Buletin Hayamwuruk edisi II / 2024

Page 1


Cover by : Khusni Ijas.

KRU BULETIN HAYAMWURUK

EDISI II 2024

Pelindung :

Tuhan Y.M.E. dan Dekan Fakultas

Ilmu Budaya, Prof. Dr. Alamsyah, S.S., M.Hum.

Pimpinan Umum: Mohamad Hidayah

Al Fajri Pemimpin Redaksi: Muhamad Farhan Prabulaksono Redaktur Pelaksana: Ameilia Hera Lusiana & Indriani Putri Anjelita Bendahara: Alaina Aisya Fasyya Sekretaris: Nazilatun Al Azizah Dewan Editor: Muhamad Farhan Prabulaksono, Ameilia Hera Lusiana, Indriani Putri Anjelita, Mohamad Hidayah Al Fajri. Tim Layout dan Desain: Nevissa Sabrina Karim, Albertus Hendy Christian, Amadeus Bintang K, Khansa Fakhira Budianto, Imam Choiridho, Muna Syifa An-Nasywa, Belqis Aida Salma, Eveline Theodora Khaterina Sihaloho. Kru Reporter: Albertus Hendy Christian, Allegra Dyah Rinjani Prayitno, Amalia Vidhyana, Ameilia Hera Lusiana, Cattleya Sekar Wohingati, Diaz Fatkhur Rokhman, Diyah Susila Wati, Faruq Faiq Al Farisi, Khansa Fakhira Budianto, Khusni Ijas, Muhamad Wildan Yamin, Petricia Putri Marricy, Rizka Sulistiyani, Sindah Laili Nurjanah, Zaila Siti Sintana, Zahrani Febriani Adha.

SSN: 0215 – 1553

Izin Terbit:

SK Rektor Undip No.57/SK/PT09/1987

SK Dekan No.02/SK/DEK/1990

SK Dekan No.22/SK/DEK/1994

Daftar Isi

Dari Redaksi

Refleksi Negeri

Harapan dan Tantangan: Menilik Kasus dan Penanganan KSBE di Jawa Tengah

Kabar Kampus

Tak Lagi Jadi Syarat Tunggal Kelulusan, FIB Undip Tawarkan Opsi Lain Pengganti Skripsi

English Corner Kanal Budaya Suara Hayamwuruk Resensi Pojok Sastra 03 05 12 20 23 27 37 41

Acculturation of Religion and Culture in Dugderan: A Tradition to Celebrate Ramadan in Semarang

Warisan Rasa dari Pasar Peterongan: Jajanan Pasar dalam Lintasan Waktu

Ghassan Kanafani: Jurnalis Sastrawan Yang Melawan

RESENSI FILM: Tuhan, Izinkan Aku Berdosa

Lolongan Satpam Pukul Sembilan

44 Obrolan Joglo Budaya

Salam hangat bagi pembaca setia Hayamwuruk,

Buletin Hayamwuruk kembali hadir untuk pembaca yang sudah setia menunggu. Pada edisi kali ini, kami dengan bangga mengangkat pembahasan dalam rubrik “Refleksi Negeri” mengenai kekerasan seksual berbasis gender online atau dikenal juga dengan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi komunikasi dan media sosial, KSBE merupakan ancaman yang nyata dan mengintai kita setiap saat. Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, KSBE menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan sepanjang 2023 dengan angka 2.776 kasus di seluruh Indonesia, sebuah angka yang sedikit. Fenomena ini laksana gunung es, karena angka keseluruhan yang ada belum mencakup kasus-kasus yang tak terungkap dan tak terlaporkan.

Kami percaya bahwa peran media, termasuk pers mahasiswa, sangat penting dalam mengedukasi masyarakat sekaligus menjadi penggerak perubahan. Oleh karena itu, buletin ini hadir tidak hanya untuk menginformasikan, tetapi juga untuk mendorong pembaca mengambil sikap dan berkontribusi dalam upaya menciptakan ruang digital yang aman dan bebas dari kekerasan.

Selain mengangkat isu KSBE, kami juga menyajikan beberapa tulisan dengan topik yang variatif, mulai dari kebijakan kampus mengenai skripsi hingga biografi salah satu pejuang Palestina.

Para pembaca yang terhormat, kami sebagai tim penyusun buletin Hayamwuruk dengan tulus mengakui bahwa karya kami masih jauh dari sempurna. Sebagaimana ungkapan bijak yang mengatakan bahwa buku atau majalah yang sempurna adalah yang tidak pernah diterbitkan, kami membuka diri untuk menerima kritik, saran, dan masukan dari pembaca sekalian.

Salam hangat, Redaksi Hayamwuruk

Harapan dan Tantangan: Menilik Kasus dan Penanganan KSBE di Jawa Tengah

Oleh: Petricia Putri Marricy

Kasus kekerasan seksual masih menjadi bayang-bayang dan tantangan di tengah masyarakat. Terlebih di dunia yang kian berkembang, masyarakat berbondongbondong memanfaatkan dunia elektronik untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan, bahkan sampai tega melakukan kejahatan melalui media elektronik. Tak jarang kasus kekerasan seksual pun merambat terjadi di media sosial populer seperti Instagram, Facebook, X, dan lainnya.

Bersandingan dengan ragam kekerasan seksual lainnya, kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) pun turut memakan korban. KSBE adalah bentuk kekerasan seksual yang dilakukan melalui media elektronik, seperti menyebarluaskan konten (foto, video, atau teks) bermuatan seksual untuk mengintimidasi, menekan, memeras, hingga menjelekkan nama baik korban.

Tercatat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), KSBE merupakan tindak kekerasan yang sangat mengancam masyarakat, khususnya bagi perempuan dan anakanak.

Dalam UU TPKS, diatur bahwa pelaku

KSBE dapat dijatuhi hukuman penjara hingga empat tahun serta denda maksimal dua ratus juta rupiah. Sementara itu, KSBE yang dilakukan dengan tujuan pemerasan, ancaman, penipuan, atau paksaan terhadap korban dapat dikenakan hukuman penjara hingga enam tahun dan denda maksimal tiga ratus juta rupiah.

Catatan Kasus KSBE di Indonesia

Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut

Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, KSBE menjadi bentuk kekerasan berbasis gender yang paling sering terjadi, dengan 838 kasus (66%) dari total kekerasan di ranah publik yang dilaporkan. Peningkatan ini menyoroti urgensi penanganan serius terhadap isu tersebut, terutama dengan semakin maraknya penggunaan teknologi di masyarakat.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa pada triwulan pertama 2024, kasus KSBE

REFLEKSI NEGERI

meningkat empat kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dari 118 kasus menjadi 480 kasus. Kelompok usia 18-25 tahun tercatat sebagai korban terbanyak, dengan 272 kasus (57%), diikuti oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun dengan 123 kasus (26%). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok muda dan anak-anak sangat rentan terhadap ancaman KSBE.

Meskipun data nasional mengenai KSBE telah tersedia, informasi spesifik mengenai distribusi kasus berdasarkan provinsi masih terbatas. Namun, dalam konteks kekerasan berbasis gender secara keseluruhan, DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu 90 kasus, diikuti oleh Jawa Timur (13 kasus) dan Jawa Barat (12 kasus).

Di Jawa Tengah, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) mencatat adanya 20 kasus KSBE sepanjang tahun 2022 hingga 2024. Dari jumlah tersebut, Kota Semarang menempati urutan tertinggi dengan 12 kasus. Data ini mengindikasikan bahwa wilayah perkotaan cenderung memiliki angka kasus yang lebih tinggi, kemungkinan disebabkan oleh akses internet yang lebih luas serta intensitas aktivitas digital yang lebih tinggi.

Peningkatan kasus KSBE ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Upaya yang diperlukan mencakup peningkatan literasi digital,

penguatan regulasi, serta penyediaan layanan pendukung bagi korban untuk mencegah dan menangani kasus serupa di masa mendatang. Langkahlangkah ini penting untuk memastikan perlindungan terhadap kelompok rentan dan menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi seluruh masyarakat.

Menurut Nihayatul Mukharomah, Ketua Operasional LRC-KJHAM, data terkumpul menyatakan bahwa kelompok yang rentan menjadi korban KSBE merupakan mahasiswa dan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). LRC-KJHAM juga mendapatkan satu laporan kasus dengan korban merupakan perempuan lansia.

Sumber: LRC-KJHAM

Di samping itu, Unit Pelaksana Teknis

Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Semarang mencatat adanya kasus KSBE terlapor sebanyak 10 kasus pada tahun 2022 serta

Gambar 1. Persebaran Wilayah Kasus KSBE di Jawa Tengah

8 kasus masing-masing pada tahun 2023 dan 2024.

Menurut Eka Suprapti, Kepala

UPTD PPA Kota Semarang, pelaku

KSBE terbanyak adalah mereka yang masih remaja dan aktif di media sosial, khususnya mereka yang tidak bijak bermedia sosial sehingga rentan terpapar konten pornografi.

Respons Terhadap Kasus KSBE

Eka menambahkan bahwa ia berharap pihak dan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan informasi dan teknologi turut ambil peran dalam menangani kasus kekerasan seksual, khususnya dalam membela dan melindungi para korban.

Selain itu, ia berharap Dinas Pendidikan, khususnya Balai Pengembangan

Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (BPTIK

Dikbud) berkenan memastikan para remaja menerima konten-konten positif di media sosial.

Kasus KSBE yang kerap terjadi mulai menunjukkan pola-pola kejahatan yang serupa. Pelaku seringkali merupakan orang terdekat korban, seperti keluarga, teman, kekasih, dan kolega yang cenderung dikenal korban melalui media sosial.

online, lambat laun korban diminta untuk mengirimkan pose-pose sensual hingga melakukan video call sex (VCS). Kalau bisa jangan mudah percaya begitu saja, kembali lagi diri kitalah yang mengendalikan diri bagaimana bersosial media dan berteman,” ungkap Eka.

Mendapati kasus KSBE mulai tumbuh, terlebih pada saat COVID-19, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang ikut buka suara terhadap kelalaian dan tidak seriusnya negara menanggapi kasus KSBE.

Muhammad Safali, staf LBH Semarang, menyampaikan bahwa kasus KSBE idealnya ditangani oleh lembaga khusus yang berfokus pada setiap laporan yang masuk. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya mengoptimalkan peran lembaga-lembaga yang berpotensi menangani persoalan KSBE.

“Negara sebaiknya memiliki lembaga khusus yang memfasilitasi korban untuk didampingi secara psikologis. Selain itu, menurut saya perlu ada undang-undang yang mengatur tentang data pribadi dan perlindungan terhadap korban KSBE. Saya melihat lembaga negara tidak serius menangani kasus KSBE,” ungkapnya.

“Kasusnya mirip-mirip. Biasanya diawali dengan pertemanan secara

Safali juga menyayangkan tanggapan kepolisian yang tidak serius dan kesulitan menangani kasus KSBE karena memerlukan bukti-bukti untuk mengidentifikasi dan menangkap pelaku,

REFLEKSI NEGERI

bahkan mereka meminta korban untuk mencari terlebih dahulu pelakunya karena terkadang bukti berupa pesan teks tidak dapat dipercaya.

Peran LRC-KJHAM: Berjuang

Bersama Perempuan Korban KSBE

LRC-KJHAM Jawa Tengah, berlokasi di

Jalan Kauman Raya No. 61A, Majapahit, Kota Semarang, adalah organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu keadilan gender dan hak asasi manusia di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 1998 sebagai respons terhadap meningkatnya kekerasan berbasis gender yang terjadi di Indonesia, terutama selama masa transisi politik pasca-Orde Baru.

Awalnya, LRC-KJHAM dibentuk oleh sekelompok aktivis yang prihatin terhadap kondisi perempuan yang sering menjadi korban kekerasan, baik di ranah publik maupun privat. Mereka melihat kebutuhan akan layanan hukum yang berpihak pada korban kekerasan, serta advokasi untuk menciptakan kebijakan yang melindungi perempuan dan kelompok rentan lainnya. Organisasi ini mulai aktif memberikan pendampingan hukum bagi korban kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.

Selama perjalanannya, LRC-KJHAM tidak hanya fokus pada pendampingan hukum tetapi juga melakukan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan

kesadaran masyarakat mengenai isu keadilan gender dan hak asasi manusia. Mereka juga berperan dalam mempengaruhi kebijakan publik melalui advokasi yang melibatkan pemerintah daerah dan pusat. Salah satu pencapaian pentingnya adalah keterlibatan mereka dalam mendorong lahirnya kebijakan perlindungan perempuan di berbagai tingkat pemerintahan.

Hingga saat ini, LRC-KJHAM terus aktif dalam memberikan layanan kepada korban kekerasan berbasis gender, mengadvokasi kebijakan yang lebih adil, dan mendidik masyarakat tentang pentingnya keadilan gender. Organisasi ini juga menjadi salah satu lembaga terkemuka di Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya, dengan misi untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan bebas dari diskriminasi.

Terdapat 3 divisi yang mengisi keberjalanan kegiatan LRC-KJHAM, yakni Divisi Bantuan Hukum, Divisi Advokasi Kebijakan, dan Divisi Informasi dan Dokumentasi. Setiap divisi memiliki tugas mereka masing-masing sehingga program-program yang dilaksanakan oleh LRC-KJHAM terstruktur dengan baik.

LRC-KJHAM selalu siap sedia menerima laporan dan memberikan bantuan terhadap korban kekerasan seksual, termasuk KSBE. Setelah menerima laporan dari korban KSBE,

LRC-KJHAM melakukan asesmen awal dengan mendengarkan cerita korban sebelum akhirnya melakukan konseling dan aksi lanjutan sesuai kebutuhan korban.

“Langkah pertama yang kita lakukan adalah menerima pengaduan mereka, kemudian melakukan asesmen awal. Setelah menerima cerita korban dan memastikan bahwa kasus tersebut memang KSBE, maka kita agendakan untuk konseling,” ungkap Niha.

Konseling dapat dilaksanakan saat laporan masuk atau dijadwalkan kembali. Setelah konseling, tim LRC-KJHAM melakukan rapat untuk menentukan pendampingan terhadap korban ataupun merujuk korban ke lembaga yang dibutuhkan.

Mengingat kasus KSBE sangat berisiko terhadap kondisi mental korban, terkadang laporan masuk ke LRC-KJHAM tidak dilakukan oleh korban secara langsung. Korban dapat meminta orang lain melaporkan kasus yang menimpanya, namun LRC-KJHAM tetap menjadwalkan pertemuan untuk konseling ketika korban sudah siap.

LRC-KJHAM berfokus pada pendampingan untuk penguatan psikologis melalui konseling, memberikan dukungan, dan memberdayakan korban. Niha mengatakan bahwa LRC-KJHAM yakin semua perempuan memiliki

kekuatan dan keberanian dengan harapan para korban dapat menghadapi serta menyelesaikan kasus KSBE.

Dalam menangani kasus kekerasan, Niha mengatakan bahwa LRC-KJHAM tidak memiliki pembedaan terhadap korban. Perbedaannya hanyalah bagaimana LRC-KJHAM mengumpulkan bukti-bukti KSBE untuk diteruskan ke proses hukum.

Dalam mendampingi korban ke kepolisian, LRC-KJHAM mengikuti prosedur yang ada di dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni menyampaikan laporan termasuk terduga pelaku dan saksi-saksi. Selain itu, prosedur pelaporan dapat dilakukan secara tertulis dalam sebuah dokumen yang nantinya dilampirkan dengan identitas korban serta pelaku.

Sumber: LRC-KJHAM

Gambar 2. Data Penanganan Korban

REFLEKSI NEGERI

Sangat disayangkan, selama tiga tahun terakhir (2022-2024) tidak ada korban yang meneruskan kasus KSBE ke proses hukum. Berdasarkan data yang dicatat oleh LRC-KJHAM, jumlah korban dengan pendampingan konseling meraih angka paling tinggi, yakni 12 korban.

Ketika menilik KSBE lebih dalam, beragam bentuk kejahatan dapat dilakukan oleh pelaku. LRC-KJHAM mencatat setiap detail kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, salah satunya adalah ketika pelaku merekam video pemerkosaan dan/atau hubungan seksual tanpa izin korban, kemudian rekaman tersebut disebarluaskan dan digunakan untuk mengancam korban demi keuntungannya sendiri (memaksa korban berhubungan seksual atau memeras korban secara finansial).

LRC-KJHAM juga menghadapi kendala dalam proses pendampingan korban. Nur Laila, Direktur LRC-KJHAM, menjelaskan salah satu hambatannya adalah ketika pihak kepolisian yang menyepelekan kasus KSBE, sehingga menyebabkan korban tidak percaya dengan proses hukum dan mengurungkan niat mereka untuk meneruskan pelaporan kasus.

“Ada satu kasus di mana korban diancam dan diperas, lalu jika korban tidak menuruti maka video tersebut akan disebar. Sayangnya, ketika melaporkan ke kepolisian, polisi tidak ingin memproses dengan alasan video belum disebarkan

oleh pelaku, sehingga kasus tidak ditangani,” ungkap Laila.

Laila menambahkan, ketika proses pelaporan permintaan proses hukum dipersulit, LRC-KJHAM mengirimkan surat yang ditembuskan ke lembagalembaga bantuan terkait, seperti ke Komisi Nasional (Komnas) Perempuan untuk meminta pemantauan penanganan kasus KSBE.

Gunakan Media Sosial dengan Bijak dan Waspada

Meningkatnya kasus KSBE tentu saja membutuhkan lebih banyak perhatian, terutama kesadaran akan pentingnya pemahaman penggunaan gadget sesuai kebutuhan. Niha menyampaikan bahwa setiap orang perlu berhati-hati dalam menggunakan media sosial, khususnya ketika berkenalan atau berhubungan dengan orang lain melalui dating apps, game, atau media sosial. Tak hanya itu, masyarakat juga perlu berhati-hati dalam menjaga privasi termasuk kepada orang terdekat.

Selain itu, menjaga privasi menjadi hal yang sangat penting, bahkan terhadap orang-orang terdekat. Pemahaman mengenai batasan dalam berbagi informasi pribadi di dunia digital harus terus ditingkatkan. Tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan komunikasi, penggunaan media sosial

juga perlu disesuaikan dengan tujuan yang bermanfaat dan tidak berisiko.

Dengan meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran, diharapkan masyarakat mampu menciptakan lingkungan digital yang lebih aman serta meminimalisasi potensi ancaman KSBE di masa depan.

Sebagai penutup, Niha menyampaikan bahwa semua korban KSBE berhak menerima dukungan, pemulihan, perlindungan, dan keadilan. LRCKJHAM berharap negara turut memegang tanggung jawab untuk memberikan hakhak korban KSBE.

Di samping itu, masyarakat umum juga perlu memandang KSBE lebih kritis dengan tidak menghakimi korban, khususnya perempuan. Masyarakat perlu bersimpati dan menunjukkan empati mereka terhadap korban KSBE, segala bentuk bantuan dan dukungan akan sangat membantu korban untuk pulih dan bangkit dari keterpurukan.

“Ketika kamu menjadi korban KSBE, kamu tidak sendirian. Kamu berhak menerima pemulihan, perlindungan, dan keadilan,” ujar Niha.

Jika kamu merupakan korban kekerasan dan membutuhkan pendampingan, LRC-KJHAM terbuka untuk menerima pengaduan. Pengaduan online dapat dikirimkan ke nomor: 0895-3330-35228

Dok. Hayamwuruk/Imam

Tak Lagi Jadi Syarat Tunggal Kelulusan, FIB Undip Tawarkan Opsi Lain Pengganti

Skripsi

Oleh:Khusni Ijas

Dunia pendidikan tinggi Indonesia sekali lagi mengalami perubahan baru semenjak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengeluarkan peraturan No. 53 Tahun 2023. Gebrakan ini bukanlah yang pertama, sebelumnya Nadiem Makarim pada tahun 2020 telah mencetuskan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang berdampak signifikan bagi iklim pendidikan tinggi. Peraturan No. 53 Tahun 2023 ini lahir sebagai upaya untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi, serta sinkronisasi dan harmonisasi mengenai penjaminan mutu pendidikan tinggi.

Salah satu isi peraturan yang disorot adalah memperbolehkan mahasiswa untuk mengambil alternatif selain skripsi sebagai tugas akhir. Sebagaimana yang diketahui,

KABAR KAMPUS

secara umum skripsi telah menjadi bagian tak terpisahkan sebagai tugas akhir bagi mahasiswa program sarjana. Maka tak ayal, peraturan baru ini mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan akademisi dan mahasiswa.

Kebijakan ini telah menjadi perhatian bagi perguruan tinggi di Indonesia salah satunya ialah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB Undip).

Sukarjo Waluyo atau sering dipanggil Karjo, Kepala Program Studi (Kaprodi) S1 Sastra Indonesia FIB mengungkapkan bahwa skripsi bukan dihapus tapi tidak lagi menjadi syarat tunggal kelulusan.

“Sebenarnya bukan menghapus, tetapi memberikan pilihan lain, yang tadinya kewajiban kelulusan bagi S1, sekarang tidak hanya skripsi,” ujarnya.

Menurutnya kebijakan terbaru ini relevan dengan kondisi saat ini karena telah ada peraturan dan prodi sendiri adalah bagian dari sistem maka perlu mengikuti aturan yang ada. Namun demikian, Karjo memiliki ekspektasi tinggi bagi teman-teman mahasiswa yang mempunyai kelebihan di luar skripsi untuk mampu mengembangkanya juga.

Merespons perubahan kebijakan kurikulum perguruan tinggi, FIB Undip berusaha menyelaraskan kebijakan berlandaskan peraturan terbaru. Kebijakan ini berlandaskan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No. 53 Tahun 2023 tentang Penjamin Mutu Pendidikan Tinggi, yang memberi pilihan tugas akhir tidak harus skripsi.

Tim Hayamwuruk menemui Dekan FIB Undip Prof. Dr. Alamsyah, S.S.,

M.Hum. terkait adanya kebijakan ini. Ia menjelaskan bahwa kebijakan baru ini berdasarkan Permendikbud Ristek No. 53 Tahun 2023 dan Peraturan Rektor Nomor 7 Tahun 2024 tentang Peraturan Akademik Bidang Pendidikan Program Sarjana Universitas Diponegoro.

“Kalau kita melihat regulasi pada Permendikbud Ristek terkait dengan tugas akhir tidak harus skripsi. Tentu kita sangat memperhatikan itu. kemudian karena kita bagian dari Undip, tentu saja menunggu teknis yang dibuat oleh Universitas Diponegoro (Pihak birokrat, -red). Kalau tidak salah di peraturan rektor yang terbaru,” ujarnya.

Secara internal menurut Alamsyah, FIB telah berkoordinasi dengan Universitas (pihak rektorat, -red) untuk mengimplementasikan kebijakan tugas akhir tidak harus tunggal skripsi. Respons universitas cukup bagus dan fakultas telah diberi kesempatan untuk merealisasikannya.

Dekan FIB tersebut juga menyatakan kebijakan terbaru tidak dibuat secara sepihak melainkan berasal dari kewenangan program studi (prodi) masing-masing.

“Karena yang tahu persis hal itu adalah prodi dan kita tidak mau mengintervensi kebijakan-kebijakan dari prodi. Yang penting ialah sejalan dengan regulasi, itulah yang saya pegang. Dan atas dasar itulah program studi kita berikan keleluasaan untuk mengganti skripsi bagi yang ingin tugas akhirnya di luar skripsi,” tambahnya.

Beberapa prodi di FIB telah mengusulkan beragam alternatif sebagai

KABAR KAMPUS

pilihan tugas akhir selain skripsi. Seperti Prodi Sastra Indonesia yang memberikan pilihan kepada mahasiswanya untuk membuat artikel jurnal, naskah kreatif dan video kreatif.

“Terkait artikel jurnal statusnya sudah accepted, telah terkirim dan mendapatkan LOA (Letter Of Acceptance),” Terang Karjo.

Tidak hanya itu, mahasiswa Sastra Indonesia juga diberikan opsi seperti membuat naskah kreatif untuk peminatan sastra, linguistik, dan filologi. Bentuknya berupa naskah puisi, cerpen, essai, buku kritik sastra, kritik bahasa, kritik filologi serta novel. Buku diterbitkan secara resmi minimal berjumlah 50 eksemplar. Kemudian video kreatif dengan durasi 15-30 menit yang telah ditayangkan oleh media. Mendapatkan rekognisi positif 200 suka dan 500 kali tayang di media sosial serta dilengkapi bukti HAKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Terkait respons dari Prodi sastra Indonesia sendiri, menurut Karjo tidak akan menjadi masalah dari perihal kesiapan mahasiswa dan dosen atas perubahan ini. Karena nantinya akan dijelaskan dan didiskusikan dalam pertemuan. Namun, memang ada sedikit ganjalan yaitu beberapa perguruan tinggi seperti UGM dan UI yang menerapkan kebijakan semisal melanjutkan S2 di perguruan tinggi tersebut, tidak menerima lulusan S1 yang tidak mempunyai skripsi.

Sementara itu, Prodi S1 Sastra Inggris, mahasiswa diberi opsi berupa artikel ilmiah yang bisa disusun oleh mahasiswa secara mandiri atau bersama dosen. Mahasiswa menjadi penulis pertama dan dosen menjadi penulis kedua. Artikel

ilmiah dipublikasikan pada jurnal terakreditasi minimal sinta 4. Artikel disusun berdasarkan penelitian yang melibatkan sumber primer dan sekunder. Artikel juga harus berbahasa Inggris serta mengikuti kaidah penulisan yang berlaku dan memakai gaya sitasi tertentu.

Sedangkan Prodi S1 Sejarah menawarkan alternatif menarik, opsi pertama yaitu artikel ilmiah dengan kategori bidang sejarah baik secara mandiri maupun bersama dosen. Artikel ilmiah tersebut nantinya dipublikasikan lewat jurnal nasional terakreditasi minimal sinta 3. Opsi kedua yaitu bagi mahasiswa yang menjuarai Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional kategori riset dengan kedudukan sebagai ketua peneliti utama. Opsi selanjutnya yaitu artikel ilmiah yang dipublikasikan lewat jurnal Historiografi yang diperuntukan bagi mahasiswa minimal semester 10. Keempat adalah film dokumenter berdurasi 15-20 menit dengan tema sejarah yang relevan sesuai studi. Tema yang diangkat harus bersifat orisinil dan berkaitan dengan aspek sejarah baik nasional maupun global. Film dokumenter perlu didukung oleh data historis dan menggunakan pendekatan sejarah.

Prodi S1 Bahasa dan Kebudayaan Jepang memberikan opsi berupa pembuatan artikel ilmiah yang telah dipublikasikan di jurnal terindeks baik nasional maupun internasional. Kemudian prototipe dalam bentuk penerapan desain produk yang menekankan pada penemuan dan pengembangan aplikasi dapat berupa video reportase, buku, modul, naskah drama serta lainya. Terakhir ialah proyek kolaboratif dalam dua bentuk yaitu proyek kolaboratif interdisipliner dan proyek kolaboratif dengan stakeholder luar. Bentuknya bisa berupa video kolaboratif disertai laporan ilmiah.

KABAR KAMPUS

Prodi S1 Ilmu Perpustakaan menawarkan satu pilihan yaitu publikasi artikel ilmiah di jurnal terakreditasi sinta 1 sampai 6. Sebelum di submit artikel telah melalui tahap pengujian dari tim penguji prodi S1 Ilmu Perpustakaan.

Sementara itu, mahasiswa Prodi S1 Antropologi Sosial diberikan opsi berupa etnovideografi lalu bisnis plan sebagai dokumen yang mengintegrasikan teori dan aplikasi langsung dalam bisnis guna mendukung kewirausahaan. Sebagai pengganti skripsi bisnis plan perlu persetujuan dan pembimbingan dari dosen untuk memastikan kualitas dan relevansi proyek dengan bidang studi mahasiswa. Sehingga bisa menjadi proyek akhir yang kredibel dengan output terimplementasinya omzet minimal 4,5 juta perbulan. Kemudian ada ekspedisi dan kewajiban mengambil mata kuliah pilihan pengganti skripsi sebanyak 8 SKS.

Menurut Alamsyah kebijakan yang beragam ini merupakan bagian dari

kekhasan tiap prodi yang tidak bisa dipukul sama rata.

“Jadi kita fakultas tidak bisa memaksakan harus begini harus begitu. Tidak mungkin kekhasan prodi kita paksakan ke prodi lain,” jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Karjo, bahwa yang dicari adalah kekhasan, kalau skripsi bentuknya sama semua dan tidak ada kekhasan prodi yang muncul.

“Yang dicari ketika tidak adanya skripsi ialah kekhasan masing-masing prodi,” katanya.

Selain itu, Karjo melihat bahwa dengan beragamnya opsi yang ada, mahasiswa perlu memiliki kecermatan dalam menanggapi perubahan kebijakan ini. Pertama jangan menganggap tugas akhir non skripsi gampang karena sudah lazim dipakai. Kedua, juga jangan dipandang sulit sebab mahasiswa telah diberi beragam pilihan dan semuanya memiliki nilai yang sama serta sama baiknya.

Kemudian Kaprodi Sastra Indonesia itu juga beranggapan meskipun telah diberi banyak pilihan tetap saja akan ada yang memilih skripsi. Hal itu dia contohkan dengan tugas akhir videography yang bila dibaca ketentuannya juga susah. Mahasiswa perlu memahami sinematografi, film dan lainnya. Dan Karjo menekankan bahwa dengan keadaan zaman sekarang mahasiswa bisa mendapatkan apa yang diinginkan tergantung pada passion.

“Apa sih yang tidak bisa di zaman sekarang ini ? Semuanya bisa tergantung passion,” ungkapannya.

Beragam alternatif ini telah disediakan oleh prodi untuk mahasiswa, mulai dari membuat artikel ilmiah hingga film dokumenter. Pada akhirnya opsi berada di tangan mahasiswa, apakah tetap memilih skripsi atau alternatif tugas akhir lainya. Bila memilih skripsi pun tidak apa dan tetap didukung oleh fakultas. Malahan menurut Alamsyah skripsi ini penting bagi mahasiswa.

“Menurut saya penting dalam rangka untuk menguatkan kemampuan ilmiah dan menulis bagi para mahasiswa,” ujarnya.

Untuk menjamin kualitas setiap lulusan jika banyak mahasiswa yang memilih opsi selain skripsi, Alamsyah dan Karjo memiliki suara yang sama bahwa proses pengujian sesuai panduan tetap menjadi poin penting, sama seperti skripsi. Semua tugas akhir baik skripsi maupun alternatif lainya wajib diukur serta dipertanggungjawabkan.

“Itu kan kita ada panduan, berarti sama seperti skripsi,” ujar Karjo.

Alamsyah menambahkan bahwa setiap tugas akhir harus diikuti oleh dokumen administratif seperti adanya judul, lembar pengesahan, abstrak, lampiran, daftar isi dan lainya. Keperluan itu sebagai syarat untuk mengikuti ujian dan untuk mengukur kedalaman penguasaan mahasiswa terhadap materi tugas akhirnya.

“Semuanya harus terukur secara administratif. Ya secara substantif bisa dipertanggungjawabkan,” ungkapannya.

Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun kebijakan terbaru ini telah

memberi ruang bagi mahasiswa memilih alternatif selain skripsi, kualitas tetap menjadi perhatian utama. Setiap opsi tugas akhir memiliki kriteria tertentu agar dapat dianggap layak untuk menjadi syarat kelulusan mahasiswa.

Kebijakan ini tentu memberikan tantangan, apakah dalam implementasinya justru akan memberi beban lebih kepada dosen. Alamsyah menanggapinya dengan baik, mengingat bahwa dosen mempunyai tugas mengawal proses akademik sesuai aturan yang berlaku.

“Kalau dosen ya bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya. Kaprodi dan lembaga sudah membuat keputusan seperti itu tentu saya kira dosen akan menerima karena sebelumnya mereka sudah diajak rapat jurusan di prodi masing-masing,” katanya.

Berbeda dengan Alamsyah, Karjo

Dok. Hayamwuruk/Nevissa

KABAR KAMPUS

beranggapan, menurutnya kebijakan ini merupakan bagian dari tuntutan perkembangan zaman dan dosen perlu beradaptasi dengan hal itu. Dulu hanya dikenal satu-satunya metode penelitian sastra ialah seminar proposal, tapi ternyata sekarang telah bergeser. Dari perubahan zaman ke zaman itu pula dosen dituntut untuk terus berkembang.

“Intinya mahasiswa belajar, dosen juga belajar,” ungkapnya.

Selain itu, Alamsyah juga melihat ada beberapa tantangan dalam menyesuaikan seluruh elemen agar dapat menjalankan kebijakan ini dengan selaras.

”Tinggal penyamaan persepsi dan lingkup teknis,” imbuhnya

Dengan adanya berbagai pilihan alternatif ini, diharapkan mahasiswa dapat lulus tepat waktu dengan kualitas yang tetap terjaga. Lebih jauh lagi, kebijakan ini diyakini dapat mengurangi jumlah mahasiswa yang tidak lulus tepat waktu atau drop out, dengan memberikan fleksibilitas yang lebih luas dalam penyelesaian tugas akhir.

Harapan besar diungkapkan oleh Prof. Alamsyah, yang optimis bahwa kebijakan ini akan memberi efek positif, baik bagi mahasiswa, dosen, maupun fakultas secara keseluruhan.

“Insyaallah kita berharap ada progres yang bagus, harapan saya sangat optimis dan hal ini tidak melanggar regulasi.,” ujarnya.

Begitu pula dengan Karjo yang yakin bahwa melalui kebijakan ini nantinya mampu memberi peluang

bagi mahasiswa yang mempunyai keahlian di luar penulisan skripsi untuk mengembangnkan potensinya. Yang tentunya perlu memiliki alat ukur tersendiri.

“Pendidikan itu kan merupakan suatu kemerdekaan. yang penting tetep ada alat ukurnya,” ungkapnya.

Kebijakan ini diperkirakan dapat diimplementasikan segera, dan paling lambat yaitu pada akhir bulan Januari 2025. FIB sendiri akan memfasilitasi dan meregulasi guna memastikan semua prodi mampu mewujudkan kebijakan baru ini dengan baik.

Galang Herdhananda, mahasiswa Sejarah angkatan 2021 menilai bahwa kebijakan ini perlu disambut positif oleh mahasiswa.

“Saya rasa kebijakan ini perlu disambut positif, karena pemerintah telah berkontribusi untuk menyediakan opsi syarat kelulusan selain skripsi. Tentunya hal ini perlu ditindaklanjuti lebih dalam oleh pihak kampus selaku penyelenggara pendidikan tinggi. Mahasiswa jadi punya banyak pilihan untuk menentukan opsi tugas akhirnya, sesuai aturan dan izin dari pihak kampus,” ujar Galang.

Meski diberikan opsi-opsi lain, Galang menyatakan bahwa dirinya akan tetap memilih skripsi sebagai syarat kelulusan.

‘Saya sendiri lebih memilih untuk tetap menulis skripsi. Alasannya karena studi saya selama kuliah lebih banyak melibatkan studi literatur serta dokumen-dokumen fisik. Untuk opsi artikel ilmiah, saya juga merasa belum siap untuk itu. Terlebih jika artikelnya

diunggah di jurnal-jurnal yang akan dibaca secara publik, akan lebih besar pertanggungjawabannya,” jelas Galang.

Secara lebih lanjut, Galang berharap dengan adanya kebijakan ini, maka kampus bisa lebih mengenal kemampuan masing-masing mahasiswanya.

“Harapannya, semoga ke depannya pihak kampus dapat lebih memahami kemampuan mahasiswanya untuk membuat tugas akhir secara lebih dalam, sesuai dengan keinginan dan kemampuan mahasiswa. Sehingga nantinya dunia kampus juga tidak kaku dalam memandang opsi syarat kelulusan yang tersedia,” jelas Galang.

Lain Galang, maka lain pula Fadillah Khoirunnisa atau akrab disapa Dila, bagi mahasiswa Bahasa dan Kebudayaan Jepang ini, apapun opsi yang dipilih guna meraih gelar sarjana, maka akan samasama menantang.

“Jika pihak universitas melakukan penilaian ketat sebagaimana mereka menilai skripsi, saya rasa sudah cukup memberikan tantangan. Karena menyusun artikel ilmiah hingga submit jurnal hingga mencapai suatu ranking, membuat film, dan lainnya juga memiliki kesulitan dan tantangan tersendiri,” ujar Dila.

Secara keseluruhan, kebijakan pengganti skripsi ini memberi suasana baru baru dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan berbagai pilihan tugas akhir yang lebih beragam, mahasiswa kini memiliki kesempatan untuk menyesuaikan pilihan mereka dengan passion masing-masing, tanpa mengabaikan kualitas akademik yang diharapkan.

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

—Pramoedya Ananta Toer “

Acculturation of Religion and Culture in Dugderan: A Tradition to Celebrate Ramadan in Semarang

Indonesia is well known as the largest archipelago country consisting of over 17.000 islands. Its territory that extends from Sabang to Merauke (around 5.000 kilometers) led to the birth of various ethnicities and cultures including their developments and changes. One of ethnic group in Indonesia, which is considered the biggest, is Javanese. This ethnic group inhabits the central and eastern part of Java island. As Indonesia is a muslim country, the Javanese people’s major religion is also Islam. Therefore, acculturation of Islam and Javanese culture has occurred since Islam came to Java.

One example of the product of acculturation of Islam and Java is tradition in welcoming the holy month in Islam, Ramadan. This tradition would be a moment for muslims to forgive each other and hence, to start fasting in Ramadan with pure heart. Although many people in different places in Java have various ways to celebrate this month, their intention is similar, to strengthen their bonds and spirituality. In Semarang, capital of Central Java, the tradition to celebrate Ramadan is called Dugderan. This tradition also becomes a symbol of acculturation of religion and culture in Java.

Dugderan comes from the words “dug”, which is the sound of bedug as a sign of prayer time, and “deran”, sound of fireworks. In dugderan, the loud sounds from bedug and fireworks are used to signify the beginning of Ramadan. After the first day of Ramadan is decided and

bedug is played and fireworks are fired, people will gather to watch a parade, local arts performance, and night market. The first dugderan began in 1881 under the reign of Kanjeng Bupati RMT Aryo Purbaningrat. At first, the tradition was only the bedug which was played 17 times in Masjid Agung and cannon was fired 3 times in the regency’s yard.

These days, Dugderan consists of the announcement of the beginning of Ramadan, Warak Ngendog parade, and night market. This tradition is held a day before Ramadan. It starts from the mayor’s office where the parade departs to Masjid Agung Kauman. This parade involves traditional carriage, a figure of Warak Ngendok, and followed by local people. After arriving in Masjid Agung

Kauman, ulama will discuss and decide the first day of Ramadan. The tradition ended with prayer and distribution of kue ganjel rel to all the participants. As for the night market, it is held for a week before the main tradition in Johar Market.

What makes Dugderan tradition special and unique is surely the figure of Warak Ngendok in the parade. Warak Ngendok comes from the word “Waro’a”, which means kindness in Arabic, and “Ngendok”, which is laying eggs in Javanese. These words have meanings to encourage people to keep their body and mind pure during Ramadan. Warak Ngendok is an animal myth with four legs, dragon head, long neck, body of a goat and colorful feathers. These unique features of Warak Ngendok makes it a symbol of Semarang culture and Dugderan itself.

In addition, the different animals in Warak Ngendok figure shows an acculturation of some ethnics in Semarang. The head of the figure, which is a dragon, comes from the Tionghoa ethnic. The body of a goat is a symbol of Javanese ethnic. Lastly, the long neck represents the camel’s neck which is a symbol of Arab ethnic. Warak Ngendok shows that despite having different ethnicities and religions, people could still live in harmony with each other.

Dugderan has religious and cultural aspects that are combined in a tradition where all people from different backgrounds could participate. The celebration to welcome Ramadan, holy month in Islam, is the religious aspect that shows how muslims honor the month. Moreover, the stronger spirituality and relationship between muslims to purify their minds for Ramadan becomes the purpose of Dugderan. In connection with culture, Dugderan uses Warak Ngendok

which is an acculturation of three ethnicities as the symbol of the tradition.

Dugderan has become an annual tradition in Semarang. It involves not only Muslims and Javanese, but also all people with various religions and ethnicities. This tradition could strengthen tolerance between religions and propose collaboration between all ethnicities. Therefore, Dugderan must be protected as a cultural heritage in Semarang that gives value to society.

Sumber

http://perpus.iainsalatiga.ac.id/ lemari/fg/free/pdf/?file=http://perpus. iainsalatiga.ac.id/g/pdf/public/index. php/?pdf=11151/1/FARA%20SALSABILA

Funeral

What do you think

If my voice can be heard no more

If my hand can hold no more

If my feet can walk no more

Would it be

That my own world fall

And no one appeared

Grieving my buried self

Since my eyes could feel

And my heart could see

The prison i was in

Is what mother called home

Dok Hayamwuruk/Eveline

—Zahrani Febriani Adha

Warisan Rasa dari Pasar Peterongan:

Jajanan

Pasar dalam Lintasan Waktu

Oleh: Mohamad Hidayah Al Fajri

Mengenakan atasan batik berwarna cerah yang dipadukan dengan kain jarik, Tukini, 50 tahun, duduk di bibir Pasar Peterongan Semarang. Saat itu cuaca begitu terik sehingga ia memakai caping bambu untuk melindungi kepalanya dari sengatan matahari.

Meskipun menjelang tengah hari, Pasar Peterongan Semarang masih dipenuhi orang lalu-lalang. Akhir pekan mungkin menjadi alasan pasar masih begitu ramai.

Di tengah keramaian itu, Tukini menjajakan dagangannya. Serabi kuah, jajanan sederhana yang ia jual. Tukini meletakkan serabi itu di dalam bakul berukuran sedang yang di sekelilingnya diberi daun pisang. Di sisi kanannya juga tersaji serabi yang sudah dibungkus dengan plastik lengkap dengan kuah santan. Jika ada pembeli yang ingin membawa pulang serabi, Tukini tinggal membungkusnya saja. Pembeli yang ingin menikmati serabi di tempat, dengan

Dok. Hayamwuruk/Fajri

Kanal Budaya

telaten langsung ia buatkan wadah kecil dari daun pisang yang disebut pincuk.

Tiap pukul dua dini hari ia mengadon dan mencetak tiap biji serabi. Setelah semua printilan telah siap, pukul tujuh ia bergegas menuju pasar menggunakan ojek. Rutinitas ini ia jalani hampir 30 tahun lamanya. Sebelum menjajakan di Pasar Peterongan Semarang seperti sekarang, ia berjualan dengan cara memikul bakul dan berkeliling menyusuri gang dan jalan. Rasa prihatin dan ulet yang ia lakoni selama berjualan serabi kuah berpuluhpuluh tahun itu telah berhasil menghidupi keluarga kecilnya serta menyekolahkan anak lelaki satu-satunya.

Dibandrol dengan harga lima ribu perak, serabi buatan Tukini cukup untuk mengganjal perut waktu sarapan atau

sekadar menjadi hidangan pencuci mulut. Serabi kuah buatan Tukini pun juga kerap menjadi langganan acara hajatan seperti pernikahan, khitanan, bahkan syukuran.

Jarang sekali menemukan orang yang berjualan serabi kuah seperti Tukini. Jajanan sederhana yang terbuat dari olahan tepung beras, santan, dan garam ini terkesan cukup sederhana, tetapi masih sedikit orang yang tertarik untuk meneruskan ide jualnya.

Menurut cerita Tukini, kawan sejawatnya yang menjajakan serabi kuah dulunya berjumlah puluhan dan menyebar di Kota Semarang. Latar belakang hidup di lingkungan sentra pembuat serabi kuah menjadi alasan mengapa begitu banyak penjaja serabi kuah yang ia kenal. Namun, seiring perkembangan zaman, penjual serabi kuah pun bisa dihitung dengan kedua tangan.

“Dulu 40 orang lebih, saiki tinggal 6 (sekarang sisa 6),” ujar Tukini.

Regenerasi menjadi salah satu alasan makin sedikitnya penjaja serabi kuah. Begitu pun dengan Tukini, anak lakilaki satu-satunya tidak bisa menjadi penerusnya untuk berjualan serabi kuah. Menantunya pun juga enggan untuk menjajakan serabi seperti Tukini.

Tak jauh dari tempat Tukini biasa menggelar dagangannya, seorang perempuan paruh baya dengan cekatan

memindahkan adonan dari ember ke loyang berbentuk bulat di atas kompor minyak berapi kecil. Ia adalah Warsini, 58 tahun. Perempuan asal Klaten yang mencari peruntungan di Semarang sejak 1985. Sama seperti Tukini, ia juga menjajakan makanan tradisional yang sudah jarang ditemui, yaitu kue carabikang. Menurut penuturan Warsini, perlunya ketelatenan dan kesabaranlah yang menjadi alasan mengapa jarang sekali orang yang mau menjadi penjual carabikang.

“Modalnya telaten, kalau tidak ya tidak jadi. Kan ini apinya kecil, nggak terlalu besar, nanti bawahnya sudah gosong, atasnya masih mentah. Tidak bisa diambil kalau belum matang, harus matang, tanak gitu,” jelas Warsini.

Ketelatenan dan kesabaran Warsini dalam membuat kue carabikang ia peroleh ketika belajar dari sang budhe yang juga berjualan kue carabikang di Salatiga. Berbahan tepung beras, sedikit tepung terigu lalu tambahan garam, gula, vanili, serta pewarna makanan membuat kue carabikang terlihat merekah dan berwarna cantik. Dilihat dari bahan-bahan yang digunakan dalam pengolahan kue carabikang, kue ini minim menimbulkan efek samping bila sering dikonsumsi. Tak seperti jajanan zaman sekarang yang takaran gulanya tidak kira-kira. Warsini pun mengklaim kue carabikang sebagai makanan paling alami.

“Yang paling alami dari seluruh makanan itu Carabikang, mas,” tuturnya.

Ditanya perihal asam garam berjualan kue carabikang dari tahun 85, Warsini merasa semasa dulu mencari uang lebih mudah, tak seperti sekarang. Melonjaknya harga bahan-bahan seperti tepung, gula, bahkan minyak tanah menjadi tantangan untuknya yang masih menjual kue carabikang seharga seribu rupiah. Prinsip yang ia pegang di saat harga bahan pokok terus meroket sementara harga kue carabikang tidak dinaikkan adalah karena Warsini ingin orang-orang tetap bisa merasakan dan menikmati kue buatannya dengan harga yang dapat dijangkau seluruh kalangan.

Dari berjualan kue carabikang, Warsini dapat mengantongi 700 ribu rupiah hingga

Dok
Hayamwuruk/Farhan

Kanal Budaya

satu juta rupiah. Hari minggu merupakan hari yang sibuk bagi Warsini karena membawa 30 kg adonan kue carabikang yang siap dicetak di atas cetakan khusus di atas kompor minyak khas orang zaman dulu.

Kue carabikang bikinan Warsini pun cukup menjadi perhatian banyak orang karena berseliweran di layar gawai. Platform seperti Tiktok, Instagram, bahkan YouTube turut mempopulerkan jajanan langka itu. Warsini menceritakan pengalamannya yang cukup sering didatangi oleh foodblogger atau content creator lokal Semarang, tak hanya itu bahkan ia pernah didatangi turis asal Tiongkok. Ia bahkan pernah masuk dalam program salah satu televisi swasta untuk mengenalkan kue carabikang buatannya. Pengalaman seperti itu menurut Warsini merupakan rezeki karena jajanan yang ia jual makin dikenal khalayak.

“Sebelumnya cuma berkurang 10-12 kg sehari kadang-kadang tidak habis. Sekarang bisa habis 20 kg sampai 30 kg alhamdulillah berkat konten orang-orang rezeki datang lagi,” tutur Warsini.

Perubahan zaman yang dinamis, seolah tak menghilangkan daya tarik dari panganan tradisional seperti serabi kuah yang dijajakan Tukini atau kue carabikang buatan Warsini. Kedua makanan ini meskipun perlahan hilang eksistensinya, makanan ini tetap dicari oleh penggemarnya. Terbuat dari bahanbahan sederhana, tanpa bahan sintetis, serta diolah dengan cara unik, merupakan nilai plus untuk makanan tradisional yang dijamin enak, cukup mengenyangkan, autentik, dan yang pasti minim sekali menimbulkan efek samping untuk kesehatan.

Suara Hayamwuruk

Ghassan Kanafani: Jurnalis Sastrawan

Yang Melawan

Oleh: Muhamad Wildan Yamin

Ghassan Kanafani adalah jurnalis, sastrawan, dan penulis asal Palestina yang turut aktif dalam gerakan pembebasan Palestina. Melalui goresan penanya, Ghassan menggunakan kemampuannya di bidang sastra sebagai alat perlawanan. Melalui karya-karya yang sudah ia buat, Ghassan berusaha mengobarkan semangat jiwa rakyat

Palestina untuk melawan para Zionis yang telah merenggut kebebasan bangsa mereka. Sebelum mengenal Ghassan sebagai tokoh perlawanan lebih jauh, sebaiknya kita mengenal masa kecil

Ghassan terlebih dahulu, bagaimana Ghassan kecil lahir dan tumbuh menjadi tokoh perlawanan.

Ghassan Kanafani lahir pada 8 April 1939 di Acre Palestina, dia lahir dari pasangan suami istri, A’isha al-Salim dan Fayiz Kanafani. Ghassan memiliki lima saudara laki-laki yang bernama Ghazi, Marwan, Adnan, Numan, dan Hassan, serta dua saudara perempuan, Fayzah dan Suha. Ayah Ghassan adalah seorang pengacara karena hal itu Ghassan dapat mengenyam pendidikan yang layak, ia bersekolah di sekolah internasional Prancis Collège des Frères yang ada di Jaffa.

Ghassan sudah menghadapi kenyataan yang pahit ketika usianya menginjak 12 tahun, Ghassan dihadapkan peristiwa Nakba yang menyebabkan dia bersama ribuan rakyat Palestina lainya terpaksa harus meninggalkan tanah kelahiran mereka. Peristiwa Nakba terjadi pada 15 Mei 1948, peristiwa ini adalah dampak dari perang Arab-Israel, sebuah perang yang dimenangkan oleh Israel.

Akibat dari peristiwa tersebut, sekitar 700 ribu warga Palestina termasuk Ghassan terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan mengungsi di

Sumber: Pinterest

Suara Hayamwuruk

negara-negara Arab. Pada awalnya, Ghassan bersama keluarganya mencari perlindungan ke Lebanon, tetapi kemudian mereka pergi meninggalkan Lebanon dan menetap di Damaskus, Suriah. Kesedihan yang dialami Ghassan karena tanah kelahirannya telah dirampas membuat dia menuliskan sebuah cerita pendek yang berjudul The Land Of Sad Oranges.

Para pengungsi Palestina yang berada di Damaskus hidup dalam kemelaratan dan tercampakan. Meski terdengar mustahil, tetapi mereka masih menyimpan harapan jika suatu saat nanti mereka dapat kembali ke tanah kelahiran lagi. Di tengah kemelaratan para pengungsi, Ghassan bekerja paruh waktu di restoran dan tempat percetakan untuk menyambung hidup. Berawal dari bekerja di tempat percetakan inilah yang membuat Ghassan menjadi lebih dekat dengan buku. Tidak sampai di situ, pada siang dan malam hari ia gunakan untuk melanjutkan studinya di sekolah menengah, semangatnya dalam menempuh pendidikan sangatlah besar, keterpurukan sebagai pengungsi tidak pernah menyurutkan semangat belajarnya. Setelah menyelesaikan studinya di tempat pengungsian, ia mendapat sertifikat mengajar dari United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA), yang merupakan badan bantuan dan pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pengungsi Palestina. Akhirnya, Ghassan mengajar sebagai guru seni di sekolah-sekolah milik

UNRWA di Damaskus.

Setelah masa sekolahnya berakhir, Ghassan melanjutkan studinya dengan mendaftar di jurusan Sastra Arab di Universitas Damaskus. Di masa kuliahnya, Ghassan tidak hanya aktif dalam akademik saja, tetapi ia juga aktif dalam mengikuti gerakan nasionalis Arab, dari sini lah Ghassan bertemu George Habash sosok tokoh dalam gerakan nasionalis Arab sekaligus yang nantinya akan mendirikan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP).

Perkenalannya dengan George Habash membuat sedikit banyaknya pemikiran Ghassan terpengaruh oleh ide-ide Marxis-sosialis, Habash juga yang mendorong Ghassan untuk menulis di surat kabar Al-Rai, dari sini kemampuan Ghassan dalam menulis semakin terasah. Kesadaran politik yang kian tumbuh dibarengi kemampuan menulis yang mumpuni, membuat karya tulis yang dihasilkan Ghassan berisi pesan untuk menumbuhkan kesadaran politik dan mengarahkan pembacanya kepada aksi politik yang nyata.

Salah satu novel karya Ghassan yang sangat terkenal ialah Men In The Sun yang ditulis pada tahun 1962, novel ini menceritakan sebuah tragedi yang menimpa pengungsi Palestina. Novel tersebut bercerita tentang tiga orang pengungsi Palestina yang ingin pergi mencari pekerjaan di Kuwait, tetapi

untuk pergi ke sana mereka harus melintasi perbatasan Irak-Palestina. Dalam perjalanannya, para pengungsi ini bersembunyi di truk tangki air yang dikendarai oleh seorang mantan Tentara.

Mereka bersembunyi di dalam tangki air di tengah panasnya gurun dan teriknya matahari, setelah berhasil melewati beberapa pos penjagaan, ketika tangki air dibuka ternyata para pengungsi ini sudah meninggal karena kepanasan.

Film Institution di Damaskus. Film The Deceived ini mendapat berbagai penghargaan, seperti Golden Prize di Festival Carthage untuk sinema Arab dan Afrika pada tahun 1973 dan Festival Film Internasional Dubai pada tahun 2013. Film ini juga masuk ke dalam jajaran 100 film terpenting dalam industri perfilman Arab.

Presentasi Ghassan sebagai seorang sastrawan tidak hanya berhenti pada karya

Novel Men in The Sun menggambarkan betapa nestapanya para pengungsi Palestina, kehidupan mereka terpuruk dalam pengungsian, tetapi ketika mereka berusaha untuk mencari pekerjaan di Kuwait, kematian lebih dulu mendatangi mereka.

Kesuksesan novel Men in The Sun pada tahun 1973, membuat novel ini diadaptasi menjadi film layar lebar berjudul The Deceived, film ini disutradarai oleh Tawfiq Salih dan diproduksi oleh General Dok. Goodreads.com

Men in The Sun, salah satu karyanya yang tidak kalah populer adalah Returning to Haifa (1970). Novel ini menceritakan sepasang suami istri Palestina yang kembali mencari rumah mereka setelah ditinggalkan selama 20 tahun karena peristiwa pengusiran rakyat Palestina pada peristiwa Nakba, pasangan suami istri ini juga mencari anak mereka yang sudah lama tidak bertemu. Namun, tidak disangka ketika rumah mereka sudah ditemukan, ternyata rumah tersebut sudah dihuni oleh seorang wanita Yahudi. Tidak hanya itu, ternyata wanita Yahudi tersebut juga mengadopsi anak mereka. Ada juga novel karya Ghassan yang berjudul All That’s Left to You, karya ini membuat Ghassan mendapatkan penghargaan dari Friends of the Book Society di Beirut pada tahun 1966.

Banyaknya penghargaan yang Ghassan terima, tidak menyurutkan semangatnya ikut serta dalam perlawanan rakyat Palestina. Ia aktif dalam pergerakan perlawanan, baik dalam bentuk organisasi

Suara Hayamwuruk

maupun menyuarakan perlawanan melalui jurnalisme. Hal ini dapat kita lihat ketika dia mulai meninggalkan Kuwait untuk pergi ke Beirut pada tahun 1960. Di sini karir Ghassan sebagai seorang jurnalis mengalami peningkatan, yang dulu hanya penulis surat kabar menjadi dewan redaksi majalah Al-Hurriya. Tidak sampai disitu saja, pada 1963 dia menjadi editor harian Al-Muharrir, serta bertanggung jawab untuk mengisi surat kabar Filastin. Pada tahun 1967-1969, dia menjadi editor harian Al-Anwar.

Pada tahun yang sama, Ghassan ikut serta dalam pendirian Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) pada Desember 1967 bersama George Habash, di dalam PFLP Ghassan bertugas sebagai juru bicara dan bertanggung jawab atas segala aktivitas media PFLP. Kemudian pada tahun 1969 dia menjadi editor untuk majalah PFLP yang bernama Al-Hadaf, Ghassan menjadi editor di Al-Hadaf hingga dia meninggal dunia pada 1972. Menjelang kematiannya, Ghassan selalu aktif menyuarakan perlawanan rakyat Palestina melalui media PFLP.

Saat memimpin Al-Hadaf, Ghassan menjadikannya sebagai media yang berpihak kepada kaum tertindas. Sebagai korban pendudukan Israel di Palestina dan penganut pandangan Marxis, Ghassan memiliki komitmen kuat untuk membela mereka yang tertindas. Perspektif Marxis ini menjadi landasan bagi analisisnya terhadap konflik Palestina-Israel. Ghassan

memahami bahwa tindakan Israel terhadap Palestina tidak semata-mata dilatarbelakangi oleh motif agama saja, melainkan oleh kepentingan ekonomipolitik yang ia sebut sebagai bentuk imperialisme.

Melalui tulisannya, Ghassan menyerukan perlawanan global terhadap imperialisme. Dalam salah satu tulisannya, ia menulis: “Imperialisme telah menancapkan dirinya di seluruh dunia— kepalanya di Asia Timur, jantungnya di Timur Tengah, dan nadinya menjangkau Afrika serta Amerika Latin. Di mana pun Anda menyerangnya, Anda melemahkannya, sekaligus melayani revolusi dunia.” Keberaniannya dalam menyuarakan perlawanan, baik melalui karya sastra maupun jurnalisme

Sumber: Pinterest

menjadikan Ghassan sebagai target utama Mossad, dinas intelijen Israel.

Pada 8 Juli 1972, terjadi kejadian yang memilukan, saat itu Ghassan hendak mengantarkan keponakannya yang bernama Lamees Najim untuk pergi mendaftar ke universitas. Sesaat ketika dia menyalakan mobil Austin 1100 yang dia naiki, mobil tersebut meledak dan kobaran api membakar tubuh Ghassan, sementara keponakannya terpental beberapa meter jauhnya. Ternyata di dalam mobil tersebut sudah ditanamkan bom seberat 5 kg oleh agen rahasia Mossad, jasad Ghassan dimakamkan di Beirut.

telah tiada. Hal ini juga menggambarkan betapa susahnya rakyat Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka. Mereka selalu dihantui kematian tanpa pernah tahu apakah perjuangan mereka akan membuahkan hasil. Meski Ghassan telah tiada, tetapi karya-karyanya dan perjuangannya akan tetap abadi, semua jasa-jasa yang telah ia perbuat tidak akan pernah hilang.

Perjuangan keras yang telah ia lakukan membuat dia dianugerahi penghargaan, bahkan setelah kematiannya, Ghassan dianugerahi secara anumerta penghargaan World Union of Democratic Journalists pada tahun 1974 atas kontribusinya pada dunia jurnalistik. Setahun setelah itu, Ghassan mendapatkan Penghargaan Lotus tahunan untuk sastra oleh Union of Asian and African Writers pada 1975. Palestine Liberation Organization (PLO) pada tahun 1990 juga turut memberikan penghargaan pada Ghassan, PLO menganugerahinya Medali Yerusalem untuk Kebudayaan, Seni, dan Sastra.

Kejadian tersebut sangat menyayat hati, sosok yang selama ini lantang menyuarakan perlawanan imperialisme

Muhasabah Demokrasi Indonesia 2024:

Kuatnya Feodalisme dan Regresi Demokrasi

Oleh: Irsyad Khairaan

Tahun

2024 pesta demokrasi dunia, negara-negara besar seperti Amerika, Perancis, dan tentunya Indonesia turut serta dalam pesta demokrasi yang bertujuan melakukan suksesi atau pergantian tampuk kekuasaan sebagai bentuk amanat demokrasi. Kebebasan Masyarakat dalam memilih calon pemimpin yang maju bertarung dalam kontestasi ini tentunya sangat menentukan arah kebijakan pemerintah selama lima tahun kedepan, apakah visi yang ditawarkan seperti keberlanjutan, perbaikan, hingga perubahan mampu membawa Indonesia menuju sebuah peradaban kejayaan? Sebagaimana yang digaungkan oleh para politisi dalam visi Indonesia emas 2045.

Sayangnya, hal itu tidak selamanya indah, lebih tepatnya rasional, jika melihat kondisi Indonesia hari ini dengan memperhatikan pola demokrasi yang ada. Sepanjang tahun 2024, demokrasi Indonesia mengalami perubahan yang tidak biasa seperti tahun-tahun sebelumnya, perhatikan bagaimana kompetisi yang ada mengalami intervensi atau “Cawe-cawe” oleh penguasa lokal maupun kekuatan besar demi keuntungan besar yang tentunya merusak citra demokrasi Indonesia sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat menjadi dari, oleh, dan untuk korporasi.

Saya pribadi melihat jika Demokrasi Indonesia pada tahun 2024 ini mengalami

Suara Hayamwuruk
Dok. Hayamwuruk/Eveline

sebuah regresif (kemunduran) yang cukup besar. Indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2024 mengalami penurunan peringkat dari 56 menjadi 60, walaupun terbilang kecil dalam hal penurunan peringkat demokrasi global, namun fakta yang terjadi di lapangan seolah-olah menjadi gambaran jelas bahwa penurunan peringkat yang kecil itu tidak dapat terlepas dari fenomena yang sebenarnya terjadi di Indonesia.

Ambil dua contoh saat pemilihan pada tanggal 14 Februari dan 27 November 2024, terlihat jelas munculnya sebuah poros baru yang mempunyai upaya menghilangkan oposisi dengan melancarkan jarkoman seperti “Harus satu gerbong” dan “Antara pusat dan daerah harus punya visi yang sama.”

Kedua slogan tersebut hanyalah upaya untuk melancarkan ambisi pusat bersama Koalisi Gemuknya demi melancarkan sebuah pemerintahan otokratik yang di mana eksistensi oposisi sebagai penyeimbang pemerintahan dihilangkan dengan memberikan tawaran-tawaran jabatan atau posisi di lembaga pemerintahan.

Tidak semua orang sanggup menjadi oposisi barangkali menjadi sebuah fakta yang benar-benar terjadi saat ini dengan minimnya kelompok penyeimbang dalam arena politik Indonesia saat ini sejak pemerintahan pusat dan parlemen diresmikan pada 17 Oktober 2024 lalu dengan menyisakan satu partai dengan

keinginan “Setengah-setengah” menjadi oposisi dan tentunya menjadi tanda tanya besar bagaimana keberjalanan politik oposisi di Indonesia saat ini.

Kemunculan Koalisi Gemuk dalam kontestasi pemilihan daerah hingga pusat tahun ini membuat ruang bagi partisipasi golongan (partai) oposisi semakin berkurang, barangkali mereka perlu mempertimbangkan segala hal, dengan menggunakan teori nilai-manfaat untuk mempertanyakan “Apa yang akan kita dapatkan selama menjadi oposisi?” Tentunya tawaran menggiurkan yang ditawarkan oleh Koalisi Gemuk tidak dapat ditolak oleh partai-partai yang mengalami perubahan paradigma berpartai mereka.

Kehadiran Koalisi Gemuk ini hanyalah sebuah “kong-kali-kong” partai-partai besar yang mempunyai banyak pemilih, namun secara identitas atau nilai yang dianut oleh partai cenderung homogen. Mengapa saya mengatakan homogen? Sekarang marilah kita perhatikan partaipartai besar yang berada di Koalisi Gemuk tersebut, apa perbedaan besar antara Partai Golongan Karya (Golkar) dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) atau Partai Demokrat? Tidak ada perbedaan besar antara partai-partai itu. Rata-rata dari mereka cenderung menggelorakan salah satu atau dua nilai yaitu nasionalis dan religius. Sepertinya kesamaan dari partai-partai tersebut terletak pada anggota hingga petinggi partai yang ratarata adalah seorang atau kaki tangan borjuasi besar dan pada saat ini melakukan

Suara Hayamwuruk

infiltrasi ke dalam pemerintahan untuk melegalisasikan kepentingan mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Tidak perlu kaget jika dalam merumuskan kebijakan melalui perumusan undang-undang hingga peraturan pemerintah cenderung berpihak pada borjuasi besar yang ada di Indonesia. Perlu ditekankan juga bahwa 50 orang borjuis menguasai hampir 50% kekayaan alam Indonesia sementara 240 juta lebih bumiputera Indonesia berada pada kondisi kelas menengah ke bawah, bahkan saya meyakini kebanyakan dari mereka ke depannya akan mengalami kondisi kemelaratan yang sangat parah akibat ketidakmampuan dalam mengakumulasi kekayaan atau kapital mereka yang disebabkan oleh tekanan dan mengharuskan mereka membeli kebutuhan pokok demi keberlangsungan hidup mereka.

Kembali ke Koalisi Gemuk, kehadiran koalisi ini tentunya tidak terlepas dari kiprah sang “Raja Jawa” yang ingin melestarikan kekuasaan keluarga Solonya serta para borjuasi yang memberikannya alat untuk naik ke tampuk kekuasaan selama 10 tahun. Kehadiran Koalisi Gemuk ini sangat berdampak pada arus politik di Indonesia, melihat bergabungnya partaipartai besar termasuk partai religius ke dalamnya membuat posisi Koalisi Gemuk sangatlah besar dibanding koalisi yang pernah muncul di Indonesia selama ini.

Pertanyaan besar apakah semua partai

yang tergabung di dalamnya mempunyai kesamaan visi atau nilai yang ingin diperjuangkan atau hanya sebatas mencari kapital melalui “kong-kali-kong” dengan status para anggota partai yang didominasi oleh para kaki tangan pengusaha yang berada di pemerintahan.

Saya lebih suka menyebut Koalisi Gemuk itu sebagai In Partibus Infidelium yang berarti lingkaran orang-orang kafir.

Kata kafir saya maknai sebagai demagog atau provokator perusak demokrasi masyarakat. Mungkin terlihat cukup kasar dan tendensius untuk sebuah koalisi partai politik ketimbang permusuhan dalam agama yang berlangsung hingga saat ini. Namun, marilah kita melihat fenomena ini sebagai sebuah tanda bahwa ada hal yang tidak seharusnya berlaku dalam kompetisi ini.

Dok. Alpinriyadi

Ambil contoh bagaimana orangorang yang berada di Koalisi gemuk menggunakan bantuan aparatur negara seperti Partai Coklat (Parcok) untuk memuluskan jalan orang-orang dari Koalisi Gemuk untuk mencapai tampuk kekuasaan tertinggi khususnya dalam pemilihan daerah.

Kehadiran Parcok membuat kita teringat dengan era Orde Baru pada masa itu Keluarga Cendana dan kroninya menggunakan Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ABRI) melalui wewenang luas yang diberikan melalui Dwifungsi ABRI untuk duduk di tampuk kekuasaan tertinggi seperti kepala daerah hingga kementerian. ABRI juga ikut terlibat dalam kemenangan Partai Golkar dalam beberapa pemilihan umum dengan melakukan intervensi bahkan intimidasi terhadap masyarakat bawah untuk memilih Partai Golkar sebagai partai pilihan masyarakat Indonesia. ABRI dan Golkar dapat diibaratkan sebagai mesin pelanggeng kekuasaan Orde Baru. Masingmasing mempunyai peran penting, ABRI berperan sebagai mesin intimidasi dan represi, sedangkan Golkar sebagai mesin politik untuk memobilisasi massa dan mendapatkan legitimasi politik melalui pemilihan umum.

Selain Partai coklat atau Parcok, perlu disadari bahwa politik Indonesia hingga saat ini masih kental akan feodalisme. Definisi feodalisme yang saya maksud bukan hanya berbicara tentang

kepemilikan tanah maupun urusan tuan dan hamba, akan tetapi saya menyoroti bagian bagaimana hubungan antara tuan dengan hamba-hambanya mampu menaikkan status hamba tersebut menjadi seorang terpandang.

Ambil contoh yang baru-baru in terjadi ketika Presiden Prabowo Subianto menarik beberapa anggota dia yang berasal dari Tim Mawar Kopassus yang ikut terlibat dalam penghilangan aktivis pada tahun 1998 ke dalam tubuh pemerintahannya saat ini dengan menduduki jabatanjabatan strategis. Hal ini menjadi sebuah bukti kuat bahwa pemerintahan Prabowo sekalipun cenderung bercorak feodalis ketimbang meritokrasi sebagaimana harapan banyak orang pada saat dia berhasil memenangkan pilpres.

Apabila kita melihat juga bagaimana politik Indonesia hari ini dengan menggunakan berbagai macam alat analitis, maka akan kita temukan sebuah fakta bahwa politik kita cenderung berpihak pada feodalisme atau kekeluargaan (Politik Dinasti).

Perlu juga diingat bahwa dalam pilkada satu bulan yang lalu, antara satu calon dengan yang lainnya mempunyai hubungan kekerabatan atau keluarga yang membuat upaya mereka untuk maju dalam kontestasi pemilihan lebih bertujuan untuk memperkuat kekuasaan keluarga ketimbang memajukan pemerintahan yang meritokrasi. Hasilnya bisa kita lihat dengan mengambil contoh

Suara Hayamwuruk

beberapa daerah dengan Pembangunan yang lambat, hal ini tidak dapat terlepas dari kuatnya pengaruh keluarga dalam pemerintahan di suatu daerah.

Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana masa depan demokrasi

Indonesia dalam beberapa tahun ke depan?

Saya rasa masa depan demokrasi Indonesia akan terus mengalami penurunan kualitas

jika kita melihat fenomena yang terjadi sepanjang tahun 2024. Kemunculan Koalisi Gemuk, kehadiran Parcok, dan tentunya akar feodalisme yang masih kuat di tubuh pemerintahan Indonesia akan menghambat transformasi masyarakat Indonesia sebagai negara demokrasi.

Ketiga permasalahan tersebut tentunya akan menghambat masyarakat Indonesia menuju masa kejayaan sebagaimana angan-angan pemerintah melalui visi

Indonesia Emas 2045, sebuah imajinasi yang dibalut dalam motivasi untuk

masyarakat Indonesia untuk yakin bahwa mereka berada di jalan yang benar. Padahal bila melihat kondisi yang sebenarnya, hal itu tidak lebih dari sebuah abstraksi yang tidak memiliki landasan yang cukup kuat untuk mewujudkan hal tersebut.

Penyakit atau lebih tepatnya parasit, dalam keberjalanan demokrasi Indonesia haruslah dimusnahkan apabila kita menginginkan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan bermartabat. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Mary Beldknap bahwa proses evolusi manusia membutuhkan sebuah golongan yang siap untuk melangkah menuju fase berikutnya dari Homo Sapiens menjadi Homo Deva, dengan membentuk sebuah massa yang disebut sebagai “Massa kritis” dengan memiliki sebuah kesadaran untuk beradaptasi dan melangkah lebih jauh menjadi masyarakat yang lebih baik dari yang sebelumnya.

Saya menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk secepatnya insaf dan buanglah hal-hal buruk tersebut demi kebaikan bersama. Bukan bermaksud lancang, tetapi di kehidupan kita seharihari masih terdapat praktik-praktik yang merusak jiwa demokrasi individu dan berdampak terhadap jiwa demokrasi Indonesia itu sendiri, angan-angan bahwa negara kita akan mencapai masa emas pada tahun 2045 tidak lebih dari sebuah bualan belaka selagi pola hidup bernegara masih diselimuti oleh parasit-parasit yang telah saya sebutkan sebelumnya.

FilmTuhan, Izinkan Aku Berdosa

merupakan mahakarya Hanung

Bramantyo yang dirilis pada 22 Mei 2024. Hanung Bramantyo mengambil sumber inspirasi film tersebut dari novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! karya

Muhidin M. Dahlan yang terbit pada tahun 2003 silam. Namun, sang sutradara banyak memodifikasi alur cerita pada film karena novel tersebut terlalu eksplisit dan kontroversial.

Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa menceritakan tentang Kiran (Aghniny Haque), mahasiswi di salah satu perguruan tinggi pulau Jawa yang sangat agamis. Ia merupakan salah satu anggota organisasi rohani di kampusnya yang kerap mengadakan kajian. Ia

RESENSI FILM: Tuhan, Izinkan Aku Berdosa

Identitas Film

Judul Film : Tuhan, Izinkan Aku Bedosa

Produksi : MPV Picture dan Dapur Film

Distribusi : Dapur Film

Tripar Multivision Plus

Sutradara : Hanung Bramantyo

Produser : Raam Punjabi

Penulis : Muhidin M. Dahlan

Durasi : 117 menit

Tanggal Rilis : 22 Mei 2024

juga merupakan mahasiswi dengan pemikiran cemerlang. Gagasannya dalam perkembangan dakwah lewat pendekatan ekonomi mikro diapresiasi oleh dosennya, Pak Tomo (Donny Damara). Namun, kehidupan ekonominya yang melarat membuat dirinya kerap terlambat dalam mengumpulkan tugas.

Mulanya, Kiran merupakan mahasiswa yang sangat membatasi diri dari pergaulan. Organisasinya yang konservatif memberi pengaruh besar pada kehidupannya, sehingga ia sangat waspada dalam bersikap. Konflik bermula saat ia hendak dilamar petinggi agama di organisasinya. Semalam sebelum dilamar, Kiran dihubungi petinggi tersebut dan merayunya agar menyetujui untuk

dinikahi siri terlebih dahulu. Esoknya, saat Kiran menyampaikan informasi bahwa dirinya ingin dinikahi siri, petinggi tersebut pun naik darah dan menuduh bahwa Kiran menyampaikan fitnah.

Semenjak itu, Kiran mulai mempertanyakan peran Tuhan dalam hidupnya. Kiran merasa beriman kepada Tuhan tidak memberinya kebahagiaan, melainkan penderitaan. Ia juga mulai berpandangan bahwa orang yang paham agama belum tentu baik martabatnya. Pandangan tersebut semakin ia yakini saat dirinya mulai “melayani” laki-laki dari kalangan pejabat. Di luar urusan ranjang, para pejabat tersebut menggunakan “topeng” yang kuat sebagai suami, ayah, dan wakil rakyat yang bermartabat. Kiran pun menyadari betapa hipokritnya manusia-manusia tersebut. Hal tersebut memunculkan kemarahan yang dalam kepada Tuhan. Kiran melanjutkan perbuatan kotor dan berdosa tersebut sebagai bentuk amarahnya kepada Tuhan.

Secara garis besar, film Tuhan, Izinkan

Aku Berdosa memotret fenomena yang kerap terjadi di negeri ini. Film ini menunjukkan sisi gelap para manusia yang rakus akan nafsu dan kekuasaan. Nilai moril dan agama seakan dilecehkan oleh para karakter-karakter antagonis dalam film ini. Film ini juga seakan memantik amarah dari para penonton, karena sikapsikap tercela para tokoh. Di sisi lain, film ini mengajak penonton untuk lebih meningkatkan rasa kepekaan terhadap

kondisi sosial. Berbagai permasalahan sosial dikemas dalam film ini sebagai bentuk sindiran. Diantaranya adalah patriarki, rasisme, dan kesenjangan ekonomi.

Oleh: Nevissa Sabrina Karim

LePetit Prince merupakan novel

karya sastrawan Prancis bernama

Antoine De Saint-Exupėry. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1943 dan sekarang sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 230 bahasa asing.

Novel ini bercerita tentang seorang

Pilot yang terdampar di Gurun Sahara, pesawat yang dikendarainya rusak sehingga ia harus tinggal sejenak untuk memperbaikinya. Lalu, muncullah Pangeran Kecil yang datang dari planet lain. Awalnya Pangeran Kecil meminta tolong agar digambarkan seekor domba, tetapi ia terus menerus protes karena domba yang digambarkan selalu tidak cocok untuknya.

Le Petit Prince : Dongeng untuk Orang

Dewasa

Identitas Buku

Judul Buku : Le Petit Prince (Pangeran Cilik)

Penulis : Antoine De Saint-Exupėry

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Alih Bahasa : Henri Chambert-Loir Cetakan : Juni, 2023

Tebal : 120 Halaman

ISBN : 978-602-032-341-1

Saat sang Pilot menggambarkan sebuah peti dan mengatakan ada domba di dalamnya, Pangeran Kecil menjadi ceria. Ini pertama kalinya ada orang yang paham dengan gambar sang Pilot.

Singkat cerita, sang Pilot dan Pangeran Kecil berteman. Sang Pangeran bercerita tentang planetnya dan planet lain yang ia kunjungi. Pangeran bercerita, planetnya bernama Asteroid B612, ukurannya begitu kecil. Terdapat dua gunung aktif dan satu gunung tidak aktif, tinggi gunung itu hanya selutut sang Pangeran. Ia juga bercerita tentang kesehariannya yang membersihkan tunas pohon baobab dan merawat setangkai mawar yang bawel.

Resensi

Novel Le Petit Prince mengandung makna filosofis mengenai kehidupan manusia yang dapat mengubah pola pikir pembaca. Ada salah satu scene yang dapat membuat pembaca tersadar bahwa seperti inilah kehidupan orang dewasa, monoton dan kurang menyenangkan karena pikiran kita sekarang lebih menyukai hal-hal serius dan berbau angka.

Pada halaman awal tertulis “…aku bersedia mempersembahkan buku ini kepada anak yang kemudian menjadi orang dewasa itu. Semua orang dewasa pernah menjadi anak-anak.”

Artinya novel Le Petit Prince ini tidak hanya ditujukan untuk anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Sang Penulis mempersilahkan semua kalangan usia untuk membacanya karena buku ini dipersembahkan untuk semua orang.

Salah satu kutipan pada novel Le Petit Prince ini membahas mengenai pemikiran orang dewasa yang cenderung lebih tertarik dengan hal bernilai.

Sang pilot memberi contoh,

Jika kau bilang kepada orang dewasa, “Aku melihat ada rumah indah terbuat dari batu merah semerah mawar dengan geranium di jendela dan merpati hinggap di atapnya, mereka tidak akan tertarik.”

Kita seharusnya bilang, “Aku melihat rumah seharga seratus ribu franc”.

Barulah mereka akan berseru ,“Oh, rumah yang bagus!”.

Artinya keindahan akan kalah dengan sesuatu yang bernilai. Ini adalah sebuah sindiran untuk orang dewasa, mereka hanya akan tertarik pada sesuatu yang bisa diukur dengan nilai daripada sisi keindahannya.

Hal lain yang membuktikan bahwa pemikiran orang dewasa lebih rumit adalah ketika salah satu ilustrasi dari novel ini pernah viral di platform media sosial Indonesia. Gambar tersebut adalah milik Pilot saat ia masih kecil. Namun, tak ada satupun orang yang bisa menebak makna dari gambar itu. Hal itu membuktikan orang dewasa tidak dapat memahaminya karena hati mereka sudah tercemar hal rumit, kekuasaan, kesombongan, keserakahan, juga dosa-dosa.

Penulis berhasil menyuguhkan novel dengan bahasa yang ringan dan alur yang santai, tetapi pesan yang terkandung tetap mendalam dan menarik. Sayangnya, ada beberapa kalimat yang salah ketik sehingga membuat pembaca bingung. Pada akhirnya, novel ini cocok untuk semua kalangan karena pola pikir kita berubah-ubah seiring bertambahnya usia.

Oleh: Belqis Aida Salma

Lolongan Satpam Pukul Sembilan

Pulang semua!

dan mereka berteriak-teriak sepanjang jalan lorong menyusuri sudut-sudut tiap pukul sembilan berdetak

Meja-meja dibuyarkan membunuh ruang intim pertemuan

kehangatan angan perihal negeri kadang menertawakan demokrasi atau rapuh bersemayam sekian lama pada tubuh rumahnya

Pulang!

semua ketakutan

teriakan, teriakan, dan teriakan apakah itu wujud kepuasan

memegang kuasa? tidak hanya gembok dari gerbang dan kebijakan katanya

Di rumah sendiri kami ketakutan dengan lolongan satpam pukul sembilan

—Sindah Laili Nurjanah

Semarang, 2024

Pojok Sastra

Kami Anak Sastra

Kami anak sastra.

Untuk apa paham politik?

Karya kami belum ciamik.

Kami anak sastra.

Untuk apa paham politik?

Fokus saja cipta karya ikonik.

Kata mereka.

Padahal, Kami anak sastra.

Justru harus paham politik.

Kalau bukan karya, diri kami yang dicabik.

—Amalia Vidhyana

Yang Tak Boleh Disentuh

Sebuah undangan makan malam diterima olehku. Pada sebuah ruangan dengan meja berlapis emas, dengan syarat tak boleh kusentuh.

Juga alat makan mewah yang tak boleh tergapai tangan kusamku, seolah tak ada hak ‘tuk cicipi menu.

Kursinya terbuat dari kayu lapuk, seolah jangan sampai tinggalkan kotor debu pada kursi perunggu. Padahal, undangan itu untukku.

Bersama tamu lusuh lainnya aku duduk terpaku.

Hanya saksikan raut bahagia Tuan Rumah itu.

Di atas singgasananya yang berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan kursiku.

Melahap rakus seluruh menu dengan tangan berdebu. Apakah juga ‘kan dilahap di liang kubur?

Hayamwuruk

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.