Majalah Arkeologi Makara No.1, Vol.1, Des 2020

Page 1


Rasisme

A p a s a ja y a n g b is a k a m u b a c a ? .. ..

Rasisme

03

Refleksi Sejarah Panjang Rasisme dalam Jim Crow Musseum of Racist Memorablia

09

Merefleksi Tindakan Rasisme di Masa Lalu Melalui The Legacy Museum and Memorial EJI, Amerika Serikat

Pandemi Masa Lalu

13

Perdagang Maritim Se Pintu Gerb Pandemi P Semarang


i di Era Ekskavasi u Pandemi di Daring gan Museum ebagai 30 bang Pes di 16 g 34

Ekskavasi di Kumintir

20 24

Penanganan Koleksi di Galeri Nasional Indonesia Selama Masa Pandemi Ada Arisan di Museum? #TimTheCowboy: Ketika Cowboy Bermain Sosmed

Pandemi Tak Menghentikan Kami Menggali: Cerita KKL 2020

ArkeOpini

40

46

Suara Orang Papua atau Film Heroik Semata? Arkeologi dan Pandemi Covid-19

#Kami KAMA 2020 50 55 56 60

KAMA 2020 Local Artist Apresiasi dari Kami #FindUrPlaylist


K ata M e re k a !

Muhammad Zaqi Ketua KAMA Kepengurusan 2020

Makara dan Dewa Varuna

Sumber: https://venusartprints.com.au/products/varuna-and-makara-hindu-god-art-print-ex364

Lukisan ini (Waruna) digambarkan dalam sebuah manuskrip Tamil yang ditemukan di wilayah Madras, India (sekarang Chennai)(1700 M). Dalam mitologi agama Hindu, makara merupakan makhluk yang sering diasosiasikan dengan air dan sering muncul dalam berberapa karya seni rupa Hinddu-Budda dalam bentuk lukisan, relief, hiasan kaki candi dan lainnya. Terkenal sebagai wahana dari Varuna yang menguasai sungai, samudra dan air, seringkali perwujudan Makara dan Varuna memiliki konotasi sebagai cerminana keluasan dan kedalaman air samudra yang tak terjamah manusia. Sama seperti pengetahuan, sedalam-dalamnya merasa sudah menyelami, pada akhirnya, titik terdalam tidak pernah ditemui.

Pertama-tama, saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Makara (Majalah Mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia) untuk pertama kalinya sepanjang sejarah KAMA yang menghadirkan majalah populer sebagai salah satu hasil dari kerja keras pengurus KAMA 2020 selama satu tahun. Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman atas kerja cerdas dalam menyusun majalah ini. Saya berharap Makara bisa menjadi media penyaluran kreativitas bagi warga KAMA yang terus berlanjut dari Kabinet Corona hingga Kabinet Akhir Zaman. Majalah yang bertemakan “Rasisme dan Pandemi” ini mengangkat dua kata yang berkonotasi negatif. Keduanya banyak mengisi pemberitaan dimedia massa khususnya ditahun 2020. Dapat dikatakan seluruh aspek kehidupan terkena dampak dari keduanya. Tak terkecuali KAMA sebagai organisasi mahasiswa yang juga ikut terdampak. Namun segala sesuatu yang negatif bukan berarti tidak dapat diambil manfaatnya. Perbedaan latar belakang anggota di dalam KAMA serta terjangan pandemi Covid-19 justru menjadi pemicu kreativitas warga KAMA dalam berkarya. Terbukti dari terbitnya Makara sebagai salah satu mahakarya untuk menutup kepengurusan KAMA 2020 dan menjadi pondasi untuk keberlanjutan Divisi Penerbitan Populer. So, change your mindset and be positive!.

01


Sus unan Reda ksi

Penasihat Dian Sulistyowati, M.Hum Pemimpin Redaksi Irfan Maulana

Irfan Maulana Pemimpin Redaksi Makara 2020 Para pembaca yang berbahagia, Jika sebelumnya bidang penerbitan hadir dengan dua majalah dari dua divisi yang berbeda, yaitu Romantika Arkeologi dari Divisi Penerbitan Ilmiah dan Kamaria dari Divisi Penerbitan Non Ilmiah, kali ini ada yang baru nih, yaitu Makara (Majalah Mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia). Makara adalah majalah yang diterbitkan oleh divisi baru dibidang penerbitan, yaitu Divisi Penerbitan Ilmiah Populer. Majalah ini didesain dalam ragam tulisan ilmiah populer yang diharapkan dapat dibaca oleh semua kalangan masyarakat. Pada edisi perdana yang diterbitkan pada akhir kepengurusan KAMA 2020 ini, kami mengangkat tema, yaitu Rasisme dan Pandemi. Dua hal tersebut merupakan dua kejadian besar yang menghebohkan warga dunia pada tahun 2020. Pertama, pandemi Covid-19 yang melanda dunia mulai dari akhir tahun 2019 dan terus berlanjut sepanjang tahun 2020 hingga sekarang, awal tahun 2021. Kedua, permasalahan rasisme yang sempat menghebohkan warga dunia yang terjadi di Amerika. Kejadian tersebut memicu demonstrasi di berbagai negara, khususnya di Amerika dengan tagline BlackLivesMatter. Kejadian serupa juga terjadi di Indonesia dengan tagline PapuaLivesMatter. Tulisan-tulisan dalam majalah ini akan coba membahas kedua permasalahan tersebut dari sudut pandang arkeologi melalui enam rubrik. Pertama, rubrik Rasisme yang membahas mengenai penggambaran tindakan rasisme yang diterima oleh berbagai kalangan masyarakat dalam museum melalui berbagai koleksi. Kedua, rubrik Pandemi di Masa Lalu yang akan memberikan tulisan mengenai gambaran pandemi di Indonesia pada awal abad 20 M. Ketiga, rubrik Era Pandemi di Museum yang akan membahas mengenai kegiatan-kegiatan penyesuaian yang dilakukan museum di tengah pandemi. Keempat, rubrik Ekskavasi Daring, menjelaskan mengenai bagaimana penggalian arkeologi dilakukan di tengah pandemi. Kelima, rubrik ArkeOpini yang berisikan tulisan opini seputar rasisme dan pandemi. Dan yang terakhir, yaitu rubrik KamiKAMA2020 yang membahas tentang berbagai kegiatan penyesuaian KAMA 2020 di tengah pandemi. Mohon maaf jika terdapat kekurangan pada Makara edisi perdana ini. Semoga dengan terbitnya majalah ini membuat kita dapat melakukan refleksi terkait dua isu di atas agar dapat bertindak jauh lebih baik kedepannya! Selamat membaca! Salam Hangat!

Penyunting Irfan Maulana Hamzah Ali Greace Xaveria Desainer Grafis Greace Xaveria Publikasi Nur Malita Dewi Kontributor Alfa Alauddin Ade Maulida S Anisa Novita Sari Ansell Josia T Bagus Dimas B Fahrul Safrizal Garin Dwiyanto P Inggil Reka Sonia Iqbal Maulana Karin Beladina M Nayla Alvita Robby Dharussalam Victoria Geraldine

Divisi Penerbitan Ilmiah Populer Keluarga Mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia Gedung 9, Kampus FIB UI, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424

02


e m s i s a #R

“ You’re not born racist. You’re born into a racist society. And like anything else, if you can learn it, you can unlearn it. But some people choose not to unlearn it.” - Jane Elliott

03


R e f le k s i S e ja ra h

Rasisme

P a n ja n g R a s is m e

us se um of R ac is t d al am J im C ro w M

Penulis: Robby Dharussalam Penyunting: Irfan Maulana

M

asih ingat dengan slogan “Black Lives Matter” yang menjadi perbincangan dunia pada pertengahan tahun 2020? Ya, munculnya slogan tersebut dilatarbelakangi oleh penganiayaan seorang oknum polisi kepada Goerge Floyd karena dituduh membeli rokok dengan uang palsu. Tak lama setelah ditahan, Goergye Floyd meninggal. Kejadian tersebut akhirnya memicu demonstrasi diberbagai belahan dunia terutama di Amerika Serikat yang menuntut diskriminasi ras tidak terjadi lagi dimanapun dan kapanpun. Permasalahan George Floyd bukan satusatunya dan bukan permasalahan pertama terkait rasisme yang ada di dunia. Permasalahan rasisme sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu dan masih berlangsung hingga sekarang. Penggambaran diskriminasi ras yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu digambarkan dalam museum-museum dengan tujuan agar pengunjung dapat melakukan refleksi, dengan harapan kedepannya tidak terjadi lagi kejadian serupa. Jim Crow Musseum of Racist Memorablia merupakan salah satu museum yang bisa dikunjungi sebagai bahan refleksi atas diskriminasi ras yang sudah berlangsung sejak dulu. Jim Crow Musseum of Racist Memorablia merupakan museum pendidikan Feriss State University di Michigan, Amerika Serikat, berfungsi sebagai sumber pengajaran untuk program-program studi yang berurusan secara langsung atau tidak langsung dengan masalah ras dan etnis. Hal yang unik dari museum ini adalah mengangkat tema utama yang sangat kontroversial, yaitu sejarah rasisme terhadap masyarakat kulit hitam Amerika atau Afrika-Amerika. Tema ini berbeda dengan museum yang bertemakan masyarakat Afrika-Amerika lainnya yang berfokus pada perkembangan kebudayaannya, namun dalam museum ini menampilkan tindakan rasisme yang dilakukan oleh masyarakat kulit putih terhadap masyarakat kulit hitam melalui kebendaan.

M em orab lia

Jim Crow Musseum of Racist Memorablia menggambarkan

bagaimana perjuangan masyarakat Afrika-Amerika dalam menetukan nasib mereka, juga sebagai pembelajaran bagi generasi selanjutnya bahwa tindakan rasisme adalah salah satu kejahatan HAM yang tidak boleh terulang lagi pada generasi setelahnya.

Demonstrasi di Florida untuk melawan Hukum Jim Crow (1963) Sumber: https://floridahumanities.org/event/virtual-jim-crow-in-florida/

04


Penamaan Jim Crow pada museum ini diangkat dari sebuah karakter rasial fiksi yang diciptakan oleh pelawak kulit putih, Thomas Dartmouth Rice. Jim Crow sendiri bukan satusatunya karakter rasial, namun dia yang paling terkenal di zamannya, hingga Rice sendiri melaksanakan tur keliling Amerika dan Inggris. Nama Jim Crow kemudian digunakan sebagai sinonim segregasi terhadap masyarakat AfrikaAmerika. Kali ini, saya akan mengajak kalian berkeliling ke museum Jim Crow, melihat bagaimana tindakan rasisme pada masa lalu terjadi, sebagai refleksi terhadap diri kita untuk tidak melakukan tindakan yang serupa. Yuk Mari! Sebelum memasuki museum, pengunjung akan diperkenalkan dahulu tentang sejarah Afrika sebelum perbudakan. Setelah itu, pengunjung disuguhkan oleh display tentang sejarah perbudakan di Amerika. Kemudian pengunjung akan dibawa ke ruang pameran yang bertemakan segregasi. Pada ruangan ini terdapat display yang paling unik diantara koleksi yang lain, yaitu vitrin berbentuk meja rias. Vitrin tersebut berkaitan dengan cara untuk memerankan orang kulit hitam, para pemeran dizaman itu melumuri wajah meraka dengan arang atau semir sepatu. Penghitaman wajah untuk membuat karakter kulit hitam ini dikenal dengan istilah black face. Pemeran kemudian bertindak bodoh selayaknya badut, sehingga memberi kesan masyarakat Afrika-Amerika adalah orang bodoh. Selain display meja rias, terdapat juga koleksi

yang bertemakan pemisahan rasial antara masyarakat kulit hitam dan kulit putih, koleksi tersebut merupakan plang-plang petunjuk, seperti pelarangan orang kulit hitam untuk masuk ke suatu tempat dan wastafel khusus untuk orang kulit hitam dan kulit putih. Ruang selanjutnya bernama Jim Crow Violance. Ruang ini menceritakan berbagai bentuk kekerasan yang pernah diterima oleh masyarakat kulit hitam setelah perang saudara Amerika. Ruang display ini menceritakan awal kekerasan yang diterima terhadap masyarakat Afrika-Amerika, diawali dengan pelabelan mereka yang dianggap sangat berpotensi melakukan tindakan kriminal, anggapan ini didukung oleh surat kabar, poster bahkan jurnal ilmiah. Mirip dengan kasus Goerge Floyd bukan?. Selain itu terdapat display lain yang memilki kaitan dengan organisasi rahasia Ku Klax Klan atau yang biasa disingkat KKK, yaitu organisasi yang didirikan oleh masyarakat kulit putih protestan berhaluan ekstrimis, bertujuan untuk mempertahankan dominasi mereka dengan cara meneror masyarakat Afrika-Amerika yang juga penganut katolik. Kemudian pada bagian tengah ruang, terdapat display berupa pohon besar dengan tali bersimpul yang biasa digunakan seseorang untuk bunuh diri. Pohon tersebut melambangkan lynching yang berarti tindakan persekusi yang seringkali dilakukan gerombolan massa terhadap orang yang dituduh melakukan tindakan kriminal khususnya masyarakat Afrika-Amerika yang telah mendapat stereotipe kriminal.

J

Jim

w o r C

Illustrasi asli Jim Crow Sumber: i.pinimg.com

05


t n u A a m i m e J t n u A a m i m e J Bibi Jemima dalam sebuah cover album musik (1899) Sumber: https://www.wikiwand.com/en/Aunt_Jemima

Setelah ruang Jim Crow Violance, saya akan mengajak kalian ke ruang koleksi bernama Anti Black Imaginary. Pada ruangan ini terdapat banyak koleksi yang berasal dari tahun 1940 hingga 1950-an. Pada masa ini sudah sedikit kekerasan yang diterima oleh masyarakat kulit hitam, namun streotipe sebagai masyarakat kelas dua yang berprofesi rendahan menjadi hal yang sangat melekat pada mereka. Bentuk karikatur seperti mainan, poster atau patung yang berkesan merendahkan masyarakat AfrikaAmerika, salah satunya yang paling terkenal adalah poster untuk iklan dari produk pancake dengan

*

* *

karakter bernama Bibi Jemima. Pada poster ini digambarkan seorang wanita kulit hitam bertubuh gemuk berprofesi sebagai pembantu rumah tangga yang kerap manyajikan makanan lezat. Produk dari Bibi Jemima sendiri menjadi produk terkenal di Amerika yang terus bertahan hingga sekarang. Bahkan produk tersebut masih menggunakan karekter Bibi Jemima menjadi maskot. Ruangan ini juga bersamaan dengan display yang berjudul Battling Jim Crow Imagery yang berisi karya-karya dari seniman untuk melawan penggambaran buruk masyarakat Afrika-Amerika.

06


Rasisme

Ruangan terakhir dari museum adalah koleksi tentang pencapaian masyarakat Afrika-Amerika, hal ini menunjukan eksistensi mereka bagaimana melawan stereotipe yang diberikan. Pencapaian tersebut berbentuk prestasi-prestasi dalam bidang sosial, iptek dan militer. Dalam ruangan ini dimunculkan banyak tokoh terkenal keturunan Afrika-Amerika yang memberikan bukti bahwa orang kulit hitam dapat bersaing dan sejajar dengan masyarakat kulit putih Amerika. Selain itu terdapat juga display yang bertemakan perjuangan sosial yang terjadi pada tahun 1960-an yang dikenal sebagai civil right movement, yaitu perjuangan untuk menuntut persamaan hak warga kulit hitam dan kulit putih. Pada display ini banyak koleksi yang berkaitan langsung dengan peristiwa tersebut, seperti spanduk yang bertuliskan “I am a men”. Setelah menyelesaikan koleksi, kita akan masuk ke dalam ruang auditorium kecil yang bernama Martyr for Justice. Dalam auditorium ini akan diputarkan pesan dari tokoh-tokoh pejuang civil right. Ruang achievment menjadi ruang penutup tur museum kali ini. Semoga setelah berkeliling museum dapat dijadikan refleksi agar kejadian serupa tidak terulang kembali sampai kapanpun! Amiin!

Foto diambil dari Virtual Tour Jim Crow Museum yang terdapat di https://historyview.org/ library/jim-crow-museum/

07


Daftar Pustaka Coats, Ann. (2010). “Who or What Are

Museum For? The Essence of the Museum Message” dalam The International Journal of the Inclusive Museum vol. 3 no. 1.

Faulkner, J., Henderson, R., Fabry, F., &

Miller, A.D. (1982). Ethnic notions: Black

images In the white mind: An exhibition of racist stereotype and caricature from the

collection of Janette Faulkner: September

12-November 4, 1982. Berkeley, CA: Berkeley Art Center. The images in this book inspired

Marlon Riggs’ documentary, Ethnic Notions. Patterson,

Monica

Eileen.

“Teaching

Tolerance through Objects of Hatred: The Jim Crow Museum of Racist Memorabilia as “Counter-Museum”.” Curating Difficult Knowledge. Palgrave Macmillan, London, 2011. 55-71.

Pilgrim, David. (2016). “Jim Crow Museum.” Ferris State University

Pilgrim, David. Understanding Jim Crow: using racist memorabilia to teach tolerance and promote social justice. Pm Press, 2015.

Rachman., Munawar, B., Hidayat., Dedy

N., dkk. (1999). Dari Keseragaman Menuju

m i J w o r C m u e s u M Keberagaman : Wacana Multikultural Dalam Media. Jakarta : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).

08


Merefleksi Tindakan

Rasisme di Masa Lalu

Melalui The Legacy Museum and Memorial EJI, Penulis: Fahrul Safrizal Penyunting: Hamzah Ali

ernahkah kamu mendengar singkatan LBH? Yap, Lembaga Bantuan Hukum, merupakan organisasi bantuan hukum untuk orang miskin, buta hukum dan korban pelanggaran HAM. Ternyata organisasi yang bertujuan serupa tak hanya ada di Indonesia, tetapi juga ada di Amerika Serikat yang dinamakan Equal Justice Initiative (EJI). EJI adalah organisasi nirlaba dari Amerika Serikat yang memberikan perwakilan dan jaminan hukum kepada narapidana yang dihukum tidak sesuai atas kejahatannya, menjamin pembelaan terhadap siapa pun, terutama dalam kasus hukuman mati. EJI juga berkomitmen untuk mengakhiri penahanan massal dan hukuman berlebihan di Amerika Serikat, menantang ketidakadilan rasial dan ekonomi, serta melindungi hak asasi manusia bagi orang-

orang yang paling rentan dan kaum minoritas dalam masyarakat Amerika Lembaga yang didirikan pada tahun 1989 oleh Bryan Stevenson, secara aktif terlibat dalam mendirikan monumen bersejarah berupa museum dan memorial untuk menciptakan peringatan nasional yang mengakui kekejaman atas perlakuan ketidakadilan rasial di masa lalu. Salah satunya adalah The Legacy Museum and Memorial yang diresmikan pada April 2018.

The Legacy Museum

Museum yang didirikan di gudang bekas penahahan para budak di Montgomery, Alabama, Amerikas Serikat ini bertujuan untuk mengeksplorasi warisan perbudakan, terorisme rasial, segregasi, dan masalah kontemporer tentang -

P

Equal Justice Initiative (EJI), Membela Narapidana Dari Ketidakadilan

-penahanan massal, hukuman yang berlebihan, dan kekerasan polisi terhadap orang-orang kulit hitam dalam sejarah Afrika-Amerika. Selain itu, pendirian museum ini juga bertujuan sebagai peringatan perdamaian dan keadilan bagi para korban di masa tersebut.

The Legacy Museum dan Memorial menjadi peringatan nasional pertama terhadap 4000 lebih korban hukuman mati tanpa pengadilan sebagai bentuk perlakuan deskriminasi rasial yang terjadi di Amerika Serikat bagian selatan.

09


Rasisme

The Legacy Museum and Memorial EJI

Sumber:https://museumandmemorial.eji.org/visit

Museum ini menggunakan berbagai teknologi virtual, suara, dan gambar, yang bertujuan untuk memberikan kesan dan pengalaman pengunjung agar terbawa dalam suasana dan aktivitas perdagangan budak domestik, teror rasialisme, dan perlakuan penyiksaan. Dengan menciptakan suasana dan kondisi seperti itu, diharapkan para pengunjung dapat terhubung dengan masa lalu dan terbawa suasana secara emosional. Hal tersebut dapat membantu pengunjung ikut merasakan bagaimana hidup pada masa perbudakan dengan menyaksikan berbagai kekerasan pada masa lalu hingga saat ini. Para pengunjung dapat merasakan suasana mencekam dan kengerian yang kuat ketika mereka memasuki museum dan melihat berbagai replika para budak. Selain itu, diberikan audiovisual mengenai perdagangan budak secara domestik. Disajikan juga pameran visual yang memberikan informasi kepada pengunjung tentang sejarah Amerika tentang ketidakadilan rasial dan

berbagai warisannya, sehingga menggambarkan keadaan dinamis lintas generasi yang dipengaruhi oleh narasi perbedaan rasial.

Pameran The Legacy Museum: From Enslavement To Mass Incarceration

The Legacy Museum membuat pameran pertama dengan judul “From Enslavement To Mass Incarceration” yang membahas mengenai sejarah kegiatan perbudakan. Dalam pameran tersebut, dijelaskan bahwa untuk membenarkan tindakan perbudakan yang brutal dan tidak manusiawi di Amerika, para pendukungnya(orang kulit putih) menciptakan berbagai mitos terkait perbedaan ras, stereotipe dan karakterisasi palsu. Hal ini dianggap sebagai bentuk gerakan menyejahterakan masyarakat kulit hitam yang tujuan sebenarnya adalah memperkuat supremasi orangorang kulit putih. Walaupun kegiatan perbudakan telah dihapuskan secara formal, namun perbudakan tidak

langsung berakhir, tetapi mengalami perkembangan. Salah satu hal yang menarik perhatian dari pameran ini adalah ketika akan memasuki bagian dalam museum, terdapat sebuah kalimat yang membuat para pengunjung merasakan perasaan yang emosional.

“You are standing on a site where enslaved people ware warehoused” Kalimat ini memberikan informasi bahwa tempat berdirinya pengunjung adalah tempat dimana para budak dikumpulkan dan menunggu sebelum diperjualbelikan. Selama proses tersebut, mereka hanya dikurung dan dibiarkan begitu saja. Karena keterbatasan ruang dan jumlah budak yang bertambah tiap harinya, serta buruknya sistem sanitasi, membuat banyak para budak jatuh sakit tanpa mendapat perawatan medis bahkan membuat banyak dari mereka akhirnya meninggal.

10


Gedung Equal Justice Initiative

The Legacy Museum: From Enslavem

Sumber:https:/ /museumandm emorial.eji.org/ about

The National Memorial For Peace And Justice Memorial for Peace and Justice

dibangun dengan harapan dapat menciptakan situs yang bermakna, tempat orang dapat berkumpul, dan merefleksikan ketidaksetaraan ras dalam sejarah Amerika (Miller, 2018).

Dikenal dengan nama The National Memorial For Peace And Justice, monumen ini merupakan peringatan bagi para korban perbudakan sebagai bentuk perdamaian dan keadilan. Monumen yang satu kesatuan dengan museum ini didirikan sebagai dedikasi untuk warisan orang kulit hitam yang diperbudak, orang - orang yang diteror oleh hukuman mati tanpa pengadilan, orang Afrika-Amerika yang dihina dalam segregasi rasial Hukum Jim Crow, serta kaum minoritas lain yang dibebani dengan anggapan bersalah

Sumber:https://museumandmemorial.eji.org

dan mendapat kekerasan oleh aparat keamanan. Pendirian memorial ini dilatarbelakangi ketika staf EJI mulai menyelidiki ribuan kasus penggantungan dan teror rasial di Amerika Serikat bagian Selatan, banyak diantaranya belum pernah didokumentasikan. EJI tidak hanya tertarik pada insiden hukuman mati tanpa pengadilan, tetapi juga untuk memahami teror dan trauma yang diciptakan oleh kekerasan terhadap masyarakat kulit hitam. Enam juta orang kulit hitam melarikan diri dari Amerika Serikat bagian selatan akibat dari penggantungan dan teror rasial. Dalam memorial ini, EJI membangun dan mendesain proyek yang bekerjasama dengan berbagai seniman, seperti Kwame AkotoBamfo yang karyanya berupa patung para budak pada masa perbudakan yang menghadapkan pengunjung ketika mereka pertama kali memasuki memorial.

Salah satu memorial yang terletak di outdoor

Sumber:https://lasentinel.net/the-legacy-museum-and-memorial-breaks-the-silenceto-publicly-confront-lynching-in-america.html

Pendirian memorial ini sebagai pengingat simbolis dari upaya masyarakat untuk berjuang dengan penderitaan yang menyakitkan tentang sejarah rasial, menentang ketidakadilan yang ada dalam kehidupan mereka sendiri, dan berjanji untuk tidak mengulangi teror dan kekerasan di masa lalu, sehingga membangun masa depan dengan Sumber Fo https://mu lebih baik.

Patung Harriet Tubman

Sumber:https://www.montgomeryadvertiser.com/st initiative-montgomery-alabama-legacy-museum-reo


The Legacy Museum

Sumber:https://museumandmemorial.eji.org/museum

Rasisme

ent to Mass Incarceration

g/museum

Daftar Pustaka

ory/news/2020/10/15/equal-justiceopens-new-exhibits/3661984001/

Equal Justice Initiative. (2018). About EJI.

Retrieved from eji.org/about/ . 10 April

Monumen- monumen yang dibuat oleh EJI dirancang untuk mempromosikan komitmen terhadap kesetaraan ras dan perlakuan adil terhadap semua orang dan menentang deskriminasi dalam setiap aspek kehidupan.

2020

Fitriani, Ida.(2018). Sejarah Dan Peran

Museum. Retrieved from Kebudayaan.

kemdikbud.go.id/ditpcbm/sejarah-danperan-sosial-museum. 11 April 2020

Henderson, Nia-Malika (April 9, 2018). “This new lynching memorial rewrites

American history”. CNN. Retrieved April 12, 2020.

Gray, Wood.(2004). Garis Besar Sejarah

EJI berharap bahwa memorial ini dapat menginspirasi masyarakat di seluruh negara untuk memasuki era pengungkapan kebenaran tentang ketidakadilan rasial dan sejarah kelam mereka sendiri agar dijadikan sebuah pembelajaran di masa yang akan datang. EJI yakin bahwa dengan mengonfrontasi kebenaran secara terbuka adalah langkah pertama menuju proses pemulihan dan rekonsiliasi. Museum dan Memorial yang dibangun adalah bagian dari pekerjaan EJI untuk mengungkap kebenaran dan upaya rekonsiliasi seputar ras di Amerika serta untuk lebih jujur menghadapi warisan perbudakan, oto: hukuman mati tanpa pengadilan, useumandmemorial.eji.org dan pemisahan ras. Hal seperti ini penting digunakan untuk mengatasi sejarah kelam berupa genosida, dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan di negara-negara lain.

Amerika Serikat. Biro Pengembangan

Informasi Internasional. Departemen Luar Negeri A.S.

Graham, Black.(2011).Museum, Memory and History. Public Histroy & Heritage

Management. Nottingham Trent University Jismulatif .(2012). Studi.Rasialisme Dalam

Film The Green Mile. Jurnal Ilmu-Ilmu Sejarah, Budaya, dan Sosial.

Salah satu memorial outdoor

Sumber:https://gridalternatives.org/news/grid-staff-embarks-path-equality-visitingequal-justice-initiative-alabama

12


#P a n d em i

d i M a sa L a lu

Operatieruimte van het Rode Kruis-ziekenhuis te Batavia (Ruang operasi Palang Merah di Batavia) Sumber: Southeast Asian & Caribbean Images (KITLV) http://hdl.handle.net/1887.1/item:910155

13


Pandemi

Perdagangan Maritim Sebagai

di Masa Lalu

Pintu Gerbang Pandemi Pes Penulis: Iqbal Maulana Penyunting: Hamzah Ali

di Semarang

P

andemi Covid-19 yang melanda dunia dari akhir tahun 2019 hingga sekarang merupakan tak satusatunya pandemi yang pernah ada. Dunia telah mengalami beberapa kasus pandemi, salah satu contohnya pada tahun 1910 yang dikenal dengan pandemi pes. Pandemi pes adalah sebuah penyakit menular yang dapat menyebabkan timbulnya tiga jenis penyakit lain, seperti bubonik, pneumonik, dan spetikemik. Indonesia merupakan salah satu negara yang terjangkit wabah pes ini. Pandemi pes disebabkan oleh adanya bakteri Yersinia Pestis yang berkembang pada tikus dan pinjal tikus. Penularan pandemi pes ini bersumber dari tikus melalui perantara berupa kutu tikus. Proses penularannya terjadi ketika kutu tersebut menghisap darah manusia lalu memuntahkan kembali darah yang telah dihisapnya atau mengeluarkan tinjanya yang dimana darah hasil hisapan atau tinja tersebut mengandung bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit pes.

Telah Mewabah Sejak Ratusan Tahun Sebelumnya Pada awalnya pandemi pes muncul di Mesir dan Ethiopia pada tahun 540 M. Kemudian mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya seperti Konstantinopel pada tahun 544 M. Proses penyebaran pandemi pes dilatarbelakangi oleh adanya perdagangan maritim yang membawa tikus-tikus yang telah terinfeksi bakteri pes pada kapal-kapal yang berlayar. Kemudian penyebarannya semakin meluas hingga melanda benua Eropa pada tahun 1347 M. Selama kurun waktu kurang lebih 300 tahun, pandemi pes telah menewaskan 75 juta orang atau sekitar 1/3 dari populasi manusia pada saat itu. Sama dengan sebelumnya, munculnya pandemi pes di Indonesia juga dilatarbelakangi oleh adanya perdagangan maritim yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda berupa kegiatan mengimpor beras dari Rangoon, Myanmar. Berdasarkan

Illustrasi Pandemi Pes di London (1664)

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/vert-cul-52319927

pemberitaan pada surat-surat kabar yang beredar pada tahun 1910 bahwa sekitar bulan Oktober hingga November tahun 1910 terjadi kegagalan panen di Surabaya yang disebabkan oleh adanya serangan hama mentek dan kekeringan. Kegagalan panen tersebut mengakibatkan terjadinya kelaparan atau krisis pangan yang melanda daerah Jawa Timur. Maka untuk menanggulangi kegagalan panen tersebut, pemerintah Hindia Belanda melakukan impor beras dari berbagai daerah penghasil beras di Asia, salah satunya adalah Rangoon. Kegiatan impor beras dari Rangoon dilakukan melalui jalur laut menggunakan kapal yang tanpa sengaja juga membawa tikus-tikus terinfeksi. Beras hasil impor dari Rangoon itu tiba di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada tanggal 3 November 1910. Tidak lama setelah kegiatan impor beras tersebut, terdapat laporan mengenai adanya pandemi pes di Surabaya pada November tahun 1910. Surabaya

menjadi kawasan episentrum penyebaran pandemi pes ke beberapa daerah di pulau Jawa seperti Malang, Kediri, Madiun, Surakarta, dan Yogyakarta yang terjadi pada tahun 1910-1914. Akan tetapi, penyebaran pandemi pes di pulau Jawa tidak berhenti di tahun 1914 saja. Pada tahun 1916-1918 terjadi penyebaran pandemi pes gelombang kedua yang berawal dari pelabuhan Tanjung Emas di Semarang yang akhirnya menyebar hingga ke daerah Ambarawa, Salatiga, Magelang, Wonosobo, Banyumas, dan Pekalongan.

“Percepatan penyebaran penyakit disebabkan oleh semakin meningkatnya urbanisasi, pertambahan penduduk, dan hubungan pelayaran antar negara yang membawa ‘produk’ dari dan ke negara-negara penerima dan juga sebaliknya.” -Peter Boomgard

14


Wabah Pes Gelombang Kedua

Pandemi pes yang terjadi di Semarang pada tahun 1916-1918 merupakan gelombang kedua dari penyebaran pandemi pes di pulau Jawa setelah Surabaya. Penyebaran tersebut berasal dari pelabuhan Tanjung Emas di Semarang. Produk yang diekspor di pelabuhan Tanjung Emas adalah produk batik dan produk pertanian yang diangkut dari daerah pedalaman Jawa Tengah. Pelabuhan di Semarang mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-19. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari dibangunnya jaringan kereta api yang menghubungkan pelabuhan Semarang dengan wilayah pedalaman. Selain itu dibangun sarana dan prasarana lain seperti kanal, mercusuar, kantor pos, kantor perdagangan, dan bank. Penyebab utama penyebaran pandemi pes di Semarang karena hubungan pelayaran dan aktivitas perdagangan maritim. Proses penyebarannya terjadi ketika tikustikus yang ada pada kapal-kapal turun di pelabuhan Tanjung Emas lalu mulai menyebar ke permukiman penduduk. Keadaan pemukiman penduduk yang kotor dan lembab, gaya hidup masyarakat yang tidak bersih, serta faktor geografis kota Semarang yang berupa rawa-rawa, sungai dan sawah merupakan tempat yang cocok untuk perkembangbiakan tikus. Tikus-tikus yang berkembangbiak, terutama pada lumbung-lumbung padi milik warga menyebabkan peningkatan jumlah tikus yang membuat proses penyebaran pandemi pes di Semarang semakin cepat dan luas.

Pengaruh Pandemi Pes Terhadap Perdagangan dan Kehidupan Masyarakat di Semarang Pandemi pes yang menjangkit Semarang pada tahun 1916-1918 rupanya telah membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, bahkan terhadap perdagangan maritim yang menjadi pintu gerbang dari munculnya pandemi pes di

rumah-rumah yang terjangkit pes, dan memberikan vaksinasi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam menangani pandemi pes dapat dikatakan sesuai dengan usulan ini. Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu melakukan penyemprotan cairan disinfektan, pembakaran belerang atau sulfur selama empat hari pada rumah pasien pes, melakukan vaksinasi menggunakan vaksin Jerman atau vaksin Haffkine, melakukan perbaikan perumahan dan pembinaan dalam mengurus rumah tangga, membersihkan perkampungan penduduk, melakukan perburuan tikus, melakukan pembakaran rumahrumah yang terjangkit pes, mendirikan barak-barak untuk pengungsian, dan Semarang. Salah satu dampak mendirikan tempat karantina dengan yang ditimbulkan adalah terjadinya tujuan untuk mengumpulkan pasien peningkatan pelayanan kesehatan yang terjangkit penyakit pes agar masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut terlihat dari adanya penambahan politeknik dan rumah sakit. Selain itu, pandemi pes juga memberikan dampak atau pengaruh terhadap bidang ekonomi, dimana terjadinya penurunan pendapatan masyarakat dikarenakan banyak dari masyarakat terkena pemberhentian kerja dari perusahaannya. Kerugian ekonomi juga dirasakan oleh keluarga yang terjangkit pes dikarenakan mereka kehilangan rumah beserta hartanya akibat adanya peraturan pembakaran rumah yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. Kerugian juga dirasakan oleh para pemilik perkebunan dikarenakan adanya kesulitan dalam melakukan kegiatan distribusi barang, sebab adanya peraturan mengenai pembatasan akses keluar masuk Kota Semarang.

Upaya Penanganan Pandemi Pes Persebaran pes yang menyebar luas ke berbagai daerah di Jawa yang terhubung dengan pelabuhan Tanjung Emas mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan penanganan pencegahan wabah ini. Penjelasan mengenai upaya penanganan pandemi pes yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda tercatat dalam laporan atau arsip pemerintah Hindia Belanda yang disebut Verslag over her herste kwartal. Dalam menangani pandemi pes, terdapat beberapa usulan dari dr. de Vogel terkait pandemi pes agar tidak menyebar luas ke berbagai daerah di pulau Jawa, seperti melakukan sosialisasi kepada penduduk pribumi mengenai pandemi pes dan gejala penyakitnya, sosialisasi mengenai tindakan pencegahan agar tidak terjangkit pes yang dilakukan di sekolah-sekolah dan rumah-rumah gadai, membasmi tikus sebagai sumber utama penularan penyakit pes ke manusia, mengisolasi penderita yang terjangkit penyakit pes, melakukan pembersihan terhadap

berada dalam satu tempat saja. Dalam melakukan penanganan pandemi pes di Semarang, dr. de Vogel juga bekerjasama dengan dr. de Haan dari Geneeskundige Laboratorium di Weltevreden. Kerja sama tersebut dilakukan untuk membangun laboratorium khusus untuk melakukan penelitian mengenai pandemi pes dan untuk melakukan pemeriksaan darah dari para pasien yang terinfeksi oleh pes. Upaya lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah dengan melakukan perbaikan dan peningkatan terhadap sarana dan prasarana kesehatan masyarakat, seperti subsidi pada bidang kesehatan agar semua golongan masyarakat dapat merasakan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah. Pemberian subsidi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak diberikan untuk semua rumah sakit, karena berdasarkan

15


Daftar Pustaka

Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Pes -Staatsblad van Nederlandsche Indie No. 276 tahun 1906 terdapat pengkategorisasian rumah sakit yang dinilai berhak untuk menerima subsidi. Rumah sakit yang berhak menerima bantuan subsidi adalah rumah sakit swasta Bumiputera (Het Particuliere Indlandsche Ziekenhuizen) dan rumah sakit swasta pembantu (Inlandsche Hulpziekenhuizen). Bantuan subsidi yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah anggaran dana, obat-obatan, peralatan rumah sakit, dan pemberian insentif terhadap tenaga medis yang menangani pandemi pes. Dengan adanya bantuan dari pemerintah Hindia Belanda dalam perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat membuat orang-orang pribumi akhirnya dapat melakukan pemeriksaan ke rumah sakit yang berada di Kota Semarang.

Dalam melakukan tindakan penanganan pandemi pes di Semarang, terdapat beberapa lembaga yang bekerjasama, seperti pemerintah pusat Hindia Belanda, pemerintah gemeentrad (Dewan Kota), polisi, tentara, controleur (Pengontrol), Dinas Perumahan Rakyat, dan Dinas Kesehatan Masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sebuah lembaga khusus yang ditugaskan untuk memberantas pandemi pes yang dinamakan Dienst de Pestbertrijding atau Dinas Pemberantasan Pes. Lembaga khusus ini didirikan untuk mengontrol segala hal yang terkait dengan pandemi pes, mencegah penyebaran pandemi pes, mengobati pasien yang terjangkit penyakit pes, dan melakukan tindakan untuk memberantas pandemi pes. Lembaga khusus ini terdiri atas dokter, staf medis beserta asistennya, dan pemimpin medis daerah. Dalam menjalankan seluruh tindakan pencegahan dan penanganan pandemi pes tersebut, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan-peraturan. Misalnya, peraturan Pestordonantie yang mengatur mengenai tindakan karantina, dan Staatsblad van Nederlandsche Indie yang mengatur mengenai kebijakan pemerintah dalam pelayanan kesehatan masyarakat terkait pandemi pes. Selain itu juga dikeluarkan peraturan-peraturan lainnya yang berisikan mengenai perintahperintah yang harus dilakukan oleh masyarakat, seperti memerintahkan kepada masyarakat untuk menutup lumbung padi, penutupan akses ke Semarang, melakukan penutupan jalur kereta api, memerintahkan agar kapal yang hendak berlabuh ke pelabuhan melakukan isolasi terlebih dahulu, menghimbau masyarakat untuk melakukan pengungsian dan tidak berkumpul maupun melakukan kegiatan yang dapat menciptakan kerumunan, dan memerintahkan daerah lain untuk menolak kedatangan orang-orang dari Semarang.

Baha’Uddin. (2000). “Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia pada Masa Kolonial”. Jurnal Sejarah Vol 3, No. 3. Kur’anania, S., & Rahayu, S. D. (2019). Upaya Penanggulangan Penyakit PES di Adfeeling Kediri Tahun 1911-1933. Verleden: Jurnal Kesejarahan, 268-283. Luwis, S. (2008). Pemberantasan Penyakit PES di Malang 1911-1916. Depok: Universitas Indonesia. Nurhajarini, D. R., Fibiona, I., & Suwarno. (2019). Kota Pelabuhan Semarang dalam Kuasa Kolonial: Implikasi Sosial Budaya Kebijakan Maritim Tahun 1800an-1940an. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. Nurisa, I., & Ristiyanto. (2005). Penyakit Bersumber Rodensia (Tikus dan Mencit) di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan, 308-319. P, A. S. (2014). Wabah PES di Kota Semarang Tahun 1916-1918. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Peverelli, P. 1913.Laatstelijk Hoofd van den Gezondheidsdienst van de provincie Oost Java en West Java . Batavia: De Zorg voor de Volksgezonheid in Nederlandsch Indie Swellengrebel, N. H. (1950). Plague in Java, 1910-1912. The Journal of Hygiene, 135-145. Waloejono, D. (2015). Transformasi Kawasan Pelabuhan dalam Aspek Industri di Coastal City Semarang. Seminar Nasional “Menuju Arsitektur dan Ruang Perkotaan yang Ber-kearifan Lokal, 11-20. Williams, J. E., Hudson, B. W., Turner, R. W., Saroso, J. S., & Cavanaugh, D. C. (1980). Plague in Central Java, Indonesia. Bulletin of the World Health Organization, 459-468.

Melihat pandemi pes di masa lampau dari proses masuk hingga upaya penanganan ternyata tidak jauh berbeda dengan pandemi Covid-19 yang terjadi akhir-akhir ini. Segala upaya penanganan yang terjadi di masa lampau semoga bisa ditiru dan dijadikan pembelajaran agar pandemi Covid-19 cepat berlalu.

14


#Era Pandemi di Museum

“Museum di masa Pandemi Covid-19 harus mampu beradaptasi dengan menggunakan berbagai platfrom agar eksistensinya tidak terlupakan. “ Galeri Nasional Indonesia

Sumber:http://jakar ta-tourism.go.id/visit/ blog/2020/12/galeri-nasional-indonesia

16


Penanganan Koleksi

Era

Pandemi

di Museum

di Galeri Nasional Indonesia Selama Masa Pandemi Penulis: Bagus Dimas Bramantio Penyunting: Irfan Maulana

I

ndonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yaitu dengan membatasi aktivitas sosial, ekonomi, hingga pendidikan. Berbagai sarana publik terpaksa ditutup dan tak bisa diakses, salah satu sarana publik yang terkena dampaknya adalah Galeri Nasional. Dengan ditutupnya Galeri Nasional, berbagai pameran serta acara yang akan dilaksanakan pun terpaksa diberhentikan atau diundur. Kebijakan ini sangat berdampak bagi dunia seni, pihak museum, dan masyarakat. Situasi seperti ini membuat Galeri Nasional Indonesia harus beradaptasi dengan keadaan baru. Bentuk adaptasi ini dilakukan agar museum tetap dapat mengedukasi masyarakat di tengah pandemi. Adaptasi ini berupa penerapan program digitalisasi museum, mengadakan webinar, dan yang paling penting, yaitu penanganan koleksi di tengah pandemi.

“ Konservasi preventif merupakan tindakan yang bersifat tidak langsung, artinya tidak mengganggu objek dan struktur koleksi serta tidak merubah tampilan pada koleksi.”

Keberadaan koleksi museum membutuhkan perawatan yang maksimal untuk menjaga keberadaan koleksi sebagai aset budaya. Selain itu, perawatan koleksi sangat dibutuhkan karena bersifat sangat rentan oleh berbagai faktor kerusakan. Untuk memastikan koleksi tersebut tetap aman, diperlukan strategi khusus dalam penanganan koleksi agar tidak rusak dan berdebu, sehingga ketika Galeri Nasional sudah dapat diakses, koleksi dapat dinikmati lagi. Masalah ini dibahas langsung oleh Galeri Nasional dalam webinar

yang diselenggarakan pada tanggal 27 Mei 2020 dengan tema “Penanganan Koleksi Selama Masa Pandemi” dengan narasumber, yaitu Pustanto sebagai Kepala Galeri Nasional Indonesia dan Jarot Mahendra sebagai onservator Galeri Nasional Indonesia. Jarot Mahendra selaku Konservator Galeri Nasional Indonesia menjelaskan bahwa penangan koleksi yang paling tepat dilakukan di tengah pandemi, yaitu konservasi preventif yang bertujuan untuk menghindari adanya transmisi virus dan meminimalkan kerusakan atau kerugian pada masa mendatang. Koleksi sendiri tidak terdampak langsung oleh virus, melainkan sebagai media transmisi. Menurut Pustanto, koleksi seni rupa di Galeri Nasional harus dipantau setiap saat karena memiliki potensi sebagai media transmisi virus melalui kontak secara langsung dan tidak langsung. Kontak langsung ini berupa kontak fisik seperti menyentuh karya, sedangkan kontak tidak langsung berupa bersin dan batuk. Koleksi di Galeri Nasional berada di ruangan tertutup dan ramai pengunjung, sehingga risiko penyebaran virusnya lebih besar. Oleh karena itu, harus ada strategi baru dalam menangani koleksi. Selain virus, bahaya lain yang mengancam adalah tindakan kriminal seperti pencurian dan kerusakan akibat debu, hal tersebut juga harus diperhatikan. Prinsip konservasi koleksi yang akan dilakukan menitikberatkan dalam meminimalisir penyebaran virus sehingga tidak membahayakan pegawai dan masyarakat. Begitu pula dengan proses konservasi yang harus dilakukan tanpa mengorbankan kesehatan konservator. Oleh karena itu, pegawai museum harus benarbenar memahami sifat dan karakteristik dari virus Covid-19 sehingga dapat melakukan tindakan preventif.

“ Tanpa Judul”

Artist:

Hans ARP Grafis 50,5 X 33 cm 1966

Sumber:http://galeri-nasional.or.id/ collections/214-tanpa_ judul

17


i r e l a l G a n o i s a N “

Konservasi koleksi dilakukan selain untuk memperpanjang usia karya, juga untuk melindungi kesehatan masyarakat (pegawai dan pengunjung).

Sebelum melalui proses konservasi, konservator harus mengetahui sifat dasar dan ketahanan dari virus Covid-19 agar tidak salah mengambil langkah. Berdasarkan data Canada Conservation Institute pada tahun 2020 yang masih terbatas, virus Covid-19 memiliki resistensi yang berbeda terhadap dua media koleksi, yaitu organik dan logam. Pada media organik, contohnya seperti kain, kanvas, kertas, dan karton memiliki tingkat transmisi yang tinggi karena bahan ini memiliki pori-pori sehingga virus dapat masuk ke ruang pori-pori. Sedangkan pada media logam lebih bervariasi. Virus dapat berkembang dengan baik pada

Deretan Kol

Sumber:https noor-baron-ba

jenis logam Zn (Seng) karena zat ini dapat memperkuat struktur virus. Namun untuk logam seperti Cu (Tembaga) dan Au (Perak) dapat menghancurkan struktur virus karena zat ini bersifat asam yang menciptakan oksidator yang kuat, oleh karena itu zat Cu dan Au sering menjadi pelarut dalam komposisi disinfektan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah suhu ruangan tempat koleksi berada. Virus Covid-19 dapat bertahan pada pH netral dan semakin rendah suhu ruangan maka virus dapat hidup dengan baik. Virus Covid-19 juga dapat beradaptasi dengan baik karena terbukti dapat bertahan di iklim tropis yang panas.

18


Era

Pandemi

di Museum

leksi Galeri Nasioal

s://traveling.bisnis.com/read/20190109/224/876786/menikmati-keindahan-cahayaasuning-di-galeri-nasional

Menurut Jarot Mahendra, terdapat beberapa protokol yang harus diperhatikan saat melakukan penanganan koleksi dan ruangan koleksi. Pertama, ruangan koleksi harus diisolasi terlebih dahulu selama 9-14 hari, namun tetap dipantau agar steril. Kedua, sebelum melakukan penyemprotan, hindari mencuci tangan dengan handsanitizer karena dapat meninggalkan residu pada benda dan merusak bahan koleksi terutama yang berbahan kertas. Disarankan menggunakan sabun, lalu gunakan sarung tangan nitrile. Ketiga, ketika membersihkan ruangan, petugas harus memakai alat pelindung diri yang lengkap. Komposisi disinfektan dibuat dengan takaran 70% kadar alkohol dan sisanya dengan pembersih lantai. Sebaiknya, penyemprotan koleksi tidak terkena langsung, karena cairan disinfektan bisa merusak karya seni bila terkena langsung. Keempat, lakukanlah

* *

*

pembersihan secara rutin dengan turut mempertimbangkan efek mengenai material koleksi. Lakukan pembersihan hanya dengan penyemprotan pada permukaan non-koleksi, seperti meja, rak, atau vitrin. Saat penyemprotan disinfektan, koleksi tidak perlu dipindahkan, karena dengan memindahkan hanya akan membawa resiko dan berpotensi terkontaminasi saat ditangani. Selain aspek kebersihan, Galeri Nasional Indonesia juga menerapkan sistem keamanan ganda pada setiap gedung yang terdapat koleksi agar selalu aman. Beberapa koleksi yang sangat berharga dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Pemantauan selama 24 jam juga terus dilakukan secara rutin oleh tim keamanan Galeri Nasional Indonesia agar situasi dan kondisi koleksi selalu terpantau dengan baik.

Daftar Pustaka

Galeri Nasional. 2020. Penanganan Koleksi Selama Masa Pandemi. https://www.youtube.com/ watch?v=nGk014j6Afc. Di akses pada 16 Juni 2020 Pukul 23.00 WIB

CNN Indonesia. 2020. Galeri Nasional Ungkap Cara Jaga Koleksi Seni saat Pandemi. h t t p s : / / w w w. c n n i n d o n e s i a . c o m / hiburan/20200527154128-241-507335/ galeri-nasional-ungkap-cara-jagakoleksi-seni-saat-pandemi. Di akses pada 16 Juni 2020 Pukul 22.00 WIB Sabrina, Ghina. 2020. Peran Seni dan Posisinya di Tengah Pandemi. https://www.whiteboardjournal.com/ ideas/art/peran-seni-dan-posisinyadi-tengah-pandemi/. Di akses pada 16 Juni 2020 Pukul 22.00 WIB Ragis. 2020. Bagaimana Nasib Seni di Tengah Pandemi Covid-19?. https://www.fixindonesia. com/bagaimana-nasib-seni-ditengah-pandemi-covid-19/. Di akses pada 16 Juni 2020 Pukul 22.00 WIB Ayu, Duanita Gilda. 2019. Konservasi Preventif Manuskrip Kertas Koleksi Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta. Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta.


A d a A ri s a n

di Museum?

Penulis: Karin Beladina Mafaza Penyunting: Irfan Maulana

Museum Macan sebagai ruang publik, mampu memberi ruang bertemu untuk perupa yang membutuhkan dukungan dalam membuat karya dengan publik umum yang membutuhkan informasi positif selama di rumah, maupun penikmat seni yang dapat merasakan kebahagian dan motivasi dengan mendapatkan karya seni.

M

useum Macan pertama kali dibuka untuk masyarakat pada 4 November 2017. Museum ini digadang-gadang sebagai museum pertama di Indonesia yang didedikasikan untuk memamerkan karya seni modern dan kontemporer. Hal itu tentu saja membuat museum ini menarik untuk dikunjungi. Sehingga, museum ini tidak hanya sekedar Sumber Foto: https://www.sabigaju.com/kaitan/museum-macan

menyediakan informasi mengenai seni, tetapi juga menyediakan pameran yang instagramable. Pengunjung banyak yang datang untuk mencari informasi mengenai seni, ataupun hanya sekedar berfoto di museum, karena foto di pameran yang instagramable tentu cocok diunggah pada media sosial pribadi, seperti instagram.

20


Kehadiran wabah corona pada akhir tahun 2019 tentu memberikan dampak yang besar bagi seluruh masyarakat diseluruh sektor, tak terkecuali museum Macan. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengharuskan museum Macan untuk tutup sementara waktu. Dampak penutupan museum Macan tidak hanya dirasakan oleh pengunjung, tetapi juga para seniman (perupa). Banyak para perupa yang kehilangan jadwal pentas dan pameran yang tentu berdampak bagi kondisi finansial mereka. Dalam mendukung perupa, museum Macan menyediakan gerakan yang disebut dengan “Arisan Karya”. Publik atau pengunjung virtual dapat memberi dukungan dengan membeli kupon bernomor seharga Rp. 1.000.000,00. Setiap orang yang ingin membeli kupon, bisa membeli di website www.shop. museummacan.org. Nantinya, setiap kupon yang dibeli akan diundi dalam sesi “Ungkap Karya” lewat Instagram Live museum Macan dan yang memenangkan undian berhak membawa salah satu karya dari para seniman.

Arisan karya merupakan gerakan inisiatif untuk mendukung jejaring dan komunitas seni Indonesia atau perupa. Dalam gerakan ini perupa dapat mengirimkan karyanya, baik berupa lukisan, patung, karya cetak, atau foto.

Era

Pandemi

Arisan Karya ini merupakan bentuk nyata di Museum tindakan positif yang dapat dilakukan museum di tengah ketidakpastian wabah virus corona di Indonesia. Hal ini sebagai bentuk lebih dari peran museum yang tidak hanya sekedar memberikan informasi, tetapi juga dapat memberikan dukungan ataupun motivasi baik dalam bentuk finansial maupun emosional.

!!!

Poster Arisan Karya edisi I

Sumber: https://www.museummacan.org/ArisanKarya/EdisiPertama

Aaron Seeto sebagai Direksi Museum Macan berharap kegiatan ini menjadi gerakan yang dapat memotivasi komunitas seni lokal dan juga memberikan sumber kebahagiaan kepada penikmat seni yang sedang bekerja maupun belajar di rumah. Selain itu, Aaron Seeto juga mengharapkan gerakan ini menjadi titik awal untuk mendorong kesadaran positif dalam dunia seni. Hal ini tentu merupakan tindakan positif dalam mendukung dan menguatkan satu sama lain, baik itu publik umum ataupun bidang seni kreatif yang terkena dampak karena wabah virus corona. Setiap perupa hanya dapat mengirimkan maksimal tiga karyanya. Sejak diumumkan pada akhir April 2020, lebih dari 430 perupa telah berpartisipasi dengan

900 karya yang dikumpulkan. Dari 900 karya yang telah dikumpulkan akan diseleksi menjadi 300 karya yang dipilih. Gerakan ini diadakan selama tiga kali berturut-turut, yaitu pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Sehingga dari total 300 karya yang telah dikumpulkan akan dibagi menjadi tiga edisi kegiatan. Pembelian kupon edisi perdana telah diadakan pada bulan Mei, mulai dari tanggal 20 hingga tanggal 28. Sebanyak 103 kupon telah habis terjual hanya dalam waktu satu jam setelah pembelian kupon arisan daring dibuka untuk publik. Ada 103 karya dari 103 perupa Indonesia yang akan hadir dalam edisi perdana Arisan Karya. Karya perupa senior juga dihadirkan dalam arisan karya, seperti Melati Suryodarmo, Agus Suwage, Tisna Sanjaya, Sunaryo,

!!!

dan Ika Vantiani. Seluruh dana yang terkumpul, 70% akan disalurkan pada perupa atau organisasi sosial pilihan donatur, sementara untuk dana yang tersisa akan digunakan untuk memfasilitasi komponen lain dari program arisan karya. Dari kegiatan arisan karya ini perupa tidak hanya mengirimkan karya fisiknya saja, tetapi juga akan berpartisipasi dalam membuat materi online berupa tips berkarya, ataupun tutorial dan berbagi info kreatif yang nantinya akan dibagikan kepada publik. Selain itu, kegiatan ini juga merupakan sebuah kesempatan untuk masyarakat, yang ingin membeli atau memiliki karya seni yang dibuat oleh perupa senior, maupun bintang baru dunia seni rupa Indonesia.

21


S

W ri t i n g

Artist:

FX Harsono Perupa yang karyanya berfokus pada isu minoritas (Tionghoa) di Indonesia. Cetak digital di atas kertas 40 x 50 cm Edisi 5 Sumber:https://shop.museummacan.org/collections/arisan-karya

22


Daftar Pustaka

S c re e n s h o t

https://www.museummacan.org/ diakses pada Senin,15 Juni 2020/ pukul 13.32.

F ro m

in the Rain #7 (2020)

https://www.airmagz.com/60841/peduliko m uni tas - s e ni - m us e um - m aca n - d a n fibrefirs t-gelar-arisan-karya.html/ diakses pada Senin,15 Juni 2020/ pukul 14.53. https://www.cosmopolitan.co.id/article/ read/5/2020/20037/arisan-karya-gerakanuntuk-mendukung-komunitas-seni-lokal/ diakses pada Senin,15 Juni 2020/ pukul 14.56. https://www.wego.co.id/berita/museummacan-museum-seni-modern-indonesia/ diakses pada Senin,15 Juni 2020/ pukul 15.31. https://koran.tempo.co/read/seni/454031/ arisan-karya-untuk-membantu-perupa/ diakses pada Selasa,16 Juni 2020/ pukul 11.52. https://www.cnnindonesia.com/ hiburan/20200430190558-241-499069/arisankarya-dukungan-untuk-perupa-seni-saatkrisis-corona https://lifestyle.bisnis.com/ read/20200612/220/1251812/museummacan-gelar-arisan-karya-ronde-kedua/ diakses pada Selasa,16 Juni 2020/ pukul 12.06. https://www.cnnindonesia.com/ hiburan/20200518135957-241-504499/300karya-per upa-ramaikan-arisan-karyamuseum-macan/ diakses pada Selasa,17 Juni 2020/ pukul 13.02. https://www.instagram.com/ museummacan/?utm_source=ig_embed/ diakses pada Selasa,17 Juni 2020/ pukul 13.29. https://hot .detik .com/art /d-5050554/ museum-macan-hadirkan-ronde-ke-2arisan-kary a/ diakses pada Selasa,17 Juni 2020/ pukul 13.41. https://www.jawapos.com/art-space/senirupa/12/06/2020/museum-macan-kembaligelar-arisan-karya/ diakses pada Selasa,17 Juni 2020/ pukul 17.09. https://portalteater.com/sukses-rondepertama-arisan-karya-kembali-dibuka// diakses pada Selasa,17 Juni 2020/ pukul 17.31. http://kabare.id/berita/museum-macanbuka-arisan-karya-jilid-dua/ diakses pada Selasa,17 Juni 2020/ pukul 18.34.

* * *

Kegiatan ini juga dapat membentuk publik yang lebih dapat menghargai setiap karya dan saling membantu dalam hal-hal kecil. Publik bisa belajar untuk mengapresiasi dan menghargai setiap karya seni. Dengan menghargai satu kupon dengan harga yang sama, secara tidak langsung memberikan informasi bahwa setiap karya seni itu berharga. Tidak ada karya yang tidak berharga, setiap karya memiliki penikmatnya masing-masing. Kegiatan positif ini tentu diharapkan mampu diterapkan pada museum lain di Indonesia, maupun lembaga publik lain. Diharapkan juga kegiatan ini bisa konsisten dijalankan dengan inovasi-inovasi baru, tidak hanya selesai setelah hilangnya wabah virus corona.

23


y:

o b w o C e h T im #T

main Sosmed er B oy b ow Ketika C Penulis: Anisa Novita Sari Penyunting: Hamzah Ali

24


Ketertarikan masyarakat untuk mengunjungi museum di wilayah mereka setiap tahunnya bertambah seiring dengan keseriusan institusi museum untuk mengelolanya menjadi tempat yang lebih baik. Sebagai salah satu institusi yang bergerak di bidang edukasi, museum menyampaikan informasi yang ada pada museum melalui berbagai media, seperti koleksi, pameran, hingga media sosial. Instagram, facebook, dan twitter merupakan platform media sosial yang banyak digunakan oleh masyakarat, terutama anak-anak milenial. Penggunaan media sosial yang ada di museum pada era yang serba digital sangatlah penting untuk menyebarluaskan informasi-informasi dalam skala yang lebih luas. Namun, sangat disayangkan pengunggahan konten informasi pada kebanyakan museum terkadang kurang menarik dan terasa kurang relate dengan kehidupan bersosial media yang “bebas”. Konten yang terkesan kaku dan formal cenderung kurang diminati oleh masyarakat, sehingga kreativitas dalam pengelolaan media sosial sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa keterikatan masyarakat dengan museum.

Kaku dan Formal adalah masa lalu Adanya stigma museum yang kaku dan formal tidak lagi melekat pada National Cowboy and Western Heritage Museum (NCWHM) di Oklahoma, Amerika Serikat. Museum ini merubah penyampaian konten di media sosial yang diawali karena adanya Covid-19 yang menyebabkan NCWHM ditutup untuk sementara waktu.

Hal menarik yang dilakukan oleh NCWHM adalah ketika mereka mengizinkan seorang kepala keamanan bernama Tim untuk mengelola setiap media sosial NCWHM. Pengelolaan media sosial oleh Tim sejak bulan Maret 2020 mendapat banyak perhatian dari pengguna media sosial, terutama karena hashtag #HashtagTheCowboy yang disematkan pada setiap caption berisi ‘dad jokes’ yang diunggahnya. Ketidaktahuan Tim mengenai media sosial merupakan asal mula adanya kata “hashtag” setelah tanda # dalam #HashtagTheCowboy, yang hingga saat ini tetap digunakan sebagai trademark dari Tim. Sejak saat itu, terjadi peningkatan yang signifikan pada jumlah pengikut di platform media sosial NCWHM yang mencapai 300.000 pengikut di twitter. Sedangkan pada platform instagram dan juga facebook, pengikutnya mendekati angka 100.000. Ketertarikan masyarakat pada Tim terlihat dari unggahan paling awal yang berisi foto dirinya, lengkap dengan pakaian berwarna coklat, lencana bintang di saku kirinya, dan juga topi yang menjadi ciri khas para koboi yang mendapatkan 15.000 likes lebih di instagram. Sebelum menjadi kepala keamanan di NCWHM, Tim sedari kecil telah menunjukkan rasa cintanya terhadap segala aspek kehidupan seorang koboi. Pada tahun 2016, ia bergabung dengan NCWHM sebagai salah satu floor guard hingga akhirnya ia mencapai posisi sebagai kepala keamanan museum. Ketika perintah adanya karantina terkait dengan pencegahan Covid-19, NCWHM menghimbau para staf museum untuk melakukan teleworking dari rumah masing-masing. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk Tim yang memiliki tugas menjaga keamanan museum. Ia diharuskan bekerja setiap hari untuk melakukan pemantauan terhadap sistem keamann gedung dan juga mejalankan pemeliharaan rutin.

Sedikitnya staf yang datang untuk bekerja, membuat Tim diberi keluangan dalam menjalankan tugas baru, yakni sebagai pengelola media sosial museum. Setiap unggahan Tim di sosial media mendapatkan perhatian khusus yang secara tidak langsung mempengaruhi keinginan pengunjung untuk segera mengunjungi NCWHM seusai wabah Covid-19 berakhir. Keinginan tersebut dapat terlihat dari beberapa balasan dari unggahan-unggahan Tim di twitter, Instagram, ataupun facebook.

Sosial media biasanya hanya fokus untuk mengunggah ativitasaktivitas museum yang dikemas dalam bahasa formal dan kaku, namun hal tersebut tidak terlihat dalam media sosial NCWHM yang dikelola oleh Tim.

25


Hal tersebut tidak disia-siakan oleh museum sebagai kesempatan untuk memperkenalkan NCWHM lebih dalam kepada masyarakat luas. Dengan pengetahuan yang diberikan kepada Tim mengenai koleksi-koleksi yang terdapat di dalam museum, Tim membuat berbagai unggahan berisi selfie dirinya, hingga quick tour yang tentu saja disertai dengan candaan khasnya yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengikutnya di media sosial. Bahkan kesempatan ini juga digunakan oleh museum untuk menyampaikan pesan, seperti dalam salah satu unggahannya yang berisi mengenai betapa pentingnya untuk mengetahui sejarah bangsa kita sendiri. Setiap esensi dari pesan dan juga informasi tetap dapat tersampaikan kepada masyarakat dengan baik, walaupun disertai dengan wajah Tim yang lucu di setiap unggahannya. Cara seperti ini tidak dapat dianggap seperti sesuatu yang “Tidak normal”, karena penggunaan media sosial adalah suatu hal yang “Audience Oriented”. Langkah berbeda yang diambil oleh NCWHM dalam berkomunikasi dengan audiensnya melalui Tim, dapat dijadikan acuan bagi museum untuk menjangkau pengunjung melalui media sosial.

\\

26


\\

Era

Pandemi

di Museum

Tim Sebagai Strategi Pemasaran Museum

Tim sebagai wajah baru dari NCWHM secara tidak langsung menjadikannya sebagai bagian dari strategi pemasaran untuk menarik orang-orang agar bekunjung ke museum. Ketenaran Tim dapat dilihat ketika museum akhirnya dibuka walaupun dengan protokol ketat yang harus dipatuhi oleh pengunjung. Hal ini tidak mengurangi antusiasme pengunjung untuk melihat Tim dengan seragam Koboi. Bahkan museum menyiapkan suatu acara bernama ”Meet Tim”, dimana pengunjung dapat bertemu dan berinteraksi langsung dengan Tim. Kepopuleran Tim di kalangan masyarakat bukanlah tujuan utama museum ketika menugaskannya dalam mengelola media sosial. Dalam wawancaranya, Seth Spillman yang merupakan bagian marketing mengatakan bahwa ia tidak menyangka akan kesuksesan dan ketenaran yang diraih oleh Tim pada saat ini. Berkat ketenaran Tim di media sosial NCWHM dijadikan sebagai media untuk mempromosikan museum dan juga sebagai media menyampaikan informasi dari museum ke masyarakat. Dari pengelolaan media sosial NCWHM dapat dilihat bahwa peran Tim yang menjadikan dirinya sendiri sebagai konten museum di media sosial merupakan langkah yang cerdas untuk menarik pengunjung. Branding yang terus dilakukan oleh Tim membuat museum NCWHM berhasil dalam membuat konten media sosial yang cocok dengan para penggunanya. Hal ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, mengingat setiap museum biasanya memakai template yang sama dalam mempromosikan museumnya, yaitu dengan kesan formal dan kaku. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa penggunaan sosial media haruslah “Audience Oriented”, dimana kreativitas para konten kreator sangatlah penting dalam menafsirkan keinginan publik untuk konten media sosial pada museum. Di tengah wabah Covid-19, menunjukkan bahwa pentingnya media sosial sebagai media komunikasi kepada publik agar eksistensi dari museum itu sendiri tidak dilupakan, serta memberi gambaran bahwa museum memerlukan target audiens yang lebih besar untuk keberlangsungan museum, koleksi, dan juga informasi di dalamnya. Media sosial dalam hal ini dapat dimanfaatkan untuk hal tersebut, dan tentu saja pemanfaatan itu harus dibarengi dengan konten-konten yang menarik dan kreatif. Daftar Pustaka

Whelan, Catherin. (2020). Meet the Security Chief Making a Cowboy Museum’s Social Media Feeds Extrra Delightfl. Diambil dari https://www.npr.org/sections/coronaviruslive-updates/2020/04/23/839551073/ me et- th e- se c uri ty- c h ie f- m a kin g - a cowboy-museums-social-media-feedsextra-delight Day, Morgan. (2020). Digital Marketing Heroes: Oklahoma Museums Adapt During COVID-19. Diambil dari https://bigwing. com/ blog/digital-marketing-heroeso k l a h o m a - m u s e u m s - a d a p t- d u r i n g covid-19/

* *

*Seluruh sumber foto diperoleh Twitter: https://twitter.com/ncwhm Instagram: https://www.instagram.com/nationalcowboymuseum/

Barrett, Grace. Cowboy Candor: Security Guard at National Cowboy Museums Light Up Social Media. Diambil dari https:// wset.com/news/offbeat/cowboy-candorsecurity-guard-at-national-cowboymuseum-lights-up-social-media Mcdonnel, Brandy. (2020). Coronavirus in Oklahoma: National Cowboy Museum Unveiling Childrens Expansion After Pandemic Closure. Diambil dari https:// oklahoman.com/ar ticle/5662334/ c o r o n av i r u s - i n - o kl a h o m a - n a t i o n a l cowboy-museum-unveiling-childrensexpansion-after-pandemic-closure Lee, Alicia. (2020). Museum Gives Its Security Chief a New Job and His Attempts at ‘Social Media Managemement’ Have People LOL-ing. Diambil dari https:// edition.cnn.com/2020/03/24/us/cowboymuseum-oklahoma-security-twitter-trnd/ index.html

27


mpty

y

“Fully Empty” Juara 1 Digital Art OLIMBUD 2020 Josephine Priska Susanto(KAMA 2020)

28


y

Ekskavasi D a ri n g

Keadaan situs Kumintir 2020 Sumber:Nensi Yulianti Dewi, 2020

29


Ekskavasi d i S it u s K u m it ir

Penulis: Inggil Reka S & Ade Maulida S Penyunting: Irfan Maulana

P

andemi Covid-19 mulai mewabah di Indonesia sejak bulan Maret 2020. Untuk menghentikan laju penyebaran virus, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai langkah awal, kebijakan itu disebut dengan 3M, yaitu mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak. Kebijakan lanjutan agar grafik Covid-19 segera menunjukkan penurunan adalah dengan pembatasan sosial, seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM (Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Pandemi yang melanda Indonesia dan penerapan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berdampak terhadap beberapa sektor, seperti sektor ekonomi, sosial politik, dan pendidikan. Perlu dilakukan beberapa penyesuaian untuk tetap menggerakkan laju perkembangan agar tetap berjalan, namun ada juga yang terpaksa dihentikan karena tidak lagi memungkinkan. Salah satu kegiatan yang terdampak dari pandemi Covid-19 adalah ekskavasi. Ekskavasi adalah teknik pengumpulan data melalui penggalian tanah yang dilakukan secara sistematik untuk menemukan satu atau himpunan tinggalan arkeologi dalam situasi in situ. Perlu dilakukan penyesuaian agar rencana ekskavasi yang sudah tersusun rapi tetap berjalan, meskipun dalam kondisi yang tidak memungkinkan. Tahun 2020 ini ekskavasi di Situs Kumitir kembali dilakukan, tepatnya pada tanggal 4 Agustus 2020 hingga 9 September 2020 setelah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur mendapatkan laporan dari masyarakat terkait penemuan struktur bata di lokasi penggalian pembuatan batu bata. Situs Kumitir terletak di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Masyarakat di Kecamatan Trowulan kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani padi, palawija dan memiliki industri batu bata merah. Kecamatan Trowulan memiliki industri batu bata merah yang tersebar di 11 desa dari 16 desa. Persebaran industri di Kecamatan Trowulan tersebut bersinggungan dengan lokasi cagar budaya, maka perlu dilakukan ekskavasi penyelamatan. Ekskavasi penyelamatan temuan struktur yang pertama telah dilakukan, tepatnya pada tanggal 21-30 Oktober 2019. Dari hasil ekskavasi pertama, para peneliti berhasil mengungkap struktur bata kuno yang membentang sepanjang 187 meter, dari selatan ke utara pada sisi timur, memiliki ketebalan 140 cm, dan tinggi 120 cm dari permukaan tanah, struktur itu disebut talud. Dinding talud ini memiliki bentuk persegi panjang yang memiliki panjang 316 m pada sisi utara dan selatan dan 216 m pada sisi timur dan barat serta memiliki ketinggian 100-120 cm. Selain itu dijumpai struktur lantai bangunan, struktur gapura, sumur dari susunan bata, sumur dari susunan jobong (Sumur kuno), jaladwara (Pancuran air pada bagian candi), dan beberapa temuan batu bakal seperti pembuatan kala (Komponen hias berbentuk kepala singa), makara (Komponen hias berbentuk hewan mitologi air dalam kepercayaan hindu), antefik(Hiasan bagian luar candi berbentuk sudut lancip), dan pelipit (bingkai pada tubuh candi).

Keadaan situs Kumitir 2020

Sumber:Nensi Yulianti Dewi, 2020

30


Ekskavasi Daring

Salah satu struktur saat survei permukaan Sumber:Tim Dokumentasi PATI IV,2020

Ekskavasi Situs Kumitir 2020 inilah yang menjadi keberlanjutan dari ekskavasi Situs Kumitir 2019. Kegiatan ekskavasi yang kedua bertujuan untuk menampakkan lanjutan struktur arah selatan dan barat, serta di area makam yang diduga sebagai candi. Ekskavasi ini berupaya untuk membuktikan hipotesis mengenai talud yang digunakan sebagai tempat pendharmaan sang raja Singhasari serta batas Kotaraja Majapahit. Kegiatan ekskavasi penyelamatan Situs Kumitir dikemas dalam suatu agenda bernama Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI IV) yang merupakan kolaborasi antara Direktorat Perlindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, BPCB Jawa Timur, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, dan enam universitas di Indonesia yang menyediakan program studi arkeologi, diantaranya Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Haluoleo, dan Universitas Jambi. PATI IV pada awalnya direncanakan berlangsung di Situs Kumitir pada 1-21 September 2020. Namun, tim pelaksana harus memutar otak agar kegiatan ini tetap terlaksana meskipun dalam keadaan pandemi Covid-19 yang saat ini melanda Indonesia. Oleh karenanya, BPCB Jawa Timur mempercepat pelaksanaan ekskavasi penyelamatan di bulan Agustus 2020.

*

Dokumentasi temuan struktur

Sumber:Tim Dokumentasi PATI IV,2020

Panitia PATI IV, sebagai penyelenggara ekskavasi penyelamatan Situs Kumitir, membagi teknis ekskavasi menjadi dua, yaitu offline dan online. Peserta PATI IV yang seharusnya terjun ke lapangan, terpaksa dialihkan untuk mengikuti ekskavasi secara daring. Peserta ekskavasi daring diantaranya adalah dosen dan para mahasiswa dari enam universitas. Dalam teknis ekskavasi daring, data ekskavasi akan dihimpun dalam sebuah sistem, bernama Sistem Database Ekskavasi Situs Kota Trowulan. Data yang dihimpun pertama kali ke dalam sistem adalah hasil survei dan temuan kotak ekskavasi. Data tersebut dapat diakses oleh masyarakat umum melalui website resmi Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin pada bagian PATI IV 2020. Hal itu diharapkan dapat memudahkan para peserta PATI IV untuk terlibat dalam ekskavasi daring tersebut. Meskipun database tersebut memudahkan para peserta dalam mengakses data temuan melalui online, terdapat beberapa kendala yang tidak dapat terhindarkan, “Kendala seperti jaringan dan kuota internet peserta yang berbeda-beda, serta kualitas perangkat yang digunakan. Karena beberapa data ekskavasi hanya dapat dibuka menggunakan perangkat tertentu” tutur Nensi Yulianti Dewi, peserta PATI IV yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia.

31


``` Kondisi penggalian secara langsung di Situs Kumitir

Sumber:https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4765774/situs-kumitir-di-mojoker to-diyakini-jaditempat-pendharmaan-2-raja-singosari

Kegiatan PATI IV diawali dengan pralapangan pada bulan Juli 2020. Dalam kegiatan ini dilakukan pembangunan sistem database yang dirancang sedemikian rupa untuk ekskavasi daring nantinya. Selanjutnya, dilakukan persiapan untuk melakukan ekskavasi di lapangan. Tahap persiapan lapangan meliputi penyusunan strategi ekskavasi, koordinasi dan perizinan lahan, kompensasi, penyusunan tim, pengadaan alat dan bahan, akomodasi dan logistik, perencanaan teknik ekskavasi, perencanaan analisis temuan, pelaporan, dan pencungkupan sementara. Strategi ekskavasi Situs Kumitir tahap II yakni menampakkan lanjutan talud arah selatan, menampakkan lanjutan talud arah barat, dan menampakkan struktur bata di area makam. Pada bulan Agustus 2020, dimulailah ekskavasi penyelamatan Situs Kumitir. Ekskavasi lapangan di Situs Kumitir dilakukan oleh panitia PATI IV, BPCB Jawa Timur, serta tenaga lokal situs. Area situs dibagi menjadi beberapa sektor dan trench (kotak) dengan teknik bergantung pada koordinator kotak yang menangani. Uniknya, dalam ekskavasi Situs Kumitir 2020, setiap kotak (trench) didampingi oleh enumerator database (Petugas pengisi data

```

lapangan). Untuk komponen database sendiri terdapat beberapa komponen, yaitu; (1) Input: mobile-based data collector, web-based data manager; (2) Repositori Data: administrator, online data storage, koleksi temuan; (3) Output: tabulasi temuan, katalog temuan, peta sebaran. Dalam satu bulan di setiap pekan, seluruh peserta akan mengikuti diskusi yang diselenggarakan secara daring untuk membahas perkembangan ekskavasi penyelamatan Situs Kumitir. Diskusi ini difokuskan pada pembangunan dan penerapan sistem database. Diskusi yang dilakukan secara daring ini telah menghasilkan beberapa pembahasan, diantaranya, yaitu; (1) Strategi ekskavasi penyelamatan Situs Kumitir tahap I dan pemaparan hasil sementara kegiatan ekskavasi minggu pertama, pada 9 Agustus 2020; (2) Pemaparan hasil sementara ekskavasi minggu kedua, antara ekskavasi penelitian, penyelamatan, dan pelatihan, pada 15 Agustus 2020; (3) Pemaparan hasil sementara ekskavasi minggu ketiga, manajemen data ekskavasi arkeologis, pada 22 Agustus 2020; dan (4) Pemaparan hasil sementara ekskavasi minggu keempat dan menganalisis temuan ekskavasi pada 29 Agustus 2020.

32


Ekskavasi Daring

Nensi Yulianti Dewi, peserta PATI IV yang merupakan mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia, menyampaikan manfaat yang diperoleh selama mengikuti ekskavasi daring Situs Kumitir.

Dapat pengetahuan baru yang belum diajarkan saat kegiatan perkuliahan, tentang bagaimana membangun suatu database. Dapat mengenal mahasiswa dan dosen dari universitas lain juga menjadi pengalaman yang menarik. Tentunya dengan kegiatan tersebut dapat menambah pengetahuan lebih jauh terkait dengan dunia arkeologi dan perkembangan ekskavasi di Situs Kumitir Diskusi daring ini menghadirkan berbagai narasumber yang berkompeten dalam memberikan informasi-informasi mengenai hasil survei dan ekskavasi. Tujuan dari diskusi adalah membangun sistem database yang mampu mendokumentasikan seluruh hasil ekskavasi, membangun sistem repositori daring data hasil penelitian yang dapat digunakan secara berkelanjutan, menyiapkan prototipe sistem database ekskavasi yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekskavasi di Indonesia. Dari pembekalan diskusi online, para mahasiswa juga dibagi menjadi beberapa kelompok untuk koordinasi peserta. Setiap tim beranggotakan enam orang dari masing-masing universitas yang berpartisipasi. Adapun tugas yang diberikan adalah mempresentasikan pemahaman tentang konsep-konsep dasar database dan penerapannya dalam pengelolaan data arkeologi, membuat desain formulir analisis temuan survei dan ekskavasi untuk jenis temuan umum, serta membuat aplikasi database pada aplikasi fulcrum. Kegiatan pasca lapangan yang berlangsung di bulan September 2020, yakni berupa pengolahan data dan perampungan katalog koleksi temuan ekskavasi. Selanjutnya, para peserta dan juga panitia pelaksana PATI IV 2020 serta Yayasan Arsari Djojohadikusumo menuangkan opininya dalam bentuk artikel ilmiah populer yang memuat tentang kegiatan ekskavasi penyelamatan Situs Kumitir. Dari tulisantulisan yang dibuat kemudian dihimpun menjadi sebuah buku yang rencananya akan diluncurkan pada kegiatan Simposium Internasional Majapahit yang dilaksanakan oleh Jurusan Arkeologi FIB Universitas Udayana pada bulan November 2020.

Kotak gali penggalian Kumitir Sumber:Nensi Yulianti Dewi, 2020

33


give

y l l u f r r e ch t p e c ac

y l l u f e t a r g “Give Cheerfully and Accept Gratefully” Juara 1 Fotografi OLIMBUD 2020 Syal Syatusyahdia (KAMA 2020)

34


Pan dem i Tak Men ghen tika n

Ekskavasi Daring

Kam i Men ggal i Cerita KKL Arkeo UI 2020

Penulis: Nayla Alvita Penyunting: Irfan Maulana

Desember 2020,

Latihan Ekskavasi (Lateks) tahun 2018 Sumber: Nikolas Dalle Bimo N, 2018

Akhir tahun kami masih dilanda pandemi. Saat ini kehidupan sudah new normal, tetapi masih ada yang belum normal. Pembatasan terhadap kegiatan masih diterapkan. Kegiatan-kegiatan yang tidak begitu krusial terutama yang memunculkan kerumunan masih dilarang. Sepertinya, hal ini adalah yang terbaik untuk sekarang. Akan tetapi, ada sedikit kekecewaan ketika Kuliah Kerja Lapangan kami juga dibatalkan. Kata kating (Kakak tingkat) KKL adalah memori paling berkesan untuk satu angkatan. Apakah kami gak akan punya memori seperti itu? Kuliah Kerja Lapangan jurusan Arkeologi Universitas Indonesia adalah kegiatan rutin bagi setiap angkatan yang telah menginjak tahun ketiga di perkuliahan. KKL bagi mahasiswa arkeologi adalah tahapan yang krusial, karena di sana kami dilatih untuk benar-benar terjun melakukan ekskavasi (penggalian) di lapangan. Ketika KKL, biasanya mahasiswa arkeologi akan mengunjungi suatu situs dan melakukan ekskavasi di sana. Tentunya, ekskavasi tersebut dilakukan di bawah pengawasan para dosen yang berpengalaman karena kegiatan ini bertujuan untuk mengedukasi kami. Dengan terjadinya pandemi Covid-19, kegiatan KKL menjadi terlalu berisiko untuk dilakukan. Kegiatan tersebut dilakukan beramai-ramai dan tak jarang lokasinya ada di luar kota. Hal ini dapat membahayakan kami dan juga penduduk sekitar situs yang kami datangi. Demi kebaikan bersama, KKL mahasiswa arkeologi 2020 yang rencananya akan dilaksanakan di bulan Agustus pun dibatalkan. Memasuki semester 5, perkuliahan tetap dijalankan secara daring. Salah satu mata kuliah yang berasosiasi dengan kegiatan KKL adalah Praktikum

Arkeologi Lapangan (PA Lap). Di mata kuliah ini, seharusnya kami melanjutkan analisis berdasarkan data yang didapatkan ketika KKL. Akan tetapi, itu semua tidak memungkinkan, karena KKL kami bahkan tidak pernah dilaksanakan. Saat itulah kami mendapatkan kejutan. Para dosen pengampu mata kuliah PA Lap ternyata telah menunggu kami. Sepertinya para dosen berusaha menyiapkan cara sedemikian rupa agar kami tetap mendapatkan ilmu yang seharusnya kami dapatkan ketika KKL.

“Hari ini kita menggali!”, ucap salah satu dosen.

“Hah? Menggali di mana? Di minecraft kali?”,

batinku dari ujung lain di ruang zoom. Awalnya, banyak keraguan terhadap praktikum lapangan yang diadakan secara daring ini. Bagaimana tidak? Jelas-jelas, namanya saja praktikum lapangan. Namun, pembelajaran yang kami lakukan hanya melalui konferensi video. Untuk yang belum tahu, mata kuliah ini berfokus pada penelitian arkeologi yang menggunakan metode ekskavasi. Intinya, kami seharusnya menggali. Nah, kalau belajarnya daring, bagaimana mau menggali, kan? Sebelum melakukan penggalian, terdapat prosedur yang harus dilalui, yaitu mengajukan izin untuk penggalian terlebih dahulu. Maka, tugas pertama kami adalah membuat proposal penelitian. Lokasi penelitian tahun ini adalah Kompleks Percandian Muaro Jambi. Para

35


dosen menjelaskan bahwa sebelum penelitian, arkeolog harus melakukan desktop study yakni dengan mengumpulkan data dari rumah terkait lokasi penelitian. Caranya? Kumpulkan literatur yang tersedia terkait sejarah, kondisi geografis, dan laporan penelitian sebelumnya dengan tujuan untuk mencari permasalahan. Jika masalah sudah ditemukan, maka akan dimasukkan ke dalam proposal penelitian. Proposal penelitian ini nantinya akan diajukan untuk mendapatkan persetujuan pelaksanaan penelitian. Akan tetapi, lebih dari sekadar formalitas, proposal juga menjadi guidance (Petunjuk) sehingga kami tahu apa sebenarnya tujuan kami ketika menggali. Baru tahap pertama saja, kemampuan berpikir kritis dan logis kami sangat diuji. Walaupun sukar, ternyata tugas ini sangat berfaedah, terlebih angkatan sebelumnya tidak pernah mendapatkan tugas seperti ini (Informasi didapatkan ketika hendak meminta bantuan senior untuk mengerjakan tugas. Ternyata mereka belum pernah dapat tugasnya, duh). Di dalam proposal, kami harus menentukan tujuan dan permasalahan penelitian. Lalu, kami juga harus melakukan survei terhadap situs. Biasanya, kegiatan survei ini dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan untuk melihat keadaan sekitar, mengumpulkan data lapangan yang dapat dikumpulkan, dan menentukan lokasi penggalian. Akan tetapi, situasi yang tidak biasa

ini, mengharuskan kami melakukan survei secara daring melalui bantuan satelit pada aplikasi Google Earth. Dari sana, kami menentukan titik penggalian yang sudah disesuaikan dengan literasi terkait. Sembari menunggu kami merevisi tugas proposal selama beberapa minggu, dosen-dosen pun memberikan materi terkait metode ekskavasi. Bahan materi juga dibagikan kepada kami agar dapat dipelajari kembali. Bahkan, kepala BPCB Jambi yang bertanggungjawab di Kompleks Percandian Muaro Jambi sempat didatangkan di satu kesempatan. Ilmu yang dibagikan oleh beliau sangat membantu kami dalam memahami situasi asli di lapangan. Perspektif kami pun menjadi semakin bertambah dengan ilmu-ilmu baru tersebut. Akhirnya! Memasuki pertengahan semester, proposal kami disetujui. Kami semua pun dapat bernapas lega karena pusaran revisi sudah berhenti. Sebenarnya, saya tahu sih bahwa para dosen hanya melatih kami agar mendapatkan hasil yang terbaik dengan usaha kami sendiri. Nah, jika proposal telah disetujui, maka penelitian dapat dilaksanakan. Hore! Kami menggali! Iya, penggalian tetap dilaksanakan walaupun pembelajaran dilakukan secara daring. Dengan berskenario bahwa kami sedang benar-benar berada di Jambi dan sedang benar-benar menggali, ekskavasi pun dimulai.

36


Ekskavasi Daring

Persebaran percandian Muaro Jambi Sumber: Olahan Pribadi

Setiap minggunya, dosen akan memberikan skenario temuan dan kondisi lapangan. Kami, yang terdiri dari lima kelompok mahasiswa, akan memasukkan skenario tersebut ke dalam laporan verbal dan piktorial yang digambar secara digital. Walaupun hanya skenario, saya merasa ilmu yang dibutuhkan tetap didapat. Bahkan minus berkeringat dan gosong akibat sinar matahari. Penggalian yang terdiri dari lima kotak dengan sistem lot ini pun berakhir di lot ke-7. Di akhir penggalian daring ini, dosen meminta kami untuk melakukan analisis awal dan menarik kesimpulan dari data yang kami peroleh. Meskipun di masa pandemi dan segala keterbatasan, selalu ada alternatif jika kamu kreatif. Dosendosen kami tentunya sangat kreatif sehingga mereka dapat merealisasikan KKL daring ini dan kami tetap mendapatkan ilmu yang seharusnya. Melalui KKL daring ini,

kami bahkan mendapatkan ilmu lain yang mungkin angkatan lain tidak dapatkan sebelumnya, seperti membuat proposal, menggambar digital, dan ilmu untuk menghargai upaya orang lain. Tulisan ini juga sekaligus menjadi ucapan terima kasih kami untuk dosen-dosen PA Lap yang telah membimbing kami dan juga dosen-dosen lainnya yang telah berjuang selama pandemi. Sampai bertemu lagi Mas dan Mba di semester depan! Walaupun gak bisa ngerasain KKL asli di lapangan, ternyata banyak juga hal seru yang jadi memori tak terlupakan dari kondisi ini. Ilmu yang didapat pun sangat bermanfaat dan gak kalah dari kondisi normal. Ternyata gak normal gak jadi masalah. Katanya, angkatan kami masih ada harapan untuk bisa KKL beneran. Doain aja ya, semoga bisa kesampean. Until then, tetap di rumah dan jangan berhenti untuk berkarya. Buktinya, pandemi aja gak menghentikan kami menggali!

37


Selamat datang

KAMA 2021

Walaupun kita belum pernah bertatap muka, tetapi selamat datang! Wish u all be comfy and feels home!

38 38


#ArkeOpini “People can tell you to keep your mouth shut, but that doesn’t stop you from having your own opinion.” -Anne Frank

Sumber Foto: https://www.britannica.com/science/archaeology

39


S u a ra O ra n g P apua at a u

F il m H e ro ik S e m at a ?

Demonstrasi #PapuaLivesMater di tahun 2020

Sumber:https://theconversation.com/membandingkan-gerakan-black-livesmatter-di-amerika-dan-papuan-lives-matter-di-indonesia-apa-yang-sama-apayang-beda-140069

40


Opini

Penulis: Garin Dwiyanto P Penyunting: Greace Xaveria

Museum Asmat, TMII

Sumber:https://review.bukalapak.com/travel/daftar-museum-dan-monumen-jakarta-timur-98353

Papua? Jujur saja, dalam sekejap mata, yang terlintas dalam pikiran orang umumnya mengenai Papua adalah mereka yang memiliki ras Austronesia dan Melanesia yang dapat ditemukan di Timur Indonesia. Bahkan dengan sekali lihat saja, sangat mudah menemukan mereka di antara kerumunan bangsa Indonesia yang berumpun Mongoloid. Kasarnya, kulit hitam di antara lautan kulit kuning langsat. Sebuah pemikiran ekstrim, namun pada dasarnya, realita jauh lebih ekstrim. Tidak menutup kemungkinan, Papua dalam isu permasalahan nasional memiliki panggung teaternya sendiri. Tidak jarang, pemberitaan televisi maupun surat kabar menyuarakan banyak hal mengenai gerakan separatisme Papua, konflik antar aparat pemerintah dan bahkan organisasi-organisasi Papua yang sangat jelas menentang Papua untuk bergabung dengan wilayah NKRI. Isu ini bukan hanya hadir secara sekelebat saja, tetapi sudah menjadi warisan yang memupuk dari masa awal kemerdekaan sampai saat ini. Dalam beberapa literatur, perilakuperilaku seperti ini disebut sebagai etnonasionalis yang penyebabnya

bukan hanya satu hal saja, tetapi lebih dari itu. Pemisahan diri atau separatisme di Papua pada dasarnya melibatkan banyak faktor. Contohnya saja adalah kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi pada masyarakat Papua dan juga adanya sentimensentimen negatif dari suku lain. Bahkan di dalam wilayahnya sendiri, sentimen-sentimen seperti ini terbentuk karena adanya kesenjangan ekonomi di antara para pendatang yang berasal dari luar Papua, seperti Jawa dengan masyarakat asli Papua. Tanpa mengenyampingkan persoalan ekonomi, terdapat isu lain yang lebih bersifat mendasar, yaitu isu identitas yang akan berbicara banyak mengenai ras dan riwayat sejarah masyarakat Papua. Kedua hal ini bahkan sangat disadari berhasil memakan korban nyawa yang disebabkan karena konflik yang tidak berkesudahan. Organisasi Papua Merdeka contohnya, sebuah usaha yang jelas menunjukkan pemerintah Indonesia gagal menyakinkan Papua sebagai bagian dari Indonesia (Sarapung, 2013: 240241).

Museum hadir bukan hanya sebagai gudang koleksi, tetapi seharusnya menjadi wadah tempat mereka (Orang Papua) memberitakan kisahkisah tersebut.

41


Masalah yang sudah dijabarkan di atas sebenarnya dapat diselesaikan dengan pendekatan kebudayaan. Memang menurut sebagian orang, permasalahan ini terbilang cukup sensitif untuk diangkat, apalagi mencoba untuk diselesaikan secara terbuka. Namun, dengan pendekatan kebudayaan, solusi yang ditawarkan sebenarnya terkesan lebih halus dan secara perlahan dapat memperbaiki keadaan. Kemudian, bagaimana caranya? Sebuah jawaban kecil yang diharapkan berdampak besar, yaitu museum. Bila ada sedikit perhatian mengenai fungsi museum yang sebenarnya, yaitu dengan paradigma barunya, museum memiliki tanggung jawab sosial untuk ikut menyelesaikan isu yang dihadapi masyarakat. Menurut pengertian ICOM (International Council of Museums), museum sendiri adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani dan mengembangkan masyarakat, terbuka untuk umum, memperoleh, merawat, menghubungkan, dan memamerkan artefak perihal jati diri manusia untuk studi, pendidikan, dan rekreasi. Dengan paradigma New Museology yang mengusung konsep peopleoriented , museum secara aktif sebenarnya dapat menjadi wadah berdialog, berdiskusi dan tempat menyuarakan pandangan yang dapat merepresentasikan masyarakat Papua secara nyata dengan cara pandang yang mengikuti masa kini. Dengan demikian, museum bukan hanya tempat koleksi, tapi sebagai media untuk mengakui dan mengangkat diversitas kebudayaan yang dimiliki Indonesia, khususnya papua sebagai bagian dari identitas nasional yang mengedepankan toleransi. Pertanyaan selanjutnya muncul. Indonesia memiliki museum. Bahkan berdasarkan survei, terdapat setidaknya tiga museum di Indonesia yang memiliki tujuan untuk menjadi “representasi” masyarakat Papua. Tapi, apakah paradigmaparadigma yang disampaikan di atas sudah terlaksana? atau semua hanya teori dan konsep belaka? Dari penelitian yang saya lakukan secara kecil-kecilan ini, tiga museum yang saya maksud itu adalah Museum Nasional Indonesia, Museum Sejarah Nasional, dan Museum Asmat. Ketiga museum ini dimiliki oleh pemerintah dan berlokasi di Jakarta dan berusaha melakukan tugasnya dengan menggunakan objek-objek koleksi dan tata pamer yang bernarasi. Tapi apakah sudah berhasil merepresentasikan? Apakah sudah mewakili suara masyarakat Papua? Atau setidaknya sudah berhasil untuk menjadi wadah berdialog? Sangat disayangkan, menurut saya, ternyata ketiganya masih kurang mampu dalam merepresentasikan identitas suku asli Papua.

-----

Ukiran patung Mbis suku Asmat

https://commons.wikimedia.org/wiki/ File:Rautenstrauch-Joest-Museum_-_ Asmat-2421.jpg

42


Opini

Suku Asmat

Sumber https://limakaki.com/suku-asmat-papua.html

Seperti yang kita tahu, Museum Sejarah Nasional dapat kita temui di Monas (Monumen Nasional), berdasarkan namanya, merupakan museum yang berfokus pada alur sejarah dari bangsa Indonesia. Museum ini menggunakan media berupa diorama untuk menyampaikan pesan. Museum ini memiliki 51 diorama, dimana tiga diorama membahas tentang Papua. Pertama, diorama nomor 28 berjudulkan “Digul” yang mengilustrasikan peristiwa pemberontakan di Jawa yang menyebabkan 1,300 pemberontak dibuang ke Tanah Merah, Digul Atas, Papua. Kemudian, diorama nomor 44 berjudul “Pembebasan Irian Barat” yang mengilustrasikan peristiwa pada tanggal 1 Mei 1963 berdasarkan Tri Komando Rakyat. Terakhir, diorama nomor 48 yang berjudul “Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat” pada tahun 1969 yang mengisahkan pemilihan yang dilakukan masingmasing suku secara bertingkat untuk membuat keputusan menjadi bagian dari Indonesia. Selanjutnya, di Museum Nasional Indonesia. Museum dengan koleksi terbesar yang masih dapat kita jumpai bila kita berkunjung ke daerah Monas (Monumen Nasional). Koleksikoleksi yang berasal dari masyarakat asli Papua dapat ditemukan pada bagian lantai dua dan tiga museum. Benda-benda tersebut dipaparkan bersamaan dengan objek-objek yang berasal dari wilayah lain untuk menjelaskan sub-tema dari pameran tetap. Narasi yang dibangun secara keseluruhan dari museum adalah klasifikasi yang terbatas pada fungsi

dari benda, seperti peralatan rumah tangga, peralatan kenikmatan, dan alat perlindungan. Dalam satu narasi, museum juga mengharapkan untuk dapat merepresentasikan bangsa Indonesia yang memiliki banyak ragam etnis dan kebudayaan. Oleh sebab itu, koleksi tersebut seringkali ditempatkan bersamaan dengan jumlah objek yang terlalu banyak. Salah satu contohnya adalah pada lantai tiga museum yang menempatkan 8 objek dari 51 objek yang berasal dari wilayah Papua untuk menjelaskan peralatan rumah tangga. Dengan begitu banyaknya objek yang ditampilkan, informasi yang didapatkan dari koleksi tersebut sebatas pada identifikasi dan fungsi dari objek. Terakhir, Museum Asmat yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah dan didirikan pada masa orde lama oleh Ibu Tien. Museum ini adalah museum etnografi yang mencoba untuk menyampaikan identitas suku Asmat sebagai pengrajin kayu. Koleksi-koleksi yang dimiliki oleh Museum Asmat berupa patung mbis, panah, kapak genggam, dan yang lainnya yang didapatkan sejak berdirinya museum. Koleksikoleksi pada museum disusun sesuai dengan sub-tema yang mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi dari objek koleksi tersebut. Sama seperti di Museum Nasional, Museum Asmat juga kurang menjelaskan secara mendalam mengenai informasi yang terkandung dalam objek tersebut. Penyampaian yang diberikan pada label hanyalah terbatas pada fungsi dan identifikasi dari objek tersebut.

43


Awak kapal KRI (Kapal Perang RI) Irian dalam operasi pembebasan Irian Barat Sumber:https://historia.id/militer/articles/ongkos-pembebasan-irian-barat-PG83e

Dari ketiga museum tersebut, banyak alasan yang dapat menjelaskan mengapa menurut saya, museum-museum tersebut kurang berperan aktif sebagai setidaknya wadah untuk merepresentasikan masyarakat Papua. Pertama, dilihat dari objek koleksi yang dipajang baik di Museum Nasional Indonesia maupun Museum Asmat, dapat terlihat bahwa museum-museum ini memiliki pandangan paradigma lama yang terlalu berorientasi pada objek yang diturunkan sejak masa kolonial. Dengan fokus untuk mempreservasi kebudayaan, seluruh koleksi harus dirawat secara individual tanpa narasi yang mendukung atau bahkan membangun. Akhirnya, hanya dengan melihat tinggalan-tinggalan koleksi primitif, narasi yang terbangun hanya mencerminkan suku Asmat sebagai suku yang primitif. Penambahan koleksi tidak pernah dilakukan di Museum Asmat semenjak berdirinya museum, dan perubahan pada subtema dalam narasi besar museum juga tidak pernah dilakukan. Satu-satunya hal yang mencirikan identitas suku Asmat sekarang adalah perbedaan bentuk karya seni yang yang dibuatnya, yaitu ukiran krawangan. Bentuk bangunan yang digunakan sebagai museum juga tidak merepresentasikan rumah milik suku Asmat, melainkan rumah Kariwari yang merupakan milik suku lain seperti suku Dani. Kemudian bila dilihat dari dioramadiorama yang ditampilkan di Museum Sejarah Nasional, narasi-narasi yang ditampilkan hanya terfokuskan pada pandangan dari

satu sisi yang merupakan ciri-ciri penarasian dengan metode lama. Pemerintah sebagai pembuat diorama, contohnya semertamerta menggunakan kata “Pembebasan” dalam diorama bernomor 44. Penggunaan kata tersebut menunjukkan bagaimana masyarakat Papua direpresentasikan sebagai masyarakat yang perlu untuk diselamatkan dari pihak Belanda dan pemerintah Indonesia dengan sangat bangga menjadi hero berkuda putih dalam naskah pendek itu. Dibalik cerita heroik itu, tidak dikisahkan bahwa sebenarnya orang Papua pada saat itu juga terpecah menjadi dua pendapat. Pembebasan yang diusung tidak seutuhnya merepresentasikan seluruh masyarakat Papua. Bagi mereka yang pro-Belanda, nama Nederlands Nieuw Guinea sudah mereka siapkan sebagai sebuah nama negara baru. Ketika Indonesia juga berhasil untuk mendapatkan Papua dari genggaman pemerintah Belanda, tidak lama, terbentuklah Organisasi Papua Merdeka. Organisasi tersebut berdiri atas isu yang mendasar, yaitu perbedaan identitas. Perbedaan identitas didasari pada beberapa faktor, seperti perbedaan asal usul ras dan kesenjangan sosial yang terjadi. Dengan demikian, narasi yang dibangun pada Museum Sejarah Nasional patut untuk dipertanyakan. Museum tersebut kurang mampu untuk merepresentasikan dan menjawab keabsahan dari sejarah yang menyatukan dan dipertanyakan oleh suku asli Papua.

44


Opini

Pada dasarnya, saya tidak menyalahkan penggunaan konsep yang ada pada museum-museum. Akan tetapi, konsep lama ini kurang membantu museum dalam memenuhi responsibilitas dalam menyelesaikan isu dalam masyarakat yang terus berkembang sampai saat ini. Ketiga museum masih terjebak ketika kondisi lingkungan masyarakat sudah mengharuskannya untuk berubah. Museum tersebut gagal untuk merepresentasikan identitas suku asli Papua sebagai bagian dari identitas bangsa yang dikatakan terdiri dari berbagai suku bangsa. Dengan demikian, museum belum dapat membantu dalam menyelesaikan isu yang ada di antara Papua dengan pemerintah pusat. Museum memiliki potensi sebagai media untuk membangun identitas kebangsaan. Dengan bermodalkan identitas dari suku bangsanya, identitas bangsa juga akan terbangun dengan mengedepankan heterogenitas dibandingkan homogenitas. Pada akhirnya, isu-isu mengenai identitas bangsa Indonesia akan berkembang dan menerima dengan baik diversitas yang dimiliki. (Geertz dalam Mackie, 1980: 669). Kemudian, bagaimana solusi yang dapat ditawarkan untuk saat ini? Untuk menunjukkan identitas tersebut, museum perlu merepresentasikan masyarakat Papua dalam bentuk narasi dan koleksi yang berorientasi untuk publik. Contohnya untuk narasi, dapat dibuat ruang dalam museum yang dikhususkan kepada etnis Papua untuk menceritakan sejarah Indonesia, seperti Trikora berdasarkan perspektif Papua. Permasalahan dari Trikora adalah tidak

segenap orang Papua segan dengan sikap pemerintah yang melakukan operasi “pembebasan” yang dilakukan secara militeristik, meskipun pada saat itu masyarakat Papua tidak seutuhnya pro ataupun anti dengan pihak Belanda. Isu lain yang dapat diangkat adalah bagaimana Pepera yang dilakukan pada tahun 1969 .Tidak segenap masyarakat Papua pada saat itu menyetujui dan beberapa kalangan masyarakat mempertanyakan keabsahan dari keputusan yang diambil. Isu-isu yang dikategorikan sebagai isu kontroversial bilamana dibahas dalam museum secara terbuka, dapat merepresentasikan beragam suara yang ingin disuarakan oleh masyarakat papua. Isu lain yang dapat diangkat dalam museum adalah stigma masyarakat yang seringkali mengidentikkan Papua dengan gerakan separatisme atau masyarakat yang primitif. Masih banyak isu-isu yang dapat diangkat untuk menyelesaikan permasalah tersebut, tetapi poin pentingnya, saat kita berkata bahwa kita merepresentasikan sebuah suara, terutama suara sebuah masyarakat atau etnis tertentu, sepatutnya kita berbicara menggunakan suara mereka, bukan kita. Seharusnya kita mengajak mereka berdialog, bukan memaksakan kisah-kisah heroik yang hanya ingin kita kenang. Dengan begitu, museum bukan hanya sekedar tempat tinggalnya koleksi-koleksi antik ataupun diorama-diorama klasik bagaikan film-film heroik, tetapi sebagai sebuah rumah berdialog, rumah bertukar pendapat dan akhirnya dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga sosial yang berusaha menyelesaikan isu kontemporer serta mengayomi masyarakat disekitarnya.

Daftar Pustaka Kaplan, Flora Edouwaye S. (2006). “Making and Remaking National Identities” dalam. A Companion to Museum Studies. Ed. Sharon Macdonald. Australia. Blackwell Publishing. 152-169 H. A. R. Tilaar. (2007). Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sarapung, Elga J. (edt). (2013). 100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua. Yogyakarta: Interfidei Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. (2017). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara Mackie, J. A. C. (1986). Integrating and centrifugal factors in Indonesia’s politics since 1945. In Indonesia: The making of a nation. Vol. 2 of Indonesia: Australian Perspectives. Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian National University. Arainikasih, Ajeng Ayu. (2014). Konsep Museum 3.0. Museografia. Vol. IX. No. 1. Jakarta. Clarke, Richard L. W. (1993). Stuart Hall ‘Cultural Identity and Diaspora” http://www.rlwclarke. net/courses/LITS3304/2009-

Ukiran patung Mbis suku Asmat

Sumber :http://www.nabire.net/tradisi-ukiran-suku-asmat-yang-mendunia/

45


A rk eo lo g i d an

P an d em i C ov id -1 9

Penulis: Alfa Alauddin A Penyunting: Greace Xaveria

Arkeologi bukan hanya tentang penemuan dan pendeskripsian artefak masa lampau dalam rentang waktu yang lama, melainkan juga dapat menjelaskan konteks perubahan perilaku masyarakat melalui peninggalannya. Objek yang dibuat mencerminkan aspek perilaku data arkeologi yang berkaitan dengan cara perilaku manusia (Deetz, 1967:105).

Sejak awal tahun 2020, Covid-19 menjadi perhatian khusus di berbagai belahan dunia. WHO (World Health Organization) secara resmi mengumumkan bahwa virus corona menjadi pandemi global. Pandemi ini mengakibatkan perubahan pada segala aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan dan penelitian. Contohnya saja, seluruh jenjang pendidikan dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi dipaksa beradaptasi dengan cara mengubah pengajaran menjadi pengajaran jarak jauh dan daring. Bukan hanya mengenai sistem pembelajaran, sebagai upaya untuk mencoba mengurangi dampak dari pandemi ini, berbagai disiplin ilmu pengetahuan bergerak bersama seperti bidang

kedokteran yang meneliti cara bagaimana mengobati pasien yang terkena penyakit Covid-19, bidang farmasi dan biologi meneliti vaksin untuk kekebalan, dan bidang ekonomi meneliti bagaimana cara mengatasi masalah keuangan yang timbul akibat pandemi. Silih berganti berita baik dan buruk hadir lewat televisi, surat kabar dan media online. Kita harus berterima kasih atas perjuangan segala pihak dalam bahu-membahu menangani pandemi ini. Melihat bagaimana seluruh pihak berupaya maksimal untuk beradaptasi dan bertahan hidup di tahun 2020 ini, tiba-tiba tersentak sebuah pemikiran abstrak dari penulis yang pada dasarnya adalah seorang mahasiswa arkeologi yang

menghabiskan hampir tahun 2020nya untuk mendekam di rumah. Bila dilihat dari disiplin ilmu yang sudah saya jabarkan tadi, tidak heran mereka berkontribusi besar karena bisa dibilang inilah ladang mereka. Namun bagaimana dengan ilmu arkeologi? Apakah bidang ilmu saya dapat ikut setidaknya berkontribusi dalam isu pandemi ini, apalagi kan kata banyak ahli bidang ilmu arkeologi itu multidisiplin. Apa bisa ya? Kemungkinan sih, orang-orang akan menjawab tidak. Tidak heran, apalagi kan orang-orang tahunya arkeologi itu bidang ilmu yang mempelajari benda-benda masa lalu. Tapi dari perenungan panjang di dalam rumah ini, sepertinya pemikiran liar saya berani menjawab iya.

46


Opini

Antropolog melakukan wawancara dengan homeless Sumber: Zimmerman, Welch (2011)

Melihat kalimat Deetz yang dikemukakan dalam buku sakralnya yang sepertinya wajib dibaca oleh para mahasiswa arkeologi, saya berpikir dalam diam bahwa disiplin ilmu arkeologi tidaklah terbatas dalam waktu, apalagi terjebak dengan “artefak purbakala” sebagai objek penelitiannya. Perilaku suatu masyarakat adalah goals atau tujuan akhir dari adanya ilmu ini. Berkembang di tahun 90-an, pemikiran Deetz selalu dikembangkan, dan hasilnya, banyak peneliti-peneliti belakangan ini mengembangkan pemikiran sehingga hadirlah sebuah pemikiran kontemporer dalam dunia arkeologi yang lebih dikenal sebagai “Archaeology of Ten Minutes Ago” yang berarti “Arkeologi 10 menit yang lalu”. Pemikiran ini berangkat dari hasil penelitian Gadsby dan Barnes (2008) yang berhasil mengkaji perilaku budaya masyarakat kontemporer di Amerika. Dalam hal ini, lama waktu bukanlah menjadi prioritas yang penting, tetapi bagaimana material budaya digunakan, dan didistribusikan yang menjadi fokus penting (Zimmerman and Welch, 2011).

Selain mereka, peneliti-peneliti antropolog-arkeolog seperti Zimmerman dan Welch (2011), juga berhasil melakukan penelitian ini dengan mencoba meneliti perilaku hidup tunawisma (Homeless) di Indianapolis, Amerika Serikat di tahun 2004. Dengan pemahaman dasar bahwa manusia senantiasa membuat situs arkeologi, dan arkeologi ini bekerja di antara masa lalu dan masa kini, mereka melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana kehidupan dan pola perilaku para tunawisma di wilayah tersebut. Untuk mencapai tujuannya, mereka terjun langsung mengamati para tunawisma dengan tetap memperhatikan kesehatan peneliti, dan etika terhadap para tunawisma. Bukannya tidak berdasar, mengingat bahwa para tunawisma rentan memiliki penyakit menular, maka para peneliti juga tidak bisa semena-semena berinteraksi ketika sedang dalam kegiatan penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode pedestrian, yaitu metode survei secara langsung kepada para pejalan kaki. Selain itu, peneliti juga turun langsung dengan

menjadi relawan di Horizon House, sebuah tempat penampungan paruh waktu para tunawisma. Peneliti melakukan hal tersebut dengan tujuan dapat berinteraksi secara langsung, sehingga dapat mengetahui kehidupan dan pola perilaku para tunawisma. Bukan hanya perilaku, peneliti juga tidak melepas pentingnya artefak-artefak yang ditemukan, seperti barang kebutuhan sehari-hari berupa kaleng makanan, pengemas makanan, perlengkapan mandi, dan sepatu (Zimmerman & Welch, 2011). Dengan pengumpulan data tersebut, peneliti akhirnya mendapatkan kesimpulan mengenai bagaimana perilaku tunawisma hidup, bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain, bagaimana mereka berinteraksi dengan material culture-nya dan pola-pola apa saja yang didapat. Melihat hasil penelitian dari Zimmerman & Welch, saya terinspirasi dan berpikiran liar tentang bagaimana bila kita sebagai arkeolog mencoba melakukan penelitian serupa dengan objek kasus para pasien Covid-19 yang melakukan isolasi di Wisma Atlet Kemayoran. Tanpa disadari,

47


Keadaan Wisna Atlet di tahun 2020

Sumber: https://kabar24.bisnis.com/read/20200415/15/1227487/ini-alasan-kurangnya-tenaga-perawat-saat-pandemi-corona

mereka yang terisolasi mencoba untuk bertahan hidup dengan kebiasaan yang tidak biasa mereka lakukan sebelumnya. Karena kesehatan menjadi faktor utama, cara mereka berinteraksi dengan manusia disekitarnya, bagaimana mereka makan, mandi dan beraktivitas seharihari berubah 180 derajat. Bukan hanya kebiasaan, keadaan psikologis mereka yang berbeda karena hidup sendiri di sebuah ruangan juga mempengaruhi mereka bertindak. Oleh karena itu, kesempatan ini menjadi hal yang bagus untuk para arkeolog melakukan penelitian terhadap pasien-pasien yang terjangkit virus Covid-19 dan sedang terisolasi di Wisma Atlet Kemayoran. Arkeolog dapat melakukan penelitian secara langsung dengan

tetap memperhatikan protokol kesehatan dan mendapatkan izin dari instansi kesehatan terkait. Seperti yang dilakukan Welch dengan menjadi bagian relawan di Horizon House, arkeolog dapat menjadi relawan di Wisma Atlet agar dapat mengamati bagaimana kehidupan dan pola perilaku pasien covid-19 disana. Sebagai data arkeologi, limbah medis (botol infus, masker, baju pasien untuk operasi, dan suntikan), dan barang yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari pasien, seperti peralatan makan, peralatan mandi, sepatu dan pakaian, dalam hal ini dapat menjadi artefak. Selain itu, catatan atau video vlog keseharian pasien covid-19 yang tinggal di Wisma Atlet Kemayoran dapat membantu sebagai tambahan informasi mengenai perilaku pasien

selama masa isolasi. Artefak dan dokumentasi tadi selanjutnya dapat dianalisa agar dapat memahami perilaku budaya pasien Covid-19, seperti kegiatan mengambil obat dan makanan yang diberikan pihak rumah sakit untuk pasien, ada atau tidaknya kegiatan hiburan untuk pasien, seperti senam pagi bersama misalnya. Hasil penelitian tadi dapat merekonstruksi bagaimana perilaku budaya pasien covid-19 di Wisma Atlet. Selanjutnya, hal itu juga dapat menjadi peranan arkeologi untuk dapat membantu para pasien dengan cara mengangkat dan mempublikasikan kisah kehidupan pasien kepada publik sehingga dapat dijadikan sebagai suatu isu sosial. Berangkat dari isu ini, nantinya dapat

48


Daftar Pustaka

Hodder, Ian. 1992. Theory and Practice In Archaeology. Zimmerman, L., & Welch, J. (2011). Displaced and Barely Visible: Archaeology and the Material Culture of Homelessness. Historical Archaeology, 45(1), 67-85. Retrieved January 18, 2021, from http://www.jstor.org/ stable/23070204 Deetz ,James. 1967. Invitation To Archaeology.

Keadaan Wisna Atlet di tahun 2020

Sumber: https://finance.detik.com/properti/d-5019606/rs-wisma-atlet-tahap-2-dikebut-di-tengah-pandemi-begini-caranya

menimbulkan rasa empati publik, sehingga dapat memberikan bantuan baik moril maupun materil. Selain itu, peranan arkeologi dalam hal ini adalah dapat membantu mengangkat isu tersebut kepada para pejabat politik yang nantinya para pejabat ini mampu membuat kebijakan untuk menolong para pasien. Bukan hanya itu, ditambah dengan arsip-arsip peninggalan masa lalu mengenai penyakit epidemi, dapat membantu menangani permasalahan yang ditimbulkan oleh Covid-19. Dengan demikian, arkeologi bukan hanya tentang hal-hal kuno. Dengan Archaeology of Ten Minutes Ago, data-data arkeologi tidak selalu dalam jangka waktu yang lama,

melainkan data-data arkeologi tersebut juga dapat digunakan untuk membahas isu-isu terkini seperti pandemi Covid-19 yang melanda berbagai belahan dunia. Sama seperti bidang ilmu lainnya yang dapat melakukan penelitian mengenai Covid-19, arkeologi juga dapat turut serta dalam penelitian Covid-19 dengan salah satu caranya, yaitu penelitian terhadap pasien Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran. Penelitian tersebut diharapkan mampu merekonstruksi, mempublikasikan, dan membantu kehidupan dan pola perilaku pasien Covid-19 disana. Menarik bukan? Ada yang mau mencoba?

Salah satu contoh limbah medis

Sumber: https://tirto.id/langkah-klhk-atasi-pengelolaan-limbah-medis-selama-pandemi-covid-19-f5WC

49


iK A M A 2 0 2 0 # K a m# Ka

mi

KA MA 20 20

50 50


#Kami

Penulis: Victoria Geraldine Penyunting: Irfan Maulana

I

ngat gak, apa yang sedang kalian lakukan ketika mendengar berita tentang kasus pertama Covid-19 di Indonesia? Dengan berita itu, wabah penyakit yang tadinya terlihat sangat jauh tiba-tiba menjadi sangat dekat. Masuknya virus corona ke Indonesia ternyata berdampak ke berbagai aspek kehidupan. Ya, bukan hanya sektor kesehatan saja, jika dilihat sekarang, sembilan bulan setelah berita itu, tampak jelas bahwa pandemi Covid-19 berdampak juga pada sektor-sektor lain, seperti ekonomi dan pendidikan. Oleh karena regulasi yang mewajibkan masyarakat untuk berjaga jarak, sekolah dan kuliah tatap muka sudah dilakukan dengan jarak jauh sejak bulan Maret 2019 lalu. Lalu untuk program studi arkeologi dan himpunannya yang setiap tahun melaksanakan berbagai kegiatan lapangan, bagaimana nih? Ya, mau tidak mau harus ikut menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Kalau sebelumnya sudah melihat bagaimana kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2020 dilakukan secara daring (hal. 34), sekarang kita lihat yuk, bagaimana Keluarga Mahasiswa Arkeologi (KAMA) FIB UI menyesuaikan kegiatankegiatannya dengan pandemi Covid-19.

KAMA 2020

Viral Project bertujuan untuk memberikan informasi terkait peninggalan arkeologi maupun sejarah yang bersifat umum, ringan, dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Pameran Virtual ini mengangkat tiga tema, yang dibagi ke dalam tiga tahapan publikasi. Viral Project yang pertama, atau Pameran Virtual Project 1.0, membahas tentang Schouwburg

2020, KAMA gak ada kegiatan lapangan? Ketika semua kegiatan harus dilaksanakan secara daring, kira-kira divisi apa nih yang paling merasakan dampaknya? Mungkin divisi ilmiah lapangan kali ya? Sesuai nama divisinya, program kerja dari divisi ini biasanya meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan “Arkeo banget”, yaitu kegiatan lapangan seperti Perekaman Data dan Latihan Ekskavasi. Akan tetapi, karena kegiatan yang beralih menjadi full online di tahun 2020, kegiatankegiatan lapangan itu jadi tidak dapat dilaksanakan deh. Nah, menurut Ketua Divisi Ilmiah Lapangan KAMA FIB UI 2020, Fahrul (Arkeologi 2017), karena tidak dapat dilaksanakannya prokerproker Ilmiah Lapangan, akhirnya divisi ini dilebur dengan Divisi Ilmiah NonLapangan yang masih berada di bawah bidang yang sama, yaitu Bidang Ilmiah. Kebetulan, Divisi Ilmiah Non-Lapangan juga memiliki cukup banyak program kerja, salah satunya adalah Viral Project. Awalnya, Viral Project adalah pameran yang ingin dibuat di vitrin Gedung V FIB UI, sebelum bentuknya diubah menjadi pameran virtual yang dipublikasikan di Instagram KAMA FIB UI (@kama.ui). Dengan meleburnya dua divisi tadi, Viral Project menjadi tanggung jawab Divisi Ilmiah Lapangan.

atau gedung pertunjukkan. Tema ini dipilih karena dianggap menarik, karena keberadaan Gedung Schouwburg menandakan lahir dan berkembangnya seni pertunjukkan di Nusantara. Jadi, melalui Viral Project ini, dapat diketahui bahwa nilai gedung-gedung kuno bukan hanya berada pada nilai estetik atau arsitekturnya saja, tetapi juga memiliki nilai sejarah yang penting. Selanjutnya, publikasi kedua, Pameran Virtual Project 2.0 membahas tentang bahan makanan dalam prasasti. Jadi, melalui Viral Project yang kedua ini, pembaca dapat mengetahui kalau bahan makanan yang ada sekarang

ternyata juga sudah dikenal loh dalam masyarakat Jawa Kuno dulu, dan keberadaannya terbukti melalui prasasti. Tema ini diangkat dengan alasan yang sama, yaitu karena menarik. Dengan diangkatnya tema ini dalam Viral Project, masyarakat umum yang membaca dapat memperoleh gambaran dan pengetahuan yang lebih jelas mengenai kehidupan di masa lalu. Bahkan, mungkin saja pameran ini dapat membuat masyarakat merasa lebih dekat dengan masa lalu dan nenek moyang mereka. Gimana nih, yang sudah lihat pamerannya? Setuju gak? Lalu, untuk Pameran Viral Project 3.0 mengangkat tema moda transportasi darat yang digunakan di pulau Jawa pada masa kolonial. Melalui Viral Project 3.0 ini pembaca dapat mengetahui bagaimana perkembangan transportasi yang digunakan di pulau Jawa pada masa kolonial mulai dari yang paling tradisional hingga yang paling modern. Menarik kan? Sangat menambah pengetahuan tentunya! Keren banget ya, Viral Project ini? Pandemi pun tidak dapat meredamkan kreativitas anak KAMA. Tapi, penasaran gak sih, proses pembuatan Viral Project yang keren itu seperti apa? Kalau kata Fahrul, sebelum mulai eksekusi, tentunya harus dibuat perencanaan atau planning terlebih dahulu, yang tentunya dilengkapi dengan target setiap minggunya. Proses kerjanya dimulai dengan rapat diskusi untuk menentukan tema yang dilaksanakan di minggu pertama. Dalam diskusi tersebut, dibahas tema apa yang kira-kira bersifat umum dan ringan, sehingga dengan mudah diterima oleh audiens. Selain menentukan tema, di minggu pertama juga dilakukan riset konten dari berbagai sumber. Nah, untuk sumber-sumbernya ini kebetulan semuanya online, sehingga tidak banyak kendala yang dihadapi dalam tahap ini. Setelah ditentukan tema yang ingin diangkat, pada minggu kedua akan didiskusikan lagi konten apa saja yang akan dijadikan isi pameran. Setelah hal itu ditentukan, pada minggu ketiga akan dilakukan rapat dengan Tim Humed (Humas dan Media) terkait penyajian konsep dan desainnya. Kalau sudah semua, di minggu keempat dilakukan follow up dan pengecekan terhadap hasil desain Tim Humed sebelum dipublikasi. Nah, hasil akhirnya adalah pameran yang dapat kamu lihat di Instagram KAMA!

51


Selain Viral Project, Divisi Ilmiah Lapangan juga mengadakan pemberian materi secara daring mengenai perekaman data dan ekskavasi yang diberikan kepada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020. Tentunya, pemberian materi secara daring ini mempunyai kendala tersendiri, yaitu materi yang disampaikan tidak bisa dipraktikkan langsung di lapangan sehingga para peserta sulit untuk memahami materi. Tetapi, Fahrul menjelaskan bahwa pemberian materi secara daring setidaknya memberikan para peserta bekal dan gambaran ketika melakukan kegiatan di lapangan nanti. Walaupun dampak pelaksanaan kegiatan full online paling dirasakan oleh Divisi Ilmiah Lapangan, bukan berarti divisi atau bidang lainnya di KAMA tidak merasakannya. Dengan harus “berbagi” program kerja dengan Ilmiah Lapangan saja, Divisi Ilmiah Non-Lapangan juga sudah terdampak lho. Kalau Viral Project menjadi proker Ilmiah Lapangan, proker yang dilaksanakan Ilmiah Non-Lapangan apa dong? Tenang saja, karena Divisi Ilmiah Non-Lapangan masih punya program kerja berupa webinar yang mengangkat tema menarik. Formatnya yang berupa webinar saja sudah bentuk penyesuaian,

lho, karena kalau bisa dilaksanakan offline, pasti akan berbentuk seminar tatap muka. Salah satu webinar yang diadakan Ilmiah Non-Lapangan ini mengangkat judul “Warisan Kolonial dan Dekolonisasi Abad Ke-21”. Ada yang ikut webinar-nya? Kalau ada yang ingat, webinar ini dilaksanakan pada 20 Agustus 2020 lalu, beberapa hari setelah HUT RI ke75. Waktu pelaksanaannya memang sengaja dipilih beberapa hari setelah perayaan kemerdekaan Indonesia karena dirasa momentumnya tepat. Sekaligus merayakan kemerdekaan, kita diajak untuk bertanya, apakah benar semua masyarakat Indonesia telah merdeka? Menurut Ketua Divisi Ilmiah Non-Lapangan, Karin (Arkeologi 2017), tema webinar ini adalah hasil pemikiran bersama tim yang awalnya terinspirasi dari isu #PapuaLivesMatter yang sedang ramai saat itu. Ternyata, walaupun objek penelitian arkeologi berasal dari masa lalu, bukan berarti kajiannya tidak dapat membahas

atau berkaitan dengan isu-isu yang sedang ramai sekarang, ya. Pembicara webinar ini memiliki latar belakang pendidikan yang beragam, lho. Ada Ahli Antropologi (Iwan Meulia P. dan Aldo W. Foe), Kurator Seni (Grace Samboh), dan Peneliti Sejarah (Christopher Reinhart). Pemilihan pembicara ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa penting untuk memberikan banyak perspektif dalam diskusi ini, karena akan kurang seimbang jika hanya dilihat dari satu sisi. Nah, kalau penasaran dengan perspektif apa saja yang diberikan oleh masing-masing pembicara, boleh banget tonton tayangan ulangnya di YouTube KAMA FIB UI (https://www.youtube.com/ watch?v=5hybB8nwUkU&t=1637s) atau baca tulisan tentang pelaksanaan webinar tersebut di website KAMA ( h t t p s : / / k a m af i b.w i x s i t e .c o m / home/post/diskusi-bareng-kamawebinar-warisan-kolonial-dandekolonisasi-abad-ke-21). Gimana? Menarik gak diskusinya? Menarik banget, ya, sampai bikin penasaran gimana sih prosesnya sampai dapat pembicara yang keren-keren begitu. Kalau menurut Karin (Arkeologi 2017), sebenarnya awalnya takut, tetapi karena pembimbingnya keren dan sangat suportif, rasanya gak boleh menyerah, dan akhirnya proses yang dilalui menjadi seru. Seru bukan berarti mudah ya, karena dalam mencari pembicara yang pas dan keren tantangannya besar. Kalau pun sudah dapat nama yang disarankan oleh pembimbing, tidak bisa asal pilih, melainkan harus tahu jelas alasan memilih pembicara tersebut. Bahkan sebelum menghubungi pembicara harus diriset terlebih dahulu dengan membaca tulisan mereka dan menonton video webinar-webinar mereka sebelumnya agar lebih tahu apakah pembicara tersebut memang benar-benar cocok untuk menjadi pembicara di webinar. Ternyata

52


#Kami KAMA 2020

Bakti Sosial di SD Tunggaljaya 1 dan 2

Sumber: https://kamafib.wixsite.com/home/post/kama-dan-forkoma-ui-gelar-pemberian-donasi-di-sd-tunggaljaya-1-dan-2

proses yang dilalui untuk membuat webinar ini cukup penuh tantangan, ya. Untungnya proses tidak mengkhianati hasilnya, karena webinarnya keren banget.

Masa sih tahun 2020 KAMA bener-bener ga ada kegiatan lapangan?

Ya, ada sih kegiatan yang turun ke lapangan, tetapi bukan kegiatan lapangan arkeologi. Kegiatan lapangan yang dilaksanakan KAMA di tahun 2020 adalah kegiatan pengabdian masyarakat. Kegiatan ini merupakan program kerja dari Bidang Pengabdian Masyarakat

KAMA FIB UI, tetapi yang terlibat bukan hanya teman-teman dari bidang itu saja, lho, melainkan juga melibatkan teman-teman KAMA lainnya. Selain itu, kegiatan ini juga bekerja sama dengan FORKOMA UI, yaitu paguyuban mahasiswa UI yang berasal dari daerah Banten. Kerja sama ini dilakukan karena kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan di Banten. Kegiatan pengabdian masyarakat dilaksanakan pada bulan Juli 2020 lalu, terbagi dalam tiga rangkaian acara, yang dilaksanakan pada tanggal 16 Juli 2020, 20 Juli 2020, dan 30 Juli 2020. Rangkaian acara pertama adalah pemberian donasi kepada SD Tunggaljaya 1 dan SD

Tunggaljaya 2 yang terletak di Desa Tunggaljaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Donasi tersebut berupa hand sanitizer, masker, lembar kerja siswa (LKS), poster cara mencuci tangan yang benar, cara memakai masker, dan mitigasi bencana, serta modul pelatihan guru. Wah, gak kerasa ya sudah awal tahun 2021 dan kepengurusan KAMA 2020 sebentar lagi berakhir. Gimana kegiatan kami selama 2020? Menarik, kan? Dengan adanya pandemi tidak menghentikan kami untuk berkreativitas dengan menyesuaikan segala program kerja yang ada. Semangat buat kepengurusan KAMA selanjutnya!

53


54


Local Artist

s n a i r a u q Anti

Grup band dengan genre fusion/alternative yang beranggotakan mahasiswa arkeologi angkatan 2019 ini memulai debutnya pada kompetisi Olimbud (Olimpiade Budaya) di tahun 2019. Band ini beranggotakan Fajar ( Vokal), Ansell dan Rafa (Gitar ), Dinov ( Piano), Dimas (Bass) serta Daniel (Drum). Antiquarians akan merilis single bertajuk “Juwita” dan “Alexandra” pada bulan mendatang.

55


Juara 3 PKM K OIM UI 2020 Juara 1 PKM-K OIM FIB UI 2020 Glenn Dinov (KAMA 2019) Greace Xaveria (KAMA 2017) Fenisya Sahara (KAMA 2017) Hamzah Ali (KAMA 2019) Karin Beladina (KAMA 2017)

Apresiasi d !!!

Juara 1 Fotografi OLIMBUD 2020 Syal Syatusyahdia (KAMA 2020) Juara 1 Digital Art OLIMBUD 2020 Josephine Priska Susanto(KAMA 2020) Juara 2 Debat Bahasa Indonesia OIM FIB UI Ryan Sebastian (KAMA 2019) Ahmad Nuhdi Rifqy (KAMA 2019) Rumondang Amanda (KAMA 2019)

56

Untuk para Fighter kam

terimakasih telah berjuang


dari KAMI

Juara 1 PKM M OIM FIB UI 2020 Nayla Alvita (KAMA 2018) Amaldjati (KAMA 2018) Inggil Reka S(KAMA 2019) Ricko Januar H(KAMA 2019) Vania Gita (KAMA 2018)

!!!

mi dari bidang apapun,

g bersama untuk KAMA! Juara 1 PKM P OIM FIB UI 2020 Rumondang Amanda (KAMA 2019) Meriani Alexandra(KAMA 2019) Fawwaz Sinar (KAMA 2019) Fiqrulloh Fajrin (KAMA 2019)

57


@DanusDuluBaruKuliah Buat Pengurus KAMA 2020, kita semua hebat. Terima kasih atas bantuan kalian ya selama ini . Terus juga buat staff gue, terima kasih selama ini udah sabar menghadapi gue !! Pokoknya semangat every single one of you and also me. See you when I see you!!!

58


#Kami KAMA 2020

@PengusahaSaham We can do whatever we want. Terimakasih buat teman-teman yang sudah bantu perKAMAan, khusunya staff ilmiah KAMA 2020. I love so muchhh. Terimakasih juga buat dosen-dosen, khusunya Mba Day. Terakhir terimakasih buat diri sendiri yang sudah berani melangkah sejauh ini hehehe.

@OrangGanteng Makasih buat Jaki yang mau jadi tumbal satu tahun ini. Buat Garin makasih atas uang-uangnya yang diberikan kepada kaum miskin arkeo. Terimakasih buat warga KAMA yang udah mau berkontribusi di proker2 KAMA!

59


#FindU not so long ago...

Ceritanya ala-ala

Olimkam/KAMA Cup

Latex a.k.a Latihan Ekskavasi

Sebuah manifestasi ketidakmauan setiap angkatan terlihat lemah. (#WalaupunHarusCurang, #TapiTetepDitonton)

Kemurungan akhir tahun yang diiringi dengan dompet menipis, wajah lelah dan revisi tanpa henti. #AkuTahuKamuKangen #JanganCinlokAntarKotak #NantiBukaGalangan

Nongpani a.k.a Nongkrong Pake Seni Ajang *piiippp* yang berkedok kesenian sekaligus para jantan memamerkan pesona agar wanita tertarik.

Perekaman Data Diantara ribuan batu, aku bertapa, apakah benar arkeo adalah jalan ninjaku. #MabaTergoyah, #TingkatDuaMenerimaNasib

60


UrPlaylist

a spotipayan gitu

Pra-TL

Kunsit a.k.a Kunjungan Situs

Fesbud a.k.a Festival Budaya

Tiba-tiba disuruh buat kotak gali. Aku bingung, kamu bingung apalagi Maba. Untung udah pake sunscreen ya gais

Tiap akhir tahun listing + sok-sokan isi survey milih situs. Dilakukan agar memperbaiki image anak arkeo di mata dunia + memperbaiki feeds IG yang berantakan

Untuk merepresentasikan wajah arkeo yang purbakala dan old fashioned, dengan modal 0 rupiah, kami siap mengguncang dunia

Wajah-Wajah tersenyum sebelum melewati KKL dan mengurus KAMA! Selamat mengurus KAMA say!

61


!!!

Thanks bro! Honestly, thanks untuk GMeetnya 1 tahun ini ! You guys rock it!

u o y k n Tha !!!

PS: Selamat ngurus KAMA tahun depan & semangat menyusun porto tulisannya!


Majalah ini gratis dan tidak untuk diperjualbelikan. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kontak kami dibawah ini. Terima kasih telah membaca!

Hubungi Kami! Divisi Penerbitan Populer Keluarga Mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia Gedung 9, Kampus FIB UI, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424

Email

Instagram

kamafibui@gmail.com

@kama.ui

Youtube KAMA FIB UI

Twitter

Website

@kamafibui https://kamafib.wixsite.com/home

Line Account @fha0000i

LinkedIn KAMA FIB UI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.