Legal Opinion ALSA LC Unud Volume 02 No. 8

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

LEGAL OPINION Volume 02 No. 8 “PAYUNG HUKUM TERHADAP KORBAN PELECEHAN SEKSUAL DI TRANSPORTASI UMUM (STUDI KASUS: PELECEHAN SEKSUAL DI KERETA API INDONESIA)”

Author: Dian Kurniati Silalahi Zennifer Clarissa Alana Naima Salsabila Fathia Rizki

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

I. FAKTA HUKUM 1. Pada hari Minggu, 19 Juni 2022 telah terjadi sebuah kasus pelecehan seksual yang lokasinya terdapat di sebuah transportasi hukum yakni Kereta Api (KA). Kejadian tersebut bermula saat seorang perempuan penumpang Kereta Api (KA) dengan rute Argo Lawu Solo, Balapan-Gambir mengunggah sebuah video, dimana dirinya mengalami tindakan pelecehan tersebut.

2. Perbuatan asusila tersebut dilakukan oleh pelaku dengan cara menyentuh paha korban, dan beberapa kali memegang alat kelaminnya sendiri. Korban yang merasa tidak nyaman berupa ketakutan dan kesulitan bergerak serta sangat tidak nyaman, menghubungi dan meminta kondektur kereta untuk pindah tempat duduk.

3. Kondektur yang bertugas memberi izin untuk korban berpindah tempat duduk.

Setelah video itu viral di media sosial twitter dan mendapatkan banyak tanggapan dari masyarakat umum. Pihak PT. KAI (PT Kereta Api Indonesia) pun melaksanakan tindakan lebih lanjut dengan mem-blacklist pelaku pelecehan seksual tersebut.

4. Prosedur mem-blacklist dilakukan dengan cara menandai NIK pelaku, agar di kemudian hari, pelaku tidak akan dapat menggunakan layanan transportasi KA. II. ISU HUKUM 1. Bagaimana payung hukum dan penegakkan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual di Indonesia?

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

III. DASAR HUKUM 1. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 3. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) IV. ANALISIS HUKUM 1. Bahwa pelecehan seksual sering kali terjadi ditempat-tempat umum, seperti di dalam transportasi publik atau bahkan tempat yang sangat sering dijumpai, serta sering kali ditemukan bahwa pelakunya adalah orang yang tidak dikenal sama sekali oleh korban, seperti misalnya pelecehan seksual didalam bus, kereta api, di jalanan, dan lainnya.

2. Bahwa berdasarkan instrumen dari Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual dimana salah satunya bentuk dari kekerasan seksual itu sendiri adalah pelecehan seksual. Pernyataan tersebut ditegaskan dengan ketentuan jenis kekerasan seksual berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

3. Bahwa dapat dilihat dari jumlah kasus pelecehan seksual dari tahun ke tahun masih dapat dikatakan tergolong masif, kemudian pelecehan seksual khususnya yang terjadi pada perempuan berkaitan dengan sistem tata nilai yang menjadikan perempuan sebagai entitas yang lebih lemah dibandingkan laki-laki, perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi dan stigma buruknya harus dikuasai, atau bahkan dieksploitasi karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.1 Makmuri, Skripsi: “Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual Dalam Transportasi” (Tegal: Universitas Pancasakti, 2020), Hal.3 1

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

4. Bahwa pada Pasal 28G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dijelaskan bahwa setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan diri, pribadi, kehormatan, harkat, dan martabat, serta berhak memperoleh rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dan merupakan bentuk dari Hak Asasi Manusia (HAM).2 5. Bahwa pelecehan seksual termasuk ke dalam jenis delik aduan absolut, yakni perbuatan tersebut dapat dituntut jika korban telah melaporkan pelaku kepada pihak berwenang dalam hal ini kepolisian dan dapat dicabut sewaktu-waktu jika korban dan pelaku mencapai kesepakatan damai.

6. Bahwa dalam hal ini terjadinya kekerasan seksual dapat dibuktikan dengan alat bukti yang dinyatakan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berupa Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa.3 7. Bahwa siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual tergolong sebagai pelecehan seksual yang mengarah pada seksualitas dan dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, serta merasa direndahkan martabatnya.4 8. Bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban dengan cara meraba bagian tubuh paha korban, serta memegang alat vitalnya merupakan sebuah tindakan pelecehan seksual yang melalui sentuhan fisik dapat dipidanakan sesuai pada Pasal 6A UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

2

Rosania Paradiaz dan Eko Soponyono, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Volume 4, Nomor 1, Tahun 2022, Hal 61-72.

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Komnas Perempuan, 2020, “Instrumen Modul & Referensi Pemantauan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan”, https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk-kekerasan-s eksual-sebuah-pengenalan, diakses pada tanggal 13 Juli 2022.

3

4

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

9. Bahwa pengaturan pada Pasal 6A UU 12/2022 sebelumnya menyatakan yakni “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

10. Bahwa dalam kasus tersebut, korban yang merasakan ketidaknyamanan sehingga meminta berpindah tempat duduk lain kepada pihak Kondektur di transportasi umum berupa Kereta Api (KA) dan pada akhirnya diperbolehkan, merupakan sebagai pemenuhan hak korban untuk mendapatkan perlindungan dan pengamanan sebagaimana yang sudah tertulis dalam Pasal 1 Ayat (16) UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

11. Bahwa tindakan penanganan yang diberikan oleh pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI), berupa mem-blacklist pelaku pelecehan seksual dalam video viral tersebut merupakan tindakan yang cepat, sigap dan patut diapresiasi. Namun apabila ditinjau dari segi penegakkan hukum berdasarkan hukum positif yang berlaku dan diterapkan di Indonesia, kurang sekiranya dapat dikatakan tuntas atau selesai dari sisi hukumnya.

12. Bahwa tindakan penegakkan hukum terhadap pelaku tidak terhenti dalam tahap hanya mem-blacklist Nomor Induk Kependudukan (NIK) pelaku agar tidak dapat lagi mempergunakan layanan transportasi Kereta Api (KA). Namun harus dilaksanakan prosedur hukum yang berlaku di Indonesia.

13. Bahwa untuk mendukung pernyataan sebelumnya, menurut seorang Filsuf terkemuka yang bernama John Rawls memperkenalkan tentang proses hukum yang adil, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar.5 Dengan artian, bahwa sebaiknya

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

tindakan pelanggaran hukum diproses dan ditindak berdasarkan sistem atau regulasi yang berlaku.

14. Bahwa langkah yang dapat ditempuh oleh korban dalam penegakkan hukum terhadap pelaku terbagi menjadi dua jalur, yakni yang pertama pada ranah non-litigasi, dimana kasus tersebut diselesaikan dan para pihak sepakat untuk berdamai. Lalu langkah kedua, korban dapat menempuh jalur litigasi yakni dengan membawa perkara dan menuntut pelaku atas tindak pidana pelecehan seksual.

15. Bahwa pada akhirnya, korban memilih untuk menyelesaikan secara tenang dan damai, tanpa membawa perkara ke meja hijau. Hal tersebut memiliki dampak pada kedua sisi, yaitu pertama, perkara dapat terselesaikan secara cepat dan tanpa membebani korban dari segi waktu, biaya ataupun tenaga. Namun disisi lain, kewajiban yaitu pertanggungjawaban dari pelaku dapat dikatakan tidak terpenuhi secara sempurna, dan sangat berpotensi tidak akan memberi efek jera pada pelaku. Tetapi, setiap orang haruslah pula tetap menghormati pilihan korban yang memilih untuk berdamai.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pelecehan seksual di Indonesia menjadi permasalahan yang tidak berujung dikarenakan dari pihak korban nya yang takut dan merasa malu serta hukum pidana yang dibuat tidak menunjukan adanya keberpihakan terhadap korban. Pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk dari kekerasan seksual itu sendiri, tidak hanya terjadi di lingkungan atau ruang tertutup, bahkan para pelaku telah berani dalam melancarkan aksi di ruang publik, seperti transportasi umum Kereta Api (KA). Hal tersebut memerlukan perhatian dari segala pihak, baik dari pihak penyelenggara layanan transportasi bahkan perhatian dari masyarakat umum. Dimana korban pelecehan seksual bukanlah seseorang yang patut untuk dijauhi atau diasingkan. Namun hak para korbanlah yang sekiranya diperjuangkan dan ditegakkan

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada hematnya, adapun rekomendasi berdasarkan analisa yang telah ada yakni terdiri dari: 1. Upaya Preventif: Pengelola transportasi publik harus membuat standar pelayanan dan sistem layanan yang aman dan nyaman, ramah, serta bisa melindungi hak-hak golongan masyarakat rentan yakni anak, wanita dan bahkan lansia yang berkemungkinan dapat mengalami pelecehan seksual itu sendiri.

2. Upaya Represif: Apabila telah terjadi tindak pidana pelecehan seksual, maka pelaku harus diproses dan dibawa untuk diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan, dengan maksud agar memberi efek jera dan berharap agar tidak melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari. Namun pelecehan seksual sebagai delik aduan absolut, harus tetap menghormati dan menghargai keputusan korban apakah ingin memproses ke jalur hukum atau menyelesaikan perkara secara kekeluargaan dan berdamai.

ALSA Local Chapter Universitas Udayana

DAFTAR PUSTAKA Komnas Perempuan, 2020, “Instrumen Modul & Referensi Pemantauan, 15 Bentuk Kekerasan

Seksual:

Sebuah

Pengenalan”,

https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-b entuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan, diakses pada tanggal 13 Juli 2022.

Makmuri, Skripsi: “Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual Dalam Transportasi”. (Tegal: Universitas Pancasakti, 2020.

Paradiaz, Rosania dan Eko Soponyono, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Vol. 4 Nomor 1, 2022 Soimin, “Konsep Hukum Dalam Tata Hukum Indonesia (Penelusuran Konsep Keadilan Hukum Dalam Pandangan John Rawls)”. Jurnal Edulaw: Journal Of Islamic Law and Yurisprudance,Volume 3 Nomor 1, (2022).

Yuliartini, Ni Putu Rai, Mangku Gede Dewa Sudika, dan Putri, Putu Pipit Pricellia Eka. (2021). Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual di Provinsi Bali. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri.

Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

ALSA Local Chapter Universitas Udayana