Legal Review ALSA LC UNUD Volume 01 No. 3

Volume 01 No. 3

PENYAMPAIAN PENDAPAT MELALUI MEDIA SOSIAL SEBAGAI WUJUD KEBEBASAN BERPENDAPAT MELANGGAR ATURAN PENCEMARAN NAMA BAIK? (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 1269/PID.B/2009/PN.TNG)

ALSA

Law Development Division

LC UNUD LEGAL REVIEW

Author : Shakira Khadijah Suparman Universitas Udayana

1

ǀ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

Text Shakira Khadijah Suparman Design Kadek Novita Dwi Irianti ǀ LAW DEVELOPMENT DIVISION

ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW PENYAMPAIAN PENDAPAT MELALUI MEDIA SOSIAL SEBAGAI WUJUD KEBEBASAN BERPENDAPAT MELANGGAR ATURAN PENCEMARAN NAMA BAIK? Shakira Khadijah Suparman Universitas Udayana

I. LATAR BELAKANG Kemajuan teknologi menjadi salah satu bukti perkembangan era globalisasi saat ini. Kemajuan teknologi ditandai dengan meningkatnya penggunaan media sosial dalam aspek kehidupan masyarakat. Kehadiran media sosial memberikan kemudahan dan akses bagi siapa saja untuk bersosialisasi, bertukar informasi, dan berpendapat. Namun, bersamaan dengan hal tersebut kehadiran media sosial juga memberi akses dan kemudahan bagi penggunanya untuk melakukan tindakan kejahatan. Ketidaksiapan sumber daya manusia dalam menyikapi teknologi dapat mengakibatkan ketidak teraturan tatanan dalam masyarakat 1. Keberadaan media sosial kerap disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk menyebarkan informasi

Samudra, Anton Hendrik. 2020. “PENCEMARAN NAMA BAIK DAN PENGHINAAN MELALUI MEDIA TEKNOLOGI INFORMASI KOMUNIKASI DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UU ITE”. Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50. No.1: 91-105. (hal 92) 1

ǀ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

tidak sah (hoax) serta ujaran kebencian yang dapat menjatuhkan harkat martabat dan nama baik suatu pihak. Tak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum khususnya di Indonesia.

Maka, pada Maret 2008 Pemerintah memberlakukan Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 yang didalamnya mengatur mengenai beberapa perbuatan pidana salah satunya adalah perbuatan pencemaran nama baik melalui media sosial (Pasal 27 Ayat 3)2. Pada Oktober 2016, DPR dan Pemerintah sepakat untuk merevisi UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 menjadi UU ITE Nomor 19 Tahun 2016. Adapun ketentuan tersebut dijelaskan dalam Pasal 310 dan 311 KUHP tentang Penghinaan.

Namun tak ayal, aturan mengenai pencemaran nama baik kemudian dikaitkan dengan kebebasan menyampaikan pendapat. Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE dikenal sebagai Pasal karet dan terkenal rawan multitafsir, UU ini dapat menjerat siapa saja yang mengkritik pihak tertentu dengan dalih orang tersebut dianggap melakukan pencemaran nama baik 3. Apabila seseorang Indriani, Fani. 2016. “TINJAUAN YURIDIS TINDAK PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL BERDASARKAN PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DIKAITKAN DENGAN KEBEBASAN BERPENDAPAT”. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 1. Pekanbaru: Riau University. (hal 2) 3 Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis di Media center Prabowo Sandi, Jakarta Selatan, Detik.com 20/3/2019 2

Ç€ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

dilaporan karena mengkritik suatu pihak melalui media sosial dan dikatakan sebagai pencemaran nama baik, maka hal ini berbanding terbalik dengan wujud Negara Demokrasi yang dianut di Indonesia. Kemerdekaan menyampaikan pendapat sudah berlangsung lama di Indonesia setelah lahirnya UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI. Sebagai pengingat, dalam Pasal 28E Ayat 3 dan 28F UUD 1945 serta Pasal 19 dan Pasal 20 Ayat 1 Deklarasi Universal HAM yang secara singkat Pasal-Pasal tersebut menegaskan bahwa siapa saja memiliki hak untuk menyampaikan dan mengutarakan pendapat mereka dimuka umum. Dan dalam hal ini, media sosial merupakan salah satu wadah yang luas dan terbuka yang dapat digunakan untuk menyampaikan pendapat, pikiran, dan argumen kita kepada khalayak umum.

II. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana penerapan ketentuan Pasal tindak pidana pencemaran nama baik dan kaitannya dengan kebebasan berpendapat, dalam kasus Prita Mulyasari?

III. ANALISIS Sejak ditetapkannya UU No 11 Tahun 2008, telah terjadi banyak kasus yang menyeret beberapa pihak dengan tuduhan pencemaran nama baik karena melakukan atau mengunggah kritikan terhadap pihak lainnya di media sosial. Salah satu diantaranya adalah kasus Prita Mulyasari. Pada tahun 2008, Prita Mulyasari atau Prita dilaporkan pihak RS Omni Internasional Tangerang dengan tuduhan pencemaran nama baik akibat surel yang dibuat dan dikirimkannya dengan judul “Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang�. Surel tersebut ia kirim ke para kerabatnya dan berisi curhatan mengenai ketidakprofessionalan pelayanan kesehatan yang diberikan RS Omni kepadanya sehingga merugikan dirinya. Prita divonis 6 bulan penjara namun dibebaskan secara murni (vrijspraak). Prita dinyatakan tidak bersalah setelah 21 hari mendekam di LP Wanita Tangerang. Mengacu pada pemberitaan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diungkap baik dari segi hukum dan dari segi keadilan.

ǀ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

Prita dijerat Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, Pasal 45 Ayat 1 UU ITE, Pasal 310 KUHP, dan Pasal 311 KUHP. Pasal 27 Ayat 3 tersebut berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” 4.

Adapun Pasal 45 Ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000, - (satu milyar rupiah)”5. Dalam ketentuan Pasal tersebut tidak ditegaskan secara jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan ataupun pencemaran nama baik. Untuk menentukan maksud penghinaan sendiri maka harus merujuk pada ketentuan Pasal 310 dan 311 KUHP. Padahal terdapat asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (dalam hal ini UU ITE) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (dalam hal ini KUHP).

Perlu diingat kembali bahwa surel yang dibuat oleh Prita bersifat pribadi, berisi curhatan tanpa unsur penghinaan, dan hanya dikirimkan kepada kerabatnya, tidak untuk disebarluaskan. Dengan demikian, Prita tidak memenuhi unsur kesengajaan dan unsur perbuatan pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 27 Ayat 3 “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”6. Dengan kata lain Prita tidak memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif Pasal tersebut.

Perlu diketahui pula, Prita juga tidak memenuhi unsur-unsur subjektif tindak pidana penghinaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 310 Ayat 1 dan 2 KUHP “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu

4

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bab VII Perbuatan Yang Dilarang. Pasal 27 Ayat 3.

5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bab XI Ketentuan Pidana. Pasal 45 Ayat 1.

6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bab VII Perbuatan Yang Dilarang. Pasal 27 Ayat 3.

ǀ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

diketahui umum….7” dan “jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum….8” Prita juga tidak memenuhi unsur objektif tindak pidana penghinaan sebagaimana bunyi Pasal 310 Ayat 1 KUHP “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal….”9. Dalam aliran monisme, semua unsur delik (unsur subjektif dan unsur objektif) harus terpenuhi jika akan memidana seorang pelaku 10. Apabila suatu atau lebih bagian tidak terpenuhi maka hakim wajib membebaskan terdakwa (vrijsprakk)11. Maka dalam hal ini, Prita tidak dapat dipidanakan. Selain itu, dalam Pasal 311 Ayat 1 KUHP dijelaskan bahwa “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar…” 12 maka Prita wajib dibebaskan apabila surel yang dibuatnya terbukti berisi fakta dan sesuai dengan kebenaran.

Ketentuan Pasal 310 KUHP menjerat pelakunya dengan hukuman penjara maksimum 9 bulan. Demikian pula, dengan ketentuan Pasal 311 KUHP juga menjerat pelakunya dengan hukuman penjara maksimum 4 tahun. Jika kedua ketentuan ini dikoneksikan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, maka merupakan sebuah pelanggaran apabila Kejaksaan Negeri Tangerang menahan Prita, oleh karena ketentuan Pasal 21 KUHAP, penahanan hanya bisa dilakukan jika ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Sehingga jelas, tindakan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Prita sangat tidak professional. (Leden Marpaung, 1995, hal 113)13.

Selain itu juga, surel yang menjadi alat bukti dikatakan tidak sah sebab surel tersebut dikirimkan oleh 3 alamat email berbeda, surel tersebut tidak dapat diuji 7

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Buku Kedua: Kejahatan. Bab XVI tentang Penghinaan.

Pasal 310 Ayat 1.

8 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Buku Kedua: Kejahatan. Bab XVI tentang Penghinaan.

Pasal 310 Ayat 2.

9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Buku Kedua: Kejahatan. Bab XVI tentang Penghinaan.

Pasal 310 Ayat 1.

10 Sofyan, Andi dan Nur Azisa. 2016. “Buku Ajar Hukum Pidana”. Makassar: Pustaka Pena Press. (hal103) 11 Samson, Alfaka Dwi Tola. 2014. “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK SECARA TERTULIS”. Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hassanuddin. (hal 16) 12 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Buku Kedua: Kejahatan. Bab XVI tentang Penghinaan.

Pasal 311 Ayat 1.

13 Fajrin, M. “PENYIMPANGAN HUKUM KASUS PRITA MULYASARI”. (hal 10)

ǀ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

keasliannya karena tidak memuat utuh bagian-bagian email yang berasal dari Prita14. Ketiga alamat email tersebut sama-sama bukan berasal dari Prita sehingga rentan dilakukan perubahan terhadap barang bukti tersebut. Berdasarkan Pasal 6 UU ITE “….informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin

keutuhannya,

dan

dapat

dipertanggungjawabkan

sehingga

menerangkan suatu keadaan”15. Dalam Pasal tersebut, suatu dokumen elektronik diharuskan terjamin keasliannya tanpa adanya perubahan atau pengeditan. Maka dari itu, keabsahan dari surel yang beredar perlu dipertanyaakan sebab pada kenyataannya surel merupakan dokumen pribadi yang tidak dapat diakses oleh siapapun kecuali pemiliknya dan penerima yang dituju.

Jika melihat dari segi keadilan dan kemanusiaan, apa yang dialami Prita dianggap sebagai perampasan hak asasi manusia. Apa yang dialami Prita berbanding dengan apa yang terkandung dalam Deklarasi Universal HAM serta UUD 1945. Dalam kasus ini, Prita hanya menggunakan haknya untuk mengekspresikan pendapatnya dan keluhannya kepada para kerabatnya. Jika apa Munib, Abdul. 2017. “Cyber Crime Prespektif Teori Keadilan Barat Dan Islam; Study Kasus Prita Mulyasari”. VOICE JUSTISIA: Jurnal Hukum dan Keadilan, 1(2), 1-16. (hal 5) 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bab II Asas dan Tujuan. Pasal 6 14

ǀ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

yang dilakukan Prita adalah hal yang salah, maka jelas hal ini merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Kebebasan berpendapat sudah diatur dalam Deklarasi Universal HAM dan UUD 1945. Dalam Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”16 serta Pasal 28F yang berbunyi “setiap orang berhak

untuk

berkomunikasi

dan

memperoleh

informasi

untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”17.

Adapun dalam Pasal 19 Deklarasi Universal HAM ditegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas”18. Serta Pasal 20 Ayat 1 Deklarasi Universal HAM yang berisi “setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat”19. Sekiranya perlu diingat, “lex superior derogate legi inferiori” atau hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah.

Adapun karena Prita merupakan salah satu pasien RS Omni, terdapat ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang sekiranya perlu dibahas. Dalam surel yang dibuatnya, Prita menjelaskan bahwa dirinya berangkat ke RS Omni karena merasa pusing dan panas tinggi. Prita kemudian diperiksa dan wajib rawat inap sebab suhu badan yang tinggi dan trombosit yang rendah. Prita dinyatakan positif demam berdarah dan malam itu ia disuntik obat yang tidak ia ketahui dan diinfus pada tangan kirinya. Hasil pemeriksaan Prita mengalami revisi dimana hasil awal trombositnya berada pada

16

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Bab XA Hak Asasi Manusia.

Pasal 28E Ayat 3.

17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Bab XA Hak Asasi Manusia.

Pasal 28F. 18 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal 19.

19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal 20 Ayat 1.

ǀ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

27.000 namun berubah menjadi 181.000. Tidak sampai disana, Prita juga mengalami pembengkakan pada tangan kirinya, leher kirinya, serta mata kirinya, bahkan kondisinya semakin memburuk. Suhu badan Prita naik dan Prita sempat terserang sesak nafas saat diberikan suntikan 2 ampul. Pada akhirnya Prita ingin dipindahkan ke RS berbeda namun membutuhkan hasil pemeriksaan yang lengkap. Namun Prita hanya menerima satu lembar hasil pemeriksaan tertanggal 12 Agustus 2008 padahal Prita mulai masuk RS Omni per tanggal 7 Agustus 2008. Prita pernah diberitahu secara lisan mengenai hasil pemeriksaan dirinya oleh dokter jaga emergensi, yang kemudian kabarnya tidak dimasukkan ke rekam medis (karena perlu diulang) 20.

Dalam surelnya Prita bahkan meminta hasil pemeriksaan yang perlu diulang tersebut berkali-kali namun tidak pernah mendapatkan hasil yang diinginkan.

Mengacu pada UU Praktik Kedokteran, Prita dalam hal ini sebagai pasien mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang dilakukan terhadapanya sesuai Pasal 45 Ayat 3. Hal ini juga ditegaskan dengan Pasal 52 dimana Prita berhak mendapatkan rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Ayat 3. Selain itu, hak-hak Prita sebagai konsumen juga dilindungi hukum dengan mengutip Pasal 4 Angka 3 UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Hak konsumen antara lain adalah hak Rachman, Rahmia. 2010. “HAK PASIEN ATAS INFORMASI: PENERAPANNYA DALAM KASUS PRITA MULYASARI”. Doctoral dissertation. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga. (hal 18).

20

Ç€ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa�21. Seperti keterangan Prita, pihak RS Omni tidak memberikannya respon positif dan kejelasan akan hasil pemeriksaannya, maka jelas bahwa pihak RS Omni dianggap melanggar aturan yang ada.

IV. KESIMPULAN Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Dalam kasus ini, Prita dianggap tidak bersalah sebab Prita tidak memenuhi seluruh unsur-unsur delik tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE serta Pasal 310 KUHP yang menjeratnya. Serta apabila surel yang dibuatnya terbukti berisi fakta dan sesuai dengan kebenaran, maka Prita wajib dibebaskan berdasarkan Pasal 311 KUHP. 2. Apabila ketentuan pada Pasal 310 dan 311 KUHP dikoneksikan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, maka merupakan sebuah pelanggaran apabila Kejaksaan Negeri Tangerang menahan Prita.

3. Surel yang dijadikan sebagai alat bukti dianggap tidak sah apabila mengacu pada Pasal 6 UU ITE dimana secara singkat mengatakan bahwa suatu dokumen elektronik diharuskan terjamin keasliannya tanpa adanya perubahan atau pengeditan.

4. Dari segi keadilan, kasus Prita dianggap sebagai perampasan hak asas manusia dalam hal menyampaikan pendapat. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 28E Ayat 3 dan Pasal 28F UUD 1945 serta Pasal 19 dan Pasal 20 Ayat 1 Deklarasi Universal HAM. 5. Adapun hak Prita dijamin dalam Pasal 4 Angka 3 UU Perlindungan Konsumen serta Pasal 43 Ayat 3 dan Pasal 52 UU Praktik Kedokteran dimana Prita berhak diberikan penjelasan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya, berhak mendapatkan rekaman medis dari hasil pemeriksaannya, serta berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisinya.

21

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Bagian Pertama: Hak dan Kewajiban Konsumen. Pasal 4 Angka 3.

Ç€ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

V. SARAN Saran yang dapat saya berikan adalah; 1. Perubahan UU ITE tidak substansial, maka perlu diadakan revisi kembali khususnya Pasal 45 Ayat 1 jo Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik agar memberikan kepastian hukum dan tidak terjadi multitafsir dalam memecahkan kasus dikemudian hari.

2. Perlu ditegaskan mengenai apa yang dimaksud sebagai pencemaran nama baik dan penghinaan dalam Pasal 45 Ayat 1 jo Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang merupakan hukum yang bersifat khusus (lex spesialis). Jangan mengacu pada Pasal 310 dan 311 yang terdapat dalam KUHP yang merupakan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Perlu diingatkan kembali bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex spesialis derogate legi generali)22.

3. Perlu dipertegas kalimat/kata seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik melihat dalam KUHP serta UU ITE tidak pernah didefinisikan secara rinci.

VI. DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Batang Tubuh.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informatika dan Teknologi Elektronik.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

5. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

7. Indriani, Fani. 2016. “TINJAUAN YURIDIS TINDAK PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL BERDASARKAN PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DIKAITKAN DENGAN

22

Asas Hukum

ǀ ALSA LC UNUD LEGAL REVIEW

KEBEBASAN BERPENDAPAT”. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 1 (hal). Pekanbaru: Riau University.

8. Putri, Stella Kirana Nindya. 2011. “ANALISIS YURIDIS KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANGERANG DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA PENCEMARAN NAMA BAIK RUMAH SAKIT OMNI INTERNASIONAL DENGAN TERDAKWA PRITA MULYASARI DAN UPAYA

HUKUMNYA

(STUDI

KASUS

DALAM

PUTUSAN

NO.1269/PID.B/2009/PN.TNG, TANGGAL 28 DESEMBER 2009)”.

Doctoral dissertation. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

9. Rachman, Wahyu Efrandy Kurnia, et al. 2020. “TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN-PERUNDANGAN”. RechtIdee, Vol. 15, No.1. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

10. Rachman,

Rahmia.

2010.

“HAK

PASIEN

ATAS

INFORMASI:

PENERAPANNYA DALAM KASUS PRITA MULYASARI”. Doctoral dissertation. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

11. Fajrin, M. “PENYIMPANGAN HUKUM KASUS PRITA MULYASARI”.

12. Samudra, Anton Hendrik. 2020. “PENCEMARAN NAMA BAIK DAN PENGHINAAN

MELALUI

MEDIA

TEKNOLOGI

INFORMASI

KOMUNIKASI DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UU ITE”. Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50. No.1: 91-105.

13. Munib, Abdul. 2017. “Cyber Crime Prespektif Teori Keadilan Barat Dan Islam; Study Kasus Prita Mulyasari”. VOICE JUSTISIA: Jurnal Hukum dan Keadilan, 1(2), 1-16.

14. Sofyan, Andi dan Nur Azisa. 2016. “Buku Ajar Hukum Pidana”.

Makassar: Pustaka Pena Press.

15. Samson, Alfaka Dwi Tola. 2014. “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK SECARA TERTULIS”.

Makassar: Fakultas Hukum Universitas Hassanuddin.