Legal Review ALSA LC Unud Volume 01 No. 8

Volume 01 No. 8

ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYEBARAN MISINFORMASI DI MEDIA SOSIAL BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA

ALSA

Law Development Division

LC UNUD LEGAL REVIEW

Author : Ni Putu Juli Antika Universitas Udayana

1

Analisis Penegakan Hukum Terhadap Penyebaran Misinformasi di Media Sosial Berdasarkan Perspektif Hukum Positif Indonesia Ni Putu Juli Antika Universitas Udayana I.

Latar Belakang Pandemi Covid-19 atau Coronavirus Disease 2019 masih menjadi permasalahan

khususnya di Negara Indonesia hingga saat ini. Penanganan terhadap virus Covid-19 ini masih terus dilaksanakan oleh pemerintah. Banyak hal yang telah dilakukan sebagai bentuk pencegahan terhadap penyebaran virus Covid-19 hingga akhirnya memasuki era new normal.

Kebijakan demi kebijakan terus dikeluarkan dari awal tahun 2020 hingga saat ini untuk memaksimalkan segala bentuk protokol

kesehatan

yang

disertai dengan pemulihan di era new normal ini. Ditengahtengah

sulitnya

terhadap

penanganan

penyebaran

virus

corona ini, pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia juga

harus

menghadapi

penyebaran misinformasi yang marak terjadi di sosial media khususnya dengan kemunculan berita-berita yang berhubungan dengan Covid-19 namun tidak didasarkan pada sumber yang jelas.

Tersebarnya berita yang berpotensi menyebabkan terjadinya misinformasi terutama dalam hal ini yang berkaitan dengan Covid-19 menyebabkan timbulnya situasi atau keadaan yang mengakibatkan masyarakat menjadi panik, cemas, dan juga bingung. 1 Berita-berita bohong atau palsu (hoax) ini tersebar dengan cepat melalui sosial media dan disebarkan oleh pelaku tidak bertanggung jawab yang memicu terjadinya misinformasi di kalangan masyarakat.

Berdasarkan

data

dari

Kementerian

Komunikasi

dan

Informatika

(Kemenkominfo) bahwa terdapat sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu atau informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selanjutnya, Kemenkominfo juga mengungkap bahwa terdapat 1.819 konten

1 Julianus Edwin Latupeirissa, dkk. (2021). Penyebaran Berita Bohong (HOAX) Pada Masa Pandemi Covid-19 dan Upaya Penanggulangannya di Provinsi Maluku. Jurnal Belo 6(2), h. 181

hoax terkait dengan Covid-19 yang telah ditemukan dalam kurun waktu 7 bulan sejak 23 Januari 2020 hingga 30 Juli 2021.

Adapun laporan dari Reuters Institute yang menunjukkan bahwa 89% responden memanfaatkan media dalam jaringan atau daring yang didominasi media sosial untuk mendapatkan informasi terkini. Berdasarkan hal tersebut, sosial media menjadi wadah atau ladang yang subur bagi penyebar berita-berita bohong yang tidak bertanggung jawab. Adapun hoax terkait Covid-19 paling banyak ditemukan di Facebook yakni sebanyak 3.523 konten, kemudian di Twitter sebanyak 554 konten, lalu di Youtube dan Instagram masing-masing sebanyak 49 dan 35 konten. Bila diperhatikan konten hoax ini lebih banyak dibuat dalam bentuk konten teks atau tulisan. Dari 4.163 konten hoax yang ditemukan, sebanyak 3.938 konten hoax tersebut masih dalam tahap penindaklanjutan atau take down dan sebanyak 767 masih dalam proses penegakkan hukum.

Salah satu perusahan asing yang lebih dikenal sebagai antivirus Kaspersky mengungkap bahwa dua dari sepuluh orang di Asia Tenggara membagikan berita di media sosial tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Banyak masyarakat yang langsung percaya dengan konten atau berita yang dibacanya lalu disebarkan ke orang yang dikenal maupun orang

terdekatnya

tanpa

memastikan

apakah

berita

tersebut

sudah

dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya atau belum. Data menunjukkan bahwa sebanyak 28% generasi Z (1997-2009) melakukan hal tersebut dan menjadi yang terbanyak dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Kapersky. Di urutan kedua sebanyak 21% yaitu generasi X (1965 s/d 1980). Kemudian di urutan ketiga sebanyak 19% generasi Baby Boomers (1946 s/d 1964).

Terakhir, hanya 16% generasi milenial (1981-1996) yang berbagi berita tanpa melakukan verifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa generasi milenial lebih selektif dalam memfilter berita bohong dibandingkan dengan generasi lainnya.

Tingginya tingkat penyebaran berita bohong dan kurang selektifnya masyarakat dalam memfilter suatu berita menjadi suatu perpaduan yang kompleks yang memicu tingginya tingkat misinformasi di masyarakat selama pandemi Covid-19 ini. Tentunya hal ini membawa pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat di kondisi pandemi Covid-19 sekarang ini.

Dengan adanya akses internet untuk memperoleh informasi dengan mudah dan cepat menimbulkan banyaknya informasi tidak akurat yang dijumpai. Masyarakat juga dengan mudah dapat mengarang berita dan menulisnya di sosial media dengan isi berita yang jauh lebih menarik dari media berita biasanya, pemberitaan palsu ini dibuat sedemikian rupa agar menarik minat baca masyarakat. Di dorong dengan rendahnya pengetahuan masyarakat dan

faktor kemalasan mencari tahu kebenaran suatu berita membuat penyebaran berita bohong meningkat sangat cepat.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan adanya penanganan dan penindakan yang tegas oleh pihak berwajib dalam menangani dan mengendalikan berita-berita bohong yang memicu misinformasi ini. Penindaklanjutan dan penegakan hukum terhadap konten berita bohong serta penyebar berita bohong perlu segera diproses dan diselesaikan.

II.

Rumusan Masalah 1. Bagaimana penegakan hukum terhadap penyebaran misinformasi di media sosial berdasarkan perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimana upaya pengendalian dan penanganan penyebaran misinformasi di masa pandemi Covid-19?

III.

Analisis 1. Penegakan Hukum Terhadap Penyebaran Misinformasi di Media Sosial Berdasarkan Perspektif Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang dalam ketentuannya mengatur mengenai penindakan dan pencegahan penyebaran berita bohong atau hoax, yaitu antara lain: 1. Pasal 28 Ayat (1) dan (2) j.o. Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 Ayat (1) menyatakan sebagai berikut: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

UU

ITE

dalam

pasal

tersebut

sebenarnya

mengatur

mengenai hoax (berita bohong) yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen dalam transaksi elektronik. Melalui pedoman implementasi pasalpasal UU ITE pun dijelaskan mengenai Pasal 28 Ayat (1) UU ITE ini sebagai berikut: a.

Delik pidana dalam pasal ini bukan merupakan pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita bohong (hoax) secara umum, melainkan perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti jual beli online;

b.

Berita atau informasi bohong dikirimkan atau diunggah melalui layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, lokapasar (market place), iklan, dan/atau layanan transaksi lainnya melalui sistem

c.

elektronik; Pasal ini merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya;

Sehingga dalam hal ini, Pasal 28 Ayat (1) UU ITE tersebut mempunyai arti yang sangat sempit yakni hanya pada perbuatan penyebaran berita bohohng (hoax) dan penyesatan yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen atau dapat disebut juga sebagai perbuatan pidana dalam bentuk materil. Akibat dari perbuatannya menitikberatkan pada kerugian konsumen, hal ini dapat menimbulkan suatu celah yaitu jika tidak terdapat kerugian konsumen, maka penggunaan pasal ini tidak dapat diterapkan untuk menjerat pelaku sekalipun berita yang disebarkan adalah berita bohong dan menyesatkan. Maka dari itu, perlu adanya upaya-upaya hukum untuk menutupi celah-celah tersebut di antaranya adalah upaya penemuan hukum oleh hakim dan upaya kriminalisasi dalam undang-undang cybercrime baru yang lebih bersifat umum dan komprehensif.2 Pasal 28 Ayat (2) menyatakan sebagai berikut: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”

Dalam Pasal 28 Ayat (2) ini memiliki pengaturan yang berbeda dengan Pasal 28 Ayat (2) yangmana pada Pasal 28 Ayat (2) UU ITE menekankan pada “ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan”, kebencian dan permusuhan yang dimaksud pada ketentuan pasal ini yaitu merujuk atau didasarkan pada SARA. Sehingga, apabila berita yang disebarluaskan mengandung informasi yang menyesatkan dan mampu mengakibatkan misinformasi namun tidak ditujukan untuk menimbulkan rasa benci dan 2 Moh. Anugrah Cahya Hermawan. (2021). Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyebaran Berita Hoax Covid-19 Melalui Media Sosial. Jurnal Ilmu Administrasi dan Manajemen 4(1), h. 25

permusuhan terhadap SARA, maka dalam konteks ini pelaku penyebar informasi yang menyesatkan sulit dijerat dengan Pasal 28 Ayat (2) ini.

Pasal 45 Ayat (2) menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) atau Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)” 2. Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 Ayat (1) menyatakan sebagai berikut: “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya sepuluh tahun.”

Pasal 14 Ayat (2) menyatakan sebagai berikut: “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”

Ketentuan Pasal 14 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 juga mempunyai unsur-unsur yang sama dengan yang ada pada ketentuan Pasal 14 Ayat (1), namun yang membedakannya adalah pada unsur “yang dapat menimbulkan keonaran dikalangan rakyat” dan unsur “sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong”. Dapat dijelaskan mengenai unsur “yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat”, pada unsur ini menggunakan kata “dapat”, menunjukkan delik dalam Pasal 14 ayat (2) tidak harus terbukti benar-benar dalam kenyataan telah terjadi keonaran dikalangan rakyat. Keonaran dikalangan rakyat merupakan suatu kemungkinan atau potensi yang dapat terjadi. Unsur “sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong”, dalam Pasal 14 ayat (2) merupakan suatu delik kealpaan atau kelalaian (culpa). Unsur kealpaan terlihat dari digunakannya kata-kata “patut dapat menyangka”. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh H.B. Vos untuk dapat dikatakan telah terjadi suatu kealpaan atau kelalaian (culpa) harus memenuhi dua syarat yaitu adanya pembuat dapat menduga (voorzienbaarheid) akan akibat; dan pembuat tidak berhati-hati (onvoorzichtigheid).3 Pasal 15 menyatakan sebagai berikut: “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.”

Lalu ketentuan dalam Pasal 15 ini mengandung muatan yang hampir serupa dengan Pasal 14 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946. Hal yang membedakan yaitu pada Pasal 15 menekankan pada pengaturan terhadap penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap.

Sedangkan dalam Pasal 14 Ayat (2) menekankan pada pengaturan terhadap penyiaran suatu berita yang dapat menerbitkan keonaran. Unsur yang membuat kedua pasal ini memiliki pengaturan yang hampir sama yaitu ditunjukkan dari adanya unsur bahwa berita yang disiarkan itu sepatutnya diduga atau disangka dapat menimbulkan keonaran.

Berdasarkan penjabaran seluruh ketentuan perundang-undangan yang memungkinkan dijadikan sebagai landasan untuk menjerat pelaku penyebar informasi atau berita bohong tersebut, diketahui bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut terkhususnya UU ITE masih memiliki banyak kekurangan. Terdapat banyak celah dari UU ITE yang memungkinkan pelaku penyebar informasi atau berita bohong ini lolos atau kabur dari tuntutan dan jeratan pidana. Dalam hal ini, sangat diperlukan adanya upaya-upaya hukum untuk menutupi celah-celah tersebut di antaranya adalah upaya penemuan hukum oleh hakim dan upaya kriminalisasi dalam undang-undang cybercrime baru yang lebih bersifat umum dan komprehensif.

3 Ibid, h. 26

2. Upaya Pengendalian dan Penanganan Penyebaran Misinformasi di Masa Pandemi Covid-19 Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam pengendalian dan penanganan penyebaran misinformasi di masa pandemi Covid-19 terdiri dari upaya preventif dan upaya represif, yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Upaya Preventif Upaya preventif merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya suatu kejahatan, penekanan dalam upaya ini adalah dengan menghilangkan adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan. Pencegahan preventif yang dapat dilakukan oleh Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebaran berita bohong yakni dengan cara membentuk Satuan Tugas Cyber Patrol (Satgas Cyber Patrol), yang bertugas mengawasi Teknologi Informasi atau Media Sosial. Dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi, Kepolisian telah bekerjasama dengan unit khusus di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yaitu Direktorat II Ekonomi dan Khusus Unit VIT dan penanggulangan cybercrime dibeberapa Kepolisian Daerah.

Adapun hal lainnya yang dapat ditempuh sebagai upaya preventif yaitu dengan menyelipkan kalimat atau konten anti hoax seperti kalimat berupa pernyataan

dilarang

menyebarkan

berita

yang

dapat

menimbulkan

disinformasi di setiap peraturan-peraturan baru yang mengatur mengenai Covid-19. Jadi memaksimalkan juga PP, Perda, atau Surat Edaran yang sebagaimana sebelumnya diperuntukkan tentang pengaturan pencegahan penyebaran rantai Covid-19 dan penanggulangannya. Sama seperti demikian diatur tentang dilarang menyebarkan berita yang menimbulkan disinformasi terutama di masa pandemi ini. Intinya adalah setiap aturan baru yang dibuat atau diatur tentang Covid-19 dapat diselipkan naskah dilarang menyebarkan berita hoax. Lalu diperkuat dengan pengawasan yang tidak hanya dilakukan oleh Polisi atau Pemerintah Pusat, namun di daerah-daerah seperti kepala desa sebagai lembaga terdekat dengan masyarakat juga harus melakukan sosialisasi dan pengawasan tentang berita hoax ini. Untuk daerah Bali sendiri, dapat memanfaatkan awig-awig yang ada di desa Adat, dapat dengan menyusun

awig-awig khususnya agar masyarakat semakin waspada terhadap beritaberita yang dapat menimbulkan disinformasi itu sendiri.

2. Upaya Represif Upaya represif adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana atau kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Ketika ditemukan adanya suatu berita bohong di media elektronik seperti media sosial, maka pemerintah dapat menyediakan wadah pengaduan yang dibuat oleh Kemenkominfo bekerja sama dengan Kepolisian dan unit penanggulangan cybercrime baik dalam bentuk website atau platform tertentu. Jadi, apabila nanti ada masyarakat yang melihat ada berita hoax di sosial media maka hal ini dapat diadukan atau dilaporkan ke website atau platform resmi yang telah dibuat tersebut. Lalu, nantinya platform ini juga disosialisasikan ke seluruh masyarakat Indonesia agar diketahui keberadaannya. Setelah berhasil melacak dan ditemukan adanya konten yang mengandung berita bohong maka pihak kepolisian tentunya dapat menindaklanjuti dan dapat dijerat dengan Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU ITE atau Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tersebut.

IV.

Kesimpulan Dalam hukum postif yang berlaku di Indonesia terdapat beberapa ketentuan peraturan

peraturan perundang-undangan yang dalam ketentuannya mengatur mengenai penindakan dan pencegahan penyebaran berita bohong atau hoax, yaitu seperti Pasal 28 Ayat (1) dan (2) j.o. Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan juga Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Namun, diketahui bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut terkhususnya UU ITE masih memiliki banyak kekurangan. Terdapat banyak celah dari UU ITE yang memungkinkan pelaku penyebar informasi atau berita bohong ini lolos atau kabur dari tuntutan dan jeratan pidana. Dalam hal ini, sangat diperlukan adanya upayaupaya hukum untuk menutupi celah-celah tersebut di antaranya adalah upaya penemuan hukum oleh hakim dan upaya kriminalisasi dalam undang-undang cybercrime baru yang lebih bersifat umum dan komprehensif.

Adapun upaya yang dapat dilakukan dalam hal pengendalian dan penanganan penyebaran misinformasi di masa pandemi Covid-19 terdiri dari upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif seperti membentuk Satuan Tugas Cyber Patrol dan menyelipkan kalimat atau konten anti hoax seperti kalimat berupa pernyataan dilarang menyebarkan berita yang dapat menimbulkan disinformasi di setiap peraturan-peraturan baru yang mengatur mengenai Covid-19. Sedangkan upaya represif yaitu menjerat pelaku dengan dengan Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU ITE atau Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946.

V.

Saran Adapun saran yang dapat saya berikan sebagai bentuk pengendalian penyebaran

misinformasi yang terjadi di sosial media yaitu: 1. Menyelipkan kalimat atau konten anti hoax seperti kalimat berupa pernyataan dilarang menyebarkan berita yang dapat menimbulkan disinformasi di setiap peraturan-peraturan baru yang mengatur mengenai Covid-19.

2. Membuat platform atau website pengaduan apabila ditemukan konten-konten yang mengandung informasi atau berita bohong.

VI.

Daftar Pustaka Hanik Chumairoh. (2020). Ancaman Berita Bohong di Tengah Pandemi Covid-19.

Jurnal Vox Populi 3(1) Julianus Edwin Latupeirissa, dkk. (2021). Penyebaran Berita Bohong (HOAX) Pada Masa Pandemi Covid-19 dan Upaya Penanggulangannya di Provinsi Maluku.

Jurnal Belo 6(2) Moh. Anugrah Cahya Hermawan. (2021). Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyebaran Berita Hoax Covid-19 Melalui Media Sosial. Jurnal Ilmu Administrasi dan Manajemen 4(1)