Pekerja Modern: Antara Kerja Modern dan Kerja Omong Kosong (Lentera jilid1 2024)

Page 1

SUSUNAN REDAKSI

Steering Committee : Salsabillah Putri Firdiansyah

Ketua Pelaksana : Mohammad Rafi Azzamy

Sekertaris dan Bendahara : Nabila Pravita Safitri

Penyunting :

Armiya Ahmad Zakaria

Najwah Aqilah

Maria Marlen Fredika

Khansa Qani'ah Khairunnisa

Editor :

Mutiara Putri Dwi Lestari

Haikal Rian Utama

Kontributor:

Hatib Abdul Kadir

Gilang Mahadika

Muhammad Rif'at Alamsyah

Hida Ghifary Ramadhan

Desvandy Saputra Haryana

Omar Hakkun Abdurrahman

Arum Ardianty

Nabila Pravita Safitri

Athaya Syafiqa

Rendra Andika Ramadhan

Armiya Ahmad Zakaria Fachrudin

KATA PENGANTAR

Selamat datang para freelancer, selamat datang para part timer, selamat datang para buruh paruh waktu, selamat datang para pekerja teks komersil, selamat datang para buruh akademik, selamat datang untuk seluruh umat manusia yang mendeklarasikan dirinya sebagai “pekerja”. Aktivitas “bekerja” adalah kegiatan paling purba dalam sejarah umat manusia, jauh sebelum epos antroposen atau holosen, bahkan plestosen, ia telah ada. Hakikat sejati manusia adalah “kerja”, peradaban juga dibangun olehnya, sebut saja berburu, meramu, domestifikasi, hortikultura, dan lain-lain. Sebagaimana dunia avatar yang baik-baik saja sebelum negara api menyerang, umat manusia atau umat “pekerja” juga sejahterah sebelum datangnya ketimpangan dan kepemilikan privat.

Bergulirnya sejarah yang dibayang-bayangi oleh ketimpangan telah membuat aktivitas ‘kerja’ berubah maknanya, darinya perbedaan kelas sosial mulai terbentuk sedemikian rupa. Zine ini adalah tentang pekerja, lebih tepatnya tentang salah satu kelas sosial di dalamnya, yakni: “pekerja modern”. Berbagai rubrik di dalamnya adalah sebentuk refleksi atas dinamika kerentanan, refleksi teori tipistipis, dan kisah-kisah tentangnya. Refleksi parsial yang mungkin tidak menyentuh segala aspek modernitas kerja dalam zine ini tidak untuk dimaklumi, melainkan sebagai catatan bahwa kesempurnaan karya intelektual adalah sesuatu yang perlu diupayakan selalu.

Berbagai ketimpangan telah dilalui, berbagai makna kerja pun silih-berganti. Dalam zine ini, modernitas kerja di dalam bayangan ketimpangan, diklasifikasikan sebagai “kerja informal” dan “kerja omong kosong”. Bukan tanpa pertimbangan, latar belakang para penulis dan organisasi antropologi sungguh berpengaruh dalam menyongsong definisi atau kategorisasi tersebut. Perlu ditegaskan, zine ini lahir juga dari keringat para pekerja yang memeras kognisinya untuk menulis, mendesain, menyusun, mengolah kata, merumuskan tema, dan bahkan zine ini adalah salah satu program kerja di dalam Himpunan Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya. Dengan kata lain, zine yang bernama LENTERA ini adalah karya pekerja untuk para pekerja, sebagai upaya berbagi pengetahuan. Ucapan terimakasih tak terhingga kami haturkan kepada seluruh pihak yang berpartisipasi dalam penerbitan LENTERA kali ini, sebab tanpa mereka, keberadaan zine ini hanyalah imajinasi belaka. Kami harap zine ini dapat menjadi remah-remah pengetahuan bagi siapapun yang membacanya, sembari meneriakkan jargon “We Are the Working Class”,

kami ucapkan: Selamat membaca!

Dari Lantai Pabrik Ke Ojek

Online: Perubahan Makna

Buruh Dan Kerja

Oleh: Hatib Abdul Kadir (Dosen Antropologi Universitas Brawijaya)

Sekitar 85 tahun yang lalu, ekonom

Belanda J.H. Boeke mencetuskan konsep dual economy. Kaki kanan orang Hindia Belanda (Indonesia) berada di perkebunan yang terhubung dengan ekonomi global sementara kaki kirinya di sawah, masih terikat pada dunia pra-kapital.

Kondisi Indonesia kini lebih kompleks dengan ekonomi yang lebih digerakkan sektor informal. Tercatat, hampir 70 juta orang yang bergerak di usaha jasa dan perdagangan kecil. Jumlah tersebut lebih dari 50% dari total angkatan kerja di Indonesia. Karena itu, kaki kanan pekerja di Indonesia bukan lagi di semata perkebunan dan pabrik, melainkan sektorinformal. Inflasi, tingginya hasrat konsumsi, jeratan hutang, dan rendahnya jaminan sosial dari negara menyebabkan para pekerja sektor informal merangkap dua hingga tiga jenis pekerjaan. Sangat umum ditemukan penjual makanan sekaligus jual pulsa dan membuka jasa tambal ban dalam. Atau yang paling umum orang yang bekerja di pabrik pada siang hari dan menarik ojek online pada malamnya.

Buruh di Era Pasca-Fordisme

Dunia mengalami sebuah transformasi yang disebut sebagai “pascafordisme”. Istilah ini mengacu pada situasi di mana buruh tidak lagi bekerja dengan pengawasan penuh dari pukul 8 pagi sampai 5 sore untuk memproduksi mobil Ford. Saat ini buruh bertransformasi menjadi individu wirausahawan atomis, otonom, dan bebas—meski rentan. Buruh tidak lagi melihat dirinya sebagai agen produksi namun juga pelaku konsumsi. Dengan berakhirnya masa industri yang menekankan pada produksi massal dari lantai pabrik, negara mendesak setiap warganegaranya (citizen) untuk beralih fungsi menjadi wirausahawan (entrepreneur). Sebagai wirausahawan, warganegara dapat dipajaki alih-alih diberi subsidi.

Seiring dengan tingginya angka harapan hidup, pemerintah mempunyai kepentingan untuk menghapuskan masa pensiun demi menghemat beban fiskal golongan masyarakat yang tidak produktif lagi. Rata-rata warga dari negara-negara anggota organisasi kerjasama dan pembangunan ekonomi (OECD), termasuk Indonesia, akan menghabiskan waktu yang sangat lama dalam masa pensiun. Laki-laki menghabiskan masa pensiun antara 14 dan 24 tahun, sedangkan perempuan antara 21 dan 28 tahun. Angka ini 50% lebih tinggi ketimbang pada tahun 1970. Itulah kenapa pemerintah berkepentingan untuk mengubah status warganegara ke wirausahawan.

Pemerintah mencari cara untuk mempertahankan warga negara senior agar tetap bekerja, yakni dengan menjadikan mereka entrepreneur karena jenis pekerjaan ini hampir tidak mengenal kata pensiun.

Sementara di perkantoran, pabrik, dan berbagai institusi telah mengubah sistem pekerjaan dengan menitikberatkan pada kinerja dan produktivitas alias meritokrasi.

Sistem ini mengubah kerja menjadi berdasarkan jenjang senioritas dan loyalitas seumur hidup atau yang disebut gerontokrasi (gerontocracy). Meritokrasi menendang mereka yang berusia tua dan lebih mengedepankan mereka yang berusia muda, gesit, dan fleksibel. Di Indonesia, sistem ini semakin mulus dengan munculnya Undang-Undang

Cipta Kerja yang otomatis mengubah mekanisme legal terkait rekrutmen dan pemecatan di perusahaan.

Banyak sektor pekerjaan publik dan formal dengan kontrak jangka panjang hari ini mulai menghilang. Lalu, muncul satu kelas sosial dengan jenjang di bawah buruh, yakni kelas prekariat—yang dalam istilah aslinya, dalam bahasa Italia, disebut precariato. Istilah ini mengacu pada jenis pekerjaan kasual, fleksibel dan berpendapatan rendah. Posisi kelas prekariat ini mirip dengan lumpenproletariat dalam perspektif Marxis. Mereka adalah pekerja yang terpisah dari arus utama pertumbuhan ekonomi yang cepat namun tidak mempunyai kesadaran kelas karena tidak mempunyai serikat kerja, kurang dukungan secara sosial, dan masa depannya tak dijamin negara.

Sektor Informal Dan Paradoks

Kebebasan

Kebebasan individu adalah aspirasi tertinggi yang ditekankan dalam sistem pekerjaan pasca-fordisme. Ini berbeda dengan generasi buruh sebelumnya yang mendudukkan kebebasan sebagai motivasi yang paling diinginkan.

Kini pekerja berhak mempunyai pilihan atas hidup dan menyelaraskan keinginan mereka dengan dengan konfigurasi baru kapitalisme yang lebih menekankan pada hasrat konsumsi dan utang daripada produksi massal (sebagaimana jaman Fordisme).

Salah satu janji utama dalam pekerjaan pasca-fordisme adalah fleksibitas dan kebebasan. Pekerja tidak harus loyal seumur hidup. Kebebasan pekerjaan juga membongkar sistem patron-klien dan menjanjikan egalitarianisme antara pekerja dan pelanggan. Contohnya adalah sopir ojek online. Pelanggan bukan tetangga rumah atau kenalan yang dilayani secara reguler, melainkan secara acak datang dari pemesan online. Para pengangguran maupun pekerja pabrik kemudian juga mengambil pekerjaan ojek online sebagai sampingan. Alasan utamanya, ojek online lebih bebas dibanding pekerja konvensional yang bekerja delapan jam di kantor atau pabrik. Pekerja dapat pergi ke mana pun ia suka dan tidak harus bekerja ketika sakit atau dalam keadaan mabuk.

Namun demikian, kebebasan ini menemukan paradoksnya. Fleksibilitas kerja dalam bentuk sektor informal, pekerja temporer, pekerja lepas, pekerja subkontrak menggiring mereka ke dalam apa yang disebut Guy Standing dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011) sebagai perangkap kerentanan (precarity trap).

Pekerja temporer memiliki kehidupan yang penuh risiko. Seorang pekerja lepas, misalnya, akan menyesuaikan biaya hidupnya dengan upah yang dia peroleh selama kontrak kerja. Kemudian ketika kontrak kerjanya berakhir. Dia akan memiliki tabungan selama beberapa waktu untuk mendapatkan pekerjaan baru kembali. Pada saat jeda kerja (menganggur sementara), ia menurunkan standar hidupnya karena harus tetap membayar uang sewa rumah/kos

Para pekerja lepas juga biasanya tidak mendapatkan tunjangan kesehatan, tunjangan anak, dan pesangon yang besar. Upahnya hanya cukup untuk dirinya sendiri sehingga tidak mempunyai kemampuan membantu keluarga secara signifikan. Ketika kesulitan datang di tengah jeda kerja, pekerja temporer cenderung berutang kepada kerabat, teman, tetangga atau kredit online yang mengintai. Utang adalah bensin bagi mesin ekonomi pasca-fordisme. Kondisi jeda inilah yang membuat pekerja temporer sangat rentan terjebak dalam perangkap kerentanan.

Jebakan kerentanan juga membuat pekerja fleksibel seperti sopir ojek online (ojol) miskin mobilitas ekonomi meski mobilitas secara fisik mereka sangatlah tinggi. Sopir ojol tak punya kans untuk dipromosikan jabatannya meskipun keahliannya meningkat— misalnya dalam menguasai jalan tikus dan cekatan bermanuver. Sebaliknya, mobilitas sopir ojol yang tinggi justru mempertinggi resiko kecelakaan mereka—dan perusahaan tempatnya bekerja tidak menyediakan asuransi.

Dalam laporan etnografi terbaik di Asia Tenggara, Owners of the Map: Motorcycle Taxi Drivers, Mobility, and Politics in Bangkok (2017), Claudio Sopranzetti menunjukkan bahwa sopir ojol adalah infrastruktur yang tidak terlihat. Mereka berperan menghubungkan orang di jalanan Bangkok yang macet dan mengantarkan komoditas barang di dalam kota.

Seperti wirausahawan, sopir ojol melihat dirinya sebagai agen ekonomi yang bebas daripada sebagai seorang buruh. Selayaknya di Indonesia, sopir ojol tidak mempunyai serikat kerja dan tidak menganggap diri mereka sebagai kelompok yang bersatu. Setiap pekerja sepenuhnya otonom dan beroperasi hampir tanpa koordinasi dengan rekannya.

Prekariat:

Kelas Pekerja

Yang Berbahaya

Guy Standing mewanti-wanti bahwa prekariat ini adalah kelas baru yang berbahaya karena jumlahnya semakin banyak, tidak terkoordinasi dengan baik, frustasi karena tidak punya masa depan. Walhasil, dengan mudah mereka akan terjebak ke dalam gerakan politik identitas yang dimainkan oleh politisi pro-kapitalis. Pandangan Standing ini tentu mengingatkan pada karya klasik Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Napoleon (1852). Marx mencatat Louis Napoleon (keponakan Napoleon Bonaparte) menggambarkan dirinya sebagai perwakilan massa tani dan lumpenproletariat yang berhasil menggulingkan aristokrat Louis Philippe. Meski demikian, nasib kaum tani dan lumpenproletariat tak lebih baik di bawah Louis Napoleon.

Di tingkatan bawah, Gaston Gorrido, dalam studi etnografinya The Patchwork City: Class, Space, and Politics in Metro Manila (2019) menunjukkan bagaimana kelas prekariat terkagum-kagum pada tokoh populis. Pada zamannya, presiden Filipina Joseph Etrada dicitrakan sebagai pemimpin populis dan sangat dicintai oleh kaum miskin kota yang tinggal di perkampungan kumuh. Alasannya sederhana, Estrada adalah mantan aktor yang selalu berperan sebagai sopir truk atau angkutan umum di hampir semua filmnya. Ia juga seorang pemabuk yang sangat sembrono. Pekerjaan dan tingkahnya ini dianggap mewakili kehidupan kelas bawah masyarakat Manila. Meski demikian, apa yang dilakukan Estrada tidak benar-benar revolusioner. Ia dipenjara karena membegal dana pensiun dan suap dari judi ilegal. Kaum kumuh yang mengidolakannya tetaplah tertinggal.

Sopranzetti menunjukkan bagaimana Perdana Menteri Thaksin Thaksinawarta menggunakan Sopir ojol ini menjadi kendaraan politik populisnya di Bangkok. Thaksin dianggap sebagai perdana menteri yang melegalkan status pengemudi online sehingga para sopir ojol tidak harus bersitegang dengan pengemudi resmi lainnya. Meski demikian, haluan politik Thaksin sebagai pengusaha tulen tetaplah menempatkan model ekonomi pro-pasar sebagai panglima tertinggi. Ia masih mengurangi intervensi negara dalam soal urusan pasar dan tidak menekankan pajak progresif terhadap pengusaha besar.

Berbeda dengan gerakan buruh di abad ke-20 yang lebih berdekatan

dengan ideologi kiri, saat ini gerakan prekariat justru bersifat apolitis dan tidak terkoordinasi. Hal ini membuat mereka lebih rentan dijadikan kendaraan politisi populis. Perbedaan pandangan ini di ranah mikro sebenarnya berawal dari kondisi buruh yang tidak sama. Meneliti buruh Pelabuhan Calcutta, India, Laura Bear, antropolog dari London School of Economics, menunjukan dalam Navigating Austerity (2015) bahwa buruh dalam sistem lama yang bekerja dengan kontrak penuh mempunyai hak lebih istimewa. Sedangkan buruh sistem kontrak (outsourcing) tidak mempunyai jaminan seperti yang dimiliki buruh lama. Tahun 1998 adalah puncaknya rekruitmen pekerja kontrak. Jenis pekerja tetap dikurangi dan yang direkrut adalah pekerja temporer dengan tanpa jaminan kecelakaan kerja dan pensiun. Terjadinya perubahan sistem rekrutmen pekerja dari yang permanen ke outsourcing tak jarang menimbulkan banyak iri hati dan perpecahan antara pekerja yang mapan dengan tenaga kerja kontrak. Para pekerja lama yang mapan dilindungi oleh serikat (union) di saat pekerja kontrak mengalami deunionisasi. Perbedaan kasta pekerja ini menyebabkan kelas buruh permanen dipandang lebih “aristocrat” sedangkan tenaga kerja kontrak mengalami kerentanan.

Buruh dengan sistem kerja lama dapat bebas berekspresi melakukan demonstrasi, sedangkan para pekerja kontrak tidak. Perubahan sistem ekonomi dan perbedaan perlakuan para pekerja ini nantinya membuat pilihan politik antara buruh yang mapan dengan pekerja kontrak cenderung berbeda. Hilangnya jaminan sosial menyebabkan para buruh prekariat frustasi dan marah dengan keadaan. Tak heran jika mereka kemudian memilih partai-partai konservatif dan pemimpin populis di saat buruh lama yang mapan, mempunyai privilese untuk tetap progresif dan mengesankan dirinya sebagai “kiri” seolah dunia masih di jaman Fordisme abad ke-20.

Ngenteni Tetesing Embun: “Hasrat” di Tengah

Ketidakpastian Menjadi Buruh Gendong

Oleh: Gilang Mahadika

Magister Antropologi, Universitas Gadjah Mada

Pagi ini sekitar pukul lima, di h kalender Jawa), hari di mana ke

Beringharjo Malioboro berlibur, terut pasar ini. Meskipun demikian, bebera terlihat ber-sliwer-an di wilayah ini. S saya melihat dua buruh gendong du pasar. Satu di antara mereka bernama an. Saat saya sedang berbincang pelanggan yang mendatangi mbah d untuk membawa sayur-sayuran yang te

Waktu itu, saya sadar dan tidak ingin mengganggu mbah, sehingga saya memutuskan untuk mengikutinya dari belakang. Mbah Tami kemudian beranjak mengambil keranjang yang terbuat dari bambu dan jalan menaiki tangga untuk mengambil sayuran itu. Mbah kemudian memasukkan sayur-sayuran itu ke dalam keranjang. Keranjang itu terlihat sangat berat saat mbah mengangkat di bagian belakang pundaknya.

Mbah Tami telah menjadi buruh gendong sejak tahun 1982. Mbah memiliki dua orang anak, dan keduanya telah menikah. Anak paling tua sudah tidak lagi tinggal bersama mbah. Anak itu sudah tinggal dengan suaminya dan kedua anaknya. Namun, mbah tidak sendiri di rumah. Ia hidup dengan anak terakhir dan cucu-cucu dari anak terakhir. Mbah tiba-tiba nyeletuk kepada saya dengan mengucapkan, “ngenteni tetesing embun” (menunggu tetesan embun).

Di satu sisi, suatu pepatah Jawa ini seringkali menyirat kepasrahan terhadap Tuhan mengenai seberapapun rezeki yang diperoleh selama menjadi manusia. Di sisi yang lain, pepatah ini juga menyirat ketidakpastian, yang berarti bahwa mbah harus menunggu ada panggilan tak pasti dari pelanggan agar dapat memperoleh uang (pendapatan).

Mbah menceritakan bahwa Ia cukup susah untuk dapat memprediksi jumlah pelanggan tiap harinya. Terutama di masa pandemic COVID-19 (Coronavirus pandemic 2019), pasar Beringharjo sepi dengan pengunjung sehingga semakin susah untuk buruh gendong untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mbah Tami juga bercerita telah melalui kesusahan ekonomi sejak suaminya meninggal di saat anak mbah Tami masih berumur lima/enam tahun. Di waktu itu, akhirnya mbah merelakan anaknya agar diasuh oleh ibunya, dan mbah Tami mulai menjadi buruh gendong sejak saat itu. Selain menjadi buruh gendong, mbah juga menjadi petani di tempat tinggalnya, Kulonprogo. Hasil dari tani di lahannya biasanya akan dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Jika hasil tani masih terdapat sisa,

-mbah akan menjual nya ke pasar untuk tambahan pendapatan.

Melihat kasus ini, beberapa para migran dari pedesaan (pinggiran kota) masih bergantung pada sektor pertanian, namun mereka juga memperoleh pendapatan dengan bekerja secara informal, seperti menjadi buruh gendong. Sosok mbah menjadi contoh bagaimana migrasi ke kota sebagai cara membuka ekonomi pedesaan.

Setiap hari mbah meninggalkan rumahnya di Kulonprogo untuk pergi ke pasar Beringharjo sebelum pukul lima pagi. Saya pun kemudian bertanya kepada mbah dan mengandai-andai kenapa harus susah-susah ke pasar jika anaknya bersama suami si anak bisa membantu mbah Tami untuk mencukupi kebutuhan hidup seharihari. Mbah menjawab, “Ten griya nggih ngopo, malah awake laa kabeh” (kalo di rumah juga tidak melakukan apa-apa, justru badan jadi sakit semua). Anak-anaknya tentu membantu mbah di beberapa hal, meskipun tidak secara utuh karena anak-anaknya sendiri juga sudah punya keluarga yang mereka perlu rawat juga. Salah satu suami anaknya mbah bekerja sebagai pengrajin kayu yang didasarkan pada pesanan. Terkadang suami anaknya juga perlu menjadi tukang bangunan.

Jenis-jenis pekerjaan ini bersifat sementara, sehingga dapat dianggap pekerjaan yang tidak memiliki pendapatan yang stabil. Meskipun demikian, mbah Tami tetap memiliki hasrat kepada anakanaknya agar memiliki kehidupan lebih baik daripada dirinya sendiri. Bahkan, mbah tidak menginginkan anaknya agar seperti dirinya menjadi pekerja informal buruh gendong di pasar tradisional ini.

Manusia pada umumnya meletakkan “hasrat” mereka ketika bekerja di wilayah perkotaan. Hal ini disebabkan oleh rangkaian komoditas (pakaian, seragam sekolah, dan lain-lain) telah termaterialisasi dalam bentuk perjuangan mereka untuk selalu mengikuti perkembangan perkotaan yang cepat, serta berusaha mengklaim partisipasi mereka di dalam perkembangan kota (Sopranetti, 2018: 170), seperti di tengah kota Yogyakarta. Istilah “hasrat” di sini tidak lah mengacu pada kategori seksual atau fetisisme komoditas dalam isitlah Marxist. Melainkan, “hasrat” seperti embun yang berada di atas daun. Buruh gendong meletakkan “hasrat” atau harapan seperti embun yang nantinya akan menetes, meski tidak tahu secara pasti kapan embun itu akan benar-benar menetes. Buruh gendong memiliki hasrat untuk membuat anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Meskipun anak-anaknya telah memperoleh jenjang pendidikan yang lebih baik, namun mereka masih hidup ala kadarnya.

Mimpi Tinggi, Biaya Minim, Gaji Pun Kecil: Realita

Mahasiswa Pekerja Informal Malang

Oleh: Arum Ardianty, Mahasiswa Antropologi 2022

Pekerja informal adalah individu yang bekerja tanpa kontrak atau perjanjian kerja tertulis. Mereka biasanya tidak mendapatkan pertanggungjawaban dari perusahaan dan tidak memiliki hak-hak yang diperlukan seperti hak keamanan, hak keselamatan, dan hak perlindungan. Pekerja informal juga tidak mendapatkan akses perlindungan jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja.

Menurut Sethuraman yang dikutip

Muchdarsyah Sinungan (1988: 22), sektor informal secara umum adalah sektor yang terdiri dari unit usaha berskala kecil yang memproduksi, mendistribusi barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi dirinya masing-masing serta dalam usahanya itu sangat dibatasi oleh faktor modal maupun keterampilan.

Pekerja informal muncul sebagai jawaban atas rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh anak-anak, sebab untuk menjadi bagian dari mereka tidak diperlukan persyaratan seperti adanya kemampuan atau keterampilan khusus, Hadinoto, (1988: 42). Pekerja informal terdapat di berbagai belahan dunia, baik di negara-negara besar maupun negara dunia ketiga. Hal ini dikarenakan maraknya kontradiksi ekonomi politik evolusi pertumbuhan perkotaan di negara-negara dunia ketiga. Sementara di negara besar, terdapat arus migrasi yang cukup besar, sehingga tidak semua penduduknya mampu diserap secara keseluruhan dalam sektor industri modern, terutama mereka yang tidak memiliki kemampuan khusus.

Kemudian, hal ini yang mengakibatkan mereka memilih untuk bekerja pada sektor informal yang relatif mudah untuk dimasuki agar dapat bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup.

Selain itu, ini juga didorong oleh pertimbangan daripada menjadi pengangguran yang tidak memiliki penghasilan lebih baik memiliki penghasilan tetapi rendah dan tidak tetap. Sejalan dengan itu, Indonesia juga menjadi negara dengan jumlah pekerja informal yang cukup tinggi.

Berdasarkan data BPS, banyaknya pekerja informal di Indonesia sekitar 82,67 juta orang, yang setara dengan 55,9% dari total penduduk bekerja di dalam negeri yang sebanyak 139,85 juta orang Salah satu penyumbang pekerja informal terbanyak ialah kota Malang. Di tengah hiruk pikuk kota pendidikan itu, terselip realita pahit dimana para mahasiswa terjebak dalam lingkaran pekerja informal. Sektor informal yang identik dengan gaji kecil dan minim perlindungan, menjadi pilihan terpaksa bagi para mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan hidup selama berkuliah di Malang. Banyak dari mereka yang memilih untuk menjadi barista di kafe atau crew di outlet-usaha kecil sebagai sumber penghasilan tambahan. Terlebih bagi mahasiswa perantau, mereka memilih untuk bekerja demi menyelesaikan kuliahnya demi mengejar mimpi yang lebih tinggi, meringankan beban orang tua, mendapatkan uang jajan tambahan serta tidak ingin menambah beban keluarga.

Tidak hanya dipicu oleh faktor keuangan semata, terdapat beberapa alasan lain yang mendorong mahasiswa memilih pekerjaan informal. Pertama, mahasiswa dengan pendidikan tinggi, seperti lulusan SMA atau lebih tinggi, memiliki aspirasi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun, karena sektor formal di Indonesia belum berkembang dengan baik, sektor informal menjadi pilihan yang lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan.

Kedua, meskipun upah pekerja informal lebih rendah daripada pekerja sektor formal, namun beberapa mahasiswa memandang bahwa memiliki pekerjaan informal masih lebih baik daripada tidak bekerja sama sekali. Ketiga, pergeseran nilai-nilai sosial di lingkungan masyarakat modern mendorong generasi milenial untuk mencari peluang kerja di sektor informal yang dianggap lebih menguntungkan daripada menjadi karyawan.

Keempat, banyak mahasiswa yang memiliki passion dan hobi tertentu yang ingin disalurkan, sehingga mereka melihat pekerjaan informal sebagai tempat yang tepat untuk mengaktualisasikan minat mereka. Mereka juga menjadikan sektor ini sebagai sarana mengisi waktu luang dan mencari pengalaman.

Kelima, dorongan dari lingkungan, seperti teman-teman yang juga bekerja di sektor informal, turut mempengaruhi keputusan para mahasiswa. Di sisi lain, tingginya jumlah cafe dan usaha kecil di kota Malang, dengan hampir 500 tempat ngopi, juga mempengaruhi minat mahasiswa untuk bergabung dalam pekerjaan informal, seperti menjadi barista, kasir atau crew outlet suatu unit usaha. Walaupun realitasnya memang, gaji yang diterima oleh mahasiswa yang berkarier di sektor informal masih jauh dari kata memadai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan bisa dikategorikan sebagai upah yang tidak layak. Gaji mereka seringkali berada di bawah Upah Minimum Kota Malang, yang mencapai Rp3.309.114.

Berdasarkan wawancara dari Narasumber berinisial B, seorang barista di sebuah cafe di Malang hanya mendapatkan upah sebesar Rp600.000 per bulan, dengan jam kerja mencapai 25 jam per minggu. Ini tidak sebanding dengan risiko yang ia tanggung saat bekerja, seperti kemungkinan mengalami kecelakaan. Narasumber menjelaskan bahwa pekerja informal seperti mereka tidak memiliki perlindungan jaminan asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja.

Pernyataan ini didukung oleh narasumber GP, yang juga merupakan seorang barista. Dia menyampaikan bahwa pekerja informal kerap menghadapi risiko kerja yang beragam, seperti ketidakstabilan kondisi kerja dan penghasilan yang tidak menentu. Mereka juga rentan terhadap ketidakpastian pekerjaan dan ketidakadilan dalam hubungan kerja, serta mungkin mengalami tekanan fisik dan mental karena lingkungan kerja yang padat dan jam kerja yang panjang. Narasumber juga menambahkan tentang pengalaman pribadinya dikeluarkan dari tempat kerja tanpa alasan jelas.

Bahkan upah terakhirnya dipotong sebagai bentuk ganti rugi atas kelalaian yang ia lakukan, namun pemilik cafe tersebut tidak menjelaskan apa tindakan yang dimaksudnya sebagai kelalaian itu.

Meskipun telah menyadari dan bahkan mengalami risiko tersebut, baik narasumber maupun banyak pekerja informal lainnya tetap memilih untuk kembali bekerja di sektor informal. Mereka lebih memilih fokus pada peluang kerja yang lebih mudah ditemukan di sektor informal, terutama fleksibilitas jam kerja yang memungkinkan mereka menyesuaikan pekerjaan dengan jadwal kuliah. Meskipun harus menghadapi risiko tanpa perlindungan yang memadai, mereka melihat keuntungan ekonomi dan fleksibilitas tersebut sebagai alasan yang kuat untuk tetap berada di sektor informal.

Pekerja Informal: Sebuah

Perbudakan di Era Modern Yang

Dikemas Dengan Sangat Rapih Dan

Sistematis.

Oleh: Desvandy Saputra Haryana

Saya akan memulai tulisan ini dengan satu buah pertanyaan singkat. Jika anda-anda yang membaca tulisan ini adalah seorang pekerja Informal (Freelance, Serabutan, atau apalah itu sebutannya), apakah keringat yang sudah anda keluarkan setimpal dengan upah yang boss kalian berikan? Saya selalu penasaran dengan hal tersebut. Maksud saya, mengapa banyak orang, rela bekerja dengan sangat keras demi bayaran yang sebenarnya, nggak gede-gede amat. Padahal jika dilihatlihat, banyak orang yang memiliki potensi besar jika mereka ingin explore lebih banyak, dan tidak mengambil jalan pintas demi mendapatkan sepeser uang yang jumlahnya tidak begitu besar.

Sebagai seorang Mahasiswa, saya banyak mendapati beberapa teman yang mengambil kerja sampingan (baca: freelance) diselasela waktu kuliah mereka. Barista, waiters, server Billiard, dan bahkan asisten dokter hewan. Dan tentu, itu adalah hal yang lazim dilakukan bagi kebanyakan mahasiswa. Siapa yang tidak ingin mendapatkan uang dan ilmu di waktu yang bersamaan. Juga, kerja adalah secuilnya harapan bagi para mahasiswa yang sedikit kesulitan membayar uang kuliah mereka.

Namun, dari pekerjaan tersebut, banyak permasalahan yang akhirnya timbul secara bersamaan, seperti; kuliah molor, kelelahan, pola makan jadi tidak teratur, dan lain sebagainya. Padahal, bagi seorang mahasiswa, prioritas utama mereka bukanlah bekerja, namun kuliah dan menuntut ilmu.

Saya akan memberi contoh dari seorang teman dekat yang tidak saya sebutkan namanya. Beliau adalah mahasiswa

Antropologi semester 2 di salah satu kampus terbesar di kota Malang, yang menyambut pekerjaan sampingan sebagai asisten dokter hewan (sebenarnya sangat tidak nyambung).

Dari pekerjaanya, ia mendapatkan upah sekitar 1.2 juta perbulan. Terdengar banyak? Mari kita lihat seberapa keras pekerjaanya. Dari gaji gajinya tersebut, ia diwajibkan untuk bekerja 9-12 jam setiap hari, non-stop, tanpa ada libur. Ia bekerja mulai dari pukul 2 siang sampai pukul 11 malam (tak jarang pulang lebih larut). Belum selesai, saya kira dengan menjadi asisten dokter, jobdesk yang harus ia lakukan hanyalah mengurus hal-hal yang berbau administrasi.

Namun ternyata, pekerjaan yang harus ia lakukan adalah mengoperasi hewan, membersihkan kotoran (tai) yang berceceran, membersihkan muntahan hewan-hewan yang sakit, dan tak jarang memotong ekor kucing. Kegilaannya tak berhenti sampai disitu. Jika ia ingin mendapatkan bonus, ia harus mengubur beberapa hewan yang sudah mati, dan itupun hanya mendapatkan bonus yang kecil. Dan pekerjaannya hanyalah akar dari beberapa efek samping yang akhirnya timbul. Karena saya tinggal satu atap dengannya, salah satu efek samping yang sangat terlihat adalah ia sering terlihat sangat lelah setelah pulang kerja, bak perempuan yang habis diperkosa 10 laki-laki secara bersamaan. Mukanya jadi tampak lesu dan tidak berenergi. Saya sering berbincang dengannya jika beliau sedang tidak sibuk, perihal apa yang tetap membuatnya bertahan dengan pekerjaan gila nya. Jawabannya adalah karena ia butuh uang untuk kuliah dan juga untuk mengirimnya kepada keluarganya.

Baiklah, jika argumennya adalah “Karena butuh uang” dan mungkin itu juga mewakilkan argumen dari para mahasiswa yang bekerja sampingan, mengapa tidak mencari pekerjaan yang lebih manusiawi?

Saya yakin, masih banyak pekerjaan yang memiliki jam kerja tidak segila itu, jobdesk yang tidak seberat itu, dan dengan upah yang tidak serendah itu. Dan jika bicara tentang uang untuk kuliah, saya juga yakin betul masih banyak beasiswa yang bisa dipakai oleh orang-orang yang tidak mampu membayar uang kuliah mereka, apalagi jika mahasiswa itu berhasil diterima di kampus ternama.

Teman saya, dan para-para pekerja Informal lainnya, adalah bukti nyata dari perbudakan yang dilakukan oleh para boss kapitalis sialan yang tidak ingin memberi upah layak bagi para pekerjanya, dan hanya bersembunyi dibalik statement “pekerjaan Informal adalah pekerjaan yang tidak didasari hukum dan dilakukan atas kesepakatan dua belah pihak”.

Jika anda mungkin adalah salah satu diantara boss bajingan itu, ketahuilah, bahwa anda adalah sejancuk-jancuk nya manusia yang layak untuk disebut jancuk. Dan bagi para-para pekerja yang merasa belum mendapatkan upah dan keadilan yang layak, keluarlah dari pekerjaan yang menyiksamu, gali potensimu sedalamdalamnya dan hiduplah sebagaimana mestinya manusia yang layak untuk hidup.

Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan mengutip potongan lirik lagu dari salah satu grup musik terkenal di Indonesia.

“Kita ini insan, bukan seekor sapi !”.

Pekerjaan Yang Seringkali Dikerjain

Oleh : Omar Hakkun Abdurrahman

Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja sektor informal dengan menerima upah dan/atau imbalan. Usaha sektor informal sendiri adalah kegiatan perorangan atau keluarga, atau beberapa orang yang melaksanakan usaha bersama untuk melakukan kegiatan ekonomi atas dasar kepercayaan dan kesepakatan dan tidak berbadan hukum (Sari, N.P.2016:28-36).

Pekerja informal seringkali memiliki beban kerja yang sama atau

lebih berat daripada pekerja formal dan juga dengan bayaran yang tidak ditentukan oleh UU ketenagakerjaan atau bayaran yang didapat tidak ditentukan oleh UMR. Dengan begitu para pekerja informal bisa mendapatkan bayaran dibawah UMR atau bahkan bisa lebih. Pekerja informal memiliki resiko yang lebih berat daripada pekerja formal, mereka tidak mendapat jaminan keselamatan kerja seperti pekerja formal. Ketika terjadi kecelakaan pekerjaan, pekerja informal menanggung kerugian yang menimpa dirinya sendiri. Contoh dari pekerjaan informal seperti pekerjaan yang dilakukan dengan usaha sendiri, usaha yang dibangun tidak resmi, berukuran kecil, dan pekerja yang memiliki jam bebas. Toko kelontong, tukang becak, ojek, dan pekerja part time.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar saya sudah terbiasa berdagang. Di usia itu saya cukup sering berurusan dengan pedagang yang lebih tua karena mereka merasa saya membuat pelanggan mereka jadi berkurang. Berlanjut pada saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, saya mulai membentuk band.

Bersama band ini mencari cafe yang menampilkan live music

dengan harapan memiliki penghasilan yang lumayan dari penampilan musik kami. Ketika sudah berdiskusi dengan pemilik cafe, terdapat syarat-syarat yang yang harus terpenuhi supaya kami bisa menampilkan band kami, seperti harus membawa pelanggan minimal 10 orang dan memesan makanan atau minuman dari cafe tersebut. Bayaran yang didapat juga sebanding dengan menu yang kami pesan, yang kami dapat dari penampilan itu adalah band kami menjadi dikenal oleh orang orang yang berkunjung ke cafe tersebut.

Ya itu saja. Pengalaman bekerja pada saat saya masih SD dan SMP itu menurut saya cukup membuahkan hasil yang setidaknya cukup baik, dimana setelah saya lulus SMA, pekerjaan yang saya kerjakan tidak memberi apa apa dan hanya memberi janji manis saja. Saat itu, datang tawaran untuk menjadi model dari seorang desainer pakaian remaja. Kesepakatan yang ditawarkan menarik saya untuk ikut dalam proyek yang akan dia kerjakan.

Jika desainnya tembus di event nasional, hadiahnya akan dibagi dan saya akan mendapatkan baju yang dipromosikan. Hari demi hari membantu menyiapkan segala sesuatunya, bahkan saya diminta untuk menggambar desain baju yang akan saya pakai, pulang pergi dari rumah ke rumah desainer itu.

Syukur dia masih memberi saya makan. Tidak tidur semalaman membantu menyiapkan kain yang akan dijadikan baju. Pemenang dari event telah diumumkan, kami menempati posisi kedua dan mendapat hadiah medali perak dan uang tunai yang cukup besar, suatu hal yang membahagiakan dan sangat ditunggu tunggu. Namun, janji hanyalah sebuah kata manis yang bertujuan supaya seseorang bersemangat dalam melakukan sesuatu. Dari yang telah saya kerjakan dan persiapkan untuk event tersebut, akhirnya dibayar dengan sebungkus lalapan, baju yang dijanjikan tidak pernah turun ke tangan. Tidak bisa protes, menagih janjinya hanya buang buang tenaga karena saling lempar untuk menagih kesana kemari.

Pekerja informal terkadang berasal dari orang yang berada di kelas atas, mereka melakukan pekerjaan ini untuk mengisi waktu luang mereka. Namun, kebanyakan pekerja informal berasal dari orang berada di kelas menengah hingga kelas bawah. Mereka memilih pekerjaan informal karena mereka memiliki keterbatasan untuk masuk ke pekerjaan formal yang terkadang memiliki persyaratan “spek dewa” untuk menjadi pekerjanya dan juga keterbatasan waktu seperti part timer yang biasanya berasal dari kalangan mahasiswa yang ingin membantu perekonomian keluarganya. Tidak sedikit juga pengusaha yang memanfaatkan pekerja informal untuk mengerjakan yang bukan pekerjaannya atau eksploitasi. Dengan begitu mereka tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk membayar orang dengan memanfaatkan nilai lebih pada pekerja informal dengan bayaran yang sedikit

Tekanan Sosial di Balik

Tawa Dan Haru Hari Raya: Antara Cita-cita Dan

Validasi Sosial

Oleh: Muhammad Rif’at Alamsyah

Belum genap satu bulan, sejak umat muslim di seluruh dunia merayakan salah satu hari rayanya.

Hari Raya Idul Fitri yang identik dengan silaturahmi — yang dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti tali persaudaraan — menjadi saat yang tepat untuk

kembali mengikat atau mempererat tali persaudaraan dengan sanak keluarga yang mungkin terpisah dengan jarak yang tidak dekat. Momen dimana sanak saudara berkumpul di satu rumah yang disepakati bersama untuk menjadi tempat berkumpul demi mengembalikan memori lama, atau bahkan menciptakan memori baru lainnya.

Orang tua yang kembali bersua dengan adik-kakaknya, anak-anak yang bertemu sepupu nya, dan berbagai elemen yang dilingkup oleh

satu kata “keluarga” kembali menemui siapa saja yang terikat di satu keluarga yang sama. Indah sekali memang, karena bukan hanya canda tawa yang tercipta, haru biru tidak jarang juga terlaksana.

Namun, dibalik canda tawa dan haru biru yang tercipta, tidak jarang momen ini menjadi momen yang tidak diinginkan oleh sebagian orang yang merasa tertekan dengan berbagai macam pertanyaan yang seringkali dilontarkan, seperti “kerja dimana sekarang? atau belum dapat kerja?” dalam konteks ini, mungkinkah pertanyaan tersebut menjadi salah satu faktor yang memicu atau mendorong seseorang untuk sesegera mungkin mendapat pekerjaan sekalipun kerja “omong kosong”? Apakah bekerja bukan lagi demi meraih cita-cita dan mengembangkan potensi diri, melainkan untuk menjawab pertanyaan yang menuntut validasi sosial?

Istilah “kerja omong kosong” pertama kali diperkenalkan oleh David Graeber pada esai nya yang berjudul “On the Phenomenon of Bullshit Jobs” (2013) yang kemudian konsep “kerja omong kosong” dielaborasi secara mendalam pada buku “Bullshit Jobs: Theory of a Jobless Society” (2018). Menurut Graeber (2013), Pekerjaan omong kosong adalah pekerjaan yang sama sekali tidak berguna, tidak diperlukan, atau berbahaya, sehingga karyawannya itu sendiri bahkan tidak bisa membenarkan keberadaanya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti “kerja dimana sekarang?” atau “sudah kerja belum” — dalam artian sudah berpenghasilan atau belum — dapat memicu seseorang untuk sesegera mungkin mendapat pekerjaan sekalipun kerja “omong kosong” seperti yang didefinisikan oleh Graeber.

Penelitian yang dilakukan oleh

Jones, Thompson, dan Sharma (2016) menunjukkan bahwa tekanan dan ekspektasi sosial dari keluarga

dapat membuat individu merasa

tertekan untuk cepat mendapat pekerjaan meskipun pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, tapi demi memenuhi ekspektasi sosial.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan terkait pekerjaan saat momen reuni keluarga seperti saat hari raya seringkali memicu stres dan juga rasa cemas pada individu yang belum mendapat pekerjaan. Selain itu, Wilson, Mathews, & SanchezGarcia (2019) melihat bahwa tekanan

sosial untuk memenuhi ekspektasi

dari lingkungan, termasuk saat perayaan hari raya, dapat mendorong seseorang untuk mengambil pekerjaan yang tidak bermakna bagi dirinya.

Dalam konteks ini, momen hari raya justru menjadi momen dimana individu merasa dipaksa keadaan untuk segera mendapat pekerjaan guna menjawab pertanyaan yang seringkali diajukan kepadanya. Lebih jauh lagi, survei yang dilakukan oleh Internasional Labour Office (2018) menemukan bahwa pekerja yang merasa bahwa pekerjaan yang senantiasa mereka lakukan hanyalah “omong kosong” cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan kepuasan kerja yang rendah. Dan salah satu faktor yang memicunya adalah tekanan sosial untuk segera mendapatkan pekerjaan.

Momen reuni keluarga, seperti

Hari Raya Idul Fitri, memang menjadi momen yang tepat untuk mempererat tali persaudaraan.

Namun, momen ini juga terkadang menjadi momen penuh tekanan bagi sebagian orang. Penting untuk diingat bahwasanya bekerja bukan hanya untuk memenuhi ekspektasi, tetapi juga untuk meraih cita-cita dan mengembangkan potensi diri.

Benang Merah Tunjangan Hari

Raya (THR) Dan Komunisme di Indonesia

Oleh: Hida Ghifary Ramadhan

Adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang mempelopori adanya Tunjangan Hari Raya. Kelompok ini lahir pada 29 November 1949, beberapa tahun setelah

Indonesia melepaskan cengkraman dari Jepang. Dalam buku

Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an, Jafar

Suryomenggolo menukil bahwa SOBSI adalah ‘kawan dekat’

PKI, atau istilahnya sering dikenal dengan ‘onderbouw’.

Sesuai Namanya, SOBSI serius memperjuangkan hak-hak, nasib, serta keberlangsungan hidup buruh. Mereka terus menekan parlemen untuk membuat kebijakan yang menguntungkan para pekerja kelas bawah. Salah satunya THR yang kini melekat menjadi budaya masyarakat Muslim Indonesia ketika hari raya tiba. Perjalanan SOBSI memperjuangkan hak-hak kelas bawah tentu tidak semulus Jokowi yang dengan cepat naik tahta dari walikota ke istana hanya dalam beberapa tahun saja. Sebab ketika Soeharto berhasil menduduki singgasana dan mendepak pendahulunya, ia membubarkan

SOBSI dengan alasan sejalan dengan PKI. Anggotanya pun banyak yang diadili tanpa bukti yang kuat.

Perjuangan yang ditekuni oleh SOBSI ternyata tidak sepenuhnya sia-sia.

Pada tahun 1954 tekanan mereka membuat pemerintah sedikit membuka hati nuraninya kemudian menerbitkan dua kebijakan: Hadiah Lebaran kepada Buruh, dan Tunjangan kepada Pegawai Negeri Sipil. Dalam klausul surat edaran tersebut, Perusahaan diharuskan memberikan Tunjangan Hari Lebaran kepada buruh sebanyak 50 hingga 300 ribu. Sedangkan untuk Pegawai Negeri sipil, skema yang dikeluarkan adalah pinjaman dari pemerintah untuk kemudian dikembalikan dengan cara pemotongan gaji.

Karena hanya berupa surat edaran yang tidak memiliki kekuatan hukum yang jelas, dalam perjalanannya banyak perusahaan yang acuh tak acuh terhadap kebijakan ini dan pada akhirnya surat edaran ini tidak dihiraukan keberadaanya.

Oleh karena itu, enam tahun kemudian, Kementerian Perburuhan yang sekarang berganti nama menjadi Kementerian

Ketenagakerjaan menerbitkan peraturan tentang kewajiban bagi seluruh perusahaan di Indonesia untuk memberikan Tunjangan Hari Lebaran kepada para buruh.

Mumpung momennya sedang hari raya Idul Fitri, selain perlu untuk saling meminta maaf, para pekerja, masyarakat muslim dan siapapun yang menerima tunjangan hari raya rasa-rasanya perlu untuk berterimakasih kepada SOBSI.

Sebab, atas kegigihan mereka memperjuangkan hak-hak hidup kaum bawah, harta yang menumpuk di rekening orang-orang kaya setidaknya sedikit tersalurkan dan diterima oleh kalangan menengah menjurus ke bawah. Orang kaya akan tetap kaya, tetapi bersyukurlah karena kaum menengah ke bawah berhasil mencuri sedikit kekayaan mereka melalui Tunjangan Hari Raya.

Tangan-Tangan Pekerja di Kayutangan

Oleh: Athaya Syafiqa

Seseorang belum bisa mengaku pernah berkunjung ke kota

Malang jika belum ke Kayutangan. Titik ini tentunya menjadi tempat yang wajib dikunjungi bagi setiap turis yang datang. Seperti semacam pusat kehidupan kota di malam hari. ‘Semakin malam semakin ramai’, begitulah yang sering dibilang

orang-orang. Setiap kurang lebih jam 7 malam, pedagang pinggir jalan mulai menjual dagangannya, yang berarti jalanan akan ramai dengan kendaraan, tempat parkir juga tidak kalah penuh, apalagi trotoar yang dipadati pejalan kaki. Ada yang

hanya menumpang lewat, sisanya duduk menikmati makanan sambil mendengarkan musisi jalanan. Akhir pekan ataupun hari biasa, Kayutangan hampir tidak pernah sepi, walaupun tentunya jauh lebih padat di akhir pekan.

Kayutangan cocok untuk menghabiskan malam, entah untuk siapapun itu. Lampu kotanya indah (walaupun sebenarnya banyak juga yang tidak setuju dengan pernyataan ini). Musik jalanannya merdu, jika pengunjung merasa tidak suka dengan apa yang didengar, mereka hanya harus berjalan beberapa meter sampai bertemu dengan musisi lain dengan musik berbeda yang mungkin lebih cocok di telinga mereka. Pilihan makanannya pun beragam, dari restoran mewah sampai pedagang kaki lima yang ramah di dompet, atau yang ada di antara dua kategori tersebut.

Katakanlah pengunjung adalah seorang paruh baya yang ingin jalanjalan santai sebelum matahari terbenam, maka Kayutangan Heritage Village adalah titik yang cocok untuk itu. Jika pengunjung merupakan seorang remaja, maka hampir seluruh seluk-beluk Kayutangan akan menarik untuk dieksplorasi. Lalu bagaimana dengan orangtua yang datang ke sini dengan anak-anaknya?

Aktivitas ini (walaupun tidak terbatas hanya untuk kategori mereka saja) sempurna untuk dicoba. Apalagi untuk meningkatkan kreativitas anakanak, atau bagi orang dewasa yang sekadar ingin menghibur diri di tengah kusutnya pikiran mereka.

Melukis di atas media styrofoam mungkin bukan sesuatu yang akan dilakukan oleh seorang pelukis profesional, tetapi seorang anak kecil tidak akan keberatan sama sekali. Aktivitas melukis di styrofoam ini bisa ditemukan di berbagai titik yang tersebar di Kayutangan.

Dengan membayar hanya Rp 15.000, pelanggan mendapat sebuah ‘kanvas’ sesuai pilihan mereka, lima warna cat, dan kuas sesuai jumlah orang yang akan melukis. Terbatasnya warna cat akan membuat proses melukis lebih menantang karena kanvas apa pun yang dipilih pelanggan, pilihan warna yang mereka dapat akan tetap sama.

Seringkali hasil lukisan tidak sesuai dengan ekspektasi awal, kadang ada

Hello Kitty merah menyala atau Optimus Prime berwarna ungu. Namun, itu juga bagian dari pesonanya.

Karena cil, para pekerja u, saat pelangg Dijaga oleh be berbagi tugas. A enuntun pelangg dengan nyaman memilih kanvas

Setelah selesai melukis, pelanggan bisa membawa pulang karya mereka. Namun, kadang mereka juga bisa memilih untuk mengembalikannya kepada pemilik bisnis. Lukisan yang dikembalikan biasanya akan digantung sementara untuk menarik pelanggan berikutnya, atau yang lebih unik lagi, dijadikan alas duduk agar konsumen selanjutnya bisa melukis dengan lebih nyaman di lantai.

Mengurai Panggung Drama Pekerjaan

Oleh: Armiya Ahmad Zakaria Fachrudin

Dalam garis yang membentuk sebuah tulisan provokasi, Graeber membuka tirai teater kehidupan modern, mengungkapkan panggung yang penuh dengan karakterkarakter yang terjebak dalam drama pekerjaan yang tidak bermakna. Pemahamannya menjadi refleksi mendalam terhadap paradoks pekerjaan modern yang di mana perkembangan teknologi yang seharusnya memudahkan manusia, justru menjadi alat untuk manusia semakin bekerja keras.

Graeber dengan cermat membongkar narasi kapitalis yang telah diamini sebagai sebuah kebenaran. Menyoroti suatu kontradiksi antara kata manis kapitalis tentang mengurangi jam kerja dengan kenyataan “Bullshitjob” yang semakin meluas. Graeber merefleksikan betapa paradoksnya suatu pekerjaan yang produktif dan berarti secara sosial termarginalkan dengan pekerjaan yang tidak berjasa tetapi terus berkembang.

Melalui gambaran pena yang tajam dan penuh ironi, Graeber ingin memperkenalkan karakter-karakter dalam analogi kehidupan “kolam”. Mereka layaknya ikan yang terjebak dalam kolam.

Mereka terpaksa, tidak tahu apa-apa dan merasa dirinya tidak bermakna. Mereka tidak bisa keluar dari kolam tersebut sebagai imbas dari bertahan hidup atau memaksakan diri untuk mendapatkan kertas bernilai. Dari penyanyi band indie yang brilian yang berakhir menjadi pengacara korporat, hingga pekerja kantoran yang merasa pekerjaannya tidak memiliki manfaat apapun dan hanyalah omong kosong.

Graeber melihat lalu membuka jendela ketidakpuasan batin dan ketidakpastian hidup yang merajalela di dalam masyarakat saat ini. Di balik kekacauan dari untaian tulisan dari seorang mantan pekerja omong kosong, Graeber tidak hanya membeberkan keadaan yang ada, tetapi juga memberikan refleksi tentang esensi manusia dan masyarakat dalam dunia pekerjaan. Dirinya menyoroti imbas psikologi dan moral dari pekerjaan yang “bullshit”, serta hubungannya dengan politik dan ekonomi yang membentuk dinamika tersebut.

Jika dijabarkan, dia menunjukkan pekerjaan semacam ini dapat menimbulkan perasaan yang tidak berarti, frustasi, dan depresi pada pekerja yang terlibat. Selanjutnya, dia menunjukkan jika munculnya pekerjaan ini menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Pekerja tidak memiliki hak untuk bekerja sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian gaji yang didapatkan. Lalu, Graeber menjelaskan jika sistem kapitalis, kepentingan finansial, cenderung memperkuat pekerjaan administrative dan mengabaikan pekerjaan produktif yang sebenarnya bermanfaat bagi masyarakat.

“Bullshitjobs” yang ditawarkan Graeber bukan untuk menghina mereka yang bekerja di bidang tersebut ataupun mengutuk mereka sebagai masyarakat tidak berguna, tetapi untuk memberikan sebuah sudut pandang baru bagi mereka yang ditindas secara halus melalui pekerjaan mereka. Mereka yang terlibat dalam pekerjaan yang esensial bagi masyarakat acap kali mendapat bayaran yang kecil, sementara mereka yang terlibat dalam pekerjaan yang tidak terlalu esensial dan tidak terlalu berpengaruh bagi masyarakat justru mendapat bayaran yang jauh lebih tinggi.

Tulisan-tulisan sebelumnya, tidak hanya sekadar hasil karya, tetapi merupakan proses penting dalam pengalaman dan pemahaman para penulis terhadap paradoks dari “bullshitjobs”.

Sebagai mahasiswa antropologi, mereka menjadi bagian yang terlibat dalam penelitian lapangan yang mendalam, yang memungkinkan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat dan lingkungan kerja yang beragam dan menarik. Melalui prosesnya, mereka bisa mengamati dan merasakan dampak dari berbagai pekerjaan dalam masyarakat, serta menelusuri akar penyebab dalam kebudayaan yang lebih luas. Tulisantulisan yang pembaca lihat sebelum tulisan ini dihasilkan dari pengalaman ini tidak hanya mencerminkan observasi dan analisis secara akademis, tetapi juga mencerminkan refleksi yang mendalam tentang implikasi psikologis, moral, dan politik yang mengiri fenomena bullshitjobs.

Terakhir, tulisan Graeber tidak hanya sebuah rant yang dilontarkan, tetapi juga sebuah panggilan untuk merenungkan kembali esensi dan prioritas dalam kehidupan kita semuanya. Melalui kritik yang mengerikan dan tajam, serta analisis yang begitu mendalam, Graeber menantang kita untuk mempertanyakan makna sejati dari pekerjaan, kebahagiaan, dan harkat martabat manusia dalam memenuhi kehidupan.

Dalam membaca karya Graeber tentang “bullshitjobs” janga diartikan sebagai ajakan menghilangkan pekerjaan yang dianggap tidak bermanfaat, yang sebenarnya menjadi penopang banyak orang yang terlibat didalamnya untuk menyambung hidup mereka. Graeber bukan bermaksud untuk menghilangkan ataupun merendahkan pekerjaan tertentu, tetapi untuk lebih kritis terhadap

TERUS BERLARI

Mentari yang telah bersinar diantara mendung

Sedikit berikan warna di langkahku yang tak pasti

Ditengah gemuruh perlombaan tak terbendung

Dengan tujuan pundi pundi receh terisi

Di ruang kaca kata-kata melambai

Omong kosong di setiap sela

Karya bagai angin tak terasa hadir

Hanya debu tak berarti terlihat jelas

Tantangan-tantangan yang berat mendatangi

Tuntutan-tuntutan yang datang menghantam dengan keras

Meninggalkan jejak yang jelas dan mendalam

Yang mungkin terlupakan saat kembali pulang

Penghuni meja kerap bersorak

Di balik layar kebenaran tersembunyi

Simpul senyum diantara hiruk pikuk

Walau hasil tak pasti namun aku terus berlari

Kerja, Prakerja, Dikerjai : Sebuah Utas Singkat

Tentang Kebobrokan Negeri ini

Oleh : Nabila Pravita Safitri

"Kerja, Prakerja, Dikerjai" adalah sebuah film dokumenter yang mengangkat tema dunia kerja dan program Prakerja di Indonesia. Film ini memberikan sudut pandang yang menarik tentang tantangan dan perjuangan yang dihadapi oleh para pekerja di Indonesia serta pengalaman mereka dalam mengikuti program Prakerja. Membedah film dokumenter ini, serasa mengembalikan ingatan kelam yang pernah terjadi empat tahun silam. Kesusahan dan kesengsaraan menjerit dari seluruh pelosok negeri ini. Tetapi tak cukup dengan itu saja, hati sangat dibuat was-was tak terkira dengan adanya covid-19, sungguh mengerikan.

Salah satu hal yang menonjol dalam film ini adalah narasi yang kuat dan penggambaran yang jujur tentang realitas dunia kerja di Indonesia. Melalui wawancara dengan berbagai pekerja dari berbagai latar belakang, film ini menggambarkan bagaimana pekerja seringkali dihadapkan pada kondisi yang sulit, seperti upah yang rendah, ketidakpastian kerja, dan penindasan di tempat kerja.

Ketimpangan kerja juga menjadi hal yang sangat menarik menurut saya. Bisa dilihat bahwa ketika para karyawan atau pekerja swasta yang diberikan phk tanpa pesangon oleh pabrik atau perusahaan terkait, menjadi isu yang sangat merebak saat itu di Indonesia. Banyak pekerja yang melakukan demo penuntutan kepada pabrik atau perusahaan di tengah-tengah tingginya virus covid19, namun mereka tetap gigih untuk menuntut akan pundi-pundi gaji dan pesangon, mereka menuntut keadilan! Tetapi, berbeda hal dengan yang dialami oleh sejumlah petani muda di Jawa Tengah.

Alih-alih hanya pasrah dan menerima keadaan, justru mereka hadir dengan membawa sejumlah harapan baru dari bertani. Tak hanya itu, mereka juga sangat kritis terhadap negeri kita ini, mereka sadar bahwa bertani lah cara satu-satunya untuk hidup di situasi genting saat itu. Mereka berkata “Negara kita terlalu sibuk membangun jadi lupa menanam” sebuah kalimat yang mampu membuktikan kebenaran di negara ini. Pertanian, sebagai konstruksi ketenagakerjaan terbesar di Indonesia nyatanya masih belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakat.

Dengan berbagai ketimpangan sosial ekonomi yang ada terutama saat kita berada pada krisis pandemi covid-19 beberapa tahun silam, membawa kita pada kenyataan bahwa negara kita ini tidak memiliki substansi kekuatan pangan yang kokoh. Padahal cap ‘Negara Agraria’ telah dipatenkan sebagaimana kata-kata dari buku sekolah anak SD yang pernah kita pelajari. Tapi, apakah itu sebenarnya hanyalah omong kosong belaka?

Selain itu, film ini juga menggambarkan bagaimana program Prakerja telah memberikan harapan baru bagi para pekerja dengan memberikan pelatihan dan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan mereka. Sisi lain yang menarik dari film ini adalah pengungkapan tentang sisi gelap program Prakerja. Film ini menggambarkan beberapa masalah yang dihadapi oleh peserta program, seperti kurangnya transparansi dalam proses seleksi, tantangan dalam mengakses pelatihan yang relevan, dan permasalahan administratif yang membingungkan. Film ini memberikan sudut pandang yang kritis terhadap program ini dan mengajak penonton untuk mempertimbangkan segala aspek dari program Prakerja.

Lagu Buruh Tani By Iwan Fals

"Lagu Buruh Tani" adalah salah satu lagu yang terkenal dari Iwan Fals, seorang penyanyi dan penulis lagu Indonesia yang sangat dihormati. Lagu ini menggambarkan kisah hidup dan perjuangan para buruh tani di Indonesia.

Lirik lagu ini mencerminkan ketidakadilan sosial dan kondisi ekonomi yang sulit yang dialami oleh para buruh tani. Iwan Fals dengan lirik-liriknya yang kuat dan emosional mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap situasi di mana mereka bekerja tanpa kepastian akan masa depan dan sering kali hidup dalam kemiskinan.

Dalam lagu ini, Iwan Fals menyoroti kesulitan yang dihadapi oleh para buruh tani, seperti upah yang rendah, kurangnya akses ke tanah, dan eksploitasi oleh pihak-pihak yang berkuasa. Ia juga mengungkapkan perasaan frustasi dan harapan mereka untuk hidup yang lebih baik dan adil. Penting untuk diingat bahwa lagu ini diciptakan pada masa lalu dan tidak mencerminkan kondisi terkini. Namun, pesan dan emosi yang terkandung dalam lagu ini masih relevan dan dapat menginspirasi orang-orang untuk terus memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi para pekerja tani.

REKOMENDASI BUKU

Bullshit Jobs - David Graeber

Menerangkan tentang pekerjaan

yang tidak berguna, tidak bermakna, atau tidak berdampak apa pun. Dia menyebutkan bahwa pekerjaan itu direka-reka atau dibuat tampak diperlukan hanya

untuk membuat seseorang seolaholah bekerja. Graeber

mengulasnya dengan gamblang di bukunya yang berjudul Bullshit

Jobs: A Theory.

Pada 1930, John Maynard Keynes telah mencatat bahwa teknologi akan memungkinkan kita untuk bekerja hanya 15 jam seminggu, tetapi kami sekarang bekerja lebih banyak daripada itu. Dia menganggarkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang tidak berguna ini adalah masalah sosial yang banyak disadari, tetapi orang-orang juga tidak berbuat apa-apa. Graeber menganggarkan bahwa lebih dari 50% dari pekerjaan sosial adalah bullshit jobs, yang mengakibatkan pengalaman yang tidak bermanfaat dan mengakibatkan kejanggalan psihologis. Dia menyebutkan bahwa pendekatan kerja yang berasal dari

Protestan yang menganggap bekerja sebagai suatu kewajiban moral adalah yang baru saja terjadi dalam sejarah manusia, dan menganggarkan bahwa uni dan universal basic income mungkin solusi untuk mengatasi masalah ini.

The Right to Be Lazy - Paul Lafargue

Buku Paul Lafargue yang menilai

kerja sebagai aktivitas manusia yang tidak masuk akal. Lafargue mengkritik sistem kerja yang memakan banyak waktu para pekerja setiap tahunnya, dan

menganggap kerja sebagai

tindakan yang tidak berasal dari kehendak diri manusia. Ia

menganggap kerja sebagai aktivitas organik manusia, dan menganggap waktu bebas sebagai lebih penting daripada kerja.

Lafargue menganggap hak atau hak untuk malas sebagai alternatif kepada hak atau hak kerja, yang ia melihat sebagai hak atas kebebasan manusia dan keluarga. Ia juga

menganggap automasi sebagai potensi untuk mengurangi waktu kerja kepada beberapa jam sehari, yang akan meningkatkan kesehatan, kebahagiaan, dan pemakanan.

Lafargue juga menganggap hak atau hak malas sebagai bagian dari perjuangan politik feminis, yang akan mengurangi pengekangan terhadap kebebasan manusia dan mengemukakan kehendak diri.

"Kalau begitu, berdemonstrasilah di depan istana-istana orang kaya, tuntutlah pekerjaan. Jika mereka tidak memberikan pekerjaan, tuntutlah roti. Jika mereka menolak kalian berdua, ambillah roti."

-Emma Goldman

"Kita telah menjadi peradaban

"Tidak ada alasan untuk percaya bahwa birokrat dan politisi, sebaik apa pun niatnya, lebih baik dalam memecahkan masalah daripada orang-orang yang ada di lapangan, yang memiliki insentif terkuat untuk menyelesaikan masalah dengan benar."

-Elinor Ostrom

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.