5 minute read

Adopsi Implementasi Subtema

Amsterdam Canal Afternoon - www.peakpx.com

4

Advertisement

ADOPSI & IMPLEMENTASI

Urban Heritage Tourism di Indonesia

Peluang dan Tantangan dalam Adopsi dan Implemntasi Urban Heritage Conservation dan Urban Heritage Tourism di Indonesia

Tantangan dalam Adopsi & Implementasi

Perubahan waktu dan kondisi saat ini menyebabkan konservasi warisan/cagar budaya terlebih lagi pada kawasan perkotaan menjadi lebih kompleks dan menantang. Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya dengan keragaman budaya mengakibatkan terdapatnya keragaman warisan budaya pula terutama pada kota-kota di seluruh Indonesia. Meskipun demikian, negara Belanda yang notabene memiliki luas lebih kecil serta tidak memiliki keberagaman budaya seluas Indonesia, Belanda mampu memiliki jumlah World Heritage List yang diakui oleh UNESCO lebih banyak dibandingkan Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bagaimana kemajuan dan keseriusan Belanda dalam menerapkan konservasi urban heritage dalam mewujudkan sustainable cities and region. Oleh karena itu, Indonesia dapat belajar serta meniru contoh-contoh implementasi urban heritage conservation yang dapat sesuai untuk diaplikasikan di Indonesia. Akan tetapi, terdapat berbagai tantangan terutama bagi pemerintah, masyarakat, serta swasta dalam adopsi implementasi urban heritage conservation yang dilakukan Belanda.

Lambatnya Kesadaran Pemerintah dalam Melindungi Warisan Budaya

Lambatnya kesadaran pemerintah Indonesia dalam mengatur regulasi perlindungan warisan budaya ditunjukkan dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan RI Nomor 0218/M/1988 pada tahun 1988 dan Undang-Undang No. 5 tentang Benda Cagar Budaya pada tahun 1992 di mana regulasi tersebut muncul setelah 40 tahun lebih Indonesia merdeka. Sebelumnya, isu terhadap urban heritage conservation telah muncul pada awal tahun 1971 di mana perencana-perencana pada saat itu mendiskusikan mengenai Master Plan DKI Jakarta untuk periode 1975-1988 (Fitri et al., 2020). Penyusunan master plan tersebut memiliki kendala di mana terdapat konflik dalam penyusunan program preservasi dan konservasi bangunan bersejarah. Sejak saat itu, pergerakan konservasi heritage mulai menyebar di berbagai kota di Indonesia meskipun lambat. Hingga pada tahun 1987, pergerakan terhadap isu konservasi heritage menjadi meningkat setelah adanya LSM bernama Paguyuban Pusaka Bandung yang memicu berdirinya organisasi sejenis di kota-kota lain. Akhirnya pada tahun 2002 berdiri organisasi Jaringan Pusaka Indonesia (JPPI) sebagai sarana informal untuk saling berkomunikasi antar organisasi lokal dalam skala nasional. JPPI bersama penggiat pelestarian lainnya kemudian membentuk Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada tahun 2004 sebagai organisasi masyarakat yang berbadan hukum untuk menjalankan program operasional. Kesadaran terhadap pentingnya pelestarian warisan budaya terutama pada kawasan perkotaan dimulai secara lambat dengan dibantu dan diprakarsai oleh LSM di berbagai daerah. Hal tersebut menunjukan kurangnya guidelines serta movement dari pemerintah dalam konservasi urban heritage di Indonesia sebelumnya.

Tersebarnya Peraturan Pelestarian Warisan Budaya

Berbeda dengan Belanda yang memiliki regulasi pelestarian dan pengelolaan urban heritage dalam satu kesatuan peraturan yang disebut dengan the Heritage Act (Erfgoedwet), Indonesia justru memiliki empat undang-undang yang mengatur pelestarian cagar budaya. Keempat undang-undang tersebut meliputi :

01

Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung 02

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang 03

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 04

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Tersebarnya regulasi mengenai pelestarian cagar budaya tersebut dapat memunculkan tumpang tindih peraturan serta fragmentasi sektoral antar undang-undang. Hal tersebuttttttt . tersebut juga pernah dialami oleh Belanda ketika memiliki sejumlah undang-undang yang saling tumpang tindih sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan definisi, prosedur, dan upaya perlindungan.

Kurangnya Kesadaran Sektor Privat Terhadap Pelestarian Warisan Budaya

Sejumlah sektor privat memiliki kesadaran terhadap nilai pelestarian warisan budaya yang rendah ditunjukkan dengan terjadinya sejumlah perusakan cagar budaya. Contohnya adalah perusakan tembok Keraton Kartasura (2022), pembongkaran bangunan di Kawasan Taman Ismail Marzuki (2020), pembongkaran bangunan di Kawasan Pusaka Kawi Malang (2017), dan berbagai kasus perusakan lain tiap tahunnya. Hal tersebut sangat disayangkan karena nilai-nilai sejarah pada bangunan atau kawasan tersebut tidak dapat tergantikan. Oleh karena itu, kasus-kasus perusakan ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesadaran bagi masyarakat, swasta, serta pemerintah itu sendiri dalam mengupayakan perlindungan nilai sejarah. Selain itu, terdapat pula tantangan lain seperti kurangnya koordinasi internal antar lembaga pemerintah, perubahan sosial- budaya, politik, dan ekonomi, kurangnya anggaran pemerintah, dsb. Berbagai tantangan tersebut hendaknya segera diatasi dengan melibatkan peran pemerintah, masyarakat, serta swasta sehingga implementasi urban heritage conservation seperti yang dilakukan Belanda mampu diadopsi dengan baik di Indonesia.

Peluang dalam Adopsi & Implementasi

Adanya kesamaan tujuan antara Belanda dan Indonesia

Belanda dan Indonesia memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menstimulasi dan

mengefektifkan tata kelola wilayah dan kota

yang berkelanjutan. Berdasarkan 3 pilar dalam urban heritage conservation, terdapat kesamaan aspek yang berlaku di Indonesia sehingga akan mudah diimplementasikan di Indonesia.

Pilar Lingkungan

Optimalisasi dan konservasi yang dilakukan Amsterdam dengan mempertahankan lanskap heritage kota dapat diadopsi di Indonesia sebagai optimalisasi ruang darat, laut dan udara sebagai kesatuan yang menunjang keberlanjutan bangunan-bangunan warisan. Hal tersebut dapat menambah daya tarik dan menjaga kelestarian kota dan arsitektur bangunan yang akan terjaga keooptimalannya.

Pilar Ekonomi

Amsterdam menggunakan ruangnya secara optimal dan multi fungsi. bangunan

bersejarah yang direstorasi difungsikan kembali dengan mempertahankan fasad

bangunan yang ada sehingga nilai fungsinya meningkat. Hal ini dapat diadopsi Indonesia sebagai penerapan Urban Heritage Tourism secara integratif dengan akses yang mudah dan inovasi kegiatan rekreasi untuk meningkatkan fakta konservasi pusat bersejarah.

Pilar Sosial Budaya Prinsip partisipasi dan kolaborasi

publik di Amsterdam sangat banyak ditemukan dalam proyek, implementasi program, dan penyusunan rencana. Hal tersebut juga tercermin dalam sistem operasionalisasi kebijakan yang menekankan pada positioning publik dan swasta yang disatukan dalam bentuk kerangka kerja manajemen lokal. Hal ini dapat diadopsi oleh Indonesia yang mana dalam tiap tahapan realisasi programnya melibatkan banyak Satuan Kerja Perangkat Daerah bahkan masyarakat.

Penggunaan Teknologi sebagai upaya pendataan konservasi situs bersejarah yang lebih rapi dan transparan

Amsterdam mempunyai pemanfaatan teknologi untuk pendataan site dan kawasan heritage yang sangat baik. Pemerintah Kota Amsterdam memberikan akses publik mengenai penemuan dan penggalian arkeologi, persebaran bangunan bersejarah, persebaran kawasan bersejarah di tampilkan dalam peta online yang dapat dilihat dan diunduh secara real time oleh siapa saja di website www.maps.amsterdam.nl . Data dan Informasi tersebut sangat penting dalam proses pembangunan perkotaan mereka, dan mempermudah penduduk dan institusi pendidikan mengetahui jumlah kuantitas dan kualitas bangunan dan kawasan bersejarah di kota mereka. Penggunaan teknologi pemetaan seperti ini dapat dikatakan memudahkan penduduk maupun instansi pemerintah untuk melihat dan memantau ratusan bangunan bersejarah dan kawasan yang ada di kota tersebut. penggunaan teknologi tersebut sekiranya dapat diadopsi oleh Indonesia seagai pemanfaatan teknologi dalam pendataan konservasi bangunan dan kawasan bersejarah