Legal Review ALSA LC Unud Volume 01 No. 16

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

LEGAL REVIEW Volume 01 No. 16 “PELANGGARAN HUKUM HUMANITER ATAS TINDAKAN INVASI RUSIA TERHADAP UKRAINA”

Author: Annisa Rizky Julieta Jefri Nathasya Syahrani Bella Dewayanti Ratu Mona Estiara Ritonga

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN 1.

Latar Belakang Rusia dan Ukraina adalah dua negara merdeka yang muncul pasca runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Kedua negara pecahan ini mempunyai ikatan baik secara sosial, budaya serta ekonomi, tetapi tidak dengan kondisi politiknya, di mana kedua negara tersebut mempunyai sejarah konflik politik yang begitu panjang. Rusia dan Ukraina kerap kali ikut serta dalam konflik Revolusi Bolshevik yang terjalin pada 1917. Pada masa itu, Ukraina membentuk pemerintahan serta memproklamirkan dirinya sebagai republik dalam struktur Federasi Rusia setelah penggulingan kaisar Soviet pada Februari 1917. Dengan runtuhnya monarki Rusia pada tahun 1917 atas dasar ketegangan perang serta perselisihan politik, Ukraina mendirikan tubuh koordinasi mereka yang lekas tumbuh menjadi parlemen revolusioner. Pada tahun 1922, Ukraina menjadi salah satu republik konstituen asli dari Uni Republik Sosialis Soviet (USSR) serta memperoleh kembali kemerdekaannya melalui referendum setelah Uni Soviet runtuh tahun 1991. Referendum Ukraina pada bulan Desember 1991 mencirikan berakhirnya persatuan, serta Rusia, Ukraina dan Belarusia mengawali pembubaran resminya. Di tahun yang sama, Presiden Rusia, Boris Yeltsin membentuk Commonwealth of Independent States (CIS). Pembentukan CIS ini tidak berlangsung lama karena terjadinya perpecahan yang disebabkan oleh anggapan Ukraina yang menyatakan bahwa pembentukan CIS merupakan upaya Rusia dalam mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet. Hal inilah yang menjadi awal konflik berkepanjangan antara Rusia dengan Ukraina. Namun, pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan yang menjadi awal mula upaya penyelesaian ketidaksepakatan.1 Hubungan Rusia dan Ukraina kembali memanas sejak 2014 dimana kala itu muncul revolusi menentang supremasi Rusia yang berujung pada lengsernya mantan

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220302063202-4-319392/ini-kronologiperang-rusia-ukraina-apa-penyebab-putin-murka/1/2/3 1

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Pasca dilantiknya Presiden baru Ukraina, membuka keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Hal ini membuat Presiden Rusia, Vladimir Putin marah karena prospek berdirinya pangkalan NATO di sebelah perbatasan negaranya. Saat Viktor Yanukovych digulingkan, Rusia menggunakan kesempatan tersebut untuk mencaplok Krimea dan mendukung tindakan separatis di Ukraina timur. Pada tahun 2021, ditinjau dari citra satelit telah menunjukan Presiden Rusia mengerahkan pasukan militernya dan siap untuk menginvasi Ukraina. Hal ini diyakini kembali dengan perpindahan arus tentara Rusia sebanyak 130.000 tentara bersamaan dengan seperangkat alat perang.2

2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi intervensi Rusia terhadap Ukraina?

2. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran hukum humaniter yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina?

https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/31/100000979/sejarah-hubunganrusia-dan-ukraina?page=all 2

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

BAB II PEMBAHASAN

1.

Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Invasi Rusia terhadap

Ukraina Invasi adalah sebuah istilah politik yang berarti usaha penyerangan suatu bangsa dengan pergerakan militer atau angkatan bersenjata yang dimilikinya, dengan tujuan penguasaan daerah atau mengubah pemerintahan yang berkuasa sebelumnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), invasi merupakan hal atau perbuatan memasuki wilayah negara lain dengan mengerahkan angkatan bersenjata, dengan maksud menyerang atau menguasai negara tersebut.3 Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini bukanlah konflik yang baru, namun ketegangan antara kedua negara ini memang terjadi sejak lama. Pada Tahun 2013 silam, Viktor Fedorovych Yanukovych yang menjadi pemimpin Ukraina pada saat itu diminta oleh masyarakatnya untuk tidak bergabung dengan masyarakat ekonomi yang dipimpin oleh Rusia. Padahal pada saat itu, Ukraina sangat dekat dengan Rusia. Hal itu memicu Yanukovych untuk mengadakan referendum yang dimana menghasilkan 80 % suara masyarakat Ukraina yang lebih menginginkan Ukraina bergabung dengan masyarakat ekonomi Eropa. Karena Yanukovych lebih memihak kepada Rusia, maka ia membatalkan referendum yang diadakan dan hal ini memicu demo besar masyarakat Ukraina untuk melengserkan Yanukovych untuk mundur dari jabatannya. Pada Januari 2014, Yanukovych berhasil dilengserkan oleh masyarakat Ukraina dan para masyarakat sibuk untuk mencari pemimpin yang baru. Karena adanya kekosongan jabatan yang dialami Ukraina, hal ini menjadi kesempatan untuk mengadakan jajak pendapat di Semenanjung Krimea yang menghasilkan mayoritas penduduk Krimea lebih ingin untuk bergabung bergabung dengan Rusia. Tanpa adanya proses di PBB, Rusia sudah mengklaim bahwa Krimea bukan bagian dari

3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1989), hlm. 337.

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

Ukraina lagi. Hal ini memicu konflik besar antara Rusia dan Ukraina sehingga pada tahun 2015 kedua negara ini menyepakati perjanjian Minsk untuk berusaha menghentikan kekerasan yang selama ini terjadi. Dalam perjanjian tersebut, mencakup ketentuan untuk gencatan senjata, penarikan persenjataan berat, dan juga kontrol penuh pemerintah Ukraina di seluruh zona yang berkonflik.4 Tahun 2019, Volodymyr Zelensky terpilih menjadi presiden Ukraina, di dalam kampanye nya, Zelensky mengatakan bahwa ia akan mengakhiri semua ketegangan yang terjadi dan akan mendorong Ukraina kearah Eropa dibandingkan Rusia. Zelensky mengambil kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan keinginan Rusia. Selain untuk mendorong Ukraina untuk bergabung dengan masyarakat ekonomi Eropa, Zelensky juga mendaftarkan Ukraina sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk meningkatkan kekuatan militer Ukraina sehingga bisa mencegah agresi Rusia ke Ukraina dan bisa menarik diri dari pengaruh Rusia. Ukraina dan NATO sendiri sudah menjalin kerjasama sejak tahun 1992 dan pada 1997 dibentuk komisi Ukraina-NATO sebagai forum diskusi keamanan tanpa perjanjian keanggotaan formal.5 Saat ini, Zelensky mendaftarkan Ukraina untuk menjadi anggota resmi NATO sehingga Rusia merasa terancam bagi kedaulatannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya invasi Rusia terhadap Ukraina antara lain adalah faktor geopolitik, faktor demografis, dan faktor sosial-politik. Ukraina merupakan salah satu poros geopolitik di kawasan Eurasia, yang dipengaruhi oleh negara Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Uni Eropa dan NATO. Rusia juga sebagai pemasok 80 % lebih gas ke negara-negara Uni Eropa yang aliran gas tersebut harus melalui jalur pipa di Ukraina. Isu demografis berkaitan dengan fakta bahwa separuh lebih penduduk Crimea merupakan etnik Rusia, yaitu sebesar 58,3%. Sisanya merupakan etnik Ukraina sebesar 24,3%, Etnik Crimea Tartar 12,1%, dan etnis minoritas 5,3%. Data ini menunjukan bahwa banyaknya warga Ukraina keturunan Rusia di Crimea yang 4 Diva Lufiana Putri. 2022. “Sejarah Konflik Rusia Vs Ukrainia.” https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/25/060500265/sejarah-konflik-rusia-vsukraina?page=all#page2

Habib Alibi Ferdian https://kumparan.com/kumparansains/apa-itu-nato-dan-kenapaukraina-ingin-bergabung-1xZMKeR5jK 5

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

membutuhkan perlindungan politik dan keamanan dari potensi diskriminasi yang dilakukan oleh Rusia, sehingga memicu tindakan Intervensi Rusia di Ukraina.

Dari perspektif sosial-politik, intervensi dipicu oleh kemarahan Rusia atas tergulingnya Presiden Yanukovych yang merupakan sekutu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin.

Tiga faktor di atas memang sangat mempengaruhi terjadinya invasi Rusia, namun bukan berarti bahwa invasi yang dilakukan Rusia merupakan tindakan yang dapat dibenarkan dalam tatanan masyarakat internasional. Isu keabsahan atas invasi tersebut akan dianalisis di dalam sub bab selanjutnya.

2.

Bentuk-Bentuk Pelanggaran Hukum Humaniter yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina Hukum Humaniter Internasional adalah keseluruhan ketentuan hukum yang merupakan bagian dari hukum internasional publik yang mengatur tingkah laku manusia dalam pertikaian bersenjata yang didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan dengan tujuan melindungi manusia.6 Tujuan utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara nyata/aktif turut dalam perumusan, maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan.

Aturan-aturan dalam hukum humaniter harus dipatuhi tidak hanya oleh pemerintah-pemerintah

dan

angkatan

bersenjatanya,

kaum

pemberontak

(belligerent), tetapi juga kelompok-kelompok perlawanan bersenjata dan setiap pihak yang terlibat dalam suatu konflik. Disebut sebagai hukum humaniter guna menghindari trauma korban-korban yang terdampak dalam kekejaman perang.

Salah satu sumber hukum humaniter internasional yaitu Geneva Convention 1949 atau yang biasa dikenal Hukum Jenewa. Geneva Convention 1949 sendiri merupakan dasar hukum atau inti dari hukum humaniter internasional yang menetapkan standar hukum internasional

F. Sugeng Istanto. 1997. Penerapan Humaniter Internasional Pada Orang Sipil dan Perlindungannya Dalam Pertikaian Bersenjata. Makalah. Dalam Buku Hukum Humaniter Suatu Perspektif. Pusat Studi Hukum Humaniter FH-Trisakti. Jakarta. Halaman 41.

6

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

untuk mengatur perilaku dalam konflik bersenjata dan berusaha untuk mengurangi dampak dari konflik tersebut. Di dalam konvensi jenewa 1949 diatur mengenai bentuk-bentuk

pelanggaran

hukum

perang.

Kejahatan

perang

meliputi

pembunuhan yang disengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, penghancuran dan perampasan properti secara berlebihan yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer, penyanderaan, dan deportasi atau penahanan secara tidak sah.7 Invasi yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina dapat dikatakan melanggar hukum internasional yang telah diatur di dalam piagam PBB. Rusia melakukan beberapa penyerangan yang Ada beberapa aksi penyerangan fasilitas publik yang dilakukan Rusia. World Health Organization (WHO) mengkonfirmasi ada 49.

Serangan yang dilancarkan Rusia terhadap fasilitas kesehatan Ukraina sejak invasi dimulai. Pada tanggal 9 Maret 2022, Rusia dilaporkan menyerang sebuah rumah sakit bersalin dan anak-anak di kota Mariupol. Hal yang sama juga terjadi pada 3 Maret sebelumnya di kota Zhytomyr. Serangan udara menghancurkan fasilitas publik yaitu rumah sakit, sementara ibu yang baru melahirkan dievakuasi ke ruang bawah tanah. Jaksa agung Ukraina menyatakan bahwa di Ukraina ditemukan 410 jenazah di kota-kota di sekitar Kiev.8 Dari kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui bahwa banyak korban korban khususnya dari penduduk sipil di Ukraina yang tewas karena pertikaian bersenjata antara Pasukan Ukraina dengan Milisi Pro -Rusia dimana banyak peraturan gencatan senjata yang dilanggar khususnya dalam Konvensi Jenewa Tahun 1949 yang IV tentang Perlindungan Orang-Orang Sipil di waktu Perang. Pada kenyataan di lapangan masih banyak penduduk yang belum dievakuasi dan menjadi sasaran serangan dalam konflik bersenjata itu.

Dari kasus invasi yang dilakukan oleh Rusia dengan Ukraina, terlihat serangan-serangan yang dilancarkan oleh Rusia terhadap beberapa wilayah di Ukraina

juga

menyasar/mengenai

penduduk-penduduk

sipil

atau

bangunan-bangunan sipil. Hal ini sudah termasuk pelanggaran hukum perang internasional (hukum humaniter) atau secara internasional disebut International

7 Ambarwati ,et.al, Hukum Humaniter Internasional: dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013.

8 https://www.idntimes.com/news/world/zidan-patrio/deretan-pelanggaran-hukum-perang- yang-dilakukan-rusia-di-ukraina-c1c2

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict yang telah disepakati negara-negara di dunia, dimana seharusnya dalam situasi perang tersebut hanya diperbolehkan di instalasi-instalasi militer atau kantor-kantor pemerintahan.

Ditinjau dari sisi sejarahnya, hukum humaniter menjadi salah satu dasar yang digunakan sebagai dasar terbentuknya Konvensi Jenewa. Konvensi Jenewa sendiri merupakan konvensi yang mengatur mengenai prinsip–prinsip fundamental perang, mulai dari pelaksanaan, hingga sanksi yang dapat diterima. Konvensi ini terdiri dari empat konvensi, yang dimana tiap tiap konvensi memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Konvensi tersebut meliputi Konvensi Jenewa Pertama yang membahas fokus mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di darat, Konvensi Jenewa Kedua yang membahas mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan Bersenjata yang terluka, sakit, dan karam di laut, Konvensi Jenewa Ketiga membahas mengenai perlakuan tawanan perang, dan Konvensi Jenewa Keempat yang membahas mengenai perlindungan orang sipil pada masa perang. Dari ke-4 Konvensi ini, Konvensi Jenewa ke IV secara khusus membahas mengenai perlindungan orang sipil di waktu perang. Di dalam Konvensi Jenewa IV memberi pengertian mengenai orang-orang yang dilindungi berbeda dengan pengertian orang-orang yang dilindungi dalam arti ketiga Konvensi Jenewa lainnya. Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Perlindungan dalam arti ini diberikan kepada orang asing di wilayah pendudukan, orang yang tinggal di wilayah pendudukan, hingga interniran sipil.

Walaupun demikian, tidak semua pelanggaran yang terjadi dianggap pelanggaran berat. Tidak semua pelanggaran diperlakukan secara setara. Beberapa pelanggaran yang dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa adalah penyanderaan, pembunuhan secara sengaja, penghancuran properti secara ekstensif, deportasi, pemindahan, dan pengurangan yang melawan hukum.9

9 https://www.icrc.org/en/doc/assets/files/other/indo-irrc_857_henckaerts.pdf

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

Pada tanggal 23 Maret 2022, jumlah total korban sipil yang ikut terkena dampak dari Invasi Rusia mencapai total 977 orang tewas dan 1.594 orang terluka.

Hal ini membuat invasi Rusia terhadap Ukraina menjadi suatu kejahatan perang yang besar.10 Dalam hal ini, Konvensi Jenewa secara khusus memiliki ketentuan yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter terdapat dalam beberapa pasal, yaitu: Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III, dan Pasal 146 (1) Konvensi IV. Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang Undang nasional yang memberikan sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi. Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional dari tiap-tiap negara. Artinya, bila terjadi suatu kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan

peraturan perundangan

nasional dan dengan

menggunakan

mekanisme peradilan nasional dari negara yang bersangkutan. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi, maka pada tahapan berikutnya kasus yang bersangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional. Secara umum terdapat lima bentuk sanksi terhadap pelanggaran mengenai hukum perang, yaitu: Protes, Penyanderaan, Kompensasi, Reprisal, dan Penghukuman pelaku yang tertangkap. Secara khusus ada pula sejumlah bentuk akibat hukum terhadap pelanggaran hukum humaniter internasional yang dapat dikenakan kepada pihak yang berperang, yaitu Kompensasi, Sanksi Militer, dan Sanksi Non militer.

Berkenaan dengan tindakan Rusia atas Ukraina, bentuk sanksi yang telah dilakukan adalah reprisal yang dilakukan negara-negara internasional. Hal ini dapat dilihat dari sanksi ekonomi berupa larangan ekspor-impor yang diberlakukan banyak negara terhadap Rusia dikarenakan invasinya atas Ukraina.

Akibat hukum terhadap pelaku kejahatan perang dalam konflik bersenjata telah diuraikan dengan jelas dalam Hukum Humaniter Internasional.11 Tetapi pada

https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/03/25/080800182/kabar-data-sebulaninvasi-rusia-977-warga-sipil-ukraina-kehilangan?page=all 10

11 Henckaerts, Jean-Marie and Louise Doswald-Beck. 2005. Customary International Humanitarian Law. New York:

Cambridge University Press

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

faktanya, aturan hukum tersebut belum sepenuhnya berhasil diimplementasikan.

Keadaan ini kurang menimbulkan efek jera terhadap pelaku pelanggaran. Negara sebagai subjek hukum internasional yang paling utama harus bertindak dengan tegas dan cepat dalam hal memberikan hukuman kepada para pelaku yang menewaskan warga sipil saat terjadi konflik senjata. Setiap negara harus mampu menjunjung tinggi hukum tersebut dan mengimplementasikan secara konsisten sehingga kegunaan dari hukum tersebut dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat dunia, khususnya dalam konflik Invasi Rusia terhadap Ukraina.

Dalam hukum humaniter dikenal dua prinsip yaitu Jus Ad Bellum dan Jus In Bellum. Jus Ad Bellum merupakan hukum yang mengatur tentang bagaimana suatu negara dibenarkan dalam menggunakan kekerasan bersenjata. Sedangkan Jus In Bellum merupakan hukum yang berlaku dalam perang. Jus In Bellum ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu hukum yang mengatur cara berperang (Conduct of War) yang biasa disebut The Hague Laws dan hukum yang mengatur tentang perlindungan dari korban perang yang biasa disebut The Geneva Laws.12 Setidaknya terdapat 6 kriteria jus ad bellum yaitu dinyatakan oleh otoritas yang benar (right authority), ada alasan yang adil (just cause), merupakan upaya terakhir (situation of last resort), memiliki niat yang benar (right intention), cara yang digunakan bersifat proporsional (principle of proportionality) dan memiliki peluang keberhasilan yang masuk akal (reasonable prospect of success). Berikut analisa kriteria tersebut dalam kasus Rusia.

1. Otoritas yang benar. Kriteria tersebut menyatakan bahwa hanya otoritas yang sah yang memiliki hak untuk menyatakan perang. kriteria ini telah memicu banyak perdebatan, terutama mengenai siapa yang berwenang menyatakan bahwa perang merupakan hal yang legal atau legitimate. Baik dari negara yang menyatakan perang maupun dari dunia internasional. Hukum internasional, khususnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, melarang negara manapun menggunakan pasukan militer untuk melawan negara lain.

Pasal 2 ayat 4 menyatakan bahwa semua Negara Anggota harus menahan diri dari menggunakan ancaman atau kekuatan dalam urusan internasional yang melanggar integritas teritorial nasional atau kemerdekaan politik atau yang bertentangan dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal ini dikenal 12

C.P.H. Haryomataram, Hukum Humaniter, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 2-3

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

dengan asas non-intervensi atau larangan penggunaan kekerasan. Larangan umumnya dianggap sebagai bagian dari norma yang menyandang status norma yang harus ditaati (jus cogens).13 Dengan kata lain, dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB, masih ada ruang untuk terjadinya intervensi. Berdasarkan Bab 7, khususnya Pasal 39, Dewan Keamanan PBB memiliki wewenang untuk menyetujui penggunaan kekuatan berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Dewan

Keamanan PBB pertama-tama mempertimbangkan apakah

perdamaian

regional terancam. Dalam situasi Ukraina, opsi ini sebenarnya tidak realistis karena Rusia sendiri adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan memiliki hak veto dalam mengambil keputusan apapun. Untuk itu, Rusia menyatakan bahwa dasar hukum untuk "Operasi Pemeliharaan Perdamaian" telah diberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan PBB pada tanggal 24 Februari 2022 oleh anggota tetap Federasi Rusia. Bentuk pemberitahuan berdasarkan Pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dokumen S/2022/154 Diedarkan sebagai Dewan Keamanan). Dewan Keamanan kemudian memberikan suara 11 banding 1 untuk mengutuk tindakan Rusia, dengan China, India dan Uni Emirat Arab abstain. Veto Rusia membatalkan resolusi yang diusulkan.

Namun, ini masih menunjukkan bahwa Dewan Keamanan PBB belum mengizinkan Rusia untuk menggunakan kekuatan terhadap Ukraina.

2. Penyebabnya adil dan benar. Di bawah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

penggunaan kekuatan militer hanya dalam dua kondisi: jika disetujui oleh Dewan Keamanan PBB (Pasal 42) atau jika Negara bertindak untuk membela diri (Pasal 51).14 Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kondisi pertama gagal. Mengenai kriteria kedua, hak membela diri hanya terjadi setelah serangan bersenjata. kriteria ini tidak memadai untuk klaim Rusia, karena tidak ada bukti bahwa operasi militer NATO yang direncanakan telah dimulai pada saat pasukan Rusia melancarkan serangan.

Faktanya, ada pendekatan pertahanan diri yang lebih tradisional yang 13 Ibid 14 Piagam PBB

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

memungkinkan serangan bersenjata "segera", yaitu tindakan balasan dengan kekerasan dalam menghadapi pertahanan diri prediktif. Dalam hal ini, musuh harus benar-benar berdiri di gerbang perbatasan. "Perhatian dan Peringatan" harus ada. Oleh karena itu, serangan bersenjata harus diluncurkan atau segera terjadi, dan penggunaan kekuatan untuk membela diri harus menjadi satu-satunya cara untuk mencegah atau menolaknya. Akan tetapi, masih belum ada tanda-tanda bahwa NATO telah memutuskan untuk menyerang Rusia dalam jangka pendek dan tanpa penundaan. Rusia tidak mengalami serangan bersenjata dari Ukraina atau negara lain, sehingga alasan hak membela diri berdasarkan Pasal 51 bukan tidak berdasar. Hak bela diri kolektif juga gagal karena kedua wilayah (Donetsk dan Luhansk) pada umumnya tidak memenuhi kualifikasi negara sebagai subjek hukum internasional. Baik kehadiran NATO di Ukraina maupun pembenaran lain yang diberikan oleh Rusia tidak memenuhi kriteria permintaan maaf yang sah.

Selain itu, hak Rusia untuk membela diri terkait dengan Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Donetsk dan Luhansk. Rusia secara efektif melakukan intervensi dan melanggar kedaulatan Ukraina, sebagaimana diatur oleh Pasal 2 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena Donetsk dan Luhansk adalah bagian dari Ukraina, persetujuan seperti itu oleh negara lain merupakan campur tangan atau campur tangan terhadap urusan dalam negeri negara, yang secara langsung bertentangan

dengan prinsip-prinsip kedaulatan

yang sama di

semua negara. Penyelamatan warga sipil yang terjebak atau berisiko di negara lain, bahkan dalam batas-batas standar ini, sebenarnya dapat dianggap sebagai

pembelaan diri. Namun intervensi ini sangat terbatas untuk

mengevakuasi warga, bukan untuk menggulingkan pemerintah. Apa yang telah dilakukan Ukraina sejauh ini tidak dapat diartikan sebagai serangan bersenjata terhadap Rusia dan dapat membenarkan klaim pertahanan diri Rusia. Memang, ada pengecualian lain untuk penggunaan pasukan yang berkembang (ilegal tetapi legal) dan muncul dari

doktrin. Pengecualian

wajib dibuat tidak berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi pada pertimbangan moral dan praktik negara-negara berkembang. Praktik ini

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

dikenal sebagai intervensi kemanusiaan, dan konsepnya telah berkembang menjadi tanggung jawab untuk melindungi. Dalam keadaan ini, perlu untuk membuktikan bahwa

kejahatan yang sangat serius

seperti genosida,

kejahatan terhadap kemanusiaan, pembersihan etnis, dan rasisme sedang dilakukan atau sedang terjadi. Dalam hal ini, Rusia tidak pernah menggunakan istilah intervensi kemanusiaan, tetapi telah menggunakan hak untuk membela diri. Namun, agar efektif, intervensi tersebut tetap harus disetujui oleh Dewan Keamanan PBB.15 3. Niat yang benar. Dalam perang, tidak hanya penyebabnya yang perlu dibenarkan, tetapi ada dorongan kuat untuk berperang demi keadilan, bukan karena alasan atau kepentingan pribadi. Apalagi tujuannya harus untuk mencegah dan mencegah pelanggaran berat hak asasi manusia, bukan untuk menduduki wilayah, mempengaruhi atau menantang kemerdekaan politik negara lain Hmm. Rusia berpendapat bahwa niatnya adalah untuk mencegah genosida di Ukraina. Namun, argumen ini belum terbukti. Bahkan, Mahkamah

Internasional

(ICJ)

telah

memerintahkan

Rusia

untuk

menghentikan invasi ke Ukraina. Dalam hal ini, pengadilan mengatakan tidak ada bukti bahwa Rusia melakukan genosida di wilayah Ukraina.

Bahkan, Rusia berusaha menduduki wilayah tersebut dan mempengaruhi kemerdekaan politik Ukraina dengan secara sepihak memproklamirkan kemerdekaan Donetsk dan Luhansk.

4. Pilihan terakhir. Kriteria ini terkait erat dengan penyajian pembenaran bahwa semua solusi lain yang mungkin harus dicoba sebelum deklarasi perang.

Keputusan dengan cara damai (non-militer) harus dibuat terlebih dahulu.

Artinya, negara dapat menggunakan perang sebagai alternatif penyelesaian sengketa hanya jika ini merupakan alternatif terakhir yang dianggap layak.

Memang, ini adalah salah satu masalah utama yang dengan gigih dan sabar Rusia coba untuk mencapai kesepakatan dengan negara-negara NATO tentang prinsip-prinsip keamanan yang setara dan tak terpisahkan di Eropa selama tiga dekade terakhir. Bahkan, hingga Desember 2021, upaya masih dilakukan untuk memastikan keamanan Eropa dan bukan untuk memperluas

15 Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rona Rusman, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, (Jakarta: Rajawali Press, 2009)

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

NATO. Tetapi posisi Amerika Serikat dan sekutunya yang tidak berubah tidak dapat membenarkan perang. Berbagai upaya damai, baik non-yudisial maupun yudisial, harus tetap menjadi pilihan. umumnya sebelum

Di tingkat internasional,

perang atau intervensi, Dewan Keamanan PBB

mengadopsi berbagai resolusi di bawah Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menanggapi meningkatnya kekerasan di kawasan itu.

Ini menekankan perlunya memberlakukan embargo militer, mengakui bahwa situasinya merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional, memaksakan gencatan senjata, atau melakukan upaya untuk mencegah kejahatan terhadap kemanusiaan di kawasan. Dalam hal ini, resolusi tidak lolos sebelum invasi. Dan setelah agresi, ada resolusi meratapi agresi.

Keesokan harinya, seruan penarikan pasukan Rusia ditolak dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menyetujui sesi khusus darurat tentang masalah Ukraina melalui resolusi Dewan Keamanan PBB 2623. 16 5. Prospek yang layak dimana sebelum perang, negara harus yakin bahwa penggunaan kekuatan bersenjata akan menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kerugian. Negara harus percaya bahwa penggunaan tentara lebih baik daripada merugikan. Cakupan, durasi, dan intensitas intervensi yang direncanakan harus sesuai untuk perlindungan kemanusiaan. Prinsip keberhasilan yang masuk akal adalah hasilnya, karena biaya dan manfaat kampanye perlu dipertimbangkan. Dengan kata lain, intervensi untuk mencegah atau mengoreksi pelanggaran HAM harus memiliki potensi yang logis. Oleh karena itu, situasinya harus jauh lebih baik dan sangat mungkin untuk tidak memperburuknya.

6. Asas Proporsionalitas. Kriteria pamungkas untuk jus rum adobe ini adalah bahwa tujuan yang dikejar harus sebanding dengan cara yang ditempuh.

Prinsip ini tampaknya tumpang tindih dengan pedoman moral perang yaitu asas Ius in Bellum dari teori perang yang adil. Berkaitan dengan alasan yang adil, politik perang membutuhkan suatu tujuan, yang harus proporsional dengan asas-asas berkeadilan lainnya. 17

16 Apa yang Dicari Vladimir Putin Di Ukraina?”, Kompas, 13 Februari 2022 17 A. Nanda Saraswati, Penerapan Konsep Jus Ad Bellum dalam Penggunaan Kekuatan Bersenjata RUSIA di UKRAINA (2022)

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

BAB III PENUTUP

I. Kesimpulan Adanya konflik Rusia dan Ukraina ini bukanlah hal yang baru terjadi, namun memang sudah terjadi sejak lama. Hal ini diperkuat oleh pemimpin baru Ukraina, Volodymyr Zelensky yang mendaftarkan Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Dengan ini, Rusia merasa terancam kedaulatannya karena posisi negara Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia sehingga jika Ukraina bergabung dengan NATO maka tidak ada pembatas lagi di antara Rusia dan NATO. Karena inilah, Rusia melancarkan invasi terhadap Ukraina yang merobohkan beberapa fasilitas umum seperti rumah sakit, melukai dan menghilangkan nyawa penduduk sipil yang dimana dalam hal ini termasuk pelanggaran berat dalam Hukum Humaniter Internasional. Konvensi Jenewa

secara

khusus

memiliki

ketentuan yang mengatur

tentang

penghukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter terdapat dalam beberapa pasal, yaitu: 1. Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III, dan Pasal 146 (1) Konvensi IV.

II. Saran Permasalahan antara Rusia dan Ukraina menjadi permasalahan internasional yang memerlukan sebuah penyelesaian. Berbagai faktor dan aspek membuat permasalahan ini menjadi alot untuk diselesaikan. Jika ditinjau dari aspek humanis, tentunya kekerasan bukanlah jawaban. Maka dari itu salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan mediasi antara kedua belah pihak. Mediasi dapat diberikan sebagai penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian yang diterima oleh kedua belah pihak. Dalam pemilihan mediator, sekiranya ada beberapa

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

syarat pokok yang harus dipenuhi, yaitu bebas dari intervensi kedua negara yang mengalami konflik (netral), memiliki kedekatan secara historical maupun hubungan kerja sama dalam beberapa bidang, serta mampu menjadi mediator yang baik dan menjadi penengah yang memiliki kedekatan emosional kedua belah pihak. Diantaranya adalah Israel, Turki, Indonesia, dan lainnya. Pada saat mediasi berlangsung, fokus utama mediasi sekiranya harus berhasil dalam pemenuhan tuntutan berikut: 1. Turunkan tegangan dan gencatan senjata segera. Caranya adalah dengan menarik pasukan Rusia dari Ukraina.

2.

Memberikan

kesempatan

pada

Presiden

Putin

untuk

menggambarkan setiap kesepakatan apapun sebagai kemenangan baginya.

3. Kesepakatan apa pun yang dihasilkan harus kredibel, berguna, dan dijamin bersama oleh kedua negara.

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ambarawati. Hukum Humaniter Internasional : dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013.

Henckaerts,

Jean-Marie

dan

Louise Doswald.

Customary

International Humanitarian Law. New York: Cambridge University Press, 2005.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka,1989.

Makalah/Jurnal

F. Sugeng Istanto. “Penerapan Humaniter Internasional Pada Orang Sipil Dan Perlindungannya Dalam Pertikaian Bersenjata.” 1997. Makalah.

Universitas Trisakti, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Konvensi Jenewa 1949

Internet Diva Lufiana Putri. 2022. “Sejarah Konflik Rusia Vs Ukraina”. URL: https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/25/060500265/sejarahkonflik-rusia-vs-ukraina?page=all#page2 diakses pada 13 Juni 2022

Habib

Alibi

Ferdian.

https://kumparan.com/kumparansains/apa-itu-nato-dan-

2022.

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

kenapa-ukraina-ingin-bergabung-1xZMKeR5jK diakses pada 14 Juni 2022.

Zidan

Patrio.

2022. https://www.idntimes.com/news/world/zidan-patrio/deretanpelanggaran-hukum-perang-yang-dilakukan-rusia-di-ukraina-c1c2 diakses pada 14 Juni 2022.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220302063202-4-319392/ini-kronolo gi- perang-rusia-ukraina-apa-penyebab-putin-murka/1/2/3 diakses pada 14 Juni 2022 https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/31/100000979/sejarah-hubungan - rusia-dan-ukraina?page=all diakses pada 15 Juni 2022

https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/03/25/080800182/kabar-datasebulan-invasi-rusia-977-warga-sipil-ukraina-kehilangan?page=all diakses pada 15 Juni 2022