Buletin Ketawanggede Edisi VI Mei - Juni 2015

Page 4

Editorial tas mahasiswa semakin terbatas. Mahasiswa digenjot agar cepat selesai dengan Indeks Prestasi (IP) yang tinggi. Kemahasiswaan sebatas pada minat, bakat, kerohanian dan penalaran saja. Seperti setan, pesan tersirat ini sebenarnya tak kelihatan tapi orang merinding bulu kuduknya. Kita tetap menghargai kejeniusan Daud Yusuf, tetapi harus merombak kebijakan lamanya yang beberapa rohnya masih tertancap sampai sekarang ini. Kebijakan ini menjauhkan mahasiswa terhadap realita di sekitarnya. Dampaknya bisa terlihat sekarang, mahasiswa tampil sebagai borjuis baru, jauh dari masyarakat kecil yang berhadapan pada masalah-masalah sosial. Polesan itu tampak dalam pentas dan pesta dalam kampus yang amat-teramat jauh dampaknya bagi masyarakat. Belum pernah terbayangkan, mati-matian mahasiswa mencari artis dan dana besar. Semuanya memang berbau study oriented, takjublah dengan semua kegiatan yang hanya mengurusi keinginanan semata. Perbedaan bukan lagi tercermin antara mahasiswa masyarakat, tetapi juga pada dirinya sendiri. Dekapan keterasingan ini mengamputasi semangat mahasiswa dalam mewujudkan karyanya bagi orang lain. Tekanan dari luar semakin memarah di ranah akademis. Tak ada tempat untuk berlari selain menghibur diri sendiri. Mahasiswa mulai ikut-ikutan tampil meniru politikus, berani melakukan transaksional di belakang panggung. Idealisme rasanya mulai terkubur dalam-dalam. Pertarungan memperebutkan kursi presiden BEM, EM atau pun DPM sama panasnya seperti pilkada. Pernahkah kita menganggap perbedaan (kepentingan) sebagai sesuatu yang benar-benar indah? Semua merasa seperti orang besar, mencoba menegakkan kembali strukturalisme di dalam organisasi masing-masing. Penjaringan anggota dan kawan sejawat tak lebih dari upaya menambah kantung-kantung suara. Senior hanya tampil one man show, tanpa

4

KETAWANGGEDE EDISI VI/MEI-JUNI 2015

melibatkan banyak pihak. Buah-buah semcam ini, pantaslah tak bisa mengembang mekar di masyarakat. Mentalmental yang terbangun mirip penguasa, beragam intrik dan cara supaya orang terjegal. Sekarang mahasiswa berada di pihak mana? Mari kita refleksikan. Reformasi yang didengungkan tujuh belas tahun silam, kadang-kadang kita salah tafsirkan. Selalu ada definisi dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana melanjutkan ini? Kita semua sudah terbohongi. Memimpikan reformasi baru cuma fantasi orang-orang yang mencoba tampil heroik. Semua terimajinasi dari romantisme masa lalu. Padahal, mustahil sejarah dua kali terulang persis. Menghadirkan kembali tokoh-tokoh reformasi ke tengah-tengah kita, rasanya amat menggelikkan. Sebagian saja kini berdiam di balik jeruji besi. Belum lagi, ada yang berkhianat pada janji-janjinya dulu. Lupakanlah romantisme sejarah. Mahasiswa tidak kendur semangat. Hanya saja, kita perlu belajar dan belajar sejarah lagi agar malu dengan yang kita sedang lakoni sekarang. Ruang-ruang diskusi harus menyala-menyala di kampus agar kita tahu kepada siapa sebenarnya berpihak. Dan sebagai makhluk intelektual, kita tahu memanfaatkan kekuatan politik. Silahkan saja memilih haluan paling keras, kiri, fundamental sekalipun, biar diskursus ramai di ranah akademik ini. Pemikir, penulis atau pejuang lapangan, entahlah, selama itu perjuangan kita melenyapkan penindasan.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.