Majalah VISI edisi 33

Page 6

DETAK

Kota Simulakra Herdanang Ahmad Fauzan

Redaktur Pelaksana Foto & Desain Terbitan

D

alam salah satu esai karyanya, Zen Rachmat Sugito, salah satu penulis yang saya kagumi setiap tulisannya pernah menginterpretasikan istilah simulakra sebagai suatu kondisi di mana sebuah representasi atau simbol akan sesuatu justru pada kenyataannya telah berhasil menggantikan kedudukan dari ‘sesuatu’ itu sendiri. Contoh paling lazim dari simulakra ini bisa kita temui dengan mudah ketika mengaitkan pornografi dan seks. Pornografi, sebagai representasi dari seks justru telah berhasil melampaui seks itu sendiri. Seseorang kini bahkan rela menunggu dan mengunduh konten berbau pornografi selama berjam-jam lamanya di bilik warung internet (warnet) yang pengap dan penuh nyamuk. Sampai-sampai orang tersebut lupa bahwa selama berjam-jam itu sebenarnya ia bisa saja melakukan aktivitas seksual, yang entah itu seks yang sebenarnya atau—bila sedang apes, ya—masturbasi. Interpretasi Zen terhadap simulakra ini menurut saya juga bisa digunakan untuk menggambarkan pembangunan yang terjadi di Kota Solo. Sebagaimana sebagian besar daerah kenamaan lainnya, kota yang juga terkenal akan batik Laweyan-nya ini belakangan memang sedang sibuk-sibuknya menggencarkan pembangunan. Pembangunan ini, dilakukan sebagai usaha Kota Solo untuk mewujudkan diri sebagai salah satu Kota MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition). 6

VISI • EDISI 33 • 2016

Namun, pada praktiknya Kota Solo justru ‘ketagihan’ mengindustrikan diri sembari menutup mata terhadap tujuan utamanya tersebut. Dalam hal pembangunan hotel misalnya. Jumlah pembangunan kamar hotel di Kota Solo terus menerus mengalami peningkatan. Anehnya, tingginya peningkatan jumlah pembangunan kamar-kamar hotel tersebut tidak diimbangi dengan tingkat pembangunan convention center dan ruang pertemuan yang tinggi pula. Padahal untuk memenuhi syarat agar layak disebut sebagai kota MICE, suatu daerah harus dapat meningkatkan empat unsur pariwisata yang ada—meeting, incentives, conference, exhibition—secara seimbang. Jumlah kamar hotel di Solo sendiri sebenarnya terbilang sudah berada di atas rata-rata, yakni di atas 7.000 kamar/malam. Jumlah tersebut terbilang lebih dari cukup untuk memenuhi salah satu aspek persyaratan sebagai Kota MICE. Artinya, seandainya memang benar-benar memfokuskan diri untuk mewujudkan Kota MICE, seharusnya pembangunan di Kota Solo lebih difokuskan untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas di sektor lain. Makin miris karena kondisi di atas juga diikuti oleh fakta bahwa makin lama pembangunan hotel dan gedung-gedung megah di Kota Solo juga dibarengi dengan semakin banyaknya wahana-wahana pengimbang yang dilenyapkan. Terakhir, tentu sudah bukan ra-


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.