Risalah Sidang Judicial Review MK 15 Juni 2010

Page 1

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-VIII/2010 DAN PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4/PNPS/1963 TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGAR KETERANGAN SAKSI DAN AHLI DARI PEMOHON (IV)

JAKARTA SELASA, 15 JUNI 2010


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-VIII/2010 DAN PERKARA NOMOR 20/PUU-VIII/2010 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PEMOHON PERKARA NOMOR 13/PUU-VIII/2010 - Muhammad Chozin Amirullah, S.PI., MAIA., dkk PERKARA NOMOR NOMOR 20/PUU-VIII/2010 - Gusti Agung Ayu Ratih (Institut Sejarah Sosial Indonesia) dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri ACARA Mendengar Keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon (IV) Selasa, 15 Juni 2010, Pukul 10.08 – 12.10 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)

Moh. Mahfud MD. Muhammad Alim. Hamdan Zoelva M. Arsyad Sanusi Maria Farida Indrati M. Akil Mochtar Harjono

Alfius Ngatrin dan Cholidin Nasir.

(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti

1


Pihak yang Hadir: Pemohon (Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010): - Muhammad Chozin Kuasa Hukum Pemohon (Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010): - Gatot Goei, S.H. - A. Wakil Kamal - Guntoro Pemohon (Perkara Nomor 20/PUU-VIII/2010): - I Gusti Agung Ayu Ratih - Hilman Farid - Erlina Kuasa Hukum Pemohon (Perkara Nomor 20/PUU-VIII/2010): -

Nurkholis Hidayat Fajri Partama Rinto Tri Hasworo Nur Annisa Rizki Virza Roy Hizzal Taufik Basari Muhammad Isnur Pratiwi

Pemerintah: - Jhon Ginting (Kepala Biro Hukum) - Mualimin Abdi (Kasubdit Pembelaan, Penyiapan dan Pendampingan pada Sidang MK, Kementerian Hukum dan Ham) - Fachmi (Direktur TUN JAMDATUN) - Febrytrianto. (Kejaksanaan Agung Republik Indonesia) - B. Maria Erna (Kasi Bankum I Dit TUN) - Antonius Budi Satria (Jaksa Fungsional pada Dit TUN) - M. Jusuf (Direktur Sosial dan Politik) - M. Adi Toegarisman (PengkajiII) - Harlan Mardite (Kasubdit Sandi dan Komunikasi) - A. Inggit Anggraini (Kasi Barang Cetakan)

2


Saksi dari Pemohon: - Syafinuddin Almandari - Ahmad Muzaki - Adnan Buyung Nasution Ahli dari Pemohon: -

Donny Gahral Adian Yudi Latif Atmakusumah Astraatmadja Frans Magnis Suseno

3


SIDANG DIBUKA PUKUL 10.08 WIB

1.

KETUA: MOH MAHFUD MD. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan Saksi dan Ahli yang diajukan baik oleh Pemohon maupun oleh Pemerintah dalam Perkara Nomor 13 dan Nomor 20/PUU-VIII/2010 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Baik, pertama kami dari Majelis Hakim mohon maaf terlambat setengah jam karena akhir-akhir ini sangat sibuk Perkara Pemilu Kepala Daerah itu hampir setiap yang kalah itu berperkara dan itu harus diperiksa dengan sungguh-sungguh sehingga kami tadi masih menyelesaikan beberapa masalah selama setengah jam. Persilakan kepada Pemohon Nomor 13 untuk memperkenalkan diri dan memperkenalkan yang hadir dan dihadirkan pada hari ini.

2.

KUASA HUKUM PEMOHON VIII/2010): GATOT GOEI

(PERKARA

NOMOR

13/PUU-

Terima kasih Bapak Ketua, assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Saya Gatot Goei, Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi dari teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi, yang hadir rekan saya A. Wakil Kamal selaku Tim Advokasi dan ada Prinsipal Muhammad Chozin, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi, kemudian ada..., mohon maaf salah satu anggota tim kami Guntoro, S.H. hadir, terus kemudian Saksi yang kami hadirkan ada 2 orang, Muhammad Muzakki, beliau adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta sekaligus Ketua cabang HMI..., Ketua HMI cabang Jakarta Selatan, dan Saksi kedua adalah Syafinuddin Almandari, beliau adalah mantan pengurus besar himpunan...,mantan Ketua Umum PB HMI MPO sekaligus juga penulis dan mengakses buku. Yang terakhir adalah ahli Donny Gahral, yang..., itu Majelis yang kami hadirkan. Terima kasih. 3.

KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Silakan Perkara Nomor 20.

4


4.

KUASA HUKUM PEMOHON VIII/2010): TAUFIK BASARI

(PERKARA

NOMOR

20/PUU-

Terima kasih, selamat pagi, Majelis Hakim Yang Mulia. Kami dari Perkara 20, saya sendiri Taufik Basari selaku Kuasa Hukum, hadir bersama kami Prinsipal Ibu I Gusti Agung Ayu Ratih yang berbaju putih. Di sebelahnya juga bagian dari Prinsipal dari ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia) Bapak Hilman Farid, di belakang juga ada bagian dari Prinsipal Ibu Erlin‌, Erlina. Kuasa Hukum yang hadir selain saya sendiri adalah Nurkholis Hidayat, kemudian Fajri Partama, Nur Annissa Rizki Santoso di belakang, Virza Roy Hizzal, Rinto Tri Hasworo dan Muhammad Isnur dan Pratiwi. Hadir bersama kami, kami menghadirkan beberapa Ahli dan satu orang Saksi. Saksi yang kami hadirkan adalah Bapak Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution sebagai seorang Ahli‌, eh, maaf sebagai Saksi, Saksi Sejarah. Kemudian Ahli yang kami hadirkan adalah Prof. Frans Magnis Suseno, lalu Bapak Atmakusumah, lalu Bapak Yudi Latif. Terima kasih. 5.

KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Pemerintah.

6.

PEMERINTAH : FACHMI (DIREKTUR TUN JAMDATUN) Terima kasih, Yang Mulia.

Assalamualaikum wr. wb.

Dari Pemerintah yang hadir adalah saya sendiri Dr. Fachmi S.H., M.H., yang kedua Bapak M. Jusuf, S.H., M.H., yang ketiga Bapak Adi Toegarisman, S.H, M.H., yang keempat Bapak Harlan Mardite, S.H., M.H., yang kelima Dra. Albina Anggit Anggraini, S.H., M.H., yang keenam Febrianto, S.H., M.H., yang ketujuh Maria Erna, S.H., M.H., kedelapan Antonius Budi Satria, S.H., M.H. Sedangkan dari Depkumham yang hadir adalah Bapak Mualimin Abdi, S.H. Terima kasih. 7.

KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Pihak Terkait, sudah? Sudah dibacakan tadi?

8.

PEMERINTAH : FACHMI (DIREKTUR TUN JAMDATUN) Sudah dibacakan sekalian Pihak Terkait.

5


9.

KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Baik. Saudara, materi perkara untuk yang Perkara Nomor 20 karena sebenarnya sama‌,hampir sama persis, itu sudah diperbaiki dan sudah dikirim ke Pemerintah dan‌,Pemerintah maupun DPR sudah memberikan tanggapan sehingga hari ini kita fokuskan untuk mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi. Sebelum itu kami ingin mengesahkan dulu bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Perkara Nomor 20 yaitu bukti dari P-21 sampai P-12 yaitu P-21 fotokopi Press dan seterusnya P-12 itu fotokopi surat dari Profesor Michael Watts dari University of California. Nah, bukti ini kita terima atau kami terima dan dinyatakan sah sebagai alat. KETUK PALU 1X

Nah, untuk itu berikutnya sesuai dengan ketentuan undang-

undang mari kita ambil sumpah sekarang. Pertama untuk Saksi. Kepada Saksi dimohon untuk maju ke depan Bapak Adnan Buyung Nasution, Bapak Frans Magnis Suseno oh..., baik, Saksi di sini yang hadir adalah Bapak Profesor Dr. Adnan Buyung Nasution, kemudian Syarifuddin, kemudian Ahmad Muzakki. Ini adalah Saksi. Semuanya beragama Islam? Bapak, Pak Buyung, Pak Muzaki? Baik, Pak Alim. Silakan Pak Alim! 10.

HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM. Agar para Saksi mengikuti lafal sumpah yang saya tuntunkan. Bismillahirrahmanirrahim. Demi Allah saya bersumpah, akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Selesai.

11.

SAKSI SELURUHNYA DISUMPAH

Bismillahirrahmanirrahim. Demi Allah saya bersumpah, akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. 12.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Silakan duduk, Bapak. Kemudian para Ahli yang beragama Kristen dulu, Profesor Frans Magnis Suseno. Kristen, Katolik? Jadi nanti yang berikutnya dengan beragama Islam Pak Yudi Latif dan Pak Atmakusumah. Silakan Bu Maria.

6


13.

HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, ucapkan lafal janji yang saya ucapkan. Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya. Terima kasih.

14.

AHLI DARI PEMOHON (MENGUCAPKAN JANJI) Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.

15.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Terima kasih, Pak. Silakan duduk. Bapak Yudi Latif dan Pak Atmakusumah. Dan satu lagi Pak Dony. Silakan Pak Hamdan. Ini Ahli, Pak.

16.

HAKIM ANGGOTA (MEMBERIKAN SUMPAH) Para Ahli ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan.

Bismillahirrahmanirrahim.

Demi Allah saya bersumpah. Sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Terima kasih. 17.

AHLI SELURUHNYA DISUMPAH (ISLAM)

Bismillahirrahmanirrahim.

Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Terima kasih. 18.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Silakan duduk, Bapak-Bapak. Baik, kita undang pertama kali Bapak Profesor Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution dan Bapak bisa ke podium, Bapak. Dan kepada Kuasa Pemohon, silakan dijelaskan apa yang harus disampaikan kepada Majelis ini.

19.

KUASA HUKUM PEMOHON VIII/2010): TAUFIK BASARI

(PERKARA

NOMOR

20/PUU-

Baik, terima kasih.

7


Sebelum Bapak Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution menyampaikan keterangannya sebagai Saksi. Bapak Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution ini adalah sosok tokoh yang hidup di 3 zaman. Di zaman orde lama, orde baru dan orde reformasi saat ini. Beliau adalah orang yang menjadi Saksi sejarah pada saat proses Undang-Undang Nomor…, maaf pada saat PNPS Nomor 4 Tahun 1963 di schreening oleh MPR…, MPRS, kemudian dijadikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, bagaimana prosesnya? Kondisi politik apa saja yang terjadi pada saat itu akan diterangkan oleh Bapak Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution. Silakan. 20.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Silakan, Pak.

21.

SAKSI DARI PEMOHON : ADNAN BUYUNG NASUTION Majelis Yang Saya Muliakan. Izinkan saya pertama-tama menjelaskan posisi saya. Semula saya diminta menjadi Saksi Ahli untuk Kasus Nomor 20 ini dan saya sudah mengatakan bersedia, tetapi kemudian setelah saya pikir kembali, saya mengundurkan diri sebagai Saksi Ahli, tapi saya memilih menjadi Saksi Fakta saja. Dengan alasan saya terlibat di dalam persoalan ini semua, bukan semata-semata sebagai seorang ilmuan atau orang yang mempelajari masalahnya, dari jarak yang objektif. Tapi saya terlibat langsung dalam pertarungan yang akan saya terangkan. Jadi karena itu saya sebagai…, saya pikir kalau diizinkan saya lebih baik jadi saksi ah…, Saksi Fakta, yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri peristiwanya secara empiris. Terima kasih. Majelis yang kami muliakan. Sejak kita memproklamasikan kemerdekaan kita, 17 Agustus 1945, sebenarnya kita telah mendeklarasikan. Kemerdekaan kita semua, kemerdekaan ke luar maupun ke dalam. Ke luar berarti kita bebas dari penjajahan bangsa asing, siapapun juga, baik Belanda maupun Jepang. Tapi ke dalam dalam pemahaman dan pengalaman empiris saya, bangsa kita selama 65 tahun ini, pernah mengalami dalam dua periode dimana tidak ada kemerdekaan ke dalam. Maksud saya kemerdekaan ke dalam itu kemerdekaan pada orang perorangan, orang Indonesia sebagai warga negara. Sebagai bangsa in totality kita merasa bangga, kita merdeka dari bangsa manapun. Tapi ke dalam, kita orang perorangan dalam pengalaman empiris saya, kita masih dijajah oleh bangsa sendiri, baik di zaman orde lama maupun di zaman orde baru. Dan sekarang pun kita masih mengalami berbagai bentuk peraturan perundangundangan ya…, yang merupakan warisan dari orde lama, orde baru itu dimana kita tetap masih menjadi korban. Maka pertanyaan dalam sidang ini yang paling penting bagi saya secara filosofis, mungkin Pak Mardite

8


{sic} akan menjawab, apakah kita mau terus menerus jadi korban?

Korban sejarah dari kezaliman di zaman orde lama dan orde baru. Antara lain salah satu bentuknya Penpres Nomor 4 Tahun 1963 yang kemudian dijadikan Undang-Undang Nomor 5 PNPS 1969. Majelis Hakim yang saya muliakan. Setelah kita merdeka, kalau kita baca kembali semua buku literatur pergulatan, pemikiran dari para pemimpin bangsa founding fathers. Baik pra proklamasi, zaman Belanda, zaman Jepang sampai BPUPK, maupun setelah kita merdeka 17 Agustus 1945 sampai dengan 1949 RIS, maupun sampai dengan tahun 1950 sampai 1959, sebenarnya dari studi pengalaman empiris saya, cita-cita bangsa ini adalah untuk membangun suatu negara hukum yang demokratis. Itu jelas eksplisit disebut di dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 buatan bangsa Indonesia, termasuk Supomo, Yamin dan sebagainya yang dulu membuat 1945, tapi tahun 1950, Undang-Undang Dasar Tahun 1950 itu tegas-tegas menghendaki satu negara demokratis, , negara yuridis, negara hukum yang demokratis. Een Democratische Rechstaat, itu bahasa yang kita ambil dari Eropa dari warisan Belanda. Secara universal saya lebih suka memakai istilah yang lebih umum, a Democratic Constitution Government atau Constitutional Government. Nah, cita-cita luar ini seperti saya katakan tadi mengalami penyelewengan dua kali dalam periode sejarah. Demokrasi Terpimpin waktu orde lama 1959 sampai 1965, dan kemudian Demokrasi Pancasila 1966 sampai 1968‌, eh sampai 1998. Dimana penyelewengan yang saya fokuskan? Banyak sekali penyelewengan di (suara tidak jelas), ya. Dan tekad waktu permulaan orde baru adalah melakukan perombakan total, totale omwenteling dari seluruh kehidupan bangsa yang bertentangan dengan cita-cita aspirasi kemerdekaan bangsa. Yang saya maksudkan tadi adalah negara demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis. Dimana penyelewengannya? Meskipun belum ada teorinya, artinya buku. Setahu saya, entah kalau ada yang bisa koreksi ahli lainnya. Waktu itu berjalan dua sistim hukum yang berbeda bahkan bertentangan, satu sistim hukum nasional yang masih mengklaim berdasarkan konstitusi dan sesuai negara hukum yang demokratik, kontitusi paling tinggi, undang-undang, peraturan pemerintah dan seterusnya ke bawah. Tapi ada juga sistem hukum yang di luar konstitusi. Jadi karena produk-produk legislatif zaman itu revolusi sumbernya dekrit 5 Juli 1959, Penpres, Pelpres, dan lain sebagainya. Ini bentrok, kadang-kadang bertentangan. Nah, saya ingin kasih satu anekdot untuk jadi pemahamaan kita, kebetulan saya dalam riset saya, saya masih sempat bertemu dengan almarhum Menteri Kehakiman Astrawinata, ya, main you di dalam penjara. Saya tanya sama beliau bagaimana sih, Pak, asal muasal lahirnya Penpres 11/63 Subvesi?� Karena itu jadi musuh kita semua pada orde baru, menghapuskan itu, semua aktivis ditangkap itu juga, kasarnya selalu. Beliau cerita (anekdot ini) bahwa waktu beliau Menteri

9


Kehakiman, idenya, gagasannya, datang dari pihak militer, tentara, yaitu KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Saya tidak boleh sebut namanya siapa tapi saya tahu, saya catat dalam wawancara itu. Diajukan dan atas perintah Presiden, Menteri Kehakiman membuat rancangan undangundangnya. Tapi apa yang terjadi rancangan undang-undang tentang surbversif ketika diajukan ke DPRGR, zaman itu ditolak oleh semua fraksi termasuk Fraksi PKI. Bayangkan seluruh rakyat Indonesia yang diwakili DPRGR zaman itu sudah menolak, tapi yang berkepentingan waktu itu merasa berkuasa menghendaki Penpres ini membawa materinya kepada Presiden/Panglima Tertinggi PBR, Bung Karno akhirnya dikeluarkan dalam bentuk Penetapan Presiden Nomor 11/1963 tentang Subversi. Itulah contoh proses legislatif berdasarkan konstitusi sesuai negara hukum di-torpedeer karena ditolak oleh DPR dipaksakan dengan Penpres Tahun 63. Majelis yang saya hormati. Alhamdulillah, kita mengalami suatu peristiwa G 30 S/PKI yang pada akhirnya menjadi awal dari suatu perubahaan besar ini di negara ini. Saya harus akui dengan berat hati pada awal orde baru sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai kesadaran baru, bangkit, ingin memperbaiki segalanya yang salah di zaman orde lama maupun orde baru. totale omwenteling kata orang Belanda perombakan total semuanya, itu kita lakukan dengan susah payah pertarungan di DPRGR dengan memorandum, ya, memorandum DPRGR tanggal 9 Juni, kalau tidak salah. 9 Juni tahun 1966, isi memorandum ini menutup Sidang Istimewa MPR untuk bisa mengcabut, mengapuskan, segala peraturan perundangan yang mengekang kemerdekaan manusia, bertentangan dengan konstitusi, dengan asas-asas negara demokrasi, negara hukum, hak asasi manusia, dan sebagainya, dan sebagainya, kita pakai istilah yang amat populer waktu itu bertentangan dengan Hanura (Hati Nurani rakyat). Itulah acuannya sidang MPRS tahun 1966-1967 acuannya sama ‘merombak, menghapuskan, meninjau kembali segala produk yang bertentangan dengan “Hanura.� Tapi apa lacur saya terlibat baik dalam membuat memorandum DPRGR, yang meminta saya istimewa, maupun sidang istimewanya tahun 1966 maupun 1967. Bagi salah seorang aktivis masa itu saya Ketua Aksi Sarjana waktu itu, tapi saya juga kebetulan Jaksa namun saya ikut aktif membuat ini semua. Saya merasa memang tinggal sedikit dari orang-orang tahu betul tentang masalah ini. Saya tadi mengajurkan kalau jika diperlukan Saksi Fakta lagi, saya sarankan sahabat sejati saya Saudara Harichan Silalahi dari CSIS, saya bilang lainnya sudah banyak yang meninggalkan kita semua. Apa yang penting dari Sidang Istimewa MPR 1996-1997 ini 1966-1967 (suara tidak jelas), saya ingat yang paling pokok adalah untuk meninjau kembali, ya, semua produk-produk insuratif negara di luar produk MPR yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, tapi waktu kan nggak cukup sidang itu pendek.

10


Jadi mana-mana yang bisa langsung kita delay ini bertentangan dengan Hanura, langsung dicabut misalnya apa? Presiden seumur hidup, mana ada Presiden seumur hidup? Juga bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945 yang kita waktu itu mau bangun kembali secara konsisten dan konsekuen. Jadi, itu langsung dibuat, dicabut. Ada lagi banyak dicabut semua istilah-istilah yang sama sekali membuat rancu buat kita. Revolusi yang belum selesai, Manipol Usdek dan segala macam istilah-istilah yang banyak dalam produk-produk legislatif zaman itu. Itu kita hapuskan semua. Kemudian tiba pada materi undang-undangnya, baik materi Penpres maupun materi Perpres, materi undang-undang maupun materi Peraturan Pemerintah. Kedua sistem itu harus dikaji ulang, diperiksa, diteliti kembali, apakah sesuai isinya dengan Hanura? Apakah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mau kita tegakan kembali secara konsisten dan konsekuen? Apakah sesuai dengan Pancasila, dengan demokrasi, negara hukum, hak asasi manusia? Kalau tidak, harus dihapus, dicabut. Kalau sesuai dijadikan undang-undang, itu pokoknya yang saya ingat. Tapi pada saat itu tidak ada waktu mau menilai mana yang sesuai mana yang nggak sesuai. Maka diperintahkanlah kepada Pemerintah dan DPR-GR waktu itu, dikasih tempo 2 tahun, saya ikut merumuskanya 2 tahun agar segera meninjau kembali seluruhnya. Mana yang sesuai dengan perubahan-perubahan seperlunya, misalnya membuang istilah-istilah yang tidak sesuai lagi, tapi kalau jiwa, semangat, spirit, dan semangat masih sama jadikan undangundang. Tapi mana-mana yang tidak, yang masih harus disempurnakan atau istilahnya di.., apa? Di‌, dikaji kembali, itu di kasih waktu 2 tahun untuk dirubah, disempurnakan dalam bentuk diambil materinya yang bagus, yang masih sesuai sebagai bahan, kemudian dibuat undangundang baru. Itu lampiran 1 dan lampiran 2 saya lupa sudah ya (suara tidak jelas). Nah, seingat saya Penpres Nomor 4 Tahun 1963 itu, termasuk lampiran 2, ada 2a ada 2b saya lupa juga. Tapi termasuk lampiran 2a yang isinya, pada pokoknya memerintahkan supaya dikaji dan dirubah menjadi undang-undang, dan diambil bahannya yang masih sesuai. Tapi apa yang terjadi? Setelah 2 tahun, tidak selesai. Ditambah 6 bulan 1 kali oleh MPR juga tidak selesai, ditambah kedua kali 6 bulan lagi tidak selesai. Siapa yang bertanggungjawab? Pemerintah Soeharto, siapa Menteri Kehakimannya Prof. Umar Seno Aji. Akibatnya apa yang terjadi? Karena nggak sempat dirubah, diperbaiki, disempurnakan, Penpres yang menjadi isu pokok dalam Perkara Nomor 20 sekarang ini secara tibatiba, entah dari mana idenya, entah gagasan siapa langsung dijadikan undang-undang dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 PNPS Tahun 1969. Sejumlah Penpres, Perpres, undang-undang, Peraturan Pemerintah semua jadi undang-undang. Tanpa diperbaiki atau disempurnakan.

11


Inilah latar belakang sejarah itu. Kita semua korban dari pada perkembangan sejarah. Nah, ada satu anekdot lagi saya mau ceritakan dalam kaitan ini. Semua para aktivis kumpul di rumahnya Menteri Masyhuri, ya. Masih kumpul semua tokoh-tokoh kasih itu, Kasih, Persahi, Ikahi, KAMMI, KAPI semua kumpul. Marah kita dengan‌, kenapa dijadikan undang-undang ini? Semua bertentangan dengan perintah rakyat dari MPR melalui MPRS waktu itu. Bertentangan dengan hati nurani rakyat. Mahsyuri menjelaskan, bahwa tidak cukup waktu alasannya tidak cukup sumber daya manusiannya orangnya dan sebagainya. Yang paling saya rasakan pedih saat itu adalah sayalah yang jadi korban pada waktu itu, ya. Almarhumah Hakim Agung Sri Widoyati itu menyalahkan saya, Buyung yang gara-gara Buyung. Kenapa Mentri Kehakimannya Seno Aji? Memang saya akui, saya mengusulkan waktu itu supaya beliau menjadi Mentrri Kehakiman Orde Baru yang pertama. Karena tahu beliau itu seorang yang konsisten terhadap prinsip-prinsip the rule of law, supreme of law, negara hukum demokrasi. Tapi kok beliau bisa lengah membiarkan ini, wallahu alam saya tidak bisa jawab, kecuali dikarenakan waktu kurang. Majelis yang kami muliakan. Dengan penjelasan ini, saya kembali kepada persoalan pokok , apakah kita karena masih sekarang. Bapak-Bapak yang boleh dikatakan senior, mungkin saya sudah sepuh, 76 tahun umur saya sekarang. Alhamdulillah kita punya kader yang muda-muda, baik di Kejaksaan maupun dari dalam pihak pembela, masih banyak Saksi Ahli. Mudahmudahan kita mendapatkan petunjuk Yang Maha Kuasa untuk bisa merubah sejarah ini, memperbaikinya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman empiris kita dan hati yang bersih dan meminta ridho Allah SWT. Sebagai Saksi fakta, saya hanya bisa menyampaikan seingat saya, banyak dokumen seharusnya yang saya kumpulkan jadi bukti tapi sayang saya tidak cukup waktu. Sekian, terima kasih. 22.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Terima kasih Saudara Saksi, silakan duduk dulu Bapak. Nanti sekaligus Saksi 3 orang kita tanya bersama-sama. Kemudian Saudara Saksi berikutnya, Saudara Syafinuddin ya silakan, Saudara Syafinuddin, silakan.

23.

SAKSI DARI PEMOHON :SYAFINUDDIN ALMANDARI Hakim Yang Mulia. Perkenankan saya membacakan poin-poin yang saya catat dalam fungsi saya sebagai Saksi pada persidangan. Pertama-tama saya menegaskan bahwa posisi saya adalah aktivis atau mantan aktivis, Himpunan Mahasiswa Islam yang dalam konteks ini

12


berdekatan dengan sumber-sumber informasi untuk pengayaan intelektual dalam mencapai tujuan HMI. Sekilas saja saya ingin menegaskan, tujuan HMI yang terdalam dalam Anggaran Dasar HMI ialah, terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulil Albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT. Ada satu frase tertentu tentang insan Ulil Albab. Ini istilah yang dekat dengan intelektual muslim. Karakteristik ini, salah satu poin yang mendasari seluruh gerakan Himpunan Mahasiswa Islam yang mengandung 5 poin, diantaranya adalah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, empat poin yang lain tidak akan saya uraikan. Di sini menegaskan ada fungsi-fungsi intelektual yang pada prinsipnya, pertama menegakkan kaidah-kaidah ilmiah. Menegakkan kaidah-kaidah ilmiah berarti kita mengetahui asas (....) 24.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Saudara, Saudara ini bukan Ahli. Saudara ini Saksi jadi nggak bisa bicara-bicara..., biar kaidah-kaidah itu di sana di Ahli. Apa yang Saudara ketahui tentang perkara ini, soal pelarangan buku, soal pengalaman yang Saudara lihat yang Saudara dengar.

25.

SAKSI DARI PEMOHON :SYAFINUDDIN ALMANDARI Baik, itu latar belakang untuk masuk ke (....)

26.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Ya, nanti latar belakang dilempar ke Ahli saja yang agak filosof dan ilmiah, silakan.

27.

SAKSI DARI PEMOHON :SYAFINUDDIN ALMANDARI Dalam posisi tersebut tadi untuk mencapai fungsi-fungsi intelektualitas, perkaderan dan seterusnya di HMI, kami merasakan bahwa dalam kurun waktu tertentu, dalam pengalaman saya tahun 1991 saya mulai masuk menjadi mahasiswa sampai 1998. Saya merasakan, saya mengalami bahwa proses perkembangan ilmiah cukup terhambat, utamanya ketika banyak buku-buku yang perlu diakses untuk memperkaya proses perkaderan di HMI terhambat. Antara lain bisa kita rasakan semua mungkin bahwa buku-buku karangan Pramudia Anatatur dan beberapa buku yang lain itu terhambat untuk bisa kita akses sebagai upaya untuk memperkaya khasanah perkadaran dan intelektualitas digerakan kemahasiswaan. Dan tentu saja beberapa sumber yang lain, antara lain sekarang itu ada satu buku yang sedang saya cari juga namanya �Lektra Tidak Membakar Buku.� Itu kami juga sedang mencari

13


buku-buku itu tapi ini rupanya sudah dilarang juga, sehingga ini juga menghambat proses perkaderan, pengayaan intelektualitas, sumbersumber diskusi dan sumber-sumber training yang lain. Kami merasakan bahwa ini secara sangat tegas menghambat proses tujuan yang kami sedang lakukan atau sedang dilakukan oleh teman-teman. Pengalaman yang lain, saya kira akan senada itu untuk mempersingkat saja, saya cukupkan sampai di sini nanti insya Allah kami bisa menjawab hal-hal yang mungkin ditanyakan oleh Hakim Yang Mulia. Terima Kasih. 28.

KETUA: MOH MAHFUD. MD. Terima kasih, Saudara Syafinuddin. Kemudian Saudara Ahmad Muzaki.

29.

KUASA HUKUM PEMOHON (PERKARA NOMOR 13/PHPU.DVIII/2010) GATOT GOEI Bapak Ketua, interupsi sebentar Pak. Muhammad Muzaki adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta, beliau akan menjelaskan keterkaitan buku dengan aktivitas kemahasiswaannya.

30.

KETUA: MOH MAHFUD. MD. Iya, silakan. Tetapi Saudara adalah Saksi, bukan menerangkan pentingnya buku itu nanti kita sudah tahu. Pentingnya buku dalam kegiatan kemahasiswaan itu iya, tapi apa Saudara alami, Saudara rasakan, Saudara dengar tentang ini. Silakan.

31.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Terima kasih, Majelis Hakim Terhormat. Assalamualaikum wr.wb. Saya akan memaparkan pandangan saya sebagai mahasiswa yang langsung bersinggungan dengan apa yang namanya buku. Saya pikir buku adalah jendela ilmu, itu adalah pemahaman saya, terutama di kalangan mahasiswa sebagai seorang yang baru dalam tahap pembelajaran kebenaran atau ketidakbenaran. Proses belajar seorang mahasiswa merupakan sinergi antara kemauan yang kuat dan fasilitas yang diberikan. Kemauan kuat seorang mahasiswa menghasilkan berbagai penguasaan ilmu dan kemampuan bukan hanya dalam bidang spesifikasi ataupun penjurusan, tetapi keilmuan dan berbagai hal yang berhubungan dengan lingkungan kemahasiswaan ataupun setelah itu.

14


Sebagai sarana fasilitas keilmuan, saya pikir buku adalah suatu sarana yang mempunyai lima keuntungan ataupun peran bagi proses belajar ataupun belajar mahasiswa. 32.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Saudara, apakah Saudara punya pengalaman? Saudara membaca buku menjadi terhalang, kalau buku penting sebagai sumber ilmu. Punya pengalaman tidak?

33.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Maksudnya Majelis Hakim?

34.

KETUA : MOH. MAHFUD MD

Ndak ngerti? Saudara punya pengalaman terhambat membaca

buku tidak sebagai sumber ilmu? 35.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Tidak.

36.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Tidak, kan?

37.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Tidak.

38.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Nah itu yang Saudara katakan. Saya sudah tahu bahwa buku itu penting, semuanya sudah tahu. Tapi Saudara punya pengalaman tidak, bahwa Saudara terhambat sebagai mahasiswa itu membaca buku, misalnya karena ada Undang-Undang yang sekarang ini dipersoalkan.

39.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Saya pikir, ya.

40.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Saya pikir, jangan saya pikir. Kalau saya pikir nanti di sana yang menjawab, Pak Yudi Latief kalau saya pikir itu.

15


41.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Ya.

42.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Apa pengalaman Saudara? Kapan Saudara pernah dilarang membaca buku itu?

43.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Pertama, saya adalah penggemar karya Pramudya Ananta Toer yang sampai saat ini buku-buku itu saya hanya dapatkan itu di Yogya.

44.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Bisa dapat juga ya?

45.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Bisa dapat, tetapi sangat sulit. Itu salah satu buku.

46.

KETUA: MOH MAHFUD. MD. Saudara tahu itu karena undang-undang atau karena Saudara terlalu jauh dengan Yogya?

47.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Saya pikir pertama, awalnya daya berpikir bahwa karena memang tidak dicetak di Jakarta, penerbit tidak di Jakarta.

48.

KETUA: MOH MAHFUD. MD. Jadi teknis yah? Jadi sangat sulit ya?

49.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Setelah itu saya baru tahu ada Undang-Undang PNPS.

50.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Tapi Saudara rasakan PNPS itu? Bahwa itu secara langsung menyebabkan Saudara kecil aksesnya terhadap buku-buku?

16


51.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Pasti.

52.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Saudara alami sendiri?

53.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Saya alami.

54.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Terutama untuk mendapat bukunya Ananta Toer itu ya?

55.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Ya.

56.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Tapi sekarang bukunya Ananta Toer itu semua toko ada tuh? Saya kalau ke toko ada.

57.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Begini Majelis Hakim, saya rasakan buku Pramudya Ananta Toer itu ada baru-baru saja.

58.

KETUA: MOH MAHFUD. MD. Ya. kan baru-baru saja toh?

59.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Sekitar saya masuk 2005, 2006, 2007 itu sangat sulit saya dapatkan.

60.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Sebelum reformasi, ya. Saya juga sekarang, tapi kalau mau cari gampang itu. Ada pengalaman lain?

17


61.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Pengalaman lain saat ini buku yang tahu dilarang adalah Pramudya, bukunya Pramu.

62.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Ya, baik. Ada kesaksian lain? Kalau tidak ada silakan duduk.

63.

SAKSI DARI PEMOHON: AHMAD MUZAKI Terima kasih.

64.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Ya, baik. Baik silakan, sekarang Majelis Hakim akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum ke Ahli tadi. Tapi silakan Pemerintah kalau juga punya pertanyaan-pertanyaan yang akan disampaikan.

65.

PEMERINTAH: FACHMI (DIREKTUR TUN JAMDATUN) Terima kasih. Mau mengajukan pertanyaan kepada Bapak Buyung. Bapak Buyung Nasution. Sehubungan dengan kesaksian Bapak tadi Pak. Saya bacakan dulu Pak Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2), �dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan (...)

66.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Saudara, Saudara itu pertanyaannya kepada Ahli itu kalau pendapat itu. Kalau ke Saksi mestinya beda. Tetapi coba mungkin nanti terkait dengan pengalaman Pak Buyung, silakan.

67.

PEMERINTAH: FACHMI (DIREKTUR TUN JAMDATUN)

Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan yang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum sesuai dalam suatu masyarakat demokratis.� Sebagaimana yang tadi Bapak jelaskan, bahwa pendapat Bapak adalah staat rech itu Bapak artikan dalam demokrasi konstitusional

18


goverment. Apa pengalaman Bapak atau pengetahuan Bapak sebagai Saksi, apa yang menjadi parameter konstitusi ini, mengenai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, nilai-nilai agama ini yang paling penting sekali, Pak. Keamanan dan ketertiban umum? Saya fokuskan kepada nilai-nilai agama, Pak. Apa yang Bapak ketahui ketika Sidang Istimewa MPRS 1966-1967 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969? Yang kedua, apa pula yang Bapak ketahui dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1969 itu tersebut sebagai hukum positif, apakah diberlakukan atau tidak? Menurut Saksi bagaimana? Terima kasih.

68.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, saya persilakan kalau masih ada yamg mau bertanya kepada Saudara Ahli, dari..., ya kepada Saksi. Dari Pemohon ada yang mau didalami? Dalam bentuk pertanyaan? Ya kalau tidak ada nggak usah dipaksakan, masa berbisik-bisik dulu. Ada?

69.

KUASA HUKUM PEMOHON (PERKARA VIII/2010): NURCHOLIS HIDAYAT

NOMOR

20/PUU-

Terima kasih Majelis. Sekedar untuk mengeksplorasi saja. Pertanyaan kepada Bapak Adnan Buyung. Yang ingin saya tanyakan adalah pengalaman Bapak terkait dengan dampak ya? Dampak dari Undang-Undang PNPS 1963 setelah..., kemudian berlaku pada saat rezim orde baru sampai sekarang. Apakah kemudian ada buku-buku yang Bapak ketahui selama Bapak berkecimpung dalam proses demokrasi negeri ini, yang kemudian dilarang atau kemudian juga dihambat? Terima kasih. 70.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Ya, cukup. Dari Majelis Hakim, Pak Hamdan Zoelva.

71.

HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Kepada Pak Dr. Adnan Buyung. Saya ingin tanya satu saja, apakah pada saat itu seingat Pak Buyung, pengesahan pada tahun 1969 beberapa PNPS menjadi undangundang itu disahkan oleh DPRGR atau by pass juga seperti UndangUndang Subversi? Ya itu saja. Terima Kasih.

19


72.

KETUA: MOH MAHFUD. MD. Ya, jadi pertanyaannya apakah pengundangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 itu sempat dibicarakan dengan DPR dulu atau by pass? Begitu ya? Silakan Pak Harjono.

73.

HAKIM ANGGOTA: HARJONO Pada Saksi Pak Adnan Buyung. Apa yang diceritakan tadi peristiwa itu rangkaian antara 19661969. 1966 itu ada Tap MPRS mengenai Tata Peraturan PerundangUndangan untuk memurnikan tahapannya, sebetulnya itu bisa dilakukan. Agaknya 1969 kecelakaan, itu tidak bisa lepas dari perintah apa yang dimaksudkan oleh Tap MPRS Nomor 20 Tahun 1966. Pertanyaan saya adalah, bagaimana PNPS itu kemudian termasuk dalam penilaian yang harus dimurnikan? Apa sebetulnya intinya yang harus dimurnikan itu? Sehingga masuk dalam keinginan untuk disempurnakan, meskipun akhirnya kecelakaan itu disahkan sebagai undang-undang. Pikiran intinya apa? Itu saya kira, terima kasih.

74.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Hakim Akil Mochtar.

75.

HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Ya, kepada Bang Buyung, ya sebagai Saksi. Tap MPR pada Nomor 19 Tahun 1966 tentang Penseleksian MPRS tentang peninjauan kembali produk-produk legislatif itu. Itu kan juga dengan norma ukur konstitusi pada masa itu, dimana belum juga terjadi perubahan terhadap konstitusi kita. Nah, dalam kondisi yang berjalan apakah tolak ukur yang kita gunakan dengan konstitusi sesudah ada perubahan itu menurut Saksi, di samping suasana yang dilahirkan pada saat itu, misalnya rezim pemerintahan yang otoriter atau totaliter kemudian sistem perlementer yang juga berbeda ukurannya dengan konstitusi pada masa sekarang. Nah, suasana itu dimana tadi dasar-dasarnya dikatakan bahwa salah satu diantaranya tidak sesuai dengan hati nurani rakyat, kalau sekarang mungkin ukurannya tidak sesuai dengan hak asasi manusia, mungkin pada zaman itu kan, isu atau kondisi tentang hak asasi manusianya belum menjadi sesuatu yang concern di dalam konstitusi kita pada saat itu. Nah, dalam konteks suasana kebatinan pada saat itu, selain karena hati nurani rakyat itu, apakah terpikirkan juga bahwa peninjauan itu karena dengan kondisi-kondisi yang..., apa ya, saya ingin mengatakan tidak seperti sekarang, gitu, tetapi apakah spirit peninjauan itu juga

20


semata-mata karena tidak bersesuaian dengan hati nurani rakyat. Itu yang saya ingin tanyakan. Terima kasih. 76.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, itulah pertanyaan-pertanyaan. Saya tambah satu pertanyaan yang nanti sekaligus dijawab oleh Pemerintah pada persidangan berikutnya kalau perlu. Jadi begini, dulu buku-buku Pramudya Ananta Toer itu dilarang, tidak beredar. Tapi sesudah reformasi itu di toko-toko banyak, saya juga punya hampir lengkap, boleh beli. Sekarang ke toko juga ada itu bukunya Ananta Toer. Padahal undang-undangnya sama, kalau begitu ini yang salah undang-undangnya atau pemerintahnya? Itu satu. Ya, undang-undangnya sama kan, yang diuji sekarang ini? Sama berlaku. Nah, pada tahun ’93 saya menulis disertasi, itu yang bicara bahwa Undang-Undang Dasar itu harus diamandemen, harus dibentuk Mahkamah Konstitusi, macam-macam seperti reformasi sekarang. Tahun ’93 dan saya katakan Pemerintah kita ini rezim otoriter. Pada tahun ’93 disertasi saya itu mau ditawarkan kemana-mana tidak ada yang mau menerbitkan, tapi sesudah Pak Harto jatuh semuanya mau menertbitkan, padahal undang-undangnya sama. Saya minta penilaian dari Saksi juga, meskipun ini agak memerlukan keahlian, gitu, meskipun Pak Buyung hadir sebagai Saksi. Ini fenomena apa toh undang-undangnya sama, jangan-jangan undang-undangnya ini tidak salah ini, jangan-jangan. Kan, di lapangan nampaknya ini. Silakan Pak Buyung. Pertanyaan untuk Pak Adnan Buyung semua, jadi saksi yang lain tidak dapat pertanyaan, silakan.

77.

KUASA HUKUM PEMOHON VIII/2010: TAUFIK BASARI

PERKARA

NOMOR

20/PUU-

NOMOR

20/PUU-

Majelis, boleh tambah pertanyaan? 78.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Silakan.

79.

KUASA HUKUM PEMOHON VIII/2010: TAUFIK BASARI

PERKARA

Ya, baik. Kepada saksi Dr. Iur Adnan Buyung Nasution. Saya ingin meminta penegasan atas apa yang tadi disampaikan, ada 2.

21


Yang pertama, yang sedang kita uji objeknya adalah Perpres Nomor 4 Tahun 1963. Abang Buyung mengalami peristiwa pembangunan hukum pada saat zaman orde lama pada saat itu. Yang menjadi pertanyaan, mengapa kemudian pilihan hukumnya pada saat itu adalah Penetapan Presiden. Kondisi politik apa, kedaruratan apa yang terjadi pada saat itu sehingga tadi dikatakan ada dua sistem hukum yang berlaku, kenapa pilihannya untuk objek tentang pelarangan barang cetakan ini adalah penetapan..., Peraturan Presiden? Yang kedua, terkait dengan proses dari Perpres kemudian menjadi undang-undang, sama juga kondisi kedaruratan apa yang terjadi, mengapa kemudian ada kesan seperti yang Saksi katakan, kesan terburu-buru sehingga waktunya tidak cukup untuk meneliti secara dalam Perpres-Perpres ini. Sehingga akhirnya harus dipaksakan dia menjadi undang-undang. Kondisi sosial politik, kondisi kedaruratan apa yang terjadi pada saat itu, yang mungkin bisa kita ketahui pada saat ini. Terima kasih. 80.

KETUA: MOH MAHFUD. MD. Silakan, Prof. Adnan Buyung. Sekarang boleh duduk, boleh juga berdiri, tinggal Bapak pilih yang enak mana?

81.

SAKSI DARI PEMOHON: ADNAN BUYUNG NASUTION Majelis kalau diizinkan saya ingin duduk kali ini. Meskipun saya selalu memberikan contoh buat pihak Pemohon maupun Termohon, Jaksa maupun Pembela, seharusnya sesuai dengan tradisi mengagungkan pengadilan yaitu bicara harus dalam keadaan berdiri, hanya Majelislah sebagai the zittend magistraat namanya pengadilan hakim yang duduk..., yang boleh duduk, yang lainnya harus berdiri. Tapi buat Saksi, saya setuju kalau memang dibolehkan duduk. Terima kasih. Saya mencoba menjawab pertanyaan ini satu demi satu. Pertama, pertanyaan pertama tadi saya lupa nama-namanya, langsung saja pokok persoalannya adalah pembatasan tentang HAM, untuk pertanyaan kenapa, dan untuk apa, apa tahu sadar bahwa HAM itu tidak berlaku mutlak? Kira-kira kan begitu pertanyaan Saudara, ya? Saya ingin kemukakan bahwa dari dulu siapa pun yang mengerti cita-cita perjuangan bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan ini termasuk di dalamnya hak asasi manusia, kenapa? Karena kemerdekaan bangsa itu adalah bagian dari kemerdekaan manusia Indonesia. Hanya saja pengertian kita waktu itu, yang penting kemerdekaan bangsa ini dulu. Coba baca kembali perdebatan Soekarno dan Sutardjo di dalam BPUPK. Soetardjo yang terkenal dengan petisi Soetardjo yang meminta adanya tadinya selama masih Belanda berkuasa, cukup dominion saja. Indonesia ini negara merdeka ke dalam saja. Ya Pak Majelis tolong dikoreksi, para Ahli juga. Cukup negara yang ke dalam merdeka. Punya

22


folkstaat bisa ke undang-undang sendiri dan sebagainya. Tapi tetap di

bawah kedaulatan negara Belanda, hanya internal. Petisi itu pun ditolak oleh Belanda. Dan tahu nggak apa jawaban Pemerintah Belanda pada waktu itu? Yang amat menyakitkan hati para pejuang kemerdekaan, sampai sekarang saya kira kalau kalian juga ikut merasakannya betapa ayah-ayah kita dulu founding fathers itu Gubernur De Jong perbaiki kalau saya salah namanya. Pernah mengatakan sama petinggii Soetardjo, “Kalian mau merdeka? Kalian sudah dijajah 250

tahun sama Belanda, tunggu 200 tahun lagi paling kurang baru bisa merdeka.� Begitulah penghinaan kepada bangsa Indonesia.

Satu lagi yang ditanamkan oleh ayah saya, yang membuat saya selalu mendidih kalau bicara hak asasi manusia dan itu yang ditanya di Belanda waktu saya diuji promosi doktor. “Kenapa Bang Buyung kalau bicara HAM begitu berap-api?� Yang bertanya sudah meninggal sekarang Profesor Satjipto Raharjo. Ya, di samping berbagai alasan ilmiah, tapi cara saya bicara luar biasa. Dilihat orang atau oleh para penguji. Saya jawab sudah ada dalam darah daging saya. Karena saya dididik oleh ayah melihat dan selalu mengingat tidak boleh pernah lupa di dalam otak saya. Kalau lewat kita dulu naik mobil, saya ikut sama ayah kadangkadang naik mobil. Lewat di Harmoni, gedung Harmoni itu adalah gedung sociate of Harmony yang amat sangat diskriminatif. Yang pernah menulis di situ, karena yang boleh masuk itu hanya kulit putih. Anjing elit lebih putih, Belanda, Inggris, Amerika dan sebagainya. Tapi yang kelas lain tidak boleh, apalagi Inlander. Kita ini pribumi Inlander. Dan ayah saya mengatakan Buyung ingatlah di sinilah dulu penghinaan yang paling keji buat kita. Ada papan tertulis, ya kalau kita belok masuk ke Harmoni ya ada papan di situ, juga di pintu masuk verboden toegang Verboden voor honden en inlanders bahasa Indonesianya dilarang masuk bagi pribumi dan anjing. Bayangkan, kita semua ini dianggap anjing kelasnya. Senafas setara. Jadi, kalau ditanya apa itu kemerdekaan bangsa ini? Bukan sekedar kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan asing sebagai bangsa. Di situlah kekurangan pemahaman kita, itu isi disertasi saya. Mencoba memberikan makna arti kemerdekaan itu. Kemerdekaan kita orang perorangan. Nah, itulah HAM. Maka kalau berbicara demokrasi, bicara negara hukum, akhirnya itu ujungnya rohnya adalah hak asasi manusia. Selama kemerdekaan pada diri sendiri berarti buat kita tiap orang, termasuk kemerdekaan berekspresi yang sekarang dipersoalkan, itu bagian hak asasi manusia. Kemerdekaan untuk mengekspresikan diri kita dengan tulisan, lisan maupun tulisan. Maka selama itulah kita belum merdeka. Tentu saja sekarang istilahnya HAM-nya kenapa nggak dibatasi? Boleh dibatasi. Boleh dibatasi, bukan kita saja di Undang-Undang Dasar 1945 yang direvisi mengatakan begitu. Baca kembali Universal Declaration of Human Rights yang dibuat tahun 1948 oleh PBB. Pasal terakhir juga mengatakan, tidak satu patah pun dari hak asasi manusia, 23


tidak satu butir pun hak asasi manusia yang tidak bisa dibatasi. Boleh dibatasi dengan undang-undang. Tapi harus ada tujuannya yang legitimate. Tujuannya adalah untuk menjaga jangan melanggar hak asasi orang lain. Dan juga ketertiban umum tentunya. Tapi ketertiban umum, jangan salah mengerti seperti zamannya orde lama, orde baru itu dulu. Ketertiban umum sebetulnya, kalau kita mau pakai bahasa yang lebih baik, ya. Bahasa Inggris law and order. Kita malah terberengun jadikan keamanan dan ketertiban (Tantib). Mengamankan difungsi, jalannya pemerintah dan sebagainya. Jadi, kalau ada pembatasan saya tidak menolak, tapi dengan cara yang demokratik. Melalui undang-undang dengan tujuan untuk melindungi hak asasi manusia. Jadi, pertanyaannya pokok kalau misalnya ada kemerdekaan asasi dari kita, saya boleh bebas keluar masuk di Indonesia mau kemana. Boleh kemana saja. Apa saya boleh masuk rumah orang? Kan tidak boleh. Saya boleh membaca apa saja? Apa saya boleh baca surat pribadi dia? Tidak bisa, tapi itu kan untuk melindungi hak asasi orang ini. Keluar masuk perkara orang juga peduli hak asasi orang lain, jangan sampai digangu privacy-nya. Jadi, mesti juga dipakai nalar di sini dalam hal apa? Dan dalam tujuan legitimasi apa boleh dibatasi? Nah, sekarang saya tanya balik sama Saudara semua. Apa alasan legitimate untuk masih memberlakukan ini undang-undang yang membatasi barang cetakan atau penerbitan buku? Tolong jawab, ini akan menjadi terjadi isu perdebatan. 82.

KETUA : MOH. MAHFUD MD. Tidak, jawabannya nanti di kesimpulan atau di sidang berikutnya saja. Saudara sekarang waktunya mendengar.

83.

SAKSI DARI PEMOHON: ADNAN BUYUNG NASUTION Oke, yang kedua dulu, ya yang kedua baik. Maaf Pak tangan saja, ya. Persoalan ini memamg masalah yang menarik, sudah saya peringatkan dari mula kepada teman-teman. Dua, apa yang terjadi, pengalaman empiris saya dalam waktu keluarnya Undang-Undang Nomor 65 /1969 itu. Tadi saya memakai alasan yang mudah dipahami oleh kita semua, waktu terbatas. Bahkan kurang orang mungkin tenaga ahli untuk mengkaji kembali, ya? Untuk melakukan peninjauan kembali. Tapi itu dalam hati kami, para aktivis yang semua waktu itu aktif, sekiranya Pemerintah waktu itu memang mau sungguh-sungguh mau mengkaji gak usah saja, dibentuk komisi negara. Taruh di situ semua orang dari mula ikut memperjuangkan hak asasi manusia ini. Saya ikut dari mula masih Badan Pekerja MPRS sebelum tahun 1966 dalam sidang. Sudah terbentuk itu Tap MPRS tapi akhirnya ditolak, Tap MPRS itu. Nah, banyak orang-orang ini (suara tidak jelas) sekarang saya suruh banyak yang

24


meninggalkan kita persoalan sebagai Sunny Dawam Raharjo, ya. banyak lagilah, Askin Kusumaatmaja, Fimdoyati, Masyuri, Sulistiyo banyak sekali teman-teman, ya yang betul-betul concern dan membantu Pak Nas membantu Subhan ZE, membuat ini, siang malam. Kumpulkan lagi. Pemerintah bisa memberi kepercayaan untuk bisa mengkaji, saya yakin bisa. Nah, sekarang kenapa tidak bisa? Ini alasan yang saya kira tadi belum saya kemukakan. Konstelasi politik yang setelah 2 tahun yang dinyatakan the honeymoon of the new orders. “buku bahasa asing baca” tentang orde baru diledek kita the honeymoon of new orders. Bulan madu orde baru, dimana kita ini para aktivis pada zaman itu tentara masih manis hubungannya. Begitu mulai tahun 1968, pendensi kembali ke otoriterisme, kembali pada cara-cara penindasan orde lama, cara-cara represif, korupsi, penyelewengan sudah mulai lagi. Pemerintah menjadi otoriter. Salah satu contohnya, sayalah korban pertama anggota DPR, anggota MPR, Jaksa yang harus keluar dari Jakarta ini. Sudah itu banyak lagi beruntun semua, lihatlah penangkapan-penangkapan terjadi. Arif Budiman tadi saya katakan, Aris Tidaskatopo, banyak lagi sudah mulai impresif, demonstrasi dilarang ini dilarang, ya? Bahkan surat kabar dibredel, sudah mulai, siapa nusantara. Siapa yang bela, saya yang bela nusantara. Coba Jaksa ingat buka lagi filen Anda. Bagaimana harian “Nusantara” menggeritik pembangunan ekonomi dengan editorial, isinya kritik, pojok kritik, itu jadikan bukti oleh Jaksa semua, penghinaan, pencemaran daripada nama baik Pemerintah. Mulai kembali otoriterisme, tadi ada pertanyaan dari Pak Akil yang menarik, sama saya atau siapa tadi, “kok DPR waktu itu diam saja.” Lah, orang sudah suasana kembali otoriterisme tuh mulai ditangkap sana-sini. Orang mulai diintelin di mana-mana, Buyung Nasution tuh, contoh lancang berani, dicopot, dipecat. Sudah banyak contoh waktu itu kejadian. (…) 84.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Sebentar Bapak, sedikit, Pak Buyung sebentar saya mau tanya,

nyela. Apakah pada waktu itu di by pass atau ada pembicaraan dengan DPR meskipun misalnya hanya formalitas atau karena dipaksa?

85.

SAKSI DARI PEMOHON: ADNAN BUYUNG NASUTION Saya kira tentu ada, kalau nggak, nggak namanya undangundang dong!

86.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Tapi Bapak tidak tahu pasti ada atau tidaknya?

25


87.

SAKSI DARI PEMOHON: ADNAN BUYUNG NASUTION Saya tahu pasti ada, tapi DPR RI nya sudah jangan lupa, semua yang aktifis sudah out semua dong, 1968 itu, sudah dikeluarkan istilahnya manis diritul, ya. termasuk Ismail Sunni, (suara tidak jelas) Raharjo banyak lagi semuanya. Jadi DPR-nya ini sudah mulai lagi tunduk pada kebawaan penguasa. Bagaimana kita harapkan akan adanya check and balances- nya waktu itu, sudah mulai tidak ada. Nggak kayak zaman Pak Akil sekarang, bisa bagaimana DPR bisa apa‌, bersikap. Pertanyaan berikutnya tadi, apakah‌, tadi sudah ya, kepada DPR sudah (suara tidak jelas) empiris Undang-Undang Nomor 5 ini, apakah ini menggangu? Tentu saja menggangu, sampai sekarang masih mengganggu terus saya, menghalangi. Yang paling penting tadi sudah disebut tentang buku Pramudya Ananta Toer tahun berapa itu? Saya kira, saya di Belanda tahun 1990 masih, itu pernah terjadi di Indonesia ini satu studi perbandingan di Fakultas Sastra UI, 4 orang di situ pimpinannya mengundang Pramudya, mengundang lawannya. Saya lupa namanya siapa waktu itu diundang, ya? Untuk berdiskusi tentang buku. Akibatnya keempat orang aktivis UI itu dipecat dari UI dan pergi ke Belanda dan saya ikut melindungi mereka di Belanda, itu contoh dulu. Sekarang berapa banyak buku ini..., ini yang dilarang sekarang? Maka saya balik ke pertanyaanya tadi, larang apa legitimasinya? Kalau undangundang ini harus dibuang, sudah nggak cocok undang-undang ini sebenarnya. Kecuali kita mau mempertahankan sejarah yang salah, kita korba sejarah jadinya. Pertanyaan tadi apalagi? Kembali..., masih ada nggak yang..., lupa saya belum..., tadi saya masukkan (...)

88.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Ya, saya kira cukup, ya?

89.

SAKSI DARI PEMOHON: ADNAN BUYUNG NASUTION Sudah semua?

90.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Sudah, Bapak.

91.

SAKSI DARI PEMOHON: ADNAN BUYUNG NASUTION

Alhamudlillah.

26


92.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, kalau begitu kita teruskan kepara Ahli. Di dalam jadwal-jadwal persidangan, di sini akan berakhir jam 12.00, karena nanti jam 12.00 kita harus beristirahat ada waktu 45 menit. Mungkin bisa bicara pendek-pendek, gitu, 10 menit, 10 menit, 10 menit, gitu barangkali sehingga nanti..., karena Ahli kita, akan dengarkan dengan sebaik-baiknya yang kalau tidak sangat terpaksa tentu tidak ada pertanyaan. Pertama Prof. Frans Magnis.

93.

AHLI DARI PEMOHON: FRANS MAGNIS SUSENO Majelis yang saya muliakan. Saya mencoba untuk tidak melampaui waktu. Saya ingin dan diminta memperlihatkan, mengapa pelarangan buku begitu merugikan masyarakat, saya tidak masuk bahwa itu juga bertentangan dengan Pasal 9 Declaration of Human Right. Saya mau membuat suatu catatan mengenai buku pada umumnya dan juga mengenai buku tentang sejarah. Tentu yang begitu khas bagi buku dan mengapa dia begitu penting dalam pencerdasan umat manusia adalah bahwa buku itu memungkinkan penyampaian ajaran, cerita informasi, cita-cita, refleksi pendapat, menyeberangi ruang dampak itu dan untuk mengarsipkannya, sehingga dia tersedia dan bisa menjadi titik tolak pembicaraan dan kelanjutannya tidak mungkin selama itu secara lisan. Nah, buku mencerdaskan tentu dari dua‌, dengan dua cara, yang satu dia membawa, menyebarkan cerita, pendapat, informasi apapun. Tetapi kedua dia juga mengkritik cerita, pendapat, informasi apapun yang sudah ada. Dengan demikian membantu umat manusia untuk menjadi bebas dari kekeliruan-kekeliruan. Jadi dua-duanya itu sangat penting dan karena itu efeknya buku bukan hanya mencerdaskan dan mendewasakan, tetapi juga membantu masyarakat untuk menjadi dewasa dalam kemampuan menilai sendiri mana yang benar, mana yang tidak benar? Jadi orang menjadi lebih dewasa. Itu khusus juga berlaku bagi buku, kalau saya misalnya membuat pernyataan Departemen Peternakan kalau ada itu korup..., itu gampang. Tapi saya kalau saya mau menulis buku mengenai korupsi di dalam Departemen Peternakan terpaksa saya harus bawa argumentasi. Nah, ini bisa kuat, bisa lemah, bisa bohong, tapi begitu itu ada dalam buku, tuduhan saya bahwa Departemen Peternakan itu korup terbuka bagi kritik, tanggapan, bisa dilihat ini ada dasar atau omong kosong. Nah, ada satu hal yang barangkali juga penting publikasi menyatakan pendapat dalam buku itu bukan hanya tidak menggangu ketertiban umum melainkan memantapkannya, tentu buktinya adalah masyarakat dimana kebebasan itu besar biasanya ketertiban umum juga ada. Alasannya kalau misalnya mengenai salah satu masalah publikasi

27


tidak diizinkan, lama-lama terdapat semakin banyak perasaan kecewa tidak puas, marah akhirnya akan meledak dan itu yang bisa mengganggu ketertiban umum. Kalau itu terbuka akan ada proses terus menerus, saling mengkritik terjadi dalam civil society masyarakat itu tetap mantap dan kalau ada pendapat yang gawat, ya pasti akan ada yang membantah dan sedemikian terus. Yang tidak suka dengan kebebasan itu tentu dengan sendirinya penguasa, maksud saya bukan hanya penguasa yang jahat atau sebagainya, penguasa merasa terganggu dengan pemikiran alternatif dan dia sudah punya rencana mungkin bagus pemikiran alternatif orang mengatakan itu non sens dan itu mengganggu, padahal mungkin penting karena barangkali itu memang non sens, penguasa belum tentu punya wewenang kebenaran. Sayang itu juga berlaku bagi penguasa keagamaan. Gereja Katolik punya pengalaman, dari sekitar tahun 1490-an sampai dengan tahun 1965, Gereja Katolik punya indeks istilahnya, daftar buku-buku terlarang. Sekarang, kami, saya Katolik malu buku macam apa yang masuk di situ? Ada buku yang bagus, buku sejarah misalnya filosof Khan tapi juga cerita mengenai Count of Monte Christo {sic} dan apapun itu masuk. Itu tidak hanya memalukan bagi gereja sekarang malah‌, tapi merugikan. Andaikata buku-buku itu dulu bisa dibaca di dalam gereja, dibaca oleh para Teolog, bisa ada di dalam perpustakaan seminar-seminar pasti menguntungkan, bukan merugikan. Meskipun barangkali seorang pejabat di Vatikan merasa itu terlalu berbahaya dan sebagainya. Yang juga tidak suka dengan kebebasan itu adalah semua gerakan yang totaliter dan itu kita punya pengalaman tentu yang paling mengerikan totalitersmeti {sic}. Jerman, Nazi Jerman dan juga komunisme. Dulu kalau orang berjalan ke Jerman Timur dia diperiksa apa bawa buku? Nggak boleh bawa buku, itu. Begitu mereka takut Nazi mulai tahun 1933 dengan membakar ribuan jenis buku sebagai non Jerman dan sebagainya, termasuk Einstein karena dia orang Yahudi dan Jerman waktu itu mau fisika yang Jerman, mungkin karena itu Jerman tidak dapat bom atom karena fisikanya tidak khusus Jerman atau sebagainya. Nah, gerakan-gerakan seperti itu memakai intimidasi dan memakai juga ancaman dan kekerasan dan di situ ketertiban dalam masyarakat bisa diganggu kalau negara tidak berani menegakkan hukum yang sebetulnya melarang itu, membiarkan, milisi, milisi-milisi, membiarkan preman-preman membawa kepicikan mereka, seakan-akan mereka bisa menilai apa yang boleh dibaca orang atau tidak. Sedikit catatan tentang buku sejarah, buku tentang sejarah. Itu memang di situ masalah tadi muncul dengan lebih tajam, karena pengartian sejarah langsung berpengaruh pada legitimasi penguasa. Barangkali sudah keribuan tahun sejarah resmi adalah sejarah para pemenang. Merekalah yang mengartikan dan menulis sedemikian rupa

28


sehingga yang terjadi di sejarah membenarkan mengapa mereka itu berkuasa dan kebijakan yang mereka ambil, dan misalnya itu lalu masuk juga di dalam sekolah. Tetapi masyarakat tentu berkepentingan pada kebenaran, tidak mungkin masyarakat maju atas dasar premis-premis yang keliru, meskipun itu mampu. Mampu mendukung‌, apa namanya.., penguasa. Nah, kebenaran sejarah memang sesuatu yang sulit karena kebenaran sejarah secara hakiki memuat interpretasi karena sejarah itu sudah terjadi, apapun yang dikatakan ditulis tentang sejarah merupakan seleksi, menyeleksi dari sudut mana tidak mungkin itu di buat bebas nilai, jadi ada interpretasi. Di lain pihak ilmu sejarah juga filsafat sejarah sudah sangat maju dan ada cara-cara yang bisa menjamin bahwa kebenaran sejarah mendekati kebenaran 100% tidak akan pernah tercapai, tidak akan pernah tertutup yaitu dengan diskursus. Jadi yang perlu di situ justu kontroversi, sebuah pendapat sejarah pengartian peristiwa tertentu diserang oleh buku lain. Belum tentu buku itu lebih benar. Tetapi memajukan masalah, mereka yang punya pendapat dulu harus sekarang mengambil sikap filosofi, menyebut itu dialektika. Jadi kebenaran tercapai dengan saling perlawanan tapi mengerti, bukan dengan cara memakai buku misalnya mukul orang, itu tidak. Tetapi memang membaca isinya. Maka buku sejarah pun penting kita membukanya untuk menjadi rekonsiliasi dengan sejarah kita sendiri, juga mempunyai keberanian untuk melihat hal-hal yang barangkali negatif bisa di pastikan setiap peristiwa ada negatifnya itu normal dan kita lalu secara intern akan lebih damai dan lebih terbuka. Maka, saya ingin merangkum bahwa melarang buku itu sebetulnya kebalikan dari pencerdasan kehidupan bangsa yang pembodohan kehidupan bangsa dan akan terasa dalam mandek kemajuannya. Saya mau mengakhiri dengan kalimat yang agak keras, maaf “Hanya bajingan yang takut kebenaran.â€? Terima kasih. 94.

KETUA: MOH MAHFUD. MD. Terima kasih Pak Prof. Frans Magnis Suseno. Berikutnya Bapak Atmakusumah.

95.

AHLI DARI PEMOHON: ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA Bapak-bapak dan Ibu Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Penerbitan media pers cetak seperti surat kabar, tabloid dan majalah tidak lagi di sensor dan tidak boleh dilarang terbit atau tidak boleh dibredel, setelah berlaku Undang-Undang Pers Tahun 1999 yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 13 September

29


tahun 1999, dan kemudian disahkan oleh Presiden B.J Habibie 10 hari kemudian. Jadi nasib media pers cetak, dengan demikian telah sama sekali bertolak belakang dari keadaan pada masa sebelumnya. Berlainan dengan nasib terbitan buku yang dianggap isinya dapat mengganggu ketertiban umum. Baik media pers cetak maupun terbitan buku, sebelum ada Undang-Undang Pers tadi sama nasibnya seperti upamanya yang disebutkan di dalam Ketetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1993 tentang Pengamanan Terhadap BarangBarang Cetakan yang Isinya Dapat Menggangu Ketertiban Umum, yang menyatakan pada Pasal 2 ayat (3) bahwa barang cetakkan yang dimaksud adalah buku-buku, brosur-brosur, buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, penerbitan-penerbitan berkala, pampletpamlet, poster-poster, dan sebagainnya. Pada hemat saya, tidak ada perbedaan isi dari media pers cetak dan buku. Kedua-duanya berisi pendapat dan informasi tercetak, perbedaannya hanyalah formatnya saja. Buku dan media cetak berlainan dalam bentuk format, tapi isinya sama. Dengan demikian pada hemat saya yang satu tidak lebih berbahaya dari yang lain. Kalau isi buku dianggap berbahaya, dapat menganggu ketertiban umum, apa media pers cetak tidak seperti itu? Selain itu media pers cetak ini dikelola dengan tenggat waktu atau deadline yang sangat ketat, yang sangat terbatas. Sehingga isinya menurut pendapat saya dapat sangat instant atau dangkal. Sedangkan isi buku pada umumnya disusun dalam proses waktu yang sangat fleksibel, bisa lama dan bisa bertahun-tahun berdasarkan penelitian sehingga akurasi dari isi buku bisa jauh dari lebih kuat daripada isi media pres cetak. Pertanggungjawaban isi buku pun bisa jauh lebih kuat dari pada isi media cetak. Dengan demikian, isi buku pada umumnya merupakan produk dari hasil renungan yang jauh lebih dapat dipertanggung jawabkan daripada isi media pres cetak pada hemat saya. Tidak sedikit pula dari terbitan buku, termasuk yang sekarang dilarang beredar merupakan hasil penelitian selama bertahun-tahun lamanya sehingga akurasi isinya dapat lebih dipercaya daripada laporan media pers cetak. Oleh karena itu tuntutan masyarakat pembaca melalui gugatan hukum terhadap isi buku sangat jarang terjadi di negara manapun di dunia termasuk di Indonesia. Silakan dibandingkan dengan jumlah tuntutan hukum, baik perdata maupun pidana oleh publik terhadap laporan dan ulasan dan tulisan dalam media cetak yang sering terjadi juga di negara kita. Dilihat dari segi pengaruh, media cetak, buku dan media pers cetak dapat dengan fasih dinilai bahwa pengaruh isi media pers cetak jauh lebih luas daripada isi buku, karena oplah atau tiras media pers cetak dapat mencapai puluhan sampai ratusan ribu eksemplar. Sedangkan tiras buku hanya beberapa ribu eksemplar. Harian “Kompas� misalnya bertiras 500.000 eksemplar setiap hari, hampir tanpa libur atau lebih. Sedangkan terbitan buku di negeri kita

30


rata-rata hanya sekira 2000 sampai 5000 eksemplar saja, hanya ada sejumlah kecil terbitan buku yang pernah dicetak 10.000 sampai 50.000 dalam waktu satu tahun tapi jumlahnya sangat sedikit. Pada masa reformasi selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, baik publik maupun pejabat negara mengkritik sejumlah laporan media massa, termasuk media pers cetak yang dianggap provokatif bagi wilayah konflik seperti di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Barat. Sebaliknya perlu dipertanyakan seberapa banyak terbitan buku yang pernah menjadi sasaran serupa itu dari publik dan dari pejabat negara selama satu dasawarsa belakangan ini? Seperti para pembaca media pers cetak, demikian pula para pembaca buku pada umumnya memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi karena mereka harus mampu membaca dan memahami jalan pikiran yang tertuang dalam kalimat-kalimat tertulis, yang kadang-kadang kompleks. Dengan demikian, intelektualitas para pembaca media cetak dapat berbeda dari umpamanya para pendengar suara radio dan para penonton siaran televisi yang tidak harus memiliki kemampuan membaca. Oleh karena itu, reaksi para pembaca lazimnya tidak seemosional para pendengar siaran radio dan para penonton siaran televisi. Menurut pengalaman saya, larangan terhadap peredaran buku tidak pernah efektif dalam situasi politik apapun termasuk pada masa pemerintahan otoriter orde baru selama 30 tahun dan dalam suasana yang sama selama 10 tahun terakhir pada masa orde lama. Kembali Saya ingin mengungkapkan buku-buku karya sastrawan Pramudya Ananta Toer misalnya, yang beredar luas di negeri kita pada masa orde baru, walaupun dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung dan ada seorang penjual eceran bukunya yang ditangkap di Yogyakarta dan diadili dan dimasukan ke dalam penjara. Tapi peredaran buku Pramudya Ananta Toer tidak pernah berhenti. Ada keluarga pembaca yang memiliki 3 sampai 4 eksemplar dari setiap karya Pramudya Ananta Toer di rumahnya karena semua anggota keluarganya, istrinya, suaminya, anakanaknya ingin membaca buku itu sekaligus dalam waktu yang bersamaan tidak ingin bergantian. Buku-buku karangan Pramudya yang dilarang beredar di Indonesia pada masa orde baru menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa jurusan sastra di universitas di Malaysia, sementara di Indonesia dilarang. Salah satu novelnya yang diterbitkan di Malaysia dalam bahasa melayu memasang foto Wakil Presiden Adam Malik di halaman kulit belakang novel itu dan sekalian memuat pujian Adam Malik terhadap karya Pramudya Ananta Toer yang dilarang di Indonesia. Pada masa orde lama karya novel sastrawan dan wartawan Mochtar Lubis, “Senja di Jakarta” hanya dapat diterbitkan di luar negeri berupa terjemahannya ke dalam bahasa inggris “Twilight in Jakarta” dan dalam bahasa melayu “Senja di Jakarta.”

31


Dengan demikian, publik di negara-negara lain lebih beruntung karena dapat lebih cepat dan lebih lapang untuk memperoleh pengetahuan tentang alam pikiran yang sedang berkembang di Indonesia. Masyarakat kita seolah-olah sedang terisolasi di negeri asing dari perkembangan intelektual di tanah airnya sendiri. Larangan peredaran beberapa buku sekarang ini pun seakan-akan sedang memisahkan kita dari masa lampau kita, dari pengalaman sejarah kita pada masa peralihan orde lama ke orde baru dan dari peristiwa yang sama historisnya di Timor Lorosay. Lagi-lagi masyarakat di negara-negara lain lebih beruntung karena lebih memahami sejarah Indonesia dari pada bangsa kita sendiri. Seperti isi media cetak juga isi buku tentulah dapat digugat melalui proses hukum di pengadilan akan tetapi tidak harus berarti mengalami pelarangan serta merta dan secara keseluruhan bagi seluruh isi buku tanpa proses hukum yang adil. Barangkali proses hukum yang pernah terjadi di Inggris yang dialami oleh buku sastrawan terkemuka .,.,..,menarik untuk kita renungkan dan mungkin dapat menjadi contoh di Indonesia. Buku ini sedang diterbitkan. Awal abad yang lampau dilarang terbit di Inggris dalam bentuknya yang lengkap. Tetapi para pembaca masyarakat inggris boleh membaca yang dipotong, yaitu yang dihapuskan bagian-bagian yang dianggap pornografis. Akan tetapi kurang lebih 30 tahun kemudian baik publik maupun para hakim di Inggris berubah pandangan. Penerbit buku terkemuka dan bergengsi Pinguins Limited menerbitkan buku �The Age Laurance Lady Catalis Lover Lady Catalis Lover� itu, atau �Kekasih Nyonya Cately� itu dalam bentuknya yang lengkap, termasuk yang tidak boleh beredar di Inggris. Jadi penerbit ini dengan sengaja melawan hukum. Oleh karena itu, penerbit Pinguins books diadili, atau buku ini diadili. (Novel ini diadili). Diadili dalam waktu hanya beberapa hari hanya 5 atau 6 hari antara tanggal 20 Oktober dan 2 November 1960. Di Pengadilan Old Belle di London. Pada akhir pemeriksaan peradilan itu hakim kemudian membebaskan buku ini, sudah tidak sesuai lagi dengan zaman bahwa novel seperti ini dilarang dalam bentuknya yang lengkap. Setelah mengerahkan sejumlah Saksi yang memberikan pandangan yang mendukung novel ini, Pinguins Limited memenagkan perkara itu dan buku ini pun dalam bentuknya yang utuh boleh beredar di Inggris. Pembebasan novel karya Laurance itu dari jerat hukum dipandang sebagai awal kehancuran kekuasaan pihak berwajib untuk menyensor novel di Inggris. Terima kasih, Bapak-Bapak dan Ibu Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. 96.

KETUA : MOH. MAHFUD MD Terima kasih Bapak Atmakusuma Astraatmadja.

32


Berikutnya, Saudara Donny Gahral Adian. Silakan. Para Saksi dan Ahli, tadi saya lihat ada tulisan-tulisan yang dibaca kalau boleh nanti harap ditinggalkan di sini di Panitera. Silakan Saudara. 97.

AHLI DARI PEMOHON: DONNY GAHRAL ADIAN

Baik, Majelis Hakim Yang saya muliakan. Perkenankan saya mengajukan argumentasi berdasarkan profesi saya sebagai Dosen Filsafat Politik. Saya mengajar filsafat politik, sudah cukup lama dan pernah suatu ketika diminta untuk menghapus seluruh bahan-bahan marxisme dari perkuliahan saya. Dan saya menolak, karena filsafat politik tanpa marxisme adalah bukan apa-apa dan itu pembodohan. Saya akan mengajukan 3 buah argumentasi: 1) Penpres Nomor 4 PNPS 193 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 30 ayat (3) Huruf c, berpotensi melahirkan rezim totalian baru. Seperti kita ketahui kemunculan Penpres Tahun 1963, konteks pemunculan Penpres Tahun 1963 adalah konteks demokrasi terpimpin yang menuntut kepunggalan gagasan dalam mengatur jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Orde baru memanfaatkan perangkat yuridis tersebut dengan menetapkannya dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1969. Setali tiga uang, dengan orde lama, orde baru menginginkan sebuah rezim yang diatur oleh satu gagasan dan satu pikiran yang kebal dari segala pertanyaan dan gugatan. Gagasan Pancasila versi orde baru pun akhirnya memiliki 2 musuh yang harus dikendalikan distribusi pikirannya. Kedua musuh tersebut dikenal dengan sebutan ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Meskipun kemudian ada lagi ekstrim lain-lain untuk mencakup seluruh kekuatan oposisi. Pikiran kedua ekstrim tersebut harus dibatasi, karena dianggap kontra terhadap Pancasila versi orde baru sehingga dapat mengganggu ketertiban umum. Persoalannya di sini, gagasan mengenai ketertiban umum dicampuradukan dengan kelangsungan rezim setiap gagasan yang berlawanan dengan gagasan yang menopang rezim Pancasila orde baru, serta merta dihasilkan sebagai mengganggu ketertiban umum. Sementara ironisnya aksi rezim dalam mengamankan kekuasaan dengan jalan kekerasan atau represif tdak pernah masuk dalam kategori mengganggu ketertiban umum. Tafsir mengganggu ketertiban umum dan barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum sepenuhnya berada digenggaman rezim tanpa pernah disangkal atau dibantah. Di sini, saya kira urgensi pembatalan Penpres Nomor 4 Tahun 1963 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 mendapatkan signifikansinya. Apa yang sedang kita pertaruhkan dengan mempertahankan undang-undang atau produk hukum tersebut adalah demokrasi itu sendiri.

33


Kita perlu menghitung resiko paling ekstrim dari dibiarkannya produk hukum tersebut, yakni bergantinya demokrasi sebagai sistem politik yang sudah disepakati bersama dengan totalianisme. Saya hanya mengatakan ruang totaliter yang disediakan produk hukum tersebut cukup lebar, berbahaya apabila dibiarkan tanpa koreksi. Kedua, prinsip yang mendasari demokrasi adalah kebisakeliruan atau valibilism. Demokrasi adalah satu-satunya sistem politik yang menjamin bahwa tidak ada gagasan yang dapat serta-merta diklaim sebagai absolut dan kebal gugatan. Apa yang dijamin demokrasi, pertama-tama bukan kesejahteraan melainkan ruang demokratis, yang mana setiap gagasan dapat disangkal oleh gagasan lain melalui jalan persuasi dan argumentasi. Demokrasi pada prinsipnya adalah instabilitas. Instabilitas di sini harus dimengerti sebagai suasana politik, dimana setiap pikiran atau gagasan mendapatkan antagonismenya, sehingga tidak ada pikiran yang absolut. Semuanya kontingen dan bisa keliru. Di sini sesungguhnya demokrasi berfungsi sebagai katalisator kekerasan, demokrasi senantiasa mengutuk kekerasan sebagai sarana untuk melenyapkan gagasan tandingan. Demokrasi adalah arena saling bantah, gugat dan kritik tanpa kekerasan yang akan membawa masyarakat kita ketingkat peradaban yang lebih tinggi. Pelarangan terhadap artikulasi gagasan melalui barang cetakan, baik secara konvensional maupun virtual dapat memadamkan gairah demokratis untuk saling berbantahan tanpa kekerasan. Dengan kata lain pelarangan terhadap artikulasi gagasan melalui buku, misalnya, dapat membuka jalan bagi kekerasan sebagai bentuk interaksi antar manusia yang jauh dari keadaban. Ketika buku dilarang, maka gagasan dilawan dengan fisik dan bukan dengan gagasan lain. Hal tersebut justru dapat mengganggu ketertiban umum yang disebutkan dalam produk perundang-undangan tadi disebutkan. Apalagi dalam sistem demokrasi, kita tidak dapat sertamerta mengklaim bahwa satu buku berbahaya bagi ketertiban umum, sebab klaim itu sendiri tidak dapat melepaskan diri dari prinsip kebisakeliruan. Ketiga, gagasan berbeda secara diametral dengan tindakan, sehingga tidak dapat dikriminalisasikan. Gagasan dalam buku dapat saja menghasilkan keyakinan. Namun keyakinan masih harus menyebabkan kehendak sebelum akhirnya melahirkan tindakan. Jadi ada jarak yang sangat lebar antara gagasan dan sampai pada tindakan. Antara gagasan dan tindakan terbentang jurang yang sangat lebar. Perkenankan saya untuk mengambil contoh dari peristiwa keseharian. Seorang bekas pencopet menuliskan gagasannya tentang teknik mencopet, kita selaku komunitas pembaca serta-merta bereaksi negatif dan menuntut agar buku tersebut dilarang untuk beredar karena dapat mendorong orang untuk melakukan tindakan kriminal mencopet. Namun siapa yang dapat memastikan efek kriminal dari buku teknik mencopet? Sebab bisa jadi buku tersebut justru dapat membuat orang

34


semakin waspada terhadap aksi pencopetan. Alih-alih menghasilkan tindakan kriminal buku tersebut menghasilkan tindakan yang mencegah kriminalitas, marxisme, bisa menghasilkan pemberontakan, bisa juga menghasilkan seorang pastur yang welas asih dan merawat anak-anak jalanan. Jadi, saya kira kita tidak bisa pastikan apa yang dihasilkan dari sebuah buku. Buku adalah artikulasi gagasan, dan gagasan apapun itu tetaplah merupakan gagasan, yakni sesuatu yang bukan fisik yang berbeda secara diametral dengan tindakan. Apa yang bisa dilarang adalah tindakan dan bukan gagasan sebab seperti sudah dikemukakan. Pertama, gagasan berbeda dengan tindakan. Kedua, gagasan tidak dapat dipastikan mengganggu ketertiban umum. Sebab gagasan memiliki kemungkinan yang sangat luas dalam menghasilkan tindakan dan gangguan terhadap ketertiban umum hanya satu dari sekian kemungkinan tersebut yang tidak dapat dipastikan, probabilitasnya tidak diketahui. Pembunuh John Lennon, penyanyi terkenal asal Inggris mengaku mendapat inspirasinya dari sebuah novel yang ditulis seorang bernama J.D. Salinger. Namun setelah itu tidak ada larangan bagi peredaran novel tersebut. Sebab saya kira masyarakat beradab adalah masyarakat yang meyakini bahwa buku adalah sebuah kemungkinan dan bahkan maksud pengarang pun tidak dapat lagi dipastikan ketika bertemu dengan deret kemungkinan pembacaan. Pelarangan buku bukan sekedar pelanggaran serius terhadap hak menyatakan pikiran, namun juga hak membaca, yang dalam konstitusi kita Pasal 28F disebut sebagai hak untuk memperoleh informasi. Majelis Hakim yang saya muliakan, demikian keterangan yang saya sampaikan, apabila ada perkataan salah saya mohon maaf dan perhatian Yang Mulia sekalian saya ucapkan banyak terima kasih. 98.

KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Terima kasih, Pak Doni. Berikutnya Bapak Yudi Latif P.Sd. Silakan, Pak!

99.

AHLI DARI PEMOHON : YUDI LATIF Majelis Hakim Yang Mulia. Terus terang saya bersusah payah datang ke ruangan ini karena harus meng-cancel dua acara lain. Tapi kedatangan saya ini betul-betul karena suatu kesadaran bahwa ini persoalan yang diajukan ini adalah sesuatu yang sangat genting, karena ini merupakan suatu garis batas antara masa lalu dan masa depan, antara otoritarianisme dan demokrasi, antara masyarakat beradab dan masyarakat biadab. Dan yang lebih penting adalah bahwa ini adalah masalah yang sangat fundamental di dalam prinsip konstitusi kita.

35


Setelah berpanjang lebar Supomo menyatakan keberatannya atas gagasan Yamin untuk memasukan persoalan separation of right ke dalam konstitusi. Hal pertama yang mengajukan reaksi terhadap Supomo justru datang dari golongan Islam namanya Agus Salim mengatakan, “saya tidak tahu negara yang kita dirikan itu negara kekeluargaan atau negara perseorangan.” Tetapi dia bilang, “saya tahu di dalam konstitusi dan ini pun sekali pun yang pasti sekali pun hak-hak warga itu diakui.” Kemudian datang lagi dari Sukiman, dari golongan Islam juga. Dia katakan “saya tentu setuju dengan gagasan negara kekeluargaan, tetapi kita harus mengerti psikologi massa.” Bahwa sekarang rakyat kita dalam situasi demokratisasi yang luar biasa karena selalu masa kolonial mereka tidak diakui hak-haknya. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali semangat militansi rakyat, hak-hak mereka untuk menyatakan pendapat itu harus diatur di dalam konstitusi. Maka tanggal 14, giliran Hatta mengatakan 20 tahun saya berjuang melawan individualisme, tetapi jangan sampai negara kekeluargaan yang kita sepakati ini berubah arah menjadi negara kekuasaan, menjadi negara penindas. Atas dasar respon yang bertubi-tubi itu akhirnya kita tahu pada tanggal 15, Supomo melakukan koreksi dan ini merupakan plus amandemen terhadap gagasan integralistiknya Supomo yang kira-kira yaitu mengakomodir gagasan tentang hak dasar itu dan hak dasar yang pertama diakui sebagai amandemen tentang gagasan integralisnya Supomo dan justru hak kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat ini. Jadi, ini betul-betul fundamental menjadi keseimbangan dalam konstitusi kita. Nah, oleh karena itu karena di dalam konstitusi kita kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai hak dasar, maka sebagai hak dasar sebenarnya itu merupakan moral right. Apa artinya sebagai moral right? Suatu moral right berarti, hak itu tidak bisa dikurangi dengan dalih apapun. Oleh karena itu, bahasa yang benar untuk mengatur, untuk mengatasi soal moral right ini bukan pembatasan. Untuk moral right tidak ada pembatasan. Karena ini tidak bisa dikurangi. Bahasa yang benar adalah pengaturan. Pengaturan tidak otomatis pembatasan. Pengaturan negara di dalam freedom of administration itu punya dua. Pertama, menjalankan kewajiban negatif negara. Kewajiban negatif-negatif dalam arti kewajiban untuk mencegah segala tindakan yang potensial untuk menghimpit, untuk merongrong kebebasan itu sendiri. Kedua, kebebasan positif. Negara punya kewajiban positif dalam arti negara harus memfasilitasi, melindungi termasuk menyediakan outlet-outlet media, melakukan capacity building bagi orang-orang warga negara untuk bisa mengartikulasikan dirinya. Nah, oleh karena itu saya kira di sini kemudian bagaimana posisi negara di dalam kasus misalnya tentu ada benturan right, ada benturan ekspresi dalam masyarakat. Bagaimana sikap negara? Itu yang selalu

36


menjadi bahan pangkal masuk bagi pembatasan istilah pembatasan. Bagaimana kalau ada kelompok-kelompok dalam masyarakat saling punya kontradiksi di dalam berekspresi itu? Nah, di sinilah kemudian mulai masuk satu prinsip yang namanya negara harus mengambil apa yang disebutkan the principle of evaluative netrality, negara harus mengambil satu prinsip namanya evaluatif yang netral. Dia tidak boleh imparsial, tidak boleh menjadi bagian dari pendapat manapun. Termasuk di dalamnya negara tidak boleh hanya menjamin kebebasan sejauh kebebasan itu sesuai dengan Pemerintah. Karena Pemerintah bisa bersalah. Untuk apa ada Peradilan Tata Negara? Tata Usaha Negara, kalau Pemerintah tidak pernah bersalah. Peradilan itu diadakan karena memang Pemerintah pun bisa bersalah. Kalau Pemerintah bisa bersalah, oleh karena itu dia bukan institusi yang bisa mengatakan mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kasus itu juga Pemerintah tidak boleh berpihak pada salah satu golongan pendapat di dalam masyarakat. Karena ini penting di dalam situasi demokrasi represi terhadap kebebasan berekspresi, bukan datang lagi dari negara. Tapi datang dari apa yang disebut dengan fanatisisme, kelompok-kelompok yang saling memaksakan pendapatnya dari kekuatan-kekuatan civil society itu sendiri. Nah, kalau ada kekuatan-kekuatan civil society yang saling bertikai, apakah Pemerintah harus berpihak pada satu kelompok? Katakanlah kalau satu kelompok kemudian mobilisasi sarana sasaran kekerasan yang dengan itu kemudian ingin mengarah kepada kekacauan. Lalu negara justru berpihak pada kelompok-kelompok yang ingin mengacaukan itu, pada kelompok-kelompok pengguna sarana kekerasan. Dalam kasus seperti itu, Pemerintah betul-betul sudah berada dalam posisi yang salah. Nah, oleh karena itu cara terbaik dalam kasus seperti ini adalah bahwa Pemerintah tidak dalam posisi untuk melarang. Tetapi penyelesaian atas sengketa harus dimasukkan ke dalam court settlement, harus dimasukkan ke dalam proses pengadilan. Oleh karena itu saya kira di pengadilanlah itu nanti yang menentukan apakah sesuatu itu memang layak dilarang atau tidak, itu pengadilanlah yang menentukan kemudian hari bukan institusi Kejaksaan yang notabene dalam sistem pemerintahan kita sekarang kejaksaan itu kok berada di dalam otoritas di bawah otoritas Pemerintah dalam eksekutif. Tentu punya bias-bias kepentingannya sendiri. Saya kira itu yang sangat fundamental. Dan terakhir saya kira ini menyangkut tentang pengalaman historis Indonesia, bahwa, setiap kita berubah rezim kita tidak pernah memulai dengan pre start, satu awalan yang segar. Kita selalu membawa persoalan-persoalan masa lalu, menghatui masa depan kita. Dan untuk itu kita perlu apa yang disebut dengan proses truth and reconsiliation. Rekonsiliasi hanya terjadi kalau truth itu diungkap. Tetapi untuk truth itu diungkap maka kita negara harus memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memulihkan hak-hak

37


kulturalnya. Presidennya sudah baik, misalnya seorang Abdurrahman Wahid membiarkan komunitas Tionghoa untuk bisa merayakan hari Imlek dan lain-lain, itu dalam rangka memulihkan hak-hak kulturalnya. Memang dalam situasi seperti ini biasa akan muncul, apologizetic, tulisan-tulisan apologizetic yang berusaha untuk membela prinsip-prinsip politiknya sendiri, itu wajar. Saya kira dalam situasi seperti pastilah setiap orang ingin mengatakan bahwa kami tidak bersalah atas masa lalu, tapi itu sesuatu yang sifatnya transitori. Pada akhirnya kalau semua suara-suara itu sudah mengemuka di ruang publik, pada akhirnya rekonsiliasi akan terjadi dan kita akan memulai sejarah baru, sejarah dimana kita bisa menenggang yang lain, menghormati yang lain dan bisa memulai sejarah di Republik negara ini. Saya kira itu, terima kasih. 100. KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Baik terima kasih Bapak Yudi Latif. Sudah selesai semua meski begitu kita masih punya waktu 5 sampai 6 menit, kalau ada yang mau mempertegas kalau tidak kita tentukan silakan bawa, Buyung. 101. SAKSI DARI PEMOHON: ADNAN BUYUNG NASUTION Majelis Hakim saya ada lupa dua poin kalau memang masih diizinkan, itu pertanyaan dari Pak Akil yang terhormat. Kedua Pak Saudara pembela Taufik Basari 102. KETUA: MOH. MAHFUD. MD. Ya, silakan. 103. SAKSI DARI PEMOHON: ADNAN BUYUNG NASUTION Pak Akil tadi bertanya, satu hal dalam konteks tahun 1969 itu waktu keluar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, kan belum ada perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Lah, apa acuannya? Kalau sekarang banyak kita lihat, ya di dalam UUD 1945. Setelah dia di amandemen empat kali banyak, kuat sekali alasan (suara tidak terdengar) tapi pada waktu itu memang pertanyaan ini menggoda saya juga, tergantung pandangan atau prespektif dari ahli hukum ataupun anggota DPR yang bersangkutan. Kalau seorang ahli hukum yuridis atau Anggota DPR, Pemerintah pun yang pandangannya amat format legalistik, hanya berpegang pada positivisme, memahami UndangUndang Dasar itu atau konstitusi sekedar sama dengan Undang-Undang Dasar yang tertulis. Maka, memang tidak ada acuan.

38


Pasal 28 dikatakan tadi Pak Yudi Latif saja, masih bisa didebat, lihatlah Komenko, Menteri Penerangan Harmoko, waktu berdebat dengan saya dalam membela “Tempo.â€? Bang Buyung lupa kebebasan berpendapat, dapat tertulis dan di sana itu kan diatur dengan undangundang, ya kan? Jadi lupa Pak Latif ini, ada embel-embelnya itu Supomo memanipuler. Dia adopsi itu hak menyatakan pendapat lisan dan tulisan sebagaimana tadi sudah dijelaskan. Kalau memang mau diperjuangkan oleh semua (suara tidak jelas), tapi ini kunci dengan diatur oleh undangundang. Lah kalau Undang-Undangnya Pers mengatur memang zaman rezim orde baru Soeharto dibatasi dengan segala macam izin cetaklah, yang inilah, yang itulah, ya bagaimana bisa bebas persnya? Ya, jadi sebenarnya bagi saya menganut paham konstitusionalisme, saya berpendapat kalau kita betul-betul mengakui negara demokrasi konstitusional, dibalik konstitusi itu atau di atas konstitusi UndangUndang Dasar tertulis ada nilai-nilai values, constitution values, normanorma, kaidah-kaidah, nilai-nilai yang diparjuangkan oleh bangsa ini, termasuk kebebasan tadi dalam arti yang luas. Orang boleh mempunyai gagasan, punya kontra gagasan. Ya, jadi keberagaman itu bukan saya dalam arti kita suku bangsa berbeda-beda agama, keturunan ras dan sebagainya. Tapi dalam pikiran, dalam benak kita, saya percaya salah satu values constitutional yang kita suka lupakan adalah kebebasan nurani yang sekarang sudah diperbaiki dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kebebasan nurani itu juga termasuk kebebasan berfikir the freedom of concious and the freedom of mind. Nah, kalau ini dilupakan sebagai acuan ya, gampang saja dia buat undang-undang begini, toh nggak bertentangan, nggak tertulis didalam Undang-Undang 1945. Tapi kalau kita memahami makna konstitusionalism dari sejarahnya revolusi Perancis, Hobbes, John Locke, Rousseau, sampai ke Montesquieu sampai ke Ruberlshe di Rusia. Kita akan mengerti, di dalam konstitusi itu pahamnya harus luas dan maaf saya berpandangan demikian. Makna acuan Undang-Undang Dasar 1945 jangan sempit, tapi lihatlah secara‌, ya, bukan saja yang tersurat tapi tersirat. Jawaban pada Saudara Taufik, kenapa ada 2 sistem tadi? Ya, undang-undang produk legislatif yang (suara tidak jelas) kontitusi ada di luar. Ya, jawabannya kan sebetulnya sudah saya jawab di sana tidak langsung dengan anekdot pada waktu Atrawinata mengakui. Zaman itu under pressure karena satu dalam rezim pemerintahaan yang otoriter dari presif. (suara tidak jelas) berbagai peraturan perundang-undangan yang bisa menekan, menindas, menyiksa apa sajalah yang diperlukan. Tapi DPR, walaupun lemah masih bisa menolak kadang-kadang itu contohnya, PP 11 (suara tidak jelas) ditolak oleh DPRGR. Akhirnya apa dicari jalan lain, itulah yang diciptakan Penpres. Saya tidak ada teorinya, saya sekarang nggak ada tuh saya baca perbandingan di negara lain, nggak ada kecuali komunis. Yang lain, contoh lain misalnya apa? Ya, Presiden Soekarno waktu itu setelah dekrit

39


5 Juli 1959 memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, DPRGR kan…, DPR kan tetap masih ada DPR. Tapi begitu diajukan rancangan undang-undang untuk budget negara DPR menolak, DPR dibubarkan langsung, dibikinlah DPRGR yang diangkat. Dengan kondisi konstelasi begitu, nggak bisa diharapkan lagi bahwa semua produk legislatif itu harus melalui DPR, dihitung sama mereka, “wah ini kalau budget-nya rewel Penpres saja bayar cepet,” itu lah alasannya. Terima kasih. 104. KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, persis jam 12.00. Jadi kita akan akhiri, kepada Pemerintah apakah Anda masih mau mengusulkan ada sidang lagi untuk mengajukan Saksi dan Ahli atau sudah cukup? Baik, kalau begitu..., mau tanya nggak? Kepada siapa, Pak? Ya, ini ada pertanyaan tetapi nggak usah dijawab nanti biar dijawab dalam kesimpulan disampaikan kepara Pemohon, silakan Pak Alim! 105. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Kepada Ahli Frans Magnis Suseno. Tadi di keterangannya bahwa sedapat mungkin diberikan kebebasan mengungkapkan gagasan, jangan dibatasi supaya kita bisa kayak dengan informasi yang akan membawa kepada kemajuan. Dalam kaitan ini, kalau kita bicara tentang kebebasan itu undangundang, Pasal 303 KHPU itu melarang penjudian. Orang menjudi kan uangnya sendiri, kalah sendiri, menang sendiri, tapi kok negara ikut campur, apa urusannya negara saya punya uang sendiri. Saya punya kalah sendiri, menang sendiri, gitu. Kemudian di dalam Undang-Undang Psikotropika dan Narkotika itu juga melarang membawa mempunyai narkotika atau psikotropika. Apalagi, mengedarkannya, itu juga kalau dipikir kecuali mengedarkan, ya, kecuali memiliki saja menggunakan sendiri, loh, kan saya sendiri yang mampu sendiri kenapa kok Pemerintah. Itu, berarti itu negara tidak boleh pangku tangan, kalau akan menghancurkan dia punya warga, itu, itu, idenya di sana. Tetapi nanti, nanti tidak jadi soal terserah. Nah kepada Pak Donny, barang cetakan yang berisi gambar pornografi misalnya yang telanjang ada hubungan seksual yang datang dari luar negri masuk ke Indonesia kemudian ditahan oleh Kejaksaan karena itu mengganggu ketertiban umum dan seterusnya, dan seterusnya. Apakah kita biarkan saja beredar begitu biar masyarakat hancur kek atau bagaimana? Itu satu. Kemudian, Pak Yudi Latif dikatakan tadi “tidak ada pembatasan yang ada itu adalah pengaturan,” sebenarnya pada hakekatnya sama kalau redaksi undang-undang, Pasal 28J ayat (2) kan jelas dalam

40


menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan bukan pengaturan, tetapi sesungguhnya pengaturan pembatasan sama. Kepada Pak Yudi Latif dikatakan tadi apa haknya Jaksa untuk mengatakan ini akan menimbulkan…, apa…, mengganggu ketertiban dan lain-lain dapat menimbulkan ketertiban…, apa…, mengganggu ketertiban. Kalau Jaksa mengatakan suatu barang atau suatu buku atau suatu barang cetakan itu sebagai mengganggu ketertiban umum putusannya itu KIF, kongkrit, individual, dan final, maka ada upaya hukum yang bisa ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara, ini merugikan hakhak saya, itu jalan keluar dan nanti Pengadilan Tata Usaha Negara mengatakan itu benar, ya benarlah Anda, bisa minta ganti kerugian baik moril maupun materil. Tapi kalau Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan, lembaga kehakiman mengatakan itu benar mengganggu ketertiban umum dan lain-lain ya itu sudah selesai urusannya. Jadi, ada jalan keluarnya, tidak Jaksa sendiri maupun enak sendiri ada jalan keluarnya yang disahkan undang-undang itu. UndangUndang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Terima kasih Pak Ketua. 106. KETUA : MOH. MAHFUD MD Baik, harap pertanyaan-pertanyaan tadi dijawab tertulis dan disalurkan melalui Pemohon agar nanti dilampirkan atau juga dirangkum dalam kesimpulan. Nah, berikutnya (...) 107. KUASA HUKUM PEMOHON VIII/2010): TAUFIK BASARI

(PERKARA

NOMOR

20/PUU-

(PERKARA

NOMOR

20/PUU-

Majelis? 108. KETUA : MOH. MAHFUD MD Ya. 109. KUASA HUKUM PEMOHON VIII/2010): TAUFIK BASARI

Tadi kan ditanyakan kepada Jaksa…, Pihak Pemerintah dan Pihak Terkait soal kebutuhan akan sidang lagi. Mohon untuk dapat ada satu sidang lagi karena masih ada Ahli kami yang sudah menyatakan kesediaannya, namun memang tidak dapat hadir pada hari ini antara lain adalah Ahli Fajrul Falakh, Pak Bambang Wibawarta dan Pak Primanto. Jadi, kalau diperkenankan

41


mohon ada satu kali sidang pemeriksaan Saksi atau Ahli lagi, terima kasih. 110. KETUA : MOH. MAHFUD MD Ya, baik tetapi diberi waktu sampai dengan tanggal 18 besok hari Jumat jam 12.00 siang itu sudah ada kepastian, apa yang bersangkutan bersedia atau tidak jadi tidak. (‌) 111. KUASA HUKUM PEMOHON VIII/2010): TAUFIK BASARI

(PERKARA

NOMOR

20/PUU-

Sudah bersedia Majelis. 112. KETUA : MOH. MAHFUD MD Ya, oke kalau begitu nanti di sampaikan ke Panitera, siapa saja yang akan dihadirkan dan waktu itu sekaligus kami buka kepada Pemerintah sampai dengan tanggal 18 menyatakan sikap, apakah mau mengajukan Saksi dan Ahli atau cukup mau mendengarkan saja dari yang disampaikan oleh Pemohon. Dengan demikian sidang dinyatakan selesai dan di tutup.

KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.10 WIB

Jakarta, 16 Juni 2010 Kepala Biro Administrasi Perkara dan Persidangan

Kasianur Sidauruk

42


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.