Koran Bireuen Edisi 9

Page 10

10

FOKUS

Bacaan untuk Umum No.9/Thn.I/Edisi 22 Juli - 4 Agustus 2013

Fadhli Jailani, Program Manager YPAP

“Hilangkan Stigma Negatif Terhadap ODHA” Diperlukan dukungan moril dari orang-orang terdekat terhadap penderita HIV/AIDS. Kepedulian keluarga, teman-teman dan masyarakat, sangat dibutuhkan agar mereka dapat bertahan dari deraan penyakit tersebut. Bukan sebaliknya, menstigma negatif terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) itu. Bahkan, ada yang mengucilkan dan mengusir penderita tersebut dari tempat tinggalnya. Untuk itu, diperlukan adanya sosialisasi mengenai HIV/ AIDS kepada masyarakat. Sebab, ketidakpahaman masyarakat tentang penyakit yang sangat berbahaya itu, yang membuat mereka menjauhi para ODHA. Yayasan Permata Atjeh Peduli (YPAP), sebuah LSM yang peduli HIV/AIDS di Bireuen, sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan ini. Berikut ini ikuti petikan wawancara wartawan KoranBireuen, Suryadi, dengan Fadhli Jailani, Program Manager YPAP, yang selama ini mendampingi para penderita HIV/AIDS.

Y

ayasan Permata Atjeh Peduli (YPAP), apakah ini sebuah LSM dan bergerak di bidang apa? Ya. Yayasan Permata Atjeh Peduli (YPAP]) merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada masalahmasalah sosial dan pemberdayaan masyarakat. Di kabupaten mana saja wilayah kerja YPAP? Untuk saat ini YPAP masih bekerja di tiga wilayah, yaitu Lhokseumawe, Aceh Utara dan Bireuen. Pemilihan tiga kabupaten dan kota ini, karena secara geografis berdekatan. Selain, belum ada organisasi lain yang masuk menangani hal ini (HIV/AIDS). Kenapa YPAP menaruh perhatian khusus terhadap masalah HIV/AIDS? Karena masalah HIV/AIDS ini sebenarnya permasalahan sosial. Semua pihak harus bertanggungjawab terhadap hal ini. Banyak orang menganggap bahwa HIV/AIDS ini penyakit kutukan, penyakit setan dan hal negatif lainnya yang diperspektifkan masyarakat. Sehingga, membuat masyarakat kurang kepeduliannya terhadap hal ini. Permasalahan HIV/AIDS kalau semakin didiamkan, dijauhi dan disepelekan, akan semakin berkembang subur. Sebab, tidak ada yang mengontrol dan mengingatkannya. Makanya, YPAP hadir untuk memberikan pemahaman dasar tentang HIV/AIDS kepada semua kalangan. Apakah Bireuen termasuk salah satu kabupaten yang banyak pengidap HIV/AIDS di Aceh? Tidak, Bireuen menduduki peringkat kedua, setelah Aceh Utara. Di sana penderitanya paling banyak , mencapai 33 orang. Bisa saja suatu hari nanti Bireuen akan ‘panen’ HIV/AIDS, apabila kita semua tidak mau peduli terhadap

hal ini. Sebab, kasus HIV/AIDS ini bagaikan fenomena gunung es di lautan, yang terlihat hanya permukaannya saja. Apakah para korban sejak awal mereka menyadari telah terjangkiti HIV/AIDS atau diketahui belakangan secara tidak sengaja? Untuk Bireuen banyak yang diketahui belakangan, setelah dia terinfeksi opottunistik pada fase AIDS. Apakah selama ini YPAP selalu melakukan pendampingan terhadap penderita HIV/AIDS di Bireuen? Jelaskan bagaimana bentuk pendampingan yang diberikan terhadap mereka? Ya, kita intensif mendampingi penderita HIV/AIDS di Bireuen. Baik kepada penderita maupun keluarganya. Apabila status penderitanya sudah diketahui khalayak ramai, kita juga memberikan penyuluhan kepada orang-orang di sekitar rumah dan desanya. Seperti kasus terbaru di Gampong Bireuen Meunasah Blang, Kecamatan Kota Juang. Kita sempat memberikan materi HIV dasar dan diskusi stigma serta diskriminasi selama tiga hari, sebelum meninggalnya ODHA tersebut. Penyuluhan ini disebabkan aparatur desa dan masyarakat mengirimkan surat ke Dinkes Bireuen untuk bisa dijauhkan ODHA itu dari desa mereka. Karena itulah, kita turun langsung memberikan pemahaman kepada masyarakat dan apatur desa bersama dengan pihak Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan YPAP. Bentuk pendampinganya berdasar kebutuhan setiap penderita, berbeda penanganannya. Beda pula pendampingan (staff penjangkau) karena di sini sangat rahasia dan tertutup. Ini semua karena masyarakat kita masih menstigma dan diskriminasi terhadap penderita

Fadhli Jailani

dengan kental. Makanya, kerahasiaan menjadi yang utama bagi kami, untuk mendapat kepercayaan dari ODHA. Bagaimana beban psikologis yang dirasakan para korban, setelah mereka mengetahui telah mengidap HIV/AIDS? Bermacam-macam reaksinya. Ada yang biasa saja, yang sudah dikonseling dan ada pendamping. Ada juga yang mau loncat dari jembatan. Itulah makanya untuk yang mengetest HIV itu, perlu adanya konseling lebih dahulu, baru boleh ditest. Hasilnya pun harus disampaikan oleh konselor. Tidak boleh sembarangan dokter dan orang, karena bisa menyebabkan pasien drop, shock serta stress. Bagaimana stigma masyarakat terhadap para ODHA? Nah, untuk stigma ini yang luar biasa terjadi di Kabupaten Bireuen. Stigma ini bisa menjadikan dosa semua masyarakat, ulama dan umara. Bagaimana tidak, seperti kasus yang terjadi di Matang glumpangdua, sekitar dua tahun yang lalu dan yang baru-baru ini di Gampong Bireuen Meunasah Blang, Kecamatan Kota Juang. Di Matangglumpangdua, ODHA yang sudah meninggal pun distigma. Bayangkan, mayatnya dimandikan seperti orang mencuci sepeda motor. Dengan cara disemprot air dari jauh. Yang lebih parah lagi, tidak diizinkan dikubur di tempat pemakaman umum. Mungkin saja, masyarakatnya takut mayat pengidap HIV/AIDS ini akan menularkan penyakit tersebut kepada mayat lain di pemakaman itu. Inikan sangat miris melihat kondisi tersebut. Di Meunasah Blang, begitu tersebar kabar pasien HIV/AIDS meninggal dunia, hampir seluruh perangkat desa dan Tgk. Imum sibuk di luar. Dengan beralasan ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Sehingga, mayat itu

hampir pukul 11 tidak ada yang memandikan dan mengurus pemakamannya. Padahal, dia sudah meninggal pukul lima subuh. Bayangkan, hampir lima jam lebih tidak ada yang mengurus mayat tersebut. Tapi, akhirnya ada seorang remaja dan satu lagi yang sudah berumur, bersedia memandikan mayat itu dan mengkafani jenazahnya. Sehingga, bisa dishalatkan dan dikuburkan di pemakaman umum. Menyedihkan, sudah meninggal pun masih distigma. Waktu dia masih hidup, stigmanya lebih parah lagi. Masyarakat dan perangkat desa mau mengusir atau dijauhkan ODHA itu dari desa mereka. Ini terbukti dari surat yang mereka kirim ke Dinkes dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bireuen untuk melakukan hal tersebut. Tapi, hal itu memang belum sempat terjadi, karena kita sudah memberikan pemahaman kepada masyarakat dan perangkat desa. Ini semua terjadi karena ketidakpahaman masyarakat tentang HIV/ AIDS, yang mereka kira penyakit itu mudah sekali menular. Bagaimana seharusnya masyarakat memperlakukan ODHA? Ya, ODHA harus diperlakukan sebagaimana orang lain. Tidak perlu takut terhadap penderita HIV/AIDS. Menularnya hanya lewat cairan vagina, sperma, darah dan ASI. Kita dalam hidup sehari-hari dalam bermasyarakat, kan tidak minum darah dan tidak berlicin-licin dengan sperma. Jadi, ngapain takut dan menjauhi ODHA. Padahal, yang mereka butuhkan hanya semangat hidup, kepedulian masyakat, keluarga dan teman-temannya. Sangat mengibakan, kebanyakan ODHA meninggal karena tekanan hidup. Bukan karena penyakitnya yang bertambah parah. Tapi, tekanan jiwalah yang paling berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.