[TRIBUNE EXPRESS LK2 FHUI EDISI (4): JULI 2022]
Indonesia sempat diramaikan dengan pemberitaan kasus pemerkosaan Herry Wirawan, pemilik pondok pesantren MH di Bandung, terhadap 12 orang santriwatinya. Kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh Herry dapat dikategorikan sebagai extraordinary crime karena dua aspek, yaitu anak sebagai korban dan dampak tindakan kekerasan seksual yang menimbulkan penderitaan bagi fisik dan psikologis anak. Selain itu, kekerasan seksual yang dilakukan Herry dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM yang bersifat sistematis karena adanya indikasi eksploitasi ekonomi melalui kelahiran anak-anak korban yang diakui sebagai anak yatim piatu untuk menjadi dasar pelaku meminta dana kepada sejumlah pihak. Maka dari itu hakim memberikan Herry vonis hukuman mati. Lantas, bagaimana implikasi penggunaan pidana mati dalam penanganan kasus kekerasan seksual? Apakah pidana mati menjadi solusi yang tepat dalam mencegah terjadinya tindakan kekerasan seksual?