ITB Nyastra #6

Page 1



Ini hanyalah kata-kata terserak yang butuh dipelihara Agar tak sekedar larut dalam sungai maya Dalam sebangun rumah bernama “ITB Nyastra�


Para Pencipta A. Fine Hastuti Adytia Angga Ponne Asra Wijaya Bella Seliene Catellites Fadil Saeful Isnan Fauzan Anwar Hana Azalia Hisyam Ahmad Iqbal Ridalta Putra M. Afifurrahman Meiya Narulita Suyasman Nurussyifaail Fuadah Qifwat Taufik Safira Parasdya Saghita Desiyana Maurischa Surya Citra Tri Vina Wahyu Kuswantoro Wida Wakhida Yahya Haytsam

1


2


Daftar Konten Segelas Kopi & Persoalan Dirimu yang Tak Kunjung Usai

4-

Berjumpa

7

Cebur

8

Berapa dalam Manusia dapat Menyelami Kehidupan?

Setangkai Bunga

9

Sucikanlah

(tanpa judul)

10

Untuk Kamu yang Tercinta

(tanpa judul)

11

Balada Pujangga Ksatria

49

(tanpa judul)

12

Mie Aceh Rasa Sendu

50

Pristine Child

14-20

Orkestra Perang

51

Setidaknya

21

Titah Sang Faqih

52-56

24.00

22

Bayang Negri

57

Give Up

23

Tanpa Perlu Menjadi Logika

58

Termanifestasi dalam Aksioma

24

Menuju Musim Semi

59

25-26

Lelah dalam Berjuang

60

Jembatan Mirabeau

Mayat di Atas Koran Jasad yang Ditelan Zaman

35-38 39 40-44 45 47-48

Kenangan

27

Rap

61

Sekilas

28

Tujuh Haiku Seminggu

62

Rindu

29

Biasa-Biasa Saja

64

Pergi

30

Wedang Ajaib Ibu

65-70

Monster

3

32-34


Segelas Kopi & Persoalan Dirimu yang Tak Kunjung Usai (Fauzan Anwar)

“Alangkah indahnya jika aku menikmati segelas kopi tepat dihadapanmu sambil berbincang.� Kali ini aku memiliki hobi baru. Yaitu duduk manis sendirian di sebuah cafe, meminum segelas kopi menghabiskan beberapa batang rokok lalu sok-soan berfikir tentang kehidupan. Mungkin terdengarnya aneh. Tapi begitulah kenyataanya. Hari itu cuaca di Bandung sedang kurang bagus. Angin bertiup cukup kencang dan percikan air dari langit pun mulai turun dengan perlahan. Aku mencari tempat berteduh dan untungnya tidak jauh dari posisiku, terdapat sebuah kedai kopi. Aku memutuskan untuk berteduh disana sejenak. Waktu itu didalam cafe aku memesan segelas kopi. Jika aku tak salah, jenis kopi yang ku pesan itu jenis peaberry. Sambil menunggu pesanan, aku menyalakan sebatang rokok mild. Suasana di cafe pada waktu itu tidak terlalu ramai dan bisa dikatakan sepi. Mungkin hanya ada sekitar tujuh orang. Saat aku menunggu, sesekali aku memainkan handphone untuk mengecek beberapa media sosial. Bukanya aku terlampau narsis,gadgetholic atau apa istilahnya. Aku hanya ingin mengetahui kabar terkini dari dirimu. Tak lama aku menunggu, akhirnya Kopi yang sejak tadi ku nantikan diantarkan oleh seorang pelayan yang baik hati. Pertama kali aku mencicipi kopinya, rasanya cukup unik. Ada aroma citrus dan guava. Tapi entahlah. Sebenarnya aku belum handal merasakan citarasa sebuah kopi. Yang jelas aku begitu menikmati setiap tegukan kopi dengan perlahan. Sambil sesekali menghirup dalam-dalam asap rokok yang bercampur aroma udara yang dingin dan basah karena hujan. Entah kenapa saat aku menyeruput kopi , aku semakin ingat kamu. Aku jadi berfikir andai saja kopi ini diminum bersamamu tentunya akan terasa lebih menyenangkan. Kau harus tau betapa aku ingin menikmati setiap seruputan kopi ini sambil memandangi wajahmu. Mungkin jika kau minum kopi bersamaku, kau akan memesan “segelas rembulan dalam capucino�. sebuah kopi langka yang dibuat oleh Seno Gumira. Tapi capucino dalam rembulan itu konon katanya hanya ada satu-satunya. Jadi aku akan memesankan segelas Caffe latte untukmu. Atau apapun itu terserah apa maumu. Sebab pada dasarnya aku tak akan terlalu memperhatikan kopi yang kau minum. Tapi 4


5


dirimulah yang tak akan lepas dari perhatianku. Rokok ditanganku sudah hampir habis. Hal itu kurasakan saat panasnya api menyentuh jari. Tanpa lama-lama aku menyalakan kembali rokoku. Sebab lamunanku tentangmu masih belum usai. Aku ingin sekali bertanya padamu dihari dan waktu itu, saat hujan turun dengan lebat. Aku ingin bertanya “Sehatkah dirimu?” “Sedang apa kamu ?” Tapi aku enggan menanyakan hal itu langsung padamu. Biarlah sapa dan salamku itu disampaikan oleh angin dan hujan yang akan menyentuh kulit atau dinding rumahmu. Bukannya aku tak mau menghampirimu. Sebenarnya aku begitu ingin mendatangimu, menyentuh kulitmu, merapihkan rambutmu, lalu menatap kedua mata matamu. Namun aku masih takut untuk menghampirimu. Aku juga ingat perkataan St Augustine. Dalam buku confesiones ia berkata “Sangat Baik bagi seorang laki-laki untuk tidak menyentuh seorang perempuan.” Sejujurnya aku masih bingung dengan apa yang dimaksud dengan menyentuh? Meskipun secara umumnya benar apa yang telah dikatakan nya. Agama Islam pun bicara “La taqrobu zinnah” aku sepakat akan hal itu. Meskipun aku tak yakin dengan apa yang dikatakan beberapa ustadz tentang bagaimana yang dimaksud dengan mendekati zinah. Apakah jika aku menyapa dirimu atau memegang tanganmu juga termasuk mendekati zinah? Jika memang benar seperti itu, lebih baik aku tidak beragama saja. Sebab aku sangat yakin bahwa agama pada hakikatnya begitu indah. Ia tak akan pernah mendustakan dan menyakiti perasaan pemeluknya. Oh iya. Nanti kau akan tau bahwa aku cukup sering menziarahimu. aku juga pernah menuliskan sebuah kata-kata didepan rumahmu dikala malam saat kau tertidur lelap. Waktu itu didepan rumahmu aku tak banyak berharap. Aku hanya meminta pada tuhan semoga kau sehat dan diberikan segala yang terbaik untuk kehidupanmu. Mungkin suatu hari nanti jika kau telah berkeluarga atau kau pergi jauh dariku, Kau harus Ingat bahwa aku pernah mencatatkan namamu dalam sisa-sia peradabanku. Dan aku juga berharap aku bisa menghiasi peradabanmu. Akhirnya Hujan mulai reda. Aku berbenah dan lekas beranjak dari kedai kopi. Dengan penuh harap aku berdoa suatu saat aku bisa menikmati segelas kopi tepat dihadapanmu sambil berbincang. Ahh.. semoga saja kita bisa ngopi bareng berdua. -faz Bandung 25-08-16. 6


Berjumpa (Hisyam Ahmad)

7

Di sini, Aku Di sini Kamu, Di mana kita Alam mana? Tak bersapa Kita.


Cebur (Asra Wijaya)

Sudah aku persiapkan semua. Kupluk, cemilan, senar gitar cadangan, hingga garam. Hari ini hari Sabtu. Hari kedua aku dengan dia. Hari Minggu besok, kami berdua : dia dan aku akan merayakan. Piknik ke hutan. Kegembiraan-teramat-lain menimpa aku, kala ia ulurkan selembar kertas A3. Berpinggir-tepi hiasan gambar dedaunan. Tambah sketsa kijang di kiri atas. Di tengahnya hadir puisi. Aku mengiyakan untuk kedua kali. Ia mengajakku sepi berdua di hutan. Hutan mana pula yang ia maksud ? Di kota macam begini, tidak ada hutan. Apalagi yang bisa dijangkau dengan perjalanan menapak. Setidaknya butuh tiga jam. Itupun jika naik motor dan tidak macet. Rasaku, selusin batang mahoni di tepi jalan dekat kampus itu bukanlah hutannya Dia. Atau iya? Ia menyeruku untuk segera menyusul, “ Lompat, lompat saja”. Aku trauma dengan sungai. Jika ada bagian yang mesti dihilangkan dari hutan, kurasa itulah sungai. “Nanti kubantu, tenang saja”. “Aku tidak pandai berenang”, membenarkan diri untuk tetap di pinggir tebing ini. “Tidak masalah nanti kuajar. Hal pertama yang mesti kamu lakukan cukup melompat ke sini.” Meski aku tinggal di pinggir sungai, aku tidak bisa berenang. Ibu selalu melarang aku ke sungai. Teman-teman yang datang untuk mengajakku berenang akan diusir Ibu. Pernah sekali waktu aku coba curi kesempatan. Berenang ke sungai dengan kawan-kawanku. Aku tersedak. Air masuk hidungku dan menyengat ke belakang kepala. Sakit sekali. Sepulang dari sana aku menangis mengadu ke Ibu. Ibu menampar dan mencubitku. Tapi sakitnya seketika hilang saat bilang ia sudah memaafkan. Aku berjanji tidak mengulangi lagi. Sejak itu, tidak pernah lagi aku melanggar Ibu. Kini, aku sudah dewasa. Kurasa beberapa hal bisa kuputuskan sendiri. Tanpa minta izin Ibu. Dulu Ibu melarang sesuatu, pasti karena kekhawatirannya padaku. Aku mungkin belum bisa menentukan baik-buruk. Kini hal itu tak lagi relevan. Buktinya aku telah diperbolehkan Ibu merantau ke luar pulau. Aku berbuat dan berani berbuat lagi. “Ayo, Ja !” Dia mengulang lagi mengkabik-kabikkan kedua tanggannya. “Tenang saja, ada aku”

Byur !!!

8


Setangkai Bunga (Yahya Haytsam) Jika kau mencari bunga yang kau tanam di pekarangan, bunga itu kusimpan di sudut meja. Maaf. Sengaja kutaruh di sana untuk temanimu kala hujan.

9


(Catellites)

10


(tanpa judul) (Ponne)

Wah. Lucu ya? Semua orang bercerita kepadamu. Tapi hanya anggukan. Atau saran sekadarnya yang keluar dari mulutmu Lucu memang. Mendengar isi hati mereka. Mereka saling merasa, lewat helaan nafas. Tapi? Malu katanya? Ah yasudah, tunggu saja sampai menyesal Bahkan kamu sendiri bingung sama yang kamu rasakan. Tidak seperti mereka, yang mudah merasa. Tapi takut untuk terluka. Percaya apa yang dirasa, tapi terlalu pengecut untuk mengungkapkan. Bahkan kamu masih disini, tetap diam. Tak ingin berbagi kepada mereka. Toh, mereka hanya tahu topeng yang kamu gunakan. 11

Mereka mengira kamu jatuh cinta, bahkan tergila-gila kepadanya. Sebenarnya kamu bingung kan? Jatuh cinta? Ah itu tidak nyata. Tergilagila? Bahkan bapakmu lebih tampan darinya. Faktanya, ini masalah waktu. Kamu masih tertahan dimasa lalu. Menolak waktu yang harus terus berjalan. Salahkan dia! Sehelai jiwamu masih tersangkut disela-sela genggamnya. Yang membuat hampir seluruh jiwamu, ingin berlari mundur menghampirinya. Itu tidak mudah. Tapi kamu Harus tetap berlari. Atau menyerah oleh waktu, lalu menantinya.


(tanpa judul) (Iqbal Ridalta Putra)

Cinta itu menumbuhkan pengharapan Pengharapan akan indahnya perkawanan lalu pertalian dua hati Membangun kebersamaan Mengarungi kehidupan Mungkin hidupku berbeda Kadangkala bukannya terbesit kekuatiran, menghantui, bagaimana kelak ia menyempurnakan hati Melainkan dengan akulah ia bisa menerima Namun cinta tetap berlabuh pada faksi yang sama Padanya yang kebahagiaan terpancar akibat universalitas hidupnya Bukan, bukan dari ego Ia berbeda denganku, dan aku tak siap Aku yang tak siap bilamana ia tidak siap menerimanya Pejamkanlah mata sesaat Akuilah kemauan yang sebenarnya Tatkala niat tidak dikeraskan Remang hati kan tetap abadi Ingatkah dirimu, saat namamu kutanyakan, seolah kamu ingin membekukan waktu untuk terdiam sesaat

Cacat pikiranku berucap, gayung bersambut dan udara memekik akibat tangan hitam dan tangan putih Indahnya dunia fana bila itu fakta Aku dan kamu bukanlah sesuatu yang tidak diinginkan semesta Saat pendirian menguat menggelagar Bukan dariku dan darimu kuharapkan ego Kamu menyapa, Syalom! Sedang aku berpaut pada-Nya Masa lalu tak bisa aku tepis Lalu kuakui, hanya pikiranku yang kucemasi Oiya Aku takkan lupa saat dimana bayangmu mulai merasuki kesepianku Tidak pula lupa saat semesta memberi harapan saat itu juga Apalagi saat kudapati kembang memberikan dirinya pada kumbang hitam itu di antara kerumunannya Lalu kumbang tersebut menghampiri kembang tadi seraya menyerahkan diri berkasih Pengharapan ialah pengharapan Si kumbang berharap kembang tidak berlaku adil pada kerumunannya 12


13


Pristine Child (Safira Parasdya)

When I told my mother that I want to be a writer, she laughed.

Her laughs, as always, are the most beautiful thing I’ve ever heard. It was filled with such an innocent clarity, pure joy, oblivious to the rough world around her. She laughs kindly and blisfully like a pristine child. Looking at her laughing, as if I was seeing her soul being reborn again and again. It’s been months since she laugh like that. Since the death of my girlfriend, to be exact. *** The rain hasn’t stop, confined us in the cold room with blank white wall. I hate this room but I keep quiet. The wall, the floor, the ceiling, the blanket, the pajama, are all white it’s blinding. It was all white yet seemed like a stained and scratched figure. While the smell of medicines makes my lungs cough and protest. You are looking at the window, to the rain outside, with loving eyes and sad smile. I reach your cold hands and you smile when I envelope them with mine.

“I bet that you are thinking about another girl right now.”

“I’m not.”

“Liar.” You smile. “It is not polite to think of another girl while you sit in front of a girl who is craving for your undivided attention.” I smile back. “Is thinking about my mother’s laugh count?” And then you laugh, without a hint of joy, dry and forced. The laugh is different from your laugh that I remember. You used to laugh like a child amazed but at the same time scared and curious by the first snow of the year. Now, I couldn’t help but to grimace. “You got my undivided attention.” But you just smile and reach for the book I just brought. I’m looking at the window, to the outside, where the rain has now gone mad. I could hear your difficult breath within the sound of rain as if it wasn’t natural for you to breathe.

“Do you want me to call a nurse?”

You grip the book so tight the tip of your fingers are pale. Your blue eyes are fixed to the pages that I know you don’t even care to read anymore. “I don’t want to be forgotten.” I hate it when the rain fill your eyes but rather than say that, I choose to say, “I will never be able to forget you even if I want to.” 14


You smile like a hurt child. “Liar.”

“Not this particular time. I won’t forget the you right now.”

“It’s not exactly the kind of me I want you to remember.”

I know. Me, too. But instead, I say, “My memory of you would stay forever.”

“Stay where?”

“Where ever you want.”

You try to wake up, refusing my hands to help you up. You insist, gritting your teeth and I could see that even the simplest move hurts you like it wasn’t natural for you to move. The rain fills your eyes as you try to smile like a weak little bird. Your cold hands touch my cheeks and I was drowning on your tears.

“Then I want it to be everywhere.”

*** You never laugh except with my mother. With her, I could see you in strange joy, oblivious like a child trying to hide her sinful self. You laugh and laugh as if trying to be a different person, as if trying to imitate my mother. *** When I told my mother to not visit you anymore, she laughs. Her laughs are contagious but I try my best to shut my mouth instead.

“Why? Are you jealous seeing your girlfriend laughing with me?”

“Of course not.”

My mother smiles like the morning sun. “I’m sure you don’t.”

***

“Why do they close their eyes?”

“Who?”

“The dead people.”

“Not everyone. In horror movies, people often die wide-eyed, full of terrors.” “I don’t think that dead is terror. When I die, I want to embrace them wideeyed too. How soon do you think I’m going to die?”

“I think we still have many amazing years ahead of us.”

You smile. “Liar.”

*** 15


Shortly after that, you start to ask many and many weird stuff. You ask me to smoke with you even though we both know well that you flinch every time you see me smoke. You ask me to buy you Absinthe for birthday present even though we both know well that you can’t even drink coffee let alone handle liquor. You ask me to laugh more and more that may be you would laugh more and more. In the white room, you exist yet I start to forget. You laugh and laugh but I couldn’t see the you that I know. In the white room, you change into the unknown, disappearing into the white blinding background. *** You grit your teeth and tears pooled in your eyes. I reach your cold hands and ask, “Do you want to cry?” “Stupid!”

“I won’t mock you.”

“No!”

“I swear I won’t mock you.”

“But you are a liar.”

The rain fills your eyes and I reach to hug you. You push me aside but I refuse to let go. I know that you flinch a bit because of the smell of cigarettes on my clothes. Yet, you cry and cry and I fulfil my promise to not mock you. I could see terrors reflected in your blue eyes. Death has become terrors that we are all scared of. ***

“Mother, what do you think about her laughs?”

“Her?”

“Yes. Her.”

“Why?”

I shrug. “Mother, could you stop visiting her?”

“She was bothered by me?”

“No,” I said.

“Huh?”

“I think it’s better to let her alone for a while.”

“Well, if you think so.” 16


I’m glad that today you wear bright sky blue pajama. The colour gives cheerful ambient in the white room. Yet, your eyes are looking at me angrily and confusedly. You want to meet my mother and trying to be her but I refuse. Instead I said that I will teach you how to smoke cigarettes and drink Absinthe but you said that you’ve had enough.

“Is that because you want to forget me?”

“No.” “You are such a liar. You said that you will never forget me.”

“I try my best. You make it harder.”

“What?” I reach your hands, enveloping them with mine. I could feel your fingers shiver as if I hurt you. I was drowning in your tears as I try to remember your laugh, the kind of laugh that doesn’t belong to my mother. *** My mother loves to sing in the morning like a gleeful church bird. She would sing and laugh then my father would follow, humming along the line, as he ask my mother for a dance. My mother is the sun and her magical laughs always fill the house. Her laugh is contagious but I try my best to keep quiet. You talk about my mother endlessly then I kiss you so you would talk about your day rather than my mother. I want to hear your thoughts about the grass and the air and the sky and life and death and your plan to embrace the terror. But in the white room, everytime you laugh, you would laugh like my mother. I hold you and tell you how much I love you. I could feel your difficult breath and the cold hands on mine. You exist but I couldn’t remember the laugh that doesn’t belong to my mother.

“Could you laugh?”

“What? Why?”

“I want to remember your laugh.”

Then you laugh but sounds fake. I grimace but then hug you because I don’t want to hurt you. ***

“Don’t cry,” you said.

“I don’t care if you would mock me.”

You smile and I could recognize you once again. You are a little bird, 17


18


joyfully living, reminds me of a child amazed by the first snow of the year. I hold your cold hands and you smile, looking at me lovingly. If you mock me because I cry, I wouldn’t care. I was too occupied of your existence while the cold was slipping away. I hold on to it and you still refuse to close your eyes, instead you smile like a pristine child, looking at me and I am glad that today you wear blue. said.

“We’ve smoked and drunk but we forgot to run until our legs give up,” you

“We can still do it now.”

You laugh but unlike my mother’s laugh. You laugh and I recognize you even though you start to slip away. “Liar.”

“I won’t forget you.”

“It doesn’t matter anymore.”

“It matters.”

“Hush, don’t cry.”

“Do I?”

You reach my cheek, brush over my lips, and stay on the tip of my ears. “Yes. Yes, you are.”

“Of course I am.”

*** She’s gone peacefully, trying to keep her eyes open as long as she could and when she finally closed her eyes, I almost thought that she fell asleep. But I know better. She won’t wake up nevertheless. The white room was left by its soul. Her body sleep peacefully in front of me yet if I touch her, I know it’s no longer the same person I know. The sky outside is as blue as her pajama. I try to not forget her as I visit memories of her. But everything was tangled with the sound of laugh that doesn’t belong to her. As she smiles at me, everything was started to mixed up. I want to wake her up that she could show me once again how her smile looked like. How she looked like. She looked like a little bird, the calm soul that amazed by the beauty of the world. She never hate but looking at the world affectionately. She didn’t even hate the blank white room that confined her wings. But as she tried to be everything that is not her, I start to forget her real self. I want her to be here and breathing and we would chat a little bit more about the grass or the air or the stupid news on TV or about the burnt croissant her sister made. 19


I hold her hand but I feel nothing.

*** When I told my mother that I want to be a writer, she laughed. I could be whatever and she would still laugh at me. Not to mock me as I know that she always laughs lovingly. Not to mock me as I know that just like me, she feels lost, too. “Why?”

“When I later die, at least she would stay in the world a little bit longer.”

“I haven’t used to it yet. I would never used to it.”

Me, too. But instead, I say, “I want to keep my promise.”

“I know you would.”

“But she always mocked me as a liar.”

My mother laughs beautifully and lovingly. The laugh was filled with such an innocent clarity, pure joy, oblivious to the rough world around her. She laughs kindly and blisfully like a pristine child. Looking at her laughing, as if I was seeing her soul being reborn again and again.

“A writer, huh?”

“She wants to be everywhere.”

20


Setidaknya (Fadil Saeful Isnan)

Aku melangkah. Mendekatimu. Dalam segala rupa perasaanmu, kuhampiri pelanpelan. Berjalan mengendap lewat tengah malam. Nyatanya kau tak semudah itu. Tak kunjung ku bertemu. Maka kupercepat langkahku hingga hampir berlari. Batu kerikil hampir jatuhkanku. Kini aku lebih cepat. Tapi, saat kujumpai, satu hal merobohkan asaku. Aku sudah didahului. Kudiam sejenak. Kukorek ke dalam dadaku. Apa salahku? Kurang cepat? Atau kurang mantap? Ah, sial sekali. Hingga akhirnya kusadar, bahwa aku memang bukan sesiapamu. Meski begitu, kucoba nikmati laraku. Setidaknya untuk saat ini. Agar kubisa mengejar dirimu yang lain. Dengan lebih mantap. Dengan lebih siap.

21


24.00 (Surya Citra Tri Vina)

Sendiri Semesta tahu aku sepi Sambil memeluk lutut Aku terdiam memaki langit Pensilku telah tumpul Dan kata apa lagi yang harus kuberi Toh engkau sudah pergi Membawa mimpiku di wajahmu Wanginya angin hanya bisa kucium Saat langit memangku rembulan Karena aku mencintai malam Tak peduli ditinggalkan bintang Rembulan menatapku kasihan Jangan, bulan... hatiku hancur Biar aku sembunyi dalam awang Tenggelam di hitamnya yang kemerahan Entah dimana dalam tidurku Sampai bertemu di mimpiku

22


Give up (Wahyu Kuswantoro)

Untuk kesekian kali Nadi menyendiri dalam kamarnya bersama tirai ungu dengan debu-debu halus menggantung di kaca jendela. Wajahnya yang kusut karena terlambat bangun dan bibirnya yang pucat kering menandakan ia sedang menikmati waktu yang sangat panjang tanpa seorangpun. Bulu mata yang luntur dengan sedikit kedipan yang tak teratur tidak dapat berdusta kepada hatinya. Baju lengan panjang dengan corak bintang-bintang merupakan kisah terakhir pertemuannya dengan Ayana, seorang jelita yang baru saja merayakan ulang tahunnya. Setumpuk kumpulan buku bahasa perancis, sastra, novel serta buku sains memberinya ingatan tentang kado yang diberikan pada Ayana. Yang mencuat dibenaknya bukan materi dan kenangan, namun harapan. “Apakah setelah sekian lama aku mernunggu, ia akan menungguku? Hmm masih belum cukup, aku masih belum cukup bisa bertahan saat Ayana membuatku cemburu, lebih baik aku menyerah�, kataku. Sepersekian detik Nadi bergumam dengan nada lesu kemudian bersandar kembali pada tembok bercat putih, dibawah poster yang ia sendiri tulis bahwa menjadi penyair ialah menjadi tidak pantas. Lantas, sesak nafas. Katanya menyerah itu pekerjaan pecundang, bagi Nadi itu tak berlaku. Menyerah bukanlah sebuah kecurangan bukan? Mencoba menyerah adalah perjuangan tanpa melukai. Di atas kasur jingga yang semakin redup, Nadi mengganti posisi tubuhnya tengkurap menatap lemari kaca yang tertempel impian-impian. Kaca yang sebelumnya dipenuhi foto kebersamaannya dengan Ayana, dihapusnya dengan kata menyerah. Menyerah pada kata menyerah itu sendiri. Lalu berdiri sambil berkata, “aku takkan berhenti sampai disini, Ay !�

26 November 2015 23


Termanifestasi dalam Aksioma (Saghita Desiyana Maurischa)

Pada malam dibersamai oleh keheningan Izinkan aku hilang ingatan Dalam kehampaan dan kenistaan Di sudut ruang dengan balutan kesendirian Biarkan raga melepas sejumput kenangan Sebuah katastropi di senja buaian Sendiri dalam pelupuk mata kekosongan Berbalut darah berbekal senjata Bertanya kemudian tak ada jawabnya Hanya percaya yang menjadi niscaya Mengata hanya diksi dalam puisi Atau rima yang tak berharmonisasi Bagai jiwa yang mati penuh ironi Meski identifikasi hati bukan ilusi Rasa yang disandera oleh sanubari Nyatanya tak sampai hati tuk mengakhiri Seperti retensi dalam nurani Meski aku takut ucap janji Lantas, Esok hari aku biarkan pintu itu terbuka Oleh kunci yang sudah tergenggam sepenuhnya Esok pagi matahari kembali terbit di ufuk sana Hujan dan badai bukanlah menjadi perkara Laut tahu bahwa samudera menjadi muara Dalam ucap ucap setiap doa Dan penantian yang terus membara, Termanifestasi dalam aksioma Pasundan, 24 September 2016

24


Jembatan Mirabeau (Asra Wijaya)

(Terjemahan Puisi Le pont mirabeau karya Guillaume Apollinaire) Di bawah Jembatan Mirabeau mengalun Seine Dan cinta kita Mestikah kukenang lagi Bahagia tiba usai nestapa

Malam jatuh jam berdentang Hari-hari beranjak, bersitahan aku tetap

Tangan berkepal-genggam tinggal berdua beradu pandang Sembari di bawah Jembatan lengan kita meremang Tatapan kekal teramat lelah

Malam jatuh jam berdentang Hari-hari beranjak, bersitahan aku tetap

Malam jatuh jam berdentang Hari-hari beranjak, bersitahan aku tetap

Cinta pergi seperti arus air ini Cinta mengembara Betapa lambat ini kehidupan Juga harapan alangkah kejam

Hari-hari binasa pekan-pekan pun lenyap Tidak masa lalu Maupun cinta dahulu akan terulang Di bawah Jembatan Mirabeau mengalun Seine

25

Malam jatuh, jam berdentang Hari-hari beranjak, bersitahan aku tetap


diterjemahkan dari:

Le pont Mirabeau Sous le pont Mirebeau coule la Seine Et nos amours Fail-il qu’il m’en souvienne La joie venait toujours apres la peine

Vienne la nuit sonne l’heure Les jours s’en vont je demeure

Les mains dans les mains restons face a face Tandis que sous Le pont de nos bras passe Des eternels regard l’onde si lasse

Vienne la nuit sonne l’heure Les jours s’en vont je demeure

L’amour s’en va comme cette eau courante L’amour s’en va Comme la vie est lente Et comme l’Esperance est violente

Vienne la nuit sonne l’heure Les jours s’en vont je demeure

Passent les jours et passent les semaines Ni temps passe Ni les amours reviennent Sous le pont Mirabeau coule la Seine

Vienne la nuit sonne l’heure Les jours s’en vont je demeure.

26


Kenangan (Fadil Saeful Isnan)

Kenangan. Sebuah kata penuh makna. Menikam setiap helaan napas setiap detiknya. Aku sering terjebak di dalamnya. Nikmat memang. Tapi sakit. Sekali masuk, susahlah kukeluar. Untunglah, kenangan selalu berada di belakang. Tak pernah bisa ia mendahului kehidupan. Sialnya, ia menempati sisi indah dalam hatiku. Tersedu sedan mengingatnya. Lupa pernah jatuh berdebam dibuatnya. Tidak. kali ini aku tak boleh jatuh. Aku manusia yang baru. Masa lalu boleh hadir. Namun tak boleh singgah. Aku harus bangkit dan mengamini bahwa semua memang benar, masa lalu itu memang sakit. Kaki ini akan kugerakkan sekuat mungkin. Berlari tinggalkan waktu yang memang tak bisa kutinggalkan. Berlari menjauhimu yang menghantui masa depanku. 27


Sekilas (Surya Citra Tri Vina)

Kapanlah berjumpa Kau mengabaikanku saja Asik dengan lenggangmu Siapa sih kamu Angkuhnya laku Tapi kau manis, rupawan Beda denganku Malam menyiksa terasa Ketika rindu memangku Menyiksa di kalbu Rinduku kamu Kata orang rindu itu indah* Namun bagiku ini menyiksa* Pernah inginku benci saja Lagipula kau tak lara juga Mengapalah dulu hanya jumpa Tiada sapa atau salam Jumpa pun hanya aku yang tahu Engkau cuma berlalu Tak tahu aku

* lirik lagu Bimbang-Melly Goeslaw 28


Rindu (Nurussyifaail Fuadah) Nyeri… Seperti jantung tertikam pedang Darah mengalir Tapi tak nyata

Ayah… Adakah cinta di duniamu saat ini? Samakah dengan cinta yang kami beri? Cinta aku dan istrimu

Dimensi memaksa diri Walau rindu memuncak Perih rasa ini Tuk bertemu pun tak berdaya

Ayah… Ku lantunkan pinta pada Illahi Pinta rindu untuk bertemu Tapi tak Ia kabulkan

Bagaimana duniamu? Bahagia? Penuh tawa? Atau tersimpan pilu dalam rasa?

Ayah… Kesepiankah engkau di sana? Berkawankah engkau di sana? Jika tidak, datanglah ke mimpiku tuk bersua

Senja pergi sisakan gelap Dingin menyelinap dalam kalbu Menanti kembalinya waktu Kala engkau masih di sini Ayah… Setiap butir air mata ini jatuh Ia meminta kau dengan manja Menghapusnya dari pelupuk mata Ayah… Jiwa ini rapuh Meminta kau tuk memeluknya Meminta kau tuk menguatkannya 29

Ayah… Sungguh kelabu hati ini Namun yang ku tahu Kau tak ingin aku terus menahan rindu Kepada Pencipta ragamu Kepada Pencipta jiwamu Aku memohon Agar Ia mempertemukan kita di JannahNya


Pergi (Fadil Saeful Isnan)

Kutarik kopor ini perlahan. Pandanganku tak mampu tegak. Siapa pula yg kuat pergi dari mereka? Kaki ini kuangkat kuat-kuat agar bisa sedepa demi sedepa bergerak. Namun, selalu saja kuteringat mereka. Dadaku bergemuruh. Napasku menderu. Bahuku bergunjang. Aku tergugu. Pecahlah tangis itu. Sialnya. Aku tak balik memeluk mereka. Aku justru mulai percepat langkah dan sejurus kemudian kuberlari. Berusaha menjauhi masa lalu. Selagi hati ini terbuka oleh tangis, kuhancurkan sekalian kenangan itu. Bukan. Tak jadi kuhancurkan. Kusimpan memori itu di ujung terjauh hatiku. Di tempat yg bahkan tak dapat kuraih lagi. Biarkan ia ada di dalam diriku. Terkubur bersama kenangan baru. 30


31


Monster (Angga Adytia S.)

Kau selalu saja mengeluh.

“Ada monster yang bersembunyi di kolong kasurku. Setiap malam ia selalu mencakar-cakar kayu ranjang ini dan menyeringai, menampakkan gigi taringnya yang tajam dan matanya yang menyala,” ujarmu sambil menggigil ketakutan. Aku tak percaya. Masa sih ada monster. Bukankah mereka khayalan anakanak penakut yang ingin ditemani tidur oleh orang tuanya. “Monster apa sih? Ini pasti karena kamu kebanyakan nonton film horror sih. Tuh kan ga ada apa-apa disana,” jawabku sambil membungkuk dan memiringkan kepala, melihat-lihat apa yang ada di kolong kasurnya. “Serius, aku tidak bohong. Aku takut. Aku tidak bisa tidur. Tolong jaga aku disini sampai aku terlelap ya. Tolong temani aku, kau bisa bercerita atau menyanyikan lagu untuk mengantar tidurku.” “Tapi kan tidak ada apa-apa disana. Itu hanya khayalanmu saja. Segeralah tidur. Kau kan sudah tidak tidur berhari-hari,” jawabku lugas. “Ayolah, tolong. Jika bukan kepadamu, kepada siapa lagi aku meminta tolong?” matamu berkaca-kaca, memelas agar ku iya-kan permintaanmu. Kau tahu kelemahanku. Aku tak bisa menjawab tidak ketika melihat tatapan itu. Aku mengambil nafas dalam-dalam, “Baiklah.” *** Aku pun menjadi pengantar tidurmu, mendongeng atau menyanyi lagu nina bobo sampai kau terlelap. Kau sudah tertidur. Lalu aku melangkah keluar meninggalkan kau yang sedang khidmat dengan mimpi-mimpi. Tak lama berselang, terdengar jeritan dari kamarmu.

“Tolooooong... Toloooong...,” teriakmu histeris.

Aku bergegas menuju kamarmu, menemukanmu sedang menangis.

“Monsternya kembali lagi. Tolong jangan pergi. Diamlah disini. Mendongeng dan bernyanyilah lagu nina bobo untukku sepanjang malam. Aku takut ia kembali lagi. Aku tak bisa tidur,” katamu sambil terisak. Keningmu basah oleh keringat yang berlarian jatuh. 32


“Tapi tidak ada monster disini. Itu hanya halusinasimu saja. Sini aku buktikan,” ujarku sambil menyalakan senter ke kolong tempat tidur, “tuh tidak ada apa-apa kan?” aku mendengus kesal. “Pokoknya aku takut. Kamu harus mendongeng dan menyanyi untukku sepanjang malam.”

“Tapi aku juga perlu tidur,” jawabku

“Tolonglah... Aku mohon.... Kau ingin aku tetap menjadi belahan jiwamu, bukan?” isakmu semakin keras terdengar.

Kau tahu kelemahanku. Kau tahu bahwa bagiku kau adalah semestaku.

“Baiklah,” kataku sambil mengambil nafas panjang.

*** Maka selama bertahun-tahun, setiap malam aku terjaga. Bercerita dan menina-bobokanmu sepanjang malam. Menjagamu dari monster yang tak pernah sekalipun aku lihat. Aku merasa lelah, tapi tetap ku lakukan karena telah kutukar dua bola mataku dengan hatimu. Cinta buta. Hingga suatu ketika.

“Aku ingin kau pergi.”

“Maksudnya?”

“Aku ingin kau pergi.”

“Tapi salahku apa?”

“Monsternya sudah lama pergi. Aku tak membutuhkanmu lagi.”

“Tapi aku telah menjagamu selama ini.”

“Aku bosan mendengar dongeng yang sama. Aku bosan mendengar suaramu.”

“Tta..Ta..Tapi ...”

“Tadi ada seseorang yang datang padaku. Lihatlah, indah bukan pemberiannya?” kau menunjukkan jarimu yang lentik. Terdapat selingkar logam berkilauan di jarimu itu. “ Kau tak pernah memberiku apapun. Akan ada seseorang yang menggantikanmu. Jauh lebih baik darimu. Sekarang pergilah!”

“Ta..Tapi .. Aku..” 33


“Ku bilang pergi!�

Dengan langkah gontai, aku berjalan keluar dari kamar. Terisak. Luluh lantak karena dipecundangi perempuan yang selama ini dicintai sepenuh hati. Hancur, karena semestanya lebur dan direnggut dalam sekejap. Menangis, tak tahan harus dicampakkan dengan cara yang bengis. Lalu ada sebuah mata air di pelupuk mata yang tak bisa dibendung, mengalir menganak-sungai menuju rongga jiwa, mengisi ceruk-ceruk yang berisi jelaga. Aku merasa ada yang berubah dalam diriku. Aku bergegas berdiri di depan cermin dan ku dapati kedua mataku merah menyala. Tak lama kemudian kuku tanganku meruncing dan taring memanjang menampakkan ujungnya yang tajam. Tanpa sadar aku pun menyeringai. Segera saja aku pun menuju kamarmu untuk bersembunyi di kolong tempat tidurmu itu.

34


Mayat di Atas Koran (Meiya Narulita Suyasman)

Mari kita mulai cerita ini dari cuaca mendung dan hari Minggu. Keluarga harmonis, katamu? Tidak, tidak, kita akan berangkat dari seorang ayah dan anak yang sedang menikmati liburan singkat. Di mana sosok ibu, tanyamu? Oh, ia sedang melanglang bebas, tapi bukan itu yang akan kita bahas. Berlibur di luar, dugamu? Salah lagi. Mereka hanya menghabiskan waktu berdua di rumah. Oh, jangan mendebat pilihan kedua orang itu untuk berlibur di rumah. Momen tercipta karena kejadian, bukan tempat. Apa yang mereka lakukan, tanyamu? Sang anak duduk di pangkuan sang ayah. Sang ayah menggenggam koran yang tengah menyajikan pemandangan Pantai Kuta. Sang anak tengah mengeja beberapa kata di sana. Walaupun usianya baru tiga tahun, ia sudah bisa membaca. Anak yang cerdas.

“P-a pa, n-t—”

Sang anak berhenti. Kali ini, dugaanmu benar. Sang ayah terbahak.

“Kata ini bukan dieja sebagai p-a, n-t, dan a-i, Sayang. P-a-n dan t-a-i.”

Hening. Sang anak menjawab, “Pan-tai?”

Sang ayah memeluk sang anak. Ia menggelitik perut sang anak. Sang anak memekik dan tertawa. “Ayah!”

Di sela-sela tawanya, sang ayah menjawab, “Maaf. Anak Ayah pintar, sih.”

Sang anak memamerkan giginya. Lantas, ia turun dari pangkuan ayahnya dan berlari menuju kotak boneka. Sang ayah menggelengkan kepala. Lalu, ia tenggelam dalam samudera berita di genggamannya. Bosan dengan artikel mengenai Pantai Kuta, ia membalik ke halaman lain. Kali itu, matanya menumbuk artikel yang kurang ia suka. Sejarah dan politik! Judulnya provokatif: ‘Melawan Lupa: Ada Apa di Mei 1998?’ Ia lirik tanggal di sudut atas koran, memastikan tanggal hari itu. 12 Mei 2019, rupanya. Pantas saja media kembali mengangkat topik itu. Padahal, kebanyakan orang sudah lupa akan kasus yang terjadi dua puluh satu tahun silam. 35


Lebih parah lagi, kasusnya digantung, ditutup, dan dibiarkan. Puing-puing ingatan menguap begitu saja. Namun, entah mengapa, sang ayah ingin membacanya. Tidak, tidak, semesta tak sedang berkonspirasi. Rasa penasarannya saja yang tiba-tiba menyembul. Sang ayah menekuri artikel di hadapannya. Perlahan, celotehan anaknya menghilang. Suara anaknya dikalahkan dengung dari kepalanya sendiri. Tenggorokan sang ayah kering. Tanpa mengalihkan pandangannya dari koran, ia meraba meja di sampingnya. Heran karena tak jua menyentuh gelas, ia memalingkan muka. Ia terbelalak. Meja yang berada di sampingnya bukan meja kayu tempatnya meletakkan kopi. Meja asing itu berwarna putih, kusam, dan terbuat dari besi. Yang lebih mengejutkannya, ia tak sedang berada di ruang keluarga rumahnya. Ia berada di beranda rumah asing yang asri. Sang ayah melipat koran. Ia kembali terkejut melihat mobil kodok terparkir di seberang jalan. Pintu terbuka. Empat orang muncul dari sana. Seorang pria empat puluhan, wanita yang usianya tak jauh dari sang pria, dan dua orang anak perempuan. Yang satu sudah remaja, sepertinya, yang lainnya masih berusia sekitar tiga tahun. Empat orang beretnis Tionghoa itu tampak akur dan berbahagia. Gaya berpakaian orangorang itu mengherankan. Ia tak dapat mendeskripsikan perbedaan itu, karena ia bukan pengamat mode. Yang jelas, ada yang tak biasa dengan jaket denim dan pakaian-pakaian longgar itu. Sang ayah berlari mendekati orang-orang itu. Saat ia akan mencapai pundak sang pria Tionghoa, tiba-tiba ia menembusnya.

Menembus?

Tak percaya dengan penglihatannya, sang ayah mengulang lagi Kala tangannya mencapai pria kurus tinggi itu, ia tak dapat menyentuhnya. Sang ayah membeku. Sesaat, ia meragukan matanya sendiri. Sambil berpikir, refleks, sang ayah mengekor keempat orang itu. Ia biarkan tanya memenuhi kepalanya. Mengapa ia seakan-akan pindah ke tempat yang sangat asing? Mengapa ia jadi bisa menembus manusia? Apakah ia sudah mati dan arwahnya sedang berkeliaran di dimensi lain? Atau apakah kopinya terlalu pekat hingga halusinasi menguasai alam pikirannya? Sang ayah mengangkat wajahnya. Keempat sosok itu masih ada di hadapannya. Mereka bercengkerama dan bernyanyi kecil. 36


Sang ayah menoleh ke toko di sisi jalan. Toko-toko itu tutup. Beberapa pemiliknya malah sedang menjejalkan barang ke salah satu mobil kodok. Ia sampai melambatkan langkah untuk mengamati fenomena aneh itu. Sebelum tanyanya terjawab, ia melihat keempat orang itu berbelok. Ia berlari kecil untuk menebas jarak. Kala ia mencapai tikungan, langkahnya tersendat. Napasnya tercekat. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat keempat orang itu sudah dikerumuni preman-preman. Entah dari mana mereka berasal. Preman-preman itu menghambur ke mana-mana. Sang ayah beruntung karena dapat menembus manusia. Dengan mudah, ia bergerak mendekati keempat orang itu.

Preman yang berdiri di hadapan keempat orang itu bersuara, “Cina, ya?�

Keempat orang itu menngunci mulut. Kedua gadis kecil itu memeluk orangtua mereka. Sang pria dan wanita dewasa gemetar sambil memeluk putri mereka.

“Kalian Cina, kan?�

Geram karena tak mendapat jawaban, preman itu meninju wajah sang pria. Perempuan memekik. Yang terjadi selanjutnya lebih mengerikan. Keempatnya dipisahkan. Sang pria dewasa dipukuli habis-habisan. Ketiga wanita itu—yah, dikerumuni banyak pria. Kau bisa menebak apa yang terjadi? Silakan simpulkan sendiri. Sang ayah bahkan tak sanggup berdiam diri. Sambil berteriak, tangannya berusaha menggapai tubuh-tubuh kekar itu. Usahanya sia-sia belaka. Belasan menit kemudian, sang ayah melihat pemandangan paling mengenaskan. Dada mereka tak bergerak naik-turun. Napas sudah berhenti. Hanya gadis yang paling kecil yang masih menggeliat. Tubuhnya penuh lebam. Ia mendongak. Tak ada preman lagi di jalan itu. Samar-samar, ia mendengar suara jendela pecah; entah dari mana. Gadis kecil itu berusaha keras untuk bangkit. Setelah berhasil tegak, ia terseok-seok mendekati ketiga orang yang sudah tewas. Ia duduk bersimpuh. Air matanya menetes. Pintu rumah di hadapan sang gadis terbuka. Seorang pria keluar dan membujuk gadis kecil itu agar mengikutinya. Sang gadis menolak dan menjerit. Namun, setelah istri pria itu keluar dan ikut membujuk sang gadis kecil, ia setuju untuk mengikuti mereka masuk ke rumah. Sang ayah menggigil. Ia tak suka dengan penglihatannya sendiri. Ia menjatuhkan diri di sisi jalan. Ia tak peduli dengan beberapa wartawan di tikungan 37


yang berusaha mengambil gambar tiga mayat yang masih berada di tempatnya.

Tiba-tiba, ia terpaku.

Ia membuka koran di tangannya. Ketika melihat tanggal di sudut atas koran itu, ia terperanjat.

12 Mei 1998. Dua puluh satu tahun sebelumnya.

Sang ayah mengangkat wajah. Belum sempat merenungi penglihatannya sendiri, ia sudah kembali ke ruang keluarga rumahnya. Ia masih duduk di bangku yang sama. Tangannya masih menggenggam koran yang sama. Bahkan, ia dapat melihat anak perempuannya. Sang ayah buru-buru menumpas kopinya. Kala bibirnya bertemu sudut gelas, sang anak menghampirinya. Tak mau mengganggu ayahnya, ia menyentak koran dari genggaman ayahnya. Ia menatap foto artikel yang baru saja ayahnya baca.

“Wah, ada Ayah di sini! Bajunya juga sama!�

Sang ayah tersedak.

38


Jasad yang Ditelan Zaman (A. Fine Hastuti) Darahku mengental

Tidak seorang mencariku

Liurku tak dapat kutelan

Di ladang pasir seperti ini

Aku butuh air

Selain kadal, ular, dan kalajengking

Tidak ada

Mati sebuah keniscayaan

Air, mana air?

Jasadku ditelan zaman

Hanya ada lautan pasir

Kurasakan kaburnya pandangku

Matahari memusingkan

Percuma menjerit

Detak jantungku lebih keras dari hembusan angin

Tak satu peduli

Langkahku terhuyung lemas

Bersabda dalam samsara

Seperti waktu segera menjemput Melayang meninggalkan tanah Terangkat menuju keabadian Keringatku menderas Tersisa hanya keringat Aku ingin kencing Kencing tak kunjung datang Tak apa air asin Tak apa asal itu air Embun menjelma udara Ragaku mengering Aku segera menguap laksana embun Nafasku memburu Tak ada lagi yang tersisa Tidak pula harapan Segalanya telah berakhir Dalam kebisuan aku memekik 39

Tuhanku menyambut dalam diam Bisakah dosaku ditebus Dalam kematian yang perlahan Dukkha sebelum kematian Dari kejauhan serigala berdatangan Tolong muncratkan darahku Inginku tenggak darah Buraikan ususku Ingin kusantap bersama kalian Remukkan tulang-tulangku Jangan sisakan debu-debuku Lumat aku dalam pesta pora Beri aku kematian yang cepat Kukembalikan diriku Kepada semesta yang melahirkan Kupasrahkan segala yang ada padaku Kepada-Nya yang menjadikanku


Berapa dalam Manusia dapat Menyelami Kehidupan? (Asra Wijaya)

Manakala dua lempeng tektonik bersua di Samudra Pasifik : zona subduksi Lempeng Pasifik disubduksi di bawah Lempeng Filipina, lahirlah Palung Mariana dengan lubuk Chalengger deep sebagai titik terdalam di dunia. Mariana memiliki kedalaman 10.911 meter di bawah permukaan laut. Di dasar Mariana, air memberikan tekanan sebesar 1.086 bar, setara dengan kira-kira seribu kali tekanan udara yang menimpa tubuh kita kini. Hydna dari Scione adalah anak perempuan Scylles. Mereka adalah voluntir ayah-anak yang berjasa besar dalam pertempuran tiga hari di Artemisium (480 SM). Pertempuran itu adalah adalah invasi kedua Persia ke Yunani. Hydna dilatih langsung oleh salah satu penyelam terhebat Yunani, ayahnya sendiri. Ketika mereka tertangkap oleh Raja Xerxes I (Panglima perang Persia)— saat menyusup ke kapal pasukan Persia—mereka melarikan diri dengan melompat ke laut. Karena tidak kunjung kelihatan, para prajurit Xerxes I menganggap Hydna dan Scylles telah mati tenggelam. Kisah tersebut disampaikan Herodotus sang Bapak Sejarah. Scylles dan Hydna menggunakan batang pohon yang berongga sebagai snorkel. Mengetahui rencana penyerangan Xerxes I, Scylles dan Hydna mempreteli satu-dua bagian kapal sehingga penyerbuan menjadi terlambat. Waktu jeda bagi pasukan Yunani mempersiapkan diri. Jauh sebelum itu, tahun 1194 SM, pasukan prajurit selam sudah ditemukan dalam perang Troya. Alexander Agung juga pernah membuat taktik penyelam untuk menghancurkan pelabuhan. Adalah Aristoteles yang mewartakan lewat “Problemata” bahwa Alexander Agung memerintahkan para penyelam untuk menghancurkan pertahanan bawah laut musuh dalam Pengepungan Tyre tahun 332 SM. Tahun 2014, di kuliah Mekanika Fluida Teknik Fisika ITB, seorang dosen— yang suaranya kecil itu—menceritakan kisah tentang kematian untuk kali ketiga. Dosen yang sudah lima puluhan ini entah bagaimana, sering memberi selingan kuliahnya berupa cerita kematian. Pertama kematian gegara tersetrum karena sang almarhum lupa memakai sepatu safety, lalu kedua kematian karena sistem lift yang rusak. Barangkali menyaksikan banyak mahasiswa yang tidur pada kuliah jam tujuh pagi itu membuat beliau ingin bercerita sedikit di luar perkara Navier-Stokes. “Ada cerita tentang ayah dan anak perempuannya yang sedang menyelam. Singkat cerita sampailah mereka di kedalaman tertentu dan entah bagaimana takdir mengatur, mereka lupa bahwa persediaan oksigen mereka tidak cukup lagi untuk 40


41


bisa sampai ke atas permukaan. Ada dua hal yang menarik dalam state cerita ini : Bisa saja mereka bersicepat ke permukaan dengan mendorong-laju. Namun, sang ayah paham benar bahwa perubahan tekanan mendadak pada tubuh sama saja halnya dengan bunuh diri. Dengan kata lain mestilah pelan-pelan naik ke permukaan. Akan tetapi, simalakamanya adalah, stok udara tidak cukup. Singkat cerita lagi, ayah yang heroik ini, rela melepaskan tabung oksigen miliknya untuk anaknya.” Aku sedikit memahami aforisma orang-orang yang terlena kepada keindahan bawah laut sebagai perumpamaan orang-orang yang terpedaya oleh kenikmatan duniawi. Sebab terlalu lalai, ketika sadar mesti kembali, umur sudah tua, waktu begitu kasip dan hampir tak ada : maut dipelupuk mata. Berapa dalam seorang manusia dapat menyelam ? Menurut hitungan matematik, menggunakan prinsip tekanan hidrostatik : sekitar 83 meter. Lebih dari itu manusia normal tidak bisa menahan tekanan air. Akibatnya, fungsi fisiologis manusia akan rusak dan berujung kepada kematian. Entah itu didahului dengan pecahnya organ tubuh atau berhentinya oksigen mengalir ke otak. Akan tetapi bukan manusia namanya kalau tanpa pengecualian bukan ? Tahun 2016, Ahmad Gabr, pria Mesir 41 tahun memecahkan rekor Nuno Gomes—pemuda Afrika Selatan, 54 tahun—yang memecahkan rekor dunia pada 2005 dengan kedalaman 318 m—dengan menyelam sedalam 332,35 meter di Laut Merah menggunakan SCUBA (Self-Contained Underwaters Breathing Apparatus)— alat selam yang pertama kali dikenalkan oleh Jacques Yves Cousteau dan Emile Gagnan pada tahun 1942 sampai 1944. Butuh sekitar 12 menit bagi Gabr untuk mencapai kedalaman tersebut, serta 15 jam untuk kembali ke permukaan. Lima belas jam disebabkan Gabr harus menghindari decompression shock, nitrogen narcosis dan oxygen intoxication dengan berhenti dahulu pada kedalaman tertentu, agar tubuh menyesuaikan diri dengan tekanan sekitar. Chalengger deep sudah dimasuki oleh James Cameron, sutradara asal Kanada yang terkenal dengan ‘Titanic’ dan ‘Avatar’-nya itu. Kedalaman Chalengger deep melebihi ketinggian Gunung Everest. Dengan simplifikasi sedemikian rupa, Gunung Everest—puncak dunia—akan tenggelam dalam jurang dunia—Chalengger deep ini. Kedalamannya sekitar 11 km, sedang Everest hanya 8 km. Tentu masih ada sisa 3 km lagi bagi yang iseng memasukkan Gunung Semeru. James Cameron menggunakan alat selam khusus tentu saja. Konon perangkat tersebut adalah peralatan paling canggih dalam mengirim manusia ke dasar bumi. Kokoh adalah kawanku. Ia tidak suka pada kedangkalan. Mungkin ini seiring-jalan dengan namanya. Kokoh dalam tesaurus bahasa Indonesia berkait makna dengan mendalam. Bagi Kokoh, kedangkalan—dalam hal menyelami hidup—membuat manusia acapkali terjebak pada kulit, simbol, dan gimik. Sehingga bagian ‘gizi-hidup’ berupa substansi dan esensi makna hidup tidak tersentuh apalagi tecerna. Ujungnya manusia tidak tumbuh. Baginya, kedalaman adalah alternatifabsolut dalam kehidupan. Ada banyak hal yang ia kritisi dalam kehidupan manusia kini. Kedangkalan menurutnya adalah bentuk kemalasan makhluk fana ini untuk 42


menyelami lebih dalam. Akan tetapi, bukankah justru dengan semakin dalam, maka akan semakin besar tekanan yang dialami manusia ? Perkasa juga kawanku. Ia manusia yang dalam beberapa hari lalu telah melakukan aksi bunuh diri. Setelah beberapa minggu terakhir beliau membaca berulang-ulang Camus : novel Orang Asing dan Esei Mite Sisifus, Ia naiki lantai 8 gedung kampus demi terjun menyelami makna terdalam dari kehidupan. Rasaku, sebagai perempuan yang sadar, Intan mesti menyesal, sebab melalui kedangkalannya, Ia pintakan Perkasa untuk bunuh diri terlebih dahulu— sebagai pembuktian cinta mati—agar kelak Ia terima cinta Perkasa. Sekilas rikues Intan ini analog dengan Zinaida Alexandrovna Zasyekina kepada Vladimir Petrovitsy dalam novelet Ivan Turgenev “Pervaya ljubov”, Cinta Pertama. Zinaida berkata kepada Petrovitsy, “Tuan pernah mengatakan bahwa Tuan cinta kepada saya; kalau betul-betul demikian, cobalah melompat ke bawah.” Tetapi tidak seekstrim lantai 8 juga. Petrovitsy hanya dari tembok sekitar 4 meter. Tetapi menyesal pada hidup yang dangkal, kedalamankah ? Kedalaman mungkin ada bertalian dengan cerita pendek Patrick Süskind— pengarang dan penulis lakon terkemuka Jerman—‘Der Zwang zur Tiefe’—yang cerpennya diterjemahkan Anton Kurnia—lulusan Teknik Geologi ITB itu—menjadi Kritikus Racun. Cerita pendek ini dialihbahasakan Anton dari ‘Depth Wish’ : hasil alih-bahasa Peter Howarth dari bahasa Jerman ke Inggris. Simaklah. Seorang kritikus seni mengatakan kepada seorang gadis dari Stuttgart bahwa yang gadis lakukan itu menarik dan dia adalah seniman muda yang memang berbakat. “Tapi karya Anda belum menunjukkan kedalaman”. Bagian ini yang kemudian menggerogoti si gadis. Gadis ini adalah seseorang yang menggambar sketsa yang indah. Lalu pada surat kabar, sang Kritikus menuliskan “Seniman muda itu berbakat dan dalam sekali pandang karyanya tampak menyenangkan. Namun sayangnya dia tak memiliki kedalaman.” Hanya dengan demikian sang seniman muda kemudian berubah depresi. Ia mandek. Seniman muda mulai kehilangan semangat menggambar. Lama-lama ia merasa tak bisa lagi menggambar. Ia lampiaskanlah dengan melahap buku-buku seni rupa, menjelajahi galeri dan museum, membaca buku paling dalam tentang seni rupa di tiap toko buku, membaca habis Wittgenstein. Dia berhenti berkarya. Akhir cerita ia melompat dari menara stasiun teve setinggi 139 meter. Kritikus menulis,” Sekali lagi kita menyaksikan—setelah terjadinya sebuah peristiwa mengejutkan—seorang muda berbakat tak mampu memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri di panggung kehidupan. Tidak cukup bila seorang seniman memiliki dukungan publik dan inisiatif pribadi, tapi hanya sedikit pemahaman atas atmosfer artistik. Pastilah benih dari akhir yang tragis ini telah ditanam sejak lama. Tidakkah itu bisa dicerna dari karya-karya awalnya yang naif ? Itu mencerminkan agresi monomaniak yang melanda diri sendiri dan dorongan introspektif yang berkubang menjemukan serupa spiral di dalam batin—dua-duanya sungguh emosional dan tak berguna, sekaligus mencerminkan pemberontakan terhadap takdir. 43


Saya menyebutnya kehendak-memiliki-kedalaman yang berakhir secara fatal.� Karena angin yang bertiup sangat kencang pada saat seniman muda ini melompat, si gadis tak jatuh tepat di lapangan tanah liat bawah menara. Ia terbawa angin dan terdampar di hutan setelah membentur pohon-pohon besar. Tabloid-tabloid picisan lantas menggarap berita-bunuh-diri-terseret-angin ini menjadi jualan yang layak dan murahan. Amat lain dengan Perkasa yang loncat dari lantai delapan, hanya kerabat dekatnya yang tahu : Tarjo, Haris, Choirul, Husen, Asra, Opik, Rilis tambah Pak Satpam Amun dan Bu Dora. Lantas barangkali di ujung, kita akan kembali kepada pertanyaan Tosltoy : Berapa luas tanah yang diperlukan oleh seseorang ? Serentak dengan pertanyaan : Berapa dalam seseorang dapat menyelami kehidupan ? Dua pertanyaan ini mungkin akan bertemu di suatu Samudera Kehidupan dan melahirkan suatu titik : Kematian (baca : Kebenaran).

44


Sucikanlah (Fadil Saeful Isnan)

Adam tidak bodoh. Bahkan malaikat bersujud hormat padanya. Ia tahu semuanya. Adam diberikan ilmu oleh Tuhan. Bermacam-macam benda dapat ia sebutkan. Kecerdasan itu diwariskan kepada kita. anak-cucu dan semua keturunan Adam. Maka sejatinya kita orang yang cerdas. Tapi sungguh manusia memang kurang ajar. Mereka tutupi kercerdasan dengan keculasan. Norma yang tak dijaga atas nama kebebasan. Pikirannya tak sejalan dengan kodrat manusiawi. Asahlah otak dan hati. Agar sesal tak lahir di kemudian hari. Makanan otak ada banyak. Tak perlu juga duit banyak. Justru otak yang akan mencari duit buat kita. Asal ada kemauan dan semangat. Belajar tak boleh berhenti. Sampai dimanapun, hingga kapanpun. Hati juga sama. Siramilah dengan aneka kebaikan, kebajikan, dan kebijaksanaan. Lembutkanlah hatimu. Maka kelak keteguhanmu akan terjaga. Sucikan otak dan hati dari kotoran duniawi. Mari. 45


46


Untuk Kamu yang Tercinta (Nurussyifaail Fuadah)

Cinta terasa hampa Layaknya malam tanpa bintang Layaknya pagi tanpa fajar Begitu pun aku tanpa kamu

47

Di hari lalu Lisan ini pernah melukaimu Menyayat hatimu Menumbuhkan rasa benci padaku


Jarak kini memberi ruang Entah bahagia entah luka Terbesit duka jauh darimu Menyisakan rindu menyiksa dalam kalbu Dalam sujudku Di sepinya malam Kepada Tuhan Ku sampaikan lantunan doa Untuk kamu yang tercinta Di mana pun kamu berada Semoga Tuhan menjaga hatimu Semoga Tuhan menjaga imanmu Untuk kamu yang tercinta Akan menjadi siapa kamu di masa depan Semoga Tuhan membimbingmu Semoga Tuhan senantiasa lekat di hatimu Untuk kamu yang tercinta Raga ini mungkin tak lagi mudah tuk bertemu Raga ini mungkin tak lagi mudah tuk menyapa Raga ini mungkin tak lagi mudah tuk kau jadikan sandaran

Namun jiwa ini kan siaga Ketika tangismu ingin kau bagi dengannya Ketika ragumu ingin kau kisahkan padanya Ketika rindumu meminta tuk bertemu dengannya Untuk kamu yang tercinta Ingatlah kamu adalah berlian Yang tanpa cahaya, kamu bercahaya Yang tak sembarang orang mampu memilikimu Untuk kamu yang tercinta Ingatlah kamu adalah mawar di tepi jurang Ketika orang ingin memetikmu Mereka harus bertarung dengan nyawa Untuk kamu yang tercinta Ini hanyalah sementara Jika tak di dunia, maka di akhirat Aku dan kamu bertemu sebagai sahabat

48


Balada Pujangga Ksatria (Saghita Desiyana Maurischa)

Wahai, Pujangga Ksatria Purnama dalam gulita Tirta penyejuk dahaga Surya sepanjang masa Balada sang Pujangga, Perisai terpatri bak garuda Dalam balutan keagungan Membawa damai keabadian Balada sang Ksatria, Tokoh utama panggung sandiwara Menyampaikan pesan penuh makna Bijaksana dalam senyum sukacita Gambaran insan paling sempurna Sungguh, Balada Pujangga Ksatria Terbalut darah juga nanah Hampa jiwa serta raga Rapuh retak sang nurani Pada dirinya tersimpan Yang sengaja disembunyikan

49


Mie Aceh Rasa Sendu (Hana Azalia)

Kepada Bapak penjual mie Aceh di Jalan Tubagus Ismail Raya

Udara basah Hujan turun terpisah Pada jalanan padat di malam Minggu, dan pada lengkung pipimu Adakah harapanmu yang mengambang? Apa kau rindu dengan keluarga di seberang? Jangan-jangan istrimu tidak suka kumis yang panjang Kumis panjang Hujan di tengah siang Hatimu gersang Mungkin kau kurang berlibur ke telaga Berjumpa sanak saudara Mungkin juga kurang banyak mengingat-Nya Karena meski Tuhan cuma satu Pelangganmu ada seribu Jangan khawatir, kami akan mendoakanmu selalu

50


Orkestra Perang (Bella Seliene)

Dapatkah kau tangkap dengan telingamu Suara itu... Lengking teriakkan yang meratap Musik yang menyentuh dan menyayat hati Layar panggung sudah terbuka Irama alunan api berkibar dan membara Ritme yang berdentum dengan keras Ketukkan cepat dari selongsong senapan api bermain diatas panggung Para pemusik memainkan instrumennya Menghasilkan musik yang akan menyentuh hati setiap penonton orkestra ini Lengkingan suara sang penyanyi Dipenuhi dengan keputus asaan, kebencian dan ketakutan Betapa lagu mengiris hati yang dimainkan Lagu termegah di kefanaan ini Dengan tangan para konduktor yang menari dengan tanpa hati Orkestra perang ini akan semakin megah Para penonton merasa amat tersentuh Sampai mereka meneteskan airmata Tak sanggup mereka berbuat apapun Karena bergetar ketakutankah tubuh mereka Melihat orkestra termegah dunia

51


Titah Sang Faqih (Muhammad Taufik)

Pagi telah beranjak pergi. Gemuruh tanah menderu berirama ketika mata cangkul menghujaminya. Ada juga riak air yang bersorak gembira mengguyuri jagung-jagung muda di ladang. Daun-daun tertawa riang dimandikan si empunya ladang. Duha ini, suasana ladang telah sedemikan semaraknya. Dan aku turut serta dalam kesemarakan itu. Tak jauh di depanku, kulihat sekumpulan orang yang saling berbincang. Empat di antaranya berpakaian serdadu, bertubuh tinggi semampai, berkulit putih, dan bermata cokelat muda. Dua lainnya berpakaian katun hitam-hitam, dengan saluak teronggok di kepala. Apa lagi yang mereka bincangkan kalau bukan tentang Benteng Dalu-dalu. Berita jatuhnya Benteng Dalu-dalu ke tangan Belanda telah tersebar luas ke seantero negeri. Paderi telah kehilangan pilar terakhirnya. Begitulah yang diketahui Belanda untuk saat ini. Padahal peristiwa itu baru berlalu 20 hari(1), tapi dengan gegap gempita Belanda mengabarkannya kepada seluruh lapisan masyarakat Andalas(2). Tentu saja yang mereka harapkan adalah runtuhnya semangat juang masyarakat untuk mengangkat senjata. Penunggang kuda handal, penerima burung merpati, pemuda yang bertubuh kokoh, semua diperiksa secara ketat oleh Belanda. Mereka takut akan kemunculan penerus Faqih Peto Syarif dan Faqih Saleh(3), yang belasan tahun ini telah merepotkan mereka. Luhak(4) ini, Pematangduri, pun tak luput dari pengawasan Belanda dan mata-matanya. Tak jarang sisa-sisa Laskar Paderi Tambusai tertangkap karena pengaduan para mata-mata. “Syamsami, kemarilah!” Kurdi, salah seorang yang berpakaian hitam-hitam, memanggilku. Sudah dapat kupastikan, ia adalah salah satu mata-mata Belanda yang beroperasi di luhak ini. Penjilat keparat! Semoga Allah memanggangnya dengan api Jahanam kelak.s Terpaksa kutinggalkan pekerjaanku di ladang. Dengan langkah terseokseok aku mendatangi mereka. Langkah yang sengaja kutunjukkan agar dikira sebagai orang pincang.

“Apa pasal, Pak Cik?” tanyaku.

“Mereka ini para serdadu Belanda dari Bonjol, jamulah mereka,” pintanya.

“Tuan-tuan, pemuda ini bernama Syamsami. 4 bulan yang lalu datang ke luhak ini. Ia petani Jagung dan pembuat sup yang handal. Bahkan istriku kalah pandai olehnya. Hahaha. Cacat fisiknya memang memang memaksanya untuk bergelut dengan pekerjaan-pekerjaan perempuan saja,” panjang lebar si bangsat tua ini memperkenalkan dan mempermalukanku.

Aku

menyunggingkan

senyum

kepada

para

serdadu

itu

seraya 52


menganggukkan kepalaku sebagai isyarat bahwa aku menghormati mereka. “Mari, Tuan-tuan,” ajakku. Aku menuntun mereka menuju gubuk. Gubuk yang 4 bulanan ini telah menjadi tempatku bernaung. Kusuguhi mereka dengan masakanku. Mereka makan dengan lahapnya. Memang telah menjadi kewajaran bagi kami, para Laskar Paderi, untuk piawai dalam urusan masak-memasak sekali pun. Beberapa waktu kemudian, mereka keluar dari gubukku. Keluar dengan wajah berseri-seri. Beberapa kali mengucapkan terimakasih atas jamuanku. Tak lama setelahnya, mereka berpamitan kepada Kurdi dan Saroji. Melanjutkan tugas patrolinya. Aku kembali ke ladang. Meneruskan pekerjaan yang sempat tertunda, menyiangi ladangku. “Ooooi ... ikan bersisik, ayam berbulu, jagung berbungkus surai, manusia hendaklah berpakaikan kain. Tuan dan puan penduduk Luhak Pematangduri, saya jajakan kepada Anda sekalian pakaian bermutu dari Samudera Pasai. Supaya bertambah kehormatan Anda sekalian, supaya semakin elok rupa Anda.” Seorang penjaja pakaian memasuki kampung. Orang-orang berduyun-duyun mendatanginya. Suara yang cukup familiar di telingaku. Aku yang semula hendak ke ladang, malah mengikuti langkah orang-orang. Lalu kudapati diriku di tengah keramaian yang mengelilingi si penjaja pakaian. Sang penjaja pakaian dengan sigapnya menyikapi penawaran orang-orang. Seketika pandangan kami berbenturan. Ia tersenyum. Kemudian menolehkan pandangannya ke arah lain. Ia menyentuh mata kiri, mata kanan, dan ubun-ubunnya dengan jari manis. Tak dapat diragukan lagi, itu Faisal. Baru saja ia menunjukkan isyarat seorang pembawa pesan Paderi Tambusai. Ada pesan untuk kami. Memang piawai benar Faisal berlagak sebagai seorang penjaja pakaian. Tak perlulah aku ambil pusing, dimana dan bagaimana ia mendapatkan pakaian-pakaian yang bagus begini.

Aku mendekat, berpura-pura tertarik pada pakaian yang dijajakannya.

“Oo, Tuan. Hemat saya, jubah ini sangat cocok dengan Tuan,” ia menyodorkan sehelai jubah padaku. Di bawah jubah itu terselip segulungan kertas. Dengan hati-hati kumasukkan gulungan tersebut ke dalam baju yang kukenakan. Kemudian aku menimang-nimang jubah itu.

“Berapa harga jubah ini, Tuan?” tanyaku.

“Murah saja, hanya 15 Gulden, Tuan,” sahutnya.

“Aku tak punya uang sebanyak itu, maaf,” kukembalikan jubah itu padanya.

“Sangat disayangkan, Tuan,” balasnya. Ketika menerima sodoran jubah dariku, ia berbisik, “Assalamualaikum, Komandan. Surat itu langsung dari Faqih Saleh.” Aku bergegas meninggalkan kerumunan, kembali ke gubukku. Jelas sudah, Pilar terakhir Paderi belum sepenuhnya hancur. Faqih Saleh masih hidup! Setelah 53


54


memastikan keadaan sekitar, kubuka surat faqih, memang bukan surat yang lazim dikenal sebagai surat, beginilah bunyinya:

Kukisahkah sebuah cerita yang tersebar di Barat

Bangau bertelur emas

Gadis yang dipertuani Bangau memang beruntung punya

Jahat, jahatlah mereka yang merebut paksa Bangau dari sang Gadis

Sungguh pun Bangau telah berada di tangan para pencuri

Air suci yang menjadi kunci pembentukan telur tiada pada mereka

Bangau tak bertelur emas lagi

Kosonglah pundi-pundi harapan mereka, rasakan!

Sebuah pesan telah beliau sampaikan. Tentu saja kami, para Janissary Tambusai, dengan mudah menangkap isinya. Janissary Tambusai adalah pasukan khusus yang mendapatkan komando langsung dari Faqih Saleh. Hanya orang-orang terpilih yang dapat bergabung dalam pasukan ini. Keahlian menggunakan bedil, menunggangi kuda, berpedang, memanah, bersyair, dan mengumpulkan informasi adalah enam syarat mutlak yang harus dimiliki setiap Janissary Tambusai. Sejatinya pasukan ini terilhami dari pasukan elit Kekaisaran Usmani yang dipelajari Faqih Saleh sepulang dari ibadah Haji di Tanah Suci Mekah belasan tahun silam. Aku adalah komandan ketiga dari Janissary Tambusai. Terdapat 5 kelompok dalam pasukan khusus ini. Setiap kelompok terdiri atas 6 orang. Berdasarkan hasil musyawarah kami lima bulan yang lalu, kelompok pertama dan kedua akan mendampingi Faqih saleh di Benteng Dalu-dalu, sedangkan pasukan ketiga sampai kelima berpencar mengumpulkan informasi dan mempersiapkan jalur pengunduran diri jika sewaktu-waktu Benteng Dalu-dalu jatuh. Faqih Saleh menugasi kelompokku mengumpulkan informasi di Luhak Pematangduri. Pasukan Darmini dan Anhar ditugaskan ke Luhak Lipatkain dan Rokan Hilir. Berdasarkan surat faqih, maka wilayah Anhar adalah wilayah yang paling strategis bagi sisa-sisa pasukan Paderi Tambusai untuk menghimpun diri. Agaknya Faqih hendak membawa kami hijrah ke Negeri Sembilan, Malaya. Andalas memang sudah dikuasai Belanda sepenuhnya. Di Malayalah kami akan menata ulang kekuatan. Kemudian kembali mengguncang para penjajah itu, membuat mereka enyah dari negeri ini. Kuhubungi wakilku. Kutugaskan ia mengabarkan keempat anggota lainnya untuk berkumpul di hutan tepi luhak dalam kondisi perlengkapan penuh. Malam ini juga kami berangkat menuju tempat yang ditunjukkan pada surat faqih. *** “Bergeloralah jiwa laksana api, tunjukkan padaku wahai Laskar Paderi!� kusapa keempat bawahanku dengan salam pembuka khas kami. 55


“Hu Allahu! Wa Muhammad Rasulullah!” pekik mereka menjawab salamku. Berguncang hebat tanah lapang tempat kami berkumpul. Dalam kondisi ini, bahkan kami mampu menghabisi satu peleton pasukan Belanda. Ya, ini bukan bualan belaka. Kami, Janissary Tambusai, adalah yang terpilih dari yang terpilih di antara Laskar Paderi. “Kita akan berangkat menuju Kubang Gajah, Sungai Bangko. Pastikan kalian tetap berada dalam formasi. Insya Allah kita akan tiba di sana menjelang subuh!”

“Sami’na wa atha’na,” jawab mereka.

Seperti yang dititahkan oleh Faqih Saleh pada surat, tujuan kami adalah Kubang Gajah, Sungai Bangko. Rangkaian kata yang bisa kau temui dengan memenggal setiap suku kata pertama baris-baris pada syair. *****

Keterangan: (1) Jatuhnya Benteng Dalu-dalu pada tanggal 28 Desember, latar waktu pada cerita adalah pada 17 Januari (2) Nama lain pulau Sumatera (3) Faqih: gelar untuk ulama kaum Paderi. Peto Syarif adalah nama asli Tuanku Imam Bonjol, dan Muhammad Saleh adalah nama asli Tuanku Tambusai (4) Luhak: sebutan untuk negeri kecil yang berada dalam wilayah Minangkabau. Dulu, sebagian wilayah Riau merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat 56


Bayang Negri (Bella Seliene)

Gugur daun-daun mengingatkan pada tubuh yang berguguran di tanah ini Sebuah bayang negri yang bebas menjadi tekad yang seperti baja Keringat yang dicurahkan bagi kemerdekaan bangsa Darah yang dikorbankan dalam perjuangan tiada akhir Api perjuangan tiada padam di tanah ini Bayang bangsa yang tidak terjajah menjadi bara api perjuangan “Merdeka!� teriak mereka yang selalu berjuang Walau patah seluruh tulang ditubuh, tiada akan patah tekad juang di hati Tiada niat menyerah, sampai tubuh rebah, menjadi satu dengan tanah negri ini Masa kejayaan negri terbayang di benak para pahlawan Bayang negri merdeka para pahlawan bangsaku

57


Tanpa Perlu Menjadi Logika (Saghita Desiyana Maurischa)

Kepadanya, Angin berbisik, Dalam bahasa imajinasi Menembus nada tanpa intonasi Menyairkan yang tak disyairkan Melantunkan harmonisasi kesunyian Kepadanya, Ombak berdesir, Dalam dunia fatamorgana Menembus alam tanpa batas Menggetarkan jiwa yang tak bernyawa Membawa raga pada asa Mungkin saja, Hanya sesederhana itu Terima saja, Tanpa perlu menjadi logika

58


Menuju Musim Semi (Yahya Haytsam)

Di balik rimbun dedaunan, bayangmu tersembunyi. Setiap hari, kau bertanya, Kapan daun berguguran? Setiap hari, aku menjawab, Esok daun berguguran. Dan setiap hari, dedaunan diam. Dedaunan tak mengerti. Dedaunan tetap merimbun.

59


Lelah dalam Berjuang (Fadil Saeful Isnan)

Berlelah-lelahlah kamu dalam berjuang, karena manis akan kau rasakan kemudian. Seperti itu lah sebuah perjuangan. Sangat pahit. Kudapat kalimat itu dari guru. Pasca ujian dulu. Pun sama dengan peribahasa lawas Nusantara. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tidak sedikit yang justru menjadikannya plesetan. Hingga tereduksi maknanya. Tak sakral lagi penggunaanya. Berjuang memang untuk pencapaian. Sebuah hasil. Itulah tujuan utama. Tapi kita selalu ingat bahwa proseslah segalanya. Percuma nilai bagus tapi dari mencontek. Nasihat orang tua ini sangat populer. Hingga telinga bosan mendengarnya. Tapi sejatinya, tujuan proses begitu mulia. Agar hati kita lembut. Tak tergesa-gesa. Kuat dalam pikir. Tak apa lebih lama. Jikalau memang lebih baik seperti itu. Biarkan kau dibilang lambat. Karena proses tak perlu cepat-cepat. Renungkan sejenak. 60


Rap (Muhammad Afifurrahman l.)

Jika aku harap untuk harapan, Dan aku kurap untuk kurapan, Haruskah aku sarap untuk sarapan?

61


Tujuh Haiku Seminggu (Asra Wijaya)

1 Langit ungu Lengkung bulan sabit Sepasang mata 2 Pesawat terbang Menghantam awan beku Sakaratul rindu 3 Deru jalanan Membebat kalbu Mengalir bunga 4 Lidah kemarau Di ujung kalimat Malaikat maut 5 Jendela kaca Cermin-cermin batu Terjun air mata 6 Jumat sabtu Mekar kirishimaku Luput terlihat 7 Rembulan hanyut Sipit sepasang mata Berkerik jangkrik

62


63


Biasa-Biasa Saja (Hana Azalia)

Aku sudah bosan dengan tawaran pemandangan yang dijual di tempat wisata yang penuh dengan manusia pemburu foto ala-ala. Aku ingin pergi menikmati pemandangan yang lebih eksklusif namun kantong dan ragaku tidak kondusif. Jadi, lebih baik aku pergi ke tempat yang biasa-biasa saja. Tempat yang tidak ramai dan tidak sepi, yang orang-orangnya saling sibuk sendiri. Aku akan menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan mereka, menebak-nebak kemana mereka hendak pergi, bagimana rupa saudara-saudaranya, apa kesibukannya sekarang, apakah mereka sudah makan? Atau mungkin sedang ngidam ikan bakar? Sayang, di Bandung harga ikan sangat mahal. Aku masih teringat preman parkiran yang diberi sekantung recehan oleh entah siapa darimana, katanya “Nih, daripada ngalor-ngidul di jalanan, mending lo cari kerjaan.� Aku heran kenapa suaranya terdengar, padahal aku sedang di dalam mobil dan jarak mereka kurang lebih 3 meter di belakang. Aku menganggap pada waktu itu aku diberi keajaiban oleh Tuhan. Aku pernah hampir menyesal tidak melemparkan senyum kepada seorang guru entah dari sekolah mana ketika kita sedang sama-sama menunggu bus di halte. Wajahnya memang kusut dan tidak bersahabat, tapi setelah kulemparkan senyum, dia tersenyum balik dan senyumnya sungguh hangat. Aku masih terbayang suara pengamen bus kota yang bernyanyi sangat gembira sambil melemparkan guyonan. Beberapa penumpang sampai ada yang tidak tahan menahan tawa. Si kenek bus senyum-senyum sambil menggelengkan kepala. Aku pernah melihat seorang kakek sedang bermain piano di sebuah rumah sakit. Rambutnya klimis dibelah tengah, kemeja rapih dimasukkan ke celana. Bukan Rondo Alla Turca ataupun Sonata yang terdengar, melainkan lagu Balonku Ada Lima. Di sampingnya, berdiri seorang perawat menggendong bayi lucu yang belum bisa berbicara. Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum ke arah bayi itu. Aih, manis sekali. Lalu aku menarik lengan baju mamaku,

“Mah, aku masih tidak percaya agama kita melarang perbuatan seindah itu.�

64


Wedang Ajaib Ibu (Wakhida Rohmah Febriana Subardi)

Sudah sejak subuh tadi ibu berkutat di dapur. Membuat resep rahasia untuk racikan wedang yang nanti harus dijual. Angkringan di sudut kotalah sumber penghasilan kami. Tempat ibu menjual minuman-minuman yang istimewa menurutku. Tak lupa dengan bonus senyuman yang selalu mengembang di wajahnya. “Adakah yang bisa kukerjakan Ibu?” tanyaku entah sudah yang keberapa kalinya setiap pagi. “Sudahlah, kamu siap-siap sajalah ke sekolah. Bukankah kau ingin menjadi pengusaha?” jawab ibu yang sebenarnya bisa kutebak. Jawaban yang selalu sama. Segera kuberlalu, mungkin ibu memang benar. Ujian akhir dua minggu lagi. Lagipula aku bisa mengerjakan hal lain, menyapu misalnya. Meskipun begitu, aku tak pernah kesal dengannya. Ibu adalah satu-satunya yang kupunya dari sekian banyak orang di dunia ini. Duniaku hanya ada aku dan ibu. Siapa lagi? Sosok ayahpun tak pernah kukenal selama 16 tahun ini aku hidup. *** Matahari semakin semangat memancarkan sinarnya. Pukul dua siang memang sedang panas-panasnya. Satu kilo lagi aku akan sampai di rumah, meneguk segelas air putih sebegai pelepas dahaga. Pernah terbesit di benakku keinginan untuk naik bus pulang sekolah, mengingat kemarau panjang menyebabkan hawa panas disetiap siangnya. Namun kurasa 3 km bukanlah jarak yang jauh, bukankanh itu memang makananku setiap harinya? Sayang juga uangnya, mungkin dapat digunakan untuk membeli keperluan yang lain. Sesampainya di rumah, segera kuganti bajuku. Lalu makan siang dengan sisa lauk sarapan tadi. Tanpa membuang banyak waktu, aku segera bergegas mengambil buku pelajaran lalu pergi menyusul ibu ke angkringan. Membantu ibu melayani para pembeli yang masih tertarik dengan minuman tradisional berkhasiat yang menjadi pusat ekonomi keluarga kami. Tak lama kemudian, sampailah aku di rumah kedua kami. Terlihat ibu tengah sibuk melayani dua orang pembeli yang sepertinya sepasang suami isteri. “Sudah datang kamu Dim, tolong belikan ibu kayu manis di kios Mang Budi ya le? Sepertinya ini hanya cukup untuk membuat tiga gelas lagi” 65


“Baik Bu”

Kuhampiri ibu yang akan menyerahkan uangnya kepadaku. Segera kuberlalu menuju kios Mang Budi. “Ada yang janggal‟ begitu pikirku. Namun apa ya? Astaga! Aku baru sadar, ibu tak tersenyum menyambut kedatanganku. Terdapat gurat kecemasan dan kesedihan di wajahnya. Bukan keletihan yang selalu tersamarkan akan senyumnya yang indah. Aku akan menanyakan padanya nanti‟ ucapku dalam hati sekedar untuk meghilangkan hal negatif yang mulai berkeliaran di pikiranku. Matahari sudah dari tadi kembali ke peraduannya. Cahaya kerlap-kerlip lampu kota yang indah membangkitkan semangat kami dalam mengais rezeki. Aroma dari kepulan asap wedang uwuh ibu berkeliaran kemana-mana menuju para pejalan kaki untuk singgah. Aku dan ibu bekerja sampai malam, sebelum dini hari. Tak seperti angkringan lainnya yang buka hingga fajar tiba. Selepas mencuci gelas kotor para pelanggan, kuhampiri ibu yang tengah mengelap meja kayu yang tampak semakin tua. Tatapan ibu tampak kosong. Seulas senyum untukku dari siang tadi sampai sekarang ini belum pula ia berikan untukku. Apakah aku ada salah dan ibu diam padaku? Kurasa tidak. Lagipula tak biasanya ibu seperti ini. “Ada masalah Bu?” tanyaku langsung seraya duduk di kursi panjang dekat meja. Tampak ibu mengerutkan dahi, lalu tersenyum. Senyum apa itu? Terkesan dipaksakan.

“Memangnya ada apa to Le?”

“Katakan apa yang terjadi Bu” ibu menghampiriku dan duduk di sebelahku. “Apa kamu ada ide untuk usaha lain Le?” aku langsung tersentak kaget begitu mendengar pertanyaan ibu.

“Maksud ibu? Kita tidak lagi menjual minuman spesial ini?”

“Bukan begitu, ibu sangat ingin terus memperkenalkan minuman ini kepada masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang belum tahu”

“Lalu apa alasannya Bu?”

Ibu hanya diam. Aku masih menunggunya untuk bicara. Tak lama kemudian, ibu mulai membuka suara. Cerita demi cerita mengalir dari mulutnya. “Apa? Restoran Jepang? Apa mereka tidak mencintai produk dalam negeri sendiri? Saya masih bisa maklum Bu, bila yang hendak mereka bangun restoran Jawa, tapi ini?” aku hanya geleng-geleng tak habis pikir, apa yang sebenarnya 66


ada di otak mereka?. Bagaimana nasip kami setelah ini? Sedari awal memang ini yang kami takutkan, berjualan di atas tanah milik orang lain yang kapan saja dapat mereka minta kembali. “Sudahlah Le, lagian masih tiga hari lagi, kita pikirkan lagi besok. Ayo lekas pulang!” Sesampainya di rumah, kurebahkan tubuhku di kasur kapuk yang sebagian sudah bolong. Aku masih tak habis pikir. Kuputar kembali memoriku, mengingat kembali kegiatan yang kulakukan seharian ini. Ingatanku tertuju pada kebanyakan pelanggan yang singgah hari ini. Aku baru menyadari, selama ini justru turis asing yang meramaikan angkringan ibu. Bukan malah orang Indonesia yag datang. “Jangan-jangan lama-lama resep ibu akan diambil mereka‟ kalimat yang tiba-tiba menyentakku. Jangan sampai, wedang ini milik kami. Namun apa masih bisa dipertahankan kalau yang memilikipun tak merasa memiliki. Mereka yang memiliki lebih menyukai minuman modern, minuman bersoda ataupun minuman beralkohol yang justru merusak tubuh. Apa mereka tidak tahu kalau wedang uwuh jauh lebih bermanfaat dari minuman yang mereka bangga-banggakan. Jahenya yang mampu mencegah stroke, cengkehnya yang mampu mengatasi masuk angin dan berbagai tanaman apotek hidup yang memiliki sejuta khasiat. Lagipula ini merupakan asset budaya yang harusnya mampu mereka jaga dan lestarikan, bukan malah ditinggalkan. *** Tiga hari telah berlalu, tak ada yang spesial. Proyek restoran Jepang itupun sepertinya sudah mulai dibangun, entahlah aku tidak peduli. Yang jelas, aku dan ibu harus semakin berhemat, pekerjaan ibu tak tetap. Dan ibu masih saja melarangku membantunya. Namun, aku tetap kukuh, kuputuskan untuk pagi-pagi sekali berangkat sekolah dan terlambat ketika pulang sekolah untuk menjual surat kabar di tempat Mang Asep. Meskipun begitu, ibu masih sering membuatkanku wedang uwuh sekedar untuk menghangatkan tubuh sekaligus menjaga kesehatan. Hari ini sepertinya Dewi Fortuna tak berpihak kepadaku, koran-koran yang kujual tak laku banyak. Membuat Mang Asep kecewa karena aku tak bekerja seperti biasa. Perasaanku gundah, ingin segera pulang. Setelah mengatakan maaf dan pamit kepada Mang Asep aku segera beranjak. „Semoga semuanya baik-baik saja‟ doaku dalam hati. Sebuah mobil mewah berada di depan rumahku. Aku mengernyit, kemudian pandanganku mengarah pada seorang tamu yang tampak berbincang serius dengan ibu. Aku terseyum, rupanya Om James. Pelanggan pertama sekaligus pelanggan tetap wedang ibu. Mungkin Om James merindukan minuman itu. Kupercepat langkahku menuju rumah. Ketika hendak membuka pintu dan 67


mengucapkan salam, aku terdiam mematung. Tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. “Begini Bu, saya ingin membuka restoran di Australia, tempat tinggal saya. Dan saya ingin mengajak Ibu untuk bekerja sama. Bagaimana jika anda dan Dimas ikut saya dan anda bekerja untuk saya? Minuman Ibu sungguh luar biasa, dan saya yakin akan membawa banyak keuntungan bagi restoran saya nanti� ucap Om James dengan Bahasa Indonesia yang fasih dan logat Australia yang masih 68


kental. Ia mengatakannya dengan semangat. Aku miris, mengapa Om James jauh merasa lebih memiliki daripada kami? Mengapa harus Om James yang datang? “Maaf Pak, saya harus membicarakan bersama Dimas terlebih dahulu” sahut ibu pelan yang sedari tadi membungkam suara. “Baiklah, saya permisi dulu. Saya tahu anda membutuhkan uang, segera beritahu saya keputusannya bagaimana. Usaha ini sangat menjanjikan. Terimakasih wedang uwuh gratisnya, salam untuk Dimas” salam.

Sebelum Om James keluar, aku melangkah mesuk tak lupa memberi

“Eh...ada Om James, kangen wedang ibu ya?” tanyaku basa-basi. Kulirik ibu, masih saja terdiam. “Kamu tahu saja Dim. Saya ada perlu dengan ibumu. Kalau begitu om pamit dulu”

“Hati-hati Om!”

Setelah kepergian Om James, aku ikut terduduk diam di kursi. Aku sendiri bingung harus bagaimana. Tentu saja ini berat untuk ibu, aku sebagai kepala keluarga harusnya mampu memberi keputusan yang bijaksana.

“Bagaimana Le?” tanya ibu setelah lama kami diam.

“Dimas juga masih bingung Bu, apa iya ini jalan satu-satunya atau malah jalan terobosan yang sesat? Menurut Ibu baiknya bagaimana?” “Kalau ibu pribadi tidak tertarik Le. Meskipun hidup kita pas-pasan tapi mana mungkin ibu sudi menjual harta kebudayaan sendiri di negeri orang sedangkan di negeri sendiri harta tersebut hampir punah?”

“Maksud Ibu?”

“Ibu akan merasa menjadi penghianat besar Dim, meskipun hidup kita nanti lebih menjamin. Namun tetap saja. Cap penghianat melekat pada diri ibu” “Dimas sebenarnya juga berpikir seperti itu Bu. Bahkan beberapa hari yng lalu hal seperti ini sudah sempat terlintas di pikiran Dimas. Lalu mengapa Ibu tidak langsung menolak saja?” heranku. Ibu lalu menatapku, kemudian tersenyum. Sangat tulus. “Itu kalau ibu lihat dari sisi pemikiran ibu Dim. Kalau ibu melihat dari sisi kamu bagaimana? Bagaimana kelangsungan masa depanmu jika ibu tak punya pekerjaan? Jangan sampai mimpimu selamanya hanya akan menjadi mimpi” aku terharu mendengar ucapan ibu. Ibu terhebat di dunia. 69


“Tidak usah khawatir Bu, tanpa menerima tawaran Om James Dimas masih bisa meraih mimpi Dimas Bu. Dimas janji. Allah pasti akan memberi jalan, Bu” lagi-lagi ibu hanya tersenyum. “Sudah sana lekas ganti bajumu lalu makan” kata ibu tegas seperti perintah yang tak bisa dibantah. Aku hanya menurut. Sudahlah, aku tahu ibu mengerti apa yang baik untuk kami. *** Restoran dengan gaya artistik khas budaya Jawa yang cukup unik itu tampak ramai. Para pelayan yang mengenakan seragam yang didesain seperti pakaian tradisional Jogja itu tampak sibuk. Berjalan anggun membawa baki-baki yang di atasnya terdapat gelas berisi minuman berwarna merah cerah. Sepertinya minuman yang paling diminati para pelanggan, terlihat di meja para pelanggan yang hampir 80% terdapat gelas-gelas minuman merah itu, wedang uwuh. Mereka tampak menikmati, duduk lesehan di rumah-rumah bambu bercanda bersama keluarga dengan alunan gamelan menambah suasana jawa yang semakin kuat. Turis mancanegarapun ikut memadati restoran bertajuk “Kedai Jawi” itu, mereka datang berbondong-bondong ke Indonesia hanya untuk melihat seperti apa restoran yang katanya mampu memadukan budaya Indonesia dengan sangat menakjubkan. Dan sepertinya raut penyesalan tak sedikitpun tergambar di wajah mereka, terlihat senyum puas dan wajah kagum yang mempesona. Seorang lelaki muda yang tampan dan tampak gagah dengan perempuan paruh baya disebelahnya tampak tersenyum bahagia. Mengamati restorannya yang kini terkenal dimana-mana. Melihat sibuknya para pelayan yang bersatu dengan cengkerama para pelanggan bersama alunan gamelan yang menenangkan hati. Cukup lama mereka menikmati pemandangan tersebut, hingga seorang yang sepertinya kepala pelayan datang menghampiri mereka. “Maaf Pak Dimas, tadi ada telfon dari Pak Rio mengenai kerjasama cabang restoran di Palembang. Bapak diminta untuk menghubunginya” kata pelayan itu hormat dan sopan.

“Baiklah, terimakasih kamu boleh kembali”

“Bagaimana kalau Ibu Dimas antar pulang dulu? Dimas masih harus memeriksa banyak hal setelah ini” kata pria tampan tadi pada wanita paruh baya yang sejak tadi bersamanya. Perempuan tadi hanya tersenyum membalasnya. “Dimas...” kata wanita itu ketika Dimas berjalan di depannya. Tampak lelaki yang dipanggil Dimas menoleh. “Ibu sangat bangga terhadapmu.” 70


Lingkar Sastra ITB Gedung Mekanika Tanah, Institut Teknologi Banding, Jl. Ganeca no. 10, Bandung 71




Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.