki Usmani, sehingga perdagangan dari Asia melalui jalur darat terhambat karena terkuasainya bandar dagang utama di eropa timur. Akhirnya negara-negara seperti Inggris, Portugis, Spanyol, dan Belanda mencari cara agar dapat memperoleh barang dagangan langsung dari sumbernya, selain agar murah, juga agar tidak perlu berhadapan dengan musuh utama eropa saat itu: Usmani. Mulailah ekspansi kerajaan eropa ke dunia timur, mencari rempahrempah untuk dijual di Eropa dengan harga mahal dan mendapatkan keuntungan bagi negara: EMAS. Ekspansi ini berdampak pada terciptanya Imperialisasi Kolonialisasi dunia dan monopoli perdagangan oleh kongsi dagang yang secara spesial sangat didukung oleh kerajaan penjajah, bahkan dipersenjatai dan diberi kewenangan-kewenangan istimewa. adalah Merkantilisme, dimana emas menjadi hal yang sangat penting karena mengindikasikan makmur atau tidaknya sebuah negara, melambangkan kekuatan, kedaulatan, kedigdayaan negara. Merkantilisme mengajarkan negara untuk sangat membatasi Impor kecuali impor emas dan menggelorakan Ekspor sebesar besarnya agar neraca perdagangan positif serta devisa negara dalam bentuk emas bertambah. Namun, era merkantilisme ini menjadi racun ketika Revolusi Prancis meletus. Liberte, Egalite, Fraternite‌ Rakyat membenci negara dan kongsi dagangnya yang korup, melibatkan mereka pada peperangan sedangkan mereka tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun. 80


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Disaat yang sama, rakyat harus menerima nasib sebagai pekerja pada tanahnya tuan tanah, mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mencari penghasilan melalui jalan perniagaan yang pada masa itu dikuasai oleh kongsi dagang kerajaan. Darisanalah Adam Smith, terilhami untuk menyusun the Wealth of Nations. Beliau menyadari bahwa semakin sedikit hambatan bagi perniagaan/perdagangan, akan semakin sejahtera dan kaya-lah semua orang. Dia percaya bahwa kesejahteraan sebuah bangsa adalah kesejahteraan rakyatnya, bukan negara. Ketika kesempatan terbuka lebar bagi seluruh rakyat, maka persaingan akan semakin hebat, persaingan mendorong masyarakat untuk lebih produktif dan akhirnya mendapatkan kesejahteraan. Sedangkan kesempatan hanya akan ada ketika kebebasan ada, dan tidak ada Kebebasan selama Negara masih turut campur dalam aktivitas perekonomian seperti pada era Merkantilisme. Oleh karena itu, Smith sangat mengutuk semua royal charter (surat istimewa yang diberikan negara bagi korporasi/kongsi dagang tertentu), tariff, kartel perdagangan dan monopoli. Belum lagi David Ricardo, dengan keyakinannya terhadap Keunggulan Komparatif antar masing-masing bangsa, beliau berhasil mendukung teori kebebasan ekonominya Smith dengan menyebutkan bahwa Perdagangan Internasional Bebas Hambatan adalah sesuatu yang sangat esensial. Misal: Portugal memiliki keunggulan pada produksi anggurnya karena mendapatkan cahaya matahari yang cukup, ya.. takdir geografis. Inggris, memiliki baja karena mempunyai cadangan batu bara yang kaya. Masing-masing negara memiliki sesuatu yang bisa diunggulkan dan jika masing-masing dari mereka bertukar satu sama lain, pihak-pihak yang saling bertukar akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka berdualah yang berhasil mentransformasi peradaban masyarakat eropa secara ekonomi dari masyarakat Feodal menjadi masyarakat Pemodal. Berkat kegelisahan mereka, Ekonomi pasar bebas lahir dengan ‗senang hati‘ ke dunia, dan diterapkan secara bertahap pertama-tama di Eropa Barat yaitu: Inggris Raya. Era Liberalisme Klasik Abad ke-18, Inggris Raya telah membuktikan keunggulan pasar bebas dan kebijakan perdagangan bebas dengan mengalahkan negara tetangga, sekaligus pesaing utamanya saat itu; Prancis yang masih memberlakukan kebijakan intervensionis. Inggris berhasil membuat dirinya sebagai kekuatan utama perekonomian dunia, terutama setelah tahun 1846 dimana kebijakan 81


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

proteksionisme warisan merkantilisme ditinggalkan. Tatanan dunia liberal orde I ini disempurnakan dengan adanya pemberlakuan kebijakan industri laissezfaire pada skala rumahan dalam bentuk hambatan rendah untuk lalu lalang barang, modal dan buruh antar-negara; stabilitas makroekonomi baik dalam lingkup nasional dan internasional; terjamin oleh Standar Emas dan prinsip anggaran berimbang sehingga seharusnya dapat terhindar dari krisis. Memang awalnya, berkat pasar bebas dan kebijakan perdagangan bebasnya, Inggris mencapai sebuah tingkat kesejahteraan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Sayangnya, sejarah berkata lain. Perang Dunia I yang menyebabkan ketidakstabilan politik dan ekonomi dunia membuat negara kembali memberlakukan hambatan perdagangan. AS meninggalkan perdagangan bebas dan meningkatkan tarif dengan kebijakan tarif Smoot Hawley. Akhirnya pada tahun 1932 jawara perdagangan bebas, Britania Raya menyerah dan tergoda untuk memberlakukan kembali tarif dan menandai berakhirnya era Liberalisme Klasik. Para ekonom liberal meyakini bahwa tindakan negara yang meninggalkan perdagangan bebas dan kembali menerapkan hambatan perdagangan sama sekali tidak memulihkan kondisi ekonomi saat itu, melainkan memperparah keadaan sehingga berakhir pada Kontraksi Ekonomi atau dikenal dengan istilah ―the great depression‖. Perang Dunia II membersihkan sisa-sisa kejayaan dunia liberal orde pertama ini. Era Transisi: Negara Kesejahteraan Selama Perang Dunia, Pasar Bebas dan Kebijakan Perdagangan Bebasnya sangat tidak populer karena ternyata banyak hal yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan pada kekuatan pasar saja. Hal ini dirasakan pada saat paska perang dimana kemiskinan, pengangguran, kelaparan, penyakit merebak dan pasar tidak dapat memberikan masyarakat pelayanan sosial yang cumacuma, karena berarti tidak terjadi ‗pertukaran sukarela yang saling menguntungkan‘ sesuai asas pasar bebas. Hal ini tentu menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Sistem negara kesejahteraan adalah kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara eksistensi masyarakat pemodal. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon konsekuensi-konsuekensi kapitalisme. Ide negara kesejahteraan ini ditemukan 82


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

oleh John Mayard Keynes, seorang ekonom Neo-klasik yang mengilhami negaranegara sosial demokratik. Dalam era ini, negara melalui pemerintah diharapkan dapat menggerakkan sektor rill, menyediakan lapangan kerja, dan mengintervensi kebijakan fiskal serta mengusahakan kegiatan perekonomian untuk mencapai kesejahteraan rakyat, senada dengan amanat UUD RI 1945. Namun era ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1960, setelah 15 tahun Perang Dunia II berlalu, banyak sekali kritik terhadap ide negara kesejahteraan ini, terutama dari masyarakat kapitalis industri. Mereka menyalahkan pemerintah yang sengaja mengatasnamakan ‗negara kesejahteraan‘ dalam menggunakan kekuasaannya melalui administrasi dan politik untuk memodifikasi permainan kekuatan pasar.Tidak hanya itu, mereka menilai bahwa sistem negara kesejahteraan adalah justifikasi bagi pemerintah untuk berlaku boros dalam menganggarkan kebutuhannya atas nama kesejahteraan rakyat, sehingga tidak cocok dengan pembangunan ekonomi serta dampak jangka panjangnya adalah ketergantungan masyarakat pada bantuan sosial pemerintah. Puncaknya pada tahun 1973, saat perang Yom Kippur antara aliansi Arab melawan Israel menyebabkan naiknya harga minyak dunia dua kali lipat, berimplikasi pada membengkaknya subsidi dan jaminan sosial yang ditanggung oleh negara-negara kesejahteraan sehingga membebani anggaran negara. Pada akhirnya, kelahiran neoliberalisme menutup era transisi ini. Era Neo-Liberalisme GATT (General Agreement on Tariff and Trade) 1947 mewarnai perekonomian paska perang, satu langkah besar untuk mengembalikan eksistensi pasar bebas. Walaupun tak berjalan mulus pada awalnya karena banyak negara yang masih mengandalkan kebijakan intervensionis berdasarkan teori kesejahteraan negara, namun perlahan, 1970an negara maju telah perlahan menerapkan pasar bebas dan kebijakan perdagangan bebas, diikuti oleh negara berkembang 1980an dan negara komunis setelah kehancurannya pada tahun 1989. Kebijakan intervensionis telah ditinggalkan seiring datangnya Neoliberalisme yang menekankan pada kecilnya campur tangan negara (ditandai oleh privatisasi sektor ekonomi), kebijakan laissez-faire, dan keterbukaan internasional. Krisis pada awal 1980 telah membuktikan keterbatasan proteksionisme dan intervensionisme, sehingga memaksa negara-negara di dunia untuk mereformasi kebijakan ekonominya ke arah neoliberal. 83


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

1995, GATT telah usang dan berganti baju baru, WTO (World Trade Organization), agen baru untuk menguniversalisasi pasar bebas. Bersama-sama dengan IMF (International Monetary Fund) mengajari negara-negara berkembang untuk belajar menerapkan kebijakan ekonomi ‗dengan benar‘ demi mendapatkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan. Termasuk Indonesia, banyak kemudian UU yang mengatur liberalisasi ekonomi, semenjak hutang IMF dikucurkan pada tahun 1998, seperti: UU Penanaman Modal Asing misalnya. Kekalahan Komunisme 1990 menjadikan Amerika Serikat dan Pasar Bebasnya satu satunya kekuatan yang berkuasa di dunia, mengalahkan Uni Soviet dengan Sistem Ekonomi Sosialismenya. Namun debu-debu komunisme belumlah tertiup angin, Korea Utara dan Cina misalnya, masih menggunakan kebijakan intervensionis dan proteksionisme serta menolak ikut serta dalam keanggotaan di WTO. Bertahan di Balik Tembok Cina Terkucilkan. Seiring penolakan keikutsertaannya dalam WTO pada tahun 1990an, kekuatan Cina tidaklah signifikan dalam dunia ekonomi, karena dipandang sangat konservatif dan anti progresifitas. Bahkan dalam bukunya, The End of History, Francis Fukuyama menyatakan bahwa Fakta kehancuran komunisme mengukuhkan kemenangan kapitalisme, Kapitalisme sedang berada pada puncaknya. Ya, memang komunisme sudah runtuh, namun Ideologi itu tetap terpatri di Cina, sebagai Ideologi Negara. Olok-olok dunia terhadap Komunisme, tidak memadamkan usaha Cina untuk mempertahankan ideologinya tersebut. Mereka bertahan dan mengkaji apa langkah seharusnya yang mereka ambil. Hasilnya mereka tetap pada Komunismenya, namun sistem ekonomi yang digunakan bergeser menjadi Sosialisme Pasar tidak lagi Sosialisme murni sebagaimana sebelumnya. Akhirnya, Cina yang saat itu sedang terseok-seok, berusaha berdiri di atas kaki sendiri membangun ekonominya tanpa intervensi asing, mereka memasuki era Industrialisasi Ekonomi. Mereka menolak bergabung dengan WTO pada mulanya karena bermaksud melindungi Industri dalam negerinya agar dapat berkembang dan tidak mati oleh kejamnya persaingan pasar bebas. Fase Bertahan, mereka membangun Industri mulai dari Industri kotor dan manufaktur berskala kecil, yang keselamatan kerja, kesehatan lingkungan dan standar produk yang dihasilkannya memang tidak bagus-bagus amat, namun lumayan dapat digunakan sesuai fungsinya. Berkat Industrinya tersebut ditambah dengan 84


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

keberadaan sumber daya manusia yang berlimpah sehingga harga buruh yang murah menyebabkan produk yang dihasilkan oleh Industri Cina menjadi sangat murah dibandingkan semua produk yang ada di dunia dengan segala keterbatasan yang ada tentunya. Budaya Industrialisasi Ekonomi dan Meningkatnya produktivitas masyarakat Cina berhasil mendongkrak perekonomian Cina. Setelah cukup yakin dengan kekuatan Ekonomi neo-Sosialismenya, Cina mulai bergabung dalam ‗pasar bebas‘, untuk menjawab tantangan dunia globalisasi yang sebelumnya mengucilkannya. Kegelisahan Baru Produk bermutu rendah dari Cina, atau biasa dikenal dengan ‗barang KW‘ bukan hanya membanjiri Indonesia ternyata, namun juga SELURUH DUNIA. Harganya yang murah menjadi keunggulan tersendiri dan menyihir konsumen untuk membeli kemudian tergantung kepadanya. Pembanjiran produk Cina ini tentunya diiringi dengan peningkatan kualitas Industri Cina dengan penguatan teknologi tinggi (High-Tech Industry). Sehingga negara-negara yang ‗dibela‘ oleh ‗Kartel‘ Perdagangan semacam WTO gelisah. Hal ini menyebabkan WTO memberlakukan Perjanjian Perdagangan Internasional yang meningkatkan hambatan perdagangan secara berkala seiring mereka menghapuskan hambatan yang lainnya. Misalnya: kewajiban untuk kebersihan udara, sumber daya air dari limbah industri dan keselamatan kerja yang dapat menghambat operasional sektor industri kotor, dimana Cina mengandalkannya untuk menopang perekonomian Sosialisme Pasarnya. Bentuk hambatan perdagangan yang dibentuk oleh Lembaga pengusung dan pendukung terciptanya Perdagangan Bebas, sungguh Ironi. Belum lagi kekuatan yang mahadaya dimana tekanan politik dan korporasi membatasi kompetisi dalam bentuk neo-Proteksionisme seperti: Paten, Hak cipta, dan monopoli-monopoli lainnya yang tergabung dalam ketentuan ―HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL‖. Peningkatan persaingan dan Pembukaan kesempatan selebar-lebarnya sebagaimana yang dicita-citakan oleh Adam Smith melalui keberadaan Pasar Bebas menjadi kabur. Kegelisahan negara-negara maju terhadap gempuran produk Cina membuat mereka menendang ‗tangga‘ kebebasan pasar bebas yang mereka buat sendiri dahulu untuk memanjat hingga setinggi kini. Mereka menyerukan agar negaranegara membuka pasarnya dan disaat yang sama berteriak menyerukan 85


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

advokasi ketika usaha mikro warga negaranya dirugikan oleh kebebasan lalu lalang pasar yang membanjiri negaranya. Sehingga faktanya sekarang, kekuatan politiklah yang menentukan pasar manakah yang akan/boleh dan tidak akan/tidak boleh bebas. Kejatuhan Pasar Bebas 2008, adalah tahun dimana hipotesis Fukuyama dalam bukunya ―The End of History‖ terbukti salah. Ya, mungkin beliau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tahun itu, lembaga keuangan amerika Lehman Brother mengalami kebangkrutan dan memaksa pemerintah untuk melakukan bailout demi menyelamatkan perekonomian negara melalui Troubled Asset Relief Program. Resesi Ekonomi Global 2008 telah memindahkan pengambilan kebijakan ekonomi dari New York ke Washington, dari Sao Paulo ke Brasilia, dari Shanghai ke Beijing, dari Mumbai ke Delhi, dari Dubai ke Abu Dhabi, dimana mau tak mau negara perlu turun tangan dalam memutuskan kemanakah arah masa depan ekonomi negaranya. Terjun bebasnya pasar bebas dapat dilihat jelas dalam bukunya Ian Bremmer ―The End of The Free Market‖ . Beliau mengetengahkan sejumlah fakta melunturnya Kapitalisme Perusahaan dan beroperasinya Kapitalisme Negara. Antara 2004 dan awal 2008, 117 perusahaan negara dan perusahaan publik dari Brasil, Rusia, India, dan China (yang disebut negara-negara BRIC) muncul pertama kali di daftar Forbes Global 2000 sebagai perusahaan terbesar di dunia, diukur dari penjualan, profit, aset, dan nilai pasar. Di saat yang sama, 239 perusahaan swasta di AS, Jepang, Inggris, dan Jerman terlempar dari daftar. Persentase nilai pasar ke-239 perusahaan swasta tersebut tergerus dari 70% menjadi 50% hanya dalam empat tahun. Sebaliknya, persentase nilai pasar perusahaan negara di BRIC melesat dari 4% menjadi 16%. Sikap Belajar dari pengalaman kegagalan pada ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) dan dalam rangka menyongsong ASEAN Community 2015 Indonesia seharusnya melupakan jauh-jauh Pasar Bebas. Pasar bebas hanyalah mitologi masa lalu, sebuah wacana politik dan cita-cita yang gagal karena realitanya adalah sekarang ada dua jalan di hadapan kita: Kapitalisme Korporasi atau Kapitalisme Negara.

86


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Masih ingatkah dengan Alinea 4 Pembukaan UUD-RI 1945 yang berbunyi: kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia…‖ Lihatlah, tujuan kemerdekaaan bangsa kita adalah 1) membentuk suatu pemerintah negara indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan warga negaranya. Lalu, untuk apa kita merdeka jika pemerintahan yang ada tidak dapat memajukan kesejahteraan umum hanya karena orientasi pertumbuhan ekonomi melalui sistem kapitalisme korporasi? Privatisasi BUMN hendaknya dihentikan, gelorakan Nasionalisasi badan Usaha Strategis, reformasi birokrasi dan pelayanan sosial, lindungi sektor koperasi dan UMKM, prioritaskan transfer teknologi dari industri asing yang kini masih beroperasi di indonesia serta Industrialisasi Ekonomi sehingga Ekonomi BERDIKARI dan Kooperasi yang dicita-citakan dwitunggal Soekarno-Hatta dapat terealisasikan dan pada akhirnya kita akan merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarnya. Karena pasar bebas terbukti gagal, apakah ini saatnya negara turut berperan dalam ekonomi? He Yafei Wamenlu Cina Luthfi Muhamad Iqbal Magangers Kementrian Kebijakan Nasional Keluarga Mahasiswa ITB 2012/2013 13 Januari 2013 Referensi:  

Francis Fukuyama, ―The End of History and The Last Man‖ (New York, NY: Free Press, 2006) Ha-Joon Chang, ―Kicking Away the Ladder: The ―Real‖ History of Free Trade,‖ Foreign Policy In Focus (Silver City, NM: Interhemispheric ResourceCenter, December 2003). Ian Bremmer, ―The End of Free Market: Who Wins the War Between States and Corporations?‖ (New York, NY: Penguin Books, 2010). 87


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

        

http://www.econlib.org/library/Enc/FreeMarket.html http://www.investopedia.com/terms/f/freemarket.asp#ixzz2HIZnE90 0 http://insanakademis.blogspot.com/2011/10/teori-welfare-statemenurut-jm-keynes.html http://www.thecanadianencyclopedia.com/articles/welfare-state http://elegant-technology.com/TVAfretr.html http://www.mediaindonesia.com/jendelabuku/2012/12/23/pasarbebas-wasalam/ http://mikeportal.blogspot.com/2012/10/china-melawan-amerikasebabak-rivalitas-ideologi-dunia.html http://reclaimdemocracy.org/global_corporatization_corporate_capit alism_freetrade/ http://www.sarjanaku.com/2010/10/makna-setiap-alinea-dalampembukaan-uud.html

88


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

KADERISASI: KEBUTUHAN ATAU KEHARUSAN? Mery Ana Istilah kaderisasi yang berasal dari kata dasar ‗kader‘ pertamakali saya dengar dari ibu saya, saat itu terdapat pengaderan di kelurahan daerah saya. Saat itu saya masih berada di bangku SMP kalau tidak SD *saya lupa* yang jelas masih belum SMA. saya yang penasaran tentang istilah kader, bertanya pada beliau. Lalu saat itu beliau menjawab, bahwa pengaderan tersebut merupakan proses merekrut anggota baru yang akan memegang tugas atau jabatan pada periode yang baru dalam kelurahan. Oleh sebab itu, pada awalnya, saya kira kaderisasi adalah suatu kegiatan yang teramat formal dan ada teknis-teknis pelaksanaannya secara teratur dan kaku. Seperti kaderisasi anggota caleg dan lain-lain. Namun, semakin kesini, saya semakin belajar bahwa sebenarnya pengertian kaderisasi tidaklah sesempit itu. Sebagian dari kita mungkin telah tahu apa itu kaderisasi. Kita tahu, mungkin karena banyak mendengar istilah 89


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

kaderisasi. Terutama saat saya mengenyam pendidikan sebagai seorang mahasiswa, saya mulai mengenal beberapa kaderisasi yang ada di kampus. Karena banyaknya kaderisasi dan cenderung monoton terkadang menimbulkan adanya kebosanan dan timbul pemikiran bahwa kaderisasi ya begitu-begitu saja. Bahkan mungkin banyak dari kita ketika ditanya tentang kaderisasi, kita menjawab ―itu tuh kegiatan yang diadakan oleh senior/kakak tingkat, kalo senior marah-marahin kita sebagai Junior‖. Padahal sebenarnya bukan itu esensi dari kaderisasi sendiri. Banyak dari kita sebenarnya masih tidak memahami hakikat dari adanya kaderisasi. Mengapa harus ada kaderisasi? Apa itu Kaderisasi? Pada dasarnya kaderisasi dapat diartikan secara sederhana, sesederhana kata ‗interaksi‘. Namun, jangan sampai disalah artikan bahwa kaderisasi itu adalah interaksi. Karena interaksi belum tentu dapat dikatakan sebagai kaderisasi, tetapi kaderisasi sudah pasti interaksi. Kaderisasi juga melibatkan dua belah pihak. Antara pengkader dan yang dikader. Dua-duanya seharusnya tidak ada yang lebih merasa berkuasa atau lebih berhak. Karena sesungguhnya, dari kedua-duanya sifatnya adalah saling membutuhkan. Saling Belajar. Kaderisasi dalam kampus sendiri, sebagai seorang mahasiswa merupakan suatu proses humanisasi ‗pemanusiaan‘ dengan cara transformasi nilai-nilai agar tri dharma perguruan tinggi dapat terwujud. Pemanusiaan manusia disini dimaksudkan sebagai sebuah proses pentransformasian nilai-nilai yang membuat manusia (dalam hal ini mahasiswa) agar mampu meningkatkan potensi yang dimilikinya (spiritual, intelektual dan moral). Proses kaderisasi sejatinya bersifat ‗bebas‘. Bebas yang dimaksud adalah proses tersebut tidak harus mutlak ada dan dilaksanakan. Karena kaderisasi hanya dilakukan jika dirasa perlu. Namun, dalam suatu organisasi kaderisasi memang dirasa sangat penting untuk dilakukan, karena proses ini berdampak jangka panjang. Hasil dari pengkaderan tidak dapat dilihat secara langsung dan instan. Dampaknya merupakan suatu proses belajar dan penyesuaian sesuai tujuan kaderisasi itu sendiri, pada suatu keadaan atau kondisi dimana ia tinggal. Berbicara tentang kaderisasi, teringat saat saya masih menjadi seorang maba dan menjalani ‗Gerbang Pertama Kaderisasi di ITB‘ yang kita kenal dengan ―Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa‖ atau OSKM. OSKM adalah kaderisasi pertama di ITB sebelum kaderisasi-kaderisasi selanjutnya seperti osjur, unit, dan kaderisasi-kaderisasi yang lain. Saat itu, saya sebagai seorang maba yang istilahnya tidak tahu apa-apa tentang kampus ITB, merasa senang ada yang 90


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

menyambut saya. Merekalah Taplok, sekarang dikenal dengan nama Mentor. OSKM merupakan salah satu contoh kaderisasi yang nyata terlihat proses kegiatannya. Kegiatan ini dikatakan sebagai gerbang pertama kaderisasi karena merupakan kaderisasi pertama untuk para maba, inilah kaderisasi yang menentukan karakter-karakter mahasiswa baru selanjutnya. Karakter-karakter yang akan menjadi ujung tombak kampus tercinta. Oleh karena itu, kegagalan kaderisasi dan nilai-nilai yang tidak tersampaikan dengan baik memang akan sangat merugikan dan berakibat fatal pada perkembangan kampus itu sendiri. Tetapi sejujurnya saat saya mengikuti OSKM tahun lalu, saya kurang mengerti mengapa harus ada orasi seperti komandan lapangan, dan panitia yang membentak-bentak. Kebanyakan dari kita hanya melihat profil mereka sebagai seseorang yang keren, tanpa memahami pesan apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan. Kegiatan kaderisasi seperti itu terkadang hanya menjadi sebuah acara sakral yang wajib diikuti, tetapi tidak tahu output apa yang harus dimiliki setelah mengikuti acara tersebut. Kita hanya mengikuti, bersenangsenang, tanpa memahami, merenungi, dan mengevaluasi atau bahkan kosong visi-misi. Menurut Adityo Sumaryadi salah satu mantan Menteri Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) KM-ITB periode 2012–2013, sejatinya kaderisasi adalah proses ‘belajar dan mengalami‘. Jika seperti itu, pengertian kaderisasi bukan hanya tentang perekrutan anggota baru. Tetapi disaat kita belajar memahami kondisi atau belajar mempersiapkan diri dan mulai mengalaminya,hal ini dapat dikatakan kaderisasi. Tanpa kita sadari sebenarnya kaderisasi sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari. Karena menurut Saya pribadi kaderisasi itu adalah sesuatu yang sederhana… Sesederhana, Saat engkau berada di lingkungan baru dan belum bisa berbaur , beberapa minggu berikutnya kau bisa bercanda tawa dan merasa seperti keluarga… Sesederhana, Saat engkau berinteraksi dengan orang lain, kemudian kau bisa mendapat banyak ilmu serta belajar banyak darinya…

91


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Sesederhana, Bagaimana kamu mengenal, memahami, dan peduli pada lingkungan‌ Menurut saya kaderisasi adalah proses memantaskan diri, proses dimana kita belajar tentang nilai-nilai, tentang hal-hal yang akan dialami, proses belajar untuk berinteraksi, memposisikan diri, berkarya dan menemukan potensi, serta proses menemukan kader-kader yang potensial. Namun, kaderisasi yang terjadi biasanya menjadi ajang balas dendam dari senior terhadap junior dan hanya sebuah acara/kegiatan untuk anggota baru tanpa memikirkan ketersampaian nilai-nilai yang harus dimiliki oleh para anggota baru. Tidak sedikit yang merasa bahwa kaderisasi di ITB ya begitubegitu saja, teringat saat saya mengikuti interaksi dengan calon himpunan jurusan. Salah satu kakak tingkat pernah berkata, bahwa sebuah kaderisasi tidak harus dengan metode yang kaku. Kaderisasi yang ideal seharusnya ada timbal balik dari pihak yang dikader dengan yang mengkader. Karena sejatinya, keduanya memiliki hak yang sama dan saling belajar. Kaderisasi merupakan suatu kebutuhan tetapi bukan keharusan. Kaderisasi juga seharusnya lebih fleksible tidak harus kaku dan mengikuti aturan secara mutlak. Seperti aturan yang telah diatur dalam RUK KM-ITB. RUK ini secara formal adalah landasan yang dipegang bersama-sama dalam membentuk profil di masing-masing tingkat. Tujuan akhirnya adalah bagaimana Kampus ITB dapat menghasilkan profil Sarjana ITB sesuai dengan materi dan step-step yang ada dalam RUK tersebut termasuk memenuhi profil di masing-masing tingkat. Namun, Saya tidak akan berbicara masalah Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) KM-ITB. Saya lebih ingin memberikan satu pemahaman bahwa RUK dan sebagainya mungkin ada, tapi nilai-nilai yang muncul hanya bersifat teoritis, dan justru kadang menjadi satu hal yang mengekang dan menghilangkan esensi mengenai kaderisasi itu sendiri bagi proses perkembangan seorang manusia. RUK boleh kita jadikan referensi, tapi tidak sepenuhnya kita jadikan satu pegangan kaku dalam proses pembelajaran. Karena kaderisasi adalah tentang menjadi karakter yang lebih baik‌‌‌.

92


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

― Jangan pernah membandingkan dirimu dengan orang lain, bandingkanlah dirimu terhadap dirimu sendiri dari hari ke hari, semakin baik atau malah sebaliknya ‖ *tulisan ini telah dibuat beberapa waktu lalu di saat saya sedang menjalani masa-masa kaderisasi di kampus ―tercinta‖ ini. Seingat saya saat itu saya masih menjalani masa MPDA (Masa Pendidikan Dasar Anggota). MPDA merupakan salah satu tahapan kaderisasi yang ada di Himpunan Planologi Pangripta Loka ITB. — Mery Ana

93


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

DIMENSI MANUSIA DALAM PERENCANAAN: MENGINGAT KEMBALI PEMIKIRAN GEDDES Naufal Rofi Indriansyah ―A city is more than a place in space, it is a drama in time‖ ― Patrick Geddes Permasalahan perkotaan di Indonesia nampaknya tidak kunjung padam. Masalah transportasi, infrastruktur, pemukiman kumuh, dan sebagainya mewarnai hiruk pikuk perkembangan kota, menyeret kota tersebut mundur dari kemajuannya. Solusi yang diberikan, yang merupakan wewenang pemerintah nampaknya jarang sekali menyelesaikan masalah tersebut.Beberapa menyelesaikan masalah, namun tidak memberikan win-win solution pada pihakpihak yang terlibat. Apakah sebenarnya perencanaan kota sudah diterapkan dengan baik? Apakah solusi yang ditawarkan sesuai? Dalam dunia yang sekarang kita tinggali ini, pemahaman serta penerapan tentang perencanaan wilayah dan kota masih sangat terbatas pada dimensi fisik seperti tata guna lahan, infrastruktur, serta sistem transportasi. 94


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Namun terdapat satu dimensia yang dilupakan.Dimensi tersebut adalah dimensi manusia. Objektifikasi manusia dalam pembangunan sangat kental terasa.Hal ini dapat kita lihat dalam solusi-solusi atas masalah perkotaan yang dicanangkan pemerintah.Menghiraukan eksistensi masyarakat, solusi-solusi yang ditawarkan pemerintah cenderung top-down dan hanya berorientasi pada solusi fisik saja.Salah satu contohnya adalah pembangunan rumah susun (rusun) sebagai vertical housing yang merupakan solusi terhadap padatnya penduduk yang berujung pada menjamurnya pemukiman kumuh.Perencanaan serta pembangunan rusun secara fisik, sebenarnya sudah berjalan dengan baik.Tetapi kondisi penghuninya setelah keberjalanan rusun yang seharusnya diperhatikan.Masih banyak penghuni rusun yang belum mendapatkan dampak positif dari pembangunan rusun ini.Hal ini tercermin dalam masih kumuhnya rusun, kerusakan fasilitas, serta penyelewengan fungsi rusun. Banyak contoh lain yang tampaknya bisa dipaparkan. Namun ada baiknya untuk benar-benar memahami dahulu sebenarnya seperti apa urban planning ataupun planning itu sendiri. Mungkin beberapa dari kita masih asing dengan nama Patrick Geddes (2 Oktober 1854–17 April 1932). Ia merupakan ahli biologi, ahli sosiologi, ahli geografi, dan juga seorang perintis town planning. Dia dikenal karena pemikiran inovatifnya di ranah perencanaan kota dan sosiologi. Untuk itu sebenarnya cukup menarik untuk menelaah kembali buah pemikirannya. Patrick Geddes menyatakan tiga hal yang tidak boleh dilupakan dalam perencanaan pembangunan.Pertama adalah bahwa perencanaan bukanlah ilmu fisik melainkan ilmu sosial.Ia menekankan bahwa perencanaan harus bisa berorientasi pada tiga titik fundamental, yakni folk-work-place (masyarakataktivitas/kerja-tempat). Sederhananya, seorang planner juga harus bisa menjadi antropolog, ekonom, dan geographer.Seorang planner harus tahu bagaimana masyarakat hidup dan bekerja serta menghubungkannya dengan lingkungan mereka.Sayangnya, perencanaan dewasa ini masih berorientasi pada sebatas ilmu fisik seperti yang saya sampaikan di atas.Beragam warna dalam petak-petak di atas peta serta model bangunan dalam tapak agaknya diciptakan tanpa perasaan. Kedua adalah ―survey before plan‖. Survey merupakan satu hal yang esensial dalam proses awal perencanaan. Namun, survey ini masih sebatas ―syarat‖ yang akhirnya diterjemahkan dalam data secara garis besar sehingga nantinya mampu ditemukan solusi yang sesuai. Nilai yang kita lupakan adalah 95


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

bahwa survey merupakan kegiatan di mana kita bisa secara gamblang merasakan apa sebenarnya kebutuhan masyarakat. Survey bukan hanya sekedar mendatangi seseorang, menyodorkan kuesioner, lalu mengolah data. Namun perlu dilakukan pemetaan terhadap manusia-manusia, bukan hanya sebagai objek, tetapi juga subjek — tubuh yang memiliki ingatan, visi, dan nilai —  sebelum akhirnya proses perencanaan dilanjutkan. Ketiga adalah bahwa produk dari kota adalah masyarakatnya (cities produce citizens). Perencanaan bukan hanya tentang produksi dan distribusi barang dan komoditas, namun juga tentang masyarakat.Komponen masyarakat tidak pernah lepas dari kegiatannya yang berhubungan dengan kotanya itu sendiri. Mungkin cukup menjadi pengingat bahwa sang perintis urban planning pun menyadari bahwa pembangunan yang ideal membutuhkan pengorbanan yang luar biasa bagi orang-orang yang memang berkecimpung di dalamnya. Dalam artian bahwa dibutuhkan kesadaran penuh bahwa dirinya adalah manusia, dan dengan segala kemampuan yang dimilikinya untuk mempeperbaiki sesuatu —  make the world a better place — maka tanggung jawab itu sangat besar karena juga melibatkan dan berdampak pada manusia lainnya. Kutipan Geddes di awal tulisan ini mungkin bisa menjadi kesimpulannya. Bahwasanya sebuah kota bukan hanya sekedar tempat dalam ruang. Ia tidak hanya sebuah benda mati. Tapi lebih dari itu, ia merupakan sebuah drama, dengan skenario dan aktor-aktor di dalamnya, dalam waktu. Menuntut kita untuk peka terhadap semua bagiannya, juga peka terhadap segala perubahan-perubahan yang terjadi. Agar kita benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi. ―Town Planning is not mere place-planning, nor even work planning. If it is to be successful it must be folk planning. This means that its task is not to coerce people into new places against their associations, wishes, and interest, as we find bad schemes trying to do. Instead its task is to find the right places for each sort of people; place where they will really flourish. To give people in fact the same care that we give when transplanting flowers, instead of harsh evictions and arbitrary instructions to ‗move on‘, delivered in the manner of an officious policeman.‖ — Patrick Geddes Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Patrick_Geddes#The_.22civic_survey.22 96


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

http://burgosciudad21.org/adftp/Shanghai_cultural_planning_paper.pdf http://nuswantorotejo.blogspot.com/2013/04/pengertian-perencanaanpartisipatif.html#.VYVvtUajAZM

97


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

THE POWER OF YOUR EMOTIONS Mery Ana Entah mengapa berbicara mengenai psikologi menjadi sangat menarik.Tahukah bahwa terdapat kekuatan yang secara psikologi sering kita abaikan dan justru memegang kendali dan peran penting dalam kesuksesan bahkan sebaliknya kegagalan pada seseorang.Banyak orang mengatakan bahwa sebuah kesuksesan ataupun kesejahteraan di masa mendatang tergantung pada kecerdasan seseorang.Selama ini, yang menjadi patokan bagi sebagian besar orang, kecerdasan itu adalah orang-orang yang memiliki IQ tinggi.Aku tidak mengatakan pendapat tersebut salah, tentu saja benar, ya sangat benar, tapi pendapat tersebut masih belum sempurna.Pasalnya, kecerdasan dalam diri manusia yang terpenting tidak hanya soal IQ saja, yang banyak orang lupakan adalah kecerdasan emosi. Manusia diciptakan oleh Tuhan katanya dengan kondisi dan kapasitas yang sama. Tetapi mengapa setelah menjalani 98


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

kehidupannya, kita berbeda-beda?Bahkan tidak sedikit dari manusia yang menjudge bahwa Tuhan tidak adil atau Tuhan pilih kasih. Apa yang membedakan satu orang dengan orang lain? Itulah yang kita kenal dengan karakter. Karakter satu orang dengan orang lain memang tidak sama, maka dari itu pada dasarnya kita tidak bisa mengubah seseorang (dalam hal ini karaktetrnya) menjadi orang lain, tidak akan bisa. Dan menurutku bukankah lebih menarik bila karakter manusia itu berbeda-beda? Dunia tidak akan membosankan, bayangkan jika semua orang di dunia ini baik tidak akan ada lagi orang jahat atau sebaliknya. Bukankah menyenangkan ketika seseorang yang introvert bertemu dengan seorang extrovert atau seseorang yang terlewat cuek bertemu dengan seseorang yang sangat humble? Atau pernahkan kau melihat dua orang yang sedang bertengkar atau berdebat akut satu sama lain tidak ada yang mau mengalah dimana kedua-duanya sangat keras kepala, tentu saja akan menimbulkan percekcokan. Tuhan menciptakan bumi dan isinya pasti dengan maha pertimbangan, jadi adanya perbedaan-perbedaan itulah yang tentu saja akan menjadi bumi ini tetap seimbang. Pemikiran Otak manusia yang memiliki berat kurang lebih satu setengah kilogram dan terdiri atas sel-sel dan cairan saraf, memegang peran penting dalam tubuh manusia.Akibat adanya otak, terdapat suatu pemikiran dan tindakan yang dilakukan manusia. Pemikiran yang menggunakan otak atau kepala biasanya kita sebut dengan pemikiran rasional dimana dampaknya akan berpengaruh terhadap tindakan manusia tersebut, hal ini merupakan suatu pemahaman yang lazimnya kita sadari lebih menonjol kesadarannya dan tindakan yang lebih hatihati. Namun, terdapat pemahaman lain bersamaan dengan hal tersebut —  pemahaman yang berpengaruh besar dan bersifat impulsif namun terkadang kita menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak logis — yaitu pikiran emosional. Bagaimana suatu emosi dapat memengaruhi pikiran rasional?Daniel Goleman dalam bukunya ‗Emotional Intelligence‘ menceritakan tentang kapan seseorang yang pintar menjadi sangat bodoh dan kehilangan akal rasionalnya. Diceritakan dalam sebuah sekolah di SMA Coral Springs, Florida. Terdapat seorang siswa bernama Jason H.; anak ini tentu saja sangat pintar luar biasa. Nilainya selalu bagus, dia selalu mendapat nilai A di semua mata pelajaran. Dirinya memiliki cita-cita masuk fakultas kedokteran dan memimpikan Harvard University.Mimpi yang bagus dan begitu tinggi, bukan?Itu bukan hal mustahil dan tentu saja bagi seorang anak yang selalu mendapat nilai A, hal ini bisa saja mudah.Namun, pada suatu ketika guru fisikanya memberinya nilai B pada mata 99


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

kuliah fisika.Jason pun dilanda rasa ketakutan dan memiliki keyakinan bahwa nilai yang hanya berindex B tersebut dapat menghalangi langkahnya mengajar cita-citanya.Lalu dirinya berniat untuk membunuh guru fisikanya tersebut, dan dengan pisau dapur dia menusuk gurunya tersebut di tulang selangkanya.Namun, Hakim memutuskan Jason tidak bersalah dan dianggap gila.Menurut pengakuan Jason, dia telah berencana bunuh diri karena nilai tes tersebut.Dalam masalah tersebut, bagaimana bisa seseorang yang pintar atau cerdas dengan IQ tinggi bisa melakukan hal sebodoh itu? Jawabannya: Kecerdasan akademis hanya sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Hingga yang paling cerdas pun akan terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak. Maka dari itu, seseorang yang pintar saja tidak dapat menjadi driver yang cakap dalam kehidupannya jika dia tidak memiliki manajemen diri/pengendalian emosi yang baik, semuanya akan hancur dengan sekejap. Karena kecerdasan akademik saja tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitankesulitan hidup. Sepertinya pemikiran bahwa anak-anak yang memiliki IQ tinggi sudah pasti kesejahteraan dan masa depannya terjamin telah berevolusi menjadi pemahaman bahwa IQ tinggi tidak menjadi sesuatu yang utama.Pasalnya, banyak yang memiliki IQ rata-rata jauh lebih sukses dan sejahtera dibanding yang memiliki IQ tinggi.Bahkan IQ tinggi pun tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup. Di sekolah-sekolah, yang kita jalani memang benar lebih menitikberatkan pada kemampuan akademis dan kadang mengesampingkan masalah kecerdasan emosional, yaitu sesuatu yang sangat berpengaruh besar terhadap karakter seseorang dan yang juga dapat menentukan nasib kita. Banyak orang-orang merasa pintar dan hebat tetapi tidak bisa memposisikan dirinya sehingga dia pun kehilangan respect, banyak juga orang yang begitu hebat dan pintarnya hingga memperoleh berbagai macam prestasi dan tidak pernah gagal dalam hidupnya lalu di kemudian hari karena sebuah kegagalan yang baru terjadi sekali, dirinya langsung frustasi dan bertindak yang teramat bodoh. Hal ini berhubungan dengan kecerdasan emosional, dimana seseorang itu bisa mengendalikan dirinya, tetap berada di jalan yang benar, dimana hati dan kepala tetap bekerjasama dengan seimbang.Sulit memang, tetapi kabar gembiranya kemampuan ini bukanlah bawaan sejak lahir, manusia tentu saja bisa mengasahnya. Bagaimana kita melatih agar emosi dan nalar tetap seimbang, dan tidak membuat suatu tindakan dimana nafsu mengalahkan nalar sehingga emosilah yang berkuasa dan saat emosi menguasai diri kita maka yang 100


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

akan timbul adalah tindakan-tindakan tidak logis dan tindakan bodoh lainnya yang mungkin berdampak terhadap dua hal: dampak negatif/rugi atau sebaliknya dampak positif/keuntungan. How EI support IQ Lalu bagaimana dengan seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa didukung oleh kecerdasan emosional yang luar biasa?.Tentu saja orang tersebut sangat beruntung dan dialah contoh ―cerdas‖ yang sesungguhnya. Bagaimana seseorang mengendalikan dirinya dan tidak dikuasai oleh emosi, tetapi mengontrolnya, hanya dikeluarkan pada saat, tempat, dan kadar yang tepat. Seseorang yang bisa mengendalikan dirinya dia tidak akan merasa sangat terpukul dan menangis darah berlarut-larut saat mengalami kegagalan atau ketidakadilan dalam hidup, sebaliknya, ketika mengalami kesuksesan pun dia tidak akan berlebihan dalam mengekspresikan kebahagiaannya semuanya dalam takaran yang cenderung biasa saja. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik adalah mereka yang dapat memposisikan dirinya, akan selalu berpikir positif, dapat bersosialisasi dan menjaga hubungan dengan baik, serta tenang dalam situasi apa pun. Jadi teringat seseorang dalam hidupku — Ibu, seseorang yang kupikir selalu tenang dan berani.Pernah suatu ketika, aku terkena musibah dengan adikku. Kami mengalami kecelakaan motor dan bisa dibilang akibatnya cukup parah, yang menurutku ini mengerikan. Banyak dari saudara-saudara, teman beliau dan tetangga yang berkunjung mengatakan ―kok sepertinya sampeyan tenang-tenang saja seperti tidak ada rasa takut kehilangan‖.Ibuku membalasnya hanya dengan tersenyum. Aku pun juga tidak mengerti apa yang ada di dalam hatinya. Tapi menurutku beliau adalah salah satu dari sekian banyak populasi bumi yang cukup memiliki kecerdasan emosional. Kau selalu…… Yang dipermainkan sang Nasib Yang menerima bencana dan anugerah Dengan penuh syukur………. Tunjukkan Padaku Lelaki yang bukan budak nafsu, dan ‗kan kusematkan dia 101


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Di tali kalbuku, ya, dalam hati sanubariku Seperti aku padamu…………………………… The better of you is not about how big you are, it‘s about how you manage yourself and control your emotion.

102


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

PEMBIAYAAN PENDIDIKAN TINGGI Luthfi Muhamad Iqbal ―Pendidikan tinggi (dan bahkan beasiswa pendidikan tinggi) tidak semestinya dibiayai oleh pemerintah (dari uang para pembayar pajak/tax payers), mengapa?Karena sejatinya pendidikan tinggi tidak bersifat wajib seperti halnya pendidikan dasar dan menengah, dan karena biasanya benefit dari pendidikan tinggi itu lebih besar untuk pribadi (pengenyam pendidikan tinggi).‖ - Kuliah Semester 5: Pembiayaan Pembangunan Menohok, seperti biasanya.Tahun pertama di kampus ini, saya melihat gonjangganjing tentang perjuangan mahasiswa dan semangatnya menolak RUU PT menjadi UU, yang akhirnya telah resmi diundangkan menjadi UU No. 12 Tahun 2012.Semester ini, di penghujungnya, kalimat diatas menjadi jawaban kebanyakan dari kami untuk soal ujian nomor 22. Gelisah‌ 103


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Pengantar: Pembiayaan Pembangunan Bersekolah di sini menyenangkan.Kami belajar banyak hal yang memperluas cakrawala pikiran kita, meski latar belakang kami dari SMA-IPA, kami banyak sekali terpapar ilmu-ilmu sosial, salah satunya pembiayaan pembangunan.Namun ada yang membuat saya penasaran, mengapa kami diajari dengan model pembiayaan pembangunan rasa Amerika yang kapitalistik? Dengan contoh-contoh: financing transport in US, financing education in US, financing welfare in US, mengapa? Ada sedikit jawaban yang cukup memberikan cahaya redup: ―‌karena dengan model ekonomi kapitalistiklah, perekonomian kita bisa berdiri diatas empat kaki. Ekonomi kapitalis, yang mengenal empat skema barang dan jasa: barang dan jasa public, private, joint toll dan common pool. Di kala ekonomi sosialis pasti tidak mengenal dua skema: private dan joint toll goods.‖ Dug-stak! Ini membuat heran saya tinggal sedikit, tentang mengapa nuansa pembangunan di negeri ini rasa Amerika. Karena sejak sekolah pun kita dididik dengan baik oleh teori-teori ini, yang mungkin, inilah, sadar atau tidak akan mewarnai keputusan kita dalam merumuskan suatu kebijakan untuk Indonesia di hari depan. Kan? Nyam-nyam‌ Fundamental Theory: Four Scheme Goods and Services Dalam pembiayaan pembangunan yang diajarkan ada teori fundamental tentang empat skema barang dan jasa yang sebelumnya sedikit disinggung, skema ini membagi barang dan jasa berdasarkan kepemilikan dan persaingan serta bagaimana membiayainya. Private Goods and Services Ini adalah jenis barang dan jasa yang sifatnya privat: kepemilikan eksklusif dan memilikinya melalui persaingan, exclusive ownership and rivalrious consumption. Jenis barang dan jasa ini dibiayai dengan uang pribadi (private money). Joint Toll Goods and Services

104


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Ini adalah jenis barang dan jasa yang sifatnya publik-privat: exclusive ownership tapi non-rivalrious consumption. Jenis barang dan jasa ini dibiayai oleh biaya pengguna atau retribusi (user fees/charges). Public Goods and Services Ini adalah jenis barang dan jasa yang sifatnya publik: non exclusive ownership dan non rivalrious consumption. Jenis barang dan jasa ini dibiayai oleh pembayar pajak (tax-payers) atau melalui pinjaman (borrowing) yang berarti dibiayai oleh pembayar pajak masa depan (future taxpayers). Common Pool Goods and Services Ini adalah jenis barang dan jasa yang sifatnya non exclusive ownership tapi rivalrious consumption.Sehingga yang membiayai ini adalah alam, dengan degradasi kualitas dan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, tidak ada yang gratis di muka bumi ini, ya?Kesehatan gratis, pendidikan gratis, itu omong kosong.Segala yang gratis itu sebenarnya bukan gratis, tapi dibiayai pembayar pajak.Ingin segalanya gratis, membutuhkan pajak tinggi (mahal) sehingga cukup untuk menggratiskan segalanya.Ingin pajak rendah (murah), jangan menginginkan banyak yang gratis.Indiferen.Pajak dan layanan gratis itu adalah trade-off.Betulkah? Versi kuliah: betul! Sebuah Dikotomi: Posisi Pendidikan (Tinggi) dalam Pembiayaan Pembangunan Pada kuliah ke-9, dijelaskan beberapa sektor pembangunan wilayah dan kota yang harus dibiayai. Yakni pembangunan Ekonomi, Kesejahteraan, Modernisasi dan Pembangunan Berkelanjutan.Pendidikan masuk kedalam kategori pembangunan kesejahteraan (bersama-sama dengan kesehatan, asuransi sosial dan pembiayaan masyarakat miskin), dimana pembiayaan pembangunan bertujuan untuk bagaimana kesejahteraan dapat meningkat; sedangkan Pendidikan Tinggi, masuk ke dalam kategori pembangunan modernisasi (bersama-sama dengan transportasi, pengembangan teknologi, inovasi dan demokrasi), dimana pembiayaan pembangunan bertujuan untuk bagaimana agar bisa mengikuti perkembangan zaman. Posisinya dalam kategori ―pembiayaan pembangunan kesejahteraan‖ menjadikan Pendidikan di Indonesia sebagai tanggung jawab pemerintah 105


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

republik berdasarkan pendekatan Contractarian pada UUD 1945 pasal 31 ayat 2 dan 4 dimana: (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Pendidikan dasar, yang wajib diikuti warga negara dan wajib dibiayai oleh negara sebagai bagian dari upaya ―mencerdaskan kehidupan bangsa‖. Sehingga pendidikan dasar merupakan Public services, yang non-exclusive ownership dan non-rivalrious consumption Lalu bagaimana dengan pendidikan tinggi? Financing Higher Education Bila merujuk kepada ayat 2: mengingat bahwa Pendidikan Tinggi bukan termasuk kedalam pendidikan dasar, tidak wajib bagi warga negara mengikutinya, dan demikian pula menjadi tidak wajib juga pemerintah membiayainya. Maka pendidikan tinggi termasuk publicly provided service, jasa yang disediakan publik untuk dibayar dengan sejumlah biaya tertentu oleh para pengguna jasa tersebut (user charge/fees) bukan sebuah public service. Adalah bentuk ketidakadilan, jika meredistribusi pendapatan pajak (tax) yang dibayarkan warga negara (taxpayers) ke dalam bentuk pembiayaan pendidikan tinggi, kecuali untuk sebagian kecil target yang merupakan upaya pemerataan pendidikan (misal: dalam bentuk beasiswa) dan pengayaan ilmu pengetahuan serta teknologi yang berguna dalam memajukan peradaban (misal: dalam bentuk dana riset). Untuk itulah mengapa biaya kuliah menjadi mahal dan mungkin akan semakin mahal kedepannya. Klasifikasi Perguruan Tinggi di Indonesia dibagi menjadi 3 yakni PTN-BLU (Badan Layanan Umum) atau secara sederhana hanya disebut PTN, PTN-BH atau Badan Hukum serta PTS. Bedanya apa? PTN itu diselenggarakan oleh negara dan tidak memiliki otonomi, PTN-BH diselenggarakan oleh negara dengan otonomi akademik maupun non-akademik (termasuk pengelolaan dana dan pembiayaan) dan PTS diselenggarakan oleh swasta. Hari ini, pendidikan tinggi, berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012, masih dibiayai APBN dan APBD baik untuk PTN, PTN-BH ataupun PTS. Alokasinya 30% dari total anggaran fungsi pendidikan (asalnya 2,5% dalam RUU). 106


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Faktanya prioritas pendanaannya berurutan seperti demikian: PTN > PTN-BH > PTS atau bahkan mungkin demikian PTN > PTS > PTN-BH karena semakin tinggi otonomi, semakin sedikit prioritas dana yang dianggarkan dari APBN/APBD. Sehingga PTN-BH yang memiliki otonomi didorong agar bisa mengembangkan dana abadi atau endowment fund. Kultur Dana Abadi ini sudah dimulai sejak abad pertengahan di Oxford dan Cambridge dan menjadi budaya utama pembiayaan pengelolaan Pendidikan Tinggi di Amerika Serikat. Dengan adanya dana abadi, perguruan tinggi bisa mendapatkan banyak modal, yang berarti semakin banyak produk ipteks yang bisa di-generate untuk kemajuan peradaban. Dengan demikian, PTN BH bukan saja berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun juga mencari sebanyak-banyaknya uang dan aset yang menghasilkan uang untuk membiayai pengembangan pendidikan tinggi yang bermutu, mengembangkan teknologi, inovasi yang termasuk ke dalam pembangunan modernisasi wilayah dan kota yang berbiaya tinggi (high cost) dan membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak, dan tentunya: berbagai kepentingan. Untuk Tuhan, Donatur dan Almamater! Selamat Malam Luthfi Muhamad Iqbal Kajian Strategis HMP Pangriptaloka 2014/2015 (24 Desember 2014) Perkuliahan Pembiayaan Pembangunan:https://www.dropbox.com/sh/jr69zqzv9elz7jr/AAA6z1yWQPe7t UUnT4H2urPHa/PL%203141%20Pembiayaan%20Pembangunan/SAP_Pembiayaan_ Pembangunan_2014_250814.pdf?dl=0 UU Pendidikan Tinggi: http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17624/UU0122012_Full.pdf Sikap KM ITB http://km.itb.ac.id/site/pernyataan-sikap-km-itb-terkaitpengesahan-ruu-pt-13-juli-2012/

107


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

MENGAPA PENULIS MENULIS Alvin Noviansyah Untuk apa kalian menulis? Mencatat sesuatu di tengah mata kuliah yang tidak dimengerti, mencatat halhal penting dalam pekerjaan di sebuah notebook kecil ber-cover merah pekat, yang mungkin kau buka untuk mengingatnya sewaktu-waktu? Untuk apa sebenarnya kalian menulis? Pernahkah kalian berpikir, bahwa sesuatu lebih mudah diingat atau kalian ingat kembali jika kalian melihat bentuk penampakan aslinya? Seperti saat akan membeli barang, lebih mudahkah kalian mengingatnya dengan membawa fotonya daripada kalian menuliskan deskripsi benda tersebut pada suatu kertas untuk kalian jelaskan kembali kepada sang penjaga toko, atau kalian imajinasikan kembali bentuk benda tersebut dalam pikiran? Bukankah lebih baik 108


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

mengambil foto akan catatan penting dalam suatu mata kuliah, daripada mengeluarkan tenaga lebih untuk menulis hal-hal yang ingin diingat dengan resiko tertinggal dalam mata kuliah tersebut? Bukankah sekarang manusia lebih mengandalkan matanya daripada otaknya? ―Sekarang, orang lebih mementingkan bagaimana cara mengisi perut, memuaskan mata, daripada mengisi otak.‖ — Anonymous Jadi, untuk apa sebenarnya saya menulis? Penulis, menurutku adalah orang yang sangat suka berimajinasi. Imajinasi mereka bebas, sehingga mereka dapat menuliskan suatu cerita, suatu frasa, hingga nantinya pembaca dari frasa tersebut akan dapat mengartikannya dengan imajinasi mereka sendiri, bagaikan menggambarkan sesosok manusia yang sangat indah, diartikan dengan rambut yang gemulai, mata yang sayu, bibir yang merona, pipi yang gempal, dan sebagainya. Sedangkan pada sisi pandang lain, manusia indah berrambut ikal, mata yang jernih, pipi cekung, dengan bibir yang tipis setipis sebuah untaian halus yang diuntai Tuhan demi mengartikan keindahan itu sendiri. Semua itu bisa dilakukan penulis dengan hanya menulis sebuah tulisan ‗manusia indah‘. Dan pentingnya semua itu tanpa keluar dari koridornya, tanpa keluar dari tulisan frasa sang penulis. Aku, kamu, kita adalah seorang penulis. Aku, menulis untuk menyimpan memori akan sesuatu. Aku menulis untuk mengingatkan diri sendiri, bahwa sebenarnya hal seperti ‗itu‘ adalah hal yang pernah terjadi.Untuk mengingatkan bagaimana emosionalnya situasi saat itu, betapa sedih, senang, marah, kesal, dan emosi lainnya yang dikeluarkan pada saat momen itu. Aku, menulis untuk mengenang hal yang indah, siapapun yang ada pada saat itu, apapun yang terjadi saat itu, benda apa yang ada pada saat itu, semua bisa kuingat dengan aku menuliskannya pada saat momen itu terjadi, dan akan kuingat suatu saat bahwa hal seindah itu bisa terjadi. Semuanya, bisa diingat dengan membebaskan imajinasi, dengan menggunakan karunia Tuhan yang disebut otak,akal, dan imajinasi. Dan satu hal, tanpa keluar dari koridor sang penulis. Pernahkah kalian pada suatu hari pergi ke pemakaman untuk memakamkan seseorang yang sangat kalian sayangi, sangat kalian cintai, dan kalian menyesal karena semasa hidupnya, kalian belum pernah merasa cukup untuk menunjukkan rasa tersebut kepadanya? Emosi yang ada pada saat itu, tangis yang menderu, orang-orang yang merasa tenang, yang merasa sedih, semua ada di dalam sana. Pernahkah kalian merasa ingin ikut menitikkan air mata saat hal itu terjadi, juga saat pasir tumpah ke atas tumpukan kayu di atas jenazah orang 109


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

yang kalian sayang, saat memori akannya juga akan terkubur di dalamnya? Pernahkah kalian merasa ikut sedih saat kalian melihat foto pemakaman orang, foto kremasi manusia? Tapi Aku sebagai penulis, ingin mengingat momen itu saat manusia dapat menitikkan air mata demi orang tersayang dengan cara menuliskannya dalam ingatan, yang suatu saat kenangan akan hal itu akan terpanggil lagi dengan bantuan sebuah catatan kecil di sebuah situs pribadi. ―Reality is cruel. Fantasy, as cruel as you imagine it…‖ Realita. Foto, gambar, sebuah rekaman, akan menampilkan hal yang memang ada. Realita.Betapa senangnya saat kalian berulang tahun, diabadikan dalam satu lembar foto yang kalian ambil, dan pada saat kalian ingat kembali, foto itu mengingatkan perasaan bahagia itu.Titik. Fantasi. Tulisan, kenangan, akan membuat kalian berimajinasi tentang hal itu, sesuai yang kalian inginkan. Fantasi. Betapa senangnya saat kalian menemukan seseorang yang membuat kalian merasa ada, kalian tuliskan dalam sebuah lembaran kertas, lalu pada suatu saat kalian baca kembali, kenangan itu akan terasa lebih manis dari seharusnya, dan lebih pahit dari seharusnya. Semuanya sesuai dengan apa yang kalian inginkan, apa yang kalian imajinasikan. ―Reality is cruel. Fantasy, as cruel as you imagine it. Therefore, words have enormous power besides picture, that‘s why there is writer‖

110


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

BERGERAK Fathimatuz Zahro Apa yang terjadi apabila jantung berhenti berdetak? Spontan, maka matilah kita. Apa yang terjadi apabila salah satu organ kita tidak bergerak (berfungsi sebagaimana mestinya)? Maka, akan ada bagian yang tak terpenuhi haknya dan sistem akan pincang sebagian atau seluruhnya. 111


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Lantas, apa yang terjadi apabila dalam sebuah negara, pemudanya (mahasiswa) yang katanya punya peran sebagai agent of change, social control, dan iron stock, tidak bergerak? Biarlah nasihat Pramoedya Ananta Toer ini menjadi jawabnya. ―Sejarah dunia adalah sejarah orang muda.Jika angkatan muda mati rasa, matilah sejarah sebuah bangsa.‖ (Pramoedya Ananta Toer) Dalam ilmu kesehatan pun, lebih sehat mana, orang yang bergerak atau orang yang diam? Tentu lebih sehat orang yang bergerak. Dalam versi aktivis nya, kalau kata bang Firman, tanpa kita bergerak pun perubahan itu akan tetap terjadi. Pertanyaannya, apakah mau jadi penggerak di dalamnya atau menjadi yang tergantikan? Menengok potret pergerakan pemuda Indonesia ke belakang, Dari waktu ke waktu, zaman ke zaman, model pergerakan pemuda berubah. Tergantung musuh apa yang sedang dihadapi. Dari yang awalnya berjuang dengan bambu runcing man to man, kemudian muncul lah organisasi pemuda dan gerakan lebih bersifat diplomatis dengan mengedepankan pemikiran.Lalu zaman kembali berulang di masa akhir orde lama dan orde baru, dimana Indonesia dihadapkan pada era diktator. Musuhnya ada dan jelas : pemerintah. Maka sistem kaderisasinya pun berubah, menggunakan fisik.Karena yang dilawan adalah militer.Dan kini, pasca reformasi, saat demokrasi mengambil alih.Memasuki era postmodernisme, dimana otak manusia dihujani oleh badai informasi dan asas hak asasi manusia menjadi raja.Tidak ada kebenaran mutlak, karena setiap orang bebas mengekspresikan diri dan berlindung dibalik kata hak-asasimanusia.Saat ini kembali ke zaman pemikiran, sebut saja perang pemikiran. Sejarah pasti berulang. Melihat potret gerakan masa kini dimana sulit ditemukan ―aksi turun ke jalan‖, dimana mahasiswa lebih suka pada kegiatan konkret yang dekat dengan masyarakat lalu membentuk komunitas-komunitas, bergerak sendiri-sendiri pada interest masing-masing. Nampaknya, sebelum lahirnya Budi Utomo pun pun wajah pergerakan pemudanya adalah bergerak secara parsial tanpa adanya tujuan yang satu. Lalu lahirlah organisasi pertama Budi Utomo, disusul sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, bandung lautan 112


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

api, era 1965, era 1974, era 1978, era 1997–1998, dan puncaknya adalah reformasi. Mungkin suatu saat nanti juga akan ada reformasi jilid 2. Di dunia kampus, setiap mahasiswa punya interest-nya masing-masing. Ada yang fokus pada bidang keilmuannya untuk menjadi iron stock di masa depan. Salah? Tentu saja tidak, yang salah adalah ketika hanya berperan sebagai iron stock saja padahal kita juga peran sebagai agent of change dan social control. Kita berkata, mahasiswa zaman sekarang apatis, hedonis, dll.Pertanyaannya, apakah di zaman dulu mahasiswanya tidak ada yang apatis, hedonis, dll?Tentu saja banyak, tapi bagaimana kita memberikan metode gerakan yang tepat dan mencakup semua segmentasi. PACKAGING! Stop berkata mahasiswa sekarang mah gini gitu, tapi fokus lah pada apa yang bisa kita lakukan sekarang dan bagaimana metode yang tepat untuk merangkul semua. Mungkin harus diperbanyak gerakan yang memahamkan mahasiswa tentang tantangan masa kini dan masa depan agar kita lebih aware. Jangan saling menyalahkan gerakan yang satu dengan yang lain dan menganggap gerakan kita pribadi yang paling benar. Misal antara gerakan aksi turun ke jalan dengan gerakan megajar.Tidak ada dikotomi antara gerakan ―aktivis‖ (zaman dulu) dengan keprofesionalitas, tetapi yang penting adalah sense-nya.Kita gelisah gak dengan keadaan sekitar?Mau bergerak gak atau hanya jadi penonton dan baru merutuki jika tidak sesuai? ―Berhentilah merutuki kegelapan dan mulailah menyalakan lilin.‖ Menurut Nyoman Anjani, ada 2 hal yang harus dilakukan pemuda saat ini: Pemuda harus mempunyai cita-cita atau VISI YANG BESAR. Agar apa? keep moving forward! Pemuda harus BERKONTRIBUSI.Apa kontribusi yang bisa kita berikan hari ini? Tentu sesuai keahlian, kemampuan, kesukaan, atau keprofesian masingmasing.Karena kontribusi membuat hidup lebih bermakna.Berkontribusilah jika ingin meninggalkan nilai-nilai bermanfaat kedepannya. Degup jantung seseorang berkata kepadanya Sesungguhnya, hidup ini hanya beberapa menit dan beberapa detik Buatlah suatu kenangan yang namamu akan terus diingat setelah kematianmu Karena kenangan bagi manusia adalah umur yang kedua. 113


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

(Dalam buku Fiqh Prioritas karya Dr. Yusuf Qaradhawi) Analogi Indonesia saat ini, menurut bang Faqih, seperti rumah bocor. Kita punya 2 pilihan, untuk memperbaiki gentengnya dan/atau mengepel lantai nya agar tidak ada orang yang kepeleset. Dari situ, saya menangkap bahwa gerakan pemuda (mahasiswa) dilakukan secara vertikal (pemerintah) dan horizontal (masyarakat).Kedua-duanya bukan salah satu. Melihat keadaan Indonesia saat ini dimana banyak yang merasa kecewa dengan kinerja pemerintah, lalu mahasiswa ingin mengulingkan pemerintah seperti pada era reformasi.Mungkin terlihat mudah, dengan mengarahkan ribuan mahasiswa, lalu pemerintah bisa langsung tumbang.Nyatanya tidak semudah kelihatannya, kawan.Karena reformasi dibangun oleh batu bata- batu bata gerakan-gerakan sebelumnya.Reformasi hanya puncaknya saja.Sebelumnya selama bertahun-tahun dilakukan konsolidasi, penguatan pemahaman, membangun jaringan yang luas dll.Perlu kita sadari bahwa umur pemerintahan yang naik baru beberapa tahun saja, tidak mudah untuk digulingkan.Pemerintah pun sudah mengerti gelagat mahasiswa yang terkenal dengan ―demo‖ nya. Jadi rasanya aksi 21 mei kemarin seperti tidak ada bekasnya lagi. Maka kita harus berpikir kritis, kreatif, dan solutif.Lebih banyak mengkritisi dan memberi solusi, dan tentu saja menyiapkan diri dan pemuda-pemuda lainnya (sinergi dan konsolidasi) agar ketika pemerintah turun digantikan oleh ―besi‖ dengan kualitas baik.Karena timing eksekusi ―kejayaan‖-nya itu belum tentu di zaman kita. ―Membuat perubahan adalah seperti membangun menara, takkan terjadi dalam semalam, takkan terjadi sebab seorang.Barangkali, setiap generasi hanya sempat meletakkan satu batu bata saja‖. (unknown) Penting untuk mengetahui tantangan apa yang terjadi masa kini dan masa depan agar kita bisa merancang metode yang tepat. Di era serba teknologi seperti ini, media sosial bisa menjadi ancaman sekaligus peluang.Ancaman yang membuat kita semakin malas bergerak. Tetapi peluang untuk membuat gerakan-gerakan berbasis jaringan, seperti kasus arab spring di mesir, #IWalkWithYou, dll. Karena sekarang gerakannya sudah macam-macam, pe-er nya adalah bagaimana merangkai titik temu agar gerakan pemuda power-nya lebih besar.Juga bagaimana menurunkan ego dan bisa saling berkolaborasi.Kadang-kadang, masyarakat yang makmur cenderung tidak mau 114


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

bergerak, dan jika ada kedzaliman baru terangsang untuk bergerak. Tapi intinya adalah.. Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu Teruslah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu (KH. Rahmat Abdullah) karena Diam adalah pengkhianatan. Wallahu‘alam bishawab.Mohon maaf jika terdapat banyak kesalahan. Tetapi jika tidak dituliskan, maka sebuah gagasan lama kelamaan akan mati ditelan waktu. Sabtu, 20 juni 2015 Fathimatuz Zahro Referensi: #SekolahPergerakan BSLF (Minggu, 14 juni 2015) dengan pembicara Ahmad Mustofa, Firmasyah, Achmad Faqihudin, Tanri Arizasyifa, dan Nyoman Anjani.

115


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

PSEUDOLIBERAL Nayaka Angger Aku tak ingin berbicara liberalisme atau tetek bengek fikrah politik.Aku hanya ingin mengingatkan teman-teman yang merasa bebas, anti-mainstream, berada di luar sistem, tidak setuju dengan kebiasaan lama, ataupun peduli pada isu sosial-lingkungan, agar benar-benar menjadi bebas.Bukan hanya sekedar menjadi manusia bebas, tetapi juga bebas menjadi manusia. Prawacana Liberalisme Belakangan ini, ―kebebasan‖ menjadi topik yang begitu sering diperbincangkan banyak orang di Indonesia. Dari meja-meja bar, pojok ruang kelas, angkringan nasi kucing, saung bambu di sawah, sampai ruang santai korporasi multinasional, semua menjadi saksi bisu diskusi liberasi manusia masa kini. 116


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Setidaknya hampir dua dekade, liberalisme menjadi hal yang begitu disanjung.Aktivis-aktivis liberal telah berhasil melebarkan sayapnya dalam mengantarkan dogma kebebasan versi mereka ke seluruh lapisan dunia.Berbagai gagasan mengenai indiskriminasi ras, kebebasan seksual, kesamaan kelas sosial ekonomi, begitu pula isu konservasi lingkungan serta anti-konsumerisme, telah sampai di jutaan pasang telinga.Paham tersebut menjadi sebuah wahyu yang datang mencerahkan dunia yang terlanjur kelam ini, seakan-akan kita disadarkan bahwa kebebasan dan kebaikan masih ada. Isu-isu yang diangkat para liberalis nampaknya begitu meyakinkan dan masuk akal, sampai-sampai banyak manusia modern yang terpesona akan buah pikiran para pemberontak ini. Sindrom Proklamasi Karena begitu menarik, konsep kebebasan dan kebaikan tersebut sepertinya menjadi suatu daya tarik tersendiri untuk dimiliki seseorang. Sekarang, mereka yang memiliki hasrat untuk menjadi manusia bebas dan ingin melakukan kebaikan untuk dunia akan dianggap orang yang menarik dan berbeda. Liberalisme bukan lagi jadi ideologi yang diperjuangkan, liberalisme sudah menjadi tren dan gaya hidup. Tiba-tiba saja, semua orang memproklamirkan dirinya sebagai individu yang bebas merdeka. Namun, sepertinya tren ini menyimpang dari aliran asalnya.Liberalisme telah mengalami mistranslasi menjadi sebuah kecenderungan untuk melawan dan mendiferensiasi diri dari lingkungan. Maka, dimulailah arus kultural yang mengutuk pembatasan ekspresi dan segala kurungan jiwa ini.Subversi dan kudeta menjadi hal yang lumrah diperbincangkan, seakan 1998 adalah sejarah patriotik yang harus diulang kembali secepatnya. Sistem ini dan sistem itu sedemikian dibenci, entah apa sebab jelasnya. Ditambah lagi, sepertinya semua orang mengaku berada di luar sistem. Independensi merupakan sesuatu yang harus dimiliki, sehingga mengikuti perkataan orang lain menjadi sangat sulit untuk diterima. Peraturan pun telah berubah menjadi sebuah dinding yang sangat menggoda untuk diloncati, bahkan dihancurkan. Buku kembali menjadi hal yang menyenangkan untuk diperbincangkan, karena sepertinya berpengetahuan luas meningkatkan daya tarik sampai ratusan persen, bahkan walau hanya mengaku hobi membaca.Memiliki kemampuan yang 117


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

unik menjadi pilihan yang menjanjikan untuk bertahan di lingkungan sosial, begitu pula dengan menjadi seorang anti-mainstream.Semuanya melakukan hal yang baru agar menjadi berbeda, apapun dilakukan agar tidak seperti orang kebanyakan. Nampaknya, bhinneka tunggal ika akan semakin meresap ke hati masyarakat Indonesia. Kiri dan kanan tidak lagi menjadi arah, melainkan direksi baik atau buruknya orientasi hidup seseorang.Planet ini tiba-tiba punya banyak penggemar yang berkerumun untuk berdebat mengenai plastik dan pendingin ruangan.Kapitalisme dan konsumerisme pun turut menjadi korban umpatan para manusia merdeka di seluruh pelosok dunia. Entah kenapa, revolusi menjadi begitu menawan.

Sayap Lilin dan Langit-Langit Semua manusia memiliki hasrat laten untuk melawan segala sesuatu yang mengekangnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan sebuah percikan kecil, hasrat itu bisa meledak dan menyebar.Hal itulah yang mungkin sedang terjadi sekarang. Namun, sepertinya kebebasan yang diimpikan masih terlihat semu.Satu-satunya kebebasan yang kita miliki sekarang adalah kebebasan untuk percaya bahwa kita adalah manusia bebas. Berada di luar sistem nyatanya tidak semudah mengucapkannya.Bahkan keluarga kita adalah sebuah sistem yang tercipta sejak ribuan tahun yang lalu.Begitu pula dengan kaum anti-mainstream.Menjadi berbeda nyatanya kadang hanya berguna untuk memenuhi kehendak ego. Sudah terlalu banyak orang yang ingin menjadi berbeda, sehingga mungkin menjadi sama adalah menjadi berbeda yang sesungguhnya. Hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan pun sepertinya hanya sampai di ujung lidah. Karena membicarakan revolusi sudah sama tingkatnya seperti pamer kalau ia seorang spesialis kandungan. Menjadi aktivis lingkungan dan sosial juga kadangkala terbatas pada konsep dan wacana.Jarang sekali yang kemudian benar-benar membenamkan kakinya di lumpur untuk melakukan perubahan yang diinginkannya. 118


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Kesemuan ini seperti menghapal ratusan pemain sepak bola dan menonton pertandingannya setiap malam, tetapi tidak bermain bola.Bukan karena tidak bisa, tapi entah kenapa enggan dan menunda. Pelarian Aku juga tidak tahu seperti apa kebebasan yang sesungguhnya. Tetapi seharusnya, setiap kebebasan membutuhkan sebuah pelarian.Kebebasan berawal dari sebuah ketidakbebasan, dan ketidakbebasan adalah sebuah hal yang natural dialami sejak lahir, kecuali Anda adalah seorang paus biru yang ditinggal mati induknya ketika lahir.Maka, setiap orang perlu melakukan sebuah pelarian untuk menjadi bebas.Pelarian tidak hanya bermakna lari secara diamdiam, tetapi juga menghilangkan penyebab ketidakbebasan itu sendiri, baik dengan penghancuran maupun perubahan. Tahap itu yang seringkali dilupakan oleh banyak orang.Euforia yang tercipta dari konsep kebebasan ini menghilangkan kemawasan diri, sehingga kita bebas bahkan sebelum kita berhasil lari.Kita seperti narapidana di penjara, yang merasa dirinya telah bebas setelah membaca sebuah artikel self-help, padahal masih berdiri di balik jeruji. Kebebasan bukanlah sebuah konsep dikotomi di mana hanya ada bebas dan tidak bebas.Di antaranya terdapat suatu fase yang menjadi topik dari tulisan ini, pseudoliberal, atau kebebasan yang semu.Pelarian harus dilakukan untuk membebaskan kita dari ketidakbebasan dan kebebasan semu ini.Pelarian ini juga tergantung dari kebebasan yang diinginkan setiap individu.Melarikan diri bisa saja dari media, pemerintah, beban finansial, pengaruh seseorang, atau bahkan diri sendiri. Ambil saja contoh seorang pemuda yang baru menyelesaikan masa orientasi di universitasnya, yang kemudian percaya bahwa kemahasiswaan adalah mengabdikan diri untuk masyarakat.Ia percaya bahwa kebebasannya adalah untuk menyejahterakan masyarakat di sekitarnya. Namun, begitu sulit untuk mewujudkan kebebasan tersebut secara konkret, sehingga ia kembali ke rutinitas seorang calon mahasiswa berprestasi, dengan begitu ia dapat meraih kebebasannya dengan lebih mudah di kemudian hari. Hal yang begitu baik bukan?Ia percaya bahwa ia telah bebas, bahwa ia telah memiliki pemikiran yang lain dari teman-teman sebayanya, namun nyatanya belum. Ia menunda pelariannya.

119


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Hal ini terjadi karena kita begitu fokus pada kebebasan kita, bukan pada pelariannya. Sehingga, banyak orang langsung menganggap bahwa mereka telah menjadi bebas ketika baru sampai pada derajat pemaknaan tertentu, dan itulah yang akan menjadikan kita seorang pseudoliberalis. Padahal, kebebasan akan begitu menawan setelah kita mengalami sebuah pelarian besar yang sukses. Mungkin saja, kebebasan yang sebenarnya terletak pada pelariannya. ―It‘s the action, not the fruit of the action, that‘s important.‖ Mahatma Gandhi Liberasi Populis Seperti apa rasanya ketika kita telah menjadi individu yang sepenuhnya bebas? Mungkin sedikit yang tahu jawabannya, tetapi mungkin mereka akan menjawab ‗sepi‘. Bayangkan umat manusia diinvasi oleh alien dan dikurung di pesawat induk, namun hanya Anda yang lolos. Bukankah tanggung jawab yang ditanggung begitu besar untuk membebaskan yang lain? Dan sepertinya hal itu juga berlaku untuk konsep ini. Membebaskan setiap orang menjadi sebuah proses dari pelarian itu sendiri. Menjadi manusia bebas seharusnya juga memiliki kebebasan untuk menjadi manusia.Seharusnya, menjadi bebas membuat kita menjadi manusia yang seutuhnya. Mungkin pengertian akan manusia ini akan begitu berbelit, namun ―kebaikan‖ sepertinya cukup untuk merepresentasikan sifat manusia yang sejati. Maka kebebasan akan berbuah kebaikan manusia yang sesungguhnya. Atau mungkin saja, kebaikan yang justru akan berbuah kebebasan yang sesungguhnya. Begitu humanis memang, namun bukankah itu menyenangkan? Dengan konsep ini, maka kebaikan juga akan menjadi bagian dari pelarian menuju kebebasan. Sebuah pelarian yang masif, di mana setiap orang akan mulai berjuang untuk mencapai kebebasannya masing-masing dengan melakukan kebaikan dan membebaskan lebih banyak lagi orang. Sebuah narasi yang begitu naif, tetapi sepertinya patut dicoba. Melarikan diri pun tidak harus menjadi rumit dan sulit.Melarikan diri tidak butuh persiapan besar selama bertahun-tahun seperti kuliah.Melarikan diri bisa setiap hari, di mana pun kita berada.Kita hanya seringkali menunda dan 120


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

membuat diri kita percaya bahwa kita sudah bebas.Melarikan diri itu sederhana, namun sulit dimengerti. Bebaslah, tapi jangan lupa melarikan diri. Sabtu, 3 Januari 2015 Catatan seorang schizotypal di tengah malam yang gerimis (P) dari 26 Maha Aksara

121


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

MESSIAH COMPLEX Faiz E. Philarette I fancied myself as some kind of god…if truth be known, i carried rather potent messianic fantasies with me from my childhood, which i felt i had control, otherwise, they would get me in trouble. — George Soros George Soros Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter terbesar yang pernah dialami negeri ini sejak tahun 1966, ketika inflasi pada tahun tersebut mencapai 600%. Inflasi yang dialami pada tahun 1997 pun tidak kalah hebatnya, kurs rupiah terhadap dolar saat itu naik dari Rp2.500 menjadi Rp12.000, atau sekitar 480%. Inflasi ini disebabkan karena seorang milyuner keturunan Yahudi yang berspekulasi dengan membeli rupiah dengan jumlah yang banyak lalu mengedarkan rupiah tersebut di pasar valuta asing, sehingga nilai rupiah saat 122


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

itu turun sangat drastis dan menyebabkan inflasi di Indonesia. Di satu sisi, mungkin itu melambangkan betapa lemahnya perekonomian Indonesia dan pemerintahannya, karena sebuah goncangan ekonomi di luar (pada tahun 1997 bukan hanya Indonesia, tapi seluruh dunia mengalami krisis) perekonomian dalam negeri di Indonesia dapat hancur begitu saja. Tetapi, tidak mungkin kita dapat mengabaikan bagaimana konyolnya satu orang dapat menggoncang dan meluluhlantakkan perekonomian satu negara. Satu orang ini adalah George Soros, salah satu milyuner terbesar di dunia. Lahir pada tahun 1930 di Hungaria, keluarganya berhasil lolos dari invasi Jerman dan kabur ke Inggris, dimana ia melanjutkan studi di London School of Economics. Ia lalu pindah ke Amerika Serikat dan menjadi stock trader. Soros sering dikritik karena seringkali menggunakan uangnya yang banyak untuk mencampuri urusan politik suatu negara.Ia bahkan mengklaim bahwa ialah yang membentuk Rusia yang sekarang dari ―sumbangan‖-nya. Ia juga memberi ―dana bantuan‖ kepada Kosovo sebesar 50 juta dolar, namun kemudian meminta kepemilikan tambang emas di Kosovo yang nilainya sebesar 5 milyar dolar (Neil Clark, 2003). Ia juga menyumbang lebih dari 18 juta dolar kepada John F Kerry untuk kampanyenya, menghindari terpilihnya George W. Bush untuk periode kedua. Semua perilaku George Soros ini adalah indikasi, yang ia akui ( LA times, 2004 ), bahwa ia memiliki messiah complex. Messiah complex adalah kondisi mental atau psikis dimana seseorang mempercayai bahwa diri mereka merupakan seorang messiah, seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi juru selamat, dan membuat perubahan ataupun menyelesaikan masalah di muka bumi.Walaupun messiah complex ini tidak diakui dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), karena bukan penyakit mental yang dapat didiagnosa secara klinis, namun kita dapat melihat gejalanya.Gejala dari messiah complex ini pun sebenarnya tidak jauh berbeda dari gejala narsisme ataupun grandiose delusions, dimana penderitanya merasa memiliki kekuasaan atau kecerdasan yang sangat besar sehingga mereka mampu mengubah dunia.Ada banyak sebutan untuk kondisi psikis seperti ini dengan berbagai tingkatannya.Mulai dari narsisme, grandiose delusions, messiah complex, hingga god complex.Semua ini adalah kondisi mental, yang dianggap penyakit oleh sebagian orang, dimana penderitanya memiliki kepercayaan diri berlebih, hingga pada messiah dan god complex, mereka merasa dapat melakukan dan mengendalikan segalanya.Namun apakah kita harus selalu melihat kondisi mental ini dalam konteks negatif?Apakah ada sisi positif yang dapat ditemukan dari kondisi psikologis ini? 123


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Terlepas dari semua perilaku aneh George Soros, yang memperlihatkan seakan ia mampu mengendalikan segalanya, ada satu hal yang perlu diingat: George Soros adalah ahli ekonomi dan spekulan yang handal. Ia hanyalah seorang imigran Inggris keturunan Hungaria biasa ketika pertama kali datang ke Amerika. Namun, pada tahun 1973 ia dapat mendirikan perusahaan sendiri, yang kini nilainya mencapai 10 milyar dolar. Di sini, saya tergelitik untuk mengaitkan messiah complex yang dimiliki George Soros dengan kesuksesannya. Messiah complex memiliki gejala yang mirip dengan grandiose delusions, dimana penderitanya memiliki kepercayaan secara fanatik bahwa dirinya sangat hebat, sehingga ia merasa lebih baik dari orang lain (dalam konteks tertentu, misal, kecerdasan yang jauh diatas orang lain). Sedangkan grandiose delusions sendiri, diketahui memiliki fungsi positif, sehingga seseorang yang memiliki grandiose delusions, terapinya seringkali bukan untuk menghapus grandiose delusions yang dideritanya, tetapi agar ia tidak larut dalam ilusi itu, sehingga dapat menaikkan kepercayaan dirinya dan mampu meningkatkan performanya dalam kehidupan sehari hari (Nelson, 2005). Semua itu dengan si penderita masih terjebak dalam ilusinya, walaupun hanya sedikit.Walaupun dengan literatur yang sedikit, disini saya menyimpulkan bahwa sedikit banyak, kesuksesan seorang George Soros dipengaruhi oleh messiah complex ini. Saya adalah seseorang yang beragama.Sebuah dosa besar jika kita menyetarakan diri dengan juru selamat, apalagi Tuhan.Namun bukankah sedikit dorongan yang kita perlukan untuk maju? Bukankah tiap orang ingin menjadi spesial? Saya yakin tidak ada orang dewasa yang ingin terjebak dalam fenomena bekerja ―eight to five‖. Semua orang ingin menjadi spesial.Semua orang ingin menjadi CEO perusahaannya sendiri.Ada yang ingin menjadi presiden seperti SBY.Atau bahkan menjadi seperti Ir. Soekarno yang mampu menggerakkan suatu bangsa.Sayang itu semua seringkali tetap menjadi mimpi, terkekang oleh logika kita sendiri. Salahkah seseorang jika ia berpikir dapat membawa perubahan? Salahkah seseorang yang ingin melakukan terobosan di tempat ia berpijak? Di negaranyakah?Atau di kampusnya? Mungkin ilmu yang kita punya tidak akan pernah cukup, namun jika kita tidak pernah mulai melangkah, kita pasti tidak akan sampai di tujuan. Dan untuk mulai melangkah diperlukan kepercayaan diri yang besar.

124


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Miris rasanya ketika saya harus menceritakan kegilaan seseorang yang merusak negara ini sebagai contoh yang diperlukan agar kita berani melangkah.Namun mungkin memang itu yang kita butuhkan. Mungkin butuh sedikit narsisme.Mungkin butuh sedikit ilusi.Mungkin kita butuh menderita grandiose delusions agar berani melangkah.Mungkin kita harus menderita messiah complex agar berani melangkah.

125


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

UNIVERSITAS Nayaka Angger ―A man can do all things if he will.‖ Leon Battista Alberti Jack Of All Trades Dalam program studi Perencanaan Wilayah dan Kota, terdapat sebuah konsep identitas yang ditanamkan kepada mahasiswanya sejak awal masa kuliah. Konsep ini menggambarkan sebuah mono-dualitas dari kelemahan dan kekuatan seorang perencana: jack of all trades, master of none. Konsep tersebut secara sederhana mendeskripsikan seseorang yang memiliki kompetensi dan kemampuan di banyak aspek, namun menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mempelajari semuanya sehingga ia tidak bisa menguasai satu kemampuan pun secara sempurna. Orang seperti itu disebut juga seorang 126


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

―generalis‖, kontradiksi dari seorang ―spesialis‖, ahli dalam suatu cabang ilmu atau keterampilan. Seorang perencana memiliki karakteristik yang sangat cocok dengan seorang generalis atau jack of all trades. Ketika merencanakan sebuah kota atau wilayah, seluruh aspek yang ada di dalamnya tentu akan memengaruhi perencanaan itu sendiri. Ekonomi, politik, hukum, seni dan desain, geologi, budaya, lingkungan, serta puluhan cabang ilmu lainnya seyogianya dipertimbangkan, sebab manusia dan aktivitasnya berinteraksi dengan ruang dalam sebuah kompleksitas yang agak berlebihan.Oleh karena itu, seorang perencana diharuskan menguasai seluruh aspek dan komponen dari sebuah rencana.Namun, ―menguasai‖ nampaknya merupakan sebuah tugas yang hampir mustahil untuk dilakukan, mengingat terlalu banyak yang harus ―dikuasai‖ oleh seorang perencana. Keterbatasan tersebut menyebabkan seorang perencana harus berkoordinasi dengan para spesialis yang menguasai aspek-aspek spesifik yang dibutuhkan dalam sebuah rencana.Sehingga, penyempurnaan teknis dari sebuah keilmuan menjadi pilihan bagi seorang perencana.Ia hanya tinggal mempelajari hubungan dan komprehensivitas dari masing-masing aspek, kemudian menyerahkan pendalaman teknisnya kepada masing-masing spesialis. Jack of all trades, master of none. Dinding Epistemologis Jack of all trades memberikan kesempatan bagi pengembannya untuk mempelajari banyak hal dan merajutnya dalam sebuah kesatuan pemikiran yang padu. Di sisi lain, konsep tersebut membatasi pendakian kita menuju puncak penguasaan ilmu pengetahuan, menghentikannya tepat di mulut puncak. Penghayatannya menjadi terbalik, bukan lagi tidak bisa menguasai sesuatu karena habis waktu di hal lain, tapi tidak menguasai sesuatu karena takut habis waktu dan tak sempat mempelajari hal lain. Konsep tersebut bukan hanya membatasi penguasaan kita terhadap sebuah pengetahuan, tapi juga membatasi pengetahuan apa saja yang bisa dipelajari. Apa maksudnya? Dalam konteks pendidikan perencanaan, seorang calon perencana akan dituntut untuk mempelajari banyak hal terkait aspek-aspek perkotaan atau perwilayahan. Namun, jika misalnya, ia ingin mendalami seni musik subkultur atau sastra klasik, akankah diperbolehkan? Dalam kenyataannya, tentu saja diperbolehkan, tapi tidak dianjurkan dan 127


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

difasilitasi.Ia harus mempelajarinya sendiri di luar lingkungan pendidikan perencana. Jack of all trades didegradasi menjadi jack of some trades, sedangkan master of none tetap bertahan apa adanya. Hal itu menggambarkan sebuah kelemahan yang fatal bagi para pemeluk jack of all trades, khususnya calon perencana.Tapi tentu saja, hal tersebut bersanding juga dengan kelebihannya, seperti wawasan yang luas, kemampuan untuk terlibat di banyak hal dan situasi, serta komunikasi yang cenderung lebih unggul karena terbiasa berhadapan dengan banyak lingkungan. Johannes telah mendapatkan keadilan, kita tidak bisa menyalahkannya.Dia hanya subjek semesta yang tak ada bedanya dengan kita, dia berkelemahan dan berkelebihan. Tapi apakah dengan begitu semua baik-baik saja? Bagaimana dengan manusia yang rakus akan ilmu pengetahuan? Bagaimana dengan yang ingin sok berwawasan? Bagaimana dengan yang berhasrat menampilkan arogansinya akan sesuatu yang ia kuasai, ketika bahkan ia tidak bisa menemukannya? Apakah memang tempat ini, sebuah universitas, ada hanya untuk membatasi kita dalam dinding epistemologis bernama ―program studi‖? Renaissance Man Sebagai manusia modern yang tidak pernah puas, aku mendambakan kesempurnaan ilmu pengetahuan untuk mendapatkan pemahaman universal terhadap semesta.Bukan hanya tentang sains dan bidang teknis, tapi juga mencakup disiplin sosial serta aspek spiritual dan seni, hal-hal yang sulit didapatkan di beberapa universitas masa kini, terutama di sebuah institut.Tapi aku menjadi serakah dan merindu kesempurnaan yang sempurna.Sebuah komposit antara jack of all trades dan ace of spade.Sebuah konsep yang mungkin bisa dinamai ace of all trades, dimana manusianya menguasai semua secara sempurna. Adakah? Mungkin jawabannya ada di masa lalu. Kita akan mundur sampai di pelataran era Renaissance (abad 14–17), sebuah era ketika humanisme dibangkitkan, dimana manusia itu sendiri menjadi pusat dari seluruh pengembangan ilmu di semesta. Keadaan tersebut dipicu oleh penemuan kembali manuskrip-manuskrip filsafat Yunani kuno.Pada dasarnya, 128


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

terbentuk sebuah kesadaran bahwa manusia memiliki kapasitas perkembangan yang tidak terbatas, sehingga setiap manusia hendaknya mengeksplorasi dan mengelaborasikan seluruh pengetahuan yang ada serta mengembangkan berbagai keterampilan dan kemampuan.Di era tersebut, manusia dicoba dimanusiakan. Lalu pada awal abad ke-15, tercetus sebuah konsep dari seorang arsitek Italia bernama Leon Battista Alberti yang mengejawantahkan konsep manusia pada periode Renaissance. Leon berpendapat bahwa setiap manusia dapat melakukan apapun jika ia ingin, sebab sesungguhnya manusia mampu. Maka, lahirlah sebuah terminologi yang menjadi identitas dan cita-cita manusia era itu (Renaissance man), sebuah identitas bernama polymath. Kata polymath berasal dari bahasa Yunani kuno.Polus berarti banyak dan mathe berarti mempelajari.Secara sederhana, polymath adalah seseorang yang memiliki keahlian di banyak subjek dan mampu menggunakan sistem pengetahuan yang kompleks dalam menyelesaikan sebuah masalah.Archetype dari seorang polymath adalah Leonardo Da Vinci. Perbedaan mendasar antara polymath dengan jack of all trades terletak pada motif dan tingkat penguasaannya.Seorang polymath secara ideal mempelajari berbagai bidang untuk mencapai sebuah keutuhan pemahaman terhadap alam semesta, untuk menjadi seorang manusia universal (homo universalis). Pemahaman terhadap semesta tidak akan bisa dijalankan jika dipelajari setengah-setengah, semua penghayatan harus dilakukan secara lengkap. Berbeda dengan jack of all trades yang fenomenanya tercipta secara kondisional, tercipta dari keadaan yang menyebabkannya harus menjadi seperti itu. Misalnya seorang pelayan tuan tanah, atau mahasiswa-mahasiswa perencanaan ini. Jack of all trades adalah sebuah ―keadaan‖, bukan ―identitas‖ ataupun ―tujuan‖. Universitas Lalu apakah kita, khususnya sebagai mahasiswa, dituntut menjadi seorang polymath? Polymath sendiri menjadi sebuah sosok ideal manusia pada era itu — dan seharusnya juga sampai hari ini.Sehingga, proses pendidikan di era Renaissance berorientasi pada pembentukan seorang Renaissance man yang ideal.Dari situlah lahir sebuah konsep bernama ―universitas‖. 129


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Universitas memiliki arti ―semua‖ atau ―keseluruhan‖.Konsep universitas pada awalnya bertujuan untuk memberikan sebuah pendidikan yang ―menyeluruh‖.Universitas pada masa itu tidak terspesialisasi dalam subjek yang spesifik, melainkan mendidik pesertanya di berbagai bidang. Mereka mempelajari sains, teologi, filosofi, seni, sosial, serta bidang-bidang lainnya dalam satu proses pendidikan yang padu. Kemampuan itu nantinya akan menimbulkan sebuah konsep sifat yang disebut sprezzatura. Sprezzatura didefinisikan sebagai sebuah sifat dimana seseorang terlihat melakukan sesuatu, berbicara, berkarya, dan bersikap seolah-olah tanpa usaha. Atau dengan kata lain, penguasaannya terhadap berbagai ilmu dan keterampilan membuatnya melakukan sesuatu tanpa perlu dipikir atau diusahakan lagi. Dapat disimpulkan, sejatinya sebuah universitas membentuk manusianya menjadi seorang homo universalis.Peserta didiknya diberikan bekal keilmuan yang menyeluruh untuk memperkuat dasarnya dalam melanjutkan pilihan pendalaman pengetahuan.Universitas seharusnya ada untuk menghilangkan batasan keilmuan, bukan membatasi dan menghilangkan keilmuan. Tapi sayangnya universitas bukan lagi bermakna ―keseluruhan‖. Kata universitas diperpanjang dan didegradasi dalam waktu yang sama dengan menjadikannya universitas magistrorum et scholarium yang berarti ―sekumpulan guru dan murid‖. Voila. Jadilah kita seperti ini.

Liberasi Intelektualitas Terlepas dari seperti apa seharusnya sebuah universitas, kita telah diberkati dengan keadaan ini. Yang ingin kubicarakan bukan tentang mahasiswa yang harus mempelajari semua hal.Tidak, itu terlalu sulit dilakukan dengan batasan kondisi dan kebudayaan di masa ini. Yang ingin kubicarakan lebih sederhana: kebebasan belajar. Pembatasan kebebasan belajar masih sering menyeruak dalam kehidupan akademis sehari-hari.Masih ada pembatasan pengambilan mata kuliah pilihan dengan dalih tidak perlunya yang bersangkutan untuk mempelajari hal tersebut, atau dalih lawas seperti ―fokus dulu di program studi‖.Universitas 130


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

juga masih sering membatasi kebebasan belajar dengan pembatasan kegiatan mahasiswa.Hal tersebut dicerminkan dari sulitnya perizinan untuk kegiatan atau acara yang ―asing‖ atau belum pernah dilakukan sebelumnya, pemberian jam malam yang merepresi mahasiswa dengan produktivitas nokturnal, juga dengan absennya ruang-ruang publik yang benar-benar bisa digunakan untuk pertemuan publik, bukan hanya ruang lapang dengan penjaga yang melarang siapapun berkegiatan ramai-ramai di situ. Tidak hanya pihak universitas, kelompok atau himpunan mahasiswa sendiri kadang gagal menciptakan atmosfer pembelajaran yang layak.Sulitnya mengadakan kegiatan dan pendidikan sesuai minat dan bakat anggotanya menyebabkan terkungkungnya pengembangan anggotanya.Rendahnya keinginan untuk serius memfasilitasi anggotanya untuk belajar juga semakin meniadakan budaya belajar di komunitas itu sendiri.Namun, yang lebih berbahaya adalah ketika identitas dan arogansi kemahasiswaan itu sendiri telah menjadi sebuah ilusi, dimana seakan-akan kita telah menjadi mahasiswa seutuhnya dan telah belajar sepenuhnya. Maka dapat disimpulkan secara subjektif, kebebasan belajar masih terkungkung di program studi ini, di kampus ini, di universitas ini. Universitas bukan lagi universitas, ia hanya sebuah ironi candradimuka yang menjadi komedi di perhelatan negara. Persetan dengan kebangkitan mahasiswa, persetan dengan universitas kelas dunia, persetan dengan pendidikan terbaik bangsa. Belajar dulu sana. Kamis, 10 September 2015 Sekedar tutur sebelum kelas (U) dari 26 Maha Aksara

131


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

EKONOMI KERAKYATAN DAN PERGURUAN TINGGI: BAGAIMANA KELANJUTAN PKL DAYANG SUMBI DAN PKL GANESHA? Luthfi Muhamad Iqbal Mengutip pertanyaan Soekarno, seorang mahasiswa bumiputera di Technische Hoogeschool te Bandung (TH) kepada Prof Klopper, rektornya pada saat itu, pada minggu-minggu terakhir kelulusannya: ―Mengapa kami diisi dengan pengetahuan-pengetahuan yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi Kolonial terhadap kami?mengapa pengetahuan yang saya pelajari disini hanyalah pengetahuan teknis kapitalis? mengapa kami diajari mengenai irigasi untuk tebu dan tembakau yang membikin gendut perut pemilik perkebunan, bukan untuk ladang sawah yang dapat memberi makan 132


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

orang banyak? mengapa ilmu mengenai pembangunan jalan tidak diarahkan untuk memudahkan rakyat berpergian, melalui hutan dan di pulau pulau, melainkan menghubungkan antara industri dan pelabuhan? mengapa dalam menggambar rencana kota yang utama adalah tempat kedudukan kabupaten? (tempat tinggal penguasa kolonial-bupati)‖ ―Karena bukan untuk itu sekolah ini didirikan… …Sekolah ini didirikan terutama untuk memajukan politik Den Haag di Hindia. Supaya dapat mengikuti kecepatan ekspansi dan eksploitasi, pemerintah saya merasa perlu untuk mendidik lebih banyak insinyur dan pengawas yang berpengalaman‖ Demikianlah, percakapan singkat antara Soekarno dengan rektornya, Prof.Klopper.

Akhir-akhir ini, penulis mendengar kabar bahwa gerbang utara kampus Ganesha akan dibuka. Terkait benar atau tidaknya, belum tahu pasti, namun ada satu yang (dugaan penulis) pasti tidak pasti: nasib PKL gerbang belakang (yang sekarang sudah lama sepi aktivitas). Ini adalah soal lama, sedari masa penulis masih berada pada bangku TPB, tahap pertamanya di kampus ini. Melalui tulisan ini, menggunakan haknya sebagai masyarakat ilmiah, yang memiliki kebebasan akademik, perkenankan penulis untuk bertanya: Apa yang di persoalkan terhadap PKL Kampus Utara (Dayang Sumbi) dan PKL Jalan Ganesha? Pedagang Kaki Lima, ialah bentuk dari usaha sektor informal, yang sebenarnya diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran sekaligus menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah bagi Pemerintah Daerah. PKL juga adalah potensi yang perlu dikembangkan karena secara ekonomi dan sosial memiliki nilai-nilai luhur berupa kerja keras, kemandirian, keharmonisan dan kreatifitas juga memberikan kontribusi bagi pembangunan di Daerah.Secara singkat, barangkali PKL bisa dikatakan sebagai citra kongkrit dari ―Ekonomi Kerakyatan‖.Namun seringkali dipandang sebagai gangguan terhadap kenyamanan, ketertiban, keamanan dan kebersihan.Maka dari itu perlu adanya penataan dan pembinaan. 133


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Keberadaan PKL dilindungi oleh UUD 1945. Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, telah diamanatkan bahwa ‖tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian‖. Esensi Pasal termaksud sangat jelas memberikan jaminan perlindungan konstitusional pada setiap warga negara yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk bekerja dan mencari penghidupan. Selanjutnya dalam Pasal 28 A telah diamanatkan pula bahwa ‖setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya‖. Sehingga kegiatan PKL sebenarnya tidak bertentangan dengan Konstitusi. Namun untuk meminimalkan dampak negatif dari penggunaan ruang sebagai kegiatan informal, keberadaan PKL harus ditata, yang dalam UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM dijelaskan bagaimana prosedurnya dan lebih jelas ketentuannya diatur dalam Peraturan Daerah. Dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pun dijelaskan bahwa aturan pemanfaatan ruang kegiatan bagi sektor informal harus dimasukkan kedalam dokumen rencana tata ruang wilayah kota, sehingga PKL masih diakomodir dan dianggap sebagai salah satu unsur kegiatan dalam sistem perkotaan. Sehingga pada acuan normatif ini pun, keberadaan PKL masih dipandang sebagai upaya-upaya positif masyarakat yang patut diberdayakan (selama tidak mengganggu ketertiban umum). Maka dari itu, mari kita tinjau aturan dan ketentuan yang lebih rinci. Dalam perda RTRW kota bandung pun kegiatan informal (PKL) masuk kedalam jenis kawasan budidaya yang harus direncanakan, meski memang harus dikendalikan terutama pada kawasan yang berfungsi lindung. Bahkan ada kewajiban dan insentif bagi sektor formal dalam penyediaan ruang tidak kurang dari 10% untuk kegiatan informal.Namun, pada pasal lain sempadan jalan adalah jalur hijau yang masuk kedalam kategori RTH Publik yang penguasaan dan pengembangannya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kota Bandung, maka dari itu sempadan jalan masuk kedalam bagian kawasan perlindungan setempat, dan bagian dari Kawasan Lindung. kasusnya adalah PKL disekitar kampus ITB, baik yang ada di depan Ganesha dan di belakang (kawasan gerbang utara) ada di daerah sempadan jalan, bukan? mungkin atas dasar inilah, maka perlu ditertibkan. Peraturan lainnya ada dalam perda penataan dan pembinaan PKL, bahwa peruntukan PKL di Kota Bandung dibagi menjadi tiga zona, yakni zona merah, dimana tidak ada sama sekali PKL yang boleh berjualan, zona kuning yang 134


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

diperbolehkan tutup dan buka berdasarkan waktu dan tempat serta zona hijau, lokasi dimana PKL boleh berjualan. Zona merah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a merupakan wilayah sekitar tempat ibadat, rumah sakit, komplek militer, jalan nasional, jalan provinsi dan tempat-tempat lain yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Daerah ini. Pada pasal 20 PKL dilarang :a. melakukan kegiatan berdagang di zona merah; b. melakukan kegiatan berdagang di jalan, trotoar, ruang terbuka hijau, dan fasilitas umum,kecuali lokasi tersebut telah ditetapkan/ditunjuk/diizinkan oleh Walikota; Juga dalam perda ini juga diatur bahwa sanksi terhadap masyarakat yang membeli dari PKL pada zona merah, dikenakan denda biaya paksa penegakan hukum sebesar-besarnya 1.000.000 rupiah, kebijakan yang beberapa waktu lalu ditegakkan oleh Pemkot yang menimbulkan banyak kontroversi. Maka dari itu, mari kita tinjau aturan dan ketentuan yang lebih rinci. Peraturan walikota mengenai petunjuk pelaksanaan perda tentang penataan dan pembinaan PKL, menyatakan bahwa zona merah merupakan wilayah sekitar tempat ibadat, rumah sakit, komplek militer, jalan nasional, jalan provinsi dan tempat-tempat lain yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota ini. Pada pasal 11, tempat tempat lain yang dimaksud salah satunya huruf c. lokasi sekolah, e. jalan tertentu dan huruf g. kawasan lindung. Lokasi sekolah dijelaskan salah satunya adalah pada pasal 14 huruf m. lokasi Perguruan Tinggi.Pasal 15 nomor 11.dan nomor 12. secara spesifik dijelaskan bahwa Lokasi jalan tertentu yang dimaksud pada pasal 11 huruf e. ialah termasuk Jalan Dayang Sumbi (PKL Gerbang Belakang) dan Jalan Ganesha (PKL depan Salman). Kesimpulan sementara, bahwa PKL di Gerbang Belakang, PKL di Jalan Ganesha melanggar banyak ketentuan legal karena PKL tersebut berjualan di kawasan lindung (jalur hijau sempadan jalan), di zona merah (sekitar kawasan sekolah, khususnya perguruan tinggi, dan terletak pada jalan tertentu yang diatur lebih rinci yakni Jalan Ganesha dan Jalan Dayang Sumbi) Adakah Kontradiksi Legal dalam Peraturan terkait? Dalam dokumen yang sama, ada ketentuan yang lain mengenai aturan penetapan zona kuning yang dipebolehkan untuk berjualan aneka komoditi 135


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

(diperkenankan berjualan di tempat dan waktu tertentu yang secara khusus diatur) diantaranya pada pasal 22 angka 110–113. Jalan Teuku Umar (samping kampus Unpad), Sultan Hasanudin (samping kampus Unpad), Dipatiukur (depan pascasarjana Unpad), Bagusrangin (samping pascasarjana Unpad). Pertama: PKL di tempat-tempat tersebut juga menggunakan sempadan jalan, kedua: PKL di tempat tempat tersebut seharusnya menjadi zona merah karena termasuk kawasan sekolah, khususnya perguruan tinggi. Bahkan dalam bagian ketiga, ketika menjelaskan zona hijau, dimana PKL boleh berjualan ditentukan pada pasal 23 ayat 2 angka 38, 39 dan 42, PKL diperbolehkan berjualan di Jalan Tamansari Bawah depan gerbang Unisba, samping Unisba dan depan SMPN 44. Untuk kriteria yang sama (sempadan jalan, kawasan sekitar sekolah, terutama perguruan tinggi), bisa menjadi tiga jenis zona berbeda. di sekitar ITB zona merah, disekitar Unpad zona kuning, dan di sekitar Unisba zona hijau. Mengapa bisa demikian?Apa yang menjadi pertimbangan penataan sehingga walikota (sebelum periode yang sekarang) menerbitkan petunjuk pelaksanaan dengan substansi yang boleh jadi agak diskriminatif seperti ini? Bahkan peraturan walikota ini bertentangan dengan Asas Perda yang dijelaskan pada perda terkait penataan dan pembinaan PKL pasal 4 huruf a. asas kesamaan dan d. asas keadilan. Yang dimaksud dengan ‖asas kesamaan‖ adalah bahwa penyelenggaraanpenataan dan pembinaan PKL tidak boleh membedakan agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Yang dimaksud dengan ―asas keadilan‖ adalah bahwa penyelenggaraan penataan dan pembinaan PKL harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap PKL tanpa kecuali. Ada ketidaksamaan dan ketidakadilan yang diperlakukan Pemerintah Kota terhadap PKL disekitar Unpad, Unisba dan ITB, padahal ketiganya berada pada kawasan dengan kriteria serupa: sempadan jalan dan kawasan sekitar lokasi sekolah (pendidikan tinggi). Manakah yang tidak sesuai dari ketiganya?Mengapa ada perbedaan perlakuan dan penetapan zona? Rezim berganti, apakah kebijaksanaan tetap sama? Aturan-aturan tersebut ada pada saat walikota masih dipimpin oleh walikota sebelumnya, dan juga pimpinan kampus pun serupa, pada saat saya masih tingkat pertama ITB masih dipimpin oleh rektor sebelum sekarang. Kini rezim berganti apakah sikap baik dari pemkot maupun pimpinan kampus masih akan sama terhadap PKL Ganesha dan PKL Dayang sumbi? 136


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Apakah kampus ITB telah atau akan menyediakan 10% dari total luas lahannya di Kampus Ganesha + Tamansari (Gedung Rektorat) untuk peruntukan kegiatan sektor Informal? Apa penjelasan mengenai kontradiksi legal yang terjadi pada Perda dan Perwal terkait penataan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima? Mengapa bisa terjadi demikian? Siapa yang salah? Menurut aturan yang berlaku, walikota memang berhak menerbitkan peraturan walikota dan menyepakati peraturan daerah. Dalam proses penyusunan aturan perundang-undangan pada juga terdapat kemungkinan partisipasi masyarakat dalam bentuk surat atau masukan tertulis dalam penyusunan aturan perundangundangan. Boleh jadi ITB juga memiliki andil dalam penetapan aturan zona merah pada perwal tersebut. Melihat adanya kontradiksi legal pada perwal dan perda terkait penataan dan pembinaan PKL di Bandung menjadi salah satu bukti bahwa polemik PKL sekitar kampus ITB bukanlah semata-mata kegiatan PKL yang melanggar aturan zona merah, karena barangkali ada aturan tersebut yang salah dan saling bertentangan. Entah kepentingan siapa yang bermain di sini. Sebelumnya, sempat terdengar kabar bahwa PKL ditawarkan untuk masuk dan berjualan di dalam ITB dengan membayar sejumlah biaya sewa usaha, meskipun aturan dalam UU mengenai UMKM bagian menumbuhkan iklim usaha dijelaskan bahwa: Pemda membebaskan biaya perizinan bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya perizinan bagi Usaha Kecil. Atau karena Kampus bukanlah Pemerintah Daerah sehingga tidak membebaskan biaya izin usaha bukanlah sebuah pelanggaran Undang-undang?Ya, boleh jadi demikian.Siapa yang tahu?

Epilog Hanya saja penulis masih penasaran.menurut peraturan pemerintah no 6 tentang Pendirian ITB, ITB didirikan dengan menggabungkan ilmu murni dan ilmu teknik karena teknik tanpa pengetahuan murni hanya akan menjadi ketangkasan teknis belaka, sedangkan pengetahuan murni yang tidak memperhatikan soal-soal teknis dan kemasyarakatan akan tidak banyak memberikan kemanfaatan. 137


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Namun hari-hari dekat ini, tidak sampai 100 meter jauhnya dari tepi terluar benteng kampus ini, persoalan nyata tentang masyarakat yang sedang menggunakan haknya untuk bertahan hidup, dan mempertahankan kehidupannya, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, terancam. Haruskah benteng perguruan tinggi menjadi saksi dicabik-cabiknya hak-hak mereka, para pegiat ekonomi kerakyatan? Atau saya sebagai mahasiswa yang belum tahu menahu banyak tentang soal-soal yang dibahas diatas? Yang secara egois hanya memikirkan diri sendiri dan tidak turut serta menjalankan aturan bahwa saya sebagai mahasiswa seharusnya tidak boleh membeli dari PKL zona merah, jikalaupun saya membeli, maka seharusnya saya dikenai denda biaya penegakan hukum sebesar 1.000.000 (yang untuk 10 x makan malam di kedai donat bakar denda-nya sama dengan menambah kuliah selama 1 tahun untuk angkatan 2012 keatas, dan 1 semester untuk angkatan 2013 kebawah) namun saya melanggarnya, sehingga semakin banyaklah PKL-PKL yang berjualan di lokasi yang tidak seharusnya. Demikiankah? Atau benar menurut pendapat sahabat, bahwa: ―Tahukah kamu apa industri jasa yang paling berkuasa di dunia?Dimana mereka bisa memaksa dan mengatur pelanggannya sesuka hati mereka sembari mengambil keuntungan dari penerima jasa, dan para konsumen-nya pun secara sukarela tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan yang dikenakan oleh penyedia jasa.Tahukah?Adalah perguruan tinggi hari ini.‖Sehingga kita sebagai mahasiswanya tidak memiliki kuasa apapun untuk membela siapa siapa kecuali kepentingan studi pribadi supaya menjadi tenaga insinyur dan pengawas yang berpengalaman yang dibutuhkan untuk membangun negeri ini.Demikiankah? Ataukah jawaban Prof. Klopper masih relevan hingga hari ini? ―Karena bukan untuk itu sekolah ini didirikan‖ Lalu untuk apa? Luthfi Muhamad Iqbal Walikota — Himpunan Mahasiswa Teknik Planologi ―Pangriptaloka‖ ITB 2015 Referensi: UU 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah 138


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

http://www.lpdb.id/assets/downloads/undang%20undang/UU20Tahun2008UMK M.pdf UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang http://www.bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/2.pdf UU 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan http://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt4e573e9e88db1/node/lt 4e573e59d0487 PP No 06 Tahun 1959 tentang Pendirian Institut Teknologi http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/1843/pp0061959.pdf Perda No 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2011–2031 http://bandung.go.id/images/Perda_RTRW_20112031/Batang_Tubuh_Perda_RTRW_Kota_Bandung.pdf Perda No 04 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan PKL http://bandung.go.id/images/download/PERDA_No.04_Th.2011.pdf Perwal No 888 Tahun 2012 tentang Juklak Perda No 04 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan PKL http://www.jdih.net/bandung/web/pdfperda/Perwal%20888%20Tahun%202012 %20BD%20PKL%2011%20Des%202012_doc.pdf

139


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

GERAKAN MAHASISWA: HARUS BERILMU SEBELUM BERAMAL Maryam Zakiyyah Bergerak = Berubah Melakukan pergerakan berarti kita sedang mengupayakan perubahan.Bohong ketika seorang bergerak namun tujuannya bukan untuk mewujudkan perubahan. Ke arah yang lebih baik tentunya. Gerakan pemuda di Indonesia telah dimulai sejak masa penjajahan, yang ditandai dengan munculnya organisasi-oraganisasi pemuda berbasis kesukuan dan organisasi perjuangan seperti Indonesische Vereeninging yang digagas oleh Mohamad Hatta di Belanda.Pada tahun 1928, pemuda Indonesia bersatu dalam kongres pemuda yang menghasilkan sumpah pemuda.Kegigihan pemuda saat itu untuk memerdekakan Indonesia berlanjut sampai tahun 1945, saat Indonesia akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya. Saat itu, golongan pemuda lah 140


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

yang mendesak bung Karno dan bung Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, memanfaatkan momentum kekalahan Jepang dari sekutu. Setelah kemerdekaan, gerakan pemuda tetap hidup.Di masa pemerintahan Soeharto, berkali-kali terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Puncaknya terjadi saat aksi massa tahun 1998, mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR di Jakarta. Setelah itu, presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI. Sejarah tersebut menegaskan satu fakta bahwa bergerak akan membawa kita pada perubahan, yang jika dilandasi dengan niat yang benar dan cara yang tepat akan membawa kita pada kondisi yang lebih baik. Gerakan Pemuda Hari Ini Saat ini, kita harus sadar bahwa kondisi Indonesia tidak sedang baik-baik saja.Negara kita, di tahun ke-70 kemerdekaannya ini, masih dalam tahap negara berkembang.Indonesia masih mencari bentuk terbaik yang paling tepat untuk mengelola wilayah kesatuan yang memiliki keragaman budaya masyarakat dan keunikan bentuk negara kepulauannya. Masalah Indonesia hari ini tidak dapat selesai hanya dengan mahasiswa mengkritik pemerintah. Masalah Indonesia hari ini, harus kita selesaikan dengan ilmu yang telah kita dapatkan di perguruan tinggi : sains, teknologi, seni, bahasa, sejarah, hukum, ekonomi, filsafat, kesehatan, pendidikan, lingkungan. Semua aspek, semua mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu harus belajar sungguh-sungguh agar kelak ilmunya dapat dimanfaatkan untuk kemajuan pembangunan Indonesia.Apalagi mahasiswa, katanya, memiliki peran sebagai iron stock.Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa di tahun-tahun mendatang. Maka dari itu, memiliki ilmu sebelum melakukan aksi adalah hal yang penting.Saya selalu percaya bahwa gerakan apapun, tidak bisa hanya bermodal dengkul dan semangat.Perlu ilmu, perlu kajian yang matang.Harus jelas konten yang dibawa serta tujuan dan saasaran gerakannya.Jangan sampai gerakan yang dilakukan oleh pemuda, atau mahasiswa, tidak ada kontennya; asal mengkritik saja kebijakan pemerintah.Tanpa solusi.Tanpa tuntutan yang jelas.Tanpa sopan santun.

141


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Apalagi jika metode yang digunakan adalah aksi massa yang mudah mendapat sorotan media. Harus jelas konten tuntutan yang dibawa, ada dasar kajian ilmiahnya.Tidak sekedar teriak-teriakan cemoohan saja saat orasi.Mahasiswa itu orang-orang yang terpelajar; dan orang terpelajar, memiliki tata bahasa dan tata krama yang santun dalam berkomunikasi. Tapi saat ini, metode gerakan mahasiswa tidak hanya dengan aksi massa. Ada banyak alternatif metode lain : gerakan lewat social media, misalnya. Atau dengan membangun komunitas-komunitas peduli lingkungan sekitar.Atau melakukan kajian dan konferensi ilmiah yang bertujuan mengembangkan keilmuan. Mangkok gerakan ada banyak, jangan sampai kita mengkerdilkan jenis gerakan tertentu karena gerakan tersebut tidak sesuai dengan gaya kita. Tidak masalah metode gerakannya berbeda, asal ada esensinya. - Tanri Arrizasyifaa, Presiden BEM KEMA UNPAD 2012 Semoga ke depannya kita sebagai pemuda, walau memiliki metode gerakan yang berbeda, tujuannya selalu sama : kebaikan untuk Indonesia.

142


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

THE REGIONAL INTEGRATION: THE IMPACT AND IMPLICATIONS IN MEMBER STATES’ SOVEREIGNTY Mery Ana The phenomenon of regional integration Regional integration is a process in which neighboring states enter into an agreement in order to upgrade cooperation through common institutions and rules. Regional Integration is also known as the process by which two or more nation-states agree to cooperate and work closely together to achieve peace, stability and wealth. There are some examples of regional integration that has been established for years. Based on The Logic of Regional Integration‘s book written by Walter Mattli, the first major voluntary regional integration initiatives appeared in the nineteenth century. In 1828, for example, Prussia established a customs union with Hesse-Darmstadt. This was followed successively by the Bavaria Wuttemberg customs Union, and etc. Half a century later, the idea of European integration was re-invented and the process of merging European nation-states into one prosperous economy and stable polity began. The first step was taken with the creation of the European Coal and Steel Coummunity (ECSC) in 1952. In 1957, Germany, France, Italy, Belgium, 143


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Luxemburg, and the Netherlands signed the Treaty of Rome establishing the European Community (EC). Then, the enlargement of the EC occurred in 1973, with the accession of the United Kingdom, Denmark, and Ireland. Greece joined in 1981, Spaun and Portugal in 1986. Nine years later, Austria, Finland, and Sweden became the community‘s newest members. In the meantime, European integration has moved beyond trade. In 1979, the European Monetary System was established. By November 1993, the community had changed its name to the European Union (EU) to mark the deep level of integration attained. The integration is not an exclusively just European phenomenon, of course. In the 1960s the Latin American Free Trade Association, the Andean Pact, and the Central American Common Market were launched. In the early 1990s, more than half a dozen new integration projects were started in Latin America. In North America, a Free Trade Agreement between the United States and Canada was signed in 1989. This agreement grew into the North American Free Trade Agreement (NAFTA). In Asia itself, the most notable regional grouping is the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), formed on 8 August 1967 in Bangkok by the five original member countries: Indonesia, Malaysia, Philipines, Singapore, and Thailand. Brunei Darussalam joined on 8 January 1984, Vietnam on 28 July 1995, Laos and Myanmar on 23 July 1997, and Cambodia on 30 April 1999. In 1992, members agreed to establish gradually an ASEAN Free Trade Area. One of the most rapidly expanding groups is the Asia Pasific Economic Cooperation forum (APEC). ASEAN organization (Association of Souteast Asian Nations (ASEAN) concists 10 states: Brunei Darussalam, Cambodia, Laos, Malaysia, Myambar, Philipines, Singapore, Thailand, Vietnam, and including Indonesia. This organization was created by the member states to aim or purpose, (1) accelerating the economic growth, social progress and cultural development in the region through joint endeavors in the spirit of equality and partnership in order to strengthen the foundation for a prosperous and peaceful community of Southeast Asian Nations, and (2) promoting regional peace and stability through abiding or everlasting respect for justice and the rule of law in the relationship among countries in the region. In the political cooperation, ASEAN does political and security dialogue which having the aim to promote regional peace and stability by enhancing regional resilience. Regional resilience shall be achieved by cooperating in all fields based on the principles of self-confident, self-reliance, mutual respect, cooperation, and solidarity, which shall constitute foundation for a strong and viable community of nations in Southeast Asia. Sovereignty 144


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

In the Age of Globalization, the sovereignty of the modern state was constituted in mutually exclusive territories and the concentration of sovereignty in nations. In the developing globalization, it is important to know about the impact of Regional Integration Agreement (Regional integration) for the countries‘ autonomy in order to maintain their existence and authority (sovereignty). By using their power or utilizing resources they have, to compete with other countries. Regionalism and The Impact to The Nation-State It is stated in Maurice W. Schiff‘s book about Regional Integration and Development there are some reasons why a country making agreement with other country in a region. 1. Governments‘ wish to bind themselves to better policies, including democracy and to signal such bindings to domestic and foreign investors. 2. A desire to obtain more secure access to major markets. 3. The pressures of globalization, forcing firms and countries to seek efficiency through larger markets, increased competition, and access to foreign technologies and investment. 4. Governments‘ desire to maintain sovereignty by pooling it with others in areas of economic management where most nation-states are too small to act alone. 5. A desire to jog the multilateral system into faster and deeper action in selected areas. 6. A desire to help neighboring countries stabilize and prosper. Joining a Regional Integration Agreement (RIA) necessarily requires surrendering some immediate control over policymaking and losing some political autonomy. Some regional cooperation, however, go deeper than that and create institutions for joint decisionmaking. For example, as the EU‘s integration has deepened, decisionmaking has increasingly moved away from national capitals to Brussels, and much of the current debate is shaped by the belief that some form of political unification must eventually follow the creation of an integrated economic unit. By pooling sovereignty, members of a Regional Integration Agreement may able to preserve and enlarge it and thus strengthen themselves by creating a united front against external pressures or 145


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

by joining forces in international negotiation. Besides that, regional cooperation can strengthen the voices of all small nations. These countries often face severe disadvantages in dealing with the rest of the world because of their low bargaining power and high negotiation costs. The regional integration also can affect the economic development or economic growth. A country with a highest economic rate will have more power and authority than other country members. Moreover, it can increase competition in tradeable goods sector. That increased competition may induce improvements in efficiency, lower markups, and a larger demand for inputs in those sectors, further increasing the relative demand for capital. Integration may also can affect the prices of capital goods. Lower tariffs and trading costs on imports of capital equipment may reduce the price of investment goods, raising the rates of return and accumulation. Increased competition from capital goods could also stimulate the domestic capital goods industry to greater efficiency. As what has been stated before that the regional integration can affect the territorial authority, sovereignty of the nations, and also the economics development of the members. The cooperation in a region can give both positive impact and negative impact, indeed. As we know that the members of the regional integration are not only the country who having a good power of economic growth but also a country which still underdeveloped and need to be supported by the other members. One side, the cooperation among the countries can lead competition power so that each countries will give their forces being a greatest one, they will utilize all natural resources by making a better product than others to evidence their existence, authority and sovereignty of the nations. But, on the other hand, this condition also can make negative impact for poor country as a member. Eventhough they have natural resources sufficiently to be utilized, sometimes they are not ready and can not compete the richer country. This is the problem, the poor one can be ignored and less power, hence they unable to compete other countries then became increasingly backward. But, the other impact is there will be trade globalization (free trade area) among the members. So that, by creating agreement and commitment between the countries in regional integration, it can create the supranational activities such as in Asia (ASEAN), when we want to go to other countries which still in one region (Southeast Asia) we do not need visa as requirements. This would mean there is no longer borders among the members of the association. 146


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Regional integration in Southeast Asia (ASEAN): The impact and Implication There has been a great interest in the development of ASEAN, which currently comprises Brunei, Indonesia, Malaysia, the Philipines, Singapore, and Thailand since its foundation in Bangkok in August 1967, from both regional and nonregional observes. One Of the important factors in the decisions of the countries joining ASEAN is their objective to gain greater international political credibility and legitimacy, which in turn, some assert, would promote internal stability and economic development. ASEAN membership can provide the new members a common regional identity and framework to develop and integrate into the region. At the same time, Indonesia for example, as membership in ASEAN has been one of the most important characteristics of the New Order foreign policy. Indoneisa‘s size, large population, rich natural resources, and colourful cultural tradition have also given its people a strong national pride in its country and heritage. But at the same time, Indonesian leaders are very much aware about the country‘s inherent weakness, which can limit the government‘s control over its territory and population. Indonesia is still an industrially backward country with limited infrastructure and financial. That is why to keep the stability, territory power and making peace among the neighboring countries, Indonesia decide to join ASEAN, but by that decisionmaking there are some implications that can affect country massively, such as it can lead competitions, so that if we are not ready for the condition and our human recources still less qualified it would make Indonesia become increasingly backward and losing the sovereignty. Besides that, it can create free trade area (trade liberalization) among the countries, hence can make no more the borders between the country members area. That is why as a developing country, Indonesia needs to do tactical strategies also develop the knowledge and technologies, and also utilize the natural resources (doing geopolitical strategy) in order to compete others in the era of globalizations, as well. —Mery Ana (1st June, 2015) References: Schiff, Maurice W. (2003), Regional integration and development, The World Bank, Washington, DC. Available: https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=WG0zhlzEib8C&oi=fnd&pg=PR1 147


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

1&dq=regional+integration+and+sovereignty&ots=CUMain6NWu&sig=3OQWyzE0o pq3xYXfZ1G4op0Ne9s&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false(Accessed: 2015, May 19) Mattli, Walter. (1999), The Logic of Regional Integration, 1st ed., Cambridge University Press, United Kingdom. Availabe:https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=_I4em3Q8Q8C&oi=fnd&pg=PR8&dq=the+impact+of+regional+integration&ots=UlYCRkID&sig=38h6TSXuEIprG6HMoedE7IBunl0&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false(Ac cessed: 2015, May 20) Anwar, Dewi Fortuna. (1994), Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Available:https://books.google.co.id/books?id=e2JShE3UvooC&pg=PA27&dq=th e+impact+of+ASEAN+for+Indonesia&hl=id&sa=X&ei=4KpgVcPdB9eTuAT_9YGgCQ &ved=0CCkQ6AEwAg#v=onepage&q&f=false(Accessed: 2015, May 20) Mya Than, Carolyn L. (2001), ASEAN Enlargement: Impacts & Implications,Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Available:https://books.google.co.id/books?id=i1hT2xK2uGwC&printsec=frontc over&dq=the+impact+of+ASEAN+for+Indonesia&hl=id&sa=X&ei=4KpgVcPdB9eTu AT_9YGgCQ&ved=0CDEQ6AEwAw#v=onepage&q&f=false(Accessed: 2015, May 20)

148


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

“BUDAYA� DALAM KERANGKENG BAHASA Naufal Rofi Indriansyah Makin kita rasakan bahwa kehidupan di zaman yang serba cepat ini membuat kita makin kabur dalam melihat perbedaan.Orisinalitas yang coba ditunjukkan baik oleh individu ataupun kelompok nampaknya semakin sulit untuk dilihat.Orang berkutat dengan tren yang juga semakin cepat berkembang, membuat dia berubah setiap saat. Ketika berada dalam suatu kelompok, seharusnya ada sesuatu yang bisa membuat kita beda, ataupun lebih jauh lagi: bangga. Menjadi bagian dari suatu kelompok membuat persepsi orang terhadap kita menjadi beda. Ia akan melihat kita adalah kelompok tersebut. Atribut yang dipakai, kelakuan, dan segala hal yang membedakan kita dengan kelompok lainnya. 149


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Identik dengan ―budaya‖ atau ―kebudayaan‖, orang banyak mempertanyakan kedua hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Di kampus saya sendiri, makin menjadi hal yang sangat menarik untuk diperbincangkan hal semacam ―budaya‖ atau ―kebudayaan‖ tadi. Perbincangan itu terutama dikaitkan dengan warnawarni yang menghiasi kampus gajah ini. Menarik untuk menjadi sebuah pembahasan sendiri.Ada baiknya mungkin budaya tadi dibahas secara umum.Mari kita telisik kondisi saat ini.Tampaknya terjadi pergeseran arti yang cukup signifikan dari kata ―budaya‖.Terkadang kita mengartikan budaya sebagai segala hal yang membentuk kehidupan kita baik secara individu maupun komunal. Tingkah laku, cara beribadah, warna pakaian, cara makan, frekuensi mandi, dan sebagainya. Terkadang juga kita mengartikan budaya hanya sekedar suatu seni.Seni tari, seni lukis, pakaian adat, lagu daerah, dan lainnya. Hal seperti ini terutama terlihat dalam pemberian nama kelompok dalam suatu organisasi yang ternyata walaupun namanya ―Menteri Kebudayaan‖ atau ―Badan Budaya‖ atau juga ―Unit Budaya‖ yang secara ranah pekerjaannya hanya fokus pada seni yang disebutkan di atas. Terkadang budaya berarti sangat luas, dan terkadang budaya berarti sangat sempit. Jadi sebenarnya apa yang dimaksud dengan budaya itu sendiri? Istilah Inggris dari budaya, yang mana adalah culture berasal dari kata Latin colere, yang artinya ―mengolah, mengerjakan‖, terkadang dikhususkan dalam kegiatan bertani.Dari arti tersebut berkembanglah arti dari culture sebagai segala usaha manusia untuk merubah alam. Menurut sebuah buku Culture: A Critical Reviews of Concepts and Definitions (1952), terdapat setidaknya 179 definisi dari budaya (pastinya dari awal budaya dapat didefinisikan sampai tahun 1952, belum lagi jika kita memperhitungkan definisi dari tahun-tahun setelahnya). Dari konsep yang sangat luas tersebut, rasanya seolah-olah budaya tidak dapat dibatasi oleh definisi.Maka dari itu selalu jadi perdebatan menarik dalam hal definisi dari budaya. Dari sekian banyak definisi budaya, saya pribadi memilih definisi dari salah satu tokoh yang sangat getol membahas budaya di Indonesia.Koentjaraningrat yang merupakan Bapak Antropologi Indonesia cukup dapat mendefinisikan budaya di tengah pergulatan arti dan bahasa di Indonesia, pada masanya. Menurutnya, budaya adalah: sistem gagasan rasa, sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia didalam kehidupannya yang bermasyarakat, yang dijadikan kepunyaannya dengan belajar 150


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Dari pengertian tersebut, maka ada beberapa hal yang bisa dimaknai.Tapi yang paling penting adalah kata ―sistem‖.Dari sini kita dapat melihat bahwa bentukan dari budaya yang saya sebutkan sebelumnya, belum bisa diartikan sebagai budaya secara keseluruhan. Seni tari, cara makan, gaya berpakaian, dan sebagainya, masih merupakan bagian kecil dari budaya itu sendiri. Budaya sebagai sebuah sistem juga menandakan bahwa budaya tidak abstrak, dalam artian dalam budaya terdapat bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Kumpulan dari bagian-bagian tersebutlah yang sebenarnya membentuk kata budaya dalam arti sesungguhnya.Dari sini juga kita bisa melihat bahwa budaya dari suatu hal (individu ataupun komunal) dapat dianalisis bagian-bagiannya. Analisis budaya tersebut juga dilakukan oleh Koentjaraningrat.Menurutnya, konsep budaya perlu dipecah ke dalam suatu unsur-unsur, lalu dapat dipecah lagi menjadi unsur-unsur berikutnya dari unsur-unsur sebelumnya.Pemecahan pertama merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan dalam semua kebudayaan di dunia. Unsur-unsur tersebut adalah: Sistem religi atau kepercayaan Sistem dan organisasi kemasyarakatan Sistem pengetahuan Bahasa Kesenian Sistem mata pencaharian hidup Sistem teknologi dan peralatan Ketujuh unsur-unsur tersebut diurutkan mulai dari yang sulit diubah atau sulit dipengaruhi, sampai yang paling mudah berubah.Beda lagi dengan wujud dari budaya atau kebudayaan itu sendiri. Wujud kebudayaan, menurut Koentjaraningrat terbagi tiga Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya

151


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia Wujud pertama bersifat abstrak dan berada dalam pikiran-pikiran manusianya.Namun, terkadang juga wujud tersebut dituangkan dalam kata-kata diatas kertas, dalam bentuk pedoman, peraturan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan sebagainya.Wujud kebudayaan ini mengatur segala hal tentang kelakuan manusianya. Jika wujud ketiga merupakan hasil dari wujud kedua dan juga diarahkan melalui wujud pertama, maka bagi saya pribadi sangat menarik untuk membahas wujud kedua.Kenapa?Karena tingkah laku manusia sangat mencerminkan nilai-nilai (yang merupakan wujud pertama), serta dapat ditelisik dengan mudah (terutama dalam cabang ilmu psikologi dan atau antropologi). Belum lagi jika wujud ketiga sangat sedikit ataupun hampir tidak ada, dan sangat sulit, terutama di zaman ini untuk merepresentasikan sistem budaya seperti apa yang dianut oleh sekelompok manusia. Hannah Arendt, seorang teoretikus politik asal Jerman, pernah menulis dalam bukunya Vita Activa (1960), tentang tingkah laku manusia. Ia yang merupakan murid dari Heidegger, menganut filsafat eksistensi. Yang berarti bahwa manusia menciptakan suatu alam sebagai dialektika subjek dan objek.Hal itu terjadi dengan badan sebagai intermedium, terutama mulut sebagai alat bahasa.Alam eksistensi tersebut terdiri dari makna-makna, bukan dari bendabendanya.Sesuatu (benda) tersebut baru menjadi unsur budaya ketika kita mengerti maknanya. Belum lagi jika kita membahas tentang syarat-syarat untuk hidup menjadi ―mungkin‖: kerja (Arbeiten), karya (Herstellen), dan bicara (Handlen) yang dikemukakan oleh Hannah. Kembali ke fenomena yang saya rasakan dalam lingkungan saya. Maksud dari tulisan saya adalah bahwa, ketika nilai-nilai dari suatu kelompok sangat sulit untuk dilihat dan diamati langsung, serta karya atau benda dari suatu kelompok tersebut juga minim atau tidak dapat merepresentasikan sistem budaya yang seperti apa, maka ada baiknya untuk menelisik pola tingkah laku dari suatu kelompok. Analisis sistem budaya yang saya tulis diatas juga harusnya dapat dilakukan dan didiskusikan bersama, terlebih untuk meredefinisi kembali sistem kebudayaan dari suatu kelompok, sehingga kita juga tidak mengkhianati sendiri ―budaya‖ itu sendiri.Tidak menganggap sesuatu hal yang kecil sebagai keseluruhan budaya yang harus dipegang teguh dan dibanggakan.Karena 152


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

menurut saya sendiri tidak semua bagian dari unsur kebudayaan tadi harus dipertahankan. Sumber: Koentjaraningrat.2015. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Brouwer, Drs. M.A.W. 1986. Studi Budaya Dasar. Bandung: Penerbit Alumni. https://en.wikipedia.org/wiki/Hannah_Arendt

153


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

KAMPUNG KOLASE: BETWEEN CONVERSION AND CONSERVATION Luthfi Muhamad Iqbal ―… Ignorance is bliss …‖ Thomas Gray Ada kondisi dimana ketidaktahuan terhadap sesuatu membuatmu lebih senang.Mungkin itu adalah ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya saat ini.Dulu, saya sempat berpikir bahwa barangkali semakin kita tahu banyak hal, semakin banyak yang bisa kita lakukan dengan itu, dengan pengetahuan yang kita miliki.Pada titik ini, saya pikir itu salah.Kita tidak hidup pada selembar kertas ujian, yang setiap persoalan ada formulasi dan jawaban tepat/eksak untuk menyelesaikannya.

154


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Dunia ternyata tidak sesederhana itu. Membangun kota, tidak semenyenangkan bermain simulasi seperti SimCity dan sebagainya, dalam layar kaca. Konsep membangun tanpa menggusur (build without bulldozing) tidak semudah itu diterapkan rupanya.Penuh dilema.Membuat belajar di kelas soal teori teori dan rekomendasi solusi dari persoalan yang dibahas pada ceramah/kuliah lebih menyenangkan dibandingkan melihat langsung kenyataan yang ada. Kebijakan Normalisasi Sungai Cikapundung: Pembangunan RTH Amfiteater Publik Lebak Siliwangi Rencana Pembangunan Amfiteater Publik di bantaran sungai Cikapundung bermaksud untuk merubah pemanfaatan ruang dari yang eksisting berfungsi permukiman kepadatan tinggi menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH).Saat ini masih didiami oleh sekelompok masyarakat marginal perkotaan yang bermukim pada kantong-kantong kawasan tidak layak huni, yang selama ini dianggap berdampak buruk bagi kualitas ekologi sungai Cikapundung. Selain itu juga terdapat persoalan legal dalam status kepemilikan lahan di kawasan tersebut, karena hampir pasti pembangunan di sempadan sungai itu adalah squatter alias hunian liar, tidak bersertifikat, pengakuan dari masyarakat setempat pun mereka hanya memiliki akta jual beli tanah dan juga surat tanda bukti pajak. (nahloh bingung kan?) Kampung Kolase: Artikulasi Kreativitas Masyarakat dalam Bermukim Ba.Ur atau Bandung Art-Urban Relationship lah yang penulis nilai sudah berupaya menyelamatkan kawasan ini dari penggusuran.Memutihkan dan merapikan permukiman dari mulai dinding dan jalan dan lingkungan serta menambahkan potongan potongan majalah/kolase sebagai hiasan di dindingdindingnya, sehingga setiap langkah kaki yang kita jejakkan disana membawa cerita tersendiri. Sekilas dilihat dari jauh mirip kota Santorini di pesisir semenanjung balkan versi kota Bandung. Rumah itu tumbuh.Tumbuh dan dibangun secara inkremental/bertahap. Itulah hakikatnya, bahwa bermukim adalah proses yang dinamis selama keluarga hidup dan berlanjut. Rumah bagi keluarga baru berbeda dengan rumah bagi keluarga yang memiliki anak-anak balita, berbeda dengan rumah bagi keluarga yang memiliki anak remaja, atau keluarga besar, atau keluarga tua, masing masing memiliki spesifikasinya masing-masing.Dan soal 155


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Kepemilikan.Adalah hal yang sulit diterjemahkan, yang tidak sesederhana berlembar lembar sertifikat. Meskipun hari ini tampak kumuh, tidak berarti rumah tersebut akan kumuh selamanya, bukan? Meskipun secara hukum bukan miliknya, ‗pemilik‘ di tanah tersebut secara sukarela memperbaiki atap ketika ada yang bolong, menghias halamannya (yang tak yakin itu bisa dikatakan halaman atau hanya teras saja) dengan berbagai pot tanaman, menambah tingkat rumahnya, mencatnya ketika ada tambahan penghasilan, dan lain sebagainya tanpa diminta oleh negara barangkali? Inilah yang menyebabkan, persoalan pemenuhan kebutuhan primer yang satu ini: papan, tidak semudah penyediaan dan permintaan (supply-demand), tidak semudah menyelesaikan backlog dengan membuka proyek konstruksi properti baru (yang biasanya menjadi alasan utama bagi para pengembang). Intinya tidak mudah. Transformasi Budaya Bermukim Seiring berkembangnya kota bandung, yang kini sudah bisa dikatakan the garden city of yesterday, karena sudah berkembang menjadi kota metropolitan yang jauh dari hal yang direncanakan di awal, memiliki beban pelayanan yang tinggi, apalagi status perkotaan cekungan bandung sebagai PKN (pusat kegiatan nasional) dimana pelayanan bukan hanya untuk kota bandung saja. Sehingga dalam penggunaan ruang, bermukim pada rumah tapak, apalagi pada tanah tak bersertifikat, tidak kena pajak yang sesuai dengan nilai dan harga lahannya, dan di area sekitar pusat kota adalah sebuah hal yang tidak efisien. Untuk itu memang diarahkan supaya masyarakat khususnya yang berpendapatan rendah serta pemukim-pemukim baru untuk berganti budaya bermukim dengan model rumah susun (apartemen) bukan rumah tapak (landed house). tentu bukan hal yang mudah. Apalagi bila kita fokus pada apartemen rakyat, bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR dan MBR+).Fasilitas yang dapat disediakan pastilah terbatas.Jumlah lantai maksimal 4–5 lantai saja, tanpa ada elevator/lift.Bagaimana menjamin aksesibilitas penghuni yang ada di lantai 5?Bila misal mayoritas pemukim yang dipindahkan berusia lanjut?atau ada pemukim yang memiliki disabilitas? Apakah dengan ketiadaan lift/elevator aksesibilitas mereka bisa dijamin oleh rancangan apartemen rakyat yang tersedia?Belum lagi budaya budaya guyub/kegotongroyongan yang biasa ada pada perumahan mendatar apakah bisa serta merta berpindah dengan model perumahan tersusun? 156


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Banyak hal.ini bukan hal yang mudah. Evaluasi Kebijakan: Konversi atau Konservasi Dalam perkuliahan teknik evaluasi, kami dijelaskan bahwa dampak dari kebijakan publik itu hanya dua: ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Lantas bagaimana dampak dari kebijakan tersebut? Secara ekonomi, pembangunan amfiteater terbuka publik akan menjadi daya tarik baru bagi pariwisata kota Bandung, yang secara agregat berarti menambah wisatawan menambah pemasukan bagi kota bandung. Positif. Terhindarnya kawasan pinggiran sungai kota dari permukiman kumuh juga akan mengurangi dampak lingkungan akibat limbah rumah tangga yang dihasilkan, semakin sedikit limbah, semakin sedikit biaya yang dikeluarkan untuk membersihkan dan meningkatkan kualitas air sungai. semakin sedikit biaya (cost) yang dikeluarkan (seharusnya) semakin menguntungkan bagi kota bandung, dan kembali lagi, sungai yang indah dan asri akan menjadi atraksi tersendiri, menjadi icon baru dari kota bandung ini. Ya secara ekonomika lagi lagi positif. Bagaimana bila ditinjau dari segi kesejahteraan sosial? Pada umumnya kepentingan publik adalah motif dari semua kebijakan publik (seharusnya). Ekonomi pun, khususnya ekonomi perkotaan memang perlu diperkuat untuk apa? kembali lagi: membiayai kepentingan publik, ada banyak, serentetan urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam ilmu amerikawi yang kami pelajari, faktor yang dapat menjelaskan kepentingan publik ini antara lain efisiensi (terdapat efisiensi kerekayasaan, dan efisiensi keekonomian), ekuitas (instead of ekualitas), dan juga efektivitas, bagaimana kebijakan tersebut mampu menjawab tujuan secara tepat. Efisiensi Kerekayasaan Ditinjau dari segi efisiensi kerekayasaan sesederhana bagaimana dengan input yang minimal bisa menghasilkan output yang maksimal (rasio I/O). Telah dijelaskan bahwa secara penggunaan lahan ini bukan hal yang efisien tentunya, mengapa?outputnya sangat minimal. Pemasukan dari penggunaan lahan permeternya tidak sesuai dengan yang secara potensial dapat diterima oleh Kota, baik secara keuntungan finansial maupun lingkungan. (untuk keuntungan sosial saya tidak bisa berbicara banyak tentang ini) Efisiensi Keekonomian 157


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Efisiensi keekonomian ini dipandang dari segi kepuasan atau preferensi, sehingga ini juga adalah hal yang sangat variabel. Ekuitas dan Ekualitas Amerika memegang prinsip kesetaraan dibandingkan kesamaan.kesetaraan bermaksud kesamaan kesempatan sedangkan kesamaan itu identik dengan kesamaan keluaran atau biasa dikenal dengan sama rata sama rasa. Seharusnya orang, setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kesempatan dalam bermukim, kan? Ya memang demikian adanya, tapi tidak pada lahan yang tidak seharusnya. Kesempatan memang sama, asal orang harus mampu bersaing. Disinilah biasanya modal mengalahkan moral, karena ia tidak cukup mampu bersaing dan butuh dibantu, ketika moral kalah oleh modal, musnahlah sudah. Darisanalah terdapat konsep rumah sosial dan juga salah satunya apartemen rakyat itu sendiri. Efektifitas Untuk menguji efektifitas suatu kebijakan perlu ditinjau dalam kerangka waktu yang tidak sebentar dan dimensi yang tidak sedikit.Disitulah yang perlu diteliti lebih lanjut.Apakah pindah ke apartemen rakyat itu ternyata hanyalah memindahkan kekumuhan di tempat asal menjadi secara vertikal ataukah memang dapat benar benar menyelesaikan segala persoalan kumuh perkotaan yang ada? Subjective View: Conservation bring more Ownership Pandangan subjektif penulis konversi lahan dari yang secara eksisting permukiman padat penduduk menjadi ruang terbuka publik adalah satu hal yang menjadi solusi.Tapi hal lainnya yang mungkin dapat dijadikan alternatif dari persoalan ini barangkali bagaimana kita mengendalikan misalnya supaya permukiman tersebut tidak bertambah jumlahnya baik secara fisik maupun secara populasi, melalui pengendalian pembangunan. Selain itu, ruang terbuka publik bisa tetap dibangun, bahkan melibatkan masyarakat sehingga dengan adanya rasa kepemilikan yang tinggi akan mengurangi biaya perawatan, biaya keamanan, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya (seharusnya). Keuntungan ekonomi lainnya yang dapat diupayakan, barangkali bagaimana kita bisa menjadikan Kampung Kolase ini sebuah destinasi 158


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

lain dari wisata kampung kota yang dimiliki kota bandung, dengan menggali potensi lokal baik dari segi sosial budaya maupun dari segi ekonomi warga setempat sehingga alih alih kita mengonversi kawasan Kampung Kolase tersebut, alangkah lebih baiknya jika kita mengonservasi dan mengembangkan kawasan tersebut tidak melalui pendekatan singular: Property Development yang single-use: open-public-spaces tapi lebih dengan metode pengembangan berbasis/bertumpu pada komunitas. Epilog Ya, mungkin penulis, sebagai mahasiswa yang sedang menjalani tingkat empat pada program studi perencanaan wilayah dan kota ini hanya mampu bermodal barangkali dan hanya melalui tulisan saja dalam memberikan alternatif terkait penyelesaian persoalan ini. Semakin sadar bahwa ilmu yang didapat selama hampir empat tahun sekolah disini masih sangatlah kurang dalam menjawab soal-soal nyata di dunia. Meski seperti tulisan yang menjadi dikutipan diatas bahwa ketidaktahuan adalah sebuah berkah, tapi tetap saja bagi kita yang mengetahui adalah dosa mendiamkan persoalan tanpa melakukan apa apa. Akhir kata, turut berduka kepada saudara-saudara yang tergusur, semoga mendapatkan pengganti kehidupan yang lebih baik kedepannya dan bisa turut menikmati hasil dari perkembangan kota Bandung. Semoga hangatnya nurani kita yang tetap bernyala dapat mencairkan dinginnya kebekuan ilmu pengetahuan Amin Luthfi Muhamad Iqbal Walikota HMP Pangripta Loka ITB 2015/2016 lebih dalam tentang ba.ur project https://instagram.com/baur.project/

159


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

AKTIVISME POLITIK DAN LINGKUNGAN: RIWAYAT PERGERAKAN MASYARAKAT DALAM KASUS HUTAN KOTA BABAKAN SILIWANGI Luthfi Muhamad Iqbal Being an activist is inevitable reality for the planner in the future, they should work for the betterment of community, they should protect the public interest from the market evilness. - Teti Armiati Argo Pendahuluan Babakan Siliwangi adalah salah satu Hutan Kota yang ada di Kecamatan Coblong, Sub Wilayah Kota Cibeunying, Kota Bandung. Sebagai hutan kota, kawasan Babakan Siliwangi ini bukan merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) buatan melainkan terbentuk secara alami. Mengingat Babakan Siliwangi ini sebagai hutan kota, bukan sekedar taman kota, maka tempat ini bukan hanya memiliki fungsi estetis namun juga fungsi ekologis karena mamiliki tiga mata air didalamnya untuk menjaga keseimbangan air tanah Kota Bandung dan juga banyak flora dan fauna alami, asli yang berhabitat di tempat ini 160


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Jika dipandang dari perspektif sejarah, kawasan ini memang pada awalnya berupa hutan kecil yang dijaga, dengan pemandangan ke arah lembah Cikapundung. Waktu demi waktu berlalu, banyak rencana yang coba diterapkan pada kawasan ini. Misalnya pada masa Belanda, kawasan ini menjadi tempat pengembangan mina padi, pertanian terasering bagi masyarakat bandung pada saat itu; Kemudian pada masa Jepang, kawasan ini sempat akan dikembangkan menjadi museum. Ini menjadi bukti bahwa memang sejak dulu lokasi Babakan Siliwangi sangat strategis dan menarik bagi banyak pengembang (Darmoyono 2008). Barulah pada masa orde baru, di tempat ini dikembangkan restoran kecil, galeri seni dan olah seni serta seni adu domba yang sampai saat ini masih menggelar adu ketangkasan. Pada akhir 1990an, ITB mengembangkan kawasan Babakan Siliwangi ini menjadi Sarana Olahraga, dengan tetap menjaga sabuk hijau disekitarnya. Namun, konflik bermula ketika masuk kedalam masa reformasi, dimana daerahdaerah memiliki hak otonomi daerah, memiliki kekuasaan yang dilimpahkan dari pusat: Desentralisasi. Dari situlah mulai ada pemikiran bahwa membiarkan Ruang terbuka hijau tersebut tanpa penggunaan yang ekonomis, takkan menghasilkan keuntungan bagi pendapatan asli daerah Kota Bandung. Demi memanfaatkan kawasan yang tidak produktif ini, dijalinlah kerjasama antar investor dan pemerintah untuk mengembangkan RTH di Lebak Siliwangi dengan pengembangan Apartemen. Juni 2001, Rencana pembangunan Apartemen dimulai. Namun, kasus ini mulai mengemuka saat DPRD menggelar panitia khusus atas lembar rencana nomor 17 tahun 2002. Baru sehari setelah 12 November 2002, dimana investor presentasi kepada DPRD, kasus ini dimuat di media massa. Semenjak 2002, isu pembangunan Lebak Siliwangi ini terus bergulir menimbulkan dua sisi: Pro Pembangunan dan Pro Konservasi. Kelompok Pro Pembangunan terdiri dari pihak pemerintah dan pihak pengembang, sedangkan kelompok pro konservasi ada masyarakat, tokoh spiritual, serta aktivis lingkungan dan juga dukungan akademisi. Dalam periode 2001–2013 ini, dua kelompok yang bertentangan terus menjadi dinamika dan pergolakan antara lingkungan serta aktivisme politik. Pada akhirnya, saat ini di tahun 2015, kawasan Babakan Siliwangi tetap menjadi Hutan Kota. Keberhasilan ini bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Maka dari 161


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

itu melalui artikel ini, penulis bermaksud untuk menelusuri bagaimana aktivisme politik dan partisipasi aktif masyarakat terkait dengan upaya-upaya pergerakan lingkungan dapat menekan kelompok penguasa, sehingga dapat menciptakan perubahan rencana sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Sistematika pembahasan akan dilakukan mulai dari pendahuluan, pemaparan mengenai literatur terkait yang dapat mendukung menjelaskan mengenai fenomena yang terjadi, dilanjutkan dengan metodologi penelitian yang digunakan, diskusi dan hasil dari data yang didapatkan dan dianalisis, serta kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan mengenai bagaimana aktivisme politik dapat mendukung pelestarian lingkungan, dalam konteks ini yakni hutan kota. Tinjauan Pustaka Krematistik dan Ekonomi Ekologi Secara falsafah, paham mengenai lingkungan atau yang biasa dikenal dengan environmentalisme berangkat dari dua dikotomi sentralisme sudut pandang antara Antroposentrisme dan Ekosentrisme. Antroposentrisme ialah cara berpikir yang meletakan manusia (Anthropos) sebagai sumber semua nilai, yang konsekuensinya menjadikan alam dan segala sumber daya yang ada ditentukan oleh pertimbangan mengenai kebutuhan manusia itu sendiri. Sedangkan paham Ekosentrisme, adalah cara berpikir bahwa manusia ialah salah satu bagian dari sistem alam dan lingkungan yang mengakibatkan segala pertimbangan etis, politis dan social mesti melibatkan baik kebutuhan manusia dan juga mahluk hidup lainnya (Carter 2007). Dari dua ide filsafat diatas yang melatarbelakangi segala pandangan mengenai lingkungan juga diaplikasikan dalam konteks ilmu Ekonomi. Sejatinya, ekonomika ialah ilmu yang bersifat virtue, namun antroposentrisme menyebabkan ilmu ekonomi keluar dari sifat hakikinya. Daly dan Cobb (1994) menggunakan distingsi Aristoteles dalam membedakan antara ilmu ekonomi moral (atau yang kini dikenal dengan istilah ekonomi ekologi) dan ilmu ekonomi krematistik. Krematistik didefinisikan sebagai proses pengelolaan ekonomi yang digunakan untuk memaksimasi nilai dari harta kekayaan para pengambil keputusan yang diukur dengan uang. Sedangkan ilmu ekonomi moral/ekonomi ekologi, secara etimologi diterjemahkan dari Oikonomia yakni pengelolaan rumah tangga, yang dalam terminologi yunani diartikan sebagai susunan banyak aktivitas, dengan 162


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

jumlah orang yang cukup besar, dan melibatkan elemen perspektif multigenerasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ilmu ekonomi moral (1) lebih menggunakan pandangan jangka panjang, (2) fokus kepada kesejahteraan masyarakat dibandingkan perspektif individu pada akumulasi harta kekayaan dan (3) menekankan kepada nilai guna (use value) dari suatu hal, dibandingkan krematistik yang menekankan pada nilai tukar (exchange value) uang (Hackett 2014). Beberapa pergerakan mengenai lingkungan di dunia bermula dari penolakan terhadap ekonomi krematistik dan memperjuangkan ekonomi moral/ekonomi ekologi, karena hal ini dipandang cukup sederhana dibandingkan persepsi ekologi yang terlalu saintifik dan berbahasa tinggi serta sulit dipahami (Dietz, Straaten and loeg 2013). Dua Pergeseran Besar: Konservasionisme ke Environmentalisme Modern, Materialisme ke Pos-materialisme Diskursus mengenai isu terkait lingkungan mulai muncul pada gelombang pertama sekitar abad ke 19 dan awal abad ke 20, dikala kelompok pro konservasi dan pelestarian lingkungan hadir seiring tumbuhnya minat kelas menengah dalam melindungi keanekaragaman hayati, sumber daya alam dan kehidupan alam liar (Lowe and Goyder 1989). Dalam perkembangannya, perhatian terhadap lingkungan menghasilkan dua jenis kelompok pemerhati lingkungan yakni Konservasionisme dan Environmentalisme modern, sebagai kelompok gelombang kedua, yang baru muncul di akhir 1960-an. Perbedaan antara kedua kelompok ini ditandai dengan pandangan mengenai lingkungan dan sumber daya alam. Kelompok konservasionisme menganggap bahwa lahan dan sumberdaya alam perlu dikelola dengan baik dan efisien supaya pada kemudian hari dapat dikembangkan untuk kemaslahatan masyarakat di masa mendatang, sedangkan kelompok environmentalisme modern menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai perkembangan keadaan atau kondisi planet bumi, yang kemudian mengilhami ide politik baru tentang lingkungan dan juga pergerakan politik massal seputar lingkungan (Carter 2007). Sejak pada saat 1960an dimana environmentalisme modern muncul, maka diskursus mengenai lingkungan hidup semakin sering terjadi dan menyebar luas di tengah-tengah masyarakat (Pepper 1996). 163


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Paham mengenai lingkungan juga diduga mulai tumbuh sebagai akibat perubahan prioritas nilai dasar materialistik kepada nilai baru yang dikenal dengan posmaterialistik. Sebuah pendekatan yang memprioritaskan kepemilikan, ekspresi diri, dan juga kualitas hidup (Inglehart 1990), dimana hal hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan hidup. Urban Bioregionalisme Adapun dalam konteks Ekosentrisme (paham lingkungan) yang akan dibahas, terdapat sebuah aliran yang dikenal dengan Bioregionalisme. Bioregionalisme ialah sebuah pendekatan dimana ―dunia alami‖ yang secara spesifik disebut sebagai bioregion lokal semestinya menentukan kehidupan politik, ekonomi dan juga sosial dari masyarakat (Sale 1991). Implementasi ide bioregionalisme ialah mengintegrasikan kehidupan alam dan sistem alami kedalam kehidupan manusia dan lingkungan binaan buatan (Church 2014) supaya terciptanya keselarasan dan harmoni, yang dalam lingkup perkotaan dikenal dengan istilah Urban Bioregionalisme. Urban Bioregionalisme adalah kerangka konseptual untuk mewujudkan perubahan inkremental menuju pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Model dibawah ini menunjukkan bahwa terdapat tiga ranah yakni (1) proses demokratik, (2) diskursus publik dan (3) lingkungan fisik kota, yang dipengaruhi oleh tiga faktor yang mendorong perubahan inkremental menuju pembangunan perkotaan yang berkelanjutan yaitu (1) kebijakan pemerintah kota, (2) tata pelayanan berbasis lingkungan, (3) aksi-aksi individu. (Church 2014)

Metodologi Metode penulisan artikel ini dibagi menjadi dua yakni metode pengumpulan data yaitu dari data sekunder tinjauan pustaka yang didapat dari media online, buku, jurnal dan artikel, serta sumber data primer yang didapatkan dari kuliah dan seminar. Adapun metode analisis yang digunakan ialah analisis kualitatif deskriptif, yakni memaparkan gambaran hasil temuan dari fenomena yang diteliti. Diskusi Pergerakan Gelombang Pertama

164


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Kekisruhan politik mengenai tata kelola Hutan Kota Babakan Siliwangi yang sempat mengemuka dari tahun 2001–2013 menunjukkan bahwa pemerintah kota sebagai pihak yang berkuasa (powerful group) menggunakan Politik Ekonomi untuk menjelaskan pembangunan yang hanya akan melanjutkan dan memperkeruh persoalan lingkungan yang ada. Berdasarkan teori dalam pustaka, pemerintah Kota Bandung dari 2001 hingga 2013, yakni pada masa paruh waktu terakhir kepemimpinan walikota AA Tarmana dan dua periode kepemimpinan walikota Dada Rosada, memiliki paradigma ekonomi krematistik, yakni praktik ekonomi yang menekankan kepada exchange value atau nilai tukar dibandingkan dengan use value, juga hanya berpikir jangka pendek tidak jangka panjang. Model pemikiran yang bertolak pada pemahaman antroposentrisme bukan ekosentrisme. Kondisi Bandung, pada tahun 2001 baru memasuki tahun keempat pemerintahan daerah pasca reformasi, dimana rezim sentralistrik otoritarian diganti dengan desentralisasi kekuasaan sehingga pemerintah kota memiliki kendali atas sumber daya yang ada di kotanya, termasuk sumber daya lahan. Karena paradigma yang digunakan ialah antroposentrisme, ruang terbuka hijau dipandang hanyalah sebagai lahan cadangan yang sewaktu waktu dapat digunakan menjadi lebih bermanfaat bagi masyarakat. Cukup masuk akal dalam kerangka pemikiran ekonomi krematistik, dimana ketika ruang terbuka hijau dibiarkan apa adanya, maka tidak akan menambah kapasitas fiskal pemerintah kota, karena tidak ada pemasukan pajak yang terdata sebagai pendapatan asli daerah (PAD) kota Bandung. Sehingga rencana pembangunan apartemen oleh swasta menjadi kabar baik bagi pemerintah kota di masa muda reformasi desentralisasinya karena dengan pembangunan tersebut, pemasukan PAD pemerintah kota Bandung tentu akan bertambah secara signifikan, diperkirakan hingga 1,5 milyar per tahun (Darmoyono 2008). Hal tersebut bila dianalisis secara nilai lahan (land value assessment) mungkin akan sesuai, melihat dari faktor lokasi dimana Babakan Siliwangi memiliki tempat yang sangat strategis, cukup dekat dengan pusat kota, tempat pendidikan, pasar, dan berbagai atraksi wisata yang ada disekitarnya maka menjadikan lahan RTH hutan kota Babakan Siliwangi dapat menjadi salah satu opsi dibandingkan membiarkan lahan bekas restoran tersebut dibiarkan tak terurus dan menjadi inefisiensi penggunaan lahan.

165


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Pada mulanya, aktor kunci yang mengangkat pertama kali persoalan ini kepada publik ialah Deden Sambas, ketua Sanggar Olah Seni dengan cara menulis artikel di media lokal, harian Pikiran Rakyat pada tahun 2003. Tulisannya mengenai kontribusi budaya yang dihasilkan oleh Sanggar Olah Seni (SOS) terhadap kehidupan kebudayaan kota Bandung yang tidak akan ada lagi apabila kawasan ini dibangun menjadi kompleks apartemen. Inisiasi aksi individu ini diikuti oleh dukungan dari berbagai kelompok seniman dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), juga dukungan beberapa perguruan tinggi. Setelah terdapat dukungan kolektif, barulah terdapat aksi-aksi dari kelompok-kelompok tersebut. 20 Februari 2003, diadakan diskusi publik, mengenai sosialisasi tentang Babakan Siliwangi di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP-ITB), hal ini merupakan upaya pergerakan dari kalangan kelompok akademisi. Selain forum diskusi ilmiah, ada juga oratorium, orasi-orasi yang dilakukan mahasiswa (Keluarga Mahasiswa ITB) dan aksi serta pernyataan sikap dukungan untuk menolak pembangunan di Babakan Siliwangi. Selain itu pula dilakukan sosialiasi melalui Radio mengenai dampak pembangunan serta aktivasi ruang publik melalui acara-acara yang dilakukan di Babakan Siliwangi yakni acara lomba menggambar dan penghijauan bagi anak SD dengan tema: Selamatkan Babakan Siliwangi. Jalur legal juga ditempuh dengan mengirim permohonan untuk melakukan Public Hearing dengan Komisi D bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Kota Bandung, namun hingga pertengahan Juli, wacana public hearing tidak kunjung terlaksana. Karena 2003 merupakan tahun pemilihan walikota Bandung, maka isu Babakan Siliwangi ini pun dipolitisasi melalui pelaksanaan kampanye seperti kegiatan menanam pohon dan sebagainya, dan dengan demikian isu ini sempat menghilang sementara waktu, dengan status yang tidak jelas. Pergerakan Gelombang Kedua Lima tahun kemudian, pada tahun 2008 isu ini kembali mengemuka, persis pada tahun politik dimana kota Bandung harus memilih walikota baru yang ternyata dimenangkan oleh calon petahana untuk periode kedua. Tepatnya pada September 2008, dengan dimulainya fase penggunaan media internet untuk komunikasi dan interaksi sosial pola pergerakan pun berubah bentuk. Tahapan penyadaran masyarakat dilakukan melalui kanal-kanal media sosial seperti situs wordpress dan juga situs facebook. Dalam pergerakan fase dua ini, 166


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

salah satu aktor yang terlibatnya ialah Dwinita (Tita) Larasati, dan Ridwan Kamil salah satu founder Bandung Creative City Forum (BCCF). Namun tetap ada aksi turun ke jalan diantaranya aksi diam yang dilakukan oleh KM ITB, PSIK, HMP, IMA-G, HMIF dan NYMPHAEA pada saat pelantikan Dada Rosada menjadi Walikota Bandung untuk kedua kalinya (Pratama 2008). Selain upaya-upaya tradisional dalam aktivisme politik masyarakat seperti pada tahun 2003 silam, dalam pergerakan gelombang kedua ini melibatkan prosesproses kreatif yang inklusif serta meningkatkan lingkaran pengaruh dari yang pada mulanya skala lokal menjadi ke tingkat global. Kegiatan aktivasi ruang publik pun dibuat menjadi lebih menarik. Diantaranya dengan melakukan intervensi urban design dalam proyek Urban Acupuncture yang digagas oleh BCCF (Bandung Creative City Forum), dengan peletakan signase (dot) BDG serta multi-use bike-rack yang juga dapat digunakan sebagai tempat duduk multiguna. Selain itu juga dibangun Forest Walk, menambah atraksi Babakan Siliwangi sebagai Hutan Kota. Selain itu, Babakan Siliwangi juga semakin sering digunakan untuk kegiatan seperti Hellarfest Lighchestra, sebuah festival kreatif; dan juga Forest Dining bekerjasama dengan Kafe Halaman. Kemenangan puncak perjuangan masyarakat akan keberadaan hutan kota Babakan Siliwangi ini ialah terjadi pada saat sebulan setelah sayembara terbuka yang dilakukan oleh BCCF tentang konsep penataan kawasan hutan kota Babakan Siliwangi, yakni perhelatan konferensi pemuda dan anak-anak Internasional TUNZA tentang lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh UNEP pada September 2011. Mengalahkan kota Solo, BCCF berhasil membawa dukungan global bagi misi penyelamatan hutan kota Babakan Siliwangi. Pada acara tersebut diresmikanlah Hutan Kota Babakan Siliwangi sebagai Hutan Kota Dunia pertama oleh Wakil Presiden Indonesia, Prof. Budiono, Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir. Gusti Muhammad Hatta, dan juga Direktur Eksekutif UNEP, Acheim Steiner, sehingga perlindungan akan keberadaan hutan kota tersebut meningkat karena mendapatkan dukungan global. Pergerakan Gelombang Ketiga Namun ternyata persoalan tidak serta merta selesai, pada tahun politik 2013, seperti tahun-tahun sebelumnya dimana isu ini kembali dipolitisasi, pihak pengembang PT. EGI mengungkapkan bahwa akan ada rencana pengembangan komersial dengan pendekatan ekowisata sehingga akan tetap berkelanjutan. Meskipun demikian, masyarakat tetap menolak rencana perubahan tersebut. 167


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Dalam pergerakan atau aktivisme gelombang tiga ini, masyarakat mulai melakukan perhitungan penilaian atau valuasi ekonomi lingkungan yang disertakan dalam petisi dalam jaringan yang dirilis pada tahun 2013. Disebutkan bahwa apabila 1 hektar lahan akan menghasilkan kanopi seluas 5 hektar, dalam 12 jam dapat menarik 1800 kg CO2 dan melepaskan 1200 kg O2 setara dengan 1560 O2, dengan memperkirakan harga Oksigen Rp. 25.000 per liter maka nilai ekonomi oksigen yang dihasilkan dari lahan 1 hektar ialah Rp 39 juta per hari, dan luas babakan siliwangi yang mencapai 3,8 ha akan menghasilkan oksigen senilai Rp 117 juta per hari, dan bila per tahun setara dengan Rp4,27 milyar. Dengan perhitungan tersebut, dibangunnya 20% lahan Baksil akan menciptakan Rp. 8,5 milyar per tahun, jauh dibandingkan nilai keuntungan investasi PT. EGI yang hanya Rp 7 milyar itupun dalam jangka waktu 20 tahun (Hamid 2015). Hingga pada akhirnya rencana Baksil benar-benar dibuang dan Babakan Siliwangi tetap dipertahankan sebagai Hutan Kota Dunia baru pada akhir tahun 2013, disaat Ridwan Kamil, pelaku aktivisme yang sempat memperjuangkan penyelamatan Hutan Kota Babakan Siliwangi naik menjadi Walikota Bandung 2013–2018. Kesimpulan Kesimpulan dari studi kasus perjuangan aktivisme politik masyarakat dalam memperjuangkan penyelamatan hutan kota Babakan Siliwangi ini terdiri dari tiga gelombang yakni pada tahun 2003, dimana pergerakan masih bersifat tradisional, 2008, saat masa new emerging social media dan emerging creative movement, pada tahun 2011 saat mendapatkan global level concern serta terakhir pada tahun 2013, ketika benar-benar memiliki influence dan real political power. Adapun terkait bagaimana pada akhirnya masyarakat dapat membuat perubahan dan membentuk ulang masa depan kota dan lingkungannya, dari fenomena yang diobservasi membutuhkan langkah-langkah sebagai berikut:

  

Meningkatkan kesadaran politik masyarakat Memobilisasi Komunitas untuk terlibat dalam proses riset/penelitian Menginteraksikan/mempertemukan (menciptakan konflik) antara kelompok masyarakat yang kuat dan yang lemah

Mendapatkan kekuatan politik, baik dengan cara meningkatkan posisi tawar, menjalin kemitraan, maupun terlibat dalam proses politik. Referensi 168


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

BCCF. September 2011. 09 2011. https://bandungcreativecityforum.files.wordpress.com/2011/09/ (accessed 12 11, 2015).

Carter, Neil. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy 2nd Edition. New York: Cambridge University Press, 2007.

Church, Sarah P. ―Exploring Urban Bioregionalism: a Synthesis of Literature on Urban Nature and Sustainable Pattern of Urban Living.‖ SAPIENS (Survey and Perspectives Intergrating Environment and Society) 7 (2014).

Daly, Herman E., and John B. Cobb. For the Common Good: Redirecting Economy Toward Community, the Environment, and a Sustainable Future. Edited by Clifford W. Cobb. Boston: Beacon Press, 1994.

Darmoyono, Laksmi T. ―Kasus Babakan Silwangi, Suatu Proses Pembelajaran Masyarakat.‖ International Seminar of Managing Conflict in Public Space Through Urban Design 2004. Bandung: Urban Planning and Design Research Group, Department of Regional and City Planning ITB, 2008. 1–12.

Dietz, F.J., J. van der Straaten, and F. van der loeg. Environmental Policy and the Economy: Contribution to Economic Analysis. Philadhelpia: Elsevier, 2013.

Hackett, Steven C. Environmental and Natural Resources Economics: Theory, Policy and the Sustainable Society 4th Edition. London: Routledge, 2014.

Hamid, Usman. Digital Nation Movement: Dinamo. Jakarta: Bentang Pustaka, 2015.

 

Inglehart, Ronald. Culture Shift. Princeton University Press, 1990.

Pepper, David. Modern Environmentalism. London: Routledge, 1996. Pratama, Aditya. Aksi Peduli Baksil. 09 17, 2008. https://adityap.wordpress.com/2008/09/17/aksi-peduli-baksil/ (accessed 12 11, 2015).

Sale, Kirkpatrick. Dwellers in the Land: The Bioregional Vision 2nd Edition. Philadelphia: New Society Publisher, 1991. Save Babakan Siliwangi. https://savebabakansiliwangi.wordpress.com. 09 12, 2008.

Lowe, Phillip, and Jane Goyder. Environmental Groups in Politics. London: Allen and Unwin, 1989.

169


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

https://savebabakansiliwangi.wordpress.com/2008/09/12/pressrelease-penyikapan-mahasiswa-dan-masyarakat-kota-bandungterhadap-pengalihan-lahan-di-babakan-siliwangi/ (accessed 12 11, 2015). — . Save Babakan Siliwangi. 09 12, 2008.

https://savebabakansiliwangi.wordpress.com/about/ (accessed 12 11, 2015).

170


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN INDONESIA: BERDASARKAN KEBEBASAN ATAU GOTONG ROYONG? Luthfi Muhamad Iqbal Kota yang modern, boleh jadi adalah sebuah lokasi artifisial dan yang paling tidak dicintai yang mampu dibayar oleh planet ini, dan solusi ampuhnya adalah meninggalkannya‌ Kita sudah semestinya menyelesaikan persoalan perkotaan dengan cara meninggalkannya (kota tersebut) - Henry Ford, 1922 Pendahuluan Sejak era revolusi Industri, pusat kota menjadi tempat-tempat yang dipenuhi oleh kemacetan, kriminalitas, keburukan, kekumuhan, kemiskinan, kekotoran, 171


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

sumber penyakit, asap pabrik, yang sepertinya mengancam seluruh masyarakat yang padahal mereka juga yang membuatnya (jadi demikian). Kota-kota tersebut bisa diselamatkan dengan cara: memperbaiki kota tersebut, meninggalkannya, atau bunuh monster yang ada dan ganti dengan visi besar urbanisme baru. Dari era-era dimana kota semengerikan ini, ada dua ideologi perancangan yang menjadi patokan yang membudaya dan menjadi dorongan bagi para arsitek, reformis dan politisi untuk membentuk wajah kota kota pada abad 20-an ini: 1.

2.

School of Separation: Aliran/Paham separasi, menekankan pentingnya zonasi, sebuah pembagian/pemisahan fungsi lahan perkotaan untuk menghindarkan keburukan aktivitas mempengaruhi aktivitas lainnya, menempatkan dimana lokasi industri, dimana lokasi perumahan, dimana lokasi perkantoran dan pertokoan dalam ruang-ruang kota yang ditempatkan secara berbeda. Pada mulanya, zonasi diperuntukkan untuk mengatasi kemacetan, memperbaiki kualitas kesehatan lingkungan dan mencapai efisiensi dalam bisnis, dan yang paling penting ialah: mempertahankan harga properti. School of Speed: Aliran/Paham kelajuan, mentranslasikan konsep kebebasan kedalam bentukan ―kecepatan‖, semakin cepat kita lari dari pusat kota, semakin cepat kita keluar dari permasalahanpermasalahan yang ada di kota, semakin bebaslah diri kita sebagai manusia, sebagai warga kota.

Meskipun pada dasarnya kota selalu dibentuk untuk menciptakan kebahagiaan bagi warga kota, dua konsep ini ternyata tidak terlalu menggembirakan. Konsep Kota-kota Dua aliran besar tersebut muncul sebagai respon dari kondisi horor yang ditimbulkan oleh Revolusi Industri, padatnya kawasan inti perkotaan membuat menjadi wajar bahwa ada pikiran untuk menghadirkan kedamaian dan mengisolasi keburukan dari sebuah kota. Pada masa kolonial hindia belanda, Bandung dan Buitenzorg (Bogor) adalah contoh atau preseden kota yang direncanakan untuk diciptakan seperti itu. Sebagai kota peristirahatan dari hiruk pikuk dan keburukan kota Batavia dan diatur sedemikian rupa dalam bentukan semi-rural berdasarkan konsep kota taman (garden city) yang digagas oleh Ebenezer Howard. Aliran lain yakni school of speed mendukung konsep Frank Llyod Wright tentang Broadacre city, yang didukung oleh aktivis-aktivis produksi massal seperti Ford, menggelorakan sub-urbanisasi, pengembangan kota-kota secara horisontal, terdispersi, bahkan mungkin cenderung ―sprawling‖. Dengan motivasi yang 172


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

sama: untuk menemukan kedamaian di tepian perkotaan, dan keluar dari hiruk pikuk serta ke-horror-an kota. Dalam ranah desain, arsitek kawakan Le Corbusier mengkombinasikan keduanya, bagaimana desain geometris dan efisien bisa mewujudkan kota kompak yang terbagi/terseparasikan secara tersusun dengan pola pola yang simpel dan rasional: Radiant City. Dari satu sisi konsep ini menggunakan aliran separasi yang pertama, dari sisi lain mengakomodir efisiensi desain yang mendukung school of speed. Meski yang lebih ditekankan, ide mengenai separasi zonasi. Dua Hulu Satu Hilir: Sub-Urbanisasi Meski terdapat dua paham mengenai pembentukan wajah kota yang telah dijelaskan sebelumnya diatas, keduanya adalah sebab mengenai terjadinya pertumbuhan yang tak terkendali (sprawling) dari kota-kota hari ini. Dengan adanya separasi lahan, pengembang tentu akan lebih tertarik untuk mengembangkan daerah periferi perkotaan (urban periphery) yang selain harganya relatif terjangkau, lahan masih kosong, dan peruntukannya dapat berubah seiring dengan meningkatnya kebutuhan. Karena membangun tidak sesuai peruntukkan adalah illegal, meremajakan kawasan lama perkotaan ongkosnya mahal, belum lagi gesekan sosial yang terjadi; dan mengubah zonasi pada kota inti (urban core) sangatlah sulit serta membutuhkan waktu yang lama, dan karena waktu adalah uang, maka opsi ini hampir tidak pernah jadi pilihan bagi para pengembang. Namun, pertumbuhan perkotaan yang tak terkendali (urban sprawling) tidak akan terjadi bila tanpa dukungan paham school of speed. Kemudahan akses untuk pergi dari dan menuju pusat kota oleh mesin ajaib bernama ―Automobile‖. Bermukim di pinggiran kota menjadi menarik, kalau saja hari ini Mobil masih menjadi barang terbatas yang tidak semua orang dapat memilikinya, diawali dengan aktivitas produksi massal-lah ini semua terjadi. Dikala orang berbondong-bondong ingin mencari kedamaian dari hiruk pikuk kota, aturan separasi lahan, dukungan aksesibilitas yang mendukung, dan pengembang yang pragmatis semua berkumpul di satu titik temu: Urban Sprawling. Meskipun, hari ini, Urban Sprawling menghadirkan dampak yang tidak sedikit bagi kondisi perkotaan seperti kemacetan tinggi, polusi dan emisi gas buang kendaraan yang semakin besar, tingginya waktu tempuh untuk ulang alik (commuting), yang bila ditelusuri lebih jauh lagi berpengaruh pada kerugian 173


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

ekonomi dan sosial serta dampak dampak psikologis seperti stres, kurangnya harmoni dalam keluarga, dan lain sebagainya. Riwayat Kebebasan dalam Perkotaan: From the Freedom of Utilize to the Freedom of Movement Bentuk kota hari ini tidak terlepas dari proses transformasi budaya akibat adanya program-program selama lebih dari beberapa dekade seperti subsidi pada pembangunan jalan dan jalan tol, yang menjadi perlambang ‗kebebasan‘, filosofi dasar dibentuknya negara Amerika. Jauh sebelum hari ini, jauh sebelum Henry Ford mendirikan pabrik produksi massalnya, dan dalam separuh sejarah perkotaan: The city street were for Everyone Jalan adalah pasar. Jalan adalah tempat bermain. Jalan adalah taman. Jalan adalah tempat orang dari semua golongan berlalu lalang dari dan menuju ke semua tempat yang akan dituju. Itulah kebebasan. Jalan milik semua orang, dan berhak digunakan oleh semua orang. Sebelum kepentingan para pemilik modal di bidang otomotif merevolusi ―Budaya Jalan‖, memperdaya para politisi, pengambil kebijakan, akademisi, untuk mendukung gerakan ―Motordom‖ hingga pada akhirnya fisik jalan menjadi seperti hari ini. Musuh dari kebebasan adalah pergesekan/hambatan/friksi. Sehingga semua hal yang menghambat harus di-enyah-kan dari jalan. PKL, parkir liar, pejalan kaki, delman, becak, pesepeda, tram/LRT/streetcars dan lain sebagainya, yang secara desain menghambat orang untuk berkendara secara cepat. Dengan berlindung dibalik dua keidealan: Kebebasan dan Keselamatan, penyebrang dikriminalkan ketika menyebrang sembarangan, meskipun yang menabrak itu adalah mobil. Ini adalah salah satu produk kebijakan yang #MotoristFirst, ya berpihak pada kalangan motoris. Perencanaan dan Pembangunan Indonesia Berdasarkan Kebebasan atau Gotong Royong? Saya terus membaca, bagian demi bagian, hingga sampailah saya dititik dimana kutipan ini membawa saya pada banyak tanda tanya. ―This country was founded on the principles of Freedom, now automobile has brought something which is an integral part of the American Spirit — freedom of movement, and the Enemy of Freedom was Friction!‖ 174


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Roy Chapin and McClintock Kemudian terdiam dan bertanya: This Country? What Country? This is Indonesia. Soekarno tidak meminjam Deklarasi Kemerdekaan Amerika, tidak meminjam Deklarasi Prancis, tidak meminjam Kontrak Sosial Britania Raya, tidak meminjam Das Kapital ataupun hal lain untuk menjadi dasar filosofi (filosofiche grondslag) bagi NKRI, selain penggaliannya pada nilai-nilai luhur pancasila, yang disarikan menjadi trisila, yang disarikan menjadi ekasila: yakni gotong royong. Bukanlah kebebasan yang menjadi prinsip ditemukannya negara ini, maaf saja ini bukan Amerika. Tapi gotong royong lah, karena ini Indonesia. Saya tidak tahu apakah gotong royong bisa bersanding dengan modernitas zaman, ataukah adalah bentuk dari postradisionalitas. Intinya, fakta ini benarbenar mengejutkan saya. Apakah gotong royong dalam pembangunan itu adalah membangun 1000 kilometer jalan dari anyer hingga panarukan? apakah gotong royong yang dikehendaki itu tanam paksa dan bebas pajak? Bila begitu, apakah gotong royong itu salah satu bentuk propaganda agar kita mau bekerja sama untuk kepentingan kompeni? Atau apa? Atau nilai yang ada di komunitas kita, yang telah matang berkembang jauh sebelum penjajahan terjadi di tanah nusantara? Jalan-jalan dan jalan tol yang dibangun demi kemajuan dan demi pembangunan, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan, perencanaan yang dilakukan, teks dan peta zonasi dan kode pembangunan apakah didasarkan pada filosofi kebebasan ataukah filosofi gotong-royong? Apakah hukum hukum yang ada di Indonesia berdiri diatas filosofi kebebasan ataukah filosofi gotong royong? Apakah penafsiran-penafsiran landasan berbangsa dan bernegara diterjemahkan dengan pandu kebebesan ataukah dengan pandu nilai-nilai luhur yang telah digali dan ditetapkan oleh bapak bangsa kita? Mungkinkah perencanaan yang berfilosofi gotong royong itu adalah partisipatori? mungkinkah kebijakan transportasi yang berfilosofi gotong royong itu adalah yang mendukung ke transportasi publik? ride-sharing? car-pooling? instead of private motorbikes or car dan pembangunan jalan-jalan tol atau hal hal yang menguntungkan pengusaha kendaraan bermotor? Refleksi 175


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Jadi terkait isu PKL (dan barangkali berlaku juga untuk isu-isu lainnya), saya menduga, kebenaran ilmiah yang kami temui di dalam kelas dan dalam lembarlembar negara (peraturan legal-formal), meski tidak bertentangan dengan konstitusi, tapi tidak mengandung jiwa, prinsip, falsafah mengenai mengapa negara ini didirikan, bahkan kita acapkali lebih bersahabat dengan nuansa kebebasan dibandingkan nuansa gotong royong. Atau mungkin saya sebagai pelajar yang salah belajar? Siapa tahu? Lalu apakah betul, negara kita menganut Supermasi Hukum? atau Supermasi Kapital? yang ternyata mengandung janin kepentingan tersembunyi dibalik hukumhukum yang dibakukan di ruang sidang dewan yang terhormat, siapa tahu?Perencana, seperti halnya ahli di bidang lainnya memang harus memahami code of practice yang berlaku. Taat pada aturan yang ada, karena apa? negara kita negara hukum. Meski profesor saya di kelas mengatakan hal yang berbeda: ―Saya selalu mendidik kalian sebagai calon-calon pemimpin bangsa, hargailah diri kalian sebagaimana saya menghargai diri kalian, jika kalian datang terlambat, tidur di kelas, kalian menganggap diri kalian itu apa? Sebagai pemimpin, apalagi kalian yang bersekolah di sini, tidak semestinya kalian berlindung apalagi bersembunyi dibalik aturan yang ada, malah sebaliknya, kalian seharusnya bisa menjadi pandu, mengkritisi peraturan, bila itu tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kalian dididik untuk menjadi pemimpin. Kalian dididik untuk merencanakan. Untuk mengembangkan kebijakan, jika mental kalian hanya patuh-patuh saja terhadap peraturan yang ada, bubarkan saja sekolah ini‖ Prof. Roos Akbar Redaksinya tidak persis sama, tapi kurang lebih demikianlah yang saya terima. Segala kegelisahan ini membuat saya berpikir, sudahkah kita benar-benar merdeka? dari Imperialisme dan Kolonialisme bentuk baru? Apakah kita perencana menjadi pelaku yang melanggengkan penjajahan, meneguhkan cengkram-cengkram kolonialis dan imperialis berjubah baru, golongan yang mempersulit perjuangan setelah kemerdekaan seperti yang Soekarno katakan: ―Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri‖ Ataukah kita perencana menjadi pejuang yang mengusahakan tercapainya tujuan kemerdekaan, kesejahteraan umum, perlindungan segenap tumpah darah tanah air indonesia, mengupayakan pencerdasan kehidupan bangsa, mengusahakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi. 176


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Memperjuangkan tidak hanya pembangunan namun juga persatuan, tidak hanya kemajuan namun juga kedaulatan yang menjadi wibawa bangsa dan negara? Menjadi pejuang-pejuang yang memerdekakan budak budak zaman dari belenggu zamannya, pejuang pejuang yang mengembalikan ruang, bumi, air, langit dan segala yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan saudara sebangsanya? Siapa tahu? Selamat hari merdeka teruntuk rekan rekan calon pemimpin bangsa Semoga nurani kita tetap menyala Semoga. Bandung, 17 Agustus 2015 Luthfi Muhamad Iqbal Walikota HMP Pangripta Loka ITB 2015/2016 Referensi Montegomery, Charles. 2013. Happy City: Transforming Our Lives through Urban Design. London: Penguin Books (mostly Ch.4: How We Get There)

177


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

CATATAN DARI PONGGANG Muhammad Fadhil Dwijatmiko Kami, mahasiswa Institut Teknologi Bandung Sadar, bahwa kami hanyalah sebagian kecil dari rakyat Indonesia yang berkesempatan untuk menikmati pendidikan atas beban rakyat Indonesia Sadar, bahwa kami dituntut untuk berperan dalam perbaikan dan pembaharuan masyarakat Indonesia Sadar, bahwa pada pundak kami ini tertumpu harapan masa depan Indonesia Karenanya: Kami tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri, harus mendahulukan kebutuhan masyarakat, Kami tidak akan menunda-nunda tindakan kami untuk berperan dan membuat perubahan mulai dari diri kami sendiri, Kami akan bekerja keras untuk mewujudkan harapa rakyat bangsa, dan Negara Indonesia serta almamater Institut Teknologi Bandung Ikrar ini segera kami buktikan, Dalam tindakan nyata dari kami

178


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Tiga kali kata SADAR kita ucapkan di sebuah ruangan besar di lembah yang hijau ini, tapi sepertinya kita tidak benar — benar sadar dalam mengucapkannya. Bahkan saya berani bertaruh bahwa hampir setiap anak gajah yang membaca ini pun tidak sadar pernah mengucapkannya. Ya mungkin ikrar tersebut hanyalah dianggap omong kosong oleh anak — anak jaman sekarang. Tetapi sebenarnya semua ini adalah pilihan, tergantung anda memilih untuk menepati janji tersbut sekarang ini atau nanti, itupun kalau sempat. Sudahlah, hal ini akanku bahas lagi nanti saja. Sekarang menurutku ada suatu bagian paling menarik dari ikrar ini yaitu dibagian terakhir dari ikrar tersebut, “Ikrar ini segera kami buktikan, dalam tindakan nyata dari kami” ya bagian inilah yang coba aku dan teman —  temanku wujudkan, kami sedang berusaha untuk membuat suatu pembuktian.

Ponggang. Entah sudah kali ke berapa aku menapakan kaki di desa ini selama setahun terakhir. Belasan? Ku rasa terlalu sedikit. Dua puluhan? Mungkin juga masih kurang. Entah juga sudah berapa banyak orang yang aku ajak dan aku bawa ke desa ini. Dimulai dari orang — orang terdekat hingga orang yang tak aku kenal. Hanya satu harapanku, semua orang ini dapat menyadari kelebihannya dan sadar bahwa masih ada tempat lain yang masih membutuhkan bantuan dari mereka. Ponggang. Sebuah desa kecil yang menurutku pribadi telah memberikan banyak pembelajaran. Pembelajaran yang bisa didapat dari anak kecil yang belum bersekolah hingga sesepuh adat yang kurang lancar berbahasa Indonesia. Dan tentunya hari ini aku mendapatkan sebuah pembelajaran baru lagi. Ditempat ini aku juga bisa mendapatkan ketenangan dan juga pencerahan. Sebuah desa yang terlihat sangat ideal jika engkau hanya duduk dan menikmati indahnya alam tanpa mau bertanya sekitar. Ponggang. Desa ini kutemui secara tidak sengaja setelah melalui obrolan hangat bersama salah seorang tokoh terkenal lulusan kampus gajah yang bergerak di bidang teknologi energi pembaharuan. Ya desa ini adalah desa binaannya. Desa yang disarankan kepadaku karena keinginanku untuk berkunjung ke desa yang tidak biasa. Sebuah desa adat dimana agama dan budaya terlihat sangat harmonis. 179


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Selama setahun semuanya berjalan seperti baik — baik saja. Mimpiku untuk membantu desa ini masih sangat menggebu — gebu. Banyak mahasiswa yang katanya ingin melakukan pengabdian masyarakat aku bantu arahkan ke sana. Satu, Dua, Tiga, Empat… entah sudah berapa kloter rombongan mahasiswa yang kubawa kesini. Hingga akhirnya beberapa rombongan memutuskan untuk menetap dan berusaha untuk sustain disini. Jalanan , masjid, saluran air, semuanya menjadi baik (mudah — mudahan tetap baik dan berfungsi). Hingga sebulan yang lalu, aku datang kembali dengan membawa sekelompok lain yang baru, dan timbul satu pertanyaan dibenakku yang membuatku tersadar akan suatu hal. ―Sejauh ini kah dampak yang telah kami berikan?‖ Ya, desa ini telah berubah jauh, sangat jauh menurutku dalam waktu yang singkat. Pertama, budaya dan adat istiadat yang sangat kental diawal — awal aku datang ke desa ini, sekarang perlahan demi perlahan telah menghilang. Apa yang membuat hal tersebut menghilang? Jawabannya sederhana, budaya serta adat istiadat yang ada disini perlahan memudar hanya karena warga desa takut kami tidak bisa menerima adat yang ada disini. Hal ini disebabkan banyaknya penolakan — penolakan dari mahasiswa yang datang kesini dan tidak mau mengikuti adat budaya disini. Alasan lain juga karena warga desa ini mungkin terlalu takut jikalau mahasiswa tidak bisa menerima adat mereka nantinya mahasiswa akan pergi dan harapan mereka untuk desanya yang lebih baik sirna begitu saja. Aneh menurutku ketika kami yang datang untuk mencari pembelajaran malah tidak mau beradaptasi dengan lingkungan dan aturan yang ada. Kedua, anak — anak kecil disini mulai ketergantungan teknologi. Anak — anak yang biasanya bermain dengan riang hanya dengan daun singkong atau dengan pelepah pisang dan senang berlarian ke sawah, sekarang mulai sulit diajak berbaur jika tidak diberikan gadget masa kini. Perubahan yang cukup signifikan, karena dulunya untuk memegang handphone saja sudah merupakan prestasi yang cukup wahhh untuk anak — anak ini. Hal ini disebabkan mahasiswa yang datang selalu memegang gadget mereka dan menawarkan gadget mereka kepada anak — anak jika mereka sudah tidak mempunyai mainan. Sebuah perilaku kecil yang akhirnya ditiru anak — anak dan membuat ketergantungan. Ketiga, masyarakat disini sudah mulai ketergantungan terhadap mahasiswa. Semenjak mahasiswa berdatangan, masyarakat yang tadinya bisa hidup bahagia 180


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

walaupun tanpa uang dengan menikmati alam sekarang sudah mulai mengerti nominal. Sekarang kecemburuan sosial mudah sekali dibentuk oleh selembar uang yang jumlahnya tidak sama (yang padahal uang tersebut diberikan oleh mahasiswa). Keramah tamahan sudah mulai menghilang jika menyangkut selembar kertas ini. Hal ini disebabkan oleh perilaku mahasiswa yang terlalu sering menjanjikan sesuatu kepada masyarakat, seolah — olah mereka yang lebih mampu dan bisa melakukan apapun. Sebuah kesalahan besar yang sejujurnya akupun juga pernah melakukannya. Tiga hal tersebut sudah cukup menggambarkan perubahan yang terjadi selama setahun menurutku. Meskipun sebenarnya masih sangat banyak perubahan kecil yang berdampak yang juga terjadi. Ketika menyadari hal — hal tersebut, sejujurnya aku merasa bahwa akulah orang yang seharusnya paling bertanggung jawab. Karena aku, banyak sekali mahasiswa yang ikut datang ke desa ini. Dan karena aku juga tidak memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di desa ini. Warga desa tidak peduli kelompok mana yang datang kesini, yang mereka tau adalah aku yang pertama kali kesini dan membawa banyak orang. Niat awal yang baik untuk membuktikan bahwa aku dan teman — temanku telah sadar dengan ikrar kami nyatanya tidak hanya berdampak baik untuk desa tersebut, tetapi juga beredampak buruk. Sebuah kenyataan yang sebenarnya membuat hati merasa malu dan ingin mundur dari tempat tersebut. Tak sedikit temanku yang setelah mengetahui realita ini perlahan satu persatu bermunduran. Namun seorang sesepuh disana memberikan pelajaran yang sangat penting. ―Saat ini kamu dan teman — temanmu sudah terlanjur basah diterima disini. Dan setiap usaha baik pasti akan ada tantangan. Sekarang adalah tantang pertama kamu, dimana kamu harus berusaha untuk berkomitmen untuk melanjutkan semua yang sudah dimulai disini apapun yang terjadi saat ini. Karena pengabdian tak akan pernah mudah‖ Dan benar memang, mungkin yang masih tersisa saat ini hanyalah segelintir orang. Tetapi, sekarang yang harus kami lakukan sangatlah sederhana, yaitu berkomitmen untuk tetap membantu desa ini, serta memperbaiki kesalahan yang telah kami buat. Bukan memutuskan untuk mundur dan menyerah melawan keadaan.

181


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Untuk kalian yang pernah datang ke desa ini. Ponggang, 24 Desember 2015 Muhammad Fadhil D.

182


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

MENINGGI UNTUK MUNDUR: PROBLEMATIKA PERUMAHAN VERTIKAL Naufal Rofi Indriansyah Vertical housing atau perumahan vertikal telah menjadi salah satu alternatif solusi yang saat ini gencar dicanangkan pemerintah daerah di Indonesia. Di Bandung sendiri saat ini, seperti dikutip dari kabar24.com April yang lalu, Pemkot Bandung merencanakan akan membangun 13 rusun baru di Bandung, yang dimulai dari Juli 2015 lalu. Di DKI Jakarta sendiri menurut data yang dilansir data.go.id, telah ada total 48 rumah susun yang terdaftar. Dari sekian banyaknya jumlah rumah susun baik yang masih direncanakan sampai yang telah terbangun, apakah sebenarnya permasalahan perumahan di Indonesia telah teratasi? Apakah rusun yang ditinggali lantas sustain dan juga livable bagi penghuninya? Indonesia dengan populasi lebih dari 250 juta jiwa, mengalami fenomena urbanisasi yang luar biasa dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena ini menyebabkan membludaknya permasalahan yang ada di kota-kota di Indonesia. 183


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Yang paling menjadi masalah mungkin adalah penyediaan kebutuhan dasar manusia, yakni papan atau tempat tinggal. Penyediaan perumahan rakyat bagi masyarakat berpendapatan rendah di Indonesia mengalami hambatan karena tingginya biaya beli ataupun sewa dari perumahan tersebut. Ironinya, solusi yang ditawarkan, diakibatkan dari masalah biaya tadi, malah memunculkan slum & squatter baru dimana-mana. (Sudarmo 1997; Tunas and Peresthu 2010). Lantas apakah sebenarnya kebijakan untuk mengatasi permasalahan perumahan di Indonesia, termasuk rusun yang disediakan pemerintah, menemui titik buntu? Aspek yang Terpinggirkan: Sosial dan Budaya Seperti yang tertera dalam judul tulisan ini, hal yang membuat saya heran adalah salah satu hambatan vertical housing di Indonesia, yakni budaya. Hal ini saya dapat dari salah satu kuliah wajib yang saya ambil terkait perencanaan perkotaan tepatnya permasalahan perumahan di Indonesia. Seketika hal tersebut membuat saya bertanya-tanya: kalau memang budaya yang menjadi hambatan, berarti memang sulit untuk merubah budaya tersebut supaya solusi yang diambil menjadi efektif untuk diterapkan. Apakah begitu adanya? Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah tulisan terkait dengan mengapa seseorang ataupun kelompok masyarakat tidak bisa tinggal di high-rise building, tulisan ini dipublikasi dalam sebuah situs di dunia maya oleh Taz Loomans. 1.

Memisahkan penghuninya dari jalanan

―What high-rise does is separate large numbers of people from the street, so we end up with a city that is detached from street life, we end up with a city that is based on enclaves and gated communities,‖ — Michael Buxton Mungkin fenomena ini juga terjadi pada rusun ataupun apartmen yang ada di Indonesia. Hal ini seringkali dikuatkan dengan penyediaan fasilitas umum dan sosial yang tersedia juga di kompleks gedung tersebut. Pemenuhan kebutuhan dan aksesibilitas yang mudah menjadi poin positifnya. Tetapi efek yang lainnya adalah terbentuknya komunitas yang enclaved dan menyebabkan jaringan antar komunitas menjadi lemah. Hal ini tentunya berdampak pada keterbatasan pengembangan komunitas atau kelompok penghuni yang mendiami rusun atau apartemen tersebut. Hal lainnya yang menarik adalah konsep yang dikemukakan Jan Gehl, bahwa sebuah kota paling baik untuk dilihat secara eye-level. Ketika kita tinggal di high-rise building, kita dapat menikmati pemandangan yang bagus, melihat banyak orang berlalu-lalang, mobil-mobil, dan cahaya lampu kota dari lantai 184


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

sekian. Tapi kita tidak bisa melihat orang lain dalam penglihatan yang menimbulkan koneksi antar individu. Simpelnya hal ini menimbulkan efek kurangnya interaksi antar individu penghuni kota, bahkan untuk hanya sekedar bertatap muka. 2. Bukan skala manusia ―High-rises are simply so tall that they make no visual sense to a pedestrian at eye-level. You can‘t even see the whole building unless you‘re in another highrise. You become lost and engulfed in glass and steel canyons which can be isolating and dehumanizing.‖ Kata yang mungkin menarik adalah ―dehumanisasi‖. Kenyataan ini ibarat menegasikan solusi dari high-rise building. Fenomena ini dapat terjadi, dan memang dapat diperhatikan. Cobalah sesekali berjalan di kampung-kampung kota ataupun desa, lalu bandingkan dengan berjalan di antara kompleks apartemen atau rusun. Di desa, ketika kita membuka pintu rumah, kita bisa melihat warganya beraktifitas, anak-anak kecil berlarian, tukang bakso menjajakan dagangannya, dan berbagai romantisme desa lainnya. Ketika kita berada di kompleks high-rise building, maka kita akan kehilangan pemandangan seperti ini, pemandangan yang sejatinya merupakan skala manusia. Hal ini merupakan sebuah fenomena dari konsep eye-level yang dikemukakan Jan Gehl, bahwasanya high-rise scale is not a human scale. 3. Mengurangi Kesempatan untuk Berinteraksi dan Mengurangi Propinquity ―Because high-rises tend to separate people from the street and each other, they greatly reduce the number of chance encounters that happen, which are crucial to the liveliness of a city and to creating social capital. And because people are cooped up in tall buildings, they are less likely to experience propinquity‖ Menurut Sirianni dan Friedland, 1997, modal sosial atau social capital diartikan sebagai ―…stocks of social trust, norms and networks that people can draw upon in order to solve common problems‖. Jaringan atau networks yang dimaksud termasuk didalamnya adalah keterlibatan sipil atau civic engagement, diantaranya partisipasi individu dalam sebuah kelompok masyarakat dalam kegiatan bersama seperti kerja bakti, musyawarah, perlombaan, dan sebagainya. Dengan tinggal di rusun atau apartemen melalui alasan pada poinpoin sebelumnya, tentunya modal sosial menjadi sulit untuk ditingkatkan. Lalu kenapa modal sosial menjadi begitu penting? Untuk mencapai sebuah masyarakat yang produktif, dalam artian masyarakat mampu mencapai tujuan bersama seperti kesejahteraan, kedekatan sosial, dan keamanan bersama, modal sosial harus mulai ditanam sejak masyarakat itu terbentuk, terutama 185


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

secara geografis. Ruang yang ditinggali masyarakat haruslah menjadi public space dimana mereka bisa berinteraksi tanpa batasan-batasan tertentu. Gedung bertingkat ibarat mengurangi bahkan menghilangkan ruang publik dimana masyarakat bisa berinteraksi. Sedangkan propinquity, menurut Wikipedia, berarti kedekatan fisik dan psikologis antara manusia. Propinquity merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep modal sosial dimana hal ini akan terjadi dan dapat ditingkatkan melalui keberadaan ruang publik seperti di taman, lapangan olahraga, bahkan jalanan depan rumah. Vertical housing tentunya mengurangi bahkan menghilangkan propinquity. 4. Vertical Sprawl Dengan digalakkannya high-rise building sebagai solusi atas keterbatasan lahan di Indonesia, ada satu masalah yang (mungkin akan) tercipta. Layaknya urban sprawl yang terkadang menciptakan berbagai masalah terutama secara administratif, gedung-gedung bertingkat yang terlalu banyak juga dapat menciptakan masalah ini. Pada sebuah kawasan di Portland, Amerika, banyak gedung-gedung bertingkat yang akhirnya tidak dihuni. Penyediaan gedunggedung ini cenderung spekulatif dan tidak mempertimbangkan beberapa aspek hingga akhirnya banyak gedung-gedung yang kosong. 5. Menciptakan Ketidaksetaraan Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah bahwa pembangunan gedung-gedung bertingkat memang menjadi pemasukan ekonomi yang lumayan besar untuk pemerintah daerah, juga menguntungkan bagi developer terkait. Namun semakin tinggi gedung tersebut maka biaya konstruksinya juga akan makin mahal. Hal ini menuntut harga jual yang akan menjadi mahal pula, pada akhirnya hanya orang-orang berpendapatan tinggi saja yang bisa mengusahakannya. Secara tidak langsung, harga jual yang tinggi akan meningkatkan harga lahan-lahan di sekitarnya menjadi tinggi. Pada akhirnya, ketidaksetaraan secara ekonomi akan tercipta melalui harga lahan di sekitarnya yang juga tidak affordable. Lebih lanjut, keberadaan retail dan pertokoan yang landed cenderung lebih stabil dalam menghadapi perubahan ekonomi dan sosial dari sebuah daerah. Contohnya Paris yang tetap mempertahankan kawasan pertokoan, perdagangan, dan wisata belanja, dengan peraturan sebuah gedung yang akan dibangun tidak boleh memiliki tinggi lebih dari 100', menjadi sebuah daerah yang lebih walkable. Dengan hal sederhana tersebut, Paris terbukti menjadi kota yang durable dan resilient. (Lennard, 2010) 186


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Terdapat dua poin lagi yang menerangkan bahwa tempat tinggal atau gedung bertingkat terbukti tidak ―hijau‖, serta gedung bertingkat juga dapat merusak kesehatan penghuninya. Namun mungkin hal tersebut memiliki perbedaan perspektif dari beberapa poin sebelumnya dan oleh karena itu tidak akan diterangkan lebih lanjut dalam tulisan ini. Subjektif saya, diluar segala apa yang telah disampaikan, ada baiknya memang jika kita merefleksikan pada kenyataan bahwa: beberapa lapisan masyarakat memang tidak bisa tinggal di perumahan vertikal. Perubahan budaya yang terjadi tidak bisa dipaksakan dan dipastikan hasilnya. Ketidakberlanjutan dari solusi perumahan vertikal akan mengikis peradaban yang telah ada sejak turun temurun, bahwasanya manusia Indonesia belum terbiasa tinggal di perumahan vertikal. Mungkin jika kita bandingkan dengan negara-negara di Eropa atau Amerika yang memang telah terlebih dulu maju dan menerapkan solusi tersebut di negaranya masing, Indonesia termasuk yang terlambat dalam mengimplementasikan solusi ini. Hal ini akan berimbas pada permasalahan baru yang terus muncul dari solusi yang telah ada. Perlu adanya pertimbanganpertimbangan yang lebih mendalam dari solusi ini, dimana akan saya coba rekomendasikan diakhir tulisan ini. Beberapa Pengamatan Saya Saya pernah terlibat dalam sebuah penelitian sebagai tugas akademik untuk meneliti kondisi sebuah rusun. Kebetulan saat itu rusun yang saya teliti adalah sebuah rusun bagi MBR yang berada di jalan Industri Dalam, Kota Bandung. Cukup banyak permasalahan yang saya temui disana, seperti pengelolaan topdown yang kurang baik, masalah infrastruktur pendukung seperti air bersih, dan masalah biaya sewa yang tidak jelas. Namun yang paling saya soroti adalah munculnya vertical slum. Rusun tersebut dibangun sebagai solusi atas pemukiman kumuh yang muncul di bantaran sungai di tempat yang sama. Terlepas dari permasalahan biaya dan administrasi yang pengelolaannya tidak jelas, saya mengambil kesimpulan bahwa masyarakat yang memang sudah memiliki budaya untuk tinggal di kawasan perumahan yang kumuh, mau vertikal atau horizontal, layaknya akan memiliki fenomena kumuh yang sama pula. Namun yang saya senangi dari rusun tersebut adalah interaksi masyarakat yang tetap kuat. Keberadaan ruang publik tercipta di koridor-koridor rusun di setiap lantai serta di lapangan parkir rusun tersebut. Walaupun tidak sepantasnya koridor-koridor menjadi kotor dan tidak tertata namun hal ini menegasikan poin-poin tentang interaksi dan permasalahan sosial yang disampaikan di atas. Tetapi sebenarnya tetap menjadi masalah yang harus diatasi, dalam artian bagaimana tidak membatasi interaksi antar penghuninya dengan mempertahankan kelayakan tinggal dari rusun tersebut. 187


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Dalam beberapa kali kesempatan saya juga mengunjungi apartemen di Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya apartemen Taman Rasuna. Konsep penyediaan ruang publik di apartemen ini juga menarik, dengan menyediakan berbagai sarana rekreasi di lantai 5 kompleks apartemen tersebut. Jika dilihat dari lantai 15 ke atas, pemandangan yang sangat bagus akan kita dapat, melihat penghuni apartemen tersebut berinteraksi, mengahabiskan sore, berolahraga dan sebagainya di ruang publik yang cukup luas tersebut. Beberapa contoh tadi saya coba sampaikan sebagai pertimbangan bahwa poinpoin yang disampaikan sebelumnya tidak sepenuhnya benar. Beberapa rusun yang disediakan pemerintah dan juga pihak swasta berhasil (sedikit) mengurangi permasalahan-permasalahan yang disebutkan. Mencoba Memberikan Alternatif Nampaknya jika kita bandingkan langsung antara rusun yang diperuntukkan bagi MBR dan juga apartemen mahal yang disediakan pihak privat, terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Padahal sepantasnya, jika tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat, terutama dalam beberapa kasus relokasi kampung kota ke rusun, hasil yang diharapkan dari perumahan vertikal dapat menciptakan kondisi yang sama baiknya. Entah bagaimana kedepannya perbaikan pada rusun-rusun yang lebih ―tertinggal‖ akan dilakukan, tapi tetap saja disini saya melihat masih terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan diluar menggalakkan gedung-gedung tertinggi. 1.

2.

Penegakkan regulasi mengenai gedung-gedung bertingkat agar tetap sesuai standar, jika memang tidak ada solusi atau kebijakan lain. Selain itu regulasi ini juga harus memperhatikan aspek sosial dan budaya dari penghuni yang diharapkan. Terlepas dari keuntungan yang akan didapat dari penyediaan perumahan vertikal, tetap saja aspek sosial (sesuai dengan apa-apa yang disampaikan dari poin-poin yang disampaikan diatas) dan budaya saya nilai lebih penting karena menyangkut manusia yang tinggal di dalamnya. Manusia yang juga merupakan warga kota dan memiliki hak yang sama dalam pemenuhan kebutuhannya, baik fisik maupun non-fisik (kebutuhan sosial). Mempertimbangkan solusi berupa revitalisasi, alih-alih langsung merelokasi masyarakat kampung kota. Beberapa kasus relokasi saya nilai masih tidak layak untuk dilakukan, karena ada unsur kemanusiaan yang dilanggar disitu. Revitalisasi masih mungkin dilakukan dan tidak memerlukan biaya yang sama tingginya dengan penyediaan dan relokasi ke rusun. Hal ini bisa dilakukan apabila melibatkan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara individu dan kolektif dari komunitas yang ada. Contoh kasus yang mungkin bisa dikatakan berhasil adalah Kampung Kreatif Dago Pojok ataupun Kampung Jambangan di Yogyakarta. Tentunya pertimbangan solusi apa 188


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

yang ditawarkan harus didasari analisis yang kuat dari berbagai aspek termasuk lingkungan dan hukum. — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — Sumber:      

http://www.sustainablecitiescollective.com http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/159102/2/s474%20Social%20 Capital%20Debertin%20complete.pdf http://www.buzzfeed.com/alexalvarez/in-hell-all-your-neighborsown-bongo-drums#.ltXlB8BLb http://indianexpress.com/article/cities/mumbai/vertical-growthwont-solve-citys-housing-issue-praja/ Glaeser, Edward. Social Capital and Urban Growth. National Bureau of Economic Research. 2008. Kuliah-kuliah terkait dari prodi tercinta

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — Tulisan ini dibuat sebagai jawaban untuk saya sendiri mengenai misteri yang saya coba pecahkan, dibantu oleh beberapa teman lewat obrolan-obrolan di waktu senggang. Oleh karena itu tulisan ini merupakan sintesis dari pemikiran saya, teman-teman saya (Husein dan Rizal), juga beberapa studi literatur dan dunia maya. Saya sadar bahwa tulisan ini tidak akan memberikan perubahan yang signifikan, tetapi saya bermaksud memberikan pandangan yang berbeda melalui fenomena ini. Saya harap wacana yang terpinggirkan ini dapat terus diiterasi untuk mencerdaskan semua pihak, termasuk saya. Dan saya harap kedepannya tetap konsisten untuk menulis tulisan seperti ini, yang ―sekali-kali berguna‖. Juga buat dia yang menunggu tulisan ini selesai. Maaf jika menjemukan. Balepare, Tikukur 17 29 Desember 2015

189


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

MENOLAK PEMBANGUNAN “INSTAN” KERETA CEPAT JAKARTA-BANDUNG Luthfi Muhamad Iqbal Merayakan Tahun Infrastruktur 2016: Kawal Pembangunan, Tanpa Pencitraan! Latar Belakang Meskipun tidak tercantum dalam RPJMN 2014–2019, pembangunan kereta cepat bukanlah sebuah proyek kemarin sore, perencanaanya sudah tercantum dalam dokumen rencana induk perkeretaapian nasional (RIPNAS 2030) yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 43 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Perkeretaapian Nasional, sebagaimana diamanatkan pada UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Dalam tataran kebijakan, Kereta Cepat ialah salah satu bentuk dari pembangunan modernisasi di Indonesia untuk meningkatkan peran kereta api sebagai angkutan massal di daerah perkotaan dan layanan angkutan antar-kota yang menghubungkan pusat pusat kegiatan nasional (PKN) serta akses ke Pelabuhan dan Bandara dalam mendukung angkutan barang dan logistik nasional. Atas dasar kebijakan tersebut, diturunkanlah program pembangunan 190


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

kereta api cepat menjadi salah satu program utama dengan trase Merak —  Jakarta — Surabaya — Banyuwangi, yang ditetapkan untuk memperlancar perpindahan orang pada koridor tersebut dan mengurangi beban jalur pantai utara jawa barat yang sudah overload, dengan didukung oleh pengembangan sistem produksi, pengoperasian, perawatan dan pemeliharaan kereta api cepat dengan kemampuan sumber daya dalam negeri.

Pola Perjalanan (Desire Line) Penumpang dan Barang Pulau Jawa 2030, Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Kementerian Perhubungan (2011) Modernisasi adalah satu instrumen untuk meningkatkan layanan transportasi perkeretaapian supaya lebih efisien, karena penggunaan teknologi usang menimbulkan high cost economy dibandingkan teknologi yang terbaru. Arah modernisasi teknologi perkeretaapian harus diarahkan kepada teknologi sarana angkutan perkeretaapian yang berdaya angkut massal, kecepatan tinggi, hemat energy dan ramah lingkungan. Namun, untuk mengusahakan modernisasi berkedaulatan, dan menolak kontrol intelektual sebagai bentuk baru kolonialisasi-imperialisasi, modernisasi harus diiringi dengan proses alih teknologi, dimana kita tidak hanya sebagai pemakai teknologi modern, namun juga sebagai pengembang teknologi tersebut.

191


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Peta Rencana Jaringan Kereta Api Cepat (High Speed Train) di Pulau Jawa, Merak-Banyuwangi, Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Kementerian Perhubungan (2011) Perkembangan Proyek Kereta Cepat Indonesia Proposal Badan Kerjasama Internasional-Jepang (JICA) mengenai proyek kereta api cepat sudah diajukan dari mulai tahun 2008, dengan kecepatan 300km/jam menggunakan teknologi Shinkansen yang merupakan teknologi kereta cepat pertama di Asia, menghubungkan dua pusat kegiatan nasional yakni JakartaSurabaya. Kemudian, Tiongkok, masuk kedalam persaingan pada April 2015. Dengan alasan fokus membangun infrastruktur di luar jawa, proyek ini dibatalkan dan disubstitusi dengan proyek kereta api semi cepat, dengan kecepatan dibawah 300 km/jam, dengan struktur kerjasama yang diharapkan ialah B to B, perusahaan ke perusahaan, bukan B to G, perusahaan ke pemerintahan atau G to G, pemerintahan ke pemerintahan. Dikabarkan Tiongkok melakukan penstrukturan kembali bentuk kerjasama, sedangkan Jepang tidak, sehingga pada pertengahan September 2015 Kontrak kerjasama dipercayakan kepada Tiongkok untuk menggarap proyek Kereta (Semi) Cepat Jakarta — Bandung, dengan syarat tidak ada APBN yang digunakan dalam pembangunan proyek ini, juga tidak ada jaminan pemerintah apabila proyek ini mangkrak atau berhenti di tengah jalan. Selain itu, belajar dari proyek Monorail Jakarta, kementerian perhubungan memberikan ultimatum, yang apabila proyek ini mangkrak, konsorsium penggarap proyek ini mesti mengembalikan lingkungan pembangunan kembali seperti semula, tidak dibiarkan begitu saja. 192


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

6 Oktober 2015, pemerintah mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) nomor 107 tahun 2015 tentang percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta (semi) cepat Bandung-Jakarta, dan menunjuk empat BUMN dalam satu konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN menjadi salah satu pelaksana proyek kereta api (semi) cepat ini, yakni PT Wijaya Karya (sebagai pimpinan konsorsium), PT Kereta Api Indonesia, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Pada Pasal 4 ayat 2 ditegaskan sumber dana tidak akan mendapatkan bantuan dari APBN, dan juga tak ada pemberian jaminan dari pemerintah. Dalam aturan ini juga dicantumkan mengenai penugasan kepada kementerian yang berkaitan dengan proyek ini, termasuk penyesuaian berbagai rencana tata ruang wilayah (RTRW) di daerah yang dilewati oleh proyek ini, yakni Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kota Bandung. Sedangkan untuk RTRW Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi yang dilewati tidak turut dicantumkan dalam perpres tersebut. Pada tanggal 16 Oktober 2015 China Railway International Co.Ltd menandatangani kontrak kerjasama dengan PT Pilar Sinergi BUMN sebagai pertanda dimulainya komitmen kerjasama pembangunan kereta cepat, dengan disertai persetujuan 75% dana komitmen pembangunan dari total sebesar 74 Trilyun Rupiah yang didukung oleh China Development Bank. Sebuah nominal proyek yang lebih tinggi dibandingkan dengan tawaran Jepang yang hanya sebesar 64 Trilyun Rupian (memiliki perbedaan 10 Trilyun Rupiah). China menyanggupi pembangunan dengan waktu tiga tahun, dan bisa mulai operasional pada tahun 2018 atau 2019 awal. Sedangkan Jepang menargetkan pembangunan dalam waktu lima tahun yakni 2018–2023, dengan waktu operasional pada tahun 2023. Pada tanggal ini pula, penantian dan persiapan tujuh tahun yang dilakukan Jepang terhadap proyek Kereta Cepat di Indonesia, menjadi sia-sia. Pada tanggal 8 Januari 2016, Presiden membentuk Peraturan Presiden (Perpres) No 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang pada pasal 25 berbunyi: pemerintah dapat memberikan jaminan pemerintah pusat terhadap proyek strategis nasional yang dilaksanakan oleh Badan Usaha atau pemerintah daerah yang bekerja sama dengan badan usaha. Hal ini bertentangan dengan Perpres 107 tahun 2015 soal percepatan penyelenggaraan pembangunan kereta cepat Bandung-Jakarta. Pada tanggal 21 Januari 2016, Presiden meresmikan upacara groundbreaking di lahan perkebunan teh di Walini, Kabupaten Bandung Barat milik PT Perkebunan Nusantara VIII, dengan keadaan 11 dokumen yang menjadi syarat untuk izin membangun gagal dikumpulkan oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China/KCIC meliputi Desain Pengembangan, Ilustrasi Teknis, Data Lapangan dan Spesifikasinya. Menurut informasi yang diberitakan, perusahaan ini hanya 193


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

mengantongi izin membangun di 5 kilometer pertama dari total proyek yang dikerjakan. Pembahasan Detail Proyek Kereta Cepat Bandung-Jakarta Pada tahun 2008 dilakukan analisis kelayakan 700 km Jakarta-Surabaya, namun biaya proyek mencapai 2.1 trilyun yen, akan sangat memberatkan pemerintah Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia meminta kajian ulang seksi Jakarta Bandung dengan kemungkinan perluasan seksi Bandung-Cirebon, sebagai bagian dari proyek Jakarta-Surabaya. Dilakukan perbandingan jalur antara rute pantai sepanjang 207.3 kilometer dan rute Bandung sepanjang 256 kilometer sebagai berikut:

Peta Rencana Jalur Seksi I Jakarta — Cirebon, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Secara rute lebih pendek dan memiliki profil elevasi yang lebih datar rute pantai utara jawa dibandingkan dengan rute Bandung. Rute Bandung memiliki profil elevasi yang sangat bergelombang dan akan banyak dibangun terowongan seperti pada gambar berikut ini:

194


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Profil Elevasi Jalur Kereta Cepat: Rute Bandung (Atas) Rute Pantai Utara Jawa (Bawah), (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Akan tetapi, rute Bandung memiliki keunggulan yakni terhubung dengan kota terbesar ketiga se Indonesia, yakni Bandung, dan berpotensi menghubungkan kawasan Industri Karawang dengan Kawasan terpadu Bandar Udara Internasional Jawa Barat, Kertajati, Majalengka, sehingga rute Bandung memiliki potensi permintaan (demand) yang lebih tinggi dibandingkan dengan rute pantai utara jawa barat (coastal route). Adapun Jakarta-Bandung-Gedebage merupakan proyek tahap awal dari proyek Jakarta-Cirebon yang merupakan bagian dari proyek Jakarta-Surabaya yang merupakan bagian dari rencana kereta Cepat Merak-Banyuwangi.

195


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Tabel Deskripsi Alternatif Seksi dan Rute, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Menurut kajian perbandingan antara tiga opsi tersebut, secara topografi, keterpaduan antar moda dan resiko bencana, secara lengkap dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel Kajian Perbandingan Karakteristik Rute dan Seksi, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Untuk analisis keekonomian tariff antar wilayah asal dan tujuan, dapat dilihat pada table berikut dibawah ini:

196


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Tabel Tarif Keekonomian Jakarta-Cirebon Rute Bandung, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Adapun analisis perkiraan pertumbuhan permintaan baik untuk rute bandung, maupun rute pantai utara adalah sebagai berikut:

Tabel Proyeksi Pertumbuhan Permintaan 2020–2050, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) 197


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Dapat dilihat pada ilustrasi diatas, bahwa proyeksi permintaan 2020–2050 yang tertinggi adalah jalur Jakarta-Cirebon, dengan kepadatan tertinggi pada seksi Jakarta Bandung, namun perbedaannya kurang signifikan dengan rute JakartaGedebage yang hanya berbeda 20 ribu penumpang pada tahun 2020 dan 50 ribu penumpang pada tahun 2050. Adapun analisis sosial-lingkungan terkait pelaksanaan proyek ini dapat dilihat pada grafik dibawah berikut ini:

Grafik pengurangan Emisi CO2 akibat Substitusi Kendaraan Bermotor berbasis Jalan Raya dan Kereta Api Konvensional kepada Kereta Api Cepat Ramah Lingkungan, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Dengan disubstitusinya jenis pergerakan dari kereta api konvensional dan moda berbasis jalan raya kepada kereta cepat akan mengurangi emisi karbon perharinya. Dapat dilihat pada tabel diatas bahwa pengurangan emisi dengan scenario rute bandung lebih besar 10 kali lipat dibandingkan dengan pengurangan emisi karbon melalui scenario rute pantai utara. Isu lingkungan lainnya ialah mengenai penggunaan lahan hutan cadangan dan hutan produksi, serta daerah rawan longsor. Namun isu ini dapat diselesaikan apabila proyek ini telah dilengkapi oleh dokumen Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penggunaan teknologi yang mutakhir.

198


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Selain isu lingkungan juga terdapat isu sosial. Bahwa proyek ini akan menggusur masyarakat dalam rentang yang tidak sedikit. Terdapat 1200 hingga 3000 rumah tangga yang mesti digusur untuk melakukan pembangunan kereta api cepat ini. Kecuali jika pembangunan dilakukan di jalur kereta api eksisting ataupun jalan tol secara layang/elevated. Berikut detail akuisisi lahan dalam hektar dan rumah tangga yang harus digusur dalam tiga scenario jalur dalam dua rute berbeda:

Tabel Akuisisi Lahan dan Penggusuran Akibat Pembangunan Kereta Api Cepat, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Evaluasi Proyek Pembangunan Kereta Cepat Berdasarkan studi preliminer/pendahuluan terkait analisis kelayakan ekonomi (Economic Feasibility Analysis) maupun analisis kelayakan finansial (Financial Feasibility Analysis) ditemukan bahwa pengurangan waktu tempuh dan biaya operasional memiliki dampak pada perekonomian nasional, bisa dilihat pada skor EIRR atau Economic Internal Rates of Return yang positif untuk scenario rute bandung, khususnya Jakarta-Bandung-Gedebage.

Tabel Analisis Kelayakan Ekonomi dan Analisis Kelayakan FInansial, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Namun untuk Financial Internal Rates of Return (FIRR) ada pada taraf yang rendah dan kurang menguntungkan apabila tanpa dukungan pemerintah. 199


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Dengan bantuan partisipasi 50% pada investasi awal, baik dengan sistem BuildOperate-Transfer maupun sistem Konsesi, FIRR untuk jalur Jakarta-BandungGedebage sebesar 8.6%, adapun apabila proses perancangan dan pembangunan awal dilakukan oleh pemerintah dengan sistem Design-Build-Lease, maka FIRR mencapai 15.8%. Hal ini menandakan bahwa proyek menjadi layak baik secara financial maupun secara ekonomi apabila terdapat dukungan dan jaminan dari pemerintah.

Alternatif Skema Proyek Proposal Jepang: Build Operate Transfer (Atas), Konsesi (Tengah), Design Build Lease (Bawah), Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) 200


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Ilustrasi diatas menggambarkan bentuk bentuk skema proyek yang diusulkan Jepang pada proposalnya mengenai kereta cepat Jakarta-Bandung. Apabila menggunakan skema empat kaki barang dan jasa (four scheme of good and services), proyek ini termasuk kedalam pembangunan modernisasi, yang memang tidak bijak dibayar melalui pajak. Karena statusnya yang termasuk kedalam ―pembangunan modernisasi‖, menjadikan jasa transportasi kereta cepat ini termasuk kedalam Joint Toll Goods and Services, dimana pembiayaannya ditanggung oleh User Charge atau pengguna jasa. Sehingga memang pada dasarnya, pengusahaan kereta cepat ini mesti ditanggung oleh swasta, dan apabila negara ikut serta, tidak boleh ada dana yang bersumber dari taxpayers atau pembayar pajak, yang digunakan untuk membantu proyek ambisius ini. Sehingga baik Built Operate Transfer, Konsensi maupun Design Build Lease ketiganya merupakan Kemitraan Pemerintah Swasta, yang menegaskan bahwa proyek ini bukan proyek public murni, melainkan kerjasama antara pihak private dan pihak public. Temuan dan Kejanggalan terkait Proyek Ternyata dalam perjalanannya, terdapat banyak ketidakjelasan dan kesimpangsiuran dalam pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini. Keinginan pemerintah yang ―murni bisnis‖ ternyata bertentangan dengan realita yang ada. Berdasarkan hasil kajian, proyek ini hanya layak apabila terdapat dukungan dan investasi pemerintah dalam proyek tersebut, dalam peraturan presiden nomor 107 tahun 2015 ditegaskan bahwa sumber dana tidak ada yang dikucurkan dari APBN, pemerintah pun tidak akan memberikan jaminan; sedangkan peraturan presiden nomor 3 tahun 2016 berkata Kosebaliknya, dimana proyek kereta api antar kota termasuk kedalam salah satu proyek strategis nasional yang memiliki hak untuk dijamin oleh pemerintah, bahkan memiliki kekebalan untuk dikriminalisasi. Sedangkan resiko proyek kereta cepat ini memang tidaklah sedikit. Contohnya di Taiwan, kereta cepat yang memiliki segmentasi penumpang bisnis dengan biaya tiket yang relatif mahal menghambat penumpang regular (non-bisnis) untuk menggunakan fasilitas kereta cepat tersebut. Jumlah Ridership jatuh dan tidak sesuai dengan perkiraan, sehingga pendapatan yang didapatkan dari kegiatan operasional kereta cepat terbukti tidak mencukupi untuk membayar syarat hutang pelayanan jasa transportasi kereta cepat. Apalagi untuk kondisi Indonesia, dimana jumlah traffic bisnisnya terbatas, apakah masyarakat Indonesia memiliki kemampuan dan keinginan membayar (ability to pay and willingness to pay) dengan tariff minimal Jakarta-Bandung sebesar 220.000 rupiah untuk satu kali perjalanan? Dan dengan asumsi jam operasional kereta cepat dari 06.00 pagi hingga 21.00, dengan perkiraan waktu tempuh selama 35 menit 1 kali perjalanan, sehingga akan ada kurang lebih 13 201


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

rit perjalanan per harinya. Apabila kapasitas penumpang 960 satu rangkaian kereta yang terdiri dari 12 gerbong, dengan asumsi persentase Average Load Factor atau tingkat kepenuhan penumpang rata rata mencapai 80%, apakah dalam sehari ada sejumlah 19.749 orang yang bergerak diantara Bandung dan Jakarta menggunakan kereta cepat ini? Dan apakah menguntungkan apabila kereta cepat ini dibangun hanya untuk satu rangkaian kereta, tidakkah terlalu mahal dan kurang menghasilkan profit? Meskipun studi berkata JakartaGedebage proyeksi demand nya mencapai 39.000 penumpang pada tahun 2020, namun melihat preseden kereta cepat Taiwan yang ternyata prediksi ridership tidak sesuai kenyataan yang terjadi, apakah proyek ini akan mencapai keekonomian dan investasi pada waktu yang dikehendaki? Secara historis, jalur KA Bandung-Jakarta yakni KA Parahyangan ditutup pada tahun 2010, karena umumnya penumpang dengan daerah asal-tujuan BandungJakarta lebih menghendaki perjalanan point-to-point melalui jalur Tol Cipularang dengan beragamnya moda travel dan shuttle yang sudah tersedia, dengan waktu tempuh relatif cepat bila dibandingkan kereta konvensional dan harganya cukup terjangkau. Adapun dengan rencana kereta cepat yang menghubungkan Halim-Tegalluar, apakah faktor inter/antar-modalitas sudah diperhitungkan dalam perencanaannya? Gedebage baru direncanakan sebagai pusat sekunder kota Bandung, yang apabila belum memiliki perencanaan transportasi multimoda yang terintegrasi, maka penempatan stasiun di tempat yang cukup remote dari pusat distrik bisnis eksisting (PPK Alun-Alun) akan menjadi persoalan baru, dan praktis prediksi ridership akan meleset dari perkiraan. Terlebih lagi dengan adanya ketidakpastian hukum, konflik perpres antara Perpres No 107 tahun 2015 dan Perpres No 3 tahun 2016. Menggunakan asas lex posterior derogate legi priori maka aturan Perpres No 107 tahun 2015 memiliki kedudukan lebih lemah atau terkesampingkan dengan adanya Perpres No 3 tahun 2016 karena keduanya merupakan sejajar, sama sama berkedudukan sebagai Peraturan Presiden. Meskipun apabila menggunakan asas lex spesialis derogate legi generalis dimana Perpres No 107 tahun 2015 mengatur hal yang lebih rinci dibandingkan Perpres No 3 tahun 2016. Namun menggunakan asas lex superior derogat legi inferior maka aturan Perpres No 107 tahun 2015 memiliki kedudukan lebih lemah dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, dalam pasal 65 ayat 3 berisi: ―Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak menguntungkan, Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan‖ 202


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Maka Perpres 105 yang mengatur bahwa negara takkan memberikan jaminan dalam proyek ini, bertentangan dengan PP yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam hal ini, pemerintah melakukan sebuah inkonsistensi sikap dalam hal pemberian jaminan terhadap proyek yang pada mulanya dipandang sebagai proses murni business to business. Bahayanya, bukan tidak mungkin kedepannya, BUMN yang terlibat bisa digugat ke mahkamah internasional, hanya karena kecacatan hukum negeri sendiri. Kemudian soal seleksi proyek, dan informasi mengenai detail perencanaan proyek yang tidak transparan, hanya karena menjanjikan tidak membutuhkan dukungan dari pemerintah, China International Railway Co Ltd., dipilihlah proposal tersebut, meskipun harga yang ditawarkan China lebih tinggi dibandingkan Jepang, bahkan diduga terdapat penggelembungan dana investasi apabila dibandingkan dengan proyek pembangunan kereta cepat TeheranIsfahan, di Iran, termasuk ketidakjelasan mengenai kecepatan yang dijanjikan. Dalam diksi yang digunakan dalam aturan legal yaitu ―kereta cepat‖, tidak sesuai apabila kecepatannya menjadi menengah (medium speed rail) dengan kisaran 200–250 kilometer/jam. Belum lagi 11 dokumen yang gagal dilengkapi pada saat seremoni groundbreaking yang hanya terdapat surat izin membangun 5 kilometer pertama saja, sedangkan desain pengembangan, ilustrasi teknis, data lapangan dan spesifikasinya gagal dilengkapi. Kepada Ibu, Kami Bertanya… Terakhir peran Menteri BUMN yang terlalu mendominasi dalam proyek ini yang menimbulkan pertanyaan. Mengapa bukan Menteri Perhubungan? Mengapa Wijaya Karya yang menjadi pimpinan konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN? Mengapa bukan PT Kereta Api, sehingga dengan alasan modernisasi, alih teknologi perkeretaapian dapat diusahakan terjadi? Juga pernyataan jujur dari Menteri BUMN pada rapat paripurna luar biasa DPD di gedung DPD, Senayan, Jakarta: ―Dari China itu Engineer, karena Engineer kita belum punya kemampuan di situ‖ Apakah sebegitu mendesaknya pembangunan kereta cepat ini sehingga lebih baik kita mendatangkan insinyur dari luar untuk membangun infrastruktur negeri ini daripada menunggu waktu sejenak untuk menyiapkan, mematangkan, dan menggunakan sumber daya manusia, putra bangsa sendiri untuk mengembangkan dan mengelola teknologi yang mapan di negeri sendiri? Terimakasih banyak atas pertanyaannya bu, semoga dapat menjadi tamparan bagi pendidikan tinggi dan kementerian terkait yang malah fokus link-andmatch dengan kebutuhan industri, bukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, termasuk pembangunan modernisasi seperti ini. 203


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Melalui tulisan ini, Perkenankan kami untuk bertanya: Apakah Ibu Rini yang terhormat, adalah menteri negara BUMN, Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia, ataukah Badan Usaha Milik Negara Republik Rakyat Tiongkok? Mengapa semangat yang ibu gelorakan dalam pembangunan kereta cepat ini bertentangan dengan Nawacita dan Trisakti yang digaung-gaungkan oleh Presiden Jokowi? Dimanakah prinsip Berdikari yang melengkapi unsur Ekonomi? Dimanakah Kedaulatan yang melengkapi unsur Politik? Apakah memang kita, sebagai Indonesia harus rela hanya menjadi objek pembangunan global dan objek perebutan hegemoni serta korban dari kelihaian diplomasi ekonomi negara-negara besar seperti Cina dan Jepang? Apakah kita harus rela hanya menjadi pengguna teknologi modern, bukan turut sebagai pengembangnya? Atau pembangunan ini hanya untuk membuat ibu sebagai Menteri BUMN ‗terlihat‘ prestatif dan terhindar dari reshuffle yang telah berhembus dari akhir 2015 kemarin? Bila benar demikian, mungkin alangkah lebih baiknya apabila ibu fokus untuk mempersiapkan BUMN-BUMN agar siap dalam mengelola sektor strategis yang telah lama dikelola asing, dibandingkan menggarap proyekproyek ini, kecuali apabila ketika tiba saatnya nanti, BUMN kita mendapatkan kesempatan untuk mengelola sektor strategis yang telah dekat habis masa kontraknya, dan ibu lebih suka berkata: ―…kita belum punya kemampuan di situ…‖ Apabila demikian, kami sarankan, lebih baik ibu mundur saja. Sebagai sahabat dekat ibu Megawati Soekarnoputri, mudah-mudahan ibu ingat pernyataan Presiden pertama RI, Ir.Soekarno: ―Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.‖ Semoga pembangunan kereta api cepat ini bukanlah bentuk Kolonialisme modern dalam bentuk kontrol ekonomi maupun kontrol intelektual atas republik ini, seperti yang disebutkan diatas. Karena pada dasarnya, bukan Pembangunan Kereta Cepat yang kami tolak, karena ini memang bagian dari agenda modernisasi dan peta jalan pengembangan teknologi negeri ini. Justru seharusnya, bagaimana supaya pembangunan modernisasi dan pengembangan 204


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

teknologi dapat memperkuat kedaulatan bangsa kita di bidang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dus, pembangunan ―Instan‖-lah yang kami tolak. Pembangunan yang ditujukan bukan untuk tujuan Kesejahteraan ataupun Modernisasi melainkan hanya untuk sekedar Pencitraan. Untuk seremoni peletakan batu pertama pelaksanaan proyek dengan hanya mengantongi perizinan 5 kilometer dari total ratusan kilometer, kata apa yang paling tepat selain ―Instan‖? Selamat Tahun Infrastruktur 2016, Republik Indonesia! Semoga tidak hanya ‗badan‘-nya yang dibangun, Tapi juga ‗jiwa‘-nya; Jiwa rakyatnya, jiwa pemimpinnya. Mari Kawal Pembangunan, Tanpa Pencitraan! Luthfi Muhamad Iqbal Walikota HMP Pangripta Loka 2015 31 Januari 2016

Referensi

         

Undang Undang No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Bandung-Jakarta Peraturan Presiden No 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 43 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNas 2030) Suhirman, SH., MT., Dr. Kuliah Hukum Perencanaan. Planologi ITB Pradono, Prof., SE., M.Ec.Dev., Dr.Eng., Binsar P.H.N., Ir., MSP., Dr., Kuliah Ekonomika Infrastruktur Transportasi. Planologi ITB Patta, Johnny, Ir., MURP., PhD. Kuliah Pembiayaan Pembangunan. Planologi ITB Patta, Johnny, Ir., MURP., PhD. Kuliah Teknik Evaluasi Perencanaan. Planologi ITB Study on High Speed Railway Project (Jakarta-Bandung Section) Republic of Indonesia [Dalam Jaringan] tersedia di: 205


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

 

  

https://www.jetro.go.jp/ext_images/jetro/activities/contribution/od a/model_study/infra_system/pdf/h23_result03_en.pdf China Domestic Companies Build Indonesia High Speed Rail [Dalam Jaringan] tersedia di: http://news.yahoo.com/china-domesticcompanies-build-indonesia-high-speed-rail-074832090--finance.html Japan Rail Project Loss to China: Why it matters for Abe‘s Economic Diplomacy and for China, Forbes [Dalam Jaringan] tersedia di: http://www.forbes.com/sites/stephenharner/2015/10/01/japans-railproject-loss-to-china-why-it-matters-for-abes-economic-diplomacyand-for-chinas/#5f1478332ad2 China‘s High Speed Railway Project Indonesia Suspended, South China Morning Post [Dalam Jaringan] tersedia di: http://www.scmp.com/news/china/diplomacydefence/article/1906307/chinas-high-speed-railway-project-indonesiasuspended Studi Kelayakan Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung Tahap I [Dalam Jaringan] tersedia di: http://id.scribd.com/doc/262558484/Studi-Kelayakan-Proyek-KeretaAPI-Cepat-Jakarta-Bandung-Tahap-I Ilustrasi Kereta Cepat Indonesia, ―Indonesian Bullet Train‖ [Dalam Jaringan] tersedia di: https://cdn1.artstation.com/p/assets/images/images/000/828/337/la rge/vimardi-ramadhan-roberto-versi-3.jpg?1433978563 Kereta Cepat JKT BDG pakai insinyur China ini Alasannya [Dalam Jaringan] tersedia di: http://finance.detik.com/read/2016/01/29/113108/3130291/4/keret a-cepat-jkt-bdg-pakai-insinyur-dari-china-ini-alasannya Kereta Api Parahyangan Ditutup [Dalam Jaringan] tersedia di: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/04/100427_pa rahyanganstory.shtml Rini Soemarno tidak Tahu soal Jaminan Kereta Cepat [Dalam Jaringan] tersedia di: http://www.antaranews.com/berita/542695/rinisoemarno-tidak-tahu-soal-jaminan-kereta-cepat DPR Panggil Rini Soemarno Terkait Kereta Cepat [Dalam Jaringan] http://www.rmol.co/read/2016/01/28/233727/DPR-Akan-PanggilRini-Soemarno--Terkait-Kereta-Cepat-

206


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

SEBUAH EPISODE BARU, DRAMA POLITIK JOKOWI: PAPA MINTA AMPUN; REVOLUSI, MENTAL KEMANA? Luthfi Muhamad Iqbal Revolusi Mental, merupakan jargon yang diutarakan oleh Presiden Joko Widodo pada saat kampanye kurang lebih dua tahun lalu; yang secara harfiah didefinisikan sebagai gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama Pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang lebih baik. [1] Namun dalam pikiran selintas, frasa ―Revolusi Mental‖ sulit dipisahkan dari sebatas pandangan iklan satu halaman penuh, berwarna, yang rutin dimuat dalam harian Kompas selama kurang lebih satu semester kebelakang. Iklan ini disponsori oleh Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, dengan nominal uang yang tidak sedikit, yakni sebesar: 149 Milyar 207


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Rupiah [2], yang barangkali sepersekianpersen-nya turut masuk juga ke kampus kita, Institut Teknologi Bandung, dengan jubah ―Lomba Poster Revolusi Mental: Budaya Antre‖ pada Desember lalu, sebagai strategi penyerapan anggaran di akhir tahun. Ekspresi apa yang dapat menggantikan ungkapan ini: Mengerikan! Kegagalan strategi pada penggunaan APBN 2015 di bidang pemberdayaan manusia dan kebudayaan ini boleh jadi menjadi hulu dari semua soal yang hadir kedepan muka kita mahasiswa, yakni pemotongan anggaran riset dan pendidikan tinggi yang nominalnya mencapai Rp 3 Triliyun Rupiah[3]; Pengurangan ini diperparah dengan semakin banyaknya jumlah universitas yang berstatus PTN (Perguruan Tinggi Negeri) sehingga dana BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) harus dibagi secara merata, sehingga jumlah BOPTN yang diterima oleh PTN menjadi semakin sedikit [4]. Inilah rupanya kawan, yang menyebabkan beasiswa PPA dan BBM di kampus ITB dicabut. Inilah rupanya kawan, yang menyebabkan UKT (Uang Kuliah Tunggal) di berbagai kampus seperti UI, UGM, harus naik tahun ini. Inilah rupanya kawan, yang menyebabkan kampus kita, ITB harus mencari cara untuk mendapatkan uang demi menutupi biaya operasionalnya tanpa harus menaikkan UKT, yang katanya, salah satu caranya ialah menaikkan harga sewa kantin Bengkok menjadi 200 juta, sehingga para pedagang yang semulanya berdagang dan menyewa di kantin ITB, memilih untuk tidak memperpanjang kontraknya, dan kita mahasiswa harus kehilangan salah satu alternatif pilihan makan siang dengan harga yang relatif terjangkau di dalam kampus; atau setidaknya kita harus bersabar menunggu hingga semester mendatang, dengan menu yang entah apa dan harga yang entah berapa mahalnya. Cukup tergambar? Mungkin harus dituliskan demikian agar pembahasan mengenai Revisi UU KPK ini menyentuh kita mahasiswa, agar pembahasan mengenai rencana UU inisiatif pemerintah tentang Pengampunan Nasional ini jadi berhubungan dengan kita. Yang ternyata, penghapusan beasiswa PPA/BBM, kenaikan UKT, bahkan hingga ditutupnya kantin Bengkok, ada hubungannya dengan pemerintah yang kurang memiliki visi yang kuat dalam mengarahkan masa depan riset dan pendidikan tinggi, kurang memiliki visi yang kuat mengenai pemberdayaan manusia dan 208


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

kebudayaan, sehingga tak perlu heran pagu anggaran APBN untuk kemenkoan PMK ini turun drastis pada 2016 ini. Ya, ini soal omong kosong Revolusi Mental, yang ternyata hanyalah Revolusi Mentah. Sepotong puzzle peristiwa yang diduga saling berkaitan satu sama lain dari yang level makro hingga yang level mikro. Drama Politik Episode III: Papa Minta Ampun! Sudah muak rasanya, sebagai manusia Indonesia, disuguhkan dengan Sinepol (sinema politik) yang tiada henti. Dimulai dari akhir semester lalu dengan cerita Papa Minta Saham, yang menjerat tumbal segar ketua DPR, Setya Novanto dari jabatannya; Disusul dengan cerita Mama Minta Cepat, soal intrik Menteri Rini dalam Pembangunan Kereta Cepat Indonesia-China, pada awal tahun ini; Hingga episode terbaru ini Papa Minta Ampun. Plot ceritanya bisa ditebak seperti tontonan murahan. Polemik yang dipertentangkan antara rakyat dan wakilnya (DPR) mengenai isu Revisi UU KPK yang diduga sebagai upaya pelemahan KPK (dokumen terkait dapat dilihat di bit.ly/KAPAK); Hingga tiba-tiba sang tokoh utama, juru selamat, satria piningit, yang tidak lain tidak bukan, Presiden Joko Widodo, muncul, dan memutuskan bersama pimpinan DPR, untuk menunda pembahasan Revisi UU KPK ini sampai waktu yang tidak ditentukan. Heroik! Halo bapak Pahlawan, mengapa bapak tidak sejak awal memutuskan menunda pembahasan RUU KPK ini? Mengapa isu ini seperti secara sengaja ―digoreng‖ dulu supaya matang kecoklatan konflik antara masyarakat dengan para wakilnya? Supaya ―isu‖ lain terkesan tertutupi. Sehingga keputusan bapak yang Heroik ini seperti bentuk ejawantah dari kehendak ―rakyat‖ yang terlihat seperti dukungan terhadap aksi/upaya penyelamatan KPK? Manajemen Isu yang sangat baik dari bapak dan tim, kami salut pak! Apresiasi! Sayangnya, beberapa berita positif di harian, mengenai Pengampunan Nasional belakangan ini, malah membuat teman-teman di ITB dan saya curiga: Ada apa gerangan? Mengapa Pak Jokowi ini sangat kebelet seperti ingin buang air kecil, supaya RUU Pengampunan Pajak segera dibahas?[5] Apa isinya? Apa dampaknya?

209


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Yah, sepertinya sebuah babak baru sinepol segera dimulai: Papa Minta Ampun! Kini, papa minta supaya RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah ini segera dibahas oleh DPR. Ada apa dibalik ini semua? Apa dan Mengapa, Pengampunan Pajak? Ronald J. Fisher (2005) dalam tulisannya mengenai pengampunan pajak menyebutkan bahwa, Pengampunan Pajak ialah program yang menawarkan pengurangan sanksi finansial maupun legal pada para taxpayers atau pembayar pajak yang berkenan untuk membayarkan sejumlah kewajiban pajaknya pada masa lalu, secara sukarela. Program pengampunan pajak ini memang menjadi kebijakan yang umum dan lumrah diambil oleh pemerintah baik negara maju maupun negara berkembang, untuk meningkatkan jumlah pembayar pajak, karena sangat ampuh dalam menghimpun dana secara cepat dan dalam jumlah besar [6][7]. Biasanya, kebijakan pengampunan pajak ini diambil dalam rentang periode yang terbatas, kesempatan sekali, dan diikuti dengan periode penegakkan hukuman dan sanksi pelanggar wajib pajak secara tegas tidak lama setelah kebijakan pengampunan pajak ini dikeluarkan. Namun tak jarang kebijakan ini diambil dalam rentang waktu tertentu, berulang kali, sebagai tindakan penyelamatan dan peningkatan pendapatan jangka pendek (short term revenue gain) terutama dalam keadaan kesulitan fiskal yang serius. Meskipun Dubin et. al (1992) menyimpulkan bahwa tidak ada buktinya, negara yang memberlakukan program pengampunan pajak mengalami tekanan fiskal, justru banyak negara yang tidak mengalami tekanan fiskal memberlakukan program ini sehingga mendapatkan besaran yang lebih tinggi. [8] Umumnya, kebijakan pengampunan pajak ini biasanya dikeluarkan untuk dengan tiga tujuan:

 

Meningkatkan pendapatan jangka pendek



Mendapatkan informasi mengenai pembayar pajak yang selama ini menghindari kewajibannya untuk pemenuhan dimasa mendatang, juga informasi umum mengenai tindakan penghindaran pajak untuk mengantisipasi penegakan aturan wajib pajak kedepannya

Meningkatkan pendapatan jangka panjang, melalui perubahan perilaku pembayar pajak, yang biasanya menghindari kewajiban pajak (tax evaders) supaya memenuhi kewajiban pajaknya

210


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Menimbang Dampak Pengampunan Pajak? Meskipun demikian, Leonard dan Zeckhauser (1987) menyebutkan bahwa berbagai dampak luar biasa yang ditimbulkan oleh kebijakan pengampunan pajak ini, tetap saja melambangkan pelemahan upaya penegakan wajib pajak. Beberapa pengamat, menyebutkan tidak dapat menerima program ini, karena melangkahi legitimasi aturan mengenai hukum dan perpajakan secara umum. [9] Semestinya, masyarakat membayar pajak sebagai bagian dari kesadaran sebagai warga negara. Namun dengan adanya kebijakan pengampunan pajak ini, tersirat sebuah pesan bahwa kekuatan kesadaran membayar pajak itu tidak dibutuhkan, karena perilaku penghindaran pajak adalah hal yang biasa dan dapat dengan mudah diampuni, kebijakan ini dapat menyebabkan pengurangan kepatuhan untuk meningkatkan besaran pajak, dan sangat bergantung pada mekanisme penegakan patuh pajak yang tidak efisien. Selain itu, mungkin memang ada itikad untuk mengubah suatu kesetimbangan baru, sebuah lapisan masyarakat yang jujur, dan hukuman yang lebih berat bagi para penjahat pajak. Namun, tidak ada jaminan bahwa program ini akan berjalan dengan baik. Belum lagi, hanya ada dua dari empat skenario yang merupakan program kebijakan pajak yang mungkin diaplikasikan untuk menciptakan sebuah kondisi perpajakan yang lebih baik.

Four Possible Tax Policy Program (Leonard and Zeckhauser, 1987)

211


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Bisa dilihat hanya opsi A dan D yang akan sesuai dengan yang diharapkan. Di antara tetap tidak memberikan amnesti/pengampunan seperti opsi A, atau mengurangi sanksi dalam jangka pendek dan meningkatkan sanksi jangka panjang. Sedangkan meningkatkan sanksi tanpa batas waktu akan berdampak pada semakin banyaknya tax evaders. Adapun memberikan amnesti secara jangka panjang pun akan berdampak pada tidak tegaknya peraturan wajib pajak. Lantas, bagaimana Rencana Undang Undang Pengampunan Nasional yang diusulkan Pemerintah? Tinjauan Kritis RUU Pengampunan (Pajak) Nasional Latar belakang yang dicantumkan dalam Draft RUU Pengampunan Nasional ini dikeluarkan sebagai bentuk kebijakan yang diberikan pemerintah dalam mendorong rekonsiliasi nasional dan meningkatkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Meskipun secara teoretis diatas, menurut Leonard dan Zeckhauser (1987) justru pengampunan pajak ini akan menanggalkan rasa sadar membayar pajak, dan mengkhianati para warga negara yang selama ini telah patuh pajak. Logika yang dibawa pemerintah dengan mengajukan RUU Pengampunan Nasional ini ialah untuk mengembalikan harta kekayaan negara yang dibawa lari keluar negeri sebagai hasil money laundering atau kegiatan pencucian uang oleh para pelaku kejahatan dan kegiatan ekonomi bawah tanah di dalam negeri, supaya ―para penjahat‖ tersebut secara sukarela membayarkan wajib pajaknya, tanpa terkena sanksi finansial maupun sanksi legal. Kejahatan yang disebut-pun sangat luar biasa beragam jenisnya. Meliputi: tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana pembalakan liar, tindak pidana perikanan dan kelautan, tindak pidana di bidang pertambangan, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana kepabeanan dan cukai, tindak pidana perjudian, dan tindak pidana penanaman modal. Dengan disahkannya UU ini, cukup membayarkan sejumlah nominal pajak yang diwajibkan, segala kesalahan yang telah merugikan bangsa dan negara ini akan dimaafkan oleh hak amnesti Presiden yang dijamin oleh Pasal 14 UUD 1945 hanya untuk sejumlah ―receh‖ dari para mafia dan penjahat besar untuk membayar pembangunan infrastruktur dan hutang-hutang baru, yang belum tentu juga akan terbayar semuanya. 212


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

Belum lagi, sebanyak 11 Bab dan 21 Pasal yang tertera dalam Draft Rencana Undang Undang Pengampunan Nasional, tidak mencantumkan kerangka waktu batas waktu berlakunya Undang Undang Pengampunan Nasional ini, hanya dijelaskan berlaku mulai 30 hari setelah disahkan. [10] Sehingga dipastikan dalam skema Box 4 diatas, kita dengan RUU Pengampunan Nasional ini berada dalam skenario C. Dari segi moral dan agama, dengan sistem perpajakan yang bersifat melting pot, dimana seluruh dana dicampur-aduk-kan dari berbagai sumber [11], kebijakan tax amnesty ini akan berpotensi untuk mencampur-baurkan sumber dana yang berasal dari hasil kejahatan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana pembalakan liar, tindak pidana perikanan dan kelautan, tindak pidana di bidang pertambangan, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana kepabeanan dan cukai, tindak pidana perjudian, dan tindak pidana penanaman modal (yang termasuk kedalam demerit/sins goods and services) untuk pembangunan dimana dana tersebut akan bermuara di belanja sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain yang tentunya jadi tidak berkah bahkan haram dalam perspektif agama (islam). Dus, Kebijakan ini hanya akan menjadi wahana rekonsiliasi nasional para mafia, dan menjadi bentuk kemunduran rezim perpajakan nasional. Terlebih lagi menyongsong implementasi Automatic Exchange of Information pada tahun 2018, sebagai komitmen bersama sebagai negara G20 dan kelompok negara OECD; maka semakin jelas, terdapat indikasi bahwa kebijakan ini adalah selimut baru bagi para penjahat supaya kesalahan di masa lalu diampuni baik secara financial maupun legal sebelum pada akhirnya, informasi rahasia bank untuk kepentingan perpajakan akan dibuka dan para mafia tersebut akan terancam hukuman pidana maupun financial (denda) yang sangat besar apabila tetap dalam Skenario A. [12] Istirahat dalam Damai, Revolusi Mental ―Heh, negara ini enggak diatur oleh preman. Sudah berkali-kali saya bilang. Ingat itu!‖ - Luhut Binsar Panjaitan [12] Abang Luhut yang saya hormati, cobalah teriakkan hal tersebut juga bukan hanya pada warga yang ada di lokalisasi Kalijodo saja. Tolong teriakkan hal itu pada bapak Presiden Jokowi, pada ibu Puan Maharani, dan bapak Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Tegaskan bahwa negara ini enggak diatur 213


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

preman. Maka RUU Pengampunan Pajak pesanan preman-preman besar ini juga jangan sampai mengacaukan peri kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita jalani. Jangan sampai bapak ini double standard, hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jangan sampai pengesahan RUU tersebut melukai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Katanya revolusi mental adalah perubahan dalam cara kita berpikir dalam bertindak dan bekerja menghadapi keadaan tertentu. Dan jujur saja, saya sebagai masyarakat, sebagai mahasiswa bingung menghadapi bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian kalau seperti ini, yang mengkhianati semangat integritas dan gotong royong dalam membangun sistem perpajakan yang baik dan berkeadilan. Bapak Jokowi bilang bahwa banyak permasalahan yang terjadi di negara kita saat ini, mulai dari rakusnya pejabat yang memperkaya diri sendiri, pelanggaran HAM, hingga perilaku sehari-hari masyarakat seperti tidak mau antre dan kurang peduli terhadap hak orang lain. Apabila Bapak, sebagai Presiden RI mengampuni para penjahat fiskal tersebut, bukankah justru bapak sendiri yang mengampuni perilaku rakusnya pejabat dan juga penjahat yang memperkaya diri sendiri? dan Bapak juga yang kurang peduli terhadap hak orang lain yang selama ini sudah patuh menjalankan kewajibannya membayar pajak? Istirahat dalam damai Revolusi Mental! Ternyata engkau memang tidak pernah hadir di Indonesia, Selain pada selembar harian, seharga 149 milyar rupiah. Luthfi Muhamad Iqbal Anggota Biasa Keluarga Mahasiswa ITB 2016 Referensi

 

[1] Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://revolusimental.go.id/

[3]  — — — . 2016. Budget in Brief: APBN 2016. Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan RI. Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://www.kemenkeu.go.id/Publikasi/informasi-apbn-2016 214

[2] Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/10/151344726/Ini. Penjelasan.Menteri.Puan.atas.Tambahan.Rp.149.Miliar.untuk.Revolusi. Mental.


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

[4]  — — — .2016. Catatan Seminar ITB Road to 2025: Regulasi dan Arah Gerak Pendidikan Tinggi di Indonesia. Tim Majelis Wali Amanat Wakil Mahasiswa ITB (MWA-WM ITB). Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://ganecapos.com/2016/02/itb-goes-to-2025-bicarakan-arahgerak-perguruan-tinggi/

[5] Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/02/24/o31og5 383-jokowi-minta-ruu-pengampunan-pajak-segera-dibahas

[6] Cordes, Joseph J., Robert D. Ebel, Jane Gravelle. 2005. The Encyclopedia of Taxation & Tax Policy. The Urban Institute

 

[7] Ronald J. Fisher. 2005. Tax Amnesty. Michigan State University

[9] Leonard, Herman B., Richard J. Zeckhauser. 1987. Amnesty, Enforcement, and Tax Policy. Tax Policy and the Economy, Volume 1. p. 55–86. MIT Press. Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://www.nber.org/chapters/c10929

[10] ] — — — .2015. Rancangan Undang Undang Pengampunan Nasional. Pemerintah Republik Indonesia. Tersedia [Dalam Jaringan] di: www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.../093312.PDF

[11] Patta, Johnny. 2014. Materi Perkuliahan Pembiayaan Pembangunan. Teknik Planologi ITB

[12] Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/17/221900426/Men keu.Tax.Amnesty.Harus.Dilakukan.Sebelum.2017

[13] Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://nasional.kompas.com/read/2016/02/16/14144601/Luhut.Heh. Negara.Ini.Enggak.Diatur.Preman.Ingat.Itu.?utm_source=WP&utm_med ium=box&utm_campaign=Kpopwp

[8] Dubin, Jeffrey A., Michael J. Graetz, Louis L. Wilde. 1992. State Income Amnesties: Cause. The Quarterly Journal of Economics. California Institute of Technology, Yale Law School.

215


154 MDPL: Merangkai Diskusi Pangripta Loka

216


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.