INSPIRASI USAHA
13
EDISI 172 | 03 - 09 APRIL 2017
Berawal dari Warung Makan, Sukses Bikin Usaha Sambal Cap Ibu
Sambal Cap Ibu cukup populer. Sudah banyak orang kepincut dengan racikan sambal Narita, termasuk warga negara Amerika.
M
ENJADI pengusaha sukses tentu bukan hal mustahil. Siapa pun bisa meraih sukses di dunia bisnis asalkan mau menjalaninya dengan penuh kerja keras dan semangat untuk maju. Setidaknya itulah yang dilakukan Narita Susanty hingga sukses menjadi seorang produsen sambal dengan brand Sambal Cap Ibu. Berbekal kerja keras dan semangat pantang menyerah ia sukses membesarkan brand Sambal Cap Ibu hingga mendulang omzet ratusan juta rupiah per bulan. Sambal Cap Ibu cukup populer. Sudah banyak orang yang kepincut dengan racikan sambal Narita ini. Merintis usaha sejak tahun 1990, Narita berusaha mengembangkan bisnis sambal kemasan di tengah ketatnya persaingan. Ia mengawali usaha ini dari warung makan kecil-kecilan yang menjajakan menu makanan lengkap dengan sambal. “Nah ternyata banyak pelanggan saya yang suka dengan sambal buatan saya, dan dari situ saya berinisiatif membuat sambal dalam kemasan kecil,” ucap wanita asal Jakarta ini. Setelah terinspirasi membuat sambal dalam kemasan, ia pun menambahkan merek Sambal Cap Ibu pada kemasannya. Pemilihan nama merek ini sendiri untuk merepresentasikan hasil masakan ibu kepada anak dan keluarga. Di luar dugaannya, sambal racikannya ini teryata diminati banyak orang. Tingginya permintaan membuatnya semakin seriusnya menggeluti bisnis ini. Berawal dari mulut ke mulut, permintaan terus meningkat. Dengan modal minim dan peralatan yang serba terbatas, Narita mengaku sempat mengalami jatuh bangun usaha. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk mengembangkan usaha. Melakukan berbagai macam riset, bisnis Sambal Cap Ibu pun semakin berkembang. Terlebih sejak ia memutuskan untuk memasarkan produknya lewat online.
Dari situ permintaan berdatangan dari berbqgai daerah. Tidak hanya di dalam negeri, sambal buatannya juga sudah dipasarkan ke berbagai negara. Antara lain ke Australia, Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Hong Kong, Jerman, Inggris, Swiss dan Singapura. “Untuk penjualan di Indonesia kami menggunakan media online. Kami akan terus memaksimalkan penjualan,” sebut Narita. Harga jual sambal cap ibu berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 24.000 per botol. Sementara pesanan konsumen biasanya per karton. Harga satu karton sambal mencapai Rp 400.000 yang berisi 24 botol Sambal Cap Ibu. Dalam sebulan, Narita bisa menjual 700 hingga 1.000 karton Sambal Cap Ibu. Omzetnya sekitar Rp 280 juta per bulan. Menurut Narita, keunikan dan kelebihan sambal cap ibu ada pada standar bahan-bahan yang digunakan dalam produksi. Ia mengklaim, seluruh bahan yang sambalnya merupakan bahan segar yang didapat dari pasar tanpa bahan pengawet. “Seperti sambal rumahan yang menggunakan cabai asli tanpa dicampur apapun,” kata Narita. Kendati sudah sukses meraup omzet ratusan juta, Narita tidak lantas puas. Hingga saat ini, ia masih terus fokus mengembangkan produk sambalnya lewat berbagai inovasi. Memang tak pernah terbesit dalam benak Narita akan menemui sukses dalam bisnis sambal. Berawal dari keisengan membuka warung makan kecil-kecilan, Narita bisa menjelma jadi pengusaha sambal. Memulai usaha sejak tahun 1990, Narita hanya bermodal Rp 10 juta untuk membuka warung makan di sekitar rumahnya. Saat itu, pengunjung yang datang banyak dari pekerja kantoran, tetangga dan buruh. “Saya buka warung untuk mengisi waktu luang sambil membantu pendapatan keluarga,” kata Narita. Dia pun tak menyangka warung makannya laris. Berbeda dengan warung lainnya, banyak konsumen
Narita Susanty awalnya membuka warung makan. Kini dia menjadi pengusaha sukses.
datang lantaran menyukai sambal buatan Narita. Dari situlah, terbesit ide untuk membuat sambal kemasan sendiri. “Tidak pernah merencanakan untuk khusus jual sambal, tapi waktu itu iseng buat dalam kemasan kecil,” ujarnya. Ternyata dewi fortuna berpihak pada Narita. Selain ramai dikunjungi konsumen, sambal kemasan kecil yang dijajakan pun laris manis. Dia semakin gencar untuk memasarkan sambal Cap Ibu buatannya. Tak hanya pengunjung warungnya, sambalnya juga banyak dipesan. Kuncinya, Narita hanya menggunakan bahan-bahan segar, seperti cabai dan bawang, lalu garam
Ditinggal Mati Suami, Kini Sukses Usaha Abon Ikan
dan minyak. Namun, keberuntungan tidak selalu berpihak pada Narita. Lulusan Universitas Padjajaran ini juga pernah menelan kerugian. Pada tahun 1997, rumah produksi sambal kemasan kebanjiran. Narita pun terpaksa menghentikan produksi karena mesin dan seluruh bahan baku terendam air. “Kejadian yang tak pernah terlupakan saat banjir dan rugi sekali,” pungkasnya. Tak lantas putus asa, dia segera kembali memproduksi sambal Cap Ibu. Selain itu, untuk membayar kerugian, dia membuka jalur pemasaran baru, yakni lewat pasar tradisional hingga supermarket. “Berani untuk
jualan ritel dan promosi dari mulut ke mulut konsumen sekitar rumah,” imbuh Narita. Sayang, biarpun Narita mulai gencar promosi, saat itu, ia tak merekrut karyawan khusus untuk bagian pemasaran. Akibatnya, usaha sambalnya kurang berkembang. Narita mengaku, omzet yang diperoleh tidak cukup meningkat paska kejadian banjir tersebut. Pada tahun 2002, ia hampir putus asa dan sempat untuk memberhentikan produksi sambal Cap Ibu. “Waktu itu terpikir untuk berhenti saja, tetapi ada jalan keluar dari pelanggan yang ke gerai,” kata dia. Ternyata, sang pelanggan memba-
wa sambal Cap Ibu ke Amerika Serikat dan mencoba dijual di toko makanan di sana. Tak disangka, “Ternyata warga negara Amerika banyak yang suka,” seru Narita. Dengan respon dan permintaan konsumen, Narita bangkit lagi. Meski sebagai pengusaha kecil dan peralatan sederhana, ia optimitis bakal sukses. Hingga sekarang, dia masih mengemas sambal ini dengan kemasan sederhana dan bertutup putih. Namun, meski sederhana, Narita yakin sambal Cap Ibu mampu bersaing. “Menciptakan jenis sambal rumahan khas Indonesia dengan rasa yang pas itu cukup membuat usaha ini bertahan,” tuturnya.jan/kon
PLAFON BEKAS DISULAP JADI MINIATUR MEWAH
Eni pengusaha abon ikan.
BERAWAL dari kepepet setelah ditinggal mati suami tercinta, Nuraeni (49) berhasil keluar dari tekanan ekonomi demi membesarkan tiga anaknya yang masih kecil-kecil dari usaha pengolahan ikan. Ibu tiga anak, warga sekaligus ketua RT 3, RW 3, Kelurahan Pattingaloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar ini sempat jatuh bangun mengembangkan usaha pembuatan abon ikan dan beberapa jenis olahan ikan lainnya. Namun, kini bukan hanya mampu hidupi diri dan anak-anaknya, tapi juga orang lain seperti keluarga nelayan yang ada di sekitar kediamannya yang selama ini hidup pas-pasan dan tercekik tengkulak. “Karena kepepetlah, ada power, muncul kekuatan untuk bangkit. Siapa yang mau hidupi saya dan anak-anak kalau bukan saya sendiri. Di sisi lain, nasib istri-istri nelayan di sekitar saya tidak jauh beda. Sudah dililit utang, anak-anak ada yang putus sekolah, jadi korban kekerasan suami pula. Dari situ saya berpikir untuk mengajak
mereka bangkit bersama-sama,” tutur Nuraeni yang ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu. Dulu, kata alumni Fakultas Sospol Universitas Hasanuddin (Unhas) yang akrab disapa Ibu Eni ini, dia hidup enak karena ada suami beri uang tiap bulan yang kala itu bekerja di salah satu perusahaan BUMN. Berada di dalam pusaran zona nyaman membuatnya sama sekali tidak pernah berpikir untuk menggali potensi diri. Tapi setelah ditinggal mati suami, semua kondisi berbalik. Mau tidak mau harus berpikir bagaimana cara melanjutkan hidup. “Anak bungsu kala itu masih usia satu tahun. Yang sulung enam tahun. Suami meninggal dunia, bingung mau bagaimana. Meskipun kita sarjana tapi kalau baru mau cari kerja, usia sudah terlanjur lewat. Mau memulai, ada anak masih kecil-kecil,” Ibu Eni berkisah. Menurutnya, semua yang dialami di tahun-tahun sulit di 2007 lalu adalah sebuah pembelajaran yang luar biasa. Sebab
W W W. L E N S A I N D O N E S I A . C O M
tekanan kondisi, membuatnya harus berpikir cepat, berpikir kreatif. Dan mulailah saat itu muncul ide untuk mengembangkan usaha olahan ikan karena kebetulan kediamannya dekat dengan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Paotere. Ibu Eni kemudian menggalang istri-istri nelayan yang hidupnya juga jauh lebih nestapa. Awalnya mereka hanya berlima masing-masing urunan uang Rp 500 ribu, terkumpul Rp 1,5 juta dijadikan modal awal. Produk pertama yang diproduksi adalah abon ikan tuna. Kelompok ibu-ibu ini diberi nama Usaha Kelompok Fatima Az Zahra. Sengaja memilih usaha olahan ikan karena bahan bakunya mudah diperoleh dari lokasi tempat tinggal. Juga sengaja memilih produk abon ikan tuna karena bisa tahan lama untuk menghindari risiko kerugian yang besar. Abon ikan tuna bisa tahan hingga 6 bulan asalkan tingkat kekeringannya bagus dan tidak terpapar matahari langsung. Kini, produksi abon mencapai satu ton.idr/mer
Miniatur rumah, masjid dan beberapa benda lainnya terbuat dari plafon bekas.
MEMPUNYAI semangat tinggi dan keyakinan besar pasti akan memberi dampak positif bagi mereka yang mau berusaha. Hal itu dibuktikan M. Rasyidin Nurdin atau akrab disapa Bang Amat, berasal dari Desa Teungoh, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, Aceh. Sejak tahun 2015 lalu, pria paruh baya ini menggeluti pembuatan miniatur rumah, masjid dan beberapa benda lainnya terbuat dari plafon bekas yang dikutip di tempat kerjanya. “Membuat miniatur ini susah-susah gampang. Perlu ketekunan tinggi supaya menghasilkan benda tersebut,” kata Bang Amat. Selama ini, Bang Amat mengaku bekerja sebagai buruh pasang plafon di rumah-rumah warga dan membuat miniatur itu merupakan pekerjaan sampingannya untuk menambah kebutuhan dapur keluarganya. Bang Amat bercerita, awalnya dia
mencoba membuat miniatur rumah untuk sang buah hati. Setelah itu, temanteman anaknya melihat dan oleh orang tua mereka menyuruhnya untuk membuat seperti anaknya. “Alhamdulillah, sejak itulah bisnis kecil-kecilan ini saya lakoni jika tak ada kerjaan memasang plafon. Dan senangnya lagi, banyak masyarakat juga yang memesan. Kalau paling banyak yang memesan, ada 15 hingga 20 unit miniatur dalam sekali orderan. Namun, Amat juga mengaku kalau selagi banyak pesanan dirinya dapat meraup untung jutaan rupiah. “Kalau lagi banyak pesanan, enggak sanggup dibuat dengan cepat. Kalau ajak temanteman sih belum, maklum belum ada dana tambahan untuk menggaji mereka. Tapi kalau usaha ini terus berkembang tentunya harus ada yang bantu menyiapkan pesanan orang. Untuk saat ini hanya bersama anak saja saya siapkan,”
tutur Bang Amat. Bang Amat menjelaskan, dirinya tidak saja terampil membuat miniatur rumah tapi miniatur Masjid, Tempat Meletakkan Kitab Suci, serta celengan pun bisa dikerjakan. Katanya, itu semua tergantung si pemesan maunya model apa. “Harganya pun sangat terjangkau. Tergantung ukuran dan bentuk miniatur yang diinginkan. Harganya mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 1.000.000,” sebut Amat. Amat mengaku selama ini dia terkendala modal untuk mengembangkan usahanya itu. Kepada Pemerintah Aceh, Amat berharap agar selalu berdayakan para seniman yang ada. Hal ini untuk memajukan masyarakat dan pastinya bisa mengurangi angka kemiskinan di Aceh Utara khususnya dan Aceh umumnya.mkj/dt