![]()
Inilah Esai (Muhidin M. Dahlan)
Meresensi itu Tak Sekadar Keunggulan-Kelemahan Buku (Arif Rohman)-4
Perempuan Laut (Usman Arrumy)
Ketika Penyair Jatuh Cinta (Rarasati)-10
Edu Science Simbiosis (Mamichila)
Belajar Simbiosis Lewat Cerita (Hidayatus Sholikah)-16
Dawuk (Mahfud Ikhwan)
Terpikat Bualan Warto Kemplung (Abdul Karim)-20
The Miracle of Enzyme (Hiromi Shinya)
Yang Kita Anggap Baik Bagi Tubuh, Ternyata Berbahaya (Salmasa)-24
Komunitas Fiksi Kudus atau Kofiku mulai terbentuk sejak 14 Juli 2015. Beberapa karya yang sudah dipublikasikan oleh komunitas ini antara lain kumpulan cerpen Sekawanan Gagak di Jurang Babi Yar (Kofiku Media: 2016), kumpulan puisi Kata Kota (Kofiku Media: 2017), Buletin Sastra Kofiku Edisi 1, Januari 2021; Rumah Dan Keluarga. Anggota-anggotanya berasal dari beberapa kalangan yakni: siswa sekolah, kuliah dan pekerja.
Selengkapnya: komunitasfiksikudus.blogspot.com
Kejenuhan melakoni kegiatan sebagai penulis kerap kali muncul. Tulisan begitu-begitu
saja hasilnya. Tak banyak tulisan terkirim ke email redaksi. Ketika mampu mengirimkan tulisan, harus berbesar hati menyikapi “balasan redaktur” yang menolak menerbitkannya.
Sebelum membaca buku
Muhidin M. Dahlan berjudul
Inilah Resensi, tulisan resensi buku saya sudah ada yang
dimuat di beberapa media
seperti Tribun Jateng, Muria News, Kedaulatan Rakyat, dan Koran Jakarta.
Laku sebagai peresensi pernah menjadi sarana
membeli buku dengan
cara menulis. Tapi, harihari belakangan kegiatan meresensi menambah
frustrasi. Sebelum akhirnya
yang tidak menerima kritik atas buku, cenderung resensi dijadikan alat untuk promosi. Kita sebagai peresensi memang bakal mendapat hadiah buku dari penerbit sih.
Media yang memuat resensi seperti Kompas, Jawa
Pos, Koran Tempo, atau situs
Basabasi.co adalah empat
rehat, menulis resensi di waktu yang semakin
menyempit. Pun media yang
memuatnya, saya temui ada
media dari sekian yang ada, yang menurut saya punya kurasi naskah dan honor yang sungguh-sungguh. Sayangnya, kita perlu “tahan banting” mengirim tulisan ke media tersebut. Sekaliduakali tak layak berharap
Judul : Inilah Resensi
Penul I s : Muhidin M. dahlan
Pene R b I t: I:bOeKOe
tahun terbit: 2020
t ebal : 256 hlm.
uK u R an b u K u : 13,5 x 20 cm
Isbn: 978-979-1436-60-1
mendapat pemuatan.
Beberapa kali saya mencoba mengirimkan tulisan, sambil mengkliping dan membaca contoh resensi yang mereka terbitkan. Rutinitas tersebut, selain menambah pengetahuan, di sisi lain menumbuhkan sikap rendah diri untuk mengirim tulisan ke email redaksi.
Buku Inilah Resensi saya baca selang beberapa minggu, setelah memprediksi hasil tak lolos tes Seleksi Kompetensi Dasar CPNS. Menulis memang bisa dibilang hobi. Tapi tak mau asal hobi saja seperti lirik lagu Di Jam Makan Siang milik Hindia.. Ada harapan menulis menjadi profesi.
Membuka lembaran awal buku ini, kita dihidangkan perihal makna resensi. Jika dulu, di sekolah kita diajari resensi perihal keunggulan-kelemahan buku, ketika menekuni sebagai peresensi saya mulai menyadari pengertian dari sekolah tersebut kurang mewakili praktik meresensi.
Buku ini memperjelas pamahaman saya akan apa itu meresensi? Meresensi itu membaca. Hal baru yang saya temukan di buku ini adalah penjelasan tentang merencanakan bacaan. Pengalaman selama ini, jika ingin rutin meresensi malah perlu memaksa diri meresensi buku seadanya, yang penting terbitan baru.
“Jika Anda gandrung pada buku-buku militer, cari dan selidiki berbagai buku bertema ketentaraan dengan segala sangkut-pautnya. Bacalah semuanya, lalu, tulislah pandangan Anda.” (hlm 11)
Sampai di halaman ini, saya menyadari buku ini manfaatnya tak sepraktis bayangan saya. Membaca buku ini agar tulisan saya bisa dimuat di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, atau situs Basabasi.co. Tak apa. Menulis memang lebih dekat dengan laku intelektual daripada ekonomi.
Bahkan, sebelum diistirahatkan karena virus corona, di sebuah pelatihan menulis yang diselenggarakan Balai Bahasa Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu, ditekankan oleh
Jika Anda gandrung pada buku-buku militer, cari dan
selidiki berbagai buku bertema
ketentaraan dengan segala sangkut-pautnya. Bacalah
semuanya, lalu, tulislah pandangan Anda. (hlm 11)
beberapa narasumbernya, kalau jangan (hanya) jadi penulis!
Jadilah guru yang penulis, dosen yang penulis, penjual mi ayam yang penulis, tukang potong rambut yang penulis dan profesi lainnya yang diiringi sebagai penulis. Memang hanya beberapa contoh saja penulis yang saya tahu hidup layak dari menulis. Berprofesi sebagai penulis.
Di bagian satu, kita membaca tokoh yang meresensi buku
mulai dari Soekarno (peresensi buku tentang Hitler dan buku lainnya yang bisa kita baca Di Bawah Bendera Revolusi), Mohammad Hatta (peresensi buku-buku temannya sendiri
yakni Sutan Syahrir), Poerbatjaraka (peresensi buku-buku
Buku ini ditulis tidak seperti buku panduan pada umumnya. Kekuatan buku ini ada pada hasil kliping Muhidin M. Dahlan.
Tercatat 250 contoh resensi menopang isi buku ini. Lebih dari itu pengelompokan yang dilakukan penulis membuat (calon) peresensi bisa menjadikan buku Inilah Resensi sebagai “indeks belajar”.
terbitan masa silam, seperti Suluk Malang Sumirang, Serat Cebolek, Centhini, kitab Wirataparwa, dan Babad Giyanti), Polycarpus Swantoro (peresensi buku dengan tema yang
sama dan dilakukan mendalam, tulisannya bisa kita baca dalam Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu), Sumitro Djojohadikusumo (peresensi buku-buku babon
ekonomi dunia, bisa kita baca tulisannya di Perkembangan
Pemikiran Ekonomi: Buku I Dasar Teori dalam Ekonomi Umum), hingga H.B. Jasssin (peresensi buku-buku sastra Indonesia, di antaranya bisa kita baca dalam buku Kesusasteraan Indonesia
Modern dalam Kritik dan Essay).
Beranjak ke bagian kedua, kita bertemu dengan penjelasan peristiwa “sejarah resensi buku” mulai tahun 1914, 1962, 1974, 1978, 1991, 2006, sampai 2014. Penulis menilik bagian
menarik tentang polemik plagiasi yang dilakukan Hamka:
“Generasi abad 21 dengan enteng memfilmkan buku Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck tanpa ada risi sekali. Siri!” (hlm 62)
Kalimat itu memungkasi penjelasan peristiwa buku sastra di tahun 1960-an. Terkait resensi buku berjudul “Aku Mendakwa Hamka Plagiat” ditulis Abdullah Sp. di lembar budaya Bintang Timur, Lentera, yang diasuh Pramoedya Ananta Toer.
Dari sudut pandang pembaca, rasanya Muhidin M. Dahlan dengan sengaja tidak menyertakan polemik dari buku yang ia tulis sendiri. Kenapa tidak ia sertakan sub judul, 2005: Polemik Novel Adam Hawa Bermula Resensi di Media Indonesia?
Memasuki bagian ketiga, kita mendapati hal-hal teknis dalam menulis resensi, mulai penulisan data buku atau kolofon, penjelasan ragam judul, paragraf pertama, narasi tubuh resensi, hingga penulisan paragraf terakhir yang biasa digunakan oleh para peresensi dan disertai contoh.
Buku ini ditulis tidak seperti buku panduan pada umumnya. Kekuatan buku ini ada pada hasil kliping Muhidin M. Dahlan. Tercatat 250 contoh resensi menopang isi buku ini. Lebih dari itu pengelompokan yang dilakukan penulis membuat (calon) peresensi bisa menjadikan buku Inilah Resensi sebagai “indeks belajar”. Sebagaimana dikatakan di awal buku ini:
“Kultur yang membentuk saya adalah belajar sebanyakbanyaknya dari resensi yang sudah dituliskan oleh mereka yang memiliki keterampilan membaca dan kemahiran menuliskan pandangannya atas buku yang dibaca tersebut.” (hlm 13)
Arif Rohman Bergiat di Kofiku
Rarasati, Perempuan pencinta buku, tinggal di Kudus.
Pernahkah Anda jatuh cinta? Apakah Anda menulis dan mengirimkan surat cinta untuk sang pujaan hati? Atau bahkan menuliskan puisi untuknya?
KetiKa jatuh cinta, katanya orang akan cenderung menjadi puitis. Ada banyak cerita yang mengisahkan hal ini: Laki-laki menulis puisi untuk perempuan yang disukainya.
Bagaimana ketika seorang penyair (yang adalah tukang nulis puisi) jatuh cinta? Inilah yang diceritakan oleh Usman Arrumy dalam novel berjudul Perempuan Laut. Buku terbitan Diva Press ini merupakan novel pertama
Usman Arrumy. Lebih cocok disebut novela karena tipis (150an halaman).
Setelah menerbitkan empat buku puisi dan satu esai, dia menyadari bahwa sebuah gagasan tidak harus ditulis dalam bentuk puisi. Oleh karena itulah, Usman Arrumy kemudian menulis novela ini.
Hanya saja, sebagai penyair, ternyata ia tidak bisa lepas dari puisi. Hasilnya, dalam Perempuan Laut ini bertebaran puisi-puisi hampir di tiap babnya. Dari
18 bab, hanya tiga bab (yaitu bab 2, bab 16 dan bab 17)
yang tidak berisi puisi.
Usman Arrumy sebelum menulis novela ini, lebih dikenal sebagai penyair.
Coba simak sebuah puisi berjudul Untuk Lare Segara
yang ditulis oleh si penyair, berikut ini: Ombak adalah
Judul: Pe R e MP uan l aut
Penul I s: u s M an aRR u M y
Pene R b I t: dI va P R ess
Ceta K an Pe R ta M a Ma R et 2022
ISBN: 978-623-293-652-2
t ebal: 152 hal 13 x 19 CM
puisi/ Yang ditulis laut pada pantai/ Hujan adalah puisi/ Yang ditulis langit pada tanah/ Napas adalah puisi/ Yang ditulis udara pada pada kehidupan// Kamu adalah puisi/ Yang ditulis Tuhan pada diriku. (hlm 147)
Dalam rekaman YouTube perbincangan bersama Usman Arrumy di Kafe Main-Main Yogyakarta (17 Juli 2022), dia menyatakan bahwa Perempuan Laut adalah puisi-puisi yang dipanjangkan.
Perempuan Laut berkisah tentang seorang penyair laki-laki bernama Kidung Sorandaka dan seorang perempuan pelukis bernama Diajeng Laksmi. Tanpa bisa ditolak, keduanya saling jatuh cinta. Perasaan cinta keduanya digambarkan sebagai cinta pertama mereka. Penulis berhasil membuat pembaca gemas dengan perilaku dan sikap kedua tokoh ini yang malumalu kucing urusan cinta.
Penulis memakai point of view (PoV) gabungan dari tiga sudut pandang: orang pertama dari kedua tokoh tersebut dan orang ketiga. Gabungan ini cukup menarik karena pembaca bisa menikmati kisah dari masing-masing sudut pandang, meskipun ada beberapa bagian yang disembunyikan oleh penulis.
Yang juga menarik dari buku ini adalah setting tempat kejadian. Usman Arrumy, dalam rekaman YouTube yang disebutkan sebelumnya, menyatakan bahwa semua tempat dalam kisah ini adalah rekaan si penulis. Ia mengakui melakukan riset cukup banyak untuk memastikannya. Penulis layak diacungi jempol urusan riset ini (dan wawasannya), karena tidak hanya membuatnya mampu menuliskan deskripsi tempat yang detail, tetapi termasuk hal-hal pendukung misalnya playlist lagu/musik yang diputar di kafe.
Lare Segara adalah nama yang diberikan oleh si tokoh penyair kepada si pelukis, bahkan sebelum mereka saling mengetahui nama masing-masing. How romantic? Ya, kisah ini
Ombak adalah puisi/ Yang ditulis laut pada pantai/ Hujan adalah puisi/ Yang
ditulis langit pada tanah/ Napas adalah puisi/ Yang ditulis udara pada pada kehidupan// Kamu adalah puisi/ Yang
ditulis Tuhan pada diriku. (hlm 147)
cocok dibaca oleh pembaca yang menyukai cerita romantis.
Yang patut disayangkan, dalam buku ini ada satu hal yang tidak konsisten. Kecelakaan yang dialami oleh si penyair pada mulanya disebutkan akibat selang bahan bakar rusak (sehingga mesin perahu mati) serta baling-baling lepas. Pada bagian selanjutnya, disebutkan kecelakaan itu akibat gempa tektonik.
Kekurangan berikutnya, tokoh Lare Segara digambarkan sebagai tokoh yang too good to be true, alias terlalu sempurna, semacam Mary Sue. Tokoh terlalu sempurna seperti ini biasanya dihindari oleh para penulis novel.
Di luar kekurangan-kekurangan minor tersebut, Perempuan Laut merupakan buku menarik. Di dalamnya kita menemukan bejibun puisi, yang selain menghibur hati sekaligus cocok dikutip untuk dipajang di medsos kita. Rarasati
Lare Segara dikisahkan sebatang kara sejak kecil tanpa mengetahui kedua orang tuanya. Ia sempat dianggap sebagai pembawa sial bagi para nelayan di kampungnya. Ia tidak mengenyam pendidikan yang cukup, tetapi kemudian diceritakan suka membaca dan pergi ke kota untuk membeli buku-buku. Nasib sangat baik dialami si yatim piatu ini yang secara otodidak belajar melukis dan selanjutnya hidupnya berubah 180 derajat. Tentu saja ada kemungkinan hal tersebut terjadi, hanya saja peluang terjadinya sangat kecil mengingat Lare Segara adalah seorang perempuan. Jika itu terjadi, berarti dia bernasib sangat baik.
Hal lain yang menurut saya kurang dalam novela ini adalah konflik yang diangkat. Konfliknya lemah, hanya urusan malumalu kucing dalam cinta pertama kedua tokohnya.
Penulis layak diacungi jempol urusan riset ini (dan wawasannya), karena tidak hanya membuatnya mampu menuliskan deskripsi tempat yang detail, tetapi termasuk hal-hal pendukung misalnya playlist lagu/musik yang diputar di kafe.
Rarasati
Di luar kekurangan-kekurangan tersebut, Perempuan Laut merupakan buku menarik. Di dalamnya kita menemukan bejibun puisi, yang selain menghibur hati sekaligus cocok dikutip untuk dipajang di medsos kita. Apalagi, si penulis menjanjikan bahwa kisah ini adalah buku pertama dari trilogi yang dia siapkan. Buku keduanya sudah dipajang dan dipromosikan sebagai preorder. Tentunya buku kedua sangat dinantikan untuk mengetahui nasib kedua tokoh kita ini serta kelanjutan kisah percintaan mereka. (rase)
Rarasati
Perempuan pencinta buku, tinggal di Kudus.
Apakah kita masih ingat apa itu simbiosis dan apa saja pembagiannya? Bingung? Kalau begitu kita sama. Tos dulu.
Jangan lama-lama
bingungnya, ada buku yang
menceritakan simbiosis
dalam bentuk cerita anak, buku ini ditulis oleh
Mamichila. Selain disertai ilustrasi yang ciamik dari
Radityo Wahyu S, buku ini dilengkapi juga dengan pojok sains, games interaktif, dan barcode yang berisi video animasi.
Buku ini berisi 5 bab, setiap bab kita mendapati cerita
dengan tokoh yang sesuai
dengan jenis-jenis simbiosis, tokohnya ada yang anakanak, ada yang juga yang
binatang. Kita mulai pada
Bab 1, Plok! Menangkap
si Nyamuk, menceritakan seorang anak yang terkena
demam berdarah setelah
tergigit nyamuk demam
berdarah. Hubungan
manusia dengan nyamuk
ini dinamakan simbiosis
parasitisme. Dimana nyamuk
mendapatkan keuntungan
berupa makanan dari
darah manusia, sedangkan
manusia dirugikan karena
terkena demam berdarah
setelah tergigit nyamuk.
Game interaktif di bab ini
adalah menebalkan garis
putus-putus pada tulisan
gatal, mengurutkan nyamuk
dari kecil ke besar, dan
Judul: e du sCI en C e sIM b IO s I s
Penul I s: Ma MIC h I la
Illust R atOR : Rad I tyO Wahyu s
Ceta K an P e R ta M a: 2022
t ebal: 127 hala M an
Pene R b I t: vI s I Mand IRI
menghitung nyamuk yang ada di kamar si tokoh.
Bab 2, Asyik, Mora Makan Gratis. Bab ini mengisahkan Mora si ikan Ramora yang bersahabat dengan Sharki si ikan hiu. Mereka berenang bersama mencari makanan. Mora selalu menempel pada badan Sharki. Dan Mora ini memakan sisa makan Sharki. Hubungan keduanya dinamakan simbiosis komensalisme. Dimana Mora mendapatkan keuntungan karena mendapatkan sisa makanan dari Sharki tanpa harus berburu, dan ikan yang mau memangsa Mora akan takut dengan Sharki. Sedangkan Sharki tidak diuntungkan maupun dirugikan oleh Mora. Game interaktifnya, berupa mencarikan jalan Sharki untuk menangkap mangsanya.
Bab 3, Ini Rumputku! menceritakan dua kelompok kambing yang memperebutkan rumput hijau. Ketika rumput tinggal sedikit, maka akan terjadi simbiosis kompetisi. Dimana kedua kelompok kambing ini memperebutkan rumput yang tinggal sedikit. Apabila rumput sudah banyak, maka simbiosis kompetisi akan hilang dengan sendirinya. Games interaktif di bab ini berupa menebali kata rumput, menjawab teka teki, dan mencari makanan kambing.
Bab 4, Boyo Tak Kesal Lagi, dari judulnya pasti sudah ketahuan ya, Boyo akan dipasangkan dengan siapa? Ya betul, ini cerita tentang buaya dan burung Plover, hubungan keduanya dinamakan simbiosis mutualisme. Games interaktifnya berupa mencari burung Plover, menghitung lalat, dan menemukan keanehan pada satu halaman.
Bab 5, Teyot Teplung, berisi cerita tentang pertemanan kelompok ikan emas dan katak dalam satu kolam. Keduanya berteman karena makanan mereka berbeda, jadi tidak ada yang merasa dirugikan maupun diuntungkan. Katak memakan serangga, sedangkan ikan emas memakan plankton. Hubungan mereka hanya berbagi tempat tinggal, tidak lebih.
Orang tua bisa menjadikan buku ini “pancingan” bagi anak untuk belajar sains dan mengamati lingkungan sekitar.
Hidayatus Sholikah
Ini dinamakan simbiosis netralisme, yakni dua makhluk hidup berbeda yang berada dalam satu tempat namun tidak saling merugikan maupun diuntungkan, karena makanannya berbeda. Games interaktifnya berupa menghitung ikan emas, menghitung serangga, dan memberi tanda habitat katak.
Harga buku ini cukup terjangkau. Apalagi jika dipesan saat masih PO (Pre Order). Atau dalam proses membeli buku, orang tua juga dapat mengajak anak untuk menabung, agar anak belajar menabung sebelum mendapatkan buku yang diinginkan.
Secara keseluruhan, buku ini sangat menarik untuk anak maupun orang tua. Isi ceritanya ringan dan mudah dipahami. Orang tua bisa menjadikan buku ini “pancingan” bagi anak untuk belajar sains dan mengamati lingkungan sekitar.
Hidayatus Sholikah
Ibu rumah tangga dan guru dibeberapa lembaga pendidikan. Baik formal maupun non formal. Merangkap juga sebagai penjual online.
Abdul Karim, Penulis lepas, kelahiran Kudus.
Novel pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK)
2017 ini berisi kisah cinta ganjil antara Mat Dawuk dan Inayatun. Mat Dawuk adalah lelaki buruk rupa yang dikutuk oleh orang sekampung. Sedangkan Inayatun adalah bunga desa dan anak kiai kampung yang disanjung sejak bayi karena kecantikannya.
mat Dawuk sejak kecil tak memiliki teman karena wajahnya yang buruk. Ia banyak menghabiskan waktu di kuburan ibunya atau di hutan untuk mencari kakeknya. Mat Dawuk pertama bertemu Inayatun di Malaysia, ketika keduanya sedang merantau. Kemudian keduanya jatuh cinta, bercinta, dan memutuskan menikah siri.
Tak lama kemudian, keduanya pulang kampung. Keduanya ingin menghabiskan sisa hidup di tanah kelahiran, meski restu keluarga tidak dalam
genggaman.
Sampai datang peristiwa
kelabu di suatu sore, saat Mat Dawuk mendapati istrinya bersimbah darah. Tak cukup hanya itu, Mat Dawuk lah yang dituduh sebagai pembunuh istrinya.
Saat membaca novel ini saya merasa Mahfud Ikhwan sedang bereksperimen, di mana sudut pandang penceritaan novel ini dibuat menumpuk, dipadukan dengan alur maju mundur. Kalau kita membacanya dengan pelan sambil meresapinya, tentu kita paham. Namun, ini menjadi pekerjaan yang berat bagi pembaca awam, karena
Judul: d aW u K : K I sah Kelabu da RI
Ru M bu K Randu
Penul I s: Mahfud I K h Wan
Pene R b I t: Ma RJI n K IRI
Ceta K an: Kedua, nO ve M be R 2017
ISBN: 978-979-1260-69-5
t ebal: 182 hala M an
membingungkan.
Novel ini membahas hal yang sudah sering Mahfud Ikhwan bahas dengan menarik dalam karya-karyanya, seperti sepak bola, film India, obrolan warung kopi, dan kebiasaan orang Jawa yang suka merantau sampai ke Malaysia. Semuanya campur aduk dengan rapi tanpa ada penuturan yang ganjil.
Cerita Mat Dawuk dalam novel ini dituturkan oleh Warto Kemplung, seorang pembual yang bercerita kesana-kemari demi mendapatkan rokok dan kopi gratis. Cerita Warto Kemplung sendiri disampaikan oleh wartawan yang tertarik saat mendengar ceritanya di warung kopi.
Jadi, kita harus berhati-hati saat membaca buku ini, apakah yang sedang dibaca cerita dari tuturan Warto Kemplung atau sang wartawan. Cukup membingungkan memang. Tapi, bagi saya di situlah menariknya novel ini.
Orang-orang di warung kopi terpikat oleh cerita Warto Kemplung tentang Mat Dawuk, juga kita sebagai pembaca. Cerita dari Warto Kemplung sangat berbeda dengan bagian dari si wartawan. Warto Kemplung sadar bahwa ia adalah pencerita, sehingga ia perlu dan harus melebih-lebihkan tiap dialog atau adegan dari cerita Mat Dawuk ini.
Bagi orang-orang yang berada di warung kopi, tentu mereka akan berpikir bahwa Warto Kemplung hanyalah pembual. Bagaimana mungkin ia dapat mengetahui seluruh dialog Mat Dawuk dan Inayatun ketika di Malaysia? atau bagaimana mungkin ia tahu secara detail isi kamar Mat Dawuk di Malaysia? Tapi Warto Kemplung punya penjelasan untuk itu semua. Warto Kemplung memberikan permisalan:
“Jadi, misalnya saja, ketika Pak Guru Tarmidi bercerita kepada murid-muridnya bahwa kancil tampak begitu takut, dadanya berdebar-debar, dan karena itu melangkah pelanpelan, berjingkat-jingkat, agar harimau yang sedang tertidur
Gaya bertutur Warto Kemplung di dalam novel ini sangat menyihir, terlepas dari ceritanya ini kenyataan atau sekedar bualan.
mendengkur tidak terbangun oleh langkahnya, apakah beliau harus bertanya dulu kepada kancil bagaimana perasaannya jika ketemu harimau? Atau, untuk bisa bercerita betapa lelap tidur harimau, betapa indah mimpi yang sedang dialaminya, betapa ia akan marah jika ada yang sampai mengganggu tidurnya, apakah Pak Guru Tarmidi mesti jadi harimau dulu?” (hlm 87).
Gaya bertutur Warto Kemplung di dalam novel ini sangat menyihir, terlepas dari ceritanya ini kenyataan atau sekedar bualan. Tentu saja bualan Warto Kemplung di novel ini layak untuk dibaca. Kalau tidak, mana mungkin dapat penghargaan, Kusala Sastra Khatulistiwa lagi.
Siapa yang suka minum susu? Kebanyakan orang pernah meminumnya, bahkan sering. Lantaran susu rasanya enak dan dianggap baik untuk tulang karena mengandung kalsium. Susu juga dipercaya mencegah terjadinya osteoporosis.
PaDahal, menurut Dr Hiromi Shinya dalam buku
The Miracle of Enzyme, tidak ada makanan lain yang lebih sulit dicerna oleh tubuh
selain susu. Bentuk susu yang berupa cairan membuatnya sering diminum layaknya ketika kita haus lalu minum air.
Protein dalam susu dibentuk kira-kira 80% dari kasein.
Kasein ketika memasuki lambung akan langsung menggumpal sehingga sulit dicerna. Meminum banyak susu adalah kesalahan besar.
Tentang pencernaan, kita perlu memahami pentingnya
proses mengunyah makanan. Saat mencerna makanan, enzim pencernaan akan terkuras jika kita tidak mengunyah makanan dengan baik. Dengan mengunyah, kita akan menstimulasi air liur sehingga memunculkan enzim-enzim yang membantu proses pencernaan. Buku ini juga menyarankan agar pasien yang baru saja keluar
dari operasi lambung untuk memakan makanan utuh
tanpa olahan, bukan bubur yang sudah lama kita anggap
baik bagi orang sakit.
Banyak hal yang kita anggap
baik bagi tubuh, menurut ilmu kedokteran ternyata
Buku ini dipenuhi pengetahuan tentang hubungan enzim dengan kerja tubuh berdasarkan pengalaman memeriksa 300.000 usus bagian dalam orang-orang Amerika dan Jepang.
salah. Meminum antasida misalnya, yang kita anggap baik bagi asam lambung yang tersekresi terlalu over. Sebaliknya, hal itu justru mempercepat rusaknya lapisan lambung, hingga bisa menyebabkan kanker lambung. Justru hanya dengan konsumsi suplemen enzim, rasa tidak nyaman yang kita alami itu akan mereda dan benar-benar membaik.
Kita juga seolah tertipu iklan susu yang mengatakan mampu mencegah osteoporosis. Buku ini mencontohkan orang Amerika yang gemar minum susu setiap hari, dan itu dilakukan sejak usia dini malah menderita osteoporosis. Hal ini dapat kita temukan penjelasannya pada bagian Usus Bangsa Amerika dan Usus Bangsa Jepang (hlm 74).
Buku The Miracle of Enzyme wajib dibaca bagi siapa saja yang ingin hidup lebih panjang dan tidak sakit-sakitan. Terbukti, Hiromi Shinya tidak pernah sekali pun jatuh sakit dalam 50 tahun terakhir dan tak satu pun pasien kankernya kambuh. Buku ini akan membuka cakrawala pemahaman kita yang hanya sekecil botol minuman, untuk menatap masalah dengan pandangan yang lebih luas dari sebelah mata.
Buku ini dipenuhi pengetahuan tentang hubungan enzim dengan kerja tubuh berdasarkan pengalaman memeriksa 300.000 usus bagian dalam orang-orang Amerika dan Jepang. Dari hasil mencocokkan data makanan dan pola hidup pasien yang sudah diperiksa dengan ilmu kedokteran, Hiromi Shinya menemukan adanya satu enzim yang ia yakini adalah ‘induk’ dari semua enzim dalam tubuh manusia.
Buku yang bagus dibaca oleh semua kalangan, baik anakanak maupun dewasa. Meskipun, bagi orang yang berusia kepala empat atau lima akan mengalami sedikit kesulitan, lantaran teks yang berwarna cerah pada buku ini dan paragrafparagraf yang panjang mungkin akan membuat mata cepat lelah. Namun bagi orang yang haus akan ilmu pasti akan tetap berusaha membacanya, karena ilmu yang ada di buku ini semuanya adalah ‘daging’ dan tidak main-main.
Salmasa, Mahasiswi Dr. Wadda’ School, tinggal di Kudus.
Pada akhirnya Buletin edisi kedua ini terbit. di luar rencana awal, buletin ini diniatkan terbit tiap tiga bulan. selang waktu yang lama ini jika dilihat kembali berarti sudah sekian hari yang terlewat. ada hari di mana pertemuan susah dilaksanakan. ada hari di mana kita berpisah dengan ketua komunitas Fiksi kudus, reyhan, yang karena sakit telah berpulang mendahului kita semua.
Buletin ini hadir tidak hanya untuk melanjutkan asa komunitas ini. Buletin ini hadir karena masih ada ‘nyala’ dari para penulis yang bermukim di kudus. Buletin ini sepenuhnya berisi resensi buku, berbeda dengan edisi perdana. Buletin ini bermula dari kegiatan Baca Buku Bareng Kofiku (BBBK), yang diadakan lewat Grup Wa.
Barangkali sebagian dari kita yang ada di Grup Wa tersebut adalah orang yang sibuk. sibuk dalam artian sesungguhnya, atau sibuk karena masih belum yakin kita punya minat untuk menuntaskan tulisan, yang artinya sebagian dari kita adalah para pemalas yang berdalih kesibukan sehingga tidak kunjung menulis.
tentu pendapat di atas kurang pas karena saya sebagai koordinator kegiatan BBBk, sebagian besar baru mengenal orang-orang berkumpul di Grup Wa tersebut.
singkatnya, benang merah yang bisa menghubungkan kita barangkali kesenangan pada buku. dan buletin ini hadir berkat waktu luang yang digunakan untuk menulis, menerima tanggapan orang lain, dan merevisi tulisan setelah dikomentari.
setelah kegiatan BBBk kemarin, saya kira kegiatan serupa dengan praktik jenis tulisan lain (misal: cerpen, esai, puisi, dll) mungkin dilakukan. semoga ide ini berlanjut besok. terima kasih telah membaca.
arif rohman