5 minute read

Tekno-sufisme: Perspektif Sufisme Kontemporer dalam Wacana Dehumanisasi dan Demoralisasi dalam Pemanfaatan Teknologi

Oleh: M. Khoirul Imamil M.

Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) sebagai salah satu aktor utama di balik pesatnya akselerasi industri global telah mengalami perkembangan yang amat signifikan. Sekilas berkaca ke belakang, semenjak penemuan internet pada tahun 1960-an yang berangkat dari ketegangan perang dingin (Cold War) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dunia seakan tak lagi bersekat oleh ruang maupun waktu. Internet menjadi barang istimewa yang dapat meningkatkan kecepatan transfer informasi, melancarkan arus komunikasi, serta mempermudah akses pengetahuan. Melalui inovasi-inovasi serta kreasi- kreasi para teknokrat dan cerdik pandai, manusia dapat menikmati kemudahan dalam berbagai bidang dan segi kehidupan, baik sosial, budaya, politik, pendidikan, bahkan yang berkaitan dengan sistem pertahanan dan keamanan negara.

Advertisement

Akibatnya, teknologi menjadi salah satu indikator primadona dalam mengukur kesuksesan/kemajuan suatu negara. Merujuk pernyataan Muhamad Ngafifi, realita ini mendorong terbentuknya suatu perspektif internasional bahwa negara maju diindikasikan dengan tingkat adaptasi dan penguasaan teknologi tinggi (high technology). Sementara itu, negara yang tidak bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi dilabeli sebagai negara gagal (failed country). Negara-negara di dunia yang pada hakikatnya merepresentasikan suatu kultur masyarakat lantas harus berpacu mengejar tren maraton global terkait teknologi yang seakan tak berujung. Teknologi mendapat posisi keramat demi menopang misi surplus pangan, akselerasi vaksinasi penanganan pandemi, digitalisasi persenjataan, serta bangkitnya ekonomi global yang tentu kini diburu semua negara. Namun, sungguhkah prestasi-prestasi tersebut berhasil membawa kita berada di titik ekuilibrium kebahagiaan? Sudahkah apa yang berhasil diraih generasi abad ke-21 ini benar-benar menjadi oase penyejuk atas dahaga humanisme yang selama ini kering kerontang?

Nahasnya, tidak adalah jawaban yang dirasa ideal untuk menggambarkan masyarakat saat ini. Geliat internalisasi teknologi tak sedikit yang kemudian justru menyorok manusia kepada dekadensi dan krisis identitas akibat ambisi prestisius. Tanpa disadari, pilihan-pilhan itu justru mendiskreditkan kepentingan humanisme substansial. Sebagaimana keterangan McLuhan dan Innis, hal ini didasari oleh adanya perubahan budaya secara signifikan. Harus disadari bahwa meski kini manusia mengalami fase gilang-gemilang dengan senjata teknologi, tak berarti bahwa manusia benar-benar menikmati kesejahteraan yang hakiki. Yuval Noah Harari lewat karya fenomenalnya Homo Deus memaparkan dengan gamblang betapa krisis humanisme menjadi salah satu masalah laten krusial yang kini mendera masyarakat. Masyarakat justru terperosok dalam hasrat eksesif untuk mencapai derajat keilahian yang justru menjadikannya bergelut dengan ketidaktenangan jiwa (an-nafs al- lawwamah).

Kita kini justru terperangkap dalam tempurung hedonisme, kompetisi sporadis, insting eksploitatif, serta keserakahan konsumtif akibat agitasi dan hasrat akan superioritas, dominasi, serta keabadian (immortality). Teknologi tak lagi diperankan sekadar sebagai problem solver melainkan juga sebagai zat aditif berbahaya ambisi ketakterbatasan (limitless). Sebagai contoh, teknologi drone yang demi dulunya dimanfaatkan sebagai sarana satelit pemantau kini lekas diproyeksikan sebagai tentara microchips yang dapat menghabisi seribu perwira dengan sekali klik jari. Demikian halnya dengan teknologi rekayasa genetika bayi yang mulanya dirancang untuk membantu golongan-golongan tertentu untuk memperoleh keturunan kini mulai dialihfungsikan untuk menyiapkan manusia super. Ini tentu tak jauh berbeda dengan misi “agung” Hitler saat Perang Dunia II silam dalam ambisi menghasilkan ras Jerman yang superior.

Di tengah sengitnya kemelut tantangan dehumanisasi dan demoralisasi ini, tekno- sufisme mencoba hadir untuk menawarkan suatu perspektif sufistik kontemporer serta sebuah pilihan sikap dalam menghadapi disrupsi AI ini. Tekno-sufisme secara etimologis tersusun atas dua akar kata yaitu teknologi dan sufisme. Teknologi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis atau ilmu pengetahuan terapan. Sementara itu, sufisme atau tasawuf sendiri memiliki definisi yang amat kompleks. Tasawuf atau sufisme bukanlah sebuah sekte atau aliran, melainkan suatu jalan mensucikan diri menuju tuhan (Meutia Farida, 2011). Penggunaan istilah tekno-sufisme difungsikan sebagai salah satu bentuk representasi atas keluwesan dan fleksibilitas sufisme dalam menghadapi beragam permasalahan lintas sektor serta zaman.

Lebih dari sekadar amalgamasi istilah, tekno-sufisme mengandung pemaknaan berupa kesadaran akan penyertaan naluri insaniyyah sekaligus intuisi ruhaniyyah dengan maudlu` (sasaran) bagi kalangan masyarakat modern. Naluri insaniyyah memiliki esensi kritis sebagai sebuah geliat eksistensif manusia selaku khalifah fil ardli dalam merealisasikan kontribusi konkretnya dengan mengemban suatu tanggung jawab untuk membangun peradaban dunia yang lebih baik. Kesadaran ini mendorong umat manusia untuk senantiasa berjalan dinamis dan progresif sebagai wujud respon terhadap kompleksitas serta fleksibilitas zaman. Kemudian, intuisi ruhaniyyah bermakna suatu hasrat psikologis yang muncul dari dalam diri manusia yang selalu haus akan sentuhan-sentuhan religius, spiritualitas, atau teologis yang mewakili substansi internal manusia sebagai makhluk humanis serta afektif (penuh cinta).

Melalui perspektif tekno-sufisme, konsep dan branding tasawuf atau sufisme didorong untuk tak hanya bergumul dengan jubah teosofi yang rigid, kuno, dan transendental. Tekno-sufisme sebagai sebuah jawaban reflektif perlu untuk tampil secara lebih terbuka dan bersahabat sehingga dapat diterima masyarakat modern yang dihinggapi positivisme, optimisme, serta ambisi rasionalitas. Argumentasi ini sesuai dengan apa yang pernah disampaikan Emile Dergmenghem bahwa pada dasarnya ajaran-ajaran Islam amatlah terbuka sehingga dapat dikembangkan menurut para penganutnya. Tasawuf yang asal muasalnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat religius konservatif perlu untuk ditransformasikan secara global melalui internalisasi dalam paham-paham lain, baik agama maupun non-agama. Meski terdapat beragam diversitas perspektif pada beberapa subtil tertentu, substansi inti agama-agama tersebut memiliki corak keidentikkan dalam mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan teologis.

Di tengah tantangan disrupsi teknologi yang menyisakan manusia ke dalam relung- relung yang jauh dari nilai-nilai moralitas ruhaniyyah dan humanisme insaniyyah, tekno- sufisme hadir sebagai suatu bentuk penyegaran paradigma yang layak untuk dikontemplasikan bersama. Sebagaimana tujuan visioner dari gagasan sufisme sebagai pengentasan atas krisis spiritual, tekno-sufisme mencoba untuk menyelami sisi spesifik yang kini tengah mendominasi aktivitas kehidupan manusia. Melalui pendekatan ini, manusia diharapkan lekas menyadari akan eksistensi serta tanggung jawabnya sebagai delegasi tuhan di muka bumi. Karenanya, sikap seimbang dan arif dalam memanfaatkan beragam fasilitas (terutama teknologi) yang kini berkembang pesat harus dijadikan suatu konsensus bersama. Dengan begitu, akan tercipta suatu harmoni antara unsur-unsur spiritualitas, sains, IPTEK, serta kemanusiaan.