Majalah edisi 48

Page 1



edisi 48 | majalah dimensi

3


\NAMA KONTEN\ Pelindung Dr. Totok Prasetyo, B.Eng, M.T. Penasihat Garup Lambang Goro, S.T., M.T. Pembina Drs. Khairul Saleh, M.S.I.

Pemimpin Redaksi Bela Jannahti Sekretaris Redaksi Ratih Widyaningrum Redaktur Pelaksana Ika Safitriana, Reza Annas Ma’ruf Redaktur Bahasa Vitri Dwi A., Yuniar Cahyani Editor Inadinna Fadhliyah, Rifka Shofia A. Reporter Arum Ambarwati, Dwiki Ilham R., Dyah Palupi, Eka Widyaningrum, Erika Dwi A., Irma Novita, Ninda Prastika, Nofia Andreana, Nur Ainingsih, Putri Kristianingrum, Septina Budi, Tiara Dian M. Redaktur Foto Ido Ridwan Fidyanto Fotografer Dwiki Lutvi , M. Iftor Hilal, M. Yanuar Nur Adi, Nurul Rizqia S., Riska Putri S. Redaktur Artistik Galih Alfandi Layouter Annisa Ayu Lestari, Annissa Permanasari, Hilda Heramita, Imam Agus Yunata, M. Nur Chafidin, Sofiyan Arif K. Cyber Adita Pratiwi, Ahmad Gozali Ilustrator Eka Kurnia Saputra Pemimpin Litbang Muhammad Rukiyat Kepala Divisi PSDM Vinda Ayu Januarisqika Staf PSDM Anak Agung Maya S., Bagus Barawonda Siti Nurfaidah Kepala Divisi Humas Hardani Winata Staf Humas Fieryanti Kamaril Kusumawardhani, Intan Pranita Kepala Divisi Riset Dyah Arini Staf Riset Badra Nuraga, Ika Putri Raswati, Upik Kusuma Pemimpin Perusahaan Irfan Bagus Prasetyo Sekretaris Perusahaan Miftahul Jannah P. P. Bendahara Perusahaan Maulida Arta S. Kepala Divisi Periklanan Haidar Erdi A. Kepala Divisi Usaha Non Produk Dhanie Setiarini Staf Periklanan dan Usaha Non Produk Aliza Rahmawati, Ash Sulcha, Ira Sari Natasya, Miqdar Nafisi, Shella Widayanti, Tiwik Nur H. Kepala Divisi Desain Iklan Siswoyo Staf Desain Iklan Eko Prabowo Mukti, Meida Noor Santi Kepala Divisi Produksi dan Distribusi Gassela Dita P. Staf Produksi dan Distribusi Agus Wijayanto, Anwar Hamid

4

majalah dimensi | edisi 48

Cover

Pemimpin Umum Dian Adi Pratama Sekretaris Umum Syaiful Anam Bendahara Umum Ade Ulfa Arsiyana

Model :

Siti Enti Mahallia Foto :

Ido Ridwan Fidyanto Retouch & Digital Painting :

Galih Alfandi

Salurkan Idemu ! Redaksi menerima tulisan, karikatur, ilustrasi, atau foto. Hasil karya merupakan karya asli, bukan terjemahan/saduran atau hasil kopi. Redaksi berhak memilah karya yang masuk dan menyunting tulisan yang akan dimuat tanpa mengubah esensi. Karya dapat langsung dikirim melalui surat elektronik di lpmdimensi_redaksi@ymail.com atau dikirim ke alamat kantor redaksi di: Gedung PKM Lama Kavling II (Belakang Bank Jateng) Kampus Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. Soedharto Tembalang Selamat berkarya!


Dari Dapur Pers mahasiswa belum mati. Ia tumbuh, dari hari ke hari, meski dengan tertatih dan kembang kempis. Selama masih ada pemuda-pemudi idealis yang berbaris dengan pena masing-masing, pers kampus akan tetap hidup, menghidupi kampus pada khususnya. 48 edisi telah diterbitkan oleh Dimensi. Selama itu pula Dimensi mengembangkan pena bersayapnya, masih dengan tujuan dan fungsi yang sama, meski lakon dan cerita silih berganti. 48 bukan angka yang kecil, namun kami juga belum bisa dikatakan matang. Kekurangan-kekurangan senantiasa ada, namun dari situlah kami banyak belajar. Perbaikan, pembaharuan, dan inovasi selalu kami upayakan. Tak terlepas dari dukungan para pembaca, tentunya. Di edisi ke 48 ini kami mengangkat laporan utama mengenai komersialisasi perempuan, melihat banyaknya pemanfaatan perempuan dalam berbagai bentuk komunikasi visual yang mengarah ke bentuk komersialisasi. Entah disadari atau tidak, perempuan seolah diobyekkan. Namun apakah masalah tersebut bisa digolongkan sebagai dampak negatif dari bakat dan kelebihan perempuan, atau memang itu sebagai aktualisasi dari emansipasi yang telah sejak lama diperjuangkan? Pada laporan khusus, kami mengambil topik yang telah lama diperbincangkan, namun pada kenyataannya permasalahan tersebut belum terpecahkan. Sampah, yang kita hasilkan sehari-hari, semakin menumpuk dan memaksa kita mengubah perilaku lama. Kita tak bisa bertahan dengan kebiasaan lama kita yang cenderung membuang tanpa mengolah dan menggunakan kembali. Selain laporan utama dan laporan khusus, kami juga menyajikan berbagai cerita dari berbagai tempat. Mulai dari kota kita, Semarang, hingga tanah tertinggi di Pulau Jawa, di ujung timur sana. Semoga apa yang kami sajikan kepada para pembaca kali ini dapat menjadi media penyambung aspirasi dan wadah idealisme mahasiswa sebagai agent of change. Sampai jumpa di 49. Hidup Pers Mahasiswa! - REDAKSI -

edisi 48 | majalah dimensi

5


\ CONTENTS \

10. PEREMPUAN: TREN MEDIA PROMOSI MASA KINI 13. PEREMPUAN SEBAGAI “PASAR BASAH” DAN MENYEMPITNYA MAKNA “CANTIK” 18. OPINI: INNER BEAUTY PEREMPUAN

09. LAPORAN UTAMA 23. LAPORAN KHUSUS

67. INCOGNITO 36. SPEAK UP: AKREDITASI DI MATA ALUMNI POLINES

43. SEMARANGAN

Habis Terang

26. DAUR HIDUP SAMPAH RUMAH TANGGA

68. RESENSI BUKU: PEREMPUAN BICARA KRETEK

46. KOMUNITAS: HABIS TERANG ila kita biasa mendengar jargon terkenal dari RA Kartini, “Habis gelap terbitlah terang”, lain halnya dengan kawan-kaTERBITLAH GELAP wan kita di Komunitas Sahabat Mata. Mereka yang awalnya

B

10. POLLING: mampu melihat dengan normal seperti kita, tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa mata mereka tak mampu lagi SEBERAPA PEDULIKAH PENDIDIKAN: menangkap cahaya. Kegelapan44. pun menyertai mereka setiap waktu. KITA TERHADAP SAMPAH? CERITA JABUNGAN Komunitas yang beranggotakan penderita tunanetra ini berdiri pada 1 Mei 2008. Melalui Sahabat Mata, mereka ingin tetap percaya diri dan bisa berbagi. “Dari tunanetra, oleh tunanetra, untuk semuanya,” ujar Basuki selaku pendiri Yayasan.

30. SOSOK: 48. KULINER: RINI SUSWANTI JAMU JUN Basuki juga seorang tunanetra. Pada usia ke-30 ia nyaris depresi kaDAN BANK SAMPAHNYA rena kehilangan kemampuan melihatnya. Bahkan mantan sales buku ini sempat syok dan terlalu enggan untuk bertemu dengan sahabat dan koleganya sendiri.

Bagaimana 55. TRAVELOGUE Namun masa tersebut tidak berlangsung lama. Berkat dukungan istri anaknya, ia mampu bangkit dari keterpurukan. Dari kegemarannmereka dan 35. KAMPUSIANA ya mendengarkan radio, ia mulai berani kembali berinteraksi dengan lain. Hingga akhirnya pada tahun 2007 ia bergabung dengan bertahan orang sebuah komunitas yang kemudian terbentuklah Yayasan Sahabat Mata. Ia ingin para rekan-rekan tunanetra tidak hanya berdiam diri. ingin mereka tetap percaya diri, berkarya, dan bermanfaat dalam Basuki untuk banyak orang. kegelapan Pada awalnya pusat kegiatan mereka berlokasi di Kampung Wot Jalan MT Haryono 23 Semarang. Seiring berjalannya waktu yang tak Perahu, dan banyaknya kegiatan, akhirnya mereka mendirikan pusat kegiatan Jatisari Asabri D6/35 Mijen, Ngaliyan, Semarang. Pusat kegiatan kunjung diitulah yang kita kenal dengan Rumah Sahabat. rumah yang juga dilengkapi dengan hot spot area tersebut, mereka 56.takTRADISI: usai ? Dimelakukan banyak hal. Keterbatasan menghalangi mereka untuk RUWAT RAMBUT GIMBAL, TRADISI ASLI INDONESIA

40.

Terbitlah Gelap 70. RESENSI FILM: HAROLD AND MAUDE membaca Al Qur’an braile. Untuk

berkarya. Justru mereka beranggapan, Tuhan telah menganugerahkan sesuatu yang lain ketika Dia menghendaki mereka tak mampu melihat lagi. “Bersama kekurangan ada kelebihan,” ujar Basuki.

menunjang kegiatan tersebut, mereka telah memiliki komputer berbicara, buku digital, dan Al Qur’an braile. Saat ini mereka juga belajar fotografi bersama Unit Kegiatan Mahasiswa bidang fotografi Univeritas Diponegoro. Program fotografi untuk tunanetra tersebut bahkan pernah menampilkan hasil karyanya di sebuah pameran foto. Hal ini membuktikan bahwa mereka pun dapat melakukan suatu hal yang selama ini hanya dilakukan oleh orang yang awas.

71. SASTRA: RUNTUH TAK LAGI TEDUH

Salah satu kegiatan yang mereka lakukan ialah melalui sebuah radio, yaitu Radio SAMA FM. Resmi didirikan pada 17 Oktober 2010, SAMA FM bertujuan sebagai sarana bagi rekan-rekan sahabat untuk belajar berinteraksi dan berkomunikasi. Selain acara musik, SAMA FM juga memiliki program sharing bersama sekolah-sekolah, diskusi interaktif, dan konsultasi kesehatan. Bahkan mereka juga mempunyai program khusus bagi masyarakat sekitar yang ingin menyiarkan secara langsung acara atau hajatan yang sedang mereka gelar. Radio ini juga mempunyai seorang penyiar dan music director sendiri bernama Shofyan Alaidrus, yang juga seorang tunanetra.

72. KELAKAR: BUKU: SANG PINTU WAKTU

Selain kegiatan-kegiatan rutin 62. CATATAN tersebut, Sahabat Mata juga aktif dalam pelayanan untuk alat PERJALAN bantu tunanetra seperti tongkat, alat tulis, dan lain-lain. SEMERU

Selain mengelola radio, mereka juga belajar mengoperasikan

komputer, membaca huruf 58. SKETSA: braile, latihan memijat, dan PENJAGA TRADISI NEGERI KAHYANGAN

“Salah satu misi Sahabat Mata adalah menggalang gerakan nyata mengurangi resiko kebutaan, maka kemarin Sahabat Mata mengadakan pemeriksaan mata bagi adik-adik pelajar SD hingga SMA. Kemudian yang memang membutuhkan kaca mata dan perlu dibantu, mereka kami beri kacamata gratis,” jelas Basuki. “Untuk tahap pertama program

O A I

ini kami adakan bul ber yang lalu, dan k sebanyak seribu kac tambahnya.

Mengenai keanggot habat Mata tidak me persyaratan khusus mempersilakan bag yang ingin belajar d Mata. Menurutnya, lah sahabat yang te bersama Sahabat M mencapai empat rat Mereka berasal dari penjuru tanah air. U pun beragam, dari b dewasa. Sarana pem nya bermacam-mac yang datang langsu sahabat, via telepon pihak sahabat mata mengunjungi para r tra yang ingin belaja

Dengan hal-hal ters berharap Sahabat M menginsipirasi dan rekan tunanetra lain mereka juga tetap b bermanfaat bagi ma


/SURAT PEMBACA/

Perlukah Kloset di Mushola Tata Niaga? K3 Hanyalah Teori BEBERAPA waktu yang lalu diadakan renovasi pada musala Tata Niaga. Diantaranya pengecatan ulang musala dan pemberian pagar di pintu masuk musala. Hal-hal yang sudah dilakukan tersebut sebenarnya sudah cukup baik mengingat musala Tata Niaga memang sudah cukup lama kurang mendapat ”sentuhan” oleh pihak yang berwenang. Namun renovasi yang dilakukan agaknya terdapat sesuatu hal yang “janggal” yaitu pembuatan kloset di dalam tempat wudu musala. Saya pribadi sebagai pengguna musala Tata Niaga kurang setuju dengan adanya kloset di tempat wudu musala. Mengingat kondisi tempat wudu musala yang memang sudah sempit, dengan adanya kloset di dalam tempat wudu menyebabkan ruang gerak bagi kami semakin sempit dan semakin tidak nyaman jika ingin wudu. Padahal dapat dilihat pada saat jam istirahat tempat wudu musala selalu membludak oleh mahasiswa/mahasiswi. Selain itu faktor kebersihan juga sebaiknya menjadi pertimbangan dahulu bagi pihak yang berwenang sebelum membuat kloset di tempat wudu. Dengan adanya kloset di dalam tempat wudu meminimalisasi adanya najis menjadi sulit bukan? Belum lagi jika ketika ingin berwudu kita mencium bau-bau yang tidak mengenakkan. Sungguh sangat tidak nyaman. Saran saya sebaiknya jika ingin menambah kloset di lingkungan musala bisa dibuat di belakang tempat wudu, toh ruang terbuka yang tersisa masih banyak bukan? Atau malah tidak usah bikin kloset baru saja sekalian, perbaiki saja kamar mandi di dalam gedung, renovasi, bikin yang bagus. Malu dong ruang kelasnya sudah bagus sekali gitu tapi kamar mandinya busuk. Kalau memang dana yang dianggarkan untuk renovasi musala masih sisa, tambah saja keran di musala, kalau perlu beli pompa air lagi untuk naikin air khusus untuk musaola Tata Niaga, kalau ternyata sudah ada ya tambah lagi pompa airnya dong. Karena problem yang sering terjadi adalah musala Tata Niaga sering kehabisan air karena tandonnya masih bareng-bareng dengan milik jurusan Akuntansi dan Administrasi Niaga. Belum lagi jika keran air dibuka bersamasama mengucurnya sangat kecil bahkan malah tidak bisa keluar sama sekali. Saya harap untuk selanjutnya ada tindak lanjut secepatnya dari pihak yang berwenang mengingat kami kuliah di kampus ini juga bayarnya tidak bisa dibilang murah. Apakah fasilitas yang kami dapat sebanding dengan jumlah rupiah yang kami bayarkan? Sampai saat ini saya baru bisa menjawab, belum.

MENEMPA ilmu di kampus Politeknik Negeri Semarang bagi saya pribadi cukup mengesankan. Di kampus inilah saya menerima banyak pengetahuan yang pastinya penting untuk masa depan kita sebagai mahasiswa. Metode perkuliahan tidak hanya sekedar teori namun disertai praktikum yang dapat membuat mahasiswa lebih mudah dalam mencerna ilmu yang diberikan oleh dosen. Menyinggung mengenai praktikum, ada aspek penting didalamnya yaitu K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Banyak dari mahasiswa tidak mengindahkan aspek ini. Alat pelindung diri yang sejatinya dapat mencegah dari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan jarang terlihat dikenakan saat praktikum. Dari pihak pengajar sendiri juga jarang untuk memberi peringatan tentang pentingnya melaksanaan standar K3 sebelum melakukan pekerjaan praktikum. Bahkan dari pengajar sendiri ada yang tidak menggunakan perlengkapan “standar” praktikum seperti contohnya jas laboratorium. Lalu kotak P3K yang dapat berfungsi sebagai pertolongan pertama jika terjadi kecelakaan juga tidak terlihat pada ruang-ruang yang digunakan praktikum. Hal-hal tersebut sungguh aneh apabila Politeknik yang terkenal dengan “kuliah praktikum”-nya namun kurang memperhatikan unsurunsur K3 dalam kegiatan praktikum. Untuk itu mohon para pengajar mulai memperhatikan kembali aspek K3 yang meskipun sepele namun dapat berdampak besar bagi korban apabila terjadi kecelakaan. Charisma | Teknik Elektro

NN | Akuntansi

edisi 48 | majalah dimensi

7


\NAMA KONTEN\

8

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

PENGANTAR LAPUT Komersialisasi Perempuan. Cantik. Wanita. Visual. Emansipasi. Menjual. Talenta. Promosi. Kostum. Jasa. Eksploitasi. Model. Media. Patrilineal. Show. Seksual. Feminim. Market. Konten. Citra. Indah. Varian. Televisi. Standar. Langsing. Foto. Karakter. Advertising. Kosmetik. Gender. Mindset. Tubuh. Kartini. Obyek. Salon. Tren. Tinggi. Komunikasi. Sales. Maskulin. Komersialisasi Perempuan.

edisi 48 | majalah dimensi

9


Perempuan:

Tren Media Masa Kini Ilustrasi : Muhammad Rukiyat

Bukan lagi pelacuran atau trafficking, komersialisasi perempuan kini semakin meluas arti dan bentuknya

B

ILA tak sedang sibuk, coba luangkan sekitar 30 menit untuk melihat televisi tanpa berpindah channel. Dalam waktu setengah jam itu, kita disuguhi rata-rata 25 iklan yang menawarkan berbagai produk dan jasa. Dari 25 iklan tersebut, 20 diantaranya menggunakan perempuan sebagai modelnya. Di era modern seperti sekarang ini, dimana ilmu komunikasi telah berkembang sangat pesat, terutama komunikasi visual, peran perempuan semakin menguat. Banyak bentuk komunikasi visual yang menggunakan perempuan sebagai talent nya, salah satunya iklan atau media promosi. Promosi yang disuguhkan datang dari berbagai varian

10

majalah dimensi | edisi 48


a Promosi Oleh: Irma Novita, Fieryanti Kamaril, & Bela Jannahti

produk dan jasa. Tak melulu yang berkaitan dengan perempuan. Contohnya saja produk pelumas kendaraan bermotor, menggunakan perempuan sebagai modelnya. Apakah ini suatu kemajuan bagi kaum wanita, karena itu berarti peran perempuan semakin diakui dan meluas ke berbagai bidang, atau justru kemunduran karena itu dapat digolongkan sebagai bentuk komersialisasi perempuan? Dalam pengertian kita selama ini mungkin akan terlintas kasus trafficking terhadap perempuan dan pelacuran bila mendengar kata komersialisasi perempuan. Dalam bahasan ini, komersialisasi perempuan tak merujuk pada pelacuran atau kasus trafficking yang secara langsung mengambil keuntungan dari penjualan tubuh perempuan.

Mariana Amiruddin, pemimpin redaksi Jurnal Peremuan, memiliki pendapat sendiri mengenai apa itu komersialisasi perempuan dan bentuknya. Berikut merupakan hasil wawancara kami dengannya melalui surat elektronik beberapa waktu lalu. 1. Menurut Anda, komersialisasi perempuan itu apa? Bagaimana saja bentuknya?

“Atau saya lihat iklan-iklan di internet, menjual perempuan yang bisa diajak chat kapan saja. Coba liat di youtube sekarang juga ada iklan-iklan itu di kolom sebelah kanan. Juga di facebook, sosial media, dan lain-lain.”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi berarti perbuatan yang menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Apakah yang disuguhkan kepada kita selama ini melalui berbagai media massa merupakan “barang dagangan”? Bentuk-bentuk promosi tentu saja bersifat “menjual”.

Komersialisasi Perempuan: perempuan digunakan (bukan diajak kerjasama) untuk mendapatkan keuntungannya sendiri. 2. Iklan-iklan saat ini marak menggunakan perempuan sebagai modelnya, untuk produk apapun, bisakah itu digolongkan sebagai komersialisasi perempuan?

Belum tentu, perlu melihat konten iklan tersebut. Karena kalau laki-laki menjadi model sampo untuk pria, belum tentu komersialisasi laki-laki. Yang dimaksud melihat konten iklan adalah, apabila produk yang diiklankan tidak ada hubung-

edisi 48 | majalah dimensi

11


annya dengan citra perempuan. Misal iklan mobil, tau-tau ada perempuan berbikini di atasnya, atau dibalik setir. Konten ini tidak lepas dari mitos mobil atau dunia otomotif sebagai dunia maskulin, karena itu perlu disisipkan perempuan dalam iklan. Atau saya lihat iklan-iklan di internet, menjual perempuan yang bisa diajak chat kapan saja. Coba liat di youtube sekarang juga ada iklan-iklan itu di kolom sebelah kanan. Juga di facebook, sosial media, dan lain-lain. 3. Menurut Anda, mengapa lebih banyak produser iklan memilih perempuan sebagai modelnya? Atau perusahaan perusahaan memilih perempuan sebagai salesnya?

Pendapat senada juga dilontarkan oleh Totok Shahak, pemilik Totok Shahak Modelling School. Dari 40 anggotanya yang aktif, 95% nya adalah perempuan.

4. Apakah iklan-iklan tersebut (dan juga berbagai bentuk promosi yang mengandalkan perempuan) berpengaruh terhadap semakin maraknya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan?

Sebetulnya mereka bukan “mengandalkan”, tapi “menjadikan perempuan sebagai obyek untuk kepentingan penjualan produknya”. Kalau mereka mengandalkan, tentunya yang dilihat adalah skill, bukan body dan penampilan saja. Dengan sedirinya mereka sudah melecehkan perempuan, dan mereka tidak dilindungi dari perbuatan pelecehan seksual yang sering dilakukan oleh pembeli, karena pembeli merasa, perempuan yang dimunculkan adalah

majalah dimensi | edisi 48

Rini Iswari, seorang dosen Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Universitas Negeri Semarang menuturkan dalam masyarakat patrilineal seperti di Indonesia, keputusan ada pada laki-laki. Perempuan memang banyak dipakai dalam industri-industri seperti itu khususnya modeling.

Perempuan mendominasi dunia entertain. Laki-laki mengagumi keindahan perempuan, selain itu karena busana yang diperankan perempuan juga lebih beragam, oleh karena itu model banyak yang perempuan,” ujar Totok

Saya juga perhatikan jasa SPA, therapyst (massage), bahkan karaoke sekarang menyediakan perempuanperempuan seperti model untuk menemani tamu pria (kebanyakan bapak-bapak kaya) untuk mendampingi mereka karaoke. Sangat tidak manusiawi, tapi inilah yang laku!

12

Dampak Patrilineal

“Perempuan mendominasi dunia entertain. Laki-laki mengagumi keindahan perempuan, selain itu karena busana yang diperankan perempuan juga lebih beragam, oleh karena itu model banyak yang perempuan,” ujar Totok.

Nisa, manager operasional Sivex Modelling School mengakui bahwa dalam dunia periklanan dan modelling terdapat komersialisasi perempuan, namun komersil ke arah positif. Amalina Hanika yang sudah menjadi model sejak 1999 dan pernah menjuarai model catwalk tingkat nasional pada 2009 mengiyakan.

Karena industri masih memiliki mindset bahwa MARKET akan senang kalau dihadirkan perempuan cantik. Padahal MARKET justru dibentuk oleh industri yang menggunakan ideologi patriarkhi. Persepsi menjejalkan perempuan sebagai sales rokok berharap supaya pasar laki-laki akan tergoda untuk membeli rokok karena senang melihat yang jualan perempuan cantik.

memang UNTUK mereka.

“Saya merasa dikomersilkan, namun saya tidak merasa dirugikan. Jadi, menguntungkan dari pihak saya sendiri dan juga pihak yang memakai saya sebagai model”, ungkapnya. Totok Shahak menambahkan, untuk menghindari komersialisasi yang tak diinginkan, seorang model sebaiknya melakukan fitting pakaian sebelum show atau kegiatan promosi diselenggarakan. “Jauh-jauh hari sebelum show berlangsung, sebaiknya model menanyakan serta mencoba kostum yang akan dipakai saat show, agar model merasa nyaman dengan kostum yang dikenakan dan tidak merasa dirugikan”.


/NAMA KONTEN/

Komersialisasi Perempuan:

PEREMPUAN SEBAGAI “PASAR BASAH” DAN MENYEMPITNYA MAKNA “CANTIK” Oleh: Irma Novita, Fieryanti Kamaril, & Bela Jannahti

“You can buy your hair if it won’t grow You can fix your nose if you say so You can buy all the make up that M.A.C. can make…” TLC – Unpretty.

Model : Siti Enti Mahallia | Foto : Ido Ridwan Fidyanto

edisi 48 | majalah dimensi

13


G

ADIS itu berulang kali melihat ke arah foto yang ditempelkannya di dinding beberapa saat sebelumnya. Terlihat gamang, ia bolak-balik membandingkan foto itu dengan dirinya, begitu berbeda. Foto yang tertempel di dinding kamarnya adalah gambaran tubuh langsing yang ia idamkan.

Tak jelas apakah dimulai dengan pesatnya industri kecantikan berbondong-bondong membuat produk-produk kecantikan dalam berbagai jenis, atau dimulai dengan pesatnya masyarakat Indonesia (terutama wanita) mengikuti tren yang sedang booming. Yang jelas, keduanya berkaitan erat.

Di lain tempat, seorang gadis yang juga gamang terlihat melangkahkan kakinya dengan perlahan di sebuah rumah sakit tempat ia berniat untuk melaksanakan operasi plastik. Demi sang pacar, ia ingin memperbesar payudaranya.

Pemutih kulit, pelurus rambut, pemancung hidung, dan berbagai produk kecantikan lainnya kini tak sulit kita cari. Kini juga bermunculan salon-salon yang menawarkan model rambut ala Korea, sesuai dengan tren masyarakat Indonesia yang sedang menggilai segala sesuatu yang berbau negeri ginseng tersebut.

Itulah dua dari sekian adegan dalam sebuah video klip dari grup vokal TLC yang berjudul “Unpretty”. Video klip tersebut menggambarkan betapa perempuan-perempuan kini telah termakan oleh “standar cantik” yang seolah telah ditetapkan oleh pasar.

Tak pelak, perempuan menjadi suatu pasar “basah” bagi jenis industri yang tergolong baru di Indonesia: industri kecantikan.

Tak pelak, perempuan “Cantiknya wanita yang Langsing, tinggi, putih, model atau binmenjadi suatu pasar menjadi berambut lurus, dan tang iklan adalah cantik berhidung mancung yang dibentuk oleh “basah” bagi jenis kini banyak kita lihat di industri kecantikan, berbagai media massa. wanita yang putih, industri yang tergolong yaitu Tak hanya di media massa, tinggi, hidung mancung, namun juga dapat kita dan rambut panjang baru di Indonesia: yang lihat secara langsung saat tidak menggakkita mengunjungi pusat menggok (lurus-red)”, kata industri perbelanjaan, dimana banyak Rini Iswari, dosen Pendiditerdapat Sales Promotion Girl kan Sosiologi dan Antropologi kecantikan. Universitas Negeri Semarang. atau SPG. Ikon itulah yang menjadi

rujukan kata “cantik” masa kini. Yang “cantik” seperti itu banyak dicari oleh Production House atau PH karena dipercaya bisa lebih meyakinkan masyarakat untuk menggunakan produk yang dipromosikan. “Kalo model yang dicari-cari sama advertising itu ya wanita yang memiliki kecantikan sempurna. Biasanya kalo mereka (advertising-red) nyari, mereka lebih memilih model catwalk untuk mempromosikan produk mereka”, ungkap Amalina Hanika, mahasiswa yang telah menjadi model sejak 1999. Yang dimaksud dengan model catwalk adalah mereka yang memiliki tinggi badan minimal 165 cm dengan berat badan proporsional, memiliki karakter, cantik, dan berpenampilan menarik.

14

majalah dimensi | edisi 48

Rini melanjutkan, karena itu, tak jarang orang yang menginginkan pernikahan dengan pasangan orang asing. Dianggapnya akan menghasilkan keturunan yang bagus dan lebih menarik. Untuk melawan definisi “cantik” yang mainstream itu, sebuah penerbit di Inggris merilis majalah wanita dengan nama “Just As Beautiful”. Berbeda dengan majalah wanita lainnya yang menampilkan model-model “cantik”, majalah ini menampilkan wanita-wanita dengan tubuh cenderung gemuk. Dalam majalah ini juga tak akan kita temui artikel mengenai petunjuk diet atau cara instan menurunkan berat badan.


/ KANG PROV /

Ilustrasi : Muhammad Rukiyat | Olah Digital : Galih Alfandi


Mbjk

H

Sisi Lain serta Dampak Ko

K

OMERSIALISASI perempuan dan dominasinya di dunia entertainment, tak melulu hanya dipandang negatif. Seperti halnya segala hal di dunia ini, komersialisasi perempuan pun memiliki dua sisi yang berbeda. Pro dan kontra. Seperti apa yang diajarkan cabang ilmu psikologi sosial, peran manusia di dunia ini terbagi atas dua hal. Yaitu peran maskulin dan peran feminim. Peran maskulin adalah peran yang cocok dilakoni oleh para kaum adam. Sebaliknya, peran feminim adalah peran-peran yang cocok dilakukan oleh kaum hawa. Secara kultural pun ada industri-industri tertentu yang lebih pas digeluti oleh perempuan, misalnya dunia modelling dan fashion. Itulah sebabnya mengapa perempuan mendominasi industri tersebut.

“Ada segmen-segmen tertentu dimana perempuan memegang hal yang cukup penting, dan lebih pas dilakukan. Misalnya bidang-bidang persuasi, komunikasi, dan pendidikan. Dan satu hal lagi yang tentu tidak bisa perempuan tinggalkan yaitu segmen domestik (dapur-red)”, jelas Budi Susetyo, selaku pengampu mata kuliah Psikologi Sosial Uni-

16

majalah dimensi | edisi 48

versitas Katolik Soegjapranata (UNIKA) Semarang. Ia tak memungkiri bahwa perempuan memiliki daya tarik yang bisa ditampilkan di dunia industri. Namun kemudian daya tarik tersebut diukur oleh masyarakat berdasarkan ukuran norma dan sensasi atau kehebohan yang ditimbulkan. Selama apa yang dilakukan oleh mereka (model-red) masih relevan dengan konteks yang ada, maka hal tersebut masih bisa dikatakan profesional. Setali tiga uang, Totok Shahak pemilik Totok Shahak Modelling School juga memandang apa yang dilakukan para model di depan kamera merupakan suatu bentuk profesionalitas pekerjaan. Sebab selain bergaya dan mempromosikan produknya, para model juga turut membangun dan menjaga citra produk, agen, dan diri mereka sendiri. “Semua itu kembali ke diri mereka masing-masing. Bagaimana mereka menjaga diri, prinsip, dan menempatkan dirinya”, ujar Totok. Menanggapi hal tersebut, Rini Iswari mengungkapkan dominasi perempuan di dunia hiburan, khususnya modelling adalah

Oleh: Arum

hanya demi ketertarikan dan pencitraan saja. Kepentingankepentingan tertentu dibalik semua hal itulah yang menyebabkan dominasi ini semakin menjadi. Misalkan agar produk mereka laku, bisnis mereka lancar, dan lain-lain. “Komersialisasi perempuan adalah fakta. Ada unsur kepentingan yang dikehendaki oleh kaum lelaki di balik hal tersebut. Hal ini tidak dapat disalahkan karena komersialisasi dan ketidaksetaraan gender bersifat universal. Hanya kemudian dipersepsikan secara pribadi saja”, tutur dosen pengampu Sosiologi Gender Universitas Negeri Semarang tersebut. Ia juga menambahkan bahwa tidak semua pekerjaan perempuan adalah komersil,tergantung dengan jasa apa yang diberikan. Bagaimana dampak komersialisasi ini? Bagi masyarakat, dampak dominasi dan komersialisasi perempuan lebih dikembalikan ke diri individu masing-masing. Bagaimana cara mereka menanggapi dan menyikapi fakta tersebut. Ketika komersialisasi itu masih berada di koridor profesionalitas, maka masyarakat


kmTP

H

Komersialisasi Perempuan Ambarwati

tidak akan mempermasalahkannya. Misalnya saja ada beberapa orang yang menganggap foto model-model cantik adalah sebuah seni dan bagian dari profesi, bukan merupakan komersialisasi. Atau kostum tari tradisional yang merupakan sebuah identitas, tanpa bermaksud mengumbar. Mantan Ketua Jurusan Sosiologi dan Antropologi tersebut juga mengatakan saat ini masyarakat belum paham dan belum sadar bahwa hal-hal tersebut melecehkan perempuan. Sehingga mereka cenderung merasa senang melihat banyak iklan dan tontonan yang terlalu mengumbar kecantikan perempuan. Dengan kata lain, masyarakat masih akan menerima hal tersebut selama mereka masih menganggap bahwa komersialisasi perempuan adalah hal yang lumrah. Bagi keluarga sang model, semua akan dianggap baik-baik saja asalkan tidak ada konotasi negatif dalam komersialisasi ini. Bukan karena melanggar suatu norma, namun lebih pada tuntutan moral. Memandang dari sisi yang berbeda, Budi Susetyo menganggap bahwa komersialisasi

perempuan mengandung suatu unsur hiburan bagi kalangan tertentu. Ia juga berpendapat, keterlibatan model dalam iklan suatu produk juga berdampak positif bagi model yang bersangkutan. Bagaimana tidak, dengan menjadi ikon dari sebuah produk mereka secara otomatis telah

“Jangan semua orang menganggap model itu negatif,� ungkap Nisa, manajer operasional sebuah manajemen artis di Semarang. menjadi identitas dan panutan masyarakat atas produk tersebut. Hal ini menyebabkan mereka harus tetap menjaga perilaku dan imej dirinya masing-masing. Dari segi ekonomi, komersialisasi berdampak positif bagi diri si model. Sebab, dengan menjadi model maka mereka mampu menopang kehidupannya masing-masing. Baik diri mereka sendiri maupun keluarganya.

Uang yang mereka dapatkan merupakan balas jasa dan hak atas apa yang telah mereka lakukan. Entah itu merupakan pekerjaan utama mereka atau tidak.

Secara psikologis, bisa tampil di media adalah suatu pengakuan eksistensi diri. Hal tersebut akan berpengaruh pada rasa percaya diri mereka. Selain itu tampilnya mereka di media juga merupakan prestasi atau penghargaan tersendiri yang layak untuk dibanggakan. Sehingga dari segi psikologis komersialisasi ini bisa berdampak positif. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa komersialisasi perempuan ialah hal yang kasuistik. Ia tidak memungkiri bahwa apabila seseorang merasa terpaksa dan keberatan dengan apa yang ia lakukan, maka ia akan mengalami rasa traumatik tersendiri. Termasuk di dunia modelling. Namun kembali lagi ia menuturkan selama tayangan-tayangan tersebut dikemas secara wajar, tidak akan ada masalah yang ditimbulkan. “Tidak semuanya bisa disalahkan. Kita lah yang harus lebih selektif�, tambahnya.

edisi 48 | majalah dimensi

17


\ OPINI \

P

EREMPUAN adalah makhluk indah yang memiliki perasaan lebih sensitif dan hati yang lebih lembut dibanding laki-laki. Seorang perempuan terkadang lebih sulit dimengerti daripada seorang laki-laki. Disamping itu dalam mengambil keputusan perempuan lebih sering memakai perasaan daripada logika. Dalam kehidupan sehari-hari menurut saya kodrat seorang wanita tentu saja sebagai ibu, sosok yang menjadi pendukung suami dan anak-anaknya. Dalam keadaan apapun, perempuan akan tetap memiliki sifat keibuan. Meskipun seorang perempuan menikah atau tidak menikah, memiliki anak atau tidak memiliki anak, dia tetap memilki sifat keibuan dan naluri seorang ibu. Dahulu sebelum ada emansipasi terhadap wanita, kedudukan wanita sering sekali direndahkan. Namun saat ini emansipasi waita berjalan lebih luas dalam berbagai hal, sayangnya beberapa ada yang menyalahi kodratnya sebagai wanita karena mereka salah menafsirkan arti emansipasi. Banyak para wanita yang mencoba menyamakan strata dengan laki-laki, mengejar karir dan kedudukan, mengejar harta dan melupakan kodratnya sebagai wanita.

18

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

Sisi positif dari emansipasi adalah banyak wanita yang aktif dalam mengambil peran, tanpa takut akan statusnya sebagai wanita. Sisi negatifnya, banyak wanita yang justru fokus mengejar kesejajaran gender dan melupakan kodratnya sebagai wanita. Persamaan gender seperti sekarang ini tak lepas dari jasa besar pahlawan wanita kita yaitu Ibu Kartini. Emansipasi wanita pada masa Kartini dijalankan tanpa melupakan kodrat Kartini sebagai wanita. Terlepas dari emansipasi, sadar atau tidak di zaman sekarang peran wanita disalahgunakan oleh beberapa pihak. Sekarang ini banyak wanita yang telah dikomersialisasikan. Contohnya banyak tahap promosi untuk menarik para konsumen dengan wanita seksi dan cantik, entah itu sales kartu perdana selular atau rokok. Tidak hanya itu, di televisi sekarang ini banyak tayangan yang ditujukan untuk lelaki dan secara langsung maupun tidak telah mengkomersialisasikan wanita. Banyak wanita yang dicari kecantikan luarnya saja untuk dapat dikomersial-

isasikan. Semakin wanita itu seksi dan cantik akan semakin mudah “dijual�. Komersialisasi wanita merusak harga diri seorang wanita menurut saya. Karena dia hanya dinilai dari luar dan dihargai untuk itu. Terlebih tayangan yang ditelevisi yang hanya menjadikan wanita sebagai tontonan yang dinikmati kecantikan dan tubuhnya oleh lelaki secara frontal. Sebenarnya wanita cantik itu adalah wanita yang berakhlak baik dan mampu berpikir. Dengan kata lain, wanita cantik pasti memilki inner beauty. Dengan kita memiliki inner beauty, kecantikan luar pasti akan mengikuti. Seorang yang memiliki inner beauty tidak akan berpenampilan jelek, dia pasti akan menjaga penampilannya. Bukan berarti wanita cantik luar harus dandan dan memakai baju-baju bagus. Tapi dengan memakai pakaian rapi, baik, dan sopan wanita itu telah menjaga penampilannya. Sedikit cerita, beberapa pengalaman saya menjadi duta wisata Jepara adalah saya diajarkan tetang kepribadian. Bagaimana saya bersikap, bertutur, dan berpikir dengan

baik. Saya juga mendapatkan ilmu tentang wisata Jepara yang sebelumnya saya tidak ketahui. Saya memiliki banyak relasi ketika saya menjabat. Dan ketika grand final pemilihan duta wisata saya belajar bagaimana berfikir kritis untu menjawab pertanyaan juri dengan baik. Dan satu hal kecil yang menjadi kepribadian yang baik, adalah saya belajar untuk selalu tersenyum kepada semua orang dalam keadaan apapun agar terlihat ramah dan sopan. Sebagai duta pariwisata, saya memiliki peran untuk menjadi wakil Jepara dalam setiap event yang berhubungan dengan pariwisata Jepara. Jadi secara tidak langsung saya harus mengerti betul tentang wisata dan tradisi Jepara. Dulu saya pernah mendapat tugas untuk kirab kota Jepara membawa Piala Adipura yang didapatkan Jepara tujuh kali berturut-turut, saya pernah ditugaskan menjadi model untuk pembuatan profil Bandengan dan kura-kura yang berada di Pantai Kartini Jepara, dan masih banyak lagi. Pengalaman tersebut tidak membuat saya menjadi besar kepala, namun membuat saya semakin termotivasi untuk melakukan hal-hal yang positif lebih dari apa yang telah saya lakukan. Sebagai duta pariwisata, saya harus bisa menjaga citra diri saya khususnya sebagai wanita karena saya juga selalu membawa nama baik kota Jepara.

edisi 48 | majalah dimensi

19


Andai Kartin Bicara Komer Kome

20

majalah dimensi | edisi 48

Foto : Bela Jannahti


ni ersialisasi rsialisasi Oleh : Dwiki Ilham Ramadhan

Ketika emansipasi bermakna bias.

E

MANSIPASI di Indonesia merupakan dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar R. A. Kartini tertuang dengan tinta emas dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya wanita, pria bahkan waria pun sampai detik ini meyakini derap kemajuan emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat gerakan emansipasi yang dipelopori R. A. Kartini. Sepanjang sejarah, wanita telah berjuang untuk emansipasi mereka, namun sayangnya alih-alih mendapatkan hak dari emansipasi tersebut mereka malah seolah kembali terjerumus kepada dampak lain dari emansipasi yang tidak atau belum disadari. Banyak dari wanita merasa dirinya merdeka atas hakhak sebagai makhluk sosial yang berkedudukan, tanpa dirasakan mereka telah terjebak oleh paradoks modernisasi ketika mereka mengeksploitasi diri terhadap kemerdekaan. Jika kita kembali menengok kebelakang saat fenomena pembebasan emansipasi yang dipelopori dan diperjuangkan oleh R. A. Kartini. Sejarah mencatat bahwa wanita pada jaman sebelum tercetus emansipasi mereka tidak diberi kesempatan untuk maju dan berkembang, tetapi mereka hanya dipaksa menerima segala warisan yang diturunkan oleh nenek moyangnya dan lebih mirisnya lagi wanita hanya dididik tentang bagaimana berbakti kepada suami. Bahkan menurut adat pada saat itu, kedudukan atau derajat wanita dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki oleh kaum laki-laki, baik itu kebebasan untuk keluar rumah, kebebasan untuk menuntut ilmu di sekolah, kebebasan untuk bekerja di luar rumah, dan lebih-lebih menduduki jabatan di dalam masyarakat, semua itu tidak dimiliki kaum wanita. Fakta seperti itulah yang dialami R. A. Kartini, namun sebagai anak keturunan kaum priayi R. A. Kartini mendapat kesempatan untuk menikmati bangku pendidikan sederajat dengan kaum laki-laki. Beliau terus mengembangkan pendidikan dan kemudian beliau bercita-cita untuk membebaskan kaum wanita dari kejahiliahan paradigma masyarakat pribumi pada saat itu.

edisi 48 | majalah dimensi

21


R. A. Kartini tak henti dan terus memperjuangkan nasib kaum wanita dengan bermodalkan pendidikan dan wawasan berlandaskan buku-buku mengenai sejarah perjuangan kaum wanita di belahan bumi lain yang secara historis sama dengan masyarakat tradisonal dengan segala macam peraturan adat. Seperti terisolirnya masyarakat Indonesia pada saat itu, namun mereka (kaum wanita dibelahan bumi lain – red) telah jauh melangkah. Dirinya tahu bahwa jalan yang dilalui itu tak berliku, namun beliau terus berusaha. Seperti tercermin pada suratnya : Saya tahu tentang jalan yang saya tempuh itu, sukar banyak duri dan onaknya dan lubang-lubangnya. Jalan itu berbatu-batu, berlekuk-lekuk, licin, jalan itu belum dirintis. Dan biarpun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumi Putera merdeka dan berdiri sendiri. Sudah senang benarlah hati saya bila ibu bapak gadis lainnya, yang hendak berdiri sendiri pula, tiada dapat lagi mengatakan: “Belum ada seorang jua pun orang kita yang berbuat demikian”. Dari isi surat tersebut jelaslah bahwa tekad Kartini bulat walaupun ia sudah tiada dan belum berhasil dalam melaksanakan cita-citanya, tetapi sudah membuka dan merintis jalan ke arah apa yang ia cita-citakan. Yakni membebaskan kaum wanita dari belenggu kejahiliahan akibat pengaruh adat, sehingga bagi seorang wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan dianggap tabu atau melanggar adat. Dilema yang kini muncul adalah mindset kebanyakan orang (khususnya wanita) mempertontonkan atau “mengomersialisasikan” bagian tubuh yang seharusnya tak mereka perlihatkan kepada khalayak ramai menjadi sesuatu yang lumrah. Hal ini menjadikan gerakan emansipasi yang didominasi budaya barat yang membius sebagian kaum wanita, sehingga tanpa sadar mereka rela tetap ditindas dan digagahi jati dirinya. Budaya barat yang lebih dominan terlihat saat ini ialah proses peniruan atau duplikasi secara besar-besaran, ekploitasi, cenderung instan, dan memproduksi trend secara massal. Menurut pakar psikologi dari salah satu universitas swasta di Jakarta, Sri Kuncorodiyati mengatakan, “Secara kodrati kaum pria terpesona kepada kemolekan, keindahan tubuh dan seksualitas kaum wanita, sehingga tak mengherankan bahwa budaya barat kemudian mengeksploitasi kaum wanita untuk kepuasan seksualitas kaum pria”. Bila melihat fakta dilapangan, kita tengah terjebak oleh paradigma budaya barat, dimana banyak dari kita menerima atau menjiplak paradigma budaya barat tersebut. Namun apakah benar bila kita menerima tanpa menyaring paradigma tersebut? R. A. Kartini bahkan menyerang kebudayaan dan peradaban barat. Hal ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902: “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri

22

majalah dimensi | edisi 48

menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban dan kebudayaan?” “Komersialisasi” ya stigma itu ialah konotasi aib buah dari budaya kebarat-baratan. Tak jarang kita melihat wanita-wanita muda dengan rok mini dan pakaian “seksi” yang berpose sedemikian indah sehingga seringkali digunakan untuk menjadikan wanita sebagai objek komersialisasi. Alih-alih mendapatkan feedback yang positif dari khalayak ramai malah menjadikan krisis moral terhadap budaya bangsa ini. Entah sadar atau tidak sadar wanita yang dengan tanpa malu mengenakan pakaian mini dan berpose sedemikian seksi menjadi objek seksualitas para kaum pria, ikut terbuai dan serta-merta mereka (wanita– red) meninggalkan esensi jati diri sebagai kaum yang memiliki “keistimewaan” dari Sang Maha Kuasa. Kebebasan atau emansipasi ini menjadikan alasan kepada beberapa wanita untuk melakukan hal yang semestinya tak mereka lakukan. Sudah seharusnya kita sebagai bangsa yang cerdas mengembalikan lagi budaya bangsa Indonesia dan meninggalkan budaya kebarat-baratan, oleh karena itu kita harus sesuai dalam menyikapi polemik yang terjadi serta menggeser paradigma dan stigma mengenai budaya komersialisasi yang tentunya melenceng dari emansipasi yang seharusnya.


/NAMA KONTEN/

PENGANTAR LAPSUS Sampah. Bom. Waktu. Konsumerisme. Dampak. Kotor. Lingkungan. Plastik. Organik. Daur. Reuse. Aktivitas. Reduce. Produksi. Lahan. Rumah tangga. Logam. Bank sampah. Recycle. Menumpuk. Kertas. Pembuangan. Memilah. Anorganik. Kompos. Tanah. Degradasi. Modern. Bersih. Konsumsi. Olah. Styrofoam. Habit. Bau. Limbah.

edisi 48 | majalah dimensi

23


Konsumerisme:

Pemicu B m Waktu Sampah Oleh: Annissa Permana & Bela Jannahti

Pernahkah Anda melewatkan satu hari saja tanpa membuang sampah sama sekali?

B

ELAKANGAN ini permasalahan sampah menjadi suatu topik krusial yang banyak diperbincangkan dan dibahas.

Bagaimana tidak? Jumlah sampah yang semakin harinya semakin meningkat, menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Jumlah sampah bertambah seiring dengan bertambahnya populasi manusia. Sedangkan jumlah lahan tidak bertambah. Jumlah sampah semakin bertambah dan tak semuanya langsung dapat diolah, sehingga menimbulkan permasalahan lain: timbunan yang menyebabkan bau, kerusakan dan pencemaran lingkungan, dan lain sebagainya.

Dampak Konsumerisme? Hampir setiap aktivitas manusia kini menghasilkan “sesuatu yang dibuang�. Sayangnya, “sesuatu yang dibuang� tersebut sebagian besar ternyata tak mampu dengan mudah diuraikan oleh jasad renik, sehingga menumpuk begitu saja. Otomatis, tak heran apabila jumlah sampah berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk. Namun fakta tersebut diperparah dengan fenomena zaman modern: konsumerisme. Konsumerisme semakin hari semakin meningkat dan itu memperparah angka pertumbuhan sampah. Konsumerisme dapat didefinisikan sebagai perilaku masyarakat yang cenderung selalu ingin menggunakan produk atau jasa secara berlebihan, karena tidak didasarkan pada kebutuhan melainkan pada keinginan semata. Lebih disayangkan lagi, konsumerisme yang semakin membudaya tersebut tak disertai dengan kesadaran akan dampaknya yang bersifat jangka panjang. Menumpuknya sampah dari hari ke hari akibat perilaku konsumtif yang berlebihan mungkin belum kita rasakan kini. Namun bila hal itu dibiarkan saja dan tak ada usaha untuk menanggulangi serta memperbaiki habbit, dalam beberapa tahun lagi Indonesia akan kewalahan menghadapi permasalahan sampah. Seolah perilaku konsumtif yang berlebihan menjadi pemicu dari bom waktu yang suatu saat akan meledak. Sebagian besar barang-barang yang kita konsumsi sehariharinya dikemas dalam kemasan plastik atau bahan lain yang sulit diurai didalam tanah. Makanan, perlengkapan mandi, pembungkus mainan, dan lain sebagainya. Coba lihat sekeliling Anda dan sebutkan barang apa saja yang tak menggunakan plastik.


Itu sebab konsumerisme sangat berbahaya bagi lingkungan kita. Dampak dari perilaku konsumtif tersebut sebenarnya bisa kita imbangi dengan perilaku ramah lingkungan. Salah satunya adalah kebiasaan 3R, yaitu Reuse, Reduce, dan Recycle.

Reuse atau menggunakan kembali adalah upaya untuk mengurangi sampah dengan cara menggunakan kembali suatu barang. Reduce adalah upaya mengurangi penggunaan barang-barang yang menghasilkan sampah atau akan menjadi sampah. Seperti membawa tas belanja sendiri saat berbelanja, alih-alih menggunakan plastik yang disediakan oleh supermarket atau toko tempat kita berbelanja. Recycle adalah mengolah barang bekas yang sudah tak digunakan agar bernilai guna kembali. “Siapa saja apabila menerapkan sistem 3R yaitu Reuse, Reduce, dan Recycle dalam kehidupan seharihari, akan sangat membantu dalam proses pengolahan sampah�, tutur Cipto Budi Sayoga, Kepala Bidang Operasional Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang. Peran masyarakat memang sangat dibutuhkan untuk berpartisipasi un-

tuk penghijauan bumi. Menggalakan daur ulang pada masyarakat umum juga sangat penting. Untuk itu pemerintah berusaha untuk menyosialisasikan budaya mendaur ulang sampah kepada masyarakat. “Pemerintah juga melaksanakan upaya menggalakan daur ulang kepada masyarakat. Kami melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara langsung bagaimana daur ulang tersebut. Kemudian ada TPST yaitu Tempat Pengolahan Sampah Terpadu yang merupakan tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Pemerintah juga bekerja sama dengan radio-radio swasta, dan melakukan koordinasi antar kecamatan�, kata Woro Sugito, Kepala bidang pengolah limbah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang. Niat baik dari pemerintah yang berupaya menggalakkan budaya mengolah sampah tersebut tentu tak akan cukup bila tak disertai upaya untuk mengurangi sumber sampah. Di beberapa negara, toko atau supermarketnya tidak menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma

seperti di Indonesia. Rata-rata pemakaian kantong plastik per orang di Indonesia adalah 700 lembar per tahun. Sampah kantong plastik saja di Indonesia mencapai 4000 ton per hari atau sama dengan 16 pesawat Boeing 747, sehingga sekitar 100 milyar kantong plastik terkonsumsi per tahunnya di Indonesia. Produksi kantong plastik tersebut menghabiskan 12 juta barel minyak bumi yang tak bisa diperbaharui, yang setara dengan 11 Triliun rupiah (Sumber: Yahoo! Indonesia dan Greeneration Indonesia). Berdampak besar dan mahal, namun kantong plastik di Indonesia diberikan secara gratis oleh pemilik toko. Atas kesadaran itu, Tiza Mafira dari Jakarta membuat sebuah gerakan melalui change.org. Ia mengajak orang-orang menandatangani petisi untuk meminta agar supermarket-supermarket di Indonesia tak menggratiskan kantong plastik. Harapannya ialah konsumen akan menggunakan tas belanja yang dapat digunakan kembali dan tentu saja untuk mengurangi jumlah sampah akibat penggunaan kantong plastik.

Data Diolah dari Berbagai Sumber

DATA JUMLAH SAMPAH PER HARI KOTA SEMARANG


\NAMA KONTEN\

Oleh: Yuniar Cahyani

26


/NAMA KONTEN/

Pergi kemanakah sampah yang kita hasilkan setiap harinya?

P

ERNAHKAH terpikir kemana berakhirnya sampah yang kita hasilkan setiap hari? Sebagian besar dari kita mungin menjawab Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Sebagai informasi, setiap hari penduduk kota Semarang menghasilkan 800 ton sampah rumah tangga. Bila benar TPA menjadi tempat peristirahatan akhir bagi sampah, tentu dapat kita bayangkan seberapa tinggi tumpukan sampah yang ada di TPA di kota kita. TPA Jatibarang merupakan satu-satunya TPA yang menampung sampah rumah tangga yang setiap hari dihasilkan oleh warga Semarang. Kecamatan Semarang Tengah merupakan kecamatan terbanyak yang menghasilkan sampah. Jumlahnya sebesar 86 ton per hari. Dinas Kebersihan Dan Pertamanan Kota Semarang menyatakan bahwa pihaknya sudah mampu melayani rata-rata 86,4 % sampah per hari. Bila kita perhatikan, beberapa tempat umum di kota Semarang sudah menyediakan tempat sampah khusus untuk organik dan non organik. Biasanya disediakan dua tempat sampah yang letaknya disejajarkan dan menggunakan dua warna yang mencolok untuk memudahkan warga membedakan antara tempat sampah organik dan non organik. Lalu setelah diambil dari tempat sampah yang berbeda tersebut, apakah kedua jenis sampah itu juga diperlakukan berbeda? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka akan kami ilustrasikan daur hidup sampah rumah tangga yang ada di kota Semarang.

Foto : Oka Mahendrya (Magang)

edisi 48 | majalah dimensi

27


\NAMA KONTEN\

28

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

edisi 48 | majalah dimensi

29


\NAMA KONTEN\

Rini Suswati, perilis program lingkungan hidup. (Dok. Pribadi)

RINI SUSWATI DAN BANK SAMPAHNYA Oleh : Anak Agung Maya Septanti

B

ERMULA dari pengangkatannya sebagai ketua Kelompok Kerja (Pokja) 3 di PKK Kelurahan Sambek, Wonosobo, Rini Suswati mulai mengabdikan diri untuk desanya. Rini yang merupakan ibu rumah tangga beranak dua ini telah aktif berkegiatan di PKK sejak 1992. Program kerja mengenai lingkungan hidup baru dirintisnya sejak 2007. Beberapa kegiatan dalam rangka menjaga kebersihan lingkungan telah diupayakan Rini untuk desanya. Salah satunya adalah program bank sampah.

30

majalah dimensi | edisi 48


/ SOSOK /

Bank sampah merupakan tempat dimana warga sekitar dapat menyetorkan sampah milik mereka kepada pengelola bank sampah. Rini merupakan salah satu dari 10 pengelola bank sampah.

perlu menggunakan pupuk kimia. Dengan penambahan 1 sendok makan ragi, 2 sendok makan gula pasir, dan 1 liter air, sampah-sampah organik akan menjadi pupuk kompos.

Sampah yang dapat disetorkan dibedakan dalam tiga jenis, yaitu sampah plastik, sampah kertas, dan sampah logam. Ketiga jenis sampah ini selanjutnya akan dibeli oleh pengepul sampah yang bertempat di seberang RSU Wonosobo. “Hasil terjualnya sampahsampah non organik tersebut kemudian dikembalikan kepada penyetor sebesar 60%. 30% untuk pengelola bank sampah dan 10% digunakan untuk administrasi kantor berupa pembelian alat tulis, bukubuku, serta untuk studi banding tentang pengelolaan sampah�, tutur Rini.

Menjadi Desa Percontohan

60% hak penyetor tidak diberikan secara tunai, melainkan akan dimasukkan dalam tabungan yang dikelola oleh pengurus bank sampah. Misal penyetor telah memberikan sampah logam sebanyak 5 ons, 1 kg sampah logam dibeli pengepul sebanyak 10 ribu rupiah, maka penyetor mempunyai tabungan sebesar 6 ribu rupiah. Warga sekitar dapat menyetorkan sampah mereka satu minggu sekali, yaitu setiap Minggu mulai dari pukul 9 hingga 10 pagi. Berbeda dengan sampah non organik yang ditangani lewat bank sampah, sampah organik seperti sisa sayuran dan dedaunan akan diolah menjadi pupuk kompos. Selain dapat mengurangi sampah, pengolahan sampah menjadi pupuk ini dapat menyuburkan tanaman tanpa

Atas kegigihannya, Rini berhasil membawa Desa Sambek menjadi desa percontohan mengenai kebersihan dan administrasinya. Pemerintah Kota Wonosobo mengapresiasi usahanya mendirikan bank sampah dengan memberi sumbangan dana sebesar 40 juta rupiah dan 1 unit sepeda motor untuk memperlancar kegiatan bank sampah. Dana yang digelontorkan pemerintah pada 2012 lalu rencananya akan dibelikan beberapa bak sampah sehingga proses pemilahan sampah menjadi lebih mudah. Sebelum mendapat bantuan dari pemerintah, Rini dan kawan-kawan bekerja secara swadaya. “Tujuan utama dari kami bukanlah mencari keuntungan finansial atau semacamnya, melainkan kami ingin lingkungan tempat tinggal kami bersih dan nyaman�, ujar ibu yang juga menjadi pendidik di SD Negeri 10 Wonosobo tersebut. Selain menjadi bendahara bank sampah, Rini dibantu beberapa pengurus lain juga selalu memberikan penyuluhan mengenai pengelolaan sampah bagi warga desa. “Saya dibantu beberapa pengurus lainnya selalu memberikan penyuluhan mengenai pengelolaan sampah didesa saya,� tutur wanita kelahiran Magelang, 22 Juli 1970 ini.

60% hak penyetor tidak diberikan secara tunai, melainkan akan dimasukkan dalam tabungan yang dikelola oleh pengurus bank sampah.

edisi 48 | majalah dimensi

31


\ RISET \

y

Seberapa Pedulikah Kita Terhadap Sampah?

y

Foto : Dian Adi Pratama

32

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

y S

EIRING bertambahnya kebutuhan manusia setiap hari, produksi sampah juga ikut bertambah. Apabila setiap orang memproduksi sampah dua kali sehari, bayangkan berapa sampah yang dia hasilkan setiap tahunnya. Dikalikan dengan jumlah penduduk yang ada di dunia. Apabila hal tersebut tidak dianggap dengan serius, maka permasalahan sampah akan menjadi ‘bom waktu’ bagi kita semua dan akan mengganggu disetiap aktifitas kita sehari-hari. Melihat hal tersebut tim Litbang LPM DIMENSI melakukan sebuah riset terhadap 100 mahasiswa Polines yang dilakukan secara acak untuk melihat tingkat kesadaran mahasiswa terhadap sampah.

y

edisi 48 | majalah dimensi

33


y

\NAMA KONTEN\

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh tim Litbang LPM Dimensi, ternyata mayoritas mahasiswa memproduksi sampah dengan jumlah relatif kecil. Jumlah dibawah 5 kali dalam sehari menjadi persentase tertinggi dengan angka 45 %, diikuti dengan jumlah penghasilan sampah antara 5 – 10 kali sehari dengan persentase yang tidak begitu jauh yaitu sebanyak 40 %. Sisanya sebanyak 15 % mahasiswa memproduksi sampah diatas 10 kali dalam sehari. Walaupun mayoritas jumlah yang dihasilkan terhitung sedikit tetapi sampah tersebut paling banyak berasal dari sampah plastik (anorganik) dengan presentase cukup jauh dibandingkan sampah kertas dan sampah organik lainnya. Rata-rata sampah yang sering dibuang adalah sampah plastik yaitu sebanyak 58%, sisanya sampah kertas sebanyak 22% dan sampah organik sebanyak 20%. Walaupun mayoritas tingkat produksi sampah yang dihasilkan dibawah lima kali sehari tetapi sampah yang dibuang kebanyakan sampah anorganik. Dari manakah sumber sampah-sampah yang mereka hasilkan? Ternyata sumber tertinggi adalah dari sisa konsumsi makanan dan minuman mereka sehari-hari, berikutnya adalah dari sisa pekerjaan dan sumbersumber lain. Kebanyakan berasal dari konsumsi makanan atau minuman sebanyak 78 %, 13% berasal dari sisa pekerjaan dan sisanya sebanyak 9% dari sumber lainnya. Ditanya mengenai perlakuan responden terhadap sampah, Sebanyak 65% mahasiswa cenderung tidak memilah pembuangan sampah antara organik dan anorganik dan asal membuangnya sedangkan 35% lainnya memilah berdasarkan jenisnya saat membuang sampah. Mayoritas mahasiswa masih ceroboh dalam membuang sampah. Terlihat dari cara membuang sampah, mereka cenderung tidak memilah saat membuang sampah organik dan anorganik sebagai peringkat tertinggi yang sering dilakukan. Masih sedikit responden yang memilah sampah saat membuangnya. Banyak yang mereka lakukan sebagai upaya mengurangi sampah seperti membakar, mendaur ulang, ataupun membuatnya sebagai pupuk kompos. Sebanyak 63% mahasiswa pernah melakukan upaya tersebut dan 37% tidak pernah melakukannya.

Perlakuan Terhadap Sampah

65 % Asal Membuang

35 % Memilah berdasarkan jenis

34

majalah dimensi | edisi 48

Penghasilan Sampah dalam Sehari

45 % Di bawah 5 kali 50 % 5 - 10 kali 15 % Di atas 10 kali

Rata-rata Sampah yang Sering Dibuang

58 % Sampah Plastik 22 % Sampah Kertas 20 % Sampah Basah Sumber dari Sampah Tersebut

78 % Makanan/minuman 13 % Pekerjaan 20 % Lain-lain Pernahkah Melakukan Upaya Mengurangi Sampah

63 % Pernah

37 % Tidak Pernah


/NAMA KONTEN/

PENGANTAR KAMPUSIANA Seputar kampus. Informasi. Dosen. Sistem. Tembalang. Vokasi. Mahasiswa. Pendidikan. Nilai. Soft skill. Wawasan. Struktur. Institusi. Perjalanan. Regenerasi. Direktorat. Studi. Go green. Politeknik. Administrasi. Pengalaman. Idealis. Semarang. Program. Ilmu. Kepegawaian.

edisi 48 | majalah dimensi

35


\ SPEAK UP \

36

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

edisi 48 | majalah dimensi

37


\ KAMPUSIANA \

Seluk Beluk

Kepegawaian Polines Oleh : Arum Ambarwati

S

EBAGAI lembaga pendidikan tinggi, Polines berada di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan khususnya Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti). Oleh karena itu sebagian besar peraturan di Polines menginduk pada peraturan pemerintah. Demikian halnya dengan pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Dengan jumlah karyawan sekitar enam ratus orang, Polines mengelola mereka sesuai dengan apa yang diatur oleh pemerintah. “Mayoritas pegawai dan karyawan disini telah berstatus PNS, yaitu sebanyak lima ratus tujuh puluh enam orang. Selain itu masih ada empat orang berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dan dua puluh enam orang berstatus pegawai harian lepas”, terang Kepala Sub Bagian (Kasubag) Kepegawaian, Kasidi. Jumlah PNS terdiri dari dosen dan pegawai administrasi. Pegawai-pegawai tersebut direkrut secara nasional dalam perekrutan CPNS yang diadakan oleh pemerintah pusat. Untuk mengikuti perekrutan, pertama Polines mengajukan usulan kebutuhan PNS pada pemerintah dilampiri dengan analisa beban kerja institusi. Setelah itu pemerintah akan menerbitkan formasi kebutuhan PNS untuk masing-masing lembaga. Pada tahun 2010 Polines mendapat formasi PNS sebanyak tiga orang. Namun sayangnya yang memenuhi kualifikasi hanya satu orang. Pada tahun 2011 formasi meningkat menjadi enam orang dengan jumlah pelamar satu orang. Malangnya, ia tidak lulus kualifikasi sehingga tidak diterima. “Saya rasa hal ini menunjukkan bahwa peminat profesi sebagai dosen saat ini cukup minim. Padahal kami sudah berusaha menyosialisasikannya di media, website, bahkan kampus-kampus selain Polines”, tutur Riyadi selaku Wakil Direktur II.

Mengenai penyimpanganpenyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pegawai Polines, pihak institusi mengembalikan sepenuhnya pada peraturan yang berlaku

38

majalah dimensi | edisi 48

Tahapan selanjutnya para pelamar akan mengikuti seleksi CPNS secara nasional. Seleksi yang dimaksud termasuk seleksi administrasi, seleksi akademis, dan psikotes. Pelamar-pelamar yang diterima akan diumumkan melalui website dan surat kabar. Kemudian mereka akan melewati proses pemberkasan termasuk pembuatan Nomor Induk Pegawai (NIP) dan penerbitan Surat Tugas. Satu tahun setelahnya mereka akan mengikuti kegiatan pra jabatan selama tiga hingga empat minggu. Pra jabatan ini dilaksanakan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Bogor atau di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Semarang. Segera setelah seorang pelamar dinyatakan diterima sebagai PNS di Polines, maka mereka akan segera bekerja sesuai dengan bagian yang ia ajukan di surat lamaran. Namun sebelumnya mereka akan mendapatkan orientasi institusi dan tes kesehatan dari Polines. Pada masa jabatan pegawainya, Polines juga menyertakan mereka pada pelatihan-pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas SDM. Diantaranya adalah Training Administrasi, Training Kepegawaian, Kearsipan, Kehumasan, dan Training Perawatan. Training tersebut bertempat di lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta atau di Pusat Pendidikan


dan Pengembangan (Pusdikbang) Bogor selama kurang lebih tiga bulan. Sekembalinya di institusi mereka dituntut untuk menerapkan ilmu yang telah mereka peroleh dan akan dievaluasi secara berkala.

ini tercantum dalam pernyataan bahwa pegawai harian lepas tidak akan menuntut untuk menjadi PNS ataupun menjadi pegawai tetap oleh pihak Polines. Hal ini berarti mereka harus siap untuk diberhentikan sewaktu-waktu.

Sedangkan para pegawai harian lepas adalah tenaga kebersihan dan taman dengan kualifikasi pendidikan SD dan SMP. Pada mulanya tenaga kebersihan dan taman di Polines diambilkan dari lembaga lain seperti perusahaan Cleaning Service. Namun sejak bulan Mei 2012 tenaga tersebut mulai direkrut secara swakelola. Maksudnya Polines mengadakan perekrutan secara mandiri tanpa campur tangan pihak lain. Cara ini ditempuh dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan tenaga kebersihan dan taman.

Mengenai penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pegawai Polines, pihak institusi mengembalikan sepenuhnya pada peraturan yang berlaku.

Prosedur perekrutan tenaga tersebut diawali dengan pengumuman lowongan pekerjaan dan pendaftaran sesuai dengan kebutuhan. Lowongan ini dipublikasikan baik di papan-papan pengumuman atau melalui website resmi Polines. Namun, waktu publikasi ini sangat singkat. Dan nantinya surat lamaran masuk yang akan diproses hanyalah surat lamaran yang baru, terhitung sejak tanggal diumumkannya lowongan. Oleh sebab itu para pelamar tidak akan bisa menyerahkan “surat lamaran titipan” di Polines. Selanjutnya para pelamar akan menempuh tes tertulis dan wawancara sebelum dinyatakan lulus dan diterima. “Proses ini kira-kira membutuhkan waktu lima hari. Tiga hari untuk pendaftaran dan dua hari untuk seleksi”, jelas Kasidi. Untuk menghindari kejenuhan pegawai di Polines, pihak institusi memiliki kebijakan-kebijakan tertentu berkaitan dengan hal tersebut. Kebijakan tersebut diantaranya adalah adanya sistem rotasi antar bagian administrasi. Selain itu Polines juga memiliki program kesejahteraan pegawai. Yaitu diantaranya mengadakan rangkaian lomba-lomba dalam rangka Dies Natalis serta melaksanakan senam pagi secara rutin setiap hari Jumat. Seperti halnya lembaga lain, Polines juga memberikan kesempatan bagi para pegawainya untuk mendapatkan promosi atau kenaikan jabatan. Namun kenaikan jabatan ini hanya diperuntukkan bagi para pegawai yang berstatus PNS. Prosedur kenaikan jabatan ini telah diatur dalam ketentuan perundangan yang berlaku. Sedangkan untuk pegawai harian lepas memang tidak diberi kesempatan untuk merasakan kenaikan jabatan atau dipromosikan. Hal ini telah tercantum dalam kontrak kerja para pegawai. Lebih lanjut ketentuan

Menurut Kasidi, seluruh ketentuan tersebut telah tercantum pada kontrak kerja PNS yang telah mereka sepakati. Semua itu telah dijelaskan ketika pegawai mengikuti pra jabatan. Sehingga apabila ada penyimpangan pihak Polines cukup memberlakukan apa yang telah tercantum dalam peraturan pemerintah. Terutama yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam peraturan yang memuat lima puluh satu pasal tersebut telah diatur segala hal tentang disiplin PNS. Mulai dari ketentuan umum, kewajiban dan larangan PNS, hingga pemberlakuan hukuman disiplin dan pendokumentasian keputusan hukuman disiplin. Selain itu didalamnya juga dijelaskan jenis-jenis pelanggaran disiplin (ringan, sedang, berat), jenis hukuman, pejabat yang berwenang menghukum, tata cara pemanggilan, pemeriksaan, penjatuhan, dan penyampaian keputusan hukuman disiplin, serta upaya administratif berupa keberatan dan banding). Sementara bagi pegawai harian lepas, Polines memiliki kewenangan sendiri dalam mengatasi penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan. Mulai dari teguran lisan, pemberian pernyataan tidak puas, penundaan gaji berkala, penurunan pangkat, hingga pemberhentian pekerjaan. “Kami berusaha bersikap luwes dan fleksibel. Jika memang mereka tidak nyaman dengan kondisi pekerjaannya, kami mempersilakan mereka untuk mengundurkan diri, baik pegawai berstatus PNS maupun pegawai harian lepas. Toh semuanya sudah diatur dalam kontrak kerja dan mereka tentunya mengetahui konsekuensinya”, ungkap Kasidi. Pada faktanya masalah pelanggaran pegawai di Polines baru sebatas pelanggaran kedisiplinan. Untuk mengatasinya Polines telah memberlakukan program absensi dengan sistem finger print. Dengan sistem ini diharapkan tingkat kedisiplinan pegawai akan mengalami peningkatan.

edisi 48 | majalah dimensi

39


Sebagian besar dari kita pasti sudah pernah mengunjungi Yogyakarta. Normalnya, perjalanan dari Semarang ke Yogyakarta ditempuh selama kurang lebih 3 jam. Namun dua mahasiswa Polines ini menempuh perjalanan SemarangYogyakarta secara “tak normal”. Seperti apa perjalanan 11 jam mereka menuju kota budaya ini?

M

EREKA adalah Dawang Wahyuda (21) dan Muhammad Burhani Shofiyuddin (21). Keduanya merupakan mahasiswa Program Studi Teknik Konversi Energi, Jurusan Teknik Mesin angkatan 2010. Sama-sama memiliki hobi bersepeda alias gowes, keduanya pun memutuskan untuk mencoba hal baru bersama. “Karena ke Jogja naik motor udah terlalu mainstream,” tutur Burhan saat ditanya motivasi mereka melakukan perjalanan ini. Sedangkan Dawang mengungkapkan bahwa ia sudah sejak lama ingin bersepeda ke luar kota. Berangkat dari Pom Bensin Undip pada pukul 6 pagi tanggal 24 Desember 2012, Dawang dan Burhan memulai perjalanan mereka. Sebelum berangkat, mereka memastikan bahwa kondisi sepeda dalam keadaan prima. Tak lupa juga mereka membawa perlengkapanperlengkapan sepeda seperti pompa. Bagi pesepeda, perlengkapan tambahan wajib dibawa saat akan melakukan perjalanan jauh. Apalagi, tak

seperti rombongan turing sepeda lainnya, perjalanan gowes Dawang dan Burhan ini tak disertai safety car. Biasanya, rombongan turing sepeda diikuti oleh satu atau lebih safety car. Tujuannya untuk mengantisipasi bila ada peserta yang kecelakaan, sakit, atau sepeda yang rusak. Berbagai pengalaman baru mereka rasakan. Mulai dari kondisi lalu lintas yang ramai, trek yang berat, serta polusi yang tak bisa mereka hindari. “Kalau tanjakannya nggak terlalu tinggi ya kita tetep genjot. Baru di tanjakan Jambu (Ambarawa-red) itu kita nuntun,” kata Dawang. Ditanya apakah lelah atau tidak, mereka menjawab iya. Namun semua itu terbayar saat mereka tiba di Yogyakarta. Menjadi kepuasan tersendiri saat mereka telah berhasil menempuh perjalanan dari Semarang menuju Yogyakarta dengan mengendarai sepeda. Mereka tiba di Yogyakarta sekitar pukul 5 sore waktu setempat. Tempat yang mereka tuju pertama kali adalah Tugu Yogyakarta. Awalnya, mereka belum tahu akan kemana setelah tiba di Yogyakarta. Tak satupun famili ada yang tinggal disana. Selain itu, beberapa kawan asal Semarang yang tinggal di Yogyakarta

40

majalah dimensi | edisi 48


Oleh : Bela Jannahti Foto : Dok. Pribadi

“Alhamdulilah. Kita dikasih sangu. Kita buat sewa losmen selama 2 hari 3 malam,” ungkap Dawang. Dawang dan Burhan mengaku bahwa banyak orang yang tak percaya sekaligus terkejut saat mengetahui bahwa mereka berdua telah bersepeda dari Semarang menuju Yogyakarta, termasuk salah seorang polisi lalu lintas. Selama berada di Yogyakarta, keduanya berkeliling kota pelajar ini. Berkenalan dengan beberapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada juga menjadi pengalaman tersendiri bagi mereka.

ternyata sedang pulang kampung karena saat itu merupakan masa libur. Beruntung, kebetulan Direktur Polines, Totok Prasetyo, juga sedang berada di Yogyakarta. Dawang sebelumnya telah memberi kabar ke Pak Totok bahwa ia dan kawannya akan menuju ke Yogyakarta dengan mengendarai sepeda via Facebook. Saat tiba di Magelang, Dawang menerima telepon. “Mas, sudah sampai mana? Kita tunggu di Hotel Santika”, kata suara di seberang telepon itu. Dawang awalnya tak menyadari bahwa yang baru saja meneleponnya adalah Direktur Polines. Belum sempat tiba di Hotel Santika, Pak Totok beserta keluarganya sudah pergi dari sana. Sehingga mereka akhirnya bertemu di Malioboro. Pak Totok tak menyangka ada mahasiswanya yang nekat menempuh Semarang-Yogyakarta dengan sepeda.

“Kita juga bagi-bagi stiker dari Forum Komunikasi Mahasiswa Teknik Energi (FKMTE) Polines”, tambah Burhan. Stiker yang dimaksud adalah stiker sebagai bentuk kampanye untuk penghematan energi. Ketika akan pulang ke Semarang, ada satu masalah. Rencananya, mereka akan pulang ke Semarang dengan kereta api, dan sepeda mereka dibawa serta. Ternyata pihak PT KAI tak membolehkan sepeda mereka diangkut dengan kereta. Akhirnya, mereka memutuskan untuk naik bis dan sepeda dimasukkan ke bagasi bis. Dawang dan Burhan menceritakan juga bahwa setelah perjalanan gowes itu, mereka tak merasa kelelahan berlebih atau sakit. “Malah habis itu di badan rasanya jadi enteng, jadi lebih seger”, ungkap Burhan. Di penghujung wawancara, Dawang menyampaikan pesan untuk seluruh mahasiswa Polines. “Salam gowes! Ayo budayakan sepeda untuk lingkungan yang bersih”.

edisi 48 | majalah dimensi

41


42

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

PENGANTAR SEMARANGAN Semarang. Central of Java. Kuliner. Kota. Khas. Masyarakat. Ibukota. Budaya. Fasilitas. Domisili. Pendidikan. Tembalang. Pemerintahan. Komunitas. Kreativitas. Jabungan. Sahabat Mata. Asa. Jamu Jun. Ekonomi. Simpang Lima. Penduduk. Kampung. Akses. Edukasi. Tenggang rasa. Infrastruktur.

edisi 48 | majalah dimensi

43


Iwan beserta salah seorang kawan didepan rumah Iwan

\ PENDIDIKAN \

Cerita Jabungan Oleh: Ika Safitriana | Foto : Bela Jannahti

Kemerataan pendidikan tak hanya bicara masalah jarak dan akses. Jabungan menjadi salah satu buktinya.

S

UASANA alam Jabungan masih asri, masih terdapat sawah-sawah berhamparkan tanaman padi di sana. Jalanannya naik turun. Juga masih terdapat rumah-rumah terbuat dari kayu dan beralaskan tanah. Diapit oleh kelurahan Meteseh di sebelah utara, Kabupaten Semarang di sebelah selatan, Kelurahan Padangsari di sebelah barat dan Kelurahan Kalikayen di sebelah timur. Jabungan terlihat masih tradisional dan hijau. Adanya berbagai institusi pendidikan tinggi di Banyumanik seperti Universitas Diponegoro, Universitas Pandanaran, Politeknik Negeri Semarang, dan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang, tak serta merta menjadikan Banyumanik sebagai daerah yang merata pendidikannya. Masih terdapat daerah yang belum terjangkau oleh kemajuan pendidikan. Sebut saja Jabungan, kelurahan yang terletak kurang lebih tiga kilometer dari Tembalang. Saya dan salah seorang rekan beruntung bisa

44

majalah dimensi | edisi 48

mengunjungi kelurahan ini. Siang itu menyusuri jalanan Jabungan yang naik turun dengan aspal yang sebagian besar rusak, kami menjumpai salah seorang anak kecil berumur enam tahunan, mengenakan seragam sekolah. Iwan namanya. Kesempatan bertemu Iwan ini tidak kami sia-siakan begitu saja, saya dan rekan pun tertarik untuk menyambangi kediaman Iwan untuk bertemu dengan orang tuanya. Kami disambut sebuah rumah kayu yang batangbatangnya tak utuh, masih beralaskan tanah. Rumahnya sangat sederhana, bahkan kami kira itu bukan rumah yang layak huni. Di dalamnya ayamayam juga berkeliaran. Pembicaraan pun mengalir. Kami berbicara mengenai pendidikan, terutama pendidikan Iwan nantinya. Di tengah keterbatasannya, Musyariah mengungkapkan akan tetap berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Ia berharap agar kelak anak-anaknya tidak bernasib sepertinya. Bahkan Musyariah memiliki pemikiran


untuk tidak mempunyai banyak anak agar tak kesulitan membiayainya. “Kalau bisa ya anaknya udah, dua aja, biar bisa keurus semua, bisa sekolah semua nanti�, tutur Musyariah sembari tersenyum. Setelah mendatangi rumah Iwan, kami melanjukan perjalanan ke kediaman warga Jabungan lainnya. Kami berkesempatan untuk bertemu dengan Rustam, orang tua dari Lisa Indriani, seorang anak berprestasi dari SD Negeri Jabungan. Lisa pernah meraih prestasi sebagai juara III OSN tingkat Kecamatan Banyumanik.

Musyariah dan Rustam adalah potret penduduk Jabungan yang masih memiliki harapan dari pendidikan anak-anaknya. Di tengah keterbatasan akan kondisi ekonomi mereka, mereka tetap berusaha untuk menyekolahkan anakanaknya. Masalah ekonomi memang telah menjadi penghalang besar bagi penduduk Jabungan untuk dapat mengakses pendidikan. Data monografi Kelurahan Jabungan periode Juni-Desember 2012 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Jabungan adalah sebanyak 3177 jiwa, tersebar dalam 943 kepala keluarga. Menurut data ini, mata pencaharian penduduk di Jabungan terdiri dari petani sebanyak 274 jiwa, buruh tani sebanyak 274 jiwa, pengusaha sebanyak 245 jiwa, buruh industri sebanyak 628 jiwa, pedagang sebanyak 20 jiwa, jasa pengangkutan sebanyak 28 jiwa, pegawai negeri sebanyak 33 jiwa dan pensiunan sebesar 218 jiwa.

Hal ini dibenarkan oleh Edris, kepala Kelurahan Jabungan. Ia berpendapat bahwa kendala kurang majunya pendidikan di Jabungan adalah masalah ekonomi dan pemikiran masyarakatnya yang kebanyakan masih primitif. Edris dan staf-stafnya mengaku sedang berusaha untuk mendidik warganya lewat berbagai pelatihan dan program pengembangan masyarakat. Melihat fakta seperti ini, Nana Storada, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Semarang menyatakan bahwa Dinas Pendidikan akan melakukan pembinaan karakter ke siswa bahwa sekolah itu penting melalui berbagai mata pelajaran yang diajarkan ke sekolah. Selain itu Dinas Pendidikan akan terbuka sekali untuk memberi fasilitas atau biaya bagi mereka yang membutuhkan asal menyampaikannya kepada Dinas Pendidikan. “Jangan takut biaya, ada beasiswa,� ungkapnya. Masalah mata pencaharian dan pendidikan di Jabungan sangat berkaitan. Mata pencaharian yang tidak mendukung menyebabkan kesulitan untuk menjangkau pendidikan. Begitu pun sebaliknya, dengan tingkat pendidikan rendah, masyarakat tidak mampu mendapatkan mata pencaharian yang layak. Masalah pendidikan adalah hal yang kompleks. Perhatian dari berbagai pihak sangat diperlukan demi terwujudnya sinergi pendidikan dengan pembangunan, mulai dari diri sendiri, orang tua, guru, lembaga pendidikan dan masyarakat itu sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Dengan jumlah penduduk seperti di atas, Jabungan hanya memiliki 2 gedung kelompok bermain, 1 gedung Taman Kanak-Kanak, serta 1 gedung Sekolah Dasar dan 1 gedung Madrasah Ibtidaiyah. Dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian di Jabungan didominasi oleh buruh yang rata-rata berpendapatan rendah. Sambari, salah satu staf kelurahan Jabungan menyatakan bahwa 75% penduduk Jabungan berstatus miskin.

Kepala Kelurahan Jabungan

siswa SD Jabungan

Senada dengan Musyariah, Rustam pun akan berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya, apalagi kedua anak Rustam adalah anak berprestasi di sekolahnya.

wilayah perkotaan, apalagi Banyumanik menjadi sentra mahasiswa dengan hadirnya beberapa perguruan tinggi di dalamnya.

Orientasi pendudukan Jabungan menurut Sambari adalah segera bekerja secepat mungkin. Tak heran jika jumlah penduduk yang melanjutkan pendidikan semakin mengerucut. Keadaan ini sungguh disayangkan mengingat Jabungan masuk ke dalam

edisi 48 | majalah dimensi

45


TER HABIS TERANG Bagaimana mereka bertahan dalam kegelapan yang tak kunjung usai?

B

ILA kita biasa mendengar jargon terkenal dari RA Kartini, “Habis gelap terbitlah terang�, lain halnya dengan kawan-kawan kita di Komunitas Sahabat Mata. Mereka yang awalnya mampu melihat dengan normal seperti kita, tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa mata mereka tak mampu lagi menangkap cahaya. Kegelapan pun menyertai mereka setiap waktu. Komunitas yang beranggotakan penderita tunanetra ini berdiri pada 1 Mei 2008. Melalui Sahabat Mata, mereka ingin tetap percaya diri dan bisa berbagi. “Dari tunanetra, oleh tunanetra, untuk semuanya�, ujar Basuki selaku pendiri Yayasan. Basuki juga seorang tunanetra. Pada usia ke-30 ia nyaris depresi karena kehilangan kemampuan melihatnya. Bahkan mantan sales buku ini sempat syok dan terlalu enggan untuk bertemu dengan sahabat dan koleganya sendiri.

Foto : Dian Adi Pratama

Namun masa tersebut tidak berlangsung lama. Berkat dukungan istri dan anaknya, ia mampu bangkit dari keterpurukan. Dari kegemarannya mendengarkan radio, ia mulai berani kembali berinteraksi dengan orang lain. Hingga akhirnya pada tahun 2007 ia bergabung dengan sebuah komunitas yang kemudian terbentuklah Yayasan Sahabat Mata. Ia ingin para rekan-rekan tunanetra tidak hanya berdiam diri. Basuki ingin mereka tetap percaya diri, berkarya, dan bermanfaat untuk banyak orang.

46

majalah dimensi | edisi 48


/ KOMUNITAS /

RBITLAH GELAP Oleh : Arum Ambarwati dan Intan Pranita

Pada awalnya pusat kegiatan mereka berlokasi di Kampung Wot Perahu, Jalan MT Haryono 23 Semarang. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya kegiatan, akhirnya mereka mendirikan pusat kegiatan di Jatisari Asabri D6/35 Mijen, Ngaliyan, Semarang. Pusat kegiatan itulah yang kita kenal dengan Rumah Sahabat. Di rumah yang juga dilengkapi dengan hot spot area tersebut, mereka melakukan banyak hal. Keterbatasan tak menghalangi mereka untuk berkarya. Justru mereka beranggapan, Tuhan telah menganugerahkan sesuatu yang lain ketika Dia menghendaki mereka tak mampu melihat lagi. “Bersama kekurangan ada kelebihan”, ujar Basuki. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan ialah melalui sebuah radio, yaitu Radio SAMA FM. Resmi didirikan pada 17 Oktober 2010, SAMA FM bertujuan sebagai sarana bagi rekan-rekan sahabat untuk belajar berinteraksi dan berkomunikasi. Selain acara musik, SAMA FM juga memiliki program sharing bersama sekolah-sekolah, diskusi interaktif, dan konsultasi kesehatan. Bahkan mereka juga mempunyai program khusus bagi masyarakat sekitar yang ingin menyiarkan secara langsung acara atau hajatan yang sedang mereka gelar. Radio ini juga mempunyai seorang penyiar dan music director sendiri bernama Shofyan Alaidrus, yang juga seorang tunanetra. Selain mengelola radio, mereka juga belajar mengoperasikan komputer, membaca huruf braile,

latihan memijat, dan membaca Al Qur’an braile. Untuk menunjang kegiatan tersebut, mereka telah memiliki komputer berbicara, buku digital, dan Al Qur’an braile. Saat ini mereka juga belajar fotografi bersama Unit Kegiatan Mahasiswa bidang fotografi Univeritas Diponegoro. Program fotografi untuk tunanetra tersebut bahkan pernah menampilkan hasil karyanya di sebuah pameran foto. Hal ini membuktikan bahwa mereka pun dapat melakukan suatu hal yang selama ini hanya dilakukan oleh orang yang awas. Selain kegiatan-kegiatan rutin tersebut, Sahabat Mata juga aktif dalam pelayanan untuk alat bantu tunanetra seperti tongkat, alat tulis, dan lain-lain. “Salah satu misi Sahabat Mata adalah menggalang gerakan nyata mengurangi resiko kebutaan, maka kemarin Sahabat Mata mengadakan pemeriksaan mata bagi adik-adik pelajar SD hingga SMA. Kemudian yang memang membutuhkan kaca mata dan perlu dibantu, mereka kami beri kacamata gratis”, jelas Basuki. “Untuk tahap pertama program ini kami adakan bulan September yang lalu, dan kami berbagi sebanyak seribu kacamata”, tambahnya. Mengenai keanggotaan, Sahabat Mata tidak menentukan persyaratan khusus. Basuki mempersilakan bagi siapa saja yang ingin belajar di Sahabat Mata. Menurutnya, saat ini jumlah sahabat yang telah belajar bersama Sahabat Mata sudah mencapai empat ratusan orang. Mereka berasal dari seluruh penjuru tanah air. Usia mereka pun beragam, dari balita hingga dewasa. Sarana pembelajarannya bermacam-macam. Ada yang datang langsung ke rumah sahabat, via telepon, ataupun pihak sahabat mata sendiri yang mengunjungi para rekan tunanetra yang ingin belajar. Dengan hal-hal tersebut, mereka berharap Sahabat Mata dapat menginsipirasi dan memotivasi rekan tunanetra lainnya, agar mereka juga tetap berkarya dan bermanfaat bagi masyarakat.

edisi 48 | majalah dimensi

47


\ KULINER \

JAMU JUN Si Langka

yang Menghangatkan Oleh : Ratih Widyaningrum

S

ETIAP daerah pasti memiliki keunikan masing-masing. Keunikan itu bisa dari sisi kebudayaan, adat istiadat, perilaku, bahasa, dan juga makanan khasnya. Begitu pula dengan Semarang, kota ini mempunyai keunikan yang beragam. Mulai dari kebudayaan Jawa yang memegang teguh kepercayaan nenek moyang, hingga berbagai macam kuliner. Dibenak kalian, jika ditanya apa makanan khas Semarang yang akan terjawab pasti loenpia atau wingko babat, bisa juga tahu gimbal, tahu bakso bahkan bandeng presto. Ya, jenisjenis makanan khas tadi setidaknya masih bisa ditemukan di beberapa tempat pusat oleh-oleh Semarang dan lebih bervarian. Lalu bagaimana dengan makanan khas Semarang yang sekarang ini sulit untuk ditemukan keberadaannya? Salah satunya seperti makanan yang bernama Jamu Jun.

48

majalah dimensi | edisi 48

Tidak asing ditelinga kita mendengar kata “jamu�. Jamu biasanya identik dengan rasa pahit di lidah. Namun hal itu bertolak belakang dengan rasa Jamu Jun yang manis, legit dan sedikit pedas. Makanan ini memiliki masa kejayaanya di Semarang pada era 1980-an. Tampilannya bisa dikatakan mirip dengan bubur sumsum, namun Jamu Jun lebih encer. Selain itu yang membedakan lagi, dirasakan rempah-rempah sebagai bahan campurannya yang mengandung banyak manfaat dan berkhasiat bagi tubuh. Makanan yang biasanya ditaruh dalam Jun atau sejenis kendi berukuran sedang yang terbuat dari tanah liat ini memberikan rasa hangat diperut serta tenggorokan karena campuran rempahnya. Makanan ini terbuat dari campuran air, tepung beras, tepung ketan, santan, gula jawa, gula pasir, daun pandan, dan rempah-rempah. Rempahrempah yang dicampurkan antara lain jahe, serai, merica, dan kayu manis. Selain itu agar lebih


mantap lagi, bahan tersebut ditambah dengan selo (bubuk putih dari bahan herbal), serta bola-bola kecil berwarna coklat yang dinamakan krasikan (dibuat dari campuran parutan kelapa, jahe, gula merah, dan tepung ketan). Untuk penyajiannya, Jamu Jun dituang dalam sebuah mangkuk dan dibubuhi sedikit merica. Dulu Jamu Jun dijual deng-an cara digendong dan dijajakan disekitar Semarang, namun saat ini penganan tersebut sudah jarang ditemukan karena hanya sedikit orang yang mau meneruskan kuliner warisan nenek moyang ini. Seperti yang diungkapkan oleh seorang penjual Jamu Jun yang sudah kurang lebih 25 tahun menekuni profesinya, di Semarang sangat jarang ditemukan penjaja Jamu Jun. Menurut penuturan wanita paruh baya yang biasa dipanggil Mbok Jamu ini, beliau hanya menjajakan Jamu Jun di Pasar Gang Baru dan di Stadion Diponegoro pada hari Minggu pagi saja. Dengan masih menggunakan gendongan, ia menjual Jamu Jun dari pukul 05.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB.

Penganan ini sangat murah dan terjangkau untuk semua kalangan. Dulu dijual seharga Rp 500,- untuk harga anak-anak dan Rp 1000,- untuk dewasa. Saat ini harga per mangkuknya mencapai Rp 2000,sampai Rp 3000,-. Jika ingin mencobanya sewaktu-waktu, anda bisa mendatangi warung kecil di Jalan Lampersari Raya. Disana di jual Jamu Jun dan Es Gempol. Selain itu bisa anda temukan di daerah kampung Semawis atau Pecinan. Cukup murah bukan untuk mencicipi semangkuk Jamu Jun yang memiliki banyak manfaat dan khasiat bagi kesehatan tubuh kita? Bagi yang penasaran akan rasa jamu jun silakan mencoba.

a

Keterangan Gambar: a. Semangkuk Jamu Jun b. Krasikan c. Perkakas Jamu Jun d. Penjual Jamu Jun

b c

Foto : Ratih Widyaningrum

d

edisi 48 | majalah dimensi

49


\ PIGURA \

Oleh : Dian Adi Pratama, Nurul Rizqia Septyani, Mochamad Yanuar Nur Adi

TEPAT pada malam Jumat Kliwon itu para pemuda pewaris budaya yang berasal dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta unjuk gigi melalui pagelaran wayang kulit. Pukul 20.51 lampu gedung di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) mulai dimatikan satu per satu, iring-iringan gamelan menyusul senada dengan nyanyian merdu sang sinden. Tempo musik semakin dipercepat, menandakan Sang Dalang, Ki Anom Dwijokangko siap memimpin pasukan pagelaran wayang kulit menuju pentas wayang kulit “Bebrah Ngalengka�.

50

majalah dimensi | edisi 48


+ Bebrah Ngalengka, tema pagelaran yang penuh bintang wayang kulit.

Sang sutradara memainkan punakawan dalam pagelarannya.

Asap rokok, sahabat sejati para dalang.

edisi 48 | majalah dimensi

51


\NAMA KONTEN\

Raut muka sang dalang saat pentas, ekspresif dan penuh totalitas.

Bayang-bayang pemandangan dari balik pentas.

52

majalah dimensi | edisi 48

Warna-warni lampu sorot mampu menumbuhkan makna tersendiri.

3 sinden yang berasa


al dari 3 generasi.

/NAMA KONTEN/

Bantal, sebagai bekal salah satu sinden dalam sela-sela pentas.

Tingkah laku lugu dari salah seorang penonton kecil.

Ruangan penuh oleh para penonton.

edisi 48 | majalah dimensi

53


\NAMA KONTEN\

54

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

Catatan perjalanan. Langkah. Indonesia. Tiket. Sepatu. Cerita. Outdoor. Debu. Escape. Terminal. Puncak. Kawan. Jauh. New place. Bis. Wisata. Matahari. Kota. Petualangan. Tradisi. Kamera. Cuaca. Jawa. Tenda. Heritage. Eksplorasi. Lelah. Stasiun. Danau. Ransel. Seremonial. Foto. Gunung. Candi. Packing. Hangat. Legenda. Catatan perjalanan.

edisi 48 | majalah dimensi

55


\ TRADISI \

Ruwat Rambut Gimbal, Tradisi Asli Indonesia Oleh : Ahmad Gozali | Foto : Ido Ridwan Fidyanto

W

AKTU menunjukkan pukul 4 sore ketika kami bersiap berangkat menuju Dieng. Saya belum pernah pergi ke Dieng sebelumnya. Begitu pula Ido, rekan perjalanan saya. Tak disangka perjalanannya akan sejauh itu. Normalnya, dari Semarang menuju Dieng membutuhkan sekitar 4 jam perjalanan. Pukul 9 malam kami tiba di loket wisata Dieng. Untuk masuk, kami diharuskan membayar 5 ribu rupiah. Hawa dingin tanpa permisi menusuk-nusuk. Dieng merupakan daerah dataran tinggi, kurang lebih 2000 meter diatas permukaan laut. Terkenal dengan suhu dan cuacanya yang mirip di Eropa, hingga tak jarang ditemui kristal es pada dedaunan saat pagi hari. Mengapa kami rela menempuh perjalanan jauh nan dingin

56

majalah dimensi | edisi 48

untuk tiba di Dieng pada malam itu? Bukan hanya untuk berwisata dan menikmati keindahan alamnya. Berdasarkan informasi yang kami dapat, esok harinya, atau 1 Juli 2012, akan dilaksanakan tradisi khas Dieng yang amat terkenal, yaitu prosesi pemotongan rambut gimbal. Prosesi tersebut dirangkai dengan berbagai pagelaran budaya lainnya dalam acara bertajuk “Dieng Culture Festival 2012”. 2012 ini merupakan tahun ketiga dimana Dieng Culture Festival – sering disingkat DCF – digelar. DCF sendiri merupakan agenda tahunan yang mengangkat berbagai tradisi seni dan budaya masyarakat Dieng. Alif Faozi, ketua panitia acara ini, merupakan ketua Kluster Pariwisata Dieng dan juga ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) “Dieng Pandawa”. Ia mengatakan bahwa acara ini merupakan hasil kerjasama

dari berbagai pihak. Masyarakat sekitar, pemerintah, Pokdarwis Dieng Pandawa, serta berbagai pihak sponsor. “Dieng Culture Festival bukan hanya semata tentang tradisi Dieng, tapi juga tentang cinta alam yang berada di sekitar Dieng agar tidak menjadi gundul”, kata Alif. Wawancara kami dengan Alif berlangsung cukup lama di Pendopo Pelataran Dieng, namun harus kami sudahi karena akan dimulai acara selanjutnya, yakni pesta kembang api. Acara sebelumnya yang kami lewatkan adalah pagelaran wayang yang mengisahkan tentang masyarakat Dieng. Pesta kembang api yang dimaksudkan sebagai penutup rangkaian acara hari itu berlangsung amat meriah. Bupati Banjaranegara turut hadir. Tak ingin melewatkan begitu saja, kami


segera mengeluarkan kamera untuk mengabadikan momen tersebut. Paginya, setelah melihat golden sunrise di Puncak Sikunir, kami mencari sarapan sembari menunggu acara inti dari serangkaian acara Dieng Culture Festival. Setelah itu kami segera menuju ke rumah pemangku adat. Disana akan dilaksanakan upacara sebelum anak-anak rambut gimbal diarak mengelilingi kampung. Beberapa anak berambut gimbal duduk di delman, nampak riang. Tak jauh dari delman itu, terlihat beberapa mainan anak-anak dan seekor kambing. Barang-barang itu adalah permintaan dari si anak. Sesuai tradisi, sebelum diruwat atau dipotong, apapun yang menjadi permintaan si anak harus dituruti. Hari itu ada empat anak rambut gimbal yang akan diruwat. Nadia Retnowati asal Sidareja, Kecamatan Batur; Intan asal Beji, Kecamatan Pejawaran; Nur asal Bitingan Kepakisan, Kecamatan Batur; dan Farhan Aska Taslimi asal Karangtengah, Kecamatan Batur. Nadia Retnowati asal Sidareja, Kecamatan Batur, meminta

uang jajan kepada orangtuanya sebagai syarat. Lain dengan Intan asal Beji, Kecamatan Pejawaran, yang meminta disediakan bakso. Nur asal Bitingan Kepakisan, Kecamatan Batur, meminta sepasang giwang atau anting emas. Sedangkan yang terakhir, Farhan Aska Taslimi asal Karangtengah, Kecamatan Batur, meminta seekor kambing. Seluruh permintaan mereka tersebut ditanggung oleh panitia DCF 2012. Setelah selesai didoakan oleh sang pemangku adat, keempat anak itu diarak keliling desa. Dalam kirab tersebut terdapat pula Singo Barong Sari Kencono dari Dieng Kulon, Tari Tradisional Rampak Yakso Pringgodani dan pertunjukan seni tradisional lainnya. Rombongan kirab dipimpin oleh pembawa sesaji dan tokoh masyarakat setempat. Tujuan pertama adalah Sendang Sedayu. Dua kembar kain putih panjang telah terhampar mulai dari pelataran sendang hingga tempat jamasan atau pemandian anak-anak rambut gimbal. Jamasan berlangsung dengan diiringi beberapa tembang Jawa yang berisi doa-doa agar si bocah memiliki masa depan yang

cerah dan tak melupakan orangtuanya. Sebagian dari tembang yang dinyanyikan merupakan tembang bikinan si penembang sendiri. Setelah jamasan, prosesi selanjutnya adalah pemotongan rambut di dalam Candi Arjuna. Pemotongan dilakukan pleh tetua atau tokoh masyarakat didampingi pemangku adat. Belum selesai, setelah pemotongan masih ada prosesi ngalap berkah dan pelarungan. Konon, anak rambut gimbal adalah titipan dari sang penguasa laut selatan. Maka dari itu potongan rambut gimbal harus dilarung atau dialirkan ke sungai yang bermuara di Laut Selatan. Selain itu, pelarungan tersebut memiliki filosofi membuang segala kesialan. Sayang sekali, karena hari sudah beranjak sore. Kami memutuskan untuk pulang sebelum serangkaian acara ditutup karena besok pagi harus kuliah. Pengalaman yang tak akan kami lupakan, berkesempatan melihat secara dekat salah satu tradisi asli Indonesia yang hingga kini masih dilestarikan.

edisi 48 | majalah dimensi

57


\ SKETSA \

“P

Kalo berani jangan takut-takut

kalo takut jangan berani-berani

“

AGI itu, saya bersama seorang kawan menginjakkan kaki di kawasan Dieng tepat pukul enam waktu setempat. Tak ubahnya dataran tinggi lain, suhu udara di daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut ini sudah sangat cukup untuk membuat tubuh gemetaran. Tujuan pertama kami adalah Kawasan Candi Arjuna yang berada di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara. Tempat ini sangat familiar bagi saya karena beberapa waktu lalu beberapa rekan saya mengambil banyak foto tentang tradisi Ruwat Rambut Gembel di kawasan ini. Teringat hal tersebut, keingintahuan saya tergugah. Bukan secara langsung tentang apa makna tradisi tersebut, bukan tentang sejarahnya dan bukan pula tentang hal-hal mistik yang terkandung di dalamnya. Keingintahuan saya justru berasal dari perspekif yang berbeda. Siapa ‘penanggung jawab’ tradisi yang dilakukan disana? Bagaimana aktivitas kesehariannya?

58

majalah dimensi | edisi 48


Beruntung, kami melihat seorang wanita paruh baya melintas. Ibu itu ternyata seorang pedagang. Sambil memanggul barang, tangan kirinya memegang sebatang rokok yang sesekali dihisapnya. Segera saya menghampirinya untuk bertanya tentang ‘penanggung jawab’ kawasan ini. “Oh sesepuhnya ya? Rumahnya dekat sini kok,” jawabnya tanpa basa-basi. Saya pun diberi arahan menuju kediaman sang sesepuh. Kami berhasil menemukan kediamannya setelah sekian ratus meter berjalan. Rumah bernomor 41, RT.03/RW.01, Desa Dieng Kulon, Banjarnegara. Seorang pria lanjut usia berkumis tebal, berjenggot panjang dan berjaket hitam tebal menyambut kami dengan ramah. Perlakuannya tak sama dengan kesan pertama yang kami rasakan saat melihatnya, sangar. Aura kejawen tergambar kental dari sorot mata coklatnya. Sungguh sesuatu kesempatan yang unik kami bisa bertemu untuk bercengkrama dengannya. Naryono, begitulah nama aslinya. Pria berusia 64 tahun yang lebih memilih disebut pemangku adat daripada juru kunci. Seorang ‘mantan’ anak gimbal ruwatan di era 50-an yang menjadi penanggung jawab tradisi tersebut di masa kini. Memang ialah yang menjadi penanggung jawab utama dua adat besar yang sudah menjadi tradisi tahunan dari zaman nenek moyangnya. Dua adat tersebut tidak lain adalah Adat Sedekah Bumi (adat untuk menunjukkan rasa syukur atas hasil panen) dan Ruwat Anak Gimbal (Lihat : Rubrik Tradisi hal. 56). Mendengar cerita bahwa tradisi disana hanya dilaksanakan masingmasing sekali setiap tahunnya, mengundang rasa penasaran saya tentang kehidupan kesehariannya. Dalam konteks ini, ternyata ia pun tetap berlaku menjadi sang ‘penanggung jawab’ tempat-tempat sakral di kawasan Dieng Kulon, diantaranya adalah sembilan bangunan candi yang tersebar. Candi-candi yang dimaksud adalah Candi Semar, Candi Arjuna, Candi Sembada, Candi Puntadewa, Candi Srikandi, Candi Dwarawati, Candi Sekati, Candi Gathotkaca dan Candi Bima. Ia melakoni profesi ini karena mendapat warisan dari pakdenya. Setelah pakde yang ia panggil dengan sebutan Pakde Darmuji meninggal, ialah satu-satunya saudara yang dipercaya menjadi penerus. “Saya itu orang bodoh, bukan orang pintar, bukan paranormal. Saya cuma orang yang dapet kepercayaan saja”, tutur pria asli Dieng ini sambil lalu. Dari yang ia terangkan pada kami, sudah semenjak tahun 80-an pakdenya mewanti-wanti bahwa ialah yang akan meneruskan. “Kalo kamu sudah tua, kamu yang menggantikan saya”, kenangnya menirukan kata-kata dari Pakde Darmuji. Menjadi pengayom dan penjaga tradisi di kawasan ini tentu harus memenuhi beberapa persyaratan untuk mengawalinya. Berpuasa minimal setiap hari Jumat dan Selasa Kliwon misalnya, atau minimal 150 hari puasa dalam satu tahun. “Yang pasti itu syaratnya satu, prihatin”, tegasnya sebelum menceritakan bahwa ia pernah selama enam tahun tidak makan nasi dan mengganti makanan pokoknya dengan singkong. Selain itu, untuk waktu yang rutin di hari Jumat dan Selasa Kliwon sang pemangku adat melaksanakan ritual

Angsung Bolo Bekti, sarana komunikasi dengan para ‘leluhur’ disana. Dalam menjalani profesinya, banyak orang sering datang padanya dalam kepentingan spiritual atau semedi. Orangorang ini sering ia sebut tamu. Menurut penuturannya, para tamu yang datang berasal dari berbagai daerah di seluruh nusantara. “Ya banyak tamu dari daerah-daerah, ini kemarin baru saja ada yang dari Pacitan,” terangnya pada kami dengan bahasanya yang masih kental dengan aksen Jawa. Sesepuh Dieng Kulon yang akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Naryo atau Pak Naryono ini mengakui bahwa sering ada tamu yang meminta ditemani saat melaksanakan kepentingan spiritual. Bahkan ada pula yang meminta dimandikan olehnya di Tuk Bolo Bekti, sebuah sumur berdinding batu dan berkedalaman 4 meter peninggalan abad ke-8. Di tempat ini anak gimbal dimandikan dalam prosesi ruwatannya. Untuk masalah ‘rezeki’ yang sangat mungkin bisa didapat dari para tamunya, Naryono tidak terlalu mempermasalahkan. “Kalo dikasih ya diterima, kalo ndak juga ndak apa-apa,” ungkapnya bijak. Selain menerima banyak tamu, Naryono juga sering dipanggil jika ada masyarakat yang berurusan dengan hal-hal gaib. Hal ini diungkapkan oleh tetangganya yang bernama Woto. “Kalo misalnya ada orang yang mau ritual atau ada masyarakat sini yang mau ngadain syukuran atau urusan yang ada hubungannya dengan gaib-gaib itu dia sering dipanggil mas,” terangnya saat saya temui di kawasan wisata. Dan untuk waktu-waktu tertentu, Naryono seringkali

edisi 48 | majalah dimensi

59


berdiskusi dengan juru kunci Gunung Dieng, Rusmanto. Tak banyak ia bercerita tentang orang tersebut. Kendati bisa dibilang sibuk dikarenakan banyak tamu yang berdatangan sekaligus menjalankan aktivitas bertaninya, pria perokok ini sempat meluangkan waktu untuk memenuhi undangan acara talkshow di salah satu televisi swasta. Ia diundang untuk menjadi narasumber tentang adat Ruwat Anak Gembel. “Kadang-kadang ya begini. Saya bingung, saya orang bodoh kok sampe diundang ke Jakarta”, katanya merendah. Itulah pengalaman yang selalu diingat olehnya.

Foto : Dian Adi Pratama

Kini, dalam usia senjanya ternyata ia sudah mempersiapkan pengganti untuknya. Pernah ada 15 orang yang mempunyai minat menggantikannya, tetapi pilihannya jatuh kepada Muji (23), sang keponakan yang berprofesi menjadi dalang. Pak Naryono berterus terang bahwa tidak mudah untuk menjadi penerusnya, minimal harus mempunyai rasa berani tanpa ada rasa takut sama sekali. “Kalo berani ya jangan takut-takut, kalo takut ya jangan berani-berani,” katanya menceritakan pesannya kepada sang dalang muda. Kehidupan Naryono yang sangat sederhana dan karakternya yang selalu ramah serta sabar diiyakan oleh beberapa orang yang saya temui disana, salah satunya adalah Woto. “Dia itu pendiam orangnya, tapi enak diajak bicara, diajak bergaul. Dia tu sabar ndak pernah mengeluh. Walau satu tangannya ndak bisa gerak, dia pasrah saja sama Yang Kuasa”, ungkapnya. Lalu, ketika kami menanyakan suka duka pada Naryono, ia pun menjawab dengan nada yang sangat santai dan renyah, “Biasa saja, iya biasa saja. Ndak ada penggalih yang kayak gimana-gimana, yang penting sehat dan waras. Dari awal kalo saya sudah dipercaya ya saya harus menjalankan tanpa menggalih”. Dengan usianya yang sudah tidak muda lagi, ia masih melakukan hal-hal yang bijak dan semua tanggung jawab yang dibebankan padanya selama ini dilakukan tanpa mengeluh. Hal ini mengingatkan kita bahwa memang sudah seharusnya setiap tanggung jawab yang telah diberikan kepada kita harus dilaksanakan dengan tulus ikhlas.

60

majalah dimensi | edisi 48

[atas] Mbah Naryomo berdoa di kawasan sumur keramat. [bawah] Rumah sederhana yang telah lama menaunginya.


/NAMA KONTEN/

edisi 48 | majalah dimensi

61


\ BACKPACKER \

CATATAN PERJALANAN:

Semeru

K

AMI memulai perjalanan

pada Rabu malam tanggal 22 Agustus, atau H+3 Lebaran pukul 20.00. Sebelumnya dari Banyumanik kami menuju Terminal Bis Terboyo dengan bis kota, ongkosnya tiga ribu rupiah. Sesampainya di pertigaan Terboyo, langsung saja kami disambut oleh kernet-kernet bis yang menawarkan bis jurusan Surabaya. Kami menaiki salah satunya, yaitu bis Sinar Mandiri. Setelah menunggu bis terisi penuh, kira-kira satu setengah jam, akhirnya sopir menginjak pedal gasnya. Tarif SemarangSurabaya yang berlaku saat itu adalah tarif lebaran, yaitu 48 ribu rupiah. Biasanya untuk bis ekonomi jurusan SemarangSurabaya hanya sekitar 40 ribu. Sesampainya di Terminal Bungurasih pukul 02.15, kami mendapat kesempatan beristirahat di terminal hingga pukul 3.00 pagi untuk mendapatkan bis selanjutnya ke arah Kota Malang. Bis yang kami tumpangi kali ini bernama ZENA, dipatok 12 ribu rupiah untuk menuju Terminal Arjosari, Malang (Harga tersebut juga merupakan harga lebaran).

62

majalah dimensi | edisi 48

Oleh: Bela Jannahti

Tiba di Terminal Arjosari sekitar pukul 4.45 WIB, kami bersih diri dan sholat subuh sebelum melanjutkan ke tujuan berikutnya, yaitu Pasar Tumpang. Setelah bertanya kesana kemari, kami tahu bahwa angkutan umum yang harus kami pilih untuk menuju kesana adalah angkutan umum berwarna putih. Tak sulit menemukannya. Angkutan tersebut biasa menunggu di bagian belakang terminal. Kami pun menaiki salah satunya setelah memastikan angkutan tersebut menuju ke Pasar Tumpang. Perjalanan dari Terminal Arjosari menuju Pasar Tumpang memakan waktu kurang lebih satu jam. Hawa dingin Malang mengiringi perjalanan kami. Beberapa ibu yang hendak menuju pasar turut dalam angkutan yang kami naiki. Setelah sampai dan membayar 6 ribu rupiah per orang, kami turun. Saat itu pukul 7 pagi, berarti kami tiba sesuai target. Kami menargetkan tiba di Pasar Tumpang kurang lebih pukul 7 agar dapat menumpang truk sayur yang akan naik ke Ranu Pane. Dengan menumpang truk sayur yang akan menuju keatas kami

akan mendapatkan tarif yang lebih murah dibanding naik jip. Namun setelah mencari kesana kemari dan bertanya, ternyata tak ditemukan truk sayur yang hendak menuju keatas. Menuruti rekomendasi dari orang-orang pasar, kami menuju rumah Pak Ruseno. Beliau adalah pemilik truk yang biasa mengantar para pendaki ke Ranu Pane. Kami disambut hangat oleh Pak Ruseno. Beliau berkata telah ada dua pendaki dari Surabaya yang juga akan naik bersama kami, dan ia masih menunggu rombongan lain dari Surabaya yang juga akan naik. Sembari menunggu, kami memutuskan untuk mencari sarapan serta berbelanja melengkapi logistik. Soto seharga 6 ribu di belakang pasar menghilangkan rasa lapar kami. Setelah sarapan, kami berbelanja, antara lain membeli teh, telur, ketupat, dan gula. Usai berbelanja kami kembali ke rumah Pak Ruseno dan ditanyai apakah kami telah memiliki materai 6 ribu. Untuk apa materai? Pikir Kami. Ternyata, persyaratan


administrasi untuk mendaki Semeru juga membutuhkan materai. Setahu kami hanya dibutuhkan surat keterangan sehat dan fotokopi KTP. Salah satu dari kami pun pergi ke toko alat tulis yang berada di pasar, mendapatkan materai 3 ribu sebanyak 2 lembar. Sekitar pukul 10.00 kami berangkat. Perjalanan dari Pasar Tumpang ke Ranu Pane membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. Sepanjang perjalanan kami disuguhi dengan pemandangan-pemandangan indah mulai dari Gubug Klakah. Desa dengan ladang-ladang sayurannya, titik-titik kecil petani yang bekerja dengan giat, bukit-bukit hijau yang diterpa sinar matahari, ditambah birunya langit. Kami juga melewati pemandangan lautan pasir Bromo yang menawan. Suguhan tersebut rasanya sebanding dengan perjuangan kami terombang-ambing di bak truk karena jalan menuju Ranu Pane yang menanjak dan sangat sulit. Setiba di Ranu Pane, kami melakukan pendaftaran di pos pendataan. Kami diwajibkan membayar bea masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sebesar Rp. 2.500 per orang + bea asuransi kecelakaan sebesar Rp. 4.500 per orang serta diwajibkan untuk membuat surat pernyataan bahwa pendakian dilakukan hanya mencapai Pos Kalimati dengan tanda tangan bermaterai Rp. 6.000 per rombongan. Memang pendakian hanya dijamin sampai Pos Kalimati, selebihnya, asuransi tak berlaku. Bila terjadi sesuatu pada pendaki diatas Kalimati, hal tersebut tidak ditanggung lagi. Kami sempat dibuat

sewot oleh petugas yang tak mau menerima materai kami. Ia menghendaki materai 6 ribu, sedang yang kami bawa adalah materai 3 ribu sebanyak 2 lembar. Biasanya, hal itu tak dipermasalahkan. Beruntung sekali, kawan seperjalanan kami di truk membawa materai berlebih. Ia memberikan satu untuk kami. Persyaratan administrasi pun beres. Selesai solat dan makan siang, kami bersiap untuk mendaki. Packing ulang, berganti pakaian, mengenakan sepatu, dan sebagainya. Kira-kira pukul 14.00, dengan mengencangkan tali carrier dan mengucap bismillah, kami berangkat meninggalkan Ranu Pane. Untuk mencapai pos pertama, yaitu pos Landengan Dowo, kirakira dibutuhkan waktu 45 menit. Trek awal masih cukup mudah karena tak terlalu menanjak. Di Landengan Dowo kami beristirahat sejenak dan bertemu dengan pendaki-pendaki lain yang juga beristirahat. Setelah meminum air dan mencecap gula jawa, kami kembali berjalan. Pos kedua yaitu pos Watu Rejeng, kurang lebih satu setengah jam dari pos pertama. Perjalanan kami tergolong sangat santai, tak terburu-buru. Hanya saja kami menargetkan untuk tiba di Ranu Kumbolo sebelum petang agar tak kesulitan mendirikan tenda. Dari Watu Rejeng ke Ranu Kumbolo kami tempuh selama kurang lebih 2 jam. Kami tiba di Ranu Kumbolo pukul setengah 6. Disana telah berdiri banyak sekali tenda dari pendaki lain, mungkin hampir mencapai 100 tenda. Segera saja kami mendirikan tenda sebelum ge-

lap. Hawa disana sangat dingin. Kami mendirikan tenda dengan menggigil dan langit hampir gelap. Ranu Kumbolo merupakan sebuah danau seluas 15 hektar yang terletak di lembah berketinggian 2400 meter diatas permukaan laut. Suhu minimal disana berkisar antara -5 hingga -20 derajat celcius. Tak heran apabila pagi harinya kami menemukan botol plastik yang telah diselimuti kristal es. Terbangun dan mendapati sunrise Ranu Kumbolo sungguh pengalaman yang menyenangkan sekali. Hawa dingin masih menusuk kulit hingga ke tulang. Namun semua itu terabaikan saat kita melihat ke arah timur. Sinar oranye dengan malu-malunya muncul perlahan diantara dua bukit di ujung timur Ranu Kumbolo. Kehidupan di Ranu Kumbolo pun perlahan mulai menggeliat. Para pendaki lain juga nampak takjub dengan pemandangan tersebut. Puas menikmati sunrise, kami pun menyiapkan sarapan. Sangat nikmat, sarapan di tepi danau dengan dihangatkan oleh sinar mentari. Seusai sarapan kami membagi tugas, ada yang harus membersihkan peralatan makan dan yang lain berkemas, membereskan tenda dan sebagainya. Sekitar pukul 8 pagi kami telah siap untuk melanjutkan perjalanan. Setelah mengambil foto bersama di tepi danau kami pun berangkat. Meninggalkan Ranu Kumbolo, kami harus melewati tanjakan cinta untuk mencapai bukit menuju oro-oro ombo. Mengapa tanjakan cinta? Ya, memang unik namanya. Seorang kawan bercerita menge-

edisi 48 | majalah dimensi

63


nai tanjakan tersebut. Menurut cerita yang beredar, bila kita bisa melewati tanjakan tersebut tanpa menoleh ke belakang sebelum tiba di atas, kita akan bisa mendapatkan cinta dari orang yang kita cintai. Dan untuk yang sudah memiliki pasangan, katanya akan langgeng. Kami tertawa saja mendengar cerita tersebut. Dibilang percaya juga tidak, dibilang meremehkan pun tidak. Tapi memang mitos tersebut agak lucu. Selanjutnya kami harus melewati Oro-oro Ombo, yaitu Semacam padang savanna yang sangat luas dan indah. Untuk mencapai Oro-oro Ombo kami melewati jalan menurun hingga akhirnya bertemu dengan ilalang-ilalang yang menguning. Kami beristirahat di pos ketiga, yaitu Pos Cemoro Kandang, 2,5 km dari Ranu Kumbolo dengan trek yang cenderung landai. Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan perjalanan untuk menuju ke pos selanjutnya, yaitu Pos Jambangan. Trek selanjutnya menjadi tak mudah bagi saya karena cukup menanjak. Namun dengan pelan-pelan akhirnya tiba juga di Jambangan yang berjarak 3 km dari Cemoro Kandang. Sepanjang perjalanan menuju Jambangan kami banyak beristirahat, bercakap dengan pendaki lain yang akan naik maupun yang sedang turun. Suasananya sungguh menyenangkan. Kami tiba di Jambangan pada tengah hari. Karena rasa lapar telah mendera, kami memutuskan untuk makan siang dan beristirahat. Selesai makan siang kami melanjutkan perjalanan. Pos selanjutnya yaitu Kalimati,

64

majalah dimensi | edisi 48

Foto : Dok. Pribadi


dimana kami akan mendirikan camp lagi. Jarak Jambangan menuju Kalimati kurang lebih 2 km dengan trek yang cenderung menurun. Kalimati adalah sebuah padang edelweis yang luas. Saat kami tiba disana pukul 16.00, telah banyak berdiri tenda dari pendaki lain, namun jumlahnya tak sebanyak saat di Ranu Kumbolo. Segera kami mendirikan tenda, bersih diri sekenanya dan menyiapkan makan malam. Makan malam kami saat itu lebih nikmat lagi. Berbagai bahan yang kami bawa sebagian besar kami masak agar memperoleh tenaga yang cukup untuk perjalanan menuju puncak. Kami diberi tahu oleh pendaki lain untuk mempersiapkan diri sebelum tidur, karena pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul 00.00. Sebelum tidur kami pun menyiapkan sepatu, tas yang akan dibawa naik, logistik berupa roti, air mineral, sedikit snack, baterei untuk senter, dan sebagainya. Tak banyak yang akan kami bawa untuk ke puncak. Barang-barang akan kami tinggalkan di tenda. Kami hanya membawa tas kecil dan satu tas besar yang akan dibawa secara bergantian. Setelah packing kami pun bersiap tidur dan menyetel alarm pukul 23.30. Sekitar pukul 12 malam kami berangkat. Dalam gelap kami mengandalkan lampu senter. Cahaya bulan saat itu cukup terang, namun saat mulai memasuki hutan cahaya tersebut tak lagi nampak. Kalimati dan Pos Arcopodo berjarak sekitar 1,2 km dengan trek yang menanjak. Sesekali kami beristirahat, duduk di akar pepohonan, mengambil napas dan meminum air. Banyak sekali

pendaki yang menuju puncak. Akhirnya kami tiba di batas vegetasi terakhir, yaitu titik dimana terdapat tumbuhan terakhir dapat hidup. Pinus-pinus terakhir menjadi gerbang yang mengantar para pendaki dari hutan menuju trek berpasir. Perjalanan selanjutnya akan menjadi sangat berat. Saya tak pernah menyangka bahwa mendaki gunung bisa sesulit ini. Trek menuju Mahameru adalah jalan berpasir, mirip dengan puncak Merapi namun pasir disini lebih lembut, sehingga cukup sulit untuk mendakinya. Bila tak berpijak kuat, pasir yang dipijak dengan mudah akan menurun, sehingga kaki kita pun akan ikut merosot. Selain itu pendaki harus mengenakan slayer untuk menutupi hidung agar tak menghirup udara berdebu pekat. Akan lebih mudah bila mengenakan kacamata. Sayangnya saya lupa membawa kacamata minus saya. Pendaki dimudahkan dengan adanya bebatuan yang dapat digunakan untuk berhenti sejenak. Dan lagi-lagi saya takjub saat saya beristirahat sejenak di bebatuan. Saya melihat kebawah, melihat titik-titik cahaya senter dari pendaki yang jumlahnya mungkin mencapai ratusan. Titik-titik itu berjalan perlahan menuju atas, indah sekali. Kami tak menargetkan untuk tiba di puncak saat matahari terbit. Kabarnya para pendaki akan melihat matahari terbit saat di lereng bila berangkat pukul 12 malam. Benar saja, matahari mulai terbit saat kami masih berada di lereng. Ah, cantik sekali, memandang awan-awan putih diterpa sinar oranye. Sambil sesekali memandang awanawan tersebut kami kembali mendaki. Perjalanan menuju puncak nampaknya masih cukup

jauh. Saya kelelahan, namun tak sendirian. Bersama dengan pendaki-pendaki lain, kami bersusah payah menuju Mahameru. Sungguh tak mudah bagi saya. Sempat terpikir macam-macam, antara lain keinginan untuk berhenti sampai disini saja dan tak melanjutkan hingga puncak. Namun dengan semangat dan bantuan dari kawan-kawan, akhirnya saya tak menyerah pada pasir Mahameru. Dengan penuh perjuangan akhirnya pada Sabtu 25 Agustus kami tiba juga di Mahameru, tanah tertinggi di Pulau Jawa! Kami berada diatas awan, di ketinggian 3676 meter diatas permukaan laut. Tak menyesal atas perjalanan berat yang kami tempuh untuk menuju kesini. Setelah puas berfoto, memandang awan, memakan bekal dan minum, kami memutuskan untuk turun sekita pukul 08.30. Kami harus turun dari Mahameru sebelum pukul 10 pagi. Hal itu dikarenakan semakin siang angin akan bertiup menuju bawah melewati lereng. Angin tersebut sangat berbahaya karena turut membawa asap gas beracun yang disemburkan oleh Kawah Jonggring Saloka. Kawah tersebut menyemburkan asap setiap 10 menit sekali. Sangat berbahaya sebenarnya. Itu sebab pihak asuransi tak mau repotrepot menanggung keselamatan para pendaki yang melewati Kalimati. Namun semangat para pendaki untuk menuju puncak tertinggi di Pulau Jawa itu mampu mengalahkan segala rasa takut, hingga akhirnya kami bisa mencapai Mahameru.

(Untuk tulisan lengkapnya dapat dilihat di http://bela-indonesia. blogspot.com)

edisi 48 | majalah dimensi

65


\NAMA KONTEN\

66

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

Unidentified. Satir. Unknown. Sketsa. Idea. Bebas. Karikatur. Out. Of. The. Box. Penghargaan. Kelakar. Cerita. Idealism. Ruang. Intermezzo. Puisi. Buku. Pintu. Waktu. Hatta. Kritik. Teduh. Interupsi. Sastra. Nge Dims. Inspirasi. Wadah. Kampus. Whatever. Incognito.

edisi 48 | majalah dimensi

67


\ RESENSI BUKU \

n a u p m a e r r Pe bica Ber ETEK KR aht

h:

Ole

ann la J

i

Be

Judul: Perempuan Berbicara Kretek | Penulis: Abmi Handayani, dkk. | Penerbit: Indonesia Berdikari | Bulan dan Tahun Terbit: Januari 2012 | Tebal: x + 320 halaman | ISBN: 978-602-99292-1-8

P

EREMPUAN. Indonesia. Kretek. Dua kata pertama mungkin masih sangat umum bila disangkutpautkan. Namun bila kata ketiga ditambahkan, stigma negatif melekat. Beginilah keadaannya: perempuan Indonesia pengkretek masih sulit diterima oleh masyarakat kita. Hal itu menjadi salah satu latar belakang mengapa buku ini diterbitkan. Di negara dimana budaya patriarkal masih melekat kuat, keberadaan perempuan dalam strata sosial masih berada dibawah laki-laki. Dalam banyak hal, termasuk kretek, keikutsertaan perempuan masih dianggap tabu.

Tak banyak yang tahu bahwa kretek merupakan salah satu warisan budaya asli Indonesia yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan gender. Buku yang terdiri dari empat bagian ini merupakan hasil inisiatif aktivis perempuan Komunitas Kretek dari berbagai daerah. Bagian pertama, “Ritus Keseharian”, ditulis oleh enam perempuan yang akrab dengan kretek. Bagian kedua, “Perempuan di Simpang Stigma”, menceritakan bagaimana masyarakat kita memandang para perempuan pengkretek. Bagian ketiga, “Dalam Pusar-

an Arus Zaman”, dijelaskan bagaimana kretek kita ini sedang menghadapi gempuran kapitalis asing yang hendak melunturkan budaya asli Indonesia demi keuntungan mereka. Pada bagian keempat atau bagian terakhir, “Kretek, Budaya, dan Keindonesiaan”, dibahas kehadiran kretek sebagai warisan budaya bangsa. Ditulis oleh 21 perempuan dari berbagai kalangan, buku ini terasa berimbang, ringan namun kaya informasi. Buku ini juga akan semakin membuka mata kita, bahwa kretek, budaya asli Bangsa Indonesia, bukan hanya budaya milik kaum lelaki.


/ RESENSI BUKU /

101 Creative Notes Oleh : Bela Jannahti

Judul : Yoris Sebastian’s 101 Creative Notes Penulis : Yoris Sebastian Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Bulan dan Tahun Terbit: Januari 2013 Tebal: ix + 207 halaman ISBN: 978-979-22-9114-8

Praktisi kreatif yang memenangkan International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Award di London dari British Council. Menjadi General Manager Hard Rock Cafe Jakarta di tahun 2006 saat masih berusia 26 tahun.

S

EORANG creative junkies memang tak akan pernah berhenti berkarya dan berinovasi. Setelah sukses dengan buku “Oh My Goodness, Buku Pintar Seorang Creative Junkies”, Yoris Sebastian kembali menghasilkan satu buku dalam genre dan tema yang sama. 101 Creative Notes ini berisi 101 cara Yoris Sebastian untuk mengasah otak kanan nya dalam kegiatan seharihari. Cara-cara itulah yang mengubah Yoris dari seorang yang biasa-biasa saja menjadi salah satu sosok yang kreatif di Indonesia. Buku ini juga dibuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering diolantarkan saat ia menjadi pembicara dalam berbagai acara seminar dan talkshow.

Dimulai dari “I’m born creative”, Yoris berusaha meyakinkan pembaca bahwa setiap orang terlahir kreatif. Yang membedakan adalah ada yang ada yang terus mengasah kreativitas mereka namun banyak juga yang akhirnya tak menggunakan otak kanan mereka sama sekali. Padahal otak kanan adalah otak kreatif. Kreativitasnya pun dapat terlihat dari buku ini. Tak melulu berisi teks, ilustrasi dan berbagai foto disertakan. Membuat buku ini terasa ringan tapi penting.

edisi 48 | majalah dimensi

69


\ RESENSI FILM \

Harold and Maude Oleh : Rifka Shofia

Judul : Harold and Maude | Produser : Paramount Pictures | Sutradara : Hal Ashby | Penulis Skenario : Colin Higgins | Pemain : Ruth Gordon, Bud Cort , Vivian Pickles, Cyril Cusack, Charles Tyner, Ellen Geer

F

ILM garapan sutradara Hal Ashby ini beraliran komedi satir dibumbui cerita cinta tak wajar. Kisah cinta terjalin antara dua insan dengan selisih umur yang teramat jauh. Harold yang diperankan oleh Bud Cort, masih sangat muda, jatuh cinta pada Maude yang diperankan oleh Ruth Gordon dengan usia hampir 80 tahun. Bukan hanya cerita cinta mereka saja yang unik, dari kehidupan sehari-hari pun nampak tidak biasa dan terkesan aneh. Harold, anak dari keluarga kaya, bosan dengan kehidupannya yang monoton. Dengan bakat teaternya yang luar biasa, ia sering mengarang berbagai adegan kematiannya sendiri. Bahkan karena seringnya ia mereka adegan-adegan kematian yang mengerikan, ibunya pun sudah tidak kaget lagi saat melihat anaknya menembakkan pistol ke kepalanya atau terbakar hidup-hidup. Harold juga lebih memilih mengendarai mobil jenazah daripada mobil mewah pemberian ibunya. Hal tersebut tak lain karena ia terobsesi dengan kematian. Sedangkan Maude ialah nenek yang luar biasa unik. Pada beberapa adegan ia nampak aneh. Maude diceritakan sangat idealis dengan pemikirannya. Dia melakukan apapun yang dia mau. Seperti saat Maude dengan sesukanya memakai mobil orang lain dengan menggunakan kunci-kunci ajaib miliknya. Rumah Maude hanyalah di sebuah gerbong kereta yang sudah tak terpakai. Rumah itu dipenuhi benda-benda unik yang jarang ditemui. Hal itu semakin membuat Harold tertarik padanya. Hal yang mempertemukan mereka adalah kesukaan mereka hadir di pemakaman, bahkan bukan pemakaman kerabat atau orang yang dikenal. Sebelumnya ibu Harold medatangkan beberapa gadis pilihan

70

majalah dimensi | edisi 48

untuk dinikahi Harold saat ia tiba-tiba menyatakan keinginannya untuk menikah. Namun hanya karakter unik dari Maude yang mampu membuat Harold jatuh cinta dan ingin menikahi Maude. Siapa menyangka kalau film ini tidak berakhir bahagia dengan keputusan Maude untuk meninggal di hari ulang tahunnya yang ke-80. Film ini berlatar pada tahun sekitar 70-an sesuai dengan tahun pembuatannya pada tahun 1971. Dalam film ini kita dapat melihat mobil-mobil unik dan barangbarang antik yang ada di rumah Harold dan juga di rumah Maude. Kecemerlangan ide dari Colin Higgins mampu menghadirkan cerita yang tidak monoton yang kebanyakan hanya menceritakan kisah cinta pasangan serasi. Film ini patut untuk masuk list film yang menarik untuk ditonton. Terlebih bagi yang bosan dengan film cerita cinta yang alurnya begitu-begitu saja.


/ SASTRA /

Oleh : Anak Agung Maya Septanti

Dahulu hijau semerbak aroma dedaunan Dahulu rimbun pohon merasuk dalam bayangan Dahulu semua begitu indah Dahulu semua begitu nyata Kini semua hijau telah tersisih Kini semua pohon telah merintih Kini tinggal puing-puing yang menyerpih Akankah semua itu terganti? Akankah semua kembali? Tanya tinggal lah tanya, asa tinggal lah asa Kitalah yang memulai Maka kita yang bergerak mengembalikan hijaunya tanah Pohon kini enggan tumbuh Karena hutan ini telah gersang Hujan yang mengguyur hanya lewat Tak ada setetes resapan air pun yang tersisa Kita tengok asal muasal hutan itu Ketamakan menjadi biang keladi Dibabatkah pohon untuk diambil kayu, sisanya kau jadikan abu Jika pohon dapat merasa, pastilah mereka bosan Menyebabkan terputusnya perjanjian agung simbiosis mutualisme Manusia lah yang memulainya, pohon meneriakinya Kemudian pohon enggan tumbuh Barulah manusia merayu si kayu Menempatkannya di setiap penjuru hutan Menunggunya dengan telaten, berharap pohon akan berubah pikiran Namun kenyataannya, si pohon masih enggan tumbuh

edisi 48 | majalah dimensi

71


\ KELAKAR \

BUKU : Oleh : Inadinna Fadhliyah

SANG PINTU WAKTU

Aku rela dipenjara asalkan bersama buku,. karena dengan buku,, aku bebas. " HATTA - MOHAMMAD

“MELIHAT serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati).” Kalimat tersebut yang akan kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bila mencari kata ‘baca’. Sedang ‘membaca’ adalah kata kerjanya. Disadari atau tidak membaca sudah menjadi suatu tuntutan, karena berfungsi sebagai bekal manusia dalam menjalani kehidupan. Semakin kemari manusia makin menyadari pentingnya membaca. Beberapa dari mereka bahkan sudah menganggap bahwa membaca adalah suatu kebutuhan. Bagi seseorang bukan tak mungkin buku atau bahan bacaan lain setara posisinya dengan pakaian, atau bahkan makanan.

72

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

“

“

Ada kala ketika membaca selayak memakan. Bila makan pada saat yang tidak tepat, berakibat seseorang muntah hebat. Tapi ada waktu dimana seseorang merasa tak pernah kenyang.

Ada kala ketika membaca selayak memakan. Bila makan pada saat yang tidak tepat, berakibat seseorang muntah hebat. Tapi ada waktu dimana seseorang merasa tak pernah kenyang. Dari sini mari kita mulai beranggap seolah bacaan adalah makanan. Makanan memiliki jenis yang beragam, sebab itu manusia mulai menggolongkannya. Mulai dari makanan penjaga hingga pembangun daya tahan tubuh. Makanan bagi jasmani yang sehat dan yang sakit. Kadang orang sakit enggan makan, tak doyan atau tak ingin. Lambung menolak jika dipaksa. Tubuh pun jadi lemas tidak mendapat nutrisi. Selanjutnya ada saat ketika orang sehat makan dengan berlebihan, seolah ia tidak akan kenyang.

Sebuah buku mungkin akan membuat pembacanya menikmati petualangan dengan lorong waktu. Sebuah pintu yang mengantarkan pembaca terjebak di dimensi waktu yang berbeda. Sampai di halaman terakhir si pembaca mungkin sudah memegang suatu kesimpulan, apa pengaruh buku tersebut bagi dirinya.

Sekiranya kita paham pengibaratan di atas. Pada suatu masa manusia akan jenuh saat membaca, mungkin karena faktor tubuh seperti mata menjadi lelah, sehingga pikiran tak dapat mencerna apa yang dibaca. Sesuatu yang dibaca juga mempengaruhi kejenuhan si pembaca.

Membaca berbeda dengan menulis. Tidak semua orang yang suka membaca senang menulis. Namun memang banyak ditemukan orang berminat baca tinggi dengan kebutuhan untuk menulis yang tinggi pula.

Kalimat pertama akan menjadi penentu. Umumnya bila bacaan sesuai dengan minat, ketertarikan sudah muncul dari awal dan pembaca akan terus mengikuti rangkaian kata berikutnya. Hingga tanpa sadar terbawa kedalam kehidupan yang ada padanya. Bahkan sampai kebutuhan jasmani terabai, lupa makan, enggan tidur. Kembali lagi, bacaan layaknya makanan. Sebuah kebutuhan bagi pikiran yang lapar akan wawasan dan haus oleh informasi. Bagai nutrisi bagi pikiran demi perkembangan pola pikir dan perluasan pengetahuan. Bacaan disini merupakan bentuk karya tulis apapun termasuk koran, artikel pada majalah, juga buku. Terkatakan oleh sebagian orang bahwa buku merupakan suatu pelarian. Ketika dunia nyata tak ramah padanya, untaian cerita menjadi pelipur lara. Bukan semata pelarian dari kehidupan, namun sebagai rehat. Buku dapat menunjukkan cara pandang lain, mengajak berpikir, membuat pembaca merenungi sesuatu, menyadarkan hal yang belum pernah terpikirkan, dan menginspirasi serta mengetuk hati. Buku ibarat pintu pada sebuah rumah. Untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam rumah, baiknya orang masuk lewat pintu. Baru akan diketahui ada ruang tamu, kamar, dapur, kamar mandi, dan sebagainya. Penjelajahan dimulai dari sampul lalu halaman judul, lanjut ke halaman pertama, kata pertama, dan seterusnya.

Menulis dianggap sebagai merekam kenangan. Karena suatu saat ketika nantinya daya ingat tak dapat diandalkan, masa lalu dapat ditelusur lewat tiap kata yang pernah tertuang. Beberapa penulis juga merasa memiliki kewajiban untuk meneruskan semangat, memberi energi, menyampaikan suka duka serta keresahan hingga menunjukkan anggapan. Tidak heran pernah dinyatakan bahwa hadiah terbesar sebagai seorang penulis adalah dapat menyentuh bahkan mengubah hidup pembaca karyanya. Seperti yang sering kita dengar, dalam hidup kita terus memilih. Sampai disini kita memiliki dua pilihan, menikmati sendiri atau berbagi?

edisi 48 | majalah dimensi

73


NGEDIMS Biaya pendaftaran mahasiswa baru Polines akan digratiskan

Bukan janji kampanye kan?

Urus kartu poliklinik yang hilang harus menyertakan surat kehilangan dari kepolisian

Sudah jatuh tertimpa tangga, sudah sakit malah dipersulit

Presma dan wapresma baru telah terpilih

Selamat, semoga bisa belajar dari masa lalu

Tugas akhir mahasiswa teknik masih didominasi proyek rancang bangun

Semoga tak hanya berakhir jadi pajangan saja

74

majalah dimensi | edisi 48


/NAMA KONTEN/

edisi 48 | majalah dimensi

75



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.