Pamflet Pelarangan Buku dari Jaman ke Jaman

Page 1



Pada akhir 2009 Kejaksaan Agung RI kembali melarang buku. Keputusan ini sungguh mengejutkan masyarakat karena sejak lengsernya Suharto pada pertengahan 1998 hingga 2006 boleh dikatakan tidak terjadi pelarangan buku oleh pemerintah. Memang pada masa Suharto berkuasa, pemerintah acap kali melarang buku yang dianggap menyebarkan gagasan subversif dan mengganggu ketertiban umum. Gerakan reformasi pada 1998 berhasil merebut kembali kemerdekaan berkumpul, berserikat dan berpendapat setelah puluhan tahun diberangus dibawah pemerintahan Suharto. Kemenangan itu dikukuhkan dengan amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR RI yang memasukkan pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia. Kemudian DPR RI mencabut kewenangan Kejaksaan Agung melarang peredaran barang cetakan melalui UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Semenjak reformasi kehidupan pers dan berekspresi yang bebas dan terbuka tumbuh dengan sehat dalam berbagai bentuk media massa, baik cetak maupun elektronik. Penerbitan berbagai tema buku, termasuk tema-tema sosial politik yang kritis, bermunculan. Pameran buku dalam skala nasional diselenggarakan secara teratur sehingga minat baca di kalangan masyarakat meningkat. Diskusi-diskusi tentang buku acapkali digelar, baik oleh kalangan akademisi maupun khalayak pembaca. Upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti diamanahkan mukadimah UUD 1945 berlangsung lancar dengan segenap aktifitas yang berkaitan dengan dunia perbukuan dan baca-membaca. Keputusan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung kembali terjadi, mulanya pada 2006 kemudian semakin agresif pada 2007 dengan melarang 13 buku teks sejarah untuk SLTP dan SLTA yang mengacu pada

kurikulum 2004 karena tidak mencantumkan kata ‘PKI’ di belakang G30S. Di tingkat lapangan, sejumlah kejaksaan negeri/tinggi memperluas pelarangan tidak hanya pada 13 judul buku, tapi juga pada buku-buku teks sejarah lain. Tidak hanya pelarangan yang dilakukan kejaksaan, tetapi juga pemusnahan dengan cara membakar bukubuku teks yang disita. Karena UU Kejaksaan RI yang baru tidak lagi memberi kewenangan pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku, maka Kejaksaan Agung bergayut pada UU peninggalan keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin, yaitu UU No. 4/PNPS/1963, untuk membenarkan keputusannya. Lebih dari itu keputusan pelarangan diambil secara tertutup, rahasia dan sewenang-wenang oleh satu bagian dalam Kejaksaan Agung, ‘clearing house’, yang anggotanya tak diketahui publik. Berbagai kelompok maupun individu melihat kembalinya pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung ini sebagai tanda bahaya lahirnya otoritarianisme baru yang mengancam kebebasan mengeluarkan pikiran melalui tulisan serta hak untuk mendapatkan, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi seperti yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945 dan yang diperjuangkan gerakan reformasi selama ini. Pamflet ini untuk mengingatkan kembali masyarakat luas akan bahaya pelarangan buku yang sewenangwenang adalah ancaman bagi Hak Asasi Manusia, pelanggaran terhadap konstitusi dan pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi untuk membentuk tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Serta memberikan gambaran kepada khalayak tentang anatomi rezim pelarangan buku di Indonesia yang berlangsung dari zaman ke zaman sebagai ancaman atas upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

3


SETIAP ORANG BERHAK ATAS KEBEBASAN MEMPUNYAI DAN MENGELUARKAN PENDAPAT; DALAM HAL INI TERMASUK KEBEBASAN MENGANUT PENDAPAT TANPA MENDAPAT GANGGUAN, DAN UNTUK MENCARI, MENERIMA, DAN MENYAMPAIKAN KETERANGANKETERANGAN DAN PENDAPAT DENGAN CARA APAPUN DAN DENGAN TIDAK MEMANDANG BATAS-BATAS. (PASAL 19 DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA)

Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”

4


UNDANG­UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 MUKADDIMAH

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri­kemanusiaan dan peri­ keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang­-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang­undang. Pasal 28 E (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28 I (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

5


Pembaharuan dalam kebijakan kolonial di awal abad XX yang dikenal dengan sebutan Politik Etis membuka jalan bagi kaum bumiputra untuk memperoleh pendidikan modern dan meningkatkan kemampuan mereka membaca dan menulis. Pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa memberi pendidikan dapat melahirkan gagasan-gagasan pembebasan yang akan membahayakan kekuasaan mereka. Dalam pandangan penguasa, rakyat pribumi harus dibimbing bangsa Belanda untuk memasuki dunia modern dan diperkenalkan kepada peradaban Barat yang lebih maju agar mencapai persesuaian antara Barat dan Timur. Sejak dini pemerintah menentukan apa yang patut dan tidak patut diketahui rakyat bumiputra antara lain dengan mengendalikan produksi dan distribusi bahan bacaan. Pendidikan di sekolah memberi ketrampilan dasar bagi kaum pribumi agar tenaga mereka dapat dimanfaatkan untuk menjalankan mesin birokrasi pemerintah kolonial dan perusahaan-perusahaan Eropa. Di luar sekolah, pemerintah melihat ada kebutuhan pendidikan mentalspiritual agar rakyat tidak berpegang pada ajaran-ajaran agama atau adat yang kolot dan takhayul. Munculnya kelompok-kelompok terpelajar pribumi yang mulai 6

menghasilkan terbitan sendiri dengan pandangan politik berbeda juga menjadi ancaman bagi pemerintah. Rakyat harus dicegah dari pengaruh agitasi dan propaganda politik yang disebarkan melalui ‘batjaan liar’. Penyediaan bahan bacaan yang murah, mudah diperoleh, dan bermutu menurut standar Eropa menjadi bagian penting dari rencana pemerintah menjaga perkembangan moral dan kebudayaan kaum pribumi. Untuk merumuskan pengetahuan yang layak disampaikan kepada rakyat penguasa Hindia Belanda mendapat bantuan dari ilmuwan-ilmuwan kolonial yang mendalami beragam agama/kepercayaan, bahasa, seni dan budaya suku-suku bangsa Nusantara. Misalnya, Snouck Hurgronje yang secara khusus mempelajari Islam untuk menaklukkan perlawanan rakyat Aceh dan mencegah ajaran Islam menjadi doktrin politik untuk alat berlawan kaum pribumi. Di bidang bahasa dikenal C. A. van Ophuijzen yang meneliti dan mengembangkan sistem ejaan bahasa Melayu Riau. Hasil penelitian van Ophuijzen kemudian menjadi acuan pemerintah untuk menetapkan bahasa Melayu Riau atau ‘Melayu Tinggi’ sebagai bahasa resmi pengajaran sejak 1901. Bahasa Melayu Pasar yang sudah berkembang


melalui penerbitan Tionghoa peranakan dan pribumi dikesampingkan dan disebut ‘Melayu Rendah’. Ilmuwan-ilmuwan ini pula yang kemudian membakukan apa yang kita anggap sebagai hukum, adat-istiadat, tradisi, sastra, bahkan sejarah.

Pada 14 September 1908 pemerintah mendirikan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang dipimpin G. A. J. Hazeu, seorang doktor dalam bidang bahasa dan sastra Nusantara dari Universitas Leiden dan Penasehat Gubernur Jendral untuk urusan bumiputra. Komisi ini bertugas memilih ‘buku-buku baik yang dapat menjadi bacaan bagi penduduk pribumi’ dan memberi pertimbangan kepada Direktur Pendidikan yang mengurus sekolah-sekolah pribumi. Awalnya tema-tema bacaan yang dipilih komisi ini berkisar pada pelajaran ketrampilan teknik, pertanian, tanaman dan ilmu alam atau yang berkaitan dengan sikap dan perilaku yang baik. Komisi ini berkembang pesat terutama di bawah pimpinan D. A. Rinkes. Pada 1917 Rinkes dipercayai untuk menata-ulang komisi ini menjadi sebuah lembaga otonom, Kantoor voor de Volkslectuur, yang secara khusus mengatur pengumpulan naskah, pencetakan, penerbitan dan peredaran buku-buku yang dianggap pemerintah

bermutu. Lembaga ini kemudian dikenal sebagai Balai Poestaka (BP). Rinkes melihat bahwa BP tidak hanya berperan untuk menyediakan bacaan-bacaan ringan, tetapi juga mendorong minat baca dan membentuk selera rakyat tentang sastra. BP menerjemahkan dan mengadaptasi karya-karya pengarang Eropa yang terkenal, seperti Alexander Dumas, Charles Dickens, dan Mark Twain ke dalam bahasa Melayu, Jawa, Madura dan Sunda. Selain itu BP juga menerbitkan hikayat, cerita rakyat dan kisah perwayangan dari khazanah kesusastraan Jawa, Melayu dan Sunda. Belakangan BP mendorong penulis-penulis pribumi untuk menghasilkan karya-karya mereka sendiri dalam bahasa Melayu Tinggi, seperti Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Armijn Pane. Untuk memperlancar peredaran hasil penerbitan BP pemerintah mendirikan perpustakaan, Taman Poestaka, di sekolah-sekolah pribumi dan di tempat-tempat publik. Antara 1918 dan 1926 sekitar 2.500 perpustakaan 7


didirikan di seluruh kawasan Hindia Belanda. BP juga memiliki jalur distribusi tersendiri di toko-toko buku, kantor pos, dan truk yang berfungsi sebagai toko buku keliling untuk mencapai pelosok Jawa. Hingga masa sebelum perang koleksi BP mencapai 2000 jilid. Diantara koleksi tersebut boleh dikatakan tidak ada yang memuat masalah politik, apalagi kritik terhadap pemerintah kolonial. Perbincangan tentang seksualitas yang terlalu terbuka dan rinci, misalnya dalam novel Mata Gelap karangan Mas Marco Kartodikromo, juga tidak mendapat tempat dalam khazanah kesusastraan BP. Tema yang kerap diangkat dalam roman-roman BP adalah kawin paksa, seperti dalam kisah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Dengan dukungan penuh dari pemerintah kolonial BP menjalankan kontrol yang ketat terhadap barang cetakan sejak dari pemilihan dan penyuntingan naskah sampai pada penjualan. Di bidang kesusastraan pengaruh BP masih terasa sampai masa kini. Karya-karya sastra hasil penulis Tionghoa, Eropa peranakan, maupun pribumi yang sudah beredar jauh sebelum BP berdiri tersingkir dari sejarah kesusastraan Indonesia modern.

8


Tahun 1920-1926 adalah masa menjamurnya bacaan liar sekaligus terbukanya ruang yang demokratis bagi arena pergerakan. Bacaan liar adalah bagian yang tak terpisahkan dari “mesin pergerakan” yaitu untuk mengikat dan menggerakkan kaum kromo – kaum buruh dan kaum tani yang tak bertanah. Bacaan merupakan penyampai pesan dari organisasi atau aktivis pergerakan kepada rakyat. Melalui bacaan liar rakyat mengenal kata-kata baru yang berkaitan dengan gerak perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, seperti kapitalisme, sosialisme, internasionalisme, beweging (pergerakan), staking (pemogokan), dan vergadering (rapat umum). Bacaan liar melukiskan situasi pergerakan, eksploitasi kolonial, mendorong pembacanya untuk berpartisipasi dan bergerak bersama kaum pergerakan untuk menentang kediktatoran kolonial, memantulkan harapan masa depan tanah airnya, mengandung penglihatan baru atas dunia dan penolakan terhadap gagasan lama. Bacaan menjadi instrumen politik kesadaran kolektif masyarakat kolonial. Produksi bacaan berupa surat kabar, novel, buku, syair hingga teks lagu, antara lain misalnya karya Semaoen (Hikajat Kadiroen), Mas Marco Kartodikromo (Student Hidjo, 1918; Sair Rempah-rempah, 1918; Matahariah, 1919;), Tan Malaka (Parlemen atau Soviet, 1921); dan esai-esai yang mengritisi kekuasaan kolonial dan modal

di Hindia Belanda. Latar beberapa bacaan itu mengenai beberapa kota di Hindia Belanda seperti Semarang, Surabaya, Batavia yang menjadi pusat kekuasaan, perdagangan dan industri. Kaum pergerakan juga menyerap gagasan dari luar dan menuangkannya dalam bacaan. Arena pergerakan sebagai bagian tak terpisahkan dari bacaan liar. Penerjemahan dan penyaduran karya-karya revolusioner yang diproduksi percetakan milik Tionghoa peranakan – muncul sejak pertengahan abad ke-19 – sangat mendorong perkembangan bacaan liar. Kaum Tionghoa peranakan juga memberikan dana kepada kaum pergerakan melalui pemasangan iklan. Masyarakat Arab juga mempunyai percetakan yang bernama NV Setia Oesaha, pimpinan Hasan Ali Soerati, yang menerbitkan surat kabar Central Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Kaum bumiputera baru mempunyai penerbitan sendiri pada 1906-1912 dengan munculnya NV Javasche Boekhandel en Drukkerrij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Priaji” pimpinan R.M. Tirto Adhi Soerjo. Tirto menjadi pelopor pergerakan nasional yang memelopori bacaan fiksi dan nonfiksi untuk mendidik bumiputera. Selain itu ada percetakan Insulinde yang disokong oleh H.M. Misbach dan menerbitkan Mata Gelap (Mas Marco, 3 jilid, 1914), percetakan VSTP (Serikat Buruh Kereta Api 9


dan Tram) yang menerbitkan koran Si Tetap. Dalam rangka pendidikan politik rakyat, pada 1924 di Batavia, PKI mendirikan Kommissi Batjaan Hoofdbestuur PKI. Komisi ini menerbitkan “literatuur socialisme” – kaum pergerakan memahaminya sebagai bacaan untuk menentang dan penyebarluasan bacaan dari kaum modal, juga untuk melawan dominasi bacaan yang diproduksi Balai Poestaka. Komisi secara terbuka menentang produksi bacaan Balai Poestaka yang disebut sebagai geest kapitalisme (kapitalisme jiwa). Pemerintah kolonial tidak pernah mengeluarkan undangundang khusus untuk melarang peredaran bacaan liar, tapi mereka berusaha menghambat kelanjutannya dengan menguasai percetakan, penerbitan dan peredaran bahan bacaan melalui Balai Poestaka. Pemerintah melakukan pelarangan ketika terjadi aksi perlawanan yang dimotori atau didukung organisasiorganisasi pergerakan. Misalnya, ketika pada tahun 1920 terjadi pemogokan buruh percetakan van Dorp – yang disusul dengan buruh-buruh percetakan sejumlah surat kabar, yang didukung Sarekat Islam Semarang – pemerintah menyita buku-buku karangan Mas Marco dan menutup toko-toko buku milik organisasi ini. Pemerintah juga memenjarakan pengarangpengarang yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap penguasa, seperti yang terjadi pada R.M. Soeardi Soerjaningrat, Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dalam kasus penerbitan pamflet “Seandainya Saya Seorang Belanda”, yang ditulis Soeardi dalam rangka menyambut perayaan pembebasan Belanda dari kekuasaan Perancis. Pemenjaraan juga dialami Darsono, Mas Marco dan Semaoen. Runtuhnya bacaan liar erat dengan perkembangan politik nasional, khususnya pemberontakan nasional 1926 1927. Pemberangusan organisasi radikal diiringi pula dengan pemberangusan produksi bacaan liar sejak pemberontakan itu. Pemberangusan bacaan liar, pembuangan dan pembuian pengarang liar pasca pemberontakan itu tetap tak mematikan gagasan kaum pergerakan, meskipun dalam bentuk dan isi yang berbeda, antara lain seperti serikat buruh yang tetap aktif dan tumbuhnya gerakan radikal pascapemberontakan.

10


11


10-17 Juli 1945: Setelah melalui perdebatan, sidang kedua BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sepakat untuk memasukkan jaminan atas hak warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan berpendapat di dalam rancangan UUD (Undang-undang Dasar). 17 Agustus 1945: Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia

18 Agustus 1945: PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengesahkan rancangan UUD sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pasal 28 UUD 1945 menjamin ’kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya’.

12

26 Februari 1946: Pemerintah Indonesia menghapuskan sejumlah pasal penyebar kebencian (haatzaai artikelen) saat mengadopsi Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indies menjadi KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Pasal-pasal penyebar kebencian yang dihapuskan dengan UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, diantaranya Pasal 153 bis dan Pasal 153 ter, serta Pasal 161 bis. Ketiga pasal tersebut pada masa kolonial Belanda digunakan untuk menjerat kaum pergerakan, termasuk para penulis yang mengkritik kebijakan kolonial, diantaranya Suwardi Suryaningrat, Mas Marco Kartodikromo, dll.


Pidato Mohammad Hatta dalam Sidang Kedua BPUPKI Paduka Tuan Ketua, sidang yang terhormat! Pokok-pokok yang dikemukakan oleh Syusa [Ketua] Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar, saya setujui. Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi satu hal yang saya kuatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam Undang-undang Dasar yang mengenai hak untuk mengeluarkan suara, yaitu bahwa nanti di atas Undang-undang Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu bentukan negara yang tidak kita setujui. Sebab dalam hukum negara sebagai sekarang ini mungkin timbul suatu keadaan �cadaver discipline� seperti yang kita lihat di Rusia dan Jerman, inilah yang saya kuatirkan. ... kita mendirikan negara yang baru. Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi Negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga-negara, disebutkan juga di sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga-negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga–negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut di sini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain.

13


Pencabutan Persbreidelordonantie Indonesia diguncang krisis politik, seperti jatuh-bangunnya kabinet, menajamnya ketegangan di antara pimpinan sipil dan militer, dan timbulnya pemberontakanpemberontakan oleh sejumlah perwira militer di Jakarta (Peristiwa Oktober, 17 Oktober 1952), disusul dengan pemberontakan militer yang lebih besar dan lebih terorganisir di hampir seluruh bagian di Sumatera, Sulawesi, dan Jawa Barat (PRRI/Permesta dan DI/TII). Upaya memadamkan pemberontakan-pemberontakan ini memberi dalih bagi militer, khususnya Angkatan Darat, untuk memperkuat peran mereka dalam menentukan kebijakan politik daerah maupun nasional. Di tengah situasi itu, pers secara terbuka memberitakan korupsi dan konflik di tubuh militer, kecaman terhadap kebijakan pemerintah, serta konflik politik antarpimpinan parpol.

14 September 1956: KSAD Mayjen AH Nasution mengumumkan Peraturan Kepala Staf AD selaku Penguasa Militer No. PKM/001/9/1956 untuk mengontrol kebebasan berekspresi, terutama pemberitaan pers. Dengan Peraturan tersebut, AD setiap saat dapat menyeret penerbit, penulis, atau bahkan percetakan dan agen penyalur barang cetakan yang dianggap memuat atau mengandung ‘pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan’ atau ‘menerbitkan keonaran’ ke pengadilan. Persoalannya, batasan atas konsep-konsep di atas bergantung sepenuhnya pada tafsiran AD.

Pada 12 Juli 1954 Soekarno mencabut Persbreidelordonnantie 1931 yang selama masa kolonial Belanda digunakan untuk membatasi kebebasan pers dengan UU No. 23 Tahun 1954. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa alasan pencabutan adalah: “Mengingat akan dasar Negara kita, ialah demokrasi, lebih Negara demokrasi jang bertjorak Negara hukum, sifat sifat mana menghendaki peperiksaan umum, kesempatan minta peradilan lebih tinggi untuk tiap tiap kali anggota masjarakat diganggu dalam haknja; dan pula karena pasal 19 Undang undang Dasar Sementara dengan tegas dan dengan penuh mengakui kebebasan mempunjai dan mengeluarkan pendapat dari setiap orang, maka dilingkungan Negara Republik Indonesia dengan Undang undang Dasar Sementaranja tidak ada tempat lagi untuk terus berlangsungnja aturan jang dimaksud ini.”

Sepanjang 1957, tidak kurang 33 penerbitan dilarang. Puluhan wartawan diinterogasi, belasan diantaranya ditahan di rumah tahanan militer. Pemimpin redaksi harian Bintang Timur ditahan selama sebulan karena dianggap menghina pimpinan Masyumi, Jusuf Wibisono. Tak lama kemudian pemimpin redaksi harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis, divonis hukuman penjara karena dinilai menghina pejabat negara, Roeslan Abdoelgani.

Pada September 1957, penguasa militer melarang terbit sepuluh surat dan tiga kantor berita, diantaranya Kantor Berita Antara.

14


Peraturan Kepala Staf AD selaku Penguasa Militer No. PKM/001/9/1956

Staat van Oorlog en Beleg Ordonnantie 1939

“Melarang mentjetak, menerbitkan, menjatakan akan datangnja, menawarkan, menjiarkan, menempelkan, memperdengarkan atau memiliki tulisan tulisan, gambar gambar, klise klise dan lukisan lukisan jang memuat atau mengandung ketjaman ketjaman, persangkaan (insinuaties), bahkan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, sesuatu kekuasaan atau sesuatu madjlis umum, atau seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab mendjalankan pekerjaan dengan sjah, lain dari itu memuat atau mengandung pula pernjataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antaranya terhadap golongan golongan penduduk; seterusnja tulisan tulisan itu memuat berita berita atau pemberitahuan pemberitahuan jang menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.”

Pasal 11 (1)Kuasa militer berhak mengadakan peraturan pembatasan perihal mencetak, menerbitkan, mengumumkan, menyampaikan, menyiarkan, menempelkan, memperdagangkan, atau memiliki tulisan tulisan, gambar gambar, klise klise dan lukisan lukisan, atau melarangnya sama sekali antara satu dan lainnya. (2)Kuasa militer berhak juga untuk menutup percetakan percetakan.

20 Oktober 1957: UU SOB dibatalkan dan diganti dengan undang-undang baru, yakni UU No. 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya.

14 Maret 1957: Kabinet Ali Sastroamidjojo pada pagi hari membubarkan diri karena dilanda korupsi dan mismanagement yang fatal. 30 menit kemudian pemerintah memberlakukan keadaan darurat perang dengan UU SOB (Regeling op de Staat van Oorlog en Beleg, Staatsblad 1939, No. 582) untuk merespon pemberontakan-pemberontakan daerah yang semakin menguat. Antara Maret 1957 hingga 1 Mei 1963, Penguasa Perang memiliki kekuasaan tak terbatas untuk memberlakukan sensor dan pelarangan terbitan. Nasib dunia penerbitan semakin memburuk karena para penguasa militer di berbagai daerah dengan leluasa dapat mengambil tindakan untuk membungkam pers, terutama yang memberitakan militer tanpa merujuk pada sumber yang berwenang atau pada bagian penerangan militer sendiri. Enggak Bahau’ddin yang menggantikan Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi Indonesia Raya ditangkap dan diinterogasi oleh Polisi Militer atas perintah Komando Militer Jakarta Raya. 24 April 1957, Komando Militer Jakarta Raya menutup harian Indonesia Raya bersama-sama dengan harian Pedoman dan Bintang Timur. Sementara itu, penguasa militer Surabaya menjebloskan pemimpin redaksi Trompet Masjarakat ke penjara selama sebulan karena dianggap ‘menghina pemerintah’.

17 Desember 1957: Dengan menggunakan UU No. 74 Tahun 1957, Presiden Sukarno menyatakan seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam “keadaan perang”. UU No. 74 Tahun 1957 Tentang Pencabutan “Regeling op de Staat Van Oorlog en Beleg” dan Penetapan “Keadaan Bahaya” Pasal 33 Penguasa keadaan perang berhak melarang untuk sementara waktu pertunjukkan pilem pilem dan sandiwara sandiwara, pencetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan tulisan berupa apapun juga, lukisan lukisan, kilse klise dan gambar gambar. 15


1959: Status keamanan negara diubah dari “keadaan perang” ke “keadaan bahaya” dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam UU tersebut, Penguasa Perang berhak mengontrol berbagai bentuk ekspresi dan menutup percetakan. Penguasa Perang diantaranya melarang peredaran buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau di Indonesia pada 1959 dan memenjarakan penulisnya selama satu tahun. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang No. 23/Perpu/1959 Pasal 40 Penguasa Perang berhak: 1. melarang pertunjukan pertunjukan, pencetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan tulisan berupa apapun juga, lukisan lukisan, klise klise dan gambar gambar; 2. menutup percetakan.

5 Juli 1959: Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa Indonesia berada dalam ’keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa’. Dekrit menyatakan pembubaran Dewan Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945, dan pembentukan MPR Sementara dan DPR Sementara.

16


Pram dan Larangan Buku-Bukunya BUKU, bagi Pramoedya Ananta Toer, dianggap seperti anaknya sendiri. Setelah dewasa, mereka lepas dari orangtua dan bisa membangun hidup sendiri. “Maka, mau dilarang, diinjak, ataupun dibakar, itu merupakan sejarah buku itu sendiri,” kata ayah enam orang anak itu. Dengan prinsip seperti itu, ia tak merasa perlu berutang budi kepada mereka yang meminta pemerintah agar mencabut pelarangan buku-bukunya. Walau tak bisa dimungkiri, sebagaimana umumnya pengarang, Pram akan senang bila buah pikirannya dibaca orang. Inilah yang mungkin terjadi pada buku Hoakiau di Indonesia. Buku karangannya yang dilarang dan dalam waktu dekat akan dicetak lagi ini diduga bakal laris terjual. Ketika diterbitkan pada 1960, belum lagi turun dari percetakan, 10 ribu eksemplar buku itu sudah habis terjual. Cetakan berikutnya, dua kali lipat jumlahnya, langsung disita begitu turun dari mesin. “Buku itu dilarang karena saya dituduh berkhianat menjual negara ke RRC,” kata Pram. Ketika itu Menteri Luar Negeri Soebandrio memang sedang terlibat polemik dengan RRC. Ide buku itu, menurut Pram, berangkat dari penindasan pemerintah terhadap warga Tionghoa. Dengan membuat Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1955, saat itu pemerintah melarang warga Tionghoa berdagang di desa-desa. Bahkan, menurut Pram lagi, sikap diskriminasi itu merembet ke pembunuhan warga Cina di Jawa Barat. Dari peristiwa inilah, Pram tergerak membela mereka dengan menulis surat di koran Bintang Timur. Tulisannya itu ternyata mendapat perhatian luas dari pembaca, sampai kemudian diterjemahkan ke bahasa Kamboja, Burma, dan Tiongkok. Penerbit Bintang Press pun tertarik untuk membukukannya. Hoakiau di Indonesia ini mempunyai kenangan khusus baginya karena buku itu menyebabkan ia ditahan. Saat itu, ia dipanggil oleh Penguasa Perang Tertinggi untuk diwawancarai oleh Mayor Sudharmono, yang belakangan menjadi wakil presiden. “Lalu, oleh petugas CPM, saya dibawa ke rumah tahanan militer Budi Utomo,” cerita Pram. Tiga bulan ia meringkuk di tempat ini sebelum dipindahkan ke LP Cipinang. Keluarganya tak tahu di mana ia berada, padahal saat itu anaknya yang nomor enam dilahirkan. Mereka baru mengerti setelah diberi tahu seorang pejabat rumah tahanan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Soal penahanan sebenarnya bukan hal yang asing bagi putra kelahiran Blora, Jawa Tengah itu. Tahun 1947 ia sudah pernah ditahan oleh pemerintah Belanda di penjara Bukitduri, Jakarta Selatan. Tapi aksi itu tak memadamkan semangatnya untuk terus berkarya. Dari tangannya lahir Cerita dari Blora, Perburuan dan Keluarga Gerilya, yang bisa beredar di masyarakat. Namun, setelah itu, pelarangan seolah melekat pada buku-bukunya, terutama setelah selama 14 tahun (1965-1979) ia dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat Lekra, organisasi kebudayaan yang berafiliasi ke PKI. Padahal, dari Pulau Buru inilah lahir novel-novel yang luar biasa. Sayang, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca itu tak bisa beredar karena pemerintah menilai buku-buku tersebut berwarna komunis. Ketika sudah keluar dari Pulau Buru, bukunya Sang Pemula dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu juga tak luput dari pelarangan. Upaya pembungkaman yang dilakukan pemerintah ini tak sepenuhnya efektif karena secara sembunyi-sembunyi orang bisa mendapatkan buku-buku tersebut. Akankah buku Hoakiau di Indonesia yang akan diterbitkan ulang itu bakal dilarang lagi? Semoga saja tidak. Sebab, kata penerima hadiah Magsasay ini, buku tersebut adalah dokumentasi yang relevan dengan peristiwa kerusuhan anti-Cina yang sekarang terjadi. Paling tidak, kerusuhan pada l740 di Batavia, yang menyebabkan sekitar 10 ribu warga Tionghoa terbunuh, bisa dijadikan pengalaman agar peristiwa serupa tak terulang. (Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/BK/mbm.19981006.BK95613.id.html)

17


Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) menerbitkan Peraturan Peperti No. 3 Tahun 1960 yang melarang penerbitan surat kabar dan majalah yang tidak berbahasa Latin, Arab atau daerah. Dengan demikian, harian beraksara Cina dilarang.

Dua puisi dalam buku kumpulan puisi Agam Wispi, Matinya Seorang Petani (Jakarta: Bagian Penerbitan Lekra, 1961), yang dilarang Penguasa Perang pada 1960an. Latar belakang puisi pertama “Latini” adalah penggusuran tanah di Kediri, sedang puisi kedua “Matinya Seorang Petani” adalah peristiwa penggusuran petani di Tanjung Morawa. LATINI 23 April 1963: Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dalam rangka kampanye menentang imperialisme di bidang kebudayaan.

Seiring dengan rencana mengakhiri status darurat perang, kewenangan melarang buku beralih dari pihak militer selaku Penguasa Perang ke Kejaksaan Agung. Banyak pelarangan, bahkan pembakaran buku terjadi dalam rangkaian kampanye ini, terutama buku-buku yang dianggap menyebarkan pandangan liberal.

MBAD kembali melarang brosur Demokrasi Kita karya mantan wakil presiden Mohammad Hatta yang dimuat pertamakali dalam majalah Pandji Masjarakat. Brosur ini berisi kritik tajam terhadap pribadi Presiden Soekarno. Hamka sebagai pimpinan redaksi Pandji Masyarakat ditangkap dan majalahnya dilarang.

18

Sasaran utamanya adalah perpustakaan dan lembaga kebudayaan asing seperti USIS di Jakarta dan Surabaya, serta lembaga dan individu yang dianggap ‘kaki tangan imperialis’. Mengacu pada Penpres No. 4 Tahun 1963, karyakarya sastrawan yang ikut menandatangani ‘Manifes Kebudayaan’ dilarang.

latini, ah latini gugur sebagai ibu anak ketjil dalam gendongan latini, ah latini gugur diberondong peluru baji mungil dalam kandungan tanah dirampas suami dipendjara tengkulak mana akan beruntung? desa ditumpas traktor meremuk palawidja pembesar mana akan berkabung? gugur latini sedang masjumi berganti baju gugur pak tani dan dadanya diberondong peluru gugur djenderal, mulutnya manis hatinya palsu beri aku air, aku haus dengan lapar tubuh lemas aku datang pada mereka aku pulang padamu sedang tanah kering dikulit kita makan samasama kudian muram latini, ah latini tapi, ah, kaum tani kita yang berkabung akan mebajarnya suatu hari (Dari antologi:”Matinya Seorang Petani”, Bagian Penerbitan Lembaga Kebudayaan Rakjat”, Jakarta ...)


PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1963 PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum akan membawa pengaruh buruk terhadap usaha-usaha mencapai tujuan revolusi, karena itu perlu diadakan pengamanan terhadapnya; b. bahwa dianggap perlu Pemerintah dapat mengendalikan pengaruh asing yang disalurkan lewat barang-barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri, dalam rangka menyelamatkan jalannya Revolusi Indonesia. Menimbang pula: bahwa pengaturan ini adalah dalam rangka pengamanan jalannya revolusi dalam mencapai tujuannya, sehingga dilakukan dengan Penetapan Presiden. MEMUTUSKAN: Menetapkan: PENETAPAN PRESIDEN TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANG BARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM Pasal 1 (1) Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. (2) Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan seperti tercantum dalam ayat (1) tersebut. dicantumkan dalam Berita-Negara. (3) Barangsiapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggitingginya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah. Pasal 2 (1) Dalam waktu 48 jam setelah selesai dicetak, maka pencetak wajib mengirimkan satu exemplar barang cetakan yang dicetak, yang jenisnya tercantum dalam ayat (3), kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dengan dibubuhi tanda-tangan pencetak. (2) Dalam hal barang cetakan dicetak diluar negeri tetapi diterbitkan di Indonesia, maka kewajiban tersebut ayat (1) diatas jatuh pada penerbitan di Indonesia. (3) Barang cetakan yang dimaksud adalah buku-buku, brosur- brosur, bulletinbulletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, penerbitan-penerbitan berkala, pamfletpamflet, poster-poster, surat-surat yang dimaksudkan untuk disebarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak ramai dan barang-barang lainnya yang dapat dipersamakan dengan jenis barang cetakan yang ditentukan dalam pasal ini. (4) Pelanggaran atas ketentuan ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah. 19


Pasal 3 (1) Setiap barang cetakan harus dibubuhi nama dan alamat si pencetak dan penerbitnya. (2) Pencetak yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat (1) dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah. Pasal 4 Menteri Jaksa Agung berwenang untuk menunjuk barang cetakan dari luar negeri yang tertentu untuk diperiksa terlebih dahulu sebelum diedarkan di Indonesia. Pasal 5 (1) Dengan suatu keputusan, Menteri Jaksa Agung dapat membatasi jenis-jenis barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri. (2) Yang dimaksudkan dengan jenis barang cetakan dalam pasal ini ialah jenis yang didasarkan atas jenis bahasa, huruf atau asal dari barang cetakan. Pasal 6 Terhadap barang-barang cetakan yang dilarang berdasarkan Penetapan ini dilakukan pensitaan oleh Kejaksaan, Kepolisian atau alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum. Pasal 7 Apabila Menteri Jaksa Agung tidak menetapkan lain, maka barang-barang cetakan terlarang berasal dari luar Indonesia yang berada dalam kekuasaan kantor-kantor pos dikembalikan kepada alamat sipengirimnya diluar negeri. Pasal 8 Yang dimaksudkan dengan barang cetakan dalam Penetapan ini ialah tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang diperbanyak dengan mesin atau alat-alat kimia. Pasal 9 Barang cetakan yang dikeluarkan oleh atau untuk keperluan Negara dikecualikan dari penetapan ini. Pasal 10 Semua ketentuan yang isinya bertentangan atau telah diatur dalam Penetapan ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 11 Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 23 April 1963. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. SUKARNO Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 23 April 1963 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MOHD. ICHSAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1963 NOMOR 23 20


PENJELASAN PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1963 TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM PENJELASAN UMUM Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghadapi barang-barang cetakan baik berasal dari dalam maupun luar negeri yang isinya membahayakan kepentingan Rakyat dan Negara. Tidak jarang penerbitan-penerbitan asing yang masuk ke Indonesia melancarkan kecaman dan hinaan terhadap Rakyat dan Negara; merusak kepercayaan Rakyat terhadap Revolusi, pimpinannya dan Sosialisme yang dibina bersama antara Rakyat dan Negara, hal mana penyebarannya di Indonesia harus dicegah. Selebaran-selebaran yang bersifat subversief baik berasal dari dalam dan luar negeri masih perlu mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, juga bacaan-bacaan yang isinya dapat merusak akhlak. Ketentuan ini sekali-kali tidak dimaksudkan untuk memungkinkan diadakannya sensor preventief oleh Pemerintah terhadap penerbitan dalam negeri; akan tetapi dengan ketentuan ini Pemerintah dapat bertindak cepat apabila terdapat barang cetakan dari dalam negeri yang isinya dapat membahayakan kepentingan Rakyat dan Negara yang sedang membina Sosialisme. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pengertian “mengganggu ketertiban umum� haruslah dihubungkan dengan dasar-dasar tatatertib kehidupan dari Rakyat dan Negara pada suatu saat. Merusak kepercayaan Rakyat terhadap Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional adalah contoh terkemuka akan tetapi tidak satu-satunya dari pengertian mengganggu ketertiban umum. Tulisan-tulisan dan gambar yang merugikan akhlak dan memajukan pencabulan adalah contoh jenis lain dari pengertian tersebut. Jenis-jenis tulisan apa yang tidak dapat ditolerir untuk dibaca oleh masyarakat, sangat erat pula hubungannya dengan kesadaran hukum Rakyat pada suatu ketika, dengan peristiwa-peristiwa yang dialami Rakyat dan Negara, dengan kepribadian Indonesia dan lain-lainnya. Apakah sesuatu tulisan bisa diartikan dapat mengganggu ketertiban umum, diserahkan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk menilainya. Pasal 2 Barang cetakan yang wajib dikirimkan kepada Kepala Kejaksaan adalah terbatas seperti yang dicantumkan dalam pasal 2. Jadi tidak semua barang cetakan dimaksudkan oleh pasal 8 wajib dikirimkan kepada Kepala Kejaksaan setempat. Akan tetapi wewenang Menteri Jaksa Agung untuk melarang barang cetakan yang tersebut dalam pasal 1 tidak dibatasi oleh jenis-jenis barang cetakan yang wajib dikirimkan 21


contohnya kepada Kejaksaan. Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 3

Pasal 4 Dengan ketentuan pasal ini dimungkinkan untuk melakukan penyaringan terhadap barangbarang cetakan yang akan dimasukkan ke Indonesia. Tidak memerlukan penjelasan. Tidak memerlukan penjelasan. Tidak memerlukan penjelasan. Tidak memerlukan penjelasan. Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 Pasal 9

Pasal 10 Yang dimaksud dengan ketentuan yang isinya bertentangan atau telah diatur dalam Penetapan ini antara lain: a. Bepalingen op den invoer verspreiding binnen Indonesia van gevaarlyke buitenlandsche drukwerken, S. 1900-317 jo 319. b. Pasal 13 dari Reglement op de Drukwerken, S.1956-74. Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 11

Mengetahui: MENTERI/PEJABAT SEKRETARIS NEGARA, Ttd. A.W. SURJOADININGRAT (S.H.). TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2533

22


1 Oktober 1965: Terjadi Peristiwa G30S yang tiga minggu kemudian disusul dengan Peristiwa 1965. 1 Mei 1963: Presiden Soekarno mencabut pemberlakuan status “keadaan bahaya” di seluruh wilayah negeri dan menyatakan “keadaan tertib sipil” melalui Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1962 tentang Keadaan Tertib Sipil.

27 Juli 1963 Ketegangan politik berlanjut ketika Presiden Sukarno mengumumkan pada bahwa Indonesia akan melancarkan operasi “Ganyang Malaysia.” Dengan berlangsungnya Konfrontasi dengan Malaysia, Indonesia sekali lagi berada dalam situasi yang dekat dengan “keadaan bahaya.”

14 September 1964 Presiden Sukarno membentuk Penguasa Pelaksanaan Dwikora Daerah (Pepelrada) untuk memimpin kampanye ”Ganyang Malaysia” di daerah. Lembaga ini kerap menjatuhkan larangan terhadap buku-buku tertentu dan membubarkan pertemuan yang dianggap menghalangi jalannya revolusi Indonesia.

Operasi penghancuran PKI dan ormas-ormas kiri melibatkan tindak vandalisme oleh massa anti-komunis yang digerakkan militer, termasuk aksi pembakaran buku di kantor CC PKI, Universitas Res Publica, dll. Pada akhir Desember 1965, Departemen P & K menyatakan: 1.mencabut larangan peredaran buku-buku karya sastrawan penandatangan ’Manifes Kebudayaan’ 2.melarang 70 buku bahasa dan kesusastraan karya para pengarang Lekra 3.melarang 87 sastrawan Lekra untuk berkarya. 23


Hingga 1991, Pemerintah Orde Baru mengacu pada UU No. 4/PNPS/1963 untuk melakukan pelarangan buku.

5 Juli 1969: Untuk tetap mempertahankan kekuasaan dalam mengontrol peredaran barang cetakan, Pemerintahan Suharto dan DPR melalui UU No. 5 Tahun 1969 menyatakan mengadopsi Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 menjadi undang-undang. Penulisan Penetapan Presiden tersebut diubah menjadi UU No. 4/PNPS/1963.

28 Desember 1978: Pada 1970an, peran Taiwan, Hongkong, dan RRC dalam perekonomian dan politik di Asia Pasifik makin menguat. Indonesia tidak bisa mengelak untuk tidak berhubungan dengan mereka. Oleh karena itu, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan kebudayaan Indonesia demi kesatuan dan persatuan bangsa serta peningkatan pembinaan kesatuan bahasa nasional, dipandang perlu mengeluarkan larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang dalam huruf/aksara Cina yang berasal dari impor. 24

18 Januari 1979: Berdasarkan surat dari Kopkamtib, Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika melarang aksara Cina dalam penerbitan pers dan non-pers di Indonesia. Juni 1979: Jaksa Agung melalui SK No. Kep-029/JA/6/1979 melarang peredaran barang cetakan dengan bahasa dan aksara Cina Mandarin atau dialek lainnya.


UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal 30 Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: pengawasan peredaran barang cetakan;

22 Juli 1991: Pemerintah Orde Baru dan DPR menerbitkan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan kewenangan penuh pada Kejaksaan Agung untuk ‘mengamankan’ peredaran barang cetakan. Selama pemerintahan Orde Baru ratusan buku dan pamflet dilarang beredar. Sebagian penulisnya ditahan dengan tuduhan subversif. Alasan Kejaksaan Agung melarang peredaran buku-buku tersebut diantaranya adalah karena bukubuku tersebut memuat ajaran komunisme, menodai agama, memuat pornografi, menghina kepala negara, memuat aksara Cina, dll.

UU No. 16 Tahun Kejaksaan Republik Indonesia yang mengubah wewenang Kejaksaan Agung atas peredaran barang cetakan dari ‘pengamanan’ menjadi ‘pengawasan’.

Hasta Mitra yang didirikan pada pertengahan 1980an dalam rangka menerbitkan buku karya Pramoedya Ananta Toer, merupakan perusahaan penerbitan yang bukunya paling banyak dilarang. Sedang Pramoedya Ananta Toer adalah penulis yang karyanya paling banyak dilarang.

Karena tidak memiliki kewenangan lagi untuk melarang barang cetakan, Kejaksaan Agung kemudian me-reaktivasi kembali UU No. 4/PNPS/1963 untuk melarang peredaran 22 judul buku selama periode 2006-2009.

UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI Pasal 27 (3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: c. pengamanan peredaran barang cetakan; Bagian Penjelasan Pasal 27 ayat (3) butir (c) disebutkan: Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan/ atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang undangan yang belaku. Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan” adalah mencakup kegiatan kegiatan membantu, turut serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.

Gerakan Reformasi berhasil menumbangkan kekuasaan Soeharto dan merebut kembali tiga kebebasan dasar: berserikat, berkumpul, dan berpendapat.

MPR periode 19992004 menerbitkan Perubahan Kedua UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya memuat jaminan atas hak berekpresi dan memperoleh informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia.

25


UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jaminan atas hak berekspresi Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang undang. Pasal 28E (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jaminan atas hak untuk tahu (the right to know) Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Penerbitan Buku di Indonesia Pada periode 1945-1966, di Indonesia terhitung sekitar 1.000 judul buku diterbitkan penerbit-penerbit partikelir setiap tahunnya. Menginjak periode 1966-1981, angka itu beranjak menjadi 2.000 judul buku per tahun. Pada akhir 1965 hingga awal 70an, industri penerbitan nasional sempat mengalami guncangan karena subsidi kertas dicabut. Jumlah anggota IKAPI yang awalnya 300 penerbit turun hingga 25% pada akhir 1965. UNESCO melaporkan, pada 1973 Indonesia mengalami book starvation (paceklik buku). Saat itu, tidak satu pun judul buku diterbitkan oleh para penerbit nasional. Pada 70an Indonesia pernah mengadakan proyek buku Inpres. Kucuran dana dari pemerintah untuk menyukseskan proyek itu memicu kelahiran ratusan penerbit baru. Namun, seiring penghentian proyek itu, banyak penerbit gulung tikar. Menurut data IKAPI, produksi buku di Indonesia menjelang krisis ekonomi 1997/1998 mencapai 5.000 hingga 6.000 judul per tahun. Jumlah itu makin menurun selama krisis hingga hanya 2.500-3.000 judul per tahun. Berdasarkan data dari Intenational Publisher Association Kanada, produksi buku paling tinggi dipegang oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja Inggris memproduksi 110.155 judul buku. Posisi kedua ditempati Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara Indonesia, pada 2002 hanya memproduksi 2.700 judul buku. Pada 2008, jumlah buku yang terbit di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu mencapai 8.000 judul.

26


27


DEMOKRASI TERPIMPIN

Praktek pelarangan buku di Indonesia muncul pertama kali pada akhir 1950an, seiring dengan meningkatnya kekuasaan militer dalam perpolitikan Indonesia.

Penerapan status darurat untuk menghadapi berbagai pemberontakan sejumlah perwira militer yang menamakan gerakannya PRRI-Permesta dan DI-TII memberi dalih pada KSAD Mayjen AH Nasution selaku Penguasa Militer, untuk melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap memuat atau mengandung 'ketjamanketjaman, persangkaan (insinuaties), bahkan penghinaan' terhadap pejabat negara, memuat atau mengandung 'pernjataan permusuhan, kebencian atau penghinaan' terhadap golongan-golongan masyarakat, atau menimbulkan 'keonaran'. Batasan atas konsep-konsep itu sepenuhnya ditentukan oleh penafsiran subyektif AD.

28


Larangan tersebut pada awalnya lebih banyak ditujukan pada pers. Sepanjang 1957, penguasa militer melarang penerbitan tidak kurang dari 33 penerbitan dan menutup tiga kantor berita – termasuk di antaranya Kantor Berita Antara. Puluhan wartawan diinterogasi, belasan diantaranya ditahan di rumah tahanan militer. Pada 1959, Penguasa militer melarang peredaran buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau di Indonesia dan memenjarakan penulisnya selama satu tahun. Setidaknya tiga buku kumpulan puisi juga dilarang beredar. Salah satu buku kumpulan puisi adalah karya Sabar Anantaguna yang berjudul Yang Bertanahair tapi Tak Bertanah, sementara dua lainnya karya Agam Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya Seorang Petani (Lekra, 1961). Pamflet Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta juga tidak lolos dari pelarangan.

dan imperialisme). Soekarno kemudian menerbitkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 yang memberi kewenangan penuh pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Seperti pada kasus aturan pelarangan barang cetakan oleh penguasa militer, batasan atas konsep ‘ketertiban umum’ juga diserahkan pada tafsiran subyektif Kejaksaan Agung. Akan tetapi, militer yang masih memiliki pengaruh kuat dalam perpolitikan lokal dan nasional, juga ikut memanfaatkan aturan ini. Buku-buku yang secara sewenang-wenang dianggap memuat gagasan nekolim dilarang.

Pada 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menghapuskan kontrol efektif terhadap kekuasaannya. Memasuki paruh pertama 1960an, Presiden Soekarno mencanangkan kampanye Ganyang Malaysia (Dwikora) dan Rebut Irian Barat (Trikora) dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional. Kampanye itu meningkatkan sentimen anti-nekolim (neo-kolonialisme

Di tengah situasi ini, 20 seniman dan budayawan mengeluarkan sebuah pernyataan publik yang kemudian dikenal dengan nama “Manifes Kebudayaan”. Karena pandangan berkesenian mereka dianggap mengganggu konsolidasi bangsa untuk ‘menyelesaikan jalannya revolusi, pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno menyatakan melarang pernyataan tersebut. Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan menanggapi pernyataan Soekarno dengan melarang penggunaan buku-buku karya para pendukung Manifes Kebudayaan sebagai bahan ajar. Sedang berbagai penerbitan, kecuali majalah Basis, tidak berani mempublikasi karya-karya mereka, atau menerima asal nama penulisnya tidak dicantumkan. Para pendukung Manifes Kebudayaan kembali bebas berkarya setelah terjadinya Peristiwa 1965.

29


Pelarangan karya pendukung Manifes Kebudayaan Pada 8 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan pernyataan yang isinya melarang Manifes Kebudayaan: Kami, Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi, dengan ini menyatakan bahwa demi keutuhan dan kelurusan jalannya revolusi, dan demi kesempurnaan ketahanan bangsa, apa yang disebut Manifesto Kebudayaan yang disingkat menjadi Manikebu dilarang. Sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran telah menjadi garis besar haluan negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan memberikan kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya revolusi maka segala usaha kita jalankan di atas rel revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan bahan indoktrinasi lain-lainnya. (Sumber: Antara, 10 Mei 1964)

Sejak keluarnya pernyataan itu, 20 sastrawan penandatangan Manifes Kebudayaan mengalami kesulitan dalam mempublikasi dan mengedarkan karya-karya mereka. Majalah Sastra yang merupakan penampung utama karya-karya mereka berhenti terbit karena kesulitan manajemen dan keuangan setelah pelarangan. Penerbitan lain, kecuali majalah Basis, menolak mempublikasi karyakarya mereka, atau menerima asal nama penulisnya tidak dicantumkan. Pada April 1965 ’Pimpinan Departemen PD dan K’ melarang karya-karya pendukung Manifes Kebudayaan digunakan sebagai bahan ajar. Keputusan itu baru dicabut oleh Deputi Menteri Pendidikan Dasar pada Juni 1966.

30

Peristiwa 1965 yang terjadi pada periode ini menjadi titik balik bagi Indonesia. Dimulai dari peristiwa G30S, yang kemudian berlanjut pada penumpasan dan penghancuran lembaga-lembaga yang dianggap berafiliasi pada PKI serta anggotaanggotanya.


Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada 10 Oktober 1965. Lembaga ini memiliki wewenang besar untuk mengambil tindakan apa saja dalam rangka ’memulihkan keamanan dan ketertiban’. Hasilnya: jutaan orang diperkirakan mengalami kekerasan, dibunuh dan ditangkap tanpa proses peradilan karena didakwa sebagai anggota atau simpatisan PKI dan ormas-ormas yang berafiliasi dengannya. Secara perlahan, kekuatan kiri dimusnahkan dari Indonesia, tidak hanya dengan cara menumpas organisasi-organisasinya, tapi juga dengan menciptakan sikap anti terhadap ideologinya.

Selain membentuk lembaga pengawasan keamanan dan ketertiban ini, pemerintah juga menetapkan: Tap MPR XXV/MPRS/1966 yang membubarkan PKI dan melarang ajaran-ajaran MarxismeLeninisme/Komunisme.

Ketetapan ini menjadi alat penting untuk mengontrol masyarakat secara luas dan menjadi dasar penyusunan berbagai peraturan yang mengekang kebebasan berekspresi dan berkumpul yang tidak terbatas pada bekas anggota PKI atau pengikut Marxisme-Leninisme/ Komunisme. 31


Sama seperti pada masa Orde Lama, Kejaksaan Agung sebenarnya hanya menerima pengaduan dari lembaga-lembaga lain dan menerbitkan SK pelarangan berdasarkan pengaduan tersebut. Dari konsideran surat-surat keputusan pelarangan memang terlihat bahwa lembaga-lembaga lain seperti BAKIN, Bakorstanas, Bais, ABRI, Polri, Departemen Agama, secara rutin mengirim pandangannya langsung kepada Jaksa Agung. Dalam prakteknya, memang posisi Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (JAM Intel) yang hampir selalu ditempati oleh perwira tinggi militer, dengan mudah berhubungan dengan semua instansi penyelenggara ’ketertiban dan ketentraman umum’ dalam mengumpulkan informasi tentang buku-buku ’rawan’.

Pada Oktober 1989 ketika Kejaksaan Agung membentuk Clearing House yang berfungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung. Melalui SK No. Kep-114/ JA/ 10/ 1989, clearing house secara resmi bekerja di bawah Jaksa Agung dan terdiri atas 19 anggota dari JAM Intel dan Subdirektorat bidang pengawasan media massa, Bakorstanas, Bakin, Bais, ABRI (kemudian menjadi BIA), Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta Departemen Agama. Lembaga pemerintah lain selain kejaksaan agung yang melarang buku adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI no. 1381/1965 tentang Larangan Mempergunakan Buku-buku Pelajaran, Perpustakaan dan Kebudayaan yang Dikarang oleh Oknum-oknum dan Anggota-anggota Ormas/ Orpol yang Dibekukan Sementara Waktu Kegiatannya, disertai dengan dua buah lampiran. Lampiran pertama berisi 11 daftar buku pelajaran yang dilarang pemakaiannya, antara

Menteri Perdagangan dan Koperasi juga mengeluarkan Keputusan Menteri no. 286/ KP/ XII/ 78 yang diturunkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 01/ DAGLU/ KP/ III/ 79 melarang impor, perdagangan dan pengedaran segala jenis barang cetakan dalam huruf/ aksara dan bahasa Cina. Pada masa itu, pemerintah Cina yang berideologi komunisme, dianggap berbahaya dan mengimpor barang cetakannya dapat membuka kesempatan untuk menyebarluaskan ideologi tersebut. Larangan ini membuat pengecualian untuk barang cetakan yang bersifat ilmiah, namun barang-barang tersebut harus memperoleh persetujuan 32

lain buku-buku karangan Soepardo SH, Pramoedya Ananta Toer, Utuy T. Sontani, Rivai apin, Rukiyah, dan Panitia Penyusun Lagu Sekolah Jawatan Kebudayaan. Sedangkan lampiran kedua berisi 52 buku-buku karangan pengarang-pengarang LEKRA yang harus dibekukan seperti Sobron Aidit, Jubar Ayub, Klara Akustian/ A.S Dharta, Hr. Bandaharo, Hadi, Hadi Sumodanukusumo, Riyono Pratikto, F.L Risakota, Rukiah, Rumambi, Bakri Siregar, Sugiati Siswadi, Sobsi, Utuy Tatang. S, Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, dan Zubir A.A.

dari Departemen P&K, ijin beredar dari Kejaksaan Agung dan importir pelaksana harus memiliki TAPPI(S) serta ditunjuk oleh Departemen Perdagangan dan Koperasi setelah mendengar pendapat Kejaksaan Agung. Dalam prakteknya, selain menyita buku, pemerintah juga menyita dan memusnahkan kaset dan CD berirama mandarin serta beraksara Cina. Tindakan pelarangan ini selain berkaitan dengan pemutusan hubungan dengan Cina, juga terkait dengan politik diskriminasi warga Tionghoa di dalam negeri.


�Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.� – Pramoedya Ananta Toer

Pelarangan Karya para Pengarang Lekra Dalam rangka operasi pembasmian Gerakan 30 September 1965 salah satu target serangan militer adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Para anggota organisasi kebudayaan ini menjadi korban penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pembunuhan kilat dan penghilangan paksa, penyiksaan, kerja paksa dan pembuangan, dan berbagai tindak kekerasan lain. Pada 12 Maret 1966, Soeharto mengumumkan pelarangan dan pembubaran Lekra serta organisasiorganisasi kiri lainnya. Namun sebelum itu, pada 30 Desember 1965, Pembantu Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf.) Drs. Setiadi Kartohadikusumo, atas

nama Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD & K), mengeluarkan instruksi yang melarang penggunaan 70 judul karya para sastrawan Lekra sebagai bahan ajar, serta melarang 87 nama yang dikategorikan sastrawan Lekra dan kolumnis majalah/surat kabar kiri untuk berkarya. Instruksi itu tidak pernah dicabut hingga saat ini. Sebagian di antara para pengarang terlarang yang namanya tercantum dalam daftar PD & K, juga para pengarang Lekra lain yang namanya lupa dicantumkan Setiadi tapi tetap mengalami pemberangusan, akhirnya harus berganti nama atau hidup di pengasingan agar dapat tetap berkarya. Baru setelah kejatuhan Soeharto dan gerakan Reformasi berhasil merebut kembali tiga kebebasan dasar, karya-karya mereka bermunculan kembali.

33


Tindakan Subversif Selain mengukuhkan UU no. 4/ PNPS/ 1963, pemerintah Orde Baru juga mengadopsi UU no. 11/ PNPS/ 1963 tentang anti subversif, yang melarang tindakan-tindakan yang dapat menggoyahkan pemerintahan atau menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. UU yang terakhir ini juga ditelurkan pada masa keadaan darurat perang di jaman pemerintahan Sukarno. Alhasil, pada masa Orde Baru, tindakan pelarangan buku tidak sematamata berdiri sendiri namun hampir selalu terkait dengan dua hal lain yaitu usaha membangkitkan komunisme dan tindakan subversif. Kasus-kasus berikut ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana pelarangan buku dikawinkan dengan tuduhan penyebaran ideologi komunis dan tindakan subversif.

Kasus Pemenjaraan 3 Mahasiswa UGM (Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho dan Bonar Tigor Naipospos)

Bambang Subono (BS) adalah mahasiswa Fisip UGM Yogyakarta. Pada 12 Juni 1988, ia tertangkap sedang memperjual-belikan buku Rumah Kaca, Anak Semua Bangsa dan Gadis Pantai di tengah keramaian penonton pentas drama ”Tahanan” di sport hall Kridosono, Yogya. Buku Rumah Kaca sendiri telah dilarang beredar pada 8 Juni 1988 melalui SK Kejagung no. KEP-061/ JA/6/1988, sedangkan Anak Semua Bangsa dilarang melalui SK Kejagung no. Kep 052/JA/5/1981. Kodim 0734 Yogyakarta kemudian memeriksa rumah BS di kawasan Jatimulyo, dan menyita 20 buku yang dianggap berbau ajaran komunis dan Marxis-Leninis. Pemberitaan media massa kemudian menggolongkan tindakan BS sebagai penyebarluasan ideologi komunisme dan mengajak masyarakat agar tidak ’bersikap lunak’, meskipun BS mengakui bahwa ia menjual buku-buku tersebut semata-mata untuk mendapat uang saja. Ia dituduh: melakukan kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan paham/ ajaran komunisMarxisme-Leninisme; melakukan perbuatan yang dapat menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah; melakukan perbuatan yang dapat menyebarkan rasa permusuhan, perpecahan, pertentangan dan kekacauan serta kegelisahan di kalangan masyarakat luas karena telah mengedarkan buku-buku tersebut. BS akhirnya dijatuhi hukuman 7 tahun penjara pada 1989 dan kemudian dibebaskan bersyarat pada 1994. Ketika kesatuan intel mengobrak-abrik tempat tinggal BS, mereka menemukan surat tagihan dari perpustakaan Sleman kepada BS untuk segera mengembalikan buku karya Maxim Gorky, Ibunda. Buku tersebut tidak ditemukan di rumah BS, namun ia mengakui bahwa buku Ibunda dipinjam oleh Bambang Isti Nugroho (BIN). BIN adalah seorang karyawan laboratorium fisika UGM, koordinator kelompok studi 34

Palagan, penyair dan koresponden majalah Tebuireng, serta aktif di majalah Refleksi yang diterbitkan Forum Studi Kebudayaan Refleksi-Yogyakarta. Ia ditangkap pada 20 Juni 1988, dengan tuduhan menyimpan buku-buku terlarang dan menyelenggarakan rapatrapat gelap atau diskusi tanpa ijin pihak yang berwajib. Persidangan BIN baru dimulai pada 25 April 1989 dan divonis 8 tahun penjara. Selain BS dan BIN, Bonar Tigor Naipospos, mahasiswa FISIP UGM yang menjadi koordinator seksi diskusi KSSPY juga ditangkap. Ia dituduh ’berusaha menghidupkan atau menyebarkan ataupun setidaktidaknya menonjolkan kembali ajaran Marxisme/ Komunisme’ yang nyata-nyata telah dilarang di Indonesia; menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, kegoncangan atau kegelisahan di antara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas; memikat orang lain untuk turut menghidupkan atau menyebarkan ajaran Marxisme/ Komunisme dengan cara-cara yang sama seperti pada dakwaan primer; menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan terlarang’ yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Gadis Pantai, Jejak Langkah dan Hikayat Siti Mariah. Sidang kasus BTN dimulai pada Juni 1990 dan berakhir pada Oktober 1990 dengan vonis penjara 8 tahun 6 bulan penjara. Keputusan pengadilan terhadap ketiga terdakwa mengundang protes dari mahasiswa. Sebanyak 10 orang yang tergabung dalam Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) UGM melakukan aksi protes terhadap keputusan tersebut dengan berpakaian ala klux klux klan. Mereka berusaha mensosialisasikan masalahmasalah yang dihadapi mahasiswa seperti tidak adanya kebebasan akademik, keterbelengguan mahasiswa, dan sebagainya. Aksi lainnya terjadi pada 8 September 1990 yang kemudian dikenal dengan Jumat Jogja Berdarah.

Kasus Pemecatan 3 Mahasiswa UI

Pada 24 September 1981, senat mahasiswa fakultas ilmu-ilmu sosial UI mengundang Pramoedya untuk mempresentasikan papernya tentang Sikap dan Peran Intelektual Dunia Ketiga, terutama Indonesia. Diskusi ini dibubarkan dan keempat mahasiswa yang termasuk dalam pihak penyelenggara ditangkap. Mereka dibebaskan sekitar Oktober 1981, namun dipecat dari UI. Dalam surat keputusan rektor UI no. 064/ SK/R/UI/1981, disebutkan bahwa ketua dan anggota pengurus senat mahasiswa telah melanggar ketentuan-ketentuan tertulis dan bahwa diskusi yang diselenggarakan tidak mendapatkan ijin dari Rektor UI. Surat ini juga menyatakan bahwa Rafendi Jamin, Widi Krastawan, Verdi Jusuf dan Alexander Irwan dicabut kedudukannya sebagai mahasiswa dan warga UI.


Gerakan Reformasi berhasil merebut kembali kemerdekaan berkumpul, berserikat, dan berpendapat setelah puluhan tahun diberangus di bawah Rezim Orde Baru. Kemenangan tersebut dikukuhkan oleh MPR melalui Perubahan Kedua UUD Negara RI Tahun 1945. Pada 2004, DPR mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang cetakan melalui UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Buku yang dilarang pertamakali, pada era ini adalah pamflet yang ditulis Ma’sud Simanungkalit yang berjudul Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al Qur’an. Karena UU Kejaksaan RI yang baru tidak lagi memberi kewenangan pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku, maka Kejaksaan Agung bergayut pada UU peninggalan keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin, yaitu No. 4/PNPS/1963, untuk membenarkan keputusannya. Pada 2007 Kejaksaan Agung bertindak semakin agresif dengan melarang 13 buku teks sejarah untuk SLTP dan SLA yang mengacu pada Kurikulum 2004. Kejaksaan Agung berdalih buku-buku tersebut

memutar balik sejarah karena tidak mencantumkan kata ’PKI’ dibelakang ‘G-30-S’ dan tidak memasukkan Peristiwa Madiun 1948. Di tingkat lapangan, sejumlah kejaksaan negeri/tinggi memperluas pelarangan tidak hanya pada 13 judul buku, tapi juga pada buku-buku teks sejarah lain. Kejaksaan Tinggi Pangkal Pinang bahkan memperluas pelarangan hingga mencakup 54 judul buku sejarah . Tidak hanya pelarangan yang dilakukan kejaksaan, tetapi juga pemusnahan dengan cara membakar buku-buku teks yang disita. Selanjutnya, pada akhir 2009 Kejaksaan Agung melarang lima buku, diantaranya karya John

Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (ISSI & Hasta Mitra, 2008) serta karya Rhoma Dwi Yulianti dan Muhiddin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 19501965 (Yogyakara a: Merakesumba, 2008). Buku-buku itu dilarang karena dianggap ‘dapat mengganggu ketertiban umum’. Kejaksaan Agung memonopoili definisi atas ‘ketertiban umum’ dan tidak merasa perlu membuktikan bahwa peredaran buku itu memang meresahkan masyarakat. Padahal buku-buku itu telah beredar selama satu tahun atau lebih tanpa menimbulkan gejolak sama sekali.

Pelarangan buku masih dapat terus terjadi di masa mendatang selama UU No. 4/PNPS/1963 terus dipertahankan. Pada awal Januari 2010, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengumumkan akan merekomendasikan pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran 20 judul buku. 35


informasi lebih lanjut kunjungi situs web: http://sites.google.com/site/sejarahsosial/pelaranganbuku


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.